kualitas hubungan interpersonal petugas tb dengan penderita tb

advertisement
i
KUALITAS HUBUNGAN INTERPERSONAL PETUGAS TB
DENGAN PENDERITA TB DALAM MENJAGA KELANGSUNGAN
PENGOBATAN PENYAKIT TB PARU DI
KABUPATEN MOROWALI
OLEH
WATIEF A. RACHMAN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii
1. Judul Penelitrian
: Kualitas Hubungan Interpersonal PetugasTB Dengan Penderita TB
Dalam Menjaga Kelangsungan Pengobatan Penyakit TB Paru Di
Kabupaten Morowali
2. Ketua Penelitian
a. Nama Lengkap
: Drs. H. Watief A. Rachman, MS
b. Jenis Kelamin
: Laki-Laki
c. NIP
: 19520529 198601 1001
d. Pangat/ Golongan : Pembina Tinggat 1 /IV /B
e. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
f. Fakultas/Jurusan : Kesehatan Masyarakat/ Promosi Kesehatana dan llmu Perilaku
g. Bidang Keahlian
: Komunikasi Kesehatan
h. Unit Penelitian
: FKM Universitas Hasanuddin
3. Alamat Ketua Peneliti
Alamat
Telpon/ Fax
Alamat Rumah
Telpon/Fax/ Email
Lokasi Penelitian
Lama Penelitian
: Jin. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea Makassar 90245
: 0411 9354228
: Jl. Dg. Tata Komp Hartako Indah Blok II E/1
: 085255862211
: Marowali
: 3 Bulan
Makassar, 2 Oktober 2009
Mengetahui
Sekertaris Jurusan PKIP FKM Unhas
Ketua Penelitian
Muh. Arsyad Rahman, SKM, M.Kes
Nip. 19700418 199412 1 002
Drs. H. Watief A. Rachman, MS
Nip.19520529 198601 1001
Dekan FKM Unhas
Prof. Dr. Veni Hadju, Ph, D
Nip. 19620318 198803 1 004
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis penjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas Berkat dan
Rahmatnya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
Gagasan yang mendasari tajuk permasalahan ini timbul dari hasil pengamatan
penulis terhadap penderita Tuberkulosis yang sudah dan pemah berobat di
PuskesmasPuskesmas di Kabupaten Morowali. Pengobatan tersebut memakai sistim
DOTS dengan lama pengobatan minimal enam bulan terus-menerus. Mereka yang
menjalani terapi ini ada yang menjalaninya sampai selesai. Ada pula yang berhenti
tanpa menyelesaikan hingga enam bulan.
Penulis bermaksud untuk mengungkap permasalah yang penderita alami dalam
hal hubungan interpersonal yang di bangun dengan petugas TB Puskcsmas. selama
menjalani pengobatan. Penulisan juga berkeinginan menyumbangkan hasil penelitian ini
bagi penanggulangan TB.
Berbagai kendala yang dihadapi penulis dalam melakukan penelitian ini, namun
berkat dorongan dan bantuan berbagai pihak, sihingga penelitian ini dapat di selesaikan
dan akhimya penulis harus mengakui bahwa penelitian ini masih memiliki banyak
kekurangan karenanya saran-saran yang membangun sangat di butuhkan demi
kesempumaannya dan memberi manfaat
Terima kasih
Makassar 2 Oktober 2009
Wassalam
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Lata r Belakang Masalah
Beberapa tahun yang lalu, WHO mencanangkan kedaruratan global
penyakit TB, karena sebagian besar Negara di dunia, penyakit Tuberculosis
tidak terkendali. Ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil
disembuhkan, terutama penderita menular (BTA positif). Sepertiga penduduk
dunia diduga telah terinfeksi TB.
Di Negara-negara berkembang kematian TB merupakan seperempat
bagian dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Sebagian besar
penderita TB berada di Negara berkembang, tiga per empat bagian penderita B
adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun).
Sebanyak 16 negara (termasuk Indonesia) dinilai bertanggung jawab
atas epidemi Tuberculosis global yang terjadi dewasa ini, yang diperkirakan
dapat menyebabkan jemlah kematian yang lebih besar daipada yang pfernah
terjadi sebelumnya dalam sejarah. Kegagalan penanggulangan TB di ke-16
negara,
rtifenurut
WHO,
telah
membuat
sia-sia
berbagai
kemdjuan
penanggulanagan TB yang dicapai oleh hampir 100 negara lainnya.
Langkah darurat harus dilakukan. Jika tidak, kata WHO, akan ada satu
miliar orang lagi yang terinfeksi dan 70 juta orang meninggalkarena TB pada
tahun 2020. Sebuah kedaruratan global hanya bisa ditanggulangi dengan
upaya global dan kerja sama dari masing-masing Negara.
2
Di Indonesia, menurut data Survei Kesehatan Rumsh Tangga (SKRT)
tahun 1995, TB merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah
penyakit Kardiovaskuler dan penyakit Saluran Pernapasan, dan merupakan
nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi. Menurut laporan WHO
(1999), Indonesia merupakan penyumbang penderita TB terbesar tiga dunia
setelah Inndia dan Cina.
Sejak tahun 1995, sebagai bagian dari pembangunan kesehatan,
program pemberantasan penyakit Tuberculosis Paru, telah melaksanakan
penanggulangan TB dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse), yang kini disebut Program Penanggulangan Tubeculosis (TB).
Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi. Bank Dunia menyatakan DOTS merupakan strategi
kesehatan yang paling cost-effective.
Berkaitan dengan paradigma sehat dan visi Indonesia Senat 2010, maka
pembangunan kesehatan tidak dapat dilakukan sendiri oleh sektor kesehatan,
melainkan harus dilakukan secara kemitraan oleh semua sektor dan segenap
potensi masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi dan kalangan swasta. Salah satu jaminan
agar dapat disusun suatu sistem yang baik adalah perlu adanya perubahan
mind-set dan masukan bukan hanya lintas institusi terkait (government),
tetapijuga dari institusi-institusi kemasyarakatan dan masyarakat itu sendiri
(S.Supriyono).
3
Sehubungan dengan itu perlu di galang suatu komitmen atau
kesepakatan yang tinggi, kerjasama yang baik dan saling koordinasi serta
peran aktif masing-masing sebagai suatu kemitraan. Hubungan kemitraan
tersebut akan lebih efektif dan efisien apabila juga didasari dengan kesetaraan,
keterbukaan serta saling menguntungkan.
Penanggulangan TB paru dengan strategi DOTS ini dikabupaten
Morowali telah diterapkan tidak lama setelah diterapkannya program itu secara
nasional. Walaupun strategi ini telah digunakan bertahun-tahun, tetapi selama
ini belum memberikan hasil yang optimal. Informasi dan pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa banyak diantara penderita TB yang sudah
pernah berobat, tetapi tidak samapi tuntas sesuai dengan masa pengobatan
yang direkomendasikan Departemen Kesehatan Rl.
Salah satu kendala yang dihadapi selama ini adalah masih terbatasnya
dukungan politis dan dana dari pemerintah daerah. Masyarakat- pun belum
menyadari sepenuhnya betapa berharganya keterlibatan mereka sdalam
program ini. Sebagian besar masyarakat selama ini menganut paham dan
masih mengental hingga sekarang ini, bahwa masyarakat adalah objek dari
program-program
kesehatan
ini.
Pelaksananya
adalah
tenaga-tenaga
kesehatan itu sendiri, dengan berbagai pendidikan dan pelatihan yang telah
dijalaninya.
Institutsi Kesehatan belum sepenuhnya bisa menjalin kemitraan dengan
sektor-sektor terkait bagi pelayanan masyarakat. Kerja sama lintas sektor dan
lintas program dengan instansi-instansi lain masih sangat terbatas. Umumnya
4
seperti daerah-daerah lain, kegiatan-kegiatan yang bersifat promosiatau
preventif dengan memberdayakan masyarakat, masih kurang. Kegiatankegiatan kuratif masih nampak dominan dalam menyerap waktu, tenaga dan
dana bidang kesehatan. Demikian juga hlanya dengan kompetensi petugas
kesehtan / pengelola TB, dirasakan belum memadai. Dalam banyak hal, kinerja
yang
diharapkan
dari
mereka
adalah
program
“jalan”.
Meningkatkan
kemampuan teknis petugas TB, banyak kali dilakukan melalui pelatihanpelatihan. Namun pengetahuanpenunjang seperti ilmu komunikasi, budaya,
antropologi, dan sosiologi, yang memegang peranan dalam pelayanan
kesehatan kemasyarakatan, belum pernah dilakukan.
Dilain pihak, penderita TB menginginkan pelayan dari seorang sosok
petugas yang bisa memhami keberadaan dan kondisi mereka. Penderitapenderita ini oleh karena tekanan, ekonomi, psikologis, isolos anggota keluarga
atau lingkungan sosial yang lain; senantiasa membutuhkan dorongan
semangat, keramahan, dan senyuman serta empati seorang petugas TB dalam
menjalani pengobatan. Suatu rentang masa yang cukup panjang, memerlukan
kemauan, dan kesabaran dalam menjalaninya serta dukungan moril petugas
TB dan anggota keluarga. Pelayanan dan perlakuan yang bermartabat,
pelayanan yang bersifat pribadi dari seorang petugas TB tanpa harus diketahui
oleh banyak orang.
Tidak jarang penderita TB yang memutuskan berhenti melanjutkan
pengobatan karena faktor yang seharusnya bisa ditanggulangi. Berbagai alasan
mengemukakan antara lain akibat faktor ketidaktahuan, perasaan malu, takur
5
akan reaksi penolakan sosial serta yang berhubungan dengan pelayanan
petugas TB. Dalam hubungan komunikasi dengan petugas TB, pada kontak
pertama seharusnya disampaikan informasi yang penting tentang TB, misalny
apa itu TB, riwayat pengobatan sebelumnya, bagaimana cara pengobatan TB,
pentingya pengawasan langsung menelan obat, bagaimana penularan TB dan
efek-efek yang mungkin timbul akibat dari obat TB.
B. Perumusan Masalah
Dari paparan yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan
dapat dirumuskan bahwa:
1. Penyakit Tuberkulosis merupakan masalah kedaruratan global yang
perlu penanganan secara terpadu
2. Komponen pendukung strategi DOTS terbatas dalam memberikan
pengaruh pada tingkat keberhasilan program
3. Karena keterbatasan tersebut; apakah hubungan interpersonal petugas
dengan penderita TB, cukup efektif?
C. Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambatan tentang mutu hubungan interpersonal
yang dibangun antara Petugas TB dan Penderita TB.
2. Tujuan Khusus
2.1.
Untuk mengetahui sejauh mana sikap penerimaan diantara
petugas TB dengan penderita TB
6
2.2.
Untuk mengetahui kejujuran dalam hubungan interpersonal
petugas TB dengan penderita TB
2.3.
Untuk mengetahui apakah dalam hubungan itu petugas dan
penderita saling memberi ganjaran
2.4.
Untuk mengetahui apakah dalam hubungan itu, ada rasa familiarty
antara petugas dan penderita TB.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi llmu Pengetahuan
Sebagau
bahan
masukan
dalam
rangka
memperkaya
pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat khususnya
ctrategi penanggulangan TB paru.
2. Manfaat praktis bagi program
Hasil penelitian ini diharapkan nantinya menjadi informasi yang
berguna untuk mengembangkan kemampuan petugas TB.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Tuberculosis
Telah lama diketahui bahwa Tuberculosis yang telah diupayakan
pemberantasannya dari bumi Indonesia puluhan tahun yang lalu, kini telah
merebak kembali, bahkan Inaonesia tercatat sebagai Negara yang memberikan
konstribusi TB nomor tiga terbesar di dunia.
1. Kuman penyebab
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi juga dapat mengenai morgan tubuh lainnya.
Kuman TB ini berbentuk bintang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan.
2. Rriwayat terjadinya tuberculosis
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman TB. Infeksi dimulai saat kuma TB berhasil berkembang biak di
paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Sumber
penularan adalah penderita BTA positif, yang dapat menularkan kepada
orang yang berada di sekelilingnya, terutama kontak erat.
3. Komplikasi pada penderita TB
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut, yakni:
a. Hemoftisis : pendarahan dari saluran nafas bawah
8
b. Kolaps lobus, akibat retraksi bronchial
c. Brochiektasis, dan fibrosis pada paru
d. Pneumothorak spontan ; kolaps spontan karena kerusakan jaringan
paru
e. Penyebaran ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya
f. Insuficiensi Cardio-Pulmoner.
4. Perjalanan Alamiah TB yang tidak diobati
Tanpa pengobatan setelah lima tahun, 50% dari penderita TB akan
meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi
dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular (WHO, 1996).
