TESIS PENINGKATAN KADAR S100β DAN KADAR INTERLEUKIN-6 SERUM BERKORELASI DENGAN TINGKAT KEPARAHAN DELIRIUM PADA PASIEN GERIATRI YANG DIRAWAT DI RSUP SANGLAH YOSEF SAMON SUGI NIM 1014048107 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 1 2 2016 PENINGKATAN KADAR S100β DAN KADAR INTERLEUKIN-6 SERUM BERKORELASI DENGAN TINGKAT KEPARAHAN DELIRIUM PADA PASIEN GERIATRI YANG DIRAWAT DI RSUP SANGLAH Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana YOSEF SAMON SUGI NIM 1014048107 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 3 2016 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL……………. Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. dr. R.A.Tuty Kuswardhani,SpPD-KGER.MARS NIP. 195911041989032003 dr. I.G.P. Suka Aryana, SpPD-KGER NIP. 197103292006041001 Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.SC, SpGK NIP. 195805211985031002 Prof.Dr.dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP : 195902151985102001 4 Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal…………. Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No…………, Tanggal………. Ketua : Dr. dr. R.A.Tuty Kuswardhani,SpPD-KGER.MARS Anggota : 1. dr. I Gusti Putu Suka Aryana, Sp.PD-KGER 2. dr. Nyoman Astika, Sp.PD-KGER 3. Dr. dr. Wayan Sudhana, Sp.PD-KGH 4. Dr. dr. Desak Made Wihandani, M.Kes 5 UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas karunia dan izin Nya tesis yang berjudul “Peningkatan Kadar S100β dan Kadar Interleukin-6 Serum Berkorelasi dengan Tingkat Keparahan Delirium pada Pasien Geriatri yang Dirawat di RSUP Sanglah” dapat diselesaikan dalam rangka menyelesaikan pendidikan di Program Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana. Tulisan ini disusun untuk memenuhi persyaratan tugas akhir studi yang dijalani Penulis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa hormat, rasa kagum dan penghargaan serta terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. dr. R.A. Tuty Kuswardhani, SpPD-KGER.MARS selaku Pembimbing I, yang telah memberikan banyak sekali masukan dan bimbingan serta semangat kepada penulis selama penyusunan tesis ini. 2. dr. I Gusti Putu Suka Aryana, SpPD-KGER selaku pembimbing II, yang telah banyak memberikan bimbingan, banyak sumber masukan dan dorongan serta semangat kepada penulis selama penyusunan tesis ini. 3. Bapak Rektor Universitas Udayana saat itu, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PDKHOM yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Magister pada Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana. 6 4. Bapak Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD yang juga telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Magister pada Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana. 5. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT. M.Kes yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Magister pada Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana 6. Ibu Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Magister pada Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana. 7. Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.SC, SpGK selaku ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Magister pada Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana. 8. Dr. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Udayana, atas kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 9. Kepala Program Studi Ilmu Penyakit Dalam, Prof. Dr. dr. IDN. Wibawa SpPD KGEH atas kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 10. dr. Nyoman Astika, SpPD-KGER, Dr. dr. Wayan Sudhana, SpPD-KGH, dan Dr. 7 dr. Desak Made Wihandani, M.Kes, selaku penguji yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis ini. 11. Prof. Dr. dr Tjok Raka Putra, SpPD-KR, sebagai mantan Kepala Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah dan Prof. Dr. dr Ketut Suwitra, SpPD-KGH sebagai mantan Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah yang pada masanya telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan spesialisasi. 12. Para dosen pengajar dan rekan-rekan residen Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selalu memberikan doa dan dorongan. 13. Ayahanda Drs. Yoseph Sugi, MSc beserta ibunda Petronela Neno atas doa, dukungan dan pengertiannya selama menempuh pendidikan 14. Kakak dan adik, Fransiska V. Sugi, Antonius R.B. Ola, Maria D.N Sugi, Felix Sugi dan Gavriel A. Sugi atas doa, dukungan dan pengertiannya selama menempuh pendidikan. 15. dr. Petrus Irianto, dr. Anselmus Ake, dr. Yohanes SP, teman-teman “IRB 2010” dan teman-teman lainnya, terimakasih atas motivasi dan persahabatan yang kalian berikan selama ini. Penulis juga sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu dalam pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada mereka semua. Akhir kata, tiada gading yang tidak retak, untuk itu penulis berharap dengan 8 segala kekurangan dalam tugas akhir ini dapat memberikan manfaat bagi penulis pribadi, bagi program pendidikan Magister Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan. Denpasar, April 2016 Penulis, dr. Yosef S. Sugi ABSTRAK PENINGKATAN KADAR S100β DAN 9 KADAR INTERLEUKIN-6 SERUM BERKORELASI DENGAN TINGKAT KEPARAHAN DELIRIUM PADA PASIEN GERIATRI Delirium adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan onset yang akut dan berfluktuasi. Pasien-pasien yang mengalami delirium, ketika dibandingkan dengan pasien-pasien yang tidak mengalami delirium, menjalani perawatan yang lebih lama. S100β merupakan calcium-binding protein yang disekresi oleh astrosit dibawah pengaruh kondisi metabolik stres dan merupakan biomarker yang menandakan kerusakan dari sistem saraf pusat. Sedangkan peningkatan kadar IL-6 (penanda neuroinflamasi) berhubungan dengan risiko terjadinya delirium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya korelasi antara kadar S100β dan kadar interleukin-6 serum dengan tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri. Rancangan penelitian ini merupakan penelitian potong lintang analitik untuk mengetahui korelasi antara kadar S100β serum dan kadar interleukin-6 serum dengan tingkat keparahan delirium.Tingkat keparahan delirium diukur menggunakan kuesioner. Setiap subyek penelitian akan dilakukan pemeriksaan kadar S100β dan kadar IL-6 serum dengan menggunakan metode ELISA. Penelitian ini melibatkan 72 subyek penelitian, laki-laki 38 (52,8%) dan perempuan 34 (47,25%). Rerata usia subyek adalah 68 ± 6,96. Median S100B 5520 pg/ml (950,87-7741,89 pg/ml). Median IL-6 63,58 pg/ml (1,03-376,80 pg/ml). Median MDAS 17 (13-24). Tidak didapatkan korelasi antara kadar S100B serum dengan tingkat keparahan delirium (r = -0,051, p = 0,673). Tetapi, pada penelitian ini didapatkan korelasi antara kadar IL-6 dan Charlson’s age-comorbidity index dengan tingkat keparahan delirium (r = 0.162, p = 0.173; r = 0,473, p = 0,000). Pada penelitian ini tidak didapatkan korelasi antara kadar S100B serum dengan tingkat keparahan delirium, tetapi didapatkan korelasi antara kadar IL-6 dan skor CACI dengan tingkat keparahan delirium. Kata kunci: S100β, IL-6, Delirium,Geriatri 10 ABSTRACT INCREASING LEVELS OF S100β and INTERLEUKIN-6 SERUM CORRELATE WITH DELIRIUM SEVERITY IN GERIATRIC PATIENTS Delirium is a complex neuropsychiatric syndrome with acute onset and fluctuating. Patients who experienced delirium, when compared with patients who did not experience delirium, have longer hospital stay. S100β is a calcium-binding protein secreted by astrocytes under the influence of metabolic stress conditions and a biomarker that indicates damage of the central nervous system. While increased levels of IL-6 (a marker of neuroinflamasi) associated with risk of delirium. Aim of this study is to investigate the correlation between levels of S100β and levels of interleukin-6 with the severity of delirium in elderly patients. The study design was cross-sectional analytical study on the correlation between levels of S100β and levels of interleukin-6 with severity of delirium. Delirium severity was measured using a Memorial Delirium Assesment Scale (MDAS) questionnaire. Levels of S100β and IL-6 will be measured using the ELISA. The study involved 72 study subjects, 38 males (52.8%) and 34 women (47.25%). The mean age of subjects was 68 ± 6.96. Median S100B 5520 pg / ml (950.87 to 7741.89 pg / ml). Median IL-6 63.58 pg / ml (1.03 to 376.80 pg / ml). Median MDAS 17 (13-24). In this study, there is no correlation between levels of S100B with severity of delirium (r = -0.051, p = 0.673). However, there is significant correlation between levels of IL-6 and Charlson's age-comorbidity index with the severity of delirium (r = 0.162, p = 0.173; r = 0,473, p = 0,000). In this study, there is no correlation between levels of S100B with the severity of delirium, but levels of IL-6 and scores of CACI have correlation with the severity of delirium. Key word: S100β, IL-6, Delirium, Geriatric 11 DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM .............................................................................................i PRASYARAT GELAR ......................................................................................ii LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................... iv UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................... v ABSTRAK ...................................................................................................... ix ABSTRACT .................................................................................................... x DAFTAR ISI.................................................................................................... xi DAFTAR TABEL............................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xvii DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………... xix BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 3 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 3 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 3 BAB II KAJIAN PUSTAKA .......................................................................... 5 2.1 Delirium ............................................................................................... 5 2.1.1 Definisi Delirium ......................................................................... 5 12 2.1.2 Epidemiologi ................................................................................ 5 2.1.3 Etiologi............................................................................................................. 6 2.1.4 Patogenesis................................................................................... 8 2.1.5 Gambaran Klinis .......................................................................... 9 2.1.6 Diagnosis ..................................................................................... 14 2.2 Peranan Neuroinflamasi pada Delirium ................................................ 17 2.2.1 Kondisi Klinis dengan Reaksi Inflamasi Sistemik yang Mencetuskan terjadinya delirium................................................. 17 2.2.2 Efek Inflamasi Sistemik Akut terhadap Otak .............................. 19 2.2.2.1 Dari Proses Inflamasi Sistemik menjadi Neuroinflamasi 19 2.2.2.2 Kerusakan Sawar Darah Otak .......................................... 20 2.2.2.3 Respon Sistem Saraf Pusat yang Diperantarai oleh Molekul-Molekul dalam Sirkulasi Sistemik .................... 21 2.2.2.4 Inflamasi Sistemik Akut dan Disfungsi Neurokognisi .... 22 2.3 Peranan Proses Penuaan pada Delirium………………………………. 25 2.4 Biomarker Delirium .............................................................................. 26 2.4.1 S100 Calcium Binding Protein B (S100β) ................................... 29 2.4.2 Interleukin-6................................................................................. 30 2.5 Instrumen Diagnosis Delirium .............................................................. 30 2.5.1 Confusion Assesment Scale (CAM) ............................................ 31 2.5.2 Memorial Delirium Assesment Scale (MDAS) ........................... 33 13 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN..... 35 3.1 Kerangka Berpikir................................................................................. 35 3.2 Konsep Penelitian ................................................................................. 37 3.3 Hipotesis .............................................................................................. 37 BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................. 38 4.1 Rancangan Penelitian ........................................................................... 38 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 38 4.3 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 38 4.4 Penentuan Sumber Data Penelitian ....................................................... 38 4.5 Sampel dan Besar Sampel..................................................................... 39 4.6 Variabel Penelitian ............................................................................... 40 4.7 Definisi Operasional Variabel .............................................................. 40 4.8 Alat dan Bahan Penelitian .................................................................... 41 4.9 Prosedur Penelitian .............................................................................. 42 4.10 Alur Penelitian ...................................................................................... 43 4.11 Analisis Data ......................................................................................... 43 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 45 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian............................................................ 45 5.2 Hubungan antara Kadar S100B dengan Tingkat Keparahan Delirium . 47 5.3 Hubungan antara Kadar IL-6 dengan Tingkat Keparahan Delirium ... 51 5.4 Hubungan antara Usia dan Penyakit Komorbid dengan Tingkat Keparahan Delirium .............................................................................. 54 14 5.5 Keterbatasan Penelitian ......................................................................... 57 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 58 6.1 Simpulan................................................................................................. 58 6.2 Saran ....................................................................................................... 58 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 59 LAMPIRAN..................................................................................................... 63 15 DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Beberapa Instrumen Klinis untuk Diagnosis Delirium ......................... 24 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ............................................................ 47 5.2 Hasil Uji Korelasi antara Kadar S100B, Kadar IL-6 dan Charlson’s Age Comorbidity Index dengan Tingkat Keparahn Delirium ...................... 48 16 DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Model Multifaktorial dari Delirium ........................................................ 8 2.2 Teori-teori Terjadinya Delirium ............................................................ 9 2.3 Pengenalan dan Propagasi dari Rangsangan Imun Perifer pada SSP .... 22 3.1 Kerangka Berpikir ................................................................................. 34 3.2 Konsep Penelitian .................................................................................. 35 4.1 Alur Penelitian ...................................................................................... 41 5.1 Korelasi antara kadar S100B dengan Tingkat Keparahan Delirium…... 48 5.2 Grafik Perbandingan rerata kadar S100B pada kelompok delirium ringan, sedang dan berat………………………………………………………... 51 5.3 Korelasi antara kadar IL-6 dengan Tingkat Keparahan Delirium……… 52 5.4 Grafik Perbandingan rerata kadar IL-6 pada kelompok delirium ringan, sedang dan berat…………………………………………… ... 