dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan

advertisement
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL, KEBIJAKAN MONETER DAN
KETERBUKAAN PERDAGANGAN TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI: STUDI KOMPARATIF
NEGARA-NEGARA ASEAN+6
OLEH
VEVI RETNO MARETHA
H14080020
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN
VEVI RETNO MARETHA. Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan
Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi : Studi Komparatif
Negara – Negara ASEAN+6. (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI).
Integrasi ekonomi berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Beberapa studi empiris menyatakan bahwa faktor eksternal memberikan dampak
yang lebih signifikan bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Secara teori, integrasi
ekonomi dapat meningkatkan daya saing regional terhadap perekonomian global,
meningkatkan pangsa pasar, mendorong adanya efisiensi ekonomi, memperbesar
tingkat mobilisasi tenaga kerja dan modal hingga mempermudah perolehan modal
serta meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Namun tidak sedikit pula yang
meragukan keberhasilan integrasi ekonomi. Integrasi ekonomi hanya akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang telah siap menerima globalisasi.
Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur kinerja perekonomian suatu negara.
Untuk mencapai tujuan pendapatan nasional yang tinggi diperlukan serangkaian
kabijakan khususnya kebijakan makroekonomi oleh pemerintah. Pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan dengan tingkat inflasi dan nilai tukar yang relatif stabil
merupakan salah satu komponen penting dari setiap kebijakan stabilisasi
makroekonomi. Perkembangan ekonomi yang terkadang sulit diprediksi, pengambil
kebijakan harus benar-benar mampu mencermati setiap variabel yang bisa
menyebabkan gejolak pada pertumbuhan ekonomi. Pengetahuan terhadap respon
suatu kebijakan ekonomi terhadap kebijakan lainnya menjadi sangat penting.
Penelitian ini membahas dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan
keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6
dengan membandingkan antara kelompok negara-negara berkembang dan kelompok
negara-negara maju. Adapun kawasan ASEAN yang diamati dalam penelitian ini
meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Philipina karena keterbatasan
data untuk negara anggota ASEAN lainnya. Sedangkan enam negara tambahan
lainnya yang tergabung dalam ASEAN+6 adalah China, Korea Selatan,Jepang,
Australia serta New Zealand.
Variabel pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar (M2) dan trade
openness merupakan proksi masing-masing dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter
dan keterbukaan perdagangan. Model dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga, yaitu
model untuk keseluruhan negara di kawasan ASEAN+6, model untuk kelompok
negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 serta model untuk kelompok
negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Masing-masing model diestimasi dengan
metode panel data dinamis pendekatan GMM (Generalized Method of Moments)
dengan periode penelitian dari tahun 2000-2010.
Hasil estimasi dari ketiga model terlihat bahwa dampak kebijakan moneter
dan kebijakan perdagangan bagi seluruh negara di kawasan ASEAN+6, kelompok
negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 dan kelompok negara-negara maju
bersifat ekspansif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sedangkan dampak
kebijakan fiskal yang ekspansif hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi di
seluruh negara ASEAN+6 dan kelompok negara-negara berkembang di kawasan
ASEAN+6. Berdasarkan perbandingan nilai koefisien dari ketiga variabel yang
diteliti tersebut menunjukkan bahwa kebijakan fiskal melalui peningkatan
pengeluaran pemerintah relatif lebih cepat dibandingkan kebijakan moneter maupun
keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara
berkembang di kawasan ASEAN+6. Hal ini menunjukkan bahwa peranan pemerintah
sangat dominan di negara-negara berkembang dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan moneter melalui peningkatan jumlah uang beredar (M2) relatif
lebih cepat daripada kebijakan fiskal maupun keterbukaan perdagangan dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju kawasan ASEAN+6.
Jumlah uang beredar memainkan peranan penting di negara maju dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonominya, hal ini karena di negara maju peranan
sektor swasta melalui pasar finansial lebih dominan daripada intervensi pemerintah
langsung.
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL, KEBIJAKAN MONETER DAN
KETERBUKAAN PERDAGANGAN TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI: STUDI KOMPARATIF
NEGARA - NEGARA ASEAN+6
OLEH
VEVI RETNO MARETHA
H14080020
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul Skripsi
: Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan
Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan
Ekonomi: Studi Komparatif Negara-Negara ASEAN+6
Nama
: Vevi Retno Maretha
NIM
: H14080020
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Noer Azam Achsani
NIP. 19681229 199203 1 016
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.
NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENARBENAR KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2012
Vevi Retno Maretha
H14080020
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Vevi Retno Maretha lahir pada tanggal 3 Maret
1990 di Sumedang. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari
pasangan bapak Onoy Darsono dan ibu Ukay Kurniasih. Penulis mengawali
pendidikan di TK PGRI Situraja, lalu melanjutkan ke jenjang pendidikan SD di SD
Negeri Situraja pada tahun 1996 sampai tahun 2002. Kemudian melanjutkan ke SMP
Negeri 1 Situraja dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima
di SMAN 1 Sumedang dan lulus pada tahun 2008. Penulis melanjutkan jenjang
pendidikan di Departeman Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun
2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Profesi
dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) menjabat sebagai
sekeretaris divisi Cooperatif and External Relationship (CER) pada tahun 2010 dan
ketua divisi Discussion and Analysis (DnA) pada tahun 2011. Penulis memperoleh
beberapa penghargaan dalam mengikuti lomba karya tulis ilmiah, diantaranya yaitu
Juara 1 dan Karya Tulis Terbaik Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI), National
Economics Events di Universitas Jenderal Soedirman, dan Juara II Young Economist
Icon IPB pada tahun 2011 serta Peserta PKM bidang Penelitian yang didanai oleh
DIKTI tahun 2012. Selain itu penulis juga aktif sebagai asisten dosen untuk responsi
Mata Kuliah Ekonomi Umum (2010-2012).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul
skripsi ini adalah “Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan
Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi: Studi Komparatif
Negara-Negara ASEAN+6”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonmi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai
pihak yang telah memberikan kontribusi dan bantuannya untuk penyelesaian skripsi
ini, terutama kepada:
1. Prof. Dr. Noer Azam Achsani selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan baik secara teoritis, teknis, maupun moril dalam
proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
2. Dr. Sri Hartoyo selaku dosen penguji utama yang telah memberikan saran dan
kritikan guna perbaikan skripsi ini.
3. Ir. Dewi Ulfa Wardani, M.Si. selaku dosen komisi pendidikan atas saran dan
masukannya terutama mengenai perbaikan dan tata cara penulisan skripsi ini.
4. Kedua orang tua penulis, Bapak Onoy Darsono dan Ibu Ukay Kurniasih serta
kedua adik penulis Dina Fitria Yosilanda dan Doni Aldo yang selalu
memberikan perhatian, semangat, motivasi, dan doa yang tidak hentihentinya, serta dukungan baik secara moril maupun materil dalam
menyelesaikan skripsi ini.
5. Indra, M.Si. yang telah memberikan banyak bantuan dan informasi terutama
mengenai data serta pengolahannya
6. Teman-teman satu bimbingan skripsi, Deviyantini, Retno Wulandari, dan
Dewa Putu Adityadharma yang telah menjadi partner diskusi dan teman
berbagi suka duka dalam penyusunan skripsi ini.
7. Ka Retni dan Ka Solihin yang telah bersedia membantu dan menjadi teman
diskusi penulis.
8. Seluruh jajaran dosen dan staff Departemen Ilmu Ekonomi atas segala
bantuan dan kerjasamanya selama ini.
9. Sahabat-sahabat penulis Fridayanti, Desi, Rahayu, Nurhayati, dan Yunisha
yang telah memberikan perhatian, dukungan dan kasih sayang selama penulis
menempuh pendidikan di IPB terutama selama penulisan skripsi ini.
10. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 45 yang telah memberikan semangat,
motivasi, dan dukungan selama penulis berada di Departemen Ilmu Ekonomi.
Akhirnya penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu namun tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain
yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2012
Vevi Retno Maretha
H14080020
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .........................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vi
I.
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................. 4
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................. 9
II.
1.4.
Manfaat Penulisan ................................................................................ 9
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 10
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 11
2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi ............................................................... 11
2.1.1. Teori Pertumbuhan Neoklasik Tradisional ............................... 11
2.1.2. Model Pertumbuhan Endogen .................................................. 13
2.2. Kebijakan Fiskal ................................................................................... 14
2.2.1. Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ......................... 17
2.2.2. Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran
Pemerintah ................................................................................ 17
2.2.3. Hukum Wagner ........................................................................ 18
2.2.4. The Diplacement Effect ............................................................ 19
2.3. Kebijakan Moneter ............................................................................... 20
2.3.1. Jenis Kebijakan Moneter ......................................................... 21
2.3.2. Teori Kuntitas Uang ................................................................. 22
2.4. Efektivitas Relatif pada Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal ..... 24
2.5. Teori Perdagangan Internasional .......................................................... 26
ii
2.6. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 29
2.7. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 34
III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 37
3.1. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 37
3.2. Model Penelitian ................................................................................. 38
3.3. Metode Analisis Data .......................................................................... 41
3.3.1. Data Panel ................................................................................ 41
3.3.1.1. Data Panel Dinamis .................................................... 43
3.3.2. Prosedur Analisis dengan Metode Panel Dinamis ................... 50
3.3.3. Granger Causality Test pada Data Panel .................................. 52
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 54
4.1.
Kondisi Umum Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan ASEAN+6 ........ 54
4.2.
Peranan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Negara-Negara ASEAN+6 .................................................................. 56
4.3.
Peranan Jumlah Uang Beredar (M2) terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Negara-Negara ASEAN+6 .................................................................. 58
4.4.
Peranan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Negara-Negara ASEAN+6 .................................................................. 61
4.5.
Hasil Estimasi Penelitian .................................................................... 65
4.5.1. Hasil Estimasi Granger Causality Test pada Data Panel ......... 66
4.5.2. Hasil Estimasi dengan Pendekatan Panel Dinamis .................. 69
4.5.2.1. Variabel Lag Dependent (Pertumbuhan Ekonomi) ... 76
4.5.2.2. Variabel Pengeluaran Pemerintah ............................. 77
4.5.2.3. Variabel Jumlah Uang Beredar ................................. 78
4.5.2.4. Variabel Keterbukaan Perdagangan .......................... 80
4.5.2.5. Dampak Efektivitas Relatif antara Kebijakan Fiskal,
Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan di
Kawasan ASEAN+6 ................................................. 82
iii
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 85
5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 85
5.2. Saran .................................................................................................. 85
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 89
LAMPIRAN .......................................................................................................... 92
iv
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
3.1. Variabel-Variabel yang Digunakan dalam Penelitian ................................. 37
4.1.
Total Perdagangan, Ekspor, Impor dan Ekspor Neto Negara-Negara
ASEAN+6 tahun 2000 dan 2010 berdasarkan harga konstan ...................... 62
4.2.
Keterbukaan Perdagangan, GDP dan Total Perdagangan Negara-Negara
ASEAN+6 tahun 2000 dan 2010 berdasarkan harga konstan .................... 64
4.3.
Hasil Granger Causality Test ...................................................................... 67
4.4.
Hasil Estimasi dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan
Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Seluruh
Negara Kawasan ASEAN+6 (Model 1) ...................................................... 70
4.5.
Hasil Estimasi dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan
Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara
Berkembang di Kawasan ASEAN+6 (Model 2) ......................................... 71
4.6.
Hasil Estimasi dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan
Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara
Maju di Kawasan ASEAN+6 (Model 3) ...................................................... 72
4.7.
Perbandingan Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan
Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Berbagai
Kelompok Negara di ASEAN+6 ................................................................. 83
v
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
2.1.
Kurva Kebijakan Fiskal Ekspansif .............................................................. 15
2.2.
Kurva Kebijakan Fiskal Kontraktif ............................................................. 16
2.3.
Kurva Kebijakan Moneter Ekspansif .......................................................... 22
2.4.
Kurva Efektivitas Kebijakan Fiskal ............................................................ 25
2.5.
Kurva Efektivitas Kebijakan Moneter ........................................................ 26
2.6.
Kerangka Pemikiran .................................................................................... 36
4.1.
Tingkat Pertumbuhan GDP Negara-Negara ASEAN+6 ............................. 55
4.2.
Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Pengeluaran Pemerintah di Kawasan
ASEAN+6 ................................................................................................... 57
4.3.
Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Jumlah Uang Beredar (M2) di
Kawasan ASEAN+6 ................................................................................... 59
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Proses integrasi di berbagai belahan dunia telah terjadi selama beberapa
dekade terakhir, terutama dalam bidang ekonomi. Proses integrasi ini penting
dilakukan oleh masing-masing kawasan untuk bisa bersaing dengan kawasan lainnya
dalam menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia (Achsani,
2008). Pembentukan integrasi ekonomi di kawasan ini dilandasi karena manfaat yang
akan diperoleh dari integrasi lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin
dihadapi oleh masing-masing negara dalam kawasan tersebut (Sholihah dan Saichu,
2007). Dalam perkembangannya, berbagai konsep terkait integrasi keuangan dan
moneter terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan
untuk dapat meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan bersama yaitu menciptakan
stabilitas keuangan regional (BI, 2000).
Sejak terjadinya krisis ekonomi di Thailand yang menyebar menjadi krisis
Asia tahun 1997 sebagai dampak dari globalisasi dan integrasi ekonomi serta
keuangan dunia, semakin meningkatkan kesadaran negara-negara anggota ASEAN
mengenai pentingnya memulai kerjasama regional dalam memelihara stabilitas
kawasan ASEAN. Faktor lainnya yang memengaruhi perlunya integrasi di kawasan
ASEAN didasari oleh kesuksesan Uni Eropa yang membentuk suatu single market
dengan mata uang tunggal Euro, dimana perdagangan dilakukan secara bebas, tanpa
2
dibebankan adanya pajak. Hal ini mendorong tumbuh pesatnya perekonomian di
wilayah Uni Eropa.
Gaya regionalisme Asia yang dinamis dan berorientasi ke luar dapat
memberikan dampak yang cukup penting dalam era globalisasi. Regionalisme dapat
menjadi faktor stabilisasi ketika timbul kejutan (shock) baik di dalam kawasan
maupun di luar kawasan. Regionalisme membawa tanggung jawab akan pengelolaan
yang benar, komunikasi yang efektif untuk membantu pasar menyesuaikan diri dan
beradaptasi saat munculnya krisis atau potensi krisis.
Negara-negara Asia pada prinsipnya dihubungkan melalui pasar, perdagangan
internasional, arus keuangan, investasi langsung, dan bentuk-bentuk lain dari
pertukaran ekonomi dan sosial. Para pemimpin Asia telah memiliki komitmen untuk
bekerja sama lebih erat dan telah mengambil langkah konkret di beberapa tempat.
Pencapaian
ASEAN
Community
semakin
kuat
dengan
ditandatanganinya,
Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA) terbentuk pada tanggal
15 Januari 2007 di Cebu. Kesepakatan tersebut dibentuk oleh para pemimpin negaranegara ASEAN dan enam tambahan negara yaitu Australia, China, India, Jepang,
Korea Selatan, dan New Zealand. Tujuan CEPEA adalah untuk meningkatkan
integrasi ekonomi di Negara ASEAN+6 dan memperkecil gap pembangunan di
antara negara-negara tersebut guna mencapai pembangunan yang berkesinambungan
(Toh, 2009). Diharapkan dengan tambahan enam negara yang perekonomiannya
cukup berpengaruh terhadap perekonomian ASEAN dapat membuat ASEAN
Economic Community menjadi single market yang lebih besar, mengingat bahwa
3
populasi CEPEA besarnya 49,6% dari populasi dunia dan tujuh kali lebih besar dari
populasi EU (CEPEA report, 2008)
Pusat gravitasi ekonomi global kini tengah berpindah ke Asia. Produk
Domestik Bruto (PDB) Asia sudah hampir sebesar PDB Eropa dan Amerika Utara,
dan pengaruhnya ke dunia terus meningkat. Keberhasilan Asia yang luar biasa telah
membawa tantangan baru, sementara pertumbuhan ekonomi yang pesat tetap menjadi
prioritas. Asia kini sungguh penting bagi ekonomi dunia sehingga Asia juga harus
memainkan peranan yang lebih besar dalam kepemimpinana ekonomi global.
Hubungan perdagangan internasional yang tumbuh dan hubungan keuangan
dapat ditafsirkan menjadi saling ketergantungan ekonomi makro. Implikasinya bahwa
pemerintahan nasional suatu negara kian perlu mendasarkan kebijakan mereka pada
kebijakan yang dilakukan oleh negara tetangga di dalam kawasan tersebut. Implikasi
lainnya adalah bahwa manfaat pengelolaan kebijakan secara bersama-sama untuk
memaksimalkan kinerja bersama menjadi lebih besar. Dari berbagai alasan yang
menunjukkan bahwa saling ketergantungan yang lebih besar akan menyebabkan
variabel-variabel ekonomi makro ASEAN+6 bergerak bersama-sama lebih erat.
Asia yang lebih terintegrasi telah menjadi kian sensitif terhadap shock Asia
seiring semakin meningkatnya saling ketergantungan makro. Pada saat yang sama,
kepekaan kawasan ini terhadap shock global juga tetap tinggi. Krisis ekonomi Asia
tahun 1997 dan krisis keuangan global tahun 2008 memberi pelajaran kepada negaranegara yang tergabung dalam ASEAN+6 bahwa indikator-indikator ekonomi makro
yang memuaskan belum menjadi jaminan bahwa kondisi perekonomian ASEAN+6
memang kuat. Pada saat ekonomi dirasakan berjalan terlalu lambat dari yang
4
seharusnya dimana ditandai dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya
tingkat pengangguran, maka kebijakan fiskal dan moneter yang tepat diharapkan
dapat mendorong perekonomian tumbuh lebih cepat dan pengangguran dapat ditekan.
Sedangkan pada saat perekonomian dianggap terlalu tinggi (overheating) yang
ditandai dengan pertumbuhan yang tinggi dan tingkat inflasi yang juga tinggi,
kebijakan fiskal dan moneter diharapkan dapat mengarahkan perekonomian agar
terhindar dari dampak negatif.
Perkembangan ekonomi yang terkadang sulit diprediksi, pengambil kebijakan
harus benar-benar mampu mencermati setiap variabel yang bisa menyebabkan
gejolak pada pertumbuhan ekonomi. Pengetahuan terhadap respon suatu kebijakan
ekonomi terhadap kebijakan lainnya menjadi sangat penting.
Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur kinerja perekonomian suatu
negara. Untuk mencapai tujuan pendapatan nasional yang tinggi diperlukan
serangkaian kabijakan khususnya kebijakan makroekonomi oleh pemerintah.
Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan tingkat inflasi dan nilai tukar yang
relatif stabil merupakan salah satu komponen penting dari setiap kebijakan stabilisasi
makroekonomi.
1.2.
Perumusan Masalah
Perkembangan perekonomian yang semakin dinamis dan terintegrasi dengan
perekonomian dunia memberikan implikasi penting bagi para pelaku ekonomi
terutama dalam pengambilan kebijakan makroekonomi. Kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter merupakan bagian integral dari kebijakan maroekonomi yang
5
memiliki target yang harus dicapai baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter melalui koordinasi yang baik akan
memberikan sinyal positif bagi pasar dan menjaga stabiltas makroekonomi
(Indrawati, 2007).
Krisis keuangan global yang bermula dari bencana subprime mortgage di
Amerika Serikat telah menekan pertumbuhan ekonomi global dari 5,2 persen pada
tahun 2007 menjadi 3,0 persen pada tahun 2008, dan menyusut sebesar 0,6 persen
pada tahun 2009. Krisis perekonomian ini berpengaruh terhadap keberhasilan
perekonomian suatu negara terutama bila diukur dari kinerja makro ekonominya.
Krisis global ini, sempat mengguncang beberapa negara ASEAN+6 diantaranya
negara Singapura dan Jepang. Namun dukungan domestik yang besar dalam
permintaan produk, membuat beberapa negara ASEAN+6 tetap bertahan dan sedikit
terkena dampak krisis global (Lee dan Hong, 2010). Standar hidup suatu bangsa di
negara maju dan negara berkembang sangat tergantung pada kebijakan makro
ekonomi yang dipilih dan dijalankan oleh pemerintahnya.
Integrasi ekonomi berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Beberapa studi empiris menyatakan bahwa faktor eksternal memberikan dampak
yang lebih signifikan bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Secara teori, integrasi
ekonomi dapat meningkatkan daya saing regional terhadap perekonomian global,
meningkatkan pangsa pasar, mendorong adanya efisiensi ekonomi, memperbesar
tingkat mobilisasi tenaga kerja dan modal hingga mempermudah perolehan modal
serta meningkatkan penyerapan tenaga kerja (Santoso dkk, 2008).
6
Namun tidak sedikit pula yang meragukan keberhasilan integrasi ekonomi.
Integrasi ekonomi hanya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang
telah siap menerima globalisasi. Negara yang belum siap bersaing dengan negara
yang berada dalam integrasi hanya akan menjadi negara konsumsi produk negara
lain, sehingga konvergensi akan sulit dicapai. Selanjutnya integrasi ekonomi hanya
akan menciptakan negara-negara yang semakin divergen (Achsani, 2008).
Hasil studi yang telah dillakukan ADB pada tahun 2008 menununjukkan hasil
bahwa meskipun ada konvergensi dalam hasil ekonomi makro regional, hanya ada
sedikit bukti akan konvergensi kebijakan ekonomi makro. Kebijakan moneter telah
mengikuti tren luas yang serupa, tetapi divergen dalam rincian. Setelah konvergen
hingga tahun 2004, kebijakan kawasan ini sejak itu (hingga awal 2008) menjadi
beragam. Pengetatan moneter yang terus-menerus di RRC dan Taipei (Cina), hingga
pengetatan yang makin tajam yang diikuti dengan pelonggaran moneter di Indonesia
dan Malaysia, serta pengetatan bertahap di Thailand dan Republik Korea. Strategi
yang dilkukan juga berbeda: Indonesia, Republik Korea, Thailand, dan Fhilipina yang
mengikuti kebijakan yang lebih bervariasi dan pada beberapa kasus khusus lebih
mentargetkan kestabilan nilai tukar. Perbedaan kebijakan itu turut menyebabkan
inflasi dan suku bunga menjadi sangat beragam di kawasan ini.
Kebijakan fiskal juga beragam, meskipun tak seberagam kebijakan moneter.
Tingkat hutang publik di sebagian besar negara Asia telah turun sejak tahun 2000,
tetapi konsolidasi fiskal kurang berhasil di India dan terutama di Jepang, yang hutang
publiknya mencapai titik kritis. Tahun 2008, posisis fiskal masih berkisar dari defisit
7
sekitar 6 persen dari PDB untuk India dan Jepang hingga surplus 10 persen di
Singapura (ADB, 2008).
Selain itu, perlu disadari adanya perbedaan karakteristik antar negara anggota
ASEAN+6. ASEAN+6 sebagai bentuk dari integrasi ekonomi masih memiliki
keragaman antar anggotanya. ASEAN+6 merupakan gabungan negara ASEAN dan
beberapa negara Asia Timur yang terdiri dari negara maju dan negara berkembang.
Keragaman antar negara maju dan berkembang cukup besar, sehingga akan berisiko
apabila menyamaratakan kondisi negara-negara yang berbeda tersebut. Perbedaan
antara negara maju dan negara berkembang dapat dilihat dari struktur politik, struktur
pendapatan, standar hidup, produktivitas, pertumbuhan penduduk, dan lain
sebagainya.
Dengan adanya potensi pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 adanya ancaman
divergensi pertumbuhan ekonomi, perbedaan karakteristik antar negara anggota
ASEAN+6 tentunya hal ini mencerminkan akan kebijakan makroekonomi yang
berbeda pula. Perbedaan ini, juga mencerminkan variasi dalam tingkat pembangunan
di kawasan ini dan tujuan kebijakan nasional.
Perdebatan mengenai efektivitas kebijakan moneter dan kebijakan fiskal
dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi masih berlangsung. Perspektif ekonomi
arus utama, terutama dari sudut pandang klasik, stimulus fiskal dan kebijakan
moneter bukan metode efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi riil. Di sisi
lain, terutama pandangan Keynes bahwa stimulus fiskal dan pelonggaran moneter
dapat mencegah penurunan output riil. Peningkatan permintaan agregat, yang berasal
8
dari stimulus fiskal dan pelonggran moneter di tengah-tengah kekakuan harga dan
kurangnya lapangan kerja, dapat berhasil meningkatkan output riil.
Berdasarkan kajian beberapa literatur terbaru, disamping perdebatan
mengenai efektivitas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, kebijakan yang perlu
dikaji selanjutnya yaitu kebijakan perdagangan dan pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi. Peran perdagangan luar negeri (kegiatan ekspor-impor) pada
perekonomian di negara-negara ASEAN+6 semakin mendapat perhatian secara
intensif, terutama oleh para peneliti dan pengambil kebijakan. Adanya sebaran pola
interaksi yang berbeda-beda antarnegara menjadi salah satu alasan perlunya
penelitian dilakukan di berbagai negara. Lebih lanjut, pemberlakuan liberalisasi
perdagangan yang disertai oleh penguatan kerjasama di tingkat regional diharapkan
dapat memberi manfaat yang lebih besar bagi kesejahteraan penduduk setiap negara
yang terlibat didalamnya, diantaranya melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
peneyerapan tenaga kerja yang seluas-luanya.
Identifikasi dan pemahaman yang baik mengenai dampak kebijakan fiskal,
kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi
mutlak diperlukan agar kebijakan-kebijakan tersebut dapat berjalan efektif dan tepat
sasaran. Berdasarkan latar belakang dan uraian diatas maka permasalahan pokok
yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah
dampak
kebijakan fiskal,
kebijakan moneter, dan
keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi
seluruh
negara
di
kawasan
ASEAN+6,
kelompok
negara-negara
berkembang serta kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6?
9
2. Bagaimanakah pengaruh relatif kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan
keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi
kelompok negara-negara berkembang dan kelompok negara-negara maju di
kawasan ASEAN+6?
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan
sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi dampak dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan
keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di seluruh
negara kawasan ASEAN+6, kelompok negara-negara berkembang dan
kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6.
2. Mengidentifikasi pengaruh relatif dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter
dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi negaranegara berkembang dan maju di kawasan ASEAN+6.
1.4.
Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Memperluas wawasan mengenai bukti empiris pengaruh relatif dari
kebijakan fiskal, kebiakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap
pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6.
10
2. Sebagai bahan referensi dan acuan para pembuat kebijakan di negeranegara
ASEAN+6
agar
dapat
menyesuaikan
kebijakan-kebijakan
makroekonominya sehingga tercapai pertumbuhan ekonomi yang selaras.
3. Sebagai media implikasi penerapan teori-teori yang telah dipelajari selama
perkuliahan serta menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi kalangan
akademisi sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian-penelitian
selanjutnya.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian
Fokus dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dampak dari
kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap
pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6. Kawasan ASEAN yang diamati
dalam penelitian ini hanya meliputi lima negara yaitu, Indonesia, Singapura,
Malaysia, Thailand, dan Filipina. Adanya keterbatasan data menyebabkan penelitian
ini tidak memasukkan seluruh Negara anggota ASEAN. Serta enam negara yang
tergabung dalam Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA) yaitu
Cina, Jepang, Korea Selaatan, India, Australia, dan New Zealand. Periode data yang
digunakan dalam analisis ini adalh tahun 2000 sampai 2010.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
2.1.1.
Teori Pertumbuhan Neoklasik Tradisional
Dalam argumen pasar bebas neoklasik merupakan keyakinan bahwa
liberalisasi pasar-pasar nasional akan merangsang investasi, baik itu investasi
domestik maupun yang berasal dari luar negeri, sehingga dengan sendirinya akan
memacu tingkat akumulasi modal. Bila diukur berdasarkan satuan tingkat
pertumbuhan Gross National Product (GNP), hal tersebut sama dengan penambahan
tingkat tabungan domestik, yang pada gilirannya akan meningkatkan rasio modaltenaga kerja (capital-labor ratios) dan pendapatan per kapita negara-negara
berkembang yang pada umumnya miskin modal. Model-model pertumbuhan
neoklasik tradisional sesungguhnya bertolak secara langsung dari model HarrodDomar dan Solow.
Model pertumbuhan Harrod-Domar menjelaskan mekanisme perekonomian
yang mengandalkan peningkatan investasi dalam mempercepat pertumbuhan
ekonomi. Model ini menyarankan bahwa setiap perekonomian pada dasarnya harus
senantiasa mencadangkan atau menabung sebagian tertentu dari pendapatan
nasionalnya untuk menambah atau menggantikan barang-barang modal (gedung, alatalat, dan bahan baku) yang telah susut atau rusak. Namun, untuk memacu
pertumbuhan ekonomi dibutuhkan investasi baru yang merupakan tambahan neto
terhadap cadangan atau stok modal (capital stock).
12
Y s
............................................................................................. (2.1)

