BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, yang nantinya dapat menjadi landasan teoritis dalam mendukung penelitian ini. Teori-teori yang terdapat dalam bab ini diantaranya komunikasi terapeutik, kepuasan kerja, dan perawat. Di akhir bab ini, dilampirkan juga empat hipotesis penelitian. 2.1 2.1.1 Komunikasi Terapeutik Pengertian Komunikasi Terapeutik Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi professional yang direncanakan secara sadar, mempunyai tujuan, dan berpusat pada kesembuhan pasien (Supriyanto & Ernawaty, 2010). Menurut Wulan & Hastuti (2011), perawat yang memiliki keterampilan komunikasi secara terapeutik akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan pasien, lebih mudah mencegah munculnya masalah legal, mampu memberikan kepuasan professional dalam pelayanan keperawatan, serta mampu meningkatkan citra profesi pelayanan keperawatan dan rumah sakit. Nasir & Muhith (2011) menjelaskan komunikasi terapeutik sebagai kegiatan bertukar informasi antara perawat dan pasien yang dilakukan secara sadar dalam rangka proses penyembuhan. Kegiatan yang dilakukan oleh perawat adalah mencari informasi mengenai keluhan yang dirasakan oleh pasien dan mengevaluasi. Kegiatan pasien adalah memberikan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai keluhan yang dirasakan agar dapat dijadikan pegangan perawat dalam bertindak (melakukan tindakan keperawatan). 2.1.2 Tujuan Terapeutik Komunikasi terapeutik berbeda dengan komunikasi sosial yang terjadi sehari-hari. Komunikasi terapeutik ditandai dengan terjadinya komunikasi antara dokter atau perawat dan pasien, sifat komunikasi lebih akrab karena bertujuan dan fokus pada pasien yang membutuhkan bantuan, tempat terjadinya di rumah sakit, puskesmas, klinik, dan tempat praktek pribadi, serta direncanakan untuk mempercepat proses penyembuhan dan kepuasan pasien. Tujuan terapeutik menurut Supriyanto & Ernawaty (2010) diantaranya: 1. Membantu pasien dalam memperbaiki dan mengedalikan emosi, sehingga dapat membantu mempercepat penyembuhan dari upaya medis. 2. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran, serta diharapkan dapat mengambil tindakan mengubah situasi yang ada apabila pasien percaya pada hal-hal yang diperlukan. 3. Membantu mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan efektif, dan mempertahankan kekuatan ego pasien. 4. Menciptkan komunikasi terapeutik yang dapat memberikan pelayanan prima (service excellence), sehingga kepuasan dan kesembuhan pasien dapat tercapai. 5. Menciptakan komunikasi yang menghasilkan kepuasan semua pihak yang terlibat yaitu dokter, perawat, dan pasien. 2.1.3 Indikator Komunikasi Terapeutik Untuk dapat memberikan pelayanan yang prima, perlu diperhatikan indikator-indikator komunikasi terapeutik yang dapat menunjang pelayanan keperawatan itu sendiri. Indikator komunikasi terapeutik yang saling terkait dan sulit dipisahkan secara diskrit diantaranya attending skill, ramah dan hormat, empati, dan ketanggapan/responsiveness (Supriyanto & Ernawaty, 2010). 1. Attending skill Attending skill merupakan penampilan fisik perawat ketika berkomunikasi dengan pasien. Perawat hadir secara utuh (fisik dan psikologis) saat melakukan komunikasi terapeutik. Attending skill perawat diidentifikasikan dalam lima cara komunikasi yaitu SOLER; squarely, open posture, lean, eye contact, relaxed. - Squarely. Squarely atau berhadapan merupakan posisi penampilan fisik yang menunjukkan sikap siap untuk melayani pasien. - Open posture. Open posture memiliki arti menunjukkan sikap terbuka. Misalnya tidak melipat kaki atau tangan, atau berkacak pinggang saat berkomunikasi. - Lean. Lean memiliki arti membungkuk ke arah pasien, yaitu penampilan fisik yang menunjukkan keinginan untuk mengatakan sesuatu atau mendengarkan pasien. - Eye contact. Eye contact memiliki arti mempertahankan kontak mata pada saat berkomunikasi. Kontak mata menunjukkan bahwa perawat menghargai pasien dan tetap ingin berkomunikasi. - Relaxed. Relaxed memiliki arti bahwa perawat dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberi respons dan tindakan kepada pasien. 