54 5.5 Korelasi antara CACI dengan Tingkat Keparahan Delirium................. 55 5.6 Grafik Perbandingan rerata skor CACI pada kelompok delirium ringan, sedang dan berat ........................................................................ 56 17 DAFTAR SINGKATAN Apo : Apolipoprotein AMTS : Abbreviated Mental Test Score BDNF : Brain-derived Growth Factor CACI : Charlson’s Age-Comorbidity Index CAM : Confusion Assesment Scale CD : Class of Differentiation CRP : C-reactive protein DOSS : Delirium Observational Screening Scale DRS : Delirium Rating Scale DSM : Diagnostic and Statistic Manual EEG : Elektroensefalografi FDA : Food and Drug Asociation GABA : Gamma Aminobutyric Acid GAR : Global Attentiveness Rating HELP : Hospital Elder Life Program ICU : Intensive Care Unit IFN : Interferon IGF : Insulin Growth Factor IL : Interleukin LPS : Lipopolisakarida MDAS : Memorial Delirium Assesment Scale MMSE : Mini Mental Scale Examination MRI : Magneting Resonance Imaging NICE : National Institute for Health and Care Excellence NO : Nitrit Oksida NSE : Neuro-specific Enolase ROS : Reactive Oxygen Species S100 Calcium Binding Protein B : S100β 18 SAA : Serum Aktivitas Antikolinergik SN : Substantia Nigra SSP : Sistem Saraf Pusat TLR : Toll-like Receptor TNF : Tumor Necrosis Factor 19 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Ethical Clearance………………………………………… 62 Lampiran 2. Informed Consent…………………………………………... 64 Lampiran 3. Formulir Persetujuan….………………………………..…... 66 Lampiran 4. Rencana Jadwal Penelitian ……………………………….. 67 Lampiran 5. Anggaran Biaya Penelituan ……………………………… 68 Lampiran 6. Formulir Pengumpulan Data……………………………….. 69 Lampiran 7. Prosedur Pemeriksaan S100B Serum ……………………….. 77 Lampiran 8. Prosedur Pemeriksaan IL-6 Serum………………………….. 78 Lampiran 9. Hasil Penelitian……………………………………………… 81 20 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Delirium yang dikenal juga dengan sebutan acute confusional state adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan onset yang akut dan berfluktuasi. Sindrom ini mempengaruhi kesadaran dan fungsi kognitif yang mungkin diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor. Selain itu delirium juga mempengaruhi atensi dan pada beberapa pasien ada yang mengalami gangguan depresi (Mittal dkk, 2011). Pada penelitian yang terbaru di Inggris, prevalensi delirium sebesar 20% pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Beberapa penelitian menunjukkan sekitar 14%24% pasien usia lanjut dirawat di rumah sakit karena delirium dan delirium sendiri terjadi pada 50% pasien usia lanjut yang dirawat di rumah sakit (Saxenal, 2009). Pasien-pasien yang mengalami delirium, ketika dibandingkan dengan pasienpasien yang menderita penyakit yang sama tetapi tidak mengalami delirium, menjalani perawatan yang lebih lama, rata-rata 5-10 hari lebih lama meskipun telah dilakukan kontrol terhadap beberapa kovariat (Boettger, 2014). Penyebab delirium merupakan multifaktorial. Adanya interaksi antara faktor presipitasi (infeksi, inflamasi, pembedahan, trauma dan obat-obat psikoaktif) , faktor predisposisi (usia, gangguan kognitif dan sensoris, penyakit komorbid) dan faktor protektif menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan neurotransmiter di otak. Pada pasien geriatri biasanya menggunakan Charlson’s Age Comorbidity Index untuk menilai pengaruh usia dan penyakit komorbid terhadap angka morbiditas dan angka mortalitas. Perubahan neuroinflamasi ini menyebabkan gangguan permeabilitas 21 sawar darah otak yang ditandai dengan peningkatan kadar S100 Calcium Binding Protein β (S100β) dan perubahan pada transmisi sinaptik, tingkat eksitabilitas sel saraf dan aliran darah otak, yang menyebabkan gejala neurobehavioral dan kognitif (Cerejeira, 2010). Pada sebuah penelitian case–control tahun 2011 menemukan hubungan antara aktivitas mikroglia, sel astrosit dan interleukin (IL)-6 dengan delirium, dimana peningkatan kadar IL-6 berhubungan dengan risiko terjadinya delirium (Van Munster, 2011). Protein S100β merupakan calcium-binding protein yang disekresi oleh astrosit dibawah pengaruh kondisi metabolik stres dan merupakan biomarker yang menandakan kerusakan dari sistem saraf pusat (SSP) (Maldonado, 2013). Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan kadar serum S100β pada pasien-pasien yang mengalami delirium dan berhubungan dengan tingkat keparahan dari delirium (Stoicea, 2014). Delirium sering tidak dikenali dan salah terdiagnosis oleh tenaga medis profesional dimana sekitar sepertiga sampai dua pertiga kasus delirium tidak terdiagnosis. Studi terbaru di bagian gawat darurat menyimpulkan bahwa dokter di unit gawat darurat melewatkan diagnosis delirium pada 76% kasus. Hal ini berhubungan dengan beberapa faktor seperti sifat delirium yang fluktuatif, tumpang tindih dengan demensia dan depresi, jarangnya pemeriksaan rutin terhadap kognitif secara formal di rumah sakit umum, kurang apresiasi terhadap konsekuensi klinis, dan gagal memikirkan pentingnya diagnosis tersebut (Han, 2010). Secara klinis penegakan diagnosis delirium dapat menggunakan beberapa alat bantu yaitu Confusion Assesment Method (CAM), Diagnostic and Statistic Manual (DSM) IV-TR, Memorial Delirium Assesment Scale (MDAS), Delirium Rating Scale 22 (DRS), Delirium Observational Screening Scale (DOSS), Nursing Delirium Screening Scale dan Global Attentiveness Rating (GAR). CAM merupakan instrumen skrining delirium yang banyak digunakan berdasarkan kriteria DSM-III-R. CAM dapat digunakan dengan mudah pada kondisi klinis rutin oleh staf medis nonpsikiatrik atau staf perawat dengan latihan sebelumnya. Sedangkan untuk mengukur severitas dari delirium, pemeriksaan MDAS dan DRS merupakan alat bantu yang paling sering dipakai (Adamis, 2010; Grover, 2012). 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah peningkatan kadar S100β dan kadar IL-6 serum berkorelasi dengan tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri? 1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri. 1.3.2 Tujuan khusus Untuk membuktikan adanya korelasi antara kadar S100β dan kadar interleukin-6 serum dengan tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri. 1.4 Manfaat penelitian 1.4.1 Manfaat akademik/ilmiah Jika peningkatan kadar S100β serum dan kadar IL-6 terbukti berkorelasi dengan tingkat keparahan delirium, maka dapat memberikan kontribusi ilmiah baru dalam penilaian tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri. 23 1.4.2 Manfaat praktis Memberikan masukan untuk stratifikasi tingkat keparahan delirium, sehingga bermanfaat untuk diagnosis dan pengobatan dini delirium pada pasien geriatri. 24 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Delirium 2.1.1 Definisi Kata delirium berasal dari istilah latin delirare yang berarti menjadi “gila atau marah”. Istilah ini telah didokumentasikan di dalam literatur medis selama lebih dari 2000 tahun. Pertama kali dilaporkan pada masa Hippocrates yang menggunakan istilah phrenitis (gila) dan lethargus (letargi) untuk mendeskripsikan delirium subtipe hiperaktif dan hipoaktif. Sebagai istilah medis, delirium pertama digunakan oleh Celsus di abad pertama setelah Masehi untuk mendeskripsikan gangguan mental yang berhubungan dengan demam atau trauma kepala ( Mittal dkk., 2011) . Berbagai istilah telah digunakan dalam literatur untuk mendeskripsikan delirium, meliputi acute confusional state, acute brain syndrome, acute cerebral insufficiency, dan toxic-metabolic encephalopathy. Namun, delirium sekarang menjadi istilah yang dipilih dan disarankan untuk menerima istilah acute confusional syndrome sebagai sinonim untuk sindrom ini (Fong., 2009; Mittal dkk., 2011). Delirium merupakan adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan onset yang akut dan berfluktuasi. Sindrom ini mempengaruhi kesadaran dan fungsi kognitif yang mungkin diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor. Selain itu delirium juga mempengaruhi atensi dan pada beberapa pasien ada yang mengalami gangguan depresi (Mittal dkk., 2011). 2.1.2 Epidemiologi Delirium adalah kondisi yang sering terjadi dan bersifat serius, terutama pada lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, dan menyerang sekitar 30% diantaranya. 5 25 Studi terbaru melaporkan prevalensi delirium sebesar 10-31% saat pasien masuk dan insiden 3-29% selama masa rawat (Boettger, 2014). Risiko meningkat secara eksponensial di ruang rawat intensif, dengan prevalensi mencapai 80% dan di unit rawat paliatif dimana prevalensi dilaporkan sebesar 85%. Angka yang lebih tinggi juga ditemukan di kondisi bedah dengan insiden dilaporkan 10-70% setelah pembedahan, terutama pada pasien yang menjalani operasi kardiotoraks, prosedur ortopedi emergensi (perbaikan fraktur panggul), bedah vaskuler, atau operasi katarak (Munster, 2009). Studi pada lanjut usia yang datang ke unit gawat darurat melaporkan prevalensi 5-30% (Han, 2009). Selain sebagai tempat rawat jangka panjang, penghuni panti jompo merepresentasikan kelompok yang rentan, dan diperkirakan prevalensi delirium sekitar 3,4-33,3%. Di masyarakat, sesuai perkiraan, prevalensi rendah, berkisar antara 1-2% (Miller, 2008). 2.1.3 Etiologi Etiologi delirium biasanya multifaktorial. Namun, penelitian telah berhasil mengidentifikasi faktor risiko konsisten untuk delirium yang diklasifikasikan menjadi dua kelompok yakni faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi adalah faktor yang membuat orang lanjut usia lebih rentan terhadap delirium dan faktor presipitasi terdiri dari faktor akut yang mencetuskan terjadinya delirium. Kombinasi kedua faktor itu harus ada pada orang lanjut usia yang delirium. Faktor predisposisi yang paling sering adalah usia lanjut, jenis kelamin pria, demensia dan depresi yang telah ada sebelumnya, gangguan visual dan pendengaran, ketergantungan fungsional, frailty, gangguan sensoris, dehidrasi dan malnutrisi, polifarmasi (terutama obat psikoaktif), penyalahgunaan alkohol dan kondisi medis berat yang terjadi bersamaan (Cerejeira, 2010; Maldonado, 2013). 26 Adapun beberapa faktor risiko terkait dengan delirium diantaranya usia yang lebih dari 65 tahun, adanya riwayat delirium, riwayat trauma/pembedahan, adanya komorbid demensia, depresi, gagal ginjal, penyakit hati, penurunan fungsi penglihatan dan pendengaran, serta adanya pengobatan spesifik (antikolinergik, narkotika, benzodiazepines, hipnotiks, anti inflamasi, beta bloker, diuretiks, dan antidepresan). Selain itu faktor risiko lain yang memicu delirium yakni adanya multifarmaka, stimulus lingkungan yang berlebihan, ketergantungan alkohol/obat, abnormalitas metabolik (elektrolit,kadar gula), infeksi akut (infeksi saluran kemih, pneumonia), serta ketidakadekuatan kontrol rasa nyeri (Maldonado, 2013). Setelah bertambah tuanya usia, demensia menjadi faktor risiko paling sering kedua untuk terjadinya delirium. Menurut Inouye pada tahun 2006, kerentanan yang mendasari otak pada pasien demensia dapat menjadi predisposisi bagi mereka untuk mengalami delirium, sebagai akibat gangguan yang berhubungan dengan penyakit medis akut, obat, serta faktor lingkungan (Inouye, 2006). Menurut Saxena dan Lawley pada tahun 2009, faktor presipitasi yang paling sering adalah: penyakit yang terjadi bersamaan (misalnya infeksi), komplikasi iatrogenik, gangguan metabolik, kondisi neurologis primer (misalnya stroke akut), operasi, obat (terutama benzodiazepin, analgetik narkotik, dan obat dengan efek antikolinergik). Nyeri yang tak terkontrol juga berhubungan dengan terjadinya delirium. Faktor lingkungan seperti masuk ruang rawat intensif, pasien dalam kondisi terikat, atau kateterisasi kandung kemih juga berkontribusi pada terjadinya delirium. Dalam konteks ini, Inouye dan Charpentier pada tahun 1996 menyajikan suatu model untuk memprediksikan terjadinya delirium pada pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, dengan faktor predisposisi yang lebih banyak dan lebih berat (pasien terikat, malnutrisi, 27 penggunaan lebih dari tiga obat pada hari sebelumnya, penggunaan kateter kandung kemih, dan kejadian iatrogenik), berhubungan dengan sejumlah faktor presipitasi (Cerejeira, 2010). Gambar 1. Model Multifaktorial dari Delirium (Maldonado, 2013) 2.1.4 Patogenesis Delirium Walaupun prevalensi dan angka morbiditasnya yang tinggi, mekanisme patogenesis dari delirium masih belum jelas sampai saat ini. Selama beberapa tahun ini, proses metabolik telah diperkirakan sebagai penyebab dari delirium. Sekitar lima puluh tahun lalu, Engel dan Romano mengatakan bahwa terganggunya fungsi metabolik mendasari terjadinya delirium dan hal ini digambarkan dengan terjadinya gangguan pada berbagai fungsi kognisi. Oleh karena itu, delirium merupakan sindrom neurobehavioral yang disebabkan oleh disregulasi aktivitas sel saraf akibat gangguan sistemik (Maldonado, 2013). Dalam beberapa tahun ini, beberapa teori telah dikemukan telah mencoba menjelaskan proses yang menyebabkan terjadinya delirium. Setiap teori yang diusulkan telah dipusatkan pada sebuah mekanisme atau proses patologi yang 28 spesifik. Beberapa teori telah diusulkan sebagai penyebab dari delirium, diantaranya adalah teori neuroinflamatory, neuronal aging, stres oksidatif, defisiensi neurotransmiter, neuroendokrin, disregulasi diurnal dan network conectivity. Sampai saat ini belum ada mekanisme patofisiologi tunggal yang telah didentifikasi sebagai penyebab delirium. Hampir semua teori-teori ini saling melengkapi bukan saling bersaing dalam menjelaskan terjadinya delirium. Oleh karena itu, teori-teori ini tampaknya tidak ada yang mampu menjelaskan secara sendiri-sendiri penyebab ataupun gejala delirium. Tetapi dua atau lebih teori-teori ini bersama-sama menyebabkan gangguan biokimiawi yang kemudian menyebabkan terjadinya delirium (Maldonado, 2013). Faktor presipitasi delirium (infeksi, trauma, obat – obat anestesi, pembedahan, hipoksia, hipoglikemia, gangguan metabolik) Neuroinflamasi Penuaan Network Disconnectivity Stress oksidatif Kelainan neuroendokrin Gangguan tidur / disregulasi melatonin Disregulasi neurotransmiter Gambar 2. Gambaran skematik yang menunjukkan interrelationship dari teori-teori ini dalam patofisologi terjadinya delirium (Maldonado, 2013). 2.1.5 Gambaran Klinis Berdasarkan kriteria DSM-IV, delirium dicirikan oleh gejala yang mulainya sangat cepat (biasanya dalam beberapa jam sampai hari) dan cenderung berfluktuasi, 29 dengan perubahan tingkat kesadaran, ketidakmampuan berfokus, perhatian yang bertahan atau teralih, dan perubahan kognitif (seperti gangguan memori, disorientasi, gangguan bahasa) atau terjadinya gangguan perseptual hanya dapat dijelaskan oleh demensia. Lebih lanjut, terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratoris bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh konsekuensi fisiologis langsung dari suatu kondisi medis umum, atau intoksikasi/withdrawal senyawa, atau karena berbagai penyebab (Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012). Awal perjalanan yang tiba-tiba dan akut adalah gambaran sentral delirium. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan tingkat fungsi kognitif dasar pasien serta perjalanan perubahan kognitifnya. Kesadaran sebagai fungsi otak memungkinkan kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta kewaspadaan terhadap lingkungannya dan dicirikan oleh dua aspek utama: tingkat dan isi kesadaran. Tingkat kesadaran mencerminkan bangkitan kewaspadaan: bangun, tidur, atau koma. Isi kesadaran, atau bagiannya, dialami oleh subyek sebagai kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta lingkungannya saat subyek bangun dan sadar baik. Isi kesadaran dan kognitif hanya dapat diperiksa jika subyek minimal memiliki tingkat kesadaran tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012). Pada delirium, gangguan kesadaran adalah salah satu manifestasi paling awal, yang sering berfluktuasi, terutama di malam hari saat stimulasi lingkungan berada pada titik terendah. Tingkat kesadaran dapat berflukutasi pada yang paling ekstrim untuk pasien yang sama, atau dapat muncul dengan tanda yang lebih ringan seperti mengantuk atau gangguan tingkat perhatian. Faktanya, pasien dapat tampak benarbenar mengantuk, letargi, atau bahkan semi-koma pada kasus yang lebih berat. 