etika murid terhadap guru

advertisement
ETIKA MURID TERHADAP GURU
(Analisis Kitab Ta’lim Muta’allim Karangan Syaikh Az-Zarnuji)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh:
ANISA NANDYA
NIM. 11109014
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2013
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Anisa nandya
NIM
: 11109014
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Menyatkan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri
bukan kutipan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat
dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 21 September 2013
Yang Menyatakan
ANISA NANDYA
iii
KEMENTERIAN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323706 Fax 323433 Salatiga 50721
Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail : [email protected]
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp
: 4 Eksemplar
Hal
: Naskah Skripsi
Saudari
: Anisa Nandya
Kepada
Yth. Ketua STAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamualaikum Wr. Wb
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya maka bersama ini, kami
kirimkan naskah skripsi saudari :
Nama
: Anisa Nandya
Nim
: 111 09 014
Jurusan/Progdi: Tarbiyah/Pendidikan Agama Islam
Judul
:ETIKA MURID TERHADAP GURU
(Analisis Kitab Ta’lim Muta’allim Karangan Syaikh Imam Az-Zarnuji)
Dengan ini kami memohon supaya skripsi saudari tersebut diatas supaya segera
dimunaqosahkan.
Demikian agar menjadi maklum
Wassalamualaikum Wr.Wb
iv
KEMENTERIAN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323706 Fax 323433 Salatiga 50721
Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail : [email protected]
DEKLARASI
‫ـــــــــ‬
ِ ‫ال‬
ْ ِ
َ ْ ‫ال‬
َ ‫ـــــــــ‬
َ ‫ـــــــــ الَــــــــ ِـ‬
ِ
ِ
ِ
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, peneliti menyatakan bahwa skripsi ini
tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau pernah diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat
dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Apabila dikemudian hari ternyata terdapat materi atau pikiran-pikiran orang lain di
luar referensi yang peneliti cantumkan maka peneliti sanggup mempertanggung jawabkan
kembali keaslian skripsi ini dihadapan sidang munaqosah skripsi.
Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dimaklumi.
Salatiga, 21 September 2013
Penulis
Anisa Nandya
111 09 014
vi
MOTTO
ِِْ ُ ِ ُ
ََ
ً ‫ َ َ ْ َج َ ُ ِح ْف‬# ِ ِ َ ‫ق َح اق ْ ُل‬
ِ ‫َا َ ْتُ َ َح اق ْ َح‬
ٍ ‫ ِ َ ْ ِ ْ ِ َح ْ ٍ َ ح‬# َ َ َ َ ِ ْ َ ِ ‫َقَ ْ َح اق َ ْ ُ ْ ى‬
ُ ْ َ ‫شا‬
ِ ‫ف ا ِْا َه‬
“Tidak ada hak yang lebih besar kecuali haknya guru. Ini wajib dipelihara oleh setiap orang
Islam. Sungguh pantas bila seorang guru yang mengajar, walau hanya satu huruf, diberi
hadiah seribu dirham sebagai tanda hormat padanya”.
vii
PERSEMBAHAN
Dengan segala puji bagi Allah
Aku persembahkan skripsi ini untuk:
1. Bapak K.H Muhammad Zoemri RWS dan keluarga,
2. Orang tuaku tercinta Bapak Zaenal Arifin dan Ibu Nur Hayati yang telah
mencurahkan segala pengorbanan dan do’a restunya tanpa tiada henti,
3. Adikku Rika Ayumi tercinta yang telah memberikan motivasi,
4. Dukungan dan teman-teman seperjuanganku di Al-Falah dan STAIN Salatiga terima
kasih atas persahabatannya selama ini,
5. Buat seseorang yang merupakan belahan jiwa yang telah memberikan motivasi dan
do’a restu.
viii
ABSTRAK
Nandya, Anisa, 2013. Etika Murid Terhadap Guru (Analisis Kitab Ta’lim Muta’allim
Karangan Syaikh Az-Zarnuji). Skripsi 2013. Jurusan Tarbiyah. Program
Studi Pendidikan Agama Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. H. Budihardjo, M.Ag.
Kata Kunci: Etika Murid Terhadap Guru, Kitab Ta’lim Muta’allim, Syaikh Az-Zarnuji.
Etika merupakan pilar utama dalam membangun sebuah sebuah tatanan kehidupan
manusia. Seseorang tidak akan bisa selamat, sebuah pendidikan tidak akan bisa tegak dan
kokoh, tanpa di topang oleh nilai-nilai etika yang baik dan mulia. Etika yang krisis pada
zaman sekarang menyadarkan kita semua untuk berlomba-lomba dalam memperbaikinya,
minimal dari diri sendiri. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui etika murid terhadap guru
dalam kajian kitab Ta’lim Muta’allim karangan Syaikh Az Zarnuji.
Skripsi ini merupakan jenis penelitian yang bersifat library research atau studi
kepustakaan. Data primer dan sekunder diperoleh memlalui penelitian keustakaan dengan alat
pengumpul data berupa metode dokumentasi. Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan
analisis. Adapun analisisnya dengan data kualitatif dengan tiga langkah yaitu metode
deduktif, dan content analisis.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu: pertama, etika adalah sesuatu
yang mebicarakan tentang kebiasaan manusia, tingkah laku atau perbuatan baik maupun
buruk. kedua nilai etika murid terhadap guru yang terdapat dalam kitab Ta’lim Muta’allim
antara lain: a). Hendaknya seorang murid tidak berjalan di depan seorang guru. b). Tidak
duduk di tempatnya, kecuali ada ijinnya. c). Tidak memulai bicara padanya kecuali dengan
ijinnya. d). Hendaknya tidak berbicara di depan guru. e). Tidak bertanya sesuatu bila guru
sedang capek atau bosan. f). Harus menjaga waktu. g). Jangan mengetuk pintunya, tapi
sebaliknya menunggu sampai beliau keluar. Ketiga relevansi kitab Ta’lim Muta’allim tentang
etika murid terhadap guru dalam konteks kekinian, etika murid yang ditawarkan oleh Syaikh
Az-Zarnuji memang tidak napudihek sketnok malad fisudnok nad nakparetid tapad aynaumes
namazsekarang. Ada beberapa yang tampaknya sulit untuk diterapkan, misalnya larangan
berbicara banyak dalam konteks pembelajaran
.Padahal konsep pembelajaran
nredom
m tutnunemurid untuk banyak berbicara, baik dalam rangka mengemukakan tapadnep,
tapadnep haggnaynem, nial nad nauhategnep utaus isitirkgnemsebagainya. Namun demikian,
untuk sebagan besar, etika murid yang dikemukakan oleh Az Zarnuji dalam kitabnya masih
rlevan dan dapat diaplikasikan dalam konteks pembelajaran saat ini. Misalnya, anjuran agar
murid senantiasa tekun, sungguh-sungguh, banyak beribadah, sopan santun, tidak mudah
putus asa.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya. Shalawat seta salam penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW,
sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Etika Murid Terhadap Guru (Analisis Kitab
Ta’lim Muta’allim Karangan Syaikh Az-Zarnuji)”.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa banyak bantuan yang telah
diberikan dari berbagain pihak, baik berupa material, maupun spiritual.
Selanjutnya penulis haturkan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada
yang terhormat:
1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag, selaku Ketua STAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Tarbiyah.
3. Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M.Si, selaku Ketua Program Studi PAI.
4. Bapak Prof. Dr. Budiharjo, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa
memberikan bimbingan dan arahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik.
5. Bapak Dr. M. Zulfa M., M.Ag, selaku dosen pembimbing akademik yang selalu
memberikan bimbingan dan motivasi untuk menjadi yang terbaik.
6. Pengasuh pondok pesantren Tarbiyatul Islam Al-Falah bapak KH. Zoemri RWS, yang
telah membina, mendidik dan mencurahkan ilmunya kepada penulis selama studi di
ponpes.
7. Bapakku Zaenal Arifin dan Ibuku Nur Hayati, yang telah mencurahkan pengorbanan
dan do’a restu yang tiada henti bagi keberhasilan studi penulis.
8. Nenekku Raswi dan Tarmiti, yang telah memberikan do’a restu bagi keberhasilan
penulis.
9. Adikku tercinta Rika Ayumi dan Muhammad Khairul Ma’arif yang telah memberikan
motivasi dan dorongan dalam skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat Al-Falah khususnya Asna Nafisah, Siti Malikhah, Khayaulin Najah,
Hanifah, Anis Nurur Rohmah, Amalia Yustika Sari, Mufidatul Latifah, Aeni
Muntafi’ah, dan Luthfia Damayanti terima kasih atas motivasi dan persahabatannya
selama ini.
11. Hamba Allah yang masih studi di STAIN Salatiga terima kasih atas motivasi, do’a,
dan inspirasinya.
12. Sahabatku Muhammad Taufiq, Nur Hasanah, Lailia Maftukhah dkk terima kasih atas
motivasi dan kebersamaannya selama ini.
13. Teman-teman PAI angkatan 2009 khususnya PAI-A Fata Smart.
14. Semua pihak yang ikut serta memberikan motivasi dan dorongan dalam penulisan
skripsi ini.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan
untuk perbaikan skripsi ini.
Salatiga, 21 September 2013
Penulis
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu menjadi sarana bagi setiap manusia untuk memperoleh kesejahteraan
dunia maupun akhirat, maka mencari ilmu hukumnya wajib. Mengkaji ilmu itu
merupakan pekerjaan mulia, karenanya banyak orang yang keluar dari rumahnya
untuk mencari ilmu dengan didasari iman kepada Allah SWT. Maka semua yang ada
di bumi mendoakannya. Karena mencari ilmu itu pekerjaan yang memerlukan
perjuangan fisik dan akal, maka nabi pernah bersabda bahwa orang yang keluar untuk
mencari ilmu akan mendapatkan pertolongan dari Allah, karena Allah suka menolong
orang yang mau bersusah payah dalam menjalankan kewajiban agama. (Juwariyah,
2010: 141).
Sebagaimana hadits yang telah diriwayatkan oleh Sunan Ibnu Majah yang
berbunyi:
‫ (رو ه‬.‫ُ ِا ُ ْس ِ ٍم‬
َ َ ٌ َ ْ ‫م „ َ َ ُ ْا ِ ْ ِم َ ِر‬.‫ه ص‬
ِ ‫ َ َا َرسُ ْو ُا‬:‫ َ َا‬: ٍ ‫َ ْ َ َ ِ ْ ِ َ ِا‬
)81 :th.t ,224 ,1 ,17 ,‫جه‬
Artinya: “ Dari Annas bin Malik berkata: bahwa rasulullah saw bersabada:
“Mencari ilmu wajib bagi setiap muslim”. (H.R. Sunan Ibn Majah, , 1, 17,
224, t.th: 81).
Perlu diketahui bahwa, kewajiban menuntut ilmu bagi muslim laki-laki dan
perempuan ini tidak sembarang ilmu, tapi terbatas ilmu agama, dan ilmu yang
menerangkan cara bertingkah laku atau bermuamalah dengan sesama manusia. Dalam
1
kitab Ta’lim Muta’allim menjelaskan bahwa, “Ilmu yang paling utama ialah ilmu hal.
Dan perbuatan yang paling mulia adalah menjaga perilaku” yang dimaksud ilmu hal
ialah ilmu agama Islam. (Syaikh Az-Zarnuji, t.th: 4).
Belajarlah ilmu pengetahuan, karena sesungguhnya ilmu pengetahuan itu
merupakan hiasan bagi yang memiliknya. Ilmu itu juga menjadi kelebihan, dan tanda
bagi setiap sesuatu yang terpuji. Maka, hendaknya setiap manusia jangan sampai lupa
dan lengah memikirkan dirinya, mana yang baik dan bermanfaat serta yang tidak baik
dan mencelakakan bagi dirinya selama hidup di dunia, apalagi melupakan kehidupan
di akhirat. Untuk itu, pandai-pandailah mencari sesuatu yang dapat berguna serta
menyelamatkan diri masing-masing.
Etika murid terhadap guru merupakan salah satu hal yang banyak
diperdebatkan karena merupakan problema dalam dunia pendidikan . Dunia
pendidikan dalam beberapa aspeknya tidak lepas dari adanya proses belajar mengajar
yang meniscayakan adanya interaksi antara murid dan guru.
Az-Zarnuji adalah salah seorang tokoh dalam dunia pendidikan Islam. Ia
tergolong sebagai ulama klasik yang hidup pada abad pertengahan pada masa bani
Abasiyah. Az-Zarnuji dikenal melalui monumentalnya yaitu kitab Ta’lim Muta’allim.
Ilmu akan diperoleh tentunya dengan melalui proses pembelajaran. Proses
belajar mengajar merupakan interaksi edukatif yang dilakukan guru dan murid dalam
situasi tertentu. Mengajar bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan dapat begitu saja
tanpa direncanakan sebelumnnya, akan tetapi mengajar itu merupakan suatu kegiatan
yang semestinya direncanakan desain sedemekian rupa mengikuti langkah-langkah
prosedur tertentu. Sehingga dengan demikian pelaksanaannya akan mencapai hasil
yang diharapkan.
2
Ulama klasik seperti Imam Al Ghozali menjelaskan tentang mursyid atau guru
dan kewajiban seorang Islam yang harus dipenuhi dengan pengaturan pengajar dan
pelajar (peserta didik). Al Ghozali membuat suatu sistem yang membentuk suatu
komunitas pendidikan dimana pendidikan hubungan seorang guru dengan muridnya
sangat sarat dengan peraturan yang satu dengan yang lainnya.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa menghantarkan pemiliknya pada
ketakwaan pada Allah SWT. Ilmu adalah nur illahi yang hanya diperuntukkan bagi
hamba-hambanya yang sholeh, ilmu manfaat inilah yang tidak mungkin bisa di
dapatkan kecuali dengan adanya enam yang harus di lengkapi para pencarinya.
Adapun enam syarat terdapat dalam kitab Ta’lim Muta’allim yaitu:
ِ َ َ ِ َ ِ ْ ‫َأ ُ ْا ِ ْ َ َ ْ َ ْ ُل‬
ٍ َ َ ‫َ ِإ ْا َ ا ُ ُ ْ َ ٍ َ ُ ْ ِا‬
ٍ ‫َ َ َ َ َ ُا ْ ِ ْ َ ِ ا ِ ِ ا‬
ٍ َ ْ ُ َ ‫ا ِط َ ٍا‬
ْ َ ٍ ْ ‫َ َ اٍ َ ِح‬
Yang artinya: “Elingo dak kasil ilmu anging nem perkara, bakal tak ceritaake
kumpule kanti pertelo”
“Rupane limpat, loba, sobar, ana sangune, lan piwulange guru lan
suwe mangsane”
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah:
1. Limpat (cerdas), artinya kemampuan untuk menangkap ilmu.
2. Loba (semangat), artinya sungguh-sungguh dengan bukti ketekunan.
3. Sobar (sabar), artinya tabah menghadapi cobaan dan ujian dalam mencari
ilmu.
4. Ana sangune (biaya), artinya orang mencari ilmu perlu biaya seperti juga
manusia hidup yang memerlukannya.
3
5. Piwulange guru (petunjuk guru), artinya orang mencari ilmu harus
digurukan tidak boleh dengan belajar sendiri.
6. Suwe mangsane (lama), artinya orang belajar perlu waktu yang lama.
Dalam mencari ilmu, peran lingkungan pergaulan sangat berpengaruh dalam
mencapai cita-cita para pelajar atau murid dalam dunia pendidikan. Maka dari itu
dalam mencari ilmu harus pandai-pandai dalam menjaga etika kita sendiri, terutama
etika terhadap guru harus dijaga.
