Tentang Cultural Studies - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
MEDIA &
CULTURAL
STUDIES
Perayaan Budaya Popular di
Media
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Broadcasting
Tatap Muka
01
Kode MK
Disusun Oleh
Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom
Abstrak
Kompetensi
Deskripsi tentang berbagai perayaan
budaya popular di media massa,
khususnya
media
televisi,
guna
memahami hakikat media dalam
konteks cultural studies.
Mahasiswa memahami hakikat media
dalam konteks cultural studies, serta
hakikat cultural studies itu sendiri.
Perayaan Komodifikasi di Televisi
Komodifikasi menghampar di seluruh program televisi. Ia menjelma dalam berbagai
bentuk program televisi: berupa anak kota yang berpura-pura ingin merasakan kehidupan
orang miskin seperti diperlihatkan program Aku Ingin Menjadi di stasiun TransTV;
pergelaran wayang yang semestinya dimainkan semalam suntuk dan dipadatkan menjadi
dua jam seperti pernah ditampilkan di stasiun Indosiar; sinetron-sinetron bertemakan religius
bercampurkan mistik seperti dipertontonkan serial Rahasia Ilahi di stasiun TPI (sekarang
MNC TV); program-program musik yang pura-pura live, namun sesungguhnya sang
penyanyi tampil secara minus one atau lipsync dalam program Inbox di stasiun SCTV;
program berita kriminal yang mesti menambah jam siarannya lantaran memperoleh rating
dan share tinggi seperti pernah ditunjukkan program TKP di stasiun TV7 (sekarang Trans7);
serta sejumlah program-program berita teresterial.
Komodifikasi merupakan kata kunci yang dikemukakan oleh Karl Marx sebagai
“ideologi” yang bersemayam di balik media. Menurutnya, kata itu bisa dimaknai sebagai
upaya mendahulukan peraihan keuntungan dibandingkan tujuan-tujuan lain. “Dalam studi
media, determinasi ekonomi mewujud dalam perspektif yang melihat media semata-mata
sebagai capitalist venture. Fungsi-fungsi ideologi di balik beroperasinya sebuah media
hanya dilihat sebagai faktor sekunder,” tegas Oscar H. Gandy Jr dalam The Political
Economy Approach: A Critical Challenge [1997: 87-106].
Dalam
penjelasan
tentang
ekonomi
politik
(komunikasi),
Vincent
Mosco
menyejajarkan komodifikasi dengan spasialisasi dan strukturisasi. Komodifikasi diartikan
sebagai proses transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. “Commodification is the process
of transforming things valued for their use into marketable products that are valued for what
they can bring in exchange,” jelasnya. “Spatialization is the process by which mass media
and communication technolog overcome the constrains of geographical space. Structuration
is the process of creating social relations, mainly those organized around social class,
gender, and race.”
Bila spasialisasi mengarah pada persoalan teknologi sebagai infrastruktur untuk
mengatasi kendala geografis, maka strukturisasi mempertegas keberadaan proses
hubungan sosial di antara kelas sosial, gender, dan ras. Sementara Baran dan Davis
menyinggung persoalan fetisme komoditas atau pemujaan terhadap komoditas—istilah yang
2013
2
MEDIA & CULTURAL STUDIES
Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dikemukakan Karl Marx, yang menunjukkan keterkaitan produk buruh dengan produk
komoditas—dalam konteks komodifikasi. Proses komodifikasi didefinisikan sebagai proses
transformasi menggunakan nilai-nilai hidup yang digunakan manusia—menjadi nilai yang
bisa ditukarkan, seperti nilai tukar mata uang Dollar. Transformasi nilai produk ditentukan
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan individu dan sosial. Komodifikasi menghilangkan
produk dari konteks sosial yang lebih bermakna menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat
dalam segi bisnis dan ideologi nilai “pasar bebas”.
Jauh
sebelumnya,
Georg
Lukács
(1885-1971)
dalam
History
and
Class
Consciousnes menjelaskan bahwa kapitalisme menguasai seluruh dimensi kehidupan
masyarakat sehingga interaksi dalam kehidupan masyarakat ini selalu ditandai oleh
pemiskinan makna hidup yang autentik. Kebebasan untuk mengaktualkan dimensi
kemanusiaan dalam masyarakat sebagai ciri autentik kehidupan masyarakat yang mampu
memaknai kebebasan dirinya kemudian diganti oleh adanya aktivitas pertukaran nilai uang
yang secara objektif menimbulkan keterasingan hidup. Proses ini disebut komodifikasi.