30 Ektrim yang berlawanan, sangat waspada, juga dapat terjadi, terutama pada kasus withdrawal alkohol atau obat sedatif (lebih jarang pada lanjut usia). Perhatian adalah proses yang memungkinkan kita untuk memilih stimulus yang relevan dari lingkungan, berfokus dan mempertahankan respon perilaku terhadap stimulus tersebut, dan mengubah aktivitas mental menuju stimulus yang lebih baru, mengorientasi ulang perilaku seseorang, berdasarkan relevansi stimulus. Perhatian merupakan fungsi yang berbeda dari kesadaran, namun tetap bersifat dependen. Oleh karena itu, berbagai derajat perhatian masih mungkin ditemukan pada subyek yang sadar baik, namun perhatian dan konsentrasi penuh tidak mungkin ditemukan pada penurunan kesadaran. Faktanya, perhatian dapat menurun secara patologis pada kondisi organik, biasanya dengan penurunan kesadaran tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012). Pada delirium, terjadi penurunan perhatian dan juga dikatakan sebagai salah satu dari gambaran kardinal yang penting. Biasanya pasien tersebut mudah dialihkan perhatiannya oleh stimulus yang irelevant, atau memiliki kesulitan mengingat apa yang dikatakan pada anamnesis. Lebih lanjut, pertanyaan sebagian besar harus diulang karena perhatian subyek menyimpang. Biasanya terjadi defisit global atau multipel dalam hal kognitif, meliputi gangguan memori dan disorientasi. Faktanya, karena penurunan perhatian, registrasi informasi baru dapat terganggu sehingga mempengaruhi memori dan fungsi orientasi tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012). Memori jangka pendek adalah yang paling sering terkena, namun kembalinya informasi yang telah tersimpan juga dapat terganggu. Misalnya pasien mungkin tidak mampu mengingat peristiwa di rumah sakit atau kesulitan mengingat instruksi. 31 Disorientasi biasanya sering terjadi, yang pertama terhadap waktu, berikutnya terhadap tempat. Namun, disorientasi dikatakan abnormal pada pasien rawat inap dengan sakit berat yang lama, tanpa acuan hari atau bulan. Fungsi pikir dan bicara menjadi tumpang tindih dan keduanya dapat terganggu pada kondisi delirium tertentu (Martins dan Fernandes, 2012). Kesulitan bahasa dan gangguannya pada pasien delirium mungkin lebih berhubungan dengan gangguan bangun dan tingkat perhatian, bukan penyebab spesifik, atau tetap masih tetap dapat menunjukkan terjadinya perubahan proses. Pada kasus gangguan global yang berat, konfabulasi dapat mendominasi, sehingga hanya ada sedikit kemungkinan untuk menilai bahasa, memori, dan isi pikiran. Seringkali bahasa dan bicara, yang mencakup membaca, hanya sedikit terpengaruh dibanding menulis, terutama pada kondisi ringan atau stadium awal. Sejumlah hal spesifik pada gangguan bahasa ditemukan dalam perjalanan delirium. Dalam satu studi, sering ditemukan salah menyebutkan, sama seringnya dengan yang ditemukan pada pasien demensia, namun berbeda dimana lebih sering terjadi dalam bentuk gangguan kata dan salah menyebut nama yang tidak terkait. Gangguan kata dapat dijelaskan oleh perseverasi. Pasien mengulang kata-kata yang sebelumnya diucapkan (sehingga menjadi perseverasi), bukan kata yang diharapkan yang tidak dapat ditemukan atau diucapkan oleh subyek. Salah menyebut yang tidak terkait adalah penggunaan kata yang benar-benar berbeda arti dengan kata yang diharapkan sehingga tidak berhubungan dengan konteks, tidak seperti parafasia (Maldonado, 2013). Gambaran klinis lain adalah pikiran yang tidak terorganisir, bermanifes sebagai bicara inkoheren dan bicara ngawur atau irelevant, atau alur pikir tidak jelas 32 atau tidak logis. Pasien mungkin tidak mampu membuat keputusan yang tepat, atau melakukan tugas sederhana. Penilaian dan pikirannya buruk dan dapat pula timbul delusi pada sekitar 30% kasus, terutama dengan sifat paranoid atau persekutor (Popeo, 2011). Gangguan persepsi juga dapat dideskripsikan pada subyek dengan delirium yang meliputi ilusi dan misinterpretasi, muncul dari salah kesan terhadap stimulus yang sebenarnya. Misalnya, pasien menjadi agitasi dan ketakutan, percaya bahwa bayangan dalam ruangan adalah orang yang akan menyerang. Gangguan persepsi juga dapat meliputi halusinasi, dimana sebenarnya tidak ada obyek. Halusinasi visual merupakan yang paling sering terjadi, terutama di malam hari, dan pada sejumlah kasus dapat terjadi di siang hari segera setelah pasien menutup mata. Isi halusinasi cenderung sederhana, kadang hanya berupa warna, garis, atau bentuk. Namun, juga dapat meliputi hewan yang berbahaya atau gambar aneh (Martin dan Fernandes, 2012). Terdapat gambaran klinis lain yang sering berhubungan dengan delirium yang tidak dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis. Salah satunya adalah gangguan siklus tidur-bangun, bercirikan ngantuk berlebihan di siang hari dengan insomnia di malam hari, fragmentasi, dan kurang tidur atau siklus tidur yang benar-benar terbalik. Sejumlah studi telah menemukan potensi peran gangguan tersebut, terutama gangguan irama sirkadian dan fragmentasi tidur sebagai faktor kontributor penting pada sindrom sundowning. Fenomena ini ditemukan pada pasien delirium yang bercirikan perburukan perilaku disruptif di sore atau malam hari. Sindrom ini juga dapat disebabkan oleh kelelahan dan penurunan input sensorik di malam hari (Mistraletti, 2008). 33 Gangguan perilaku psikomotor adalah gambaran klinis lain pada delirium, dengan aktivitas motorik yang meningkat atau menurun. Pada kasus pertama, pasien dapat mengalami gelisah atau seringnya perubahan posisi yang tiba-tiba. Di sisi lain, pasien juga dapat menunjukkan kelesuan atau letargi, mendekati kondisi stupor. Gangguan emosi seperti cemas, ketakutan, iritabilitas, kemarahan, depresi, dan euforia juga dapat terjadi. Gejala tersebut sering dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kondisi medis atau bedah, karakteristik personal, gangguan psikiatrik premorbid, atau peristiwa hidup terbaru (Boettger, 2012). Delirium seharusnya berada dalam kategori gangguan kesadaran yang lebih luas. Adapun beberapa penelitian menyarankan penggunan derajat untuk yang paling berat sampai yang paling ringan: koma, kondisi vegetatif persisten, stupor, mutisme akinetik, kondisi sadar minimal, delirium/kondisi konfusional. Taksonomi tersebut akan menjadi satu kesatuan dengan suatu “area abu-abu” atau regio transisi yang membatasi antara satu derajat dengan derajat lainnya. Pendekatan ini akan memungkinkan kesatuan beratnya penyakit tersebut terkait delirium itu sendiri, yang saat ini telah ditinggalkan pada DSM-IV (Boettger, 2013). 2.1.6 Diagnosis Delirium sering tidak dikenali dan salah terdiagnosis oleh profesional medis. Sekitar sepertiga sampai dua pertiga kasus delirium tidak terdiagnosis. Studi terbaru di bagian gawat darurat menyimpulkan bahwa dokter di unit gawat darurat melewatkan diagnosis delirium pada 76% kasus. Hal ini berhubungan dengan faktor seperti sifat delirium yang fluktuatif, tumpang tindih dengan demensia dan depresi, jarangnya pemeriksaan rutin terhadap kognitif secara formal di rumah sakit umum, kurang apresiasi terhadap konsekuensi klinis, dan gagal memikirkan pentingnya 34 diagnosis tersebut. Empat faktor risiko independen untuk tidak dikenalinya delirium oleh perawat: delirium hipoaktif, usia sangat tua, gangguan penglihatan, dan demensia (Han, 2010). Perlu dipikirkan tentang onset akut delirium dan perjalanannya yang fluktuatif. Penting untuk memastikan tingkat fungsi kognitif dasar pasien serta perjalanan perubahan kognitifnya. Dengan cara ini, diagnosis lebih mudah dibuat jika sebelumnya terdapat pemeriksaan kemampuan kognitif. Dalam anamnesis, penting untuk mencari informasi dari anggota keluarga/caregiver, dan/atau staf medis dan perawat. Selanjutnya, pasien harus diperiksa lebih dari satu kali sehari di siang hari unruk mendeteksi kemungkinan fluktuasi gejala ( Mittal dkk., 2011). Adapun pemeriksaan lengkap yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis delirium yakni diantaranya pemeriksaan neurologi, pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale, serta pemeriksaan fungsi kognitif dengan alat yang sudah terstandardisasi seperti abbreviated mental test score (AMTS). Disamping itu perlu dievaluasi adanya kondisi demam dan ketergantungan alkohol. Adapun pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk mengevaluasi adanya penyebab dasar, yakni pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kalsium, urea darah, test fungsi hati dan tiroid, kadar gula darah, foto polos dada, elektrokardiografi, kultur darah, serta urinalisis ( Mittal dkk., 2011). Penurunan perhatian adalah ciri penting lain pada delirium. Pemeriksaan kognitif harus meliputi alat skrining kognitif global (misalnya: Mini Mental State Examination,MMSE) serta pemeriksaan perhatian. Terdapat instrumen skrining yang dapat mendeteksi penurunan perhatian secara cepat dan cukup sering digunakan yaitu Digit Span Test dan Trail Making Test. Dalam konteks ini, penting pula untuk mengingat bahwa perubahan gairah dapat mempengaruhi kinerja uji perhatian seperti 35 kondisi lainnya, misalnya kelelahan. Bahkan, berdasarkan beratnya delirium, tugas kognitif dapat dipengaruhi secara proporsional oleh perhatian yang dibutuhkan pada tugas tersebut (Grover., 2012). Berdasarkan pedoman internasional terbaru (NICE 2010), semua orang tua yang dirawat di rumah sakit atau tempat perawatan jangka panjang harus diskrining untuk mencari tahu faktor risiko terjadinya delirium dan gangguan kognitif menggunakan uji kognitif singkat (misalnya MMSE). Jika teridentifikasi perubahan baru atau fluktuasi pada fungsi kognitif, persepsi, fungsi fisik, atau perilaku sosial pada mereka yang berisiko, pemeriksaan klinis harus dilakukan berdasarkan kriteria DSM-IV atau Confusion Assesment Method (CAM) untuk menegakkan diagnosis. Evaluasi ini harus dikerjakan oleh profesional medis yang terlatih baik (Grover, 2012). Confusion Assesment Method merupakan instrumen skrining delirium yang banyak digunakan berdasarkan kriteria DSM-III-R. CAM dapat digunakan dengan mudah pada kondisi klinis rutin oleh staf medis nonpsikiatrik atau staf perawat dengan latihan sebelumnya. Versi singkatnya meliputi algoritme diagnostik, berdasarkan empat ciri kardinal delirium yakni (1) onset akut dan perjalanan fluktuatif; (2) penurunan perhatian; (3) pikiran tak terorganisir; dan (4) perubahan tingkat kesadaran. Diagnosis delirium berdasarkan CAM membutuhkan ciri 1, 2, disertai 3 atau 4 (Vietarra DW., 2012). Pada ruang rawat kritis (Intensive Care Unit, ICU) atau ruang pemulihan pasca bedah, terutama pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal, CAM-ICU (adaptasi dari CAM) harus digunakan. Studi review terbaru menguatkan rekomendasi ini untuk mendukung penggunaan CAM sebagai instrumen diagnostik (Adamis, 2010; Grover, 2012). 36 Identifikasi penyebab dasar penting untuk diagnosis delirium. Karena itu, pemeriksaan fisik dan neurologis sangat penting, membantu menyingkirkan penyakit infeksi, metabolik, endokrin, kardiovaskuler, dan penyakit serebrovaskuler. Pemeriksaan fisik harus mencakup evaluasi tanda vital dengan saturasi oksigen. Pemeriksaan umum harus difokuskan pada fungsi jantung dan paru. Di luar itu, pemeriksaan neurologis harus memasukkan status mental dan temuan fokal. Pendekatan diagnostik harus mencakup tes berikut seperti darah lengkap, kadar ureum darah, kreatinin serum, elektrolit, gula darah, C-reactive protein (CRP), fungsi hati, dan fungsi tiroid. Penting pula untuk mengidentifikasi penggunaan obat dan senyawa lain misalnya alkohol atau benzodiazepin, yang dapat berkontribusi pada penyakit ini (Mittal dkk, 2011). Tidak ada pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak atau tes lain yang lebih akurat dibanding pemeriksaan klinis. Namun, mereka dapat berguna untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab delirium dan faktor kontributor yang dapat dikoreksi. Pada sejumlah kondisi, pencitraan otak dan elektroensefalografi (EEG) bermanfaat, jika terdapat bukti kuat adanya penyebab intrakranial, berdasarkan pemeriksaan klinis (misalnya perubahan status mental setelah terjadi benturan pada kepala) atau jika tanda neurologis fokal atau aktivitas kejang terdeteksi saat dilakukan pemeriksaan fisik (Choi, 2012) 2.2 Peranan Neuroinflamasi pada Delirium 2.2.1 Kondisi Klinis dengan Reaksi Inflamasi Sistemik yang Mencetuskan terjadinya Delirium Inflamasi sistemik sering merupakan gambaran yang nyata dari beberapa kondisi medis dan bedah yang berhubungan dengan delirium, terutama ketika proses 37 ini melibatkan kerusakan jaringan dan atau infeksi. Oleh karena itu, delirium merupakan manifestasi yang paling sering dari disfungsi multiorganik. Misalnya pada kondisi sepsis, yang merupakan gambaran klinis dari infeksi saluran kemih atau pneumonia (khususnya pada pasien lansia yang mengalami dementia) (Siami dkk., 2008) atau merupakan komplikasi dari pembedahan mayor (O’Keeffe, Chonchubair, 1994). Infeksi perifer mengaktivasi kaskade inflamasi yang diikuti pengenalan komponen spesifik dari mikroorganisme, misalnya lipopolisakarida (LPS) dari bakteri gram negatif, oleh fagosit dalam sirkulasi (Sheng dkk., 2003). Banyak sekali faktor-faktor, misalnya kerusakan jaringan, kehilangan darah, nyeri dan anestesi dapat mempengaruhi fungsi dari sel imunokompeten dan menghasilkan mediator inflamasi. Bahkan pada kondisi yang steril, inflamasi dapat dipicu oleh kerusakan jaringan dengan pelepasan ligan endogen, termasuk heat shock protein, hialuronan, β-defensin dan kristal asam urat. Sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh makrofag dan monosit, termasuk tumor necrosis alpha (TNF-α) dan IL-1 akan merangsang ekspresi dari beberapa mediator yang berfungsi untuk menghasilkan sel inflamasi lainnya yang akan merusak jaringan. Oleh karena itu, pada awalnya terjadi respon imun lokal kemudian akan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga respon sistemik akan meningkatkan kadar sitokin dalam sirkulasi. Pada pembedahan jantung, cardiopulmonal bypass tampaknya merupakan faktor risiko utama yang mengaktivasi komplemen dan mensekresikan sitokin proinflamasi yang berkontribusi terhadap disfungsi multiorgan postoperasi. Peningkatan kadar mediator inflamasi juga berhubungan dengan disfungsi organ postoperasi pada pembedahan nonkardiak (Groeneveld dkk.,1997). 38 Pada banyak kondisi medis dan bedah, dimana delirium paling banyak terjadi, pelepasan dan produksi mediator proinflamasi ke dalam sirkulasi merupakan bagian dari proses patofisiologi. Bukti nyata yang secara langsung membuktikan keterlibatan inflamasi sistemik dalam hal terjadinya delirium berasal dari beberapa penelitian yang menyatakan bahwa kadar CRP, IL-6, IL-8 dan TNF-α tinggi pada pasien yang mengalami delirium postoperasi dibandingkan dengan yang tidak mengalami delirium (Van Munster dkk., 2008). 2.2.2 Efek Inflamasi Sistemik Akut terhadap Otak 2.2.2.1 Dari Proses Inflamasi Sistemik menjadi Neuroinflamasi Saat ini sudah terbukti bahwa sel SSP bereaksi terhadap adanya sinyal imun perifer, yang menyebabkan terjadinya produksi dari sitokin dan mediator inflamasi lainnya di otak, kemudian terjadi proliferasi sel dan aktivasi hypothalamus-pituitaryadrenal axis melalui interaksi sistem yang kompleks. Respon imun alamiah ini merupakan mekasime adaptasi yang penting karena mengatur respon sentral untuk melawan infeksi akut. Beberapa mekanisme yang terlibat dalam respon ini adalah (Hopkins, 2007): 1. Pengenalan langsung terhadap sinyal patogen atau mediator inflamasi pada daerah-daerah dimana sawar darah otak terganggu atau tidak ada. 2. Sistem transport sitokin pada sawar darah otak yang bergantung pada energi (energy-dependent) atau diproduksinya second messenger aktif di dalam sawar darah otak. 3. Pengenalan aktivasi respon umun perifer oleh sel saraf sensoris yang membawa informasi ke otak melalui sistem saraf otonom. 