Dosen Ilmu Politik Presentasi di Rusia Tatanan masyarakat global terus berubah seiring dinamika didalam berbagai peradaban yang dibangun didalamnya. Pembahasan serius mengenai dinamika peradaban ini menarik perhatian dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP-UB), M. Faishal Aminuddin. Dalam konferensi internasional bertajuk “Civilizational Dynamics of Contemporary Societies”, ia memaparkan paper-nya tentang “Social and Political Foundation in Southeast Asia Regionalism”. Acara ini diselenggarakan oleh St. Petersburg University, Republik Federasi Rusia bekerjasama dengan Russian Academy of Science selama dua hari (23-24/9) di kota St. Petersburg. Konferensi ini membahas temuan-temuan riset dalam topik identitas peradaban, tipikal modernitas, globalisasi kebudayaan dan perubahan sosial politik. Diantara pakar dunia yang hadir adalah Prof. Johann P Arnason (pakar studi sosiologi dan peradaban La Trobe University Australia dan Charles University Prague), Bjorn Wittrock (pakar studi transformasi sosial dan politik Uppsala University Swedia) dan Maxim Khomyakov (Ural State University Rusia). Peserta konferensi adalah akademisi dan peneliti dari berbagai universitas dan pusat studi dari Rusia, Pakistan, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Ceko, Bangladesh, Swedia, Uni Emirat Arab, India, Perancis, Iran, Jerman, Italia dan Polandia. Dalam makalahnya, Faishal menyoroti tentang efektivitas kerjasama regional negara-negara Asia Tenggara dalam ASEAN. Selama lebih dari 40 tahun berdirinya, ASEAN belum melakukan revitalisasi atas tujuan kerjasama kawasan yang lebih visioner dan memberi manfaat bukan hanya bagi kepentingan kawasan melainkan juga negara-negara yang menjadi anggotanya. Prinsip ASEAN yang dilandasi oleh norma kesetaraan dan tidak saling intervensi urusan dalam negeri pada kenyataannya menimbulkan kesenjangan. Secara ekonomi, masih terjadi ketimpangan antara negara seperti Singapura, Malaysia dengan Laos. Dari sisi sosial politik, demokratisasi yang bisa memberikan jaminan bagi kebebasan warganegara baik secara ekonomi maupun politik dan pemenuhan hak azasi manusia masih tersekat dalam berbagai kepentingan nasional masing-masing negara anggotanya. Akibatnya, setiap konflik seperti separatisme Aceh, Muslim Pattani, Mindanao, Timor Leste dan juga Kepulauan Spratley dan Myanmar, harus mengundang intervensi dari luar kawasan untuk masuk. Tidak ada mekanisme resolusi konflik yang memadai. Jika dalam proyeksinya, ASEAN ingin membangun kerjasama regional yang kuat dan saling mendukung antara satu sama lain, Faishal memberikan ulasan mengenai pilihan atas instalasi budaya politik yang bersifat kosmopolit dalam membangun kerjasama kawasan. Budaya kosmopolit yang menjadi landasan bagi kerjasama supra-nasional seperti Uni Eropa memang berangkat dari usaha untuk membentuk peradaban dalam sebuah kawasan yang tetap pluralistik ditengah masyarakat sipil yang kuat. Secara teoretik, Karl Popper yang menggagas tentang pentingnya masyarakat yang terbuka kemudian mengilhami pemikiran-pemikiran untuk mencangkokkannya dalam perubahan sosial politik. Faishal menambahkan bahwa kerjasama antar negara saat ini tidak boleh mengabaikan tekanan globalisasi. Diperlukan kreativitas dalam mengambil keuntungan menghadapi tekanan tersebut. Bagi ASEAN, diperlukan reposisi terhadap aspek normatifnya. Artinya, prinsip non konfrontasi, nonintervensi kepentingan domestik, penyelesaian konflik secara kekeluargaan harus diterjemahkan dalam sebagai mekanisme formal yang bersifat mengikat. Dalam solusi yang ditawarkan, Faishal memberikan tiga tawaran. Pertama, ASEAN sebagai organisasi regional harus menjadi lebih terbuka. Lebih banyak mengakomodasi perubahan tatanan global dalam mendefinisikan peranan strategis dirinya. Kedua, komunitas non-negara terus menggalang interaksi yang lebih intensif dan masif untuk melakukan dialog lintas kepentingan. Ketiga, aktor negara memberikan dukungan penuh terhadap kepentingan regional yang tidak merugikan kepentingan nasionalnya ketika melakukan hubungan mulilateral dengan negara diluar kawasan. Jika ASEAN masih konservatif dengan alasan memegang nilai-nilai yang berlaku di Asia Tenggara, maka kerjasama regional yang dipelihara tidak akan mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan peradaban di Asia Tenggara. Kesenjangan sosial politik dan ekonomi akan terus ada dan membuat kawasan ini tidak dipandang strategis sebagai organisasi yang mempunyai posisi tawar dalam tatanan global. [mfa/nok]