SEKOLAH RAMAH ANAK MODEL MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI ERA MEA*1 Endang Fauziati [email protected] Universitas Muhammadiyah Surakarta ABSTRAK Anak merupakan generasi penerus bangsa yang memiliki posisi strategis dalam pembangunan di era MEA. Oleh karenanya anak harus dipersiapkan melalui pendidikan. Sekolah ramah anak merupakan salah satu model manajemen pendidikan yang relevan guna menciptakan sumberdaya manusia yang potensial dan andal untuk menjawab tantangan zamannya. Artikel ini merupakan suatu tinjauan ilmiah tentang sekolah ramah yang dikemabngkan berdasarakan Konvensi Hak-Hak Anak PBB. Sekolah ramah anak adalah sekolah yang dalam manajemennya memenuhi hak hak anak. Implementasinya dalam manjemen kelas antara lain meliputi: sikap terhdap siswa, metode pembelajaran, pemanfaatan media pembelajaran, penataan kelas, sarana-prasarana, dan lingkungan sekolah. Secara rinci artikel ini memaparkan Konvensi Hak-hak anak, sekolah ramah anak, dan manajemen kelas yang relevan. Kata kunci: Konvensi Hak-hak Anak, Sekolah Ramah Anak, Manajemen Kelas PENDAHULUAN Anak merupakan generasi penerus bangsa. Mereka memiliki posisi strategis dalam pembangunan maupun perkembangan peradaban manusia. Terlebih dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), anak sebagai generasi muda menjadi salah satu tumpuan bangsa yang akan menghadapi persaingan global. Mempersiapkan anak melalui 1 Paper dipresentasikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh ISPI pada Tanggal 6 Januari 2017 di Demak 1 pendidikan yang ramah anak merupakan hal penting guna menciptakan sumberdaya manusia yang potensial dan andal untuk menjawab tantangan zamannya. Terkait hal tersebut, model sekolah ramah anak di Indonesia perlu disosialisasikan dengan mengacu pada Konvensi Hak-Hak Anak. Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Rights of the Child) atau yang luas dikenal dengan istilah CRC merupakan konvensi internasional yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kulural anak anak sedunia. Semua negara anggota PBB telah meratifikasi konvensi kecuali Amerika Serkat. Konsekwensi logisnya Negara-negar yang telah meratifikasi konvensi ini terikat untuk menjalankannya sesuai dengan hukum internasional. Konvensi Hak-Hak Anak memberikan pendekatan yang ideal untuk mengembangkan sekolah ramah anak, yaitu sekolah yang dalam manajemennya memenuhi hak hak anak. Sekolah Ramah Anak, menurut UNICEF, adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang sekolah ramah anak yang meliputi pemaparan tentang prinsip prinsip (Konvensi Hak-hak anak), karakteristik, dan aplikasinya. KONVENSI HAK-HAK ANAK 1. Pengertian Istilah konvensi yang memiliki padanan kata seperti kovenan, treaty, traktat, atau pakta merupakan perjanjian diantara beberapa negara. Perjanjian ini bersifat mengikat secara yuridis dan politis. Oleh karena itu, konvensi merupakan suatu hukum internasional atau biasa juga disebut sebagai instrumen internasional. Konvensi Hak-Hak Anak (selanjutnya disingkat KHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Rights of the Child) atau yang luas dikenal dengan istilah CRC merupakan konvensi internasional mengenai Hak Azasi Manusia (HAM) yang mengintegrasikan hak sipil dan politik (political and civil rights), secara bersamaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, social and cultural rights). Konvensi ini ditanda tangani pada tanggal 20 November 1989 bertepatan dengan dengan peringatan 30 tahun Deklarasi Hak-Hak Asasi Anak. Konvensi ini berlaku mulai Tanggal 2 September 1990 setelah jumlah Negara yang meratifikasinya 2 memenuhi syarat dan sampai pada tahun 2016, 196 negara telah merativikasinya. Amerika merupakan satu-satunya negara yang belum meratifikasi konvensi ini. KHA merupakan sebuah perjanjian yang mengikat, maksudnya, saat sebuah negara telah meratifikasi konvensi ini negara tersebut terikat pada janji-janji yang ada di dalamnya dan negara wajib untuk melaksanakannya sesuai dengan hukum internasional. Ada tiga kewajiban dasar yang dikenal sebagai kewajiban generik (generic obligations), yaitu: (1) menghormati (respect), bahwa tiap negara memunyai kewajiban untuk menghormati agar tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam konvensi; (2) melindungi (protect), bahwa tiap negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan agar anak tidak dilanggar haknya oleh orang atau individu lain (termasuk orangtua anak sendiri), dan memberikan sanksi (biasanya sanksi pidana) bagi setiap pelanggaran; (3) memenuhi (fulfill), bahwa tiap negara mempunyai kewajiban memberikan apa yang diakui sebagai hak dalam ketentuan konvensi yang ada. Pelaksanaan konvensi ini diawasi oleh Komite KHA PBB yang anggotanya terdiri dari berbagai negara di seluruh dunia. Dalam melaksanakan KHA, Komite KHA PBB telah mengidentifikasi 4 pasal utama sebagai prinsip umum dalam pelaksanaan semua pasal, yaitu: (1) Prinsip non diskriminasi: kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diatur dalam konvensi bagi setiap anak dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi apapun; (2) Prinsip kepentingan terbaik bagi anak: bahwa kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak; (3) Prinsip hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang: hak untuk hidup melekat pada setiap anak dan kewajiban negara untuk menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (fisik, mental, spiritual, moral, psikologis dan sosial); (4) Prinsip penghormatan terhadap pandangan anak: hak anak untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas dalam segala hal yang mempengaruhi anak, pandangan pandangan anak harus dipertimbangkan sesuai dengan usia dan tingkat kematangannya. Pasal 46 dan 48 KHA secara tegas menyatakan bahwa KHA merupakan perjanjian yang bersifat terbuka. Artinya, KHA terbuka untuk diratifikasi oleh Negara-negara lain yang belum menjadi peserta (state parties). Indonesia sebagai negara peserta anggota PBB telah mengikatkan dirinya secara hukum (legally binding) dengan meratifikasi KHA pada tanggal 25 Agustus 1990. Langkah hukum ratifikasi ini dilakukan dengan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Peratifikasian Konvensi Hak 3 Anak. Oleh karena itu sejak tahun 1990, dengan segala konsekwensinya Negara Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan hak-hak anak. Sebagai wujud komitmennya, maka pemerintah Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2002 mengesahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang berorientasi pada hak-hak anak sebagaimana yang tertuang pada KHA. Yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 1 butir 2 UU No 23 Tahun 2002). Sedangkan penyelenggaraan perlindungan anak berdasarakna Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip KHA yang meliputi 4 (empat) hal yaitu: (a) non diskriminasi, (b) kepentingan yang terbaik bagi anak, (c) hak untuk hidup, berkelangsungan hidup, dan berkembang, dan (d) penghargaan terhadap pendapat anak (pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002). Hal ini merupakan cerminan bahwa prinsip-prinsip dalam KHA merupakan materi pokok yang diatur dalam UU Perlindungan Anak. KHA menjadi panduan hukum dan kebijakan bagi Pemerintah Indonesia dalam menangani isu-isu anak. KHA ini sangat erat berkaitan dengan berbagai instrument internasional lainnya yang mengatur isu anak, antara lain: (1) Anak dalam konflik bersenjata dituangkan dalam Optional Protocol tentang Keterlibatan Anak dalam konflik bersenjata yang diratifikasi melalui UU No. 9 tahun 2012; (2) Anak korban penjualan, penculikan dan trafiking dituangkan dala Optional Protocol tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak yang diratifikasi melalui UU No. 10 tahun 2012; (3) Anak bekerja tertuang dalam konvensi ILO No. 138 tentang Batasan Usia Minimum boleh Bekerja diratifikasi melalui UU No. 20 tahun 1999 dan konvensi ILO No. 182 tentang bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak diratifikasi melalui UU 1 tahun 2000; (4) Anak dengan Kebutuhan Khusus diratifikasi melalui UU No. 19 tahun 2011, dimana kepentingan anak penyandang disabilitas tercantum dalam Konvensi tersebut; (5) Anak berhadapan dengan Hukum (ABH) teruangkan dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (Kementerian PP dan PA, 2015). 