2. Respect Respect merupakan sikap dan perilaku hormat kepada pasien yang harus dimiliki oleh perawat. Indikator respect terdiri dari keramahtamahan, perilaku hormat, dan sopan. Stuart & Sundeen (dalam Stuart & Laraia, 2005). memaparkan bahwa hormat merupakan sikap yang perduli dan menghargai semua kebutuhan pasien. Sikap peduli ditunjukkan dengan selalu memperhatikan keluhan pasien, sesuai dengan prinsip perawat yang memang bekerja untuk mempercepat kesembuhan pasien dengan selalu siap melayani pasien. Rasa hormat yang ditunjukkan perawat memiliki arti bahwa perawat menerima pasien tanpa syarat. 3. Empathy Empathy/Empati merupakan sikap dan perilaku perawat untuk mau mendengarkan, mengerti, dan memperhatikan pasien. Indikator empati terkait dengan kebutuhan ego dan aktualisasi diri dari teori kebutuhan Maslow. Empati merupakan sikap mengerti perasaan pasien pada saat menghadapi masalah tanpa larut di dalamnya. Perawat sebatas mengerti perasaan klien tanpa menunjukkan respons emosional yang berlebihan ketika melihat pasien dalam masalah pribadinya (Stuart & Sundeen dalam Stuart & Laraia, 2005). 4. Responsiveness Responsiveness atau ketanggapan merupakan sikap dan perilaku perawat untuk segera melayani bila diperlukan. Indikator atau standar kecepatan adalah dinamis sesuai dengan perkembangan akan mutu, misalnya waktu tunggu antar-unit pelayanan. Kesegeraan merupakan perasaan yang sensitif terhadap orang lain serta merupakan kepedulian perawat akan masalah yang menimpa pasien. Stuart & Sundeen (dalam Stuart & Laraia, 2005) menjelaskan bahwa indikator kesegeraan pada komunikasi terapeutik memiliki arti bahwa perawat bersedia bertindak secepat mungkin dan saat itu juga untuk mengatasi segala sesuatu yang mungkin dapat merugikan pasien. Salah satu penyebab kebuntuan komunikasi pada perawat dan pasien adalah tidak adanya sensitivitas pada diri perawat akan permasalahan dan perasaan yang dirasakan oleh pasien. 2.1.3.1 Indikator Keterampilan Komunikasi Terapeutik Sebagai Sikap Keterampilan komunikasi terapeutik sebagai bentuk perilaku yang dapat diamati (overt), tidak terlepas dari sikap (covert) yang dianggap mampu menyokong perilaku itu sendiri. Indikator-indikator keterampilan komunikasi terapeutik dalam hal ini, berperan sebagai sikap yang dapat memprediksi terciptanya perilaku seorang perawat. Hubungan antara sikap dan perilaku, dianggap oleh beberapa peneliti, sebagai dua hal yang saling terkait namun tidak selamanya sesuai. Jika dilihat dari pembentukan perilaku, sikap tidak hanya merupakan satu-satunya komponen yang berperan, tetapi ada komponen lain seperti keyakinan (belief) dan niat (intention). Pembentukan perilaku ini dijabarkan dalam teori perilaku berencana (theory of planed behavior) Ajzen & Fishbein (dalam Arif, 2000), yang menunjukkan bahwa sikap seseorang akan dipengaruhi oleh keyakinannya dan sikap akan mempengaruhi niat seseorang yang nantinya akan berwujud pada perilakunya. Oskamp & Schultz (2005) mengungkapkan bahwa pada dasarnya perilaku dapat menciptakan suatu sikap dan sikap juga dapat mempengaruhi suatu perilaku. Dikatakan lebih lanjut oleh Holland, Verplanken, dan Knippenberg (dalam Effendy, 2011) bahwa sikap tidak selalu berkesesuaian dengan perilaku individu. Kallgren & Wood (dalam Changing Minds, 2011) mengungkapkan bahwa keselarasan antara sikap dan perilaku akan terjadi apabila sikap dan perilaku dibatasi keadaan yang sangat spesifik, pernah terjadi konsistensi antara sikap dan perilaku, sikap berdasar pada pengalaman pribadi dan pengalaman masa lalu, serta tidak ada bias keinginan sosial dan pengaruh orang lain. 2.2 Kepuasan Kerja 2.