Y
k
Persamaan diatas merupakan versi sederhana dari persamaan teori
pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar. Persamaan tersebut menjelaskan bahwa
tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (ΔY/Y) ditentukan secara bersama-sama
oleh tabungan nasional (s) serta rasio modal-output nasional (k).
Model pertumbuhan neoklasik selanjutnya yaitu model pertumbuhan
neoklasik Solow. Pada intinya, model ini merupakan pengembangan dari formulasi
Harrod-Domar dengan menambahkan faktor kedua, yakni tenaga kerja, serta
memperkenalkan variabel independen ketiga, yaitu teknologi ke dalam persamaan
pertumbuhan. Berbeda dengan model Harrod-Domar yang mengasumsikan skala
hasil tetap (constant return to scale) dengan koefisien baku, model pertumbuhan
neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang
(diminishing returns) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis
secara terpisah; jika keduanya dianalisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow juga
memakai asumsi skala hasil tetap tersebut. Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai
faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan
tinggi rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh Solow maupun para teoretisi lainnya
diasumsikan bersifat eksogen atau tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Dalam bentuk yang lebih formal, model pertumbuhan neoklasik Solow
memakai fungsi produksi agregat standar, yakni:
Y  K   AL 
1
................................................................................. (2.2)
13
Pada persamaan tersebut Y adalah Produk Domestik Bruto (PDB), K adalah stok
modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja, dan A adalah produktivitas
tenaga kerja, yang pertumbuhannya ditentukan secara eksogen. Adapun simbol α
melambangkan elastisitas output terhadap modal. Karena tingkat kemajuan teknologi
ditentukan secara eksogen, model neoklasik Solow terkadang juga disebut sebagi
model pertumbuhan “eksogen”.
Menurut teori pertumbuhan neoklasik tradisional pertumbuhan output
bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor, yaitu kenaikan kuantitas dan kualitas
tenaga kerja, penambahan modal, dan penyempurnaan teknologi. Kenaikan kuantitas
dan kualitas dari tenaga kerja dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah penduduk dan
juga perbaikan pendidikan. Faktor penambahan modal dapat dilihat melalui tabungan
dan investasi.
2.1.2. Model Pertumbuhan Endogen
Konsep pertumbuhan yang lainnya yaitu konsep pertumbuhan endogen.
Konsep ini sering pula disebut dengan teori pertumbuhan baru (new growth theory).
Model pertumbuhan endogen mempunyai kemiripan struktural dengan teori
pertumbuhan neoklasik, namun berbeda dalam hal asumsi yang mendasarinya dan
kesimpulan yang ditarik darinya. Teori ini berupaya untuk menjelaskan keberadaan
skala hasil yang semakin meningkat dan pola pertumbuhan jangka panjang yang
berbeda-beda antarnegara. Teori pertumbuhan endogen (theory of endogenous
growth) dirintis oleh Romer (1986) dan Lucas (1989). Salvatore (1997) mengatakan
bahwa teori ini mampu menyajikan suatu ulasan analitis yang lebih menyeluruh dan
meyakinkan
mengenai
hubungan
antara
perdagangan
internasional
dengan
14
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Secara spesifik,
teori baru pertumbuhan ekonomi endogen ini menyatakan bahwa pendapatan
penurunan hambatan-hambatan perdagangan dalam berbagai bentuk, baik tarif
maupun
non-tarif,
akan
mempercepat
tingkat
pertumbuhan
ekonomi
dan
pembangunan di suatu negara dalam jangka panjang.
Aspek yang paling menarik dari model pertumbuhan endogen adalah bahwa
model tersebut membantu menjelaskan keanehan aliran modal internasional yang
memperparah ketimpangan antara negara maju dengan negara berkembang. Potensi
tingkat pengembalian investasi yang tinggi yang ditawarkan oleh negara berkembang
yang mempunyai rasio modal-tenaga kerja yang rendah berkurang dengan cepat
dikarenakan rendahnya tingkat investasi komplementer (complementary investments)
dalam sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur, atau riset dan pengembangan
(R & D).
2.2.
Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan satu instrumen dari kebijakan makroekonomi.
Kebijakan makroekonomi tersebut bertujuan untuk mencapai output yang tinggi
dengan laju pertumbuhan yang cepat, kesempatan kerja yang tinggi, stabilitas harga
serta keseimbangan dalam neraca pembayaran. Dalam literatur klasik, terdapat
beberapa perbedaan pandangan mengenai kebijakan fiskal, terutama menurut teori
Keynes dan teori klasik tradisional (Nopirin, 2000). Pada prinsipnya Keynes
berpendapat bahwa kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya terhadap output
daripada
kebijakan
moneter.
Alasannya
adalah
kebijakan
fiskal
mampu
15
meningkatkan
permintaan
agregat
secara
langsung.
Samuelson
(1997),
mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai salah satu proses pembentukan perpajakan
dan pengeluaran pemerintah atau publik. Proses tersebut merupakan upaya menekan
fluktuasi siklus ekonomi, dan ikut berperan menjaga ekonomi yang tumbuh dengan
penggunaan tenaga kerja penuh dimana tidak terjadi laju inflasi yang tinggi dan
berubah-ubah. Berdasarkan definisi tersebut terdapat dua instrumen pokok di
dalamnya, yaitu belanja negara dan perpajakan. Dengan kedua instrumen tersebut,
pemerintah dapat menetapkan program pengeluaran publik serta penerimaannya yang
sebagian besar adalah pajak.
Kondisi anggaran merupakan cerminan dari kebijakan fiskal yang dipilih
pemerintah pada periode tersebut. Pada saat anggaran defisit, ini berarti pemerintah
mengambil kebijakan fiskal ekspansif. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan
daya beli masyarakat. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami
resesi/depresi dan tingkat pengangguran tinggi. Sebaliknya, pada saat anggaran
surplus, ini berarti pemerintah mengambil kebijakan kontraktif.
Gambar 2.1. Kurva Kebijakan Fiskal Ekspansif
16
Kebijakan
ekspansif
dilakukan
dengan
cara
menaikkan
pengeluran
pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan output (Y), adapun
mekanisme peningkatan pengeluaran pemerintah ataupun penurunan pajak (T)
terhadap output. Gambar 2.1. dapat dijelaskan bahwa pada saat pengeluaran
pemerintah (∆G) naik atau selisih pajak (∆T) turun makan akan menggeser kurva
pengeluaran agregat keatas sehingga pendapatan akan naik dari (Y1) menjadi
(Yf).Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan pemerintah dengan cara
menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan
untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi. Kebijakan anggaran
surplus sebaiknya dilaksanakn ketika perekonomian pada kondisi yang mulai
memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. Pada saat munculnya
ekspansionary gap. Ekspansionary gap adalah suatu kondisi dimana output potensial
(Yf) lebih kecil dibandingkan dengan output aktual (Y1).
Gambar 2.2. Kurva Kebijakan Fiskal Kontraktif
Pada Gambar 2.2. di atas ini dapat dijelaskan bahwa disaat pengeluaran
pemerintah (∆G) turun atau selisih pajak (∆T) naik maka akan menggeser kurva
pengeluaran agregat kebawah sehingga pendapatan akan turun dari (Y1) menjadi (Yf).
17
Adapun mekanisme penurunan pengeluaran pemerintah (G) ataupun kenaikan pajak
(T) terhadap output (Y).
2.2.1. Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Salah satu instrumen kebijakan fiskal adalah pengeluaran pemerintah.
Pengeluaran pemerintah adalah seluruh pembelian atau pembayaran barang dan jasa
untuk kepentingan nasional. Pengeluaran pemerintah juga merupakan instrumen
pengukur dimana pemerintah menentukan seberapa besar peran sektor pemerintah
dan sektor swasta. Di samping itu, pengeluaran pemerintah dapat menjadi penentu
pokok jumlah pengeluaran agregat, dan penentu pertumbuhan GNP riil jangka
pendek. Teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh
para ahli ekonomi dan dapat digolongkan menjadi tiga golongan (Mangkoesoebroto,
1997), yaitu:
2.2.2. Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan
perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi
yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Pada tahap
awal perkembangan ekonomi, prosentase investasi pemerintah terhadap total
investasi besar, sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana,
seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi, dan sebagainya. Pada tahap
menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini
peranan investasi swasta sudah semakin membesar. Peranan pemerintah tetap besar
pada tahap menengah, karena peranan swasta yang semakin besar akan menimbulkan
18
banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan
barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak.
Musgrave (1983) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan,
investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih
lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan
ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk
aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan
masyarakat, dan sebagainya.
2.2.3. Hukum Wagner
Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran
pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wegner
mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan
perkapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan
meningkat. Wagner mengemukakan pendapatnya dalam bentuk suatu hukum
Wagner, sebagai berikut : Dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita
meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum
Wagner dikenal dengan “ The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar hukum
tersebut adalah pengamatan empiris di negara-negara maju yaitu, Amerika Serikat,
Jerman, Jepang. Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi
semakin besar, terutama disebabkab karena pemerintah harus mengatur hubungan
timbal balik dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum
tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemlilihan barang-barang publik.
Wagner menadasarkan pandangannya dengan suatu teori organis mengenai
19
pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai
individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.
2.2.4. The Displacement Effect
Dari ketiga teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah tersebut,
teori Peacock & Wiseman dianggap sebagai teori dan model yang terbaik
(Mangkoesoebroto, 1993; 173). Teori mereka sering disebut sebagai
The
Displacement Effect, dimana teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa
pemerintah senantiasa memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka
membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang
semakin besar tersebut. Dalam Mangkoesoebroto
(1993; 173). Peacock dan
Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai
suatu tingkat toleransi pajak, suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami
besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah
untuk menaikkan pungutan pajak. Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai
berikut: pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin
meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak
menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Peningkatan pada
PDB dalam keadaan normal menyebabkan penerimaan penerimaan pemerintah yang
semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah. Apabila keadaan normal
tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus
memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Salah satu cara umtuk
meningkatkan penerimaannya tersebut dengan menaikkan tarif paajk sehingga dana
20
swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek
pengalihan (Displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan
aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah.
2.3.
Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan makro
melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut
dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output
keseimbangan. Kebijakan moneter berlangsung melalui mekanisme transmisi untuk
menggeser permintaan agregat, sehingga akan mengubah keseimbangan tingkat
pendapatan nasional. Kenaikan JUB (Jumlah Uang Beredar) bersifat ekspansif,
sedangkan penurunan JUB bersifat kontraktif dan besarnya pergeseran permintaan
agregat sebagai reaksi atas kenaikan JUB tergantung pada besarnya kenaikan
investasi dan perubahan JUB akan menyebabkan perubahan yang besar pula pada
pengeluaran untuk investasi. Ahli ekonomi klasik mempunyai pendapat bahwa
kebijakan moneter lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan fiskal. Pada
perkembangannya, dengan munculnya kaum monetarist yang pada dasarnya beraliran
klasik, perbedaan pendapat dengan neo-keynesian tidak lagi berkisar pada kemiringan
kurva IS dan LM. Demikian kebijakan fiskal dapat mempengaruhi pendapatan
nasional, hanya saja kebijakan moneter lebih besar serta dapat diperkirakan lebih
cepat efeknya.
Para ahli ekonomi sepakat tentang penting dan sentralnya uang dalam
perekonomian modern. Tidaklah mengherankan jika studi tentang dampak perubahan
21
jumlah uang beredar terhadap kinerja perekonomian makro mendapat perhatian yang
sangat besar. Dewasa ini studi-studi dalam bidang keterkaitan jumlah uang beredar
dengan kinerja makro sudah semakin luas dan dalam. Bidang studi yang mempelajari
tentang pengaruh jumlah uang beredar (dan juga tingkat bunga) terhadap kinerja
perekonomian makro dikenal sebagai bidang kajian moneter atau lebih sering disebut
dengan teori ekonomi moneter.
2.3.1. Jenis Kebijakan Moneter
Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan moneter dapat dibedakan menjadi
dua yaitu kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan
moneter ekspansif adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang
beredar. Pada saat munculnya kontraksional gap. Berikut grafik kebijakan moneter
ekspansif. Dari Gambar 2.3. dibawah ini dapat dilihat kondisi awal penawaran uang
(MS1) dan tingkat suku bunga adalah kurva (R1). Pada kurva R1 tingkat suku bunga
yang peka terhadap pengeluaran adalah I, rencana pengeluaran agregat menjadi AE1
dan produk domestik bruto adalah (Y1).
Selain itu kurva PDB pada Y1 membantu menentukan posisi kurva permintaan
uang pada kurva L(R, Y1) dimana bersama-sama dengan kurva (MS1) menentukan
tingkat suku bunga (R1). Ketika MS1 meningkat menjadi MS2 maka tingkat suku
bunga turun karena pendapatan dan pengeluaran naik menjadi (R1), AE1 (R1) dan Y1.
22
Gambar. 2.3. Kurva Kebijakan Moneter Ekspansif
Kebijakan moneter kontraktif adalah suatu kebijakan dalam rangka
mengurangi jumlah beredar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money
policy). Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan
moneter, yaitu antara lain Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), Fasilitas
Diskonto (Discount Rate), Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio),
Himbauan Moral (Moral Persuasion).
2.3.2. Teori Kuantitas Uang
Teori kuantitas uang dikembangkan oleh Irving Fisher pada awal abad ke 20.
Teori kuantitas uang disampaikan dalam bukunya The Purchasing Power of Money
pada tahun 1911. Teori ini berpandangan bahwa uang hanya sebagai alat tukar, uang
akan berputar atau berpindah-pindah tangan dari satu pihak ke pihak lainnya selama
satu periode tertentu (biasanya satu tahun) dikenal dengan sebutan velositas uang
beredar (velocity of money). Faktor yang mempengaruhi velositas uang adalah faktor
23
kelembagaan, utamanya mekanisme pembayaran yang digunakan (tunai atau cek).
Dalam jangka pendek aspek kelembagaan sulit berubah, karena itu dalam jangka
pendek velositas uang akan konstan. Dalam persamaan matematis yang sederhana,
dapat dinyatakan sebagai:
M.V = P.T………………………………….…………………………………(2.3)
dimana:
M
= Jumlah uang beredar untuk transaksi, dalam praktik dapat dinyatakan
M2,
V
= Velositas uang, dalam jangka pendek diasumsikan konstan,
P
= Harga rata-rata output, dalam praktik merupakan tingkat harga umum,
T
= Jumlah output yang ditransaksikan pada tingkat full employment
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan jumlah
uang beredar dikalikan denga velositasnya akan sama dengan jumlah produksi
dikalikan harga jualnya. Karena output yang dihasilkan adalah pada kondisi full
employment dan velositas uang diasumsikan tidak berubah, maka dalam jangka
pendek jumlah uang beredar untuk transaksi berubah, maka harga rata-rata output
akan berubah juga. Konsekuensinya adalah perubahan harga rata-rata output karena
perubahan jumlah uang beredar mempunyai hubungan searah dan proposional.
Uraian paragraf di atas dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan yang sangat
sederhana, seperti di bawah ini:
M = kPY.............................................................................................................(2.4)
Karena velositas uang dianggap konstan, maka pendapatan nasional dalam jangka
pendek ditentukan oleh jumlah jumlah uang beredar. Hubungan antara jumlah uang
24
beredar dengan tingkat produksi adalah proporsional. Pertumbuhan jumlah uang
beredar akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2.4
Efektivitas Relatif pada Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal beroperasi secara langsung terhadap pengeluaran agregat.
Kebijakan moneter mempengaruhi pengeluaran agregat hanya secara tidak langsung,
