Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Geriatri

advertisement
Tinjauan Pustaka
Peranan Psikiatri Geriatri dalam
Penanganan Delirium
Pasien Geriatri
Andri, Charles E. Damping
Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak: Delirium merupakan suatu gangguan neuropsikiatrik yang cukup sering dialami oleh
pasien geriatri. Gejala klinis yang menjadi pedoman diagnosis utama adalah penurunan
kesadaran, adanya suatu hendaya fungsi kognitif yang akut dan berfluktuasi. Hendaya bersifat
menyeluruh yang mempengaruhi atensi, memori dan kemampuan perencanaan dan organisasi.
Tatalaksana pasien delirium harus melibatkan berbagai cabang ilmu karena pada kenyataannya
pasien geriatri mempunyai masalah kesehatan yang kompleks (multipatologi) sehingga
memerlukan penanganan secara holistik. Penangan oleh tim yang terdiri dari psikiatri geriatri,
konsultan geriatri medis, rehabilitasi medis, dan gizi merupakan kombinasi yang baik dan
telah dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Banyak penelitian mengatakan bila
delirium sudah terjadi maka tidak akan ada perbedaan dalam penanganan delirium baik
ditinjau dari keparahan penyakitnya atau kemungkinan keberulangannya. Akan tetapi usaha
pencegahan baik secara psikososial maupun psikofarmakologi diperlukan untuk menekan
angka morbiditas dan mortalitas yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
geriatri.
Kata Kunci : gangguan neuropsikiatrik, geriatri, pendekatan psikososial.
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007
227
Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Giriatri
The Role of Psychiatric Geriatric in the Treatment of
Delirium in Geriatric Patients
Andri, Charles E.Damping
Department of Psychiatry, Faculty of Medicine, University of Indonesia
Abstract: Delirium is a neuropsychiatric disorder that often occurs in geriatric patients. The main
clinical manifestations are disturbance of consciousness, deficit in cognition which is acute and
generally affect attention, memory and the organization and planning ability. The fluctuation of the
disturbance is an important indicator of this disturbance. Treatment of patient with delirium must
involve interdisciplinary approach because in clinical practice geriatric patients have a complex
health problems (multipathology) and need holistic care. Treatment by a team consists of psychiatrist specialized in geriatric, geriatric medic, medic rehabilitation, and nuticient consultant will
produce the best result; this has been done at Cipto Mangunkusumo National Hospital. Although
some studies suggest that delirium has no significant differences in treatment if already occured,
but psychosocial approach or even psychopharmacotherapy has a benefit in reducing morbidity
and mortality of the disturbance. It also has an important role in maintaining the quality of life of
geriatric patients.
Key Words: neuropsychiatric disturbance, geriatric, psychosocial approach
Pendahuluan
Delirium yang dikenal juga dengan sebutan acute confusional state adalah sebuah gangguan yang umum, serius,
tetapi secara potensial dapat dicegah. Delirium merupakan
sumber morbiditas dan mortalitas di antara pasien-pasien
geriatri yang dirawat. Hal ini penting karena pada pasien
berusia di atas 65 tahun, kejadian delirium menghabiskan
48% seluruh hari perawatan di rumah sakit. Insiden delirium
juga meningkat sejalan dengan pertambahan usia populasi.1
Delirium adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang
kompleks dengan onset yang akut dan berfluktuasi. Sindrom
ini mempengaruhi kesadaran dan fungsi kognitif yang
mungkin diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor. Selain
itu, delirium juga mempengaruhi atensi dan beberapa pasien
ada yang mengalami gangguan persepsi.2
Pada pasien geriatri, delirium berhubungan dengan
perpanjangan waktu tinggal di rumah sakit, peningkatan
mortalitas dan peningkatan beban biaya pengobatan. Delirium biasanya bersifat reversible jika penyebab yang
mendasarinya teridentifikasi. Sayangnya, delirium terkadang
tidak terdeteksi pada pasien geriatri yang dirawat di rumah
sakit, walaupun prevalensinya sekitar 10-16%. Pasien geriatri
juga menjadi rentan karena pada beberapa kasus terdapat
hendaya dalam fungsi kognitif dan angka kejadian delirium
pada populasi ini cukup tinggi.
Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan tempat yang
strategis untuk mendeteksi gangguan delirium dan memulai
228
penanganan klinis. Beberapa penelitian mendapati prevalensi
pasien IGD yang mengalami delirium berkisar antara 10-17%.2,3
Gambaran Klinis
Gejala delirium sangat beragam dan, walaupun tidak
spesifik, sifatnya yang fluktuatif sangat nyata dan merupakan
indikator diagnostik yang sangat penting. Terdapat tiga
bentuk delirium yang telah diketahui, yaitu: tipe hiperaktif,
hipoaktif, dan campuran. Tipe hipoaktif seringkali tidak
dikenali dan dihubungkan dengan prognosis yang buruk
secara keseluruhan. Tipe ini juga sering terjadi pada pasien
yang usianya cenderung lebih tua.
Gangguan yang penting melibatkan suatu hendaya
fungsi kognitif yang akut dan menyeluruh yang
mempengaruhi kesadaran, perhatian, memori dan kemampuan
perencanaan dan organisasi. Gangguan lain, misalnya pola
tidur yang berubah, gangguan proses pikir, afek, persepsi
dan tingkat keaktifan, walaupun dipandang tidak bermakna
mempunyai kontribusi yang besar dalam mengidentifikasi dan
menatalaksana delirium.
Tergantung dari gejala yang timbul, delirium dapat
disalahartikan dengan gangguan lain, misalnya demensia,
gangguan mood dan psikosis fungsional.2 Diagnosis delirium
pada pasien demensia cukup sulit karena gejala delirium dan
demensia yang saling tumpang tindih. Suatu penelitian
dilakukan untuk mengidentifikasikan gejala delirium yang
khas pada pasien demensia untuk membantu penegakan di-
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007
Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Giriatri
agnosis delirium. Pasien demensia yang mengalami delirium
memperlihatkan lebih banyak agitasi psikomotor, disorientasi,
dan pikiran yang tidak terorganisasi.4
Secara klinis penegakkan diagnosis delirium dapat
menggunakan DSM IV-TR. Ada satu lagi alat bantu yang
biasa digunakan di kalangan non-psikiater yaitu Confusion
Assesment Method (CAM). Di bawah ini adalah kriteria
diagnostik delirium berdasarkan DSM IV-TR; keempat kriteria
ini harus dipenuhi untuk menegakkan diagnosis delirium.
Tabel 1. Kriteria Diagnostik Delirium
A.
B.
C.
D.
Gangguan kesadaran (berkurangnya kewaspadaan terhadap
lingkungan) dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian
Perubahan kognisi (seperti kemunduran ingatan, disorientasi,
gangguan berbahasa) atau adanya gangguan persepsi yang tidak
dapat dimasukkan ke dalam pre-demensia, demensia yang sudah
ada atau demensia yang sedang muncul.
Gangguan berlangsung dalam waktu yang singkat (biasanya
jam sampai beberapa hari) dan cenderung untuk berfluktuasi
selama berlangsungnya.
Adanya bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan
penemuan pemeriksaan laboratorium yang mengindikasikan
bahwa gangguan ini merupakan konsekuensi fisiologis dari
kondisi medis umum.
Etiologi
Bila membicarakan etiologi delirium, maka faktor
predisposisi dibedakan dengan faktor presipitasi. Faktor
predisposisi membuat seseorang lebih rentan mengalami
delirium, sedangkan faktor presipitasi merupakan faktor
penyebab somatik delirium.
Saat ini beberapa penelitian prospektif telah menemukan
beberapa faktor predisposisi delirium pada geriatri yang
potensial. Penelitian yang lebih baik bahkan mampu mendapatkan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian delirium.
Selain pertambahan usia, adanya penurunan fungsi kognitif
sebelumnya merupakan faktor risiko yang sering didapatkan.