2. Kandungan Konvensi Hak-Hak Anak 4 KHA terdiri dari 54 (lima puluh empat) pasal yang berdasarkan materi hukumnya mengatur hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak-hak anak oleh negara peserta yang meratifikasinya. Komite Hak Anak—badan yang dibentuk untuk mengevaluasi pelaksanaan KHA di setiap Negara—mengelompokan KHA menjadi delapan kategori sebagai berikut: (1) Langkah-Langkah Implementasi Umum, (2) Definisi Anak, (3) Prinsip-Prinsip Umum, (4) Hak dan Kemerdekaan Sipil (pasal-pasal 7, 8, 13, 14, 15, 16, 17, dan 37a), (5) Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Pengganti (pasal-pasal 5, 18 ayat 1-2, 9, 10, 11, 19, 20, 21, 22, 25, 27, ayat 4 dan 39), (6) Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar (pasal-pasal 6, 18 ayat 3, 23, 24, 26 dan 27 ayat 1, 2, dan 3), (7) Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya (pasal-pasal 28, 29, dan 31), (8) Perlindungan Khusus (pasal-pasal 22,38,39, 40, 37 (b)-(d), 32, 33, 34, 35, dan 36). (Joni dan Tanamas, 1999) Dari delapan kategori tersebut, kelompok yang secara substantif berisi konsep hak anak adalah kategori 4 s.d. 8. Secara garis besar hak anak adalah sebagai berikut, yaitu: (1) Hak dan Kemerdekaan Sipil yang berisi 3 hak anak yaitu: (a) semua anak harus memiliki akta kelahiran; (b) meningkatkan akses anak terhadap informasi, dan disertai upaya mencegah anak atas informasi yang tidak layak dikonsumsi terutama dari pengaruh negatif pornografi dan kekerasan; (c) meningkatkan partisipasi anak; (2) Lingkungan keluarga dan pengasuhan pengganti yang terdari dari 3 hal penting, yaitu: (a) lingkungan keluarga yang aman dan nyaman bagi anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, termasuk penyediaan Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA) dan upaya penurunan perkawinan usia anak; (b) bagi anak-anak yang tidak memiliki orang tua (kandung atau pengganti), perlu diciptakan suatu pola pengasuhan alternatif yang berkualitas; dan (c) penyediaan lembaga konsultasi bagi keluarga dalam mendidik dan mengasuh anak, misalnya dalam bentuk Pusat Pembelajaran Keluarga (PPK); (3) Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar yang mengatur 3 (tiga) hal penting, yaitu: (a) memastikan setiap anak sehat dan bergizi baik; (b) anak tumbuh dan berkembang dalam kondisi kesejahteraan diri, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya yang sejahtera; (c) menyediakan pelayanan ramah anak di lembaga-lembaga penyedia layanan kesehatan, terutama di Rumah Sakit dan Puskesmas; (4) Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya yang meliputi 2 (dua) hal penting, yaitu: (a) semua anak harus sekolah, sejalan dengan program Wajib Belajar 12 Tahun, disertai dengan perwujudan Sekolah Ramah Anak (SRA) serta penyediaan Rute Aman dan Selamat ke/dari Sekolah (RASS); (b) pemanfaatan waktu luang yang diperlukan anak karena anak juga harus beristirahat dan mengisi hari-harinya dengan hal-hal yang memang diminati dan positif, termasuk kegiatan budaya melalui 5 pembentukan Ruang Kreatifitas Anak; (5) Perlindungan khusus anak, yang mencakup upaya yang harus dilakukan agar anak tidak didiskriminasi dan tidak mengalami kekerasan selama hidupnya. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 59 terdapat 15 anak yang dikategorikan anak yang memerlukan perlindungan khusus (AMPK), termasuk anak berkebutuhan khusus, anak penyandang disabilitas, anak pada situasi bencana, anak-anak marjinal, dll. (UNICEF, 1998; Kementerian PP & PA, 2015) KHA meliputi cakupan yang cukup luas; oleh karenanya dibuat pengelompokan tertentu sehingga lebih mudah untuk diingat. Salah satu cara pengelompokan yang populer ialah dengan membagi hak anak menjadi empat kategori, yaitu: (1) Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survival rights), yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (the rights to the higest standart of health and medical care attainable), seperti akses terhadap kesehatan, pendidikan, dan hak sipil; (2) Hak terhadap Perlindungan (protection rights), yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, perlindungan dari eksploitasi anak, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi; (3) Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, dan spiritual, moral, dan sosial anak; dan (4) Hak untuk Berpatisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a child to express her/his views in all metters affecting that child). (Joni dan Tanamas, 1999) Model kategori yang lain oleh Kanyago et al., (2007:15) mengklasifikasikan menjadi 