PENDIDIKAN KEMATANGAN JIWA TINJAUAN MENURUT AL-QUR’AN SURAH AL-AHQAF AYAT 15 Oleh: Raihanatul Jannah ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa ketakwaan atau keimanan seseorang dalam perjalanan hidupnya dapat mengalami pasang surut, turun naik, bertambah dan berkurang sesuai dengan pengalaman, lingkungan dan perasaannya. Karena itulah pendidikan masih sangat perlu untuk pemeliharaan, pengembangan dan penyempurnaan. Masalah yang diteliti dirumuskan bagaimana pendidikan kematangan jiwa dalam al-Qur’an surah alAhqaf ayat 15? Objek yang diteliti adalah surah al-Ahqaf ayat 15 yang diambil dari beberpa tafsir. Metode yang digunakan adalah metode Maudhu’i. Hasil penelitian ini berdasarkan hasil dari analisis beberapa tafsir dan buku-buku yang berhubungan dengan masalah tersebut dengan kesimpulan bahwa 1) Kedewasaan dapat dicapai pada usia 30 hingga 40 tahun, usia 40 tahun merupakan usia dimana kemampuan fisik dan intelektual mencapai puncak kematangan dan kedewasaan seseorang. 2) Pendidikan yang diajarkan dalam surah al-Ahqaf ayat 15 ini ialah bagaimana cara berhubungasn baik dengan tuhan dan cara berhubungan baik dengan sesama manusia, khususnya terhadap kedua orang tua dan keturunan. Kata Kunci: Pendidikan, Kematangan, Jiwa 193 194 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 A. Latar Belakang Dalam kehidupannya manusia mempunyai banyak kebutuhan, yang sangat mendasar adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup, kebutuhan melestarikan jenisnya dan kebutuhan untuk mewujudkan kematangaan jiwa. Dari kebutuhan inilah muncul motif-motif yang menuntut manusia untuk memenuhinya. Secara fitrah manusia telah mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang serta memiliki kecenderungan sifat ingin tahu terhadap sesuatu. Dalam rangka mengembangkan potensi tersebut, maka perlu adanya sarana yang tepat untuk bisa mewujudkan keseimbangan aspek jasmani dan rohani dalam rangka mencapai kedewasaan yakni melalui pendidikan. Menurut Undang-Undang No. 20 th 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 1 Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang berbunyi: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dan bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, 1 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidkan Umum dan Agama Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 4 Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 195 berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.2 Pendidikan adalah sesuatu yang esensial bagi manusia. Pendidikan mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk memenuhi fungsi, peran, dan eksistensi kemanusiaannya. Pendidikan berlangsung seumur hidup atau dari kecil sampai mati. Bahkan pendidikan dimulai sebelum lahir sehingga rahim itu sebenarnya adalah lembaga pendidikan dan pertumbuhan pertama bagi manusia. Oleh kerena itu sampai masa dewasa pun pendidikan seseorang belum berakhir, khususnya pendidikan agama. Agama Ialam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. mengandung implikasi pendidikan yang bertujuan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dalam agama Islam terkandung suatu potensi yang mengacu pada dua penomena perkembangan, yaitu; 1. Potensi Psikologis dan Pedagogis yang mempengaruhi manusia untuk menjadi pribadi yang berkualitas bijak dan menyandang derajat yang mulia melebihi makhluk-makhluk lainnya. 2. Potensi pengembangan kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang dinamis dan kreatif serta responsif terhadap lingkungannya, baik yang alamiah maupun yang ijtima’iyah, di mana tuhan menjadi potensi sentral perkembangan.3 Oemar Muhammad al-Toumy al-Syaebani dalam Arifin (1987: 13) menyatakan bahwa Pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dilandasi oleh nilai-nilai Islam dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan 2 Ibid., h. 307 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2009), h. 29 3 196 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan.4 Menurut Margono Poesposoewarno pendidikan Islam adalah proses mekanisme bimbingan, tuntunan, pengarahan, pembinaan, dan penyuluhan oleh subjek didik kepada objek didik, yang meliputi pengarahan dan peningkatan, jiwa, pikiran, perasaan, intuisi, imajinasi, kreativitas, serta intelektualitas dan keterampilan seluruh potensi organisme rohani seseorang.5 Pendidikan Islam adalah usaha yang berproses sepanjang hayat, yang menganut prinsip “pendidikan manusia seutuhnya” yang memandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas dasar potensi yang terdapat dalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya. Ketakwaan atau keimanan seseorang dalam perjalan hidupnya dapat mengalami pasang surut, turun naik, bertambah dan berkurang sesuai dengan pengalaman, perasaan dan lingkungannya. Karena itulah pendidikan Islam berlaku selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memlihara dan mempertahankan tujuan yang telah dicapai. Pendidikan Islam memiliki format pemeliharaan, pemanfaatan, dan pengembangan fitrah kemanusiaan, baik fitrah sebagai abid (hamba) di hadapan Tuhan maupun fitrah sebagai manusia sosial dalam lingkungan kehidupan dunia. Orang yang sudah takwa dalam bentuk insan kamil masih perlu mendapatkan pendidikan dalam rangka pengembangan