Baik Lukács, Baran dan Davis, maupun Mosco, sama-sama menekankan adanya
perubahan nilai guna menjadi nilai tukar. Bahkan, Lukács, serta Baran dan Davis,
mengidentifikasi keberadaan komodifikasi sebagai kegiatan produksi dan distribusi
komoditas yang lebih menimbang daya tarik, agar bisa dipuja oleh orang sebanyakbanyaknya. Bahkan, praktik itu tidak membutuhkan lagi pertimbangan konteks sosial, selain
aktualisasi tanpa henti di areal pasar bebas. Dalam bahasa lain, muara komodifikasi itu
adalah manfaat bisnis.
Dalam konteks industri komunikasi, Mosco menunjukkan tiga aspek konsentrasi
komodifikasi, yakni isi media, khalayak, dan pekerja. Menurut saya, tiga aspek yang
ditawarkan Mosco itu merupakan “kendaraan” untuk mendekati dan memahami perspektif
komodifikasi dalam industri media. Dan komodifikasi isi media merupakan langkah awal
untuk memahami praktik-praktik komodifikasi yang dilakukan industri media. “Specially, from
this point of view, the process of commodification in communication involves transforming
messages, ranging from bits of data to systems of meaningful thought, into marketable
products,” jelasnya.
Transformasi pesan menjadi produk yang bisa diterima pasar menjadi konsep kunci
Mosco. Dalam bahasa yang lebih sederhana, konsep kunci itu bisa diartikan sebagai
perlakuan atas isi media sebagai komoditas yang bisa diterima pasar. Graeme Burton
mengartikan interaksi media dan khalayak sebagai hubungan pedagang dan pembeli.
Media adalah pedagang yang juga memproduksi dan mendistribusikan produk bernama
2013
3
MEDIA & CULTURAL STUDIES
Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pesan, sedangkan khalayak merupakan pembeli dan penikmat produk itu. John Fiske juga
memiliki catatan yang sama tentang komodifikasi isi media, “Kapitalisme adalah sebuah
sistem, yang di atas semua yang lain, menghasilkan berbagai komoditas, sehingga
membuat komoditas seolah-olah hal yang alami pada jantung kebanyakan praktik
ideologisnya. Kita belajar untuk memahami hasrat kita dalam artian komoditas yang
diproduksi untuk memenuhi hasrat tersebut; kita belajar untuk berpikir atas permasalahan
kita dalam artian komoditas yang digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.”
Dan bila mundur jauh ke belakang, Walter Benjamin (1902-1940), melalui konsep
“aura”nya menyebutkan, budaya reproduksi secara massal dalam masyarakat industri
kapitalisme telah menghilangkan kekuatan “aura” seni dan kealaman estetis dari hal-hal
yang diproduksi. “Aura” lenyap karena kegiatan reproduksi dimaknai sebagai kegiatan teknis
belaka untuk mengejar tujuan-tujuan ekonomis-kapitalistis.
Semua kritik itu bersumber dari satu masalah, pesan ditransformasikan sebagai
komoditas atau produk. Bahkan, pesan itu harus bisa memenuhi hasrat dan mengatasi
permasalahan “pembeli”nya. Dan, Idi Subandy Ibrahim memastikan bahwa logika
komersialisme dan komodifikasi itu telah menjadi cara berpikir para pengelola pers dalam
kegiatan jurnalistiknya. “Pers diarahkan sebagai mesin pencetak uang, pemasok iklan, dan
pemburu rating. Dalam logika budaya seperti ini jelas sulit kita menempatkan kepentingan
publik di atas atau setara dengan kepentingan modal dan kuasa,” keluhnya.
Cukup?