5. Pengaruh Infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas system daya tahan tubuh
selluler (Celluler Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik,
seperti tuberculosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah,
bahkan bias mengakibatakan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian
penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
6. Gejala-gejala TB
a. Gejala umum berupa; batuk terus-menerus dan berdahak selama 3
(tiga) minggu atau lebih
b. Gejala lain yang sering dijumpai:
1. Dahak bercampur darah
9
2. Batuk darah
3. Sesak nafas dan nyeri dada
4. Badan lemah, nagsu makan menurun, berat badan turun, rasa
kurang enak badan (malaise), berkeringat dalam walaupun tanpa
kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan.
7. Penemuan penderita TB
Penemuan penderita TB dilakuka secara pasif, artinya penjaringan
tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang dating berkunjung
ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung
dengan penyuluhan yang aktif, baik oleh petugas kesehatan, maupun
masyarakat,
untuk
meningkatkan
cakupan
penemuan
tersangka
penderita. Cara iin biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case
finding.
Selain itu, semua kontak penderita TB atau BTA positif dengan gejala
sama serta batuk lama, harus segera diperiksa dahaknya.
8. Diagnosis TB
Diagnosi TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga specimen
SPS BTA positif. Bila haya satu spesime yang positif, perlu diadakan
pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan
dahak sps diulang. Semua tersangka penderita harus diperiksa
10
specimen dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu- pagi-siangsewaktu (SPS)
9. Pengobatan Tuberculosis
a. Jenis-jenis obat yang digunakan Jenis obat yang biasa digunakan
yakni;
1. Isoniazid (H),
2. Rifampicine (R)
3. Pyrazinamida (Z)
4. Streptomycine (S) dan
5. Ethambutok (E)
b. Perinsip pengobatan
Obat TB yang diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat
c. Panduan Obat Anti Tuberculosis (OAT) di Indonesia
WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yakni:
1. Kategori I :
2 HRZE/4H3R3,
2 HRZE/4HR,
2 HRZE/6HE
2. Kategori II
:
2 HRZES/HRZE/5H3R3E3,
2 HRZES/HRZE/5HRE
11
3. Kategori III
:
2HRZ/4H3R3,
4HRZ/4HR,
2HRZ/6HE
d. Pemantauan hasil pengobatan TB pada orang dewasa
Pemantauan
kemajuan
hasil
pengobatan
pada
orang
dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopis ini lebih baik bila dibandingkan
dengan hasil pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan
pengobatan. Pemeriksan dahak untuk memantauan kemajuan dilakukan
pada akhir masa intensif, sebulan sebelum akhir pengobatan (akhir
bulan kelima pengobatan) dan pada akhir pengobatan.
10. Pengobatan TB pada anak
Prinsip dasar pengobatan TB pada anak tidak berbeda pada orang
dewasa, tetapi ada beberapa hal yang memerlukan perhatian:
a. Pemberian obata pada tahap intensif maupun tahap lanjutan
diberikan setiap hari
b. Dosis obat disesuaikan dengan berat badan anak
11. Pengawas Menelan obat (PMO
Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO, yang
bertugas mengawasi langsung penderita minum obat.
12
12. Tujuan penanggulangan TB
a. Jangka Panjang
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit T
dengan cara memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit
TB tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat
Indonesia.
b. Jangka Pendek
1. Tfercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua
penderita BTA positif yang ditemukan
2. Tercapainya
cakupan
penemuan
penderita
secara
bertahap pada tahun 2005 dapat mencapai 70% dari
perikiraan semua penderita baru BTA positif
13. Visi dan Misi
a. Visi
Tuberculosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat
b. Misi
1. Menetapkan kebijakar., memberikan panduan serta membuat
evaluasi secara tepat, benar, dan lengkap
2. Menciptakan iklim kemitraan dan transparansi pada upaya
penanggulangan penyakit TB
3. Mempermudah
akses
pelayanan
penderita
TB
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar mutu
untuk
13
14. Penyuluhan Tuberculosis
Penyuluhan TB dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan
penting secara langsung ataupun menggunakan media
a. Penyuluhan langsung bisa dilakukan
1. Perorangan
2. Kelompk
b. Penyuluhan dengtan menngunakan media dalam bentuk:
1. Bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk
2. Media massa yang dapat berupa media cetak (Koran dan
majalah) dan media elektronik (radio dan televisi)
15. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan dilaksanakan pada semua institusi
pelayanan dan pada semua tingkatan, yakni;
a. Unit Pelayanan Kesehatan
b. Laboratorium PRM/PPM/RS
c. Kabupaten/Kota
d. Provinsi
B. Hubungan Interpersonal
Sebagai mahkluk social manusia senantiasa ingin berhubungan
dengan manusia lainnya. la ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan
ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa
manusia perlu berkomunikasi.
14
Dalam hidup bermayarakat, orang yang tidak pernah berkomunikasi
dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari masyarakatnya. Pengaruh
keterisolasian ini, akan menimbulkan depresi mental yang pada akhirnya
membawa orang kehilangan keseimbangan jiwa. Oleh sebab itu menurut
Dr.Everett Kleinjan dari East West Center Hawai, komunikasi sudah merupakan
bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernafas. Sepanjang
manusia ingin hidup maka ia perlu berkomunikasi.
Apa yang mendorong manusia sehingga ingin berkomunikasi dengan
manusia lainnya. Teori dasar biologi menyebut adanya dua kebutuhan, yakni
kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan kebutuhan
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Profesor David K. Berio dari Michigan State University menyebut
secara ringkas bahwa komunikasi sebagai instrument dari interaksi sosial
berguna untuk mengetahui keberadaan diri sendiri dalam menciptakan
keseimbangan dengan masyarakat (Byrnes, 1965).
Komunikasi jelas tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan umat
manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. la perlu
mengatur tata karma pergaulan antar manusia, sebab berkomunikasi dengan
baik akan member pengaruh langsung pada struktur keseimbangan seseorang
dalam bermasyarakat, apakah ia seorang dokter, dosen, manager, pedagang,
pramugari, pemuka agama, penyuluh lapangan, pramuniaga, dan lain
sebagainya. Pendek kata, sekarang ini keberhasiian dan kegagalan seseorang
15
dalam mencapai sesuatu diinginkan termasuk karir mereka, banyak ditentukan
oleh kemampuan berkomunikasi.
Komunikasi adalah salah satu aktifitas yang sangat fundamental
dalam kehidupan umat manusia. Kebutuhan manusia untuk berhubungan
dengan sesamanya, diakui oleh hamp;ir semua agama telah ada sejak Adam
dan Hawa. Berkomunikasi adalah proses yang dilakukan system untuk
mempengaruhi system lain melalui pengaturan signal-signal yang disampaikan.
Sedangkan komunikasi antar pribadi (interpersonal communication)
atau hubungan interpersonal memiliki arti suatu proses komunikasi yang
berlangsung antara dua orang atau lebih tatap muka, seperti yang dinyatakan
R. Wayne Pace (1979) bahwa “Interpersonal communication is communication
involving two or more people in a face to face setting.” Komunikasi ini tidak nelibatkn
kamera, artis, penyiar, atau penulis scenario. Komunikator langsung bertatap
muka dengan komunikan, baik secara individual, maupun kelompok.
Menurut sifatnya, komunikasi antar pribadi dapat dibedakan atas dia
macam, yakni Komunikasi Diadik (Diadic Communication). Dan Komunikasi
Kelompok Kecil (Small Group Communication).
Komunikasi diadik ialah proses komunikasi yang berlangusng antara
dua orang dalam situasi tatap muka. Komunikasi diadik menurut Oace dapat
dilakukan dalam tiga bentuk, yakni percakapan, dialog, dan wawancara.
Percakapan berlangsung dalam suasana bersahabat dan informal. Dialog
berlangsung dalam situasi yang lebih intim, lebih dalam, dan kebih personal.
16
Sedangkan wawancara sifatnya lebih serius, yakni adanya oihak yang dominan
pada posis bertanya dan yang lainnya pada posisi menjawab.
Komunikasi
kelompok
kecil
ialah
proses
komunikasi
yang
berlangsung antara tiga orang atau lebih secara tatap muka, dimana anggotaanggotanya saling berinteraksi satu sama lainnya. Komunikasi kelompok kecil
oleh banyak kalangan dinilai sebagai tipe komunikasi antarpribadi karena :
Pertama, anggota-anggotanya terlibat dalam suatu proses komunikasiyang
berlangsung secara tatap muka. Kedua, pembicaraan berlangsung secara
terpotong-potong dimana semua peserta bias berbicara dalam kedudukan yang
sama, dengan kata lain tidak ada pembicara tunggal yang mendominasi situasi.
Ketiga, sumber dan penerima sulit diidentifikasi. Dalam situasi seperti ini, semua
anggota bias berperan sebagai sumber dan juga sebagai penerima. Karena itu
oengaruhnya bias bermacam-macam. Misalnya si A terpengaruh si B, dan si C
bias mempengaruhi si B. Proses komunikasi seperti ini biasanya banyak
ditemukan dalam kelompok studi dan kelompok diskusi.
Fungsi komunikasi antar pribadi ialah berusaha meningkatkan
hubungan insani (human relations), mengatasi dan menghindari konflik- konflik
pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan
pengalan dengan orang lain.
Komunikasi
antar
pribadi,
dapat
meningkatkan
hubungan
kemanusiaan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi. Dalam hidup
bermasyarakat seseorang bias memperoleh kemudahan-kemudahan dalam
hidupnya karena memiliki banyak sahabat. Melalui komunikasi antar pribadi,
17
juga kita dapat berusaha membina hubungan yang baik, sehingga menghindari
dan mengatasi terjadinya konflik-konflik di antara kita, apakah dengan tetangga,
teman kantor, atau dengan orang lain.
Kalau komunikasi dilihat perspektif multi dimensional, maka ada dua
tingkatan yang dapat diidentifikasi, yakni dimensi isi (content dimension) dan
dimensi hubungan (relationship dimension). Dalam komunikasi antar manusia,
kedua dimensi ini tidak terpisah satu sama lain. Dimensi ini menunjukkan pada
kata, bahasa dan informasi yang dibawah oleh pesan. Sedangkan dimensi
hubungan menunjukkan bagaimana peserta komunikasi berinteraksi satu sama
lain.
Di dalam pelayanan kesehatan, komunikasi antar pribadi ini terjadi
antara petugas kesehatan atau health provider dengan client, atau kelompok
masyarakat dan para anggota masyarakat. Komunikasi antar pribadi yang telah
disampaikan lewat media massa. Artinya pesan-pesan kesehatan yang telah
disampaikan lewat media massa (televise, radio, Koran, dan sebagainya) dapat
ditindaklanjuti
dengan
melakukan
komunikasi
antar
pribadi,
misalnya
penyuluhan kelompok dan konseling kesehatan.
Sifat
manusia
untuk
menyampaikan
keinginannya
dan
untk
mengetahui hasrat orang lain, merupakan awal keterampilan manusia
berkomunikasi secara otomatis lambing-lambang isyarat, kemudian disusul
dengan kemampuan untuk member arti dari setiap lambing-lambang itu dalam
bentuk bahasa verbal.
18
Usaha-usaha manusia untuk berkomunikasi lebih jauh, terlihat dalam
berbagai betuk kehidupan mereka dimasa lalu. Pendirian tempat-tempat
permukiman di daerah aliran sungai dan tepi pantai, aipilih untuK memudahkan
mereka dapat berkomunikasi dengan dunia luar dengan memakai perahu, rakit,
sampan. Pemukulan gong di romawi dan pembakaran api yang mengepulkan
asap di cina adalah simbol-simbol komunikasi yang dilakukan oleh serdadu di
medan perang. Komunikasi yang efektif ditandai denga hubungan interpersonal
yang baik. “Komunikasi Interpersonal yang efektif meliputi banyak unsure, tetapi
hubungan interpersonal barangkali yang terpenting,” tulis Anita Taylor et al (1997).
“Banyak penyebab dari rintangan komunikasi berakibat kecil saja bila ada
hubungan baik diantara komunikan. Sebaliknya pesan yang jelas, paling tegas
dan paling cermat tidak dapat menghindari kegagalan, jika terjadi hubungan
yang jelek.”
Setiap kali kita melakukan komunikasi, kita bukan hanya sekedar
menyampaikan pesan; kita juga menentukan kadar hubungan interpersonal
bukan hanya “content” tetapi juga “relationship”. Perlahan-lahan study komunikasi
interpersonal bergeser dari isi pesan. Kini kaum komunikolog menggeserkan
perhatian “from individual as the unit of analysis to the relationship as the unit of
analysis” (Park and Wilmot, 1975).
Ada sejumlah model untuk menganalisa hubungan interpersonal,
tetapi dengan mengikuti ikhtisar dari Coleman dan Hammen (1974;224-231),
kita akan menyebutkan empat buah model ; (1) model pertukaran sosial (sosial
19
exchange model); (2) model peranan (role model); (3) model permainan (the
“games people play” model); dan (4) model interaksional (interactional model).
