LAPORAN PENDAHULUAN GERONTOLOGY “GERIATRIC SYNDROME” Oleh: YULIYANTI 115070207111020 JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015 1. Definisi Geriatric Syndrome Sindrom geriatri merupakan kumpulan gejala dan atau tanda klinis, dari satu atau lebih penyakit yang sering dijumpai pada pasien geriatric. Tampilan klinis yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri tidak terdiagnosis. Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia, ketergantungan fungsional, dan jatuh.Sindrom geriatrik menampilkan banyak fitur-fitur umum. Keadaan lansia sangat umum yaitu lemah. Efeknya pada kualitas hidup dan cacat substansial. Sering gejala utama tidak berhubungan dengan kondisi patologis tertentu yang mendasari perubahan status kesehatan. Sebagai contoh, ketika infeksi yang melibatkan saluran kemih menyebabkan delirium, itu adalah perubahan fungsi saraf dalam bentuk perubahan kognitif dan perilaku yang memungkinkan diagnosis delirium dan menentukan hasil fungsional yang banyak. Karena sindrom ini melibatkan banyak sistem organ, diperlukan perencanaan dan pemberian perawatan klinis. Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut Solomon dkk: The “13 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas dan jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan delirium), Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi), Impotence (impotensi), Immunodeficiency (penurunan imunitas), Infection (infeksi), Inanition (malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan tidur), Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenic) dan Impairement of hearing,vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman) (Setiati dkk., 2006 dalam AA Dini, 2013). 2. Epidemiologi Prevalensi usia lanjut lebih dari 60 tahun meningkat lebih cepat dibandingkan populasi kelompok umur lainnya karena peningkatan angka harapan hidup dan penurunan angka kelahiran. Data demografi dunia menunjukkan peningkatan populasi usia lanjut 60 tahun atau lebih meningkat tiga kali lipat dalam waktu 50 tahun; dari 600 juta pada tahun 2000 menjadi lebih dari 2 miliar pada tahun 2050 (Setiati, Siti 2013). Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia mencapai peringkat lima besar terbanyak di dunia, yakni 18,1 juta pada tahun 2010 dan akan meningkat dua kali lipat menjadi 36 juta pada tahun 2025. Angka harapan hidup penduduk Indonesia mencapai 67,8 tahun pada tahun 2000-2005 dan menjadi 73,6 tahun pada tahun 20202025.Proporsi usia lanjut meningkat 6% pada tahun 1950-1990 dan menjadi 8% saat ini. Proporsi tersebut diperkirakan naik menjadi 13% pada tahun 2025 dan menjadi 25% pada tahun 2050. Pada tahun 2050 seperempat penduduk Indonesia merupakan penduduk usia lanjut, dibandingkan seperduabelas penduduk Indonesia saat ini (Abikusno N. 2007 dalam Setiati, Siti 2013). 3. Klasifikasi Geriatric Syndrome Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut Solomon dkk: The “13 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas dan jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan delirium), Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi), Impotence (impotensi), Immunodeficiency (penurunan imunitas), Infection (infeksi), Inanition (malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan tidur), Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenic) dan Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman) (Setiati dkk., 2006). a. Imobilisasi Didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak anatomi tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidak seimbangan, dan masalah psikologis. Beberapa informasi penting meliputi lamanya menderita disabilitas yang menyebabkan imobilisasi, penyakit yang mempengaruhi kemampuan mobilisasi, dan pemakaian obat-obatan untuk mengeliminasi masalah iatrogenesis yang menyebabkan imobilisasi. b. Instability (Instabilitas dan Jatuh) Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya instabilitas dan jatuh pada orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai faktor intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor yang terdapat di lingkungan). Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah: mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup, pegangan, lantai yang tidak licin (Kane et al., 2008; Cigolle et al., 2007). c. Incontinence (Inkontinensia Urin dan Alvi) Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga menimbulkan masalah sosial dan atau kesehatan. Inkontinensia urin merupakan salah satu sindroma geriatrik yang sering dijumpai pada usia lanjut. Diperkirakan satu dari tiga wanita dan 15-20% pria di atas 65 tahun mengalami inkontinensia urin. Inkontinensia urin merupakan fenomena yang tersembunyi, disebabkan oleh keengganan pasien menyampaikannya kepada dokter dan di lain pihak dokter jarang mendiskusikan hal ini kepada pasien (Kane et al., 2008; Cigolle et al., 2007). International Consultation on Incontinence, WHO mendefinisikan Faecal Incontinence sebagai hilangnya tak sadar feses cair atau padat yang merupakan masalah sosial atau higienis. Definisi lain menyatakan, Inkontinensia alvi/fekal sebagai perjalanan spontan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses melalui anus. Kejadian inkontinensia alvi/fekal lebih jarang dibandingkan inkontinensia urin (Kane et al., 2008). d. Intelectual Impairement (Gangguan Intelektual Seperti Demensia dan Delirium) Keadaan yang terutama menyebabkan gangguan intelektual pada pasien lanjut usia adalah delirium dan demensia. Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Demensia tidak hanya masalah pada memori. Demensia mencakup berkurangnya kemampuan untuk mengenal, berpikir, menyimpan atau mengingat pengalaman yang lalu dan juga kehilangan pola sentuh, pasien menjadi perasa, dan terganggunya aktivitas (Geddes et al.,2005; Blazer et al., 2009). e. Infection (infeksi) Infeksi pada usia lanjut (usila) merupakan penyebab kesakitan dan kematian no. 2 setelah penyakit kardiovaskular di dunia. Hal ini terjadi akibat beberapa hal antara lain: adanya penyakit komorbid kronik yang cukup banyak, menurunnya daya tahan/imunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasi usia sehingga sulit/jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini. Ciri utama pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan meningkatnya temperatur badan, dan hal ini sering tidak dijumpai pada usia lanjut, 30-65% usia lanjut yang terinfeksi sering tidak disertai peningkatan suhu badan, malah suhu badan dibawah 36OC lebih sering dijumpai. Keluhan dan gejala infeksi semakin tidak khas antara lain berupa konfusi/delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba, badan menjadi lemas, dan adanya perubahan tingkah laku sering terjadi pada pasien usia lanjut (Kane et al., 2008). f. Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman) Gangguan pendengaran sangat umum ditemui pada geriatri. Prevalensi gangguan pendengaran sedang atau berat meningkat dari 21% pada kelompok usia 70 tahun sampai 39% pada kelompok usia 85 tahun. Pada dasarnya, etiologi gangguan pendengaran sama untuk semua umur, kecuali ditambah presbikusis untuk kelompok geriatri. Otosklerosis biasanya ditemui pada usia dewasa muda, ditandai dengan terjadinya remodeling tulang di kapsul otik menyebabkan gangguan pendengaran konduktif, dan jika penyakit menyebar ke telinga bagian dalam, juga dapat menimbulkan gangguan sensorineural. Penyakit Ménière adalah penyakit telinga bagian dalam yang menyebabkan gangguan pendengaran berfluktuasi, tinnitus dan pusing. Gangguan pendengaran karena bising yang disebabkan oleh energi akustik yang berlebihan yang menyebabkan trauma permanen pada sel-sel rambut. Presbikusis sensorik yang sering sekali ditemukan pada geriatri disebabkan oleh degenerasi dari organ korti, dan ditandai gangguan pendengaran dengan frekuensi tinggi. Pada pasien juga ditemui adanya gangguan pendengaran sehingga sulit untuk diajak berkomunikasi. Penatalaksanaan untuk gangguan pendengaran pada geriatri adalah dengan cara memasangkan alat bantu dengar atau dengan tindakan bedah berupa implantasi koklea (Salonen, 2013). Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan sebelumnya. Masalah polifarmasi pada pasien geriatri sulit dihindari dikarenakan oleh berbagai hal yaitu penyakit yang diderita banyak dan biasanya kronis, obat diresepkan oleh beberapa dokter, kurang koordinasi dalam pengelolaan, gejala yang dirasakan pasien tidak jelas, pasien meminta resep, dan untuk menghilangkan efek samping obat justru ditambah obat baru. Karena itu diusulkan prinsip pemberian obat yang benar pada pasien geriatri dengan cara mengetahui riwayat pengobatan lengkap, jangan memberikan obat sebelum waktunya, jangan menggunakan obat terlalu lama, kenali obat yang digunakan, mulai dengan dosis rendah, naikkan perlahan-lahan, obati sesuai patokan, beri dorongan supaya patuh berobat dan hatihati mengguakan obat baru (Setiati dkk.,2006). g. Isolation (Depression) Isolation (terisolasi) dan depresi, penyebab utama depresi pada usia lanjut adalah kehilangan seseorang yan disayangi, pasangan hidup, anak, bahkan binatang peliharaan. Selain itu kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan, menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi. Keluarga yang mulai mengacuhkan karena merasa direpotkan menyebabkan pasien akan merasa hidup sendiri dan menjadi depresi. Beberapa orang dapat melakukan usaha bunuh diri akibat depresi yang berkepajangan h. Inanition (malnutrisi) Kelemahan nutrisi merujuk pada hendaya yang terjadi pada usia lanjut karena kehilangan berat badan fisiologis dan patologis yang tidak disengaja. Anoreksia pada usia lanjut merupakan penurunan fisiologis nafsu makan dan asupan makan yang menyebabkan kehilangan berat badan yang tidak diinginkan (Kane et al., 2008). Pada pasien, kekurangan nutrisi disebabkan oleh keadaan pasien dengan gangguan menelan, sehingga menurunkan nafsu makan pasien. i. Impecunity (kemiskinan) Impecunity (kemiskinan), usia lansia dimana seseorang menjadi kurang produktif (bukan tidak produktif) akibat penurunan kemampuan fisik untuk beraktivitas. Usia pensiun dimana sebagian dari lansia hanya mengandalkan hidup dari tunjangan hari tuanya. Pada dasarnya seorang lansia masih dapat bekerja, hanya saja intensitas dan beban kerjanya yang harus dikurangi sesuai dengan kemampuannya, terbukti bahwa seseorang yang tetap menggunakan otaknya hingga usia lanjut dengan bekerja, membaca, dsb., tidak mudah menjadi “pikun” . Selain masalah finansial, pensiun juga berarti kehilangan teman sejawat, berarti interaksi sosialpun berkurang memudahakan