dengan cara mengubah jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga. Jika bank
sentral mengubah jumlah uang beredar, maka sama saja dengan menggeser kurva
permintaan agregat melalui mekanisme transmisi. Pandangan-pandangan yang
mempelajari hubungan perilaku utama diubah menjadi pandangan mengenai kekuatan
relatif yang ada pada kebijakan moneter dan fiskal. Akibat dari kedua kebijakan
tersebut akan tergantung pada sudut kemiringan kurva SRAS dan bagaimana
pengaruh kebijakan tersebut pada kurva AD. Bagaimanapun bentuk sudut kemiringan
kurva SRAS, hal itu berlaku bagi kedua kebijakan ini. Perbedaan antara kedua
kebijakan ini dapat dilihat dari kemampuannya dalam menggeser kurva AD.
Dalam melihat efektivitas kebijakan kita membandingkan pada tiga daerah yaitu
daerah klasik, intermediate range, dan daerah Keynes . Daerah liquidity trap
merupakan daerah yang idenya pertama sekali dikemukakan oleh Keynes. Keynes
menganggap ada satu daerah pada kurva LM yang memiliki tingkat bunga yang
sangat rendah dan tidak mungkin turun lagi. Daerah ini yang disebut daerah liquidity
trap. Daerah klasik memiliki kurva LM yang tegak lurus. Hal ini dikarenakan
pemahaman kaum klasik bahwa teori permintaan uang, permintaan uang tidak
dipengaruhi oleh pendapatan. Karena tidak ada hubungannya dengan suku bunga,
25
maka kurva LM bentuknya tegak lurus. Intermediate range adalah daerah yang
menunjukkan kurva LM dipengaruhi oleh suku bunga. Gambar 2.4. menunjukkan
apabila kurva IS bergeser ke kanan berarti kebijakan fiskal ekspansif. Jika kita
perhatikan pada masing-masing daerah, kebijakan fiskal sangat efektif pada daerah
Keynesian dan efektif pada daerah intermediate. Hal ini terlihat dari besarnya
perubahan keseimbangan pendapatan nasional didaerah keynesian. Sementara itu,
kebijakan fiskal sama sekali tidak efektif pada daerah klasik. Ketika ada kebijakan
fiskal, keseimbangan pendapatan nasional tidak berubah.
Gambar 2.4. Kurva Efektivitas Kebijakan Fiskal
Kebijakan moneter yang ekspansif ditandai dengan bergesernya kurva LM
dari LM0 ke LM1. Apabila dibandingkan pada ketiga daerah maka kebijakan moneter
sangat efektif di daerah klasik dan efektif pada daerah intermediate. Sementara itu,
kebijakan moneter sama sekali tidak efektif pada daerah keynesian.
26
.
Gambar 2.5. Kurva Efektivitas Kebijakan Moneter
2.5.
Teori Perdagangan Internasional
Keterbukaan perdagangan merupakan indikator untuk memperlihatkan
seberapa besar tingkat ekspor impor suatu negara. Keterbukaan perdagangan dapat
diartikan pula sebagai volume perdagangan internasional. Keterbukaan perdagangan
dapat dijelaskan dengan penjumlahan nilai ekspor dan impor. Perdagangan
internasional memiliki sejumlah argumen yang mendukung serta menolaknya,
dengan beragam alasan yang mendasarinya. Namun argumen yang mendukung
ataupun menolak tidak ada yang memiliki kebenaran absolut. Manfaat yang diperoleh
suatu negara dengan adanya perdagangan internasional bergantung pada struktur
perekonomian negara itu sendiri (Lindert dan Kindleberger, 1986).
Teori pertumbuhan ekonomi dalam hubungannya dengan perdagangan dapat
ditelusuri kembali pada teori keunggukan absolut oleh Adam Smith pada tahun 1776
dan teori keunggulan komparatif oleh David Ricardo pada tahun 1817 (Salvatore,
1997). Menurut teori keunggulan absolut (absolut advantage theory), jika sebuah
27
negara lebih efisien daripada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditas
(memiliki keunggualan absolut), namun kurang efisien dibanding negara lain dalam
memproduksi komoditas lainnya (memiliki kerugian absolut) maka kedua negara
tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan
spesialisasi pada komoditas yang memiliki kerugian absolut.
Menurut Damanhuri (2010), perdagangan luar negeri memiliki peranan yang
sangat penting bagi pertumbuhan dan pembangunan di suatu negara. Model
pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan oleh Keynes, perdagangan internasional
merupakan salah satu determinan bagi pendapatan suatu negara. Secara sederhana,
pemikiran Keynes tersebut dapat dijelaskan dalam persamaan di bawah ini:
Y  C  I  G   N  X  .................................................................................. (2.5)
Dalam persamaan tersebut, Y adalah pendapatan sebuah negara, C merupakan
pengeluaran yang dikeluarkan oleh rumah tangga, I adalah simbol untuk investasi
atau pengeluaran modal yang dilakukan oleh sektor produsen, G adalah pengeluaran
yang dikeluarkan oleh pemerintah, X merupakan ekspor yang dilakukan oleh negara,
sementara M adalah simbol untuk impor yang dilakukan oleh sebuah negara. Dalam
persamaan tersebut, perdagangan internasional disimbolkan dengan (X-M).
Perdagangan internasional mempunyai dua hal penting yang berperan dalam
membantu proses pembangunan ekonomi sebuah negara, khususnya negara
berkembang, yaitu:
28
a. Adanya pergerakan modal dari negara maju ke negara berkembang. Dengan
adanya perdagangan internasional tersebut, diharapkan terjadi perpindahan
modal dari negara maju ke negara berkembang yang kekurangan modal.
Mengingat salah satu faktor utama rendahnya produktivitas di negara
berkembang adalah kurangnya modal yang dimiliki mereka.
b. Transfer of technology and know how lewat perusahaan multinasional (Multi
National Corporation/MNC).
Perdagangan
internasional
sering
pula
dikatakan
sebagai
“mesin
pertumbuhan” (engine of growth). Menurut Salvatore (1997), sekalipun perdagangan
internasional tidak bisa menjadi “mesin pertumbuhan” yang efektif bagi negaranegara berkembang, namun bukan berarti perdagangan internasional tidak ada
kegunaannya. Para ekonom seperti Haberler mengatakan keuntungan-keuntungan
yang bisa diperoleh dari perdagangan internasional, diantaranya:
1. Perdagangan dapat meningkatkan pendayagunaan sumber-sumber daya
domestik di suatu negara berkembang.
2. Perdagangan internasional dapat menciptakan pembagian kerja dan skala
ekonomi (economies of scale) yang lebih tinggi, melalui peningkatan ukuran
pasar.
3. Perdagangan internasional juga berfungsi sebagai wahana transmisi gagasangagasan baru, teknologi yang lebih baik, serta kecakapan manajerial, dan
bidang-bidang keahlian lainnya yang diperlukan bagi kegiatan bisnis.
4. Perdagangan antar negara juga merangsang dan memudahkan mengalirnya
arus modal internasional dari negara maju ke negara berkembang.
29
5. Impor produk-produk baru dapat merangsang permintaan domestik serta dapat
memberikan inspirasi dan membuka lahan bisnis baru yang menguntungkan
bagi para produsen setempat.
6. Perdagangan internasional merupakan instrumen yang efektif untuk mencegah
monopoli karena perdagangan pada dasarnya dapat merangsang peningkatan
efisiensi setiap produsen domestik agar mampu menghadapi persaingan dari
negara lain.
2.6.
Penelitian Terdahulu
Ajisafe dan Folorunso (2002) menguji secara empiris perbandingan efektivitas
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria
pada periode tahun 1970-1998. Dengan menggunkan variabel penelitian narrow
money, board money, pendapatan pemerintah, pengeluaran pemerintah, dan budget
deficit dengan metode estimasi yang digunakan adalah kointegrasi dan Error
Correction Model (ECM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan moneter
lebih efektif daripada kebijakan fiskal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Nigeria.
Rahman (2005) meneliti efektivitas relatif antara kebijakan moneter dan
kebijakan fiskal dalam pertumbuhan output riil di Bangladesh pada tahun 1973-2005.
Hasil penelitian menunjukkan kebijakan moneter secara tunggal berpengaruh secara
positif dan signifikan terhadap pertumbuhan output ril di Bangladesh. Hal ini
memperkuat temuan Model St. Louis bahwa kebijakan moneter relatif lebih efektif
30
daripada kebijakan fiskal yang disimulasikannya. Variabel yang digunakan dalam
penelitian terdiri dari Real Government Expenditure, Real Money, Real Interest Rate,
Real GDP dengan menggunakan metode estimasi SVAR. Hsing (2005) melakukan
penelitian tentang pengaruh kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan penurunan nilai
mata uang terhadap output di Venezuela. Penelitian ini menggunakan metode IS-LM
model dan Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasiticity (GARCH).
Dengan menggunakan data tahunan selama tahun 1959-2001. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa output riil berhubungan positif dengan jumlah uang beredar
(M2), pengeluaran pemerintah, depresiasi mata uang Bolivar, tingkat inflasi dan
harga minyak.
Hastuti (2007) menganalisa dampak kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan
kebijakan nilai tukar terhadap pendapatan nasional, periode sebelum dan sesudah
krisis di Indonesia. Metode yang digunakan adalah VAR, dengan variabel yang
diteliti adalah jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, nilai tukar, dan PDB.
Data merupakan data triwulanan dari triwulan I tahun 1990 sampai triwulan IV tahun
2006. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah uang beredar dan pengeluaran
pemerintah memiliki dampak positif terhadap PDB, sedangkan dampak nilai tukar
adalah negatif, dengan kata lain, kebijakan moneter dan kebijakan fisklal memiliki
dampak yang ekspansif, sedangkan dampak nilai tukar adalah kontraktif. Indrawati
(2007) melihat interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di Indonesia
menggunakan pendekatan VAR. Variabel yang digunakan adalah suku bunga,
pengeluaran pemerintah, IHK dan PDB. Data yang digunakan data tahunan dari
1970-2006. Hasilnya memperlihatkan shock kebijakan fiskal bersifat permanen dan
31
negative terhadpa inflasi dan direspon dengan kebijakan moneter yang ketat. Shock
kebijakan moneter menyebabkan pengaruh permanen negatif pada menrunnya
pertumbuhan ekonomi.
Katsimi dan Sarantidies (2008) meneliti dampak kebijakan fiskal pada 19
negara maju selama tahun 1975-2000. Penelitian ini menggunakan metode fixed
effect model (FEM). Hasil penelitian ini menunjukkan pengeluaran barang modal
mempunyai dampak yang positif terhadap keuntungan. Pajak langsung dan tidak
langsung menurunkan keuntungan. Penelitian yang dilakukan oleh Ali et al. (2008)
bertujuan untuk mengkaji dampak efektivitas relatif antara kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter di negara-negara Asia Selatan. Dengan periode penelitian dari
tahun 1990 – 2007, hal ini dilakukan untuk membuktikan pandangan Monetarist dan
Keynesian serta untuk menemukan kebijakan yang lebih efektif dalam mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Uji Im, Pesaran, dan Shin serta Levin, Lin, dan Chu
digunakan untuk menguji integrasi. Hubungan jangka pendek dan jangka panjang
diestimasi dengan
model Autoregressive Distributed Lag (ARDL) yaitu untuk
menguji kointegrasi pada panel dan Error Correction Method (ECM). Hasil
penelitian menunjukkan jumlah uang beredar memiliki pengaruh yang signifikan baik
jangka pendek maupun jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya,
keseimbangan fiskal tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada jangka pendek
dan jangka panjang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter lebih
memiliki kekuatan dibandingkan kebijakan fiskal dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi di negara-negara Asia Selatan.
32
Kubo (2008) meneliti dampak shock dari kebijakan moneter terhadap
perekonomian, pengalaman Thaland. Variabel yang digunakan yaitu indeks Harga
Konsumen (IHK). Indeks Produksi, Indeks Harga Produsen (IHP), suku bunga
pinjaman dan agregat kredit swasta, dengan menggunakan metode VAR. dari
penelitian ini diperoleh bahwa mekanisme transmisi moneter di Thailand mempunyai
dampak terhadap dimensi internasional. Kontraksi moneter mempunyai efek yang
negative dan cukup kuat pada permintaan impor dalam jangka pendek walaupun
harga impor turun.
Afonso dan Sousa (2009) meneliti efek dari kebijakan fiskal menggunakan
metode Bayesian Structural Vector Autoregression (BSVAR) dengan menganalisis
Negara Inggris, Amerika, Jerman dan Italy. Secara umum dapat disimpulkan bahwa
shock pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh: (i) efek yang kecil terhadap
PDB, (ii) tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap konsumsi swasta, (iii)
mempunyai efek negatif terhadap investasi swasta, (iv) mempunyai efek yang
bervariasi terhadap harga rumah, (v) mendorong jatuhnya harga saham, (vi) tidak
berdampak signifikan terhadap tingkat harga, (vii) efek positif dan kecil terhadap
pertumbuhan tingkat agregat moneter dan (viii) mempunyai pengaruh positif terhadap
produktivitas. Sementara itu shock penerimaan pemerintah berpengaruh pada (i) efek
positif terhadap PDB dan investasi, (ii) efek positif terhadap harga rumah dan harga
saham dan (iii) secara umum tidak ada dampak terhadap tingkat harga.
Chang et al. (2009) menyatakan bahwa dampak keterbukaan perdagangan
terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi berarti apabila disertai oleh perbaikanperbaikan pada infrastruktur publik, sektor finansial, kualitas modal manusia,
33
fleksibilitas pasar tenaga kerja, serta stabilitas perekonmian dan harga. Perbaikanperbaikan tersebut akan menjadikan keterbukaan perdagngan dapat berlangsung
efektif sehingga meningatkan pengalokasian sumber daya, memungkinkan diseminasi
pengetahuan dan teknologi, serta mendorong persaingan di pasar domestik dan
internasional.
Selain dipengaruhi oleh kondisi dari setiap negara, pola interaksi yang terjadi
antarvariabel dalam suatu perekonomian juga tidak seragam. Sebagaimana penelitian
oleh Miankhel et al. (2009) tentang keterkaitan PMA, ekspor, dan pertumbuhan
ekonomi di enam negara berkembang yang memiliki tahap pertumbuhan berbedabeda, yaitu India dan pakistan di Asia Selatan, Malaysia dan Thailand di Asia
Tenggara, serta Mexico dan Chile di Amerika lain. Hasil penelitiannya mendukukng
hipotesis bahwa ekspor akan mendorong pertumbuhan ekonomi (exsport led growth),
khususnya di Asia Selatan. Dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi akan
mendorong perkembangan variabel-variabel lainnya, yaitu mendorong ekspor di
Pakistan dan mendorong PMA di India. Hubungan yang berbeda terlihat dalam
jangka pendek di Amerika Latin, yaitu PMA memengaruhi pertumbuhan melalui
ekspor (PMA
Ekspor
PDB) di Chile dan PMA memengaruhi pertumbuhan
secara langsung di Mexico.Ekspor memengaruhi pertumbuhan dan PMA di kedua
negara tersebut dalam jangka panjang. Sementara itu, kasus di Asia Tenggara
ditemukan hubungan kausalitas dua arah antara PDB dan PMA di Thailand, dan
sebaiknya keduanya tidak memiliki hubngan sebab-akibat di Malaysia.
Mobolaji dan Adefeso (2010) melakukan penelitian mengenai efektivitas
relatif kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di
34
Nigeria dengan menggunakan data tahunan dari 1970-2007. Error Correction
Mechanism (ECM) dan teknik kointegrasi dilakukan untuk mengestimasi data
penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan dan konsisten dengan penelitian
sebelumnya bahwa kebijakan moneter lebih memiliki kekuatan dibandingkan
kebijakan fiskal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Penelitian ini
merekomendasikan kebijakan moneter sebagai alat stabilitas perekonomian.
Jawaid, Qadri, dan Ali (2011) meneliti pengaruh kebijakan moneter, fiskal,
dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi Pakistan dengan menggunakan data
tahunan dari 1981-2009. Dengan menggunakan metode estimasi VECM dimana
variabel penelitiannya adalah money supply (proksi kebijakan moneter), government
expenditure (proksi kebijakan fiskal), share ekspor dan impor terhadap GDP (proksi
kebijakan perdagangan). Hasilnya adalah kebijakan moneter dan kebijakan fiskal
berimplikasi positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka
pendek dan
jangka panjang, sebaliknya untuk kebijakan perdagangan . Dimana
kebijakan moneter lebih efektif daripada kebijakan fiskal.
2.7.
Kerangka Pemikiran
Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur kinerja perekonomian suatu
negara. Integrasi ekonomi dan keuangan akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi di
kawasan ASEAN+6. Integrasi ekonomi dapat membuat pertumbuhan ekonomi
menjadi konvergen maupun divergen. Untuk mencapai tujuan pendapatan nasional
yang tinggi dan selaras di kawasan ASEAN+6 diperlukan serangkaian kebijakan
khususnya kebijakan makroekonomi oleh pemerintah di masing-masing negara. Ada
35
tiga alternatif utama dalam mencapai tujuan kebijakan yaitu, kebijakan fiskal,
kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan. Kawasan integrasi ekonomi
ASEAN+6 yang terdiri dari negara berkembang dan negara maju. Masing-masing
kelompok negara tersebut memiliki perbedaan karakteristik yang mendasar sehingga
tidak dapat diterapkan perlakuan yang sama diantara keduanya. Selanjutnya, analisis
pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 akan dilakukan dengan memisahkan antara negara
berkembang dan negara maju untuk melihat dampak dari kebijakan fiskal, kebijakan
moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi. Berikut
adalah gambaran kerangka pemikiran dari penelitian ini:
36
ASEAN (Indonesia,Malaysia,
Singapore,Thailand,Philipina)
China, Jepang, Korea Selatan,
India, Australia, New Zealand
Integrasi Ekonomi
ASEAN+6
Pertumbuhan Ekonomi
ASEAN+6
Negara
Negara
Berkembang
Maju
Kebijakan Makroekonomi
Kebijakan Fiskal