Arnold P. Golstein (1975) mengembangkan apa yang disebut
sebagai “relationship-enchancementmethods” (metode peningkatan hubungan)
dalam
psikoterapi.
la
merumuskan
metode
ini
dengan
tiga
prinsip:
mainhubungan interpersonal, (1) makin terbuka pasien mengungkapkan
perasaannya (2), Makin cenderung ia meneliti perasaannya secara mendalam
beserta penolongnya(Psikolog), dan (3) Makin cenderung ia mendengar
dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasehat yang diberikan
penolongnnya.
Dari segi psikolog komunikasi, kita dapat menyatakan bahwa makin
baik hubungan interpersonal, makin terbuka orang untuk mengungkapkan
dirinya, makin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsinya diriny,
sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung diantara komunikan.
Komunikasi juga ditujukan untuk menumbuhkan hubungan sosial
yang baik. Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri. Kita
ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. Abraham Maslow (1980; 8092) menyebutnya “kebutuhan sosial ini ke dalam tiga hal inclusion, control,
affection. Kebutuhan sosial adalahkebutuhan untuk menumbuhkan dan
mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan orang lain dalam hal
interaksi dan asosiasi (inclusion), pengendalian dan control (control), dan cinta
serta kasih saying (affection). Secara singkat, kita ingin bergabung, dan
berhubungan dengan orang lain, kita ingin mengendalikan dan dikendalikan,
20
dan kita ingin mencintai dan dicintai. Kebutuhan sosial ini hanya dapat dipenuhi
dengan komunikasi interpersonal yang efektif.
Bila orang gagal menumbuhkan hubungan interpersonal apa yang
terjadi? Banyak kata Vence Packard (1974). la akan mejadi agresif, serta senang
berkhayal, “dingin'1, sakit fisik dan mental, dan menderita “flight syndrome” (ingin
melarikan diri dari lingkungannya).
Faktor-faktor Yang Berpengaruh Pada Hubungan Interpersonal
1. Penerimaan
Menerima adalah kemampuan berhubungan orang l? 5n tanpa menilai
atau berusah mengendalikan. Menerima adalah sikap yang melihat orang lain
sebagai manusia, sebagai individu yang patut dihargai,” (Anita Taylor, 1997),
ketika ia menguraikan peranan “percaya” dalam komunikasi interpersonal. Saya
menerima Anda bila saya menerima Anda sebagaimana adanya; saya tidak
menilai atau mengatur. Saya memandang Anda secara realistis. Saya tahu
Anda memiliki perilaku yang menyenangkan dan yang menyebalkan.
Menerima tidaklah berarti menyetujui semua perilaku orang lain atau
rela menanggung akibat-akibatperilakunya. Betapapun jeleknya perilakunya
menurut persepsi kita, kita tetap berkomunikasi dengan dia sebagai persona,
buka sebagai objek.
Sikap menerima tidaklah semudah yang dikatakan. Kita selalu
cenderung menilai dan sukar menerima. Akibatnya hubungan interpersonal kita
tidak berlangsung seperti yang diharapkan. Bila kita bersikap tidakmenerima,
kita akan mengkritik, mengecam, atau menilai. Sikap sepertiini akan
21
menghancurkan rasa percaya. Skap menerima menggerkkan sikap percaya,
karena orang tahu kita tidak akan merugikan mereka. Menerima berarti tidak
menilai pribadi orang berdasarkan perilakunya yang tidak kita senangi.
2. Kejujuran
Kita tidak menaruh kepercayaan pada oran yang tidak jujur atau
sering menyembunyikan pikiran dan pendapatnya. Kita menaruh kepercayaa
kepada irang yang terbuka, atau tidak mempunyai pretense yang dibuat-buat.
Kejujuran menyebabkan perilaku kita dapat diduga (predictable). Ini mendorong
orang lain untuk percaya kepada kita. Disini berlaku kalimat singkat: Terus
teranglah agar terang terus!
3. Ganjaran (Reward)
Ganajaran disini berupa bantuan, dorongan moril, pujian, atau hal-hal
lain yang meningkatkan harga diri kita. Kita menyenangi orang yang
memberikan ganjaran kepada kita, kita akan menyukai orang yang memuji kita.
Ganjaran ialah setiap akibat y^ng dinilai positif yang diperoleh seseorang dari
suatu hubungan. Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh
seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial,
atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya.
Nilai suatu ganjaran berbeda-beda antara seseorang dengan yang
lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain. Buat orang
kaya, mungkin penerimaan sosial (sosial approval) lebih berhargadaripada uang.
Buat si miskin, hubungan interpersonal yang dapat mengatasi kesulitan
22
ekonominya lebih memberikan ganjaran daripada hubungan yang menambah
pengetahuan.
Menurut teori pertukaran sosial (Social Exchange Theory), interaksi
sosial adalah semacam transaksi dagang. Kita akan m^lanjutkan hubungan bila
laba lebih banyak daripada biaya. Bila pergaulan saya dengan Anda sangat
menyenangkan, sangat menguntungkan dari segi psikologis atau ekonomis,
kita akan saling menyenangi (Homans, 1974, Lott dan Lott, 1974).
4. Familiarty
Familiarty artinya memiliki kedekatan, sering kita lihat atau sudah kita
kenal dengan baik. Prinsip familiarty dicerminkan dalam peribahasa Indonesia,
“Kalau tidak kenal, maka tidak sayang”. Jika kita sering berjumpa dengan
seseorang, asalatidak ada hal-hal lain, kita akan menyukainya.
Robert B. Zajonc (1968) memperlihatkan foto-foto pada subjek
eksperimennya. la menemukan makin sering subjek melihat wajah tertentu. la
makin menyukainya. Penelitian ini kemudian melahirkan hipotesis “mere
exposure” (terpaan saja). Hipotesis ini dipakai sebagai landasan ilmiah akan
pentingnya repetisi pesan dalam mempengaruhi pendapat dan sikap.
Orang cenderung menyenangi mereka yang tempat tinggalnya
berdekatan. Persahabatan leb»h mudah timbul diantara tetangga yang
berdekatan (whyte, 1956), atau diantara mahasiswa yang dudukberdampingan
(Bhyme dan Buehler, 1955). Mungkin dipertanyakan apakah karena saling
menyukai orang berdekatan, atau karena berdekatan orang saling menyukai,
Keduanya benar.
23
Bahwa orang yang berdekatan dalam temapt saling menyukai, sering
dianggap hal yang biasa. Dari segi psikologis, ini hal yang luar biasa bagaimana tempat yang kelihatannya netral, mampu mempengaruhi tatanan
psikologis. Ini berarti kita juga dapat memanipulasikan tempat atau deasin
arsitektural
untuk
menciptakan
persahabatan
dan
simpati.
Barangkali
pemaburan akan diperlancar dengan mendekatkan rumah-rumah orang
nonpiibumi dengan rumah-rumahorang pribumi.
C. Relasasi Penderita dengan Pemberi Pelayanan Medis
Hubungan antara pasien dengan pemberi jasa pelayanan medis
dalam banyak hal ditemukan bahwa fungsi dan peran pemberi jasa lebih
dominan daripada fungsi peran pasien. Dengan kata lain, hubungan antara
pemberi jasa pelayanan medis dengar. pasien bukan hubungan dalam arti yang
sesungguhnya. Hubungan itu lebih merupakan hubungan kekuasaan (Russel,
1938), hubungan ar.tara pihak yang aktif dan memiliki wewenang dan pihak
yang
lemah,
pasif
dan
menjalankan
peran
ketergantungan.
Namun
sesungguhnya antara pemberi pelayanan dengan pasien juga dapat d'bina
hubungan yang sempurna; di dalam hubungan yangsempurna itu kedua pihak
dapat berperan dan berinteraksi secara aktif dan saling mempengaruhi.
Dalam penelitian mengenai hubungan pasien dokter yang dikaitkan
dengan jenis praktek, Kisch dan Reeder (1969) melihat berapa jauh pasien dapat
memegang kendali hubungan dan bahkan menilai penampilan kerja dan mutu
pelayanan kerja medis para dokter. Masing-masing kedudukan itu mempunyai
dampak terhadap peran pasien dan dimanfaatkan kedua peneliti ini untuk
24
melihat kemampuan pasien menilai dokter. Untuk menilai penampilan dokter
dan mutu pelayanan medisnya, memang diperlukan beberapa variabel dan
kejelian
kita
dalam menentukan determinan
atau factor yang paling
berpengaruh dalam kemampuan pasien itu.
Tiga Pola Dasar Hubungan
Szasz dan Hollender mengemukakan beberapa jenis hubungan
antara pasien dan dokter yang masing-masing didasarkan atas suatu prototip
hubungan orang tua dan anak, hubungan orang tua dan remaja, hubungan
antar orang dewasa. Disini kita akan meninjau konsepsi itu lebih mendalam
sebagai suatu prasarana untuk menyempurnakan kebijakan kita dalam
merencanakan berbagai program dan kegiatan pelayanan medis, baik di
puskesmas maupun rumah sakit atau di berbagai tempat praktek dokter.
Mengenai hubungan dokter dan pasien, khususnya akan dikemukakan masalah
teknis yang berka'tan dengan peran dan fungsi orang yang memiliki
keistimewaan dalam pengetahuan dan teknologi kedokteran.
Tiap hubungan antara dua pihak mengandung satu perangkat
harapan yang timbale balik. Cirri khusus dari ahrapan-harapan yang timbul
dalam hubungan penderita-dokter mengakibatkan sering munculnya sejumlah
masalah dan juga pemecahannya.
Hubungan penderita-dokter mengandung sejumlah cirri yang tidak
dimiliki hubungan antara manusia lainnya. Seseorang yang memotong tubuh
orang lain di gang yang sepi dan gelap adalah penjahat yang keji; tetapi orang
lain yang melakukan yang sama di bawah kamar lampu-lampu kamar operasi
25
dalam gaun yang steril adalah seorang penyelamat yang dihormati. Hakekat
yang tepat dari cirri unik hubungan penderita-dokter. Salah seorang ah!i itu,
Roberth Veatch, mengajukan tiga model yang dapat dijumpai dalam hubungan
ini.
1. Pola dasar hubungan Aktif-pasif
Model ini juga disebut model “tukang”. Pada model ini dokter
bertindak sebagai seorang ilmuwan yang merasa bahwa ia hanya harus
mengurus “fakta” dan harus melepaskan dirinya dari semua persoalan yang
bersangkutan dengan
nilai supaya
tetap
“murni”.
Peranannya
adalah
menyajikan semua “fakta” kepada penderita dan setelah itu mempersilahkan
penderita mengambil keputusan sendiri, menjalankan keinginan penderita itu.
Secara moral, dokter seperti ini tidak lebih dari seorang tukang ledeng yang
dipanggil untuk membersihkan saluran air yang macet. Dokter yang menganut
model hubungan penderita-dokter seperti ini, meskipun untuk pribadinya yakin
bahwa abortus merupakan pembunuhan, akan melakukan abortus juga bila
pasiennya meminta, berdasarkan persepsinya akan perannya sebagai ilmuwan
yang mengaplikasikan keilmuannya.
2. Pola dasar hubungan membimbing-kerjasama
Model ini juga disebut hubungan model “paternalistic” dokter
memainkan peranan yang terang-terangan “menggurui. Penderita datang untuk
kosultasi, mendapatkan pengobatan/perawatan, dan ketenangan. Keputusan
terletak ditangan dokter, dan penderita harus mengikuti semua petunjuk dokter.
Menurut Veatch, cirri utama model ini ialah kebiasaan berkata: “berbicara
26
sebagai” Misalnya, “Berbicara sebagai dokter Anda, saya rasa sudah waktunya
sekarang Anda menjalani sterilisasi.” Keputusan yang dikatakan itu merupakan
keputusan moral, bukan keputusan kedokteran; tetapi dokter yang bersikap
guru itu sering dianggap mempunyai kompetensi dalam kedua bidang tersebut
hanya karena ia seorang dokter.
Masing-masing model tersebut mengandung hal-hal yang tidak
disukai oleh kebanyakan dokter dan penderita. “Model Tukang” akan
menyenangkan pasien, tetapi tampaknya tidak menyenangkan bahkan tidak
dapat
diterima
oleh
dokter.
Sebaliknya
“Model
Paternalistik”
akan
memantapkan perasaan dokter yang yakin akan kemampuannya untuk
melakukan yang baik bagi kepentingan penderita. Tetapi bagi penderita, model
ini mungkin tidak disukai, sebab ia harus mempercayakan keputusan hidup
atau mati kepada seseorang yang mungki mempunyai pandangan yang tak
sama mengenai nilai-nilai dasar dengan yang dimilikinya.
3. Pola dasar hubungan saling berperan serta
Pola ini juga disebut hubungan model “kontrak”. Kontrak antara
dokter dan penderita disini jangan diartikan sebagai kontrak dagang atau
kontrak hokum yang dikenal sehari-hari, dituliskan diatas kertas bermaterai dan
ditanda-tangani pihak-pihak yang berkepentingan dan saksi-saksi. Kontrak
dimaksudkan disini suatu saling pengertian pada kedua pihak akan adanya
manfaat dan harapan-harapan tertentu (yang biasanya tidak diucapkan) yang
dapat diperoleh kedua pihak dari hubungan ini. Kontrak ini juga bertujuan untuk
membagi tanggung-jawab antara dokter dan penderita dalam mengambil
27
keputusan, yang memberikan keuntungan dan kewajiban bagi kedua pihak.
