DELIRIUM PADA PASIEN RAWAT INAP DENGAN

advertisement
DELIRIUM PADA PASIEN RAWAT INAP DENGAN SKIZOFRENIA: SEBUAH
LAPORAN KASUS
1
Made Ayu Dwi Pradnyawati, 2Nyoman Ratep, 3Wayan Westa
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali
ABSTRACT
Delirium is psychiatric disorder characterized by conciousness state impairment,
disorientation, and affective alteration, including cognitive and non-cognitive deficite, and
developed in acute onset. Delirium stand in organic mental disorder group, which has many
similarity of signs and symptoms with psycotic mental disorder as schizophrenia. Delirium,
particularly that is not related with alcohol and drug abuse, frequently found in elderly. Some
cases of delirium among inpatient psychiatric patients have been reported, but just few further
studies have been held on those cases. This case report try to deliver a case of delirium in a
65 y.o. inpatient paranoid type schizophrenia. This patient showed sign of severe
disorientation during his treatment. In psychiatric assesment, stated male patient with
inappropriate appearance, contact avoidance, decrease of conciousness, and severe
disorientation. Mood/affect found irritable/appropriate. Patient experienced delution and
hallucination. He suspected with undetected dementia as underlying disease.
Keywords: Delirium, inpatient, dementia
DELIRIUM IN HOSPITALIZED PATIENTS WITH SCHIZOPHRENIA:
A CASE REPORT
ABSTRAK
Delirium merupakan suatu kondisi kejiwaan yang ditandai dengan gangguan kesadaran,
disorientasi dan perubahan afektif, melibatkan gangguan kognitif maupun non-kognitif yang
terjadi dengan onset akut. Delirium berada dalam kelompok gangguan mental organik, dan
memiliki banyak kemiripan gejala dengan gangguan mental psikosis seperti skizofrenia.
Kejadian delirium, terutama yang tidak terkaitdengan penyalahgunaan alkohol dan zat
terlarang, seringkali ditemukan pada pasien usia tua. Insiden delirium pada pasien rawat inap
dengan gangguan jiwa sebelumnya telah sering dilaporkan, namun masih jarang dikaji.
Laporan ini membahas kasus delirium pada pasien laki-laki berusia 65 tahun yang tengah
menjalani rawat inap dengan diagnosis awal skizofrenia paranoid remisi tidak sempurna yang
menunjukkan gejala disorientasi berat selama masa perawatannya. Dari status psikiatri
didapatkan penampilan tidak wajar, kontak verbal dan visual kurang, kesadaran berkabut,
disorientasi waktu, tempat, dan orang. Mood/afek irritable/appropriate. Terdapat waham
curiga. Terdapat halusinasi auditorik dan visual. Terdapat dugaan telah ada kondisi demensia
yang mendasari sebelumnya.
Kata kunci: Delirium, demensia, rawat inap
sehingga seringkali dijadikan indikator
PENDAHULUAN
Delirium merupakan bagian dari
sindrom
neuropsikiatri
dengan
perubahan
yang
level
perhatian, dan kognisi
ditandai
kesadaran,
secara
global
dengan onset mendadak. Saat ini, delirium
banyak dikaitkan dengan tingginya angka
morbiditas dan mortalitas di kalangan
penderitanya.1Berbagai faktor diketahui
meningkatkan risiko terjadinya delirium,
antara lain usia tua, riwayat prosedur
pembedahan,
metabolik,
infeksi
penyakit
kronis,
kelainan
vaskular,
stroke
iskemik, kerusakan kognitif, dan penyakit
neurogeneratif
seperti
Alzheimer,