dan penyempurnaan, sekurang-kurangnya pemeliharaan 4 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidkan Islam, (Jakarta: PT. Raja Gerafindo Persada, 2011), h. 9 5 M. Solihin, Prinsip-Prinsip Dasar Pemikiran Keislaman, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 132 Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 197 supaya tidak luntur dan berkurang, meskipun pendidikan oleh diri sendiri dan bukan dalam pendidikan formal. Pendidikan diri sendiri dalam psikologi lebih tepat diistilahkan penyesuaian. Proses penyesuaian terhadap diri sendiri dan lingkungan atas tuntutan diri dan lingkungan, dengan memetik menfaat pengalaman. Ini dapat terjadi atas dasar bahwa setiap orang punya daya bangkit diri (self actualisation), daya nyata diri (self realization), dan daya arah diri (self direction). Secara menyeluruh, ketiga “daya” tersebut serentak melahirkan “energi’’ besar bagi individu untuk menciptakan dan merubah dirinya sendiri dan akan terpancar merubah lingkungan.6 Psikis atau jiwa seeorang diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi berbuat menampung serta mendorong manusia untuk berbuat kebaikan dan keburukan. Namun pada hakikatnya potensi untuk berbuat kebaikan itu lebih kuat, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan, karena itu manusia dituntut untuk memelihara kesucian jiwanya. Sebagaimana firman Allah Q.S. Asy-Syam sebagai berikut: Menurut Al-Ghazali, bahwa tingkah laku seseorang itu adalah lukisan jiwanya, yang disebabkan oleh kebiasaannya, yang pada mulanya bukan merupakan perbuatan baik atau buruk. Tidak merupakan kekuasaan baik atau buruk dan tidak merupakan perbedaan baik atau buruk 6 Andi Mappiae, Psikologi Orang Dewasa, (Surabaya: PT. Usaha Nasional,1983), h,xi 198 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 itu. Imam Al-Ghazali termasuk orang yang mempunyai keyakinan bahwa jiwa manusia itu dapat dilatih, dididik, dikuasai, diubah kepada akhlak yang mulia dan terpuji. Tiap sifat itu tumbuh dari hati manusia dan melahirkan perbuatannya kepada anggota badannya. Sebaliknya tiap anggota badan ada hubungannya dengan jiwa manusia.7 Jiwa adalah ’sesuatu’ di dalam diri manusia yang mengalami ‘pertumbuhan’ dan ‘perkembangan kualitas’ seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kedewasaan seorang manusia. Semakin dewasa dia maka semakin tinggi juga kualaitas jiwanya.8 Firman Allah Q.S. Yusuf sebagai berikut: Sebagai seorang muslim kita dituntut secara syariat untuk mendidik jiwa kita supaya memiliki sifat-sifat terpuji dari sifat-sifat yang ada pada jiwa, untuk itu kita harus mengetahui sifat-sifat dari jiwa. Sifat-sifat jiwa yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai berikut ini: a. Menyuruh pada kejahatan b. Menyesali c. Tenang d. Berubah-ubah e. Mampu melakukan tugas f. Mempermudah untuk melakukan kesalahan g. Membisikkan untuk melakukan perbuatan baik atau buruk 7 Muhammad Isa Selamat., Penawar Jiwa Dan Pikiran, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h. 158 8 Agus Mustofa, Menyelam Ke Samudra Jiwa Dan Ruh, (Surabaya: PADMA Press, 2005), h. 11 Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 199 h. Menghiasi perbuatan buruk.9 Dengan mengetahui sifat-sifat jiwa tersebut, maka kita dapat memahami dan mengarahkan jiwa kita agar terhindar dari hal-hal yang menjerumuskan untuk berbuat, bertingkah laku yang tidak baik, karena sifat jiwa tidak hanya cenderung pada kebaikan juga bisa cenderung pada keburukan. Untuk itulah betapa pentingnya akan pendidikan. Al-Qalbu yaitu menyangkut jiwa yang bersifat latif (halus), rabbani (mempunyai sifat ketuhanan), dan ruhaniah, merupakan haikikat dari manusia, karena sifat dan keadaannya yang menerima pengetahuan, dapat beramal sekaligus menjadi objek perintah dan larangan dari Allah. Jiwa memiliki peranan yang besar dalam kehidupan dan atasnyalah bergantung nasib baik dan buruk manusia di dunia dan di akhirat. Menurut al-Ghazali ibarat kerajaan atau kendaraan, jiwa adalah raja atau pengemudi yang amat menentukan keselamatan atau kesengsaraan rakyat atau penumpangnya.10 Dalam psikologi perkembangan Islam, Aliah B. Purwakania Hasan, menurut guru sufistik, terdapat tujuh tingkat spritualitas manusia, dari yang bersifat egoistik sampai yang suci secara spritual, yang dinilai bukan oleh manusia, namun langsung oleh Allah yaitu: nafs ammarah, nafs lawwamah, nafs mulhimmah, nafs muthma’innah, nafs radhiyah, nafs mardhiyah, dan nafs safiyah.11 Sikap kejiwaan seseorang dewasa banyak sakali ditentukan oleh perlakuan yang dialami pada saat anak-anak, 9 Abdul Hamid al-Balali, Madrasah Pendidikan Jiwa, (Jakarta, Gema Insani: 2003), h. 17 10 M. Solohin. Penyucian Jiwa Dalam Persepektif Tasawuf AlGhazali, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h. 47 11 Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2008), h. 306 200 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 kerena itu tidaklah tepat membiyarkan mareka hidup terlepas dari ibu bapaknya kandungnya. Sebab pendidikan yang berlangsung di dalam keluarga adalah bersifat asasi, orang tua merupakan pendidik pertama, utama, dan kodrati. Orang tualah yang banyak memberikan pengaruh dan warna kepribadian seorang anak. Rasulullah menempatkan peran orang tua pada posisi sebagai penentu bagi pembentukan sikap dan