BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab 5 ini, dijabarkan mengenai kesimpulan, diskusi, serta saran terkait metodologis dan praktis. 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis data dari uji statistik yang digunakan, didapatkan hasil sebagai berikut: 1. Komunikasi terapeutik (attending skills, respect, empathy, dan responsiveness) berperan sebesar 43.6% dalam memprediksi kepuasan kerja perawat. 2. Indikator attending skills tidak berperan lebih daripada indikator respect, empathy, dan responsiveness dalam memprediksi kepuasan kerja perawat. 3. Indikator respect tidak berperan lebih daripada indikator attending skills, empathy, dan responsiveness dalam memprediksi kepuasan kerja perawat. 4. Indikator empathy tidak berperan lebih daripada indikator attending skills, respect, dan responsiveness dalam memprediksi kepuasan kerja perawat. 5. Indikator responsiveness berperan lebih daripada indikator attending skills, respect, dan empathy dalam memprediksi kepuasan kerja perawat yaitu sebesar 1.917. Dari hasil analisis yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik: attending skills, respect, empathy, responsiveness sebagai indikator-indikator dari komunikasi terapeutik ternyata berperan dalam memprediksi kepuasan kerja perawat sebesar 43.6%, sedangkan sisanya yaitu sebesar 56.4% variabel dependen (kepuasan kerja) dipengaruhi oleh peranan dari faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Kemudian setelah mengetahui indikator-indikator komunikasi terapeutik berperan sebesar 43.6% dalam memprediksi kepuasan kerja, diketahui juga indikator yang paling berkontribusi atau yang paling besar peranannya dalam memprediksi kepuasan kerja yaitu indikator responsiveness. Dari pemaparan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa perawat yang mengutamakan menggunakan salah satu dari keterampilan komunikasi terapeutik seperti; keberadaan (attending skills), keterampilan sikap menghormati (respect), atau sikap berempati (empathy), pada saat bekerja, kurang dapat diprediksi kepuasan kerjanya di kemudian hari apabila dibandingkan dengan perawat yang menggunakan keterampilan ketanggapan (responsiveness). Selain hasil penelitian utama, didapatkan juga beberapa hasil tambahan dalam penelitian ini, diantaranya dari data yang ada terdapat kecenderungan bahwa perawat menilai diri mereka cukup tinggi dalam keterampilan komunikasi. Hasil ini disebabkan karena perawat menilai diri sendiri dengan menggunakan self-report atas pekerjaan yang dilakukan selama ini. Kemudian, hasil tambahan berikutnya adalah jenis kelamin perawat yang bekerja di ruang instalasi RSJ Negeri di Jakarta didominasi oleh wanita (62.9%) dan sisanya adalah pria (28.6%). Ini menunjukkan bahwa sampai sekarang, profesi sebagai seorang perawat masih identik berjender wanita. Hasil lain yang didapatkan dalam penelitian ini adalah mengenai lama bekerja perawat dan latar belakang pendidikannya. Sekitar tahun 1980-an, perawat-perawat yang bekerja di instalasi rawat inap paling banyak berlatar belakang pendidikan S1 dan masih menerima perawat dengan latar belakang pendidikan yang setara dengan SMA. Namun setelah memasuki tahun 2000 keatas, rata-rata perawat berlatar belakang pendidikan DIII dan sudah tidak terdapat lagi yang berlatar belakang SMA atau sederajatnya. Ini menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang perawat, dibutuhkan standarisasi yang jelas dalam menyandang atribut perawat, serta dibutuhkan orang-orang yang qualified dan memiliki keterampilan, baik itu hard skills maupun soft skills yang nantinya akan mempengaruhi kepuasan kerja mereka kedepannya. 