Dibutuhkan halaman panjang untuk mengurai benang kusut komodifikasi di media
televisi sebagai rangkaian perayaan budaya popular dalam konteks pembahasan kajian
budaya (cultural studies). Namun dengan pemaparan yang terbilang “belum memadai” di
atas, saya sekadar memperkenalkan salah satu kasus (sekarang relatif tengah menjadi tren
dalam dunia pertelevisian di Tanah Air) yang berhubungan dengan media dalam konteks
cultural studies. Artinya, ketika cultural studies menjadi sudut pandang (dalam hal ini dalam
menelisik kandungan media), maka hasilnya adalah uraian kritis yang merupakan
dekonstruksi atau pembongkaran atas “penyakit-penyakit” yang menghinggapi media saat
menghidangkan budaya popular. Artinya juga, jika selama pembahasan kasus-kasus media
dalam konteks cultural studies lebih merupakan kritik tajam dan penghakiman atas prilaku
media (bahkan tanpa menimbang dampak psikologis pihak-pihak yang berminat terlibat
dalam kegiatan industri media), maka hal ini harap dibaca sebagai wilayah pembelajaran.
Tidak ada maksud lain, selain sekadar berbagi wawasan dan pengetahuan.
2013
4
MEDIA & CULTURAL STUDIES
Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Mencumbui Program Musik di Televisi
Program musik telah lama menjadi bagian dari industri televisi. Ini tidak
mengherankan, karena seperti sudah menjadi kelaziman, media yang utamanya ditujukan
bagi seluruh kalangan itu memang sangat bargairah untuk menyajikan hiburan. Dan
program
musik
sangat
berpotensi memberikan hiburan
yang menyegarkan
bagi
khalayaknya. Bahkan, kalau mau sedikit melongok stasiun televisi tertua di negeri ini, TVRI,
kita akan mendapatkan banyak catatan tentang program-program musik yang telah
diproduksi dan melegenda. Misalnya saja, program-program musik dengan konsep purapura live semacam Aneka Ria Safari dan Kamera Ria, atau program-program musik dengan
konsep sekadar penayangan video klip semacam Selekta Pop dan Album Minggu Ini.
Stasiun televisi swasta juga sejak awal penyiarannya senantiasa memasukkan
program musik dengan rupa yang tak berbeda jauh daripada saudara tuanya, yakni
program-program musik dengan konsep live atau pura-pura live, sekadar penayangan video
klip, atau perpaduan pura-pura live dan penayangan video klip. Yang pasti, programprogram musik yang dibuat dengan konsep live kian marak—entah penyanyinya bernyanyi
secara live atau lypsinc.
Menurut Roland Barthes, musik terbagi atas musik yang didengar dan musik yang
dimainkan seseorang. Kedua musik ini adalah dua seni yang sangat berbeda satu sama
lain, yang memiliki sejarah, pengaruh sosiologis, estetika, dan erotikanya masingmasing.1“Musik yang dimainkan seseorang merupakan seni yang sangat sedikit berkaitan
dengan pendengaran, tetapi terutama berkaitan dengan sentuhan jemari di atas tuts (dan
karena itu, dalam beberapa hal, lebih berkaitan dengan cita atau bersifat sensual). Melalui
musik jenis ini, tubuh berfungsi sebagai perekam (insciber), bukan semata penerima
(receiver) atau penyalur (transmitter) sementara,” jelasnya.2
Pada beberapa kesempatan, saya sempat bertutur tentang “ideologi” di balik musik
dengan contoh kasus musikalisasi Iwan Fals. Ulasan itu didasarkan pengamatan saya atas
sekilas perjalanan musik Iwan Fals. Bagi saya, kemasan dan muatan lagu-lagu Iwan Fals itu
adalah news feature dan dokumenter. Terkadang lagu-lagu itu mendeskripsikan
keluarbiasaan subjek dengan penekanan secara human interest dan terkadang merupakan
1Barthes,
Roland. 1990. Imaji Musik Teks, Hlm. 153. Yogyakarta: Jalasutra.
2Ibid.
2013
5
MEDIA & CULTURAL STUDIES
Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
penjelasan sebuah realitas yang sangat berpotensi memengaruhi. Dan, baik keluarbiasaan
subjek maupun pernyataan atas realitas itu cenderung tentang situasi negeri ini. Bahkan,
lirik dalam lagu-lagu itu juga meronakan konteks sosiokultural yang tengah berkembang.
Katakanlah, potret kecil tentang Indonesia. Artinya, bagi saya, kedua potensi tersebut
merupakan kandungan keindonesiaan terotentik yang disajikan dalam bentuk lagu.