Dokter mengakui bahwa penderita harus mempunyai control atas hidupnya bila
keputusan penting akan diambil.
Dalam hal-hal penting yang mengandung nilai-nilai moral yang
mungkin mempunyai makna berbeda bagi dokter dan penderita, penderita
mempunyai hak untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan sendirinya yang dimaksud disini ialah penderita yang berada dalam
keadaan dapat dipertanggung-jawabkan untuk mengambil keputusan yang
mengandung nilai-nilai moral, misalnya: telah mencapai usia yang cukup,
berada dalam keadaan sadar, dan cuku rasional. Bila penderita tidak memenuhi
persyaratan-persyaratan yang penting ini, maka harus ada orang lain yang sah
bertindak sebagai atas n^manya dalam proses pengambilan keputusan.
“Kontrak” penderita-dokter ini menyadari adanya Iain-lain kewajiban
sosial, etik, dan hokum sebagai latar belakang yang mengikat keduanya.
Kontrak ini memperkuat kewajiban-kewajiban lain itu, bukan menggantikan atau
meniadakannya.
Sejauh ini, model “kontrak” inilah yang kelihatannya terbaik diantara
ketiga pola dasar hubungan penderita-dokter yang telah dibahas. Tetapi pada
kenyataan sehari-hari, tampaknya tidak banyak hubungan penderita dokter
yang dapat dimasukkan kedalam kategori ini; Yang sering terjadi ialah, dokter
tidak menanyakan pendapat atau keinginan penderita sampai terjadi krisis. Bila
sudah beigini mungkin tidak ada waktu lagi untuk menanyakan keinginan
penderita, atau penderita tidak dapat berkomunikasi lagi.
28
Kalau dokter dan penderita paling sedikit berusaha menciptakan
hubungan menurut model kontrak, maka akan terbentuk hubungan yang
mengandung suasana yang lebih kjondusif dan fasiluitatif untuk mengambil
tindakan yang etis. Yang penting disini adanya komunikasi yang dibangun dan
terjadinya interaksi yang kondusif.
Kemampuan seseorang berkomunikasi merupakan modal untuk
menyampaikan apa yang diinovasikannya dengan baik dan sempurna. Ketika
melaksanakan kegiatan antar-manusia ini, kedua individu sedang berinteraksi
terikat pada ketentuan, communication is the process by whiuch message are
transformed from a source to a receiver (Rogers and Shoemaker, 1971). Pada mereka
yang sedang berkomunikasi yaitu sumber (Source), pesan- pesam (message),
diteruskan melalui saluran (channel) sehingga penerima (receiver) mampu
menerima dan mendapatkan efek, sesuai yang diinginkan sumber.
29
BAB III
KERANGKA KOSEPTUAL PENELITIAN
A. KERANGKA KONSEP
Kualitas hubungan interpersonal penderita TB dengan petugas TB amat
menentukan kelangsungan program pengobatan yang sedang berjalan. Apakah
nantinya penderita menyelesaikan program pengobatansampai tuntas, ataukah
tidak tutnas. Kualitas hubungan ditentukan oleh kualitas komunikasi yang
terjalin. Ada-tidaknva salaing penerimaan, kujujuran, ganjaran, dan familiarty,
selanjutnya menetukan sejauh mana dan seberapa dalam, hubungan
komunikasi dibangun. Memahami keempat paradigm ini, akan memberikan
informasi tentang kualitas hubungan interpersonal tersebut.
30
Petugas TB
Kualitas
Menerima
Hubungan
Kejujuran
Ganjaran
Familiarty
Kemapuan*
Penderita TB
Kelangsungan
Pengobatan
* tidak diteliti
(Sumber: Rakhmat,J2003; Cangara, H.2002; Notoatmodjo,S. 2003)
B. Kerangka Penelitian
Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah faktro-faktor yang
berhubungan dengan kualitas hubungan interpersonal petugas dan penderita
TB di kabupaten Morowali. (Rakhmat,J2003; Cangara, H.2002; Notoatmodjo,S.
2003)
Batasan variabel-variabel yang diteliti, meliputi lima hal yaitu:
1. Penerimaan
2. Kejujuran
31
3. Ganjaran
4. Familiarty
5. Kemampuan
C. Ruang Lingkup Variabe!
1. Kualitas hubungan interpersonal adalah mutu hubungan komunikasi
inbterpesonal yang dibangun oleh petugas dan penderita TB selama
menjalani program pengobatan
2. Penerimaan adalah kemampuan berhubungan dengan orang lain tanpa
menilai dan tanpa berusaha mengendalikan
3. Kejujuran adalah sika keterbukaan dan tanpa pretense yang dibuat-buat
4. Ganjaran adalah hadiah/penghargaan yang diberikan kepada seseorang
atas suatu jasa, dapat berupa bantuan, dorongan moril, pujian, atau halhal lain yang meningkatkan harga diri
5. Familiarty artinya memiliki kedekatan karena intensitas pertemuan yang
sering terjad, rasa kekeluargaan, sering kita I'hat atau dikenal dengan
baik
6. Petugas TB ialah pegawai kesehatan yang bekerja di puskesmas yang
tugasnya,
khusus
menangani
pencarian/penemuan
penderita,
pengadaan obat TB, pencatatan dan pelaporan TB serta pemberian
obat/pengawasan minum obat pada penderita yang sudah didiagnosis
TB
7. Penderita TB paru adalah orang yang sudah ditetapkan melalui
pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan rontgen atau dengan gejala
32
klinis yang mendukung, menderila penyakit tuberculosis paru dan sudah
mendapat pengobatan
8. Penderita Drop Out adalah penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatan selesai (tidak
menyelesaikan tuntas program pengobatan).
33
BAB IV
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Penelitian
ini
adalah
suatu
stud;
kasus
dengan
menggunskan
pendekatan kualitatif. Desain ini bertujuan untuk mempelajari kualitas hubungan
interpersonal yang terjadi antara petugas TB di Puskesmas/Rumah Sakit
dengan penderita-penderita TB yang pernah menjalani pengobatan TB paru
strategi DOTS di wilayah Kabupaten Morowali.
B.
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Morowali pada dua wilayah institusi
pelayanan kesehatan, yakni Puskesmas Beteleme dengan Rumah Sakiy Umum
Kolonodale. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja atas pertimbangan
ketersediaan data dan kelengkapan informan yang dibutuhkan di kedua institusi
tersebut. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober
tahun 2009.
C.
Informan Penelitian
Sampel penelitian ini adalah petugas-petugas TB dan penderita- penderita
TB yang pernah terlibat dalam hubungan interpersonal, yakni selama menjalani
pengobatan Tb strategi DOTS. Informan dipilih ditentukan secara sengaja
(purposive). Berdasarkan tujuan penelitian ini, yakni untuk mengetahui kualitas
34
hubungan interpersonal penderita TB dan petugas TB. Maka informannya
diambil dari:
1. Penderita TB, yang dibedakan atas:
a. Menyelesaikan program pengobatan
b. Tidal menyelesaikan program pengobatan (Drop Out)
2. Petugas TB Puskesmas atau Rumah Sakit.
Daftar identitas informan (Info)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Identitas (Inisial, Umur,
Kategori Pengobatan)
Info. A (Ade, 35 th.)
Info. B (Lag, 49 th. K1)
Info. C (Lem, 43 th, K1)
Info. D (Mai, 50 th, K1)
Info. E (Mok, 50 th, K1)
Info. F (Ref, 50 th, K1)
Info. G (War, 30 th, K2)
Info. H (Imr, 37 th)
Info, i (Abd, 58 th, K1)
Info. J(Ahm, 43 th, K1)
Info. K (Sri, 38 th, K1)
Info. L (Tae, 65 th, K3)
Info. M (Tam, 68 th, K3
Info. N (Was, 65 th, K1)
Alamat
Pendidikan
Pekerjaan
Ds. Tinompu
Ds. Lembo B
Ds. Beteleme
Ds. Beteleme
Ds. Korowou
Ds. Korowou
Ds. Lembar I
Ds. Bahoue
Ds. Bahoue
Ds. B.tula
Ds. B.tula
Ds. Bunta
Ds. Tompira
Ds. K.Tantu
SMU
SD
SMP
SMP
SMU
SMU
SD
SMU
SD
PT
PT
SMU
SMU
SD
Petugas TB
Petani
Wiraswasta
Petani
PNS
Ibu RT
Petani
Petugas TB
Petani
Wiraswasta
Ibu RT
Pensiunan
Pensiunan
Ibu RT
D. Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan
data
dilakukan
melalui
penelusuran
dokumen,
pengamatan langsung (observasi) dan wawancara mendalam kepada informan
serta pengisian skalogram. Informan adalah penderita atau petugas T,
diutamakan penderita yang dianggap mampu dan berseaia memberikan
informasi yang dibutuhkan (informan).
35
E. Pengolahan Data
Dara yang berhasil dikumpulkan, diolah melalui tga tahapan :
1. Reduksi data
Pada tahap ini, merupakan tahap dimana proses pemilihan, pemusatan,
penyederhanaan, pengabstakan, dan transformasi data kasar yang
ditemukan di lapangan. Dengan kata lain pada tahap ini dilakukan
analisis untuk menggolong-golongkan, membuang data yang tidak
diperlukan, mengarahkan, dan mengorganisasi data. Reduksi data
menelaah data, kemusdian diklasifikasi, dideskripsi, diformulasi, dan
diberi makna
2. Penyajian data
Tahapan yang kedua ini adalah untuk menyajikan data yang telah
dianalisis pada tahapan pertama dan kemudian disajikan dalam betuk
teks naratif
3. Penarikan Kesimpulan
Analisis pada tahapan ini adalah mencari makna peristiwa-peristiwa dan
pola-pola serta alur sebab-akibat yang membangun proposisi
36
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Penerimaan
Rangkuman ungkapan yang berhubungan dengan penerimaan yang baik
adalah fakta yang disampaikan oleh petugas TB Ade dan penderita-penderita
TB yang berhasil menyelesaikan program
pengobatan.
“ ........ Dia melayani kita seperti saudara sendiri .......... tidak pemah marah-marah selama berobat sama
dia..........” (Mai)
“.......... Selama penyakii saya diobati, dia sangat baik memperlakukan saya. Saya senang
dengan
pelayanannya,........”(Mok)
“.......... Penderita Mok dan Mai dua-duanya pasien yang baik. Bergaul dengannya cukup
menyenangkan...........orangnya rajin control.........” (Ade)
Penderita Lag dan penderita Ref adalah dua orang penderita yang
pemah dilayani petugas Ade. Keduanya bermasalah dalam hal penerimaan dan
gagal dalam menyelesaikan pengobatan. Pernyataan dibawah ini adalah fakta
yang mereka ungkapkan.
“ ............. Kita rasa dia baik ............ dia kasih tau apa penyakit saya ......... hanya saja saya kurang enak
ketemu, karena sering batuk-batuk............” (Lag)
“ ............. Memang mantrinya melayani kita baik .......... kita malu kalau pgi kwe puskesmas tidak enak
kalau batuk-batuk dilihat orang............” (Ref)
“ ............. Kedua penderita itu pendiam, jarang dating kesini ........... merasa minder dengan apa yang
dialaminya ............” (Ade)
Pada tempat yang berbeda, petugas TB Imr dan penderita Ahm, Tar,
dan
Tam
mengukapkan
fakta
dibalik
keberhasilan
mereka
dalam
37
menyelesaikan pengobatan berhubungan dengan penerimaan mereka satu
dengan yang lain.
“ .......... Saya senang ........ caranya ia melayani sangat baik ......... kita tidak sungkan-sungkan kalau
ketemu ........”(Tar)
“ .......... Kita suka dengan pelayanannya ....... kalau ketemu, sudah seperti teman sendiri ..........” (Tam)
“ .......... Mereka memahami keadaannya ......... kita bias berhubungan dan bergaul dengan mereka
........... penderita Tar dan Tam orangnya gampang diajak bicara, tidak malu pada keadaannya, dia rajin
dating control ......... orangnya penurut dan patuh pada apa yang disampaikan pada mereka..........” (lmr)
Penderita Was dan Sri adalah penderita yang gagal menyelesaikan
pengobatan. Pernyataan dibawah ini adalah ungkapan yang mereka berikan
berhubungan dengan penerimaan selama menjalani pengobatan dengan
pelayanan petugas Imr.
