Penyelesaian-Kasus-Penculikan

advertisement
Menempatkan Prinsip Kepentingan Terbaik
bagi Anak dalam Penyelesaian Kasus Penculikan Raisah
Oleh: Adzkar Ahsinin
Pendahuluan
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for the child) merupakan salah
satu prinsip utama perlindungan anak sesuai dengan semangat Konvensi Hak Anak (KHA)
semestinya menjadi acuan dan pijakan bagi setiap pihak dalam menangani dan menyelesaikan
kasus penculikan Raisah. Pasal 3 KHA secara eksplisit menyatakan bahwa dalam semua
tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara
atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan legislatif, kepentingankepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama.
Penerapan ketentuan ini sangat relevan karena kasus penculikan Raisah dapat
dikonstruksikan sebagai kasus anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with
the law) karena baik korban penculikan, Raisah (5 tahun), maupun beberapa pelaku
penculikan, yaitu: BH (16 tahun), Jan (16 tahun), dan FA (17 tahun) dikualifikasikan sebagai
anak. Anak didefinisikan KHA sebagai setiap manusia di bawah 18 tahun (Pasal 1 KHA).
Dengan demikian pendekatan khusus (special treatment)
seharusnya diterapkan terhadap
kasus tersebut karena anak-anak yang terlibat dalam kasus ini dapat dikategorikan sebagai
anak yang membutuhkan perlindungan khusus (children in need of special protection). Pasal 3
ayat (2) KHA menyatakan bahwa Negara berusaha menjamin perlindungan dan perawatan
anak-anak seperti yang diperlukan untuk kesejahteraannya. Pasal ini memperkuat landasan
filosofis yang tercantum dalam Preambul KHA yang menyatakan
karena alasan
ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, anak membutuhkan perlindungan dan pengasuhan
khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat.
Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Mengikuti perkembangan kasus penculikan terhadap Raisah terdapat 2 (dua)
permasalahan yang berpotensi melanggar hak asasi anak. Permasalahan pertama terkait
dengan pemberitaan media massa terhadap korban penculikan, yakni Raisah.
Media massa
dalam meliput korban terlihat memasuki ruang privasi korban maupun keluarga korban.
Permasalahan kedua bahwa terkait dengan
penanganan terhadap pelaku penculikan
tersebut. Kedua permasalahan ini apabila dikerangkakan dalam perspektif perlindungan anak
maka terdapat prinsip dan norma yang melindungi hak-hak anak yang berkonflik dengan
hukum.
Terma anak yang berkonflik dengan hukum dapat merujuk pada Standard Minimum
Rules for the Administration of Juvenile Justice1 yang menyatakan a child or young person who
is alleged to have committed or who has been found to have committed an offence.
Mendasarkan pada terma ini maka manakala seorang anak melakukan tindak pidana maka
Negara melalui institusi penegak hukum akan melakukan intervensinya. Dengan kata lain anak
akan berhadapan dengan Negara yang melaksanakan kewenangannya berdasar ketentuan
hukum pidana. Seiring dengan proses hukum terhadap pelaku pada tahap-tahap proses hukum
tersebut korban juga akan dilibatkan di dalamnya. Keterlibatan korban dalam proses hukum
1
General Assembly resolution 40/33 of 29 November 1985
tersebut kelak akan digunakan untuk membuktikan tindak pidana2 yang dilakukan oleh pelaku
yang meliputi proses pra pengadilan dan proses pengadilan. Dalam hukum acara pidana
keterlibatan korban dalam proses hukum dikonstruksikan sebagai kesaksian.3
pengadi Dengan demikian untuk menangani kasus penculikan Raisah harus tetap berada
dalam koridor prinsip-prinsip dan norma-norma perlindungan anak. Adapun kerangka
hukum perlindungan anak tersebut yang semestinya dijadikan acuan, meliputi:
1. Konvensi Hak Anak (KHA);
2. Peraturan-Peraturan Minimal Standar mengenai Administrasi Peradilan Anak
(Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice);
3. Pedoman bagi Pencegahan Tindak pidana Remaja (Guidelines for the Prevention of
Juvenile Delinquency);
4. Peraturan-Peraturan bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (Rules for
the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty);
5. Deklarasi Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan
Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of
Power);
6. UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
7. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
8. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Ketentuan hukum di atas lebih dominan mengatur anak yang berkonflik dengan hukum yang
melakukan tindak pidana dibanding mengatur anak sebagai korban tindak pidana. Hal ini tidak
terlepas dari sifat penghukuman yang melekat pada hukum pidana sehingga berpotensi
merampas kebebasan individu. Atas dasar rasionalitas ini
instrumen hukum HAM
internasional kemudian lebih ditujukan untuk melindungi kebebasan warga Negara yang
melakukan pelanggaran hukum pidana.
