pedoman pelayanan farmasi (tata laksana terapi obat) untuk pasien

advertisement
615.58
Ind
p
PEDOMAN
PELAYANAN FARMASI
(TATA LAKSANA TERAPI OBAT)
UNTUK PASIEN GERIATRI
DIREKTORAT JENDERAL
BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
DEPARTEMEN KESEHATAN RI
2006
Katalog Dalam Terbitan. Departemen Kesehatan RI
Indonesia, Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal
Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
615.58 Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata Laksana Terapi Obat)
Ind
Untuk Pasien Geriatri. -p
Jakarta, Departemen Kesehatan. 2005
1. Judul
1. DRUGS
2. DRUGS - GERIATRIC
KONTRIBUTOR
1. Dr. Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, KGer., MEpid.
Sub. Bagian Geriatrik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
2. Dra. Yulia Trisna, Apt. MPharm.
Instalasi Farmasi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
3. Dra. Tita Puspita, Apt. MPharm.
Instalasi Farmasi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
E. Pertimbangan Khusus untuk penggunaan obat tertentu pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal
Meperidin
Metabolit normeperidin adalah neurotoksik dan dapat
menyebabkan kejang
Obat AINS
Menurunkan respon diuretik dan meningkatkan
kecenderungan hiperkalemia jika digunakan bersama
diuretik hemat kalium dan ACE inhibitors.
Obat AINS
Menurunkan respon diuretik dan meningkatkan
kecenderungan hiperkalemia jika digunakan bersama
diuretik hemat kalium dan ACE inhibitors.
Klorpropamid
Meningkatkan waktu paruh bila digunakan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal dan mengalami
hipoglikemia berkepanjangan
Metformin
Sebaiknya tidak digunakan jika CrCl < 50 ml/menit ( <
0,83 ml/detik) karena hal itu dapat menyebabkan laktik
asidosis yang mengancam jiwa.
Insulin
Terjadi penurunan bersihan ginjal pada pemberian insullin
eksogen dan karena itu potensial meningkatkan reaksi
hipoglikemik seiring penurunan CrCl
Aminoglikosida
Vankomisin
Diperlukan penyesuaian dosis karena obat ini akan cepat
berakumulasi pada gangguan ginjal dan secara potensial
menyebabkan nefrotoksik. Direkomdenasikan untuk
dilakukan pengukuran kadar obat di dalam darah
(Therapeutic Drug Monitoring)
Simetidine
Triamteren
Trimetoprim
Menghambat sekresi tubular kreatinin, sehingga kreatinin
serum meningkat. Hal ini bersifat reversible jika obat
dihentikan.
61
KATA PENGANTAR
C. Penyesuaian dosis obat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal
Semua Antibiotika
KECUALI
Kloksasilin, klindamisin, metronidazol,
makrolida
Antihipertensi
Atenolol, nadolol, ACE inhibitor
Antihipertensi
Calcium Chanel Blocker, minoksidil,
Angiotensin Receptor Blocker, klonidin,
α-blocker seperti prazosin.
Obat jantung lainnya
Digoksin, sotalol
Obat Jantung lainnya
Amiodaron, Nitrat
Diuretik
Obat Jantung lainnya
HINDARI diuretik hemat kalium pada Amiodaron, Nitrat
pasien dengan CrCl < 30 ml / menit
( < 0,5 ml / detik )
Obat Penurun Kadar Lipid
HMG - CoA reductase inhibitors,
benafibrat, klofibrat, fenofibrat
Narkotik
Fentanil, hidromorfon, morfin (perlu
modifikasi dosis jika digunakan pada
perawatan paliatif)
Psikotropik
Psikotropik
Lithium, kloral hidrat gabapentin, Antidepresan trisiklik, nefazodon, SSRI
trazodon, paroxetin, primidone, lainnya
topiramat, vigabatrin.
Dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian untuk pasien geriatri
di rumah sakit yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan pelayanan lain di rumah sakit, melibatkan berbagai pihak
yang mempunyai kewenangan berbeda menurut fungsi masingmasing.
Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengarahkan kesatuan
pandang para apoteker menuju terwujudnya peningkatan mutu
pelayanan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan guna mencapai
peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan buku
ini dan untuk lebih menyempurnakan tidak menutup kemungkinan
adanya masukan dan saran-saran dari berbagai pihak. Kepada
semua pihak yang telah berperan aktif dalam penyusunan buku
pedoman ini kami menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya.
Obat Hipoglikemik
Obat Hipoglikemik
Acarbose, klorpropamid, gliburid, Repaglinide, rosiglitazone
gliklazid, metformin, insulin.
RT
DEPA
E
EM
N K E SE H
A
N
TA
Lainnya
Lainnya
Allopurinol, kolkisin, histamin, Penghambat pompa proton
diklofenak, ketorolac, terbutalin
DIREKTUR BINA FARMASI KOMUNITAS
DAN KLINIK
RAL
JENDE IAN
S
TORAT
DIREK N KEFARMA
A
Y
TAN
PELALA LAT KESEHA
A
N
A
D
RE
P
60
UB
N
Narkotik
Kodein, Meperidin
Buku Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata Laksana Terapi Obat)
untuk pasien geriatri merupakan pedoman untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan apoteker dalam penanganan pasien
geriatri.
IA
Obat yang tidak memerlukan
penyesuaian dosis
ES
Obat yang memerlukan
penyesuaian dosis
O
L I K I N D Drs.
Abdul Muchid, Apt
NIP. 140 088 411
i
SAMBUTAN
Langkah 4
Pilih obat dengan
sesedikit mungkin
e
f
e
k
nefrotoksiknya
Jika penggunaan obat nefrotoksik tidak dapat
dihindari tanpa menyebabkan morbiditas
atau mortalitas pada pasien, maka diperlukan
pemantauan kadar obat dalam darah
(Therapeutic Drug Monitoring = TDM) atau
pantau fungsi ginjal.
Langkah 5
Gunakan loading
dose
Biasanya loading dose ini sama seperti yang
digunakan pada pasien dengan fungsi ginjal
normal.
Langkah 6
Gunakan rejimen
pemeliharaan
(maintenance
regimen)
Turunkan dosis obat dan atur interval dosis
lazim atau pertahankan dosis obat dan
perpanjang interval penggunaan. Perlu diingat
untuk selalu melakukan fitrasi dosis obat
sesuai dengan efek/respon yang terjadi pada
pasien. Sebagai contoh, dosis obat
antihipertensi disesuaikan berdasarkan pada
pengontrolan tekanan darah, akan tetapi dosis
antimikroba tidak disesuaikan menurut
responnya.
Langkah 7
Pantau kadar obat
dalam darah
Pantau kadar obat jika pemantauan ini
berguna untuk memandu terapi selanjutnya
Langkah 8
Lakukan penilaian
kembali
Tinjau kembali pasien untuk mengevaluasi
efektivitas obat dan perlunya terapi
berkelanjutan. Jika obat nefrotoksik
digunakan, ingatkan untuk melakukan
pengecekan kembali creatinine serum dan
creatinine clearance (CrCl) pasien.
DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN
DAN ALAT KESEHATAN
Assalamu alaikum Wr. Wb
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala rahmat
dan petunjuknya sehingga penyusunan buku Pedoman Pelayanan
Farmasi (Tatalaksanan Terapi Obat) Untuk Pasien Geriatri telah
dapat diselesaikan pada waktunya, yang merupakan perwujudan
dalam upaya meningkatkan mutu dan paradigma baru pelayanan
kefarmasian.
Menurut sensus penduduk tahun 1990, jumlah penduduk usia 60an tahun keatas kurang lebih 11,5 jiwa (6,5% dari seluruh penduduk
Indonesia). Pada tahun 1998, kelompok usia ini meningkat menjadi
15 juta jiwa atau 7,5%. Pada akhir tahun 2020, WHO memperkirakan
jumlah kelompok usia ini di Indonesia akan menjadi 30,1 juta jiwa
dan merupakan urutan keempat dunia.
Untuk mengantisipasi jumlah usia lanjut ini yang berkembang
dengan pesat tersebut perlu dipersiapkan program pelayanan usia
lanjut secara terintegrasi. Dalam penyelenggaraan program
pelayanan kesehatan usia lanjut diperlukan sarana penunjang yang
dapat mendukung pelaksanaan di lapangan yaitu antara lain dengan
buku Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat Untuk
Pasien Geriatri.
ii
59
LAMPIRAN 6
Cara Perhitungan Penyesuaian Dosis Obat
pada Pasien dengan Gangguan Fungsi Ginjal
A. Rumus Cockcroft-Gault untuk Menghitung Creatinine Clearance
Pria
CrCl (mL/menit) = (140-Umur (tahun)) x Berat Badan (Kg)
72 x SrCr (mg/dL)
Wanita
CrCl (mL/menit) = 0,85 x CrCl (pria)
Saya harapkan buku pedoman ini dapat dipakai sebagai acuan para
apoteker dalam melaksanakan pelayanan farmasi yang bermutu
dan berkesinambungan dalam rangka mendukung upaya
penggunaan obat yang rasional untuk pasien geriatri.
Kepada Tim Penyusun dan pihak-pihak yang membantu dalam
penyusunan buku pedoman ini, saya sampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi tingginya.
B. Rentang nilai normal dan penurunan Creatinine Clearance (unit SI)
Fungsi Ginjal Normal
Pria
Wanita
95 - 145 ml/menit (1,58 - 2,42 mL/detik)
75 - 115 ml/menit (1,25 - 1,92 mL/detik)
Gangguan Fungsi Ginjal Ringan
50 - 70 ml/menit
(0,83 - 1,17 mL/detik)
Gangguan Fungsi Ginjal Sedang
25 - 50 mL/menit
(0,42 - 0,83 mL/detik)
Gangguan Fungsi Ginjal Berat
< 25 mL/menit
(< 0,42 mL/detik)
DIREKTUR JENDERAL
PELAYANAN KEFARMASIAN
DAN ALAT KESEHATAN
Drs. Krissna Tirtawidjaja, Apt.
NIP. 140 073 794
C. Petunjuk langkah penyesuaian dosis obat untuk pasien gangguan
fungsi ginjal
Langkah 1
Telusuri riwayat
penggunaan obat
dan lakukan
pemeriksaan fisik
Catat obat-obatan yang digunakan saat ini,
termasuk obat bebas, obat pada saat
bepergian, penggunaan alkohol. Alergi obat
dan hipersensitifitas terhadap obat perlu
dicatat. Pemeriksaan fisik harus meliputi :
tinggi badan, berat badan, status volume
ekstrasel (jugular venous pulse, TD, dan
denyut nadi dengan perubahan ortostatik,
udem, asites, bunyi paru) dan amati tanda
tanda penyakit hati kronik
Langkah 2
Tentukan tingkat
kerusakan ginjal
Ukur kreatinin serum. Lakukan pengumpulan
urin 24 jam atau hitung Creatinine Clearance
Langkah 3
Te l a a h u l a n g
daftar obat
Pastikan bahwa semua obat masih diperlukan
dan obat-obatan yang baru ditambahkan
mempunyai indikasi spesifik. Evaluasi adanya
interaksi yang potensial terjadi.
58
iii
DEPARTEMEN KESEHATAN R.I
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN
KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kapling No. 4-9
Jakarta 12950
Telp. : 5201590 (Hunting) PES.2029.5006.5900
Fax. : 52964838 Tromol Pos : 203
LAMPIRAN 5
Daftar Efek Samping Obat yang Berpotensi untuk Terjadi
Efek Samping
Kelompok Obat
Sindrom delirium
Benzodiazepin
Phenothiazine
Antikolinergik
Antidepresan trisiklik
Antiparkinson
Analgesik narkotik,
Antikonvulsan
Kortikosteroid
Teofilin (jika toksik)
Digoksin (jika toksik)
AINS (tidak sering)
gangguan
berjalan (gait
disorder) atau
jatuh
Benzodiazepin
Phenothiazine
Butirofenon
Antikonvulsan
KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT
KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN Rl
NOMOR : HK 00.DJ.II.051
Tentang :
PEDOMAN PELAYANAN FARMASI
(TATALAKSANA TERAPI OBAT)
UNTUK PASIEN GERIATRI
DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN
DAN ALAT KESEHATAN
MENIMBANG:
a. Bahwa pembangunan di bidang Pelayanan Farmasi
merupakan bagian dari upaya peningkatan mutu
dan efisiensi pelayanan kesehatan.
b. Bahwa untuk meningkatkan mutu dan efisiensi
Pelayanan Farmasi yang berasaskan
Pharmaceutical Care perlu dibuat Pedoman
Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) untuk
Pasien Geriatri.
c. Bahwa Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana
Terapi Obat) untuk Pasien Geriatri merupakan
arahan untuk dilaksanakan oleh seluruh jajaran
kesehatan yang terkait.
d. Bahwa sehubungan hal tersebut diatas perlu
ditetapkan Pedoman Pelayanan Farmasi
(Tatalaksana Terapi Obat) untuk Pasien Geriatri
iv
Hipotensi postural Antihipertensi
dan jatuh
Diuretik
Phenothiazine
Antidepresan trisiklik
Antiparkinson
Inkontinensia
Diuretik
Prazosin
Antikolinergik (retensi urin, ovelflow incontinence)
Mual
Antibiotika (golongan Penisilin: ampisilin, amoksisilin;
golongan Fluorokuinolon: siprofloksasin, afloksasin;
Metronidazol)
Teofilin
Digoksin (jika toksik)
Hipotermia
Phenothiazine
Barbiturat
Benzodiazepin
Antidepresan trisiklik
Analgesik narkotik
Etanol
Antikolinergik
Phenothiazine
Antidepresan trisiklik
Verapamil
Konstipasi
57
Keterangan : Level Kemaknaan Klinik Interaksi Obat
Level 1
Hindari kombinasi
Risiko yang dapat merugikan pasien lebih besar dari manfaat.
Level 2
Sebaiknya hindari kombinasi.
Penggunaan kombinasi hanya dapat dilakukan pada keadaan
khusus. Penggunaan obat alternatif dapat dilakukan jika
memungkinkan. Pasien harus selalu dipantau dengan sebaikbaiknya jika obat tetap diberikan.
Level 3
Level 4
Minimalkan risiko,
Ambil tindakan yang perlu untuk mengurangi risiko.
Tidak dibutuhkan tindakan.
Risiko kerugian yang mungkin timbul relatif kecil. Potensi bahaya
pada pasien rendah dan tidak ada tindakan spesifik yang
direkomendasikan. Tetap waspada terhadap kemungkinan
terjadinya interaksi obat.
DEPARTEMEN KESEHATAN R.I
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN
KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kapling No. 4-9
Jakarta 12950
MENGINGAT
:
Telp. : 5201590 (Hunting) PES.2029.5006.5900
Fax. : 52964838 Tromol Pos : 203
1. Undang undang No. 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan.
2. Undang undang No. 13 Tahun 1998 Tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 159b/MENKES/PER/II/1988 Tentang Rumah
Sakit.
