gender dan implementasinya dalam pemikiran

advertisement
IMPLEMENTASI KONSEP GENDER DALAM PEMIKIRAN ISLAM
( Sebuah Pendekatan Autokritik )
By Nasyithotul Jannah
Abstraksi
Konsep gender dalam Islam berakar pada paradigma bahwa secara teologis,
perempuan dan laki-laki diciptakan dari asal yang sama, karenanya keduanya
memiliki kualitas kemanusiaan yang sederajat. Namun demikian, dalam
konstalasi pemikiran Islam, ada tiga pandangan yang
berkembang,
pandangan konservatif yang bernuansa patriarkhis, pandangan moderat yang
berbasis pada paradigma keseimbangan dan keadilan dan pandangan liberal
yang mencoba mendekonstruksi konsep konsep religiusitas yang dipandang
merugikan pihak perempuan. Namun jika merujuk pada sejarah dan filosofi
penciptaan, perempuan dengan kualitas femininitanya dan laki-laki dengan
maskulinitasnya memang harus diakui memiliki kekhasan masing-masing.
Justru karena kekhasan tersebut, keduanya komplementer karena merupakan
wujud dualitas makrokosmos yang akhirnya menciptakan keseimbangan.
Gender pada hakekatnya adalah sebuah terma yang digunakan untuk membedakan
peran antara laki-laki dan perempuan, hasil dari rekayasa manusia sebagai akibat pengaruh
sosial budaya masyarakat yang tidak bermakna kodrati. Di dalam Women’s Studies
Encyclopedia disebutkan gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat
perbedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat. Tidak dipungkiri,
bahwa acapkali muncul relasi problematik antara perempuan dan laki-laki. Bukan perbedaan
alamiah keduanya tapi implikasi yang tercipta dari perbedaan tersebut. Hampir tidak ada isu
psikologis apapun yang begitu kontroversial dan kompleks dibandingkan dengan isu ini.
Oleh karena itu berbicara gender berarti bicara tentang sebuah konsepsi yang
menunjuk pada suatu sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang
tidak ditentukan oleh perbedaan biologis semata melainkan juga oleh lingkungan sosial,
politik dan juga ekonomi. Hal ini perlu ditegaskan guna membedakan segala sesuatu yang
normatif dan biologis dan segala sesuatu yang merupakan konstruksi sosial budaya dalam
bentuk proses kesepakatan normatif dan sosial yang dapat ditransformasikan.
Ambivalensi yang dihadapi publik tentang isu-isu gender semakin kompleks ketika
dihadapkan pada sebuah fenomena masa kini. Wajar jika di lingkar pegiat feminis sendiri
terdapat dua pandangan yang saling mengcounter. Pertama, yang berpandangan bahwa
gender adalah konstruksi sosial, sehingga perbedaan jenis kelamin tidak perlu mengakibatkan
perbedaan peran dan perilaku gender dalam tataran social, karenanya segala peran dan fungsi
berbau gender harus dihilangkan. Sekelompok feminis lainnya menganggap perbedaan jenis
1
kelamin akan selalu berdampak terhadap konstruksi konsep gender dalam kehidupan sosial,
sehingga akan selalu ada jenis-jenis peran berstereotip gender.
Lebih lanjut, agama-agama Ibrahim (Abrahamic Religions) terutama Islam sering
dianggap sebagai salah satu factor yang menjustifikasi paham patriarkhi yang bias gender.
Agama dipandang terlalu bersifat maskulin dan patriakhal sehingga sering mengabaikan
aspek femininitas dan peran perempuan baik secara ritual maupun institusional. Karenanya,
wacana gender memang tidak dapat dilepaskan dari persoalan teologis – karena memang –
posisi perempuan dalam beberapa pemikiran agama ditempatkan sebagai the second,
terutama dalam persoalan asal usul kejadian laki-laki dan perempuan, juga persoalan fungsi
keberadaan keduanya.
Namun yang perlu dicermati adalah apakah pelanggengan ketidakadilan gender secara
luas dalam agama bersumber dari watak agama itu sendiri ataukah justru berasal dari
pemahaman, penafsiran dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil dipengaruhi oleh
tradisi dan kultur patriarkhi ataupun pandangan-pandangan lainnya. Karena itulah, sebuah
keniscayaan, untuk kembali menelusuri ajaran-ajaran Islam yang autentik, karena Islam
sejak awal, memiliki konsep yang sangat matang dalam memposisikan perempuan yang
didasari atas tuntunan moral dasar Islam itu sendiri yang ditercantumkan di dalam Al Quran
maupun hadits, justru disaat agama-agama lain hingga saat ini masih berselisih pendapat
dalam menetapkan hukum perempaun dan kemanusiaanya
Problematika Penciptaan
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari diri
yang satu dan dari padanya Allah menciptakan isterinya dan dari padanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.( An Nisa : 1)
Para penafsir diantaranya Ibnu Kasir, Zamahsyari, at Tabari al Alusi memahami
bahwa al nafs wahidah dalam ayat tersebut dengan tubuh Adam, dan isterinya sebagai
Hawwa, sementara minha ditafsirkan dengan tulang rusuk bagian kiri Adam. Sehingga dalam
penafsiran klasik, berkembang pandangan bahwa manusia yang pertama diciptakan Allah
adalah Adam, kemudian setelah itu baru Allah menciptakan isterinya, Hawwa, dari salah satu
tulang rusuk Adam. Seperti dikatakan Ahmad Sawi dalam Hasyiyah Tafsir Jalalain: Yang
dimaksud zawj adalah Hawwa yang diciptakan dari tulang rusuk sebelah kiri Adam, maka
tulang rusuk laki-laki sebelah kiri kurang satu, bagian kanan berjumlah 18, sedangkan kiri 17.
2
Menurut Muhammad Abduh kata nafs wahidah tidak dapat dipahami sebagai Adam
karena hal itu justru bertentangan dengan penelitian ilmiah dan sejarah. Hal ini dikuatkan
oleh Mustafa al Maraghi yang berpendapat bahwa tafsir ulama yang mengatakan bahwa nafs
wahidah adalah Adam bukanlah berdasarkan teks ayat akan tetapi berdasarkan pemahaman
bahwa Adam adalah abul basyar (bapak manusia). Lebih lanjut Al Qaffal mengatakan
bahwa Allah menciptakan manusia dari diri yang satu (nafs wahidah) dan Allah jadikan dari
jenis itu pasangannya (zawj) yaitu manusia yang sama dalam sifat-sifat kemanusiaannya,
karena term minha menunjukan makna dari jenis yang sama. Oleh karenanya apabila Adam
diciptakan dari tanah, maka dari tanah pula pasangannya diciptakan, bukan dari tulang
rusuknya.
