15 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Teori

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Teori dan Konsep yang Relevan
2.1.1 Theory Planned Behavior (TPB)
Theory Planned Behavior atau teori perilaku yang direncanakan adalah
teori yang menghubungkan keyakinan dan perilaku. Theory of Planned Behavior
(TPB) merupakan perluasan dari Theory of Reasoned Action (TRA). Dalam TRA
dijelaskan bahwa niat seseorang terhadap perilaku dibentuk oleh dua faktor utama
yaitu attitude toward the behavior dan subjective norms (Ajzen dan Fishbein,
1975). Sedangkan dalam TPB ditambahkan satu faktor lagi, yaitu perceived
behavioral control (Ajzen, 1991). Konsep ini diusulkan oleh Ajzen (1985) untuk
memperbaiki kekuatan prediksi dari teori tindakan beralasan dengan memasukkan
kontrol perilaku yang dirasakan. Tujuan dan manfaat dari teori ini adalah untuk
meramalkan dan memahami pengaruh-pengaruh motivasi perilaku, baik kemauan
individu itu sendiri maupun bukan kemauan dari individu tersebut. Theory of
Planned Behavior (TPB) membagi macam alasan yang dapat mempengaruhi
tindakan yang diambil oleh individu, yaitu:
1) Behavioral belief, yaitu kepercayaan-kepercayaan mengenai kemungkinan
akan terjadinya suatu perilaku. Pada TRA, hal ini disebut dengan sikap
(attitude) terhadap perilaku.
Sikap (attitude) dalam hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang
memiliki evaluasi menguntungkan atau tidak menguntungkan dari perilaku
yang menarik. Hal ini memerlukan pertimbangan hasil dari melakukan
15
perilaku. Contohnya adalah sikap seorang terhadap intuisi, terhadap orang
lain, atau terhadap suatu obyek. Dalam profesi akuntansi, sebagai contoh,
sikap auditor terhadap lingkungan di mana ia bekerja (kantor) terhadap
atasannya atau terhadap penjelasan dari kliennya, dan tentunya terhadap
pemberian opininya atas laporan keuangan.
2) Normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif yang muncul
akibat pengaruh orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut
(normatif belief and motivation to comply). Pada TRA, hal ini disebut dengan
norma subyektif (subyective norm) terhadap perilaku.
Ajzen dan Fishbein (1975) dalam Krehastuti (2014) mendefinisikan norma
subyektif sebagai persepsi individu mengenai apakah orang-orang yang
penting baginya akan mendukung atau tidak untuk melakukan suatu perilaku
tertentu dalam kehidupannya. Norma subyektif ini mengacu pada keyakinan
tentang apakah kebanyakan orang menyetujui atau menolak perilaku. Hal ini
terkait dengan keyakinan seseorang tentang apakah rekan-rekan dan orangorang yang penting bagi orang berpikir dia harus terlibat dalam perilaku.
Contohnya adalah etika profesi seorang auditor yang menyangkut keyakinan
pada kode etik atau standar yang telah berlaku selama melakukan
pemeriksaan.
3) Control beliefs, yaitu keyakinan atas keberadaan hal-hal yang mendukung
atau menghambat perilaku yang ditampilkan dan persepsinya tentang seberapa
kuat hal-hal tersebut mendukung atau menghambat perilakunya (perceived
power). Hal yang mungkin menghambat saat perilaku ditampilkan dapat
16
berasal dari diri pribadi maupun dari eksternal, faktor lingkungan. Dalam
TRA, variabel ini belum ada, maka ditambahkan pada TPB, disebut dengan
perceived behavioral control (kontrol perilaku). Kontrol keperilakuan yang
dirasakan dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan seseorang
mengenai sulit atau tidaknya untuk melakukan perilaku tertentu (Azwar,
2003).
Secara beruntun, behavioral belief menghasilkan sikap positif atau negatif
terhadap suatu obyek, normative belief menghasilkan tekanan sosial yang
dipersepsikan (perceived social pressure) atau norma subjektif (subjektive norm),
dan control belief menimbulkan perceived behavioral control atau kontrol
keperilakuan yang dipersepsikan (Ajzen, 2002). Putri (2013) dalam Rachmadi
(2014), mengungkapkan bahwa niat perilaku (behavioral intention) yang
mengakibatkan individu berperilaku (behavioral). Jadi, dapat disimpulkan bahwa
dengan semakin baik sikap dan perilaku individu yang sejalan dengan persepsi
etis yang dirasakan dalam menjalankan profesinya, seperti menjalankan etika atau
standar yang berlaku dalam profesi akuntansi, maka tindakan pelanggaran yang
dapat terjadi akan semakin rendah.