Lebih jauh lagi, delirium merupakan indikator pertama
demensia pada populasi geriatri. Angka kejadian delirium
pada pasien demensia sendiri secara bermakna lebih tinggi
dua sampai lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan
populasi yang tidak demensia.5
Faktor presipitasi yang telah ditemukan yang menurunkan ambang delirium pada usia lanjut adalah pria, tekanan
darah tinggi, penggunaan banyak obat terutama obat-obatan
antikolinergik, anestesi umum, dan penggunaan alkohol atau
benzodiazepine. Lebih jauh lagi, adanya peningkatan
konsentrasi sodium di serum, penurunan fungsi fisik, dan
penurunan fungsi menghadapi stress juga diidentifikasi
sebagai faktor risiko independen pada pasien delirium.
Penelitian lain mengatakan bahwa kombinasi faktor termasuk
usia, kadar urea darah, hipertensi, dan kebiasaan merokok
merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya delirium.4
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007
Faktor Risiko dan Faktor Presipitasi
Walaupun terdapat banyak sekali faktor risiko yang
mencerminkan karakteristik perjalanan dari pasien, beberapa
faktor dapat dimodifikasi untuk mencegah kejadian delirium.
Beberapa faktor risiko yang berasal dari diri pasien
sendiri adalah usia, adanya defisit kognitif yang sudah ada
sebelumnya, penyakit medis yang berat, adanya riwayat delirium sebelumnya dan kepribadian sebelum sakit. Pada
beberapa operasi, misalnya operasi panggul, delirium juga
sering dialami oleh pasien sesudah operasi. Kondisi khusus,
misalnya luka bakar, AIDS, fraktur, hipoksemia, insufisiensi
organ, infeksi, serta gangguan metabolik, juga dapat
merupakan faktor risiko terjadinya delirium
Pasien geriatri sangat erat dengan multipatologi organ,
sehingga pada beberapa kasus diperlukan medikasi dengan
banyak obat. Hal ini merupakan faktor risiko terjadinya delirium. Pemakaian obat-obatan memegang peranan penting
terhadap terjadinya delirium. Banyak obat yang dapat
menyebabkan delirium, namun ada beberapa obat, misalnya
benzodiazepine, narkotik dan obat-obat dengan aktivitas
antikolinergik, yang mempunyai kecenderungan lebih untuk
menyebabkan delirium. Banyak obat dan metabolitnya yang
secara tidak terduga menyebabkan delirium karena efek
antikolinergiknya tidak diketahui. Suatu penelitian mengidentifikasi efek antikolinergik yang dapat menyebabkan
hendaya pada memori dan atensi pada pasien geriatri.
Kenyataan ini terjadi pada 10 sampai 25 obat yang paling
sering diresepkan kepada pasien geriatri, termasuk teofilin,
digoxin dan warfarin. Oleh karena itu, sangat penting upaya
untuk meminimalkan penggunaan obat-obatan, mengurangi
dosis atau menghentikan penggunaan beberapa jenis obat
yang secara klinis sering menyebabkan delirium, terutama
pada saat risiko tinggi misalnya periode perioperatif.
Lingkungan juga mempunyai peran dalam kejadian delirium pada individu. Pengalaman sensorik yang ekstrem,
kehilangan daya penglihatan dan pendengaran, imobilitas,
isolasi sosial dan stress merupakan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kejadian delirium.2,5
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan delirium tentunya tidak terpisah dari
penyebabnya. Identifikasi penyakit yang mendasari serta
pengobatannya secara tepat perlu dilakukan. Pasien dengan
gangguan medis umum yang disertai dengan delirium akan
menjalani masa tinggal rumah sakit yang lebih lama daripada
yang tidak mengalami delirium. Delirium sendiri dapat
menimbulkan komplikasi lain yang banyak terjadi pada pasien,
misalnya geriatri seperti jatuh dan infeksi. Pasien dengan
delirium juga biasanya lebih membutuhkan perawatan di
institusi.
Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari,
kecuali bila sumber deliriumnya adalah reaksi putus zat
alkohol atau sedatif atau ketika agitasi yang berat tidak dapat
229
Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Giriatri
dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini disebabkan karena
benzodiazepin dapat menyebabkan reaksi berkebalikan yang
memperburuk delirium. Reaksi berkebalikan yang diakibatkan
oleh benzodiazepin adalah sedasi yang berlebihan yang dapat
menyulitkan penilaian status kesadaran pasien itu sendiri.
Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik,
obat yang sering dipakai pada kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol digunakan karena profil efek sampingnya
yang lebih disukai dan dapat diberikan secara aman melalu
jalur oral maupun parenteral. Dosis yang biasa diberikan
adalah 0,5 - 1,0 mg per oral (PO) atau intra muscular maupun
intra vena (IM/IV); titrasi dapat dilakukan 2 sampai 5 mg
tiap satu jam sampai total kebutuhan sehari sebesar 10 mg
terpenuhi. Setelah pasien lebih baik kesadarannya atau sudah
mampu menelan obat oral maka haloperidol dapat diberikan
per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali perhari sampai kondisi
deliriumnya teratasi. Haloperidol intravena lebih sedikit
menyebabkan gejala ekstrapiramidal daripada penggunaan
oral.2,6,7
Antipsikotik yang lebih baru, misalnya risperidon,
olanzapin dan quetiapin juga membantu dalam penatalaksanaan delirium. Namun penelitian dan bukti yang
mendukung penggunaan antipsikotik atipikal pada delirium
belum terbukti jelas sehingga obat-obat tersebut tidak dapat
digunakan sebagai terapi lini pertama. Akan tetapi, obatobatan ini dihubungkan dengan lebih sedikitnya gangguan
pergerakan akibat obat dibandingkan penggunaan haloperidol. Oleh karena itu, antipsikotik atipikal mungkin merupakan
obat pilihan untuk pasien dengan penyakit Parkinson dan
gangguan neuromuskular yang berhubungan, serta pasien
dengan riwayat adanya gejala ektrapiramidal pada penggunaan antipsikotik lama.
Dosis awal olanzapin adalah 5 mg per oral setiap hari,
setelah satu minggu, dosis dapat ditingkatkan menjadi 10
mg sehari dan dititrasi menjadi 20mg sehari. Quetiapin
diberikan 25 mg per oral dua kali sehari yang dapat
ditingkatkan menjadi 25-50mg per dosis tiap 2 sampai 3 hari
sampai tercapai target 300-400 mg perhari yang terbagi dalam
2-3 dosis. Risperidon diberikan 1-2 mg per oral pada malam
hari dan secara gradual ditingkatkan 1 mg tiap 2-3 harus
sampai dosis efektif tercapai (4-6 mg per oral). Quetiapin
adalah obat antipsikotik baru yang paling menimbulkan
sedasi dan paling aplikatif dalam pengobatan delirium yang
agitasi.6
Pencegahan
Delirium pada beberapa kasus mempunyai prognosis
yang buruk sehingga jalan yang terbaik adalah mencegah
terjadinya delirium. Hal itulah yang membuat tatalaksana
delirium mulai berubah dari pengobatan menjadi pencegahan.
Pencegahan dibagi menjadi dua, yaitu pencegahan primer
yang bertujuan untuk mencegah keberulangan delirium
sedangkan pencegahan sekunder bertujuan untuk mengurangi durasi dan keparahan delirium dan mengoptimalkan
230
fungsi sesudah kejadian. Hal ini dapat dilakukan melalui
penanganan proaktif oleh psikiater atau tim geriatri.
Beberapa strategi pencegahan primer delirium telah
diteliti. Pada kebanyakan pasien dilakukan penapisan faktor
risiko delirium melalui penanganan proaktif psikiater dan tim
geriatri yang bekerjasama dalam menjalani perawatan rutin
pasien rawat inap di bangsal. Dalam kasus-kasus “faktor risiko
yang bisa diobati” pasien menjalani penanganan klinik dan
psikososial atau profilaksis farmakologis.
Penelitian terhadap keefektifan penapisan dan penelitian
yang proaktif, termasuk dalam bidang penyakit dalam dan
konsultasi geriatri serta pengobatan yang dianggap perlu
oleh bidang-bidang tersebut memberikan gambaran yang
tidak konsisten dan seringkali tidak mendapatkan kesimpulan
berarti. Beberapa penelitian ada yang menyebutkan keefektifan strategi tersebut dalam mengurangi angka kejadian,
durasi maupun keparahan delirium, namun penelitian lain tidak
menemukan adanya efek yang menguntungkan.