Menurut Fatimah Mernisi dan Rifat Hassan al Quran tidak menyatakan bahwa Adam
adalah manusia pertama dan berjenis laki-laki. Istilah Adam adalah kata benda maskulin,
namun hanya mengatakan jenis linguistic bukan menyangkut jenis kelamin. Jika Adam belum
tentu laki-laki, zauj Adam juga belum tentu perempuan karena sebenarnya zauj juga
merupakan kata benda maskulin, karena ia memiliki bentuk femininnya zaujatun. Oleh
karena itu terjemah yang paling tepat dari zauj bukanlah isteri tetapi suami, bahkan suami
isteri atau pasangan.
Istilah nafs dalam Quran menunjukan bahwa umat manusia berasal dari asal usul
yang sama. Secara tata bahasa nafs merupakan bentuk muannas (female) sedangkan secara
konseptual nafs mengandung arti netral, bukan bentuk laki-laki maupun perempuan. Juga
kata zauj dalam al Quran digunakan untuk menunjukan jodoh ataupun pasangan. Istilah ini
digunakan dalam tahap kedua penciptaan manusia, para mufassir memahaminya sebagai
Hawa, perempuan pertama. Menurut tata bahasa zawj justru merupakan bentuk mudzakkar
(male), hingga secara konseptual tidak menunjukan bentuk muannas (femal ) maupun
mudzakkar (male).
Pemahaman bahwa penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam adalah pengaruh
Israiliyat. Menurut Ruhaini, penolakan penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam dibuktikan
bahwa kata “Hawa” dan “tulang rusuk” ternyata tidak ada secara tersurat di dalam al Qur’an.
Muhammad Rasyid Ridha menambahkan bahwa seandainya tidak tercantum kisah kejadian
Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama dengan redaksi pemahaman harfiah ( Maka
didatangkan Tuhan Allah atas Adam itu tidur yang tetap, lalu tidurlah ia. Maka diambil
Allah sebilah tualang rusuknya lalu ditutupnya pula tempat itu dengan daging. Maka dari
pada tulang yang telah dikeluarkannya dari dalam Adam itu diperbuat Tuhan seorang
3
perempuan. Lalu dibawanya akan dia kepada Adam ), niscaya pemahaman itu tidak ada
dalam pemikiran Islam.
Lebih lanjut, di Hujurat ayat 13 Allah SWT berfirman “ Wahai manusia ! sungguh
Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa secara ontologis, manusia adalah entitas atau
mikrokosmos yang terdiri dari sisi laki-laki dan perempuan. Parameter kemuliaan derajat
keduanya diukur dengan kualitas takwa bukan jenis kelamin. Secara ontologis, manusia
adalah merupakan wujud dari adanya proses sinergi antara unsur feminine dan unsur
maskulin. Karenanya struktur kemanusiaan itu terdiri dari sisi feminin dan sisi maskulin.
Maskulinitas berkonotasi pada kekuatan, sedangkan femininitas pada kelembutan. Dengan
demikian ketidakseimbang keduanya hanya akan menyebabkan chaos dan disharmonisasi
sistem makrokosmos.
Dalam konteks ini, Ibnu Arabi sebagaimana dikutip Sachiko Murata dalam The Tao of
Islam menyatakan bahwa Kemanusiaan (insaniyah) adalah suatu realitas yang mencakup
kaum laki-laki dan perempuan, sehingga kaum laki-laki tidak memiliki tingkat yang lebih
tinggi dari perempuan dalam hal kemanusiaan.
Dalam kaitan dengan realitas ciptaan yang berwujud manusia, perempuan itu identik
dengan laki-laki, namun dalam kaitannya dengan entifikasi, masing-masing memang
memiliki kekhasan tersendiri sebagaimana dalam Surat Ali Imron ayat 36
( walaisa adz
dzakara ka al unsa ). Kekhasan itu bila ditempatkan dalam entitas realitas ciptaan yang
berpasang pasangan, sesungguhnya berfungsi untuk saling melengkapi dan menggenapi
dalam hubungan interdependensi. Tanpa perempuan, laki-laki bukanlah laki-laki, sebab lakilaki didefinisikan oleh perempuan, demikian juga perempuan. Inilah bagian dari misteri
kekuatan perempuan, dimana eksistensi perempuan mengukuhkan laki-laki menjadi lakilaki. Namun menurut Saad Abdul Wahid, pernyataan walaisa adz dzakara ka al unsa
tersebut adalah pernyataan isteri Imron (ibunda Maryam ) itu bukanlah pernyataan yang
idealis tapi sesuatu yang realistis – karena dalam konteks kehidupan Ibunda Maryam – ia
hidup dalam kultur patrilineal yang didominasi laki-laki. Oleh karena itu sesuatu yang
realistis tidak dapat dijadikan tuntunan.
Guna memperkuat tesis bahwa perempuan secara ontologism memiliki derajat yang
berimbang dengan laki-laki, dalam analisa semantiknya, Ibnu Arabi – seperti dikutip Sachiko
Murata - mengatakan : tidakkah kamu perhatikan kebijaksanaan Tuhan dalam kelebihan yang
4
telah Dia berikan kepada perempuan atas laki-laki dalam namanya ?. kepada manusia
berjenis laki-laki, Dia menyebut mar’ dan kepada perempuan Dia menyebut mar’ah, jadi Dia
menambahkan sebuah ah atau at dalam bentuk konsepsi pada nama mar’ yang diberikan
kepada laki-laki. Maka perempuan mempunyai satu tingkat yang tidak dimiliki oleh laki-laki
dalam konteks ini, bertentangan dengan tingkat yang diberikan kepada laki-laki dalam ayat ‘
Kaum laki-laki mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada mereka. Maka Tuhan menutup
kesenjangan dalam ayat tersebut dengan tambahan ini dalam mar’ah.
Renspon Masyarakat Islam terhadap Diskursus Gender
Secara empirik persoalan gender oleh sebagian pandangan umat Islam diasosiasikan
sebagai the nature yang tak bisa diubah karena sifatnya yang taken for granted , namun oleh
sebagian lainnya justru diasumsikan sebagai the nuture yang dibentuk dan dikondisikan
oleh sistem nilai dan budaya yang berlaku di masyarakat sehingga bersifat changeable dari
waktu ke waktu dan dari masyarakat ke masyarakat. Dengan demikian tafsir genderpun
dalam pemikiran Islam terderivasi menjadi beberapa pandangan. Tidak ada homogenitas
tafsir. Tidak ada pandangan tunggal. Dan masing-masing pandangan memilki sudut pandang
tersendiri.
Pandangan Konservatif
Syariat Islam sejak kemunculannya telah berusaha mewujudkan keadilan gender
dalam masyarakat Arab yang memiliki budaya dan tradisi patriarkhi yang sangat kuat. Upaya
tersebut diwujudkan dengan adanya aturan dan doktrin – doktrin yang berusaha mengangkat
harkat dan martabat kaum perempuan dari posisinya semula. Aturan-aturan syariat tersebut
antara lain mengecam penguburan anak perempuan, membatasi poligami, memberikan hak
waris, hak-hak sebagai isteri, hak sebagai saksi dan hak-hak lainnya. Dengan kata lain syariat
Islam sejak semula telah memberikan hak dan peran kepada kaum perempuan baik diwilayah
domestik maupun publik. Padahal tradisi Arab ketika itu secara umum menempatkan
perempuan hampir sama dengan hamba sahaya yang tidak memiliki hak apapun. Karena itu
dapat dilihat dari sisi ini bahwa sesungguhnya semangat dan pesan moral Islam adalah
persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dan berusaha menegakkan keadilan gender
di tengah masyarakat.