degenerasi lobus frontotemporal, penyakit
Parkinson, penyakit prion, dan gangguan
depresi.2 Diantara berbagai faktor risiko
tersebut, usia tua merupakan faktor risiko
terkuat
yang
diyakini
mempengaruhi
kejadian delirium, yaitu mempengaruhi
diagnostik yang penting. Hingga saat ini
diketahui
tiga
diketahui,
jenis
yaitu
(1)
delirium
yang
Delirium
tipe
hiperaktif, (2)Delirium tipe hipoaktif, dan
(3)Delirium tipe campuran.2,3 Gejala yang
sering ditemukan pada pasien delirium
adalah adanya hendaya fungsi kognitif
yang
onsetnya
mendadak,
gangguan
kesadaran, perhatian, daya ingat, serta
terganggunya
kemampuan
di
bidang
perencanaan dan organisasi. Selain itu,
pasien sering datang dengan keluhan atau
dikeluhkan
mengalami gangguan pola
tidur, mengalami perubahan proses pikir,
alterasi
afek,
persepsi,
dan
tingkat
keaktifan, yang walaupun tidak signifikan
bermakna
namun
identifikasi
serta
bermanfaat
dalam
penatalaksanaan
delirium.2,4
Delirium
merupakan
status
sekitar 40% pasien lanjut usia yang
kejiwaan yang jarang berdiri sendiri.3
menderita gangguan medis lain. Kejadian
Kondisi delirium akibat penyalahgunaan
delirium juga banyak mengikuti prosedur
alkohol dan zat tertentu mudah ditegakkan
operasi, terutama yang berkaitan dengan
dengan penelusuran riwayat penyakit. Di
patah tulang mayor, pemasangan graft
luar kondisi tersebut, delirium juga dapat
kardiovaskular, dan transplantasi organ,
merupakan suatu kondisi ikutan akibat
dengan kisaran 9-87%, bergantung pada
gangguan yang telah dialami sebelumnya. 5
usia,
Misalnya, pada pasien usia tua, demensia
jenis
intervensi,
dan
vaskular bawaan atau infeksi.
penyakit
1
merupakan salah satu kondisi yang sering
Gejala delirium sangat beragam,
dan
walaupun
tidak
spesifik,
gejala
delirium ditemukan fluktuatif sangat nyata
dikaitkan dengan kejadian delirium. Onset
yang cepat dalam perjalanan penyakit
delirium
menjadi
tantangan
tersendiri
dalam pengidentifikasian sindroma ini,
pertanyaan sambil menatap ke arah lain.
terutama apabila kondisi delirium muncul
Dalam
saat pasien sedang menjalani perawatan di
menggunakan
pusat
sesekali diselingi dengan bahasa daerah
layanan
kesehatan.
Terdapat
menjawab
pertanyaan,
Bahasa
menjawab
pasien
Indonesia
berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
Bali,
secara
perubahan status mental pasien sehingga
intonasinya seringkali tidak jelas.
yang
singkat,
dan
kejadian delirium dengan latar pasien
Pasien dapat menyebutkan nama
psikiatri yang sedang menjalani rawat inap
dan alamat asalnya dengan benar. Pasien
menarik untuk dikaji.
juga dapat mengenali keluarga yang
mengantar sebagai anak dan menantunya.
ILUSTRASI KASUS
Namun saat ditanya tempatnya berada saat
Pasien laki-laki berumur 65 tahun,
wawancara, pasien menjawab, “Di pura
suku Bali, datang pertama kali ke UGD
Besakih”. Pasien dapat mengulang tiga
RSUP Sanglah diantar oleh anak dan
nama benda saat diminta, yaitu buku,
menantu
pulpen,
pasien.
dalam
posisi
Pasien
diwawancara
dan
senter.
Pasien
dapat
duduk,
awalnya
tidak
menyebutkan pekerjaannya adalah sebagai
pakaian
dan
hanya
petani yang bekerja menggarap sawah
mengenakan kain warna putih untuk
milik sendiri. Saat diminta menyebutkan
menutup
kembali tiga nama benda sebelumnya,
mengenakan
tubuhnya.