3 kategori, yang popular dengan istilah 3p, yaitu: (1) Penyediaan (provision), anak-anak memiliki hak untuk disediakan layanan sosial dan layanan lainnya, meliputi perawatan kesehatan dan pendidikan, jaminan keamanan sosial dan standar hidup yang layak; (2) Perlindungan (protection), anak memiliki hak untuk dilindungi dari semua bentuk kekerasan, meliputi penyalahgunaan, kelalaian, semua bentuk eksploitasi seksual komersial dan eksploitasi seksual lainnya, penyiksaan, dan penahanan sewenang-wenang; (3) Partisipasi (participation), anak memiliki hak untuk didengar pendapatnya terhadap semua masalah 6 yang berdampak pada kehidupan mereka dan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka dan masyarakat secara keseluruhan. SEKOLAH RAMAH ANAK 1. Pengertian KHA Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan pendekatan yang cukup ideal untuk mengembangkan sekolah ramah anak. Secara sederhana sekolah ramah anak adalah sekolah yang dalam manajemennya memenuhi hak hak anak. Sekolah Ramah Anak, menurut UNICEF, adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus. Sekolah yang ramah anak merupakan institusi yang mengenal dan menghargai hak anak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan bermain dan bersenang, melindungi dari kekerasan dan pelecehan, dapat mengungkapkan pandangan secara bebas, dan berperan serta dalam mengambil keputusan sesuai dengan kapasitas mereka. Sekolah juga menanamkan tanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain, kemajemukan dan menyelesaikan masalah perbedaan tanpa melakukan kekerasan. (Solihin, 2015) Sekolah Ramah Anak menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia adalah satuan pendidikan formal, nonformal, dan informal yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, pengawasan, dan mekanisme pengaduan terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak di pendidikan. 2. Karakteristik Ada dua karakteristik utama SRA adalah “It is a child-seeking school” and “It is a child-centred school”. Pertama It is a child-seeking school (proaktif mencari anak). SRA secara proaktif mencari semua anak yang termarginalisasi dari pendidikan. SRA 7 mempromosikan dan membantu anak untuk memonitor hak-hak dan kesejahteraan semua anak di masyarakat. SRA menghargai keberagaman dan memastikan kesetaraan kesempatan. SRA memberikan pendidikan yang bebas biaya dan wajib serta murah dan fleksesibel. SRA sehat, Aman dan Protektif. Yang kedua “It is a child-centred school”. SRA bertindak menurut kepentingan terbaik tiap anak. SRA peduli kepada anak “seluruhnya”; kesehatan, status gizi dan kesejahteraan. SRA peduli tentang apa yang terjadi kepada anak sebelum mereka masuk sekolah dan setelah pulang dari sekolah. SRA memanfaatkan metode yang kreatif di dalam ruang kelas. (UNICEF, 2012) UNICEF dalam manual untuk SRA menyebutkan ada 13 karakteristik sekolah berbasis hak anak sebagai berikut: (1) Mencerminkan dan menyadari hak-hak setiap anak – bekerjasama dengan mitra lain untuk mempromosikan dan memantau kesejahteraan dan hakhak semua anak; membela dan melindungi semua anak dari pelecehan dan bahaya, baik di dalam dan di luar sekolah; (2) Melihat dan memahami anak secara keseluruhan, dalam konteks yang luas – berkaitan dengan apa yang terjadi pada anak sebelum mereka memasuki sistem (misalnya, kesiapan mereka untuk sekolah dalam hal kesehatan dan status gizi, sosial dan keterampilan linguistik), dan memiliki kesempatan untuk keluar kelas – kembali rumah mereka, masyarakat, dan tempat kerja; (3) Berpusat pada anak – mendorong partisipasi, kreativitas, harga diri dan kesejahteraan psikososial; mempromosikan struktur kurikulum dan metode pembelajaran yang berpusat pada anak sesuai dengan tingkat perkembangan, kemampuan, dan gaya belajar anak; dan mempertimbangkan kebutuhan anak-anak di atas kebutuhan aktor lain dalam sistem pendidikan; (4) Sensitif gender dan ramah terhadap anak perempuan – mempromosikan keseimbangan antara anak perempuan dan laki-laki dalam perekrutan dan pencapaian hasil pendidikan; mengurangi kendala kendala untuk kesetaraan gender dan menghilangkan stereotip gender; menyediakan fasilitas, kurikulum, dan proses pembelajaran yang ramah terhadap anak perempuan; (5) Meningkatkan kualitas hasil pembelajaran – mendorong