pola tingkah laku keagamaan seorang anak. صلَّي هللا َعلَْي يه َو َسلَّ َم َ َ ق:ال َ ََع ْن اَيِب ُهَريْ َرَة َر يض َي هللا َعْنه ق َ ال َر ُس ْو ُل هللا ٍ ي ي ي الفطْرية فَاَب واه ي ه يودانييه اَوي نَ ي صَرانييه اَْوُُيَ يج َسانييه (رواه ُ ْ َ َ ُ ُ َ َ َ َمام ْن َم ْولُديُ ْولَ ُداالَّ َعلَي 12 )مسلم Betapapun banyak kasih sayang yang dapat diberikan oleh orang lain, tetapi tetap saja kasih sayang ibu bapak masih sangat mareka butuhkan. Jika seseorang sejak muda mulai belajar mengadakan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan, maka besar kemungkinannya kesukaran-kesukaran emosional yang menghadang dapat dihindari. Ada sepuluh karakteristik yang biasa terjadi pada usia dewasa madya 40-60 tahun: 1) Usia madya merupakan periode yang sangat menakutkan 2) Usia madya merupakan usia transisi 3) Masa sters 4) Usia yang berbahaya 5) Usia canggung 6) Masa berprestasi 7) Masa evaluasi 8) Dievaluasi dengan standar ganda 12 Abi Zakaria Yahya An Nawawi, Riyadhussolihin, (JeddahSanqafurat: Al Haramain, 2005), cet. Ke 3, h. Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 201 9) Masa sepi 10) Masa jenuh.13 Masa penyesuaian kembali dalam usia setengah baya sangat penting, sebab tidak sedikit individu yang kurang sempat bersiap-siap manghadapi perubahan-perubahan fisik dan peranan dalam usia ini, kekurangmampuan menyesuaikan diri individu terhadap perubahan-perubahan akan menimbul-kan dampak negatif yang berbahaya bagi masa tuanya. Maka di sinilah sebenarnya letak perlunya pendidikan dan bimbingan bagi orang dewasa untuk menjadi orang yang memiliki kematangan jiwa. Secara normal seseorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pula kematangan rohani seperti kematangan berpikir, kematangan kepribadian, maupun kematangan emosi. Tetapi perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini adakalanya tidak berjalan sejajar. Secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ia ternyata belum matang. Secara umum manusia terbagi dalam beberapa kelompok dari tingkat kematangan dalam emosi jiwa, kesadaran maupun cara berfikir, yaitu: a) Paling rendah adalah golongan egosentris yaitu lebih mengutamakan diri sendiri, tidak mempedulikan orang lain, dan segala hal yang difikirkan, dikerjakan hanya untuk mendapatkan jaminan hidup. b) Golongan etnocentris yaitu memiliki kecenderungan lebih teratur, mau taat aturan tetapi masih menonjolkan sikap merasa paling benar dan 13 Ramayulis., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 328 202 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 menginginkan pengakuan sebagai pribadi yang berpengaruh penting di lingkungan. c) Golongan world centris yaitu memiliki kecenderungan berfikir dan bertindak lintas sektor, lintas agama, dan lintas area. d) Golongan tertinggi sprit centris yaitu memiliki kematangan jiwa, bijaksana, kepedulian sosial, dan berfikir universal dan integral.14 Menurut Drs. Ahmad Mudzakir dan Joko Sutrisno dalam psikologi pendidikannya dari English dan English kematangan (Maturity) adalah keadaan atau kondisi bentuk struktur, dan fungsi yang lengkap atau dewasa pada suatu organisme, baik terhadap satu sifat, bahkan sering kali semua sifat.15 Dalam firman Allah SWT Q.S. al-Ahqaf ayat 15 sebagai berikut: 14 Edukasi. Korupasiana. Com/2010/04/s..... Ahmad Mudzakir. Dan Joko Sutrisno., Psikologi Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 118 15 Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 203 ُ َ اM. Quraish Shihab dalam tafsir alPada kata ْشدَّه Mishbah menjelaskan “sehingga apabila ia” yakni sang anak “telah dewasa” yakni sempurna awal masa bagi kekuatan fisik dan psikisnya, ia berbakti kepada kedua orang tuanya “dan” kebaktiannya itu berlanjut sampai ia “mencapai usia empat puluh tahun” yakni masa kesempurnaan kedewasaannya, dan sejak itu “ia berdo’a”.16 Dalam do’a ini tergambar terjadinya kesadaran dan peningkatan pengabdian dan kebaktian kepada kedua orang tua dari saat ke saat dan juga terlihat adanya kesadaran untuk mensyukuri nikmat dari Allah serta sadar akan perbuatanperbuatan yang telah lalu, sehingga bertaubat dan berserah diri kepada Allah SWT. Pada dewasa madya antara 40-60 tahun akan tampak tanda-tanda atau isyarat yang menunjukkan kemana kecenderungan yang sebenarnya, ke arah kebaikan atau kejahatan, menjadi manusia pembangunan atau perusak. Sehubungan ayat ini Ibnu Abbas berkata “Barang siapa yang mencapai usia 40 tahun, sedang perbuatan baiknya belum dapat mengalahkan perbuatan jahatnya, maka hendaknya ia bersiap-siap untuk masuk neraka”.17 Berdasarkan tafsiran M. Quraish Shihab tersebut kata yang berarti “telah dewasa” yakni sempurna awal masa kekuatan fisik dan psikisnya. “Dan sampai umurnya empat puluh tahun” yakni sempurna kedewasaannya” di sini dijelaskan bahwa dewasa bukan hanya fisiknya tetapi juga 16 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, pesan kesan dan keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati 2002), h, 87 17 Depertemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Bhakti Wakaf, 1990), h. 285 204 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 matang psikisnya, dan sempurna kedewasaan itu yaitu usia empat puluh tahun. Menurut Sayyid Quthb dalam tefsirnya Fi ZhilalilQur’an menjelas-kan kedewasaan dicapai pada usia sekitar 30 hingga 40 