seorang lansia mengalami depresi. j. Iatrogenic Iatrogenics (iatrogenesis), karakteristik yang khas dari pasien geriatri yaitu multipatologik, seringkali menyebabkan pasien tersebut perlu mengkonsumsi obat yang tidak sedikit jumlahnya. Akibat yang ditimbulkan antara lain efek samping dan efek dari interaksi obat-obat tersebut yang dapat mengancam jiwa. Pemberian obat pada lansia haruslah sangat hati-hati dan rasional karena obat akan dimetabolisme di hati sedangkan pada lansia terjadi penurunan fungsi faal hati sehingga terkadang terjadi ikterus (kuning) akibat obat. Selain penurunan faal hati juga terjadi penurunan faal ginjal (jumlah glomerulus berkurang), dimana sebagaian besar obat dikeluarkan melalui ginjal sehingga pada lansia sisa metabolisme obat tidak dapat dikeluarkan dengan baik dan dapat berefek toksik. k. Insomnia Insomnia, dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup yang menyebabkan seorang lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa penyakit juga dapat menyebabkan insomnia seperti diabetes melitus dan hiperaktivitas kelenjar thyroid, gangguan neurotransmitter di otak juga dapat menyebabkan insomnia. Jam tidur yang sudah berubah juga dapat menjadi penyebabnya. l. Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh) Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh) banyak hal yang mempengaruhi penurunan sistem kekebalan tubuh pada usia lanjut seperti atrofi thymus (kelenjar yang memproduksi sel-sel limfosit T) meskipun tidak begitu bermakna (tampak bermakna pada limfosit T CD8) karena limfosit T tetap terbentuk di jaringan limfoid lainnya. Begitu juga dengan barrier infeksi pertama pada tubuh seperti kulit dan mukosa yang menipis, refleks batuk dan bersin -yang berfungsi mengeluarkan zat asing yang masuk ke saluran nafas- yang melemah. Hal yang sama terjadi pada respon imun terhadap antigen, penurunan jumlah antibodi. Segala mekanisme tersebut berakibat terhadap rentannya seseorang terhadap agen-agen penyebab infeksi, sehingga penyakit infeksi menempati porsi besar pada pasien lansia. m. Impotence Impotency (Impotensi), ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual pada usia lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti gangguan hormon, syaraf, dan pembuluh darah. Ereksi terjadi karena terisinya penis dengan darah sehingga membesar, pada gangguan vaskuler seperti sumbatan plak aterosklerosis (juga terjadi pada perokok) dapat menyumbat aliran darah sehingga penis tidak dapat ereksi. Penyebab lainnya adalah depresi. n. Irritable bowel Irritable bowel (usus besar yang sensitif -mudah terangsang-) sehingga menyebabkan diare atau konstipasi/ impaksi (sembelit). Penyebabnya tidak jelas, tetapi pada beberapa kasus ditemukan gangguan pada otot polos usus besar, penyeab lain yang mungkin adalah gangguan syaraf sensorik usus, gangguan sistem syaraf pusat, gangguan psikologis, stres, fermentasi gas yang dapat merangsang syaraf, kolitis. 4. Etiologi Dan Faktor Resiko a. Imobilisasi Berbagai faktor baik fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada pasien usia lanjut. Beberapa penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Penyakit Parkinson, artritis reumatoid, gout, dan obat‐obatan antipsikotik seperti haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Rasa nyeri, baik dari tulang (osteoporosis, osteomalasia, Paget’s disease, metastase kanker tulang, trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot (polimalgia, pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi. Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi tentu sangat sering menyebabkan terjadinya imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan dapat pula menyebabkan orang usia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun di rumah sakit. Efek samping beberapa obat misalnya obat hipnotik dan sedatif dapat pula menyebabkan gangguan mobilisasi. b. Instability (Instabilitas Dan Jatuh) Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa faktor, antara lain:(Kane, 1994; Reuben, 1996; Tinetti,1992; Campbell, 1987, Brocklehurst, 1987). 1. - Kecelakaan (merupakan penyebab utama) Murni kecelakaan, misalnya terpleset, tersandung. Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelainan akibat proses menua, misalnya karena mata kurang jelas, benda-benda yang ada di rumah tertabrak, lalu jatuh. 2. Nyeri kepala dan/atau vertigo 3. Hipotensiorthostatic: 4. - Hipovolemia / curah jantung rendah - Disfungsi otonom terlalu lama berbaring - Pengaruh obat-obat hipotensi Obat-obatan - Diuretik / antihipertensi - Antidepresan trisiklik - Sedativa - Antipsikotik - Obat-obat hipoglikemik - Alkohol 5. Proses penyakit yang spesifik, misalnya: - Aritmia - Stenosis - Stroke - Parkinson - Spondilosis - Serangan kejang 6. Idiopatik (tidak jelas sebabnya) 7. Sinkope (kehilangan kesadaran secara tiba-tiba): - Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba - Terbakar matahari c. Incontinence (Inkontinensia Urin Dan Alvi) Pada lansia biasanya terjadi penurunan kemampuan berkemih. Pada lansia terjadi proses enua yang berdampak pada perubahan hampir seluruh organ tubuh termasuk organ berkemih yang menyebabkan lansia mengalami inkontinensia urin. Perubahan ini diantaranya adalah melemahnya otot dasar panggul yang menjaga kandung kemih dan pintu saluran kemih, timbulnya kontraksi abnormal pada kandung kemih yang menimbulkan rangsangan berkeih sebelum waktunya dan meninggalkan sisa. Pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna menyebabkan urine di dalam kanddung kemih yang cukup banyak sehingga dengan pengisian sedikit saja sudah merangsang untuk berkeih. Hipertrofi prostat juga dapat mengakibatkan banyaknya sisa air kemih di kandung keih sebagai akibat pengosongan yang tidak sempurna (Setiati,2000) b. Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman) Umumnya diketahui bahwa presbikusis merupakan akibat dari proses degenerasi. Diduga kejadian presbikusis mempunyai hubungan dengan faktor-faktor herediter, pola makanan, metabolisme, arteriosklerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau bersifat multifaktor. Menurunnya fungsi pendengaran secara berangsur merupakan efek kumulatif dari pengaruh faktor-faktor tersebut diatas. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. Progesifitas penurunan pendengaran dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, pada laki-laki lebih cepat dibandingkan dengan perempuan kornea, lensa iris, aquous humormvitorous humor akan mengalami perubahan seiring bertambahnya usia, karena bagian utama yang mengalami perubahan/penurunan sensifitas yang menyebabkan lensa pada mata, produksi aquosus humor juga mengalami penurunan tetapi tidak terlalu terpengaruh terhadap keseimbangan dan tekanan intra okuler lensa umum. Bertambahnya usia akan mempengarui fungsi organ pada mata seseorang yang ber usia 60 tahun, fungsi kerja pupil akan mengalami penurunan 2/3 dari pupil orang dewasa atau muda, penurunan tersebut meliputi ukuran – ukuranpupil dan kemampuan melihat dari jarak jauh. Proses akomodasi merupakan kemampuan untukmelihat benda – benda dari jarak dekat maupun jauh. Akomodasi merupakan hasil koordinasi atas ciliary body dan otot – otot, apabila seseorang mengalami penurunan daya akomodasimaka orang tersebut disebut presbiopi ( Brantas1984.wordpress.com, 2009 ). 5. MANIFESTASI KLINIS Semakin bertambah usia seseorang semakin banyak terjadi perubahan pada berbagai sistem dalam tubuh. Perubahan yang terjadi cenderung mengarah pada penurunan berbagai fungsi tersebut. Pada sistem saraf pusat terjadi pengurangan massa otak, aliran darah otak, densitas koneksi dendritik, reseptor glukokortikoid hipokampal, dan terganggunya autoregulasi perfusi. Timbul proliferasi astrosit dan berubahnya neurotransmiter, termasuk dopamin dan serotonin. Terjadi peningkatan aktivitas monoamin oksidase dan melambatnya proses sentral dan waktu reaksi. Pada fungsi kognitif terjadi penurunan kemampuan meningkatkan fungsi intelektual; berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak yang menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi; berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari memori. Kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Pada fungsi penglihatan terjadi gangguan adaptasi gelap; pengeruhan pada lensa; ketidakmampuan untuk fokus pada benda-benda jarak dekat (presbiopia); berkurangnya sensitivitas terhadap kontras dan lakrimasi. Hilangnya nada berfrekuensi tinggi secara bilateral timbul pada funsgsi pendengaran. Di samping itu pada usia lanjut terjadi kesulitan untuk membedakan sumber bunyi dan terganggunya kemampuan membedakan target dari noise. Pada sistem kardiovaskuler, pengisian ventrikel kiri dan sel pacu jantung (pacemaker) di nodus SA berkurang; terjadi hipertrofi atrium kiri; kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri bertambah lama; respons inotropik, kronotropik, terhadap stimulasi beta-adrenergik berkurang; menurunnya curah jantung maksimal; peningkatan atrial natriuretic peptide (ANP) serum dan resistensi vaskular perifer. ( Pada fungsi paru-paru terjadi penurunan forced expiration volume 1 second (FEVI) dan forced volume capacity (FVC); berkurangnya efektivitas batuk dan fungsi silia dan meningkatnya volume residual. Adanya ‘ventilation-perfusion mismatching’ yang menyebabkan PaO2 menurun seiring bertambahnya usia : 100 – (0,32 x umur). Pada fungsi gastrointestinal terjadi penururan ukuran dan aliran darah ke hati, terganggunya bersihan (clearance) obat oleh hati sehingga membutuhkan metabolisme fase I yang lebih ekstensif. Terganggunya respons terhadap cedera pada mukosa lambung, berkurangnya massa pankreas dan cadangan enzimatik, berkurangnya kontraksi kolon yang efektif dan absorpsi kalsium. Menurunnya bersihan kreatinin (creatinin clearance) dan laju filtrasi glomerulus (GFR) 10 ml/dekade terjadi dengan semakin bertambahnya usia seseorang. Penurunan massa ginjal sebanyak 25%, terutama dari korteks dengan peningkatan relatif perfusi nefron jukstamedular. Aksentuasi pelepasan anti diuretic hormone (ADH) sebagai respons terhadap dehidrasi berkurang dan meningkatnya ketergantungan prostaglandin ginjal untuk mempertahankan perfusi. Pada saluran kemih dan kelamin timbul perpanjangan waktu refrakter untuk ereksi pada pria, berkurangnya intensitas orgasme pada pria maupun wanita, berkurangnya sekresi prostat di urin dan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna serta peningkatan volume residual urin. Toleransi glukosa terganggu (gula darah puasa meningkat 1 mg/dl/dekade; gula darah postprandial meningkat 10 mg/dl/dekade). Insulin