Pengeluaran
Pemerintah
Kebijakan Moneter

Jumlah Uang
Beredar (M2)
Kebijakan
Perdagangan

Keterbukaan
Perdagangan
Metode Panel Data Dinamis dengan Pendekatan
GMM (Generalized Method of Moments)
Gambar 2.6. Kerangka Pemikiran
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
diperoleh dari beberapa sumber. Adapun data diperoleh dari badan statistik dunia
World Development Indicator (WDI), World Bank, CEIC, serta beberapa jurnal dan
literatur yang relevan dengan penelitian ini.
Tabel 3.1. Variabel-variabel yang Digunakan dalam Penelitian
No.
1.
Variabel
Y
Keterangan
Sumber
GDP Riil
Satuan
World
Milyar LCU
Development
Konstan 2005
Indicator
2011
2.
GEXP
General
Government
Consumption
(GGFCE)
Final World
Expenditure Development
sebagai
4.
M2
OPNESS
Konstan 2005
proksi Indicator
kebijakan fiskal
3.
Milyar LCU
2011
Broad Money, sebagai proksi CEIC
Milyar LCU
kebijakan moneter
Konstant 2005
Keterbukaan
(Trade)
Perdagangan
, World
Persentase
Development
( share ekspor
Indicator
and impor of
2010
GDP)
38
Data-data yang diperlukan dalam permodelan penelitian ini yaitu GDP (Gross
Domestik Product), General Government Final Consumption Expenditure (GEXP),
Broad Money (M2), dan keterbukaan perdagangan (OPNESS). Data yang
dikumpulkan merupakan data panel dengan time series 2000-2010 dan cross section
11 negara ASEAN+6, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Philipina, Thailand,
Jepang, Korea Selatan, China, India, Australia, dan New Zealand.
3.2.
Model Penelitian
Metode yang digunakan untuk melihat dampak relatif antara kebijakan fiskal
dan kebijakan moneter terhadap output riil di negara kawasan ASEAN+6 diukur
dengan menggunakan model yang merupakan gabungan dari model Ali et al. (2008),
Adefeso dan Mobolaji (2010), dan Jawaid et al. (2011)
Ali et all (2008)
meneliti efektivitas relatif antara kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di Negara-Negara Asia Selatan
dengan menggunakan metode estimasi OLS, Panel data, Autoregressive Distributed
Lag model ARDL a co integration (panel) test dan Error Correction Method (ECM).
Ali et all membangun model penelitian tersebut sebagai berikut:
Yit     0 FBit  1M 2it  it ……………….…….………………………..(3.1)
dimana,
Yit
= GDP growth rate
FBit
= Fiscal Balance (defisit fiskal)
M2it
= Broad Money
39
μit
= Error term
Adefeso dan Mobolaji (2010) meneliti efektivitas relatif kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria menggunakan metode
estimasi Error Correction Mecahanism dan kointegrasi. Adapun model penelitian
yang dibangun dalam Adefoso dan Mobolaji (2010) adalah sebagai berikut:
Yt  f ( DOPNESSt , M 2t , GEXPt ) ……………………………………………(3.2)
Persamaan (3.2) diatas diturunkan dengan menggunakan log linear, didapat
persamaan baru sebagai beriut:
ln Yt  b0  b1 ln M 2t  b3 ln GEXPt  b4 ln DOPNESSt  et …………...………...(3.3)
dimana,
Yt
= GDP
M2t
= Broad Money
GEXPt
= Government Expenditure
DOPNESSt
= Degree of Openness
ln
= logaritma natural
et
= error term
Sedangkan Jawaid et al. (2011) meneliti secara empirik dampak kebijakan
moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan perdagangan terhadap pertumbuhan
ekonomi di Pakistan dengan data time series dari 1981-2009. Dengan menggunakan
metode estimasi kointegrasi dan Error Correction Model (ECM). Model
penelitiannya adalah
GDPt   0  1MSt   2GEt   3TOt   t ……………………..……….………(3.4)
40
dimana,
GDPt = Pertumbuhan ekonomi pada tahun ke t
MSt
= Money Supply tahun ke t sebagai proksi dari kebijakan moneter
GEt
= Government Expenditure tahun ke t sebagai proksi kebijakan fiskal
TOt
= Share ekspor dan impor terhadap GDP pada tahun ke t sebagai proksi
kebijakan perdagangan
t
= Error term
Berdasarkan persamaan-persamaan diatas berikut adalah persamaan baru yang
dimodifikasi, yang selanjutnya akan digunakan dalam penelitian ini:
ln Yit  b1 ln GEXPit  b2 ln M 2it  b3 OPNESSit   it …………..……………....(3.5)
dimana,
lnYit
= GDP Riil negara i pada tahun ke t
lnGEXPit
= Pengeluaran Pemerintah (Government Expenditure) sebagai
proksi kebijakan fiskal negara i pada tahun ke t
lnM2it
= Jumlah uang beredar (Broad Money) sebagai proksi kebijakan
moneter negara i pada tahun ke t
DOPNESSit
= Keterbukaan Ekonomi (Degree of Openness) sebagai proksi
kebijakan perdagangan negara i pada tahun ke t
εit
= Error term
41
3.3.
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
panel data dinamis dengan teknik estimasi model menggunakan pendekatan GMM
(Generalized method of moments) yang mengacu pada metodologi Verbeek (2004).
Tujuan menggunakan metode panel dinamis dengan pendekatan GMM bertujuan
untuk mengontrol bias yang berkaitan dengan simultanitas dan individual special
effect setiap negara.
3.3.1. Data Panel
Menurut Gujarati (2003), data panel (pooled data) merupakan gabungan
antara data cross section dan data time series. Data cross section adalah data yang
dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu sedangkan data time series
merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu.
Kriteria data panel yang baik adalah ketika N cross section relatif lebih besar bila
dibandingkan dengan jumlah T time series. Dalam data panel, data cross section yang
sama di observasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah
observasi time series yang sama maka disebut balanced panel. Sebaliknya jika
jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section, maka disebut unbalanced
panel.
Terdapat dua keuntungan penggunaan data panel dibandingkan data time
series atau cross section saja (Verbeek 2004). Pertama, dengan mengombinasikan
data time series dan cross section dalam data panel membuat jumlah observasi
42
menjadi lebih besar. Dengan menggunakan model data panel marginal effect dari
peubah penjelas dilihat dari dua dimensi (individu dan waktu) sehingga parameter
yang diestimasi akan lebih akurat dibandingkan dengan model lain. Secara teknis
menurut Hsio (2004), data panel dapat memberikan data yang informatif, mengurangi
kolinieritas antarpeubah serta meningkatkan derajat kebebasan yang artinya
meningkatkan efisiensi. Kedua, keuntungan yang lebih penting dari penggunaan data
panel adalah mengurangi masalah identifikasi. Data panel lebih baik dalam
mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam
cross section atau time series murni. Data panel mampu mengontrol heterogenitas
individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secra eksplisit
memasukkan unsur heterogenitas individu. Data panel juga lebih baik untuk studi
dynamics of adjustment. Hal ini berkaitan dengan observasi pada cross section yang
sama secara berulang, sehingga data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan
dinamis.
Baltagi (2005), penggunaan data panel memberikan banyak kelebihan, yaitu:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu atau unit cross section.
2. Dapat memberikan informasi lebih banyak, mengurangi kolinieritas antar
variabel, meningkatkan degree of freedom, dan lebih efisien.
3. Panel data lebih baik untuk studi yang bersifat dinamis atau dynamics of
adjustment.
4. Dapat mengidentifikasi dan mengukur efek yang sederhana yang tidak dapat
dideteksi dalam model data cross section maupun time series murni.
43
5. Mampu menguji dan membangun model prilaku (behavioral models) yang
lebih kompleks.
3.3.1.1 Data Panel dinamis
Firdaus (2011), Sejak awal tahun 1990-an, perkembangan metode data panel
memasuki babak baru dengan dipublikasikannya tulisan Arellano dan Bond (1991).
Seiring dengan populernya model time series pada saat itu, muncul pula pemikiran
untuk merumuskan model data panel yang memasukkan lag dari peubah dependen
sebagai regresor dalam regresi. Hal ini berakibat munculnya masalah endogeneity,
sehingga bila model diestimasi dengan pendekatan fixed effect maupun random
effects akan menghasilkan penduga yang bias dan tidak konsisten (Verbeek 2008).
Untuk memecahkan masalah ini, Arellano dan Bond mengusulkan pendekatan
method of moments atau yang biasa disebut dengan Generalized Method of Moments
(GMM).
Indra (2009), relasi antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya banyak
yang bersifat dinamis. Analisis dapat digunakan sebagai model yang bersifat dinamis
dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment).
Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen diantara
variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, perhatikan model data panel dinamis
sebagai berikut:
yit = δyi,t-1 + X’itβ + uit : i = 1, …, N ; t = 1, …, T..............................................(3.6)
44
dengan δ menyatakan suatu skalar, x' it menyatakan matriks berukuran 1 x K dan β
matriks berukuran K x 1. Dalam hal ini, uit diasumsikan mengikuti model one way
error component sebagai berikut
uit = μi + υit .........................................................................................................(3.7)
dengan μi ~ IID  0, 2  
menyatakan pengaruh individu dan υit ~ IID  0, 2 
menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa
literature disebut transient error.
Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan
efisiensi baik pada Fixed Effect Model (FEM) maupun Random Effect Model (REM)
terkait perlakuan terhadap μi. Dalam model dinamis, situasi ini secara substansi
sangat berbeda, karena yit merupakan fungsi dari μi maka yi,t-1 juga merupakan fungsi
dari μi. Karena μi adalah fungsi dari μit, hal ini akan menyebabkan penduga least
squares (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan
inkonsisten, bahkan bila υit tidak berkorelasi serial sekalipun.
Untuk mengilustrasikan kasus tersebut diberikan data panel Autoregresive
(AR (1)) tanpa menyertakan variabel eksogen
yit   yi ,t 1  uit ; |δ| < 1 ; t =1, …, T ................................................................(3.8)
dengan uit = μi + υit dimana μi ~ IID (0, σ2μ) dan υit ~ IID (0, σ2υ) saling bebas satu
sama lain. Penduga fixed effect bagi δ diberikan oleh
N

 FE 
T
  ( yit  y i )( yi ,t 1  y i ,t 1 )
i 1 t 1
N
T

  yi ,t 1  y i ,1
i 1 t 1

2
………………..……(3.9)
45
T
T
t 1
t 1

dengan y t  1/ T  yit dan yi ,1  1/ T  yi ,t 1 . Untuk menganalisis sifat dari  FE ,
dapat disubstitusi persamaan (3.8) ke (3.9) untuk memperoleh:

 FE
 1
N T
  it  i yi ,t 1  y i , 1
  NT   i
1 t 1


 
………(3.10)
N T
1/  NT     yi ,t 1  y i ,1


i 1 t 1



Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk N   dan T tetap, bentuk
pembagian pada persamaan diatas tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak
konvergen menuju nol bila N   . Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan (Nickel
(1981) dalam Verbeek (2004) bahwa
p lim
N 

1 N T
  vit  v i
NT i 1 t 1


yi ,t 1  y i ,1  
 v2 T  1  T    T
 0 ...(3.11)
2
T2
1   
Sehingga, untuk T tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten.
Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat
digunakan. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek menyarankan suatu pendekatan
generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu
yang popular. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan
common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk
perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana
terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.
Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun
beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah asymptotically
efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang
46
terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi
pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang
mendukung aplikasi pendekatan GMM.
Terdapat dua prosedur estimasi yang lazim digunakan dalam kerangka GMM
untuk mengakomodir permasalah di atas, yaitu: First-Differences GMM (FD-GMM)
dan System GMM (SYS-GMM)
1.
First Differences GMM (AB-GMM)
|α| yit = αyi,t-1 + ηi + υt Misalkan terdapat persamaan autoregressive dengan
satu beda kala atau AR (1) disertai dengan unobserved individual-spesific effects
yaitu dengan < 1
E [υit] = 0, E [ηi] = 0, E [υitηi] = 0 pada persamaan diatas untuk i = 1, ..., N dan t = 2,
..., T serta ηi + υit = uit mempunyai struktur standard error components sebagai berikut
Untuk i = 1, ..., N dan t = 2, ..., T
Asumsikan transient errors tidak berkorelasi antar waktu
E [υit υis] = 0 untuk i = 1,..., N dan s ≠ t
dan kondisi semula y i1 adalah predetermined
E [y i1 υi] = 0 untuk i = 1, ..., N dan t = 2, …, T
Secara bersama-sama asumsi tersebut berimplikasi adanya m = 0.5 (T-1) x (T-2)
moment restrictions
E [y i,t-s∆υi] = 0 untuk t = 3,...,T dan s ≥ 2
E﴾Zi∆υi ﴿ = 0 yang dapat ditulis sebagai, dimana Zi adalah (T-2) x m matriks yaitu:
47
 yi1
0
Zi  
 .

0
0
yi1
.
0
0
yi 2
.
0
...
...
...
...
0 ...
0 ...
.
.
yi1 ...





yi ,T 2 
0
0
.
dan ∆υi adalah (T - 2) vektor (∆υi 3, ∆υi 4, ..., ∆υi T)„. Ini merupakan
kerangka GMM, dimana digunakan lag dari peubah dependen mulai dari t-2, atau
disebut FD-GMM. Pendekatan ini akan menghasilkan estimator yang konsisten dari α
manakala N → ∞ dengan T relatif kecil.
Terdapat keterbatasan dari FD-GMM estimator, terutama bila terjadi korelasi
antar lag dari pembeda pertama, sehingga instrumen yang digunakan lemah (Blundell
dan Bond 1998). FD-GMM estimator bahkan akan lebih bias ke bawah daripada
fixed-effects, terutama bila jumlah periode waktu terbatas. Untuk itu, penggunaan
baik nilai sekarang maupun lag dari regresor sebagai instrumen akan dapat
memperbaiki FD-GMM estimator.
Dalam praktik, keterbatasan FD-GMM tersebut dapat dideteksi dengan
membandingkan koefisien dari peubah lag yang diperoleh dari pendekatan pooled
least squares, fixed-effects dan FD-GMM. Diketahui bahwa model panel data dengan
AR (1) bila diestimasi dengan teknik pooled least squares akan menghasilkan
koefisien yang bias ke atas, sedangkan bila diestimasi dengan pendekatan fixedeffects atau within group akan menghasilkan koefisien yang bias ke bawah. Dengan
demikian koefisien yang konsisten akan diperoleh bila nilainya berada antara
keduanya.
48
2.
System GMM (SYS-GMM)
Ide dasar dari penggunaan metode System GMM adalah untuk mengestimasi
sistem persamaan baik pada pembedaan pertama maupun pada level, dimana
instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari deret (Indra,
2009). Blundell dan Bond (1998) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial
condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis
ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model autoregresif data panel dinamis
tanpa regresor eksogenus sebagai berikut:
yit   yi ,t 1  i   it
.................................................................................(3.12)
dengan E (μi) = 0, E (νit) = 0, dan E (μi νit) = 0 untuk i = 1,2,...,N ; t = 1,2,...,T
Matriks instrumen untuk SYS-GMM adalah sebagai berikut:
....................................................(3.13)
dengan kondisi momen (moment conditions) derajat kedua dapat dinyatakan sebagai:
E  Zi*'ui*   0 ..................................................................................................(3.14)
dimana ui*  (vi 3 ,..., viT , ui 3 ,..., uiT ) . Dalam hal ini, Blundel dan Bond (1998)
memfokuskan pada T = 3, oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang
diberikan oleh E (yi1∆νi3) sedemikian sehingga δ tepat teridentifikasi (just identified).
49
Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan
meregresikan ∆yi2 pada yi1. Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari (3.12)
yang dievaluasi pada saat t = 2 dengan mengurangi kedua sisi persamaan ini, menjadi
yi 2   1 yi,1  i  i 2
…………………......………………………....…(3.15)
Dikarenakan ekspektasi E (yi,1 μi) > 0, maka, maka (δ – 1) akan bias ke atas (upward
biased) dengan
 
plim    1    1


c
 2 
c  2 
  u  …………………………………………..(3.16)
dengan c  1    / 1    . Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari variabel
instrument yi1 mendekati nol. Selain itu, nilai F-statistik dari regresi variabel
instrumen tahap pertama akan konvergen ke 12 dengan parameter non-centrality