Pasien
mau
mengenakan pakaian setelah disuruh oleh
pasien
anaknya. Pasien dengan rambut tercukur
menolak menjawab pertanyaan hitungan
pendek, kulit sawo matang, dan kuku
sederhana 100 dikurangi tujuh.Pasien tidak
terpotong dan terkesan kotor. Raut wajah
menjawab saat ditanya jumlah kabupaten
pasien terlihat kesal, kedua matanya
di Bali dan saat ditanya mengenai nama
merah, terlihat gelisah, dan sering berubah
presiden
posisi
dan
menjawab, “Tidak suka.” Selanjutnya
sebaliknya. Pasien berkali-kali menoleh ke
pasien mengucapkan “tidak suka” berkali-
kanan dan kiri, serta sering tiba-tiba duduk
kali walaupun tanpa ditanya.
dari
duduk
ke
berdiri
menolak
Indonesia
menjawab.
saat
ini,
Pasien
pasien
bersila dan mencakupkan tangan seperti
Pasien tidak mengetahui alasan
sedang sembahyang. Pasien juga berkali-
mengapa dirinya dibawa ke rumah sakit. .
kali mengatakan ingin pergi ke luar
Pasien mengatakan bahwa saat ini ia
ruangan
Selama
merasa marah karena pembagian warisan
diwawancara pasien tidak selalu menatap
yang tidak adil oleh saudaranya. Pasien
mata pemeriksa dan sering menjawab
juga mengatakan ada dewa yang masuk
pemeriksaan.
lewat kepalanya, menyuruh pasien untuk
hari
rajin sembahyang agar dapat terhindar dari
mengalami perubahan perilaku, dimana
guna-guna
pasien menjadi sedikit bicara dan sering
dan
ilmu
hitam.
Pasien
mengakui sering mendengar suara-suara,
sebelumnya,
pasien
dikatakan
terlihat melamun.
berupa suara lelaki dan wanita yang
Sebelumnya pasien sudah pernah
mengatakan bahwa dirinya akan dicelakai
dirawat di RSUP Sanglah sekitar 3 tahun
dan dikenai guna-guna. Pasien tidak ingat
yang lalu selama 10 hari dengan keluhan
bahwa dirinya pernah mengamuk dan
sering bicara sendiri. Setelah dipulangkan
berkata keras. Pasien mengaku tidak bisa
dari rumah sakit, kondisi pasien dikatakan
tidur. Selama wawancara pasien sering
membaik.
menolak menjawab pertanyaan pemeriksa
secara rutin dan meminum obat secara
dan lebih sering diam saja. Beberapa kali,
teratur. Perkembangan pasien selanjutnya
pasien berdiri, berjalan ke sembarang arah,
dikatakan semakin baik, pasien dapat tidur
dan menengok ke dalam ruangan lain yang
dan beraktivitas dengan baik serta tidak
ada di sekitar tempat pemeriksaan.
pernah bicara sendiri lagi. Hanya saja
Berdasarkan
pasien
kontrol
wawancara
sejak pernah dirawat di rumah sakit, pasien
dengan anak dan menantu yang tinggal
dikatakan menjadi jarang bersosialisasi ke
serumah dengan pasien, pasien dibawa ke
luar rumah dan hanya berkomunikasi
rumah sakit karena marah-marah dan
seperlunya dengan anggota keluarga yang
mengamuk. Pasien mulai marah dan
lain. Penyakit pasien tidak pernah kambuh
mengamuk sejak satu hari sebelum masuk
lagi
rumah
menganggap pasien sudah sembuh dan
sakit.
hasil
Selanjutnya
Pasien
mengamuk
di
sehingga
pasien
keluarga
lingkungan rumah dan sekitarnya. Pasien
memutuskan
sempat memukul kepala salah satu anggota
pengobatan sejak 3 bulan yang lalu.
keluarga hingga terluka karena merasa
Pasien
untuk
dan
tidak
menghentikan
memiliki
riwayat
orang tersebut akan mencelakai dirinya.
penyakit lain, riwayat trauma tidak ada,
Sejak 7 hari sebelum dibawa ke rumah
riwayat alergi tidak ada. Riwayat penyakit
sakit, pasien dikatakan tidak tidur di
dan
malam hari. Setiap malam, pasien mondar-
dikatakan tidak ada. Riwayat pengobatan
mandir sambil membawa kayu atau batu
untuk keluhan saat ini pasien belum
sambil bicara sendiri dan marah-marah
mendapat pengobatan apapun.
sambil
menyebut
nama
gangguan
jiwa
dalam
keluarga
saudara-
Di kediamannya, pasien tinggal
saudaranya. Pasien juga menolak setiap
serumah dengan istri, seorang anak,
kali diingatkan untuk makan. Beberapa
seorang menantu, dan dua orang cucu.