Masalah etika adalah masalah yang pertama-tama muncul pada diri manusia,
secara ideal maupun real dan masalah etika adalah masalah normatif. Dengan
perubahan zaman yang semakin maju secara otomatis juga telah merombak tatanan
kehidupan. Pada masa dulu dalam proses belajar mengajar antara murid dan guru
saling menghormati dan menghargai. Berbeda dengan kehidupan remaja pada masa
sekarang yang modern dan pluralistik telah memberikan warna yang bervariasi dalam
berbagai segi.
Aan Sulistiyo, (2006: 1), dalam skripsinya berpendapat bahwa perubahan itu
terjadi
bahwa hantaman kekuatan semua segi kehidupan yaitu gelombang
modernisasi. Bahwa modernisasi itu telah terasa sampai ke segala penjuru tanah air.
Bahkan sampai ke pelosok yang paling kecil dan hampir tidak ada dimensi yang tidak
tersentuh oleh kemodernisasian. Perubahan bukan hanya pada bidang teknologi saja,
tetapi cara berfikirpun berubah.
Selama ini pendidikan di Indonesia banyak yang menggunakan literatur barat
yang sering terlepas dari nilai-nilai penanaman keimanan dan keislaman. Zaman
modern yang seperti ini secara hakiki mengubah lingkungan budaya dan rohani dalam
dunia pendidikan. Bahkan yang sangat disayangkan adalah rusaknya moral, etika dan
perilaku dalam diri remaja saat ini. Secara spesifik bahwa etika dalam dunia
4
pendidikan terutama etika murid terhadap guru saat ini sudah mulai pudar dan bahkan
telah hilang, walaupun etika itu sendiri masih ada namun banyak salah penempatan.
Salah satu contohnya yaitu berkurangnya perilaku kesopanan murid terhadap guru
dalam proses belajar mengajar.
Etika murid terhadap guru merupakan salah satu hal yang banyak
diperdebatkan karena etika mempunyai problema dalam tatanan kehidupan zaman
yang modern.
Rachmat Djatmika, (1996: 11), mengatakan bahwa etika merupakan cita
pembawaan insani, yang tidak lepas dari sumber yang awal yaitu Allah SWT. Etika
adalah salah satu prosedur dalam pembelajaran. Dalam menjalin hubungan antar
sesama manusia harus dilandasi dengan akhlakul karimah, dengan mempunyai
akhlakul karimah tentunya manusia akan mudah dalam melakukan segala sesuatu.
Dalam pengertian filsafat Islam etika atau akhlak ialah salah satu hasil dari iman dan
ibadat, bahwa iman dan ibadat manusia tidak sempurna kecuali kalau timbul etika
atau akhlak yang mulia dan muamalah yang baik terhadap Allah dan makhluk-Nya.
Dalam lingkungan pendidikan, murid merupakan suatu subyek dan obyek
pendidikan yang memerlukan bimbingan dari orang lain untuk membantu
mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimliki serta membimbingnya
menuju kedewasaan. Seorang guru dalam dunia pendidikan adalah seseorang yang
wajib dihormati oleh para murid, karena guru yang membimbing jiwa murid agar
menjadi manusia sejati, yang mengerti bahwa dirinya adalah hamba Allah SWT. Oleh
karena itu murid sebagai pihak yang diajar, dibina dan dilatih untuk dipersiapkan
menjadi manusia yang kokoh iman dan islamnya harus mempunyai etika dan
berakhlakul karimah baik kepada guru maupun dengan yang lainnya.
5
Murid yang mempunyai etika mulia juga akan mampu mewujudkan normanorma dan nilai-nilai positif yang akan mempengaruhi keberhasilan di dalam proses
pendidikan dan pengajaran. Dengan mempunyai etika atau akhlak yang mulia murid
akan mampu mengetahui mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk.
Dalam dunia pelajar di zaman sekarang banyak pelajar yang menyampingkan etika,
sehingga tidak sedikit pelajar yang berpotensi akhirnya gagal hanya karena salah
pergaulan.
Dalam bukunya Ahmad Tafsir, (1994: 77), menyatakan bahwa interaksi dan
relasi antara guru dan murid sangatlah erat sekali sehingga guru dianggap sebagai
bapak spiritual (spiritual father), karena berjasa dalam memberikan santapan jiwa
dengan ilmu. Akan tetapi dalam sejarahnya hubungan guru dan murid dalam dunia
Islam ternyata sedikit demi sedikit mulai berubah, nilai-nilai moral sedikit demi
sedikit mulai berkurang. Semua itu dikarenakan antara lain sebagai berikut:
1. Kedudukan guru dalam Islam semakin merosot.
2. Hubungan murid dan guru semakin kurang yang bernilai langitan, atau
penghormatan murid terhadap guru semakin menurun.
3. Kepatuhan murid terhadap guru mengalami erosi.
4. Harga karya semakin menurun.
Padahal, guru adalah penyampai kebenaran. Ketabahan dan keikhlasan mengabdi
kepada guru merupakan syarat pokok untuk meraih keberhasilan menempuh
pendidikan.
Secara implisit pembahasan mengenai interaksi guru dan murid, Az-Zarnuji
menulis kitabnya Ta’lim Muta’allim:
ِ ِ ْ ِ ْ َ َ ِ َ ْ ُ ْ ِ ْ ِ ْ َ َ ِ ِ ‫إِ ْ َ ْ ِأ َ ا َ ِ َ ْ ِ ْ ِ َ َ َ ُا ْ ِ ْ ِ َ َ َ ْ َ ِف ُع ِ ِ ِ ا ِ َ ْ ِ ْ ِ ْ ِ ْ ِ َ َ ْه‬
6
“Ketahuilah sesungguhnya orang yang mencari itu akan memperoleh ilmu
dan tidak akan dapat mengambil manfaatnya tanpa mau menghormati ilmu
dan gurunya”. (Az-Zarnuji, t.th: 16).
Kedudukan etika atau akhlak murid dalam lingkungan pendidikan menempati
tempat yang paling penting sekali. Sebab apabila murid mempunyai etika yang baik,
maka akan sejahteralah lahir dan batinnya, akan tetapi apabila etikanya buruk (tidak
berakhlak), maka rusaklah lahirnya atau batinnya.
Murid ketika berhadapan dengan guru, sang murid harus senantiasa
menghormat. Sekali ia menjadi murid dari seorang guru, selamanya status itu tidak
akan bisa ia copot. Dalam kamus kehidupan, tidak ada istilah “mantan murid” dan
“mantan guru”. (M. Alaika Salamullah, 2008: 115).
Salah satu kitab yang membahas tentang etika yang baik, terutama etika murid
terhadap guru ialah kitab Ta’lim Muta’allim yang dikarang oleh Syaikh Az-Zarnuji.
Kitab ini di tulis atas dasar perlunya mambahas tentang etika dalam mencari ilmu.
Karena menuntut ilmu itu merupakan pekerjaan agama yang sangat penting sehingga
orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang baik.
Kitab Ta’lim Muta’allim ini secara keseluruhan terdiri dari 1 jilid dan terdapat
273 halaman, serta keseluruhannya merupakan suatu nazam-nazam atau syair-syair
arab yang diterjemahkan dalam bahasa jawa salaf , bait syair berjumlah 119 bait
karangan Imam Syaikh Az-Zarnuji yang berisikan tentang cara, tata krama dan
akhlak-akhlak yang mulia dalam mencari ilmu, diantaranya etika dalam mencari ilmu
terutama etika murid terhadap guru.
7
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis terdorong mengkaji untuk lebih
lanjut tentang “ETIKA MURID TERHADAP GURU”
(Analisis Kitab Ta’lim Muta’alim Karangan Syaikh Az-Zarnuji).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana etika murid dalam mencari ilmu dalam kajian kitab Ta’lim Muta’allim
karangan Syaikh Az-Zarnuji?
2. Bagaimana etika murid terhadap guru dalam kajian kitab Ta’lim Muta’allim
karangan Syaikh Az-Zarnuji ?
3. Bagaimana cara mengamalkan etika murid terhadap guru dalam kajian kitab
Ta’lim Muta’allim karangan Syaikh Az-Zarnuji?
4. Bagaimana relevansi kitab Ta’lim Muta’allim tentang etika murid terhadap guru
dalam konteks kekinian?
C. Tujuan Penelitian
Adapaun dalam penelitian ini tujuan yang ingin dcapai dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan etika murid dalam mencari ilmu dalam kajian kitab Ta’lim
Muta’allim karangan Syaikh Az Zarnuji.
2. Untuk menjelaskan etika murid terhadap guru dalam kajian kitab Ta’lim
Muta’allim karangan Syaikh Az Zarnuji.
3. Untuk mengetahui dan mengamalkan bagaimana etika murid terhadap guru yang
ada dalam kitab Ta’lim Muta’allim karangan Syaikh Az Zarnuji.
4. Untuk mengetahui relevansi kitab Ta’lim Muta’allim tentang etika murid terhadap
guru dalam konteks kekinian.
8
D. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan atau manfaat penelitian yang ingin dicapai oleh penulis
dalam penulisan ini yaitu:
1. Untuk menambah wawasan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya
2. Agar dapat memberikan gambaran pada murid akan etika yang baik dalam
kehidupan sehari-hari sebagai pribadi maupun anggota masyarakat terutama etika
terhadap guru dalam pembelajaran
3. Memberi pengetahuan khususnya bagi para pendidik untuk selalu memperhatikan
anak didiknya terutama dalam budi pekertinya.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari kekeliruan pembaca dalam memahami istilah dalam judul
penelitian ini, maka penelitian jelaskan definisi-definisi operasionalnya. Beberapa
istilah
yang
dipandang
perlu
untuk
dijelaskan
adalah
sebagai
berikut:
1. Etika
Franz Magnissuseno adalah seorang guru besar filsafat sosial, ia
mengemukakan didalam bukunya. Bahwa Etika adalah usaha manusia untuk memakai
akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup
kalau ia mau menjadi baik. (Franz Magnissuseno, 1987: 17).
2. Murid
Murid adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau
sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. (Djamarah, 2005: 51).
3. Guru
Guru adalah orang yang selalu memberikan wejangan-wejangan yang baik
kepada peserta didiknya, serta merupakan contoh suri tauladan terhadap siapapun,
9
seperti pepatah jawa mengatakan guru yaitu “digugu lan ditiru “ maksudnya ialah
seorang guru biasanya mempunyai tutur kata yang patut didengarkan dan mempunyai
tingkah laku yang patut ditiru oleh siapapun terutama oleh murid atau peserta didik itu
sendiri.
Menurut pendapat Sardirman, A.M, (1990: 123), menyatakan “guru
merupakan salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar, yang ikut
berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial dibidang
pembangunan”.
4. Kitab Ta’lim Muta’allim
Merupakan kitab dari salah satu karangan Syaikh Az-zarnuji, yang berisikan
nazam-nazam sejumlah 119 sya’ir, 13 pokok pembahasan atau pasal, yang bermakna
tentang cara, tata krama dan akhlak-akhlak mulia terutama bagi para pencari ilmu
agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat, baik di dunia maupun di akhirat terutama
dalam memuliakan guru dan ilmu.
F. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah pada penelitian kepustakaan (library
research), yaitu suatu bentuk penelitian terhadap literatur dengan pengumpulan data
atau informasi dengan bantuan buku-buku karangan Syaikh Az-Zarnuji yang
berkaitan dengan pemikirannya tentang etika murid terhadap guru, yang ada di
perpustakaan dan materi pustaka yang lainnya.
Sebagai bahan parameter analisis perbandingan yang dimaksud dengan library
research adalah penelaahan kepustakaan yakni penelitian yang berusaha mencari
teori-teori, konsep-konsep generalisasi yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi
penelitian yang akan dilakukan.
10
Dalam hal ini Arif Furchan, (1982: 98), menegaskan bahwa penelitian
kepustakaan dimaksud adalah studi yang sumbernya digali dari buku-buku, disertai
dengan indek penerbitan berkala (majalah atau surat kabar), sistem penyimpanan dan
pencarian informasi.
2. Sumber data
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber data utama yang akan dikaji dalam
permasalahan. Karena sifat dari penelitian literer, maka datanya bersumber dari
literatur. Adapun yang menjadi sumber data primer adalah kitab Ta’lim Muta’allim
karangan Syaikh Az-Zarnuji.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku yang
berisi tentang etika yang mendukung dalam pembahasan skripsi ini yang ada di
dalamnya.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunan ini, penulis
menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan langkah-langkah :
a. Membaca buku-buku sumber, baik primer maupun sekunder,
b. Mempelajari dan mengkaji serta memahami kajian yang terdapat dalam
buku-buku sumber,
c. Menganalisis untuk diteruskan identifikasi dan mengelompokkan serta
mengklasifikasi sesuai dengan sifatnya masing-masing dalam bentuk bab per bab.
11
4. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data dari pengumpulan data yang telah dilakukan penulis
menggunakan analisis data sebagai berikut:
a. Deskriptif
Sebagai pembahasan yang bersifat literal, maka segala sesuatu yang
berhubungan dengan topik pembahasan hasil penelitian secara apa adanya sejauh
yang penulis peroleh. Adapun teknik deskriptif yang penulis pergunakan adalah
analisis kualitatif. Dengan analisis ini akan diperoleh gambaran sistematika mengenai
isi buku untuk diteliti isinya.
b. Content Analysis
Metode ini digunakan untuk memperoleh pemahaman isi dan makna dari
berbagai data dalam penelitian, yang analisis ini menghendaki objektivitas,
pendekatan sistematik, dan generalisasi, baik yang mengarah pada isi maupun yang
mengarah pada makna, terutama dalam perbuatan dan penarikan kesimpulan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang dimaksud oleh penulis di sini adalah gambaran
singkat tentang subtansi pembahasan secara garis besar. Agar dapat memberi
gambaran yang lebih jelas tentang keseluruhan isi dari skripsi, maka penulis membagi
sistematika ke dalam lima bab sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan. Dalam bab ini penulis menjabarkan mengenai pokok
permasalahan yang terdiri dari: Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan
12
penelitian, Manfaat penelitian, Definisi operasional, Metode penelitian dan
Sistematika penulisan.
BAB II : Riwayat Hidup Syaikh Az-Zarnuji. Dalam bab ini memuat beberapa
pembahasan seperti halnya tentang, biografi Syaikh Az-Zarnuji, Latar belakang
pendidikan Syaikh Az-Zarnuji, Latar belakang sosial politik Syaikh Az-Zarnuji, dan
karya-karya Syaikh Az-Zarnuji.
BAB III: Pembahasan. Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang etika murid
terhadap guru yang meliputi: pengertian etika murid terhadap guru, tujuan etika murid
terhadap guru, dan pokok-pokok etika murid terhadap guru.
BAB IV: Analisis hasil penelitian. Yang meliputi analisis etika murid terhadap
guru dalam konteks kekinian.
BAB V : Merupakan kesimpulan dari seluruh uraian yang telah dikemukakan
dan merupakan jawaban dari permasalahan tulisan ini.
13
BAB II
BIOGRAFI SYAIKH AZ-ZARNUJI
A. Riwayat Syaikh Az-Zarnuji
Sebuah karya tulis termasuk Ta’lim Muta’allim pada umumnya merupakan
respon terhadap situasi dala ruang dan waktu yang dihadapi oleh penulisnya. Atas
dasar asumsi itu, maka memahami sisi teologi, psikologi dan status sosial dan aspirasi
politik mengarang menjadi sangatlah penting.
Az Zarnuji (Al Mu’man ibn Ibrahim ibn al Khalil Al Zarnuji Taj Al Din),
adalah seorang filosof Arab yang tidak diketahui nama dan waktu hidupnya secara
pasti. Ada yang menyebutnya dengan Burhan Al Din, ada juga yang menyebutnya
dengan Burhan Al Islam. Namun kedua nama itu diperkirakan sebagai julukan (laqab)
saja atas jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam. Az Zarnuji sendiri diyakini bukan
nama asli, tapi nama yang dinisbatkan kepada tempat yakni Zurnuj dan Zaranj. Al
Qurasyi menyatakan Zurnuj adalah seebuah tempat wilayah di Turki.