tahun. Usia 40 merupakan puncak kematangan dan kedewasaan. Pada usia ini sempurnalah segala potensi dan kekuatan, sehingga manusia memiliki kesiapan untuk merenung dan berpikir secara tenang dan sempurna. Pada usia ini fitrah yang lurus lagi sehat mengacu kepada apa yang ada dibalik kehidupan dan sesudahnya, mulai merenungkan tempat kembali dan akhirat.18 Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa perlu untuk meneliti lebih jauh tentang pendidikan kematangan jiwa yang terdapat di dalam al-Qur’an surah alAhqaf ayat 15. Dengan ini diharapkan dengan pendidikan seseorang dapat mengarahkan dirinya dalam menghadapi masa tuanya kelak yang berorentasi kepada kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Maka dengan ini penulis mengangkat permasalahan tersebut yang dituangkan dalam bentuk penelitian dengan judul; “PENDIDIKAN KEMATANGAN JIWA TINJAUAN MENURUT AL-QUR’AN SURAH ALAHQAF AYAT 15”. B. Penegasan Judul Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam judul penelitian di atas, maka perlu menguraikan pengertian tersebut satu persatu dalam pengertian ini; 1. Pendidikan. Maksudnya yaitu pendidikan Islam menurut Drs. Ahmad D Marimba bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan 18 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an Jilid 10, penerjemah oleh As’ad Yasin, dkk (Jakarta: Gema Insan Press, 2004), h, 322 Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 205 hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama (insan kamil) menurut ukuran–ukuran Islam.19 2. Kematangan adalah suatu kondisi atau tahap yang dicapai dalam proses pertumbuhan atau perkembangan. Dapat diartikan “matur” atau matangnya suatu fungsi atau potensi baik fisik atau mental psikologis tertentu sehingga kondisinya dalam keadaan mampu atau sanggup untuk dikembangkan atau digunakan.20 Atau istilah kematangan (maturity) adalah pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani.21 Di sini kematangan yang dimaksud adalah sebagaimana penafsiran Sayyid Quthb jika seseorang sudah mencapai usia 30-40 maka berarti dia sudah matang baik dari segi fisiknya maupun psikisnya, memiliki kesiapan untuk merenung, berfikir dan pemahaman secara tenang dan sempurna. 3. Jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan manusia.Yang dimaksud di sini adalah sikap, prilaku, penampilan, kebiasaan dan pandangan hidup seseorang yang tampak pada diri seseorang.22 Yang dimaksud di sini yaitu sikap, 19 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 9 20 M. Alisuf Sabri., Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Imu Jaya, 1996), h. 47 21 Jalaluddin., Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2004), h, 115 22 Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Rineka Cipta,2009), h. 1 206 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 prilaku, dan pandangan hidup seorang hamba yang terdapat pada surah al-Ahqaf ayat 15. 4. Tinjauan adalah pandangan terhadap suatu perkara untuk menentukan hasil ketercapaian, apakah mempunyai sebab akibat, hubungannya ataupun kebrhasilannya. Yang dimaksud di sini adalah sudut pandang penafsiran mufassir terhadap al-Qur’an surah al-Ahqaf ayat 15. 5. Al-Qur’an yang dimaksud di sini adalah surah alAhqaf ayat 15. Berdasarkan pengertian di atas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendidikan kematangan jiwa berupa sikap, prilaku dan pandangan hidup yang terkandung dalam surah al-Ahqaf Ayat 15. C. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini, penulis akan membahas pendidikan kematangan jiwa dalam al-Qur’an surah alAhqaf ayat 15. Maka rumusan masalahnya adalah bagaimana pendidikan kematangan jiwa dalam al-Qur’an surah al-Ahqaf ayat 15? D. Alasan Memilih Judul Dipilihnya judul penelitian ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain yaitu: 1. Ketakwaan atau keimanan seseorang dalam perjalanan hidupnya dapat mengalami pasang surut, turun naik, bertambah dan berkurang sesuai dengan pengalaman, lingkungan dan perasaannya. Karena itulah pendidikan masih sangat perlu untuk pemeliharaan, pengembangan dan penyempurnaan. 2. Pendidikan Islam yang menganut asas “long life education” pendidikan seumur hidup, dan menganut Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 207 prinsip “pendidikan manusia seutuhnya.” sehingga penulis tertarik untuk memilih judul tersebut. 3. Dalam ayat ini terdapat anjuran berdo’a pada usia 40 tahun, sehingga penulis merasa tertarik untuk menelitinya lebih dalam. 4. Sepengatahuan penulis Surah al-Ahqaf Ayat 15 ini belum ada yang menelitinya. E. Tujuan Pendidikan Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pendidikan kematangan jiwa dalam al-Qur’an surah al-Ahqaf ayat 15. F. Signifikansi Penelitian Hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan bermenfaat sebagai: 1. Bahan informasi mengenai nilai-nilai pendidikan kematangan jiwa yang digambarkan dalam alQur’an surah al-Ahqaf ayat 15. 