Anak sebagai Korban Tindak Pidana
Instrumen Hukum HAM Internasional yang secara specific (sui generis) mengatur
korban tindak pidana adalah Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Tindak
Pidana dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice for Victims
of Crime and Abuse of Power). Korban didefinisikan dalam Aneks Deklarasi sebagai persons
who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury,
emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights,
through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within Member
States, including those laws proscribing criminal abuse of power. 4 Definisi korban
berdasarkan Aneks Deklarasi secara jelas menyatakan bahwa korban suatu tindak pidana dapat
kehilangan hak-hak asasinya yang bersifat fundamental. Oleh karena proses hukum yang akan
dijalani oleh korban harus dapat responsif terhadap kebutuhan korban yang mencakup:
Lihat huruf a konsideran UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban : bahwa salah satu alat bukti yang sah
dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak
pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana;
3 Lihat Pasal 1 angka 1 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mendefinisikan saksi sebagai orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
4
Bandingkan dengan definisi Korban dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
2
1. Memberikan informasi kepada korban mengenai aturan,
cakupan, waktu, dan
kemajuan proses dan perjalanan kasus yang melibatkan dirinya;
2. Menyediakan kesempatan kepada korban menyatakan pandangan dan kepentingannya
untuk diperdengarkan dan dipertimbangkan secara layak dalam setiap proses;
3. Memberikan bantuan yang layak kepada korban melalui bantuan hukum pada setiap
proses hukum;
4. Mengambil langkah-langkah meminimalkan kesulitan-kesulitan korban, melindungi
privasi korban ketika membutuhkan dan memastikan keamanan korban, termasuk
keluarganya dari intimidasi dan pembalasan;
5. Mencegah keterlambatan yang tidak perlu dari proses dan perjalanan kasus dan
melaksanakan keputusan pengadilan untuk memberikan pemulihan kepada korban.5
Sebangun dengan perlindungan hukum tersebut, hukum internasional memberikan
perlindungan hukum secara khusus terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana. KHA
merupakan instrument Hukum HAM Internasional yang akan memberikan pedoman bagi
setiap langkah-langkah yang terkait dengan penanganan anak korban tindak pidana. Anak
korban tindak pidana dilekati hak untuk mendapatkan perlindungan yang khusus sesuai dengan
hak dan kebutuhan mendasarnya.
Disamping itu prinsip-prinsip berikut juga harus
diperhatikan untuk menangani anak korban tindak pidana:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak (Best Interest of the Child)
Hak tidak mendapatkan diskriminasi (Right to Non-Discrimination)
Prinsip menghargai pendapat anak (Respect for the Views of the Child)
Hak anak atas informasi (Right to Information)
Hak anak atas kerahasiaan (Right to Confidentiality)
Hak anak atas perlindungan (Right to be Protected)
Namun dalam kasus penculikan Raisah, Raisah sebagai korban penculikan justru tidak
menerima perlakuan yang semestinya dari dampak negatif pemberitaan media massa. Media
massa sebagai salah satu institusi penting yang berfungsi sebagai media informasi semestinya
dalam meliput kasus tersebut mengacu pada prinsip dan norma perlindungan anak. Terlihat
media massa tidak mengindahkan prinsip dan norma perlindungan anak karena memasuki
wilayah privasi Raisah dan keluarganya. Peliputan tersebut memang meningkatkan perhatian
publik terhadap kasus tersebut, akan tetapi cara-cara peliputan yang investigatif dan
berdampak pada perkembangan psikisnya sehingga saat ini Raisah lebih banyak diam.