 c 
2
u
2
 2   u2c
 0 ,dengan δ → 1......................................................................(3.17)
Karena   0 maka penduga variabel instrument menjadi lemah. Di sisni,
Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga firstdifference GMM dengan masalah lemahnya instrument yang mana hal ini dicirikan
dari parameter konsentrasi  .
Dengan
demikian,
SYS-GMM
estimator
mengkombinasikan
gugus
persamaan first-difference dengan nilai level sebagai instrumennya ditambah gugus
persamaan level dengan first-difference sebagai instrumen. Validitas dari tambahan
50
instrumen dapat diketahui dengan menggunakan uji-Sargan untuk over-identifying
instrument.
3.3.2. Prosedur Analisis dengan Metode Panel Dinamis
Untuk menduga parameter model data panel dinamis pada persamaan akan
digunakan meode Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB-GMM). Dari
hasil estimasi AB-GMM, kemudian dilihat apakah instrumen yang digunakan valid.
Apabila tidak, kemudian digunakan pendekatan SYS-GMM untuk mengatasi
validitas instrumen pada pendekatan AB-GMM. Untuk menguji validitas instrumen
pada pendekatan AB-GMM, dapat digunakan uji Sargan.
Uji Sargan untuk
overidentyfing restriction merupakan suatu pendekatan untuk mendeteksi apakah ada
masalah dengan validitas instrumen. Hipotesis untuk uji ini menyatakn bahwa tidak
ada masalah dengan validitas instrumen dalam artian bahwa instrumen tersebut tidak
berkorelasi dengan error pada persamaan AB-GMM. Nilai statistik Sargan dihitung
sebagai
……………………...(3.18)
Pada kondisi kondisi hipotesis nol, nilai statistik di atas memiliki sebaran
, dengan q menyatakan jumlah instrumen dikurangi jumlah
parameter yang digunakan dalam model.
Untuk melihat konsistensi dari hasil estimasi yang dihasilkan dari model ABGMM akan dilakukan uji autokorelasi dengan menggunakan statistik Arellano-Bond
dan
. Konsistensi ini ditunjukkan oleh nilai statistik
yang signifikan dan
51
nilai statistik
yang tidak signifikan (Arellano, 2003). Hal yang sama juga akan
dilakukan uji validitas instrumen dengan menggunakan uji Sargan serta uji ArellanoBond
dan
untuk melihat konsistensi estimator yang diperoleh. Pada tahap
berikutnya, model yang lebih valid di antara ketiga pendekatan dalam model data
panel statis, selanjutnya hasil estimasi akan dikomparasi dengan hasil estimasi model
data panel dinamis untuk kemudiaan ditelaah dan dianalisis lebih lanjut.
Selain pemilihan dan komparasi model, dari hasil yang diperoleh juga akan
diuji tingkat signifikansi serta tanda setiap koefisien estimasi yang diperoleh. Tanda
koefisien estimasi ini kemudian dianalisis apakah relevan dengan teori yang ada.
Dari hasil estimasi kedua pendekatan tersebut selanjutnya akan dilakukan telaah dan
analisis untuk menjawab dan hipotesis penelitian.
Firdaus (2011), Secara ringkas, beberapa kriteria yang digunakan untuk
menemukan model dinamis atau GMM terbaik adalah:
1. Tidak Bias. Estimator dari pooled least squares bersifat biased upwards dan
estimator dari fixed-effects bersifat biased downward. Estimator yang tidak bias
berada di antara keduanya.
2. Instrumen Valid. Validitas ini diperiksa dengan menggunakan Uji Sargan.
Instrumen akan valid bila uji Sargan tidak dapat menolak hipotesis nol.
3. Konsisten. Sifat konsistensi dari estimator yang diperoleh dapat diperiksa dari
sttistik Arellano-Bond m1 dan m2, yang dihitung secara otomatis pada beberapa
perangkat lunak. Estimator akan konsisten bila statistic m1 menunjukkan
hipotesis nol ditolak dan m2 menunjukkan hipotesis nol tidak ditolak.
52
3.3.3.Granger Causality Test pada Data Panel
Hubungan kausalitas (causality) adalah hubungan jangka pendek antara
kelompok tertentu dengan menggunakan pendekatan ekonometrik yang mencakup
juga hubungan timbal balik dan fungsi-fungsi yang muncul dari analisis spektrum,
khususnya hubungan penuh antar spektrum dan hubungan partial antar spektrum.
Dari pandangan ekonomtrik, ide utama dari kausalitas adalah sebagai berikut.
Pertama, jika X memengaruhi Y, berarti informasi masa lalu X dapat membantu
dalam memprediksikan Y. Dengan kata lain, dengan menambah data masa lalu X ke
regresi Y dengan data Y masa lalu maka dapat meningkatkan kekuatan penjelas
(explanatory power) dari regresi. Kedua, data masa lalu Y tidak dapat membantu
dalam memprediksikan X, karena jika X dapat membantu dalam memprediksikan Y
dan Y dapat membantu memprediksikan X, maka kemungkinan besar variabel lain,
katakan Z, yang memengaruhi X dan Y (Fauzi, 2007)
Pada tahun 1969, Granger memperkenalkan hubungan sebab akibat antara dua
variabel yang saling berkaitan. Hubungan kausalitas dapat dibagi atas tiga kategori,
yaitu hubungan kausalitas satu arah, hubungan kausalitas dua arah, dan hubungan
timbal balik.
Dengan panjang lag optimal, p, maka prinsip kerja dari Granger
Causality Test pada data panel didasarkan pada regresi model pooled sebagaimana
diuraikan sebagai berikut:
…(3.19)
…(3.20)
53
Pada persamaan regresi model pooled pertama (3.19), X memengaruhi Y atau
hubungan kausalitas satu arah dari X ke Y apabila koefisien
tidak sama dengan nol
(0). Hal yang sama juga untuk persamaan regresi model pooled kedua (3.20), Y
memengaruhi X atau terdapat hubungan kausalitas satu arah dari Y ke X jika
koefisien
tidak sama dengan nol (0). Sementara apabila keduanya terjadi maka
dapat dikatakan terdapat hubungan timbal balik (feedback relationship) antara X dan
Y atau terdapat hubungan kausalitas dua arah (bidirectional causality) antara X dan
Y.
Dalam penelitian ini, Granger Causality Test dilakukan untuk menganalisis
hubungan pertumbuhan ekonomi dengan variabel-variabel lain pada penelitian.
Dengan menggunakan software eviews 6, hipotesis nol yang digunakan untuk
hubungan dua variabel adalah X tidak memengaruhi Y dan Y tidak memengaruhi X.
Dasar penolakan hipotesis nol dengan menggunakan kriteria probabilitas < 0.1 atau
10 persen.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan penelitian ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif dan
analisis kuantitatif. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran
umum yang disajikan secara sistematis mengenai fakta-fakta dan hubungan antar
fenomena atau variabel yang akan diamati. Analisis kuantitatif bertujuan untuk
memperlihatkan hasil estimasi mengenai dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter
dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara
ASEAN+6. Selain membahas mengenai analisis deskriptif dan hasil estimasi, pada
bab ini juga akan dijelaskan mengenai pengujian Granger Causality untuk
mengetahui hubungan antar variabel.
4.1.
Kondisi Umum Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan ASEAN+6
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan tujuan dari
setiap negara. Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi berarti tersedianya
lapangan kerja yang lebih luas dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Hal ini
mengindikasikan kemakmuran yang lebih baik bagi negara tersebut. Berdasarkan
data pertumbuhan GDP dalam rentang waktu 2000-2010 (Gambar. 4.1.)
menunjukkan bahwa kesebelas negara tersebut mengalami pertumbuhan GDP yang
cukup bervariasi. Rata-rata tingkat pertumbuhan GDP tertinggi adalah China, namun
pada tahun 2010, Singapura memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi untuk kawasan
ini.
55
Sumber : World Development Indicator, 2011.(diolah)
Gambar 4.1. Tingkat Pertumbuhan GDP Negara-negara ASEAN+6
Secara umum tingkat pertumbuhan GDP sampai dengan tahun 2007 di
kawasan ASEAN+6 mencapai level tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan
China mencapai 14% jauh diatas rata-rata pertumbuhan GDP negara lainnya.
Persentase GDP ini terus mengalami penurunan sejak tahun 2008 hingga mencapai
titik terendah pada tahun 2009. Krisis keuangan global yang bermula dari bencana
subprime mortgage di Amerika Serikat pada tahun 2008 telah menekan pertumbuhan
ekonomi global dari 5,2 persen pada tahun 2007 menjadi 3,0 persen pada tahun 2008,
dan menyusut sebesar 0,6 persen pada tahun 2009. Hal serupa terjadi juga di kawasan
ASEAN+6, pada tahun 2009 sebelas negara di kawasan ASEAN+6 mencapai tingkat
terendah pertumbuhan GDP. Jepang merupakan negara yang paling dirugikan akibat
krisis keuangan global 2008, dimana pada tahun 2009 pertumbuhan GDP negara
Jepang mencapai -6,3% diikuti oleh Thailand mencapai -2,3%, Malaysia -1,6%, dan
56
Singapura -0,77%. Pada tahun 2010 pertumbuhan GDP semua negara di kawasan
ASEAN+6 mengalami peningkatan yang sangat signifikan, dimana Singapura
memiliki pertumbuhan GDP terbesar mencapai 14,5%, diikuti oleh China, Thailand,
Malaysia, dan Indonesia. Hal ini cukup membuktikan bahwa perekonomian di
kawasan ASEAN+6 mampu bertahan bahkan bisa keluar dari efek krisis keuangan
global.
4.2.
Peranan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Negara-negara ASEAN+6
Salah satu komponen dalam permintaan agregat (Aggregate Demand-AD)
adalah pengeluaran pemerintah. Secara teori dinyatakan bahwa jika pengeluaran
pemerintah meningkat maka AD akan meningkat. Peningkatan AD berarti terjadi
pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi diukur dari Produk Domestik
Bruto (GDP) maka peningkatan GDP berarti peningkatan pendapatan.
Pada Gambar 4.2 menampilkan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan rata-rata
pengeluaran pemerintah di negara-negara ASEAN+6 pada periode 2000-2010.
Peranan terbesar pengeluaran pemerintah terhadap GDP terjadi di Jepang dengan
rata-rata mencapai 18,25%, diikuti oleh New Zealand dan Australia. Namun
walaupun ketiga negara tersebut memiliki tingkat pengeluaran pemerintah tertinggi
dibandingkan negara-negara lainnya, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya
terendah dibandingkan yang lainnya. Tampak pada gambar kelompok negara maju
yang dilingkari dengan garis berwarna merah. Di Jepang, kebijakan fiskal
mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan perekonomian.
57
Hal ini sesuai dengan model yang dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang
menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap
pembangunan ekonomiyang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap
lanjut. Jepang merupakan negara maju dimana pengeluaran pemerintahnya tidak lagi
untuk biaya investasi dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi
aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran
untuk aktivitas sosial seperti halnya program kesejahteraan hari tua, program
pelayanan kesehatan masyarakat, dan sebagainya (Rostow dalam Mangkoesoebroto).
Sumber : World Development Indicator 2011, (diolah).
Gambar 4.2. Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi dan Pengeluaran Pemerintah di
Kawasan ASEAN+6
Kelompok negara berkembang dengan lingkaran berwarna biru. China
merupakan satu-satunya negara dimana tingkat pengeluaran pemerintah hampir
sebanding dengan tingkat pertumbuhan ekonominya seperti tampak pada gambar 4.2.
58
diatas jika ditarik titik koordinatnya yaitu (10,14) diikuti India (7,11). Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhang dan Zou (2001) bahwa peningkatan
pengeluaran pemerintah
di China dan India berperan secara signifikan dalam
pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Peranan pengeluaran pemerintah terhadap GDP di Indonesia relatif lebih kecil
dibandingkan negara yang lainnya di kawasan ASEAN+6. Kontribusi pengeluaran
konsumsi pemerintah merupakan komponen yang diatur khusus dengan sistem
sehingga besarnya relatif stabil, dengan fluktuasi sesuai dengan kondisi
perekonomian dan sosial budaya serta politik yang sedang terjadi (Junaidi, 2010).
4.3.
Peranan Jumlah Uang Beredar (M2) terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Negara-negara ASEAN+6
Para ahli ekonomi masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hubungan
antara jumlah uang beredar dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagian besar para ahli
ekonomi setuju bahwa jumlah uang beredar adalah netral dalam jangka panjang
dengan berpengaruh pada pendapatan, tetapi sebagian ahli ekonomi lain menolak
pernyataan tersebut, dan pengaruh dari jumlah uang beredar dengan pertumbuhan
ekonomi masih dalam perbincangan.
Walaupun masih terdapatnya perbedaan pendapat para ahli ekonomi tentang
pengaruh uang terhadap pertumbuhan ekonomi, namun disini akan mencoba
mengeksplorasi data mengenai peranan jumlah uang beredar (M2) terhadap tingkat
pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6 selam periode tahun 2000-2010.
59
Sumber : World Development Indicator 2011, (diolah).
Gambar 4.3. Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi dan Jumlah Uang Beredar (M2)
di Kawasan ASEAN+6
Pada gambar. 4.3. diatas terlihat bahwa Jepang dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi dan jumlah uang beredar terendah dibandingkan negara lainnya. China
merupakan satu-satunya negara dimana tingkat jumlah uang beredar yang tinggi
diikuti juga oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan M2 di
China merupakan ukuran luas jumlah uang beredar yang meliputi sirkulasi uang tunai
dan semua deposito, meningkat 13,2 persen dari tahun ke tahun. Hal ini
memperlihatkan kebijakan China bahwa jumlah uang beredar harus sesuai dengan
perekonomian. Sedangkan negara lainnya hampir memiliki karakter yang sama
dimana jika dilihat dari plot data tesebar di wilayah yang sama.
60
Peningkatan dan pertumbuhan jumlah uang beredar di China salah satunya
diakibatkan oleh kebijakan China yang melakukan pengurangan persyaratan
cadangan. Bank sentral China telah memotong jumlah uang bank yang harus
dipertahankan dalam cadangan, dalam upaya untuk meningkatkan kredit dan
mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Ini juga meningkatkan harapan bahwa
China akan berubah sikap ke arah kebijakan pelonggaran moneter. Peningkatan
jumlah uang beredar akan cenderung meningkatkan inflasi tetapi kebijakan moneter
rezim China masih belum menyebabkan inflasi yang jelas karena sebagian sebagian
besar uang itu masuk ke pasar saham dan real estat. Hal ini sebagian besar
menjelaskan pertumbuhan pasar saham dan real estat China terutama di tengahtengah krisi global dari tahun 2008 sampai sekarang.
Peran institusional dalam kebijakan moneter (uang dan bank) yang memang
pada dasarnya tanggung jawab terbesar itu dipikul oleh bank sentral (otoritas moneter
tertinggi) yang melakukan pengelolaan dan pengaturan jumlah uang beredar, dapat
dikatakan bahwa hal tersebut tidaklah mudah untuk dilaukan secara sinergis. Apalagi
kalau dikaitkan dengan analisis pola perilaku money demand dalam perekonomian
uatu negara yang sangat volatile. Apabila laju pertumbuhan jumlah uang beredar
mangalami peningkatan pesat (pasar uang), maka Value of Money akan turun dan
diikuti oleh kenaikan tingkat harga secara umum dari goods dan services di pasar
barang, yang dikenal dengan inflasi. Sedangkan apabila laju pertumbuhan jumlah
uang yang diminta oleh masyarakat (money demand) meningkat lebih besar daripada
Money supply atau terjadinya excess demand for money, maka pertumbuhan ekonomi
akan melambat. Maka dari itu, pengaturan jumlah uang beradar dengan merespon
61
Money Demand masyarakat merupakan hal yang strategis supaya perputaran uang
sesuai dengan kapasitas ekonomi dari negara tersebut.
4.4.
Peranan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Negara-negara ASEAN+6
Peranan perdagangan luar negeri dalam pembangunan ekonomi cukup
menonjol. Para ahli ekonomi klasik dan neo-klasik mengungkapan betapa pentingnya
perdagangan internasional dalam pembangunan suatu negara, yang disebut sebagai
mesin pertumbuhan. Perdagangan luar negeri (ekspor-impor) mempunyai arti yang
sangat penting bagi negara. Bilamana suatu negara mengkhususkan diri pada
produksi beberapa barang tertentu sebagai akibat perdagangan luar negeri dan
pembagian kerja, negara tersebut dapat mengekspor komoditi yang diproduksi lebih
murah untuk dipertukarkan dengan apa yang dihasilkan negara lain dengan biaya
yang lebih rendah. Dari perdagangan luar negeri ini, maka negara memperoleh
keuntungan dan pendapatan nasional meningkat, yang pada giliarannya akan
meningkatkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi.
Ekspor dan impor merupakan kegiatan perdagangan luar negeri yang
memiliki peranan yang besar dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Kecenderungan terhadap membaiknya perekonomian dunia akan berpengaruh
terhadap perekonomian suatu negara terutama aktivitas perdagangan luar negeri,
artinya bahwa salah satu faktor yang memengaruhi kegiatn ekspor dan impor adalah
kondisi perekonomian dunia. Jika kondisi perekonomian dunia membaik maka akan
berdampak positif terhadap aktivitas atau kegiatan perdagangan dunia. Perkembangan
62
perdagangan luar negeri (kegiatan ekspor dan impor) ASEAN+6 terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya, seiring dengan semakin berkurangnya hambatanhambatan perdagangan. Berikut ini disajikan tabel kegiatan perdagangan luar negeri
(ekspor impor) di kawasan ASEAN+6 selama periode tahun 2000-2010 berdasarkan
harga konstan.
Tabel 4.1. Total Perdagangan, Ekspor, Impor dan Ekspor Neto Negara-negara
ASEAN+6 tahun 2000 dan 2010 berdasarkan harga konstan.
Total
Perdagangan
(Miliar US$)
2000
2010
Negara
Ekspor
(Miliar US$)
2000
2010
Impor
(Miliar US$)
2000
2010
Ekspor Neto
(Miliar US$)
2000
2010
Indonesia
117.89
225.89
67.62
127.22
50.26
98.67
17.36
28.55
Malaysia
206.72
309.83
112.37
161.84
94.35
148
18.02
13.84
Singapura
356.84
754.09
184.58
404.65
172.26
349.45
12.32
55.2
Philipina
84.86
130.58
41.62
65.31
43.24
65.27
-1.62
0.04
Thailand
153.31
248.57
81.95
133.44
71.36
115.13
10.59
18.31
China
530.25
2551.36
279.56
1467
250.69
1084.36
28.87
382.64
Korea Selatan
396.15
884.28
205.7
497.73
190.46
386.55
15.24
111.18
Jepang
957.6
1308.38
512.74
777.63
444.86
530.75
67.88
246.88
India
126.01
451.13
60.88
216.56
65.13
234.57
-4.25
-18.01
Australia
169.45
303.63
80.66
104.77
88.8
198.87
-8.14
-94.1
New Zealand
35.29
49.69
18.07
23.46
17.21
26.23
0.86
-2.77
ASEAN+6 3134.37 7217.43 1645.75 3979.61 1488.62 3237.85 157.13 741.76
Sumber : World Development Indicators, 2011 (diolah)
ASEAN+6 mencatat kinerja perdagangan yang cukup bagus dengan nilai total
perdagangan pada tahun 2000 mencapai US$ 3134.37 milyar dan pada tahun 2010
meningkat lebih dari dua kali lipat hingga mencapai nilai US$ 7217.43 milyar. Nilai
ekspor ASEAN+6 pada tahun 2000 bernilai US$ 1645.75 milyar sedangkan impor
pada tahun yang sama bernilai US$ 1488.62 milyar. Dan pada tahun 2010 ekspor
63
bernilai US$ 3979.61 milyar sedangkan impor pada tahun yang sama bernilai US$
3237.85 milyar atau mengalami peningkatan total perdagangan sebesar 230.26 persen
