BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kegiatan memperbaiki, memelihara, dan melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan barang dan jasa khususnya, baik kuantitas, kualitas, maupun kontinuitas air. Keberhasilan pengelolaan DAS diindikasikan dengan fluktuasi debit, beban sedimen sungai, serta kelestarian sumber-sumber air. Indikator lain yang juga cukup penting adalah erosi tanah (Nursidah, 2012). Erosi merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang sangat serius pada suatu ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Erosi adalah peristiwa terlepasnya partikelpartikel tanah dari permukaan yang mengakibatkan ikut hilangnya material, nutrisi organik tanah, penurunan produktivitas panen dan penurunan kualitas air. Fenomena tersebut dapat disebabkan oleh kerusakan ekosistem di sepanjang DAS terutama berkurangnya luas hutan. Penurunan luas vegetasi merupakan masalah serius pada ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Tutupan lahan berupa vegetasi berfungsi sebagai pertahanan DAS terhadap proses erosi (Mechram, 2011). Terjadinya erosi, banjir, kekeringan, pendangkalan sungai, waduk serta jaringan irigasi merupakan kenyataan bahwa sedemikian merosotnya kondisi hidrologis dan makin buruknya mutu sumberdaya alam di hampir semua wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia. Dengan kondisi yang demikian usaha-usaha pengelolaan wilayah DAS pada saat ini dirasakan kurang efektif dan kurang efisien, keadaan ini tercermin dengan masih belum terkendalinya banjir di musim hujan, terjadinya kekeringan dimusim kemarau dan menurunnya kualitas air. Banjir dan kekeringan disebabkan oleh tataguna sumberdaya tanah dan air belum sesuai dengan pengelolaan DAS yang baik, sedangkan makin menurunnya kualitas air merupakan akibat dari alokasi pembangunan di lingkungan pemukiman , industri, produksi (Sucipto, 2008). Salah satu program perencanaan pengelolaan DAS adalah perlu diketahuinya lebih dahulu kondisi hidrologi setempat. Namun demikian sebagian besar DAS yang akan direncanakan pengelolaan DASnya belum tersedia data hidrologi yang cukup memadai, untuk mengatasi masalah ini diperlukan suatu pendekatan melalui pemodelan hidrologi yang sesuai dengan kondisi biofisik sub DAS/DAS tersebut, hasil pemodelan tersebut 1 diharapkan dapat diterapkan pada sub DAS/DAS yang mempunyai kemiripan kondisi biofisik. Dengan adanya model hidrologi yang sesuai maka karakterisasi dan evaluasi sub DAS/DAS tersebut dapat dengan mudah dilakukan (Murtiono, 2008). Pemodelan erosi dan sedimentasi memberikan informasi yang berharga ketika diaplikasikan di suatu daerah yang memiliki kekurangan data. Pemodelan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu model yang bersifat lumped dan distributed. Model lumped merupakan suatu model dengan parameter dan variabel masukan dan keluarannya serta besaran yang mewakilinya tidak mempunyai variabilitas keruangan (spatial). Adapun yang tergolong dalam model lumped yaitu USLE, MUSLE, dan RUSLE (Harto, 1993). Pendugaan besarnya erosi pada umumnya menggunakan USLE (Universal Soil Loss Equation). USLE digunakan untuk menduga laju erosi tanah yang terjadi pada suatu DAS. Persamaan ini mengasumsikan bahwa besarnya tanah yang hilang umumnya dipengaruhi oleh curah hujan, erodibilitas tanah, panjang lereng, kemiringan lereng, penutup permukaan tanah, dan pengelolaan tanah. Model distributed merupakan model yang menggambarkan proses dan mekanisme fisik secara keruangan, beberapa model yang termasuk model distriburted yaitu AGNPS (Agricultural Non Point Source Pollution Model), HSPF (Hydrologic Simulation Program in Fortran), KINEROS (Kinematic Runoff and Erosion Model), SHE (System Hydrologic European), SWAT (Soil and Water Assessment Tool), dan WEPP (Water Erosion Prediction Project). SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan model terdistribusi yang telah terintegrasi dengan GIS dan telah mengintegrasikan Spatial DSS (Decision Support System) yang dinamakan ArcSWAT. Model SWAT dioperasikan pada interval waktu harian dan dirancang untuk memprediksi dampak jangka panjang dari praktek pengelolaan lahan terhadap sumberdaya air, sedimen dan hasil agro-chemical pada DAS besar dan komplek dengan berbagai skenario tanah, penggunaan lahan dan pengelolaan berbeda. SWAT memungkinkan sejumlah proses fisik yang berbeda untuk disimulasikan pada suatu DAS. Penggunaan model SWAT dapat mengidentifikasi, menilai, mengevaluasi tingkat permasalahan suatu DAS dan sabagai alat untuk memilih tindakan pengelolaan dalam mengendalikan permasalahan tersebut, sehingga diharapkan dengan penggunaan model SWAT dapat dikembangkan beberapa skenario guna menentukan kondisi perencanaan pengelolaan DAS terbaik (Junaidi, 2009). 