BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hospitalisasi Anak Usia Sekolah 2.1.1. Pengertian Hospitalisasi Hospitalisasi anak merupakan suatu proses yang karena suatu alasan tertentu mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali kerumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua harus dapat mengalami berbagai kejadian yang dapat berupa hal-hal yang sangat traumatik dan penuh stress (Supartini, 2004). Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. (Wong, 2008). Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi dan perawatan. Meskipun demikian dirawat di rumah sakit tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan ketakutan, cemas, bagi anak (Supartini, 2004). Hospitalisasi juga dapat diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab anak dirawat di rumah sakit (Stevens, 1999, dalam Rasmun, 2004). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana maupun darurat yang mengharuskan anak dirawat atau tinggal di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang dapat menyebabkan beberapa perubahan psikis pada anak. 6 7 2.1.2. Faktor Resiko Faktor risiko adalah situasi, kebiasaan, kondisi lingkungan , kondisi fisik, atau variabel lain yang dapat meningkatkan kerentanan individu atau kelompok terhadap penyakit atau kecelakaan. Memiliki faktor risiko bukan berarti bahwa suatu penyakit berkembang dalam diri seseorang melainkan meningkatkan peluang individu tersebut untuk mengalami penyakit tertentu. Faktor tersebut adalah faktor genetik dan fisiologis, lingkungan, usia dan gaya hidup. (Potter dan Perry, 2006) 2.1.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Reaksi Anak Terhadap Sakit Dan Hospitalisasi a. Perkembangan usia Reaksi anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai tingkat perkembangan anak (Supartini, 2004). Pada anak usia sekolah reaksi perpisahan adalah kecemasan karena berpisah dengan orang tua dan kelompok sosialnya. Pasien anak usia sekolah umumnya takut pada dokter dan perawat (Ngastiyah, 2005) b. Pola asuh keluarga Pola asuh keluarga yang terlalu protektif dan selalu memanjakan anak juga dapat mempengaruhi reaksi takut dan cemas anak dirawat di rumah sakit. Beda dengan keluarga yang suka memandirikan anak untuk aktivitas sehari-hari anak akan lebih kooperatif bila dirumah sakit. (Supartini, 2004) c. Keluarga Keluarga yang terlalu khawatir atau stres anaknya yang dirawat di rumah sakit akan menyebabkan anak menjadi semakin stress dan takut. (Supartini, 2004) 8 d. Pengalaman dirawat di rumah sakit sebelumnya Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan dirawat di rumah sakit sebelumnya akan menyebabkan anak takut dan trauma. Sebaliknya apabila anak dirawat di rumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter (Supartini, 2004) e. Support System yang tersedia Anak mencari dukungan yang ada dari orang lain untuk melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan kepada orang terdekat dengannya misalnya orang tua atau saudaranya. Perilaku ini biasanya ditandai dengan permintaan anak untuk ditunggui selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat dilakukan treatment padanya, minta dipeluk saat merasa takut dan cemas bahkan saat merasa kesakitan. (Supartini, 2004) f. Keterampilan koping dalam menangani stressor Apabila mekanisme koping anak baik dalam menerima dia harus dirawat di rumah sakit, akan lebih kooperatif anak tersebut dalam menjalani perawatan di rumah sakit. (Supartini, 2004) 2.1.4. Perkembangan Anak Usia Sekolah Menurut Wong (2008), usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya sekolah menjadi pengalaman inti anak. Periode ketika anak-anak dianggap mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan orang tua mereka, teman sebaya, dan orang lainnya. Usia sekolah merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan 9 penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu. Perkembangan anak usia sekolah disebut juga perkembangan masa pertengahan dan akhir anak yang merupakan kelanjutan dari masa awal anak. Permulaan masa pertengahan dan akhir ini ditandai dengan terjadinya perkembangan fisik, motorik, kognitif, dan psikososial anak. a. Perkembangan fisik Perkembangan fisik pada masa ini lambat dan relatif seragam sampai mulai terjadi perubahan-perubahan pubertas. Peningkatan berat badan anak lebih banyak daripada panjang badannya. Peningkatan berat badan anak selama