“ ............. Dia jarang Tanya-tanya sama saya ......... anak saya yang lebih banyak bicara dengan dia
........... jarang ke rumah sakit karen tidak enak...............” (Was)
“ ............. Dia baik sama kita ......... saya kadang-kadang ada rasa malu-malu dan enggan ke rumah sakit
.......... saat sedang bicara biasa batuk-batuk agak rasa risih dengan pak mantra.........” (Sri)
“ ............. Penderita Was dan Sri, orang pendiam, susah diajak bicara dan malu ketemu
kita.......... keduanya malas dating kesini......” (Imr)
2. Kejujuran
Dalam hal kejujuran petugas Ade dan penderita yang sukses dalam
pengobatan meberikan ungkapan:
" .......... Dia terus terang kasih tahu apa penyakit saya ......... katanya harus minum obat enam bulan
supaya sembuh ............" (Mok)
“ .......... Sebelum dikasih obat dia temagkan bagaimana supaya sembuh, bahwa harus minum obat teratur
samapai tuntas selama enam bulan ............ Kalau tidak teratur minum obat penyakitnya bias tambah
parah ........" (Lem)
“ ............. Penderita Mok di tidak malu dengan penyakit yang dialaminya ........ dia terbuka
menyampaikan pada saya apa saja keluhannya ....... pendenta Lem dia bias menerima penjelasan saya
tentang penyakitnya .......... dia tidak sungkan-sungkan bertanya sekiranya ada masalah.........” (Ade)
Kejujuran adalah salah satu factor menentukan efektifnya suatu
hubungan
interpersonal.
Kejujuran
dalam
memberikan
informasi
dan
38
mengungkapkan diri mempengaruhi kelanggengan suatu hubungan. Demikian
sebaliknya, ketidakjujuran berpengaruh buruk terhadap suatu hubungan. Hal ini
dibuktikan oleh fakta dibawah ini.
“ ............. Kita sudah bemlang kali pesan sama petugasnya bagaimana perasaan waktu minum obatnya
tetapi selalu dipesan minum saja terus ........... sakitnya tidak pernah membaik, malah tambah batuk
.........” (Lag)
“.............. Tidak tahu Jagi harus bagaimana tiap kali kita minum obat, selali tidak enak kit ape perasaan
......... kita berhenti saja telan obatnya soalnya kita ndak tahu apa so betul caranya kita minum itu
obat...........” (Ref)
“.............. Sebenarnya kita sudah kasih tahu ....... penderita Lag dan Ref orangnya pendiam dan malu
kalau dating kesini ........ Mereka berdua jarang datang ........ Mungkin karena mereka kurang mengerti
waktu saya kasih tahu.......” (Ade)
Berhubungan dengan factor kejujuran, petugas Imr dan penderita Ahm
dan Tam mengungkapkan fakta dibalik keberhasilan mereka menyelesaikan
pengobatan.
" ............... Dia beritahukan bahwa penyakit saya ini tidak berbahaya, yang penting diobati sampai
sembuh.............."(Ahm)
" ............... Saya rasa lega, mantri kasih tau penyakit saya ini bisa diobati,harus minum obat enam bulan
secara teratur dan jangan sampai terputus............."(Tam)
" ............... Penderita Ahm tidak malu karena TB dia bilang yang penting bisa sembuh, dia akan semangat
berobat penderita Tam juga, dia rajin datang kontrol.............."(Imr)
Sri dan Abd adalah dua orang penderita yang gagal dalam pengobatan.
Dalam hal kejujuran mereka dan petugas Imr memberikan ungkapan sebagai
benkut:
” ............. Saya rasa tidak enak waktu minum obat ............................................ tapi saya
malu beritahu mantrinya tidak enak merepotkannya .................................... bapaknya
anak-anak yang biasa ambilkan obat........"(Sri)
" ............. Kita mau sembuh, tapi tiap kita minum obatnya, kita rasa tidak cocok
mungkin kurang pas dengan kita punya kondisi..........."(Abd)
" ............. Penderita Sri enggan datang kesini, dia seperti malu ketemu kita ............
takut-takut menyampaikan kalau ada masalahnya ...................... orangnya kurang
39
bisa bergaul dengan orang lain .......................... agak sulit saya ajak bicara penderita
Abd dia biasa bicara dengan saya, tapi mungkin
kurang mengerti yang saya jelaskan, jadinya dia tidak patuh pada penyampaian saya
.............. tanpa informasi yang jelas mereka langsung berhenti minum obat
“0mr)
3. Ganjaran
Ganjaran (reward) adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan atas
suatu jasa. Ganjaran ini bisa diberikan dalam bentuk bantuan, dorongan moril
atau pujian. Fakta-fakta ini muncul dari penderita yang telah berhasil dalam
menyelesaikan pengobatan seperti diungkapkan :
" ............... Kalau ketemu, selalu senyum dan ramah menanyakan keadaan saya ...............kita jadi merasa
bersemangat terus minum obat ................ Saya sudah masuk kantor seperti dulu lagi. Pulang dari kantor so
bisa ke kebun tidak terganggu lagi dengan penyakit.......... "(Mok.)
" ............... kita suka karena dia selalu dorong kita agar tidak bosan-bosan minum obat ....................
memang saya rasa setelah beberapa kali ambil obat, batuk saya sudah agak mendingan ................ tidak
malu-malu lagi kalau ketemu dan bicara dengan orang................ karena bantuan pak mantri kita sudah bisa
mencari ............”(Lem)
" ............... Mereka sangat baik sama kita, karena senang penyakitnya sudah sembuh, kita layani baikbaik, ada yang antar ayam kerumah, undang makan-makan dirumahnya, kasih gratis temple
motor ....... kedua penderita ini seperti tidak pemah lupa sama kita, tiap ketemu selalu tersenyum dan
menegurkita..........”(Ade)
Perasaan kecewa dan frustasi hampir selalu menjadi bagian dari
perasaan seseorang yang gagal dalam mencapai keinginan. Penderita TB yang
gagal menyelesaikan pengobatan-pun demikian, seperti yang nyata dari
ungkapan Lag dan Ref di bawah ini:
" .........Saya rasa capek datang ke puskesmas ............. lagi pula selama minum
obat tiga bulan, tidak pemah ada perbaikan yang saya rasakan jadi
saya tidak datang lagi arnbil obat ....... "(Lag)
“ .........Kita ketemu di puskesmas waktu penksa dahak ................... Saya biasa
malu-malu karena biasa kalau sedang bacerita, sering batuk-batuk ......................
jadinya saya lebih baik diam dan cepatsaja pulang ................... "(Ref)
...... penderita Lag., orangnya pendiam, tertutup dan malas datang
kontrol ........ demikian halnya penderita Ref orangnya dingin, ................. "(Ada)
Penderita Tar, Tam dan Ahm dan petugas imr menyatakan
bahwa dengan adanya ganjaran bisa memberikan dorongan moril
40
dan motivasi dalam menjaga hubungan interpersonal mereka tetap
berjalan baik. Seperti yang nampak dari ungkapan di bawah ini:
" ............ Pelayanannya menyenangkan.................. dia selalu memberikan saya
semangat untuk minum obat .... Katanya penyakit saya ini tidak masalah, yang
penting minum obatnya sampai selesai......................... "(Tar)
" ......... Dia sangat baik memberikan dorongan agar saya jangan pasrah
dengan penyakit saya ........... kalau saya tidak sempat datang, dia mampir ke
rumah dengan membawa obat lanjutan saya ..........." (Ahm)
" .........Penderita Tar., dan penderita Tam., ............. kedua orang ini termasuk
penderita yang baik, penurut dan patuh pada apa yang disampaikar .....................
Mereka penuh perhatian terhadap penyakit yang dideiitanya .................. "(Imr)
Sebaliknya dengan penderita yang gaga! dalam pengobatan, fakta
dibawah ini menunjukkan bahwa tidak ada saling memberi ganjaran dalam
hubungan mereka -selama menjalani pengobatan. Resiko yang mereka
tanggung akibat dari pengobatan itu, sungguh tidak menyenangkan.
" .......... Saya tidak tahan naik taksi, selalu saya pusing muntah dan tidak
enak perasaan ...................... Saya rasa terialu capek kalau harus berobat enam bulan itu
bemrti harus banyak kali bolak-balik "(Was)
", ......... Saya tidak lanjutkan minum obat, karena tiap minum obat saya
pusing dan muntah-muntah ..................... Memang saya tidak begitu akrab dengan
petugasnya ......................... "(Abd)
" .......... Penderita Was., jarang sekali muncul kesini. Kalau pun datang,
banyak diam dan orangnya tertutup selalu buru-buru mo pulang ................................. Dia
kelihatan minder. ................ lain halnya dengan penderita Abd., orangnya biasa
datang dan suka bertanya tapi kurang perhatian, suka lupa pada apa yang saya sampaikan
........................................... " (Imr)
4.
Familiarity
Sering dilihat / bertemu, tinggat atau sering berdekatan , memiliki
hubungan kekeluargaan adalah sebagian syarat-syarat yang membuat
hubungan interpersonal tetap tetap langgeng. Seperti ungkapan yang
tercantum dibawah ini, yang dinyatakan oleh petugas dan penderita yang
41
berhasil dalam menjalani pengobatan TB hingga tuntas:
“
Kita memang suka kalau tempo-tempo ketemu, bisa sampaikan
kalau ada masalah soalnya rumah saya baku dekat dengan puskesmas " Mai)
" .......... Biasa ketemu waktu ambit obat dan kadang di tempat lain senang
karena bisa bacerita dan tanya kalau ada keluhan "(Mok)
” .......... penderita Mai biasa memang kesini, ......................... saya biasa ke rumahnya
........... dengan penderita Mok sudah terbiasa dan sering ketemu biasa ada urusan di
tempat kerjanya ....................................................................... "(Ade)
Penderita Lag dan Ref gagal dalam meneyelesaikan pengobatan. Fakta
fakta dibawah ini menunjukkan bahwa tidak ada familiarity dalam hubungan
interpersonal mereka dengan petugas Ade.
" ........ Sebelumnya saya memang kenal tapi cuma sebatas tahu namanya, tidak terbiasa
dengannya .............................................................................. "(Lag)
”......... Cuma dua kali
kita pigi waktu periksa dahak Kita puny a rumah kart jauh, jadi biasa
kalau bapak atau anak-anak ada urusannya dekat puskesmas sekalian kita titip pesan
ambilkan saya punya obat sama pak mantri di puskesmas........................" (Ref)
" ........Penderita Lag., kita kena! waktu masih menjabat Kades ketemunya
di Posyandu, tapi itu sudah lama .......................................... ketemu lagi waktu periksakan
dahak ...................................................................................... penderita Ref bam ketemu saya
waktu periksa daha keduanya kurang datang kesini, seperti penderita Ref tebih sering diwakili
keluarganya
" ............ (Ade)Petugas Imrdan penderita-penderita yang dilayaninys yang berhasil
dalam menyelesaikan pengobatan, menunjukkan bahwa ada familiarity dalam hubungan
interpersonal mereka. Seperti yang nampak dalam ungkapan mereka di bawah ini:
" ........Saya sering dan senang bertemu ........................ kalau pas datang di Rumah
SaKit saya usahakan untuk menemuinya ...................... walau bukan waktunya untuk
mengambil obat ...................... hanyc sekedar menanyakan bagaimana
kabamya ............ " (Ahm)
" ......................... masih keluarga, jadi
kita memang baku kenal baik, apalagi kalau ada
pertemuan keluarga sering kita cerita-cerita saya bisa tanya-tanya kalau ada pemasalahan
........................... (Tar)
" ......................... Kalau penderita Ahm., rumahnya dekat , jadi kadang-kadang saya
mampir ke rumahnya kalau kebetulan iewat kalau penderita Tar, rumah kita memang agak
berjauhan, tetapi sudah lama kita baku kenal karena kite memang masih keluarga sering
ketemu dengan saya kalau kebetulan ada acara keluarga (Imr) Tanpa adanya familiarity akan
memberikan suasana yang tidak kondusrf berlangsungnya suatu hubungan interpersonal. Hal
42
itu nampak dari ungkapan benkut ini:
" ......................... Saya tidak begitu kenal, Cuma waktu periksakan dahak dan mengambil obat
kita ketemu, selebihnya jarang "(Was)
“.......................... Saya memang lebih banyak tinggal di rumah saja, makanya jarang ketemu
pak mantri , kalau obat habis biasanya bapaknya anak-anak yang pigi ambit obatnya "(Sri)
“.......................... Penaerita Sri rumah dekat, tapi orangrya kurang bergaui makanya biarpun
berdekatan jarang ketemu saya, waktu berobat pun hanya suaminya yang datang ambil obat
sedangkan penderita Was memang rumahnya jauh dengan puskesmas akibatnya dia jarang
datang konttvl "(Imr)
B. PEMBAHASN
1. Penerimaan
Sebagai mahluk sosiai manusia senantiasa ingin berhubungan dengan
manusia lainnya. Dalam hidup bermasyarakat, orang yang tidak pernah
berkomunikasi dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari iingkungannya.
