Tinjauan Pustaka Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Geriatri Andri, Charles E. Damping Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Abstrak: Delirium merupakan suatu gangguan neuropsikiatrik yang cukup sering dialami oleh pasien geriatri. Gejala klinis yang menjadi pedoman diagnosis utama adalah penurunan kesadaran, adanya suatu hendaya fungsi kognitif yang akut dan berfluktuasi. Hendaya bersifat menyeluruh yang mempengaruhi atensi, memori dan kemampuan perencanaan dan organisasi. Tatalaksana pasien delirium harus melibatkan berbagai cabang ilmu karena pada kenyataannya pasien geriatri mempunyai masalah kesehatan yang kompleks (multipatologi) sehingga memerlukan penanganan secara holistik. Penangan oleh tim yang terdiri dari psikiatri geriatri, konsultan geriatri medis, rehabilitasi medis, dan gizi merupakan kombinasi yang baik dan telah dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Banyak penelitian mengatakan bila delirium sudah terjadi maka tidak akan ada perbedaan dalam penanganan delirium baik ditinjau dari keparahan penyakitnya atau kemungkinan keberulangannya. Akan tetapi usaha pencegahan baik secara psikososial maupun psikofarmakologi diperlukan untuk menekan angka morbiditas dan mortalitas yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien geriatri. Kata Kunci : gangguan neuropsikiatrik, geriatri, pendekatan psikososial. Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007 227 Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Giriatri The Role of Psychiatric Geriatric in the Treatment of Delirium in Geriatric Patients Andri, Charles E.Damping Department of Psychiatry, Faculty of Medicine, University of Indonesia Abstract: Delirium is a neuropsychiatric disorder that often occurs in geriatric patients. The main clinical manifestations are disturbance of consciousness, deficit in cognition which is acute and generally affect attention, memory and the organization and planning ability. The fluctuation of the disturbance is an important indicator of this disturbance. Treatment of patient with delirium must involve interdisciplinary approach because in clinical practice geriatric patients have a complex health problems (multipathology) and need holistic care. Treatment by a team consists of psychiatrist specialized in geriatric, geriatric medic, medic rehabilitation, and nuticient consultant will produce the best result; this has been done at Cipto Mangunkusumo National Hospital. Although some studies suggest that delirium has no significant differences in treatment if already occured, but psychosocial approach or even psychopharmacotherapy has a benefit in reducing morbidity and mortality of the disturbance. It also has an important role in maintaining the quality of life of geriatric patients. Key Words: neuropsychiatric disturbance, geriatric, psychosocial approach Pendahuluan Delirium yang dikenal juga dengan sebutan acute confusional state adalah sebuah gangguan yang umum, serius, tetapi secara potensial dapat dicegah. Delirium merupakan sumber morbiditas dan mortalitas di antara pasien-pasien geriatri yang dirawat. Hal ini penting karena pada pasien berusia di atas 65 tahun, kejadian delirium menghabiskan 48% seluruh hari perawatan di rumah sakit. Insiden delirium juga meningkat sejalan dengan pertambahan usia populasi.1 Delirium adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan onset yang akut dan berfluktuasi. Sindrom ini mempengaruhi kesadaran dan fungsi kognitif yang mungkin diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor. Selain itu, delirium juga mempengaruhi atensi dan beberapa pasien ada yang mengalami gangguan persepsi.2 Pada pasien geriatri, delirium berhubungan dengan perpanjangan waktu tinggal di rumah sakit, peningkatan mortalitas dan peningkatan beban biaya pengobatan. Delirium biasanya bersifat reversible jika penyebab yang mendasarinya teridentifikasi. Sayangnya, delirium terkadang tidak terdeteksi pada pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit, walaupun prevalensinya sekitar 10-16%. Pasien geriatri juga menjadi rentan karena pada beberapa kasus terdapat hendaya dalam fungsi kognitif dan angka kejadian delirium pada populasi ini cukup tinggi. Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan tempat yang strategis untuk mendeteksi gangguan delirium dan memulai 228 penanganan klinis. Beberapa penelitian mendapati prevalensi pasien IGD yang mengalami delirium berkisar antara 10-17%.2,3 Gambaran Klinis Gejala delirium sangat beragam dan, walaupun tidak spesifik, sifatnya yang fluktuatif sangat nyata dan merupakan indikator diagnostik yang sangat penting. Terdapat tiga bentuk delirium yang telah diketahui, yaitu: tipe hiperaktif, hipoaktif, dan campuran. Tipe hipoaktif seringkali tidak dikenali dan dihubungkan dengan prognosis yang buruk secara keseluruhan. Tipe ini juga sering terjadi pada pasien yang usianya cenderung lebih tua. Gangguan yang penting melibatkan suatu hendaya fungsi kognitif yang akut dan menyeluruh yang mempengaruhi kesadaran, perhatian, memori dan kemampuan perencanaan dan organisasi. Gangguan lain, misalnya pola tidur yang berubah, gangguan proses pikir, afek, persepsi dan tingkat keaktifan, walaupun dipandang tidak bermakna mempunyai kontribusi yang besar dalam mengidentifikasi dan menatalaksana delirium. Tergantung dari gejala yang timbul, delirium dapat disalahartikan dengan gangguan lain, misalnya demensia, gangguan mood dan psikosis fungsional.2 Diagnosis delirium pada pasien demensia cukup sulit karena gejala delirium dan demensia yang saling tumpang tindih. Suatu penelitian dilakukan untuk mengidentifikasikan gejala delirium yang khas pada pasien demensia untuk membantu penegakan di- Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007 Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Giriatri agnosis delirium. Pasien demensia yang mengalami delirium memperlihatkan lebih banyak agitasi psikomotor, disorientasi, dan pikiran yang tidak terorganisasi.4 Secara klinis penegakkan diagnosis delirium dapat menggunakan DSM IV-TR. Ada satu lagi alat bantu yang biasa digunakan di kalangan non-psikiater yaitu Confusion Assesment Method (CAM). Di bawah ini adalah kriteria diagnostik delirium berdasarkan DSM IV-TR; keempat kriteria ini harus dipenuhi untuk menegakkan diagnosis delirium. Tabel 1. Kriteria Diagnostik Delirium A. B. C. D. Gangguan kesadaran (berkurangnya kewaspadaan terhadap lingkungan) dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian Perubahan kognisi (seperti kemunduran ingatan, disorientasi, gangguan berbahasa) atau adanya gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukkan ke dalam pre-demensia, demensia yang sudah ada atau demensia yang sedang muncul. Gangguan berlangsung dalam waktu yang singkat (biasanya jam sampai beberapa hari) dan cenderung untuk berfluktuasi selama berlangsungnya. Adanya bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan penemuan pemeriksaan laboratorium yang mengindikasikan bahwa gangguan ini merupakan konsekuensi fisiologis dari kondisi medis umum. Etiologi Bila membicarakan etiologi delirium, maka faktor predisposisi dibedakan dengan faktor presipitasi. Faktor predisposisi membuat seseorang lebih rentan mengalami delirium, sedangkan faktor presipitasi merupakan faktor penyebab somatik delirium. Saat ini beberapa penelitian prospektif telah menemukan beberapa faktor predisposisi delirium pada geriatri yang potensial. Penelitian yang lebih baik bahkan mampu mendapatkan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian delirium. Selain pertambahan usia, adanya penurunan fungsi