anak untuk berpikir kritis, bertanya, mengungkapkan pendapat mereka – dan belajar cara belajar, membantu anak-anak menguasai keterampilan yang memungkinkan menulis, membaca, berbicara, mendengarkan, matematika dan pengetahuan umum serta keterampilan yang diperlukan untuk hidup di abad baru – termasuk pengetahuan tradisional yang berguna dan nilai-nilai perdamaian, demokrasi, dan penerimaan keragaman (multikultur); (6) Pendidikan diselenggarakan berdasarkan realitas kehidupan anak-anak – memastikan bahwa isi kurikulum menanggapi kebutuhan belajar anak-anak secara individu sebaik tujuan umum dari sistem pendidikan dan konteks lokal serta pengetahuan tradisional keluarga dan masyarakat; (7) Fleksibel dan merespon keragaman – memenuhi situasi dan 8 kebutuhan anak yang berbeda (misalnya, sebagaimana ditentukan oleh gender, budaya, kelas sosial, tingkat kemampuan); (8) Bertindak untuk memastikan inklusi, rasa hormat, dan kesetaraan kesempatan bagi semua anak – tidak stereotip, mengecualikan, atau tidak diskriminatif atas dasar perbedaan; (9) Meningkatkan kesehatan mental dan fisik – menyediakan dukungan emosional, mendorong praktek dan perilaku hidup sehat, dan menjamin lingkungan yang sehat, selamat, aman, dan menyenangkan; (10) Menyediakan pendidikan yang terjangkau dan dapat diakses – terutama untuk anak-anak dan keluarga paling berisiko; (11) Meningkatkan kapasitas, moral, komitmen, dan status pendidik – memastikan bahwa pendidik memiliki cukup pelatihan sebelum dan ketika memberikan layanan pendidikan, emmperoleh pengembangan professional, jabatan, dan penghasilan; (12) Perhatian keluarga – mencoba untuk bekerja dengan dan memperkuat keluarga dan membantu anak-anak, orang tua dan guru berkolaborasi untuk membangun kemitraan yang harmonis; (13) Berbasis masyarakat – memperkuat tata kelola sekolah melalui pendekatan desentralisasi berbasis masyarakat; mendorong orang tua, pemerintah daerah, organisasi masyarakat, dan lembaga lain dari masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam pengelolaan serta pembiayaan pendidikan; mempromosikan kemitraan masyarakat dan jaringan yang berfokus pada hak-hak dan kesejahteraan anak. (UNICEF, 2016) 3. Prinsip Prinsip Dasar Sekolah Ramah Anak Prinsip-prinsip dasar Sekolah Ramah Anak dikembangkan dari Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (CRC). Prinsip ini dikembangkan sebagai panduan bagi manajemen sekolah dan kelas (school and classroom management ) guna memastikan semua anak memiliki hak untuk memperoleh akses pendidikan dasar yang berkualitas. Model Sekolah Ramah Anak dikembangkan oleh UNICEF sebagai upaya untuk mengembangkan pendidikan yang berkualitas bagi semua anak, laki laki maupun perempuan. Model ini dipandang sebagai kerangka yang komprehensif sebagai upaya intevensi UNICEF dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas bagi setiap anak dengan mempertimbangkan hakhak anak yang paling dasar. Hak-hak fundamental anak tersebut diaplikasikan ke dalam SRA berupa prinsipprinsip dasar pengembangan sekolah ramah anak yang meliputi: (1) berpusat pada anak, (2) inclusive, (3) persamaan gender dan menghargai semua latar belakang budaya dan bahasa, 9 (4) effective (dalam arti anak belajar aktif dan dididik (learning and being educated), (5) lingkungan yang protektif, aman, dan sehat, dan (6) anak berpartisipasi secara aktif dan demoktaris. Dari diskripsi ini sangat jelas bahwa pendidikan di Sekolah Ramah Anak tidak mengarahkan anak untuk memperoleh nilai (score) terbaik di ujian akhir atau ujian Negara. Misi utamanya adalah menyediakan pendidikan yang memberikan hak pada anak untuk berpartisipasi aktif untuk belajar, bertumbuh kembang dalam lingkungan yang sehat dan aman dalam rangka menyiapkan anak menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dalam hidupnya. (UNICEF) Berdasarkan prinsip-prinsip ini maka jelas bahwa (1) sekolah merupakan lingkungan personal maupun social yang sangat penting bagi kehidupan anak. Dengan demikian sekolah yang ramah memiliki lingkungan yang aman baik secara fisik, menenteramkan secara emosional dan psikologis bagi anak; (2) para guru merupakan faktor dan aktor yang paling penting dalam menciptakan kelas inklusi; (3) anak anak merupakan natural learners, namun kemampuan demikian dapat