dabandingkan tahun 2000. Perkembangan tersebut menunjukkan pula kinerja
perdagangan semakin membaik, yaitu terlihat dari nilai ekspor yang semakin
dominan dibandingkan dengan nilai impornya. Peningkatan nilai ekspor dan surplus
perdagangan di kawasan ini lebih didominasi oleh China, Jepang dan Korea Selatan.
Tabel 4.1. memperlihatkan bahwa pada tahun 2000 Jepang memiliki nilai total
perdagangan terbesar dibandingkan negara-negara lainnya di kawasan ASEAN+6.
Total perdagangan mencapai nilai 957.6 miliar US$ dengan nilai ekspor sebesar
512.74 dan nilai impor sebesar 444.86 miliar US$. Namun, pada tahun 2010
kepemimpinan perdagangan luar negeri di kawasan ASEAN+6 beralih ke China
diamana total perdagangan Jepang berada di bawah total perdagangan China. Nilai
total perdagangan China yang mencapai nilai 2551.36 miliar US$ yang meningkat
lebih dari 400 persen dari total perdagangannya pada tahun 2000. Hal ini
membuktikan bahwa industrialisasi besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintahan
China telah membawa negara terbesar kedua di dunia itu menjadi eksportir terbesar
pada tahun 2010 di kawasan ASEAN+6.
Capaian pertumbuhan ekonomi dan kinerja perdagangan yang bervariasi antar
negara di kawasan ASEAN+6 terkait erat dengan kesiapan dan kekuatan masingmasing negara dalam menghadapi persaingan di tingkat global. Kondisi tersebut juga
mencerminkan daya saing ekonomi masing-masing negara di kancah internasional.
Perkembangan pangsa perdagangan terhadap GDP di kawasan ASEAN+6
selama periode penelitian (2000-2010) mengalami kenaikan sebesar 17.62 persen.
64
Perkembangan ini menunjukkan semakin lancarnya arus barang dan jasa antarnegara
seiring
dengan
semakin
berkuranynya
hambatan-hamabtan
dalam
kegiatan
perdagangan, baik berupa tarif maupun non-tarif.
Tabel 4.2. Keterbukaan Perdagangan, GDP dan Total Perdagangan Negaranegara ASEAN+6 tahun 2000 dan 2010 berdasarkan harga konstant.
Keterbukaan
Total GDP
Perdagangan
(Milliar
US$)
Negara
(% GDP)
2000
2010
2000
2010
Indonesia
71.44
82.33
165.02
274.37
Malaysia
220.41
210.41 93.79
147.25
Singapura
372.01
456.517 95.92
165.18
Philipina
104.73
101.21 81.03
129.02
Thailand
124.92
132.57 122.73
187.5
China
44.24
78.6
1198.47 3246.01
Korea Selatan 74.27
110.51 533.38
800.21
Jepang
20.52
26.12
4667.45 5010.03
India
27.38
46.83
460.18
963.4
Australia
40.64
53.74
416.92
565.04
New Zealand 68.38
76.08
51.6
65.31
ASEAN+6
1168.94 1374.92 7886.49 11553.32
Sumber : World Development Indicators, 2011 (diolah)
Total
Perdagangan
(Miliar US$)
2000
2010
117.89
225.89
206.72
309.83
356.84
754.09
84.86
130.58
153.31
248.57
530.25
2551.36
396.15
884.28
957.6
1308.38
126.01
451.13
169.45
303.63
35.29
49.69
3134.37 7217.43
Singapura memiliki tingkat keterbukaan perdagangan paling tinggi di
kawasan ini dengan pangsa perdagangan terhadap GDP sebesar 372.01 persen pada
tahun 2000 diikuti oleh Malaysia, Thailand dan Philipina. Nilai pangsa perdagangan
terhadap GDP dari keempat negara tersebut memperlihatkan bahwa nilai total
perdagangannya melebihi nilai GDP masing-masing negara tersebut.
Singapura
masih memegang kepemimpinannya pada tahun 2010 yakni tercermin dari pangsa
perdagangannya yang mencapai 394.07 persen terhadap GDP-nya, diikuti oleh
65
Malaysia (176.78%) ,Thailand (135.13%), Korea Selatan (110.51%) dan Philipina
(101.21%).
4.5.
Hasil Estimasi Penelitian
Estimasi dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan
ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6 , dua dari tiga
variabel diolah dalam bentuk logaritma natural (ln), sementara satu variabel lainnya
sudah dalam bentuk persentase. Tujuan dilakukannya hal tersebut adalah untuk
memperoleh data yang stasioner. Konsekuensi dari pemberlakuan bentuk tersebut
adalah nilai interpretasi dari hasil pengolahan menjadi nilai elastisitas. Adapun nilai
elastisitas dari setiap koefisien variabel eksogen akan dinyatakan dalam bentuk
persentase. Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hasil regresi, berikut adalah
analisis deskriptif yang akan memberikan gambaran umum dari kondisi ekonomi di
negara maju dan negara berkembang.
Pembahasan hasil estimasi pada penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama akan menganalisis Granger Causality Test pada variabel-variabel
penelitian. Bagian kedua akan membahas dampak kebijakan fiskal, kebijakan
moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negaranegara ASEAN+6. Bagian ketiga membahas perbandingan dampak masing-masing
variabel penelitian di berbagai kelompok negara di ASEAN+6.
Penelitian ini dibagi ke dalam tiga kelompok negara yaitu seluruh negara di
kawasan ASEAN+6, kelompok negara-negara berkembang dan kelompok negaranegara maju di kawasan ASEAN+6. Pemisahan kelompok negara ini dimaksudkan
66
untuk penelususran lebih lanjut dampak dari setiap variabel pada masing-masing
kelompok negara terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6. Dari
sebelas negara yang dianalisis dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan tingkat
pendapatan per kapita masing-masing negara pada tahun 2008. Kelompok negaranegara berkembang yang memiliki GDP per kapita kurang dari US$ 20000 yakni
meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina, China dan India. Kelompok
negara-negara maju dengan GDP per kapita ≥ US$ 20000 yakni Singapura, Jepang,
Korea Selatan, Australia dan New Zealand. GDP per kapita yang digunakan
merupakan nilai riil pada tahun 2008 dan sudah disesuaikan dengan pariitas daya beli
internasional (Purchasing Power Parity, PPP) dengan tahun dasar 2005 sehingga bisa
dikomparasikan antarnegara (World Bank, 2010).
4.5.1
Hasil Estimasi Granger Causality Test pada Data Panel
Konsep dasar uji kausalitas Granger yaitu menguji hubungan diantara dua
variabel tanpa melakukan pendugaan terhadap model. Pengujian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan sebab akibat diantara dua variabel yang diuji. Pengujian ini
dilakukan terhadap beberapa variabel yang terkait dengan model umum pada
penelitian ini. Selain itu, pengujian juga akan memberikan informasi bagaimana
hubungan kausalitas diantara variabel penelitian memiliki hubungan kausalitas satu
arah atau dua arah.
Dengan panjang lag optimal p, maka prinsip kerja dari Granger Causality
Test pada data panel didasarkan atas regresi model pooled sebagaimana diuraikan
pada persamaan (3.19) dan persamaan (3.20). Pengujian Granger Causality penelitian
67
ini dibagi menjadi tiga kawasan yang terdiri dari negara-negara ASEAN+6(
Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, China, Jepang, Korea Selatan,
India, Australia, dan New Zealand), negara-negara berkembang di kawasan
ASEAN+6 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina, China, dan India), dan negaranegara maju di kawasan ASEAN+6 (Singapura, Korea Selatan, Jepang, Australia,
dan New Zealand). Pembagian kawasan tersebut bertujuan untuk mengetahui
hubungan output riil (Y) dengan variabel-variabel penelitian di masing-masing
kawasan. Variabel-variabel yang diuji yaitu, pengeluaran pemerintah (GEXP), jumlah
uang beredar (M2), dan keterbukaan perdagangan (OPNESS). Hasil Granger
Causality Test yang diterapkan terhadap data panel dilihat pada Tabel 4.1.di bawah
ini:
Tabel 4.3. Hasil Granger Causality Test
Negara
ASEAN+6
Berkembang
ASEAN+6
Hipotesis Nol
ASEAN+6
4
6
2
4
6
2
4
6
lag
lag
lag
lag
lag
lag
lag
lag
lag
lnY
√
-
-
√
-
-
-
√
√
lnGEXP
√
√
√
-
-
-
√
√
-
lnY
√
-
-
√
-
-
√
√
-
lnM2
√
√
√
√
√
-
-
-
-
lnY
-
√
√
-
-
-
-
√
√
OPNESS
-
√
√
-
-
-
√
√
√
lnY
lnM2
OPNESS
lnY
Negara Maju di
2
lnGEXP
lnY
di
keterangan : Periode sample 2000-2010; lnY = Gross Domestik Product (GDP) Riil,
lnGEXP = General Government Final Consumption Expenditure;
lnM2 = jumlah uang beredar; OPNESS = keterbukaan perdagangan (%
of GDP),
= tidak memengaruhi.
68
Tanda “√” menandakan bahwa hipotesis nol ditolak, dengan menggunakan
kriteria probabilitas < tingkat kritis α = 10 persen (hasil Granger Causality Test untuk
data kawasan ASEAN+6 dan masing-masing kelompok negara dapat dilihat pada
lampiran 1). Hipotesis nol untuk baris pertama dan kedua adalah lnGEXP tidak
memengaruhi lnY dan lnY tidak memengaruhi lnGEXP. Hasil estimasi diatas terlihat
bahwa secara umum untuk kasus kawasan ASEAN+6, negara-negara berkembang,
dan negara-negara maju di kawasan ASEAN+6 hanya terdapat hubungan kausalitas
satu arah di dalam hubungan variabel lnGEXP dan lnY. Hubungan kausalitas dua
arah ditunjukkan pada lag 2 untuk kawasan ASEAN+6 dan negara-negra berkembang
serta untuk negara-negara maju pada lag 4. Dimana lnY secara signifikan memiliki
pengaruh terhadap pergerakan lnGEXP dan sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah begitupun
sebaliknya. Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu komponen pengeluaran
nasional yang terhitung dalam tingkat pendapatan. Perubahan pada tingkat
pendapatan akan memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi.
Pada baris ketiga dan keempat, Tabel 4.1. Menunjukkan pada kasus seluruh
negara ASEAN+6, dan negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 secara
umum tidak memiliki hubungan kausalitas dua arah didalam hubungan variabel lnM2
dan lnY. Hubungan dua arah hanya terjadi pada lag 2 dimana jumlah uang beredar
(M2) secara signifikan memengaruhi pertumbuhan GDP riil, dan sebaliknya.
Sedangkan untuk kasus negara-negara maju di kawasan ASEAN+6 hanya memiliki
pengaruh satu arah antara variabel lnM2 dengan lnY. Hal ini menunjukkan
69
pertumbuhan jumlah uang beredar secara signifikan memengaruhi pertumbuhan
ekonomi.
Hipotesis nol untuk dua baris terakhir adalah OPNESS tidak memengaruhi
lnY dan lnY tidak memengaruhi OPNESS. Secara umum untuk kasus seluruh negara
dan negara-negara maju di kawasan ASEAN+6, memiliki hubungan kausalitas dua
arah di dalam hubungan variabel OPNESS dan lnY, dimana keterbukaan
perdagangan secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan GDP riil,
lnY dan hal ini berlaku sebaliknya. Sedangkan untuk kasus negara-negara
berkembang di kawasan ASEAN+6 tidak memiliki hubungan kausalitas satu arah
maupun dua arah, dimana pergerakan OPNESS tidak memengaruhi pergerakan lnY,
hal ini sebaliknya. Keterbukaan perdagangan merupakan cerminan dari struktur
kebijakan perdagangan yaitu perdagangan internasional pada suatu negara. Volume
dari perdagangan internasional diakui mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi
melalui neraca perdagangan.
4.5.2
Hasil Estimasi dengan Pendekatan Panel Dinamis
Model yang dibangun dalam penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
dampak dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan
terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6. Adapun model dalam
penelitian ini dibagi menjadi tiga model yang berbeda dengan menggunakan tiga
kelompok negara yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk mengkomparasi dampak
kebijakan manakah yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di
seluruh kawasan ASEAN+6, kelompok negara berkembang dan negara maju di
kawasan ASEAN+6.
70
Tabel 4.4., 4.5., dan 4.6. menyajikan hasil estimasi dampak kebijakan fiskal,
kebijakan moneter dan keterbukaan ekonomi untuk tiga kelompok negara yang
berbeda di kawasan ASEAN+6. Setiap model diestimasi dengan menggunakan FirstDifferences Generalized Method of Moments (FD- GMM) dalam estimasi noconstant.
Tabel 4.4. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan
Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di
Seluruh Negara Kawasan ASEAN+6 (Model 1) dengan FirstDifferences GMM
lnY
Estimated
Coefficients
Standard Error
P>|z|
Lag lnY
0.600436
0.0755256
0.000
lnGEXP
0.2087668
0.0492418
0.000
lnM2
0.1564963
0.0461949
0.001
OPNESS
0.0008925
0.0002529
0.000
1.034321
0.021442
0.000
0.7331012
0.0782741
0.000
Pooled Least Square
Lag lnY
Fixed Effect
Lag lnY
AB Test
Arrelano-Bond m1
Arrelano-Bond m2
Sargan Test
z
- 4.0346
-1.3358
chi2 (77)
95.28581
Prob > z
0.0001
0.1816
Prob > chi2
0.0773
71
Tabel 4.5. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan
Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Negara-Negara Berkembang di Kawasan ASEAN+6 (Model 2)
dengan First-Differences GMM
lnY
Estimated
Coefficients
Standard Error
P>|z|
Lag lnY
0.5099078
0.0931136
0.000
lnGEXP
0.344129
0.0617738
0.000
lnM2
0.1446506
0.0497761
0.004
OPNESS
0.001415
0.0003698
0.000
0.8611424
0.0285643
0.000
0.6198262
0.100569
0.000
Pooled Least Square
Lag lnY
Fixed Effect
Lag lnY
AB Test
Arrelano-Bond m1
Arrelano-Bond m2
Sargan Test
z
- 2.954
-2.2472
chi2 (47)
57.08895
Prob > z
0.0031
0.0246
Prob > chi2
0.1487
72
Tabel 4.6. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan
Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Negara-Negara Maju di Kawasan ASEAN+6 (Model 3) dengan
First-Differences GMM
lnY
Estimated
Coefficients
Standard Error
P>|z|
Lag lnY
0.5726663
0.1426933
0.000
lnGEXP
-0.0596399
0.1068164
0.577
lnM2
0.2851412
0.1142142
0.013
OPNESS
0.0007038
0.00003643
0.053
1.056541
0.0707485
0.000
0.5639035
0.1380736
0.000
Pooled Least Square
Lag lnY
Fixed Effect
Lag lnY
AB Test
z
Prob > z
Arrelano-Bond m1
- 2.5285
Arrelano-Bond m2
-.89832
0.3690
chi2 (34)
Prob > chi2
Sargan Test
42.90296
0.0115
0.1408
Secara umum metode estimasi dalam model data panel dinamis menunjukkan
hasil estimasi yang cukup baik, hal ini terlihat dari tingkat signifikansi dan tanda
koefisien estimasi pada setiap model yang dibangun hampir seluruhnya sesuai dengan
harapan teoritis. Selain dari tanda koefisien estimasi sesuai dengan harapan, metode
73
panel dinamis dengan pendekatan GMM yang digunakan secara umum telah
memenuhi kiteria model terbaik secara statistik. Kriteria model panel dinamis dengan
pendekatan GMM terbaik adalah konsistensi, validitas instrumen, dan tidak bias.
Namun pada model 1 dan model 2, tidak terpenuhinya kriteria tidak bias. Sehingga
dapat dikatakan model 1 dan model 2 masih mengandung bias. Penduga FD/ABGMM dapat mengandung bias pada sampel terbatas (berukuran kecil), hal tesebut
dapat terjadi ketika tingkat lag (lagged level) dari deret berkorelasi secara lemah
dengan first-difference berikutnya, sehingga instrument yang tersedia untuk
persamaan first-difference lemah (Blundell & Bond, 1998). Verbeek (2005)
menyatakan bahwa penduga yang bias dapat terjadi jika instrumen hanya
memperlihatkan hubungan atau korelasi yang lemah dengan regresi endogen.
Dari keseluruhan model 1, 2, dan 3, terlihat bahwa kebijakan moneter dan
keterbukaan perdagangan bersifat ekspansif dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi di seluruh negara, kelompok negara-negara berkembang, dan kelompok
negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Kebijakan fiskal bersifat ekspansif dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi hanya untuk seluruh negara dan kelompok
negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6.
Pada model 1 yaitu untuk seluruh negara di kawasan ASEAN+6, dengan
menggunakan Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB/FD-GMM)
dalam estimasi noconstant dengan variabel predetermined keterbukaan ekonomi
(OPNESS). Jika dilihat dari konsistensi estimasi yang ditunjukkan oleh hasil
Arellano-Bond (AB) dengan nilai statistik m1 (-4.0346) dengan nilai probabilitas
0.0001 menunjukkan signifikansi pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen.
74
Sedangkan nilai statistik m2 (-1.3358) dengan nilai probabilitas 0.1816 menunjukkan
nilai yang tidak signifikan pada tarf nyata 1 persen, 5 persen maupun 10 persen, maka
berdasarkan uji ini penduga dikatakan konsisten. Kriteria kesempurnaan model
dinamis ini juga dilihat dari estimasi sargan dengan nilai statistik sebesar 95.28581
dan probabilitas 0.0773 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen dan 5 persen
menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antar residu dan over-identifying resrictions
sehingga bisa dikatakan tidak ada masalah dengan validitas instrumen. Model
dinamis yang dibangun ini terakhir disempurnakan oleh hasil estimasi yang tidak
bias. Namun pada model 1 ini asumsi tidak bias tidak terpenuhi karena nilai estimasi
koefisien variabel lag lnY (0.600436) berada dibawah nilai estimasi Pooled Least
Square (PLS) (1.034321) maupun fixed effect (0.7331012). Sehingga model 1 ini
masih mengandung bias, tetapi model ini merupakan model terbaik yang dipilih
setelah melalui beberapa rekayasa statistika.
Pada model 2 untuk negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6
dengan menggunakan estimasi Arellano-Bond Generalized Method of Moments
(AB/FD-GMM) dalam estimasi noconstant dengan variabel predetermined
pengeluaran pemerintah (lnGEXP). Jika dilihat dari konsistensi estimasi yang
ditunjukkan oleh hasil Arellano-Bond (AB) dengan nilai statistik m1 (- 2.954) yang
signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, maupun 10 persen dan nilai statistik m2
(- 2.2472) yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, maka penduga dikatakan
konsisten. Selain itu validitas instrument model dinamis dari dampak kebijakan
fiskal, kebijakan moneter, dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan
ekonomi dapat dilihat dari estimasi Sargan Test dengan nilai statistik sebesar
75
57.08895 dan nilai probabilitas sebesar 0.1487 yang tidak signifikan pada taraf nyata
1 persen, 5 persen maupun 10 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada
korelasi antar residu dan over-identifying restrictions mendeteksi tidak ada masalah
dengan validitas instrument. Kesempurnaan hasil estimasi dari panel dinamis juga
harus bersifat tidak bias (unbiased), dimana hal tersebut dapat terlihat dari koefisien
lag dependen hasil estimasi GMM berada di atas hasil estimasi Fixed effect dan di
bawah hasil estimasi Pooled Least Square. Namun pada penelitian ini asumsi tersebut
tidak terpenuhi, dimana nilai estimasi dari koefisien lag lnY (0.5099078) berada di
bawah koefisien estimasi fixed effect (0.6198262) maupun PLS (0.8611424),
sehingga dapat dikatakan estimasi model dinamis ini adalah bias (biased).
Pada model ketiga untuk kasus kelompok negara-negara maju di kawasan
ASEAN+6. Uji spesifikasi dalam pemodelan ini menggunakan Arrellano-Bond (ABGMM/FD-GMM) noconstant. Konsistensi estimasi ditunjukkan oleh hasil uji
Arellano-Bond nilai statistik m1 (-2.5285) dengan nilai probabilitas 0.0115 yang
siginifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen dan nilai statistik m2
(-0.89832) dengan nilai probabilitas 0.3690 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1
persen, 5 persen maupun 10 persen, maka berdasarkan uji Arrellano-Bond, model ini
dikatakan sudah konsisten. Kriteria lainnya yakni uji Sargan menunjukkan nilai
statistik sebesar 42.90296 dan probabilitas sebesar 0.1408 yang tidak signifikan pada