2. Bahan masukan bagi setiap muslim khususnya para remaja dan generasi pemuda agar mempersiapkan diri untuk penyesuaian terhadap perubahan pada usia setengah baya. 3. Sumbangan keilmuan sekaligus sebagai salah satu syarat dalam rangka memenuhi tugas untuk mencapai gelar sarjana S-1 program studi pendidikan agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam Martapura. G. Metode Penelitian 1. Metode penelitian 208 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research) dengan mengkaji al-Qur’an dan menafsirkannya. Metode penafsiran ini menggunakan metode maudhu’i (tematik) dengan objek penelitian yaitu Surah al- Ahqaf Ayat 15. M. Quraisy Syihab dalam tulisannya Tafsir al-Qur’an Masa Kini mengemukakan 8 langkah yang harus ditempuh, yaitu: a. Menetapkan masalah/judul pembahasan, dalam hal ini penulis kehendaki yaitu tentang pendidikan kematangan jiwa tinjauan surah alAhqaf Ayat 15. b. Menghimpun/menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut. c. Menyusun urutan ayat-ayat tadi sesuai dengan masa turunnya dengan memisahkan periode Mekah dan Madinah. d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing. e. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang menyangkut masalah tersebut. f. Menyusun pembahasan salah satu kerangka yang sempurna. g. Studi tentang ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayatayat yang mempunyai pengertian yang sama atau mengompromokan ‘am dan khas (umum dan khusus), mutlak dan muqayyad (yang bersyarat dan yang tampa bersyarat) atau yang kelihatannya bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam satu muara tampa perbedaan atau pemaksaan dalam pemberian arti. Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 209 h. Menyusun kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas tersebut.23 Sedangkan langkah-langkah yang penulis lakukan dalam hal penafsiran ayat tersebut yaitu: a. Menetapkan masalah/judul pembahasan, dalam hal ini penulis kehendaki yaitu tentang pendidikan kematangan jiwa tinjauan surah alAhqaf Ayat 15. b. Menghimpun/menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut. c. Menyusun ayat-ayat tersebut. d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing. e. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang menyangkut masalah tersebut. f. Menyusun kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas tersebut. 2. Data dan Sumber Data a. Data Data yang digali dalam penelitian ini adalah masalah pendidikan kematangan jiwa yang ada dalam al-Qur’an surah al-Ahqaf ayat 15. b. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yaitu: Rachmat Syafe’i., Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 295 23 210 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 1) Depertemen Agama Republik Indonesia, AlQur’an dan Tafsirnya jilid 9 (Yogyakarta: PT Bhakti Wakaf, 1990). 2) Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an Jilid 10, penerjemah oleh As’ad Yasin, dkk (Jakarta: Gemma Insani Perss, 2004) 3) Ringkasan Ibnu Katsir 4 4) M. Quraish Shihab, Tafsir Al -Misbah (Jakarta; Lentera Hati. 2002) Sedangkan sumber data sekunder di antaranya: 1) Nur Uhbiyati, Dra. Hj., Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997). 2) Jalaluddin. Prof. Dr., dan Ramayulis. Prof. Dr., Pengantar Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Kalam Mulia, 1998). 3) Ali Abdul Halim Mahmud. DR., Pendidikan Rohani, (Jakarta: Gema Insani, 2000) 4) M. Alisuf Sabri. H. Drs., Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996) 5) Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2008) Selain sumber-sumber di atas, akan didukung sumber-sumber lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang akurat, maka diperlukan teknik sebagai berikut: a. Survey ke perpustakaan, yaitu penulis mengunjungi perpustakaan-perpustakaan untuk mencari kitab dan buku yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti, terutama di Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 211 perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam. b. Studi kepustakaan, yaitu mempelajari kitab dan buku yang telah dikumpulkan satu persatu, memberi tanda dan mengutip data yang relevan, untuk ditulis dalam penelitian. 4. Pengolahan Data dan Analisis Data a. Pengolahan Data Data yang terkumpul, diolah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: 1) Editing data yaitu memeriksa dan mempelajari data agar sesuai dengan tujuan penelitian. 2) Klasifikasi yaitu mengelompokkan data ke dalan sub-sub untuk memudahkan dalan menyajikan data. 3) Interpretasi yaitu menafsirkan dan memberi penjelasan pada data agar dipahami. b. Analisis Data Setelah data diolah, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data tersebut untuk mendapatkan hasil akhir dari penelitian yang dilakukan. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik kualitatif, dengan menggunakan metode maudhu’i yaitu berupa menghimpunkan ayat-ayat al-Qur’an dari berbgai surah yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya, kemudian penulis membahas dan menganalisa kandungan ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. H. Hasil Temuan Penelitian 1. Tafsir Al-Mishbah 212 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 Menurut penafsiran M. Quraish Shihab, dalam ayat tersebut kita sebagai manusia diperintahkan untuk selalu taat kepada Allah dan juga berbakti kepada kedua orang tua. Sebagai seorang anak kita dituntut untuk meningkatkan pengabdian dan berbakti kepada kedua orang tua dari saat ke saat, walaupun telah mencapai usia kedewasaan yaitu antara 33-40 tahun dan memiliki tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. Pada saat memasuki usia tua, seseorang mulai mengalami