2 1.2. Perumusan Masalah Penyusunan rencana pengelolaan DAS memerlukan data dasar di antaranya adalah erosi dan sedimentasi. Salah satu metode yang pertama kali dikembangkan untuk memprediksi erosi adalah metode USLE (Universal Soil Loss Equation) yang merupakan metode empiris. Metode USLE memiliki beberapa kelemahan antara lain hanya memperkirakan besar kehilangan tanah rata-rata tahunan dan hanya memperkirakan erosi lembar dan alur, tidak memperhitungkan endapan sedimen dan hanya sesuai untuk gradient kemiringan 3-20 % sehingga tidak mewakili proses erosi yang sebenarnya (Asdak, 2004). Bertolak dari keterbatasan-keterbatasan metode USLE maka parameter yang digunakan disesuaikan penggunaanya di Indonesia. Upaya yang dilakukan adalah memodifikasi metode USLE menjadi MUSLE (Modified Universal Soil Loss Equation). Salah satu model yang cukup berkembang adalah pemodelan SWAT. Pemodelan berbasis physical-based ini sudah banyak dipakai di berbagai jenis dan kondisi DAS. Pemodelan SWAT dapat memprediksi pengaruh manajemen lahan pada limpasan air, sedimen, dan lahan pertanian dalam suatu hubungan yang kompleks pada suatu DAS termasuk di dalamnya jenis tanah, penggunaan lahan dan manajaemen kondisi lahan secara periodik. SWAT memakai rumus MUSLE untuk analisis erosi dan sedimentasi. Salah satu SWP(Satuan Wilayah Pengelolaan) DAS Prioritas di Sumatera Barat yang sangat strategis karena terletak di Kota Padang sebagai ibu kota propinsi adalah SWP DAS Arau, yang terdiri atas DAS Batang Arau, DAS Batang Kuranji dan DAS Batang Air Dingin (BPDAS, 2009 dalam Nursidah, 2012). Sepanjang tahun 2008 sampai dengan 2009, tiga DAS tersebut menunjukkan nilai koefisien limpasan dan koefisien regim sungai (KRS) tergolong tinggi, yang menunjukkan kondisi yang buruk, sehingga ke tiga DAS tersebut termasuk DAS Super Prioritas (DPSDA, 2010 dalam Nursidah, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa kinerja pengelolaan SWP DAS Arau masih buruk. Adanya kebijakan pembangunan pusat pemerintahan Kota Padang yang baru pasca gempa bumi tahun 2009 yang memilih lokasi pembangunan ke daerah tengah hingga hulu DAS dikhawatirkan akan semakin menambah tekanan terhadap DAS. Padahal sebelumnya dampak degradasi hutan dan meningkatnya lahan kritis sudah terlihat jelas ketika terjadi hujan di atas normal pada hulu DAS, kondisi debit sungai relatif lebih tinggi dan warna air keruh oleh bahan sedimen, yang kemudian 3 diendapkan di muara sungai. Adanya beberapa kejadian banjir bandang yang terjadi pada tahun 2012 menjadi buktinya. Khusus untuk DAS Batang Arau yang outlet-nya terletak di kawasan pelabuhan Muaro, adanya indikasi peningkatan sedimentasi sungai telah menyebabkan pendangkalan di muara sungai Batang Arau. Baru dua tahun dilakukan pengerukan, pintu Pelabuhan Muaro Padang kembali mengalami pendangkalan. Akibatnya, aktivitas kapal-kapal nelayan dan pengangkut barang antar pulau terhambat. Harus menunggu air pasang agar bisa keluar dari pelabuhan tersebut. Setiap kali hujan deras, Batang Arau meluap karena tingginya endapan sedimentasi lumpur. Tak ayal, kawasan Batang Arau selalu menjadi langganan banjir. Di sisi lain, telah disetujuinya alih fungsi lahan seluas 425 hektar di hulu DAS Batang Arau yang merupakan kawasan hutan lindung untuk kepentingan bahan baku pabrik Semen Padang dikhawatirkan akan semakin menambah tekanan terhadap Sungai Batang Arau dimana sebelumnya wilayah tambang batu kapur yang terdapat di Bukit Indarung telah mengakibatkan makin meningkatnya erosi di hulu DAS sehingga menyebabkan sedimentasi di muara sungai. Sehubungan dengan itu maka perlu dilakukan kajian atas laju erosi dan sedimentasi yang terjadi di DAS Batang Arau, DAS Batang Kuranji, dan DAS Batang Air Dingin, dengan mengetahui tingkat sedimen yang terjadi maka dapat menjadi acuan kebijakan pengelolaan DAS di SWP DAS Arau. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan, yaitu : bagaimanakah kesesuaian pemodelan ArcSWAT2009 dalam memprediksi erosi dan sedimentasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Arau, Batang Kuranji, dan Air Dingin ? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : 1) Melakukan simulasi model untuk mendapatkan tingkat erosi dan sedimentasi di DAS Batang Arau, Batang Kuranji, dan Air Dingin. 2) Untuk menguji kesesuaian model ArcSWAT2009 untuk memprediksi erosi dan sedimentasi di DAS Batang Arau, Batang Kuranji, dan Air Dingin. 3) Menentukan skenario penggunaan lahan yang paling optimal dalam rangka menurunkan laju erosi dan sedimentasi di DAS Batang Arau, Batang Kuranji, dan Air Dingin. 4 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : 1) Memberikan informasi tentang kondisi erosi dan sedimentasi di DAS Batang Arau, DAS Batang Kuranji, dan DAS Batang Air Dingin Kota Padang. 2) Memberikan wacana kepada instansi terkait dan masyarakat untuk menindaklanjuti penanganan erosi dan sedimentasi yang terjadi di wilayah DAS Batang Arau, DAS Batang Kuranji, dan DAS Batang Air Dingin Kota Padang. 5