taraf nyata 1 persen, 5 persen, dan 10 persen yang menunjukkan bahwa tidak ada
korelasi antar residu dan over-identyfing restrictions sehingga instrumen valid. Hasil
estimasi yang tidak bias ditunjukkan oleh model ini dimana nilai estimasi koefisien
76
lag lnY (0.5726663) yang berada diatas estimasi fixed effect (0.5639035) dan
dibawah estimasi PLS (1.056541).
Estimasi yang diperlihatkan dalam Tabel 4.4., Tabel 4.5. dan Tabel 4.6. telah
memberikan informasi tentang dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan
keterbukaan perdagangan baik untuk seluruh negara, kelompok negara-negara
berkembang maupun kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6.
Pembahasan selanjutnya akan secara fokus membahas variabel-variabel yang
signifikan
memengaruhi
pertumbuhan
ekonomi,
serta
bagaiman
regresor
memengaruhi variabel dependen sesuai hasil estimasi pada Tabel 4.4., Tabel 4.5. dan
Tabel 4.6.. Variabel-variabel tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
4.5.2.1. Variabel Lag Dependent (Pertumbuhan Ekonomi)
Berdasarkan hasil dari estimasi yang diperlihatkan Tabel 4.4., Tabel 4.5. dan
Tabel 4.6.. Koefisien dari lag dependent (pertumbuhan ekonomi) bertanda positif dan
signifikan pada taraf nyata 1 persen, yaitu sebesar 0.600436 pada model satu,
0.5099078 pada model dua, dan 0.5726663 pada model tiga. Nilai koefisien tersebut
menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi (GDP riil) pada
periode/tahun sebelumnya sebesar 1 persen, cateris paribus, akan direspon oleh
peningkatan GDP riil sebesar 0.6000436 persen untuk model satu, 0.5099 persen
untuk model dua dan 0.5726663 untuk model tiga, begitu juga sebaliknya.
Hubungan yang positif ini menandakan pertumbuhan ekonomi (GDP riil)
untuk periode selanjutnya berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi (GDP riil) pada
77
periode sebelumnya. Dengan mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi pada periode
sebelumnya, setiap negara dapat mengambil kebijakan makroekonomi yang tepat
agar bisa mengarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan terutama bagi negara-negara yang masih berkembang dimana tingkat
pertumbuhan ekonomi merupakan indikator utama yang dijadikan tolak ukur dari
keberhasilan kebijakan-kebijakan makroekonomi. Semua negara yang berada dalam
seluruh kawasan ASEAN+6 ingin mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan , sehingga kebijakan mengenai tujuan pertumbuhan ekonomi di setiap
negara akan disesuaikan dengan kondisi perekonomian masing-masing negara.
4.5.2.2. Variabel Pengeluaran Pemerintah
Pendekatan model IS-LM menjelaskan baahwa pengeluaran pemerintah
bersama-sama dengan pengeluaran konsumsi dan investasi membentuk pengeluaran
yang direncanakan (Mankiw, 2002). Peningkatan pengeluaran pemerintah merupakan
salah satu kebijakan fiskal ekspansif atau demand shocks. Peningkatan AD akan
menggeser keseimbangan di pasar barang sehingga pengeluaran agregat akan naik
sebagai konsekuensinya output akan meningkat atau terjadinya peningkatan
pertumbuhan ekonomi (GDP riil).
Hasil estimasi pada kasus seluruh negara di kawasan ASEAN+6 (Model 1)
dan kasus kelompok negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 (Model 2)
menunjukkan bahwa variabel pengeluaran pemerintah signifikan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi . Koefisien variabel pengeluaran pemerintah (lnGEXP)
78
bertanda positif dan signifikan pada taraf nyata 1 persen, yaitu sebesar 0.2087668
pada model satu, 0.344129 pada model dua. Nilai koefisien tersebut dapat
diintepretasikan bahwa apabila terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 1
persen, cateris paribus, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (GDP Riil)
sebesar 0.2087668 persen pada model satu dan 0.344129 pada model dua, begitu juga
sebaliknya.
Secara umum di negara-negara berkembang, peranan pemerintah dalam
perekonomian
relatif
besar dimana pengeluaran pemerintah praktis
dapat
mempengaruhi aktivitas ekonomi. Pada umumnya, bukan saja karena pengeluaran ini
dapat menciptakan berbagai prasarana yang dibutuhkan dalam proses pembangunan,
tetapi juga merupakan salah satu komponen dari permintaan agregar yang
kenaikannya akan mendorong produksi domestik.
4.5.2.3.Variabel Jumlah Uang Beredar
Teori preferensi likuiditas menunjukkan bahwa untuk setiap tingkat
pendapatan, kenaikan keseimbangan uang riil menyebabkan turunnya tingkat bunga.
Karena itu, keseimbangan di pasar uang akan turun. Sehingga dengan adanya
kenaikan jumlah uang beredar akan menurunkan tingkat bunga dan dan menaikkan
tingkat pendapatan (GDP). Tingkat bunga yang lebih rendah, akan memiliki dampak
ke pasar barang. Dimana hal ini akan mendorong investasi yang direncanakan,
produksi akan meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan (Y).
Tetapi dalam hal ini bagaiman ekspansi moneter mendorong pengeluaran yang lebih
79
besar atas barang dan jasa, diperlukan sebuah proses yang disebut dengan mekanisme
transmisi moneter.
Hasil estimasi pada setiap model, menunjukkan variabel jumlah uang beredar
(M2) mempunyai pengaruh siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan level
signifikansi 1 persen pada model satu dan model dua serta 5 persen pada model tiga.
Koefisien estimasi variabel lnM2 sebesar 0.1564963 untuk model satu, 0.1446506
untuk model dua dan 0.2851412 untuk model tiga. Nilai koefisien ini dapat diartikan,
jika jumlah uang beredar (M2) meningkat sebesar 1 persen, cateris paribus, akan
direspon oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.1564963 persen untuk
seluruh negara di kawasan ASEAN+6 (Model 1), 0.1446506 persen untuk kelompok
negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 dan sebesar 0.2851412 persen
untuk kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Adanya peningkatan
jumlah uang beredar hal ini menandakan adanya kebijakan moneter yang ekspansif.
Peningkatan jumlah uang beredar, berarti akan menurunkan tingkat suku bunga.
Kenaikan pada M2 mrnyebabkan keseimbangan uang riil naik , karena tingkat harga
P adalah tetap dalam jangka pendek.
Analisis dengan menggunakan pendekatan daur hidup usaha maka negara
berkembang masuk dalam kategori bertumbuh (growth) dibanding negara maju yang
masuk dalam kategori matang (mature). Artinya bahwa terdapat daya tarik dari
pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang tentu saja disertai oleh return yang tinggi
pula, karena pertumbuhan ekonomi merupakan indikator agregat dari industri di suatu
negara. Berdasarkan pendekatan Likuiditas (liquidity approach), jumlah uang beredar
80
didefinisikan sebagai jumlah uang untuk kebutuhan transaksi ditambah uang kuasi.
Hal ini dilandasi pertimbangan bahwa sekalipun uang kuasi merupakan aset finansial
yang kurang likuid dibandingkan uang kertas, uang logam, dan uang rekening giro,
tetapi sangat mudah diubah menjadi uang yang dapat digunakan untuk keperluan
transaksi.
Meningkatnya
M2
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
mengindikasikan bahwa perekonomian masyarakat menjadi meningkat. Sebab
peningkatan deposito barjangka mengandung pengertian bahwa tingkat penghasilan
masyarakat sudah lebih besar dari tingkat konsumsi. Keputusan seseorang
menyimpan dananya di Bank dalam bentuk deposito merupakan keputusan investasi
yang didorong oleh tingkat bunga yang diberikan.
4.5.2.4.Variabel Keterbukaan Perdagangan
Keterbukaan perdagangan dapat diartikan sebagai volume perdagangan
internasional. Estimasi yang dihasilkan pada penelitian sejalan dengan konsep teori.
Volume perdagangan yang meningkat berarti terdapat penambahan dalam jumlah
ekspor dan impor.
Hasil
estimasi
pada
setiap model
menyatakan bahwa keterbukaan
perdagangan (trade openness) berpengaruh signifikan pada level 1 persen untuk
model satu dan model dua sedangkan level signifikansi model tiga sebesar 10 persen.
Hubungan positif ini menandakan bahwa semakin meningkatnya keterbukaan
perdagangan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik di seluruh negara,
kelompok negara-negara berkembang maupun kelompok negara-negara maju di
81
kawasan ASEAN+6. Pernyataan tersebut berdasarkan nilai estimasi koefisien
keterbukaan perdagangan sebesar 0.0008925 untuk model satu, 0.001415 untuk
model dua dan 0.0003643 untuk model tiga. Hal tersebut dapat diinterpretasikan jika
terjadi kenaikan keterbukaan perdagangan sebesar 1 persen, cateris paribus, akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh negara kawasan ASEAN+6 (Model
1) sebesar 0.0008925 persen, 0.001415 persen di negara-negara berkembang kawasan
ASEAN+6 (Model 2) dan 0.0003643 persen di negara-negara maju kawasan
ASEAN+6 (Model 3). Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya
seperti Wacziarg dan Welch (2003), Sohn dan Lee (2006), Chen dan Gupta (2006),
serta Chang et al. (2009) yang menyimpulkan bahwa perdagangan luar negeri
memiliki peran penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi di sebagian besar
negara di dunia.
Peningkatan dalam jumlah ekspor mengindikasikan adanya permintaan luar
negeri terhadap barang domestik yang meningkat. Peningkatan ini berdampak pada
peningkatan jumlah output perekonomian yang diproduksi, peningkatan investasi dan
peningkatan penggunaan input faktor produksi. Penambahan dalam output
perekonomian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Selain itu,
ekspor juga menghasilkan devisa yang dihitung sebagai pendapatan negara.
Demikian pula dari sisi impor, menurut teori keunggulan komparatif, negara
yang memiliki keunggulan dalam memproduksi suatu barang akan meningkatkan
produksinya sebagai barang ekspor. Sebaliknya, suatu negara akan mengimpor
barang yang tidak efisien dihasilkan negaranya. Dengan melakukan impor, suatu
negara akan mendapatkan barang yang lebih murah daripada memproduksi sendiri.
82
Barang impor yang datang ke pasar domestik dengan harga yang murah akan
menyebabkan pendapatan riil masyarakat relatif meningkat (pendapatan nominal
yang tetap dengan tingkat harga yang turun akan meningatkan daya beli masyarakat).
Peningkatan pendapatan relatif perseorangan akan meningkatkan pendapatan
nasional, dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan nasional, dan selanjutnya
akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain negara berkembang memiliki
ketergantungan terhadap perdagangan internasional. Proporsi pendapatan nasional
negara berkembang sebagian besar diperoleh dari perdagangan internasional.
Jika dilihat dari besaran koefisiennya tingkat keterbukaan ekonomi untuk
negara maju lebih kecil dibandingkan koefisien keterbukaan ekonomi di negara
berkembang. Hal ini karena negara maju tidak terlalu memiliki ketergantungan
dengan perdagangan internasional, tetapi negara maju lebih memperdagangkan
produk olahan dan jasa sehingga volume perdagangan internasionalnya lebih besar
daripada negara berkembang. Negara maju dengan pendapatan yang tinggi, membuat
volume perdagangan internasional yang besar hanya memberikan sumbangan kecil
terhadap pendapatan nasional.
4.5.2.5.Dampak Efektivitas Relatif antara Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter
dan Keterbukaan Perdagangan di Kawasan ASEAN+6
Efektivitas relatif dari ketiga variabel yang diteliti dimana masing-masing
merupakan proksi dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan
perdagangan dapat dilihat dengan cara membandingkan nilai koefisien dari masing-
83
masing variabel. Tabel 4.7. di bawah ini merangkum hasil estimasi dari berbagai
model yang diteliti.
Tabel 4.7. Perbandingan Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan
Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di
Berbagai Kelompok Negara di ASEAN+6
Independent
Variable
Lag lnY
Model 1
(Seluruh Negara di
ASEAN+6)
Model 2
(Negara Berkembang
di ASEAN+6)
[0.600436]
[0.5099078]
(0.0000)
(0.000)
lnGEXP
[0.2087668]
[0.344129]
(0.000)
(0.000)
lnM2
[0.1564963]
[0.1446506]
(0.001)
(0.004)
OPNESS
[0.0008925]
[0.001415]
(0.000)
(0.000)
Keterangan : [...] nilai koefisien dan (…) nilai probabilitas.
Model 3
(Negara Maju di
ASEAN+6)
[0.5726663]
(0.000)
[-0.0596399]
(0.577)
[0.2851412]
(0.013)
[0.0007038]
(0.053)
Model dua untuk kelompok negara-negara berkembang variabel kebijakan
fiskal dengan nilai koefisien lnGEXP sebesar 0.344 lebih besar daripada nilai
koefisien lnM2 (kebijakan moneter) sebesar 0.145 dan keterbukaan perdagangan
sebesar 0.014. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk kasus negara-negara
berkembang di kawasan ASEAN+6 ketiga variabel penelitian yaitu kebijakan fiskal,
kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan bersifat ekspansif dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan dampak kebijakan fiskal terhadap GDP
relatif lebih cepat daripada kebijakan moneter maupun keterbukaan perdagangan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya
dibandingkan kebijakan moneter ataupun keterbukaan perdagangan. Hal ini
84
menunjukkan bahwa peranan pemerintah sangat dominan di negara-negara
berkembang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Temuan ini juga didukung
oleh penelitian-penelitian sebelumnya seperti Silalahi dan Cahwa (2011) menemukan
dampak kebijakan fiskal terhadap GDP di Indonesia relatif lebih cepat daripada
kebijakan moneter untuk periode 1990-2010. Pada prinsipnya Keynes berpendapat
bahwa kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya terhadap output daripada kebijakan
moneter. Alasannya adalah kebijakan fiskal mampu meningkatkan permintaan
agregat secara langsung
Model 3 untuk kelompok negara-negara maji di kawasan ASEAN+6. Variabel
kebijakan fiskal yaitu lnGEXP tidak memenuhi harapan teori dan tidak signifikan.
Dari perbandingan semua nilai koefisien variabel yang signifikan bahwa kebijakan
moneter dengan nilai koefisien lnM2 sebesar 0.285 lebih besar daripada nilai
koefisien kebijakan perdagangan (OPNESS) sebesar 0.0007. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa untuk kasus negara-negara maju di kawasan ASEAN+6
kebijakan
moneter
dan
kebijakan
perdagangan
bersifat
ekspansif
dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kebijakan moneter lebih cepat daripada
kebijakan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara
maju di kawasan ASEAN+6. Jumlah uang beredar memainkan peranan penting di
negara maju dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya, hal ini karena di negara
maju peranan sektor swasta melalui pasar finansial lebih dominan daripada intervensi
pemerintah langsung.
V.
5.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan berdampak
positif dan bersifat ekspansif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik bagi
seluruh negara di kawasan ASEAN+6 maupun kelompok negara-negara berkembang
di kawasan ASEAN+6. Tetapi untuk kelompok negara maju di kawasan ASEAN+6
hanya kebijakan moneter dan keterbukaan ekonomi yang berdampak positif dan
bersifat ekspansif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sedangkan kebijakan
fiskal tidak berpengaruh.
Kebijakan fiskal melalui peningkatan pengeluaran pemerintah relatif lebih
cepat dibandingkan kebijakan moneter maupun keterbukaan perdagangan dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di kawasan
ASEAN+6. Sedangkan kebijakan moneter melalui peningkatan jumlah uang beredar
(M2) relatif lebih cepat daripada kebijakan fiskal maupun keterbukaan perdagangan
dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju kawasan
ASEAN+6.
5.2.
Saran
Implementasi integrasi ekonomi ASEAN+6 memerlukan berbagai kajian
ulang agar tidak menghasilkan integrasi yang cenderung memperbesar gap antara
negara berkembang dan negara maju. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan dampak
kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan. Sehingga tidak
86
dapat diterapkan kebijakan fiskal, kebijakan moneter maupun kebijakan perdagangan
(ekspor-impor) yang sama terutama dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Negara berkembang di ASEAN+6 harus menunjukkan kinerja yang optimal
apabila menginginkan integrasi ekonomi yang efektif dan efisien untuk pertumbuhan
ekonomi. Negara berkembang harus bisa menyelaraskan perekonomiannya dengan
perekonomian negara maju di ASEAN+6. Peranan pemerintah di negara berkembang
masih memiliki pengaruh yang dominan. Kebijakan fiskal melalui pengeluaran
pemerintah diharapkan dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran
pemerintah dapat menstimulus perekonomian melalui peningkatan konsumsi dan
investasi. Tentunya pengeluaran komponen tersebut harus dialokasikan kepada
pengeluaran-pengeluaran yang bersifat produktif dan investasi. Dari sektor moneter
pun dimana strategi yang lebih efektif untuk pertumbuhan ekonomi harus didahului
oleh liberalisasi di pasar uang. Pertumbuhan jumlah uang beredar riil (M/P) yang
cepat akan menyumbang pada pertumbuhan output agregat dan juga investasi.
Liberalisasi di sektor keuangan memungkinkan terjadinya pembangunan dan
pertumbuhan karena tingkat bunga yang tinggi akan mengakibatkan peningkatan
tabungan dan alokasi modal yang lebih efisien.
Negara maju dengan pendapatan tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang
relatif rendah juga harus menjaga pertumbuhan ekonominya supaya berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi negara maju dapat meningkatkan dengan lebih meningkatkan
sektor finansialnya dimana sektor swasta memiliki peranan yang dominan dalam
menggerakkan perekonomian. Pemerintah tidak melakukan intervensi dalam
perekonomian dan tetap menyerahkan perekonomian pada sistem pasar bebas, dan
87
pemerintah dapat meningkatkan fasilitas untuk pasar finansial yang lebih baik supaya
dapat menarik investor-investor asing untuk menanamkan modalnya di negara-negara
maju.
Liberalisasi perdagangan terutama perdagangan bebas di kawasan ASEAN+6
mengingat semakin dekatnya pencapaian Masyarakat Ekonomi ASEAN menuntut
negara-negara anggota lebih membuka arus perdagangannya baik secara bilateral
maupun multilateral. Meski perdagangan bebas dapat menguntungkan bagi tiap
negara yang terlibat, tapi terdapat asumsi yang mesti dipenuhi sebelum tujuan ini
tercapai. Asumsi tersebut adalah adanya daya saing yang mumpuni antara pihakpihak yang berdagang. Bila salah satu pihak berdaya saing tinggi, sedangkan pihak
lainnya kurang berdaya saing, maka akan terjadi ketimpangan. Peningkatan arus
barang dan jasa hanya terjadi pada negara yang memiliki daya saing tinggi, sementara
negara yang berdaya saing rendah, hanya menjadi konsumen atau pasar. Oleh karena
itu, suatu negara yang memutuskan akan mengadakan perdagangan bebas harus
terlebih dahulu memiliki daya saing yang tidak kalah dengan negara lain. Beberapa
implikasi kebijakan dapat diterapkan oleh negara-negara ASEAN+6 sehingga mampu