4. P e r a t u r a n M e n t e r i K e s e h a t a n R l N o .
920/Menkes/Per/XII/1986 Tentang Upaya Pelayanan
Kesehatan Swasta di Bidang Medik.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Rl nomor
1333/Menkes/SK/XII/ 1999 tentang Standar
Pelayanan Rumah Sakit.
6. Keputusan Menteri Kesehatan Rl nomor
436/Menkes/SK/VI/ 1993 tentang berlakunya
Standar Pelayanan Rumah Sakit dan Standar
Pelayanan Medis di Rumah Sakit.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Rl nomor
085/Menkes/PER/I/ 1989 t e n t a n g K e w a j i b a n
Menulis Resep dan atau menggunakan Obat
Generik di Rumah sakit Pemerintah.
8. K e p u t u s a n M e n t e r i K e s e h a t a n n o m o r
1009/Menkes/SK/X/1995 tentang Pembentukan
Komite Nasional Farmasi dan Terapi.
9. Keputusan Menteri Kesehatan No.1277/Menkes/SK/
Xl/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kesehatan.
56
v
menggigil dan
kehilangan
kesadaran
DEPARTEMEN KESEHATAN R.I
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN
KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kapling No. 4-9
Jakarta 12950
Telp. : 5201590 (Hunting) PES.2029.5006.5900
Fax. : 52964838 Tromol Pos : 203
26
Siprofloksasin Antasida
2
Menurunkan
Bila tidak dapat
efek farmakologi dihindari, berikan
siprofloksasin antasida sedikitnya
2 jam sesudah
pemberian
siprofloksasin
27
Siprofloksasin Sukralfat
2
Menurunkan
Bila tidak dapat
efek farmakologi dihindari, berikan
siprofloksasin antasida sedikitnya
2 jam sesudah
pemberian
siprofloksasin
28
Spironolakton Kaptopril
1
Kombinasi obat
dapat
meningkatkan
kadar kalium
dalam darah
pada pasien
tertentu dengan
risiko tinggi
Pantau fungsi ginjal
dan kadar kalium
dalam darah secara
berkala. Sesuaikan
dosis bila perlu
29
Spironolakton Digoksin
2
Sesuaikan dosis
digoksin. Pantau
pasien terutama
ketika melakukan uji
kadar digoksin
30
Spironolakton Kalium
1
Mengurangi
efek inotropik
positif digoksin.
Spironolakton
meningkatkan
kadar oksigen
dalam darah,
dan
mengganggu
uji kadar
digoksin
Penggunaan
kedua obat
dapat
meningkatkan
hiperkalemia
akut
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN
PERTAMA
:
Keputusan Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian
dan Alat Kesehatan tentang Pedoman Pelayanan
Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) untuk Pasien
Geriatri.
KEDUA
:
Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi
Obat) untuk Pasien Geriatri sebagaimana dimaksud
dalam diktum kesatu sebagaimana tercantum dalam
lampiran keputusan ini.
KETIGA
:
Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi
Obat) untuk Pasien Geriatri sebagaimana dimaksud
dalam diktum kedua agar digunakan sebagai pedoman
oleh tenaga kefarmasian dalam melaksanakan
pelayanan farmasi untuk pasien geriatri.
KEEMPAT
:
Hal-hal yang belum ditetapkan dalam keputusan ini
akan diatur dan ditetapkan kemudian.
KELIMA
:
Keputusan ini mulai berLaku sejak tanggal ditetapkan
dan apabila dikemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan
perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di
Pada tanggal
:
JAKARTA
: 29 Juni 2004
Drs. H.M. Krissna Tirtawidjaja. Apt.
NIP. 140 073 794
vi
antiserotonergik bila
terjadi efek sindrom
serotonin
55
Hindari kombinasi.
Pantau kadar kalium
secara seksama.
dalam darah.
Meningkatkan
efek sedasi dan
ataksia
19
20
Losartan K
Warfarin
Rifampisin
Parasetamol
4
2
DEPARTEMEN KESEHATAN R.I
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN
KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Menurunkan
konsentrasi
plasma losartan,
sehingga
menurunkan
efek
antihipertensi
Amati respon pasien
ketika obat dimulai
dan dihentikan.
Sesuaikan dosis bila
perlu
Meningkatkan
efek
hipoprotrombin
pada warfarin
Batasi penggunaan
asetaminofen.
Pantau parameter
koagulasi.
Sesuaikan dosis
warfarin bila perlu
21
Warfarin
Omeprazole
4
Meningkatkan
efek
hipoprotrombin
pada warfarin
Pantau parameter
koagulasi.
Sesuaikan dosis
warfarin bila perlu
22
Warfarin
Simvastatin
2
Meningkatkan
efek
antikoagulan
pada warfarin
Prednison
mengantagonis
efek dari
miastenia gravis
antikolenesterase
Pantau parameter
koagulasi.
Sesuaikan dosis
warfarin bila perlu
Gunakan kombinasi
kedua macam obat
tersebut pada
keadaan tertentu
saja
23
Prednison
Mestinon
1
24
Ranitidin
Sefuroksim
Asetil
4
25
Sertralin
Metoklopramid
4
Menurunkan
Untuk
bioavailabilitas mengoptimalkan
dari Sefuroksim absorpsi, pasien
disarankan untuk
mengkonsumsi
makanan
Meningkatkan Pantau pasien untuk
sindrom
melihat efek
serotonin,
ekstrapiramidal yang
seperti iritasi,
tidak diinginkan.
tonus otot,
Gunakan obat
54
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kapling No. 4-9
Jakarta 12950
Telp. : 5201590 (Hunting) PES.2029.5006.5900
Fax. : 52964838 Tromol Pos : 203
KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT
KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN Rl
NOMOR : HK 00.DJ.II.043.A
Tentang :
PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN PEDOMAN
PELAYANAN FARMASI UNTUK PASIEN GERIATRI
DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN
DAN ALAT KESEHATAN
MENIMBANG
:
a. Bahwa pembangunan di bidang Pelayanan Farmasi
merupakan bagian dari upaya peningkatan mutu
dan efisiensi pelayanan kesehatan.
b. Bahwa untuk meningkatkan mutu dan efisiensi
Pelayanan Farmasi yang berasaskan
Pharmaceutical Care perlu dibuat Pedoman
Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) untuk
Pasien Geriatri.
C. Bahwa Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Pasien
Geriatri merupakan arahan untuk dilaksanakan oleh
seluruh jajaran kesehatan yang terkait.
d. Bahwa dalam penyusunan Pedoman Pelayanan
Farmasi untuk Pasien Geriatri perlu dibentuk Tim
Penyusun.
vii
DEPARTEMEN KESEHATAN R.I
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN
KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kapling No. 4-9
Jakarta 12950
MENGINGAT
:
13
Digoksin
14
Furosemid
1
Diuretik dapat
menyebabkan
hipokalemia.
Keadaan
hipokalemia
menyebabkan
toksisitas
digoksin
meningkat
Fe Glukonat Siprofloksasin
4
Menurunkan
Pisahkan waktu
efek antiinfeksi penggunaan obat ini
minimal 2 jam
15
Flukonazol
Klordiazepoksid
2
Menaikkan dan
memperpanjang
kadar
klordiazepoksid
dalam darah
Gunakan alprazolam
/ triazolam dengan
itrakonazol /
ketokonazol
Pertimbangkan
untuk menurunkan
dosis
klordiazepoksid
16
Flukonazol
Prednison
2
Meningkatkan
efek
kortikosteroid.
Kemungkinan
dapat
meningkatkan
efek samping
Pantau pasien
dengan seksama
untuk meilhat
kemungkinan efek
samping yang
merugikan.
Sesuaikan dosis
kortikosteroid bila
perlu.
17
Kloramfenikol Amoksisilin
4
Kloramfenikol
secara teoritis
dapat
menurunkan
aktivitas
antibakteri dari
amoksisilin
Pertimbangkan obat
alternative lainnya.
Berikan amoksisilin
beberapa jam
sebelum
kloramfenikol.
Pantau respon
pasien
18
Klordiazepoksid Omeprazol
3
Menurunkan
klirens, lama
waktu paruh dan
meningkatkan
kadar
klordiazepoksid
Pantau
perpanjangan efek
sedasi. Turunkan
dosis benzodiazepin
atau lakukan interval
dosis bila diperlukan.
Telp. : 5201590 (Hunting) PES.2029.5006.5900
Fax. : 52964838 Tromol Pos : 203
1. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan.
2. Undang-undang No. 13 Tahun 1998 Tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 159b/MENKES/PER/II/1988 Tentang Rumah
Sakit.
4. P e r a t u r a n M e n t e r i K e s e h a t a n R l N o .
920/Menkes/Per/XII/1986 Tentang Upaya
Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Rl nomor
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar
Pelayanan Rumah Sakit.
6. Keputusan Menteri Kesehatan Rl nomor
436/Menkes/SK/VI/1993 tentang berlakunya
Standar Pelayanan Rumah Sakit dan Standar
Pelayanan Medis di Rumah Sakit.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Rl nomor
085/Menkes/PER/I/ 1989 tentang Kewajiban
Menulis Resep dan atau menggunakan Obat
Generik di Rumah sakit Pemerintah.
8. K e p u t u s a n M e n t e r i K e s e h a t a n n o m o r
1009/Menkes/SK/X/1995 tentang Pembentukan
Komite Nasional Farmasi dan Terapi.
9. Keputusan Menteri Kesehatan No.1277/Menkes/SK/
Xl/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kesehatan.
viii
53
Pantau kadar kalium
dan magnesium
dalam plasma.
Gunakan diuretik
hemat kalium.
7
8
9
10
11
12
Bisoprolol
Fumarat
Kaptopril
Kaptopril
Kaptopril
Kaptopril
Cisapride
Nifedipin
Allopurinol
Asetosal
Indometasin
Kalium
Maprotilin
HCI
4
4
dapat
meningkatkan
efek depresi
pernafasan
waktu penggunaan
untuk mengurangi
efek aditif sedatifnya
Efek
farmakologi
kedua obat
dapat meningkat
Pantau fungsi
jantung pada pasien
yang memiliki
kemungkinan efek
samping
kardiovaskular
Meningkatkan
risiko reaksi
hipersensitifitas
bila digunakan
bersama.
2
Bila terjadi reaksi
hipersensitifitas
hentikan
penggunaan obat
secara bersama.
Dapat
Pantau tekanan
menurunkan
darah dan parameter
efek
hemodinamik
antihipertensi
dan vasodilatasi
dari kaptopril
2
Menurunkan
efek hipotensi
dari Kaptopril
4
Meningkatkan
kadar kalium.
Dapat
menyebabkan
hiperkalemia
akut
Berisiko pada
pengobatan
aritmia jantung
juga dapat
meningkatkan
tordases de
pointes
1
52
Pantau tekanan
darah. Hentikan
penggunaan
indometasin atau
gunakan obat
antihipertensi lain
Pantau kadar kalium
dalam darah secara
berkala. Sesuaikan
dosis kalium
DEPARTEMEN KESEHATAN R.I
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN
KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kapling No. 4-9
Jakarta 12950
Telp. : 5201590 (Hunting) PES.2029.5006.5900
Fax. : 52964838 Tromol Pos : 203
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN
PERTAMA :
Membentuk Tim Penyusun Pedoman Pelayanan Farmasi
untuk Pasien Geriatri dengan unsur keanggotaan sebagai
berikut:
Pelindung
: Drs. H. M. Krissna Tirtawidjaja, Apt
Pengarah
: Drs. Abdul Muchid, Apt
Ketua
: Dra. Elly Zardania, Apt, MSi.
Wakil Ketua : Dr.Czeresna Heriawan Soejono, SpPD,
KGer, MEpid.
Sekretaris
: Dra. Rostilawati Rahim, Apt.
Anggota
: DR. Abdullah Ahmad. MARS
Dra. Fatimah Umar, Apt, MM.
Dra. Ratna Nirwani, Apt, MM.
Dra. Yulia Trisna, Apt, MPharm.
Dra. Tita Puspita, Apt, MPharm.
Dra. Nur Ratih Purnama, Apt, MSi.
Drs. Masrul, Apt
Dra. Nurul Istiqomah, Apt
Cisapride
dikontraindikasikan
pada penggunaan
bersama maprotilin
HCL (antidepresan
trisiklik)
Sri Bintang Lestari, SSi, Apt
Sekretariat
: Dra. Farida Adelina
Fitra Budi Astuti, SSi,Apt
Yeni, AMF
ix
LAMPIRAN 4
Daftar Interaksi Obat yang Berpotensi untuk Terjadi
DEPARTEMEN KESEHATAN R.I
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN
KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kapling No. 4-9
Jakarta 12950
KEDUA
:
Telp. : 5201590 (Hunting) PES.2029.5006.5900
Fax. : 52964838 Tromol Pos : 203
No
Obat 1
Obat 2
Level
Efek
Penanganan
1
Allopurinol
Purinetol
1
Efek toksik dan
farmakologi
thiopurin
meningkat
Turunkan dosis
mercaptopurin 25%
dari dosis lazim.
Pantau fungsi
hematologi
2
Aminofilin
Alprazolam
3
Aminofilin
mengantagonis
efek sedatif dari
benzodiazepin
Tidak perlu tindakan
pencegahan khusus.
Sesuaikan dosis
benzodiazepin bila
perlu
3
Amitriptilin
Flukonazol
2
Kadar amitriptilin
meningkat
sehingga efek
terapi dan efek
samping juga
meningkat
Pantau respons
klinik pasien dan
konsentrasi
amitriptilin ketika
flukonazol
dihentikan.
Sesuaikan dosis
amitriptilin jika perlu
4
Asetosal
Glibenklamid
2
Dapat
meningkatkan
efek
hipoglikemia
dari sulfonylurea
5
Asetosal
Warfarin
1
6
Belladona
Amitriptilin
3
Dapat
meningkatkan
aktifitas
antikoagulan.
Dapat
menurunkan
kadar serum
amitriptilin dan
Pantau kadar
glukosa darah.
Turunkan dosis
glibenklamid jika
terjadi hipoglikemia.
Pertimbangkan
untuk menggunakan
obat alternatif lain
seperti parasetamol
atau AINS
Pantau INR.
Sesuaikan dosis
antikoagulan
Tugas-tugas Tim
a. Mengadakan rapat-rapat persiapan dan koordinasi
dengan pihak terkait
b. Menyusun Draft Pedoman Pelayanan Farmasi Untuk
Pasien Geriatri
c. Melaksanakan pembahasan Draft Pedoman Pelayanan
Farmasi Untuk Pasien Geriatri
d. Menyempurnakan draft setelah mendapat masukan
dalam pembahasan
KETIGA
:
Dalam menjalankan tugas-tugasnya Tim dapat
mengundang organisasi profesi atau pihak-pihak lain yang
terkait untuk mendapatkan masukan guna mendapatkan
hasil yang maksimal
KEEMPAT
:
Hal-hal yang belum ditetapkan dalam surat keputusan ini
akan diatur dan ditetapkan kemudian
KELIMA
:
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan
apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan
dalam keputusan ini akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di
Pada tanggal
:
JAKARTA
: 26 April 2004
Drs. H.M. Krissna Tirtawidjaja. Apt.
