5. ISLAM DAN LINGKUNGAN HIDUP 5.1 Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan lingkungan hidup secara formal di Indonesia, didasarkan pada ”Deklarasi Stockholm”, hasil Konferensi Lingkungan Hidup Se-Dunia yang dilaksanakan pada 5 Juli 1972 di Stockholm – Swedia. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu guna melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia secara formal, mulai berlaku saat diterbitkan Undang-undang Republik Indonesia (UU) Nomor 4 Tahun 1982, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 29 Tahun 1986. Undang-undang ini kemudian disempurnakan menjadi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997, dan peraturan pemerintahnya menjadi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999. Dengan adanya ketentuan-ketentuan hukum ini, maka kelestarian lingkungan hidup kini menjadi faktor penentu dan memiliki ketentuan hukum tetap, dalam proses pengambilan keputusan terkait pemanfaatan dan pengolahan sumberdaya alam di negara ini. Sejak itu pula, maka setiap kegiatan apapun yang diduga atau diprakirakan akan menimbulkan ”dampak besar dan penting” (dari kegiatan tersebut) terhadap perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar, mesti dikenakan studi AMDAL. Mengingat studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) wajib dilaksanakan setiap usaha/kegiatan, sebelum usaha/kegiatan tersebut dioperasikan, sejak berlaku ketentuan hukum yang mewajibkan analisis lingkungan hidup ini. Makna lingkungan hidup sesuai Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro (1989) secara teoritis, di bukunya Ekonomi Lingkungan, mengatakan : ”Lingkungan hidup merupakan media hubungan timbal-balik antara manusia dan makhluk lain dengan faktor-faktor alam. Lingkungan hidup terdiri dari berbagai proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan. Proses ini merupakan siklus yang mendukung lingkungan hidup terhadap pembangunan. Siklus ini berupa (1) siklus hidrologi, yang mengatur tata perairan; (2) siklus hara, yang mengatur tata makanan; (3) siklus energi dan bahan yang mengatur penggunaan dan perubahan bentuk energi; dan (4) siklus lain yang merupakan struktur dasar ekosistem”. Ekologi secara etimologis berasal dari dua kata Yunani, yaitu oikos bermakna rumah-tangga dan logos bermakna teori/doktrin, seperti dikatakan Panayotou (1994) di dalam ”Economy and Ecology in Sustainable Development” di Seminar Internasional – SPES Foundation, berikut ini : ”According to the Webster’s New World Dictionary, ecology – derived from the Greek words oikos meaning house and logos meaning word, theory or doctrine – is the science that deals with the relations between living organisme and their environment”. (Ekologi yakni ilmu pengetahuan yang menjelaskan berbagai hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya). Pada Undang-undang No. 23 Tahun 1997, makna Lingkungan Hidup, Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Ekosistem dijelaskan berikut ini : ”Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain” (Pasal 1, Butir 1). ”Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup” (Pasal 1, Butir 2). ”Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup” (Pasal 1, Butir 4). Kemudian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) yang diungkap di atas, sesuai PP No. 27 Tahun 1999 itu, merupakan : ”kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan / atau kegiatan” (Pasal 1, Butir 1). Kemudian ”dampak besar dan penting” sesuai ketentuan peraturan pemerintah itu pula, adalah : ”perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan” (Pasal 1 Butir 2). ”Perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar” yang dimaksudkan Pasal 1 Butir 2 di atas, dijelaskan pada Pasal 3 Butir 1 peraturan tersebut, antara lain sebagai berikut : a. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. Eksploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui; c. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumberdaya alam dalam pemanfaatannya; d. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya. e. Dan lain-lain ( e sampai dengan i )”. Sasaran pengelolaan lingkungan hidup terdapat di dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 itu, yakni : a. Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidupnya, b. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang mempunyai sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup, c.Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan masa mendatang, d. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup, e. Terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana, f. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya dalam Undang-undang tersebut, disebut pula pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, yang dituangkan dalam Bab III tentang Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat, di mana pada Pasal 5 disebutkan mengenai hak masyarakat sebagai berikut : 1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, 2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup 3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Selanjutnya dalam Pasal 6 diatur kewajiban masyarakat sebagai berikut : 1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup 2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengeloaan lingkungan hidup. Pada Pasal 7, diatur mengenai peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagai berikut : 1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengellaan lingkungan hidup 2) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara : a) Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan b) Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarkat c) Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial d) Memberikan saran pendapat e) Menyampaikan informasi menyampaikan laporan dan/atau Jadi dapat dikatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memadukan antara sasaran pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan hidup. Aktivitas pembangunan harus dilakukan dengan tujuan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa melupakan kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan yang memperhatikan kelestarian lingkungan hidup disebut pembangunan berkelanjutan atau biasa juga disebut pembangunan berwawasan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan didefiniskan sebagai pembangunan yang mengusahakan dipenuhinya kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan, berarti suatu pembangunan yang dapat dilaksanakan sekarang dan di masa akan datang. Panayotou (1994) pada Seminar Internasional – SPES Foundation dalam tulisan sama yang telah diajukan sebelumnya, mengatakan : ”Development may be unsustainable for many reasons, such as political, social and financial; but it is the interaction between economy and ecology that defines sustainable development”. [Pembangunan barangkali tidak berkelanjutan karena sejumlah alasan, seperti politik, sosial, dan keuangan, tetapi suatu kegiatan (pembangunan) yang menimbulkan interaksi ekonomi dan ekologi itulah, yang didefinisikan sebagai pembangunan berkelanjutan]. Kemudian Panayotou menambahkan bahwa : The relationship between economy and ecology is at heart of sustainable development. Sustainability – itself not a very clearly defined concept – has become the acid test of the optimal integration of economy and ecology in the development process and vice versa (Lihat juga Tietenberg, 1992 : 599-600). [Hubungan antara ekonomi dan ekologi terletak atau merupakan jiwa (hati) dari pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan – itu sendiri belumlah merupakan konsep yang