Az Zarnuji termasuk dalam generasi ke-12 dari ulama Hanafiyyah yang
diperkirakan hidup pada sekitar tahun 620/1223 yang hidup dujung pemerintahan
Abbasyiyah di Bagdad. Kitab Ta’lim Muta’alim dikatakan sebagai satu-satunya kitab
yang dialamatkan kepada Az Zarnuji. Namun demikian menurut Ahwani, kitab ini
disinyalir sebagai kitab yang cukup terkenal di kalangan bangsa Arab.
Az Zarnuji mengarang kitab yang dinamai Ta’lim Muta’alim Thoriqotta
‘Allum, pada tahun 599 H/1203 M kitab ini mendapatkan tempat yang besar bagi para
14
penuntut ilmu dan para guru. Mereka mempelajari dan mengangkat pendapatpendapat arahan-arahan yang terkandung di dalamnya.
Pentingnya kitab Ta’lim Muta’allim karena dianggap sebagai modal tersendiri
dalam topiknya tentang pendidikan Islam. Hal ini karena keterangan-keterangan
sejak abad ke-6 kebanyakan tentang ulumul qur’an, ulumul hadits, fiqih, bahasa
Arab dan syair.
B. Latar Belakang Pendidikan Syaikh Az Zarnuji
Abuddin Nata, (2000: 104), menyatakan dalam bukunya, bahwa Syaikh Az
Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkhan yaitu kota yang menjadi pusat
keilmuan, pengajaran dan lain-lainnya. Masjid-masjid di kedua kota tersebut
dijadikan sebagai lembaga pendidikan ta’lim yang diasah antara lain oleh
Burhanuddin Al Marginani, Syamsudin Abd Al Madjidi, Muhammad bin Muhammad
Abd Satar Al Amidi dan lain-lainnya.
Selain itu, Az Zarnuji juga belajar kepada Ruknuddin al-Firginani, seorang
ahli fiqih, sastrawan dan pnyair yang wafat 594 H/ 1996 M, Hammad bin Ibrahim,
seorang ahli ilmu kalam di samping sastrawan dan penyair, yang wafat tahun 594 H/
1170 M, Rukn al-Islam Muhammad bin Abi bakar yang kenal dengan nama Khawahir
Zada, seorang mufti Bukhara dan ahli bidang fiqih, sastra dan syair yang wafat tahun
573 H/ 1177 M.
Adapun guru-gurunya yang terkait sebagaimana dicantumkan dalam kitab
Ta’lim secara urut sebagai berikut:
No
Ulama
Mazhab
Kelahiran
pertumbuhan
1.
Abu Hanifah
Pendiri
Mazhab Kaffah Bagdad
15
dan Juru nasehat dan
petuah
11 kali
Hanifah
2.
Al Marghinani
Murid Abu Hanifah Daerah
belakang
10 kali
tengah-tengah
8 kali
sungai
3.
Muhammad bin Murid Abu Hanifah Di
Hasan
4.
Bagdad
Abu Yusuf
Ulama
fiqih Daerah
Mazhab Hanafi
5.
6.
Hammad
bin Ulama
Mazhab Hanafi
Asy Syairazy
Ulama
7.
Qowwamuddin
Ulama
8.
Al Hamdzani
Ulama
9.
Al Hulwani
Ulama
10. Ash Shodiq
Ulama
11. Asy Shahid
Ulama
2 kali
belakang
2 kali
belakang
2 kali
belakang
2 kali
belkang
2 kali
sungai
Fiqih Daerah
Mazhab Hanafi
belakang
sungai
Fiqih Daerah
Mazhab Hanafi
2 kali
sungai
Fiqih Daerah
Mazhab Hanifah
belakang
sungai
Fiqih Daerah
Mazhab Hanifah
2 kali
sungai
Fiqih Daerah
Mazhab Hanafi
belakang
sungai
Fiqih Daerah
Mazhab Hanafi
5 kali
sungai
Fiqih Daerah
Ibrahim
belakang
sungai
Dengan demikian berdasarkan keterangan tersebut dapat diidentifikasi bahwa
pemikiran dan intelektualitas Az Zarnuji sangat banyak dipengaruhi oleh paham fiqih
16
yang berkembang saat itu sebagai paham yang dikembangkan oleh para gurunya
yakni fiqih aliran Hanafiyah.
C. Seting Sosial pada Masa Hidupnya
Syaikh Az-Zarnuji hidup pada akhir abad 6 dan awal abad 7 H atau akhir abad
12 awal abad 13 M. Dari sini diketahui beliau hidup pada masa ke empat dari masa
perkembangan pendidikan Islam. Dalam sejarah Islam masa tersebut adalah masa ke
emasan Islam dan terkena dengan menyeluruhnya budaya Islam, dan khususnya
pendidikan Islam dalam kekuasaan Abbasiyah. Pada masa ini Az-Zarnuji terlibat di
dalam membangun lembaga-lembaga pendidikan dari dasar sampai atas diantaranya
sekolah nizamiah yang didirikan oleh Nidzomul Mulk (457 H/ 16 H) dan sekolah An
Nuriyah Kubro yang didirikan oleh Nuruddin Zanky (563/ 1167) di Damaskus dan
sekolah Al Mustan Sirrah didirikan oleh Al Mustanshor billah di Bagdad (631/ 1234).
Dari landasan ini Al Zarnuji hidup pada masa mashurnya pengetahuan dan
peradaban islam atau pada akhir abad bani Abasiyah, dari kitab Ta’limul Muta’allim,
bahwa Al Zarnuji ulama paling luas ilmunya, karena beliau mewarisi ilmu-ilmu
ulama-ulama terdahulu.
Al Zarnuji bukan orang yang dekat dengan penguasa. Ia menyatakan secara
tegas bahwa mengabdi kepada penguasa bukan merupakan nikmat, tetapi cobaan dari
Tuhan bagi orang yang ketika belajar tidak bersikap Wara’. Cobaan itu beratnya sama
dengan mati muda atau tinggal di tengah-tengah orang bodoh. Indikasi lain dari
statusnya adalah larangan Al Zarnuji agar murid tidak menuntut ilmu dengan niat
ingin mendapat kemuliaan di hadapan penguasa. Jikapun niat itu menyelinap dalam
diri murid maka Al Zarnuji mensyaratkan agar pangkat yang akan di raihnya kelak di
maksudkan untuk amar ma’ruf nahi munkar.
17
Sikap Al Zarnuji mengambil jarak dengan penguasa menunjukkan pula bahwa
ia adalah seorang yang berkecenderungan hidup sufi. Sebagaimana dipahami bahwa
salah satu pendorong munculnya gerakan sufi adalah kehidupan mewah yang di
tampilkan oleh para penguasa. Orang-orang yang hidup di kalangan penguasa
pakaiannya sutra, sedangkan kaum sufi sebagai golongan yang hidup sederhana
menyimpulkan diri dengan pakaian wol kasar. (Nasution, 1973: 58).
Ahmad Fuad al-Ahwani memperkirakan bahwa Az-Zarnuji wafat pada tahun
591 H/ 1995 M. Dengan demikian, belum diketahui secara pasti, namun jika diambil
jalan tengah dari berbagai pendapat, Az-Zarnuji wafat sekitar tahun 620-an H.
D. Latar Belakang Sosial Politik
Dalam waktu yang diperkirakan sebagai masa hidup Syaikh Az Zarnuji yakni
akhir abad VI dan memasuki abad VII H atau abad 12-31 Masehi merupakan zaman
kemunduran dan kemerosotan Daulah Abbasiyah sekitar tahun 292-656 H. Pada
masa ini dunia Islam telah mengalami kontak senjata dengan orang Kristen dalam
perang salib sejak tahun 1097 M sampai 1291 M. (Badriyatin,1998: 79) dimana kaum
muslimin dapat merebut kembali Akta. Pada periode yang sama Daulah Abbasiyah
menuntut pembagian Bojena. Sedang memasuki periode ke- 7 (447 H/ 1055 M-590
H/ 1194 H), masa kekuasaan Banui Seljuk dalam pemerintahan Bani Abbasiyah yang
disebut masa pengaruh Turki kedua, dan periode kelima (590 H/ 1194 M-656 H/
1258). Pada masa ini kekuasaan kholifah telah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi
kekuasaan kholifah hanya efektif disekitar Bagdad.
Menurut Luthfi Jum’ah dalam bukunya “Tarikh Fil Masyirq Wal Maghrib”
yang dikutip Basyari madjidi, yang menyatakan bahwa pemimpin militer yang
berkebangsaan Turki zaman ini memandang kekuasaan dalam pemerintahan.
18
Sedangkan kekuasaan kholifah semakin lemah, karena itu banyak amir-amir
melepaskan diri dari pemerintahan pusat (Baghdad) dan mendirikan daulat-daulat
(kesulitan yang berdiri sendiri-sendiri).
Di zaman ini kaum Seljuk, kota Bagdad mendapatkan sebagian dari daerah
kedudukan yang semula sebagai ibu kota kerohanian tempat persemayaman kholifah
Abbasiyah yang menikmati pengaruh keagamaan, dan menikmati kembali kehebatan
serta keagungan yang pernah dinikmati sebelumnya. Hal ini mungkin dikarenakan
kesendirian di Bagdad serta mendapat penghormatan dan sanjungan dari sultan-sultan
kaum Seljuk dan pengaruh politik yang ada di ibu kota kaum Seljuk di Naisabur di
Raiyi. (Salabi, 1997: 340).
Dalam zaman inilah para ulama dengan dukungan para penguasa mulai
dengan keras mengecam fisafat dan filosof, bahkan ilmu hukum, ilmu pengetahuan
umum pada umumnya. Akan tetapi pandangan mereka terhadap filsafat dari mantang
berbalik arah, semua ilmu hikmah diabadikan kepada agama. Tetapi pada akhirnya
hampir saja agama itu dibunuhnya. Ibnu Khladun mengatakan bahwa filsafat itu
mudharatnya terhadap agama. Fazlur Rahman dalam bukunya “Islam dan
Modernitas” menggambarkan kegiatan intelektual yang dilakukan pada umumnya
waktu itu, dengan pernyataan sebagai berikut”
“Suatu perkembangan besar yang efeknya sangat merugikan kualitas keilmuan
pada abad-abad pertengahan Islam adalah pergantian naskah-naskah mengenai
teologi, filsafat yuriprudensi dan sebagainya. Sebagai materi pengajaran tertinggi
dengan komentar-komentar menghasilkan super komentar proses pengkajian
komentar-komentar
menghasilkan
kesikan
dengan
detil-detil
dengan
mengesampingkan masalah-masalah pokok dari obyek yang dikaji. (Rahman, 1997:
43).
19
Pada zaman pemerintahan Bani Ayyab, Aliran Syi’ah dan Mutajilah mulai
redup. Karena kedua pemerintahan ini lebih cenderung ke Sunni. Kecenderungan itu
tampak dengan adanya pemberian dukungan kepada lembaga-lembaga pendidikan
Sunni.
E. Hasil Karya Syaikh Az-Zarnuji
Peneliti tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah kitab yang telah ditulis
Az-Zarnuji. Peneliti hanya mengetahui kitab Ta’lim Muta’allim adalah salah satusatunya karnya Az-Zarnuji yang dapat dijumpai sampai sekarang dan tanpa
keterangan tahun penerbitan.
Namun demikian menurut Fuad al Ahwani (abad ke-12 dari ulama
Hanafiyyah), kitab sebagai satu-satunya karya yang dialamatkan kepada Az Zarnuji
yaitu Ta’lim Al Muta’allim. Kemashuran kitab ini di kalangan bangsa arab, selain
isinya komprehensif dalam membahas persoalan bimbingan belajar dengan hikayathikayat, syair dan matsal-matsal.
Kitab Ta’lim Muta’allim ini telah diberi syarah oleh Ibrahim bin Ismail yang
diterbitkan pada tahun 996 H. Kitab ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Turki oleh Abdul Majid bin Nusuh bin Israil dengan judul Irsyad al-Ta’lim fi Ta’lim
al-Muta’allim.
Kepopuleran kitab Ta’lim Muta’alim terlihat dari tersebarnya buku ini hampir
ke seluruh penjuru dunia. Kitab ini telah di cetak dan diterjemahkan serta dikaji di
berbagai negara baik Barat maupun Timur. Kitab ini juga menarik perhatian beberapa
ilmuwan untuk memberikan komentar atau syarah terhadapnya.
Di Indonesia, kitab Ta’lim Muta’allim dikaji dan dipelajari hampir di setiap
lembaga pendidikan Islam, terutama lembaga pesantren modern sekalipun, seperti
halnya di Pondok Gontor Ponorogo, Jawa Timur.
20
Muhammad bin Abdul Qodir Ahmad menilainya sebagai karya monumental,
yang mana orang alim seperti Az-Zarnuji pada saat hidupnya disibukkan dalam dunia
pendidikan, sehingga dalam hidupnya sebagaimana Muhammad bin Abdul Qodir
Ahmad hanya menulis sebuah buku. Tetapi pendapat lain mengatakan bahwa
kemungkinan karya Syaikh Az-Zarnuji ikut hangus terbakar karena penyerbuan
biadab (inovation barbare) bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jenghis Khan (12201225 M), yang menghancurkan dan menaklukan Persia Timur, Khurasan dan
Transoxiana yang merupakan daerah terkaya, termakmur dan berbudaya Persia yang
cukup maju, hancur lebur berantakan tinggal puing-puingnya.
Ta’lim Muta’allim Thariqatt’allum memberikan isyarat yang kuat bahwa Az
Zarnuji adalah penganut madhab fiqih Hanafi dan madhab kalam ahlu sunnah
maturidiyah bukhara. Di dalam kitab ini Az Zarnuji menyebutkan 11 orang gurunya
yang bermazhab Hanafi, Abu Hanifah, Al Marghinani, Muhammad bin Hasan, Abu
Yusuf, hamad bin Ibrahim, Asy Syirazi, Hilal bin Yusuf, Qowamuddin, Al Hmadani,
Al Hulwani, As Sadrussahid.
21
BAB III
PEMBAHASAN
ETIKA MURID TERHADAP GURU
A. PengertianEtika Murid terhadap Guru
1. Pengertian Etika
Dari segi etimologi etika adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan
tentang manusia. Etika atau Ethics berasal dari kata-kata Yunani: Ethos,
artinya kebiasaan, watak kesusilaan. Ia membicarakan tentang kebiasaan
(perbuatan), tetapibukan menurut tata-adat, melain kantata-adab, yaitu
berdasar pada intisari atau sifat dasar manusia yaitu sifat baik dan buruk. Jadi
dengan demikian etik aialah teori tentang perbuatan manusia ditimbang
menurut baik dan buruknya. Etika sebagai cabang ilmu pengetahuan, tidak
berdiri sendiri. Sebagai ilmu yang membahas tentang manusia. Etika ini
berhubungan dengan seluruh ilmu tentang manusia. (Ahmad, t.th: 15).
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dari pengertian kebahasaan ini
terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku
manusia.
Di dalam Kamus Istilah Pendidikan dan Umum dikatakan bahwa etika
adalah bagian dari filsafat yang mengajarkan keluhuran budi (baik dan buruk).
(Sastrapradja, 1981: 144).
22
Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan
ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut para
ulama etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan
apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus
dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang harus diperbuat.
Berikutnya, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang
sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus,
benar, salah, dan sebagainya.