NIP. 140 073 794
x
51
Sesuaikan dosis
amitriptilin
berdasarkan respon
pasien. Pisahkan
5
6
7
pengobatan PPOK pada
pasien dengan sejarah
NIDDM
Peresepan obat
antikolinergik untuk
mencegah efek
ekstrapiramidal dari obat
antipsikotik
Peresepan jangka
panjang diphenoxilate
untuk pengobatan diare
Peresepan
Cyclobenzaprine atau
methocarbamol untuk
pengobatan kejang otot
Dapat
menyebabkan
agitasi, delirium,
dan gangguan
kognisi
pemantauan
kadar glukosa
darah
Turunkan dosis
obat antipsikotik
atau lakukan
penilaian ulang
kebutuhan akan
obat tersebut
Mengantuk
gangguan kognitif
dan
ketergantungan
Terapi tanpa obat
dan diet atau
berikan
loperamide
Mengantuk,
agitasi, dan
disorientasi.
Terapi tanpa obat
(fisioterapi,
aplikasi panas &
dingin atau TENS
(Transcutaneous
electrical nerve
stimulation)
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .............................................................................................
Sambutan Dirjen Yanfar dan Alkes ...............................................................
Keputusan Dirjen Yanfar dan Alkes ..............................................................
Tim Penyusun ...............................................................................................
Daftar Isi
i
ii
iv
ix
xi
BAB I
1
1
2
2
2
PENDAHULUAN .............................................................................
1.1. Latar Belakang .......................................................................
1.2. Tujuan ....................................................................................
1.3 Sasaran ..................................................................................
1.4 Pengertian ..............................................................................
BAB II KARAKTER PASIEN GERIATRI BERKAITAN DENGAN TERAPI .. 5
OBAT
II.1. Perubahan Farmakokinetika .................................................. 5
II.2. Perubahan Farmakodinamika ................................................ 8
II.3 Masalah Lain Yang Berkaitan Dengan Terapi Obat ............... 10
BAB III PEDOMAN TATALAKSANA PELAYANAN FARMASI UNTUK PASIEN
GERIATRI
III.1 Pedoman Kerja Tim Tenaga Kesehatan ................................
III.2 Pedoman Peresepan .............................................................
III.3 Pedoman Telaah Ulang Regimen Obat .................................
III.4 Pedoman Penyiapan Dan Pemberian Obat ...........................
III.5 Pedoman Pemberian Informasi dan Edukasi ........................
III.6 Pedoman Pemantauan Penggunaaan Obat...........................
15
15
19
21
22
24
26
BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 29
LAMPIRAN
1. Daftar masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat ...............
2. Daftar obat yang penggunaannya memerlukan perhatian khusus.....
3. Daftar terapi obat yang sering menimbulkan risiko pada kasus tertentu
4. Daftar interaksi obat yang berpotensi untuk terjadi ...........................
5. Daftar efek samping obat yang berpotensi untuk terjadi ...................
6. Cara perhitungan penyesuaian dosis obat pada pasien dengan.......
gangguan fungsi ginjal ......................................................................
50
xi
32
32
34
41
52
58
59
1
lebih dari 4 minggu
contoh kandidiosis
usus dan resistensi
serta
pertimbangan costeffectiveness
2
Peresepan antibiotika
pada pasien dengan
kerusakan ginjal dan hati
Risiko dosis
berlebih (bahkan
toksik)
digunakan secara
terus menerus
lebih dari 4
minggu kecuali
bila terdapat
diagnosis khusus
(seperti
osteomyelitis)
Dosis atau
frekuensi
pemberian
antibiotika perlu
disesuaikan
G. Peresepan pada kasus lainnya
No.
1
Peresepan Obat dalam
Praktik
Peresepan simetidin
untuk pengobatan tukak
lambung pada pasien
yang sedang
menggunakan warfarin
Risiko bagi Pasien
Alternatif Terapi
Dapat
menghambat
metabolisme
warfarin dan
meningkatkan
risiko perdarahan
Antagonis
reseptor Histamin
(H2) lainnya
2. Peresepan obat
antikolinergik atau obat
antispasmodik untuk
pengobatan sindrom
iritasi lambung (irritable
bowel syndrome) pada
pasien dengan demensia
Dapat
memperburuk
fungsi kognitif dan
tingkah laku
Terapi tanpa obat
dan diet, calsium
channel blocker
untuk
pengobatan diare
3. Peresepan dipridamol
untuk mencegah stroke
Tidak efektif
Asetosal,
Tiklopidin
4
Dapat
memperburuk
NIDDM
Steroid inhalasi
dan bronkodilator
dengan
Peresepan jangka
panjang pemberian
steroid oral untuk
49
baik
dibandingkan
dengan kerja
singkat.
Pemakaian βagonis oral masih
dapat diberikan
bila didapat
kesulitan dalam
pemakaian
secara inhalasi.
Sediaan lepas
lambat
salbutamol lebih
dipilih karena
efek sampingnya
lebih minimal
2
E.
No.
1
Peresepan antikolinergik
ipratropium bromide dan
oxitropium brobide
inhalasi yang merupakan
antagonis muskarinik non
selektif
Kerjanya tidak
selektif dan lama
kerjanya pendek,
sehingga efek
bronkodilatasinya
kurang efekrif
Bronkodilator
golongan
antikolinergik
yang ideal saat ini
adalah tiotropium
bromide yang
bersifat lebih
selektif, aktifitas
kerjanya lama,
dengan potensi
yang 10 kali lebih
kuat daripada
ipratropium
bromide.
Pesesepan Antibiotika
Peresepan Obat dalam
Risiko bagi Pasien
Praktik
Peresepan antibiotika oral Risioko efek yang
secara terus menerus
tidak diharapkan,
48
Alternatif Terapi
Antibiotika oral
sebaiknya tidak
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Warga usia lanjut yang tercantum dalam Undang-Undang no. 13/1998
tentang Kesejahteraan Usia lanjut adalah seseorang yang telah
mencapai usia 60 tahun atau lebih.
Pada usia 60 tahun ke atas terjadi proses penuaan yang bersifat
universal berupa kemunduran dari fungsi biosel, jaringan, organ,
bersifat progesif, perubahan secara bertahap, akumulatif, dan intrinsik.
Proses penuaan mengakibatkan terjadinya perubahan pada berbagai
organ di dalam tubuh seperti sistem gastrointestinal, sistem
genitourinaria, sistem endokrin, sistem immunologis, sistem
serebrovaskular, sistem saraf pusat dan sebagainya.
Dengan bertambahnya usia maka tidak dapat dihindari terjadinya
perubahan kondisi fisik baik berupa berkurangnya kekuatan fisik yang
menyebabkan individu menjadi cepat lelah maupun menurunnya
kecepatan reaksi yang mengakibatkan gerak-geriknya menjadi lamban.
Selain itu timbulnya penyakit yang biasanya juga tidak hanya satu
macam tetapi multipel, menyebabkan usia lanjut memerlukan bantuan,
perawatan dan obat-obatan untuk proses penyembuhan atau sekadar
mempertahankan agar penyakitnya tidak bertambah parah.
Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda
dari pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh
yang disebabkan oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan
obat-obatan yang digunakan sebelumnya.
Keputusan terapi untuk pasien usia lanjut harus didasarkan pada
hasil uji klinik yang secara khusus didesain untuk pasien usia lanjut.
1
Pasien usia lanjut memerlukan pelayanan farmasi yang berbeda dari
pasien usia muda. Penyakit yang beragam dan kerumitan rejimen
pengobatan adalah hal yang sering terjadi pada pasien usia lanjut.
Faktor-faktor inilah yang menyebabkan pasien mengalami kesulitan
dalam mematuhi proses pengobatan mereka sendiri seperti
menggunakan obat dengan indikasi yang salah, menggunakan obat
dengan dosis yang tidak tepat atau menghentikan penggunaan obat.
D.
No.
1
Peresepan pada Kasus Diabetes
Peresepan Obat dalam
Praktik
Peresepan Klorpropamid
untuk pengobatan
NIDDM
Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas maka peran profesi apoteker
perlu diubah paradigmanya dari daug oriented menjadi patient oriented
yang dikenal dengan istilah Pharmaceutical Care yang merupakan
tanggung jawab profesi apoteker dalam hal farmakoterapi dengan
tujuan meningkatnya kualitas hidup pasien.
1.2 Tujuan
Tujuan umum
Tersedianya Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat)
dalam penanganan pasien geriatri secara paripurna melalui tim
terpadu.
Tujuan khusus
- Memandu apoteker dalam melakukan kegiatan pharmaceutical
care.
- Memandu dokter dalam memberikan terapi obat yang sesuai
Acute Confusional State (= sindroma delirium) adalah gangguan
kognitif global yang disertai dengan perubahan kesadaran, siklus
tidur dan aktivitas psikomotor yang terjadi akut dan fluktuatif.
2
Dapat
menyebabkan
Syndrome of
Inappropriate
Antidiuretic
Hormone secretion
(SIADH);
hiponatremia dapat
terjadi.
Klorpropamid juga
mempunyai waktu
paruh lebih dari 24
jam menyebabkan
hipoglikemia
Gunakan obat
hipoglikemik oral
dengan waktu
paruh pendek.
Penggunaan
generasi kedua
sulfonilurea
(gliburid, glipizid)
untuk NIDDM
telah
menggantikan
penggunaan obat
generasi
pertama.
Peresepan Mefformin
pada pasien dengan
kerusakan ginjal atau hati
Dapat
menyebabkan
lactic acidosis dan
mungkin berakibat
fatal
Gunakan dengan
perhatian khusus,
kurangi dosis.
Hindari pada
gagal ginjal yang
parah.
3
Peresepan glitazone
untuk pengobatan
diabetes
Dapat
menyebabkan
akumulasi cairan
yang berlebihan
Hentikan
penggunaan obat
tersebut.
E.
Pesesepan pada PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
No.
1.4 Pengertian
Alternatif Terapi
2
1.3 Sasaran
Apoteker dan dokter yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan
Risiko bagi Pasien
1
Peresepan Obat dalam
Praktik
Peresepan bronkodilator
β-agonis kerja pendek
secara oral pada pasien
dengan PPOK stabil
Risiko bagi Pasien
Mula kerja (onset)
lebih lambat dan
efek samping lebih
banyak
47
Alternatif Terapi
Penggunaan
inhalasi βagonis kerja
panjang lebih
6
7
8
9
Peresepan AINS untuk
pengobatan osteoarthritis
pada pasien yang sedang
menggunakan warfarin
Peresepan jangka
panjang AINS untuk
pengobatan osteoarthritis
pada pasien dengan
sejarah gagal jantung
Peresepan jangka
panjang piroksikam,
ketorolac, atau asam
mefenamat untuk
pengobatan nyeri
Peresepan jangka
panjang AINS untuk
pasien dengan sejarah
hipertensi
10 Peresepan jangka
panjang indometasin
untuk pengobatan gout
11 Peresepan jangka
panjang AINS untuk
pengobatan osteoarthritis
Dapat
meningkatkan
risiko perdarahan
Dapat
menyebabkan
retensi garam dan
air, dapat
memperburuk
gagal jantung
Risiko perdarahan
lebih besar pada
saluran
pencernaan atas
yang dihubungkan
dengan
penggunaan AINS
lain.
Dapat
menyebabkan
retensi garam dan
air, dan
memperburuk
hipertensi
Dapat
menyebabkan
gastropathy, efek
samping
neurologik dan
retensi garam dan
air
Dapat
menyebabkan
gastropathy,
perdarahan, serta
retensi garam dan
air
46
Terapi tanpa obat
atau parasetamol
atau AINS
dengan obat
gastroprotektif
Terapi tanpa obat
atau parasetamol
atau Pemantauan
ketat pada gagal
jantung
Terapi tanpa obat
atau
parasetamol:
ganti dengan
AINS berbeda
atau ganti
dengan kodein
Terapi tanpa obat,
parasetamol;
atau asetosal
atau pemantauan
ketat tekanan
darah
Allopurinol atau
AINS dosis
intermittent
sesuai kebutuhan
Parasetamol
Bioavailability (= ketersediaan hayati) adalah jumlah obat dalam
persen terhadap dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk
utuh/aktif.
Clearance (= bersihan) adalah volume darah yang di bersihkan dari
suatu zat persatuan waktu oleh hati, ginjal, atau tubuh secara
keseluruhan
Drug induced delirium adalah delirium yang dapat disebabkan oleh
obat.
Farmakokinetik obat adalah aspek kinetika yang mencakup nasib
obat dalam darah yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.
Farmakodinamik obat adalah aspek efek obat terhadap berbagai
organ tubuh dan mekanisme kerjanya.
First-pass metabolism (= metabolisme lintas pertama) adalah
obat yang sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus
pada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya
melalui organ-organ tersebut.
High first-pass effect adalah meningkatnya dosis yang masuk ke
sirkulasi akibat destruksi obat berkurang pada penyerapan awal.
llmu Geriatri adalah ilmu yang mempelajari pengelolaan pasien
berusia lanjut dengan beberapa karakteristik (multipatologi, daya
cadangan faali menurun, tampilan tak khas, penurunan status
fungsional dan gangguan nutrisi).
Metabolic Clearance adalah metabolisme volume darah yang
dibersihkan dari suatu zat persatuan waktu oleh hati, ginjal, atau
tubuh secara keseluruhan
Pasien/penderita adalah orang sakit/orang yang menjalani
pengobatan untuk kesembuhan penyakitnya
3
Pelayanan Kefarmasian Pharmaceutical Care adalah bentuk
pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam
pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pemantauan Penggunaan Obat adalah proses kegiatan yang
dilakukan oleh apoteker setelah obat diberikan kepada pasien untuk
mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan
obat, melakukan pencegahan terhadap masalah yang berpotensi
untuk terjadi atau mengatasi masalah yang telah terjadi.
Pemberian Informasi dan Edukasi adalah kegiatan yang dilakukan
oleh apoteker dalam rangka memberikan penjelasan dan edukasi
kepada pasien dan keluarga tentang hal-hal yang berkaitan dengan
penggunaan obat, dimana kegiatan ini berlangsung melalui tatap
muka dan bersifat interaktif.
Penyiapan dan Pemberian Obat adalah proses kegiatan yang
dilakukan oleh tenaga farmasi mulai dari penerimaan resep/instruksi
pengobatan sampai dengan obat siap untuk diberikan kepada pasien.