kemunduran fisik. Islam mewajibkan seorang anak untuk memelihara orang tuanya, sebagai balasan dan bentuk syukur atas segala jasa dan pengorbanan dari apa yang dilakukan orang tua sewaktu anakanya masih kecil. Anak sebaiknya menggunakan kata-kata yang halus kepada orang tuanya. Sebagaiman firman Allah SWT. Q.S al-Isra’ ayat 23 sebagai berikut: . Rasulullah saw. bersabda: “Wahai para pemuda, jagalah cinta kasih ayahmu! jangan kau putuskan, sebab Allah bisa memudarkan cahayamu.”24 Yakni rasa malu, wajah, dan hati akan pekat. Karena itu, kita diperintahkan untuk selalu menjaga hubungan dengannya, selalu bercakap-cakap dengannya, jika tidak, Allah akan 24 Amru Muhammad Khalid, Pribadi Penuh Arti, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), h. 123 Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 213 memadamkan cahaya hati sehingga menjadi gelap. Selain itu Rasulullah saw. juga bersabda: “diantara hamba ada yang tidak Allah ajak bicara,” Sahabat bertanya, “siapakah wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “orang yang berlepas diri dari kedua orang tuanya,”25 Orang yang berlepas diri dari orang tua adalah orang yang membiarkan kedua atau salah satu orang tuanya di panti jompo, malu atas keduanya dihadapan orang lain, atau malu untuk keluar bersama mereka karena takut orangorang akan menganggapnya rendah. Bakti atau berbuat baik kepada kedua orang tua adalah bersikap sopan santun kepada keduanya dalam ucapan dan perbuatan sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat, sehingga mereka merasa senang terhadap anak. Termasuk dalam kata bakti adalah mencukupi kebutuhankebutuhan mereka yang sah dan wajar sesuai kemampuan anak. Betapa Allah memuliakan kedua orang tua, sehingga banyak ayat-ayatnya yang memerintahkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tuanya bagaimana pun keadaan kedua orang tuanya. Berbakti kepada kedua orang tua juga merupakan salah satu sebab diterimanya do’a oleh Allah. Ridho Allah yang mengalir bersama ridhonya orang tua, sungguh akan melahirkan kebahagiaan dan berbagai nikmat yang tiada tara. Di antaranya, panjang umur dan rejeki yang dimudahkan. Kesulitan hidup akan lenyap begitu saja lantaran do’a dan ridho ibu bapak. Sebagaimana sabda Nabi saw sebagai berikut: 25 Ibid, h. 124 214 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 ال رس ُ ي صلَّى اّللُ َعلَْي يه َ ََع ْن َعْب يد هللاي ابْ ين َم ْسعُ ٍد َر يض َي هللاُ َعْنهُ ق َ ول اّلل ُ َ َ َ ق:ال حديث.ط الْ َوالي َديْ ين َّ ط َّ ضي ُ اّللُ ُس ْخ ُ ضي الْ َوالي َديْ ين َو ُس ْخ َ اّللُ ي ِْف ير َ َو َسلَّ َم ير 26 .رواة خباري ومسلم Dalam penafsiran beliau, Dewasa yakni sempurna awal masa bagi kekuatan fisik dan psikisnya, ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan kebaktiannya berlanjut sampai ia mencapai usia empat puluh tahun yakni masa kesempurnaan kedewasaannya, dan sejak itu ia berdo’a memohon agar pengabdiannya kepada kedua orang tuanya semakin bertambah. Perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (maturity).27 Untuk merumuskan kematangan jiwa seseorang tidaklah mudah sebab jiwa manusia merupakan rahasia tuhan. Seperti dalam firman Allah SWT. dalam surah alIsra: 85 sebagai berikut: 26 Abi Zakaria Yahya bin Syarif An Nawawi, Riyadus Sholihin,penerjemah Salim Bahreisj Juz 1, (Bandung: Al-Ma’arif 2004), h. 26 27 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2004), h, 115 Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 215 Dalam konteks modern saat ini, penyakit jiwa yang menyerang manusia antara lain: kecemasan, kesepian, kebosanan, perilaku menyimpang dan psikosomatis.28 Orang yang sakit jiwanya, buruk akhlaknya, biasanya akan ditandai dengan sifat nifak, memperturutkan hawa nafsu, berlebih-lebihan dalam bicara, marah, dengki, cinta keduniaan, bakhil, riya, takabbur dan sombong. Sifatsifat tercela ini menurut kesehatan mental dapat dipandang sebagai gangguan kejiwaan, karena sifat-sifat tersebut membawa kepada ketidaktentraman jiwanya. Pada ayat tersebut terlihat dalam do’anya adanya kesadaran untuk melakukan kebaikan dan mensyukuri nikmat Allah, dan kesadaran adanya perhatian kepada anak cucunya, serta sadar akan perbuatan-perbuatan yang telah lalu sehingga ia bertaubat dan berserah diri kepada Allah swt. Hal ini menunjukkan adanya kematangan jiwa yang terealisasi pada usia 40 tahun. Orang yang matang jiwanya adalah orang yang pandai dan senantiasa bersyukur atas kenikmatankenikmatan yang telah diberikan Allah kepadanya, yang melakukan segala daya upaya untuk memenfaatkan seluasluasnya apa yang telah dilimpahkan kepadanya. Bersyukur tidaklah mudah, kecuali bagi orang-orang yang beriman dan mampu melawan hawa nafsunya. Ungkapan rasa syukur itu tidak hanya dilakukan dengan ucapan alhamdulillah, tetapi dapat juga diungkapkan dalam bentuk yang lebih luas, yaitu melalui sikap, perbuatan, dan tindakan yang lebih bersifat konstruktif. Memang terasa sulit membiasakan diri untuk memiliki kesadaran tersebut, sehingga banyak di antara 28 Ahmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an: Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 8 216 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 kita yang salah menerapkan kalimat syukur. Oleh karenanya, kita harus selalu meminta bimbingan Allah SWT, agar menjadi hamba yang bersyukur. Bersyukur