Sementara itu, etika dikelompokkan menjadi dua definisi:
a. Etika merupakan karakter individu
Dalam hal ini termasuk bahwa orang yang beretika adalah orang yang
baik. Pengertian ini disebut pemahaman manusia sebagai individu yang
beretika. Etika merupakan hukum sosial.
b. Etika merupakan hukum
Etika yang mengatur, mengendalikan serta membatasi perilaku
manusia.
Dalam hubungan ini Dr. H. Hamzah Ya’qub menyimpulkan bahwa
etika adalah ilmu yang menyelidiki manayang baik dan mana yang buruk
dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui
oleh akal pikiran. (Hamzah Ya’qub, 1991: 13).
Demikianlah, etika akhirnya merupakan ilmu pengetahuan rohaniah,
normatif, teologis. Etika bukan lagi ilmu pengetahuan yang dapat diukur
23
secara matematis. Karenanya tidak dapat diramalkan dengan pasti. Etika lebih
merupakan pengetahuan tentang kepandaian atau seni hidup secara baik (the
art of good living).
Dari definisi etika tersebut di atas, dapat segera diketahui bahwa etika
berhubungan dengan empat hal sebagai berikut:
a. Dillihat dari segi objek pembahahasannya
Etika berupaya membahas perbuatan dilakuakan oleh manusia.
b. Dilihat dari segi sumbernya
Etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai terbatas, dapat
berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu juga
memanfaatkan berbagai ilmu yang membahas perilaku manusia seperti ilmu
antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya.
c. Dilihat dari segi fungsinya
Etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap seuatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan
dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian
etika tersebut berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang
dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem
nilai-nilai yang ada.
d. Dilihat dari segi sifatnya
Etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan
zaman.
24
Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan
ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan
yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik dan buruk. Berbagai pemikiran
yang dikemukakan filosof barat mengenai perbuatan baik dan buruk dapat
dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir.
Dengan demikian etika sifatnya humanisstis dan antroposentrid yakni pada
pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika aturan
atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
2. Obyek Etika
Nilai etika dan begitu juga untuk setiap nilai, adalah hasil kegiatan
rohani, yakni akal dan perasaan. Perasaan memberikan bahan-bahannya, akal
mengolah bahan tersebut yang diterimanya. Rasa nilai ini bisa dikerdilkan,
diperkembangkan maupun dipunahkan. Semakin rumit putusan yang dihadapi
perasaan, semakin luas lapangan kerja akal, namun sebaliknya semakin kecil
peranan yang dipegangnya. Dikatakan semakin luas lapangan kerjanya, oleh
karena akal dalam menghadapi keputusan yang muskil itu harus meneliti
menganalisa, membanding-bandingkan dan mengatur hal-hal yang bersangkut
paut dengan masalah pertama. (Mudlor Ahmad, t.th: 20).
3. Pandangan Islam terhadap Obyek Etika
Etika umumnya, dalam menentukan perbuatan sadar bebas sebagai
obyeknya, ternyata hanya melihat dari segi lahiriah perbuatan itu. Sehubungan
dengan subyek pelaku, oleh Islam dinyatakan bahwa amal baik seseorang akan
diterima, artinya diganjar dengan pahala, bilamana orang tersebut beragama
25
Islam. Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an pada surat Al-Imron ayat 85 Allah
berfirman:
ِ ْ ِ ِ َ ْ َ ِ ِ َ ‫ْ َ ِخ‬
َ ِ‫َ َ ْ ِ ْ َغ‬
‫غ ْ َ ْ ِ ْ َ ِ ِا ْ ً فَ َ ْ ْق َ ُ ِ ْ ُ َ ُه َ ِف‬
85 :
‫ا ل‬
Artinya: “Barang siapa menuntut agama selain daripada agama
Islam, tiadalah diterima daripadaNya, dan ia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi”. ( Q.S Al-Imron: 85).
4. Pengertian Guru
Dalam Undang-undang RI Nomor 14 tahun 2005 pasal 1 ayat 1, guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mnegarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidkan dasar, dan
pendidikan menengah.
Di dalam nadlom kitab alāla telah dijelaskan pengertian guru
‫ْ حِ َج ْ َه ُ * َ َه َ ُ َ ا ْ ِ ْ َ َ ْ ِ ْ ُ َ ا‬
ْ َ‫ل‬
‫فَ َ َ ُ َ ا‬
“Dene guru iku kang ngitik-ngitik ing nyowo”
“Dene nyowo iku den serupaake koyo suco”
Guru adalah pembimbing jiwaku dan jiwa adalah bagaikan mutiara,
sedangkan orang tuaku adalah pembimbing badanku dan badan bagaikan
kerangnya (tempat bagi jiwaku).
Secara
etimologisatau
dalam
arti
sempit
guru
berkewajiban
mewujudkan program kelas adalah orang yang kerjanya mengajar atau
memberikan pelajaran di sekolah atau kelas.
26
Secara lebih luas guru bearti orang yang bekerja dalam bidang
pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu
anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.
Adapun pengertian guru secara terminologi memiliki banyak arti.
Menurut pandangan beberapa pakar pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Ahmad Tafsir
Mendifisikan pendidikan dalam Islam sama juga dengan teori Barat,
yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik,
baik potensi kognitif, afektif, maupun potensi psikomotorik. ( Ahmad Tafsir,
2008: 74).
b. Ahmad D Marimba
Sebagai orang memikul pertanggungan jawab untuk mendidik, yaitu
manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab
tentang pendidikan si terdidik. (Marimba, 1981: 37).
c. Zakiyah Daradjat
Sebagai pendidik profesional, sebab secara implisif ia telah merelakan
dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang
terpikul di pundak orang tua. (Daradjat, 2011: 37).
Menurut Al-Ghazali, (1979: 211) istilah pendidik dengan berbagai kata
seperti Al Muallim (guru), Al Mudaris (pengajar), Al Muaddib (pendidik), Al
Walid (orang tua) dan AlMursyid (petunjuk jalan kebenaran).
27
Penjelasan lebih lanjut adalah bahwa kata Al Muallim yang bearti
orang yang mengetahui dan banyak para ulama ahlu pendidikan untuk
menunjuk pada hati guru. Sedang Al Mudarris untuk arti orang yang mengajar
atau untuk orang yang memberi ilmu pelajaran. Namun dibandingkan dengan
kata Al Muallim lebih banyak digunakan. Selain itu terdapat istilah Al
Muaddib yang merujuk kepada guru yang khusus mengajar di Istana. (Nata,
2001: 41-42)
Digunakan kata Al Walid, guru diperumpamakan orang tua yang
mempunyai rasa belas kasihan kepada murid-muridnya dan memberlakukan
mereka sebagai anaknya sendiri. Sedangkan keterangan kata Al Mursyid,
karena tujuan pengajaran pada hakekatnya menunjukkan kepada murid ke
jalan Allah SWT dan apabila jalan Allah, maka tidaklah bermanfaat bagi
murid. (Az-Zubaid, t.th: 334)
Akan tetapi istilah guru untuk masa sekarang sudah mendapat arti yang
lebih luas dalam masyarakat dalam arti di atas yakni, semua orang yang
pernah memberikan suatu ilmu atau kependidikan tertentu kepada seseorang
atau sekelompok orang yang disebut Guru misalnya guru mengetik, guru
menjahit. (Ngalim Purwanto, 2007: 138).
Guru dalam pengertian yang terakhir bukanlah sekedar orang yang
berdiri di depan kelas untuk menyampaikan materi pengetahuan tertentu, akan
tetapi adalah anggota masyarakat yang harus ikut aktif dan berjiwa bebas serta
kreatif dalam mengarahkan perkembangan anak didiknya untuk menjadi
anggota masyarakat sebagai orang dewasa.
28
5. Hakikat sebagai Guru
Dalam kitab Ta’lim Muta’allim, guru berperan membersihkan,
mengarahkan dan mengiringi hati nurani seorang murid untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT dan mencari ridha-Nya. Dengan kata lain, ini adalah
dimensi sufistik. Peran kedua adalah pragmatik. Artinya, guru berperan
menanamkan nilai-nilai pengetahuan dan keterampilan kepada muridnya. Hal
ini bisa dicontohkan dengan diwajibkan dan diharamkannya ilmu. Kalau tidak
ada guru, murid akan kebingungan.
Selain itu, guru juga memilihkan ilmu mana yang harus didahulukan
dan diakhirkan, beserta ukuran-ukuran yang harus ditempuh dalam
mempelajarinya.
Pandangan tradisional mengatakan guru sebagai penyalur pengetahuan
dan sumber dari segala imu pengetahuan. Pandangan itu haruslah berubah
yaitu guru harus lebih berperan sebagai:
a. Sebagai fasilitator dalam kegiatan belajar mengajar.
Dalam hal ini guru tidak hanya menyampaikan pengetahuan kepada
siswa namun sebaliknya guru membantu siswa dalam membimbing dan
mengarahkan kegiatan belajar mengajar sehingga selain memperoleh ilmu
pengetahuan, murid juga dapat berpikir kreatif.
b. Guru merupakan penasihat murid
Yaitu guru harus mampu memahami kebutuhan belajar murid sehingga
dapat memberikan pelayanan belajar yang etpat kepada murid dan dapat
membantu kesulitan belajar murid.
29
c. Pengamat kegiatan murid
Yaitu guru selalu mengontrol dan mengawasi sikap tingkah laku muris
terutama pada saat berlangsungnya proses belajar di kelas maupun di sekolah.
d. Mengevaluasi kemampuan belajar murid
Tugas guru menilai keberhasilan proses belajar murid dan pemahaman
murid terhadap materi yang telah disampaikan oleh guru.
Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk Az Zarnuji
mengatakan bahwa para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru
disyaratkan memiliki sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang),
memiliki kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, dan berumur (lebih
tua usianya). Disamping itu, Az Zarnuji menekankan pada “kedewasaan”
(baik ilmu maupun umur) seorang guru. Hal ini senada dengan pernyataan
Abu Hanifah ketika bertemu Hammad seraya berkata: “Aku dapati Hammad
sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Maka aku menetap di
sampingnya, dan akupun tumbuh dan berkembang”.
6. Pengertian Murid
Unsur kedua yang memegang perana penting dalam pendidikan adalah
anak didik atau murid. Murid adalah manusia yang akan dibentuk oleh dunia
pendidikan. Ia adalah objek sekaligus subjek, yang tanpa keberadaannnya
proses pendidikan mustahil berjalan.
Murid merupakan potensi kelas yang harus dimanfaatkan guru dalam
mewujudkan proses belajar mengajar yang efektif. Murid adalah anak-anak
yang sedang tumnbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun psikologis
30
dalam rangka mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan
formal, khususnya berupa sekolah.
Murid sebagai unsur kelas memiliki perasaan kebersamaan yang sangat
penting artinya bagi terciptanya situasi kelas yang dinamis. Setiap murid harus
memiliki perasaan diterima (membership) terhadap kelasnya agar mampu ikut
serta dalam kegiatan kelas. Perasaan diterima itu akan menentukan sikap
bertanggung jawab terhadap kelas yang secara langsung berpengaruh pada
pertumbuhan dan perkembangaanya masing-masing. (Nawawi, 1985: 127128).
Di samping kata murid dijumpai istilah lain yang sering duganakan
dalam bahasa Arab, yaitu‫“تلميذ‬Tilmidz”yang bearti murid atau pelajar,
jamaknya
‫“تاميذ‬Talamidz”. Kata ini lebih merujuk pada murid yang belajar
di madrasah. Kata lain yang berkenaan murid adalah “ ‫أعلم‬
‫ “لب‬yang artinya
pencari ilmu, pelajar, mahasiswa. (Yunus, t.th: 74). Kata inilah yang dipakai
oleh Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim untuk memberikan julukan
kepada murid.
Az-Zarnuji mengatakan bila seorang murid atau santri semakin
memuliakan guru itu akan meningkatkan tingkat ketaqwaan kepada Allah
SWT sangat tinggi, ketinggian sikap atau sifat memuliakan baik pada guru
pada orang lain yang lebih tua, apalagi pada Allah SWT dalamketaqwaannya
semakin meningkat maka Allah akan mengangkat harkat dan martabatnya.
31
Mengacu dari beberapa istilah mengenai murid di atas, murid diartikan
sebagai orang yang berada dalam taraf pendidikan. Yang dalam berbagai
literatur disebut sebagai anak didik. Muhaimin dan Abdul Mujib
mendefinisikan anak didik dalam pendidikan Islam adalah sama dengan teori
barat yaitu anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik
maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui pendidikan.
(Muhaimin dan Mujib, 1993: 177)
Menurut H. Arifin menyebut “Murid” dengan manusia didik sebagai
makhluk yang sedang dalam proses perkembangan atau pertumbuhan menurut
fitrah masing-masing yang memerlukan bimbingan dan pengarahan yang
konsisten menuju arah titik optimal yakni kemampuan fitrahnya. (Arifin,
1996: 144).
7. Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Guru adalah figur seorang pemimpin. Guru adalah sosok arsitektur
yang dapat membentuk jiwa dan watak anak didik. Guru mempunyai
kekuasaan untuk membntuk dan membangun kepribadian anak didik menjadi
sorang yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Guru bertugas
mempersiapkan manusia susila yang cakap yang dapat diharapkan
membangun dirinya dan membangun bangsa dan negara.
Guru merupakan orang yang diserahi tanggung jawab sebagai
pendidikan di dalam lingkungan kedua setelah kelurga (sekolah). Karena pada
dasarnya tanggung jawab pendidikan terhadap anak adalah sebagai tanggung
jawab orang tua (bapak dan ibu) dalam sebuah lingkungan keluarga.
32
Tanggung jawab ini bersifat kodrati, yang artinya bahwa orang tua
adalah pendidik pertama dan utama yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan jasmani maupun rohani anak didik. Di samping itu karena
kepentingan orang tua terhadap kemajuan dan perkembangan anaknya.
Tanggung jawab orang tua terhadap anak didik tersebut berdasar atas
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat enam (6):







Artinya : Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu
dari apineraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan. ( Q.S At-Tahrim: 6).
Seiring dengan perkembangan pengetahuan, keterampilan, sikap serta
kebutuhan hidup yang rumit, maka orang tidak mampu merasakan tugas-tugas
penididkan anaknya. Sehingga di zaman yang maju ini banyak tugas orang tua
sebagai pendidik sebagian diserahkan kepada guru di sekolah.
Secara tidak langsung guru sebagai pemegang amanat yang diserahkan
kepadanya. Sebagai pemegang amanat dari orang tua untuk mendidik anak,
maka menurut Abullah Nasih Ulwan, guru bertugas untuk melaksanakan
pendidikan ilmiah, sebab ilmu mempunyai pengaruh yang bersah terhadap
pembentukan kepribadian dan emansipasi harkat manusia. (Ulwan, 1999: 302)
33
Akan tetapi zaman sekarang jabatan guru telah menjadi sumber mata
pencaharian, yakni guru bukan hanya sebagai penerima amanat pendidikan
melainkan juga orang yang menyediakan dirinya sebagai pendidik profesional.
Sebagai pendidik profesional, guru memiliki banyak tugas. Terkait
oleh dinas maupun luar dinas dalam bentuk pengabdian. Apabila
dikelompokkan terdapat 3 (tiga) jenis tugas guru yaitu:
a. Tugas dalam profesi
Meliputi
mendidik,
mengajar,
dan
melatih.
Mendidik
bearti
mengembangkan nilai hidup, mengajar bearti meneruskan, mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengembangkan ketermapilan pada siswa.
(Usman, 2000: 6-7).
b. Tugas kemanusiaan
Tugas kemanusiaan salah satu sega dari tugas guru . Sisi ini tidak dapat
diabaikan karena guru harus terlibat di masyarakat dengan interaksi
sosial.Guru harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik.