kognitif sebelumnya merupakan faktor risiko yang sering didapatkan. Lebih jauh lagi, delirium merupakan indikator pertama demensia pada populasi geriatri. Angka kejadian delirium pada pasien demensia sendiri secara bermakna lebih tinggi dua sampai lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi yang tidak demensia.5 Faktor presipitasi yang telah ditemukan yang menurunkan ambang delirium pada usia lanjut adalah pria, tekanan darah tinggi, penggunaan banyak obat terutama obat-obatan antikolinergik, anestesi umum, dan penggunaan alkohol atau benzodiazepine. Lebih jauh lagi, adanya peningkatan konsentrasi sodium di serum, penurunan fungsi fisik, dan penurunan fungsi menghadapi stress juga diidentifikasi sebagai faktor risiko independen pada pasien delirium. Penelitian lain mengatakan bahwa kombinasi faktor termasuk usia, kadar urea darah, hipertensi, dan kebiasaan merokok merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya delirium.4 Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007 Faktor Risiko dan Faktor Presipitasi Walaupun terdapat banyak sekali faktor risiko yang mencerminkan karakteristik perjalanan dari pasien, beberapa faktor dapat dimodifikasi untuk mencegah kejadian delirium. Beberapa faktor risiko yang berasal dari diri pasien sendiri adalah usia, adanya defisit kognitif yang sudah ada sebelumnya, penyakit medis yang berat, adanya riwayat delirium sebelumnya dan kepribadian sebelum sakit. Pada beberapa operasi, misalnya operasi panggul, delirium juga sering dialami oleh pasien sesudah operasi. Kondisi khusus, misalnya luka bakar, AIDS, fraktur, hipoksemia, insufisiensi organ, infeksi, serta gangguan metabolik, juga dapat merupakan faktor risiko terjadinya delirium Pasien geriatri sangat erat dengan multipatologi organ, sehingga pada beberapa kasus diperlukan medikasi dengan banyak obat. Hal ini merupakan faktor risiko terjadinya delirium. Pemakaian obat-obatan memegang peranan penting terhadap terjadinya delirium. Banyak obat yang dapat menyebabkan delirium, namun ada beberapa obat, misalnya benzodiazepine, narkotik dan obat-obat dengan aktivitas antikolinergik, yang mempunyai kecenderungan lebih untuk menyebabkan delirium. Banyak obat dan metabolitnya yang secara tidak terduga menyebabkan delirium karena efek antikolinergiknya tidak diketahui. Suatu penelitian mengidentifikasi efek antikolinergik yang dapat menyebabkan hendaya pada memori dan atensi pada pasien geriatri. Kenyataan ini terjadi pada 10 sampai 25 obat yang paling sering diresepkan kepada pasien geriatri, termasuk teofilin, digoxin dan warfarin. Oleh karena itu, sangat penting upaya untuk meminimalkan penggunaan obat-obatan, mengurangi dosis atau menghentikan penggunaan beberapa jenis obat yang secara klinis sering menyebabkan delirium, terutama pada saat risiko tinggi misalnya periode perioperatif. Lingkungan juga mempunyai peran dalam kejadian delirium pada individu. Pengalaman sensorik yang ekstrem, kehilangan daya penglihatan dan pendengaran, imobilitas, isolasi sosial dan stress merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian delirium.2,5 Penatalaksanaan Penatalaksanaan delirium tentunya tidak terpisah dari penyebabnya. Identifikasi penyakit yang mendasari serta pengobatannya secara tepat perlu dilakukan. Pasien dengan gangguan medis umum yang disertai dengan delirium akan menjalani masa tinggal rumah sakit yang lebih lama daripada yang tidak mengalami delirium. Delirium sendiri dapat menimbulkan komplikasi lain yang banyak terjadi pada pasien, misalnya geriatri seperti jatuh dan infeksi. Pasien dengan delirium juga biasanya lebih membutuhkan perawatan di institusi. Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila sumber deliriumnya adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif atau ketika agitasi yang berat tidak dapat 229 Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Giriatri dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini disebabkan karena benzodiazepin dapat menyebabkan reaksi berkebalikan yang memperburuk delirium. Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh benzodiazepin adalah sedasi yang berlebihan yang dapat menyulitkan penilaian status kesadaran pasien itu sendiri. Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang sering dipakai pada kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol digunakan karena profil efek sampingnya yang lebih disukai dan dapat diberikan secara aman melalu jalur oral maupun parenteral. Dosis yang biasa diberikan adalah 0,5 - 1,0 mg per oral (PO) atau intra muscular maupun intra vena (IM/IV); titrasi dapat dilakukan 2 sampai 5 mg tiap satu jam sampai total kebutuhan sehari sebesar 10 mg terpenuhi. Setelah pasien lebih baik kesadarannya atau sudah mampu menelan obat oral maka haloperidol dapat diberikan per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali perhari sampai kondisi deliriumnya teratasi. Haloperidol intravena lebih sedikit menyebabkan gejala ekstrapiramidal daripada penggunaan oral.2,6,7 Antipsikotik yang lebih baru, misalnya risperidon, olanzapin dan quetiapin juga membantu dalam penatalaksanaan delirium. Namun penelitian dan bukti yang mendukung penggunaan antipsikotik atipikal pada delirium belum terbukti jelas sehingga obat-obat tersebut tidak dapat digunakan sebagai terapi lini pertama. Akan tetapi, obatobatan ini dihubungkan dengan lebih sedikitnya gangguan pergerakan akibat obat dibandingkan penggunaan haloperidol. Oleh karena itu, antipsikotik atipikal mungkin merupakan obat pilihan untuk pasien dengan penyakit Parkinson dan gangguan neuromuskular yang berhubungan, serta pasien dengan riwayat adanya gejala ektrapiramidal pada penggunaan antipsikotik lama. Dosis awal olanzapin adalah 5 mg per oral setiap hari, setelah satu minggu, dosis dapat ditingkatkan menjadi 10 mg sehari dan dititrasi menjadi 20mg sehari. Quetiapin diberikan 25 mg per oral dua kali sehari yang dapat ditingkatkan menjadi 25-50mg per dosis tiap 2 sampai 3 hari sampai tercapai target 300-400 mg perhari yang terbagi dalam 2-3 dosis. Risperidon diberikan 1-2 mg per oral pada malam hari dan secara gradual ditingkatkan 1 mg tiap 2-3 harus sampai dosis efektif tercapai (4-6 mg per oral). Quetiapin adalah obat antipsikotik baru yang paling menimbulkan sedasi dan paling aplikatif dalam pengobatan delirium yang agitasi.6 Pencegahan Delirium pada beberapa kasus mempunyai prognosis yang buruk sehingga jalan yang terbaik adalah mencegah terjadinya delirium. Hal itulah yang membuat tatalaksana delirium mulai berubah dari pengobatan menjadi pencegahan. Pencegahan dibagi menjadi dua, yaitu pencegahan primer yang bertujuan untuk mencegah keberulangan delirium sedangkan pencegahan sekunder bertujuan untuk mengurangi durasi dan keparahan delirium dan mengoptimalkan 230 fungsi sesudah kejadian. Hal ini dapat dilakukan melalui penanganan proaktif oleh psikiater atau tim geriatri. Beberapa strategi pencegahan primer delirium telah diteliti. Pada kebanyakan pasien dilakukan penapisan faktor risiko delirium melalui penanganan proaktif psikiater dan tim geriatri yang bekerjasama dalam menjalani perawatan rutin pasien rawat inap di bangsal. Dalam kasus-kasus “faktor risiko yang bisa diobati” pasien menjalani penanganan klinik dan psikososial atau profilaksis farmakologis. Penelitian terhadap keefektifan penapisan dan penelitian yang proaktif, termasuk dalam bidang penyakit dalam dan konsultasi geriatri serta pengobatan yang dianggap perlu oleh bidang-bidang tersebut memberikan gambaran yang tidak konsisten dan seringkali tidak mendapatkan kesimpulan berarti. Beberapa penelitian ada yang menyebutkan