berkompetisi dengan baik di tingkat global dan memeproleh manfaat yang lebih besar
dari keterbukaan perdagangan yang semakin nyata. Kebijakan-kebijakan tersebut
adalah : mengembangkan industri-industri yang menyerap banyak tenaga kerja
terutama di negara-negara berkembang yang memiliki jumlah tenaga kerja relatif
melimpah seperti Indonesia, Philipina dan China. Namun tampaknya pemerintah
tetap harus menaruh perhatian dalam melindungi industri domestik yang memang
belum bisa bersaing. Langkah ini dilakukan dengan diadakannya penyesuaian tarif
88
pada produk-produk yang belum bisa bersaing, perbaikan infrastruktur, pengadaan
regulasi yang mendukung aktivitas produksi, dan lain-lain.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah hendaknya menggunakan variabel
lain dalam memproksi dari ketiga kebijakan yang diteliti misalnya untuk kebijakan
fiskal dengan menggunakan variabel keseimbangan fiskal, rasio utang terhadap GDP,
variabel tingkat suku bunga untuk dijadikan proksi kebijakan moneter. Dan
diharapakan untuk penelitiannya selanjutnya jika ingin melakukan penelitian yang
sama, karakteristik negara yang dijadikan penelitian harus benar-benar diperhatikan.
Karena berdasarkan kajian dari berbagai literatur yang telah dilakukan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda-beda mengenai dampak ketiga kebijakan ini. Perbedaan
hasil akhir akan timbul meskipun
negara-negara tersebut sama-sama tergolong
negara berkembang maupun negara maju. Sehingga diperlukannya kajian untuk lebih
melihat pengaruhnya di masing-masing negara.
89
DAFTAR PUSTAKA
Achsani, N. A. 2008. Integrasi Ekonomi ASEAN+3: Antara Peluang dan Ancaman.
Brighten Institute, Bogor.
Adefeso, H. A., dan Mobolaji, H. I.2010. “The Fiscal-Monetary Policy and Economic
Growth in Nigeria : Further Empirical Evidence“. Pakistan Journal of Social
Sciences 7 (2): 137-142.
Ajisafe, R. A. dan Folorunso, B.A. 2002. “The Relative Effectiveness of Fiscal and
Monetary Policy in Macroeconomic Management in Nigeria“. The African
Economic and Business Review. 3.
Ali, S., Irum, S., dan Ali, A. 2008. “Whether Fiscal Stance or Monetary Policy is
Effective for Economic Growth in Case of South Asian Countries?“. The
Pakistan Development Review 47(4): 791-799.
Asian Development Bank. 2008. Kebangkitan Regionalisme Asia : Kemitraan Bagi
Kemakmuran Bersama- Intsari. ADB, Mandaluyong City, Philippines.
Baltagi, B. H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Thrid Edition. British
Library Catalouging in Publication Data.
Blundell R., Bond S. 1998. GMM estimation with persistent panel data : an
application to production functions. The Institute for Fiscal Study Working
Papers Series W99/4.
Canzoneri, M., Cumby, R., dan Diba, B. 2011. “The Interaction Between Monetary
and Fiscal Policy”. Handbook of Monetary Economics Volume 3B.
Chang, R., L. Kaltani, dan N.V. Loayza. 2009. “Openness Can be Good for Growth:
The Role of Policy Complementarities”. Journal of Development Economics
90: 33-49.
Damanhuri, D. S. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan. IPB Press, Bogor.
Fauzi, Arie J. F. A. 2007. Analisis Komparatif Keterkaitan Inflasi Dengan Nilai
Tukar Riil di Kawasan ASIA (ASEAN+3) dan Non ASIA (Uni Eropa, Amerika
Utara) [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika Untuk Data Panel Dan Time Series. IPB
Press, Bogor.
90
Gujarati, D.N. 2004. Basic Econometric 4th Edition. McGraw Hill, New York.
Hastuti, Rini Tri. 2007. Dampak Kebijakan Moneter, Kebijakan Fiskal, dan
Kebijakan Nilai Tukar Terhadap Pendapatan Nasional Periode Sebelum dan
Sesudah Krisis Di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri
Sebelas Maret, Solo.
Hossain, A., Chowdhury, A., dan Elgar, E. 2001. Open-Economy Macroeconomics
for Developing Countries. Edwar Elgar Publishing, Inc., Massachusetts.
Hsiao, Cheng. 2005. “Why Panel Data?”. IEPR Working Paper 05.33.
Hsing, Yu. 2005. “Impact of Monetary Policy, Fiscal Policy, and Currency
Depreciation on Output : The Case of Venezuela”. Briefing Notes in
Economics.
Indra, 2009. Analisis Hubungan Intensitas Energi Dan Pendapatan Perkapita : Studi
Komparatif Di Sepuluh Negara Asia Pasifik [Tesis]. Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Indrawati, Yulia. 2007. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia:
Pendekatan Vector Autoregression. Di Dalam: Parellel Session IC : Monetary
and Macroeconomy Policy : Wisma Makara, 12 Desember 2007. Universitas
Indonesia, Depok.
Jawaid, S. T., Arif, I., dan Naeemullah, S. M. 2010. “Comparative Analysis of
Monetary and Fiscal Policy: A Case Study of Pakistan”. Nice Research
Journal. 3: 58-67.
Jawaid, S. T., Qadri, F.S. dan Ali, Nasir. 2011. “Monetary-Fiscal-Trade Policy and
Economic Growth in Pakistan : Time Series Empirical Investigation”.
International Journal of Economics and Financial Issues. 1: 133-138.
Junaidi, E. 2010. Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Perekonomian Di
Negara-Negara ASEAN+3 [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Kawai, Masahiro. 2007. ASEAN+3 or ASEAN+6: Which Way Forward?. Asian
Development Bank Institute. Geneva, Switzerland.
Lipsey, R.G, Courant, P. N, Purvis D. D, dan Steiner P.O, 1995. Pengentar
Makroeonomi. Wasana dan Budijanto [Penerjemah]. Binarupa Aksara,
Jakarta.
91
Mahendra, A. 2008. Analisis Kebijakan Moneter Dan Pengaruhnya Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia [Tesis]. Sekolah Pascasarjana,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Mangkoesoebroto, Guritno. 2000. Ekonomi Publik. Edisi Ketiga. BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta.
Mankiw, N. G. 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Liza dan Nurmawan
[Penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
Mishkin, F.S. 2004. The Economics of Money, Banking, and Financial Market 6th.
Eds. Addison Wesley, New York.
Mohammad, S. D.et al. 2009. “An Empirical Investigation Between Money supply,
Government Expenditure, Output, & Prices : The Pakistan Evidence”. Euro
Journal, Inc.
Moreira, et al. 2011.”The Interaction of Monetary and Fiscal Policy: The Brazilian
Case”. Modern Economy. 2: 114-123.
Ogunmuwiya, M. S., dan Ekone, A. F. 2010. “Money Supply-Economic Growth
Nexus in Nigeria“. Journal of Social Sciences 22(3): 199-204.
Permata, Riska Dewi. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan
Ekonomi Di Kawasan ASEAN+6 : Pendekatan Data Panel [Skripsi]. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rahman, Md. Habibur. 2005. “Relative Effectiveness of Monetary and Fiscal Policy
on Output Growth in Bangladesh : A VAR Approach”. Policy Analysis Unit
(PAU) Working Paper Series No. 0601.
Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional (International Economic). Edisi kelima. Jilid
1. Erlangga, Jakarta.
Simorangkir, I., dan Adamanti, J. 2010. “Peran Stimulus Fiskal dan Pelonggaran
Moneter Pada Perekonomian Indonesia Selama Krisis Finansial Global:
Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium”. Buletin
Ekonomi dan Perbankan 2010.
Toh, Mun-Heng. 2009. ASEAN+6 as a Step toward an Asian Economic Community.
National University of Singapore.
Verbeek, Morno. 2004. A Guide to Modern Econometrics 2nd Eds. Chichester, John
Wiley and Sons.
LAMPIRAN
93
Lampiran 1. Hasil Granger Causality Test
Kasus Seluruh Negara ASEAN+6
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/25/12 Time: 15:43
Sample: 2000 2010
Lags: 2
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNGEXP
99
2.85401
7.85396
0.0626
0.0007
LNM2 does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNM2
99
5.98090
5.34809
0.0036
0.0063
OPNESS does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause OPNESS
99
0.34636
2.31609
0.7082
0.1043
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNGEXP
77
0.92603
6.77670
0.4541
0.0001
LNM2 does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNM2
77
1.55401
4.91769
0.1966
0.0015
OPNESS does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause OPNESS
77
2.74787
5.08095
0.0351
0.0012
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNGEXP
55
1.65321
5.71709
0.1566
0.0002
LNM2 does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNM2
55
0.95503
3.34808
0.4670
0.0087
OPNESS does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause OPNESS
55
4.65840
2.36248
0.0010
0.0468
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/25/12 Time: 15:46
Sample: 2000 2010
Lags: 4
Null Hypothesis:
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/25/12 Time: 15:47
Sample: 2000 2010
Lags: 6
Null Hypothesis:
94
Kasus Negara-Negara Berkembang di Kawasan ASEAN+6
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/25/12 Time: 15:50
Sample: 2000 2010
Lags: 2
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNGEXP
54
7.70865
1.19190
0.0012
0.3123
LNM2 does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNM2
54
4.14590
2.61089
0.0217
0.0837
OPNESS does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause OPNESS
54
0.94519
1.08864
0.3956
0.3447
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNGEXP
42
1.89772
1.80001
0.1342
0.1524
LNM2 does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNM2
42
1.93008
2.39315
0.1286
0.0704
OPNESS does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause OPNESS
42
0.83832
0.39617
0.5108
0.8099
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNGEXP
30
1.42929
1.95192
0.2606
0.1300
LNM2 does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNM2
30
1.01341
2.09587
0.4491
0.1076
OPNESS does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause OPNESS
30
1.32956
0.75479
0.2976
0.6145
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/25/12 Time: 15:51
Sample: 2000 2010
Lags: 4
Null Hypothesis:
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/25/12 Time: 15:52
Sample: 2000 2010
Lags: 6
Null Hypothesis:
95
Kasus Negara-Negara Maju di Kawasan ASEAN+6
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/25/12 Time: 15:54
Sample: 2000 2010
Lags: 2
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNGEXP
45
2.00324
3.12972
0.1482
0.0546
LNM2 does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNM2
45
3.08726
1.60692
0.0566
0.2132
OPNESS does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause OPNESS
45
1.34694
6.40375
0.2716
0.0039
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNGEXP
35
2.30360
4.21571
0.0853
0.0092
LNM2 does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNM2
35
2.22071
1.98153
0.0945
0.1270
OPNESS does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause OPNESS
35
3.31375
21.2933
0.0254
7.E-08
Obs
F-Statistic
Prob.
LNGEXP does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNGEXP
25
3.55056
1.01430
0.0294
0.4605
LNM2 does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause LNM2
25
0.84488
0.83966
0.5594
0.5627
OPNESS does not Granger Cause LNY
LNY does not Granger Cause OPNESS
25
4.34030
5.17137
0.0147
0.0076
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/25/12 Time: 15:55
Sample: 2000 2010
Lags: 4
Null Hypothesis:
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/25/12 Time: 15:56
Sample: 2000 2010
Lags: 6
Null Hypothesis:
96
Lampiran 2. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter, dan
Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di
Kawasan ASEAN+6 (Model 1)
Hasil Estmasi GMM
. xtabond lny lngexp lnm2, noconstant pre(opness)
Arellano-Bond dynamic panel-data estimation
Group variable: country
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
81
=
=
99
11
min =
avg =
max =
9
9
9
=
=
3765.42
0.0000
Wald chi2(4)
Prob > chi2
One-step results
lny
Coef.
Std. Err.
lny
L1.
.600436
.0755256
opness
lngexp
lnm2
.0008925
.2087668
.1564963
.0002529
.0492418
.0461949
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
7.95
0.000
.4524086
.7484634
3.53
4.24
3.39
0.000
0.000
0.001
.0003969
.1122547
.0659559
.0013882
.305279
.2470367
Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).lny L(1/.).opness
Standard: D.lngexp D.lnm2
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
Order
1
2
z
-4.0346
-1.3358
Prob > z
0.0001
0.1816
H0: no autocorrelation
. estat sargan
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(77)
Prob > chi2
=
=
95.28581
0.0773
97
Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS)
. reg lny l.lny
lngexp lnm2 opness
Source
SS
df
MS
Model
Residual
1166.24078
.219827353
4
105
291.560195
.002093594
Total
1166.46061
109
10.7014735
Std. Err.
Number of obs
F( 4,
105)
Prob > F
R-squared
Adj R-squared
Root MSE
t
P>|t|
=
=
=
=
=
=
110
.
0.0000
0.9998
0.9998
.04576
lny
Coef.
[95% Conf. Interval]
lny
L1.
1.034321
.021442
48.24
0.000
.991805
1.076836
lngexp
lnm2
opness
_cons
-.0380744
.0028548
-.0000389
-.0304447
.0270254
.0087701
.0000707
.0731864
-1.41
0.33
-0.55
-0.42
0.162
0.745
0.584
0.678
-.0916607
-.0145346
-.0001792
-.1755599
.0155119
.0202442
.0001014
.1146705
Hasil Estimasi Fixed Effect
. xtreg lny l.lny
lngexp lnm2 opness, fe
Fixed-effects (within) regression
Group variable: country
Number of obs
Number of groups
=
=
110
11
R-sq:
Obs per group: min =
avg =
max =
10
10.0
10
within = 0.9695
between = 0.9988
overall = 0.9987
corr(u_i, Xb)
lny
Coef.
lny
L1.
.7331012
.0782741
lngexp
lnm2
opness
_cons
.1483877
.1039512
.0005139
-.105261
.0516136
.0469993
.0002615
.2200474
sigma_u
sigma_e
rho
.14386996
.03439485
.94593597
F test that all u_i=0:
.
F(4,95)
Prob > F
= 0.5694
Std. Err.
t
=
=
754.32
0.0000
P>|t|
[95% Conf. Interval]
9.37
0.000
.5777073
.888495
2.87
2.21
1.97
-0.48
0.005
0.029
0.052
0.633
.0459218
.0106458
-5.23e-06
-.5421104
.2508535
.1972567
.0010331
.3315883
(fraction of variance due to u_i)
F(10, 95) =
9.08
Prob > F = 0.0000
98
Lampiran 3. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter, dan
Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di
Negara Berkembang ASEAN+6 (Model 2)
Hasil Estimasi GMM
. xtabond lny lnm2 opness, noconstant pre(lngexp)
Arellano-Bond dynamic panel-data estimation
Group variable: country
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
51
=
=
54
6
min =
avg =
max =
9
9
9
=
=
3961.02
0.0000
Wald chi2(4)
Prob > chi2
One-step results
lny
Coef.
Std. Err.
lny
L1.
.5099078
.0931136
lngexp
lnm2
opness
.344129
.1446506
.001415
.0617738
.0497761
.0003698
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
5.48
0.000
.3274085
.6924071
5.57
2.91
3.83
0.000
0.004
0.000
.2230546
.0470912
.0006903
.4652034
.2422101
.0021397
Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).lny L(1/.).lngexp
Standard: D.lnm2 D.opness
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
Order
1
2
z
-2.954
-2.2472
Prob > z
0.0031
0.0246
H0: no autocorrelation
. estat sargan
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(47)
= 57.08895
Prob > chi2 =
0.1487
99
Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS)
. reg lny l.lny lngexp lnm2 opness
Source
SS
df
MS
Model
Residual
416.055731
.069378041
4
55
104.013933
.001261419
Total
416.125109
59
7.05296796
lny
Coef.
Std. Err.
lny
L1.
.8611424
.0285643
lngexp
lnm2
opness
_cons
.1441692
.0038355
-.0000216
.3120792
.0346515
.0091192
.0001483
.0869459
t
Number of obs
F( 4,
55)
Prob > F
R-squared
Adj R-squared
Root MSE
=
60
=82457.88
= 0.0000
= 0.9998
= 0.9998
= .03552
P>|t|
[95% Conf. Interval]
30.15
0.000
.8038982
.9183867
4.16
0.42
-0.15
3.59
0.000
0.676
0.885
0.001
.0747261
-.0144398
-.0003189
.1378358
.2136124
.0221108
.0002757
.4863226
Hasil Estimasi Fixed Effect
. xtreg lny l.lny lngexp lnm2 opness, fe
Fixed-effects (within) regression
Group variable: country
Number of obs
Number of groups
=
=
60
6
R-sq:
Obs per group: min =
avg =
max =
10
10.0
10
within = 0.9830
between = 0.9978
overall = 0.9977
corr(u_i, Xb)
F(4,50)
Prob > F
= 0.6665
lny
Coef.
lny
L1.
.6198262
.100569
lngexp
lnm2
opness
_cons
.2331993
.1496131
.000975
-.1882848
.0616402
.0568488
.0004016
.2467454
sigma_u
sigma_e
rho
.18073845
.0321926
.96924989
(fraction of variance due to u_i)
F test that all u_i=0:
Std. Err.
F(5, 50) =
t
=
=
724.54
0.0000
P>|t|
[95% Conf. Interval]
6.16
0.000
.4178274
.8218249
3.78
2.63
2.43
-0.76
0.000
0.011
0.019
0.449
.1093914
.035429
.0001683
-.6838875
.3570073
.2637972
.0017818
.307318
3.39
Prob > F = 0.0103
100
Lampiran 4. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter, dan
Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di
Negara-Negara Maju ASEAN+6 (Model 3)
Hasil Estimasi GMM
. xtabond lny lngexp lnm2 opness, noconstant
Arellano-Bond dynamic panel-data estimation
Group variable: country
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
38
=
=
45
5
min =
avg =
max =
9
9
9
=
=
532.38
0.0000
Wald chi2(4)
Prob > chi2
One-step results
lny
Coef.
Std. Err.
lny
L1.
.5726663
.1426933
lngexp
lnm2
opness
-.0596399
.2851412
.0007038
.1068164
.1142142
.0003643
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
4.01
0.000
.2929925
.8523401
-0.56
2.50
1.93
0.577
0.013
0.053
-.2689961
.0612854
-.0000102
.1497164
.5089969
.0014178
Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).lny
Standard: D.lngexp D.lnm2 D.opness
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
Order
1
2
z
-2.5285
-.89832
Prob > z
0.0115
0.3690
H0: no autocorrelation
. estat sargan
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(34)
= 42.90296
Prob > chi2 =
0.1408
101
Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS)
. reg lny l.lny lngexp lnm2 opness
Source
SS
df
MS
Model
Residual
720.502162
.065289671
4
45
180.125541
.001450882
Total
720.567452
49
14.7054582
lny
Coef.
Std. Err.
lny
L1.
1.056541
.0707485
lngexp
lnm2
opness
_cons
-.0571422
-.0016528
-.0000227
-.0559084
.0757693
.0189889
.0001315
.1596507
t
Number of obs
F( 4,
45)
Prob > F
R-squared
Adj R-squared
Root MSE
=
=
=
=
=
=
50
.
0.0000
0.9999
0.9999
.03809
P>|t|
[95% Conf. Interval]
14.93
0.000
.9140459
1.199036
-0.75
-0.09
-0.17
-0.35
0.455
0.931
0.864
0.728
-.2097495
-.0398985
-.0002875
-.3774614
.095465
.0365929
.0002422
.2656447
Hasil Estimasi Fixed Effect
. xtreg lny l.lny lngexp lnm2 opness, fe
Fixed-effects (within) regression
Group variable: country
Number of obs
Number of groups
=
=
50
5
R-sq:
Obs per group: min =
avg =
max =
10
10.0
10
within = 0.9304
between = 0.9957
overall = 0.9956
corr(u_i, Xb)
Std. Err.
Coef.
lny
L1.
.5639035
.1380736
lngexp
lnm2
opness
_cons
-.0874048
.3148603
.0007213
-.8137771
.0987348
.1032688
.0003453
.4531233
sigma_u
sigma_e
rho
.8255224
.03262147
.99844091
(fraction of variance due to u_i)
F(4, 41) =
t
=
=
lny
F test that all u_i=0:
.
F(4,41)
Prob > F
= 0.9409
136.93
0.0000
P>|t|
[95% Conf. Interval]
4.08
0.000
.2850582
.8427488
-0.89
3.05
2.09
-1.80
0.381
0.004
0.043
0.080
-.2868039
.1063047
.0000239
-1.728878
.1119942
.5234158
.0014186
.101324
5.09
Prob > F = 0.0020
102
Download