2.1.2
Teori Perkembangan Moral Kognitif
Kohlberg melakukan penelusuran perkembangan pemikiran remaja dan
young adults pada tahun 1969. Dalam penelitiannya, Kohlberg meneliti cara
berpikir anak-anak melalui pengalaman mereka yang meliputi pemahaman konsep
moral, misalnya konsep justice, rights, equality, dan human welfare. Pada tahun
1963, Kohlberg melakukan riset awal yang dilakukan pada anak-anak usia 10-16
17
tahun. Berdasarkan riset tersebut Kohlberg mengemukakan teori perkembangan
moral kognitif (Cognitive Moral Development). Perkembangan moral individu
menurut Kohlberg (1969), didasarkan pada konsep bahwa individu akan berada
pada tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi sejalan dengan perkembangan
umur serta pendidikannya.
Menurut prospektif perkembangan moral kognitif, kapasitas moral
individu menjadi lebih sophisticated dan kompleks jika individu tersebut
mendapatkan tambahan struktur moral kognitif pada setiap peningkatan level
pertumbuhan perkembangan moral. Pertumbuhan eksternal berasal dari rewards
dan punishment yang diberikan, sedangkan pertumbuhan internal mengarah pada
principle dan universal fairness (Kohlberg,1969). Kohlberg mengidentifikasi tiga
level perkembangan moral yang terdiri atas: Pre-Conventional, Conventional dan
Post-Conventional atau Principled.
Menurut Ponemon (1992) terdapat enam tingkatan dalam Teori Kohlberg.
Tingkat satu dan dua dari perkembangan moral, disebut dengan Pre-convetional,
orang-orang
(biasanya
anak-anak)
membuat
keputusan-keputusan
moral
berdasarkan pada imbalan dan hukuman. Pada tingkat tiga dan empat disebut
Convetional, dalam tahap ini sesorang sudah memperhatikan aturan-aturan sosial
dan kebutuhan-kebutuhan sesama. Tingkat terakhir, yaitu lima dan enam disebut
Post-Conventional, di mana kebaikan bagi masyarakat telah dimasukkan dalam
pemikiran moral. Berikut uraian dari enam tingkatan dalam teori Kohlberg.
18
1) Pre-Conventional
Terdiri atas tingkat pertama yang berorientasi pada hukum dan ketaatan.
Pada tahap ini konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan
oleh kebaikan atau keburukan tindakan itu sendiri. Alasan anak untuk
melakukan hal yang baik adalah untuk menghindari hukuman atau
menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar. Selanjutnya pada
tingkat kedua, berorientasi pada instrumen dan relativitas. Pada tahap ini,
tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrumen untuk
memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang
dipedulikan anak itu (Nugroho, 2008 dalam Widyaningrum, 2014).
2) Conventional
Terdiri atas tingkat ketiga yang berorientasi pada kesesuaian interpersonal.
Perilaku yang baik pada tahap konvensional ini adalah memenuhi ekspetasi
mereka dari mana dia merasakan loyalitas, afeksi, dan kepercayaan, seperti
keluarga dan teman. Tindakan yang benar merupakan penyesuaian terhadap
apa yang diharapkan secara umum dan perannya sebagai anak, saudara,
teman yang baik, dan sebagainya. Melakukan apa yang baik dimotivasi oleh
kebutuhan untuk dapat dilihat sebagai pelaku yang baik dalam
pandangannya sendiri dan pandangan orang lain. Tingkat keempat
berorientasi pada hukum dan keteraturan. Benar dan salah pada tahap
konvensional yang lebih dewasa kini ditentukan oleh loyalitas terhadap
negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Seseorang sekarang
dapat melihat orang lain sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih besar
19
yang mendefinisikan peran dan kewajiban individu, dan dia dapat
memisahkan norma-norma yang berasal dari site mini, relasi interpersonal
dan motif-motif pribadi (Nugroho, 2008 dalam Widyaningrum, 2014).
3) Post-Conventional atau Principled
Terdiri atas tingkat kelima yang berorientasi pada kontrak sosial. Seseorang
menjadi sadar bahwa mempunyai hubungan beragam pandangan dan
pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk
mencapai konsensus dalam kesepahaman, kontrak, dan proses matang. Dia
percaya bahwa nilai dan norma bersifat relatif, dan terlepas dari konsekuensi
demokratis, semua hendaknya diberi toleransi. Tingkat keenam, berorientasi
pada prinsip etis universal. Pada tahap terakhir ini, tindakan yang benar
didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang dipilih karena
komprehensivitas, universalitas, dan konsistensinya. Prinsip etis ini
merupakan prinsip umum yang abstrak yang berkaitan dengan keadilan,
kesejahteraan masyarakat, kesetaraan hak asasi manusia, rasa hormat
terhadap martabat manusia individual, dan ide bahwa manusia bernilai pada
dirinya dan harus diperlakukan demikian. Alasan seseorang untuk
melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap prinsipprinsip moral tersebut dan dia melihatnya sebagai kriteria untuk
mengevaluasi semua aturan dan tatanan moral yang lain (Nugroho, 2008
dalam Widyaningrum, 2014).