Hubungan dengan keluarga dikatakan
diri.
baik-baik saja, walaupun sejak dirawat
pemeriksaan dan pemahaman pasien akan
untuk keluhan sebelumya hubungan pasien
penyakitnya yaitu tilikan I.
dengan keluarga menjadi tidak begitu
Psikomotor
Pasien
meningkat
didiagnosis
dengan
dekat. Dalam kesehariannya, keluarga
Skizofrenia
mengatakan bahwa sebelum sakit pasien
Sempurna, dengan diagnosis multiaxial
adalah seorang yang ramah dan pekerja
sebagai
keras. Pasien dulunya rajin bekerja di
Paranoid Remisi Tidak Sempurna, Axis II
sawah, dan sering menghabiskan waktu
tidak ada diagnosis, Axis III Hipertensi
dengan mengobrol dengan tetangga sekitar
grade II, Axis IV masalah psikososial dan
di warung dekat rumah. Pasien jarang
lingkungan lainnya, dan Axis V GAF saat
bercerita
rumah
ini adalah 30-21. Pasien diterapi dengan
tengah
pemberian Stelazin 2x 2,5 mg dan
dihadapinya. Pasien tidak merokok dan
Lorazepam 1x 0,5 mg dengan rencana
tidak mengkonsumsi alkohol.
perawatan masuk rumah sakit selama 7
kepada
mengenai
keluarga
masalah
di
yang
Dari pemeriksaan fisik didapatkan
Paranoid
saat
berikut:
Axis
Remisi
I
Tidak
Skizofrenia
hari.
tekanan darah pasien 140/90 mmHg,
Dari
hasil
pencatatan
dengan tanda vital lainnya dalam batas
perkembangan harian pasien, didapatkan
normal.
tidak
bahwa setelah 2 hari diterapi dengan
ditemukan kelainan demikian pula pada
pengobatan tersebut diatas, pasien tidak
pemeriksaan neurologis tidak ditemukan
menunjukkan perubahan ke arah yang
defisit
pemeriksaan
membaik. Pada hari keempat perawatan,
didapatkan penampilan tidak
didapatkan pasien sering bicara sendiri.
Status
general
neurologis.
psikiatri
Pada
pasien
wajar, kontak verbal dan visual kurang,
Pasien
kesadaran jernih, orientasi waktu, dan
mengamuk, namun masih berbicara sendiri
orang baik, orientasi tempat kurang,
mengenai hal-hal yang sulit dimengerti
kemampuan
sulit
bahkan oleh keluarganya sendiri. Pasien
dievaluasi, daya ingat sulit dievaluasi,
menyapa orang-orang disekitarnya berkali-
intelengensia sulit dievaluasi. Mood/afek
kali dengan suara keras. Pasien juga tidak
irritable/appropriate. Bentuk pikir non-
mau duduk diam, berjalan berkeliling,
logis
sambil menyalami dan menyuruh setiap
berpikir
non-realis,
arus
abstrak
pikir
asosiasi
tidak
yang
lagi
marah-marah
ditemuinya
dan
longgar. Terdapat waham curiga. Terdapat
orang
untuk
halusinasi auditorik dan visual. Terdapat
bersembahyang. Pasien tidak ingat akan
masalah tidur, terdapat masalah mengurus
namanya dan tidak dapat mengenali
anggota keluarganya. Pasien mengulang-
Axis V GAF saat ini adalah 30-21. Terapi
ulang bahwa dirinya adalah seseorang
medikamentosa pasien diganti dengan
yang
pemberian Haloperidol 2x 0,5 mg dan
dikirim
oleh
Tuhan
untuk
menyebarkan agama.
pemberian obat anti hipertensi. Dalam 1x
Pada pasien dilakukan pemeriksaan
24 jam, pasien tidak mengalami perbaikan.
fisik ulang dengan didapatkan tekanan
Dikatakan oleh keluarga bahwa pasien
darah 160/100 mmHg dengan tanda vital
menjadi lebih gelisah. Terapi pasien
lain
normal.
diganti
menjadi
Pemeriksaan general dan neurologis masih
dengan
meneruskan
dalam batas normal. Pada pemeriksaan
antihipertensi, selanjutnya kondisi pasien
psikiatri
dilaporkan
masih
dalam
batas
didapatkan penampilan tidak
Risperidon
2x2
pemberian
membaik.