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja diungkapkan Locke (dalam Wijono, 2010) merupakan suatu perasaan menyenangkan yang merupakan hasil dari persepsi individu dalam rangka menyelesaikan tugas atau memenuhi kebutuhannya agar dapat memperoleh nilai-nilai kerja yang penting bagi dirinya. Umar (2005) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian atau cerminan dari perasaan pekerja terhadap pekerjaannya. Hal ini terlihat dalam sikap positif pekerja terhadap pekerjaannya dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Dalam hal ini, dampak kepuasan kerja perlu dipantau dengan mengkaitkan pada output yang dihasilkan, misalnya kepuasan kerja dengan produktivitas, kepuasan kerja dengan turnover, kepuasan kerja dengan absensi, dan lain-lain. Bower (n.d.) menjelaskan mengenai kepuasan kerja sebagai anggapan perasaan dan persepsi seseorang mengenai sifat pekerjaannya, dengan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, diantaranya kualitas lingkungan fisik tempat seseorang bekerja, tingkat pemenuhan dalam pekerjaan, dan lain-lain. Wijono (2010) memaparkan beberapa beberapa ahli pengertian seperti menurut mengenai Howell & kepuasan Robert kerja (1986) dari yang mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak suka seorang karyawan terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Jika seorang karyawan bersikap positif terhadap pekerjaannya, maka dia akan memperoleh perasaan puas terhadap pekerjaannya, begitu juga sebaliknya. Kepuasan kerja yang diungkap oleh Stamps (dalam Taunton, dkk, 2004) adalah sejauh mana seseorang menyukai pekerjaannya dan memandang pekerjaannya tersebut sebagai sesuatu yang kompleks, sebuah konstruksi yang multi dimensional, yang menangkap reaksi individu pada komponen tertentu dari pekerjaannya. Stamps telah dipengaruhi oleh konseptualisasi Herzberg (1966) mengenai kepuasan dan ketidakpuasan sebagai hal yang terpisah dan kedua hal tersebut dapat dirasakan dalam waktu bersamaan (Taunton, dkk, 2004). Dengan menggunakan kajian literatur yang luas dan percakapan dengan berbagai kalangan klinis, seperti perawat-perawat, teman sejawat, administrator perawat, dan administrator rumah sakit, Stamps mengidentifikasikan enam komponen penting dalam mengukur kepuasan kerja perawat dan membuat skala pengukuran kepuasan kerja perawat yang disebut dengan Index of Work Satisfaction (IWS). Kemudian IWS diadaptasi oleh The American Nurses Association (ANA) menjadi The National Database of Nurses Quality IndicatorsAdapted Index of Work Satisfaction (NDNQI-AIWS), dengan tujuh komponen diantaranya tugas (task), interaksi antar-perawat (nurse-nurse interaction), interaksi antara interaction), pengambilan perawat keputusan dan dokter (decision (nurse-physician making), otonomi (autonomy), status professional (professional status), dan upah (pay) (Taunton, dkk, 2004). Dari pengertian mengenai kepuasan kerja yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan maupun persepsi seseorang mengenai besaran rasa suka maupun tidak suka terhadap komponen tertentu dari pekerjaannya. 2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Menurut Schultz (dalam Wijono, 2010), faktor yang dapat diamati yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang adalah sikap dan cara kerja seseorang. Misalnya, seseorang yang bertindak secara penuh tanggung jawab dalam pekerjaannya akan dapat mencapai hasil yang memuaskan, namun sebaliknya jika seseorang bersikap sembrono dalam pekerjaannya, maka hasil yang diperoleh pun tidak akan memuaskan. Mullin (dalam Wijono, 2010) menyebutkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang meliputi faktor-faktor pribadi, sosial, budaya, organisasi, dan lingkungan. 1. Faktor pribadi. Faktor pribadi mencakup faktor kepribadian, pendidikan, intelejensi dan kemampuan, usia, status pernikahan, dan orientasi kerja. 2. Faktor sosial. Faktor sosial meliputi hubungan dengan rekan kerja, kelompok kerja dan norma-norma, kesempatan utnuk berinteraksi, dan organisasi informal. 3. Faktor budaya. Faktor budaya meliputi sikap-sikap yang mendasari, kepercayaan, dan nilai-nilai. 