Perkembangan moral merupakan karakteristik personal yang dipengaruhi
faktor kondisional, hal ini terlihat bahwa perkembangan moral berkembang
20
selaras dengan bertambahnya usia, di mana diasumsikan bahwa seseorang
semakin banyak mendapatkan pengalaman dengan bertambahnya usia. Semakin
baik perkembangan moral seseorang, maka semakin dapat berperilaku etis
(Trevino dan Youngblood, 1990 dalam Widyaningrum, 2014).
2.1.3
Teori Motivasi
Menurut Handoko (2001: 135) dalam Suprihatiningrum dan Bodroastuti
(2012), motivasi adalah suatu daya pendorong yang menyebabkan orang berbuat
sesuatu atau hal yang diperbuat dikarenakan takut akan sesuatu. Sedangkan
menurut Sardiman (2003: 198) motivasi adalah perubahan energi dalam diri
seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan
tanggapan terhadap adanya tujuan. Ada beberapa teori terkait dengan motivasi,
salah satu di antaranya adalah Teori Hierarki Kebutuhan Maslow. Sari (2009)
memaparkan bahwa dalam teori hierarki kebutuhan maslow, manusia akan
terdorong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang terdiri atas.
1) Fisiologis atau kebutuhan dasar, seperti kebutuhan akan sandang
(pakaian), pangan (makan dan minum), dan papan (tempat tinggal).
2) Rasa aman atau kebutuhan akan perlindungan dan bebas dari ancaman
dan kekhawatiran diri.
3) Kebutuhan sosial atau kebutuhan untuk berinteraksi dan berinteraksi
dengan lingkungan sekitar.
4) Penghargaan adalah kebutuhan untuk dihargai atau dipuji atas hasil kerja
atau usahanya.
21
5) Aktualisasi diri adalah kebutuhan akan pengakuan dari orang lain akan
kompetensi yang dimilikinya.
Berdasarkan penjelasan mengenai teori hierarki kebutuhan maslow, dapat
disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan individu didasari karena adanya
motivasi untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat berkaitan dengan
keputusan atau tindakan etis individu. Beberapa faktor yang berpengaruh pada
keputusan atau tindakan tidak etis dalam sebuah perusahaan, menurut Jan
Hoesada (2002) dalam Yeltsinta (2013), yaitu kebutuhan individu, tidak adanya
pedoman dalam diri individu, perilaku serta kebiasaan yang dilakukan oleh
individu, lingkungan tidak etis di sekitar individu, perilaku atasan yang
mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tidak etis atau mengambil
keputusan tidak etis.
Vroom (1964) mengajukan teori lain yang disebut dengan Teori Harapan
(Expectancy Theory). Konsep utama dari teori ini menitikberatkan pada perilaku
tenaga kerja akan imbalan yang diharapkan akan diperolehnya. Istilah yang harus
dimengerti sebelum memahami teori ini adalah Hasil Tingkat Pertama dan Hasil
Tingkat Kedua. Hasil tingkat pertama adalah pandangan atau perilaku yang
muncul sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Sedangkan hasil
tingkat kedua adalah peristiwa yang mungkin ditimbulkan oleh hasil tingkat
pertama (Supriyanto dan Mahfudz, 2010).
Teori harapan berpegang pada motivasi untuk berperilaku yang
menghasilkan kombinasi keinginan yang diharapakan sebagai hasil. Persepsi
memainkan peran inti dalam teori harapan karena persepsi menekankan
22
kemampuan kognitif untuk mengantisipasi konsekuensi perilaku yang cenderung
terjadi. Teori harapan mendasari prinsip hedonisme. Orang yang berprinsip
hedonis berjuang memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan rasa sakit
(Kreitner dan Kinicki, 2003).
Secara umum, teori harapan dapat digunakan untuk memperkirakan
perilaku setiap situasi di mana ada dua pilihan alternatif atau lebih yang harus
dibuat (Kreitner dan Kinicki, 2003). Sebagai contoh, teori harapan dapat
digunakan untuk memperkirakan persepsi etis mahasiswa akuntansi dengan cara
mengidentifikasi hal-hal apa yang akan diperoleh apabila mengutamakan tindakan
etis yang diambil dalam menjalankan pekerjaannya, dan apakah hasil yang
diperoleh telah memenuhi kebutuhan individu tersebut.
2.1.4
Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ethos (bentuk tunggal)
yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak,
perasaan, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya adalah ta etha, yang berarti adat
istiadat. Dalam hal ini, kata etika sama pengertiannya dengan moral. Moral
berasal dari bahasa Latin yaitu mos (bentuk tunggal) dan mores (bentuk jamak)
yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, watak, tabiat, akhlak, cara hidup
(Kanter, 2001 dalam Agoes dan Ardana, 2009: 26).