Telaah Ulang Rejimen Obat adalah suatu proses kegiatan yang
dilakukan oleh apoteker sebelum obat disiapkan atau sesudahnya
untuk menilai kesesuaian terapi obat dengan indikasi kliniknya,
mengevaluasi kepatuhan pasien, mengidentifikasi kemungkinan
adanya efek yang merugikan akibat penggunaan obat, serta
memberikan rekomendasi penyelesaian masalah.
C
Peresepan pada Penggunaan obat Anti-Inflamasi Non Steroid
(AINS) dan Analgesik lainnya
No.
Peresepan Obat dalam
Praktik
Risiko bagi Pasien
Alternatif Terapi
1
Peresepan jangka
panjang obat AINS untuk
pengobatan osteoarthritis
pada pasien dengan
sejarah tukak lambung
Dapat
menyebabkan
kambuhnya tukak
lambung
Terapi tanpa obat
atau parasetamol
atau AINS
dengan obat
gastroprotektif
2
Peresepan fenilbutazon
untuk pengobatan
osteoarthritis kronis
Dapat
menyebabkan
depresi sumsum
tulang (bonemarrow
depression)
Parasetamol atau
dosis intermittent
AINS kelas
lainnya
3
Peresepan asetosal
untuk pengobatan nyeri
pada pasien yang sedang
menggunakan warfarin
Dapat
menyebabkan
risiko perdarahan
Parasetamol
4
Peresepan jangka
panjang dari meperidin
atau pentazocin untuk
nyeri
Dapat
menyebabkan
jatuh, fraktur,
sindrom delirium,
ketergantungan
dan withdrawal
5
Peresepan jangka
panjang AINS untuk
pengobatan osteoarthritis
pada pasien dengan
gagal ginjal kronik
Dapat
memperburuk
gagal ginjal, dapat
menyebabkan
retensi garam dan
air
Langkah awal
dengan terapi
tanpa obat,
kemudian
parasetamol,
kemudian kodein,
morfin, atau
hydromorphon
jika diperlukan.
Terapi tanpa obat,
kemudian
parasetamol
Terapi obat adalah usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang
sedang sakit dengan menggunakan obat-obatan.
Usia lanjut adalah seorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke
atas
4
45
6
Peresepan jangka
panjang benzodiazepin
waktu paruh panjang
untuk pengobatan agitasi
pada demensia
Dapat
menyebabkan
jatuh, fraktur,
sindrom delirium,
ketergantungan
dan withdrawal
Lozapine atau
haloperidol,
risperidon
7. Peresepan antidepresan
trisiklik untuk pengobatan
depresi pada pasien
dengan sejarah hipotensi
postural
Dapat
memperburuk
hipotensi postural,
dan menyebabkan
jatuh
SSRI, dengan
pemantauan
tekanan darah
8
Dapat
menyebabkan
abnormalitas
kognitif dan tingkah
laku
Terapi tanpa obat
atau dosis rendah
benzodiazepin
waktu paruh
pendek
9. Peresepan klorpromazin
untuk pengobatan
psikosis pada pasien
dengan sejarah hipotensi
postural
Dapat
memperburuk
hipotensi postural,
dan menyebabkan
jatuh
High-potency
neuroleptic
seperti
haloperidol,
dengan
pemantauan
tekanan darah.
10. Peresepan antidepresan
trisiklik metabolit aktif
(seperti : imipramin atau
amitriptyline) untuk
pengobatan depresi
Dapat
menyebabkan efek
samping
antikolinergik
SSRI
Peresepan jangka
panjang triazolam untuk
pengobatan insomnia
44
BAB II
KARAKTERISTIK PASIEN GERIATRI
BERKAITAN DENGAN TERAPI OBAT
Farmakokinetika dan farmakodinamika pada pasien geriatri akan berbeda
dari pasien muda karena beberapa hal, yakni terutama akibat perubahan
komposisi tubuh, perubahan faal hati terkait metabolisme obat, perubahan
faal ginjal terkait ekskresi obat serta kondisi multipatologi. Selain itu,
perubahan status mental dan faal kognitif juga turut berperan dalam
pencapaian hasil pengobatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek
psikososial juga akan mempengaruhi penerimaan pasien dalam terapi
medikamentosa.
11.1. PERUBAHAN FARMAKOKINETIKA
Oral bioavailability
Sejak 60 tahun yang lalu Vanzant dkk (1932) telah melaporkan
terjadinya aklorhidria (berkurangnya produksi asam lambung)
dengan bertambahnya usia seseorang. Aklorhidria terdapat pada
20-25% dari mereka yang berusia 80 tahun dibandingkan dengan
5% pada mereka yang berusia 30 tahun-an. Maka obat-obat yang
absorbsinya di lambung dipengaruhi oleh keasaman lambung akan
terpengaruh seperti: ketokonazol, flukonazol, indometasin, tetrasiklin
dan siprofloksasin.
Akhir-akhir ini dibicarakan pengaruh enzim gut-associated cytochrom
P-450. Aktivitas enzim ini dapat mempengaruhi bioavailability obat
yang masuk per oral. Beberapa obat mengalami destruksi saat
penyerapan dan metabolisme awal di hepar (first-pass metabolism
di hepar); obat-obat ini lebih sensitif terhadap perubahan bioavailability
akibat proses menua. Sebagai contoh, sebuah obat yang akibat
aktivitas enzim tersebut mengalami destruksi sebanyak 95 % pada
first-pass metabolism, sehingga yang masuk ke sirkulasi tinggal 5
%; jika karena proses menua destruksi obat mengalami penurunan
(hanya 90 %) maka yang tersisa menjadi 10% dan sejumlah tersebut
yang masuk ke sirkulasi. Jadi akibat penurunan aktivitas enzim
5
tersebut maka destruksi obat berkurang dan dosis yang masuk ke
sirkulasi meningkat dua kali lipat. Obat dengan farmakokinetik
seperti kondisi tersebut di atas disebut sebagai obat dengan high
first-pass effect; contohnya nifedipin dan verapamil.
2
Peresepan antidepresan
trisiklik untuk pengobatan
depresi pada pasien
dengan sejarah
glaukoma, BPH atau
heart block
Dapat
memperburuk
glaucoma,
menyebabkan
retensi urin pada
pasien dengan
BPH, atau
memperparah
heart block. Dapat
menyebabkan
hipotensi ortostatik
SSRI
3
Peresepan barbiturat
jangka panjang untuk
pengobatan insomnia
Dapat
menyebabkan
jatuh, fraktur,
sindrom delirium,
ketergantungan
dan withdrawal
Terapi tanpa obat
atau dosis rendah
benzodiazepin
waktu paruh
pendek
4
Peresepan SSRI pada
pasien yang sedang
mendapatkan suatu MAO
inhibitor untuk
pengobatan depresi
Dapat
memperberat efek
yang tidak
diharapkan dari
SSRI
Hindari
kombinasi,
pastikan telah
melewati washout period paling
tidak 7 hari jika
dilakukan
penggantian dari
MAO inhibitor ke
SSRI
5
Peresepan jangka
panjang benzodiazepin
dengan waktu paruh
panjang untuk
pengobatan kecemasan
Dapat
menyebabkan
jatuh, fraktur,
sindrom delirium,
ketergantungan
dan withdrawal
Terapi tanpa obat
atau obat lain
tergantung
penyebab
kecemasan.
Distribusi obat (pengaruh perubahan komposisi tubuh & faal
organ akibat penuaan)
Sesuai pertambahan usia maka akan terjadi perubahan komposisi
tubuh. Komposisi tubuh manusia sebagian besar dapat digolongkan
kepada komposisi cairan tubuh dan lemak tubuh. Pada usia bayi,
komposisi cairan tubuh tentu masih sangat dominan; ketika beranjak
besar maka cairan tubuh mulai berkurang dan digantikan dengan
massa otot yang sebenarnya sebagian besar juga berisi cairan.
Saat seseorang beranjak dari dewasa ke usia lebih tua maka jumlah
cairan tubuh akan berkurang akibat berkurangnya pula massa otot.
Sebaliknya, pada usia lanjut akan terjadi peningkatan komposisi
lemak tubuh. Persentase lemak pada usia dewasa muda sekitar
8-20% (laki-laki) dan 33% pada perempuan; di usia lanjut meningkat
menjadi 33% pada laki-laki dan 40-50% pada perempuan. Keadaan
tersebut akan sangat mempengaruhi distribusi obat di dalam plasma.
Distribusi obat larut lemak (lipofilik) akan meningkat dan distribusi
obat larut air (hidrofilik) akan menurun. Konsentrasi obat hidrofilik
di plasma akan meningkat karena jumlah cairan tubuh menurun.
Dosis obat hidrofilik mungkin harus diturunkan sedangkan interval
waktu pemberian obat lipofilik mungkin harus dijarangkan.
Kadar albumin dan α1-acid glycoprotein juga dapat mempengaruhi
distribusi obat dalam tubuh. Hipoalbuminemia sesungguhnya tidak
semata-mata disebabkan oleh proses menjadi tua namun juga
dapat disebabkan oleh penyakit yang diderita. Tinggi rendahnya
kadar albumin terutama berpengaruh pada obat-obat yang afinitasnya
terhadap albumin memang cukup kuat seperti naproxen. Kadar
naproxen bebas dalam plasma sangat dipengaruhi oleh afinitasnya
pada albumin. Pada kadar albumin normal maka kadar obat bebas
juga normal; pada kadar albumin yang rendah maka kadar obat
bebas akan sangat meningkat sehingga bahaya efek samping lebih
besar.
6
43
5
Peresepan Diuretik
tiazida untuk hipertensi
pada pasien dengan
sejarah gout
Dapat
memperberat/
memperburuk gout
6
Peresepan Calsium
Channel Blocker untuk
hipertensi pada pasien
dengan sejarah gagal
jantung
Dapat
memperburuk
gagal jantung
Diuretik atau ACE
Inhibitor atau
keduanya
7
Peresepan penghambat
β-adrenergik untuk
hipertensi pada pasien
dengan sejarah gagal
jantung
Dapat
memperburuk
gagal jantung
Diuretik atau ACE
Inhibitor.
Penghambat βadrenergik
dengan dosis
lebih rendah serta
pantau efeknya
8
Peresepan jangka
panjang penghambat βadrenergik untuk angina
atau hipertensi pada
pasien dengan sejarah
penyakit Raynaud
Dapat
memperburuk
penyakit Raynaud
Calsium Channel
Blocker
B.
Peresepan pada Penggunaan Obat Psikotropik
No.
1
Peresepan Obat
dalam Praktik
Peresepan jangka
panjang benzodiazepin
dengan waktu paruh
panjang untuk
pengobatan insomnia
Obat
antihipertensi
lainnya
Metabolic Clearance
Faal hepar
Massa hepar berkurang setelah seseorang berumur 50 tahun; aliran
darah ke hepar juga berkurang. Secara umum metabolisme obat
di hepar (biotransformasi) terjadi di retikulum endoplasmik hepatosit,
yaitu dengan bantuan enzim mikrosom. Biotransformasi biasanya
mengakibatkan molekul obat menjadi lebih polar sehingga kurang
larut dalam lemak dan mudah dikeluarkan melalui ginjal. Reaksi
kimia yang terjadi dibagi dua yaitu reaksi oksidatif (fase 1) dan
reaksi konyugasi (fase 2). Reaksi fase satu dapat berupa oksidasi,
reduksi maupun hidrolisis; obat menjadi kurang aktif atau menjadi
tidak aktif sama sekali. Reaksi fase 1 (melalui sistem sitokhrom P450, tidak memerlukan energi) biasanya terganggu dengan
bertambahnya umur seseorang. Reaksi fase dua berupa konyugasi
molekul obat dengan gugus glukuronid, asetil atau sulfat; memerlukan
energi dari ATP; metabolit menjadi inaktif. Reaksi fase 2 ini tidak
mengalami perubahan dengan bertambahnya usia.
Reaksi oksidatif dipengaruhi pula oleh beberapa hal seperti: merokok,
indeks ADL's (= Activities of Daily Living) Barthel serta berat
ringannya penyakit yang diderita pasien geriatri. Keadaan-keadaan
tersebut dapat mengakibatkan kecepatan biotransformasi obat
berkurang dengan kemungkinan terjadinya peningkatan efek toksik
obat.
Faal ginjal
Risiko bagi
Pasien
Alternatif Terapi
Dapat menyebabkan jatuh, fraktur,
sindrom delirium,
ketergantungan
dan withdrawal
Terapi tanpa obat
atau
benzodiazepin
dengan waktu
paruh pendek
Fungsi ginjal akan mengalami penurunan sejalan dengan
pertambahan umur. Kalkulasi fungsi ginjal dengan menggunakan
kadar kreatinin plasma tidak tepat sehingga sebaiknya menggunakan
rumus Cockroft-Gault,
CCT = (140-umur) x BB (kg)
––––––––––––––––
72 x [kreatinin]plasma
dikali 0,85 untuk pasien perempuan.
42
7
(dalam ml/menit)
GFR dapat diperhitungkan dengan mengukur kreatinin urin 24 jam;
dibandingkan dengan kreatinin plasma. Dengan menurunnya GFR
pada usia lanjut maka diperlukan penyesuaian dosis obat; sama
dengan pada usia dewasa muda yang dengan gangguan faal ginjal.
Penyesuaian dosis tersebut memang tak ada patokannya yang
sesuai dengan usia tertentu; namun pada beberapa penelitian
dipengaruhi antara lain oleh skor ADL’s Barthel. Pemberian obat
pada pasien geriatri tanpa memperhitungkan faal ginjal sebagai
organ yang akan mengekskresikan sisa obat akan berdampak pada
kemungkinan terjadinya akumulasi obat yang pada gilirannya bisa
menimbulkan efek toksik.
LAMPIRAN 3
Daftar Terapi Obat yang Sering Menimbulkan Risiko pada
Kasus Tertentu
A.
No.
contoh: antipyrine, distribusi plasma menurun, clearance juga
menurun sehingga hasil akhir T 1/2 tidak berubah. Sebaliknya pada
obat flurazepam, terdapat sedikit peningkatan volume distribusi dan
sedikit penurunan clearance maka hasil akhirnya adalah
meningkatnya waktu paruh yang cukup besar.
II.2.
Peresepan Obat
dalam Praktik
8
Alternatif Terapi
Peresepan obat
penghambat
β-adrenergik untuk
hipertensi pada pasien
dengan sejarah asma
atau PPOK
Dapat
memperburuk
penyakit
pernafasan
Kelas lain dari
obat
antihipertensi
2
Peresepan obat
penghambat βadrenergik untuk angina
pada pasien dengan
sejarah asma atau PPOK
atau gagal jantung
Dapat
memperburuk
penyakit
pernafasan, atau
gagal jantung
Nitrat atau
Calsium Channel
Blocker
3
Peresapan Reserpin
untuk pengobatan
hipertensi
Dosis tinggi dapat Obat
menyebabkan
antihipentensi lain
depresi dan efek
ekstrapiramidal.
Dosis rendah
sudah dapat
menimbulkan
hipotensi ortostatik.