serum meningkat, HbA1C meningkat, IGF-1 berkurang. Penurunan yang bermakna pada dehidroepiandrosteron (DHEA), hormon T3, testosteron bebas maupun yang bioavailable, dan produksi vitamin D oleh kulit serta peningkatan hormon paratiroid (PTH). Ovarian failure disertai menurunnya hormon ovarium. Pada sistem saraf perifer lanjut usia mengalami hilangnya neuron motor spinal, berkurangnya sensasi getar, terutama di kaki, berkurangnya sensitivitas termal (hangatdingin), berkurangnya amplitudo aksi potensial yang termielinasi dan meningkatnya heterogenitas selaput akson myelin. Massa otot berkurang secara bermakna (sarkopenia) karena berkurangnya serat otot. Efek penuaan paling kecil pada otot diafragma; berkurangnya sintesis rantai berat miosin, inervasi, meningkatnya jumlah miofibril per unit otot dan berkurangnya laju basal metabolik (berkurang 4%/dekade setelah usia 50). Pada sistem imun terjadi penurunan imunitas yang dimediasi sel, rendahnya produksi antibodi, meningkatnya autoantibodi, berkurangnya hipersensitivitas tipe lambat, berkurangnya produksi sel B oleh sumsum tulang; dan meningkatnya IL-6 dalam sirkulasi. Pada umumnya lansia mengalami depresi ditandai oleh mood depresi menetap yang tidak naik, gangguan nyata fungsi atau aktivitas sehari-hari, dan dapat berpikiran atau melakukan percobaan bunuh diri. Pada lansia gejala depresi lebih banyak terjadi pada orang dengan penyakit kronik, gangguan kognitif, dan disabilitas. Kesulitan konsentrasi dan fungsi eksekutif lansia depresi akan membaik setelah depresi teratasi. Gangguan depresi lansia dapat menyerupai gangguan kognitif seperti demensia, sehingga dua hal tersebut perlu dibedakan. Para lansia depresi sering menunjukkan keluhan nyeri fi sik tersamar yang bervariasi, kecemasan, dan perlambatan berpikir. Perubahan pada lansia depresi dapat dikategorikan menjadi perubahan fi sik, perubahan dalam pemikiran, perubahan dalam perasaan, dan perubahan perilaku 6. Pemeriksaan Diagnostik 1. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Assessmen Geriatri komprehensif mencakup: kesehatanfisik, mental, status fungsional, kegiatan sosial, dan lingkungan.Tujuan asesmen ialah mengetahui kesehatan penderita secara holistic supaya dapat memberdayakan kemandirian penderita selama mungkin dan mencegah disabilitas-handicap diwaktu mendatang. Asesmen ini bersifat tidak sekedar multi-disiplin tetapi interdisiplin dengan koordinasi serasi antar disiplin dan lintas pelayanan kesehatan (Forciea MA. 2004, Darmojo BR, 2010). Anamnesis dilengkapi dengan berbagai gangguan yang terdapat : menelan, masalah gigi, gigi palsu, gangguan komunikasi/bicara, nyeri/gerak yang terbatas pada anggota badan dan lain-lain. a) Penilaian sistem : Penilaian system dilaksanakan secara urut, mulai dari system syaraf b) pusat, saluran nafas atas dan bawah, kardiovaskular, gastrointestinal (seperti inkontinensia alvi, konstipasi), urogenital (seperti inkontinensia urin). Dapat dikatakan bahwa penampilan penyakit dan keluhan penderita tidak tentu berwujud sebagai penampilan organ yang terganggu. c) Anamnesis tentang kebiasaan yang merugikan kesehatan (merokok, minum alkohol). d) Anamnesis Lingkungan perlu meliputi keadaan rumah tempat tinggal. e) Review obat-obat yang telah dan sedang digunakan perlu sekali ditanyakan, bila perlu, penderita atau keluarganya. f) Ada tidaknya perubahan perilaku. Anamnesis Nutrisi:(Martono H. 2004) a) Pada gizi perlu diperhatikan : Keseimbangan (baik jumlah kalori maupun makronutrien) Cukup mikronutrien (vitamin dan mineral) Perlu macam makanan yang beranekaragam. Kalori berlebihan atau dikurangi disesuaikan dengan kegiatan AHSnya, dengan tujuan mencapai berat badan ideal. Keadaan gigi geli, mastikasi dan fungsi gastro-intestinal. Apakah ada penurunan atau kenaikan berat badan. b) Pengkajian Nutrisi (Kuswardhani, RAT. 2011) Pengkajian nutrisi dilakukan dengan memeriksa indeks massa tubuh. Rumus Indeks Masa Tubuh (IMT) : Berat Badan (kg) [Tinggi Badan (m)2]2 IMT : 18 – 23 (normal) Rumus Tinggi Badan Populasi Geriatri : Pria : TB = 59.01 + (2.08 X Tinggi Lutut) Wanita : TB = 75.00 + (1.91 X Tinggi Lutut) – (0.17 X Umur). (Depkes RI, 2005) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dimulai dengan pemeriksaan tanda vital. 1. Pemeriksaan fisik tekanan darah, dilaksanakan dalam keadaan tidur, duduk dan berdiri, masing-masing dengan selang 1-2 menit, untuk melihat kemungkinan terdapatnya hipotensi ortostatik 2. Pemeriksaan fisik untuk menilai sistem. Pemeriksaan organ dan sistem ini disesuaikan dengan tingkat kemampuan pemeriksa.Yang penting adalah pemeriksaan secara sistem ini menghasilkan dapatan ada atau tidaknya gangguan organ atau sistem. 