Etika merupakan pedoman, patokan, atau ukuran berperilaku yang tercipta
melalui konsensus atau keagamaan atau kebiasaan yang didasarkan pada nilai baik
dan buruk (Desriani, 1993 dalam Ustadi, 2005). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008), etika diartikan sebagai nilai mengenai benar dan salah yang
23
dianut suatu golongan atau masyarakat. Bertenz (1994) dalam Pradanti (2014),
mengasumsikan etika sebagai sesuatu yang absolut atau tidak bisa ditawar-tawar
lagi, yang benar akan mendapat pujian dan jika salah maka harus mendapatkan
hukuman.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa ternyata etika
mempunyai banyak arti. Namun demikian, menurut Agoes dan Ardana (2009:27),
setidaknya arti etika dapat dilihat dari dua hal berikut.
a) Etika sebagai praksis; sama dengan moral atau moralitas yang berarti adat
istiadat, kebiasaan, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam
kelompok atau masyarakat.
b) Etika sebagai ilmu atau tata susila adalah pemikiran/penilaian moral. Etika
sebagai pemikiran moral bisa saja mencapai taraf ilmiah bila proses
penalaran terhadap moralitas tersebut bersifat kritis, metodis, dan
sistematis. Dalam taraf ini ilmu etika dapat saja mencoba merumuskan
suatu teori, konsep, asas, atau prinsip-prinsip tentang perilaku manusia
yang dianggap baik atau tidak baik, mengapa perilaku tersebut dianggap
baik atau tidak baik, mengapa menjadi baik itu sangat bermanfaat, dan
sebagainya.
Menurut Siagian (1996) dalam Utami dan Indriawati (2006) menyebutkan
bahwa ada empat alasan mengapa mempelajari etika sangat penting. Pertama,
etika memandu manusia dalam memilih berbagai keputusan yang dihadapi dalam
kehidupan. Kedua, etika merupakan pola perilaku yang didasarkan pada
kesepakatan nilai-nilai sehingga kehidupan yang harmonis dapat tercapai. Ketiga,
24
dinamika dalam kehidupan manusia menyebabkan perubahan nilai-nilai moral
sehingga perlu dilakukan analisa dan ditinjau ulang. Keempat, etika mendorong
tumbuhnya naluri moralitas dan mengilhami manusia untuk sama-sama mencari,
menentukan dan menerapkan nilai-nilai hidup yang hakiki.
Etika berhubungan langsung dengan kode etik profesi. Dalam kode etik
profesi akuntan yang tertuang dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)
yang mengatur tentang etika yang harus dipatuhi oleh akuntan. Peraturan yang
harus dipatuhi yang menyangkut tentang tanggung jawab kepada karyawan,
pemegang
saham,
pelanggan,
dan
lingkungan
sekitar
(Langlois
dan
Schlegelmilch, 1990 dalam Mcdonald, 2009). Menurut Keraf (1998) dalam
Hutahahean (2015), ada dua sasaran pokok dari kode etik, yaitu pertama, kode
etik ini bermaksud untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan
oleh kelalaian, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dari para professional
yang mengerjakan tugasnya. Kedua, kode etik ini bertujuan untuk melindungi
keluhuran profesi tersebut dari perilaku-perilaku buruk orang-orang tertentu yang
mengaku dirinya profesional
2.1.5
Persepsi
Persepsi berasal dari kata perception (Inggris) yang berasal dari bahasa
Latin percipare yang artinya menerima atau mengambil (Sobur, 2003:445).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mendefinisikan persepsi adalah: (1)
tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu, serapan dan (2) proses seseorang
mengetahui beberapa hal melalui pancainderanya. Sementara itu, dalam lingkup
yang lebih luas, persepsi merupakan suatu proses yang melibatkan pengetahuan-
25
pengetahuan sebelumnya dalam menginterpretasikan stimulus yang ditunjukkan
oleh pancaindra (Lubis, 2010: 93).
Persepsi adalah bagaimana orang-orang melihat atau menginterprestasikan
peristiwa, obyek, serta manusia (Siegel, 1989). Persepi etis dalam penelitian ini
diartikan sebagai pandangan seseorang dalam melihat kecurangan akuntansi yang
terjadi. Robbins dan Judge (2008:175) dalam Hutajulu (2012) menyatakan bahwa
setiap individu menunjukkan perbedaan pandangan akan suatu hal yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi persepsi terdiri dari
3 faktor yaitu: faktor pemersepsi, faktor situasi, dan faktor obyek. Faktor-faktor
yang mempengaruhi persepsi seseorang dapat berada pada pihak pelaku persepsi,
pada obyek yang dipersepsikan, juga dalam konteks situasi di mana persepsi itu
dilakukan. Berikut disajikan bagan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
menurut Robbins dan Judge (2008) pada Gambar 2.1, yaitu.