4
Peresapan Disopyramid
untuk pengobatan atrial
fibrilasi
Dapat
Digoksin,
menyebabkan efek Kuinidin,
samping
Prokainamid
antikolinergik dan
kematian akibat
serangan jantung
mendadak.
PERUBAHAN FARMAKODINAMIKA
Sensitivitas jaringan terhadap obat juga mengalami perubahan
sesuai pertambahan umur seseorang. Mempelajari perubahan
farmakodinamik usia lanjut lebih kompleks dibanding
farmakokinetiknya karena efek obat pada seseorang pasien sulit
di kuantifikasi; di samping itu bukti bahwa perubahan farmakodinamik
itu memang harus ada dalam keadaan bebas pengaruh efek
perubahan farmakokinetik. Perubahan farmakodinamik dipengaruhi
oleh degenerasi reseptor obat di jaringan yang mengakibatkan
kualitas reseptor berubah atau jumlah reseptornya berkurang.
Risiko bagi
Pasien
1
Patokan penyesuaian dosis juga dapat diperoleh dari informasi
tentang waktu paruh obat.
T 1/2 = 0,693 x volume distribusi
––––––––––––––
clearance
PERESEPAN PADA KASUS PENYAKIT KARDIOVASKULER
41
6
Disopyramide Antimuskarinik kuat
dan efek inotropik
negatif
JIka mungkin gunakan
obat antiaritmia lain.
Gunakan dengan dosis
yang diturunkan
7
Teofilin
Indeks terapi sempit, risiko
toksisitas meningkat
karena perubahan
farmakokinetik dan
bersihan menurun pada
gagal jantung. Secara
umum tidak
dipertimbangkan sebagai
terapi pilihan pertama.βagonis inhalasi / dan
kortikosteroid inhalasi lebih
dianjurkan.
8
9
Pentoksifilin
Warfarin
Sindrom delirium,
mual, aritmia
Hipotensi, pusing,
muka kemerahan.
Dapat mempotensiasi
efek antihipertensi.
Respon antikoagulan
meningkat dan risiko
perdarahan. Adanya
interaksi obat
40
Efikasi terbatas pada
penyakit pembuluh darah
tepi. Diragukan
kemanjurannya pada
panyakit pembuluh darah
jantung (cerebrovascular).
Pantau tekanan darah.
Mulai dengan dosis yang
lebih rendah. Pantau INR
secara teratur. Hindari
penggunaan bersama
dengan obat yang
berinteraksi secara
bermakna dengan warfarin
Berikut ini disampaikan beberapa contoh obat yang sering digunakan
pada usia lanjut dengan beberapa pertimbangan sesuai respons
yang bisa berbeda:
Warfarin: perubahan farmakokinetik tak ada, maka perubahan
respon yang ada adalah akibat perubahan farmakodinamik.
Sensitivitas yang meningkat adalah akibat berkurangnya sintesis
faktor-faktor pembekuan pada usia lanjut.
Nitrazepam: perubahan respons juga terjadi tanpa perubahan
farmakokinetik yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia
lanjut sensitivitas terhadap nitrazepam memang meningkat. Lebih
lanjut data menunjukkan bahwa pemberian diazepam intravena
pada pasien usia lanjut memerlukan dosis yang lebih kecil
dibandingkan pasien dewasa muda, selain itu efek sedasi yang
diperoleh memang lebih kuat dibandingkan pada usia dewasa
muda.
Triazolam: pemberian obat ini pada warga usia lanjut dapat
mengakibatkan postural sway-nya bertambah besar secara signifikan
dibandingkan dewasa muda.
Sensitivitas obat yang berkurang pada usia lanjut juga terlihat pada
pemakaian obat propranolol. Penurunan frekuensi denyut nadi
setelah pemberian propranolol pada usia 50-65 tahun ternyata lebih
rendah dibandingkan mereka yang berusia 25-30 tahun. Efek
tersebut adalah pada reseptor β1; efek pada reseptor β2 yakni
penglepasan insulin dan vasodilatasi akibat pemberian isoprenalin
tidak terlihat.
Perubahan sensitivitas menunjukkan bahwa terdapat perubahan
pada pasca-reseptor intraselular.
9
II.3.
Selective Serotonin
Reuptake inhibitors (SSRI)
secara umum lebih
dianjurkan karena
ditoleransi lebih baik, tetapi
lebih mahal.
KARAKTERISTIK LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TERAPI
OBAT
Selain jenis penyakit yang berbeda, pada kelompok pasien berusia
lanjut juga terjadi apa yang disebut sebagai multipatologi; satu
pasien menderita beberapa penyakit. Keadaan ini bisa lazim terjadi
pada kelompok populasi pasien berusia lanjut mengingat pada
perjalanan hidup mereka bisa menderita suatu penyakit yang akan
cenderung menahun, dan disusul oleh penyakit lain yang juga
cenderung menahun akibat pertambahan usia, demikian seterusnya.
Di tengah perjalanannya bukan tidak mungkin seorang pasien
mengalami kondisi akut seperti pneumonia atau infeksi saluran
kemih yang mengakibatkan ia harus dirawat. Kondisi akut yang
terjadi pada seseorang dengan berbagai penyakit kronik degeneratif
acap kali menambah daftar obat yang harus dikonsumsi pasien.
Pada beberapa situasi memang jumlah obat yang diberikan kepada
pasien bisa lebih dari dua macam, lebih dari tiga macam, atau
bahkan lebih dari empat macam. Hal ini terkait dengan multipatologi
yang merupakan salah satu karakteristik pasien geriatri. Namun
demikian tetap harus diingat bahwa semakin banyak obat yang
diberikan maka semakin besar pula risiko untuk terjadinya efek
samping; dan yang lebih berbahaya lagi adalah bertambah pula
kemungkinan terjadinya interaksi di antara obat-obat tersebut.
Faktor lain yang dapat dikemukakan di sini adalah bahwa masih
terdapat banyak kecenderungan untuk secepat mungkin mengatasi
semua gejala, yang sayangnya tanpa sengaja mungkin telah
melanggar prinsip cost effectiveness. Keadaan multipatologi di atas
sebenarnya tidak boleh diidentikkan dengan multifarmasi atau yang
lebih lazim dikenal dengan istilah polifarmasi.
I.
LAIN - LAIN
1
Antihistamin
(difenhidramin,
klorfeniramin,
prometazin)
2. Antispasmodik
(seperti :
dicyclomine,
prophanteline,
alkaloid
belladonna)
Efek antikolinergik
Gunakan dosis terkecil dan
(pandangan kabur,
durasi terpendek yang
retensi urin, konstipasi, masih mungkin.
sindrom delirium)
sedasi.
Efek antikolinergik
(pandangan kabur,
retensi urin, konstipasi,
sindrom delirium)
sedasi.
Risiko efek samping
seringkali lebih besar
dengan manfaat yang
minimal. Hindari
pemakaian jangka panjang
3
Kortikosteroid Hiperglikemia,
(sistematik)
osteoporosis, tukak
lambung, depresi,
atropi kulit, luka lama
sembuh, sindrom
delirium.
Gunakan dosis terkecil dan
durasi terpendek yang
masih mungkin. Lebih
dianjurkan steroid inhalasi
untuk penyakit pernafasan.
4
Simetidin
Sindrom delirium,
gynaecomastia,
interaksi obat yang
bermakna
Lebih dianjurkan
penggunaan penghambat
pompa proton (proton
pump inhibitor)
5
Digoksin
Sindrom delirium,
bradikardi, aritmia,
mual
Gunakan dosis lebih
rendah. Pantau kadar obat
dalam darah jika tersedia.
Hindari keadaan
hipokalemia. Bukan terapi
pilihan pertama untuk
gagal jantung (ACE
Inhibitor lebih dianjurkan)
istilah polifarmasi sendiri sebenarnya masih diartikan secara beragam
oleh beberapa ahli. Beberapa definisi antara lain:
10
39
2
Benzodiazepi
n (Seperti
diazepam,
oksazepam,
temazepam,
nitrazepam)
Sindrom delirium,
mengantuk, gangguan
ingatan, jatuh,
ketergantungan
Secara umum tidak
direkomendasikan karena
waktu paruh yang panjang
dan toksisitasnya. Tersedia
obat yang lebih aman
untuk insomnia.
Coba dengan langkah
tanpa obat untuk insomnia
dan kecemasan. Hindari
obat dengan waktu paruh
panjang (diazepam,
flunitrazepam,
klordiazepoksid,
nitrazepam)
3
Phenothiazine
(seperti :
Klorpromazin,
thioridazin,
proklorperazin)
Sindrom delirium,
mengantuk, efek
antikolinergik, efek
ekstrapiramidal,
tardive dyskinesia,
akathisia
Yakinkan adanya indikasi
yang sesuai.
Gunakan dosis terendah
yang masih mungkin,
hindari penggunaan
jangka panjang jika
memungkinkan.
4
Butirofenon
(seperti
haloperidol)
Sindrom delirium,
mengantuk, efek
ekstrapiramidal,
tardive dyskinesia,
akathisia
Yakinkan adanya indikasi
yang sesuai.
Gunakan dosis terendah
yang masih mungkin,
hindari penggunaan
jangka panjang jika
memungkinkan.
5
Antidepresan
trisiklik
(seperti :
amitriptilin,
imipramin,
doxepine,
dethiepin)
Efek entikolinergik,
hipotensi, jatuh.
Jangan diberikan
antidepresan trisiklik, mulai
dengan dosis rendah dan
secara perlahan
ditingkatkan. Berikan
sebagai dosis tunggal
pada malam hari.
38
1) meresepkan obat melebihi indikasi klinik; 2) pengobatan yang
mencakup setidaknya satu obat yang tidak perlu; 3) penggunaan
empiris lima obat atau lebih (Michocki,2001). Apapun definisi yang
digunakan, yang pasti adalah polifarmasi mengandung risiko yang
lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang dapat dipetik
sehingga sedapat mungkin dihindari (Barenbeim,2002).
Beberapa data dapat dikemukakan di sini: Linjakumpu (2002)
mendapatkan dari dua survey sepanjang tahun 1990-1991 dan
1998-1999 bahwa terjadi peningkatan persentase pasien dengan
polifarmasi yaitu dari 19% menjadi 25% (p=0.006). Jumlah obat
yang dikonsumsi juga meningkat dari 3 obat menjadi 4 obat
(p=0,0001); obat tersering digunakan adalah obat kardio-vaskuler,
terutama pada kelompok berusia 85 tahun ke atas, khususnya
perempuan. Penelitian lain (Hohl, 2001) mendapatkan bahwa dari
283 kasus (terpilih secara acak) gawat darurat pada pasien berusia
lanjut ternyata saat itu menggunakan rata-rata lebih dari 4 obat.
Efek samping obat merupakan 10,6% dari seluruh penyebab
datangnya pasien ke unit gawat darurat tersebut. Lima puluh
persennya setidaknya meminum satu obat yang potensial
menimbulkan efek samping membahayakan. Jenis obat tersering
digunakan (yang mengakibatkan efek samping) adalah NSAID,
antibiotik, antikoagulan, diuretik, obat hipoglikemik dan
penyekat beta.
Di Poliklinik Geriatri Departemen llmu Penyakit Dalam RS Dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM), tercatat sebanyak 32,3% pasien
menggunakan lebih dari lima obat pada tahun 1999; di tahun
berikutnya, terdapat 21,8% pasien dengan polifarmasi, dan pada
tahun 2001 turun menjadi 15,6%.
Masalah yang dapat timbul akibat pemberian obat pada pasien
geriatri adalah sindroma delirium atau acute confusional state. Tune
(1999) menyebutkan bahwa drug induced delirium adalah penyebab
tersering dari sindroma ini yang mekanismenya:1) akibat perubahan
metabolisme obat terkait usia; 2) polifarmasi; 3) interaksi beberapa
obat; 4) kekacauan pengobatan karena pasien sulit mengingat; 5)
penurunan produksi dan turnover neurotransmiter terkait usia.
11
Disebutkan pula bahwa efek kumulatif obat antikolinergik paling
sering menimbulkan sindroma delirium; seperti diketahui bahwa
neurotransmisi kolinergik memang menurun sejalan dengan
penambahan umur seseorang. Ternyata, beberapa obat yang
sebenarnya bukan tergolong antikolinergik namun jika diberikan
pada usia lanjut akan memberikan efek antimuskarinik; beberapa
diantaranya adalah simetidin, ranitidin, prednisolon, teofilin,
digoksin, lanoksin, furosemid, isosorbid-dinitrat dan nifedipin.
Semakin banyak obat yang diberikan maka semakin besar pula
kemungkinan efek antikolinergik yang bisa muncul.
Selain masalah di atas, kemungkinan interaksi di antara berbagai
obat yang digunakan juga harus diwaspadai. Semakin banyak obat
yang digunakan maka semakin banyak pula kemungkinan interaksi
obat. Jumlah kemungkinan interaksi pada N obat dapat dihitung
dengan menggunakan rumus N x (N 1)/2. Jadi, enam obat saja
dapat menimbulkan 15 interaksi. Suatu penelitian melaporkan
jumlah pasien dengan kemungkinan interaksi sebanyak 2,4%
dengan 2 obat, 8,8% dengan 3 obat, 22,7% dengan 6 obat dan
55,8% dengan 12 obat. Tidak semua kemungkinan interaksi obat
menunjukkan gejala klinik (Smonger, Burbank, 1995)
Mekanisme interaksi obat yang sudah dikenal terutama berhubungan
dengan metabolisme obat di hepar. Metabolisme obat ini melalui
jalur yang dibantu oleh sistem enzim sitokrom P-450 (CYP) dengan
berbagai isoenzimnya. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini:
pemberian rifampisin akan meningkatkan kerja CYP sehingga
asetaminofen yang diberikan akan lebih cepat dimetabolisme, maka
efektifitasnya menurun; hal yang sama pada pemberian lansoprazol
atau omeprazol yang juga meningkatkan CYP, pada gilirannya akan
mempercepat metabolisme teofilin yang diberikan bersamaan
sehingga dosis lazim teofilin menjadi tak efektif. Sebaliknya, jika
pasien menerima obat simetidin, fluoroquinolon, verapamil atau
amiodaron yang semuanya bersifat menghambat CYP, maka
pemberian bersamaan dengan asetaminofen, teofilin, diazepam,
haloperidol, penyekat beta, antidepresan trisiklik dan SSRl
(= Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) akan meningkatkan
toksisitas obat-obat yang disebutkan terakhir (Schwartz, 1999).
12
5
Verapamil
Konstipasi, bradikardi, Hindari pada gagal
pusing, gagal jantung jantung. Pantau adanya
konstipasi.
6
Nitrat &
Nicorandil
Hipotensi postural,
pusing, sakit kepala
7
ACE - Inhibitor Hiperkalemia,
kerusakan pinjal,
hipotensi, batuk.