Semestinya media massa tidak menjadikan Raisah sebagai obyek pemberitaan secara
berlebihan.
Pemberitaan tersebut pada prinsipnya telah melanggar prinsip kepentingan terbaik bagi
anak, hak atas kerahasiaan, dan hak atas perlindungan. Pasal 16 ayat (1) KHA dengan jelas
menyatakan bahwa tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran dari campur tangan
yang sewenang-wenang atau tidak sah terhadap kerahasiaan pribadinya, keluarganya,
rumahnya, atau hubungan surat-menyuratnya, ataupun dari serangan yang tidak sah
terhadap kehormatan dan nama baiknya. Ketentuan ini dipertegas Pasal 64 ayat (3) huruf b
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa perlindungan
khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
dilaksanakan melalui upaya
perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari
labelisasi. Dengan merujuk pada ketentuan-ketentuan ini maka pemberitaan dan peliputan
terhadap Raisah secara terus menerus oleh media massa telah nyata-nyata melanggar prinsip5
Lihat Paragraf 6 Aneks Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Tindak Pidana dan Penyalahgunaan Kekuasaan
prinsip dan norma-norma perlindungan anak. Di samping itu, pemberitaan dan peliputan
terhadap Raisah tanpa persetujuan dan kesepakatannya merupakan pelanggaran hak anak
untuk berpartisipasi sebagaimana ditetapkan Pasal 12 ayat (1) KHA yang mengatur bahwa hak
untuk mengutarakan pendapat-pendapat
dengan bebas dalam semua masalah yang
mempengaruh kehidupannya.
Dalam konteks perlindungan korban dari pemberitaan media massa, UU Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum merespon situasi korban ketika
berhadapan dengan media massa. Menurut undang-undang ini perlindungan terhadap korban
diawali ketika proses hukum terhadap suatu kasus berjalan. Pasal 2 menyatakan bahwa
undang-undang ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap
proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Hal ini dipertegas kembali pada 4 yang
menetapkan perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi
dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.
Dengan demikian pemberitaan media massa yang ada sebelum proses hukum mulai tidak
tercakup dalam ketentuan undang-undang tersebut. Di samping itu hak korban dari
pemberitaan media massa tidak tercakup sebagai hak yang melekat pada korban. Hak-hak saksi
dan korban menurut Pasal 5 meliputi :
1. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta
bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
2. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan;
3. memberikan keterangan tanpa tekanan;.net
4. mendapat penerjemah;
5. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
7. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
8. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
9. mendapat identitas baru;
10. mendapatkan tempat kediaman baru;
11. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
12. mendapat nasihat hukum; dan/atau
13. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir
Kelemahan mendasar lain dari undang-undang ini adalah tidak mengatur secara khusus
bagaimana mekanisme dan tata cara perlindungan terhadap saksi dan korban bagi anak dan
perempuan yang seharusnya berbeda. Kemudian hak-hak tersebut pun harus diberikan oleh
LPSK secara kasuistis menurut penilaiannya. Dengan demikian jika
anggota LPSK tidak
memiliki perspektif hak anak dan hak perempuan, maka bisa jadi hak-hak korban yang
seharusnya melekat pada dirinya tidak diperoleh. Karena hal ini bergantung sepenuhnya pada
anggota LPSK, padahal sebenarnya HAM melekat pada setiap manusia karena ia manusia
bukan diberikan dan bergantung pada suatu institusi. Titik kritis selanjutnya bantuan medis
dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial yang seharusnya diterapkan pada semua korban hanya
dibatasi bagi korban pelanggaran HAM berat saja.
Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana
Terkait dengan penanganan hukum terhadap para pelaku, maka opini yang dilontarkan
oleh berbagai pihak agar menggunakan ketentuan-ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak sehingga memberatkan pelaku6 memang tepat diberlakukan jika
pelaku penculikan Raisah adalah pelaku dewasa. Namun ketentuan pemberatan tersebut tidak
pada tempatnya jika diberlakukan bagi pelaku penculik anak-anak, yaitu BH (16 tahun), Jan
(16 tahun), dan FA (17tahun). UU Perlindungan Anak secara filosofis justru untuk melindungi
anak7 sehingga ketentuan-ketentuan pidana yang diatur di dalamnya tidak seharusnya
diterapkan pada anak-anak sebagai subyek hukum yang diatur undang-undang tersebut. Justru
bagi pelaku anak jika merujuk pada ketentuan Pasal 37 huruf b maka penanganan anak melalui
proses hukum semestinya sebagai jalan terakhir. Pasal tersebut menyatakan bahwa tidak
seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan
sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai
dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan
untuk jangka waktu terpendek yang tepat.
Dengan demikian keadilan restoratif (restorative justice) sudah semestinya dijadikan
sebagai metode penyelesaian hukum kepada para pelaku penculik yang terbilang masih anakanak. Hal ini mendapatkan justifikasi karena keluarga Raisah tidak akan menuntut pelaku
atas penculikan tersebut dan telah memaafkan para penculik melalui pertemuan yang
difasilitasi KPAI. Fokus utama pendekatan keadilan restoratif adalah memperbaiki kerusakankerusakan sosial yang disebabkan oleh pelaku, mengembangkan pemulihan bagi masyarakat
dan korban, serta mengembalikan pelaku pada masyarakat. Untuk dapat mencapai keadilan
restoratif yang sesungguhnya masyarakat, korban, dan pelaku harus terlibat aktif dalam proses
tersebut.8 Melalui model keadilan restoratif keluarga pelaku dapat memberikan kompensasi
atau ganti rugi dengan tetap memperhatikan hak asasi anak yang menjadi korban. Penyelesaian
tindak pidana dengan pelaku anak semestinya dapat diselesaikan melalui mekanisme berbasis
masyarakat karena hal ini didasari pertimbangan anak sesunggah tidak dapat melakukan
kejahatan secara mandiri
sehingga tidak dapat secara penuh bertanggung jawab atas
tindakannya. Berdasarkan perspektif kriminologi anak berpotensi melakukan tindak kejahatan
karena terdapatnya pengaruh lingkungan.
Sehubungan dengan hal di atas konsep pertanggung jawaban pidana (criminal
responsibility) anak patut juga dikemukan yakni sampai seberapa jauh anak dapat diminta
pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Apakah limitasi
pertanggungjawaban pidana terkait dengan kondisi subyektif menyangkut unsur mental anak
(mental element/mens rea) dapat menghapus pertanggungjawaban pidana anak. Mengingat
anak belum memiliki pemahaman mengenai konsekuensi logis dari tindak pidana yang
dilakukannya. Dalam kasus penculikan Raisah ketiga anak pelaku penculikan di bawah
pengaruh orang dewasa untuk bersama-sama melakukan penculikan. Dengan kata lain pelaku
dewasa memanfaatkan kekuasaannya dalam menjalin relasinya dengan ketiga anak tersebut
dan melibatkan mereka dalam suatu tindak pidana. Melibatkan anak dalam konstruksi hukum
pidana dikualifikasikan sebagai penyertaan. Pasal 5 RUU KUHP dengan jelas menyatakan
bahwa salah cara penyertaan dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman, atau penyesatan, atau
Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono meminta agar para pelaku penculikan terhadap Raisah dihukum
seberat-beratnya. Hal senada juga dikatakan Sekjen Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait. Menurutnya, pelaku penculikan
terhadap anak bisa dikenakan pasal berlapis. Tuntutan subsider bisa menggunakan KUHP sedang primerrnya menggunakan UU
Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002. Jika menggunakan KUHP saja, hukuman kepada pelaku paling hanya 8 tahun saja. Tetapi
jika menggunakan UU Perlindungan Anak, pelaku bisa dikurung antara 15 tahun hingga 20 tahun.