4. Faktor organisasi. Faktor organisasi diantaranya sifat dan ukuran, struktural formal, kebijakan-kebijakan personalia dan prosedur-prodedur, sifat pekerjaan, teknologi dan organisasi kerja, supervisor dan gaya kepemimpinan, sistem manajemen, dan kondisi-kondisi kerja. 5. Faktor lingkungan. Faktor lingkungan meliputi faktor ekonomi, sosial, teknik, dan pengaruh-pengaruh pemerintah. Berdasar dari teori Herzberg dalam teori dua faktor, yaitu faktor kesehatan (hygiene factor) dan faktor motivasi, dikatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan yang digunakan terhadap lingkungan yang menjadi faktor-faktor utama secara khusus dalam mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja secara khusus tersebut diantaranya frustasi dan pengasingan, ciri-ciri teknologi, kebermaknaan kerja, sifat-sifat supervisi, pekerjaan dan kesejahteraan psikologis, dan ketidaksesuaian peran dan konflik peran. Selain faktor utama yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja secara khusus, terdapat juga beberapa faktor utama lainnya yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, diantaranya organisasi kerja dan rencana kerja, tugas dan karakteristik pekerjaan, konteks organisasi yang lebih luas, kualitas kehidupan kerja, unit penelitian kerja, dan lingkaran kualitas (Wijono, 2010). As’ad (2003) mengungkapkan empat faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, diantaranya faktor fisiologis, faktor psikologis, faktor sosial, dan faktor finansial. Faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang diantaranya jenis pekerjaan, keadaan ruangan, pengaturan jam kerja, waktu istirahat, perlengkapan kerja, dan semua hal yang menyangkut kondisi fisik lingkungan kerja dan lingkungan fisik karyawan. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang adalah faktor sosial, yaitu semua hal yang berhubungan dengan interaksi sosial individu, misalnya interaksi atasan dan bawahan, interaksi rekan kerja, dan lain-lain, yang dianggap akan mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang. Faktor berikutnya adalah faktor finansial, yaitu semua hal yang berhubungan dengan jaminan dan kesejahteraan individu, misalnya gaji, jaminan sosial, tunjangan, fasilitas, dan kesempatan promosi. Faktor yang terakhir yang dapat membuat seseorang merasa puas atau tidak puas terhadap pekerjaannya adalah faktor psikologis. Biasanya kepuasan kerja seseorang dipengaruhi oleh minat, ketentraman kerja, sikap terhadap kerja, bakat, intelejensi, dan keterampilan atau pengalaman seseorang. 2.3 Perawat Tidak semua orang dapat dikatakan sebagai seorang perawat. Masyarakat awam beranggapan bahwa perawat adalah orang yang bekerja di rumah sakit dengan mengenakan seragam putih dan orang yang bekerja sebagai pembantu dokter. Pada hakikatnya, seseorang disebut sebagai perawat adalah seseorang yang telah lulus dari pendidikan perawat, baik di dalam maupun di luar negeri, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Ini dijelaskan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 647/Menkes/SK/IV/2000 tentang Registrasi dan Praktik Keperawatan, yang kemudian diperbaharui dengan Kepmenkes RI No. 1239/Menkes/SK/XI/2001 (Asmadi, 2008). Definisi mengenai perawat masih belum mempunyai batasan yang tegas karena hanya berdasar pada lulusnya seseorang dari pendidikan keperawatan. Sedangkan pendidikan keperawatan di Indonesia masih bervariasi, mulai dari setingkat SLTA, DIII, sarjana, bahkan sampai pascasarjana. Oleh karena itu, sebutan untuk perawat sangat beragam bahkan penilaian terhadap profesi perawat juga beragam oleh profesi yang lain. Saat ini seseorang dapat dikatakan sebagai perawat apabila memiliki kualifikasi pendidikan minimal DIII Keperawatan, dengan sebutan Ahli Madya Keperawatan (Asmadi, 2008). Menurut Suhaemi (2003), perawat adalah profesi yang sifat pekerjaannya selalu berada dalam situasi yang menyangkut hubungan antar manusia, selain itu terjadi proses interaksi serta saling mempengaruhi dan dapat memberikan dampak kepada tiap-tiap individu yang