Mulai dengan dosis lebih
rendah. Pantau tekanan
darah
Mulai dengan dosis kecil,
Pantau tekanan darah,
fungsi ginjal dan kadar
kalium dalam darah
G. DIUTERIK
1
Loop dan
tiazida (seperti
: furosemid,
hidroklortiazid)
Dehidrasi, hipotensi,
hiponatremia,
hipokalemia,
hiperglikemia,
hiperurisemia,
inkontinensia,
sindrom delirium
Gunakan dosis terendah
yang masih
memungkinkan. Pantau
elektrolit dan glukosa.
2
Diuretik hemat
kalium
(Potassiumsparing)
seperti
amilorid
Hiperkalemia
(terutama jika
digunakan bersama
suatu ACE-inhibitor)
Pantau kadar kalium
H. OBAT PSIKOTROPIK
1
Barbiturat
(seperti :
fenobarbital,
pirimidon)
Sedasi, sindrom
Secara umum tidak
delirium, osteoporosis, direkomendasikan karena
ketergantungan
waktu paruh yang panjang
dan toksisitasnya. Tersedia
obat yang lebih aman
untuk insomnia dan
epilepsi
37
E.
OBAT ANTIPARKINSON
1
Amantadine
Sindrom delirium,
udem perifer, ruam
kulit
2
Antikoligergik
(seperti :
benztropin,
benzhexol)
Sindrom delirium,
Secara umum tidak
retensi urin, hipotensi direkomendasikan,
postural
kadang-kadang berguna
jika tremor sukar
disembuhkan dengan
pengobatan lain.
3
Levodopa
Sindrom delirium,
halusinasi, hipotensi
postural, mual,
gerakan involunter
(involuntary
movements)
Tidak direkomendasikan.
Jika harus, gunakan dosis
rendah.
Gunakan dosis terendah
yang masih efektif.
F.
OBAT KARDIOVASKULAR
1
Metildopa
Depresi, hipotensi
postural, bradikardi
Tidak direkomendasikan Tersedia obat yang lebih
aman
2
Reserpin
Depresi, sedasi,
hipotensi postural
Tidak direkomendasikan Tersedia obat yang lebih
aman
3
Prazosin
Stress incontinence,
hipotensi postural
Bukan obat pilihan untuk
hipertensi- Tersedia obat
yang lebih aman
Depresi, keletihan,
bronkospasme,
bradikardi, hipotensi,
memperparah
penyakit pembuluh
darah tepi, insomnia,
mimpi yang hidup
(vivid dreams)
Hindari pada pasien asma,
PPOK, dan penyakit
pembuluh darah tepi.
Propranolol dan timolol
tidak direkomendasikan
karena tingginya kejadian
efek yang tidak diinginkan
4
Penghambat
Beta
36
Beberapa gejala iatrogenesis (gejala atau penyakit yang muncul
akibat tindakan tenaga medis, antara lain meresepkan obat) yang
sering muncul adalah perdarahan lambung (tersering akibat NSAID
dan bisfosfonat, terutama jika tanpa penjelasan yang memadai,
dan diberikan bersamaan dengan warfarin atau aspirin), mualmuntah dan aritmia akibat intoksikasi digitalis (terutama jika
diberikan bersama diuretik tanpa memantau kadar elektrolit maupun
digitalis plasma), hipotensi ortostatik sampai jatuh dan fraktur
(terutama akibat pemberian teofilin bersamaan dengan antihipertensi
kerja sentral yang diberikan pagi hari), perubahan atau gangguan
kesadaran akibat obat hipnotik sedatif (pemberian obat kerja panjang
atau yang diberikan bersamaan dengan antidepresan golongan
non SSRI, antagonis H-2, atau diuretik kuat)(Flaherty, 2000).
Pada tahun 2001, ruang rawat akut geriatri Departemen llmu
Penyakit Dalam RSCM merawat dua pasien hematemesis melena
akibat bifosfonat dan warfarin, dua orang pasien hematemesis
melena akibat aspirin dan NSAID, satu orang pasien hematemesis
melena akibat steroid dan warfarin, tiga orang pasien sindroma
delirium (dua pasien akibat diuretik dan diet terlalu ketat rendah
garam ditambah susu formula, satu pasien akibat pemakaian
antibiotik), empat orang pasien instabilitas dan jatuh akibat obat
(benzodiazepin, furosemid, klonidin). Dua orang pasien berobat
jalan masing-masing berusia 68 tahun dan 74 tahun melaporkan
keluhan insomnia, asthenia, perubahan suasana hati seperti depresi
setelah meminum obat antihipertensi golongan penyekat jalur
kalsium (calcium channel blocker) dan golongan penghambat ACE
(angiotensin converting enzyme).
Kondisi lain yang patut dicermati adalah, gejala dan tanda pada
pasien geriatri sering sekali menyimpang dari yang klasik. Dalam
berbagai kepustakaan disebutkan bahwa sindroma delirium, jatuh,
inkontinensia urin, vertigo, muntah dan diare sering merupakan
gejala yang mengakibatkan keluarga membawa pasien geriatri ke
rumah sakit. Saat diagnosis ditegakkan ternyata masalahnya tidak
berhubungan dengan keluhan utama. Kondisi seperti ini
mengakibatkan dokter yang kurang berpengalaman akan memiliki
kecenderungan mengobati semua gejala dan tanda yang muncul
sehingga menambah daftar obat menjadi lebih panjang lagi.
13
Jika dicermati lebih lanjut sesungguhnya akan terlihat bahwa dengan
mengobati penyakit atau masalah utamanya maka beberapa gejala
dan tanda lain yang semula diduga sebagai masalah terpisah akan
teratasi dengan sendirinya. Dalam hal ini dibutuhkan kejelian,
ketelitian dan pengendalian keinginan untuk senantiasa mengobati
semua gejala secepatnya-sebuah fenomena yang sering terjadi
baik pada dokter maupun pasien tanpa memperhatikan prinsip cost
effectiveness.
Pengaruh kondisi mental dan kognitif: depresi dan penurunan
faal kognitif (atau sampai demensia) akan mempunyai dampak
antara berupa tidak akuratnya informasi obat-obat apa yang selama
ini dikonsumsi. Di sisi lain, informasi obat-obat yang dipakai adalah
sangat penting dalam rangka menghindarkan diri dari kecenderungan
polifarmasi dan efek interaksi obat. Pada kondisi ini maka kehadiran
pendamping (keluarga atau pelaku rawat) menjadi penting karena
bisa menjembatani antara minimnya informasi dan keperluan data
lengkap. Jika pasien telah mendapatkan obat yang diperlukan,
masalahnya belum selesai, compliance atau kepatuhan minum
obat akan sangat dipengaruhi oleh tingkat gangguan faal kognitif
maupun emosi seseorang. Depresi dan kepikunan akan
mempengaruhi kepatuhan minum obat sehingga efek maksimal
yang diharapkan bisa terganggu.
Telah dibicarakan beberapa perubahan fisiologik dan kondisi
multipatologi yang bisa berpengaruh terhadap hasil pengobatan
pasien geriatri. Aklorhidria, perubahan first-pass metabolism, afinitas
terhadap albumin, metabolisme oksidatif dan konyugatif di hepar
serta penurunan faal ginjal akan mempengaruhi farmakokinetika
obat. Perubahan komposisi tubuh di usia lanjut juga besar
pengaruhnya terhadap efek obat. Perubahan reseptor obat di
jaringan akan banyak berpengaruh terhadap farmakodinamika obat
yang sampai saat ini masih sulit dikuantifikasi. Beberapa aspek
yang juga harus diperhatikan adalah adanya pengaruh faktor emosi
dan penurunan faal kognitif terhadap hasil pengobatan secara
keseluruhan.
14
bermakna, kecuali bila
dilakukan pemantauan
kadar obat dalam darah
(Therapeutic Drug
Monitoring= TDM)
2
Sulfametoxazol/ Reaksi hipersensitif
Trimetoprim
yang serius (Steven
(cotrimoxazole) Johnson syndrome,
blood dyscrasias)
Trimetoprim tunggal
memberikan efek yang
sebanding ( dan lebih
aman) untuk infeksi
saluran kemih.
C. OBAT ANTI-DIABETIK
1
Sulfonilurea
oral kerja
panjang
(seperti
klorpropamid,
glibenklamid,
glimepirid )
Meningkatkan risiko
hipoglikemia.
Risiko SIADH dengan
Klorpropamid
Lebih dianjurkan untuk
menggunakan obat
dengan sifat kerja lebih
pendek (seperti: gliklazid,
glipizid).
Klorpropamid sebaiknya
tidak digunakan karena
waktu paruhnya sangat
panjang
2
Phenformin,
Metformine
Lactic acidosis
(terutama jika ada
kerusakan ginjal,
kerusakan hati, atau
penyakit jantung) dan
mungkin berakibat
fatal
Metformin lebih dianjurkan
(kejadian lactic acidosis
lebih jarang). Kurangi
dosis pada kerusakan
ginjal. Hindari pada gagal
ginjal yang berat.
D. OBAT ANTI-PIRAI (ANTI-GOUT)
1
Allopurinol
Ruam kulit, gagal ginjal Kurangi dosis sampai 100
- 200 mg per hari
2
Kolkisin
Diare, dehidrasi
35
Tidak direkomendasikan
untuk terapi kronis.
LAMPIRAN 2
BAB III
Daftar Obat yang Penggunaaannya Memerlukan Perhatian Khusus
No.
Obat
A.
ANALGESIK
1 AINS &
penghambat
COX-2
2 Analgesik
narkotik
B.
Efek Tidak
Diharapkan yang
Bermakna
Pertimbangan dan
Rekomendasi
Tukak dan perdarahan
pada saluran
pencernaan, gagal
ginjal, retensi cairan,
dan sindrom delirium.
Juga mungkin
mengantagonis efek
obat antihipertensi
Gunakan parasetamol
terlebih dahulu . Pantau
fungsi ginjal, keadaan
jantung, tekanan darah.
Hindari penggunaan
indometasin dan
fenilbutazon karena
meningkatkan kejadian
efek yang tidak diharapkan
(SSP dan hematologikal)
Sedasi, depresi
pernafasan,
konstipasi, hipotensi,
sindrom delirium
Mulai dengan dosis rendah
dan naikkan secara
perlahan.
Pantau efek yang tidak
diharapkan. Cegah
konstipasi dengan
makanan berserat, cairan
dan/atau menggunakan
pencahar asalkan sesuai
dengan pedoman yang
berlaku
UNTUK PASIEN GERIATRI
III.1. PEDOMAN KERJA TIM TENAGA KESEHATAN
ANTIBIOTIKA
1 Aminoglikosi
da (seperti
gentamisin)
PEDOMAN TATALAKSANA PELAYANAN FARMASI
Gagal ginjal,
kehilangan fungsi
pendengaran
34
Gunakan dosis lebih
rendah.
Hindari jika terjadi
kerusakan ginjal yang
Tujuan: Terciptanya suatu tim terpadu dengan konsep interdisiplin
dalam penanganan pasien geriatri.
Mengelola pasien geriatri yang kompleks permasalahannya
memerlukan kiat-kiat tertentu; setidaknya diperlukan kinerja yang
efektif melalui sebuah Tim Tenaga Kesehatan. Tim Tenaga Kesehatan
yang bekerja di rumah sakit harus memahami bahwa hasil kerja
yang diharapkan senantiasa berorientasi kepada pasien dan dalam
mencapainya tidak terjebak ke dalam persaingan antar disiplin ilmu
yang terkait. Harus disadari bahwa hasil yang dicapai melalui kinerja
tim akan lebih baik dari pada jika masing-masing pihak yang terlibat
bekerja sendiri sendiri (terkotak-kotak). Sekali Tim Tenaga Kesehatan
telah terbentuk maka sebenarnya tidak serta merta akan diperoleh
hasil kerja yang baik; dalam tim yang bekerja dengan menerapkan
konsep interdisiplin dibutuhkan pemahaman yang mendalam perihal
aturan main yang disepakati bersama, koordinasi dan batas otoritas
untuk menyampaikan ekspertise keilmuan masing-masing.
Tim Tenaga Kesehatan untuk pasien geriatri di rumah sakit lazim
disebut sebagai Tim Terpadu Geriatri yang terdiri atas internis,
dokter spesialis rehabilitasi medik, psikiater, dokter gigi, ahli gizi,
apoteker, perawat dan tim rehabilitasi medik. Keanggotaan Tim
Terpadu Geriatri dan kelengkapan disiplin ilmu yang terlibat bisa
disesuaikan dengan kondisi setiap rumah sakit.
Pembentukan Tim Terpadu Geriatri merupakan proses yang
berlangsung dimana tugas atau tanggung jawab setiap anggota
dijabarkan; kemudian peran dan kewajiban masing-masing juga
15
dielaborasi dan disepakati bersama. Setiap tahap dalam
pembentukan sebuah tim harus menilik kepada penjabaran peran
setiap anggotanya; terutama jika ada anggota tim yang baru.
Karena karakteristik pasien geriatri maka jenis tim yang dibentuk
mengacu kepada konsep tim interdisiplin dimana orientasi pada
kepentingan pasien benar-benar terjamin untuk diimplementasikan.
Pasien mempunyai masalah medik yang sedang dalam pengobatan
dengan dosis obat berlebih (risiko toksik). Sebagai contoh: tidak
dilakukannya penyesuaian dosis pada pemakaian antibiotika
sefotaksim pada pasien yang telah mengalami penurunan fungsi
ginjal, atau tidak dilakukannya penurunan dosis digoksin yaitu
obat dengan indeks terapi sempit saat melakukan penggantian
dari sediaan oral (tablet atau eliksir) atau dari sediaan l.M ke
sediaan l.V.
Beberapa tahap pembentukan Tim Terpadu Geriatri:
Tahap 1 (Forming): anggota yang akan bergabung berkumpul untuk
pertama kalinya; menyatakan kesepakatan bersama tentang
pentingnya pembentukan tim ini. Seluruh ide dasar/ide awal
dijabarkan; semua keinginan dan impian tiap anggota diuraikan
dengan jelas agar masing-masing memahami buah pikiran setiap
anggota.
Tahap 2 (Norming): mulai melakukan pendefinisian, penjabaran,
penguraian lebih rinci tentang peran, kewajiban dan tugas masingmasing. Setiap anggota akan melihat kemungkinan terdapatnya
tumpang tindih dari berbagai peran masing-masing sehingga konflik
bisa terjadi. Proses pemahaman tentang kemungkinan perselisihan
akibat tumpang tindih tugas dapat diatasi manakala terungkap
adanya tujuan bersama yang harus dicapai, yakni kesembuhan
dan pemulihan pasien secara paripurna. Konflik masih potensial
timbul karena masing-masing disiplin merasa paling memiliki
kompetensi (atau setidaknya lebih kompeten dari pada disiplin
lainnya). Perbedaan latar belakang pendidikan/pelatihan dan kuranglancarnya komunikasi disadari merupakan hal yang harus
diselesaikan dengan bijak. Keadaan ini diatasi dengan
mengedepankan pengertian dan pendekatan interdisiplin serta
pentingnya komunikasi antara anggota sebagai landasan tercapainya
pengertian bersama. Kesepakatan tercapai karena masing-masing
anggota temyata mempunyai visi yang sama. Akhimya Tim Terpadu
Geriatri yang kompak bisa melakukan konsolidasi, keberadaan
Ketua Tim lebih bersifat fungsional. Tujuan, visi, misi dan program
16
7.