7
Konsideran menimbang UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan : (a) bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak
asasi manusia; (e) bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan
perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya;
8
Stephanie Emmons, Restorative Justice, The American Prosecutors Research Institute, tanpa tahun
6
dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, menganjurkan orang lain supaya
melakukan tindak pidana. Dengan demikian ketiga pelaku penculikan Raisah secara subyektif
ketika melakukan tindak pidana tersebut di bawah pengaruh orang lain agar melakukan suatu
tindak pidana.
Kondisi yang melingkupi ketiga anak tersebut semestinya menjadi
pertimbangan untuk menggunakan pendekatan keadilan restoratif.
Di samping konsep di atas, pendekatan diversi juga dapat dilakukan dalam rangka
menangani kasus tersebut berdasarkan kepentngan terbaik bagi anak. Diversi adalah
pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari
proses formal. Permaafan dari keluarga Raisah terhadap ketiga pelaku penculik tersebut dapat
dijadikan sebagai pintu masuk untuk mengesampingkan penanganan kasus penculikan melalui
jalur hukum. Pada wilayah ini kewenangan diskresional aparat kepolisian menjadi signifikan
karena keberlanjutan proses hukum sangat bergantung pada penilaian institusi ini. Tindakan ini
sejalan dengan ketentuan Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice
Paragraf 6 yang menyatakan bahwa mengingat kebutuhan-kebutuhan khusus yang beragam
dari anak-anak maupun keragaman langkah-langkah yang tersedia, ruang lingkup yang
memadai bagi kebebasan untuk membuat keputusan akan diizinkan pada seluruh tahap
proses peradilan dan pada tahap-tahap berbeda dari administrasi peradilan bagi anak,
termasuk pengusutan, penuntutan, pengambilan keputusan dan pengaturan-pengaturan
lanjutannya. Paragaf selanjutnya
11.1 menegaskan kembali bahwa pertimbangan akan
diberikan, bilamana layak, untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda
tanpa menggunakan pengadilan formal oleh pihak berwenang yang berkompeten. Ketentuan
lebih lanjut diatur dalam Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty Butir 2
yang menyatakan menghilangkan kebebasan seorang anak haruslah merupakan suatu
keputusan yang bersifat pilihan terakhir dan untuk masa yang minimum serta dibatasi pada
kasus-kasus luar biasa.
Alasan mendasar mengapa penting untuk mengesampingkan kasus tersebut adalah agar
anak mencegah kemungkinan terjadinya penyiksaan dan hukuman yang tidak manusiawi dan
merendahkan martabatnya ketika anak menjalani proses hukum. Mengingat faktor-faktor
berikut, yakni : (i) perspektif tentang perlindungan anak belum secara merata dimiliki aparat
penegak hukum; (ii) fasilitas-fasilitas yang dimiliki aparat penegak hukum masih banyak yang
belum secara khusus disediakan untuk anak; dan (iii) terbatasnya lembaga pemasyarakatan
khusus bagi anak.