sangat jelas – telah dijadikan alat-uji (acid test) bagi integrasi (penyatuan) optimal ekonomi dan ekologi dalam proses pembangunan dan sebaliknya]. Begitupun dalam uraian lain, Mitchell dkk (2000) mengutip pernyataan yang bersumber dari Komisi Bruntland (Komisi Lingkungan Hidup), bahwa : “Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang kebutuhannya”. untuk mencukupi Soemarwoto (2001) berpendapat bahwa, untuk dapat mencapai pembangunan berkelanjutan, pembangunan yang bersifat anti lingkungan hidup haruslah diganti dengan pembangunan yang ramah lingkungan, baik lingkungan hidup fisik maupun lingkungan hidup sosial budaya. Selanjutnya dikatakan, ramah pada lngkungan hidup mempunyai makna tidak ”menyakiti” lingkungan hidup dan peranan ekologisnya dalam proses pembangunan yang dilaksanakan. 2.2. Pandangan Islam Terhadap Lingkungan Hidup Sejak tanggal 5 Juni (setiap tahunnya) ditetapkan selaku hari lingkungan hidup se-dunia, keperdulian umat manusia pada kelestarian lingkungan hidup membahana ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk menunjukkan keperdulian pada kelestarian lingkungan hidup, dan hal itu tampak pada banyak wujud-kegiatan pembenahan lingkungan hidup di berbagai jenjang kegiatan masyarakat. Masalahnya adalah upaya-upaya keperdulian tersebut ternyata tidak diikuti oleh menjadi lestarinya lingkungan hidup, dan lingkungan hidup tetap saja terdegradasi. Hal ini dapat dilihat dari fenomena terjadinya lahan kritis, rusaknya vegetasi hutan, dan lainnya seperti yang telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, di bagian pendahuluan. Lahan kritis, rusaknya vegetasi hutan, serta pencemaran udara dan air terjadi karena ketidakperdulian usaha industri maupun usaha pertambangan atas ambangbatas yang ditetapkan dan diperkenankan, sehingga hal itu telah menimbulkan berbagai bentuk bencana di manamana. Fenomena bencana karena ulah manusia yang tidak ramah pada lingkungan itu, telah memberi dampak buruk pada negara ini, sehingga diingatkan oleh Soemarwoto (2001) lagi, bahwa : Jika kebijakan dan kelakuan kita terhadap lingkungan hidup tidak berubah, ada bahaya riil dimana kita akan mengikuti sejarah negara purba Mesopotamia, Maya dan Aztek yang punah dari permukaan bumi oleh bencana lingkungan hidup yang diperbuat. Pada hal keperdulian atas kelestarian lingkungan hidup ini telah dimulai ratusan tahun sebelum konferensi Stockholm 1972, dimana ajaran Islam melalui Nabi Besar Muhammad SAW sudah mengamanahkan hal itu, sebagaimana juga telah diungkapkan sebelumnya (Pendahuluan). Berbagai ayat-ayat suci Al Quran (maupun hadits) secara tersurat maupun tersirat menyampaikan amanah tersebut, agar Umat Islam peduli pada kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Selain surah AlBagarah 11 dan Ar-rum ayat 41, yang juga telah diajukan dan diuraikan di muka (Pendahuluan), terdapat pula di dalam surah An-Anbiyaa’ 16, di mana telah difirmankan Allah SWT : yang artinya : ”dan tidaklah kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main” [Maksudnya: Allah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya itu adalah dengan maksud dan tujuan yang mengandung hikmat.] maupun surah Al-Qashas 77, Allah SWT berfirman , yang artinya : ”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. Selain ayat-ayat suci Al Quran yang antara lain telah diajukan di atas, pun terdapat sejumlah hadits Nabi Besar Muhammad SAW yang menyiratkan amanah, agar Umat Islam menjaga kelestarian lingkungan. Hadits itu seperti yang telah disabdakan Nabi Muhammad SAW, sebagai amanah kepada Sa’ad bin Abi Waqas, bahwa : ”Siapa saja diantara kalian menemukan orang yang merusak lingkungan, maka pukullah dan rampaslah barang-barangnya termasuk pakaiannya”. Hadits ini sangat sesuai dengan sabda lain Rasulullah tentang kezaliman, yang diriwayatkan Bukhari dan ditulis kembali Sunarto serta Noor (2005) dalam Himpunan Hadits Shahih Bukahri, sebagai berikut : ﻋﻥ ﻋﺒﺪ ﺃﷲ ﺑﻥ ﻋﻤﺭﺭ ﺿﻲ اﷲ ﻋﻧﮭﻤﺎ ﻋﻥاﻟﻧﺑﻲ ﺻﻟﻲ اﷲ ﻋﻟﻳﻪ ﻭﺳﻟﻡ ﻗﺎﻝ ׃ اﻟﻅﻟﻡ ﻅﻟﻣﺎ ﺕ ﻳﻭﻡ .] [ ﺭﻭاﻩاﻟﺑﺧﺎﺭﻱ.