39 2.2.2.2 Kerusakan Sawar Darah Otak Penelitian-penelitian pada binatang menunjukkan bahwa rangsangan inflamasi perifer berhubungan dengan perubahan fungsi dan molekuler sawar darah otak. Peningkatan permeabilitas sawar darah otak dan perubahan ekspresi protein tight-junctional dilaporkan pada tiga model inflamasi yang berbeda. Injeksi LPS merangsang kaskade inflamasi pada fase awal yang menyebabkan kerusakan sawar darah otak, over-expresion dari molekul adhesi di sel endotel, perekrutan dan infiltrasi dari derivat sel darah putih ke dalam jaringan otak (Nishioku, 2009). Penelitian postmortem pada jaringan otak manusia juga menunjukkan hubungan antara inflamsi sistemik dengan aktivasi sel sel endotel dan sel perivaskular. Walaupun konfirmasi neuropatologi dari kerusakan sawar darah otak pada manusia sangat sulit untuk dibuktikan, namun peningkatan kadar S100B dapat dipertimbangkan sebagai bukti terjadinya peningkatan permeabilitas sawar darah otak (Munster dkk, 2010). Oleh karena itu, beberapa kondisi yang berhubungan dengan inflamasi sistemik akut (misalnya syok sepsis dan pembedahan jantung) mungkin berhubungan dengan disfungsi sawar darah otak. Demikian juga, kerusakan sawar darah otak selama episode delirium dapat disimpulkan dari penelitian yang menunjukkan peningkatan kadar S100B serum pada pasien lansia yang menderita penyakit medis. Begitu pula delirium yang terjadi pada fase awal syok sepsis, berhubungan dengan leucoencephalopathy pada otak. Hal inilah yang diperkirakan sebagai penyebab terjadinya kerusakan sawar darah otak. Sebagai tambahan, faktor lain yang mempengaruhi struktur dan fungsi dari sawar darah otak adalah hipoksia, iskemik dan nyeri (Gambar 3) (Sharshar dkk., 2007). 40 2.2.2.3 Respon Sistem Saraf Pusat yang Diperantarai oleh Molekul-molekul dalam Sirkulasi Sistemik Pada SSP, bermacam-macam molekul, seperti LPS dapat berinteraksi secara langsung dengan reseptor yang terdapat dalam sel endotel dan sel parenkim otak. Sel mikroglia merupakan sel yaang paling bisa mendeteksi perubahan pada lingkungan SSP melalui banyak resptor inti dan reseptor permukaan. Oleh karena itu, pada SSP tikus, sel yang terletak pada pembuluh darah besar dan mikroglia mengekspersikan Toll-like Recptor 4 (TLR4; reseptor dari LPS). Aktivasi TLR4 merupakan kunci utama dalam respon inflamasi SSP terhadap LPS perifer. Ada juga bukti yang menyatakan bahwa mediator lainya juga berpengaruh terhadap komunikasi antara sel perifer dengan otak, termasuk TNF-α dan protein chemoattractant monosit. Sekali teraktivasi, mikroglia mengalami perubahan morfologi dan bersamaan dengan itu, mikroglia mengekspresikan beberapa molekul seperti MHC klas I, CD45, CD4, ICAM-1, VLA-4, LFA-4 dan Fas. Setelah terstimulasi, beberapa mikroglia mengekspersikan MHC klas II dan molekul B7. Perubahan ini bergabung dengan produksi dari sitokin proinflamasi oleh mikroglia (TGF-B1, IL-1B, TNFa, IGF-1), spesies oksigen reaktif (Reactive Oksigen Species, ROS) dan ekspansi dari populasi mikroglia melalui proliferasi dari sel dan perekrutan dari sekitarnya atau melalui darah (Block dkk., 2007). Pengenalan awal rangsangan inflamasi di sawar darah otak diikuti oleh aktivasi kaskade inflamasi yang mengakibatkan pergerakan sel-sel berdekatan dan unit struktural neurovaskular. Sel endotel, astrosit, mikroglia, sel periset dan lamina basal berinterkasi melalui perantaraan mediator inflamasi, termasuk sitokin, kemokin dan metaloproteinase. Astrosit merupakan sel yang paling penting dalam 41 mengantarkan sinyal di dalam unit neurovaskular kepada bagian otak lainnya dengan menggunakan kontrol multimodal dari transmisi sinaptik, eksitabilitas sel saraf dan aliran darah otak (Block dkk., 2007). Gambar 3. Pengenalan dan propagasi dari rangsangan imun perifer pada SSP. Interakasi awal dari mediator inflamasi (sitokin proinflamasi dan LPS) dengan unit neurovaskular terjadi melalui beberapa reseptor dan berkaitan dengan peningkatan permeabilitas sawar darah otak (Cerejeira dkk, 2010). 2.2.2.4 Inflamasi Sistemik Akut dan Disfungsi Neurokognisi Hasil akhir dari inflamasi sistemik tidak hanya berhubungan dengan delirium tetapi juga dengan banyak gejala neuropsikiatri. Pada manusia yang sehat, studi eksperimental dengan menggunakan endotoksin bakteri ternyata berefek terhadap fungsi kognisi, status emosional dan pola tidur. Sitokin dalam sirkulasi mengalami peningkatan setelah pemberian dosis sangat rendah dari LPS (0.2 ng/KgBB) dan perubahan ini mempunyai pengaruh negatif terhadap memori (Qin., 2007). Yang terbaru adalah sebuah penelitian menggunakan magneting resonance imaging (MRI) yang mendokumentasikan tentang injeksi LPS pada manusia sehat ternyata menyebabkan reaksi inflamasi sistemik yang menetap dan retardasi psikomotor. Hal 42 ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas substansia nigra (SN) kiri (Brydon, 2008). Perubahan fungsi kognitif yang terjadi setalah inflamasi sistemik yang akut diperkirakan sebagai akibat dari interaksi selular dan molekular yang sinergis pada bagian-bagian otak yang berbeda dan terutama pada hipokampus. Sitokin proinflamatory IL-1 telah lama dikenal sebagai perusak hipokampus dan mempunyai peranan penting pada proses neurofisiologis dari konsolidasi memori, dan modulasi plastisitas sinaptik. IL-6 juga mempengaruhi disfungsi hipokampus. Sebaliknya, IL10 tampaknya mengimbangi efek IL-1 dan IL-6, dengan cara menghambat pengaruh inflamasi sistemik terhadap perubahan kognisi dan perilaku. Demikian juga, penurunan ekspresi hipokampal brain-derived growth factor (BDNF) dan peningkatan stres oksidatif karena disfungsi mitokondria juga berpengaruh pada defisit kemampuan belajar dan memori yang berhubungan dengan neuroinflamasi. Hal ini memberi kesan bahwa reaksi kombinasi otak untuk menghasilkan ROS, sitokin proinflamasi, metaloproteinase, Nitrit Oksida (NO) dan kemokin menyebabkan perubahan fungsional pada sel saraf, kemudian mempengaruhi beberapa proses misalnya: plastisitas sinaptik, potensiasi jangka panjang, dan dapat mengganggu memori dan proses belajar. Ada bukti bahwa aktivasi mikroglia dan astrosit oleh sistem imun perifer dapat mengakibatkan ketidak seimbangan Bax/Bcl-2 dan mempengaruhi sel intraparenkim otak. Pada kasus yang fatal, misalnya syok sepsis, Sharsat dkk melaporkan bahwa terjadi apoptosis sel glial dan sel saraf dalam pusat otonomik di otak manusia. Lee dkk menduga bahwa aktivasi amyloidegenesis berhubungan dengan neuroinflamasi, dimana hal ini merupakan mekanisme utama yang 43 mengakibatkan apoptosis dan kematian sel saraf serta disfungsi neurokognisi. Rangkaian proses ini terjadi dalam sistem saraf pusat setelah adanya stimulasi sistem imun perifer. Oleh karena itu, sekali terjadi paparan LPS atau TNF-α dapat menimbulkan kehilangan saraf dopaminergik yang signifikan dalam SN, sekitar 27% dalam tujuh bulan pertama dan bertambah berat (47%) dalam sepuluh bulan setelah paparan pertama. Secara keseluruhan, data-data ini menunjukkan bahwa paparan akut terhadap inflamasi sistemik menyebabkan sindrom klinis neurokognisi yang dapat disamakan dengan delirium. Hal ini disebabkan oleh reaksi neuroinflamasi yang mempengaruhi fungsi sel saraf dan sinaptik. Sintesis asetilkolin sangat sensitif terhadap perubahan homeostasis otak, dimana proses neuroinflamasi menimbulkan defisit kolinergik yang berkaitan dengan ketidakseimbangan neurotransmiter lainnya, misalnya dopamin, serotonin dan norephineprin. Ilmu pengetahuan saat ini tidak dapat menjelaskan secara lengkap mekanisme yang pasti tentang apakah perubahan struktural, fungsional dan neurokimiawi menimbulkan gejala kognisi, perilaku dan emosional. Data dari bagian anestesi menggambarkan bahwa beberapa gejala utama delirium melibatkan perubahan aspek dinamik dari aktivitas sel saraf, kemudian mempengaruhi kemampuan otak untuk mengintegrasikan informasi melalui diskoneksi fungsional dari struktur-struktur anatomi yang berbeda. Demikian juga, perbedaan gambaran klinis mungkin timbul karena gangguan pada bagian otak yang berbeda, yang dikenal sebagai pusat kesadaran, perhatian dan kewaspadaan. Kemudian, mekanisme neuroinflamasi ini juga mungkin terlibat dalam beberapa gejala spesifik delirium (Qin dkk., 2007). 44 2.3 Peranan Proses Penuaan pada Delirium Proses penuaan yang disertai perubahan fisiologis pada penuaan merupakan faktor risiko terjadinya delirium. Proses penuaan berhubungan perubahan pada otak misalnya pengaturaran neurotransmiter yang berkaitan dengan stress metabolik, penurunan aliran darah otak , penurunan densitas vaskuler, kehilangan sel saraf (terutama pada locus cereleus dan substantia nigra) dan penurunan transduksi intraseluler. Proses-proses ini yang menjelaskan mengapa proses penuaan berkaitan dengan beberapa gangguan defisist kognitif dan peningkatan risiko dementia. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan resiprokal antara delirium dan penurunan fungsi kognitif. Dementia merupakan faktor risiko utama delirium pada pasien-pasien usia lanjut dan kelanjutan proses delirium itu sendiri tampaknya meningkatkan risiko penurunan fungsi kognisi, termasuk dementia. Penuaan itu sendiri menunjukkan peningkatan jumlah mediator inflamasi di dalam sirkulasi yang menunjukkan bahwa proses neurodegenerasi kronik yang disebakan oleh respon inflamasi mengaktivasi sel mikroglia SSP. Sel mikroglia ini menghasilkan respon inflamasi yang berlebihan terhadap perubahan imunologi. Perubahan pada sistem imun yang berkaitan dengan penuaan (immunosenescence) menyebabkan peningkatan sekresi sitokin oleh jaringan adiposit. Hal ini merupakan penyebab utama inflamasi kronik, yang lebih dikenal sebagai “inflammaging”. Proses inflamasi ini mungkin berkontribusi terhadap progresifitas penyakit melalui produksi mediator inflamasi. Proses penuaan berhubungan dengan peningkatan nilai baseline dua sampai empat kali mediator inflamasi termasuk sitokin dan protein fase akut. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap delirium pada pasien usia lanjut adalah lower cognitive reserves, kapasitas metabolik yang rendah, peningkatan 45 sensitivitas terhadap obat-obatan dan rendahnya threshold terhadap efek obat-obat antikoloinergik. Beberapa mekanisme utama yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya delirium pada usai lanjut: 1. Kehilanagn sel saraf terutama pada lokus coereleus dan substantia nigra. 2. Perubahan pada berbagai sistem neurotransmitter. 3. Penurunan intergritas white matter yang berhubungan dengan usia. 4. Penurunan aliran darah otak, terutama pada gyrus cingulate anterior, basal ganglia bilateral, bagian prefrontal kiri, bagian frontal lateral kiri dan bagian temporal superior kiri, dan korteks insular. 5. Penurunan metabolisme oksigen pada otak. 6. Berkurangnya suplai oksigen (misalnya hipoksia). 7. Berkurangnya metabolism oksidatif otak. 2.4 Biomarker Delirium Untuk meningkatkan diagnosis dan perawatan delirium, beberapa biomarker telah diteliti sebagai alat penunjang untuk stratifikasi, diagnosis, monitoring dan prognosis delirium. Penelitian-penelitian telah direview dan tidak ditemukan evidence yang menyokong kegunaan klinis dari biomarker delirium, walaupun beberapa biomarker seperti S100B, insulin-like growth factor (IGF)-1 dan beberapa marker inflamasi telah menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk dievaluasi pada penelitian-penelitian berikutnya. Untuk meningkatkan diagnosis dan perawatan, para peneliti telah mengidentifikasi beberapa biomarker yang mungkin membantu dalam diagnosi, severitas, perkembangan terapi terbaru, monitoring respon terapi dan hasil akhir dari delirium yang telah membaik (Khan dkk., 2011). 46 Patofisiologi delirium belum bisa dijelaskan dengan pasti dan mungkin menunjukkan respon otak terhadap stres lokal atau sistemik yang melibatkan interaksi jalur biologi sentral dan perifer yang menimbulkan gejala klinis delirium. Ada dua hipotesis utama untuk menjelaskan mekanisme terjadinya delirium, yaitu: teori neurotransmiter dan teori inflamasi. Teori neurotransmiter menggambarkan kelebihan atau kekurangan beberapa neurotransmiter mengakibatkan timbulnya gejala yang berhubungan dengan delirium. Seperti yang sudah dikemukan bahwa delirium merupakan akibat dari interaksi yang kompleks antara berbagai faktor presiposisi dan faktor presipitasi. Interaksi ini mengakibatkan ketidakseimbangan neurotransmiter yang mengakibatkan terjadinya delirium, dimana terjadi pelepasan dopamin yang berlebihan, defisiensi sintesis asetilkolin dan tinggi atau rendahnya kadar serotonin dan gamma-amino-butiric-acid (GABA) (Cerejeira, 2012). Teori inflamasi menekankan pada peran dari sitokin sebagai respon terhadap adanya stressor pada delirium, termasuk diantaranya IL-1, IL-6, interferon danTNFα. Teori ini menggambarkan kesamaan gangguan berikut yang disebabkan oleh pelepasan sitokin dan delirium. Berdasarkan penelitian pada binatang, kedua teori ini tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling mempengaruhi satu sama lain dalam menjelaskan terjadinya delirium. Beberapa biomarker telah dihubungkan dengan risiko terjadinya delirium, menilai aktivitas penyakit dan juga dihubungkan dengan derajat severitas delirium itu sendiri. Genetik marker seperti Apolipoprotein (Apo)-E, marker inflamasi (IL-6, IL-8, Kortisol, CRP) dan IGF-1 telah dihubungkan dengan risiko terjadinya delirium pada pasien usia lanjut. Alel Apo-E merupakan faktor risiko terjadinya delirium dan durasi delirium yang lebih lama. Tingginya kadar IL-8, kortisol dan CRP mungkin dapat memprediksi terjdanya delirium bersamaan dengan 47 rendahnya kadar IGF-1. Dalam hal diagnosis dan penilaian aktivitas penyakit, serum aktifitas antikolinergik (SAA), mediator inflamasi (IL-6 dan IL-8) dan IGF-1 juga berkorelasi sangat kuat dengan delirium (Cerejeira dkk, 2012). Sedangkan kadar S100B dan neuro-specific enolase (NSE) berhubungan dengan derajat severitas delirium, dimana S100B merupakan faktor yang paling konsisten berhubungan dengan delirim setelah dilakukan adjustmen terhadap beberapa variabel perancu (Aly dkk., 2014). Biomarker memegang peranan penting dalam menjelaskan patofisologi delirium. Diagnosis, prognosis dan pengaruh jangka panjang dari delirium. Biomarker dapat sangat berguna untuk perkembangan terapi delirium dan secara tidak langsung bermanfaat untuk menilai severitas delirium. Secara umum biomarker dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu biomarker yang berhubungan dengan risiko terjadinya delirium dan biomarker yang menggambarkan delirium itu sendiri, dalam hal ini diagnosis, severitas dan lama delirium terjadi (Khan dkk., 2011). Keadaan tumpang tindih ditemukan antara marker inflamasi pada delirium dan sistem kolinergik pasien. Asetilkolin bersifat menghambat pelepasan sitokin proinflamasi IL-6 sehingga mengontrol inflamasi pada otak. Oleh karena itu, prosesproses yang menyebabkan sistem kolinergik gagal dengan berkurangnya simpanan asetilkolin mungkin akan menyebabkan kontrol yang inadekuat terhadap kaskade inflamasi dan mempengaruhi terjadinya delirium. Delirium juga dapat dilihat sebagai perilaku penyakit yang diakibatkan oleh sitokin. Sitokin-sitiokin ini menyebabkan terjadinya demam, kelemahan dan letargi sehingga menyebabkan gangguan konsentrasi, gangguan tidur dan agitasi. Sitokin ini mengurangi aktiviats kolinergik 48 terutama pada usia lanjut dengan penyakit neurodegenratif misalnya penyakit Alzheimer. Siklus berulang ini terus berlangsung, regulasi yang tidak adekuat dari inflamasi karena menurunnya aktivitas kolinergik. Regulasi yang tidak adekuat ini menjelaskan interaksi yang kompleks anatar teori inflamasi dan teori neurtransmiter (Cerejeira dkk., 2012). 2.4.1 S100 Calcium Binding Protein B (S100B) S100 merupakan protein dengan berat molekul 20kDa termasuk pada superfamili S100/calmodulin/troponin C dari protein calcium binding EF-hand. S100 diisolasi dari otak manusia dan diperkirakan sebagai protein spesifik pada sel glia. Sampai saat ini, ada 20 monomer family S100 yang telah teridentifikasi berdasarkan kesamaan fungsi dan struktur. Hampir semua protein S100 dalam bentuk dimer dan diakspresikan oleh sel-sel yag khusus. Dua monomer S100 (S100A1 dan S100B) terdapat pada sel glia sistem saraf pusat dan pada beberapa sel perifer, misalnya: sel Schwan, sel melanosit, sel adiposit dan sel kondrosit. Disamping itu, kedua monomer ini juga ditemukan pada beberapa penyakit keganasan seperti melanoma, glioma, karsinoma tiroid dan renal cell carcinoma (Macedo dkk., 2014). Pengukuran kadar S100B pada serum telah menunjukkan kegunaan klinik untuk monitoring terapi dan prognosis pasien dengan melanoma maligna. Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa kadar S100B serum berguna dalam manajemen pasien dengan cedera kepala, henti jantung, pembedahan jantung dan stroke (Heizmann, 2002). S100B merupakan biomarker yang menunjukkan injuri secara langsung pada sel saraf, misalnya cedera kepala dan penyakit cerebrovascular. S100B menunjukkan hal yang menjanjikan untuk menilai tingkat keparahan delirium. Astrosit melepaskan S100B dan kadar S100B yang tinggi mungkin menunjukkan injuri tidak langsung 49 pada sel glia. Adanya hubungan yang kuat antara kadar S100B serum dengan delirium setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu. Pada ketiga penelitian ini menunjukkan kadar S100B yang tinggi pada pasien yang mngalami delirium. Salah satu penelitian melaporkan adanya korelasi antara S100B dengan sitokin IL-6 dan IL-8 (Aly dkk., 2014). 2.4.2 Interleukin-6 Interleukin-6 merupakan glikoprotein multifungsi yang diproduksi oleh sel normal dan sel yang mengalami transformasi, misalnya: sel T, monosit/makrofag, fibroblast, hepatosit, sel endotel vaskular, cardiac mixoma, sel karsinoma kandung kemih, sel mieloma, astroglioma dan glioblastoma. Produksi IL-6 pada sel-sel tersebut diatas diatur baik secara positif maupun negatif oleh berbagai sinyal termasuk mitogen, stimulasi antigen, LPS, IL-1, TNF, dan virus (Scheller dkk., 2011). Pada SSP, sel astrosit merupakan sumber utama IL-6. Walaupun IL-6 mempunyai efek yang menguntungkan karena bersifat neurotropik, overekspresi dari IL-6 pada umumnya bersifat merusak. Hal inilah yang berhubungan dengan patofisiologi terjadinya gangguan pada SSP. Interleukin-6 sebagai marker inflamasi mempunyai peranan dalam terjadinya delirium. Pada beberapa penelitian, IL-6 berhubungan dengan risiko terjadinya delirium, aktifitas penyakit dan diagnosis delirium (Adamis dkk., 2007; Van Munster dkk., 2010). 2.5 Instrumen Diagnosis Delirium Sebelum adanya revisi Diagnostic and Statistical Manual (DSM) III, beberapa instrumen diagnsotik delirium masih belum terstandarisasi. Oleh karena itu, sebelum tahun 1980, ada banyak istilah (gagal otak akut, acute confusional state, 50 sindrom organik akut, psikosis postoperasi, insufisiensi serebral, ensefalopati, dll) yang digunakan dalam literatur untuk mengambarkan delirium. Kemudian dalam beberapa tahun ini, ada beberapa instrumen yang telah dipakai untuk skrining, diagnosis dan menilai derajat severitas delirium. Diantara berbagai instrumen skrining delirium, NEECHAM confusion scale dan Delirium Observation Scale merupakan yang paling cocok dipakai pada pasien-pasien di bangsal perawatan bedah dan medik. Secara umum, instrumen-instrumen yang dipakai untuk mendiagnosis delirium (seperti CAM, CAM-ICU, DRS-R-98, dan MDAS) selalu mengacu pada kriteria DSM. Instrumen-intrumen tersebut mempunyai nilai reliabilitas dan validitas yang baik. Diantara bermacam-macam instrumen delirium ini, CAM merupakan yang paling sering digunakan sebagai instrumen diagnosis karena akurasi, ringkas, dan mudah digunakan para klinisi (Grover dan Kate, 2012; Adamis dkk, 2010). Tabel 1. Beberapa Instrumen Klinis untuk Diagnosis Delirium (Grover dan Kate, 2012). Sensitivitas DRS ≥ 10 95% DRS-98-R ≥ 12 80% MDAS ≥ 13 68% MMSE < 24 96% Spesifitas 61% 76% 94% 38% Negatif PA 89% 69% 63% 88% Positif PA 80% 85% 95% 72% Cutoff 2.5.1 Confusion Assesment Method (CAM) Confusion Assesment Method merupakan alat diagnostik utama untuk delirium yang banyak digunakan berdasarkan kriteria DSM-III-R dan diskusi panel ahli. Versi singkatnya meliputi algoritme diagnostik, berdasarkan empat ciri kardinal delirium yakni (1) onset akut dan perjalanan fluktuatif; (2) penurunan perhatian; (3) pikiran tak terorganisir; dan (4) perubahan tingkat kesadaran. Diagnosis delirium 51 berdasarkan CAM membutuhkan ciri 1, 2, disertai 3 atau 4. Kelima butir lainnya yang tidak tercakup dalam algoritma CAM, dianggap tidak memiliki kontribusi apappun bagi spesivitas dan sensitivitas diagnostik. Kelima gambaran tersebut, ketika ditambahkan sendiri atau dalam kombinasi yang bervariasi, tidak meningkatkan sensitivitas, spesivitas atau rasio probabilitas. Keberadaan gambaran satu dan dua serta salah satu dari butir tiga atau empat dalam algoritma CAM memberikan kontribusi terbaik dari seluruh kombinasi yang dinilai. Butir satu dan dua diidentifikasi sebagai gejala terpenting delirium dalam DSM III-R, sedangkan gambaran tiga dan empat didukung oleh opini ahli dan praktek klinis dengan pertimbangan bahwa dalam kondisi kesadaran yang menurun, pikiran yang tidak tertata seringkali tidak dapat diperkirakan atau diketahui (Vietara, 2012). Confusion Assesment Method memiliki sensitivitas (antara 77%-100%) (Hesterman dkk, 2009) (Vresswijk dkk., 2009) dan spesifitas yang baik (antara 84%99%) (Laurila dkk., 2002) (Gonzales dkk., 2004). CAM juga memiliki nilai predictive value yang tinggi (antara 97%-100%) ketika digunakan di unit gawat darurat (Monette dkk., 2001). Confusion Assesment Method dapat digunakan dengan mudah pada kondisi klinis rutin oleh staf medis nonpsikiatrik atau staf perawat dengan latihan sebelumnya. Pada ruang rawat kritis atau ruang pemulihan pasca bedah, terutama pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal, CAM-IC (adaptasi dari CAM) harus digunakan. Studi review terbaru menguatkan rekomendasi ini, mensitasi bukti untuk mendukung penggunaan CAM sebagai instrumen diagnostik (Vietara, 2012). 52 2.5.2 Memorial Delirium Assesment Scale (MDAS) Memorial Delirium Assesment Scale merupakan instrumen yang dipakai oleh dokter untuk menilai tingkat keparahan delirium pada pasien-pasien yang menderita penyakit medis. MDAS terdiri dari sepuluh item, dimana masing-masing item memiliki nilai nol sampai tiga berdasarkan interaksi dengan pasien atau perilaku pasien atau kejadian beberapa jam yang lalu. Sepuluh item pada MDAS menggambarkan kriteria diagnostik delirium pada DSM IV. Setiap item menilai gangguan kesadaran dan tingkat kesadaran, seperti pada beberapa area dari fungsi kognisi (memori, perhatian, orientasi, dan gangguan berpikir) dan aktivitas psikomotor. Item-item ini dihubungkan dengan gambaran severitas atau intensitas dari gejala, dan telah ditinjau oleh dokter yang berpengalaman untuk memastikan kemudahan pelaksanaan dan ketepatan penilaian. MDAS hanya membutuhkan waktu ± 10 menit untuk dilakukan, observasi perilaku dan tes pengenalan obyek. Ketika salah satu item tidak bisa dikerjakan, skor tetap bisa dibagi rata dari item-item yaang bisa dikerjakan. MDAS dibuat dengan maksud bahwa MDAS dapat dikerjakan beberapa kali pada hari yang sama, untuk menilai secara objektif perubahan severitas delirium sebagai respon terhadap intervensi klinis. Total skor MDAS secara signifikan dapat membedakan pasien delirium dengan pasien-pasien yang mengalami gangguan kognisi lainnya atau mereka yang tidak mengalami gangguan kognisi. MDAS dapat dipakai juga untuk mengdiagnosis delirium dimana cutoff skornya adalah 13 (Breitbart dkk., 1997). Validasi MDAS telah dilakukan oleh dua penelitian terpisah , dimana kedua penelitian ini dikerjakan di Memorial Sloan King-Kettering Cancer Center antara tahun 1992 sampai dengan tahun 1995. Penelitian yang pertama meneliti tentang reliabilitass dan validasi diskriman dari MDAS dan penelitian kedua menilai 53 validitas dari MDAS. MDAS memiliki nilai interreliabilitas (0,92) dan konsistensi internal yang tinggi (koefisien a = 0,91). MDAS juga menunjukkan korelasi yang kuat dengan DRS (r = 0,88, p < 0,0001), MMSE (r = 0,91, P < 0,0001) dan Clinian’s Global Ratings of Delirium Severity (r = 0,89, P < 0,0001) (Grover dan Kate, 2012). 54 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Delirium merupakan gejala SSP yang terjadi sebagai akibat dari penyakit sistemik. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan terjadinya delirium (misalnya: infeksi, pembedahan, trauma, dll) mungkin merupakan faktor pencetus aktivasi kaskade inflamasi. Proses neuroinflamasi ini menyebabkan terjadinya gangguan permeabilitas dari sawar darah otak. Gangguan permeabilitas sawar darah otak ini kemudian menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan neurotransmiter, dimana terjadi penurunan kadar asetilkolin, peningkatan kadar dopamin dan peningkatan kadar GABA. Interaksi antara ketiga faktor ini juga menyebabkan terjadinya gangguan permeabilitas dari sawar darah otak, hal ini ditandai dengan meningkatnya kadar S100B. Secara klinis penegakan diagnosis delirium dapat menggunakan Confusion Assesment Method (CAM). Namun untuk mengukur tingkat keparahan delirium, pemeriksaan MDAS dan DRS merupakan alat bantu yang paling sering dipakai. 35 55 Faktor Presipitasi 1. Infeksi 2. Pembedahan 3. Trauma 4. Obat-obatan psikoaktif 5. Gangguan tidur Faktor Predisposisi 1. Dementia 2. Penyakit yang berat 3. Gangguan sensoris 4. Usia Interaksi Faktor Protektif Neuroinflamasi, Peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-6, CRP, dan IL-8) Ketidakseimbangan Neurotransmiter Ach, Dop GABA Delirium Memorial Delirum Assesment Scale Ringan S100β Sedang Gambar 3.1 Kerangka Berpikir Berat 56 3.2 Konsep Penelitian Neuroinflamasi ( IL-6 ) Delirium Memorial Delirum Assesment Scale ↑ S100B Keterangan: : Variabel tergantung : Variabel bebas Gambar 3.2 Konsep Penelitian 3.3 Hipotesis Adapun hipotesis pada penelitian ini yakni adanya hubungan korelasi antara peningkatan kadar S100B dan kadar IL-6 serum dengan tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri. 57 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini merupakan penelitian crosssectional analitik untuk mengetahui korelasi antara kadar S100B serum dan kadar interleukin-6 dengan tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri yang dirawat di RSUP Sanglah, Denpasar. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Ruang Perawatan RSUP Sanglah, Denpasar. 4.2.2 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2014 sampai dengan bulan Februari 2015. 4.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi bidang Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah, Denpasar. 4.4 Penentuan Sumber Data Penelitian 4.4.1 Populasi Target Populasi target penelitian ini adalah semua pasien geriatri. 4.4.2 Populasi Terjangkau Populasi terjangkau penelitian ini adalah semua pasien geriatri yang dirawat di RSUP Sanglah, Denpasar. 38 58 4.5 Sampel dan Besar Sampel 4.5.1 Sampel Penelitian Sampel penelitian yang digunakan adalah semua pasien geriatri (lansia dengan multipatologi) di ruang perawatan RSUP Sanglah yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria Inklusi : a. Pasien Geriatri yang dirawat di RSUP Sanglah, baik pria maupun wanita. b. Bersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani informed consent. Kriteria Eksklusi : a. Pasien dengan penyakit keganasan. b. Pasien yang mengalami pembedahan. c. Pasien yang menggunakan obat-obatan psikoaktif. 4.5.2 Besar Sampel Penelitian Perkiraan besar sampel untuk penelitian ini dihitung berdasarkan rumus untuk penelitian analitik koleratif (Dahlan, 2009): 2 Z Z n 3 0.5 In [ (1 r ) / (1 r ) ] Keterangan : n = perkiraan minimal jumlah sampel yang diperlukan Kesalahan tipe I = 5 %, hipotesis dua arah, Zα = 1,96 Kesalahan tipe II = 10 % sehingga Zβ = 1,282 r = koefisien korelasi = 0,3 Dari rumus diatas maka didapatkan jumlah n adalah : 2 1,64 1,28 n 3 0.5 In [ (1 0,3 ) / (1 0,3) ] = 71,621 dibulatkan 72 Jadi jumlah sampel minimal yang harus diteliti adalah 72 orang 59 4.6 Variabel Penelitian 4.6.1 Variabel tergantung : Kadar S100β serum dan kadar IL-6 4.6.2 Variabel bebas : Tingkat Keparahan Delirium 4.6.3 Variabel perancu : Usia, penyakit komorbid (Charlson’s Age-Comorbidity Index). 4.7 Definisi Operasional Variabel Penelitian 4.7.1 Geriatri: populasi usia lanjut yang berusia lebih dari 60 tahun serta mempunyai ciri khas multipatologi, tampilan gejalanya tidak khas, daya cadangan faali menurun, dan biasanya disertai gangguan fungsional (Martono dan Pranarka, 2010). 4.7.2 Tingkat Keparahan Delirium: manifestasi delirium yang diukur menggunakan kuesioner MDAS (lampiran 5) yang terdiri dari sepuluh item, dimana masingmasing item memiliki nilai nol sampai empat berdasarkan interaksi dengan pasien atau perilaku pasien atau kejadian beberapa jam yang lalu. Semakin tinggi nilai MDAS menggambarkan semakin berat delirium. 4.7.3 Kadar S100β serum: merupakan suatu calcium-binding protein yang disekresi oleh astrosit dibawah pengaruh kondisi metabolik stres dan merupakan biomarker yang menandakan kerusakan dari SSP. Kadar S100B serum diukur menggunakan Human S100B ELISA Kit (Elabscience) yang dinyatakan dalam pg/mL. 4.7.4 Kadar IL-6: merupakan glikoprotein multifungsi yang juga diproduksi oleh astrosit sebagai respon terhadap inflamasi sistemik. Kadar IL-6 diukur menggunakan alat Human Interleukin 6 Immunoassay (Quantikine) yang dinyatakan dalam pg/mL. 60 4.7.5 Usia : Usia biologis pasien yang dinyatakan dalam tahun, diperoleh dari akte kelahiran atau Kartu Tanda Penduduk (KTP). Jika tidak diketahui umur berdasarkan akte kelahiran atau KTP, maka umur dapat diperkirakan dengan menghubungkan kelahiran dengan kejadian yang bersejarah di lingkungan sekitar. 4.7.6 Penyakit Komorbid: Penyakit lain yang juga juga diderita pasien. Penyakit komorbid ini akan diukur menggunakan Charlson’s-Age Comorbidity Index (CACI) untuk mengukur pengaruh penyakit komorbid terhadap delirium. 4.7.7 Penyakit Keganasan: penyakit-penyakit keganasan yang juga dapat meningkatkan kadar S100B serum dan kadar IL-6. Misalnya: melanoma maligna, karsinoma tiroid dan renal cell carcinoma. Penyakit-penyakit keganasan ini didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis yang ada pada pasien. 4.7.8 Pembedahan: Tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. (Sjamsuhidayat, 2005). 4.7.9 Obat-obatan psikoaktif: Golongan obat-obatan psikoaktif adalah antikolinergik, narkotika, benzodiazepines, hipnotik. 4.8 Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Kuesioner umum berdasarkan Rekam Medis Geriatri RSUP Sanglah Denpasar untuk mengetahui identitas, keluhan, karakteristik pasien, keluhannya secara subyektif dan pemeriksaan secara obyektif. 61 2. Kuesioner CAM untuk mendiagnosis delirium. 3. Kuesioner Khusus Memorial Delirium Assesment Scale (MDAS) untuk mengetahui tingkat keparahan delirium yang sudah divalidasi di beberapa negara (Machado dkk., 2011). 4. Human S100β ELISA Kit (Elabscience) untuk mengukur kadar S100B serum. Bahan yang digunakan adalah darah penderita sebanyak 5 cc untuk pemeriksaan serum S100B. 5. Kit Human Interleukin 6 Immunoassay (Quantikine) untuk mengukur kadar IL-6. 6. Kuesioner Charlson’s Age-Comorbidity Index untuk mengukur pengaruh penyakit komorbid terhadap delirium. 4.9 Prosedur Penelitian Setelah mendapatkan izin dari Komisi Etik dan izin dari Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, dilanjutkan dengan pengambilan sampel penelitian di Bangsal Perawatan RSUP Sanglah Denpasar. Semua responden diberitahukan dan dijelaskan tentang penelitian ini dan bila bersedia ikut dalam penelitian, responden akan menandatangani informed consent. Kemudian dilakukan skrining pada responden untuk diagnosis delirium dengan menggunakan kriteria CAM dan dilanjutkan dengan pemeriksaan MDAS untuk mengukur tingkat keparahan delirium pada pasien yang terdiagnosis delirium.Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel darah pada responden untuk pemeriksaan kadar S100β serum dan kadar IL-6. Setelah data terkumpul semua akan dianalisis untuk mendapatkan hasil dari penelitian tersebut. 