Reaksi Obat yang tidak Diharapkan
Pasien mempunyai masalah medik sebagai akibat dari reaksi
obat yang tidak diharapkan atau efek samping. Reaksi tersebut
dapat diduga maupun tidak terduga, seperti tukak lambung akibat
AINS, ruam akibat antibiotika
Banyak obat yang dapat menyebabkan sindrom delirium pada
pasien geriatri contohnya benzodiazepin dan antidepresan trisiklik;
hipotensi postural pada penggunaan obat antihipertensi atau
diuretik.
8
Interaksi Obat
Pasien mempunyai masalah medik disebabkan interaksi obatobat, obat - makanan, obat - laboratorium.
Meningkatnya risiko hiperkalemia pada pasien yang menggunakan
kombinasi obat antihipertensi kaptopril dengan spironolakton;
pemberian kaptopril tidak pada saat lambung kosong dimana
absorpsi kaptopril dapat berkurang dengan adanya makanan.
33
LAMPIRAN I
Daftar Masalah yang Berkaitan dengan Penggunaan Obat
No.
Masalah yang berkaitan dengan Penggunaan Obat
1
Terdapat indikasi medik/pengobatan yang tidak mendapatkan
obat (untreated indication)
Kondisi medik pasien memerlukan terapi obat tetapi pasien tidak
mendapatkan obat untuk indikasi tersebut. Sebagai contoh,
seorang pasien dengan tekanan darah tinggi atau glaukoma tetapi
tidak diberikan obat untuk masalah tersebut.
2.
Terapi obat diberikan padahal tidak terdapat indikasi
Pasien mendapatkan obat untuk suatu kondisi medik tertentu
yang tidak memerlukan terapi obat, seperti kegemukan (obesity)
3.
Pilihan obat yang tidak tepat
Terapi obat diindikasikan tetapi pasien mendapatkan obat yang
salah. Sebagai contoh yang sering terjadi adalah pasien dengan
infeksi bakteri mendapatkan resep obat yang resisten pada bakteri
yang menginfeksinya
4.
Dosis yang subterapi
Kondisi medik pasien memerlukan terapi obat dan pasien
mendapatkan obat yang tepat tetapi dosisnya di bawah dosis
terapi, misalnya dosis insulin yang terlalu rendah.
5.
Gagal mendapatkan obat
Kondisi medik pasien menunjukkan diperlukannya terapi obat,
tetapi karena alasan farmasetik, psikologis, sosiologis, atau alasan
ekonomi pasien tidak mendapatkan obat. Sebagai contoh:
pemilihan tablet yang tidak boleh digerus padahal pasien tidak
mampu menelan obat; peresepan obat yang banyak dengan
rejimen dosis yang kompleks akan membuat pasien dementia
menjadi pasien lupa meminum obat.
6.
Dosis berlebih atau dosis toksik
32
kerja serta rencana kerja dapat segera disusun bersama; selanjutnya
agenda kerja dan cara mengukur keberhasilan kerja Tim Terpadu
Geriatri mulai dijabarkan secara rinci.
Tahap 3 (Performing): Ketua Tim menegaskan kembali pengertian
pendekatan interdisiplin yang berbeda dari multidisiplin, paradisiplin
maupun pandisiplin. Selain itu, perbedaan yang ada dapat disikapi
dengan tingkat toleransi yang tinggi dan dianggap sebagai aset
positif. Setiap anggota saling membantu dan saling mendukung;
mereka berpartisipasi aktif dan self-initiated. Pertemuan teratur,
secara berkala dapat dilaksanakan dengan baik dan tingkat kehadiran
yang tinggi. Hubungan antar anggota semakin baik; rasa saling
percaya tumbuh semakin kuat. Konflik yang kadang-kadang bisa
muncul maupun kritikan tajam dianggap sebagai sarana untuk
meningkatkan keberhasilan program kerja. Tingkat produktivitas
dan aktivitas problem solving semakin meningkat.
Tim Terpadu Geriatri yang sudah terbentuk harus tetap mampu
melibatkan diri secara aktif dalam berbagai upaya di rumah sakit
maupun program lain yang berbasis komunitas. Hal tersebut penting
mengingat keberadaan tim ini tidak boleh hanya sebatas formalitas.
Penting pula untuk dipahami beberapa aspek yang berperan
menunjang keberadaan Tim Terpadu Geriatri rumah sakit. Berikut
ini disampaikan beberapa aspek yang berperan pada pembentukan
/berlangsungnya kinerja Tim Terpadu Geriatri:
q Aspek profesional/personal
q Aspek intra-tim
q Aspek organisasi/institusional
q Mempertahankan tim (team maintenance)
Aspek profesional/personal:
q Menyangkut bagaimana keinginan dan komitmen setiap anggota
untuk bergabung ke dalam tim ini dan meningkatkan kinerjanya.
q Komitmen untuk memahami dan mempelajari ranah pengetahuan
disiplin lain.
17
q Komitmen di atas ditujukan untuk mempererat jalinan hubungan
kerja yang seimbang dan memperkecil jurang perbedaan serta
mempermudah komunikasi karena diharapkan setiap anggota
mempunyai bahasa yang sama dalam menanggapi persoalan
pasien secara bersama.
q Keterbukaan pikiran untuk senantiasa menerima hal-hal baru.
q Memadukan ekspertise disiplin dengan kebutuhan pasien dan
keluarga.
q Pengembangan pendekatan interdisiplin bersama-sama dengan
anggota tim yang lain.
21. Woodward MC. Deprescribing: Achieving Better Health Outcome for
Older People Through Reducing Medication. J Pharm Pract Res
2003; 33: 323-328
Aspek intra-tim:
q Kesepakatan tentang tempat kerja bersama dan interaksi formal
maupun informal.
q Memaksimalkan komunikasi (pertemuan rutin; teknologi
komunikasi).
q Kepemimpinan fungsional secara kolektif.
q Pencapaian tujuan bersama.
q Memaksimalkan pendekatan secara interdisiplin.
q Masing-masing memahami peran setiap anggota.
q Manajemen konflik yang efektif; setiap konflik adalah sehat dan
membangun.
24. Kappel J, Calissi P. Nephrology: Safe Drug prescribing for patients
with renal insufficiency. Canadian Medical Association J 2002 Feb.
19; 166 (4): 473-477
22. Hansten PD, Horn JT. Drug interaction analysis and management :
A clinical perspective and analysis of current development. USA:
Fact and Comparisons, 2001
23. Christophidis N, Scharf S. Management of Drugs in the Elderly.
Current Therapeutics 1995; April: 66-73
25. Brown BK Pharm.D. Rational Prescribing in the Elderly. Notes for
Continuing
Pharmaceutical Education, Accreditation Council for Pharmacy
Education, 2004
Aspek organisasi/institusional:
q Organisasi/institusi tempat kerja (rumah sakit) memahami konsep
penanganan pasien secara interdisiplin.
q Dukungan yang konsisten dari rumah sakit.
q Organisasi di luar tim ini mengenal keberadaan Tim Terpadu
Geriatri dan bersedia bekerja sama untuk kepentingan pasien.
Aspek mempertahankan tim:
q Tim memperbaiki kinerjanya secara terus menerus dan
berkesinambungan (prosesnya, protokol-protokol, produk-produk
lain).
q Tim berupaya mendorong minat dan kinerja anggota (yang baru
maupun yang lama).
18
31
11. Tune LE. Delirium. Dalam: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH,
Halter JB, Ouslander JG, eds. Principles of Geriatric Medicine and
Gerontology. New York:McGraw Hill,1999:1230-3.
12. Smonger AK, Burbank PM. Drug therapy and the elderly.
Boston :Jones Barlett; 1995:53.
13. Schwartz JB. Clinical Pharmacology. Dalam: Hazzard WR, Blass JP,
Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG, eds. Principles of Geriatric
Medicine and Gerontology. New York:McGraw Hill,1999:308-9.
14. Flaherty JH, Perry HM3rd, Lynchard GS, Morley JE. Polypharmacy
and hospitalisation among home care patients. J Gerontol A Biol Sci
Med Sci.2000;55(10):554-9.
15. Carlson JH. Perils of polypharmacy: 10 steps to prudent prescribing.
Geriatrics 1996;15:26.
16. Rahmania M. Ketidakpatuhan pasien dalam terapi obat dan faktorfaktor penyebabnya di Poliklinik Geriatri Perjan RS Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta, Thesis, Program Studi Magister llmu
Kefarmasian Fakultas Matematika dan llmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia, 2004: 82-129
17. American Society of Consultant Pharmacists. Guidelines for
pharmacist counseling of geriatric patients, 1998. Diambil dari
www.ascp.com
18. American Society of Consultant Pharmacists. Guidelines for Assessing
the Quality of Drug Regimen Review in Long-Term Care Facilities,
1999. Diambil dari www.ascp.com
19. Fick. DM et.al. Updating the Beers Criteria for Potentially Inappropriate
Medication Use in Older Adults. Internal Medicine 2003; 163, Dec
8/22:2716-2724
20. McLeod Peter J. MD, Huang Allen MD, Tamblyn Robin MD. Defining
inappropriate practices in prescribing for elderly people: A national
consensus panel. Canadian Medical Association J 1997; 156 (3)
385-391
30
q Tim menunjukkan kinerja kepemimpinan fungsional kolektif
kepada anggota baru.
q Harus ada umpan balik secara jujur, terbuka dan obyektif dari
setiap anggota/eksternal.
Jika filosofi dan tahap-tahap pembentukan Tim Terpadu Geriatri di
rumah sakit telah dipahami maka langkah selanjutnya adalah
bagaimana menerapkannya dalam praktik sehari-hari. Pedoman
peresepan yang akan disampaikan kemudian merupakan salah
satu bentuk contoh produk yang seharusnya muncul setelah Tim
tersebut terbentuk.
III.2. PEDOMAN PERESEPAN
Tujuan: Pasien mendapatkan obat yang sesuai dengan indikasi
klinik, efektif, aman dan mudah untuk dipatuhi rejimennya.
Bagaimana meresepkan obat untuk pasien geriatri? Mungkinkah
menghindari polifarmasi? Bagaimana menentukan prioritasnya?
Jawabannya tidak semudah yang dibayangkan. Pertimbangan akan
kebutuhan, indikasi, kontraindikasi dan keperluan serta tujuan
pengobatan menjadi penting. Tujuan pengobatan tidak selalu harus
berdasarkan sudut pandang dokter, namun selain penemuan
obyektif, perlu pula diingat akan pentingnya pendapat pasien dan
keluarga tentang tujuan pengobatan sebelum dokter memutuskan
memberikan rejimen pengobatan.
Dokter yang menangani pasien geriatri lazimnya tidak bekerja
sendiri karena kompleksitas masalah medik dan non medik yang
ada. Beberapa dokter dan tenaga kesehatan lain akan bekerja
bersama dan sebaiknya di dalam sebuah tim terpadu yang bekerja
dengan prinsip interdisiplin dan bukan sekadar multidisiplin apalagi
paradisiplin. Kelebihan sistem interdisiplin ini antara lain adalah
memungkinkannya pemantauan terus menerus jumlah dan jenis
obat yang diberikan sehingga berbagai pihak akan secara otomatis
mempunyai kecenderungan saling mengingatkan. Pencapaian
19
tujuan bersama sangat memungkinkan terjalinnya kerja sama yang
baik demi kepentingan pasien. Saling keterlibatan yang intens dari
masing-masing disiplin akan memperbesar peluang rejimen
pengobatan yang lebih efisien sehingga pada gilirannya akan
mampu menekan polifarmasi. Setiap dokter yang terlibat senantiasa
dituntut untuk mengevaluasi pengobatannya secara rutin; obat yang
sudah tidak diprioritaskan akan diganti dengan obat lain yang lebih
utama atau dapat dihilangkan dari daftar obat manakala masalah
lain menjadi lebih tinggi skala prioritasnya. Dengan demikian maka
efektivitas dan keamanan pengobatan bagi setiap pasien akan lebih
terjamin .
Beberapa langkah praktis berikut ini mungkin dapat lebih
memudahkan bagi setiap dokter dan tenaga kesehatan lain yang
terlibat:
b Mencatat semua obat yang dipakai saat ini (resep dan nonresep, termasuk jamu)
b Mengenali nama generik dan golongan obat
b Mengenali indikasi klinik untuk setiap obat
b Mengetahui profil efek samping setiap obat
b Mengenali faktor risiko sesuatu efek yang tak terduga (misalnya
interaksi)
b Menyederhanakan rejimen pengobatan
b Menghentikan pemberian obat tanpa manfaat penyembuhan
b Menghentikan pemberian obat tanpa indikasi klinik
b Mengganti dengan obat yang lebih aman, bila perlu
b Tidak menangani efek tak terduga suatu obat dengan obat lagi
b Menggunakan obat tunggal bila cara pemberiannya tidak sering
b Membiasakan untuk melakukan evaluasi daftar obat secara
berkala
Setiap dokter (internis, psikiater atau anggota tim lain) harus mampu
menekan arogansi disiplin masing-masing dan bersedia
menghentikan obat yang diresepkannya apabila obatnya sudah
bukan lagi merupakan prioritas untuk diberikan.
20
DAFTAR PUSTAKA
1.
Survey Kesehatan Rumah Tangga. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta, 1995.
2.
Supartondo. Penatalaksanaan Terpadu Pasien Geriatri: Pendekatan
Interdisiplin. Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI / RSUPN CM, Jakarta
1999.
3.
de Bono A. Ageing: A world perspective – The longevity revolution
The 1st ASEAN course in Gerontology. Singapore, 2000.
4.
Troisi J. Demographic characteristics, trends and determinants of
population ageing. The 1st ASEAN course in Gerontology. Singapore
, 2000.
5.
Kalache A, Keller I. Population ageing in developing countries:
demographic aspects. Dalam: Evans JG, Beattie BL,Williams TF,
Michel J-P, Wilcock GK, eds. Oxford Textbook of Geriatric Medicine.
Oxford: Oxford University Press, 2000 :26-8.
6.
Soejono CH, Suhardjono. Prinsip pemberian obat pada pasien usia
lanjut. Dalam: Buku Ajar llmu Penyakit Dalam, edisi lIl jilid II. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2001: 281-285.
7.
Michocki RJ. Polypharmacy and principles of drug therapy.
Dalam:Adelman AM, Daly MP, eds. 20 Common problems in
geriatrics.Boston:McGraw Hill,2001:69-81.