Walaupun pesan universal Islam adalah keadilan gender, namun banyak penafsir yang
memahami teks – teks yang terdapat dalam alQuran hadis-hanya secara tekstual, parsial dan
5
dilepaskan dari konteks turunnya,sehingga menghasilkan interprestasi yang bias gender dan
melahirkan aturan dan doktrin ketidakadilan gender. Hal ini terjadi karena setelah nabi wafat,
posisi sosial perempuan yang semula membaik kembali mengalami krisis. Alih-alih stabil
secara
sosial,
posisi
Islam.
Selain
perempuan
masalah
malah
menguatnya
berbalik
lagi
kembali
tribalisme
ke
(rasa
nilai-nilai
kesukuan)
pra
Arab,
pasca Nabi, Fatimah Mernisi memvonis bahwa adanya pelepasan historis bentuk
pemahaman
patriarki
Islam.
ajaran
kembali
"Perempuan
agama
memberi
kembali
terhadap
pengaruh
tidak
perempuan.
kuat
dipercaya,"
Akibatnya
dalam
sangat
menafsirkan
demikian
tulis
jelas,
ajaran
Mernisi
dalam Women in Islam.
Secara historis, sikap misoginis – kegusaran laki-laki atas derajat keberadaannya
yang disamakan dengan perempuan – ini telah ada sejak Islam muncul sebagai gerakan
reformasi budaya. Penolakan Islam oleh masyarakat Arab merupakan penolakan atas
moralitas yang menghapuskan simbol-simbol superioritas kekuasaan laki-laki. Tidak semua
sahabat Nabi dapat dengan segera memberikan respon yang emansipatif terhadap reformasi
sosial ini. Sebagian sahabat berpandangan bahwa Nabi memberikan hak terlalu banyak
kepada perempuan. Mereka menghendaki agar Islam lebih menekankan perubahan pada
dunia publik tetapi tetap mempertahankan moralitas dunia privat berdasarkan tradisi Arab
lama yang patriarkhis.
Sepeninggal Nabi, kecenderungan pada superioritas laki-laki yang belum sepenuhnya
terkikis oleh reformasi budaya Islam kembali menguat. Hal ini tampak dari interprestasi para
sahabat terhadap beberapa ayat al Quran tentang hubungan sosial antara laki-laki dan
perempuan. Dari sekian sahabat yang dipandang mempunyai kapasitas penafsiran yang
cerdas seperti Ibnu Abbas tetap saja laki-laki ditempatkan sebagai penguasa, pemimpin dan
pengontrol perempuan. Dominasi budaya patriarkhi mencapai puncaknya di abad
pertengahan Islam, dimana saat itu penafsiran agama yang diskriminatif dianggap memiliki
kebenaran mutlak. Imbasnya segala produk hokum yang dihasilkan para ulama dan imam
madzhab abad pertengahan secara seragam tidak memberikan ruang gerak sedikitpun bagi
penghargaan terhadap hak perempuan seperti yang tercantum dalam lembaran kitab-kitab
kuning. Dan ironisnya, justru kitab-kitab kuning yang sangat beraroma patriarkhis inilah yang
kemudian selama berabad abad menjadi referensi utama dalam masyarakat Islam.
Dalam konteks ini Karen Amstrong dalam A History of God berpendapat, “ setelah
Muhammad wafat- agama Islam kemudian dibajak oleh kaum laki-laki yang menafsirkan
6
teks-teks al Quran dengan cara yang berpandangan negative terhadap perempuan. Olel karena
itu begitu Islam menempati posisinya di dalam dunia peradaban, kaum muslim mengadopsi
adat Oikumene yang menempatkan perempuan pada status warga kelas dua. Mereka
mengadopsi kebiasaan Persia dan Kristen Byzantium untuk menutup wajah perempuan dan
mengurungnya di dalam harem. Dengan cara inilah akhirnya perempuan di dalam Islam
terpinggirkan, dan sama nasibnya dengan rekan mereka di kalangan masyarakat Yahudi dan
Nasrani”. Hal senada juga dikatakan Leila Ahmed dalam Women and Gender in Islam
bahwa setelah Muhammad, dimulailah proses kematian berangsur-angsur partisipasi
perempuan dalam komunitas religius Islam dari sikap positif Muhammad kepada interprestasi
misogynist di kemudian hari.
Dengan membawa justifikasi agama, seperti Ar Rijalu Qawwamuna ‘ala an Nisaa,
konservatisisme yang berbasis pada paradigma patriarkhis memaknai
gender secara
distriminatif dan stuktural, menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua (second
clas ) yang bersubornidasi oleh superioritas pria dengan. Adagium seperti surga nunut,
neraka katut, konco cingking, sumur, kasur, dapur dan manak, macak dan masak yang
dilekatkan pada perempuan telah meredusir posisi perempuan hanya sekedar menjadi the
body yang potensi soulnya apalagi mind dan spiritnya sama sekali tidak mendapat tempat.
Konservatisisme.- dengan metode skripturalisnya – menarik Islam ke masa 15 abad
yang lalu dalam merespon persoalan gender dalam aroma Arabisme yang sangat patriarkhis.
Indikasinya interprestasi mereka terhadap konsep hijab, poligami, talak dan lainnya
cenderung bernuansa semangat penaklukan terhadap perempuan. Oleh karena itu penolakan
tentang ide kesetaraan ini paling artikulatif dilakukan oleh kaum “Konservativ” yang pada
dasarnya merupakan gerak protes terhadap beberapa aspek dari modernisme. Resistensi ini
tidaklah mengherankan karena konservatisisme menfokuskan diri pada gender sebagai isu
utama dan keluarga sebagai issu utama dalam upaya menanamkan tatanan moral dan nilai
yang dipercaya sebagai cetak biru yang harus diwujudkan. Bagi gerak konservatisisme
keluarga adalah menjadi salah satu simbol utama pranata moral ideal yang keharusan untuk
kembali ke bentuk ideal keluarga merupakan prioritas tertinggi dari agenda sosial mereka.
Pada gilirannya nilai-nilai mengarah pada pembatasan peran perempuan di sektor domestik
dan peran-peran tradisional atau penguatan kembali sistem patriarkhi dengan laki-laki sebagai
pusat kekuasaan.
Namun dalam perspektif lain, konservatisisme ini dikatakan sebagai manifestasi
ketakutan akan perubahan. Feminis yang memperjuangkan kebebasan perempuan, reformasi
pola relasi dan kuasa antara laki-laki dan perempuan di lingkungan pribadi, keluarga dan
7
publik dilihat sebagai ancaman dan antitesa serta bentuk dekonstruksi terhadap kemapanan
tradisi, institusi keluarga dan ideologi patriarkhi yang akan menggoyahkan otoritas patriarkhi.