62 4.10 Alur Penelitian Pasien Geriatri yang di rawat di RSUP Sanglah, Denpasar Izin Direktur RSUP sanglah Komisi Etik Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi Pemeriksaan Untuk Diagnosis Delirium Anamnesis dengan kriteria CAM Menilai derajat severitas delirium menggunakan MDAS Menghitung nilai MDAS Pengambilan serum untuk memeriksa kadar S100β dan IL-6 Analisis data Hasil Gambar 4. Alur Penelitian 4.11 Analisis Data Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dan diolah dengan menggunakan program SPSS 21.0 meliputi (Dahlan, 2009): 1. Analisis Deskriptif. Setelah data terkumpul, analisis deskriptif dikerjakan untuk menilai umur, jenis kelamin, Charlson’s Age-Comorbidity Index, nilai MDAS, kadar S100β serum dan kadar IL-6. 2. Uji Normalitas. Uji Normalitas menggunakan uji Kolmogorov-smirnov (sampel lebih dari 50) untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. 63 3. Analisis Bivariat. Apabila data berdistribusi normal, maka dilakukan uji korelasi dengan uji pearson. Tetapi bila data tidak berdistribusi normal, maka dilakukan uji korelasi dengan uji Spearman’s. Uji korelasi dalam penelitian ini untuk mengetahui korelasi antara kadar S100β serum dengan nilai MDAS dan untuk mengetahui korelasi antara kadar IL-6 dengan nilai MDAS. 64 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan dari periode Januari 2016 sampai dengan Maret 2016. Subyek penelitian berjumlah 72 orang yang terdiri dari 38 orang laki-laki (52,8%) dan 34 orang perempuan (47,2%). Pada penelitian ini rerata umur subyek adalah 68 ± 6,96 tahun. Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Cindy dkk., (2014) dan Isfandiaty dkk., (2012). Cindy dkk. melakukan penelitian di RSUP Sanglah periode Agustus 2013 sampai April 2014 dimana didapatkan laki-laki paling banyak mengalami delirium (58%) dibandingkan dengan perempuan (42%). Pada penelitian oleh Cindy dkk. (2014) juga didapatkan karakteristik umur yang hampir sama yaitu dengan rerata umur 66 tahun. Sedangkan Isdianty dkk. (2012) melakukan penelitian di RS Cipto Mangunkusumo juga mendapatkan hasil yang sama dimana sebagian besar laki-laki yang mengalami delirium (52,5%) dengan rerata umur 69,6 tahun. Karakteristik subyek selengkapnya tertera pada table 5.1. Setelah dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan tes KolmogorovSmirnov didapatkan hasil skor Charlson’s Age-Comorbidity Index (CACI), S100B, IL-6 dan MDAS tidak berdistribusi normal. Pada penelitian ini didapatkan median kadar S100B serum sebesar 5520 pg/ml dengan kadar minimal 950,87 pg/ml dan maksimal 7741,89 pg/ml. Hasil ini menunjukkan kadar S100B yang tinggi pada pasien yang mengalami delirium. Tingginya kadar S100B pada semua subyek penelitian kami sesuai dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, dimana didapatkan kadar S100B yang tinggi pada pasien-pasien yang mengalami delirium dibandingkan dengan yang tidak delirium (Aly, 2014; Macedo, 2013; Van Munster, 2010). Pada 45 65 penelitian yang dilakukan oleh Aly dkk., (2014) didapatkan bahwa pasien-pasien usia lanjut yang mengalami delirium mempunyai kadar S100B lebih tinggi (32,4 ± 9,8 pg/ml) dibandingkan dengan yang tidak delirium (30,3 ± 9,3 pg/ml). Median kadar IL-6 63,68 pg/ml dengan kadar minimal 1,03 pg/ml dan kadar maksimal 376,89). Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Egberts dkk., pada pasien-pasien usia lanjut yang dirawat di bangsal penyakit dalam dan bangsal geriatri didapatkan dimana didapatkan kadar IL-6 yang lebih tinggi pada pasien yang mengalami delirium dibandingkan dengan yang tidak delirium (43,1 vs 18,5 pg/ml). Median skor MDAS 17 dengan skor terendah 13 dan skor tertinggi 24. Berdasarkan skor MDAS delirum dapat dikategorikan menjadi ringan (<16), sedang (16-22) dan berat (>24). Pada penelitian ini didapatkan delirium ringan 35 orang (48,6%), delirium sedang 20 orang (27,8%) dan delirium berat 17 orang (23,65%). Sedangkan pada penelitian Kelly dkk., (2003) didapatkan 30% pasien mengalami delirium berat pada saat ataupun sesudah dirawat di bagian akut rumah sakit. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Marcantonio dkk., (2002) didapatkan 51% mengalami delirium berat selama dirawat di rumah sakit. Pada penelitian kami didapatkan median CACI enam dengan nilai terendah tiga dan nilai tertinggi sebelas. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian oleh Khan dkk. (2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Khan dkk., (2013) didapatkan CCI 3,2 ± 2,7 pada pasien usia lanjut yang mengalami delirium. Hal ini dikarenakan subyek penelitian Kahn dkk dilakukan di ruangan ICU, dimana lebih banyak pasien post operasi. Operasi merupakan salah satu faktor presipitasi terjadinya delirium, baik karena penggunaan obat anestesi maupun karena prosedur operasi itu sendiri. 66 Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian (N=72) Rerata ±(SD) atau Karakteristik Median (Minimum-Maksimum) Demografi - Jenis Kelamin Laki-laki (%) Perempuan (%) - Umur Klinis - Charlon’s AgeComorbidity Index - Laboratorium, Leukosit Hemoglobin Trombosit Ureum Kreatinin ALT AST Albumin Natrium S100B (pg/ml) IL-6 (pg/ml) MDAS 38 (52,8) 34 (47,2) 67(60-85) 6 (3-11) 15,35 ± 7,38 10,92 ± 3,14 210 (20,90-809,40) 28,5 (8,00-164,00) 1,5 (0,29-15,91) 24,9 (4,90-417,10) 34,45 (4,80-718,50) 2,99 ± 0,71 131,56 ± 9,13 5520 (950,87-7741,89) 63,58 (1,03-376,80) 17 (13-24) 5.2 Hubungan antara Kadar S100B Serum dengan Tingkat Keparahan Delirium Baik data kadar S100B serum maupun skor MDAS tidak berdistribusi normal walaupun telah dilakukan usaha transformasi data. Oleh karena itu uji korelasi antara kadar S100B dengan skor MDAS menggunakan uji korelasi Spearman’s. Uji korelasi Spearman’s menunjukkan tidak adanya korelasi antara kadar S100B dengan tingkat keparahan delirium dengan r = -0,051 dan p = 0,673. Pada penelitian kami didapatkan perbedaan rerata kadar S100B pada masingmasing kelompok delirium. Rerata kadar S100B pada kelompok delirium ringan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok delirium sedang dan delirium berat (5185,46 ± 1656,34 vs 5180,43 ± 1593,63 vs 5019,54 ± 1740,69, p=0,95). Namun perbedaan ini tidak bermakna. 67 Gambar 5.1 Korelasi antara kadar S100B dengan Tingkat Keparahan Delirium. Tingginya kadar S100B pada pasien-pasien yang mengalami delirium sangat bergantung pada kondisi pasien tersebut. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pfister dkk didapatkan tingginya kadar S100B pada pasien delirium yang mengalami kondisi sepsis (Pfister dkk., 2008). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Van Munster dkk, Hermann dkk, dan Rasmussen dkk mendapatkan kadar S100B yang tinggi pada pasien delirium setelah mengalami operasi panggul, operasi jantung dan operasi pada bagian perut (Van Munster dkk., 2010; Hermann dkk., 2000; Rasmussen., 2000). Penelitian yang mengukur kadar S100B pada pasien-pasien geriatri yang mengalami delirium didapatkan hasil kadar S100B lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mengalami delirium, dimana kadar S100B tertinggi didapatkan pada waktu sesudah terjadinya delirium dibandingkan dengan sebelum maupun saat 68 terjadinya delirium. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa peningkatan kadar S100B tidak menunjukkan kerusakan pada otak tetapi menunjukkan aktivitas dari astrosit dan meningkatnya permeabilitas sawar darah otak (Van Munster dkk., 2010). Mekanisme astrosit tetap teraktivasi sesudah delirium sampai saat ini belum jelas, padahal seperti yang kita ketahui sitokin proinflamasi berkurang jumlahnya pada waktu sesudah delirium (Van Munster dkk., 2008). Proses pelepasan S100B oleh astrosit ini memberikan efek yang menguntungkan pada pemeliharaan sel saraf, neurogenesis dan fungsi kognitif. Hal ini telah digambarkan melalui proses perbaikan pada otak terutama pada daerah hipokampus (Donato dkk., 2008; Goncalves dkk., 2008). Pada penelitian kami didapatkan hasil yang serupa dengan penelitianpenelitian sebelumnya yang mengukur kadar S100B pada pasien-pasien geriatri yang mengalami delirium, dimana didapatkan hasil kadar S100B yang tinggi (Aly, 2014; Macedo, 2013; Munster, 2010). Namun pada penelitian kami tidak didapatkan korelasi antara kadar S100B dengan tingkat keparahan delirium. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan sebagai berikut: 1. Kadar S100B yang diukur adalah kadar S100B yang di serum bukan pada cairan serebrospinal. Kadar S100B serum tidak sepenuhnya menggambarkan kadar S100B di SSP walaupun SSP merupakan sumber utama S100B. Di luar SSP, lemak dan otot merupakan sumber utama S100B (Pham dkk., 2010). Disamping itu S100B juga dihasilkan oleh berbagai organ dan sel-sel tubuh (Sorci dkk., 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Gerlach, pelepasan S100B oleh astrosit dipengaruhi oleh beberapa kondisi yaitu hipoksia, kadar glukosa darah dan kadar laktat 69 dehydrogenase (LDH). Pelepasan S100B ini sangat berhubungan dengan mekanisme stress oksidasi (Gerlach dkk., 2006). Pada penelitian yang dilakukan oleh Pfister dkk didapatkan kadar S100B yang tinggi pada pasien-pasien yang mengalami ensefalopati sepsis (Pfister dkk., 2008). Pada penelitian kami didapatkan kadar S100B yang tinggi pada semua kelompok delirium namun tidak ada perbedaan rerata yang bermakna pada masing-masing kelompok delirium. Tingginya kadar S100B pada penelitian kami mungkin karena sebagian besar populasi penelitian kami mengalami sepsis (63%). Disamping itu populasi penelitian kami juga memiliki berbagai penyakit komorbid, dimana penyakit komorbid ini juga meningkatkan proses stres oksidatif. Peningkatan sekresi S100B oleh astrosit yang teraktivasi menunjukkan suatu proses neurodegenerasi. Peningkatan kadar S100B ditemukan pada pasien-pasien Alzheimer, stroke, schizophrenia dan traumatic brain injuries (Tateishi dkk., 2006). Kadar S100B dalam jumlah kecil bersifat neuroprotektif, tetapi konsentrasi kadar S100B yang tinggi bersifat destruksi. Kadar S100B yang tinggi akan merangsang pelepasan sitokin proinflamasi dan menginduksi proses apoptosis pada sel saraf dan sel glia (Ruhtermuth dkk., 2003). 2. Pengukuran kadar S100B hanya pada satu saat saja yaitu pada saat pemeriksaan tingkat keparahan delirium. Padahal proses pelepasan S100B sangat berkaitan erat dengan waktu terjadinya delirium dan kondisi delirium itu sendiri bersifat fluktuatif. Pada penelitian yang dilakukan oleh Van Munster dkk didapatkan kadar S100B tertinggi pada waktu 70 sesudah delirium dibandingkan pada waktu sebelum dan saat terjadi delirium itu sendiri (Van Munster dkk., 2010). Disamping itu sekresi S100B oleh astrosit bersifat time-dependent. Pada kondisi hipoksia dan hipoglikemi terjadi pelepasan S100B yang cepat dalam duabelas sampai dua puluh empat jam pertama. Sedangkan peningkatan kadar LDH Kadar S100B (pg/ml) meningkatkan sekresi S100B secara konstan (Gerlach dkk., 2006). 5200 5150 5100 5050 5000 4950 4900 5185.46 5180.43 5019.54 Delirium Ringan Delirium Sedang Delirium Berat Gambar 5.2 Grafik Perbandingan rerata kadar S100B pada kelompok delirium ringan, sedang dan berat. 5.3 Hubungan antara Kadar IL-6 Serum dengan Tingkat Keparahan Delirium Kadar IL-6 juga tidak berdistribusi normal sehingga korelasi antara kadar IL6 dengan skor MDAS juga menggunakan uji korelasi Spearman’s. Dari uji ini menunjukkan adanya korelasi antara kadar IL-6 dengan tingkat keparahan delirium dengan r = 0,162 dan p = 0,173. 71 Gambar 5.3 Korelasi antara kadar IL-6 dengan Tingkat Keparahan Delirium. Hasil analisis ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya korelasi antara IL-6 dengan delirium (Egberts dkk., 2015; Liu dkk., 2013; Munster, 2010). Pada penelitian yang dilakukan oleh Egberts dkk di bangsal penyakit dalam dan geriatri didapatkan kadar IL-6 lebih tinggi pada pasien delirium dibandingkan dengan yang tidak delirium. De Rooij dkk yang juga melakukakan penelitian di bangsal penyakit dalam dan geriatri mendapatkan hasil yang sama dimana kadar IL-6 lebih tinggi pada pasien delirium dibandingkan dengan yang tidak delirium. Sedangkan Liu dkk melakukan penelitian pada pasien-pasien yang menjalani pembedahan didapatkan bahwa kadar IL-6 yang tinggi setelah pembedahan berhubungan dengan kejadian delirium setelah pembedahan (Liu dkk., 2013) 72 Pada proses inflamasi sistemik sitokin-sitokin proinflamasi perifer melewati sawar darah otak dan berinteraksi dengan sel-sel otak. Sitokin-sitokin proinflamasi ini baik perifer maupun sentral akan dinonaktifkan oleh asetilkolin. Sintesis asetilkolin di otak memerlukan enzim choline acetyltransferase yang dihasilkan oleh astrosit (Sfera dkk., 2015). Tetapi pada kondisi-kondisi tertentu misalnya sepsisinduced delirium, hipoglikemia dan ensefalopati metabolik terjadi kegagalan astrosit dalam menjaga homeostasis di otak (Thrane dkk., 2014). Kegagalan astrosit ini diakibatkan karena terjadinya edem astrosit sehingga mengakibatkan terjadinya delirium. Interleukin-6 disekresikan oleh astrosit sebagai respon terhadap proses inflamasi sistemik. IL-6 bekerja sebagai antiinflamasi melalui mekanisme penghambatan sekresi VCAM-1, intercellular adhesion molecule-1 dan TNF-α yang disekresikan oleh sel-sel otak (Wagoner dkk., 1999). Pada SSP, IL-6 mempunyai efek neurotropik dan neuroprotektif (Loddick dkk., 1998). Tetapi overekspresi IL-6 bersifat neurotoksik terhadap SSP. Hal inilah yang menjelaskan hubungan antara IL-6 dengan patofisiologi penyakit-penyakit pada SSP (Klein dkk., 1997). Selain didapatkan adanya korelasi positif, penelitian kami juga mendapatkan adanya perbedaan yang bermakna rerata kadar IL-6 pada masing-masing kelompok delirium (p=0,04). Rerata kadar IL-6 pada kelompok delirium ringan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok delirium berat dan berbeda bermakna (76,87 ± 100,27 vs 140,02 ± 124,79, p=0,03). Rerata kadar IL-6 pada kelompok delirium sedang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok delirium berat dan berbeda bermakna (67,96 ± 91,04 vs 140,02 ± 124,79, p=0,03). 73 Kadar IL-6 (pg/ml) 150 100 50 0 Delirium Ringan Delirium Sedang Delirium Berat Gambar 5.4 Grafik Perbandingan rerata kadar IL-6 pada kelompok delirium ringan, sedang dan berat. Penelitian kami menunjukkan bahwa tingginya kadar IL-6 serum sebagai penanda proses neuroinflamasi mempunyai peranan dalam terjadinya delirium, dimana hal ini berkaitan dengan tingkat keparahan delirium. 5.4 Hubungan antara Usia dan Penyakit Komorbid dengan Tingkat Keparahan Delirium Usia dan penyakit komorbid dalam penelitian kami bersifat sebagai variable perancu yang tidak bisa dikendalikan by design sehingga dikendalikan by analisis. Dalam penelitian kami usia dan penyakit komorbid diukur menggunakan kuesioner CACI. Pada penelitian kami didapatkan adanya korelasi antara CACI dengan tingkat keparahan delirium yang bermakna secara statistik. Dari uji korelasi Spearman’s didapatkan nilai r = 0,473 dan p = 0,000. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tua usia pasien dan semakin banyak penyakit komorbid yang diderita akan semakin memperberat delirium. 74 Gambar 5.5 Korelasi antara CACI dengan Tingkat Keparahan Delirium. Rerata skor CACI pada kelompok delirium ringan berbeda bermakna dan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok delirium sedang dan berat, (5,37 ± 1,66 vs 6,30 ± 1,53, p=0,02 ; 5,37 ± 1,66 vs 7,18 ± 1,38, p=0,00). Rerata skor CACI pada kelompok delirium sedang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok delirium berat, namun tidak berbeda bermakna (6,30 ± 1,53 vs 7,18 ± 1,38, p=0,13). 