Pengaruh keterisolasian ini akan menimbulkan depresi mental, yang pada
akhirnya membawa orang kehilangan keseimbangan jiwa. Oleh sebab itu
menurut Dr. Everett Kleinjan dari East West Center Hawai, komunikasi sudah
merupakan bagian yang sangat penting dan kekal dalam kehidupan manusia
seperti halnya bernafas. Sepanjang manusia ingin hidup maka ia perlu
berkomunikasi. Sepanjang keinginannya untuk berhasil dalam apa yang
diupayakannya ia harus berhasil dalam komunikasi.
Demikian halnya yang terjadi dalam program pengobatan TB dengan
rentang waktu yang relatif panjang. Kelangsungan pengobatan ini sangat
dipengaruhi oleh kualitas hubungan interpersonal yang dibangun oleh petugas
TB dan penderita TB selama berlangsungnya pengobatan. Saiah satu
faktoratau variabel yang berpengaruh adalah penerimaan.
43
Menerima adalah sikap melihat orang lain sebagai manusia, sebagai
individu yang patut dihargai dan dihormati bagaimanapun keadaannya.
Menerima orang lain artinya mengertf dan menerimanya sebagairnana adanya
dengan segala perilakunya, serta memandangnya secara realistis.
Penerimaan yang dimaksud adaiah kemampuan untuk membina hubungan
yang ditunjukkan oleh petugas terhadap penderita dan sebaliknya penderita
terhadap petugas TB, selama menjalani pengobatan.
Dari hasil penelitian, penderita Mai mengungkapan fakta dari
pengalamannya dengan petugas Ade bahwa dia dilayani seperti saudara
sendiri dan petugas Ade tidak pernah marah-marah padanya. Senada dengan
penderita
Ma!,
penderita
Mok
menuturkan
bahwa
selama
menjalani
pengobatan, petugas Ade memperlakukannya dengan baik dan dia merasa
senang pelayanan yang diberikan. Fakta ini memiliki makna bahwa daiam
menjalani pengobatan, penderita ingin diperlakukan seperti saudara sendiri
oleh petugas TB. Keduanya terkesan dengan pelayanan yang akrab dan kental
dengan suasana kekeluargaan dan keramahan. Dan pendapat mereka itu
dibenarkan oleh petugas Ade. Dia menuturkan bahwa kedua orang itu adaiah
penderita
yang
baik.
Mereka
rajin,
bergaul
dengan
mereka,
cukup
menyenangkan.
Di tempat yang berlainan penderita Tar menuturkan dari pengalamannya
bahwa petugas Imr melayaninya sangat baik dan dia senang akan hal itu. Hal
yang sama diungkapkan oleh penderita Tarn. Dia mengungkapkan rasa
44
sukanya atas pelayanan petugas Imr, yang kalau ketemu sudah seperti teman
sendiri. Makna yang dikandung kedua fakta ini ialah bahwa penderita mau
supaya dilayani seperti teman sendiri. Dan tentang kedua penderita ini, petugas
Imr menuturkan bahwa mereka bisa menerima keadannya, gampang diajak
bicara, rajin dan patuh pada anjuran yang diberikan.
Dari fakta-fakta yang dikemukakart diatas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa dalam menjalani pengobatan, penderita TB ingin dilayani
diperlakukan seperti saudara atau teman sendiri oleh petugas TB. Pelayanan
kekeluargaan, bersahabat dan keramahan petugas TB, mereka responi
dengan sikap yang baik dan koperalif. Situasi ini berpengaruh kondusif bagi
kelangsungan
hubungan
interpersonal
dengan
petugas
TB,
sehingga
membuka peluang bagi kelangsungan pengobatan.
Di dalam pengobatan Tuberkulosis hal terpenting yang diharapkan dari
hubungan interpersonal petugas dan penderita adalah tindakan nyata dari
penderita untuk melakukan setiap anjuran dan petunjuk yang diberikan oleh
petgas T3. Sejalan dengan pendapat Stewart L. Stubb dan Sylvia Moss (1974 :
9 - 13), yang mengatakan bahwa komunikasi yang efektif paling tidak memiliki
lima hal:
1. Adanya pengertian
2. Hubungan itu disenangi
3. Memberikan pengaruh pada sikap
4. Hubungan yang semakin membaik
5. Dan adanya tindakan nyata.
45
Dalam banyak hal, efektifitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan
nyata yang dilakukan oleh komunikate. Karena untuk menimbulkan tindakan,
kita harus berhasil lebih dahulu menanamkan pengertian, membentuk dan,
mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik. Sebelum
menanamkan pengertian, harus ada sikap saling menerima satu dengan yang
lain. Bahkan untuk kontinuitas hubungan interpersonal, dibutuhkan saiing
penerimaan yang baik dengan intens pula.
Tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi. Ini bukan
saja memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme psikologis yang
terlibat dalam proses komunikasi, tetapi juga faktor-faktor yang mempengaruhi
faktor perilaku manusia.
Hasil penolitian ini juga menunjukkan hal yang berbeda dengan
penderita yang gagal dalam pengobatan. Penderita Lag mengungkapkan fakta
kesannya tentang petugas Ade bahwa petugas Ade baik. Namun dia enggan
ketemu karena perasaan dengan batuknya. Hal yang serupa diL;ngkapkan
penderita Ref yang menyatakan bahwa petugas Ade melayani dia dengan
baik, tetapi malu ke puskesmas karena tidak enak kalau batuk dilihat orang.
Fakta ini memiliki makna bahwa selama masih batuk penderita ingin supaya
dilayani secara pribadi di rumah, tempat yang bisa menjamin kerahasiaan
penyakit mereka dari orang banyak. Fakta bahwa mereka tidak mau datang ke
tempat pelayanan, dibenarkan oleh petugas Ade. Tentang kedua penderita itu,
petugas Ade mengungkapkan bahwa memang mereka jarang ke Puskesmas
karena malu dan minder. Mereka menginginkan keberadaannya hanya
46
diketahui petugas TB. Waiaupun informasi penyakitnya sudah disampaikan,
namun mereka belum memiliki pengertian yang cukup akan hal itu.
Ditempat yang berbeda penderita Was juga menyatakan bahwa ia jarang
ditanya-tanya dan tidak enak kalau pergi ke Rumah Sakit. Fakta yang sama,
penderita Sri menuturkan kesannya bahwa petugas Imr baik sama dia, namun
dia malu dan enggan ke Rumah Sakit karena risih dengan batuknya.
Ungkapan ini bermakna bahwa penderita TB karena batuknya, menginginkan
perhatian khusus petugas TB dan pelayanan di rumah, maksudnya supaya
penyakitnya tidak dikefahui oleh orang lain. Dalam hal ini petugas Ade tidak
bisa menyanggupinya dan hanya menunggu mereka di tempat pelayanan.
Seperti yang nyata dari ungkapannya kedua penderita itu jarang menemuinya
di Rumah Sakit.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwasanya penderita TB yang
masih dalam keadaan batuk, menginginkan dari petugas TB perhatian khusus
dan dilayani di rumah sendiri, tempat yang aman dari pengamatan orang
supaya kerahasiaan penyakitnya tetap terjamin. Karena keinginan itu tidak
terpenuhi oleh petugas TB, maka mereka mengambil keputusan sendiri;
berhenti menjalani program pengobatan. 2. Kejujuran
Kejujuran adalah faktor yang sangat penting dalam menumbuhkan sikap
saling mempercayai. Supaya ditanggapi dan dipahami dalam porsi yang
sebenarnya hams ada kejujuran dalam mengungkapkandiri kepada orang lain.
Kejujuran mengungkapkan diri tersebut dapat terjalin bila adanya kepercayaan
yang menyebabkan perilaku seseorang dapat diduga demikian pula sebaliknya.
47
Kepercayaan tidak mungkin ada dalam ketidakjujuran.
Dalam
hubungan
petugas
dan
penderita
TB
dengan
program
pengooatan yang berlangsung cukup lama dan intensif, faktor kejujuran
merupakan salah satu hal yang harus tercipta dalam membangun komunikasi
interpersonal diantara mereka.
Dari hasil penelitian, penderita Mok menuturkan bahwa petugas Ade
dengan terus terang memberitahukan perihal penyakitnya. Hal yang sama
terjadi pada penderita Lem. Dia mengungkapkan bahwa sebelum memulai
minum obat, petugas Ade menerangkan bagaimana supaya sembuh. Dia harus
minum obat secara teratur paling kurang enam bulan dan kalau tidak
penyakitnya bisa tambah parah. Kedua fakta ini bermakna bahwa dalam
menjalani pengobatan, penderita menginginkan petugas TB memberikan
informasi yang jelas tentang penyakitnya dan tata cara minum obat yang
disampaikan berkesinambungan. Ungkapan mereka in; dibenarkan oleh
petugas Ade, yang menyatakan bahwa penderita Mok tidak malu dengan sakit
yang dideritanya, dia juga terbuka menyampaikan keluhannya. Demikian halnya
dengan penderita Lem. Maknanya, petugas menginginkan penderita rajin dating
dan terbuka menyampaikan keluhan.
Penelitian di tempat lain, penderita Ahm dan Tarn mengungkapkan
bagaimana pelayanan
petugas Imr terhadap mereka. Penderita Ahm
menuturkan bahwa waktu menjalani pengobatan, petugas Imr memberitahukan
bahwa penyakitnya tidak berbahaya yang penting di obati sampai sembuh. Hal
senada disampaikan penderita Tarn yang mengungkapkan bahwa dia merasa
48
lega karena bisa menerima informasi penyakitnya. Fakta-fakta ini menunjukkan
bahwa dalam menjalani program pengobatan, penderita ingin supaya petugas
TB terus terang menginformasikan penyakit yang dideritanya dan menjelaskan
bagaimana caranya supaya sembuh. Dengan informasi tersebut diketahui
segala
sesuatu
menyangkut
penyakitnya
dan
meyakinkannya
bahwa
kesembuhan itu bukanlah sesuatu yang mustahil asalkan penderita TB berobat
secara kontinu sampai enam bulan. Dengan memahami, mereka bisa
menyadari keadaannya dan mengambil tanggung jawab dalam proses
penyembuhannya. Mereka hams merubah sikap dan mengambil tanggung
jawab. Di pihak lain, petugaspun menghaiapkan keterbukaan dari penderita bila
menemui permasalahan.
Dari fakta-fakta yang terungkap, dapt disimpulkan bahwa dalam
menjalani pengobatan, penderita TB ingin supaya petugas terus terang
menyampaikan informasi tentang penyakitnya dan bagaimana caranya supaya
mereka sembuh.
Kejujuran adalah faktor yang sangat penting dalam menumbuhkan sikap
saling mempercayai. Kejujuran seorang petugas TB menyampaikan informasi
pada penderita, menumbuhkan pengertian, keyakinan dan keteguhan dalam diri
penderita. Ada ungkapan menyatakan bahwa bila kita menginginkan hubungan
interpersonal yang baik, harus dihindari terlalu banyak "penopengan". Tidak
akan muncul kepercayaan terhadap ketidakjujuran. Sebaliknya kita menaruh
kepercayaan kepada orang yang terbuka, atau tidak mempunyai pretense yang
dibuat-buat.
49
Penelitian menginformasikan dalam hal kejujuran penderita-penderita
yang gagal dalam pengobatan memiliki pengalaman tersendiri dengan petugas
Ade dan Imr. Penderita Lag mengungkapkan dengan nada frustasi bahwa
berkali-kaii sudah menyampaikan bahwa tidak ada perbaikan, tetapi petugas
TB menyuruhnya untuk terus minum. Penderita Ref dengan kecewa juga
menuturkan bahwa dia mengambil keputusan sendiri untuk berhenti minum
obat karena tiap minum obat, tidak enak perasaannya. Kedua fakta ini
bermakna
bahwa
menginformasikan
penderita
dengan
ini
jelas
menginginkan
penyakitnya
petugas
dan
TB
terbuka
berkesinambungan
menjeiaskan hal-hal yang berhubungan dengan tata cara dan efek yang timbul
akibat pengobatan. Informasi yang disampaikan petugas Ade bahwa informasi
sudah disampaikan tetapi mungkin penderita belum mengerti benar. Fakta ini
menunjukkan informasi sudah diberikan tetapi belum dimengerti penderita dan
tidak dijelaskan kembali. Pemahaman mereka masih terbatas, sehingga
menerima diri sendiripun sulit akibatnya mereka menutup diri. Keduanya
pendiam dan malu datang ke Puskesmas.
Penelltian pada inctitusi yang lain menunjukkan melalui penderita Sri yang
mangungkapkan bahwa dia merasa tidak enak kalau minum obat, tetapi malu
memberitahukan petugas Imr. Ditambahkan , untuk mengambil obat dia
mewakilkan suaminya. Hal yang sama, penderita Abd menuturkan bahwa ia
merasa tidak cocok dengan obat-obat TB. Kedua fakta ini bermakna bahwa
kedua penderita ingin penjelasan tambahan dan berkesinambungan atas
penyakit dan prosedur pengobatan dan dan apa yang mereka lakukan bila
50
timbul reaksi obat. Dan petugas mengkonfirmasi bahwa penderita Sri malu
datang padanya dan takut menyampaikan kalau ada masalahnya. Orangnya
susah bergaul atau diajak bicara. Sedangkan penderita Abd tidak patuh pada
anjuran. Maknanya bahwa petugas TB juga inginkan penderita TB datang
menemuinya dan terbuka menyampaikan keluhannya.