merupakan suatu amalan yang utama dan mulia. Selain itu bersyukur adalah sebab kekalnya suatu nikmat, sehingga nikmat tersebut akan semakin bertambah. Oleh karena itu Allah SWT, memerintahkan kita untuk selalu bersyukur kepada-Nya, dan mengakui segala keutamaan yang telah Dia berikan. Bersyukur, sebagai salah satu jalan berserah diri kepada Allah, telah meninggalkan manfaat yang hanya dapat dirasakan oleh setiap manusia yang pandai bersyukur. Pada ayat ini juga menunjukkan betapa pentingnya ibu kandung memberi perhatian yang cukup terhadap anakanaknya, khususnya pada masa-masa pertumbuhan dan perkembangan jiwanya. Sikap kejiwaan orang dewasa banyak sekali ditentukan oleh perlakuan yang dialaminya pada saat kanak-kanak, karena itu tidaklah tepat membiarkan mereka hidup terlepas dari ibu bapak kandungnya. Di dalam do’a itu merupakan seruan qalbu, sebuah kesadaran tentang betapa luas rahmat Allah SWT. bagi setiap hambanya, adanya kesadaran untuk memohon pertolongan agar mendapatkan taufik untuk beramal saleh untuk meraih keridhaan Allah yang merupakan puncak pencarian dan harapan seorang hamba. Di dalam do’a tersebut juga adanya keinginan hati seorang mukmin agar amal salehnya sampai kepada keturunannya beribadah kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya. Selain itu hamba tersebut juga memohon syafaat untuk bertaubat dan berserah diri kepada-Nya. Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 217 Do’a adalah permohonan hamba kepada Tuhan Allah SWT. agar memperoleh anugrah pemeliharaan dan pertolongan, baik buat si pemohon maupun pihak lain.29 Do’a yang dipanjatkan dengan istiqomah itu lebih utama daripada seribu kemuliaan dari terkabulnya do’a, itu karena do’a sanggup meruntuhkan kesombongan dan keangkuhan, sedang terkabulnya do’a sering kali mengandung kesombongan. Sebagaimana istilah “istiqomah lebih baik dibandingkan seribu karamah”. Do’a yang dipanjatkan dengan kesungguhan dan istiqomah akan membuahkan keridhaan, ketenangan jiwa, dan cinta kasih. Semua ini adalah puncak dari kebersihan hati dan jiwa, nafs mutma’innah. Do’a adalah sarana yang sangat baik untuk memperbaiki jiwa, membersihkan hati dari berbagai penyakit, dan menjadikan seseorang memiliki akhlak yang terpuji, yang memiliki kematangan jiwa. Keistimewaan-keistimewaan do’a diantaranya: 1. Do’a sebagai sarana yang mendekatkan diri kepada rabb. 2. Do’a sebagai pintu menuju ma’rifatullah, do’a memberi menfaat untuk mengetahui kehinaan seorang hamba dan memahami keagungan dan kemuliaaan rabb, yang menjadi dasar dari penyembahan dan pengenalan diri terhadap Allah. 3. Do’a sebagai sarana memperbaiki prasangka kepada rabb. Seorang hamba yang bersungguhsungguh dalam berdo’a dan tidak putus asa, maka hikmah dan pengetahuan akan mengalir dalam dirinya hingga ia akan selalu menggarahakan prasangka baik kepada rabb-nya. 29 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tentang Zikir Dan Do’a, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 179 218 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 4. Do’a sebagai perwujudan tawakkal kepada Allah, di dalam do’a terdapat ihktiar manusia, kebergantungan hati terhadap Allah, penyerahan diri, kepercayaan, dan keyakinan kepada janji-Nya. 5. Do’a sebagai pintu keridhaan terhadap Allah, do’a yang sesungguhnya adalah permohonan, penyerahan diri, dan ridho terhadap segala ketentuan-Nya. Dalam permohonan itu terkandung sikap butuh dan lemah dihadapan-Nya. Dalam penyerahan diri terdapat sikap tawakkal kepada Allah, dan dalam sikap menerima dan sukacita itu tersimpan keridhaan terhadap segala keputusanNya.30 Dengan demikian pada surah al-Ahqaf ayat 15 ini mengajarkan kita do’a yang dipanjatkan seorang hamba yang berumur 40 tahun yang merupakan salah satu cara untuk mendapatkan ketenangan jiwa, sehingga dia menemukan jati dirinya yang mempunyai kematangan jiwa. Isi do’a tersebut mengarahkan untuk selalu bersyukur, sabar, ridha, tawakkal, raja’, dan khauf. 2. Tafsir Ibnu Katsir Sama halnya dengan penafsiran M. Quraish Shihab, penafsiran Ibnu Katsir pada surah al-Ahqaf ayat 15 tersebut juga menyatakan bahwa seorang anak dituntut agar berbakti kepada kedua orang tuanya. Dalam penafsirannya Ibnu Katsir mengartikan dewasa itu, yaitu kuat, muda, dan dewasa. Dan pada usia 40 tahun seseorang sudah mempunyai akalnya matang dan pemahamannya telah sempurna. Mahmudin, Keajaiban Energi Do’a, (Jokyakarta: Locus, 2008), h. 17 30 Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 219 Pada ayat ini mengarahkan seseorang untuk memperbarui taubatnya dan meneguhkan hatinya. Bertaubat kepada Allah, kembali kepada-Nya, dan segera menutupi apa yang telah terlewatkan dengan taubat dan istigfar merupakan sifat-sifat yang diterima Allah atas kebaikankebaikan yang telah mereka amalkan dan akan diampuni segala kesalahan mereka. Manusia diwajibkan bertaubat dalam rangka penyucian diri (tazkiyat an-nafs). Ketika hati telah tersucikan, seorang akan rindu untuk pulang kepada sang Kekasih Sejati, yaitu Allah SWT. Fenomena ini bukan suatu kebetulan, tetapi sudah merupakan gejala “Kebangkitan Spiritual”. Jalaluddin Rumi menekankan agar manusia sadar bahwa ia harus membersihkan diri dari dosa untuk menyiapkan wadah yang mampu menampung sifat-sifat tuhan (takhalli). Selanjutnya, ia harus mampu menyerap sifat-sifat tuhan ke dalam dirinya, bukan malah menyirnakan dirinya dari sifat-sifat tuhan (tahalli), dan kemudian dapat memanifestasikan sifat-sifat Allah dalam kehidupannya (tajalli), sesuai dengan apa yang menjadi kehendak Allah kepadanaya. 