3. Pemeriksaan fisik dengan urutan seperti pada anamnesis penilaian sistem, yaitu : a) Pemeriksaan susunan saraf pusat (Central Nervous System). b) Pemeriksaan panca indera, saluran nafas atas, gigi-mulut. c) Pemeriksaan leher, kelenjar tiroid, bising arteri karotis. d) Pemeriksaan dada, paru-paru, jantung dan abdomen perlu dilakukan dengan cermat. e) Pemeriksaan ekstremitas, refleks-refleks, gerakan dan kelainan sendisendi perlu diperiksa :sendi panggul, lutut dan kolumna vertebralis. f) Pemeriksaan kulit-integumen, juga perlu dilakukan. Pemeriksaan fisik perlu dilengkapi dengan beberapa uji fisik seperti “get up and go” (jarak 3 meter dalam waktu kira-kira 20 detik), mengambil benda di lantai, beberapa tes keseimbangan, kekuatan, ketahanan, kelenturan, koordinasi gerakan.Bila dapat mengamati cara berjalan (gait), adakah sikap atau gerakan terpaksa.Pemeriksaan organ-sistem adalah melakukan pemeriksaan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki secara sistematis (Kuswardhani, RAT. 2011). Pemeriksaan Tambahan (Penunjang) Pemeriksaan tambahan disesuaikan dengan keperluan penegakan kepastian diagnosis, tetapi minimal harus mencakup pemeriksaan rutin. a) X-foto thorax, EKG b) Laboratorium :- DL,UL, FL Apabila terdapat kecurigaan adanya kelainan yang belum jelas atau diperlukan tindakan diagnostik atau terapi, dapat dilakukan konsultasi (rujukan) kepada sub- bagian atau disiplin lain, atau pemeriksaan dengan alat yang lebih spesifik : FNB, EKG, CT-Scan. Pengkajian Imobilisasi Dalam mengkaji imobilisasi, perlu dilakukan anamnesis menenai riwayat penyakit sekarang, lamanya mengalami disabilitas, penyakit yang dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi dan obat‐obatan yang dapat menyebabkan imobilisasi. Keluhan nyeri, skrining depresi dan rasa takut jatuh serta pengkajian lingkungan, termasuk kunjungan rumah bila perlu, penting dilakukan. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa status kardiopulmonal, pemeriksaan muskuloskeletal yang mendetil misalnya kekuatan otot dan gerak sendi, pemeriksaan status neurologis dan juga pemeriksaan kulit untuk identifikasi ulkus dekubitus. Status imobilisasi pasien harus selalu dikaji secara terus‐menerus (Rizka, 2015). 2. Penatalaksanaan Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut mendapatkan berbagai jenis obat dalam jumlah banyak. Terapi non-farmakologi dapat menjadi pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien usia lanjut, namun obat tetap menjadi pilihan utama sehingga polifarmasi sangat sulit dihindari. Prinsip penggunaan obat yang benar dan tepat pada usia lanjut harus menjadi kajian multi/interdisiplin yang mengedepankan pendekatan secara holistik (Setiati, Siti 2013). a. Pengelolaan inkontinensia urin Pengelolaan inkontinensia urin pada penderita usia lanjut, secara garis besar dapat dikerjakan sebagai berikut (Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011): a) Program rehabilitasi, antara lain: Melatih perilaku berkemih. Modifikasi tempat berkemih (komodo, urinal). Melatih respons kandung kemih. Latihan otot-otot dasar panggul. b) Katerisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indweling). c) Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi kandung kemih, estrogen. d) Pembedahan, misalnya: untuk mengangkat penyebab sumbatan atau keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain. e) Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia. b. Jatuh Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau mengeliminasi faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik dan lain-lain), sosiomedik dan ahli lain yang terkait serta keluarga penderita. Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena perbedaan faktor-faktor yang mengakibatkan jatuh. Lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktoralsehingga diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi dan perbaikan lingkungan. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan bepergian, penggunaan alat bantu gerak dan sebagainya Faktor pelindungTerhadap Cedera Retak Terapiestrogen Berat badansetelah usia Berjalanuntuk latihan Asupankalsiumyang cukup Pengobatanuntuk gangguan berjalan 1. Manajemen gangguan berjalan termasuk peningkatan kemampuan fungsional dan pengobatan penyakit tertentu,namun banyak kondisi yang menyebabkan kelainan gaya berjalan hanya sebagian dapat diobati. 2. Peningkatan substansial terjadi dalam pengobatan gangguan sekunder untukvitamin B12 dan folat, penyakit tiroid, radang sendi lutut, penyakit Parkinson dan polineuropati inflamasi. 3. Peningkatan Sedang, tetapi dengan cacat sisa, dapat terjadi setelah perawatan bedah untuk myelopathy serviks, stenosis lumbar, dan hidrosefalus tekanan normal. c. Sleep Dsiturbance Pengobatan a) Perawatan Non-farmakologis Hilangkan faktor yang dicurigai: mengobati penyakit yang mendasari, menghentikan atau mengubah obat, menghentikan alkohol, kafein atau penggunaan nikotin. Perubahan Kebiasaan: mengembangkan rutinitas persiapan tidur, gunakan kamar tidur untuk mempromosikan tidur keadaan saja, pikiran, mengembangkan mengurangi tidur cerita siang tidur hari, untuk dan mengembangkan latihan rutin sehari-hari. b) Pengobatan farmakologis Hanya direkomendasikan untuk penggunaan jangka pendek pada pasien yang lebih tua. Benzodiazepin dengan aksi pendek atau menengah seperti Temazepam(7,5-15 mg), dengan jangka waktu maksimum dua mingg uuntuk menghindari ketergantungan. Antihistamin dapat diterima untuk digunakan sesekali, namun cepat kehilangan khasiat. anti-depresan, misalnya, Trazadone, adalah pilihan yang baikuntuk insomnia kronis. d. Pencegahan Komplikasi Imobilisasi Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan farmakologik dan non farmakologik. Upaya non farmakologis yang dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara teratur dan latihan di tempat tidur Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap. Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30o, penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien dengan kursi roda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk. Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus. Pemberian minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi. Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat‐obatan yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi. Tata laksana farmakologis yang dapat diberikan terutama pencegahan terhadap terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan yaitu Low dose heparin (LDH) dan low molecular weight heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien geriatri denganimobilisasi namun harus mempertimbangkan fungsi hati, ginjal dan interaksi dengan obat lain (Rizka, 2015). Pressure Ulcer Pengobatan 1. Menilai seluruh aspek, bukan hanya ulkus karena tekanan, termasuk kesehatan fisik, sakit, kesehatan psikososial, dan tekanan komplikasi ulkus. 2. Mencoba untuk menggunakan langkah-langkah yang ditetapkan penyembuhan luka (PUSH) (NPUAP, 1997). 3. Menjaga prinsip-prinsip perawatan luka yang relevan dengan ulkus tekanan: a. debridement luka b. luka bersih c. menggunakan solusi yang TIDAK membunuh sel-sel; JANGAN menggunakan solusi yang yaitu sitotoksik hidrogen peroksida, Solusi Dahenitu, atau Betadine d. Mengairi luka, menggunakan kekuatan minimal e. Tutup luka dengan bahan yang tepat e. Delirium Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila sumber deliriumnya adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif atau ketika agitasi yang berat tidak dapat dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini disebabkan karena benzodiazepin dapat menyebabkan reaksi berkebalikan yang memperburuk delirium. Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh benzodiazepin adalah sedasi yang berlebihan yang dapat menyulitkan penilaian status kesadaran pasien itu sendiri (Andri, Charles E. Damping, 2007). Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang sering dipakai pada kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol digunakan karena profil efek sampingnya yang lebih disukai dan dapat diberikan secara aman melalu jalur oral maupun parenteral. Dosis yang biasa diberikan adalah 0,5 - 1,0 mg per oral (PO) atau intra muscular maupun intra vena (IM/IV); titrasi dapat dilakukan 2 sampai 5 mg tiap satu jam sampai total kebutuhan sehari sebesar 10 mg terpenuhi. Setelah pasien lebih baik kesadarannya atau sudah mampu menelan obat oral maka haloperidol dapat diberikan per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali perhari sampai kondisi deliriumnya teratasi. Haloperidol intravena lebih sedikit menyebabkan gejala ekstrapiramidal daripada penggunaan oral (Andri, Charles E. Damping, 2007). f. Infeksi Pengobatan infeksi pada lansia juga merupakan masalah karena meningkatkan bahaya toksisitas obat antimikroba pada lansia. Terapi antibiotik tergantung pada kuman patogen yang didapati. 1. Gangguan pendengaran Rehabilitasi sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi pendengaran dilakukan dengan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Pemasangan alat bantu dengar hasilnya akan lebih memuaskan bila dikombinasikan dengan latihan membaca ujaran (speech reading), dan latihan mendengar (auditory training), prosedur pelatihan tersebut dilakukan bersama ahli terapi wicara (speech therapist). Tujuan rehabilitasi pendengaran adalah memperbaiki efektifitas pasien dalam komunikasi sehari-hari. Pembentukan suatu program rehabilitasi untuk mencapai tujuan ini tergantung pada penilaian menyeluruh terhadap gangguan komunikasi pasien secara individual serta kebutuhan komunikasi sosial dan pekerjaan. Partisipasi pasien ditentukan oleh motivasinya. Oleh karena komunikasi adalah suatu proses yang melibatkan dua orang atau lebih, maka keikutsertaan keluarga atau teman dekat dalam bagian-bagian tertentu dari terapi terbukti bermanfaat. Membaca gerak bibir dan latihan pendengaran merupakan komponen tradisional dari rehabilitasi pendengaran. Pasien harus dibantu untuk memanfaatkan secara maksimal isyarat-isyarat visual sambil mengenali beberapa keterbatasan dalam membaca gerak bibir. Selama latihan pendengaran, pasien dapat melatih diskriminasi bicara dengan cara mendengarkan kata-kata bersuku satu dalam lingkungan yang sunyi dan yang bising. Latihan tambahan dapat dipusatkan pada lokalisasi, pemakaian telepon, cara-cara untuk memperbaiki rasio sinyal-bising dan perawatan serta pemeliharaan alat bantu dengar. Program rehabilitasi dapat bersifat perorangan ataupun dalam kelompok. Penyuluhan dan tugas-tugas khusus paling efektif bila dilakukan secara perorangan, sedangkan program kelompok memberi kesempatan untuk menyusun berbagai tipe situasi komunikasi yang dapat dianggap sebagai situasi harian normal untuk tujuan peragaan ataupun pengajaran. Pasien harus dibantu dalam mengembangkan kesadaran terhadap isyarat-isyarat lingkungan dan bagaimana isyarat-isyarat tersebut dapat membantu kekurangan informasi dengarnya. Perlu diperagakan bagaimana struktur bahasa menimbulkan hambatan-hambatan tertentu pada pembicara. Petunjuk lingkungan, ekspresi wajah, gerakan tubuh dan sikap alami cenderung melengkapi pesan yang diucapkan. Bila informasi dengar yang diperlukan untuk