5.2 Diskusi Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan asumsi peneliti bahwa indikator-indikator komunikasi terapeutik (attending skills, respect, empathy, responsiveness) berperan dalam memprediksi kepuasan kerja seorang perawat. Besar peranan indikator-indikator komunikasi terapeutik dalam memprediksi kepuasan kerja perawat diketahui sebesar 43.6%. Ini berarti 56.4% faktor-faktor lainnya turut berperan dalam memprediksi kepuasan kerja, namun tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Nilai 43.6% dianggap memiliki peranan yang cukup besar dalam memprediksi kepuasan kerja perawat, apabila dilihat dari faktor-faktor lainnya (faktor fisiologis, sosial, dan finansial) yang dijabarkan oleh As’ad (2003). Asumsinya adalah nilai 56.4% sisanya, terdiri dari faktor-faktor fisiologis, sosial, dan finansial yang turut berperan dalam memprediksi kepuasan kerja. Sehingga dapat dikatakan indikator-indikator komunikasi terapeutik berperan cukup besar dalam memprediksi kepuasan kerja perawat dibandingkan dengan tiga faktor lainnya. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa indikator yang paling berperan dalam memprediksi kepuasan kerja perawat adalah indikator responsiveness, dengan nilai koefisien regresi sebesar 1.917. Keadaan ini menunjukkan bahwa untuk penguasaan keterampilan attending skills, respect, empathy ternyata belum tentu membuat perawat merasa puas akan pekerjaannya. Kepuasan kerja yang dirasakan oleh seorang perawat dalam penelitian ini adalah kepuasan yang dipengaruhi oleh faktor psikologis, yaitu soft skill yang dimiliki oleh perawat. Selama ini, penelitian dan artikel-artikel yang membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja hanya menyebutkan keterampilan sebagai salah satu faktor yang berkontribusi, tanpa menjabarkan lebih lanjut keterampilan yang bersifat hard skill atau soft skill. Ini memberikan asumsi bahwa yang dimaksud adalah hard skill dan lebih kepada pengaplikasian secara teknikal dalam dunia industri. Kemudian secara teoritis, hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dipaparkan oleh Stamps (dalam Taunton, dkk, 2004) bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan maupun persepsi seseorang mengenai besaran rasa suka maupun tidak suka terhadap komponen tertentu dari pekerjaannya. Stuart & Sundeen (dalam Stuart & Laraia, 2005) memaparkan bahwa perawat yang baik adalah perawat yang bersedia bersikap responsiveness atau tanggap dan cepat, serta cekatan dalam mengatasi segala kemungkinan yang dapat merugikan pasien. Sehingga, hasil yang diperoleh adalah turut merasakan kepuasan, kesembuhan, dan kebahagiaan pasien yang telah dirawat. Jika keadaan ini terjadi, perawat akan memiliki persepsi dan perasaan yang positif terhadap pekerjaannya dan tentunya akan meningkatkan kepuasan kerjanya. Keadaan ini sejalan dengan pemaparan Locke (dalam Wijono, 2010) bahwa perasaan yang menyenangkan dan berasal dari persepsi individu dalam rangka menyelesaikan tugas atau memenuhi kebutuhan, akan menghasilkan kepuasan kerja. Dengan begitu perawat juga dapat mengetahui dan memahami bahwasanya kepuasan tidak hanya dirasakan oleh pasien yang telah dirawat, namun mereka juga dapat merasakan kepuasan kerja untuk diri mereka sendiri. Faktor lain yang turut berkontribusi pada kepuasan kerja adalah faktor usia perawat. Berdasarkan hasil deskriptif usia perawat, kebanyakan perawat yang bekerja di instalasi rawat inap adalah perawat-perawat yang berusia 2131 tahun (47%), yang dapat dikatakan masih tergolong dalam usia muda dalam dunia kerja. Herzberg (dalam Wijono, 2010) mengatakan bahwa pada usia muda, seseorang dapat menunjukkan tingkat kepuasan kerjanya yang dapat dilihat dari semangat kerja yang dimiliki. Semangat kerja ini akan berkembang selama beberapa tahun kemudian selama menjadi karyawan. Menyangkut hal tersebut, perlu dikaji kembali mengenai tingkat kepuasan