keefektifan strategi tersebut dalam mengurangi angka kejadian, durasi maupun keparahan delirium, namun penelitian lain tidak menemukan adanya efek yang menguntungkan. Suatu penelitian yang melibatkan 120 orang pasien geriatri dengan fraktur panggul menunjukkan bahwa intervensi standar, penelusuran kognitif secara sistematik, konsultasi dengan spesialis dan penatalaksanaan nyeri yang terkontrol, tidak efektif dalam menurunkan insiden delirium, walaupun keparahan dan durasi delirium dapat dikurangi.1 Sebuah penelitian dengan kontrol mengemukakan data yang memberikan bukti bahwa pendekatan intervensi multikomponen pada program penanganan geriatri efektif dalam mencegah delirium pada pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit. Pencegahan tersebut mencegah terjadinya delirium dan mengurangi total hari-hari delirium. Hal ini sangat efektif pada pasien yang memang mempunyai risiko mengalami delirium. Ketika delirium sudah terjadi maka tidak akan ada perbedaan penanganan delirium baik ditinjau dari keparahan penyakitnya atau kemungkinan berulangnya. Penemuan ini sangat penting dampaknya pada penatalaksanaan delirium bahwa pencegahan yang awal mungkin merupakan strategi yang paling efektif. Ketika delirium itu sudah terjadi maka strategi penanganan akan kurang efektif dan kurang efisien.1 Keefektifan profilaksis farmakologis telah dilakukan pada beberapa penelitian. Pada suatu penelitian dengan 400 pasien fraktur panggul, insiden delirium tidak berkurang dengan penatalaksanaan profilaksis 1 mg haloperidol dibandingkan dengan plasebo, walaupun durasi dan keparahan delirium berkurang. Akan tetapi mungkin pemberian 1 mg haloperidol terlalu rendah untuk mendapatkan efek profilaksis.4 Peranan Psikososial Lingkungan di sekitar pasien memegang peranan yang sangat penting dalam proses perbaikan kondisi delirium ataupun saat delirium sudah teratasi. Hal ini disebabkan pada saat pasien pulang dari perawatan terkadang terdapat gejala sisa delirium sehingga keluarga dan pengasuh memainkan Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007 Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Giriatri peran penting dalam perawatan pasien terutama di rumah. Pengasuh dan keluarga pasien dapat memberikan bantuan psikososial yang bersifat mendorong pasien untuk dapat kembali kepada fungsi awal sebelum terjadinya delirium. Untuk itulah anggota keluarga dan pengasuh pasien harus diberi penjelasan tentang delirium sehingga dapat menghadapi pasien dengan baik. Terkadang informasi yang salah tentang delirium dapat membuat keluarga atau pengasuh menjadi tidak sabar atau marah terhadap pasien yang dapat mencetuskan distress pada pasien. Berkaitan dengan pentingnya peranan keluarga dan pengasuh pasien dalam upaya penatalaksanaan pasien delirium, suatu penelitian bahkan mengatakan bahwa delirium sebaiknya ditangani di rumah dalam lingkungan keluarga di mana terdapat dukungan sosial yang adekuat. Hal ini dapat dilaksanakan terutama bila penyakit medis yang menyertai tidak memerlukan pelayanan medis di rumah sakit. Namun jika memang memerlukan perawatan maka penatalaksanaan transisi yang hati-hati dan pendampingan pihak keluarga serta penjelasan yang jelas tentang apa yang terjadi dapat meminimalkan peningkatan kebingungan yang biasanya terjadi pada perubahan lingkungan.2,8 Beberapa penanganan secara psikososial dapat dilihat di bawah ini: a. Penyediaan bantuan suportif dan orientasi: - Berkomunikasi secara jelas dan tegas; berikan pengulangan secara verbal tentang hari, tanggal, lokasi dan identitas kunci orang-orang yang bermakna, misalnya anggota tim medis dan saudara. - Sediakan beberapa petanda seperti jam, kalender dan jadwal harian di dekat pasien. - Bawalah barang-barang yang cukup akrab bagi pasien dari rumah untuk ditaruh di sekitar pasien. - Sediakan