Feminisme dalam perspektif konservatif diasumsikan sebagai budaya tandingan (Counter
Culture) karena menggugat dan mengkritisi nilai-nilai baku yang dipandang aksiomatik
(badihi) selama ini sebagai bentuk peringatan bahwa pranata sosial yang berlaku sedang
goyah, sistem pendukung kultural mitos dan simbol tidak lagi menghegemoni.
Kemudian dalam konteks kekinian, neo konservatisisme Islam kembali muncul
dengan kemasan yang lebih akademis dan ilmiah sebagai kultur tandingan terhadap gerak
modernisme. Gaya hidup global telah menyebabkan krisis moral dan spiritual serta
meningkatnya patologi sosial di tingkat lokal, dan semuanya ditimpakan pada perempuan
yang berkiprah diluar rumah sebagai penyebabnya. Hal ini cukup meresahkan, karena pada
tingkat tertentu konservatisisme menginginkan terealisasinya kultur Islam dengan disertai
dengan domestifikasi perempuan yang tidak proporsional.
Pandangan Moderat
Keadilan gender pada hakekatnya sudah tercermin sejak periode awal Islam. Sejak
zaman Nabi Saw. banyak wanita menduduki posisi penting. Khadijah yang juga istri Nabi
misalnya, adalah seorang komisaris sebuah kongsi dagang. Begitu juga Aisyah., seorang
wanita muslim pertama yang menuntut dan menjalani karir politik. Kecerdasan Aisyah sangat
kentara. Ia mempunyai pengetahuan fikih yang luas dan termasuk di antara barisan orangorang yang paling terdidik. Islam telah mengakhiri praktek-praktek diskriminasi dan
pelecehan terhadap perempuan yang terjadi pada masa itu.
Pada masa Muhammad, perempuan menjadi bagian dari sebuah masyarakat yang
kritis
karena
laki-laki
hadis
Muhammad
dengan
"Menuntut
perempuan
ilmu
tidak
pernah
dalam
adalah
hal
membuat
ilmu
kewajiban
garis
perbedaan
pengetahuan
setiap
seperti
muslim
antara
dalam
lelaki
maupun perempuan". Dalam sebuah hadis Imam Bukhari, Aisyah pernah memuji semangat
para perempuan Anshar dalam menuntut ilmu. "Perempuan terbaik adalah mereka dari
Anshar, mereka tidak pernah malu untuk selalu belajar agama," katanya.
Will Durant, seorang sejarawan Barat terkemuka, mengakui jasa Muhammad dalam
meningkatkan dan memperbaiki hak-hak wanita. Menurutnya, perlakuan yang ditunjukkan
oleh Nabi terhadap kaum perempuan sungguh-sungguh berbeda dengan perlakuan
masyarakat Arab saat itu menempatkan perempuan pada strata social urutan paling bawah..
8
Pada
masa
mobilitas
vertikal.
berpartisipasi
keilmuan
Nabi
terbuka
posisi
Gerak
dalam
luas.
perempuan
dan
berbagai
Sumbangan
justru
kesempatan
bidang,
perempuan
mengalami
perempuan
untuk
khususnya
bahkan
sangat
bidang
signifikan
dalam upaya transformasi masyarakat ke arah yang lebih egaliter. Dalam seting social-kultur
Arab yang sangat paternalistic, apa yang dilakukan Muhammad adalah sangat revolusionar
dan sangat modern
Islam telah membawa semangat reformasi, transformasi dan liberasi yang
membebaskan perempuan dari praktek-praktek dehumanisme dan feodalisme..
Ketika
exsistensi perempauan sama sekali tidak mendapat tempat dimasyarakat, Muhammad telah
menempati laki dan perempuan pada kedudukan yang ekuvalin (Lihat QS Taubat 71,
Annisa124 ). Secara empiris, penghormatan, pengakuan dan penghargaan terhadap existensi
perempuan dicontohkan Muhammad dengan memposisikan isteri-isterinya sebagai patner
perjuangannya, sebagai tempat saring intelektual, moral dan spiritual yang saling berbagai
tugas dalam memenangkan dakwah. Dalam konteks ini salah satu isteri Hitler berkata “
sesungguhnya sistem poligami adalah salah satu faktor terbesar dalam mewujudkan
keberhasilan dan kemenangan Muhammad. Untuk itu setelah perang ini aku tidak akan raguragu untuk membujuk Hitler agar mewajibkan poligami kepada masyarakat Jerman untuk
menggantikan jutaan laki-laki yang menjadi korban perang”.
Dengan fakta sejarah tersebut, pandangan modernis meyakini bahwa spirit Islam yang
dibawa Muhammad adalam membebaskan perempuan. Secara histories dikatakan bahwa
perubahan yang dilakukan oleh Rasulullah berjalan secara gradual disesuaikan dengan
kondisi masyarakat Arab pada waktu itu. Meski demikian perubahan gradual itu dalam
konteks historis dan cultural mestinya berjalan terus dan tidak berhenti ketika Muhammad
wafat. Karena menurut pandangan ini, pola dialektika ajaran Islam menganut asas penerapan
bertahap (relatifering process), karenanya di dalam memposisikan perempuan, dalam
prakteknya tidak dapat sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi. Meskipun
nabi telah berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan gender equality, tetapi kultur
masyarakat saat itu belum kondusif. Wahyu baru saja selesai turun ketika Nabi wafat, maka
Nabi tidak sempat menyaksikan blueprint ajarannya sepenuhnya terwujud. Terlebih
kedudukan perempuan yang berkembang dalam dunia Islam pasca Nabi tidak bisa dijadikan
rujukan, karena bukannya semakin mendekati kondisi ideal tetapi malah semakin jauh.
Dengan demikian pemaknaan ulang harus dilakukan terhadap beberapa isu perempuan di
dalam Islam seperti poligami, waris, persaksian, hijab, kepemimpinan dan lainnya.
9
Ayat-ayat dengan beberapa tema diatas tidak harus dipahami sesuati teks tertulisnya
tetapi harus dipahami sesuai dengan spirit “pembebasan” yang dalam prakteknya bisa
disesuaikan penerjemahannya sesuai dengan konteks perkembangan jaman. Hal itu harus
dilakukan, karena menurut pandangan ini, Allah telah pemberikan otoritas kepada umat
Islam untuk merefleksikan nilai-nilai unuversal al-Qur’an dalam prespektif kekinian dan
kemudian mefungsikannya dalam realita empirik sehari-hari secara dinamis dan progresif
agar fungsi al Qur’an sebagai sumber nilai dan norma tidak mengalam stagnasi tetapi tetap
relevan dengan zaman.