Pasien
mg
obat
kembali
wajar, kontak verbal dan visual kurang,
mengenali keluarganya dan perilakunya
kesadaran berkabut, disorientasi waktu,
menjadi lebih tenang.
tempat, dan orang. Kemampuan berpikir
abstrak masih sulit dievaluasi, daya ingat
sulit
dievaluasi,
intelengensia
dievaluasi.
sulit
Mood/afek
irritable/appropriate. Bentuk pikir nonlogis
non-realis,
arus
pikir
asosiasi
longgar. Terdapat waham curiga. Terdapat
halusinasi auditorik dan visual. Siklus
tidur terganggu, dan pasien mengalami
penurunan kemampuan mengurus diri
yang sangat kentara. Psikomotor saat
pemeriksaan meningkat.
Setelah dilakukan penilaian ulang
kondisi pasien, diagnosis kerja pasien
diubah
menjadi
Bertumpangtindih
Demensia
DISKUSI
Delirium
dengan
diagnosis multiaxial sebagai berikut: Axis
I Delirium Bertumpangtindih Demensia,
Axis II tidak ada diagnosis, Axis III
Hipertensi grade II, Axis IV masalah
psikososial dan lingkungan lainnya, dan
Pasien dalam laporan kasus ini
didiagnosis
Delirium
dengan
dengan
Bertumpangtindih
diagnosis
Demensia,
setelah sebelumnya sempat ditegakkan
diagnosis Skizofrenia Paranoid Remisi
Tidak Sempurna. Kedua diagnosis tersebut
ditegakkan
berdasarkan
kriteria
yang
tercantum dalam Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia
(PPDGJ-III),
dimana
kedua
diagnosis
tersebut tergolongkan dalam dua golongan
diagnosis
yang
berbeda.
Skizofrenia
Paranoid Remisi Tidak Sempurna berada
di
golongan
kedua
yaitu
kelompok
gangguan
mental
psikosa.
Sementara
Delirium
Bertumpangtindih
Demensia
tergolong
dalam
kelompok
gangguan mental organik.6
penyakit
Menurut Maramis, gangguan otak
Saat datang ke rumah sakit, pasien
organik dan fungsional tergolong dalam
menunjukkan gejala berupa perubahan
kelompok psikosis. Dijelaskan bahwa
afek
psikosis
gangguan
bersamaan dengan gangguan proses pikir
kejiwaan yang terutama ditandai dengan
yang ditandai dengan arus pikir asosiasi
hilangnya rasa dalam menilai kenyataan
longgar, isi pikir berupa halusinasi dan
(sense of reality).7 Tanda tersebut berupa
waham (berupa waham curiga), serta
perubahan afek dan emosi, gangguan
bentuk pikir yang tidak logis dan tidak
proses berpikir, perubahan psikomotorik.
nyata. Pasien juga mengalami insomnia
Menninger menyebutkan bahwa ada lima
dan menunjukkan gejala hipobulia. Gejala-
sindrom klasik yang menyertai sebagian
gejala tersebut telah dialami selama satu
besar pola psikotik, yaitu: (1) perasaan
minggu
sedih, bersalah, dan tidak mampu yang
sakit.Walaupun telah menunjukkan gejala
mendalam, (2) keadaan terangsang yang
khas
tidak menentu dan tidak terorganisir,
diagnosis masih sulit ditegakkan bila
disertai dengan perubahan motorik dan
melihat onset munculnya gejala yang baru
bicara yang berlebihan, (3) regresi ke arah
satu minggu, sementara kriteria diagnosis
autisme berupa manerisme pembicaraan
mensyaratkan
dan perilaku, isi pikiran berwaham, dan
berlangsung sekurang-kurangnya selama
sikap acuh terhadap harapan sosial, (4)
satu
preokupasi
disertai
mengenai riwayat penyakit sebelumnya
kecurigaan, kecenderungan membela diri,
dari pasien digunakan untuk mendukung
dan rasa kebesaran, serta (5) keadaan
penegakan
bingung dan delirium dengan disorientasi
riwayat telah pernah menjalani perawatan
dan
merupakan
yang
halusinasi.6,7
suatu
berwaham,
dominan
sebelum
skizofrenia,
yang
muncul
masuk
namun
gejala
rumah
penegakan
yang
telah
bulan.(PPDGJ-III).Penggalian
diagnosis.