31 Dalam hidup di dunia ini, manusia memerlukan kesadaran diri. Kesadaran diri (nafs) adalah sebuah jalan selamat, jalan berserah diri yang akan mengantarkan para pejalan sehingga sampai tujuan. Untuk sampai pada kesadaran diri (nafs) ini, harus ada upaya-upaya yang dilakukan. Proses perkembangan menuju tahapan yang lebih tinggi merupakan proses transformasi diri, untuk mencapai 31 Mukhtar Sholihin, Dan Rosihon Anwar, Hakikat Manusia (Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri Dalam Psikologi Islam), (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 49 220 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 kesadaran spiritual. Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela (takhalli) untuk menyiapkan wadah dan menghiasinya dengan sifat-sifat tepuji (tahalli). Dampak Takhalli dan Tahalli adalah sang hamba dapat mengejawantahkan sifatsifat Tuhan ke dalam dirinya (Tajalli). Ia adalah archetype (pola dasar) dari nama-nama tuhan. Proses Takhalli dicapai dengan melakukan pertaubatan yang diikuti dengan sifat zuhud, sabar, syukur, ridha, tawakkal, raja, khauf, dan sampai pada kondisi faqr, kondisi ketika seorang hamba telah tiada dan hanya Allah yang tampak.32 Setelah melakukan serangkaian proses pertaubatan, sang jiwa sampai pada perahmatan pertama yaitu disucikan qalbunya. Selanjutnya memasuki pada fase pengingatan kembali perjanjian alam “alastu” (kesadaran nafs), yang merupakan perahmatan kedua, yaitu terbukanya penyaksian manifestasi kesucian Ilahi. Upaya yang dilakukan untuk mengingat kembali perjanjian ini adalah dengan melakukan proses teoetika, yaitu kondisi ketika sang perjalanan merasakan “kehambaan” atau “kemakhlukan” sejati serta merasakan sumber Ilahiyah dan menyadari bahwa kedudukannya di dunia ini adalah sebagai pengemban amanah, bukan penguasa yang mutlak. Proses selanjutnya adalah psikoetika, kondisi ketika jiwa yang disertai dengan penyerahan diri yang kuat yang diarahkan untuk bergerak menuju level nafs mutmainnah. Kemudian dilanjutkan dengan proses sosioetika, yang terkait dengan pelaksanaan amal saleh sebagai bekal untuk memunculkan pelita di dalam diri. Ketiga proses itu akhirnya kembali bermuara pada teoetika, yaitu telah terjadi kebangkitan jiwa, kondisi terkuaknya perjanjian alam alastu dan termunculkannya ruh al-quds di dalam diri. Manusia yang dapat memunculkan 32 Ibid, h. 101 Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 221 ruh al-quds adalah pertanda manusia sempurna (insan kamil).33 Dengan demikian surah al-Ahqaf ayat 15 ini khususnya dalam do’a tersebut Ibnu Katsir menjelaskan seorang hamba dituntut untuk bertaubat dan meneguhkan hatinya untuk melakukan itu, ini merupakan gambaran pendidikan kesadaran diri yang terealisasi pada usia 40 tahun. Selain itu di dalam do’a tersebut juga terdapat adanya kesadaran diri, memohon untuk diberikan kekuatan agar selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya, selain itu juga agar diberikan kekuatan untuk beramal saleh, dan amal saleh itu sampai pada anak cucunya. Dan di akhir penutup do’anya ia memohon ampun bertaubat dan berserah diri kepada-Nya. I. Simpulan Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan kematangan jiwa dalam surah al-Ahqaf ayat 15 sebagai berikut: 1. Kedewasaan dicapai pada usia 30 hingga 40 tahun. Usia 40 tahun merupakan usia di mana kemampuan fisik dan intelektual mencapai puncak kematangan dan kedewasaan seseorang. Pada usia ini sempurna segala potensi dan kekuatan, memiliki kesiapan untuk merenung, berfikir dan pemahaman secara tenang dan sempurna. Tetapi perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini adakalanya tidak berjalan sejajar. Secara fisik (jasmani) dan segi usia seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ia ternyata belum matang. 33 Ibid, h. 102 222 Ta’lim Muta’allim, Vol. II Nomor 03 Tahun 2012 2. Pendidikan kematangan jiwa yang diajarkan dalam surah al-Ahqaf ayat 15 ini ialah bagaimana cara berhubungan baik dengan tuhan dan cara berhubungan baik dengan sesama manusia, khususnya terhadap kedua orang tua dan keterunan; yaitu dengan cara berdo’a, yang isi dari do’a tersebut melahirkan sikap berupa zuhud, sabar, syukur, ridha, tawakkal, raja, khauf, dan taubat. DAFTAR PUSTAKA Abdul Hamid al-Balali, Madrasah Pendidikan Jiwa, Jakarta, Gema Insani: 2003. Abin Syamsuddin Makmun. H., Psikologi Kependidikan, cet. 11, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012. Raihanatul Jannah, Pendidikan Kematangan Jiwa ... 223 Abi Zakaria Yahya bin Syarif An Nawawi, Riyadhussolihin, cet. Ke 3, Jeddah-Sanqafurat: Al Haramain, 2005. Abi Zakaria Yahya bin Syarif An Nawawi, Riyadhussolihin, Penerjemah H. Mahrus Ali Juz 1, Surabaya: Al-Hidayah 1997. Abi Zakaria Yahya bin Syarif An Nawawi, Riyadus Sholihin, penerjemah Salim Bahreisj Juz 1, Bandung: Al-Ma’arif 2004. Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2009. Agus Mustofa, Menyelam Ke Samudra Jiwa Dan Ruh, Surabaya: PADMA Press, 2005. Ahmad Mudzakir Dan Joko Sutrisno. Psikologi Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 1997