Secara praksis, pandangan modernis tidak menjebak perempuan pada pilihan
dilematis antara dunia public dan domestic, namun tetap melihat keefektifan kedua peran
tersebut. Peran domestic berarti perempuan berada di belakang layar “ kebesaran “ laki-laki,
namun justru ia tidak menjadi populer dengan perannya. Seringkali keberhasilan perempuan
disektor ini malah memperkuat dominasi “kekuasaan laki-laki” disektor publik. Karenanya –
menurut pandangan modernis ini - hendaknya fungsi domestikasi perempuan tidak dijadikan
pelengkap keperkasaan laki-laki. Peletakan perempuan dalam satu sektor domestik saja tanpa
mempertimbangan semua aspek yang melatarbelakanginya merupakan upaya marginalisasi
laki-laki terhadap seluruh potensi perempuan. Karenanya teks-teks agama tidak boleh
ditafsirkan untuk melegitimasi otoritas kemaskulinan yang membagi peran keduanya secara
dikotomis : publik dan domestik. Argumentasi “public milik laki-laki dan domestic milik
perempuan” ini secara kontekstual telah menyalahi kodrat kemanusiaan. Kelahiran Hawa
yang lebih kemudian dari Adam bukan berarti hawa lebih rendah. Tak ada dominasi atau
resesivitas dalam hubungan gender. Keduanya komplementer.
Pandangan Liberal
Pandangan liberal berasumsi bahwa kebebasan dan keseimbangan berakar pada
rasionalitas. Bagi mereka keterbelakangan perempuan yang terjadi selama ini disebabkan
karena perempuan bersikap irasional dan berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional agama,
tradisi, dan budaya. Sikap seperti ini mengungkung perempuan dalam dunia domestik yang
tidak produktif. Karenanya keterlibatan perempuan dalam dunia publik mutlak adanya.
Menurut mereka keterlibatan perempuan dalam industrialisasi dan modernisasi adalah jalan
yang harus ditempuh untuk meningkatkan status perempuan.
Pandangan liberal dalam pemikiran Islam muncul karena adanya pengaruh
fenimisme barat. Pandangan ini berkeyakinan bahwa jika selama ini perempuan selalu berada
10
dibawah dominasi laki-laki, maka saatnya kini perempuan menggugat dominasi laki-laki.
Pandangan ini berusaha mengkritisi kembali nilai-nilai kemapanan (status quo) bahkan
menggugat juga wilayah-wilayah aksiomatik (badihi) dalam Islam.
Mereka bergerak dalam
usaha mengubah hokum agama yang dianggap merugikan perempuan karena berkeyakinan
bahwa akar ketertindasan perempuan adalah adanya tradisi dan hokum agama yang
membatasi perempuan dari kesusksesan dunia public. Karena itu solusinya adalah ia harus
diberi hak yang sama di semua aspek kehidupan. .
Pandangan ini disatu sisi meluluhlantakan suatu sistem dominasi tapi disisi lain
meneguhkan sistem dominasi yang lain. Ini tentu bukanlah jalan tengah yang mencari
keseimbangan dan kesetaraan yang adil dalam hal kedudukan dan peran masing-masing jenis,
laki-laki dan perempuan melainkan justru memunculkan model ketimpangan dan
ketidakharmonisan social lainnya.
Menanggapi fenomena ini, Nazarudin Umar mengatakan, bahwa Barat belakangan
mulai mengendur dalam soal gender, sebaliknya sejumlah umat Islam yang justru bersikap
lebih Barat. Dalam Islam kata Nazarudin, masalah gender sebenarnya sudah sangat jelas,
yakni semangat Islam memuliakan wanita. Dalam Islam, laki-laki dan perempuan dipandang
sama-sama memiliki kelebihan sementara gender yang diperjuangkan Barat, sebenarnya tidak
menguntungkan kepada kaum perempuan
Pendekatan Autokritik : Sebuah Tawaran
Wanita Arab – dalam ini Islam - jauh lebih dahulu daripada Eropa dan Amerika
dalam mengkritisi budaya patriarkhis. 15 abad yang lalu Ummu Salamah telah mengajukan
pertanyaan begitu cerdas’ Kami masuk Islam sebagaimana laki-laki masuk Islam Kami
mengerjakan apa yang mereka kerjakan, tapi mengapa mereka disebut di dalam al Quran
sedangkan kami tidak ?. maka turunlah ayat yang berbunyi Kaum beriman laki-laki dan
kaum beriman perempuan ...
Berbeda dengan paradigma patriarkhi yang acap meredusir perempuan hanya sekedar
menjadi the body, Islam sering mendeskripsikan eksistensi
perempuan dalam konteks
kekuatan moralitas, intelektualitas dan spiritualitas. Hal ini tercermin pada ungkapan seperti
al-Ummu Madrasatun (Ibu adalah universitas kehidupan) dan al-Jannatu tahta Aqdamil
Ummahati (Syurga itu berada di bawah naungan telapak kaki Ibu ). Teks-teks ini bukti
pengakuan bahwa derajat perempuan memang sangat dimuliakan dalam Islam. Bahkan,
11
perempuan kemudian diakui sebagai yang paling berpengaruh
dalam pembentukan
peradaban sebuah generasi, sebuah posisi yang sangat strategis bila disadari.
Catatan histories juga telah membuktikan bahwa dalam berbagai kasus perempuan
bisa menjadi sosok yang sangat independen, penuh dedikasi bahkan nyaris terlihat seperti
“tidak” memerlukan laki-laki dalam menjalankan perannya dengan sukses. Ibunda Nabi
Musa dan Ibrahim merupakan figur yang dapat dijadikan referensi yang otentik untuk
mendeskripsikan dedikasi seorang perempuan untuk tetap eksis, justru ketika di bawah
represi laki-laki. Dan jika perempuan adalah makhluk lemah yang tak bisa memberikan
kontribusi positip pada kehidupan, tentu Allah tidak akan memerintahkan Ibrahim untuk
meninggalkan Hajar dan bayinya untuk berjuang hidup sendirian di Padang Gersang antara
Shofa dan Marwah, Allahpun tidak mungkin menakdirkan Isa lahir dari hanya seorang
perempuan, Maryam, juga Allah tidak perlu “repot-repot” menghibur dan memberi energi
baru kepada Muhammad dengan Isro Mikroj karena ditinggal Khadijah.
Dalam at Taubah ayat 72 Allah berfirman “ Dan orang-orang yang beriman, laki-laki
dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka
menyuruh berbuat yang makruf (amar makruf ) dan mencegah dari yang mungkar
(nahi mungkar ), melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan
Rasul Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah, Sungguh Allah Maha perkasa dan
Bijaksana.
Dari ayat ini, dalam konteks gender, secara deskriptif
perempuan diperintahkan
dapat berperan pertama sebagai “mitra” yang kompetitif dan aspiratif sebagai personifikasi
dari amar ma’ruf dan sekaligus – meminjam istilah Nurcholis Madjid “oposan loyal”
sebagai personifikasi nahi mungkar bagi laki-laki.