Dan yang membuat nilai keindonesian itu harus diterima, kenyataannya masyarakat
musik dan khalayak luas menerima lagu-lagu itu dengan suka cita. Keberhasilan penyatuan
gagasan antara pemusik dan khalayak merupakan sukses yang terkira dari sebuah proses
komunikasi. Cobalah sandingkan dengan sukses musik rock yang disebut-sebut kalangan
gereja sebagai “musik iblis” namun terus berkembang hingga sekarang. Padahal,
pemunculan genre musik ini disebut-sebut sebagai bentuk perlawanan kaum muda terhadap
musik Barat yang selama berabad-abad sangat dekat dengan kepentingan gereja. Sukses
musik rock diterima oleh masyarakat tersebut menandakan dua hal: perlawanan terhadap
kemampanan dan penerimaan atas bentuk perlawanan itu.
Studi yang dilakukan oleh Douglas Kellner juga memberikan gambaran jelas soal
situasi perlawanan yang “bersinergi” dengan penerimaan atas bentuk perlawanan di bidang
musik. “Masyarakat Afrika-Amerika, secara tradisional, menggunakan musik dan idiom
musikal sebagai bentuk utama perlawanan terhadap penindasan. Gospel muncul sebagai
reaksi terhadap penindasan perbudakan, sementara blues menyuarakan reaksi atas
rasisme institusional, sehingga keduanya menyuarakan kesengsaraan akibat penindasan
serta perlawanan terhadapnya. Ragtime dan jazz berangkat dari pengalaman AfrikaAmerika, dengan menggunakan idiom musikal untuk menyuarakan penderitaan dan
kebahagiaan, kepedihan kolektif dan ekspresi pribadi, dominasi dan perlawanan,” jelas
Kellner.
Filsuf asal Kanada itu menyinggung keberadaan musik rhythm dan blues, reggae,
hingga rap. “Musik reggae memberikan suara baru dan politikasi musik baru.Rapper kulit
hitam pada 1970-an, seperti Gil Scott-Heron dan Grandmaster Flash, mengembangkan
bentuk-bentuk baru musik politik yang menyuarakan pengalaman ketertindasan dan
perjuangan di lingkungan masyarakat kota kulit hitam,” papar Kellner.
Lebih jauh lagi, Kellner menjelaskan, rap sebagai bentuk musik dengan berbicara
atau rapping, dengan “R” yang berarti rhyme (rima) dan rhythm (irama) dan “P”yng berarti
poetry (puisi)—dan untuk beberapa kasus, berarti politics (politik). “Rap dianggap sebagai
forum budaya bagi masyarakat kota kulit hitam untuk menyuarakan pengalaman, persoalan,
dan politik.Sebagai forum budaya, rap sendiri merupakan ajang kompetisi antarberbagai tipe
2013
6
MEDIA & CULTURAL STUDIES
Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
rap yang berbeda, dengan suara, politik, dan gaya yang saling bersaing,” katanya.
Dari penjelasan dengan konteks sosiokultural yang Amerika Serikat itu, Kellner
sudah memberikan gambaran yang demikian jelas soal perlawanan yang diberikan warga
Afrika-Amerika melalui bahasa musik, sekaligus penerimaan masyarakat (yang bukan cuma
warga Afrika-Amerika) terhadap bentuk perlawanan itu.Bahkan, Kellner juga terangterangan menyebutkan muatan politis dari pemunculan genre-genre musik dan lirik-lirik lagu
yang dimainkannya, terutama pada lagu-lagu yang disampaikan oleh para rapper.
Maka, dalam dalam konteks pembahasan ini, lagu-lagu Iwan Fals dengan kritik
sosialnya menjadi sangat beriringan dengan lagu-lagu dengan tema sejenis di negara Barat
sana. Suara perlawanan yang disambut suara penerimaan itu bukan sekadar catatan
tentang musikologi
di Tanah Air pada era 80-an hingga sekarang, tapi juga berisikan
catatan tentang situasi sosial dan politik yang tengah berkembang. Ada muatan sosial dan
muatan politik, bahkan menjadi forum budaya di antara para penggemarnya. Berkat muatan
musikologi serta situasi dan politik-nya,
lagu-lagu bernuansakan news feature dan
dokumenter itu juga akan bertutur panjang pada masa mendatang. Dalam bahasa Barthes
yang membaca musik-musik Beethoven, konteks itu berkaitan dengan soal peran mistis dan
peran modern. Peran mistis dimaksudkan sebagai gairah penciptaan musik agar musik itu
bisa dimainkan oleh seluruh kalangan, sedangkan peran modern dimaksudkan sebagai
gairah penciptaan musik agar musik itu dikagumi oleh masyarakat pada masa lain.