bersangkutan. Sebagai suatu profesi, perawat memiliki kontrak sosial dengan masyarakat, yang berarti masyarakat memberi kepercayaan kepada perawat untuk terusmenerus memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan. 2.3.1 Komunikasi Terapeutik Sebagai Tanggung Jawab Moral Perawat Perawat bukanlah sekedar profesi biasa yang dijalani oleh seseorang, tetapi perawat memiliki tanggung jawab yang tinggi yang didasari atas sikap peduli dan kasih sayang, serta perasaan untuk ingin membantu orang lain. Abdalati (1983), Bucauli (1978), & Amsari (1995) (dalam Wulan & Hastuti, 2011) menambahkan bahwa sebagai orang yang beragama, perawat harus bersikap peduli. Selanjutnya, Pasquali & Arnold (1989); Watson (1979) (dalam Wulan & Hastuti, 2011) mengatakan bahwa human care terdiri dari upaya yang melindungi, meningkatkan dan menjaga atau mengabadikan rasa kemanusiaan dengan cara membantu orang lain yang sedang sakit atau menderita. Perilaku menolong sesama tersebut perlu dilatih dan dibiasakan agar akhirnya menjadi bagian dari kepribadian. 2.4 Kerangka Berpikir dan Hipotesis 2.4.1 Kerangka Berpikir Kepuasan kerja merupakan hak semua tenaga kerja, termasuk seorang perawat. Untuk dapat merasakan kepuasan dalam bekerja, banyak faktor yang harus diperhatikan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang adalah faktor psikologis, yaitu skill/keterampilan. Komunikasi terapeutik sebagai salah satu bentuk keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang perawat, ternyata memiliki pengaruh terhadap tingkat kepuasan kerja. Sehingga jika ditinjau dari faktor psikologisnya, seorang perawat yang memiliki keterampilan komunikasi terapeutik yang baik, kemungkinan lebih besar untuk merasa puas terhadap pekerjaannya. Namun, keterampilan komunikasi terapeutik itu sendiri memiliki empat indikator yang sangat berperan dalam menentukan suatu kualitas komunikasi terapeutik. Seorang perawat dapat dikatakan memiliki kualitas keterampilan komunikasi terapeutik yang baik apabila empat indikator, yaitu attending skill, respect, empathy, dan responsiveness memiliki nilai yang tinggi. Oleh karena itu, dari keempat indikator keterampilan komunikasi terapeutik yang ada, peneliti ingin mengetahui indikator mana yang paling berperan dalam memprediksi kepuasan kerja, mengingat bahwa keterampilan komunikasi terapeutik dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. 2.4.2 Hipotesis Hipotesis merupakan kesimpulan sementara yang masih harus diuji kebenarannya melalui analisis terhadap bukti-bukti empiris. Hipotesis terdiri dari dua jenis, yaitu hipotesis umum yang biasa disebut sebagai hipotesis mayor dan hipotesis khusus yang disebut juga sebagai hipotesis minor (Danim, 2003). Namun, dalam penelitian ini, peneliti tidak menetukan hipotesis mayor dan minor. Hipotesis dalam penelitian ini terdiri dari empat hipotesis, yaitu: 1. Ho: Indikator attending skills tidak berperan lebih daripada indikator respect, empathy, dan responsiveness dalam memprediksi kepuasan kerja. Ha: Indikator attending skills berperan lebih daripada indikator respect, empathy, dan responsiveness dalam memprediksi kepuasan kerja. 2. Ho: Indikator respect tidak berperan lebih daripada indikator attending skills, empathy, dan responsiveness dalam memprediksi kepuasan kerja. Ha: Indikator respect berperan lebih daripada indikator attending skills, empathy, dan responsiveness dalam memprediksi kepuasan kerja. 3. Ho: Indikator empathy attending tidak skills, berperan respect, lebih dan daripada responsiveness indikator dalam memprediksi kepuasan kerja. Ha: Indikator empathy berperan lebih daripada indikator attending skills, respect, kepuasan 4. Ho: dan responsiveness dalam memprediksi kerja. Indikator responsiveness tidak berperan lebih daripada indikator attending skills, respect, dan empathy dalam memprediksi kepuasan Ha: Indikator kerja. responsiveness berperan lebih daripada indikator attending skills, respect, dan empathy dalam memprediksi kepuasan kerja.