Sebagai Mitra Sejajar
Dalam dunia nyata, kekerasan, pelecehan, ketidakadilan dan eksploitasi
yang
dialami perempuan selama ini lebih disebabkan factor internal ketakberdayaan perempuan
sendiri untuk membela dirinya. Dengan kata lain terkadang disadari atau tidak, perempuan
hanya pasrah dan rela atau bahkan “menyediakan diri” untuk diperlakukan sebagai obyek
pelecehan. Pada tahap yang
anti klimaks bahkan ada yang bersikap mashochis yang
mengangap bahwa disakiti, dilemahkan memang merupakan satu bagian takdir ketika ia
hadir menjadi perempuan, dan justru dengan disakiti dan dilemahkanlah ia bisa menikmati
keperempuanannya.
12
Menurut Rasyid Ridlo, pembebanan kewajiban kepada laki-laki terhadap perempuan
dalam hal nafkah, mahar dan melindungi merupakan sebab laki-laki menjadi pemimpin bagi
perempuan yang kemudian menjadi semacam adat yang diterima berdasarkan akad untuk
kemaslahatan. Seakan-akan perempuan menurunkan dirinya untuk tidak sama dengan lakilaki secara penuh karena pilihannya sendiri. Ia membolehkan laki-laki untuk berada pada satu
tingkat diatasnya, tingkat kepemimpinannya dan ia rela dengan penggantian berupa
pemberian harta dari suaminya.
Untuk memperkuat pandangan ini, Will Durant – seperti dikutip Murthadha
Mutahhari dalam The Right Wowen in Islam – mengatakan “ Fungsi perempuan ialah
melayani kepentingan jenis, dan fungsi laki-laki adalah melayani perempuan dan anak.
Mereka mungkin mempunyai fungsi lain juga, namun fungsi lain itu dengan bijaknya tunduk
dapa fungsi ini; dalam tujuan tujuan yang mendasar dan setengah tak sadar inilah alam, telah
menempatkan makna dan kebahagiaan. Watak perempuan adalah lebih mencari perlindungan
daripada berperang dan dalam beberapa jenis, si perempuan nampaknya sama sekali tidak
menaruh instink untuk berkelahi. Apabila ia berkelahi secara langsung maka itu dilakukan
bukan untuk membela dirinya, melainkan justru pihak lain seperti anaknya. Perempuan lebih
sabar daripada lelaki, walaupun lelaki lebih berani menghadapi masalah dan krisis kehidupan
yang lebih besar, perempuan lebih memiliki ketabahan besar dalam menghadapi gangguan
kehidupan yang lebih kecil dan terus menerus, tetapi perempuan juga menyukai perkelahian
di pihak orang lain. Ia bersedia mengikuti seorang prajurit dan meyukai laki-laki perkasa; ada
unsur mashochistis dalam getaran jiwanya apabila melihat kekuatan, sekalipun korbannya
adalah dia sendiri”.
Fakta lain, masuknya perempuan di sektor publik justru cenderung dimanfaatkan
laki-laki untuk memperluas jiwa imperialis dan koloninya. Perempuan telah menjelma
menjadi daerah eksploitasi yang bersifat pragmatis serta profit oriented yang komersiil.
Kekuasaan tetaplah milik laki-laki dan perempuan tetap harus menjadi subordinat dari
kepentingan laki-laki. Ini menandakan bahwa peran publik lebih menyodorkan bentuk
kekuasaan di pelbagai bidang yang sangat maskulin. Idiom-idiom pembangunan publik
dibingkai atas kepentingan laki-laki. Perempuan benar-benar hanya menjadi subordinat bukan
komplementeer. Peran publik adalah peran politis yang mempertaruhkan prestise
kemaskulinan dan kefemininan. Jika perempuan tidak hati-hati maka bisa jadi
menjadi
kontraproduktif. Maka sangat relevan bila dikatakan bahwa penindasan terhadap etnis
perempuan adalah penindasan terpanjang sepanjang sejarah, lebih lama dari penindasan
terhadap etnis manapun. Berbeda dengan penindasan lain yang acapkali menuai simpati dan
13
dukungan, penindasan terhadap perempuan cenderung dipelihara, hingga sampai saat ini
bentuk penindasan hadir dalam bentuk yang tidak lagi sarkastis melainkan elastis. Penindasan
ini diciptakan secara kultural maupun struktural dan penguatan mitos-mitos kultural
perempuan. Sayangnya tak semua kaum perempuan memahami dan mengetahui penindasan
ini atau bahkan malah menikmatinya. Bagaikan korban yang jatuh cinta pada penculiknya.
Ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi pada perempuan di sector manapun ia
berada, semestinya tak akan pernah terjadi jika saja perempuan mampu memposisikan diri
sebagai mitra yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan bagi kaum laki-laki
dalam
penyelesaian tugas-tugasnya. Mitra yang memiliki hubungan sinergi berimbang, harmonis,
jauh dari semangat rivalitas yang saling menaklukan, menguasai dan mendominasi satu sama
lain.
Menurut Aminah Wadud, hal yang harus dilakukan perempuan modern saat ini adalah
membangun relasi fungsional antara laki-laki dan perempuan dalam interaksi social yang
didasarkan pada semangat Al Qur’an. Dalam membangun relasi fungsional dalam kehidupan
masyarakat, Wadud mengembangkan konsep diri (potensi individu) demi kemajuan hidup
manusia. Kesetaraan individu merupakan kunci dalam mencapai kemajuan tersebut. Bagi
Wadud ada beberapa aspek penting dalam menentukan relasi gender dalam kehidupan sosial.
Yakni pertama, perspektif yang lebih adil dalam hak dan kewajiban individu baik laki-laki
ataupun perempuan di dalam masyarakat. Kedua, dalam pembagian peran tersebut hendaknya
tidak keluar dari prinsip umum al-Qur'an tentang keadilan sosial, penghargaan atau martabat
manusia, persamaan hak di hadapan Allah, dan keharmonisan dengan alam. Ketiga, relasi
gender hendaknya secara gradual turut membentuk etika dan moralitas bagi manusia. Ketiga
aspek relasi gender ini menjadi prinsip utama sebuah ‘relasi fungsional’ yang tujuannya tidak
lain adalah merealisasikan misi penciptaan manusia di dunia, yaitu khalifah fi al-ardi.
Sebagai Oposan Loyal
Dalam ayat diatas, dideskripsikan bahwa perempuan adalah “oposan loyal” yang
melaksanakan peran korektif-konstruktif atau nahi mungkar terhadap kaum laki-laki. Artinya
perempuan harus bisa memaknai bahwa eksistensinya di dunia ini adalah sebagai bentuk
oposisi dialektis - dalam arti positif - untuk laki-laki dguna mewujudkan equilibrium.
Bila secara jujur ditelusuri secara radikal, pada setiap penyimpangan moral dan
sosial yang dilakukan kaum laki-laki seringkali ada pihak perempuan yang menjadi akar
penyebabnya baik langsung ataupun tidak langsung, sengaja, atau tidak sengaja. Contoh
14
kongkrit, menjangkitnya penyakit KKN (korupsi dan kolusi) yang dilakukan oleh para
pengambil kebijakan yang kebetulan lebih banyak didominasi kaum laki-laki, bila diakui
secara jujur sesungguhnya
kaum perempuanlah yang ada di balik semua itu. Gaya
hedonisme, konsumerisme, keinginan enak secara instan yang menjadi tuntutan sebagian
kaum perempuan telah memaksa kaum laki-laki bersikap machiavellis dengan menghalalkan
segala cara untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup
pasangannya yang high cost itu,
sekalipun dengan cara yang ilegal.