Pembahasan tentang definisi musik dan catatan tentang “pesan” di balik musik di
atas saya harapkan bisa membuka sedikit cakrawala bahwa ada sesuatu di balik musik.
Bahwa ada kekuatan besar di balik musik. Bahwa ada tujuan khusus di balik pemunculan
pemusik di tempat-tempat tertentu. Dengan demikian, ada sesuatu juga di balik produksi
dan penayangan program musik.Dan ini harus menjadi pemikiran awal ketika kita
menggagas sebuah program musik dengan artis, jenis musik, dan kemasan tertentu. Entah
program musik itu berisikan musik yang tergolong dimainkan oleh seseorang atau yang
untuk diperdengarkan, atau pilihan pada genre musik tertentu karena ada alasan tertentu di
dalamnya.
Lantas, bagaimana dengan program-program musik yang disajikan sejumlah stasiun
televisi di Tanah Air? Kita memang membutuhkan halaman panjang untuk mengurai
perayaan program musik di Tanah Air dengan pendekatan cultural studies dan bakal ada
halaman khusus untuk mengurai jawaban-jawabannya. Yang pasti, seperti telah disinggung
di atas, ketika cultural studies menjadi sudut pandang (dalam hal ini dalam menelisik
kandungan budaya popular), maka hasilnya adalah uraian kritis yang merupakan
2013
7
MEDIA & CULTURAL STUDIES
Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dekonstruksi atau pembongkaran atas “penyakit-penyakit” yang menghinggapi budaya
popular tersebut. Artinya juga, jika selama pembahasan kasus-kasus media dalam konteks
cultural studies lebih merupakan kritik tajam dan penghakiman atas sebuah artefak budaya
popular (bahkan tanpa menimbang dampak psikologis pihak-pihak yang berminat terlibat
dalam kegiatan industri media), maka hal ini harap dibaca sebagai wilayah pembelajaran.
Tidak ada maksud lain, selain sekadar berbagi wawasan dan pengetahuan.
Tentang Cultural Studies
Cultural studies sebagai sebuah disiplin diperkenalkan pada era 1960-an, dengan
didirikannya Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies (BCCCS) oleh Richart
Hoggart di University of Birmingham di Birmingham, Inggris, pada 1964. Hanno Hardt
menilai bahwa cultural studies adalah sebuah kritik yang khas Inggris terhadap budaya
kontemporer di dalam marxisme Barat, yang menampilkan kualitas dan intensitas komitmen
intelektual yang mengkritik dominasi ideologi dan kekuasaan politik. Douglas Kellner
menyebutkan cultural studies sebagai sebuah proyek pendekatan budaya melalui cara
pandang kritis dan menggunakan banyak disiplin ilmu.
“Cultural studies Inggris menempatkan budaya dalam teori produksi dan reproduksi
sosial, memperjelas beragam cara bentuk-bentuk budaya dapat berperan, baik untuk
memajukan penguasaan sosial maupun untuk membuat masyarakat mampu menolak dan
berjuang melawan penguasaan tersebut,” jelas Kellner.
Batasan-batasan yang dikemukakan Hardt dan Kellner menyebutkan beberapa
kesamaan (meski secara tersirat): pendekatan kritis, budaya kontemporer, serta dominasi
ideologi dan politik. Namun, Kellner memberikan penekanan juga pada pisau analisis
cultural studies berupa banyak disiplin ilmu atau lintas disiplin ilmu, serta target yang
diharapkan dari masyarakat. “Budaya” menjadi kata kunci penting dalam cultural studies.
Hardt jelas mempertautkan budaya dengan ideologi dan politik, sedangkan Kellner
memosisikan budaya dalam konteks teori produksi dan reproduksi sosial, yang cenderung
bersifat ekonomis dan sosiologis, serta sudah pasti politis.
Istilah “budaya” dalam cultural studies, menurut John Storey, lebih didefinisikan
secara politis ketimbang secara estetis. “Objek kajian dalam cultural studies bukanlah
budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sempit, yaitu sebagai keadiluhungan
2013
8
MEDIA & CULTURAL STUDIES
Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
estetis (“seni tinggi”); juga bukan budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang samasama sempit, yaitu sebagai sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan spiritual;
melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari,” jelas Storey.