Sehingga anak didik memiliki sifat-sifat kesetiakawanan sosial. Sehingga
pemahaman terhadap jiwa dan watak anak didik diperlukan agar mudah dapat
memahami jiwa dan watak anak didik. (Djamarah, 2000: 37).
c. Tugas bidang kemasyarakatan
Di bidang kemasyarakatan merupakan tugas guru yang tidak kalah
pentingnya. Pada bidang ini guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar
masyarakat untuk menjadi warga negara Indonesia yang bermoral pancasila.
34
Mencermati tugas-tugas guru sebagai pendidik profesional di atas,
dapat dipahami bahwa tugas guru tidak hanya terbatas pada lingkungan
sekolah dan ruang kelas saja, akan tetapi mencakup ruang yang lebih luas lagi.
Sebagai tenaga profesional, guru juga memiliki kode etik sebagai
ketentuan dasar yang harus dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas
profesionalnya.
Maksud dari kode etik di sini adalah norma-norma yang mengatur
hubungan kemanusiaan (relationship) antar guru dengan lembaga pendidikan
(sekolah), guru sesama guru, guru dengan peserta didik (murid), guru dengan
lingkungannya. Sebagai sebuah jabatan pekerjaan, profesi guru memerlukan
kode etik khusus untuk mengatur hubungan-hubungan tersebut.
Fungsi adanya kode etik adalah untuk menjaga kredibilitas dan nama
baik guru dalam menyandang status pendidik. Dengan demikian, adanya kode
etik tersebut diharapkan para guru tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran
terhadap tugas dan kewajibannya. Secara substansial, diberlakukannya kode
etik kepada guru sebenarnya untuk menambah kewibawaan dan memlihara
image citra profesi guru tetap baik.
Kode etik tersebut mengatur tentang apa yang harus dilakukan dan apa
yang tidak boleh dilakukan guru dalam menjalankan tugas profesionalnya.
Adapun kode etik guru antara lain :
a. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk
manusia seutuhnya.
b. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional
35
c. Guru berusaha mmperoleh informasi tetntang pserta didik sebagai
bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
d. Guru mnciptakan suasana sekolah sebaik baik nya yang menunjang
berhasilnya proses belajar mengajar.
e. Guru memelihara hubungan baik dengan oranng tua murid dan
masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa
tanggung jawab brsama terhadap pendidikan.
f. Guru secara pribadi dan bersama sama mengembangkan dan
meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
g. Guru
memelihara
seprofesi,
semangat
kekeluargaan,
kesetiakawanan sosial.
h. Guru secara bersama sama memelihara dan mningkatkan mutu
organisasi PGRI, sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
i. Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang
pendidikan. (Mujtahid, 2009: 42-44).
Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba. disamping guru memiliki
tugas untuk membimbing, mencari pengenalan terhadap anak didik melalui
pemahaman jiwa dan watak. Guru juga memiliki tugas lain yang sangat urgen,
yaitu :
a. Menciptakan sesuatu untuk pendidikan yakni suatu keadaan tindakan
pendidikan yang dapat berlangsung baik dengan hasil memuaskan.
b. Memiliki pengetahuan yang diperlukan terutama pengetahuanpengetahuan agama.
c. Mampu menjadi contoh dan taladan bagi murid sekaligus tempat
beradaptasi dan mampu menyamakan diri. (Marimba, 1981: 38-39)
36
Sedangkan Athiyqah Al Abrasyi menyoroti sifat-sifat yang harus
dimiliki seorang guru dalam pendidikan menurut kacamata Islam,
antara lain:
1. Bersifat Zuhud, yaitu melaksanakan tugasnya bukan semata-mata
mencari dunia atau materi, tetapi harus benar-benar karena mencari
ridha Allah.
2. Bersih fisiknya dari segala kotoran dan bersihnya jiwa dari segala
sifat tercela.
3. Ikhlas dan tidak riya, sum’ah, maupun ujub dalam melaksanakan
tugasnya.
4. Bersikap pemaaf dan memaafkan kesalahan orang lain, sabar, dan
sanggup menahan amarah, senantiasa membuka diri dan menjaga
kehormatannya.
5. Bersikap keibuan atau kebapakan, yaitu sampai mencintai dan
mengasuh peserta didik layaknya anak sendiri.
6. Mengetahui betul karakter peserta didik, seperti pembawaan,
kebiasaan, perasaan dan berbagai fungsi dan dimilikinya.
Menguasai pelajaran yang diajarkannya dengan baik dan
profesional. (Al-Abrasyi, 1974: 135-148)
Al-Ghazali menjelaskan tentang tugasguru dan tanggung jawab
seorang guru pada bagian khusus dari kitabnya “Ihya Ulumuddin”, dengan
pembahsan yang luas dan mendalam.adapun pebahasan dalam bab ini dapat
diuraikan sebagai berikut:
37
a. Mengikuti jejak Rasulullah
Adapun syarat bagi seorang guru, maka ia layak menjadi pengganti
Rasulullah SAW, dialah sebenarnya alim (berilmu). Tetapi tidaklah pulalah
tiap-tiap orng alim layak menempati kedudukan sebagai Rasulullah SAWitu.
Dengan demikian seorang pendidik hendaknya menjadi wakil dan pengganti
Rasulullah, yang mewarisi ajaran-ajarannya, dan memperjuangkan dalam
kehidupan amsy di segala penjuru dunia.
Demkian perilaku, perbuatan dan kepribadian seseorang harus
mencerminkan ajaran-ajarannya. Sesuai dengan ajaran Rasulullah. Karena
memang beliau dilahirka di dunia ini adalah sebagai “uswatun khasanah atau
figur ideal” bagi umat manusia pada umumnya, dan bagi seorang guru
khususnya.
Selanjutnya Al-Ghozali mengatakan: Hendaknya guru itu meniru pada
Rasulullah SAW, yang membawa peraturan agama. Jadi hendaknya tidak
mencari upah dan balasan duniawi dalam mengajarkan ilmunya.
Sesungguhnya orang yang mencari harta dan segala tujuan duniawi
dengan ilmunya adalah laksana menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Ia menjadikan yang semestinya harus dilayani menjadi pelayan. Karena Allah
menjadikan badan sebagai kendaraan dan pelayan bagi ruh, dan menjadikan
ruh sebagai pelayan ilmu.
Jadi ilmu pengetahuan adalah harus dilayani bukan menjadi pelayan
dan bukan dilayani. Jika terbalik maka sesat.
b. Memberi kasih sayang kepada anak didik
38
Hendaklah
seorang
guru
memperlakukan
muridnya
seperti
memperlakukan anak-anaknya sendiri. Manakala seorang ayah menjaga
anaknya dari siksaan api dunia. Maka guru bertugas menjaga dari siksaan api
neraka. Orang tua adalah menjadi sebab wujudnya kehadiran anaknya dan
kehidupan itu adalah fana. Sedang guru menjadikan sebab kehidupan yang
abadi.
Dengan demikian seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan
wakil kedua orang tuanya, yaitu mencintai dan mendidik anak didiknya seperti
memikirkan keadaan anaknya.
8.
Tugas dan Kewajiban Murid
Pendidikan Islam memperhatikan kewajiban-kewajiban para siswa
serta apa yang harus menjadi pasangan mereka dalam soal tingkah laku. Tidak
mengherankan jika kaum muslimin memandang para murid itu dengan
perasaan hormat dan penghargaan. Oleh karena itu murid berusaha
memperoleh sesuatu yang maha berharga di dunia ini ialah ilmu dan
pengetahuan.
Adapun tugas dan kewajiban bagi seorang murid yaitu:
a. Memilih Guru
. ‫ فَ َ ْ َغِى َ ْ َ ْ َ َا ْ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ َا َ َ ْ َ َ ا‬: ِ َ ْ ُ ْ ‫َ َ ا ْخ ِ َ ُا‬
Salah satu faktor keberhasilan seorang murid dalam mencapai
tujuannya untuk mendapatkan ilmu, yaitu mereka harus memilih guru yang
berkualitas dan profesional serta berakhlak mulia. Karena itu akan sangat
39
mempengaruhi terhadap keberhasilan seorang murid atau pelajar dalam proses
belajar.
Adapun ciri-ciri guru yang harus dipilih adalah sebagai berikut:
1) Guru yang banyak ilmunya.
2) Guru yang memiliki sifat wara’.
3) Guru yang usianya lebih tua.
Artinya murid yang sedang melakukan proses belajar mengajar di
dalam kelas itu harus digurukan tidak boleh dengan belajar sendiri. Ilmu
agama adalah warisan para nabi bukan barang hilang yang bisa di cari di
kitab-kitab.
Dalam bukunya M. Alaika Salamullah berpendapat setidaknya ada dua
langkah yang perlu ditempuhmurid untuk menemukan guru ideal:
1. Hendaknya ia meminta pendapat kepada kalangan yang dipercaya
tentang orang yang layak dijadikan guru.kalau perlu, ia bisa
bertanya kepada orang-orang yang lebih berpengalaman dalam
berguru.
2. Mengamati secara langsung keadaan calon guru.
Langkah yang kedua ini memang lebih berat, tapi akan membuat
dirirnya lebih puas, karena ia tahu betul keadaan orang yang akan
diangkatnya sebagai guru baik dari segi keilmuan maupun
ketakwaannya. (Salamullah, 2008: 128).
40
b.
Etika Murid dalam Mencari Ilmu
Di antara etika murid dalam mencari ilmu atau belajar yang harus
senantiasa diperhatikan oleh murid dan dikerjakannya adalah sebagai berikut:
1. Sebelum mulai belajar, siswa itu harus terlebih dahulu
membersihkan hatinya dari segala sifat yang buruk, karena
balajar dan mengajar itu dianggap sebagai ibadah.
2. Dengan belajar ia bermaksud hendak mengisi jiwanya dengan
fadhilah, mendetakkan diri kepada Allah, bukanlah dengan
maksud menonjolkan diri, berbangga dan gagah-gagahan.
3. Bersedia mencari ilmu, termasuk meninggalkan keluarganya
dan tanah air, dengan tidak ragu-ragu berpergian ke tempattempat yang paling jauh sekalipun bila dikehendaki demi untuk
mendatangi guru.
4. Jangan terlalu sering menukar guru, tetapi haruslah ia berpikir
panjang dulu sebelum bertindak hendak mengganti guru.
5. Hendaklah ia menghormati guru dan memuliakannya karena
Allah, dan berdaya upaya pula menyenangkan hati guru dengan
cara yang baik.
6. Jangan merepotkan guru dengan banyak pertanyaan, janganlah
meletihkan
dia
dengan
menjawab,
jangan
berjalan
di
hadapannya, jangan duduk di tempat duduknya, dan jangan
mulai bicara kecuali setelah mendapat ijin dari guru.
7. Bersungguh-sungguh dan tekun belajar, bertanggung jawab
siang dan malam untuk memperoleh pengetahuan dengan
terlebih dahulu mencari ilmu yang lebih penting.
41
8. Hendaklah murid itu tekun belajar, mengulangi pelajarannya di
waktu senja dan menjelang subuh.
9. Murid harus terlebih dahulu memberi salam kepada gurunya,
mengurangi percakapan di hadapan guru, jangan mengatakan
kepada guru “ Si anu bilang lain dari yang bapak katakan” dan
jangan pula tanya kepada guru siapa teman duduknya
10. Jiwa saling mencintai dan persaudaraan haruslah menyinari
pergaulan antara murid sehingga merupakan anak yang
sebapak.
c. Tugas dan Kewajiban Seorang Murid
Dalam kitab Ta’lim Muta’allim telah dijelaskan sifat dan tugas sebagai
seorang murid sebagai berikut:
1. Tawadhu’, adalah sifat sederhana, tidak sombong, tidak pula
rendah hati
2. Iffah, adalah sifat yang menunjukkan rasa harga diri yang
menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak patut
3. Tabah, tahan dalam menghadapi kesulitan kesulitan pelajaran dari
guru
4. Cinta ilmu dan hormat kepada guru dan keluarganya
5. Sabar, tahan terhadap godaan nafsu
6. Sayang kepada kitab, menyimpan kitab dengan baik
7. Hormat kepada sesama penuntut ilmu dan tamalluk kepada guru
dan kawan untuk menyerap ilmu dari mereka
8. Bersungguh-sungguh dalam belajar dan memanfaatkan waktu
sebaik-baiknya
42
9. Teguh pendirian dan ulet dalam menuntut ilmu dan mngulangi
pelajaran
10. Wara’, sifat menahan diri dari perbuatan yang terlarang
11. Punya cita-cita yang tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan
12. Tawakkal, maksudnya menyerahkan kepada Tuhan segala perkara.
(Az-Zarnuji, 2009).
Betawakkal adalah akhir dari proses kegiatan dan ikhtiar seorang
muslim untuk mengatasi segala urusan.
Sedangkan tugas dan kewajiban seorang murid terhadap guru ini telah
diljelaskan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin”, yaitu sebagai
berikut:
1.
Menjaga kesucian jiwa dari sifat-sifat tercela
Seorang murid harus harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti
yang hina dina dan sifat-sifat yang tercela lainnya. Sebagaimana
halnya
shalat, maka menuntut ilmu pun demikian. Ia harus diakukan dengan hati
yang bersih, terhindar dari hal-hal yang jelek dan kotor, termasuk di dalamnya
sifat-sifat yang rendah seperti marah, sakit hati, dengki, tinggi hati, „ujub,
takabur dan sebagainya.
2.
Seorang pelajar itu hendaklah mengurungkan hubungannya dengan
urusan duniawi.
Sebagia seorang murid yang baik, juga harus menjauhkan diri dari
persoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia dan
masalah-masalahnya dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu. Dan
43
menjauhkan dari kaum keluarga dan kampung halaman sebab segala
hubungan itu mempengaruhi dan memalingkan hati kepada yang lain.
Al-Ghazali mengatakan: Menyedikitkan hubungan dengan kesibukankesibukan dunia menjauh dari keluarga dan tanah air, karena hubunganhubungannya itu menyibukkan dan memalingkan.
3.
Seorang pelajar itu jangan menyombong dengan ilmunya dan jangan
menentang gurunya.
Al-Ghazali mengatakan: Tidak sombong karena ilmu dan tidak
menentang guru namun ia serahkan kendali urusannya kepada guru itu secara
keseluruhan dalam setiap rincian dan mendengarkan dokter yang sayang dan
cerdik.
4.
Hendaklah dapat menjaga diri dari beberapa pendapat yang berbeda.
Khusus terhadap murid yang baru hendaknya jangan mempelajari
ilmu-ilmu yang saling berlawanan atau pendapat yang saling berlawanan dan
bertentangan.
Seorang
murid
hendaklah
mampu
menjaga
diri
dari
mendengarkan pendapat guru yang berbeda-beda, karena itu dapat
membingungkan akalnya, jiwanya dan dapat menjadikan putus asa untuk
mengetahui dan meneliti ilmu pengetahuan baik bersifat keduniaan maupun
keakhiratan.
5.
Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
Apabila umur itu biasanya tidak berkesempatan mempelajari segala
ilmu pengetahuan anak yang lebih utama diambil ialah yang lebih baik dari
segala pengetahuan itu dan dicukupkan dengan sekedarnya. Lalu dikumpulkan
44
dari seluruh kekuatan dari pengetahuan tadi untuk mnyempurnakan suatu
pengetahuan yang termuat dari segala macam ilmu pengetahuan ilmu
pengetahuan ilmu akhirat.