kerja perawat yang ditinjau dari segi usia terkait morale atau semangat kerjanya. Dilihat dari segi metodologisnya, peneliti melakukan adaptasi terhadap dua alat ukur yaitu komunikasi terapeutik dan kepuasan kerja, yang merupakan alat ukur yang dikerjakan oleh orang lain (behavioral rating) dalam menilai kerja dan perilaku perawat. Untuk alat ukur komunikasi terapeutik, kuesioner yang ada diisi oleh pasien untuk menilai perilaku perawat selama mengurusi dirinya (pasien). Sedangkan untuk alat ukur kepuasan kerja (NDNQI-adapted index), kuesioner diisi oleh perawat lain untuk menilai perilaku atau keseharian perawat yang ingin diketahui kepuasan kerjanya. Dalam pengadaptasian kedua alat ukur ini, peneliti menggunakan self-report, sehingga semua kuesioner yang diberikan, dikerjakan oleh perawat itu sendiri. Untuk itu, perlu dikaji kembali item-item yang memiliki tingkat social desirability yang tinggi, serta kemungkinan-kemungkinan terjadinya faking dalam pengisian kuesioner yang harus dapat dihindarkan sebisa mungkin. Misalnya dengan membuat item-item yang mengandung lie detector di dalamnya atau pernyataan-pernyataan item yang lebih asertif sehingga tidak menyinggung hal-hal sensitif seperti masalah gaji. Inilah alasan mengapa hasil skor yang diperoleh cenderung tinggi dikarenakan perawat menilai diri mereka cukup tinggi dalam keterampilan komunikasi yang dimiliki. Selain itu, indikator responsiveness yang diketahui memiliki peranan yang paling tinggi, dianggap dapat mewakili dan lebih berarti dibandingkan tiga indikator lainnya (attending skills, respect, empathy). Ini disebabkan bahwa responsiveness atau ketanggapan dapat membantu dan mempercepat kesembuhan pasien yang dikarenakan perawat bergerak cepat, tanggap, atau cekatan, baik setiap kali dibutuhkan oleh pasien, maupun tanggap dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi pasien. Namun, hal ini perlu dikaji kembali dimana kesimpulan mengenai ketanggapan perawat tidak hanya dilihat berdasar pada sudut pandang perawat saja (self-report), tetapi juga berdasar pada sudut pandang pasien (behavioral rating). Sehingga, dapat diketahui bahwa kepuasan kerja memang berasal dari perilaku responsiveness perawat yang dinilai secara langsung oleh perawat itu sendiri, ataukah terdapat mediasi berupa kepuasan pasien, yaitu sebelum perawat merasakan kepuasan kerja sebaiknya diketahui terlebih dahulu kepuasan pasien terhadap perilaku perawat. Dengan kata lain, alat ukur yang digunakan tidak hanya ditujukan untuk perawat saja tetapi juga untuk pasien. Kemudian, jumlah item-item pernyataan untuk setiap indikator harus diperbanyak lagi dikarenakan sangat mempengaruhi nilai reliabilitas dan validitas alat ukur itu sendiri. Dari 24 item pernyataan indikator-indikator komunikasi terapeutik dan 45 item kepuasan kerja, terdapat beberapa item yang memiliki korelasi yang kecil terhadap total skor item-item pada indikator tersebut. Ini mengakibatkan item-item yang memiliki korelasi yang kecil maka dinyatakan tidak valid dan tidak dapat digunakan, sehingga peneliti harus mengurangi item-item tersebut. Pada indikator responsiveness, memiliki validitas 0.504 yang tergolong sedang namun masih dapat digunakan. Sedangkan untuk nilai reliabilitas responsiveness juga paling rendah diantara tiga indikator lainnya, yaitu sebesar 0.423, ini dikarenakan jumlah item pernyataan setelah dihapus hanya menyisahkan 4 item saja. Untuk itu, sebaiknya mempersiapkan item sebanyak-banyaknya agar pada saat field, item yang dikerjakan oleh subyek penelitian adalah item-item pilihan dengan nilai validitas dan reliabilitas yang tinggi. Dalam penelitian ini, terdapat juga beberapa keterbatasan, diantaranya penyebaran data yang tidak seimbang antara perawat pria dan wanita, jumlah