Dalam kaitan ini, Ian Clunies Ross menggambarkan sososk perempuan sebagai jenis
manusia yang belum melunasi hutangnya terhadap pengetahuan masa lalu sehingga menjadi
“Nyonya besar” korban rekayasa teknologi modern. Seperti komentarnya George F Kenan
ketika mengomentari pengaruh iklan terhadap pembentukan sikap hidup konsumtivisme
perempuan sebagai The Greatest Evil of our nation life. Perempuan telah menjadi mangsa
bisnis kaum laki-laki dan diekspolitasi untuk laki-laki. Lucunya mereka tidak pernah merasa
telah melakukan dosa bagi sesama kaumnya. Karena saking biasanya dieksploitasi,
perempuan menjadi keenakan di dunia yang sebenarnya tidak memberikan kebebasan lebih
besar dibanding
peran-peran domestik. Ini adalah kemunduran,
degradasi, dekadensi
dibanding masa-masa lalu. Ekploitasi kapitalisme atas perempuan tidak pernah memunculkan
pemberontakan yang berarti, tidak terjadi revolusi radikal, bahkan keluhan kecil sekalipun
tampaknya tak terdengar. Kebudayaaan massa telah mengobsesi perempuan tentang dunia
baru yang serba instan, spontan dan absurd. Perempuan memimpikan taman firdaus diluar
rumah, namun ternyata keterlibatan publik diasumsikan dengan konotasi yang tidak tepat.
Sebab dunia barunya seringkali malah menciptakan neraka yang melingkari lehernya dan
yang memenjarakan intuisinya.
Lebih ironis lagi, keberhasilan perempuan di ranah publik, bukan saja mereka telah
berhasil memasuki dunia maskulin, tetapi juga mengadopsi nilai-nilai maskulin yang
dikritiknya serta meninggalkan sikap kepedulian terhadap pengasuhan dan pemeliharaan.
Banyak perempuan yang telah menjadi male clone (tiruan laki-laki) di peradaban modern,
yaitu peradaban ekonomi pasar berdasarkan untung rugi, kompetisi, kekuasaan, materi dan
eksploitasi. Status dan kekuasaan harus diperebutkan karena kesuksesan di dunia maskulin
diukur oleh itu semua.
Fenomena seperti itu terjadi disebabkan kaum perempuan tidak mengfungsikan peran
oposannya (nahi mungkar) terhadap laki-laki, namun justru
menjadi “sekutu”nya atau
bahkan menyediakan diri menjadi “korban”nya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
15
dalam setiap kejatuhan sebuah masyarakat, perempuan selalu punya peran. Dalam konteks
inilah paradigma ” “Wanita adalah pilar negara, jika ia baik maka negara akan menjadi baik
dan bila ia buruk negara akan menjadi buruk “ menjadi menemukan relevansinya. Padahal
menjadi pilar Negara berarti menjadi subyek aktif yang bermanfaat untuk menentukan nasib
bangsa seperti ungkapan sang pionir, Kartini, “Perempuan itu adalah pembawa peradaban.”
“Saya sendiri yakin sungguh bahwa dari perempuan itu mungkin timbul pengaruh yang
besar, dalam hal membaikkan maupun memburukkan kehidupan, bahwa dialah yang paling
banyak
membantu
memajukan
kesusilaan
manusia.”
Nah, untuk mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang beradab, kaum perempuan
harus berani
bermakna
mengambil peran
strategis sebagai “oposan loyal”. Oposan loyal bukan
asal “tampil beda” atau mengambil posisi diametral dan kontraversial yang
menjadikan laki-laki sebagai “musuh’ atau “lawan” yang vis a vis dengan dirinya. Melainkan
menfungsikan kefemininitas sebagai simbol nilai-nilai kelembutan yang persuasif untuk
kepentingan nahi mungkar agar kaum laki-laki tidak menggunakan energi kemaskulinannya
(kekuatannya) untuk membuat kerusakan (fasad) tetapi justru untuk melindungi nilai-nilai
humanisme dan kebenaran.
Apalagi, peradaban manusia modern semakin terlihat ingin
menguasai, mendominasi dan mengeksploitasi. Kerusakan alam, perkosaan terhadap bumi,
kriminalitas, dan menurunnya solidaritas. Carolyn Merchant - seperti dikutip Vandana - ilmu
alam modern, semuanya didasarkan pada pengrusakan dan penguasaan atas alam. Muncullah
subordinasi, penindasan dan eksploitasi terhadap alam yang dilakukan guna mengungkapkan
dan menghancurkan rahasia alam. Bahkan Francis Bacon menyatakan ”alam harus dipaksa
dengan kekerasan untuk mengungkap tabir rahasia yang disembunyikannya, karena alam
bagaikan seorang perempuan jahat yang menumpuk harta dengan serakah untuk dirinya
sendiri”. Peradaban modern telah begitu tak seimbang, terlalu berat pada kualitas maskulin
dan kurang pada kualitas feminine seperti cinta, pengasuhan dan pemeliharaan, karenanya
kualitas feminine harus dapat ditingkatkan agar bisa menjadi penyeimbang (oposisi) agar
semua kerusakan dapat dikurangi.
Perempuan hendaknya menyadari bahwa sifat dan kualitas feminin bukan sesuatu
yang rendah, justru sebaliknya Allah menciptakan kualitas kefemininan ini sebagi potensi
keperempuanan yang perlu dijaga dalam arti yang aktif positif serta kreatif. Kualitas feminin
bukanlah bentukan kultur dan struktur melainkan kodrat keperempuanan; kodrat yang harus
diterima sebagai sebuah keniscayaan adanya. Dan justru dalam diri keperempuananlah
16
keseimbangan dualitas di muka bumi ini tercipta. Di bumi ini tidak hanya hadir prinsip
“berjuangan” dan “memberi” yang tersimbolkan dalam maskulinitas namun juga “menerima”
dan “memelihara” sebagai simbol femininitas. Agar kekuatan tidak menjelma menjadi
kekerasan, maka harus pula berbarengan dengan kelembutan dan kasih. Dalam kosmologi
Islam, bumi adalah lambang menerima, penuh kasih, pasif dan damai. Inilah sifat-sifat
feminin. Kodrat tentu tidak bisa dilawan melainkan dikembangkan. Kemampuan manusia
merekonstruksi gender feminin dan maskulin tak akan merubah substansi kualitas gender :
kodrat. Bagaimanapun Islam tidak mengenal paradigma gender yang strukturalis yang
melihat relasi pria dan perempuan sebagai hubungan atas dan bawah, antara inferior dan
superior yang saling menguasai, tetapi sebagai hubungan fungsional ekuivalen yang saling
melengkapi.