Al-Ghazali berkata: Orang-orang yang mencari ilmu itu tidak
meninggalkan satu dari ilmu-ilmu yang terpuji, dan tidak pula satu mcammacamnya kecuali melihat padanya dengan pandangan yang penting kepada
penghabisannya. Kemudian jika ia masih ada umur maka ia mendalaminya,
jika tidak maka ia sibuk (mengerjakan) mana yang lebih penting dari apa
adanya dan menyempurnakannya dan mengambil sedikit dari eluruh ilmu
lainnya karena ilmu-ilmu itu bantu-membantu, sebagiannya berkaitan dengan
sebagian yang lain.
6.
Hendaklah belajar secara bertahap
Bahwa tidak menerjunkan diri ke dalam sesuatu bidang ilmu
pengetahuan, sebelum menyempurnakan bidang yang sebelumnya.
Al-Ghazali berkata: Orang yang mencari ilmu itu hendaklah tidak
menerjunkan diri dalam suatu ilmu sekaligus tetapi ia menjadi tertib atau
urutan dan ia memulai dengan yang paling penting. Karena umur apabila
biasanya memuat seluruh ilmu, maka ia perlu dipegangi adalah ia mengambil
dari segala sesuatu akan apa yang terbaiknya.
Dan ia mencukupkan dari padanya dengan sekilasnya. Dan ia
pergunakan seluruh kekuatannya pada apa yang mudah dari ilmunya untuk
menyempurnakan ilmu yang merupakan semulia-mulia ilmu yaitu ilmu
akhirat.
45
Semakin lama waktu belajarnya semakin bertambah pula ilmu
pengetahuan yang diterrimanya sehingga murid harus bertambah dekat dengan
Allah, rajin beribadah dan semakin semangat mengamalkan ilmu yang telah
dimilikinya. Dengan ilmu yang telah dimiliki iti seorang murid harus mampu
berakhlakul karimah baik nagi dirinya, keluarganya dan lingkungannya.
Sehingga ia menjadi teladan bagi orang lain.
Al-Ghazali berkata: Tujuan murid sekarang adalah mendekatkan diri
kepada Allah Yang Maha Suci. Dan menghendaki untuk bertetangga dengan
kelompok yang tinggi dari para malaikat dan orang-orang yang didekatkan
bodoh dan berbangga terhadapa teman-temannya.
7.
Mempelajari Ilmu secara disiplin
Seorang murid hendaknya tidak satu disiplin ilmu sebelum menguasai
disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam urutan tertentu
secara alami, dimana sebagiannya merupakan jalan menuju kepada sebagian
yang lain. Murid yang baik dalam belajarnya adalah yang tetap memelihara
urutan pentahapan tersebut.
8.
Mengenali nilai setiap ilmu
Seorang murid hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yang
dipelajarinya dengan baik. Dalam hubungan ini Al-Ghazali mengatakan:
Bahwa nilai ilmu itu tergantung pada dua hal, yaitu hasil dari
argumentasinya. Ilmu agama misalnya berbeda nilainya dengan ilmu
kedokteran. Hasil ilmu agama adalah kehidupan yang abadi, sedangkan ilmu
46
kedokteran adalah kehidupan yang sementara. Oleh karena itu ilmu agama
kedudukannya lebih mulia daripada ilmu kedokteran.
9.
Menghiasi kebathinannya
Seorang murid hendaknya menghiasi batinnnya dan juga mencantikkan
batinnya dengan sifat keutamaan. Mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dan tidaklah dimaksudkan dengan menuntut ilmu pengetahuan itu,
untuk menjadi kepala, untuk memperoleh harta dan kemegahan, untuk
melawan orang-orang bodoh dan untuk membanggakan diri dengan temanteman.
Yang dimaksud di atas bahwa pelajar itu telah mendekati tujuannya,
yaitu ilmu akhirat.
10.
Mengandung kepentingan untuk diri sendiri
Bahwa harus diketahui hubungan pengetahuan itu kepada tujuannya.
Supaya pengetahuan yang tinggi dan dekat dengan jiwa itu membawa
pengaruh kepada tujuannya yang masih jauh. (Al-Ghazali, 1979: 189-205).
1. Faktor Penting Dalam Etika
Ya’qub mengatakan bahwa ada dua faktor utama yang mempengaruhi etika,
akhlak, atau moral yaitu faktor intern dan faktor ekstren.
1. Faktor Intern
Yang dimaksud faktor intern adalah faktor yang datang dari diri sendiri yaitu
fitrah yang suci yang merupakan bakat bawaan sejak lahir dan mengandung
pengertian tentnag kesucian anak yang lahir dari pengaruh-pengaruh luar
sebagaimana firman Allah:
47
ِّ ‫ق‬
ِ ْ َ ِ َ ْ ِ َْ َ َ ََْ َ ‫ا‬
ْ ‫فَأ َ ِ ْ َ ْج َ َ ِ ِ ْ ِ َح ِ ْفً ِف‬
َ َ‫ت ِّ ا ِ ف‬
َ َ‫ط‬
َ‫ط‬
. َ ْ ‫َ َ َ َ ْ َ ُل‬
َ َ ْ َ ْ ‫ِ ْ َ قَ ِ َ َ َ ِل‬
َ َِ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah):
(tetapalah atas) fitrah Allah yang telah mencipatakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar-Ruum: 30).
Dengan demikian setiap anak yang lahir ke dunia ini telah memiliki naluri
keagamaan yang nantinya akan mempengaruhi dirinya, seperti unsur-unsur yang
ada dalam dirinya turut membentuk etika, akhlak atau moral, antara lain:
a. Instik dan akal
b. Adat istiadat
c. Kepercayaan
d. Keinginan-keinginan
e. Hawa nafsu
f. Hati nurani
2. Faktor ekstern
Faktor ekstern adalah faktor yang mempengaruhi kelakuan atau perbuatan
manusia yang meliputi:
a. Pengaruh keluarga
Setelah anak lahir, maka akan terlihat dengan jelas fungsi keluarga
dalam pendidikan, yaitu memberikan pengalaman kepada anak, baik melalui
pemeliharaan, pembinaan dan pengarahan yang menuju pada bentuknya tigkah
laku yang diinginkan oleh orang tua.
Orang tua (keluarga) merupakan pusat kegiatan rohani bagi anak yang
pertama, baik itu tentang sikap, cara berbuat, cara berfikir itu akan kelihatan.
48
Keluargapun sebagai pelaksana pendidikan Islam yang akan mempengaruhi
dalam pembentukan etika atau akhlak yang mulia.
b. Pengaruh sekolah
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang kedua setelah
pendidikan keluarga, disana dapat mempengaruhi etika atau akhlak anak.
Yunus, (1987: 37), mengatakan bahwa:
“Di dalam sekolah berlangsung beberapa bentuk dasar dari
kelangsungan pendidikan pada umumnya, yaitu pembentukan sika-sikap dan
kebiasaan-kebiasaan yang wajar, perangsang dari potensi-potensi anak,
perkembangan dari kecakapan pada umumnya belajar kerjasama dengan
kawan sekelompok, melaksanakan tuntunan dan contoh-contoh yang baik,
belajar menahan diri demi kepentingan orang lain”.
c. Pengaruh masyarakat
Masyarakat dalam pengertian yang sederhana adalah kumpulan individu
dalam kelompok yang diikat dalam ketentuan negara kebudayaan dan agama.
Yunus, (1978: 33), mengungkapkan:
“Lingkungan dan alam sekitar mempunyai pengaruh yang sangat besar
dalam membentuk etika lingkungan yang baik akan menarik anak-anak untuk
beretika baik. Jika lingkungan jahat maka akan menarik anak untuk beretika
jahat atau buruk. oleh karena itu haruslah pendidik memperhatikan lingkungan
yang berhubungan dengan anak-anak di luar rumah tangga. Mereka akan
mencontoh etika yang disekitar mereka dan ditirunya perkataan dan oerbuatan
mereka dengan tiada disadarinya.”
Dengan
demikian
pembentukan
etika
yang
baik
dan
mulia
membutuhkan pendidikan, baik dari keluarga, sekolah, maupun lingkungan
49
masyarakat dengan ditetapkannya kebiasaan-kebiasaan, latihan-latihan serta
contoh-contoh yang baik sehingga abak dapat memahami dan mengetahui
berbagai corak kegiatan tingkah laku lebih-lebih dalam pembentukan etika
yang baik atau akhlak yang mulia.
2. Tujuan Etika Murid terhadap Guru
1. Ada empat tujuan dari etika murid terhadap guru
Dalam dunia pendidikan sudah dapat kita lihat. Bahwa etika mau
menyediakan orientasi. Meskipun tidak setiap murid memerlukan orientasi itu
apalagi tanpa etika ilmiah pun kebanyakan murid dengan sendirinya sedikit
beretika, namun seorang murid yang tidak begitu saja mempercayakan diri
pada pandangan lingkungan moral. Dalam penjelasan kitab Ta’lim
Muta’allimada sekurang-kurang empat alasan tujuan etika murid terhadap
guru yaitu:
a. Guru membimbing murid untuk menjadikan murid agar menjadi murid yang lebih
baik dan sopan terhadap guru
b. Guru membimbing murid untuk menjadikan murid agar lebih menghormati dan
menghargai guru
c. Guru membimbing jiwa murid agar menjadi manusia sejati, yang manusia
mengerti bahwa dirinya adalah hamba Allah SWT
d. Guru membimbing jiwa murid agar melawati jalan-jalan menuju ridho Allah
SWT.
Nabi Muhammad di utus dengan membawa risalah ajaran Islam
sebagai rahmat bagi semesta alam. Ajaran-ajaran yang dibawa itu bertujuan
untuk menyempurnakan etika atau akhlak umatnya. Dengan etika yang baik,
50
agung, dan mulia, rasulullah dijadikan suri tauladan dan contoh bagi umatnya.
Hal ini telah Allah tegaskan dalam firman-Nya:



“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
bagibagimu”. (QS. Al-Ahzaab: 21)
Tujuan dari beretika dalam Islam adalah untuk membentuk orangorang yang beretika baik, sopan dalam berbicara dan berbuat, mulai dari
tingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, rendah hati, sopan dan beradab,
ikhlas dan jujur. Sehingga kalau seorang murid memiliki modal demikian
maka bisa diharapkan, negara atau bangsa ini akan menjadi bangsa yang baik
pula.
2. Tujuan Proses Pembelajaran (Ta’lim wa Ta’lum)
Kegiatan belajar dan mengajar yang dipimpin oleh seorang amir
ta’lum (guru) yang menyampaikan ilmu kepada murid berisi keutamaan
beramal shalih atau ilmu-ilmu yang diridhai Allah SWT.
Maksud dan tujuan Ta’lim wa Ta’lum adalah untuk memasukkan nur
kalamullah dan nur sabda rasulullah atau ilmu ilmu-ilmu yang diridhai Allah
ke dalam hati kita, sehingga lebih bergairah lagi dalam mengerjakan amal
agama. Di antara keutamaan Ta’lim adalah sebagai berikut:
a. Mendapatkan rahmat oleh Allah SWT.
b. Mendapatkan sakinah atau ketenangan jiwa.
c. Dinaungi oleh para malaikat.
51
d. Nama kita akan dibangga-banggakan oleh Allah SWT, di majlis
para malaikat yang berada di sisi-Nya.
3. Etika Murid Terhadap Guru Menurut Al-Ghozali
Etika murid ini telah dijelaskan Al-Ghazali di falam kaitan
BidayatulHidayah yang terdiri dari 13 aturan pokok:
a. Memulai memberi hormat dan salam kepada gurunya dan mohon
ijin.
b. Tidak banya bicara di hadapan gurunya.
c. Tidak membicarakan yang tidak ditanyakan guru.
d. Tidak bertanya sebelum mohon ijin bicara atau tidak didahului.
e. Tidak mengatakan di hadapan gurunya, bilang bertentangan dengan
yang ustadz bilang atau yang sejenisnya itu.
f.
Tidak menunjukkan seolah-olah bertentangan dengan pendapat
gurunya (karena menduga gurunya dalam kesalahan).
g. Tidak menimbulakan kesan sinis terhadap gurunya atau tertawa
ketika gurunya sedang berbicara
atau memberi
pelajaran
kepadanya.
h. Tidak menoleh ke kiri atau ke kanan di hadapan gurunya bahkan ia
harus duduk dengan tenang, diam dan sopan mirip di waktu shalat.
i. Tidak
memperbanyak
pertanyaan
ketika
gurunya
sedang
konsentrasi pikiran memecahkan suatu masalah ilmu.
j. Tidak berdiri ketika gurunya sedang berdiri sebagai penghormatan.
k. Tidak mengikuti gurunya ketika meninggalkan majelis dengan
berbagai pertanyaan.
52
l. Tidak menghadang gurunya di tengah dengan maksud bertanya
tetapi menunggu sampai gurunya di rumah.
m. Tidak
meyakini
gurunya
dengan
dugaan
buruk
karena
perbuatannya kelihatan secara dhamir sebagai perbuatan tercela.
3. Pokok-pokok Etika terhadap Guru
Para pelajar (murid) tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat
mengambil manfaatnya, tanpa mau menghormati ilmu dan guru.Bahwa ada yang
mengatakan bahwa orang-orang yang telah berhasil mereka ketika menuntut ilmu
sangat menghormati tiga hal tersebut. Dan orang-orang yang tidak berhasil dalam
menuntut ilmu, karena mereka tidak mau menghormati ataumemuliakan ilmu dan
gurunya.
1. Pokok dari etika murid terhadap guru termasuk menghormati guru dalam kitab
Ta’lim Muta’alim yaitu:
a. Hendaknya seorang murid tidak berjalan di depannya.
b. Tidak duduk di tempatnya, kecuali ada ijinnya.
c. Tidak memulai bicara padanya kecuali dengan ijinnya.
d. Hendaknya tidak bebicara di hadapan guru.
e. Tidk bertanya sesuatu bila guru sedang capek atau bosan.
f. Harus menjaga waktu.
g. Jangan mengetuk pintunya, tapi sebaliknya menunggu sampai
beliau keluar. (Az-zarnuji, t. th: 17).
Dalam kitab Ta’lim Muta’allim Az Zarnuji memberikan beberapa nasihat yang
di dalamnya sarat dengan muatan moral, etika dan akhlak bagi para pelajar atau
murid, nasihat-nasihat itu antara lain:
53
a. Anjuran untuk bermusyawarah
Karena mencari ilmu merupakan suatu yang luhur, namun perkara yang sulit,
Az Zarnuji menganjurkan agar para pelajar melakukan diskusi atau musyawarah
dengan pelajar atau orang lain. Ia mengatakan:
“Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka
bermusyawarahlah dengan mereka yang lebih tahu dan itu merupakan suatu
keharusan”. (Az-Zarnuji, t.th: 14).
b. Anjuran untuk sabar, tabah dan tekun
Az-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memiliki kesabaran atau
ketabahan dan tekun dalam mencari ilmu.Ia mengatakan:
“Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketekunan adalah pokok dari segala
urusan”.
c. Anjuran untuk bersikap berani
Selain sabar dan tekun, Az-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk
nainarebeK .nainarebek ikilimemberarti juga kesabaran dalam menghadapi kesulitan
dan penderitaan. Ia mengatakan:
“Keberanian adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan penderitaan”.
d. Anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu
Az-Zarnuji banyak sekali menekankan tentang pentingnya menghindari hawa
nafsu. Ia mengatakan:
“Hendaknya seorang siswa bersifat sabar dalam menuruti hawa nafsunya”.
54
e. Anjuraan berteman dengan orang baik
Az-Zarnuji memberikan saran kepada para murid agar ia selalu berteman
dengan orang-orang yang baik, yang menurutnya orang-orang yang baik adalah:
“Yang tekun belajar, bersifat wara’, berwatak istiqomah dengan mereka yang
faham atau pandai. Sebaliknya ia tidak berteman dengan yang malas, banyak bicara,
suka merusak, dan suka menfitnah”.
f. Anjuran menghormati ilmu dan guru
Menghormati ilmu dan guru adalah salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh
setiap murid, bila ia ingin sukses dalam mencari ilmu. Ia mengatakan:
“Ketahuilah bahwa para pencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan
ilmunya tidak akan bermanfaat, kecuali dengan cara menghormati ilmu, ahli-ahli
ilmu dan menghormati para guru”.