Pasien
dengan
psikosa
untuk gangguan kejiwaan serupa tiga
dibagi ke dalam dua kelompok besar,
tahun yang lalu. Gejala yang dialami saat
seperti yang telah disebutkan diatas, yaitu
itu memiliki kemiripan dengan gejala khas
sindroma psikosa organik dan sindroma
psikotik
psikosa
Selanjutnya
yang
fungsional.7
Selanjutnya,
yang
dialami
saat
ini,
mengarahkan kecurigaan bahwa gejala saat
perpotongan dan kemiripan gejala antara
ini
merupakan episode
lanjutan dari
kedua kelompok penyakit tersebut akan
penyakit yang telah dialami sebelumnya.
dijadikan dasar dalam membahas kasus
Riwayat tersebut sekaligus menjadi dassar
dalam laporan ini.
penegakan diagnosis skizofrenia paranoid
dengan klasifikasi remisi tidak sempurna,
dengan
mempertimbangkan
keadaan
pasien yang mengalami putus pengobatan.
Kecurigaan
bahwa
pasien
mengalami delirium muncul setelah pasien
menunjukkan
perkembangan
gejala
disorientasi yang sangat jelas. Pasien tidak
dapat mengenali anggota keluarganya dan
mengalami
kebingungan
diragukan sebagai penyebab utama dari
delirium
yang
dialami
oleh
pasien.
Selanjunya dilakukan pengkajian ulang
mengenai status kejiwaan pasien untuk
menilai kelainan lain yang paling sering
menyertai kejadian delirium pada pasien
usia tua, yaitu demensia.
tentang
Demensia merupakan kumpulan
tempatnya berada. Gejala tersebut muncul
gejala yang muncul ditandai dengan
tiba-tiba, bersamaan dengan perubahan
gangguan fungsi kognitif yang kejadiannya
perilaku pasien yang menjadi lebih agresif
bersifat kronik progresif, dan karena
dan
melibatkan gangguan fungsi otak, maka
bicara
lebih
banyak
dan
sulit
irreversibel.5
dihentikan. Gejala tersebut memenuhi
sifatnya
kriteria diagnosis untuk delirium. Melihat
biasanya muncul dalam berbagai bentuk
latar belakang sosial pasien, dimana pasien
defisit kognitif meliputi daya ingat, daya
tidak memiliki riwayat penyalahgunaan
pikir, orientasi, daya tangkap, kemampuan
obat-obatan
berhitung, belajar, dan berbahasa, serta
dan
zat
tertentu,
maka
diagnosis yang muncul kemudian adalah
penurunan
daya
delirium, bukan akibat alkohol dan zat
gangguan
fungsi
psikoaktif lainnya.8
demensia
juga
Tergolong
sebagai
salah
satu
gangguan mental organik, pada kasus
delirium yang tidak terkait dengan alkohol
dan
zat
psikoaktif,
perlu
dilakukan
penelusuran pada kondisi yang mungkin
menyertai atau menyebabkan keadaan
8
delirium tersebut. Dari hasil pemeriksaan
pasien, kelainan organik yang sementara
ini
ditemukan
pemeriksaan
fisik
melalui
adalah
prosedur
adanya
peningkatan tekanan darah yaitu terukur
160/100 mmHg. Tanpa adanya kelainan
lainnya,
kondisi
hipertensi
masih
Gejala
nilai.