masa ini terjadi terutama karena bertambahnya ukuran sistem rangka dan otot, serta ukuran beberapa organ tubuh. (Wong, 2008) b. Perkembangan motorik Perkembangan motorik pada usia ini menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi dibandingkan dengan awal masa anak-anak. Anak-anak terlihat lebih cepat dalam berlari dan makin pandai meloncat. Anak juga mampu menjaga keseimbangan badannya. Untuk memperhalus keterampilan-keterampilan motorik, anak-anak terus melakukan berbagai aktifitas fisik yang terkadang bersifat informal dalam bentuk permainan. Di samping itu, anak-anak juga melibatkan diri dalam aktifitas permainan olahraga yang bersifat formal seperti senam, berenang, dll. (Wong, 2008) c. Perkembangan kognitif Seiring dengan masuknya anak ke sekolah dasar, maka kemampuan kognitifnya turut mengalami perkembangan yang pesat, karena dengan masuk sekolah, berarti 10 dunia dan minat anak bertambah luas, dan dengan meluasnya minat maka bertambah pula pengertian tentang manusia dan objek-objek yang sebelumnya kurang berarti bagi anak. Pola perkembangan anak dibagi menjadi 4 tahapan; stadium sensorimotorik (0-18 atau 24 bulan), stadium praoperasional (1-7 tahun), stadium operasional konkrit (7-11 tahun ), stadium operasional formal (11-15 tahun atau lebih). Pemikiran anak usia sekolah dasar disebut stadium operasional konkret artinya aktifitas mental yang difokuskan pada objek-objek peristiwa nyata atau konkret. Dalam upaya memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari panca indera, karena ia mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan sesungguhnya. Hanya saja, apa yang dipikirkan oleh anak masih terbatas pada hal-hal yang ada hubungannya dengan sesuatu yang konkret, suatu realitas secara fisik, benda-benda yang benar-benar nyata. Sebaliknya, bendabenda atau peristiwa-peristiwa yang tidak ada hubungannya secara jelas dan konkrit dengan realitas, masih sulit dipikirkan oleh anak. (Wong, 2008) d. Perkembangan psikososial Pada tahap ini, anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan yang dapat membuahkan hasil, sehingga dunia psikososial anak menjadi kompleks. Anak lebih memahami dirinya melalui karakteristik internal daripada karakteristik eksternal dan dapat memilah apa yang baik bagi dirinya, maupun memecahkan masalahnya sendiri dan mulai melakukan identifikasi terhadap tokoh tertentu yang menarik perhatiannya. (Wong, 2008) 11 2.1.5. Reaksi Anak Usia Sekolah Terhadap Stress akibat Sakit dan Hospitalisasi Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak. Jika anak dirawat di rumah sakit, anak akan mudah mengalami krisis karena anak stress akibat perubahan baik pada status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari, dan anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian yang bersifat menekan. (Nursalam, Susilaningrum, R., dan Utami, S, 2005). Anak pada usia sekolah membayangkan di rumah sakit merupakan suatu hukuman, dipisahkan, merasa tidak aman dan kemandiriannya terlambat. Anak akan berespon dengan fungsi tubuh misalnya: ketika mereka melihat seseorang dengan penglihatan atau keadaan fisik yang cacat. Mereka menjadi ingin tahu dan bingung, anak bertanya kenapa orang itu, mengapa berada di rumah sakit, apa yang terjadi dengan orang itu, berbagai macam pertanyaan dilontarkan oleh anak karena tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Pada usia ini anak merasa takut bila mengalami perlukaan, anak akan menganggap bahwa tindakan bahwa tindakan dan proses itu mengancam integritas tubuhnya. Anak bereaksi dengan Agresif Ekspresif Verbal and dependensif (Wong, 2008). Disamping itu anak juga akan menangis, bingung khususnya bila keluar darah. Maka sulit bagi anak untuk percaya bahwa disuntik, mengukur tekanan darah, mengukur suhu dan beberapa tindakan lainnya tidak akan menimbulkan sakit dan mengalami luka pada tubuh. 