Perbedaan laki-laki dan perempuan memang bukan semata-mata karena konstruksi
sosial budaya namun juga intrinsik. Karenanya, yang perlu dilakukan adalah membangun
paradigma bahwa yang seharusnya terjadi adalah penerimaan yang setara dari masyarakat
tentang kefemininan perempuan dan segala hal yang secara sadar diketahui sebagai
konstruksi
kekhasan
biologis
perempuan.
Untuk meruntuhkan sistem patriarki, hendaknya perempuan melakukan transformasi sosial
melalui perubahan internal yang revolusioner, yaitu dengan menonjolkan kualitas feminin
dalam dunia maskulin. Keberadaan kualitas feminin inilah yang dapat mengubah sistem
patriarki yang hierarkis dan dominatif menjadi sistem matriarki yang egaliter. Kaum
perempuan harus meningkatkan kualitas feminin mereka agar dominasi sistem maskulin
dapat diimbangi, sehingga kerusakan (fasad), dekadensi moral dapat dikurangi
Memang ada pandangan yang berbeda dari pegiat gender, yang mengangap bahwa
romantisme terhadap kualitas feminin justru akan menyebabkan perempuan tetap pada
posisinya sebagai figur pengasuh, pasif, dan pemelihara yang akhirnya cocok untuk menjadi
ibu dan pekerjaan-pekerjaan di sektor domestik. Seperti tesis Simone de Beauvoir yang
mengatakan “Norma-norma feminine yang melekat pada perempuan seperti mengasuh,
memelihara, dan menerima adalah sifat yang dikulturkan oleh system patriarkhi. Kulturisasi
norma feminine dilanggengkan oleh sitem agar perempuan dapat terus ditindas”. Namun
demikian pengingkaran terhadap femininitas justru tidak akan meruntuhkan sistem patriarki
dan jika perempuan memaksa diri untuk mengadopsi kekuatan maskulin justru hanya akan
membuat perempuan menjadi tiruan laki-laki (male clone) di dunia maskulin.
17
Berbagai dilema publik tentang makna keadilan dalam diskursus gender, menurut
hemat penulis harus lebih dulu dikaji sehingga tidak menemukan makna yang kontradiktif.
Keadilan sebagaimana diusung feminis Barat, tidak akan menemukan kata final. Baik secara
nature maupun nuture pria dan perempuan tidak bisa sama, sifat bergantung dan saling
mengisi akan selalu hadir. Sebuah ”penampakan” yang nyata bahwa independensi masingmasing pihak adalah sebuah kemustahilan. Kesetaraan tidak berarti kesamaan (sameness)
yang hanya menuntut persamaan matematis, melainkan lebih kepada kesetaraan yang adil,
yang sesuai dengan konteks masing-masing individu.
Keadilan memang harus disesuaikan dengan jatidiri perempuan itu sendiri. Karena
ada dari sebagian perempuan merasa ‘diperlakukan secara adil’ justru ketika disibukkan
dengan urusan rumah tangga, suami, dan anak-anaknya. Propaganda bahwa bicara gender
berarti bicara perempuan di dunia public, sesungguhnya justru penjajahan bagi sebagia
perempuan, karena dituntut untuk go public, padahal sebagian mereka sudah merasa nyaman
ketika berada di rumah. Fenomena semacam inilah yang disebut oleh Ratna Megawangi
sebagai “Contradictio Interminis“. Sebuah konsep yang menginginkan kebebasan individu
(liberty), yang justru dalam prakteknya dapat membuat individu menjadi tidak bebas atau
tertindas. Padahal liberty menurut John Stuart Mill, adalah kondisi di mana setiap individu
laki-laki dan perempuan dapat berfungsi secara bebas, dapat mengembangkan kediriannya
secara komplet, serta dapat meningkatkan kepandaiannya sesuai dengan kapasitas dan
karakternya masing-masing
Sejatinya, hakekat wanita sangat berbeda dengan pria dari segi nature-nya (alami).
Sedangkan perbedaan nuture adalah hasil konstruksi masyarakat yang bermula dari adat dan
budaya. Pernyataan yang sering dilontarkan kaum feminis adalah bahwa diskriminasi pada
wanita karena adanya faktor budaya, di mana budaya patriarki selalu menempatkan wanita
pada posisi yang lebih rendah dari pria. Dan kendala besar yang diakui feminis untuk dapat
berkiprah setara dengan pria adalah karena hanya wanita saja yang bisa hamil. Pengakuan ini
dapat berarti keragaman biologis memang selalu ada dalam kenyataan, maka kesetaraan
gender yang selalu dipropagandakan secara fifty-fifty adalah suatu hal yang utopis.
Perbedaan fisiologis yang alami itu pada umumnya kemudian diperkuat oleh struktur
kebudayaan yang ada. Perkembangan wanita dari berbagai segi disesuaikan dengan bakatbakat kewanitaan. Sebagian lagi disesuaikan dengan pendapat tradisional,
norma-
norma agama, dan kriteria-kriteria feminis tertentu.
Perbedaan eksistensi antara keduanya akan tetap ada meskipun struktur-struktur
sosial yang ada dan norma-norma tradisionalnya telah berubah. Akhirnya pilihan peran
18
memang bukan persoalan bagi perempuan selama perempuan sanggup melakukannya untuk
kebaikan keluarga, pengembangan kreativitas, kapasitas dan kapabilitas dirinya dan
keseimbangan struktur makrokosmos. Bagaimanapun disinilah substansi persoalannya.
Melakukan sebuah pilihan tentu harus didasarkan pada kondisi obyektif dan nalar yang
matang. Dan hal itu harus dilakukan oleh perempuan sendiri
DAFTAR PUSTAKA
Aden Wijdan SZ, dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, Safirian Insania Press, Yogyakarta,
2007.
Agus Purwadi, Islam dan Problem Gender, Aditya Media, Yogyakarta, 2000.
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci, Kritik atas Hadis – Hadis Shahih, Pilar
Religia, Yogyakarta, 2005
Aminah Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir,
PT Serambi Ilmu Semesta, 2001.
Fatimah Mernissi dan Riffat Hassan, Setara Di Hadapan Allah, Reflasi Laki-Laki dan
Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, LSPPA Yayasan Prakarsa,
Yogyakarta, 1995.
Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Mizan, Bandung, 2007.
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2006.
Muhammad Rasyid al Uwayyid, Min Ajli Tahrir Haqiqi lil Mar’ati, Terj. Ghazali Mukri, Izzan
Pustaka, Yogyakarta, 2002.
Murtadha Muthahhari, The Right of Women in Islam, Terj. M.Hashem, Lentera. Jakarta,
2001.
M. Subhi Ridlo, Perempuan, Agama dan Demokrasi, LSIP, Yogyakarta, 2007.
Nawal el Saadawi, Wajah Telanjang Perempuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Sachiko Murata, The Tao of Islam, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi
dan Teologi Islam, Mizan, Bandung, 2004.
Vandana Shiva dan Maria Mies,Ecofeminisme, Perspektif Gerakan Perempuan dan
Lingkungan, IRE Press, Yogyakarta, 2005.
19
20
Download