Dan, sudah pasti, dibutuhkan halaman yang lebih panjang lagi untuk mengurai
berbagai sisi cultural studies sebagai sebuah konsep penelitian (yang bergerak ke arah
metodologi). Sekali lagi, penjabaran materi ini lebih ditujukan pada teknik pembacaan dan
pembongkaran isi media dalam nuansa kajian budaya, serta bukan untuk kepentingan lain.
Karena itu, ketika hasil pembacaan itu merupakan uraian kritis berisikan dekonstruksi atau
pembongkaran atas “penyakit-penyakit” yang menghinggapi budaya popular tersebut atau
kritik tajam dan penghakiman atas sebuah artefak budaya popular, maka hal ini harap
dibaca sebagai wilayah pembelajaran.
Ikhtisar
Fenomena komodifikasi di media televisi merupakan salah satu rangkaian perayaan
budaya popular dalam konteks pembahasan kajian budaya (cultural studies). Artinya, masih
banyak fenomena yang bisa diurai dan dicumbui untuk menemukan dan memahami hakikat
cultural studies. Perkenalan kita dengan program-program musik yang disajikan sejumlah
stasiun televisi sebagai sebuah perayaan budaya popular juga fenomena yang bisa menjadi
kendaraan dalam menemukan dan memahami hakikat cultural studies.
Dengan pemaparan yang terbilang “belum memadai” di atas, saya sekadar
memperkenalkan contoh-contoh kasus (sekarang relatif tengah menjadi tren dalam dunia
pertelevisian di Tanah Air) yang berhubungan dengan media dalam konteks cultural studies.
Dan, ketika cultural studies menjadi sudut pandang (dalam hal ini dalam menelisik
kandungan media), maka hasilnya adalah uraian kritis yang merupakan dekonstruksi atau
pembongkaran atas “penyakit-penyakit” yang menghinggapi media saat menghidangkan
budaya popular. Seperti juga telah disinggung di atas, jika selama pembahasan kasus-kasus
media dalam konteks cultural studies lebih merupakan kritik tajam dan penghakiman atas
prilaku media (bahkan tanpa menimbang dampak psikologis pihak-pihak yang berminat
terlibat dalam kegiatan industri media), maka hal ini harap dibaca sebagai wilayah
pembelajaran![]
2013
9
MEDIA & CULTURAL STUDIES
Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Barthes, Roland. 2010. Imaji/Musik/Teks. Yogyakarta: Jalasutra.
__________. 2009. Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Kencana.
Baudrillard, Jean. 2006. Ekstasi Komunikasi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi.
Bandung: Jalasutra.
__________. 2008. Pengantar untuk Memahami Media dan Budaya Populer. Yogyakarta:
Jalasutra.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika
dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.
____________. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.
Fiske, John. 2011. Memahami Budaya Popular. Yogyakarta: Jalasutra.
Halim, Syaiful. 2012. Postkomodifikasi Media & Cultural Studies. Tangerang: Matahati
Production.
_________. 2012. Budaya, Politik, dan Media. Tangerang: Matahati Production.
Hardt, Hanno. 2005. Critical Communication Studies: Sebuah Pengantar Komprehensif
Sejarah Perjumpaan Tradisi Kritis Eropa dan Tradisi Pragmatis Amerika. Yogyakarta:
Jalasutra.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Ibrahim, Idi Subandi. 2011. Kritik Budaya Komunikasi; Budaya, Media dan Gaya Hidup
dalam Proses Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media: Cultural Studies, Identitas, dan Politik: Antara
Modern dan Postmodern. Yogyakarta: Jalasutra.
Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication. London: Sage Publication.
Piliang, Amir Yasraf. 2011. Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi. Bandung: Mizan
Publika.
__________. 2010. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta:
Jalasutra.
__________. 2010. Post-Realitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Post-Metafisika.
Yogyakarta: Jalasutra.
Rivers, William L. dan kawan-kawan. 2008. Media Massa & Masyarakat Modern. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
2013
10
MEDIA & CULTURAL STUDIES
Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sardar, Ziauddin dan Van Loon, Borin. 2008. Membongkar Kuasa Media. Yogyakarta: Resis
Book.
Strinati, Dominic. 2009. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Sleman:
Ar-Ruzz Media.
Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKiS.
2013
11
MEDIA & CULTURAL STUDIES
Syaiful Halim, S.Sos, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download