اﻟﻗﻳﺎﻣﺔ yang artinya : Dari Abdullah bin Umar RA., dari Nabi SAW, bersabda : Zalim itu adalah kegelapan di hari Kiamat (HR. Bukhari). Kedua hadits jelas sangat memperkuat pentingnya melestarikan lingkungan hidup, karena pengrusakan lingkungan hidup adalah perbuatan zalim (semena-mena atau aniaya) atas alam beserta isinya, dan sangat tidak disukai oleh Allah SWT maupun Rasul-Nya (Nabi Muhammad SAW). Mengingat perbuatan pengrusakan lingkungan hidup ini bisa menimbulkan sejumlah kesengsaraan bagi sesama umat manusia, apatah lagi bila yang sengsara itu sesama umat Islam. Oleh karenanya kesengsaraan atau keresahan umat manusia, khususnya Umat Islam, seyogianya tidak boleh terjadi dengan alasan yang tidak jelas. Mengingat semuanya memiliki sangsi (akibat), seperti sabda Rasulullah (Nabi Muhammad SAW) yang didengar Shafwan bin Muhriz AlMazani yang terdapat di Sunarto dan Noor (2005), tentang larangan menzalimi sesama muslim serta sangsinya, di bawah ini : ﻭﻋﻧﻪاﻳﺿﺎاﻥﺭﺳﻭﻝاﷲﺻﻟﻰاﷲﻋﻟﻳﻪﻭﺳﻟﻡ ﻗﺎﻝ ׃ اﻟﻣﺳﻟﻡاﺧﻭاﻟﻣﺳﻟﻡﻻﻳﻅﻟﻣﻪﻭﻻﻳﺳﻟﻣﻪﻭﻣﻥﻛﺎﻥﻓﻰﺣﺎ ﺟﺔاﺧﻳﻪﻛﺎﻥاﷲﻓﻰﺣﺎﺟﺗﻪﻭﻣﻥﻓﺭﺝﻋﻥﻣﺳﻟﻡﻛﺭﺑﺔﻓﺭﺝاﷲﻋﻧﻪﻛﺭﺑﺔﻣﻥﻛﺭﺑ ﺎﺕﻳﻭﻡاﻟﻗﻳﺎﻣﺔﻭﻣﻥﺳﺗﺭﻣﺳﻟﻣﺎ.] [ ﺭﻭاﻩاﻟﺑﺧﺎﺭﻱ.ﺳﺗﺭﻩاﷲﻳﻭﻡاﻟﻗﻳﺎﻣﺔ yang artinya : ......... sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Orang Islam adalah saudara orang Islam, tidak menganiaya dan tidak membiarkannya. Barangsiapa yang berada dalam memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah berada dalam kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan satu kesulitan dari seorang muslim, maka Allah melapangkan darinya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan hari kiamat, dan barangsiapa yang menutup aib atau aurat seorang muslim, maka Allah akan menutupnya pada hari kiamat (HR. Bukhari). Jadi hubungan manusia dengan Allah SWT (hubungan vertikal) maupun hubungan antar sesama umat manusia (hubungan horizontal), khususnya sesama umat Islam, merupakan perbuatan ibadah (berbuat baik) yang kelak mendapat ganjaran setimpal di hari perhitungan (hari pembalasan). Olehnya, Rasulullah SAW telah memberi sejumlah rambu yang terkait dengan kedua hubungan di atas (vertikal dan horizontal), agar manusia dapat berinteraksi secara damai tanpa gangguan yang berarti (mudah dimaafkan). Hubungan horizontal ini tentu termasuk ke dalam hubungan dalam melestarikan lingkungan hidup, tempat sesama umat manusia maupun umat Islam berdiam dan mencari nafkah. Masih banyak firman Allah SWT maupun sabda Rasulullah SAW yang tersurat maupun tersirat dalam ayat- ayat suci Al Quran dan hadits Nabi Besar Muhammad SAW yang memerintahkan Umat Islam agar menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Berdasarkan hal itu, dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam merupakan agama yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan hidup, dan hal itu disampaikan pada saat wawasan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang dimiliki manusia masih sangat teramat rendah (± 1.300 Tahun SM lalu). Dalam ajaran Islam telah ditetapkan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi “Khalifah” di muka bumi ini, dan salah satu tugas ke-Khalifah-an itu adalah menjaga kelestarian lingkungan hidup, seperti terdapat di Surah Al An’aam 165, sebagai berikut : yang artinya : ”dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa (khalifah) di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Jadi sesungguhnya secara kodrati (alamiah) manusia memiliki tanggung jawab yang sangat besar, sebagai amanah yang diterimanya dari Allah SWT, dalam kedudukan selaku khalifah di muka bumi. Konsekwensinya manusia sejak lahir memikul beban yang sungguh tidak ringan dengan sangsi