Dari fakta-fakta yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa
penderita-penderita TB itu gagal menyelesaikan pengobatan karena belum
memahami dengan baik penjelasan yang sudah disampaikan petugas TB.
Penderita TB menginginkan petugas TB menginformasikan dengan jelas
tentang penyakitnya dan secara rutin menjelaskan tata cara pengobatan serta
reaksi obat yang timbul. Namun dalam hal ini petugas tidak melakukan apa
yang diinginkan penderita TB. Dari pernyataannya kelihatan bahwa penderita
menjalani pengobatan dengan penuh keraguan dan ketidakpastian. Petugas
tidak secara berkesinambungan memberikan informasi yang dibutuhkan.
Akibatnva pada saat tidak enak perasaan minum obat atau perbaikan kondisi
mereka belum kelihatan meieka menafsirkan itu sebagai ketidakcocokannya
terhadap pengobatan.
Petugas
terhadapnya
TB
dalam
hams
dapat
menangani
membangun
penyakitnya.
kepercayaan
Petugas
TB
penderita
hams
bisa
meyakinkan penderita TB secara berkesinambungan akan apa yang sedang
dan akan dialaminya dengan pengobatan serta segala konsekuensinya sedetail
mungkin, sehingga penderita dapat mengerti dan meyakini bahwa kondisi
kesehatan yang lebih baik pasti akan menjadi miliknya setelah menjaiani
51
pengobatan. Keterbukaan petugas dapat menentukan respon penderita dalam
berhubungan selanjutnya.
Merujuk pendapat Arnold P. Golstein (1975) yang mengembangkan
"relationship-enchancement methods" (metode peningkatan hubungan) dalam
psikoterapi. la memmuskan metode ini dengan tiga prinsip, Makin baik
hubungan interpersonal petugas TB dengan penderita TB .
a. Makin terbuka penderita TB mengungkapkan perasaannya
b. Makin cenderung penderita TB meneliti perasaannya secara
mendalam beserta petugas TB
c. Makin cenderung penderita TB mendengar dengan penuh perhatian
dan bertindak atas nasehat yang d.iberikan petugas TB.
3. Ganjaran
Hampir semua pernyataan manusia baik yang ditujukan untuk
kepentingan dirinya maupun untuk kepentingan orang lain dinyatakan dalam
bentuk simbol. Hubungan antara pihak-pihak yang ikut serta dalam proses
komunikasi banyak ditentukan oleh simbol-simbol atau lambang-lambang yang
digunakan dalam berkomunikasi.
Menurut teori pertukaran sosial (social exchange theory), interaksi sosial
adalah semacam transaksi dagang. Kita akan melanjutkan interaksi bila laba
lebih banyak daripada biaya. Bila pergaulan diantara sesama sangat
menguntungkan dari segi psikologis dan ekonomis maka interaksi akan terus
berlangsung.
Seseorang
berhubungan
dengan
orang
lain
karena
ia
52
mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Ganjaran diuntukkan
bagi orang yang kita senangi, dapat berupa dorongan mori!, pujian, motivasi
atau hal-hal yang dapat meningkatkan harga diri seseorang.
Nilai sebuah ganjaran berbeda-beda seorang terhadap yang lain bisa
dalam bentuk materi ataupun non material. Dari hasil penelitian, penderita Mok
mengungkapkan bahwa setiap ketemu petugas Ade, petugas Ade selalu
senyum dan ramah terhadapnya. Dia menambahkan dengan kondisinya sudah
membaik, sudah memungkinkan baginya untuk masuk kantor dan mengolah
kebunnya.. Hal yang sama dituturkan pula oleh penderita Lem. Di sampaikan
bahwa petugas Ade banyak memberikan dorongan untuk tidak bosan minum
obat, tidak malu iagi untuk ketemu dan bicara dengan orang lain serta dengan
bantuan petugas Ade kini dia sudah bisa bekerja mencari nafkah untuk
keluarganya. Pernyataan ini memiliki makna bahwa dalam menjalani
pengobatan, penderita TB menginginkan dari petugas TB senyuman,
perhatian, keramahan dan dorongan moril. Penderita itu menyadari bahwa
pengobatan yang dijalaninya telah mengubah keadaannya kearah yang lebih
baik. Sudah bisa bisa bekerja dan mencari nafkah sama seperti sebelumjatuh
sakit.
Ungkapan
petugas
Ade
membenarkan
pernyataan
ini.
Dia
rnenambahkan bahwa penderita itu baik dan senang karena p^nyakitnya
sembuh sampai ada yang antarkan ayam, undang rr.akan- makan, dan kasih
gratis tempel ban, ramah bila ketemu dijalan. Fakta ini bermakna bahwa
petugas TB ingin penderita rajin minum obat. Di antara mereka terjalin
hubungan akrab yang ditandai saling memberi dan menerima.
53
Dalam hubungannya dengan petugas Imr, penderita Ahm mengungkapkan
bahwa petugas Imr baik dan mendorongnya untuk tidak pasrah. Petugas Imr
juga tidak lupa membawakan obatnya bila ia tidak sempat mengambilnya.
Ungkapan yang senada juga dituturkan Tar . Dia menuturkan bahwa pelayanan
petugas Imr menyenangkan, penuh perhatian dan selalu memberikan
semangat untuk terus minum obat. Pernyataan kedua penderita TB ini
mengandung makna bahwa ingin adanya adanya sokongan moril dan perhatian
dari petugas TB selama menjalani pengobatan. Bagi Imr sendiri diakui bahwa
Ahm dan Tarn adalah pasien yang baik. Mereka patuh, penurut dan penuh
perhatian pada apa yang disampaikan.
Dari fakta-fakta yang terungkap diatas maka dapat disimpulkan bahwa
dalam menjalani pengobatan TB yang relative panjang itu, penderita
menginginkan dorongan moril, keramahan, perhatian dan senyum dari petugas
TB. Di mata penderita hal seperti itu sangat berarti untuk bertahan menjalani
pengobatan. Kenyataannya hal itu membuat mereka senang , merasa
terdorong dan bersemangat serta mematuhi setiap petunjuk petugas TB dalam
menjalani pengobatan.
Dan bagaimana hasil penelitian dari pengalaman penderita-penderita
yang gagal daiam pengobatan? Penderita Lag menuturkar, dengan nada
frustasi dan kecewa bahwa ia capek kalau hams ke puskesmas karena tidak
ada perbaikar. dari pengobatan yang ia sudah jalani. Hal yang hampir sama
juga dikemukakan penderita Ref. Dia menuturkan bahwa dia malu pada
keadaannya yang belum juga membaik dan sering batuk bila bicara. Hal itu
54
membuatnya lebih banyak diam. Fakta ini bermakna bahwa penderita TB dalam
menjalanin pengobatan mau supaya petugas TB meyakinkannya bahwa
keadaan mereka bisa membaik kembali kalau minum obat teratur sampai
tuntas. Dan selalu diingatkan untuk tetap minum obat teratur sampai selesai.
Kenyataan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mereka tidak percaya
pada pengobatan akan memberikan kesembuhan. Keyakinan ini muncul karena
kurangnya petugas TB meyakinkan dan mengingatkannya kembali. Hal ini
dibenarkan pula oleh petugas Ade. Dia mengungkapkan bahwa kedua
penderita itu tertutup dan malas datang ke puskesmas. Fakta ini juga
mengandungt makna bahwa petugas juga mau supaya mereka rajin datang dan
terbuka menyampaikan bila ada keluhan.
Hal senada diungkapkan penderita Was dan Abd di tempat berbeda.
Penderita Was mengungkapkan bahwa bila ia naik taksi dia merasa pusing,
muntah dan capek kalau bolak-balik selama enam bulan. Hal sama
diungkapkan penderita Abd. Dia menuturkan kalau minum obat dia merasa
pusing dan muntah. Makna dari fakta ini adalah penderita TB menginginkan
supaya petugas TB meyakinkan bahwa keadaan mereka akan kembali
membaik. Dan selalu pula diingatkan untuk terus minum obat secara teratur
sampai selesai. Dan menjelaskan pula bahwa obat itu kadang memiliki reaksi
yang dirasakan tidak enak dan ada jalan keluarnya. Fakta dalam penelitian ini
bahwa mereka belum memahami sepenuhnya informasi tentang penyakit dan
seluk-beiuk pengobatannya. Mereka berharap begitu minum obat kondisinya
segera
membaik
dan
efek
samping
dari
obat
ditafsirkan
sebagai
55
ketidakcocokan pengobatan. Pengalaman petugas Imr dengan mereka,
diungkapkan bahwa penderita Was jarang datang menemuinya, orangnya
tertutup. Penderita Abd kurang perhatian sehingga sering lupa pada apa yang
di sampaikan. Maknanya, petugas TB menginginkan supaya penderita TB rajin
datang ke tempat pelayanan dan terbuka menyampaikan bila ada keluhan.
Dari fakta-fakta ini dapat disimpulkan bahwa penderita-penderita TB
diatas gagal menyelesaikan pengobatan karena tidak mendapatkan hal yang
mereka butuhkan. Mereka menginginkan petugas TB menginformasikan
dengan jeias penyakit mereka dan secara berkala menyampaikan prosedur
pengobatan dan apa yang dilakukan bila muncul efek samping obat.
Pemahaman yang minim dan keterbatasan waktu kontak dengan petugas TB,
menjadi penyebab mereka tidak mengetahui bahwa untuk sembuh butuh
proses yang terkadang lama dan bahwa obat-obat yang ditelan biasa memiliki
efek yang tidak mengenakkan. Jadi bila perlu obatnya ditelan secara terbagi.
Dari penderita TB, petugas TB mau supaya mereka rajin dating ke tempat
pelayanan dan terbuka menyampaikan bila ada keluhan. 4. Familiarity
Perilaku kita dalam komunikasi interpersonal amat tergantung pada
persepsi interpersonal. Salah satu tujuan komunikasi. ditujukan untuk
menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia adalah mahluk sosial yang
tak tahan hidup sendiri dan selalu ingin berhubungan dengan sesama secara
positif. Yang dimaksud kebutuhan sosial disini adalah kebutuhan yang
menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan
orang lain dalam hal interaksi.
56
Prinsip familiarity seperti ungkapan dalam peribahasa Indonesia, "tak kenal
maka tak sayang" atau lebih jauh lagi makin dikenal makin disayang. Semakin
sering
kita
bertemu
dengan
seseorang
maka
akan
muncu!
suatu
kecenderungan untuk menyukai orang tersebut. Robert B Zajonc (1968)
menulis ; "Jika kita sering berjumpa dengan seseorang - asa! tidak ada hal lain kita akan menyukainya".
Bila orang gagal menumbuhkan hubungan interpersonal maka hal yang
mungkin terjadi adalah kegagalan dalam mencapai suatu tujuan. Dalam
pengobatanTB dengan rentang waktu yang cukup lama, keberlangsungannya
amat tergantung pada hubungan interpersonal petugas dan penderita yang
bersangkutan.
interpersonal
Adanya
familiarity
berlangsung.
menentukan
Familiarity
yang
sejauh
nampak
mana
hubungan
dalam
hubungan
interpersonal petugas dan penderita TB sangat menentukan kelangsungan
hubungan interpersonal diantara mereka.
Dari hasil penelitian, penderita Mai menyatakan bahwa antara ia dan
petugas Ade memiliki hubungan yang akrab, rumahnya berdekatan dengan
puskesmas sehingga memudahkan untuk bertemu. Dan memang suka dan
sering bertemu dengan petugas Ade. Informan Mok juga mengungkapkan hal
yang sama. Mereka sering bertemu dan merasa senang bila ketemu setiap
saat, baik pada saat mengambil obat atau dikesempatan yang lain. Senang
bisa cerita atau tanya petugas Ade bila ada masalah. Fakta-fakta ini memiliki
makna bahwa dalam menjalani pengobatan, penderita ingin supaya kontak
yang lebih sering dan dilakukan kapan dan dimana saja dengan petugas TB.
57
Pertemuan yang tidak terbatas di tempat pelayanan, dimana penderita dengan
bebas bercerita atau menyampaikan bila ada keluhan. Petugas Ade
membenarkan pernyataan penderita Mai, dan Mok tersebut diatas. Dengan
Mok biasa ketemu di kantornya selain di Puskesmas dan dengan penderita Mai
sering datang ke Puskesmas dan petugas Ade juga biasa ke rumah Mai. Faktafakta ini juga menunjukkan bahwa petugas Ade ingin supaya rajin datang dan
menghubunginya bila ada keluhan.