26
Gambar 2.1 Bagan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Faktor
pemersepsi :
1. Sikap
2. Motif
3. Minat
4. Pengalaman
5. Harapan
Faktor situasi :
1. Waktu
2. Keadaan kerja
3. Keadaan sosial
Persepsi
Faktor Obyek :
1. Sesuatu yang baru
2. Gerakan
3. Suara
4. Ukuran
5. Latar belakang
6. Kedekatan
7. Kemiripan
Sumber: Robbins dan Judge (2008)
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Robbins dan Judge (2008:176)
faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi di dalam penelitian ini berkaitan
dengan variabel indenpenden yang meliputi gender, usia, tingkat pendidikan, dan
status sosial ekonomi. Variabel usia, dan gender masuk dalam kategori keadaan
sosial yang termasuk dalam faktor situasi. Variabel tingkat pendidikan masuk
dalam kategori pengalaman yang termasuk faktor pemersepsi. Variabel status
sosial ekonomi masuk dalam kategori latar belakang yang termasuk faktor obyek.
27
2.1.6
Gender
Menurut Bukhari (2006) dalam Al-Fitrie (2015), kata “gender” berasal
dari bahasa Inggris, yang berarti “jenis kelamin”, namun sebenarnya arti tersebut
kurang tepat, dengan demikian gender disamakan pengertiannya dengan sex yang
berarti jenis kelamin. Santrock (2002) mengemukakan bahwa istilah gender dan
sex memiliki perbedaan dari segi dimensi. Istilah sex (jenis kelamin) mengacu
pada dimensi biologis seorang laki-laki dan perempuan, sedangkan gender
mengacu pada dimensi sosial-budaya seorang laki-laki dan perempuan, apa
artinya menjadi laki-laki atau perempuan.
Narwoko dan Suyanto (2004: 334) menyebutkan bahwa gender adalah
konsep hubungan sosial yang membedakan (memilahkan atau memisahkan)
fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan fungsi dan peran
antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat
perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi,
dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan
yang tampak antara pria dan wanita dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam
Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep kultural
yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat.
Menurut Ika (2011), gender adalah perbedaan perilaku antara pria dan
wanita yang dikonstruksi secara sosial, yaitu perbedaan yang bukan ketentuan dari
28
Tuhan, melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang
panjang. Hastuti (2007) berpendapat bahwa gender merupakan suatu konsep
kultural yang membedakan antara pria dan wanita dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional di kalangan masyarakat. Perbedaan inilah
yang mengakibatkan antara pria dan wanita memiliki penilaiannya sendiri dalam
mengelola, mencatat, dan mengkomunikasikan hal atau informasi menjadi suatu
hasil. Perbedaan nilai dan sifat berdasarkan gender biasanya akan mempengaruhi
laki-laki dan perempuan dalam membuat keputusan. Laki-laki akan bersaing
untuk mencapai kesuksesan dan lebih cenderung untuk mengabaikan aturanaturan yang ada karena mereka memandang pencapaian prestasi sebagai suatu
persaingan, sedangkan perempuan lebih menitikberatkan pada pelaksanaan tugas
dengan baik sesuai aturan-aturan yang berlaku dan menjaga hubungan kerja yang
harmonis.
Adapun konsep gender yang dikemukakan oleh Fakih (2008: 8)
menyatakan bahwa pengertian konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,
emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan,
perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu
dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Jadi, dalam hal pengetahuan,
pengalaman, independensi dan lain sebagainya, baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai potensi yang sama sesuai dengan usaha yang dilakukan. Karena hal
29
ini tidak berkenaan dengan kodrat manusia, namun lebih kepada kemampuan
berdasarkan sifat seseorang baik laki-laki maupun perempuan.
Pandangan mengenai gender juga dihubungkan dengan maskulinitas dan
feminitas. Sifat-sifat maskulin diidentifikasi sebagai sifat-sifat pria yaitu sifat
superioritas, keras serta sifat kuat yang cenderung mempunyai konotasi positif
dalam dunia kerja. Sifat-sifat seorang pemimpin sering diidentifikasi sebagai sifat
maskulin. Hal ini berkebalikan dengan sifat-sifat feminin. Beberapa hasil riset
membuktikan bahwa pada umumnya suatu organisasi atau instituti dipimpin oleh
laki-laki sebab secara psikologis laki-laki dalam menghadapi suatu permasalahan
atau konflik mereka akan cenderung mengedepankan sikap dan perilaku lebih
rasional daripada wanita. Semua tindakan dan keputusan yang diambil selalu
dipertimbangkan secara rasional dan sedikit sekali menggunakan sifat emosional.
Dalam menghadapi situasi konflik audit, auditor pria mempunyai sikap dan
perilaku yang lebih etis dengan tetap mengedepankan pemikiran-pemikiran yang
rasional serta proses pengambilan keputusan melibatkan logika dan pertimbangan
etis mereka (Hidayat dan Handayani, 2010 dalam Arianti, 2012).
Hofstede (1983) membedakan secara umum dimensi budaya yang
berpengaruh pada nilai-nilai kerja suatu organisasi, salah satunya adalah
masculinity-feminity, di mana dimensi ini berkaitan dengan perbedaan peran
gender. Budaya yang cenderung maskulin memiliki ciri lebih mementingkan harta
milik, kompetensi, dan kinerja, sedangkan feminin lebih mementingkan
kesetaraan, solidaritas, dan kualitas kehidupan kerja (Putri, 2011).