Di
luar
kortikal,
sering
tersebut
dari
penderita
menunjukkan
perubahan perilaku dan gangguan fungsi
pengendalian emosi.(PPDGJ-III). Setiap
pasien gangguan jiwa yang termasuk
dalam kategori usia lanjut (>60 tahun),
seharusnya
menjalani
skrining
untuk
menilai adanya kondisi demensia yanng
telah ada sebelumnya.5,8 Pada pasien,
upaya tersebut mengalami kendala karena
saat pertama kali tiba di rumah sakit pasien
sulit diajak berkomunikasi, sering menolak
menjawab
kooperatif
pertanyaan,
selama
dan
kurang
pemeriksaan
berlangsung. Melihat kondisi pasien yang
mengalami
disorientasi
dengan
kejiwaan dimungkinkan karena variasi
keterangan dari keluarga bahwa sejak sakit
gejala yang muncul antara satu pasien
tiga tahun yang lalu pasien tidak pernah
dengan pasien lain bersifat sangat luas.
kembali
Selain kemiripan gejala, dapat terjadi
menjadi
berat,
benar-benar
normal,
diputuskan untuk menegakkan diagnosis
kesalahan
sementara
Bertumpangtindih
anamnesis yang kurang tajam terhadap
Demensia, hingga dilakukan pemeriksaan
pasien. Kejadian delirium pada pasien
lanjutan
psikotik yang tengah menjalani rawat inap
Delirium
yang
diagnosis
dapat
tersebut.
mengkonfirmasi
Sementara
proses
diagnosis
akibat
itu,
telah sering dilaporkan. Didapatkan bahwa
penatalaksanaan difokuskan pada kondisi
kejadian delirium pada pasien psikotik
delirium.
yang
Berdasarkan
mengenai
sebuah
fenomena
melibatkan
100
penelitian
delirium
pasien
lanjut
yang
usia,
didapatkan bahwa secara garis besar gejala
delirium dibagi menjadi gejala kognitif
dan gejala non-kognitif.4 Gejala kognitif
yang paling sering ditemukan adalah
tengah
menjalani
rawat
inap
dipengaruhi oleh berbagai faktor, meliputi
usia, kelainan organik yang diderita, dan
riwayat
penggunaan
zat.Penggalian
riwayat penting dilakukan karena akan
berpengaruh
terhadap
penatalaksanaan
terhadap pasien itu sendiri.
Penatalaksaan
psikosis
pada
gangguan siklus tidur dan gangguan
dasarnya bergantung pada kondisi pasien.
perhatian,
Perawatan
sementara
disorientasi
inap
di
rumah
sakit
merupakan gejala defisit kognitif. Pasien
direkomendasikan bagi pasien dengan
dengan
kondisi vital yang tidak stabil, berperilaku
gangguan
psikosis
ditemukan
memiliki salah satu diantara gangguan
mengganggu
persepsi
berpotensi membahayakan diri sendiri, dan
atau
delusi,
namun
tidak
lingkungan
mengalami keduanya secara bersamaan.
orang-orang
Gejala psikotik positif seperti munculnya
pengobatan medikamentosa yang dapat
halusinasi dan waham tidak berkaitan
dipilih adalah klorpromazin, tioridazin,
dengan gangguan kognitif.4,8 Pada kasus
trifluoperazin, atau haloperidol.9 Dalam
ini, gangguan isi pikir memang telah
pemberian obat, dianjurkan untuk memulai
dialami
dari dosis efektif terkecil dengan tujuan
oleh
pasien
sejak
riwayat
mengalami gangguan jiwa sebelumnya.
Perubahan
atau
penambahan
diagnosis pada pasien dengan gangguan
disekitarnya.
sekitar,
menekan efek samping obat.
Pilihan
Pasien
mendapat terapi stelazine dan lorazepam.