Di tempat yang berlainan, penderita Ahm menuturkan pengalamannya
dengan petugas Imr. Dia mengungkapkan fakta bahwa dia senang bertemu
serta berusaha senantiasa bertemu petugas Imr. Dia menambahkan bahwa
dengan bertemu minimal bisa menanyakan keadaannya. Fakta yang sama juga
diungkapkan penderita Tar yang menuturkan.dengan petugas Imr masih ada
hubungan keluarga jadi memang saling mengenai dengan baik. Dia bisa
bertemu setiap saat apakah di Rumah Sakit atau di pertemuan-pertemuan
keluarga, bisa bercerita dan menanyakan bila menemui permasalahan dalam
menjalani pengobatan. Fakta-fakta ini memiliki makna penderita-penderita TB
ini menginginkan kontak yang lebih sering dengan petugas TB yang dii?.kukan
bisa dimana saja dan kapan saja, saat dimana mereka bisa menyampaikan bila
ada permasalahan ditemui. Petugas Imr menuturkan bahwa sering ada kontak
dengan mereka. Dengan penderita Ahm kcntak dipermudah karena rumahnya
dekat Rumah Sakit. Sedang dengan penderita Tar, rumahnya jauh tapi karena
biasa bertemu dalam pertemuan keluarga. Fakta ini bermakna bahwa petugas
Imr juga mau supaya setiap saat ada kontak dengan penderita agar bisa
58
memantau keadaan mereka.
Menyimak fakta-fakta yang dikemukakan diatas dapat disimpuikan
bahwa dalam menjalani program pengobatan TB yang membutuhkan waktu
cukup panjang, penderita menginginkan kontak lebih sering, yang tidak harus
formil di tempat pelayanan tetapi dimana dan kapan saja. Sebab dengan
demikian penderita merasa lebih bebas mengungkapkan permasalahannya dan
kerahasiaan penyakitnya terjamin dari pihak ketiga. Bagi petugas sendiri,
dengan kontak itu bisa lebih sering berinteraksi; mendorong dan mengingatkan
untuk terus minum obat.
Semakin sering kita melihat seseorang, semakin cenderung kita
menyukai orang tersebut. Pengulangan penyampaian pesan, penting dalam
mempengaruhi pendapat dan sikap seseorang. Aspek kekeluargaan dan
kedekatan memiliki pengaruh yang kuat bagi kelangsungan suatu hubungan
interpersonal atau hubungan komunikasi. Semakin sering orang bertemu,
semakin menimbulkan rasa sayang dan keakraban satu dengan yang lain.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita-penderita yang gagal
dalam pengobatan, memiliki juga hubungan tertentu dengan petugas TB.
Penderita Lag misalnya menuturkan suatu fakta bahwa dengan petugas Ade
walaupun sebelumnya sudah pernah ketemu namun tidak begitu akrab,
Demikian juga halnya dengan penderita Ref. Pengalaman menunjukkan bahwa
dengan petugas Ade seiama menjalani pengobatan, cuma dua kali bertemu
waktu memeriksakan dahak. Selebihnya suaminya atau anak- anaknya yang
59
datang ambil obat. Fakta ini bermakna bahwa penderita- penderita ingin supaya
petugas TB memberikan perhatian khusus bagi mereka, kejelasan informasi
penyakit dan tata cara pengobatan yang berkesinambungan. Dan situasi ini
mereka tidak dapatkan dari petugas TB. Hal itu membuat mereka kurang
perhatian dan malas dalam menjalani pengobatan. Ungkapan kedua penderita
tersebut diakui oleh petugas Ade bahwa memang mereka jarang datang
berobat hanya lebih sering keluarganya yang datang mengambil obat.
Maknanya bahwa petugas TB ingin supaya penderita TB rutin datang ke tempat
pelayanan dan terbuka mengungkapkan bila ada keluhan.
Pada institusi lain, penderita Sri mengungkapkan bahwa seiama berobat,
dia jarang bertemu petugas Imr. Untuk mengambil obat, dia mewakilkan
suaminya walaupun rumahnya dekat Rumah Sakit. Lain halnya dengan
penderita Was. Dia menuturkan bahwasanya ia tidak begitu mengenal petugas
Imr, selama berobat mereka hanya bertemu sebanyak dua kali.
Fakta-fakta ini memiliki makna bahwa penderita ingin lebih mendapat
perhatian dan kunjungan petugas TB. Pada penelitian ini petugas Imr tidak
menyanggupi hal itu. Melalui penuturannya diketahui bahwa memang penderita
malas datang ke tempat pelayanan. Dan hal itu membuat penderita kurang
motivasi menjabni pengobatan. Untuk mengambil obat, penderita Sri mengutus
suaminya sedangkan Was rumahnya jauh dan sulit baginya untuk naik mobil.
Jadi untuk obattambahan, anak-anaknya yang mengambilkan.
Dari fakta-fakta ini dapat disimpulkan bahwa penderita TB ingin supaya
petugas TB lebih memperhatikan dan mengunjungi mereka. Dan hal seperti itu
60
tidak dilakukan oleh petugas TB. Petugas menginginkan penderita mengunjungi
petugas TB di tempat pelayanan.
Kurangnya kontak membuat penderita TB kurang informasi, kurang akrab
dan diluar jangkauan pengawasan petugas TB. Hal itu menyebabkan mereka
kurang serius dan bermasa bodoh menjalani pengobatan. Begitu perbaikan
yang diharapkan lambat datang dianggap ketiddakcocokan pengobatan. Dan
bila keadaan sudah membaik, hal itu sudah dianggap sembuh, jadi obat-obat
tidak diperlukan lagi.
Lebih sering juga mereka enggan ke tempat tempat pelayanan karena
penderita TB takut timbulnya reaksi penoiakan, stigma sosial sehingga takut
tidak diterima keluarga atau teman. Kontak yang jarang dengan petugas TB,
kemungkinan untuk memperoleh informasi tentang penyakitnya tidak ada sama
sekali. Secara otomatis juga hubungan komunikasi jadi berhenti. Oleh karena
itu petugaspun perlu menyisihkan waktu untuk bisa mengunjungi penderita di
rumahnya.
Secara tidak langsung penderita yang mengerti penyakitnya tidak
mengaiami masalah dan setalu berusaha untuk bertemu setiap saat dengan
petugas TB. Dia merasa penting datang sendiri mengambil obatnya. Mereka
tidak banyak menemukan kendala yang berarti dalam menyelesaikan program
pengobatan.
Kedatangan
mereka
menemui
petugas
secara
otomatis
menimbulkan interaksi yang baik, yang akan menumbuhkan rasa kasih
sehingga penderita cenderung melakukan setiap anjuran petugas. Benariah
perihahasa mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Dengan mengenal lebih
61
dekat, maka akan timbul rasa kasih yang lebih dalam. Wujud kasih itu akan
dinyatakan dengan bertindak sesuai apa yang diinginkan petugas TB.
Sebaliknya penderita yang tidak memahami atau kurang informasi tentang
penyakitnya, perhatian dan keseriusannya kurang. Mereka malas untuk
bertemu
petugas.
Lebih
sering
mewakilkan
anggota
keluarga
untuk
mengambilkan obat. Mereka akan berhenti minum obat dengan sendirinya pada
saat keadaan sudah membaik atau bila mengaiami masalah dan merasa tidak
enak minum obat.
62
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam menjalani pengobatan, penderita TB menginginkan petugas TB
memperlakukan mereka seperti saudara atau teman sendiri, dilayani
dengan ramah dan bersahabat. Hambatan yang penderita alami ialah
kalau batuk, malu ke tempat pelayanan. Mereka mau supaya
diperhatikan khusus petugas TB dan mengunjunginya di rumah.
Sedangkan petugas TB inginkan supaya penderita TB rajin datang
menemuinya dan terbuka menyampaikan bila ada keluhan.
2. Penderita TB ingin supaya Detugas TB terus terang memberikan
informasi penyakitnya dan penjelasan bagaimana caranya agar mereka
sembuh. Hambatan yang penderita biasa alami adalah mereka belum
mengerti dengan jelas informasi dan petugas tidak berkesinambungan
menyampaikan informasi tentang tata cara pengobatan benar.
3. Dalam menjalani pengobatan, penderita TB ingin supaya petugas TB
bersikap ramah, penuh perhatian dan senantiasa memberikan dorongan
moril. Hambatan yang penderita biasa alami adalah belum paham
tentang penyakitnya dan bahwa bila sembuh keadaan mereka kembali
baik seperti semula. Petugas TB tidak menjelaskgn tentang cara
pengobatan dan harus bagaimana bila ada efek samping obat.
4. Penderita TB dalam menjalani pengobatan, mau supaya lebih sering ada
kontak dengan petugas TB, dimana dan kapan saja. Hambatan yang
63
biasa ditemui penderita TB adalah informasi yang kurang jelas
akan penyakitnya dan kurangnya perhatian serta kunjungan dari petugas TB.
B. Saran-saran
1. Untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi yang baik bagi petugas
TB, perlu dilakukan pelatihan khusus tentang teknik komunikasi yang
baik. Petugas TB menerapkan pelayan yang bersifat kekeluargaan dan
tidak terlalu formil,, meluangkan waktu lebih banyak untuk koniak dengan
penderita TB, terus terang memberikan informasi, serta bisa memberikan
dorongan dan perhatian dalam pelayanannya.
2. Dalam rangka meningkatkan jangkauan pelayanan dan membina
hubungan komunikasi yang baik bagi petugas TB dengan penderita TB,
maka diperlukan pengadaan dana khusus dan sarana tranportasi bagi
petugas TB.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut perihal yang belum tercakup dalam
penelitian ini.
64
DAFTAR PUSTAKA
Bahar, B 2003. Bahan Kuliah Metode Penelitian Kuaiitatif Program Magister
Promosi Kesehatan FKM UNHAS . Makassar.
DarmasemayaAA.G.R. & Gilarsi, T.R. 2003. Compliance to Tuberculosis
Treatment in Bali. Medika Online - Tempo Interaktif (Online), Edisi 22
/10 / 2003, (Htm : // Client my doc./ Medika Online / Tempo Interaktif
/ diakses 24 Oktober 2004).
Cangara, H. 2002. Pengantar llmu Komunikasi. PT Raja Grafina’o Persada.
Jakarta
Coieman, D. and Speeth.K.R. 1993. Esensial Psikoterapi, Teori dan Praktek.
Penerbit Dahara Prize. Semarang.
DeVito, J.A.1997. Komunikasi Antar Manusia. Kuliah Dasar, Edisi Kelima.
Professional Books. Jakarta.
Departemen Kesehatan R.l. 2000, Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis, Cetakan Kelima, Jakarta.
2002, Panduan Manajemen PHBS Menuju Kabupaten / Kota Sehai,
Jakarta.
2003, Kemitraan menuju Indonesia Sehat2010, Jakarta
------------1999, Buku Pedoman Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Di Rumah
Sakit (PKM - RS), Jakarta.
-----------2002. Kemitraan Dengan Sektor Swasta. Jakarta
----------2003 Sistim Kesehatan Nasionai. Jakarta
........... 2004. Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta
Ewles, L. and Simnett, I. 1984. Promosi Kesehatan, Petunjuk Praktis. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta
Gunarsa, S.D. 2003. Konseling Dan Psikoterapi. Penerbit BPK Gunung Mulia.
Jakarta.
Kusnantd. H. Metode Penelitian Kualitatif dalam Riset Kesehatan. Aditya Media.
Yoyakarta.
65
Kompas edisi 21 Maret 1998. WHO: 16 Negara bertanggung jawab atas
epidemi TB global.
Lumenta.B. 1989. Pasien. Citra, Peran, dan Perilaku. Tinjauan Fenomena
Sosial. Penerbit Kanisius. Jakarta.
Mantra. I.B. 1997. Strategi Penyuiuhan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.l.
Jakarta
Moleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit PT.Remaja Rosdakarya.
Bandung
Ngatimln. H.M.R. 2003. Ilmu Penlaku Kesehatan. Yayasan "PK-3". Makassar.
Notoatmodjo, S 2003. Pendidilkan Dan Perilaku Kesehatan. Penerbi* Rineka
Cipta. Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Peneiitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta.
Rakhmat. J. 2003. Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi. PT. Remaja Rosdakarya
Offset. Bandung.
Setiawan.Th.l. dan Maramis.W.F. '1990. Etik Kedokteran. Pedoman Dalam
Mengambil Keputusan. Airlangga University
Suyono, S. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi Ketiga, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
Supriyono, S. 2003. Sistem Kesehatan Nasional, Sistem Kesdehatan Wilayah
sebagai Dasar Perencanaan kesehatan Kota dan Kabupaten. Majaiah
Kesehatan Perkotaan Vol. 10 No. 2. Puslitkes Unika Atmajaya.
Jakarta.
Thaha.R. Bahan kuliah Penelitian Kualitatif Program Magister Promosi
Kesehatan 2004 FKM UNHAS. Makassar.
Download