8.
Berenbeim DM. Polypharmacy: overdosing on good intentions. Manag
Care 2002;10(3):1-5.
9.
Linjakumpu T, Hartikainen S, Klaukka T, et al. Use of medications
and polypharmacy are increasing among the elderly. J of Clinical
Epidemiology 2002;55:809 -16.
10. Hohl CM, Dankoff J, Colacone A, Asfilalo M. Polypharmacy, adverse
drug-related events, and potential adverse drug interactions in elderly
patients presenting to an emergecy department. Annals of Emergency
Medicine 2001;38(6):666-671.
29
III.3. PEDOMAN TELAAH ULANG REJIMEN OBAT
BAB IV
PENUTUP
Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) Untuk Pasien
Geriatri, merupakan suatu panduan yang diharapkan dapat membantu
para tenaga kesehatan terutama yang bekerja di sarana pelayanan
kesehatan dalam melayani pasien geriatri.
Dengan telah disusunnya Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana
Terapi Obat) Untak Pasien Geriatri ini, diharapkan akan lebih terjalin suatu
kerja sama antar profesi kesehatan yang bersifat interdisiplin berbentuk
Tim Terpadu Geriatri. Dengan demikian pasien geriatri yang mempunyai
karakteristik tersendiri akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang
optimal.
Mudah-mudahan Buku Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi
Obat) Untuk Pasien Geriatri ini dapat bermanfaat dalam melayani pasien
geriatri, sehingga diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup pasien
geriatri di Indonesia.
28
Tujuan:
Memastikan bahwa rejimen obat diberikan sesuai dengan indikasi
kliniknya, mencegah atau meminimalkan efek yang merugikan
akibat penggunaan obat dan mengevaluasi kepatuhan pasien dalam
mengikuti rejimen pengobatan.
Kriteria pasien yang mendapat prioritas untuk dilakukan telaah
ulang rejimen obat:
a. Mendapat 5 macam obat atau lebih, atau 12 dosis atau lebih
dalam sehari
b. Mendapat obat dengan rejimen yang kompleks, dan atau obat
yang berisiko tinggi untuk mengalami efek samping yang serius
c. Menderita tiga penyakit atau lebih
d. Mengalami gangguan kognitif, atau tinggal sendiri
e. Tidak patuh dalam mengikuti rejimen pengobatan
f. Akan pulang dari perawatan di rumah sakit
g. Berobat pada banyak dokter
h. Mengalami efek samping yang serius, alergi
Tatalaksana telaah ulang rejimen obat:
a. Apoteker yang melakukan kegiatan ini harus memiliki
pengetahuan tentang prinsip-prinsip farmakoterapi geriatri dan
ketrampilan yang memadai.
b. Melakukan pengambilan riwayat penggunaan obat pasien:
- Meminta pasien untuk memperlihatkan semua obat yang
sedang digunakannya.
- Menanyakan mengenai semua obat yang sedang digunakan
pasien, meliputi: obat resep, obat bebas, obat tradisional/jamu,
obat suplemen.
- Aspek-aspek yang ditanyakan meliputi: nama obat, frekuensi,
cara penggunaan dan alasan penggunaan.
- Melakukan cek silang antara informasi yang diberikan pasien
dengan data yang ada di catatan medis, catatan pemberian
obat dan hasil pemeriksaan terhadap obat yang diperlihatkan
pasien.
21
-
Memisahkan obat-obat yang seharusnya tidak digunakan
lagi oleh pasien.
- Menanyakan mengenai efek yang dirasakan oleh pasien,
baik efek terapi maupun efek samping.
- Mencatat semua informasi di atas pada formulir pengambilan
riwayat penggunaan obat pasien.
c. Meneliti obat-obat yang baru diresepkan dokter.
d. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan
obat (lihat lampiran daftar masalah yang berkaitan dengan
penggunaan obat)
e. Melakukan tindakan yang sesuai untuk masalah yang
teridentifikasi:
Contoh: menghubungi dokter dan meminta penjelasan mengenai
pemberian obat yang indikasinya tidak jelas.
III.4
PEDOMAN PENYIAPAN DAN PEMBERIAN OBAT
Tujuan:
Pasien mendapatkan obat yang tepat dengan mutu baik, dosis
yang tepat, pada waktu yang tepat dan untuk durasi yang tepat.
Tatalaksana penyiapan dan pemberian obat:
a. Menerima resep/instruksi pengobatan
b. Meneliti kelengkapan dan kebenaran resep/instruksi pengobatan
dari aspek administratif, farmasetik dan klinik.
Yang termasuk aspek administratif antara lain: tempat dan
tanggal resep/instruksi pengobatan dibuat, nama dan
alamat/nomor telepon dokter yang dapat dihubungi, nama pasien,
umur, nomor registrasi, nama ruang rawat / poliklinik, alamat /
nomor telepon pasien yang dapat dihubungi. Persyaratan
administratif lain disesuaikan dengan ketentuan institusi yang
bersangkutan.
Yang termasuk aspek farmasetik: nama obat (nama generik /
nama dagang), bentuk sediaan, jumlah obat yang harus disiapkan,
cara pembuatan (jika diperlukan peracikan).
22
Tatalaksana pemantauan penggunaan obat:
a. Apoteker yang melakukan kegiatan ini harus memiliki
pengetahuan tentang patofisiologi, terutama pada pasien geriatri,
prinsip-prinsip farmakoterapi geriatri, cara menafsirkan hasil
pemeriksaan fisik, uji laboratorium dan diagnostik yang berkaitan
dengan penggunaan obat, dan ketrampilan berkomunikasi yang
memadai.
b. Mengumpulkan data pasien, yang meliputi:
- Deskripsi pasien (nama, umur, jenis kelamin, berat badan,
tinggi badan, nama ruang rawat/poliklinik, nomor registrasi)
- Riwayat penyakit terdahulu
- Riwayat penggunaan obat (termasuk riwayat alergi
penggunaan obat non resep)
- Riwayat keluarga dan sosial yang berkaitan dengan penyakit
dan penggunaan obat.
- Data hasil pemeriksaan fisik, uji laboratorium dan diagnostik
- Masalah medis yang diderita pasien
- Data obat-obat yang sedang digunakan oleh pasien
Data/informasi dapat diperoleh melalui:
- wawancara dengan pasien / keluarga
- catatan medis
- kartu indeks (kardeks)
- komunikasi dengan tenaga kesehatan lain (dokter, perawat)
c. Berdasarkan data/informasi pada (b), selanjutnya mengidentifikasi
adanya masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan
obat (lihat lampiran daftar masalah yang berkaitan dengan
penggunaan obat)
d. Memberikan masukan/saran kepada tenaga kesehatan lain
mengenai penyelesaian masalah yang teridentifikasi.
e. Mendokumentasikan kegiatan pemantauan penggunaan obat
pada formulir yang dibuat khusus.
27
j. Cakupan dan kedalaman informasi, serta bagaimana cara
penyampaiannya haruslah disesuaikan dengan
mempertimbangkan tingkat pengetahuan dan pemahaman
pasien/keluarga serta jenis masalah yang dihadapi. Selain
mendapatkan informasi dari pasien/keluarga, masukan dari
anggota tim tenaga kesehatan lain juga diperlukan untuk
menentukan informasi dan edukasi apa yang dibutuhkan pasien/
keluarga.
k. Untuk meningkatkan pemahaman, maka pemberian informasi
secara lisan sebaiknya ditunjang oleh informasi tertulis (contoh:
brosur) dan peragaan (contoh: bagaimana menggunakan inhaler
secara benar).
l. Selain komunikasi secara verbal, digunakan juga komunikasi
secara non verbal (gerak-gerik tubuh, ekspresi wajah dan isyarat
lain) yang dapat mendukung penyampaian informasi dan edukasi
kepada pasien/keluarga, demikian pula komunikasi non verbal
yang ditunjukkan oleh pasien/keluarga harus diperhatikan untuk
menangkap pesan tersembunyi yang tidak terucap.
m. Pasien/keluarga diberi kesempatan yang cukup untuk
menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan obat
dan untuk menyampaikan masalah-masalah yang dihadapi
selama menggunakan obat.
n. Masalah-masalah pasien/keluarga yang berkaitan dengan
penggunaan obat harus diupayakan penyelesaiannya, jika perlu
melibatkan anggota tim tenaga kesehatan lain (contoh: dokter
mengubah rejimen obat yang diberikan menjadi lebih sederhana)
o. Sebelum pertemuan diakhiri, harus dipastikan bahwa
pasien/keluarga telah memahami informasi yang diberikan.
p. Mendokumentasikan temuan masalah dan penyelesaiannya
pada formulir yang dibuat khusus.
III.6. PEDOMAN PEMANTAUAN PENGGUNAAN OBAT
Tujuan:
Mengoptimalkan efek terapi obat dan mencegah atau meminimalkan
efek merugikan akibat penggunaan obat.
26
c.
d.
e.
f.
9.
Yang termasuk aspek klinik: dosis, duplikasi obat, interaksi obat
(untuk menilai aspek ini diperlukan data profil penyakit dan
semua obat yang sedang digunakan pasien).
Jika ditemukan ada masalah yang berkaitan dengan peresepan,
menghubungi dokter pembuat resep/instruksi pengobatan.
Jika ditemukan masalah dalam hal kelengkapan administratif,
menghubungi pihak yang terkait (perawat, petugas administrasi).
Menjaga agar stok obat-obatan selalu tersedia saat dibutuhkan,
terutama untuk kelangsungan penggunaan obat kronik pasien,
sebagai contoh: obat antihipertensi.
Menyiapkan/meracik obat sesuai resep/instruksi pengobatan:
- Jika dilakukan peracikan dengan bentuk sediaan kapsul,
maka dipilih ukuran kapsul yang sesuai.
- Jika dilakukan peracikan dengan bentuk sediaan puyer atau
sirup, maka perlu diperhatikan kontraindikasi bahan pembantu
dengan penyakit pasien (contoh: penggunaan saccharum
lactis pada pasien diabetes mellitus)
- Menggunakan wadah yang mudah dibuka oleh pasien,
- Jika memungkinkan menggunakan wadah transparan (kecuali
obat yang harus terlindung dari cahaya).
Memberi penandaan pada obat yang telah disiapkan:
- Penandaan meliputi: nomor/kode resep, nama obat, kekuatan
sediaan, aturan pakai, jumlah obat yang ada di dalam wadah,
instruksi khusus (contoh: diminum sebelum makan), tanggal
obat disiapkan, tanggal kadaluarsa.
- Penandaan harus ditulis dengan jelas, jika memungkinkan
diketik, dengan ukuran huruf yang besar dan warna
hitam/gelap dengan warna latar belakang kontras dengan
warna huruf.
- Penandaan, baik berupa tulisan, simbol atau gambar tidak
boleh mudah terhapus, hilang atau lepas dari wadah.
- Instruksi penggunaan harus jelas, singkat dan dapat dipahami,
tidak menggunakan singkatan atau istilah yang tidak lazim.
Penerima obat harus diberikan informasi secara lisan mengenai
hal-hal yang tercantum pada penandaan untuk menghindari
salah penafsiran.
23
h. Menyusun obat sedemikian rupa sehingga memudahkan
pasien/keluarga untuk mengingat waktu makan obat dan
memudahkan pasien mengambil obat dengan tepat. Contoh:
meletakkan obat pada kotak/kantong obat yang sudah ditandai
waktu minumnya.
i. Menyerahkan obat kepada perawat, pasien atau keluarga sesuai
dengan sistem distribusi obat yang berlaku.
j. Memberikan informasi yang jelas kepada penerima obat
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan obat yang akan
digunakan oleh pasien, antara lain: nama obat, kegunaan obat,
aturan pakai, cara penyimpanan, apa yang harus dilakukan jika
terlupa minum atau menggunakan obat, meminta pasien untuk
melaporkan jika ada keluhan yang dirasakan selama penggunaan
obat. (Untuk lebih rinci lihat Pedoman Pemberian Informasi dan
Edukasi)
k. Mendokumentasikan temuan masalah dan penyelesaiannya
pada formulir yang dibuat khusus.
III.5. PEDOMAN PEMBERIAN INFORMASI DAN EDUKASI
Tujuan:
Pasien/keluarga memahami penjelasan yang diberikan, memahami
pentingnya mengikuti rejimen pengobatan yang telah ditetapkan
sehingga dapat meningkatkan motivasi untuk berperan aktif dalam
menjalani terapi obat.
Tatalaksana pemberian informasi dan edukasi:
a. Apoteker yang melakukan kegiatan ini harus memiliki
pengetahuan tentang prinsip-prinsip gerontologi dan farmakoterapi
geriatri, memiliki rasa empati dan ketrampilan berkomunikasi
secara efektif.
b. Pemberian informasi dan edukasi dilakukan melalui tatap muka
dan berjalan secara interaktif, dimana kegiatan ini bisa dilakukan
pada saat pasien dirawat, akan pulang atau ketika datang kembali
untuk berobat.
24
c. Kondisi lingkungan perlu diperhatikan untuk membuat
pasien/keluarga merasa nyaman dan bebas, antara lain:
- Dilakukan dalam ruang khusus atau yang dapat menjamin
privacy.
- Ruangan cukup luas bagi pasien dan pendamping pasien
untuk kenyamanan mereka.
- Penempatan meja, kursi atau barang-barang lain hendaknya
tidak menghambat komunikasi.
- Suasana tenang, tidak bising dan tidak sering ada interupsi
(contoh: apoteker menerima telepon atau mengerjakan
pekerjaan lain)
d. Pada pasien yang mengalami kendala dalam berkomunikasi,
maka pemberian informasi dan edukasi dapat disampaikan
kepada keluarga/pendamping pasien.
e. Apoteker perlu membina hubungan yang baik dengan
pasien/keluarga agar tercipta rasa percaya terhadap peran
apoteker dalam membantu mereka.
f. Mendapatkan data yang cukup mengenai masalah medis pasien
(termasuk adanya keterbatasan kemampuan fisik maupun mental
dalam mematuhi rejimen pengobatan.
g. Mendapatkan data yang akurat tentang obat-obat yang digunakan
pasien, termasuk obat non resep.
h. Mendapatkan informasi mengenai latar belakang sosial budaya,
pendidikan dan tingkat ekonomi pasien/ keluarga.
i. Informasi yang dapat diberikan kepada pasien/keluarga adalah:
nama obat, kegunaan obat, aturan pakai, teknik penggunaan
obat-obat tertentu (contoh: obat tetes, inhaler), cara penyimpanan,
berapa lama obat harus digunakan dan kapan obat harus ditebus
lagi, apa yang harus dilakukan jika terlupa minum atau
menggunakan obat, kemungkinan terjadinya efek samping yang
akan dialami dan bagaimana cara mencegah atau
meminimalkannya, meminta pasien/keluarga untuk melaporkan
jika ada keluhan yang dirasakan pasien selama menggunakan
obat.
25
Download