dirusak. Oleh karenanya SRA harus memahami, mendorong, menopang perkembangan anak dengan menyediakan budaya sekolah, pengajaran, pembelajaran yang berfokus pada anak; (4) SRA bertujuan untuk mengembangkan lingkungan belajar yang mendorong/memotivasi anak untuk belajar; semua staf bersikap ramah pada anak dan memperhatikan kesehatan dan keselamatan anak. Sebagaimana tercantum pada pasal 29 Konvensi Hak Anak PBB bahwa pendidikan anak diarahkan kepada: (1) Pengembangan kepribadian, bakat dan kemampuan mental dan fisik anak hingga mencapai potensi mereka sepenuhnya, (2) Pengembangan sikap menghormati hak-hak asasi manusia dan kebebasan hakiki, serta prinsip-prinsip yang diabadikan dalam Piagam PBB', (3) Pengembangan sikap menghormati orangtua anak, kepribadian budayanya, bahasa dan nilai-nilainya, nilai-nilai nasional negara dimana anak tinggal, dan negara dari mana anak mungkin berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda dari peradabannya, (4) Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggungjawab dalam suatu masyarakat yang bebas, dalam semangat pengertian, perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan persaudaraan diantara semua orang, kelompok etnis, bangsa dan agama dan orang-orang pribumi', dan (5) Pengembangan sikap menghormati lingkungan alam. Sebagaimana dibahas sebelumnya, ada empat prinsip dasar HAK yang dapat digunakan sebagai dasar penyelenggarakan pendidikan yang dapat memenuhi hak anak dan yang memberikan cirri khusus bagi SRA, yaitu: (1) Non-Discrimination: penyelenggaraan 10 pendidikan anak yang bebas dari diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang etnis, agama, jenis kelamin, ekonomi, keluarga, bahasa dan kelahiran serta kedudukan anak dalam status keluarga. Untuk mengimplementasikan prinsip ini pemerintah memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang layak; (2) The Best Interests of The Child: dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan, kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama; (3) Ketiga, The Right to Life, Survival and Development: hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang harus dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua. Karena itulah KHA memandang pentingnya pengakuan serta jaminan dari negara bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak, seperti dinyatakan dalam pasal 6 ayat 1, bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memilki hak yang melekat atas kehidupan (inherent right to life)”, serta ayat 2 “ negara-negara peserta secara maksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development of child)”; (4) Keempat, Respect for The Views of The Child: penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Prinsip-prinsip pengembangan SRA menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia adalah sebagai berikut: (1) Nondiskriminasi yaitu menjamin kesempatan setiap anak untuk menikmati hak anak untuk pendidikan tanpa diskriminasi berdasarkan disabilitas, gender, suku bangsa, agama, dan latar belakang orang tua; (2) Kepentingan terbaik bagi anak yaitu senantiasa menjadi pertimbangan utama dalam semua keputusan dan tindakan yang diambil oleh pengelola dan penyelenggara pendidikan yang berkaitan dengan anak didik; (3) Hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan yaitu menciptakan lingkungan yang menghormati martabat anak dan menjamin pengembangan holistik dan terintegrasi setiap anak; (4) Penghormatan terhadap pandangan anak yaitu mencakup penghormatan atas hak anak untuk mengekspresikan pandangan dalam segala hal yang mempengaruhi anak di lingkungan sekolah; dan (5) Pengelolaan yang baik, yaitu menjamin transparansi, akuntabilitas, partisipasi, keterbukaan informasi, dan supremasi hukum di satuan pendidikan. MANAJEMEN KELAS RAMAH ANAK 11 Konsep konsep diatas dapat diimplementasikan dalam manjemen kelas antara lain meliputi: sikap terhdap siswa, metode pembelajaran, pemanfaatan media pembelajaran, penataan kelas, sarana-prasarana, dan lingkungan sekolah. 