Suatu penelitian yang melibatkan 120 orang pasien
geriatri dengan fraktur panggul menunjukkan bahwa
intervensi standar, penelusuran kognitif secara sistematik,
konsultasi dengan spesialis dan penatalaksanaan nyeri yang
terkontrol, tidak efektif dalam menurunkan insiden delirium,
walaupun keparahan dan durasi delirium dapat dikurangi.1
Sebuah penelitian dengan kontrol mengemukakan data
yang memberikan bukti bahwa pendekatan intervensi
multikomponen pada program penanganan geriatri efektif
dalam mencegah delirium pada pasien geriatri yang dirawat
di rumah sakit. Pencegahan tersebut mencegah terjadinya
delirium dan mengurangi total hari-hari delirium. Hal ini sangat
efektif pada pasien yang memang mempunyai risiko mengalami delirium. Ketika delirium sudah terjadi maka tidak
akan ada perbedaan penanganan delirium baik ditinjau dari
keparahan penyakitnya atau kemungkinan berulangnya.
Penemuan ini sangat penting dampaknya pada penatalaksanaan delirium bahwa pencegahan yang awal mungkin
merupakan strategi yang paling efektif. Ketika delirium itu
sudah terjadi maka strategi penanganan akan kurang efektif
dan kurang efisien.1
Keefektifan profilaksis farmakologis telah dilakukan
pada beberapa penelitian. Pada suatu penelitian dengan 400
pasien fraktur panggul, insiden delirium tidak berkurang
dengan penatalaksanaan profilaksis 1 mg haloperidol
dibandingkan dengan plasebo, walaupun durasi dan keparahan delirium berkurang. Akan tetapi mungkin pemberian 1
mg haloperidol terlalu rendah untuk mendapatkan efek
profilaksis.4
Peranan Psikososial
Lingkungan di sekitar pasien memegang peranan yang
sangat penting dalam proses perbaikan kondisi delirium
ataupun saat delirium sudah teratasi. Hal ini disebabkan pada
saat pasien pulang dari perawatan terkadang terdapat gejala
sisa delirium sehingga keluarga dan pengasuh memainkan
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007
Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Giriatri
peran penting dalam perawatan pasien terutama di rumah.
Pengasuh dan keluarga pasien dapat memberikan
bantuan psikososial yang bersifat mendorong pasien untuk
dapat kembali kepada fungsi awal sebelum terjadinya delirium. Untuk itulah anggota keluarga dan pengasuh pasien
harus diberi penjelasan tentang delirium sehingga dapat
menghadapi pasien dengan baik. Terkadang informasi yang
salah tentang delirium dapat membuat keluarga atau
pengasuh menjadi tidak sabar atau marah terhadap pasien
yang dapat mencetuskan distress pada pasien.
Berkaitan dengan pentingnya peranan keluarga dan
pengasuh pasien dalam upaya penatalaksanaan pasien delirium, suatu penelitian bahkan mengatakan bahwa delirium
sebaiknya ditangani di rumah dalam lingkungan keluarga di
mana terdapat dukungan sosial yang adekuat. Hal ini dapat
dilaksanakan terutama bila penyakit medis yang menyertai
tidak memerlukan pelayanan medis di rumah sakit. Namun
jika memang memerlukan perawatan maka penatalaksanaan
transisi yang hati-hati dan pendampingan pihak keluarga
serta penjelasan yang jelas tentang apa yang terjadi dapat
meminimalkan peningkatan kebingungan yang biasanya
terjadi pada perubahan lingkungan.2,8
Beberapa penanganan secara psikososial dapat dilihat
di bawah ini:
a. Penyediaan bantuan suportif dan orientasi:
- Berkomunikasi secara jelas dan tegas; berikan
pengulangan secara verbal tentang hari, tanggal,
lokasi dan identitas kunci orang-orang yang
bermakna, misalnya anggota tim medis dan saudara.
- Sediakan beberapa petanda seperti jam, kalender
dan jadwal harian di dekat pasien.
- Bawalah barang-barang yang cukup akrab bagi
pasien dari rumah untuk ditaruh di sekitar pasien.
- Sediakan televisi dan radio untuk relaksasi dan
membantu pasien untuk mempertahankan kontak
terhadap dunia luar.