Jikalau memang pada akhirnya anak-anak tersebut masuk ke jalur proses hukum
formal secara legal memang sudah semestinya anak-anak tersebut mendapatkan perlindungan
khusus seperti tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) KHA. Pasal ini menentukan bahwa seorang
anak yang secara sementara atau tetap dicabut dari lingkungan keluarganya, atau yang
demi kepentingannya sendiri yang terbaik tidak diperkenankan tetap berada dalam
lingkungan tersebut, berhak atas perlindungan khusus dan bantuan yang disediakan oleh
Negara. Dengan demikian kepada 3 (tiga) pelaku penculikan anak ketentuan Pasal 40 KHA
diberlakukan kepada mereka. Pasal 40 ayat (1) menegaskan bahwa negara mengakui hak
setiap anak yang dinyatakan sebagai tersangka, atau diakui sebagai telah melanggar hukum
pidana
harus diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan peningkatan rasa
penghormatan dan harga diri anak dan memperhatikan umur anak keinginan untuk
mengintegrasikan kembali anak melalui peran konstruktif masyarakat. UU Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengelaborasi lebih jauh perlindungan khusus bagi
anak yang berkonflik dengan hukum. Pasal 64 ayat (2) menetapkan bahwa perlindungan
khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui :
1. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
2. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
3. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
4. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
5. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang
berhadapan dengan hukum;
6. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau
keluarga; dan
7. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari
labelisasi.
Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas diberikan rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut:
1. Komisi Penyiaran Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Organisasi
Profesi Wartawan lainnya segera membuat pedoman pemberitaan dan peliputan
anak yang berkonflik dengan hukum sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma
perlindungan anak. Kewajiban ini termaktub dalam KHA Pasal 17 ayat (4) yang
menyatakan bahwa Negara harus mendorong perkembangan pedoman-pedoman yang
tepat untuk perlindungan anak dari informasi dan bahan yang merusak
kesejahteraannya.
2. Pemerintah harus segara memberikan perlindungan secara khusus baik kepada korban
maupun pelaku penculikan yang masih anak-anak.
Kewajiban Negara untuk
memberikan perlindungan secara khusus kepada korban diatur dalam Pasal 39 KHA
yang menyatakan bahwa Negara harus mengambil semua langkah yang tepat untuk
meningkatkan penyembuahan fisik dan psikologis dan integrasi kembali sosial
seorang anak yang menjadi korban eksploitasi atau penyalahgunaan yang dilakukan
pelaku. Penyembuhan dan integrasi kembali tersebut harus berlangsung dalam suatu
lingkungan yang meningkatkan kesehatan, harga diri dan martabat si anak.
Kewajiban ini dipertegas kembali dalam Pasal 64 ayat (3) juruf a yang menyatkan
bahwa perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
dilaksanakan melalui upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar
lembaga. Sementara penanganan kepada ketiga pelaku tersebut semestinya tidak
diarahkan menggunakan proses hukum formal seperti telah diatur dalam KHA Pasal 37
huruf b yang menyatakan
bahwa penangkapan, penahanan atau pemenjaraan
seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya
sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat.
Perlindungan serupa juga diberikan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak seperti tercantum dalam Pasal 16 ayat (3) yang menyatakan bahwa penangkapan,
penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan
hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
3. Aparat kepolisian tidak menggunakan ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak bagi pelaku penculikan yang masih anak-anak karena tidak
sesuai dengan falsafah yang mendasari pembentukan undang-undang tersebut yaitu
untuk melindungi anak-anak dari relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara dirinya
dengan Negara dan orang-orang dewasa. Hal ini tercermin dalam konsideran
menimbang huruf a yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan
terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.
4. Aparat kepolisian melalui diskresinya seyogyanya mengesampingkan proses hukum
kepada para pelaku penculikan yang masih anak-anak mengingat orang tua korban telah
menyatakan tidak akan mementut para pelaku dan akan menyerahkan penanganannya
kepada kepolisian (liputan6.com, 24/08/2007, 19:18). Pernyataan orang tua korban
semestinya mendorong kepolisian menyelesaikan penanganan kepada pelaku penculikan
yang masih anak-anak melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice)
dengan cara menyerahkan penyelesaiannya melalui mekanisme yang bersifat konstruktif
dengan keterlibatan pihak kepolisian, sekolah, dan orang tua korban dan pelaku.
Download