1. Sikap terhadap Siswa Semua siswa harus diperlakuan secara adil. Siswa laki-laki dan perempuan, cerdas-lemah, kaya-miskin, normal-cacat, anak pejabat-anak buruh diperlakukan sama. Penerapan norma agama, sosial dan budaya setempat. Serta Kasih sayang kepada murid, memberikan perhatian bagi mereka yang lemah dalam proses belajar karena memberikan hukuman fisik maupun nonfisik bisa menjadikan anak trauma. Saling menghormati hak-hak anak, baik antar murid, antar tenaga, kependidikan serta antara tenaga kependidikan dan murid. 2. Metode Pembelajaran Memnafaatkan metode pembelajaran yang variatif dan inivatif sehingga terjadi proses belajar efektif, siswa merasa senang mengikuti pelajaran, tidak ada rasa takut, cemas dan was-was, siswa menjadi aktif dan kreatif serta tidak merasa rendah diri karena bersaing dengan teman siswa lain. Misalnya: belajar tidak harus di dalam kelas, guru sebagai fasilitator proses belajar menggunakan alat bantu untuk meningkatkan ketertarikan dan kesenangan dalam pengembangan kompetensi, termasuk lingkungan sekolah sebagai sumber belajar (pasar, kebun, sawah, sungai, laut, dll). Proses learning by doing sangat tepat digunakan, dengan melibatkan siswa dalam berbagai aktifitas yang mengembangkan kompetensi dengan menekankan proses belajar melalui berbuat sesuatu (learning by doing, demonstrasi, dan praktik, dll). 3. Pemanfaatan Media Pembelajaran Proses belajar mengajar didukung oleh media ajar seperti buku pelajaran dan alat bantu ajar/peraga sehingga membantu daya serap murid. Guru sebagai fasilitator menerapkan proses belajar mengajar yang kooperatif, interaktif, baik belajar secara individu maupun kelompok. Terjadi proses belajar yang partisipatif. Murid lebih aktif dalam proses belajar. Guru sebagai fasilitator proses belajar mendorong dan memfasilitasi murid dalam menemukan cara/jawaban sendiri dalam suatu persoalan. 4. Penataan Kelas 12 Murid dilibatkan dalam penataan bangku, dekorasi dan ilustrasi yang menggambarkan ilmu pengetahuan, dll. Penataan bangku secara klasikal (berbaris ke belakang) mungkin akan membatasi kreatifitas murid dalam interaksi sosial dan kerja dikursi kelompok, Murid dilibatkan dalam menentukan warna dinding atau dekorasi dinding kelas sehingga murid menjadi betah di dalam kelas, Murid dilibatkan dalam memajang karya murid, hasil ulangan/ test, bahan ajar dan buku sehingga artistik dan menarik serta menyediakan space untuk baca (pojok baca). Bangku dan kursi sebaiknya ukurannya disesuaikan dengan ukuran postur anak Indonesia serta mudah untuk digeser guna menciptakan kelas yang dinamis. 5. Sarana-prasarana Sarana-prasarana utama yang dibutuhkan adalah yang berkaitan dengan kebutuhan pembelajaran anak. Sarana prasarana perlu ditata secara menarik, memikat, mengesankan, dan aman sehingga sekolah menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan. Sekolah juga menyediakan pusat informasi untuk menjamin hak partisipasi anak, misalnya kotak saran, papan pengumuman, majalah atau koran anak untuk mengungkapkan pandangan dan perasaannya terhadap situasi yang memiliki dampak pada anak. 6. Lingkungan Sekolah Lingkungan sekolah seyogyanya menjadi tempat bagi anak untuk belajar tentang kehidupan. Lingkungan sekolah harus memungkinkan anak untuk bermain karena bermain bagi anak merupakan bagian dari hidupnya; anah memiliki hak untuk bermain (Right to play). Anak dapat dilibatkan dalam mengungkapkan gagasannya dalam menciptakan lingkungan sekolah (penentuan warna dinding kelas, hiasan, kotak saran, majalah dinding, taman kebun sekolah), Tersedia fasilitas air bersih, higienis dan sanitasi, fasilitas kebersihan dan fasilitas kesehatan, Fasilitas sanitasi seperti toilet, tempat cuci, disesuaikan dengan postur dan usia anak, Di sekolah diterapkan kebijakan/peraturan yang mendukung kebersihan dan kesehatan. Kebijakan/peraturan ini disepakati, dikontrol dan dilaksanakan oleh semua murid (dari-olehdan untuk murid) 7. Indikator Sekolah ramah Anak 13 Indikator Sekolah Ramah Anak (SRA) dikembangkan untuk mengukur capaian SRA, yang meliputi 6 (enam) komponen penting, yaitu: (1) kebijakan SRA, (2) pelaksanaan kurikulum, (3) pendidik dan tenaga kependidikan terlatih hak-hak anak, (4) sarana dan prasarana sra, (5) partisipasi anak, dan (6) partisipasi orang tua, lembaga masyarakat, dunia usaha, pemangku kepentingan lainnya, dan alumni. Secara rinci indicator ini dapat dilihat di Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Sekolah Ramah Anak. 8. Tahapan Penerapan Sekolah Ramah Anak Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia memberikan rambu-rambu untuk penerapan SRA meliputi 3 tahapan persiapan, perencanaan, dam pelaksanaan. Berikut adalah rincian dari masing tahapan. Tahap Persiapan: (a) Melakukan sosialisasi pemenuhan hak dan perlindungan anak, bekerjasama dengan Gugus Tugas KLA di provinsi/kabupaten/kota; (b) Melakukan konsultasi anak untuk memetakan pemenuhan hak dan perlindungan anak serta menyusun rekomendasi dari hasil pemetaan oleh anak; (c) Kepala Sekolah/Madrasah, Komite Sekolah/Madrasah, Orang tua/Wali, dan peserta didik berkomitmen untuk mengembangkan SRA, dalam bentuk Kebijakan SRA di masing-masing satuan pendidikan; (d) Kepala Sekolah bersama Komite Sekolah/Madrasah, dan peserta didik untuk membentuk Tim Pelaksana SRA (bagi satuan pendidikan yang telah memiliki Tim antara lain Tim Pelaksana UKS dan/atau Adiwiyata untuk menyesuaikan). Tim ini bertugas untuk mengoordinasikan berbagai upaya pengembangan SRA, sosialisasi pentingnya SRA, menyusun dan melaksanakan rencana SRA, memantau proses pengembangan SRA, dan evaluasi SRA; dan (e) Tim Pelaksana SRA mengidentifikasi potensi, kapasitas, kerentanan, dan ancaman di satuan pendidikan untuk mengembangkan SRA. Tahap Perencanaan: Tim Pelaksana SRA mengintegrasikan kebijakan, program, dan kegiatan yang sudah ada, seperti Usaha Kesehatan Sekolah, Pangan Jajanan Anak Sekolah, Sekolah Adiwiyata, Sekolah Inklusi, Sekolah/Madrasah Aman Bencana, Sekolah Hebat, Kantin Kejujuran, Madrasah Insan Cendekia, Pesantren Ramah Anak, Bebas Napza, dan 14 lainnya sebagai komponen penting dalam perencanaan pengembangan SRA ke dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) untuk mewujudkan SRA. Tahap Pelaksanaan: Tim Pelaksana SRA melaksanakan RKAS dengan mengoptimalkan semua sumber daya sekolah, dan bermitra dengan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dunia usaha, dan pemangku kepentingan lainnya. KESIMPULAN Konvensi Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan perjanjian internasional yang memberikan pengakuan serta menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak anak. Dalam Konvensi ini diatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak-anak. KHA memberikan pendekatan yang ideal untuk mengembangkan sekolah ramah anak, yaitu yang dalam manajemennya memenuhi hak hak anak. Sekolah Ramah Anak, menurut UNICEF, adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus. Berbagai praktik penerapa SRA anatara lain: Sekolah Sehat, Sekolah Adiwiyata, Sekolah Hijau, Lingkungan Inklusi dan Ramah Pembelajaran, Sekolah Layak Anak yang dikembangkan Plan Internasional, Sekolah Harmoni yang dikembangkan oleh World Vision Indonesia, Sekolah Inklusi, Sekolah Siaga Bencana oleh anggota Konsorsium Pendidikan bencana, Pendidikan Anak Merdeka yang dikembangkan Perkumpulan KerLiP. Pada prinsipnya model tersebut merupakan derivasi SRA yang dikembnagkan berdasarkan KHA. REFERENCES Joni, Muhammad & Zulchaina Z. Tanamas. (1999) , Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. Bandung: Citra Aditya Bakti. Kanyago, Nancy Realising rights for children. (2007) http://www.africanchildforum.org 15 Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2015) Peringatan 25 Tahun Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Diunduh Dari Http://202.134.4.178/ Serempak/Peringatan-25-Tahun-Ratifikasi-Konvensi-Hak-Anak/ Konvensi Hak Anak. 1898. Retrieved from http://www.pbhi.or.id/documents/regulasi/ KovensiHakAnak.pdf Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Sekolah Ramah Anak Solihin, Akhmad. (2015) Mengenal dan Mengembangkan Sekolah Ramah Anak. dinunduh dari http://visiuniversal.blogspot.com/2015/09/mengenal-dan-mengembangkan- sekolah. UNICEF EAPRO & UNESCO. (2004). “Child Friendly Schools in East Asia and the Pacific: How friendly can they be?" Joint Bangkok publication. UNICEF. (1998). Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF. UNICEF. (2006) Manual for Child Friendly School. Retrieved from http://www.unicef. org/publications/files/Child_Friendly_Schools_Manual_EN UNICEF. (2006). "Assessing Child Friendly Schools: A Guide for Programme Managers in East Asia and the Pacific. UNICEF EAPRO publication UNICEF. (2012) Child friendly Schools. Retrieved from http://www.unicef.org/lifeskills/ index_7260.html 16