30
Berikut ini disajikan dalam Tabel 2.1 ciri-ciri yang menggambarkan masculinityfeminity dari dimensi budaya yang dimaksudkan oleh Hofstede (1983).
Tabel 2.1 Karakteristik Maskulin dan Feminin dalam Budaya Organisasi
Maskuline
Feminine
1) Orang hidup untuk kerja.
1) Orang bekerja agar bisa hidup.
2) Manajer diharapkan seorang yang 2) Manajer adalah orang yang intuitif
tegas dalam mengambil keputusan
dan
mengambil
keputusan
dan asertif.
berdasarkan konsesus.
3) Menekankan
harta
milik, 3) Menekankan pentingnya kesetaraan,
kompetensi, dan kinerja.
solidaritas, dan kualitas kehidupan
4) Cara menyelesaikan konflik dengan
kerja.
adu argumentasi.
4) Cara menyelesaikan konflik dengan
kompromi dan negosiasi.
Sumber: Hofstede et al. (1983) dalam Putri (2011)
Maskulinitas vs femininitas, merupakan dimensi kebudayaan yang
menunjukkan bahwa dalam tiap masyarakat terdapat peran yang berbeda-beda
tergantung perbedaan jenis para anggotanya. Pada masyarakat maskulin,
menganggap pria harus lebih berambisi, suka bersaing, dan berani menyatakan
pendapatnya, dan cenderung berusaha mencapai keberhasilan material. Dalam
masyarakat feminin, kaum pria diharapkan untuk lebih memperhatikan kualitas
kehidupan dibandingkan dengan keberhasilan materalitas. Lebih jauh dijelaskan
bahwa masyarakat dari sudut pandang maskulinitas adalah masyarakat yang lebih
menggambarkan sifat kelaki-lakian, sedangkan masyarakat femininitas lebih
menggambarkan sifat kewanitaan. Jadi, sudut pandangnya bukan dari sudut jenis
kelamin (Hofstede, 1980 dalam Armia, 2002).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan pula bahwa perbedaan
sifat maskulin dan feminin mampu mempengaruhi persepsi etis seseorang, di
mana pada masyarakat maskulin cenderung dapat memiliki perilaku yang tidak
31
etis karena dalam sifat maskulin memiliki karakter yang mementingkan karir,
harta milik, kompetensi, maupun kinerja, lebih berambisi, suka bersaing, dan
cenderung berusaha mencapai keberhasilan material. Sehingga dengan adanya
karakter tersebut, maka pada masyarakat yang maskulin cenderung dapat
merasionalkan perilaku tidak etis sebagai tindakan etis.
2.1.7
Usia
Usia atau umur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah lama
waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan). Usia adalah salah satu
aspek demografi yang berdampak pada tingkat pemikiran etisnya. Menurut
Coombe dan Newman (1997) dalam Comunale et al. (2006), individu yang
usianya lebih muda cenderung kurang fokus terhadap isu etis dibandingkan rekan
kerja mereka yang lebih tua. Hal ini terjadi karena bertambahnya usia seseorang,
mereka menjadi lebih moralistik (Sankaran dan Bui, 2003). Usia seseorang akan
meningkat pada suatu langkah yang lebih tinggi dalam pengembangan moral
(Lawrence dan Shaub, 1997). Maksudnya seseorang yang memiliki usia yang
lebih tua akan mempunyai perilaku dan nilai-nilai etis yang lebih tinggi dibanding
yang usianya jauh lebih muda. Dengan bertambahnya usia maka pengalaman
hidup akan semakin tinggi sehingga dapat mempengaruhi pola pikir seseorang.
Hal ini selaras dengan perkembangan moral yang terjadi. Semakin baik
perkembangan moral seseorang, maka semakin dapat berperilaku etis (Trevino L.,
1992). Artinya, orang-orang cenderung lebih etis saat mereka tumbuh dewasa.
Penelitian Thoma (1984) dalam Chan dan Leung (2006), menyatakan
bahwa usia berhubungan dengan pertimbangan etika individu. Comunale et al.
32
(2006) meneliti tentang pengaruh usia terhadap reaksi mahasiswa dalam rencana
karirnya di bidang akuntansi setelah mengetahui skandal akuntansi yang terjadi
dan hasilnya menunjukkan bahwa usia secara signifikan mempengaruhi opini
mahasiswa akuntansi terhadap akuntan dalam skandal keuangan.
2.1.8
Tingkat Pendidikan
Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah proses
perubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional, menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Definisi tingkat pendidikan atau jenjang pendidikan dalam UU RI No. 20
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional adalah tahapan pendidikan yang
ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan
dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Jenjang pendidikan formal terdiri
atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Dalam
penelitian ini menggunakan mahasiswa akuntansi sebagai subyek penelitian,
dengan demikian penelitian ini menggunakan jenjang pendidikan tinggi dalam
pendidikan formal.