2. Dasar dan Ciri-ciri Etika Murid terhadap Guru
Al-Ghozali menyebutkan, apabila ilmu pengetahuan lebih utama dalam satu
hal maka mempelajari adalah mencari yang lebih mulia mengajarkan dalah
memberikan faedah bagi keutamaan itu.
Jadi mengajar dan mendidik adalah sangat mulia karena secara naluri orang
berilmu itu dimuliakan dan dihormati oleh orang. Pendidik adalah orang kedua yang
dihormati dan dimuliakan setelah orang tua. Mereka menggantikan peran orang tua
dalam mendidik anak atau peserta didik ketika berada di lembaga pendidikan. Dengan
demikian seharusnya kita menghargai dan memuliakannya.
55
Para pendidik serta ulama seperti halnya mengormati dan memuliakan orang
tua kita. Sejalan dengan itu Al-Ghazali menyatakan bahwa seorang yang berilmu
kemudian mengamalkan ilmunya, maka orang itu yang dinamakan berjasa besar di
katalog langit ini.
Orang tersebut bagaikan matahari yang menyinari orang lain dan menerangi
pula dirinya ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain dan diapun
sendiri harum. Siapa yang bekerja di bidang keilmuan adab sopan santun dalam
tugasnya itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Mujadalah ayat 11:
َ ‫َأ َ َ ا ِ ْ َ َ َ ُ ْ ِإ َ ِ ْ َ َ ُل ْ َ َف ا ُح ْ ِفي ْ َل َ ِ ِ فَ ْف َ ُح ْ َ ْف َحِ ِّ َ ُل ْ َ ِإ‬
ٍ ‫ِ ْ َ ْا ُ ُ ْ َ ْ فَعِ ُّ ا ِ ْ َ َ َ ُ ْ ِ ْ ُل ْ َ ا ِ ْ َ ُ ْ ُ ْ ْ ِ ْ َ اَ َا َج‬
َ ْ ُ ‫ت َ ُّ ِ َل َ ْ َل‬
َ
11 ٌ ْ ِ ‫خ‬
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
Berlapang-lapanglah dalam majelis”. Maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”,
Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman,
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. ( Q.S AlMujadalah: 11).
Dalam kitab Ta’lim Muta’allim etika seorang murid harus bisa mengamalkan
antara lain:
a. Tidak menyombongkan ilmunya.
b. Tidak menentang guru.
c. Tidak terlibat dalam kontroversi dan akademis.
d. Mempunyai tujuan yang baik.
e. Harus tirakat.
f. Mendahulukan ilmu-ilmu yang penting dan pokok.
56
Salah satu hal yang menarik dalam ajaran Islam ialah penghargaan sangat
tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu, sehingga menempatkan
kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi.
Mengapa demikian, karena guru terkait dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan
Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan.
Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan tergambar beberapa hadits
yang artinya sebagai berikut:
a. Tinta ulama lebih berharga dari pada darah syuhada.
b. Orang yang berilmu pengetahuan melebihi orang yang senang beribadah.
Yang berpuasa dan menghabiskan waktu ilmunya untukmengerjakan
sholat. Bahkan melebihi orang yang berperang di jalan Allah SWT.
c. Apabila meninggal seorang alim, maka terjadilah kekosongan dalam Islam
yang tidak dapat diisi oleh orang lain. ( Ahmad Tafsir, 2008: 76).
Menurut Jauhari Muchtar, (2008: 161), dari fiqih pendiri ciri-ciri adab
terhadap guru sebagai berikut:
a. Mengucapkan salam apabila bertemu dengannya.
b. Bertutur kata dan bersikap sopan apabila berhadapan dengannya.
c. Mendengarkan, menyimak, dan memperhatikan semua perkataan atau
penjelasannya ketika guru mengajar atau bebicara dengan kita.
d. Mengerjakan semua tugas yang diberikan oleh guru dengan baik, tepat
waktu dan bersungguh-sungguh.
e. Bertanya atau bediskusi dengan guru apabila ada hal atau masalah yang
belum dimengerti dengan cara yang baik dan sopan.
f. Mengamalkan ilmu yang telah didapat dengan benar.
57
g. Jangan tertawa jika berbicara dengan guru.
h. Jangan menarik kainnya jika ia berdiri.
i. Membantu serta mendo’akan guru agar diberi keberkahan oleh Allah
SWT.
Itulah beberapa etika atau adab yang harus dilakukan oleh seorang murid
terhadap guru semoga kita mengamalkannya.
58
BAB IV
ANALISIS ETIKA MURID TERHADAP GURU
DALAM KITAB TA’LIM MUTA’ALLIM
A. Etika Murid Terhadap Guru
Metode dalam Ta’lim bukan hanya dinamakan dalam aktivitas ceramah,
diskusi, resitasi dan semacamnya yang lebih mengedepankan pencapaian “kecerdasan
intelektual” sebagaimana sering dipahami di zaman ini. Metode dimaknakan lebih
jauh, yaitu pada cara pencapaian “kecerdasan emosional yang religius”, sehingga
dapat memangun watak perspektif ini, maka akhlak baik yang dimiliki oleh subyek
didik termasuk bagian dari wacana metode.
1.
Etika Murid terhadap Guru dalam kitab Ta’lim Muta’allim
Dijelaskan dalam kitab Ta’lim Muta’allim bagi setiap pelajar sebaiknya
mempunyai etika terhadap gurunya. Karena begitu tinggi penghargaan itu sehingga
menerapkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi. Agar siswa bisa
memuliakan gurunya. (Az Zarnuji: 91). Maka sebaiknya seorang murid diperlukan
internalisasi sikap wara’ dalam beretika terhadap guru, sikap ini akan menjadikan
ilmu yang didapat mempunyai berdaya guna lebih banyak.
Diantara sikap Wara’ adalah:
a. Menghindari rasa kenyang.
b. Menjaga diri dari dari kebanyakan tidur.
c. Menjaga diri agar tidak terlalu banyak bicara yang tidak bermanfaat.
d. Menjaga diri dari ghibah (memberikan kejelekan orang lain).
59
e. Menjaga diri dari perkumpulan yang isinya hanya gurau. Perkumpulan
semacam itu hanya akan mencuri umur, menyia-nyiakan waktu.
f. Menjauhkan diri dari orang-orang yang suka berbuat kerusakan dan
maksiat. Sebaiknya siswa hendaknya berdekat-dekat dengan orang-orang
sholeh (pada bait lain, Az Zarnuji juga menyampaikan bahwa maksiat
menghambat proses hafalan).
g. Rajin melaksanakan perbuata-perbuatan baik dan sunah-sunah Rasul.
h. Memperbanyak shalat sebagaimana shalatnya orang-orang khusyuk.
i. Selalu membawa buku dalam setiap waktu untuk dianalisa.
Para siswa dinasehatkan dan dibekali dengan petunjuk, yang terpenting di
antaranya adalah:
a. Seorang murid harus membersihkan hatinya dan kotoran sebelum ia
menuntut ilmu, karena belajar adalah semacam ibadah dan tidak sah
ibadah kecuali dengan bersih hati.
b. Hendaklah tujuan belajar itu ditujukan un ntuk menghiasi ruh dengan sifat
keutamaan, mendekatkan diri dengan Tuhan, dan bukan untuk bermegahmegahan dan mencari kedudukan.
c. Dinasehatkan agar para pelajar tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan
dan supaya merantau.
Sesuai dengan itu pula Al „Abdari pun menasehatkan para seorang murid agar
jangan mengganggu guru dengan banyak pertanyaan bila ternyata bahwa ia tidak suka
dengan demikian. Jangan berlari dibelakangnya jika di jalanan. Dalam kitab Ta’lim
Muta’allim telah dijelaskan bahwa seorang murid itu harus patuh kepada guru, dan
dalam hal ini Az Azarnuji berkata, sebagian dari kewajiban para murid ialah jangan
60
berjalan di depan guru, jagan duduk di tempat guru, dan jangan berbicara kecuali
sesudah meminta ijin dari guru. (Fahmi, t.th: 174-175).
Adapun sikap murid terhadap guru antara lain adalah penghormatan dan
pengahargaan kepada ilmu dan guru. Az Zarnuji tidak menjadikan keduanya analistik,
sebagaimana ia juga tidak memisahkan antara intelektualitas pendidikan dan
spiritualnya. Seorang murid tidak dibenarkan hanya menimba intelektualitas
seseorang, tetapi hak yang melekat padanya ditelantarkan. Pendidikan mempunyai
dasar “hak atas karya intelektual” yang pantas dihargai dengan sikap pemuliaan dan
penghargaan material.
Etika murid terhadap guru dalam perilaku taat pada perintah dan menjauhi
larangan-Nya selama masih dalam koridor kepatuhan kepada Allah, bukan
sebaliknya. Tampilan rinci lain lebih mengarah pada “budi pekerti” yang di masa
sekarang perlu ditegakkan, tetapi berangsur luntur.
“Barang siapa berkeinginan anaknya menjadi ilmuan, maka sebaiknya ia
bersedia untuk merawat, memuliakan, memberi sesuatu dan mengagungkan ahli”.
(Az Zarnuji, t.th: 17).
Dalam kitab Ta’lim Muta’allim menjelaskan bahwa “keberhasilan seseorang
tergantung dari penghormatannya, kegagalannya adalah karena meremehkannya”.
Sesunguhnya bagi seorang murid yang baik, agar mendapatkan ilmu dari gurunya
hendaknya mempunyai etika yang baik di setiap menerima, mendengarkan,
mengerjakan apa yang disampaikan gurunya dan jangan sekali-kali sebaliknya
(meremehkan guru).
61
Selanjutnya seorang pelajar juga harus bersikap rendah hati pada ilmu dan
guru. Seorang murid juga harus mencari kerelaan guru, harus menjauhi hal-hal yang
menyebabkan ia murka, mematuhi perintahnya asal tidak bertentangan dengan agama.
Dengan cara demikian ia akan tercapai cita-citanya. Ia juga harus menjaga keridhaan
gurunya. Ia jangan menggunjing gurunya. Dan jika ia tidak sanggup mencegahnya,
maka sebaiknya ia harus menjauhi orang tersebut. Selanjutnya seorang murid
hendaknya tidak memasuki ruangan kecuali setelah mendapat izinnya.
Seorang pelajar tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan mengambil
manfaatnya, tanpa mau menghormati ilmu dan guru. Karena ada yang mengatakan
bahwa orang-orang yang telah berhasil mereka ketika menuntut ilmu sangat
menghoramati tiga hal tersebut. Dan orang-orang yang tidak berhasil dalam mnuntut
ilmu, karena mereka tidak mau menghormati atau memuliakan ilmu dan gurunya.
Karena ada yang mengatakan bahwa menghormati itu lebih baik daripada mentaati.
(Az Zarnuji, t.th: 16).
Az-Zarnuji mengatakan bila seorang murid lebih menghormati seorang guru
itu menaikkan tingkat ketakwaan kepada Allah SWT sangat tinggi, ketinggian
beretika terhadap guru, pada orang lain yang lebih tua, apalagi kepada Allah SWT
dalam ketakwaannya semakin meningkat maka Allah akan mengangkat harkat dan
martabatnya.
. ِ ِ‫ْ َل َ َ ِ ْ َ ُ ِ ا ِ ِ ْا‬
َ ِ َ ْ َ َ َ ُ َ‫َ َ َ ُ َ َ َ ْ ِ ُ َ َل ا‬
ِ ‫َ َ ْ َ ْ ِ ْ ِ ْ ُل َ ِ ِ َ ْ َ َ ْل‬
Dalam sya’ir di atas dijelaskan bahwa sangatlah penting seorang murid
menghormati, menghargai, rendah hati, dan tidak menyakiti hati gurunya. Hal ini
ditegaskan agar murid nantinya benar-benar mendapat ilmu yang berguna serta
bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.
62
2.
Hubungan Murid dan Guru
Az Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim Muta’allim berpendapat tentang persoalan
hubungan guru dan murid, menganggap guru sebagai elemen terpenting dalam
pembelajaran. Karena guru harus dihormati dan diikuti tidak boleh dibantah atau
disanggah sedikitpun.
Menurut Az Zarnuji berpindah ilmu dengan berpindah guru atau tempat dapat
mengakibatkan ketidak berkahan membuat waktu sia-sia dan dapat menyakiti hati
seorang guru.
Az Zarnuji menyebut hal ini sebagian bentuk dari ketidakpahaman dan
ketidaksabaran serta memperturutkan hawa nafsu.
Tentang hubungan guru dan murid adalah bahwa guru memiliki kedudukan
uang sedemikian rupa, sehingga murid harus menghormatinya dengan sedemikian
rupa pula.
Syaikh Sadiduddin Asy Syairozi, menceritakan nasehat dari gurunya
“siapapun yang menghendaki anaknya menjadi seorang alim, maka hendaklah ia
memelihara, menghormati, rendah hati dan memberikan sesuatu kepada ahli agama.
Andaikata hukum anaknya yang alim pasti cucunya yang akan menjadi alim. Karena
itulah, siapapun yang menyakiti hati gurunya maka ia tak akan mendapat kemudahan
dalam berilmu dan hanya sedikit ilmunya yang berguna.
Sesungguhnya guru dan dokter keduanya tidak akan menasehati kecuali bila
dimuliakan. Maka rasakan penyakitmu jika pada dokter, dan terimalah kebodohanmu
bila kamu membangkang pada guru. (Az Zarnuji, t.th: 18).
63
Pendidikan Islam mewajibkan kepada setiap guru untuk senantiasa
mengingatkan bahwa kita tidaklah sekedar membutuhkan ilmu, tetapi senantiasa
membutuhkan etika yang baik di kalangan pelajar dapat dilakukan dengan latihanlatihan berbuat baik, berkata benar, menepati janji, ikhlas dan jujur dalam bekerja dan
menghargai waktu. (Daudy, 1986: 62).
B. Analisis Kitab Ta’lim Muta’alim
Mukadimah Ta’lim menjelaskan tentang fenomena kontraproduktif dalam
proses pembelajaran agama yang terjadi pada masa Az Zarnuji. Para penuntut ilmu di
masanya banyak yang belajar tekun, tetapi akhirnya lalai terhadap ajaran Islam dan
sulit menyebarkan ide.
Fenomena tersebut terjadi pula di masa sekarang, seperti banyaknya murid
yang belajar agama dengan tujuan dapat membentuk etika yang baik, budi pekerti dan
akhlak yang baik, tetapi tidak menjadi agamawan atau tidak tercapainya tujuannya.
Setelah diselidiki dan direnungkan yang lama, maka Az Zarnuji menemukan
jawaban sebagaimana dituliskan dalam kitab Ta’lim Muta’allim. Penyebabnya
menurut Az Zarnuji adalah kekeliruan memilih metode dan menentukan syaratsyaratnya.
Ditegaskan, “setiap orang yang salah menempuh metode maka akan tersesat,
sehingga tidak akan sampai pada maksud”. Pendapat seperti ini menemukan
momentumnya di Indonesia pada masa sekarang. Nurkholish Madjid dalam orasinya
mengemukakan kembali pendapat Mahmud Yunus yang sejalan dengan Az Zarnuji
pengarang kitab Ta’lim Muta’allim, bahwa At Thariqah Ahummu min Al Maddah
(metode itu lebih penting dibanding sekedar isi). (Nurkholish Madjid, 2000: 1-2).