- Libatkan keluarga dan pengasuh dalam meningkatkan perasaan aman dan orientasi pasien.
b. Penyediaan lingkungan yang tidak ambigu:
- Sederhanakanlah ruang dengan memindahkan
objek-objek yang tidak perlu untuk mempertahankan ruang yang cukup luas di kamar tidur.
- Pertimbangkan untuk mengambil ruang yang
tunggal untuk membantu istirahat dan menghindari
pengalaman sensori yang berlebihan.
- Hindari penggunaan istilah-istilah medis di tengahtengah keberadaan pasien karena hal itu dapat menimbulkan paranoid.
- Gunakan penerangan yang adekuat, gunakan
lampu antara 40-60 Watt untuk mengurangi salah
persepsi.
- Atur sumber suara (baik dari staf medis, paralatan,
ataupun pengunjung), setara tidak lebih dari 45
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007
c.
desibel di waktu siang dan 20 desibel di waktu
malam.
Jaga temperatur ruangan tetap di antara 21,1oC
sampai 23,8oC.
Pertahankan kemampuan pasien
- Identifikasi dan perbaiki kesalahan sensorik, jamin
keberadaan kacamata, alat bantu dengar atau gigi
palsu untuk membantu pasien. Bila ada kesulitan
dalam bahasa, pertimbangkan jasa penerjemah.
- Berikan dukungan untuk perawatan mandiri dan
partisipasi dalam pengobatan.
- Pengobatan dilakukan untuk memperoleh tidur yang
tidak tertunda.
- Pertahankan akitivitas fisik: bagi pasien yang dapat
bergerak lakukan jalan kaki tiga kali dalam sehari,
bagi yang tidak dapat berpindah tempat berikan
pergerakan selama 15 menit tiga kali sehari.2,8
Kesimpulan
Delirium merupakan suatu kondisi neuropsikiatrik yang
seringkali dialami oleh pasien geriatri. Gejala klinis yang utama
adalah penurunan kesadaran yang disertai dengan adanya
suatu hendaya fungsi kognitif yang akut dan fluktuatif.
Hendaya bersifat menyeluruh, mempengaruhi kesadaran,
perhatian, memori dan kemampuan perencanaan dan
organisasi.
Penanganan delirium melibatkan peran berbagai faktor
termasuk pada deteksi dini risiko delirium, penanganan
kondisi delirium, dan pencegahan berulangnya delirium. Hal
ini melibatkan peranan psikiater dan konsultan geriatri yang
bekerja secara interdisplin pada pasien yang mengalami delirium.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Inouye SK, Bogardus ST, Charpentier PA. A multicomponent
intervention to prevent delirium in hospitalized older patients.
New Engl J Med 1999;340(9):669-676.
Meagher DJ. Delirium: Optimizing management. Brit Med J 2001;
322(20):144-8
Michel Élie M, Rousseau F, Cole M. Prevalence and detection of
delirium in elderly emergency department patients. CMAJ 2000;
163(8):977-8.
Leentjens AFG, van der Mast RC. Delirium in elderly people: An
update. Curr Opin Psychiatry 2005;18(3):325-330.
Landefeld CS, Palmer RM, Johnson MAG, editors. Delirium, Common Disorder in The Elderly in Current Geriatric Diagnosis and
Treatment. Boston: McGrawHill; 2004.p.53-9.
Quijada E, Billings JA. Fast facts and concepts #60 Pharmacologic management of delirium; update on newer agents (January,
2002). Naskah diambil dari End-of-Life Physician Education
Resource Center www.eperc.mcw.edu pada tanggal 20 Februari
2007.
Lyketsos CG. Diagnosis and management of delirium in the elderly case study and commentary. In: Lykets’s & Liang. Delirium
in The elderly. Baltimore: Hospital Physician 1999.p.34-51,58.
Gleason OC. Delirium. J Am Fam Physician 2003; 67(5):102734
231
Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Giriatri
9.
Wattis J. Caring for older people: What an old age psychiatrist
does. Brit Med J 1996;313:101-4.
10. Ross DD, Alexander CS. Management of common symptoms in
terminally ill patients: Part II. Constipation, delirium and dyspnea. Am Fam Physician 2001;64(6):1019-26.
EV
232
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007
Download