33
Penelitian Normadewi (2012) dan Widyaningrum (2014) menemukan
bahwa tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap persepsi etis mahasiswa
akuntansi. Hal ini dapat dikarenakan semakin tinggi tingkat pendidikan, maka
pengetahuan yang dimiliki juga akan semakin meningkat. Semakin banyak
pengetahuan yang mereka ketahui, maka akan dapat mempengaruhi persepsi etis
mereka.
2.1.9
Status Sosial Ekonomi
W.S. Winke (1991) dalam Basrowi (2010) menyatakan bahwa status sosial
ekonomi mempunyai makna suatu keadaan yang menunjukkan pada kemampuan
finansial keluarga dan perlengkapan material yang dimiliki. Gerungan (1983: 181)
dalam Salmah (2013) menyatakan bahwa status sosial ekonomi adalah gambaran
tentang keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial
dan ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan
sebagainya.
Menurut Noe et al. (1994) dalam Ginting (2003), setiap individu di dalam
melakukan suatu pekerjaan pada dasarnya memiliki motivasi yang berbeda-beda.
Namun, motif yang utama adalah imbalan dan status yang lebih tinggi. Tujuan
yang sama ini akan melahirkan kompetisi dalam pencapaiannya. Oleh karena itu,
kemungkinan seseorang dalam melakukan perilaku yang tidak etis dalam keadaan
status sosial ekonomi yang berbeda dapat terjadi.
Prasastianta (2011) dalam Sipayung (2015), menguji faktor yang
mendorong perilaku ekonomi, salah satu faktornya adalah status sosial ekonomi.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi status sosial
34
ekonomi seseorang maka ia condong untuk berperilaku konsumtif. Status sosial
ekonomi seseorang juga berhubungan dengan perilaku etisnya. Biasanya
seseorang yang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi cenderung berperilaku
tidak etis karena status sosial yang dimiliki membuatnya hanya memikirkan
kepentingannya sendiri.
2.2
Rumusan Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh gender terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi
Hofstede (1983) dalam Putri (2011) membedakan secara umum dimensi
budaya yang berpengaruh pada nilai-nilai kerja suatu organisasi, salah satunya
adalah masculinity-feminity, di mana dimensi ini berkaitan dengan perbedaan
peran
gender.
Budaya
yang
cenderung
maskulin
memiliki
ciri
lebih
mementingkan harta milik, kompetensi, dan kinerja, sedangkan feminin lebih
mementingkan kesetaraan, solidaritas, dan kualitas kehidupan kerja. Sifat-sifat
maskulin diidentifikasi sebagai sifat-sifat pria yaitu sifat superioritas, keras serta
sifat kuat yang cenderung mempunyai konotasi positif dalam dunia kerja. Hal ini
berkebalikan dengan sifat-sifat feminin, yang diidentifikasikan sebagai sifat
wanita.
Hidayat dan Handayani (2010), menjelaskan bahwa dalam menghadapi
situasi konflik audit, auditor pria mempunyai sikap dan perilaku yang lebih etis
dengan tetap mengedepankan pemikiran-pemikiran yang rasional serta proses
pengambilan keputusan melibatkan logika dan pertimbangan etis mereka.
Sedangkan pada penelitian Hamzah dan Paramitha (2008), tentang efek dari
perbedaan faktor-faktor individual dalam kemampuan menerima perilaku etis atau
35
tidak etis, di mana salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan
lebih etis dibanding laki-laki. Ini dikarenakan perempuan cenderung mempunyai
perasaan yang kuat sehubungan dengan masalah-masalah etis dibanding laki-laki.
Hastuti (2007) berpendapat bahwa gender merupakan suatu konsep
kultural yang membedakan antara pria dan wanita dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional di kalangan masyarakat. Perbedaan inilah
yang mengakibatkan antara pria dan wanita memiliki penilaiannya sendiri dalam
mengelola, mencatat, dan mengkomunikasikan hal atau informasi menjadi suatu
hasil. Perbedaan nilai dan sifat berdasarkan gender biasanya akan mempengaruhi
laki-laki dan perempuan dalam membuat keputusan.
Berdasarkan penjelasan di atas dan beberapa hasil penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, bahwa perbedaan peran gender memiliki pengaruh
terhadap persepsi etis, maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut.
H1: Perbedaan peran gender (maskulin-feminin) berpengaruh terhadap persepsi
etis mahasiswa akuntansi
2.2.2
Pengaruh usia terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi
Usia seseorang dinyatakan mempunyai dampak terhadap pemikiran
etisnya. Individu yang lebih muda cenderung kurang fokus terhadap isu etis
dibandingkan rekan kerja mereka yang lebih tua (Coombe dan Newman, 1997).