Stelazine merupakan obat antipsikotik
tipikal dari golongan phenothiazine yang
pada
memiliki rantai piperazine. Sementara
memberikan
lorazepam adalah obat antianxietas dari
Perbaikan baru didapat setelah pemberian
golongan
ini
Risperidon. Risperidon juga tergolong
diberikan kepada pasien karena pasien
sebagai obat antipsikotik. Berbeda dengan
mengalami
haloperidol yang merupakan antipsikotik
benzodiazepine.
gangguan
Obat
siklus
tidur
(insomnia).10
Standar
Pelayanan
Medis RSUP Sanglah Denpasar tahun
2009, penderita gangguan mental organik
yang menjalani rawat inap mendapat
mg/hari,
berupa
lingkungan
Haloperidol
yang
1-5
nyaman,
psikoterapi suportif, dan terapi perilaku.
Setelah ditegakkan diagnosis delirium
pada pasien ini, terapi medikamentosa
pasien segera diganti menjadi Haloperidol
2x0,5 mg. Haloperidol merupakan agen
antipsikotik yang bekerja menghambat
reseptor dopaminergik D1 dan D2 yang
terletak di post sinaps mesolimbik. Dengan
menghambat rangsangan dopamin, akan
berakibat
penekanan
hipotalamus
jumlah
yang
hormon
dilepaskan.
Penghambatan tersebut juga diharapkan
akan
ini
Haloperidol
efek
yang
tidak
diharapkan.
tipikal, risperidon termasuk ke dalam
Berdasarkan
pengobatan
pasien
menghambat
kerja
Reticular
Activating System (RAS) sehingga akan
mempengaruhi metabolisme basal tubuh,
temperatur, kesiagaan, tonus vasomotor,
dan juga pusat emetik.9 Pilihan obat
tersebut seharusnya tepat diberikan kepada
pasien yang menunjukkan peningkatan
psikomotor seperti pada kasus. Namun,
kelompok
antipsikotik
atipikal.
Mekanisme kerja antipsikotik atipikal
hingga saat ini belum diketahui secara
pasti. Namun, diyakini bahwa selain
bekerja
menghambat
reseptor
dopaminergik tipe 2 (D2), risperidon juga
bekerja menghambat reseptor serotonin
tipe 2 (5HT2).11
DAFTAR PUSTAKA
1. MacLullich AM, Beaglehole A, Hall
RJ, Meagher DJ. Delirium and longterm cognitive impairment. Int Rev
Psychiatry 2009; 21: 30–42
2. Witlox J, Eurelings LS, de Jonghe JF,
Kalisvaart KJ, Eikelenboom P, van
Gool WA. Delirium in elderly patients
and
the
mortality,
risk
of
postdischarge
institutionalization,
and
dementia: a meta-analysis. JAMA
2010; 304: 443–51
3. Christine M. Ruby, Jeffrey T. Sherer.
Sue Fosnight. Delirium in the Elderly.
PSAP-VII 2009: 74-96
4. Donna Fick, Lorraine Mion. Assesing
and Managing Delirium in Older
Adult With Dementia. The Hartford
Institute for Geriatric Nursing dalam
Systemic Review of Evidence. Health
AJN 2008; 108(1): 1-3
Services Research and Development
5. Raj
N.
Kalaria,
Elizabeta
B.
Service 2011: 14-43
Mukaetova. Delirium, Dementia, and
9. David Meagher, Maeve Leonard. The
Senility. Actaneuropatol 2010; 119:
Active Management of Delirium:
737-54
Improving Detection and Treatment.
6. American
Psychiatric
Association.
Diagnostic and Statistical Manual of
Mental
Disorders,
Washington,
Edisi
DC,
IV.
American
Psychiatric Association; 1994.
7. Maramis
WF,
Catatan
Advances in Psychiatric Treatment
2008; 14: 292-301
10. R. Balaraman dan Hardik Gandhi.
Asenapine,
A
New
Sublingual
Atypical Antipsichotic. Journal of
Ilmu
Pharmacology
and
Kedokteran Jiwa. Edisi I. Surabaya:
Pharmacotherapeutics 2010; 1(1): 60-
Airlangga University Press; 2005
61
8. Rebecca Rossom, Pauline Anderson,
11. Rusdi Maslim. Penggunaan Klinis
Nancy Greer. Delirium: Screening,
Obat Psikotropik. Edisi III. Jakarta:
Prevention,
PT. Nuh Jaya; 2007
And
Diagnosis-
A
Download