televisi dan radio untuk relaksasi dan membantu pasien untuk mempertahankan kontak terhadap dunia luar. - Libatkan keluarga dan pengasuh dalam meningkatkan perasaan aman dan orientasi pasien. b. Penyediaan lingkungan yang tidak ambigu: - Sederhanakanlah ruang dengan memindahkan objek-objek yang tidak perlu untuk mempertahankan ruang yang cukup luas di kamar tidur. - Pertimbangkan untuk mengambil ruang yang tunggal untuk membantu istirahat dan menghindari pengalaman sensori yang berlebihan. - Hindari penggunaan istilah-istilah medis di tengahtengah keberadaan pasien karena hal itu dapat menimbulkan paranoid. - Gunakan penerangan yang adekuat, gunakan lampu antara 40-60 Watt untuk mengurangi salah persepsi. - Atur sumber suara (baik dari staf medis, paralatan, ataupun pengunjung), setara tidak lebih dari 45 Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007 c. desibel di waktu siang dan 20 desibel di waktu malam. Jaga temperatur ruangan tetap di antara 21,1oC sampai 23,8oC. Pertahankan kemampuan pasien - Identifikasi dan perbaiki kesalahan sensorik, jamin keberadaan kacamata, alat bantu dengar atau gigi palsu untuk membantu pasien. Bila ada kesulitan dalam bahasa, pertimbangkan jasa penerjemah. - Berikan dukungan untuk perawatan mandiri dan partisipasi dalam pengobatan. - Pengobatan dilakukan untuk memperoleh tidur yang tidak tertunda. - Pertahankan akitivitas fisik: bagi pasien yang dapat bergerak lakukan jalan kaki tiga kali dalam sehari, bagi yang tidak dapat berpindah tempat berikan pergerakan selama 15 menit tiga kali sehari.2,8 Kesimpulan Delirium merupakan suatu kondisi neuropsikiatrik yang seringkali dialami oleh pasien geriatri. Gejala klinis yang utama adalah penurunan kesadaran yang disertai dengan adanya suatu hendaya fungsi kognitif yang akut dan fluktuatif. Hendaya bersifat menyeluruh, mempengaruhi kesadaran, perhatian, memori dan kemampuan perencanaan dan organisasi. Penanganan delirium melibatkan peran berbagai faktor termasuk pada deteksi dini risiko delirium, penanganan kondisi delirium, dan pencegahan berulangnya delirium. Hal ini melibatkan peranan psikiater dan konsultan geriatri yang bekerja secara interdisplin pada pasien yang mengalami delirium. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Inouye SK, Bogardus ST, Charpentier PA. A multicomponent intervention to prevent delirium in hospitalized older patients. New Engl J Med 1999;340(9):669-676. Meagher DJ. Delirium: Optimizing management. Brit Med J 2001; 322(20):144-8 Michel Élie M, Rousseau F, Cole M. Prevalence and detection of delirium in elderly emergency department patients. CMAJ 2000; 163(8):977-8. Leentjens AFG, van der Mast RC. Delirium in elderly people: An update. Curr Opin Psychiatry 2005;18(3):325-330. Landefeld CS, Palmer RM, Johnson MAG, editors. Delirium, Common Disorder in The Elderly in Current Geriatric Diagnosis and Treatment. Boston: McGrawHill; 2004.p.53-9. Quijada E, Billings JA. Fast facts and concepts #60 Pharmacologic management of delirium; update on newer agents (January, 2002). Naskah diambil dari End-of-Life Physician Education Resource Center www.eperc.mcw.edu pada tanggal 20 Februari 2007. Lyketsos CG. Diagnosis and management of delirium in the elderly case study and commentary. In: Lykets’s & Liang. Delirium in The elderly. Baltimore: Hospital Physician 1999.p.34-51,58. Gleason OC. Delirium. J Am Fam Physician 2003; 67(5):102734 231 Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Giriatri 9. Wattis J. Caring for older people: What an old age psychiatrist does. Brit Med J 1996;313:101-4. 10. Ross DD, Alexander CS. Management of common symptoms in terminally ill patients: Part II. Constipation, delirium and dyspnea. Am Fam Physician 2001;64(6):1019-26. EV 232 Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007