75 8 6.3 7.18 5.37 Skor CACI 6 4 2 0 Delirium Ringan Delirium Sedang Delirium Berat Gambar 5.6 Grafik Perbandingan rerata skor CACI pada kelompok delirium ringan, sedang dan berat. Delirium merupakan suatu proses yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara faktor presiposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi yang paling sering adalah usia lanjut, jenis kelamin pria, dementia dan depresi yang telah ada sebelumnya, gangguan visual dan pendengaran, ketergantungan fungsional, frailty, gangguan sensoris, dehidrasi dan malnutrisi, polifarmasi (terutama obat psikoaktif), penyalahgunaan alkohol dan kondisi medis berat yang terjadi bersamaan (Cerejeira, 2010; Maldonado, 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Voyer dkk., (2007) didapatkan Charlson’s Comorbidity Index (CCI) tidak berhubungan dengan tingkat keparahan delirium. Perbedaan hasil penelitian ini terjadi karena perbedaan alat ukur yang digunakan pada masing-masing penelitian. Skor CACI memang lebih tinggi dari CCI karena CACI merupakan pengembangan dari CCI dimana penambahan satu poin akan diberikan pada setiap periode umur 10 tahun, dimulai dari umur 50 tahun. Disamping itu pada penelitian Voyer dkk., (2007) tingkat keparahan delirium dinilai menggunakan Delirium Index (DI) sedangkan pada penelitian kami menggunakan MDAS. 76 Penelitian kami menunjukkan bahwa proses penuaan dan penyakit-penyakit kronik sebenarnya berhubungan dengan perubahan fisiologis pada otak terutama dalam hal regulasi neurotransmitter, penurunan aliran darah otak, dan kematian sel saraf. Kemudian faktor akut (faktor presipitasi) tidak hanya mencetuskan terjadinya delirium tetapi juga memperberat kerusakan dan/atau kematian sel saraf dan astrosit yang sudah terjadi sebelumnya (Maldonado, 2013;Gunther, 2008). Table 5.2 Hasil Uji Korelasi antara S100B, IL-6, CACI dengan MDAS. MDAS S100B r -0,051 p 0,673 IL-6 0,162 0,173 CACI 0,473 0,000 Penelitian kami merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan untuk menilai hubungan antara kadar S100B dan IL-6 serum dengan tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri. Hasil dari penelitian kami mendapatkan tidak adanya korelasi antara kadar S100B dengan tingkat keparahan delirium. Tetapi didapatkan adanya korelasi antara kadar IL-6, usia dan penyakit komorbid (skor CACI) dengan tingkat keparahan delirium. Oleh karena itu, kadar S100B serum belum bisa dipakai untuk memprediksi tingkat keparahan delirium. Sedangkan kadar IL-6 dan skor CACI bisa digunakan untuk memprediksi tingkat keparahan delirium. 5.5 Keterbatasan Penelitian Pada penelitian ini pengambilan data dilakukan hanya pada saat pasien mengalami delirium sehingga tidak dapat mencatat perubahan kadar S100B dan IL-6 pada waktu sebelum, saat terjadi dan sesudah delirium. Disamping itu kuesioner 77 MDAS yang dipakai untuk menilai tingkat keparahan delirium belum tervalidasi di Indonesia. BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar S100B serum dengan tingkat keparahan delirium. Sedangkan kadar IL-6 serum dan CACI berkorelasi dengan tingkat keparahan delirium. 6.2 Saran 1. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya dengan rancangan kohort untuk menilai korelasi antara kadar S100B dan IL-6 dengan tingkat keparahan delirium sesuai dengan kronologis waktu terjadinya delirium. 2. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya untuk memvalidasi kuesioner MDAS yang sering dipakai untuk menilai tingkat keparahan delirium. 78 Daftar Pustaka Adamis D, Treloar A, Darwiche F, Gregson N, Macdonald AJ, Martin FC. Associations of delirium with in-hospital and in 6-months mortality in elderly medical inpatients. J Age and Ageing 2007; 36: 644–649. Adamis D, Sharma N, Whelan PJ, Macdonald AJ. Delirium Scales: A review of current evidence, J Aging & Mental Health 2010;14 (5): 543-555. Aly WW, Abdul-Rahman SA, E Said SM, Bastawy SW. S100B and delirium in the geriatric acute care setting. Advances in Aging Research 2014;3:1-5. Anderson RE, Hanson LO, Nilson O, Dijlai-Merzoug R, Settergen G. High Serum S100B levels for Trauma Patients without Head Injuries. Neurosurgery J 2001; 48(6):1255-1258 Block ML, Zecca L, Hong JS. Microglia-mediated neurotoxicity: uncovering the molecular mechanisms. Nat Rev Neurosci 2007 ;8(1):57–69. Block ML, Zecca L, Hong JS. Astrocytes, from brain glue to communication elements: the revolution continues. Nat Rev Neurosci 2007 6(8):626–640. Boettger S, Breitbart W, Campion P,. The Phenomenology of Delirium and its Motoric Subtypes in Patients with Cancer. German J Psychiatry 2011; 14(2): 66-71. Boettger S, Breitbart W,. The Phenomenology of Delirium: Presence, Severity, and Relationship between Symptoms. Journal of Geriatrics Volume 2014; 6-12. Breitbart W, Rosenfeld B, Roth A, Smith MJ, Cohen K, Passik S. The Memorial Delirium Assessment Scale, Journal of Pain and Symptom Management 1997;13: 128-138. Brydon L, Harrison NA, Walker C, Steptoe A, Critchley HD (2008) Peripheral inflammation is associated with altered substantia nigra activity and psychomotor slowing in humans. Biol Psychiatry 63(11):1022–1029. Campbell N, Boustani MA, Ayub A, et al. Pharmacological management if delirium in hospitalized adults—a systemic evidence review. J Gen Intern Med. 2009;24(7):848-853. Cerejeira J, Nogueira N, Luıs P, Vaz-Serra A, Mukaetova-Ladinska EB,. The Cholinergic System and Inflammation: Common Pathways in Delirium Pathophysiology. JAGS 2012 Fong, TG., Tulebaev SR., Inouye SK. Delirium in Elderly Adults: Diagnosis, Prevention and Treatment. Nat Rev Neurol 2011. 5(4): 210-220. 79 Groeneveld AB, Raijmakers PG, Rauwerda JA, Hack CE. The inflammatory response to vascular surgery-associated ischaemia and reperfusion in man: effect on postoperative pulmonary function. Eur J Vasc Endovasc Surg 2007; 14(5):351–359. Grover S, Kate N. Assessment scales for delirium: A review. World J Psychiatr 2012; 2(4): 58-70. Sorci G, Riuzzi F, Arcuri C, dkk. S100B protein in tissue development, repair and degeneration. World J Biol Chem. 2013;26(4);1-12 Heizmann CW, dkk. S100 proteins:structure, functions and pathology. Front Biosci 2002; 7:1356-1368. Hempenius L, van Leeuwen BL, van Asselt DZ, et al. Structured analyses of interventions to prevent delirium. Int J Geriatr Psychiatry. 2010;3(5):145-157. Hermann M, Siegemund M, Il-Kuster S, dkk. Neurobehavioral outcome prediction after cardiac surgery: role of neurobiochemical markers of damage to neuronal and glial brain tissue. Stroke. 2000; 31(3):645-50 Hopkins SJ. Central nervous system recognition of peripheral inflammation: a neural, hormonal collaboration. Acta Biomed 2007; 78(Suppl 1):231–247. Jin Ho Han, Delirium in the Older Emergency Department Patient – A Quiet Epidemic. Emerg Med Clin North Am. 2010 August ; 28(3): 611–631. Khan BA, Zawahiri M, Campbell NL, Boustani MA,. Biomarkers for Delirium - A Review. J Am Geriatr Soc. 2011 November ; 59(02): S256–S261. Macedo RC, Tomasi CD, Giombelli VR, Alves SC, Bristot ML, Locks MFT, et all. Lack of association of S100b and neuron-specific enolase with mortality in critically ill patients. Revista Brasileira de Psiquiatria. 2013;35:267–270. Maldonado JR. Neuropathogenesis of Delirium: Review of Current Etiologic Theories and Common Pathway. Am J Geriatr Psychiatri. 2013 December; 21(12): 1190-1222. Martins S. Femandes L. Delirium in Elderly People : a review. 2012. Frontiers in Neurology. 101(3):1-12. McAfoose J, Baune BT. Evidence for a cytokine model of cognitive function. Neurosci Biobehav Rev. 2009; 33(3):355–366. Mittal V, Kurup L, Williamson D, McEnerney N, Thomas J, Cash M, Tampi RR. Risk of cerebrovascular adverse events and death in elderly demented patients when treated with antipsychotic medications: a literature review of evidence. Am J Alzheimers Dis Other Demen. 2011. 80 Mittal V, Muralee S, Williamson D, McEnerney N, Thomas J, Cash M, Tampi RR,. Review: Delirium in the Elderly: A Comprehensive Review. AM J Alzheimer dis other Demen.2011; 26: 97-110. Munster BC, Korevaar JC, Zwinderman AH, Levi M Wiersinga WJ, De Rooij SE. Time-course of cytokinesduring delirium in elderly patients with hip fractures. J AmGeriatr Soc. 2008; 56(9):1704–1709. Munster BC, Korevaar JC, Korse CM, Bonfrer JM, Zwinderman AH, de Rooij SE. Serum S100B in elderly patients with and without delirium. Int J Geriatr Psychiatry. 2010;25(3):234–239. Munster, B.C. van, Bisschop, P.H., Zwinderman, A.H., Korevaar, J.C., Endert, E., Wiersinga, W.J., Oosten, H.E. van, Goslings, J.C., Rooij, S.E. de. Cortisol, interleukins and S100B in delirium in the elderly. Brain and Cognition. 2010, 74(1), 18-23. Nishioku T, Dohgu S, Takata F et al. Detachment of brain pericytes from the basal lamina is involved in disruption of the blood-brain barrier caused by lipopolysaccharide-induced sepsis in mice. Cell Mol Neurobiol. 2009; 29(3):309–316. Ozbolt LB, Paniagua MA, Kaiser RM. Atypical antipsychotics for the treatment of delirious elders. J Am Med Dir Assoc. 2008;9(1):18-28. O’Keeffe ST, Nı´ Chonchubhair A. Postoperative deliriumin the elderly. Br J Anaesth. 1994; 73(5):673–687. Pham N, Fazio V, Cucullo L, dkk. Extracranial sources of S100B do not affect serum levels. J Plos. 2010;5(9) Pfister D, Siegemund M, Il-Kuster S, dkk. Cerebral perfusion in sepsis-associated delirium. Crit care. 2008: 12(3) Ponath G, Schettler C, Kaestner F, dkk. Autocrine S100B effects on astrocytes are mediated via rage. J Plos. 2019;4(8) Popeo DM. Delirium in Older Adults. 2011. Mt Sinai J Med. 78(4): 571-582. Rasmussen LS, Christiansen M, Rasmussen H, dkk. Do blood concentrasions of neurone specific enolase and S100 beta protein reflect cognitive dysfunction after abdominal surgery. Br J Anaesth. 2000; 84(2): 242-44 RoutRoutsi C, Stamataki E, Nana S, et al. Increased level of S100B protein in critically ill patients without brain injury. Shock . 2006; 26(1):20-24. Qin L, Wu X, Block ML, et al. Systemic LPS causes chronic neuroinflammation and progressive neurodegeneration. Glia. 2007;55(5):453–462. 81 Siddiqi N, Stockdale R, Britton AM, et al. Interventions for preventing delirium in hospitalised patients. Cochrane Database Syst Rev. 2007;(2). Siami S, Annane D, Sharshar T (2008) The encephalopathy insepsis. Crit Care Clin 24(1):67–82. Sheng JG, Bora SH, Xu G, Borchelt DR, Price DL, Koliatsos VE. Lipopolysaccharide-induced-neuroinflammation increases intracellular accumulation of amyloid precursor protein and amyloid beta peptide in APPswe transgenic mice. Neurobiol Dis. 2003; 14(1):133–145. Sharshar T, Carlier R, Bernard F et al,. Brain lesions in septic shock: a magnetic resonance imaging study. Intensive Care Med .33(5):798–806. Scheller J, Chalaris A, Schmidt-Arras D, Rose-John S. The pro- and antiinflammatory properties of the cytokine interleukin-6. Biochimica et Biophysica Acta . 2011; 1813:878–88. Snyder-Ramos SA, Gruhlke T, Bauer H, et al. Cerebral and extracerebral release of protein S100B in cardiac surgical patients. Anaesthesia. 2004;59(4):344-349. Stoicea N,McVicker S,Quinones A, Agbenyefia P, Bergese P,. Delirium-biomarkers and genetic variance. Frontiers in pharmacology J, April 2014;5:75-76. 82 Lampiran 1. Ethical Clearance 83 Lampiran 2. Informed Consent INFORMASI BAGI PASIEN DAN FORMULIR PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN Peneliti mengharapkan partisipasi pasien dalam penelitian ini yang akan dilaksanakan oleh dr. Yosef Samon Sugi. Sebelum memutuskan untuk setuju ikut dalam penelitian ini, maka diharapkan anda membaca informasi berikut, dan peneliti akan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bertanya tentang penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya korelasi antara kadar S100β serum dan kadar interleukin-6 dengan tingkat keparahan delirium pada pasien geriatri. Penelitian ini akan memberikan masukan untuk stratifikasi prognosis delirium, sehingga bermanfaat untuk diagnosis dan pengobatan dini delirium pada pasien-pasien geriatri. Apabila anda setuju ikut dalam penelitian, maka akan dilakukan wawancara dan pengisian kuisioner memorial delirium assesment scale (MDAS), pemeriksaan fisik dan laboratorium. Untuk pemeriksaan laboratorium, akan diambil darah vena sebanyak 5 ml yang akan dipakai bahan untuk pemeriksaan kadar S100 β dan kadar IL-6. Pasien berhak mengetahui seluruh hasil pemeriksaan tersebut. Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dan disimpan dengan sistem komputerisasi, tanpa disertai identitas pasien. Hasil penelitian ini mungkin akan dipublikasikan dalam majalah kesehatan juga tanpa disertai identitas pasien. 84 Petugas kesehatan dan karyawan yang bertugas akan tetap menjaga kerahasiaan riwayat kesehatan pasien, dan akan melakukan tugas dan kewajibannya secara baik, benar dan bertanggung jawab. Semua prosedur penelitian ini hanya dapat dilakukan sesudah anda memahami informasi ini dan menandatangani lembar persetujuan. Sesudah berpartisipasi dalam penelitian ini dirasakan terdapat hal-hal yang merugikan dan terbukti, maka peneliti akan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan kode etik kedokteran yang berlaku. Apabila terdapat informasi yang belum jelas dan menimbulkan pertanyaan maka anda dapat menghubungi peneliti: 1. Nama : dr. Yosef Samon Sugi 2. Alamat : Jl. Nusa Penida No.7X, Sanglah. 3. Telepon : 085338473963 Peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya bagi pasien yang berpartisipasi dalam penelitian ini serta menyampaikan permohonan maaf apabila terdapat hal yang kurang berkenan selama penelitian berlangsung. Hormat saya, Peneliti dr. Yosef Samon Sugi 85 Lampiran 3. Formulir Persetujuan Menerangkan bahwa saya : Nama : Umur : Jenis kelamin : Alamat : No Telepon : Telah membaca keterangan terlampir dan telah berdiskusi mengenai penelitian ini dengan dokter (nama, hurup cetak) …………………………………………………. Dan mengerti hal-hal yang menyangkut penelitian ini. PASIEN Saya bersedia dengan sukarela ikut serta dalam penelitian tentang : PENINGKATAN KADAR S100β SERUM DAN KADAR INTERLEUKIN-6 BERKORELASI DENGAN TINGKAT KEPARAHAN DELIRIUM PADA PASIEN GERIATRI Bila ada hal-hal yang merugikan terkait penelitian, saya berhak menolak untuk mengikuti penelitian ini dan meminta ganti rugi sesuai aturan yang berlaku PENELITI …………………… …….…………………. Tanggal Nama dan tanda tangan saya telah menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian ini kepada pasien tersebut diatas dengan sebaik-baiknya. ………………….. ……..………………… Tanggal Nama dan tanda tangan 86 Lampiran 4. Rencana Jadwal Penelitian Rencana Penelitian ini disusun sebagai berikut : No 1 Kegiatan Pembuatan Proposal 2 Presentasi Proposal 3 Pengambilan Sampel 4 Pengolahan Data 5 Presentasi hasil penelitian Jul Ags Sep 2014-2015 Okt Nov Des Jan Feb Mar 87 Lampiran 5. Anggaran Biaya Penelitian Anggaran penelitian ini disusun sebagai berikut : No 1 2 Kegiatan Jumlah Pembelian kertas dan alat tulis a. Kertas, fotokopi, dan alat tulis lain Rp 1.000.000,- b. Tinta printer Rp 750.000,- a. Semprit dan jarum 21 G : 72 X Rp 3.500 Rp 250.000,- b. Kit pemeriksaan S100β Rp 9.500.000,- c. Kit pemeriksaan IL-6 Rp 12.500.000,- Pembelian bahan dan biaya pemeriksaan penelitian 3 Analisis Data Rp 1.000.000,- 4 Percetakan dan Pengadaan Hasil Rp Total 500.000,- Rp 25.500.000,- 88 Lampiran 6. FORMULIR PENGUMPULAN DATA I. Identitas Pasien Nomor CM : ……………………………………………………. Tgl pengambilan data : ……………………………………………………. Nama : ……………………………………………………. Umur : ……………………………………………………. Suku : ……………………………………………………. Pekerjaan : ……………………………………………………. Alamat : ……………………………………………………. Nomor telepon : ……………………………………………………. II. DATA UMUM 1. Tinggi badan ( cm ) : 2. Berat badan ( kg ) : 2 3. IMT ( kg/m ) : III. ANAMNESIS 1. Keluhan utama : a. Penurunan Kesadaran : b. Demam : c. Batuk : d. Sesak Nafas : e. Lain-lain (sebutkan): 2. Riwayat Penyakit Dahulu ( lingkari salah satu ): a. Kencing manis : ( Ya / Tidak ) b. Jantung c. Tekanan darah tinggi d. Stroke : (Ya/Tidak) e. Dementia : (Ya/Tidak) f. Lain-lain : : ( Ya / Tidak ) : (Ya / Tidak ) 89 5. Riwayat pengobatan dalam 2 minggu terakhir (lingkari salah satu) : ( Ya / Tidak ) a. NSAID : b. Steroid : c. Psikoaktif : IV. PEMERIKSAAN FISIK 1. Kesadaran : ( E V M ) 2. Tekanan darah: mmHg) 3. Denyut nadi : kali/menit 4. Respirasi : kali/menit 5. temperatur axila: ºC 6. Charlson’s Age-Comorbidity Index: 7. Mata : anemia: 8. THT : 9. Thoraks: Jantung: Paru-paru: 10. Abdomen: 11. Ekstremitas: V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM a. Darah: i. S100β : ii. IL-6 : b. CT Scan Kepala: VI. Diagnosis 1. 2. 