memahami masih belum mencukupi, maka petunjuk-petunjuk lingkungan dapat mengisi kekurangan ini. Seluruh aspek rehabilitasi pendengaran harus membantu pasien untuk dapat berinteraksi lebih efektif dengan lingkungannya. (George L Adams,et al.,1997) 2. Depresi Tata laksana depresi pada lansia dipengaruhi tingkat keparahan dan kepribadian masing masing. Pada depresi ringan dan sedang, psikoterapi merupakan tata laksana yang sering dilakukan dan berhasil. Akan tetapi, pada kasus tertentu atau pada depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup, diperlukan farmakoterapi. Banyak orang membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat terutama keluarga dan teman, keikutsertaan dalam kegiatan kelompok, atau berkonsultasi dengan tenaga profesional untuk mengatasi depresi. Selain itu, mengatasi masalah terisolasi ketika memasuki usia lanjut merupakan salah satu bagian penting dalam penyembuhan dan dapat mencegah episode kekambuhan penyakit. Banyak penelitian menunjukkan bahwa aktif dalam kegiatan kelompok di lingkungan merupakan bagian penting dalam kesehatan dan dapat meningkatkan kualitas hidup. Pada umumnya, tata laksana terapi hanya menggunakan obat antidepresan, tanpa merujuk pasien untuk psikoterapi, tetapi obat hanya mengurangi gejala, dan tidak menyembuhkan. Antidepresan bekerja dengan cara menormalkan neurotransmiter di otak yang memengaruhi mood, seperti serotonin, norepinefrin, dan dopamin. Antidepresan harus digunakan pada lansia dengan depresi mayor dan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) merupakan obat pilihan pertama. Beberapa obat antidepresan yang dapat digunakan pada lansia dengan kelebihan dan kekurangan tiap golongan ada pada tabel 6. Pemilihan obat tersebut per individu dengan pertimbangan efek samping dari tiap golongan. Pengobatan monoterapi dengan dosis minimal digunakan pada awal terapi, dievaluasi apabila tidak ada perubahan bermakna dalam 6-12 minggu. Lansia yang tidak berespons pada pengobatan awal perlu mendapatkan obat antidepresan golongan lain dan dapat dipertimbangkan penggunaan dua golongan antidepresan. Pada lansia yang responsif dengan obat antidepresan, obat harus digunakan dengan dosis penuh (full dose maintenance therapy) selama 6-9 bulan sejak pertama kali hilangnya gejala depresi. Apabila kambuh, pengobatan dilanjutkan sampai satu tahun. Strategi pengobatan tersebut telah berhasil menurunkan risiko kekambuhan hingga 80%. Penghentian antidepresan harus dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan gejala withdrawal seperti ansietas, nyeri kepala, mialgia, dan gejala mirip fl u (fl u-like symptoms). Lansia yang sering kambuh memerlukan terapi perawatan dosis penuh terapi selama hidupnya. Selain farmakoterapi dengan obat antidepresan, psikoterapi (talk therapy) memiliki peranan penting dalam mengobati berbagai jenis depresi. Psikoterapi dilakukan oleh psikiater, psikolog terlatih, pekerja sosial, atau konselor. Pendekatan psikoterapi dibagi dua, yaitu cognitive-behavioral therapy (CBT) dan interpersonal therapy. CBT terfokus pada cara baru berpikir untuk mengubah perilaku, terapis membantu penderita mengubah pola negatif atau pola tidak produktif yang mungkin berperan dalam terjadinya depresi. Interpersonal therapy membantu penderita mengerti dan dapat menghadapi keadaan dan hubungan sulit yang mungkin berperan menyebabkan depresi. Banyak penderita mendapat manfaat psikoterapi untuk membantu mengerti dan memahami cara menangani faktor penyebab depresi, terutama pada depresi ringan; jika depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup, karena akan menimbulkan depresi berulang 3. Imobilisasi Pencegahan komplikasi imobilisasi Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan farmakologik dan non farmakologik. Non Farmakologis Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara teratur dan latihan di tempat tidur Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap.Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30 o, penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien dengan kursi roda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk. Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus.Pemberian minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi. Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat‐obatan yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi. Farmakologis Tata laksana farmakologis yang dapat diberikan terutama pencegahan terhadap terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan yaitu Low dose heparin (LDH) dan low molecular weight heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien geriatri dengan imobilisasi namun harus mempertimbangkan fungsi hati, ginjal dan interaksi dengan obat lain. 3. Komplikasi Imobilisasi dapat mengakibatkan komplikasi pada sistem pernafasan isalnya penurunan ventilasi, atelektasis dan pneumonia. komplikasi endokrin dan ginjal, peningkatan diuresis, natriuresis dan pergeseran cairan ekstraseluler, intoleransi glukosa, hiperkalsemia dan kehilangan kalsium, batu ginjal serta keseimbangan nitrogen negatif Komplikasi gastrointestinal yang dapat timbul adalah anoreksia, konstipasi dan luka tekan (ulkus dekubitus). Pada sistem saraf pusat, dapat terjadi deprivasi sensorik, gangguan keseimbangan dan koordinasi (Rizka, 2015).