subyek penelitian yang hanya dipilih di instalasi rawat jalan, serta tidak adanya karakteristik yang ditentukan dan disamakan untuk setiap subyek, sehingga membuat data menjadi sangat variatif dan tidak terdistribusi secara normal. Ini dapat dilihat dari nilai rasio skewness keempat indikator komunikasi terapeutik; attending skills (3.42), respect (3.17), empathy (2.07), responsiveness (3.804) yang jauh dari nilai data distribusi normal, yaitu -2 sampai 2. Keterbatasan lain yaitu penelitian ini hanya berfokus pada penilaian perawat (self-report) mengenai sikap mereka terkait indikator-indikator keterampilan komunikasi yang dimiliki (covert), tanpa meninjau sikap tersebut terealisasi atau sesuai dengan perilaku perawat yang sebenarnya (overt). Jika ditinjau secara statistik, indikator-indikator keterampilan komunikasi terapeutik, yang berkapasitas sebagai sikap, secara langsung dapat menjadi prediktor atas kepuasan kerja. Namun jika ditinjau secara teoritis, dikatakan bahwa sikap tidak selalu berkesesuaian dengan perilaku (Holland, Verplanken, & Knippenberg, dalam Effendy, 2011), yang artinya indikator-indikator keterampilan komunikasi terapeutik belum tentu berlanjut secara kongruen dengan perilaku. Dengan kata lain, belum tentu sikap dapat menjadi predictor langsung bagi kepuasan kerja. Untuk itu, perlu dikaji kembali keselarasan atau kesesuaian antara kepercayaan, sikap, niat, dan perilaku perawat, dengan cara memperluas metode penelitian berupa wawancara dan eksperimen guna mengetahui seberapa jauh perilaku perawat sudah mewujud dan selaras maupun tidak dengan sikap mereka. 5.3 Saran Berdasarkan hasil diskusi, maka dipaparkan juga beberapa saran, baik saran saran penelitian selanjutnya, saran metodologis, maupun saran praktis. 5.3.1 Saran penelitian selanjutnya Saran untuk penelitian selanjutnya adalah: 1. Meneliti efek mediasi kepuasan pasien terhadap kepuasan kerja perawat. 2. Meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh perbedaan usia dalam meningkatkan kepuasan kerja perawat ditinjau dari semangat kerja (morale). 3. Meneliti lebih lanjut sikap perawat terkait niat dan perilakunya (attitudeintention-behavior) sebagai suatu kesatuan perilaku. 4. Meneliti perilaku keterampilan komunikasi terapeutik perawat yang melibatkan cognitive-behavior, dengan menggunakan metode penelitian eksperimen. 5.3.2 Saran metodologis Beberapa saran metodologis untuk penelitian selanjutnya, yaitu: 1. Memadukan penelitian kualitatif bagi subyek penelitian dengan skor yang tinggi untuk mengkaji lebih dalam mengenai peranan indikator responsiveness terhadap kepuasan kerja. 2. Mengembangkan alat ukur dengan menambahkan item-item yang memiliki social desirability yang rendah. 3. Menentukan karakteristik subyek dengan proporsi yang sama, misalnya jumlah perawat wanita dan pria disamakan, usia dan latar belakang pendidikan juga disamakan. 4. Mengontrol variabel-variabel sekunder yang mungkin mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang, misalnya emosi, serta mempengaruhi tingkat keterampilan komunikasi seseorang seperti tipe kepribadian. 5.3.3 Saran praktis Saran praktis pada penelitian ini, yaitu: 1. Dengan mengetahui bahwa indikator komunikasi terapeutik yang paling berperan dalam meningkatkan kepuasan kerja perawat adalah responsiveness, maka perawat dapat meningkatkan atau menguasai keterampilan ini terlebih dahulu kemudian menguasai keterampilan komunikasi terapeutik lainnya. 2. Dengan mengetahui bahwa indikator komunikasi terapeutik yang paling berperan dalam meningkatkan kepuasan kerja perawat adalah responsiveness, maka pada saat diadakan pelatihan meningkatkan keterampilan komunikasi terapeutik denganan waktu yang terbatas, perawat dapat memberikan pelatihan responsiveness saja.