90 Charlson Age-Comorbidity Index Charlson Age-Comorbidity Index (CACI) merupakan pengembangan dari Charlson Comorbidity Index dimana penambahan satu poin akan diberikan pada setiap periode umur 10 tahun, dimulai dari umur 50 tahun. CACI terdiri dari dua komponen yaitu komponen penyakit komorbid dan komponen umur. 1. Komponen Penyakit Komorbid: tambahkan satu poin pada masingmaasing penyakit. a. Infark Miokard b. Penyakit Jantung Kongestif c. Peripheral Vascular Disease d. Penyakit Serebrovaskular e. Demensia f. PPOK g. Connective Tissue Disease h. Ulkus peptikum i. Diabetes Melitus (1 poin apabila tidak ada komplikasi, 2 poin apabila ada kerusakan end-organ) j. Moderate to Severe Chronic Kidney Disease (2 poin) k. Hemiplegi (2 poin) l. Leukimia (2 poin) m. Limfoma Maligna (2 poin) n. Solid Tumor (2 poin, 6 poin jika metastasis) o. Penyakit hati (1 poin jika ringan, 3 poin jika sedang sampai berat) p. AIDS (6 poin) 2. Komponen Umur: i. ii. iii. iv. v. vi. vii. Umur < 40 tahun: 0 poin Umur 41-50 tahun: 1 poin Umur 51-60 tahun: 2 poin Umur 61-70 tahun: 3 poin Umur 71-80 tahun: 4 poin Umur 81-90 tahun: 5 poin Umur 91-100 tahun: 6 poin 91 MEMORIAL DELIRIUM ASSESSMENT SCALE (MDAS) Instruksi: Nilailah beratnya gejala delirium berikut berdasarkan interaksi saat ini dengan subyek atau penilaian terhadap perilaku atau pengalaman dalam beberapa jam terakhir (sesuai yang ditunjukkan oleh masing-masing item) Item 1-Penurunan kesadaran (kewaspadaan): Nilailah kewaspadaan pasien terhadap lingkungannya saat ini serta interaksinya dengan lingkungan saat ini (pewawancara, orang/obyek dalam ruangan; misalnya, minta pasien untuk mendeskripsikan lingkungan di sekitarnya). 0: tidak ada (pasien mengetahui sepenuhnya mengenai lingkungan sekitarnya secara spontan serta dapat berinteraksi dengan baik) 1: ringan (pasien tidak mengetahui beberapa elemen di lingkungannya, atau tidak secara spontan dan baik mampu berinteraksi dengan pewawancara; sadar penuh dan berinteraksi dengan baik jika didesak dengan kuat; wawancara menjadi lama namun tidak mengalami gangguan serius) 2: sedang (pasien tidak mengetahui beberapa atau semua elemen di lingkungannya, atau tidak secara spontan mampu berinteraksi dengan pewawancara; sadar namun tidak sempurna dan berinteraksi jika didesak dengan kuat namun tidak baik; wawancara menjadi lama namun tidak mengalami gangguan serius) 3: berat (pasien tidak mengetahui semua elemen di lingkungannya, tidak ada interaksi spontan dan subyek tidak menyadari keberadaan pewawancara, sehingga wawancara menjadi sulit atau tidak mungkin, bahkan jika didesak hingga maksimal) Item 2-Disorientasi: Nilailah kondisi saat ini dengan menanyakan 10 item orientasi berikut: tanggal, bulan, hari, tahun, musim, lantai, nama rumah sakit, propinsi, dan negara. 0: tidak ada (pasien mengetahui 9-10 item) 1: ringan (pasien mengetahui 7-8 item) 92 2: sedang (pasien mengetahui 5-6 item) 3: berat (pasien mengetahui tidak lebih dari 4 item) Item 3-Gangguan memori sementara: Nilailah kondisi saat ini dengan menggunakan repetisi dan mengingat kembali 3 kata (pasien harus mengingat dan mengulang kata-kata tersebut 5 menit setelah menyelesaikan suatu tugas. Gunakan set 3 kata yang berbeda untuk pemeriksaan berikutnya (misalnya apel, meja, besok, langit, rokok, keadilan). 0: tidak ada (ketiga kata berhasil diingat dan diulang) 1: ringan (ketiga kata berhasil diulang, pasien gagal mengingat 1 kata) 2: sedang (ketiga kata berhasil diulang, pasien gagal mengingat 2-3 kata) 3: berat (pasien gagal mengulang 1 atau lebih kata) Item 4-Gangguan pengulangan digit: Nilailah kinerja saat ini dengan meminta subyek mengulang 3, 4, kemudian 5 digit pertama (arah maju), dan kemudian 3, 4, digit mundur; lanjutkan ke langkah berikutnya hanya jika pasien berhasil menyelesaikan yang pertama. 0: tidak ada (pasien dapat melakukan minimal 5 digit maju dan 4 digit mundur) 1: ringan (pasien dapat melakukan minimal 5 digit maju, 3 digit mundur) 2: sedang (pasien dapat melakukan 4-5 digit maju, tidak dapat melakukan 3 digit mundur) 3: berat (pasien tidak dapat melakukan lebih dari 3 angka maju) Item 5-Penurunan kemampuan untuk mempertahankan dan mengalihkan perhatian: Sesuai yang ditunjukkan dalam wawancara dengan pertanyaan yang harus dipenggal dan/atau diulang karena perhatian pasien yang berputar-putar, pasien kehilangan jalur, pasien teralih oleh rangsangan luar atau terlalu terfokus pada tugas yang diberikan. 93 0: tidak ada (tidak ada satu pun dari gejala di atas; pasien mampu mempertahankan dan mengubah perhatian dengan normal) 1: ringan (masalah perhatian di atas terjadi satu atau dua kali tanpa memperpanjang wawancara) 2: sedang (masalah perhatian di atas sering terjadi, memperpanjang wawancara tanpa mengalami gangguan serius) 3: berat (masalah perhatian di atas terjadi secara konstan, mengganggu, dan membuat wawancara sulit atau tidak mungkin dilakukan) Item 6-Pikiran kacau: Sesuai yang ditunjukkan dalam wawancara seperti mengumik, bicara tidak nyambung, atau inkoheren, atau memberikan alasan yang tangensial, sirkumstansial, atau salah. Beri pasien pertanyaan yang kompleks (misalnya, “Deskripsikan kondisi medis Anda saat ini”). 0: tidak ada (pasien berbicara koheren dan memiliki tujuan) 1: ringan (bicara pasien sedikit sulit untuk diikuti; respon terhadap pertanyaan sedikit melenceng dari target namun tidak sampai memperpanjang wawancara) 2: sedang (pikiran atau bicara yang tidak tertata jelas terlihat, sehingga wawancara memanjang namun tidak terganggu) 3: berat (pemeriksaan sangat sulit atau tidak dapat dilakukan karena pikiran dan bicara yang kacau) Item 7-Gangguan persepsi: Mispersepsi, ilusi, halusinasi yang disimpulkan dari perilaku yang tidak pantas saat wawancara atau yang diakui oleh subyek, serta yang diperoleh dari laporan perawat/keluarga/grafik dalam beberapa jam terakhir atau saat pemeriksaan terakhir. 0: tidak ada (tidak ada salah persepsi, ilusi, atau halusinasi) 1: ringan (salah persepsi atau ilusi yang berhubungan dengan tidur, halusinasi sepintas dalam 1-2 kesempatan tanpa disertai perilaku tak pantas) 94 2: sedang (halusinasi atau ilusi yang sering pada beberapa kesempatan dengan perilaku tak pantas namun minimal yang tidak mengganggu wawancara) 3: berat (ilusi atau halusinasi yang sering atau intens disertai perilaku tak pantas yang persisten dan mengganggu wawancara atau mengganggu perawatan medis) Item 8-Waham: Nilailah waham yang disimpulkan dari perilaku tak pantas selama wawancara atau yang diakui oleh pasien, juga waham yang diperoleh dari laporan perawat/keluarga/grafik dalam beberapa jam sejak pemeriksaan sebelumnya. 0: tidak ada (tidak ada bukti mengenai salah interpretasi atau waham) 1: ringan (salah interpretasi atau kecurigaan tanpa adanya ide delusional [waham] yang jelas atau perilaku tak pantas) 2: sedang (waham yang diakui oleh pasien atau terbukti dari perilaku subyek yang tidak mengganggu atau hanya sedikit mengganggu wawancara ataupun perawatan kesehatan) 3: berat (waham persisten dan/atau intens yang menyebabkan perilaku tak pantas, mengganggu wawancara atau secara serius mengganggu perawatan kesehatan) Item 9-Penurunan atau peningkatan aktivitas psikomotor: Nilailah aktivitas dalam beberapa jam terakhir, juga aktivitas selama wawancara, dengan melingkari (a) hipoaktif, (b) hiperaktif, atau (c) terdapat elemen keduanya. 0: tidak ada (aktivitas psikomotor normal) a b c 1: ringan (hipoaktivitas sulit dilihat, diekspresikan berupa sedikit melambatnya pergerakan. Hiperaktivitas sulit dilihat atau terlihat berupa sedikit gelisah) a b c 2: sedang (hipoaktivitas tidak dapat dipungkiri, dengan penurunan bermakna dalam jumlah pergerakan atau melambatnya pergerakan yang dapat dilihat dengan mudah; subyek jarang bergerak atau berbicara spontan. Hiperaktivitas juga tidak dapat dipungkiri, 95 subyek bergerak hampir secara konstan; pada kedua kasus, pemeriksaan menjadi lebih lama) a b c 3: berat (hipoaktivitas berat, pasien tidak bergerak ataupun berbicara tanpa didesak atau katatonik. Hiperaktivitas berat; pasien bergerak secara konstan, bereaksi berlebihan terhadap rangsangan, membutuhkan pengawasan dan/atau diikat; menyelesaikan pemeriksaan sulit atau tidak mungkin dilakukan) Item 10-Gangguan siklus tidur-bangun (disorder of arousal): Nilailah kemampuan pasien untuk tidur atau tetap terjaga pada waktu yang sesuai. Lakukan pengamatan langsung selama wawancara, serta laporan dari perawatm keluarga, pasien, atau grafik yang mendeskripsikan gangguan siklus tidur-bangun dalam beberapa jam terakhir atau sejak pemeriksaan terakhir. Gunakan pengamatan di malam sebelumnya hanya untuk evaluasi pagi hari. 0: tidak ada (di malam hari, tidur nyenyak; di siang hari, tetap bangun) 1: ringan (penyimpangan ringan dari kondisi tidur dan bangun yang baik: di malam hari, sulit memulai tidur atau terbangun sebentar di malam hari, membutuhkan obat untuk tidur dengan baik; di siang hari, terdapat periode mengantuk atau selama wawancara terlihat mengantuk namun dapat dengan mudah terbangun sendiri) 2: sedang (penyimpangan sedang dari kondisi tidur dan bangun yang baik: di malam hari, sering terbangun dan dalam waktu yang lama; di siang hari, dilaporkan sering tertidur dan dalam waktu yang lama atau, saat wawancara, hanya dapat dibangunkan sampai benarbenar terbangun dengan rangsangan yang kuat) 3: berat (penyimpangan berat dari kondisi tidur dan bangun: di malam hari, tidak dapat tidur; di siang hari, pasien menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tidur atau, saat wawancara, tidak dapat dibangunkan sampai benar-benar terbangun dengan rangsangan apapun) 96 Lampiran 7. PROSEDUR PEMERIKSAAN S100β SERUM A. Metode : Human S100β ELISA Kit (Elabscience) B. Prinsip Kit ELISA ini menggunakan metode Sandwich-ELISA. Microplate yang terdapat pada kit ini telah dilapisi dengan antibodi speseifik terhadap S100β. Sampe dan kontrol ditambahkan ke dalam microplate dan digabungkan dengan antibodi spesifik. Kemudian sebuah biotinylated mendeteksi antibodi spesifik dari S100β dan Avidin-Horseradish Peroxidase (HRP) yang telah terkonjugasi ditambahkan pada setiap microplate dan kemudian diinkubasikan. Komponen yang bebas akan dibersihkan. Kemudian larutan substrat ditambahkan. Hanya larutan yang berisi S100β akan tampak berwarna biru. Reaksi antara enzim-substrat ini akan dihentikan dengan penambahan larutan asam sulfat dan warnanya akan menjadi kuning. Optical density (OD) diukur secara spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm ± 2 nm. Nilai OD melambangkan kadar S100β. Kita dapat menghitung kadar S100β sampel dengan membandingkan nilai OD sampel dengan kurva standar. C. Komponen kit - ELISA microplate - Reference Standard - Reference Standard dan Sampel Diluent - Concentrated Biotinylated Detection Ab - Biotinylated Detection Ab Diluent - Concentrated HRP Conjugate - HRP Conjugate Diluent 97 - Substrat Reagen - Stop Dilution - Plate Sealer D. Prosedur Kerja Semua reagen dan sample dibiarkan hingga mencapai suhu kamar sebelum digunakan, hal ini disarankan pada semua sampel , kontrol, dan standar yang diperiksa. - Siapkan semua reagen dan dikerjakan dikerjakan pemeriksaan sesuai langkah-langkah tanpa terputus - Tambahkan 100 µL sampel atau standar pada tabung. Inkubasikan selama 90 menit pada suhu 370. - Tambahkan 100 µL Biotinylated detection Ab. Inkubasikan selama satu jam pada suhu 370. - Aspirasi dan cuci sebanyak 3 kali. - Tambahkan 100 µL HRP conjugate. Inkubasikan selama 30 menit pada suhu 370. - Aspirasi dan cuci sebanyak 5 kali. - Tambahkan 90 µL Reagen substrat. Inkubasi selama 15 menit pada suhu 370. - Tambahkan 50 µL Stop Solution. Baca pada 450 nm sesegera mungkin. Kalkulasikan hasilnya. 98 Lampiran 8. PROSEDUR PEMERIKSAAN INTERLEUKIN 6 SERUM A. Metode : Human Interleukin 6 Immunoassay ( Quantikine ) B. Prinsip Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan kuantitatif dengan teknik immunoassay. Suatu monoklonal antibodi spesifik untuk interleukin 6 dan dimasukkan kedalam mikroplate, standar dan sampel di masukkan ke dalam tabung dan akan terbentuk interleukin 6 yang akan terikat dengan antibodi. Setelah menghilangkan substansi yang tidak terikat, enzim yang berikatan dengan antibodi poliklonal spesifik untuk interleukin 6 ditambahkan dalam tabung selanjutnya diikuti dengan pencucian untuk menghilangkan reagen antibodi/enzim yang tidak terikat larutan substrat ditambahkan dalam tabung dan pembentukan warna dalam proporsi pada jumlah ikatan interleukin 6 pada langkah awal. Intensitas warna akan berhenti dan intensitas warna akan dihitung. C. Reagen a. Interleukin 6 microplate b. Interleukin conjugate c. Interleukin standard d. Assay Diluent RD1-85 e. Calibrator Diluent RD5P concentrate (5X) f. Washing Buffer Concentrate g. Color Reagen A h. Color Reagen B i. Plate Cover 99 D. Prosedur Kerja a. Semua reagen dan sample dibiarkan hingga mencapai suhu kamar sebelum digunakan, hal ini disarankan pada semua sampel , kontrol, dan standar yang diperiksa. b. Siapkan semua reagen dan dikerjakan dikerjakan pemeriksaan sesuai langkah-langkah tanpa terputus c. Hilangkan sisa mikroplate dari plate frame d. Tambahkan 100 µL diluent RD1-85 pada semua wells e. Tambahkan 50 µL pada standard , kontrol atau sampel pada well, tutup dengan plate sealer dan simpan semua 2 jam pada suhu kamar. f. Ambil dan bersihkan setiap well, ulangi sampai 3 kali g. Tambahkan 100 µL Interleukin conjugated pada semua well, tutup dengan plate sealer dan simpan selama 1 jam pada suhu kamar. h. Ulangi mengambil/ bersihkan i. Tambahkan 200 µL cairan substrate pada setiap well, simpan pada suhu kamar selama 30 menit, hindari dari cahaya matahari. j. Tambahkan 50 µL cairan stop pada setiap well, warna pada well akan berubah dari biru menjadi kuning. k. Tentukan optical density setiap well selama 30 menit, menggunakan suatu microplate reader set to 450 nm. E. Penghitungan Hasil Rata-rata salinan yang terbaca untuk standar, kontrol dan sampel mengurangi rata-rata standar nol dari densitas optik. Kurva standar dibuat dengan mengurangi data menggunakan software komputer, yang dapat menghasilkan 4 parameter logistik atau 4-PL yang sesuai dengan kurva. Sebagai alternatif, buatlah kurva standar dengan mengelompokkan rerata yang diserap untuk masing-masing standar pada aksis y, berlawanan 100 dengan konsentrasi pada aksis x, dan gambarlah kurva yang tepat melalui setiap titik pada grafik. Data mungkin berupa garis dengan mengelompokkan logaritma dari konsentrasi IL-6 melawan logaritma dari O.D. Garis yang tepat dapat ditentukan dengan analisis regresi hasil. Prosedur ini akan menghasilkan data yang adekuat namun kurang tepat dan pas. 101 Lampiran 9. HASIL PENELITIAN Identitas S100B (pg/ml) IL-6 (pg/ml) MKW 6798.65 131.98 KS 2433.78 177.53 MO 950.87 17.74 NMS 1541.89 23.12 KB 3144.60 22.49 BW 4293.24 93.59 NWS 1985.14 7.51 DMK 2144.60 7.08 IMS 3950.00 79.38 WK 4285.14 14.25 WKu 2236.49 92.08 NMK 3377.03 376.80 SWD 4914.87 6.55 NME 6317.57 7.16 NKS 6731.08 95.10 IBNM 5517.57 18.46 AMu 5641.89 73.15 NPD 7344.60 61.61 HJ 4322.97 11.16 SH 2001.35 5.20 IGAP 5047.30 5.65 HH 7058.11 78.05 NPD 5522.97 82.92 WS 3914.87 2.14 NWL 2690.54 19.00 WG 3798.65 80.83 102 YY 5379.73 110.06 WN 6285.14 363.84 WP 5482.43 14.70 INW 3679.73 57.54 NL 4398.65 368.69 War 6509.46 62.67 NNR 6552.70 360.81 NKB 6271.62 1.03 KS 5544.60 62.37 WL 5868.92 51.36 MR 6420.27 23.84 MRn 3652.70 51.36 WW 4887.84 22.85 MD 3031.08 287.64 NKSr 5087.84 343.37 Kus 3985.14 222.84 IKS 5374.32 179.95 NWG 5922.97 3.54 VLD 6790.54 16.40 AA 6074.32 13.08 NMR 2509.46 79.38 NKsb 6860.81 1.03 NKK 5079.73 85.97 WSe 6023.57 64.48 HjB 6390.54 8.38 YP 5241.89 88.96 AAPRM 6825.68 262.33 WJo 4122.97 343.85 103 Mna 6525.68 87.08 NNR 7741.89 76.88 WA 6528.38 73.23 Luc 6812.16 19.27 Aco 6082.43 19.00 IMS 5560.81 7.94 KR 5777.03 85.42 GNA 4295.95 14.88 NWW 6674.32 109.69 Suk 6339.19 88.02 NNN 7017.57 1.29 Bar 6014.87 357.90 NNS 6798.65 78.13 WS 4739.19 13.98 VEV 7041.89 81.15 KTur 7128.38 87.10 KtR 7144.60 78.73 IPED 3985.14 7.34 KURVA STANDAR S100B STANDAR OD 1 OD2 KADAR (PG/ML) 1 1.237 1.308 2000 2 0.892 0.913 1000 3 0.62 0.727 500 4 0.345 0.313 250 5 0.235 0.261 125 6 0.16 0.141 62.5 7 0.103 0.089 31.25 BLANKO 0.053 0.053 0 KURVA STANDAR IL-6 104 STANDAR OD 1 OD2 RERATA OD KADAR (PG/ML) 1 2.937 2.879 2.908 300 2 1.272 1.242 1.257 100 3 0.614 0.574 0.594 50 4 0.361 0.347 0.354 25 5 0.219 0.21 0.2145 12.5 6 0.147 0.138 0.1425 6.25 7 0.116 0.101 0.1085 3.13 blanko 0.072 0.072 0.072 0 105