siksaan Allah SWT, sehubungan keberlangsungan lingkungan hidupnya maupun sumberdaya alam yang diamanahkan kepadanya. Dalam melaksanakan peran beserta tanggungjawab ke-khalifah-an itulah, maka manusia kemudian melakukan berbagai upaya, dan salah satunya adalah implementasi kegiatan pelestarian lingkungan hidup. Di antara upaya yang dapat dilakukan dan dianggap selama ini sangat efektif, demi upaya pelestarian itu, adalah upaya yang dilakukan melalui kegiatan pendidikan. Upaya ini (melalui pendidikan) dapat dilakukan dengan cara “melarutkan” materi pelestarian lingkungan hidup ke dalam kurikulum, sehingga menjadi bagian dari ”sistem proses belajar-mengajar”. Dalam konteks pendidikan dan pelestarian lingkungan hidup inilah, maka Allah SWT mengawali firman-Nya dengan menurunkan surah Al-A’laq (Ayat 1 s/d 19) di dalam Kitab Suci Al-Qur’anulkarim sebagai surah pertama sekaligus peringatan bagi manusia, yang disaji lengkap berikut ini : yang artinya : 1. Bacalah dengan ( menyebut ) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. 6. Ketahuilah ! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, 7. Karena dia melihat dirinya serba cukup. 8. Sesungguhnya Hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu). 9. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, 10. Seorang hamba ketika mengerjakan shalat, 11. Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran, 12. Atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)? 13. Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? 14. Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? 15. Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya kami tarik ubun-ubunnya 16. Ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. 17. Maka Biarlah dia memanggil golongannya (utk menolongnya), 18. Kelak kami akan memanggil malaikat Zabaniyah, 19. Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan). Jelas dari kandungan Surah Al-A’laq di atas, tampak bahwa Allah SWT tidaklah bermain-main dengan peringatan-Nya, terutama yang tersurat pada Ayat 5, Ayat 6, Ayat 7, Ayat 12, Ayat 13, dan Ayat 14 selaku kondisi sifat keterlaluan manusia, hingga sangsinya adalah ayatayat selanjutnya. Surah ini secara tegas memperlihatkan sifat-sifat kemunafikan manusia dari tugas ke-khalifahan setelah tugas itu diterima, dan Allah SWT telah mengetahuinya hingga diperingatkan sejak dini agar tidak melampaui batas. Dengan kata lain, secara tersirat, pelestarian lingkungan hidup pada surah tersebut memiliki sifat wajib dijaga oleh semua umat manusia, terutama umat Islam, bila hendak menghindari akibat (sangsi) dari perbuatan merusaknya. Bacalah sebagai kata pembuka pada surah di atas, dengan tegas dan jelas tersirat keseriusan perintah Allah SWT kepada manusia untuk melihat lingkungan sekitar (sejak interaksi vertikal, horizontal, hingga lihat dan amati lingkungan hidup), yang adalah karunia-Nya agar disyukuri dan dipelihara. Kesyukuran atas nikmat yang telah disediakan dan diberikan Allah SWT ini, agar dapat dijadikan gambaran kebesaran-Nya sekaligus juga agar dapat dijaga, karena bila tidak dilakukan akan menimbulkan bencana bagi manusia itu sendiri (Ayat 1 s/d 6). Keseriusan Allah SWT tersebut dicerminkan pula dengan tegas dan jelas di kandungan ayat selanjutnya, yang memberi pesan sangsi (hukuman) ”niscaya kami tarik ubun-ubunnya” (yaitu memasukkan manusia ke dalam neraka dengan menarik kepalanya). Hukuman memasukkan manusia ke dalam neraka dengan cara menarik ubu-ubunnya itu, mempertegas serta memperjelas pula bahwa Allah SWT kelak akan menghukum manusia bilamana tidak menggunakan akalfikiran dengan benar dan sehat di kala hidupnya. Hal ini perlu diajukan, mengingat manusia adalah insan yang berasal dari kata sana’ berarti lemah, sehingga harus diperingati sejak awal dan berlangsung terus-menerus selama hidup.