Pada lembaga sekolah pendapat ini bearti, “seorang guru”, yang menguasai
metodologi yang baik, seklaipun bahannya kurang, pasti akan lebih mampu
64
mentransfer pengetahuan lebih efektif daripada “seorang guru” yang menguasai
begitu banyak bahan, tetpai miskin metodologi.
Pada ranah “pendidikan” yang hidupnya lebih luas dibanding sekolahan.
(Noeng Muhadjir, 1993: 54). Bearti “pendidik” yang menguasai metodologi yang
baik, sekalipun bahannya kurang, pasti akan lebih mampu mentransfer pengetahuan
lebih efektif daripada mereka yang menguasai banyak bahan, tetapi miskin
metodologi.
Seperti penjelasan di atas, bahwa metode yang dijelaskan dalam Ta’lim, yang
tujuannya agar seorang murid terhindar dari akhlak tercela atau etika yang buruk,
maka sikap wira’i (menjaga diri) dan ta’dzim (mengagungkan). Kedua sikap ini
sangat berpengaruh bagi seorang murid untuk mendapatkan ilmu yang lebih
bermanfaat, baik bagi dirinya maupun masyarakat luas, sehingga ilmu yang dapat
berdaya gunanya banyak.
Analisis dalam kitab Ta’lim Muta’allim karangan Syaikh Az Zarnuji ini
menerangkan tentang etika murid terhadap guru dalam mencapai kemanfaatan ilmu.
Namun banyak orang yang berilmu tapi tidak bermanfaat bagi diri sendiri dan orang
lain. Maka supaya ia mendapatkan ilmu yaang diharapkan dan mendapatkan
manfaatnya, maka ia hendaknya menilai ilmu dengan metode yang diajarkan dengan
menghiasi akhlakul karimah.
Etika baik, buruk, terpuji atau tercelanya suatu etika seseorang tergantung
kepada orang itu sendiri. Dengan kata lain etika seseorang menerima perubahan
karena ia merupakan masalah yang diusahakan. Hanya saja ia juga mengakui seperti
Aristoteles bahwa kecepatan perubahan itu tidak sama pada setiap orang, ada yang
cepat ada yang lambat.
65
Akan tetapi dalam kitab Ta’lim Muta’allim ini mengatakan bahwa etika tidak
dapat berubah, karena ia berasal dari watak dan pembawaan. Baginya etika dapat
selalu berubah dengan kebiasaan dan latihan serta pelajaran yang baik. Sebab
kebanyakan anak-anak yang hidup dan dididik dengan suatu cara tertentu dalam
masyarakat atau dalam sekolah ternyata mereka berbeda secara merusak dalam
menerima nilai-nilai etika atau akhlak yang luhur. Karena itu, seorang murid dapat
diperbaiki etikanya dengan mengosongkan dari dirinya segala sifat tercela dan
menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji dan luhur. Ini juga adalah merupakan tujuan
pokok ajaran agama yaitu mengajarkan sejumlah nilai etika atau akhlak mulia agar
manusia baik dan bahagia. Disinilah terdapat kaitannya yang erat antara agama dan
filsafat etika, yang keduanya berfungsi sebagai:
1. Memperbaiki tingkah laku,
2. Rendah hati manusia,
3. Sebagai makhluk manusia,
4. Untuk mencapai kebahagiaan.
Ta’lim Muta’allim tidak hanya memberikan dorongan moral agar murid
ata ,huggnus-huggnus nagned rajaleb ,urug itamrohgnemu menghargai ilmu
,ipateT .nauhategnepTa’lim al-Muta’allim juga sudah jauh terlibat dalam mengatur
raj aparebes itrepes ,aynfitakilpa kutneb anamiagabak ideal antara murid dan guru.
Berkenaan dengan etika murid menurut kitab Ta'lim al-Muta'allim, dapat
:tukireb iagabes isakifitnediid
(1) Anjuran musyawarah
(2) Anjuran untuk sabar, nuket nad habat
66
(3) Anjuran untuk bersikap berani
(4) Anjuran untuk tidak usfan awah itukignem
(5) Anjuran berteman dengan orang baik
(6) Anjuran umli itamrohgnem dan guru.
C. Relevansi Kitab Ta’lim Muta’allim tentang Etika Murid terhadap Guru dalam
Konteks Kekinian
Dalam kitab Ta’lim Muta’allim karangan Syaikh Az-Zarnuji menganggap
guru sebagai elelemen terpenting dalam pembelajaran, karenanya guru harus
dihormati dan diikuti tidak boleh dibantah atau disanggah sedikitpun, bahwa
hubungan yang menempatkan guru seperti itu, telah dirasakan sangat membunuh
kreativitas murid. Karena mereka kehilangan daya kritis dan inovatifnya. Sedangkan
model hubungan seperti itu bisa jadi sangat relevan bila diterapkan dalama pengajaran
ilmu-ilmu tasawuf. Tetapi dalam ilmu-ilmu lainnya yang membutuhkan banyak
pertanyaan dan diskusi nampaknya tidak cocok bila menggunakan pola hubungan
seperti itu. Ditambah lagi, bahwa termasuk dari menghormati guru adalah
menghormati orang-orang yang mempunyai hubungan dengannya, baik berupa anak
atau kerabat lain.
Statemen ini, nampaknya seperti dikatakan sebelumnya yang mendukung
penghormatan yang lebih terhadap guru dan keluarganya. Dari penjelasan di atas
penulis menambahkan hal ini. Tidak bisa diterapkan di era zaman sekarang. Karena
zaman sekarang dibutuhkan kecerdasan baik IQ maupun EQ, dan lain-lain
ketawadhu’an, sopan santun, tata krama, etika yang baik sudah sedikit bergeser.
Artinya hakekatnya sama memuliakan guru seperti dulu akan tetapi pelaksanaan
67
berubah yaitu tidak berlebihan, dan memandang apakah orang tersebut patut bagi kita
untuk dimuliakan.
Ternyata pada akhir penjelasan dalam kitab Ta’lim Muta’allim juga
memberikan kebebasan pada calon murid untuk menentukan sendiri mengenai materi,
guru, dan teman. Ini merupakan relevansi pemikiran etka murid terhadap guru dalam
konteks kekinian. Dimana setiap murid bebas (dalam aturan brutal atau sebebasbebasnya). Tetapi ada batasan-batasan yaitu dengan melihat kondisi yang ada dan
baikkah atau tidakkah etikanya.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan-pembahasan dan analisa pada bab-bab sebelumnya, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
Dalam kitab Ta’lim Muta’allim tentang etika murid terhadap guru dalam
proses belajar mengajar ini sangat penting. Dimana setiap murid, pelajar atau siapa
saja memiliki etika yang baik, taat kepada orang alim (guru). Maka dengan harapan
kalau dengan guru, menjadikan ilmunya bermanfaat, berkah, bagi dirinya maupun
orang lain.
1.
Etika murid dalam mencari ilmu yang terdapat dalam kitab Ta’lim Muta’allim
antara lain:
a. Sebelum mulai belajar, murid terlebih dahulu mebersihkan hatinya dari
segala sifat yang buruk.
b. Dengan belajar murid hendaknya mengisi jiwanya dengan fadhilah.
Bersedia mencari ilmu.
c. Jangan sering menukar guru, berpikir panjang sebelum bertindak
mengganti guru.
d. Hendaklah menghormati guru.
e. Jangan merepotkan guru dengan banyak pertanyaan.
f. Bersungguh-sungguh dan tekun belajar.
g. Mengulangi pelajarannya di waktu senja dan menjelang subuh.
69
h. Hendaklah terlebih dahulu memberi salam kepada gurunya.
i. Jiwa saling mencintai dan persaudaraan haruslah menyinari pergaulan
antara murid.
Sedangkan etika murid terhadap guru dalam kitab Ta’lim Muta’allim antara
2.
lain:
a.
Hendaknya seorang murid tidak berjalan di depannya.
b.
Tidak duduk di tempatnya, kecuali ada ijin darinya.
c.
Tidak memulai bicara padanya kecuali dengan ijinnya.
d.
Hendaknya tidak berbicara di hadapan guru.
e.
Tidak bertanya sesuatu bila guru sedang capek atau bosan.
f.
Harus menjaga waktu.
g.
Jangan mengetuk pintunya, tetapi sebaliknya menunggu sampai beliau
keluar.
Selain itu seorang murid harus ta’dzim (mengagungkan) dan wira’i (menjaga
diri) seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa kedua sikap ini menjadikan ilmu
lebih bermanfaat, dengan tujuan mendapat ridha Allah SWT dan dapat kita
aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Cara mengaplikasikan etika murid terhadap guru
Etika murid yang ditawarkan oleh Syaikh Az-Zarnuji memang tidak aynaumes
dapat diterapkan dan kondusif dalam konteks kehidupan zaman gnarakes.
adA
nakparetid kutnu tilus aynkapmat gnay aparebeb, nagnaral aynlasimberbicara banyak
dalam konteks pembelajaran. Padahal konsep pembelajaran nredommenuntut murid
untuk banyak berbicara, baik dalam rangka mengemukakan tapadnep, haggnaynem
tapadnep,
nial nad nauhategnep utaus isitirkgnemsebagainya. Namun demikian,
70
untuk sebagian besar, etika murid yang zA mamI helo nakakumekid-Zarnuji dalam
kitabnya itu masih tetap relevan dan narajalebmep sketnok malad nakisakilpaid tapad
ini asawed. Di antara sekian zA narujna-Zarnuji yang dapat diaplikasikan, misalnya,
anjuran Az-Zarnuji nuket asaitnanes awsis raga, huggnus-huggnus, hadabireb kaynab,
rahilemema nutnas napos, ayniagabes nial nad hareynem tapec kadit.
B. Saran
Dengan begitu besar manfaat dan peranan rendah hati, taat, hormat, patuh,
beretika terhadap guru (orang yang berilmu), maka kami kami menyarankan sebagai
berikut:
1. Sebagai umat Islam yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, seharusnya
kita selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang merupakan
pedoman dalm kehidupan sehari-hari sehingga dengan harapan perilaku kita tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
2. Agar ilmu menjadi berkah, manfaat baik untuk diri pribadi, maupun dimasyarakat
nantinya maka dalam menuntut ilmu hendaknya memuliakan guru, taat, patuh,
sopan dan santun terhadap guru (orang yang memberi ilmu).
3. Bahwa yang namanya guru, orang alim harus dihormati, ditaati, dipatuhi, dan
jangan sampai membuat sakit hatinya. Sebagai seorang murid haruslah
mempunyai etika yang sopan, dan dapat memuliakan guru guru, pada guru yang
tidak zalim.
C. Penutup
Dengan mengucap syukur Alkhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akademik yaitu
penulisan skripsi sebagai syarat untuk meraih gelar sarjana S1 di jurusan Tarbiyah
71
prpgram studi Pendidikan Agama Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Salatiga.
Mengingat kemampuan yang ada, tentulah skripsi ini jauh dari kesempurnaan.
Sehingga apabila ada kebenaran itu semata-mata hidayah dari Allah, namun apabila
ada kesalahan, maka semua itu merupakan kekhilafan penulis. Untuk itu saran dan
kritik yang membangun (konstruktif) dari perbaikan selanjutnya sangat diharapkan.
Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya dan juga
bagi pembaca umumnya di dunia dan akhirat. Amin.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abrasyi, Muhammad Athiyah Al. 1993. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj Bustani
A Gani. Jakarta: Bulan Bintang.
Achmad, Mudlor. t.th. Etika Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Ahmad, H., 1999. Al Qur’an dan Terjemah. Semarang: Toha Smarang.
Arifin, H. M., 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian. Jakarta: Bina Aksara.
Badriyatin. 1998. Sejarah peradaban Islam, Cet VIII. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Daradjat, Zakiyah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Daudy, Ahmad. 1959. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Mutiara.
Departemen Agama Republik Indonesia. 2008. Al Qur’an dan Terjemah. Bandung: CV.
Diponegoro.
Depatemen Agama Republik Indonesia. 2005. Al Qur’an dan Terjemah Special Women.
Bandung: Syamil Qur’an.
Departeman Penididikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Guru dan Anak Interaksi. Jakarta: Rineka Cipta.
Djatmika, Rachmat. 1996. Sistem Ethika Islam (Akhlak Mulia). Jakarta: Pustaka Panjimas.
Fahmi, Asma Hasan. 1989. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Furchan, Arief. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Ghozali, Imam Al. 1995. Ihya’ Ulumuddin. Jakarta: Pustaka Amani.
. 1994. Kiat Sukses dalam Menuntut Ilmu. Jakarta: Rica Grafika.
. 1979. Ihya’ Ulumuddin, Jilid 1, Terj. Ismail Ya’qub. Semarang: CV. Faizan.
Ibn Majah, Al Khafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al Qazwaini. t.th. Sunan Ibn
Majah. Mesir: Darul Fikri.
Juwariyah. 2010. Hadis Tarbawi. Yogyakarta: Teras.
Kementerian Agama Republik Indonesia. 2010. Al Qur’an dan Terjemah. Bandung: CV.
Fokusmedia.
Madjid, Nurcholish. 2000. Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan. Jauhar,
Vocabulary, No. 1, Desember.
Magnissuseno, Franz. 1987. Etika Dasar (masalah-masalah Pokok Filsafat Moral).
Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI).
Marimba, Ahmad D. 1981. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al Ma’arif.
Muhtar, Heri Jauhari. 2008. Fiqih Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Mujib, Muhaimin dan Abdul. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Tri Genda Karya.
Muhadjir, Noeng. 1993. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial suatu Teori Pendidikan.
Yogyakarta.
Mujtahid. 2009. Pengembangan Profesi Guru. Malang: UIN-Malang Press (Anggota IKAPI).
Nata, Abudin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
, Abudin. 2001. Perspektif Tentang Pola Hubungan Guru, Murid, Studi Pemikiran
Tasawuf Al Ghozali. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1973. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, Jakarta.
Nawawi, Hadari. 1985. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas Sebagai Lembaga
Pendidikan. Jakarta: PT. Gunung Agung (IKAPI).
Purwanto, Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Rahman, Fazlur. 1997. Islam dan Modernisasin Tentang Transformasi Intelektual, Terj.
Ahsin Muhammad, cet ke II. Bandung: Pustaka.
Syalabi, Ahmad. 1997. Sejarah dan Kebudayaan Islam, cet II. Pustaka Al Husna Baru.
Salamullah, Alaika M. 2008. Akhlak Hubungan Vertikal. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
Sardiman, A.M., 1990. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Sulistiyo, Aan. 2006. Pembentukan Sikap Tawadhu’. Salatiga: STAIN Salatiga, Salatiga.
Tafsir, Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan dan Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Ulwan, Abdullah Nasih. 1999. Pendidikan Anak dalam Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Usman, Moh Uzer. 2000. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Yunus, Mahmud. t.th. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hida Karya Agung.
, Mahmud. 1978. Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran. Jakarta: Hida Karya
Agung.
Zarnuji, Syaikh Az. t.th. Ta’lim Muta’allim. Surabaya: Darul Ulum.
, Syaikh Az. t.th. Ta’lim Muta’allim, Terj. Humam Shiruddin. Kudus: Maktabah Wa
Mathba’atu Minar.
, Syaikh Az. 2009. Ta’lim Muta’allim, Thariqatta Allum, Terj. Abdul Kadir Al Jafri.
Surabaya: Mutiara Ilmu.
, Asy-Syekh Az. t.th. Ta’lim Muta’allim Pedoman belajar untuk Pelajar dan Santri,
Terj. Noor Aufa Shiddiq. Surabaya: Al-Hidayah.
Zubaidy, Muhammad bin Muhammad Al Husain Az. t.th. Ittihafu Al Sadat Al Muttaqin, bi
Syarhi Ihya Ulumuddin, Juz 1, Darul Fikri.
Download