Dengan bertambahnya umur seseorang, mereka akan menjadi lebih moralistik
(Sankaran dan Bui, 2003). Penelitian Comunale et al. (2006) yang meneliti
tentang pengaruh umur untuk mengetahui reaksi mahasiswa serta rencana berkarir
mereka di bidang akuntansi setelah mengetahui skandal akuntansi yang terjadi,
36
menemukan hasil bahwa umur mempengaruhi opini mahasiswa akuntansi
terhadap akuntan dalam skandal keuangan. Hal ini didukung oleh penelitian
Thoma (1984) dalam Chan dan Leung (2006) yang menyatakan bahwa variabel
umur berhubungan dengan pertimbangan etika individu.
Perkembangan moral merupakan karakteristik personal yang dipengaruhi
faktor kondisional, hal ini terlihat bahwa perkembangan moral berkembang
selaras dengan bertambahnya usia, di mana diasumsikan bahwa seseorang
semakin banyak mendapatkan pengalaman dengan bertambahnya usia. Semakin
baik perkembangan moral seseorang, maka semakin dapat berperilaku etis
(Trevino dan Youngblood, 1990). Artinya, orang-orang cenderung lebih etis saat
mereka tumbuh dewasa. Dalam penelitian Widyaningrum (2014), menyatakan
bahwa usia berpengaruh signifikan terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi
dengan arah yang positif. Artinya mahasiswa akuntansi yang berusia lebih tua
memiliki persepsi yang lebih etis.
Berdasarkan penjelasan di atas dan beberapa hasil penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, bahwa usia memiliki pengaruh positif terhadap persepsi
etis, maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut.
H2: Usia berpengaruh positif terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi.
2.2.3
Pengaruh tingkat pendidikan terhadap persepsi etis mahasiswa
akuntansi
Teori Kohlberg (1981) menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki
tingkat pendidikan lebih tinggi dapat memahami masalah yang lebih kompleks
sehingga akan menyebabkan tingkat penalaran moral lebih baik. Berdasarkan teori
37
tersebut, para peneliti sering menghubungkan ke arah positif antara tingkat
pendidikan dan persepsi etika. Penelitian Normadewi (2012) dan Widyaningrum
(2014) menemukan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi persepsi etis
mahasiswa akuntansi, hal ini dikarenakan semakin tinggi tingkat pendidikan,
pengetahuan yang dimiliki juga akan meningkat. Semakin banyak pengetahuan
yang mereka ketahui maka akan membantu mereka untuk bisa memberikan
persepsi maupun tanggapan terhadap krisis etika yang melibatkan profesi akuntan.
Pengetahuan yang didapatkan selama menempuh pendidikan yang dimiliki oleh
mahasiswa akuntansi akan mempengaruhi persepsi etis mereka. Seseorang yang
berpendidikan tinggi dianggap memiliki etika yang tinggi serta penalaran moral
yang tinggi.
Dellaportas (2006) dalam Elias (2010) menemukan bahwa pendidikan
etika memiliki dampak positif yang signifikan terhadap etika mahasiswa
akuntansi. Hal ini berarti mahasiswa dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan
cenderung berperilaku lebih etis dibandingkan mahasiswa dengan tingkat
pendidikan yang lebih rendah.
Berdasarkan penjelasan di atas dan beberapa hasil penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, bahwa tingkat pendidikan memiliki pengaruh posistif
terhadap persepsi etis, maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut.
H3: Tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap persepsi etis mahasiswa
akuntansi.
38
2.2.4
Pengaruh status sosial ekonomi terhadap persepsi etis mahasiwa
akuntansi
Menurut Noe et al. (1994) dalam Ginting (2003: 13), setiap individu
dalam melakukan suatu pekerjaan pada dasarnya memiliki motivasi yang berbedabeda. Kemungkinan seseorang dalam melakukan perilaku yang tidak etis dalam
keadaan status sosial ekonomi yang berbeda dapat terjadi.
Penelitian yang dilakukan oleh Erni (2013) menyatakan bahwa seseorang
dengan penghasilan yang tinggi akan memiliki tingkat konsumsi yang tinggi pula,
sedangkan seseorang dengan penghasilan rendah cenderung memiliki tingkat
konsumsi yang rendah pula. Prasastianta (2011) dalam Sipayung (2015) menguji
faktor yang mendorong perilaku ekonomi, salah satu faktornya adalah status
sosial ekonomi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi
status sosial ekonomi seseorang, maka ia condong untuk berperilaku konsumtif.
Hal ini dapat berhubungan dengan perilaku etisnya, karena biasanya seseorang
yang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi dan berperilaku konsumtif,
cenderung dapat berperilaku tidak etis.
Berdasarkan penjelasan di atas dan beberapa hasil penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, bahwa status sosial ekonomi memiliki pengaruh negatif
terhadap persepsi etis, maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut.
H4: Status sosial ekonomi berpengaruh negatif terhadap persepsi etis mahasiswa
akuntansi.
39
Download