12 2.1.6. Perilaku Maladaptif Anak Usia Sekolah Salah satu bentuk kecemasan anak usia sekolah akibat hospitalisasi adalah perpisahan dengan orang tua dan teman sebaya. Hal-hal yang menunjukkan kecemasan akibat perpisahan, serta rasa takut lainnya yaitu dengan anak merasa kesepian, bosan, isolasi, menarik diri, depresi, marah, frustasi dan bermusuhan. Sedangkan mekanisme pertahanan diri yang digunakan yaitu regresi mengacu pada kecenderungan untuk kembali pada tahap perilaku yang lebih dini dan lebih primitif (Wong, 2008). Anak usia sekolah mengalami stress selama hospitalisasi akan menunjukkan ciri-ciri yang maladaptif yaitu anak menjadi tidak kooperatif, tidur tidak nyenyak, tidak mau makan serta mungkin ditunjukkan dengan reaksi regresi yang diekspresikan secara verbal maupun non verbal (Wong, 2008). Biasanya anak juga menanggapi perawatan dirumah sakit dengan reaksi misalnya menjerit-jerit, mengompol atau perilaku lain yang lebih pantas untuk tahap usia yang lebih awal. Namun bentuk perilaku ini menunjukkan bukannya kerewelan yang harus ditangani dengan tegas tetapi kecemasan yang membutuhkan kesabaran dan pengertian (Mc Gie,2003). 2.2. Orientasi Alat Kesehatan 2.2.1. Pengertian Orientasi Orientasi merupakan pandangan yang mendasari pikiran, perhatian, atau kecenderungan (Depdiknas, 2001). Menurut Cascio dalam Sedarmayanti (2010), orientasi adalah pengakraban dan penyesuaian dengan situasi atau lingkungan. 13 Orientasi adalah melihat – lihat atau meninjau supaya kenal atau tahu. Dalam konteks keperawatan orientasi berarti mengenalkan segala sesuatu tentang rumah sakit meliputi lingkungan rumah sakit , tenaga kesehatan, peraturan , prosedur dan pasien lain. Orientasi ruangan merupakan hal yang penting yang harus dilaksanakan oleh perawat kepada pasien dan pendamping untuk menghindari sesuatu yang mencemaskan dan menakutkan bagi pasien tersebut. Mengorientasikan pasien dan pendamping tentang rumah sakit, fasilitas, dan peraturan yang berlaku (Nursalam, 2008). Informasi tentang rumah sakit dibutuhkan pasien dan pendamping untuk dapat beradaptasi dengan situasi rumah sakit yang berbeda dengan rumah sendiri (Keliat, 2002). Orientasi terhadap pasien baru adalah pemberian informasi kepada pasien baru berkaitan dengan proses keperawatan yang akan dilakukan oleh rumah sakit. Informasi adalah pesan atau isi berita yang ingin disampaikan oleh seseorang kepada orang lain dengan harapan orang tersebut mengetahui dan mengerti akan maksud dan tujuan dari isi pesan atau berita yang disampaikan. Orientasi terhadap pasien baru merupakan usaha memberikan informasi/sosialisasi kepada pasien dan keluarga tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pelayanan selama di rumah sakit. (Ragusti, 2008). 2.2.2. Tujuan Orientasi Praktik orientasi terhadap pasien baru bertujuan untuk: a. Pasien dan keluarga memahami tentang peraturan rumah sakit. 14 b. Pasien dan keluarga memahami tentang semua fasilitas yang tersedia dan cara penggunaannya 2.2.3. Tahapan Orientasi Perawatan Tahapan pertama perawat di saat menerima pasien baru adalah melakukan orientasi, dimana perawat dan pasien bertemu sebagai dua orang asing. Pasien dan atau keluarga memiliki “rasa butuh” maka mencari penolong professional. Tetapi kebutuhan ini belumlah diidentifikasi atau dimengerti oleh individu-individu yang terlibat. Sebagai contoh seorang gadis 16 tahun menelpon komunitas pusat kesehatan jiwa hanya karena ia merasa ”tertekan”. Inilah tahap bahwa perawat perlu menolong pasien dan keluarga untuk memahami sesungguhnya apa yang terjadi dengan pasien (Bowhuizen, 1996). Orientasi perawat merupakan hal yang sangat penting bahwa perawat bekerjasama dengan pasien dan keluarga untuk menganalisa keadaan, sehingga mereka bersama-sama dapat memahami, menjelaskan dan menyimpulkan masalah yang ada. Tahapan orientasi ini dapat menyebabkan pasien langsung mampu menambah energy dari rasa keragu-raguan memenuhi kebutuhanya untuk lebih berani menghadapi permasalahannya. Hubungan telah dibentuk dan berlanjut lebih erat lagi sementara masalah telah identifikasi. Sementara pasien dan keluarga berdiskusi dengan perawat keputusan bersama dibuat tentang bentuk bantuan professional apa yang akan dilakukan. Perawat yang menjadi sumber yang dapat bekerja dengan pasien dan keluarga. Pada tahap orientasi perawat, pasien dan keluarga merencanakan jenis pelayanan apa yang dibutuhkan (Ragusti, 2008). Tahap orientasi secara langsung dipengaruhi oleh sikap pasien dan perawat dalam memberi dan menerima pertolongan secara timbal balik. Berkaitan dengan hal 15 ini adalah tahap pertama maka perawat perlu menyadari tindakan pribadinya dengan pasien. Budaya, agama, ras, latar belakang pendidikan, pengalaman masa lalu, pemikiran yang berbeda dan harapan antara perawat dan pasien memainkan peran bagaimana tindakan perawat terhadap pasien. Faktor-faktor pengaruh yang sama memainkan peran dalam reaksi pasien terhadap perawat (Bowhuizen, 1996). 2.2.4. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat orientasi Hal-hal yang perlu diperhatikan saat orientasi menurut Tim PKMRS RSUP Sanglah (2010) adalah sebagai berikut: a. Mempersiapkan lembar balik orientasi pasien baru (pedoman orientasi pasien) b. Mempersiapkan form KIE terintegrasi A/B c. Memberikan salam, memperkenalkan diri, menanyakan nama pasien dan mencocokan dengan no RM d. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan serta minta persetujuannya e. Memberi kesempatan klien untuk bertanya f. Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang fasilitas yang ada di ruang perawatan dan cara penggunaannya g. Jelaskan informasi tentang: a) Peraturan dan tata tertib rumah sakit b) Hak dan kewajiban pasien c) Petugas yang merawat d) Jam konsultasi e) Persiapan pasien pulang 16 f) Kebersihan kamar mandi dan lingkungan g) Pelayanan gizi h) Sentralisasi obat h. Beri kartu tunggu i. Dokumentasikan informasi di Form Edukasi Terintegrasi serta ditandatangani oleh perawat dan pasien/keluarga j. Klarifikasi ulang pemahaman pasien/keluarga k. Sepakati kontrak selanjutnya l. Cuci tangan 2.2.5. Peran perawat dalam kegiatan orientasi Pada usia sekolah, sumber stress saat hospitalisasi antara lain akibat perpisahan, kehilangan kontrol, cedera dan nyeri tubuh akibat prosedur invasif. Respon perilaku pada anak usia sekolah adalah regresi, ketergantungan, perasaan takut, cemas, rasa bersalah serta respon fisiologis (Wong, 2003). Perawat sangat berperan untuk mengurangi kecemasan akibat hospitalisasi. Pasien anak akan merasa nyaman selama perawatan dengan adanya lingkungan perawatan yang terapeutik, dan sikap perawat yang penuh perhatian akan mempercepat proses penyembuhan (Nursalam, 2005). Pemberian intervensi keperawatan ditujukan pada penanganan masalah fisik, psikologis, sosial dan ketergantungan (spiritual). Masalah psikis yang penting pada pasien anak yang dirawat dirumah sakit yaitu rasa cemas dan takut terhadap lingkungan baru. Untuk itu perlu memberitahu kepada anak mengenai rumah sakit dengan cara orientasi ruangan dan peraturan rumah sakit. Orientasi ini meliputi pengenalan dengan 17 ruangan, alat-alat, peraturan-peraturan, petugas, dan perawat yang ada, guna mencegah stress hospitalisasi (Nursalam, 2008). 2.3. Alat Kesehatan 2.3.1 Pengertian Alat Kesehatan Pengertian alat kesehatan berdasarkan Menteri Kesehatan RI. no. 220/Menkes/Per/IX/1976 tertanggal 6 September 1976 adalah Barang, instrumen aparat atau alat termasuk tiap komponen, bagian atau perlengkapan yang diproduksi, dijual atau dimaksudkan untuk digunakan dalam: penelitian dan perawatan kesehatan, diagnosis penyembuhan, peringanan atau pencegahan penyakit, kelainan keadaan badan atau gejalanya pada manusia. Definisi Alat Kesehatan adalah instrumen, apparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. Alat kesehatan berdasarkan tujuan penggunaan sebagaimana dimaksud oleh produsen, dapat digunakan sendiri maupun kombinasi untuk manusia dengan satu atau beberapa tujuan sebagai berikut: 1. Diagnosis, pencegahan, pemantauan, perlakuan atau pengurangan penyakit 2. Diagnosis, pemantauan, perlakuan, pengurangan atau kompensasi kondisi sakit 3. Penyelidikan, penggantian, pemodifikasian, mendukung anatomi atau proses fisiologis 18 4. Mendukung atau mempertahankan hidup 5. Menghalangi pembuahan 6. Desinfeksi alat kesehatan 7. Menyediakan informasi untuk tujuan medis atau diagnosis melalui pengujian in vitro terhadap spesimen dari tubuh manusia. Berdasarkan fungsinya alat kesehatan dapat digolongkan menjadi beberapa penggolongan antara lain fungsinya, sifat pemakaiannya, Kegunaannva, umur peralatan, macam & bentuknya, kepraktisan penyimpanan. 2.3.2 Alat Kesehatan di Ruang Anak Berikut beberapa alat-alat kesehatan yang ada di Ruang Anak: Tabel 1. Standar Peralatan Ruang Perawatan RSUP Sanglah Alat Rumah Tangga Bed dengan pengaman Bedside table Medicine cabinet Troly pakaian bersih Kursi pasien Troly pakaian kotor Standar Infus Timbangan dewasa Timbangan bayi Lampu senter Troly memandikan Almari pakaian Kereta O2 6000 lt Kereta O2 1500 lt Bed layer Kasur Bantal biasa Bantal guling Meja tamu Kursi tamu Piring makan Alat Medis Amubag dewasa Amubag bayi Blood warmer Brancar Kupet kecil Kupet sedang Kupet besar EKG Gunting Perban Inkubator Box bayi Gunting Hecting O2 besar O2 kecil Packing Set Pispot Urinal Stetoskop Tensimeter Suction unit Spring pump 19 Piring lauk Piring snack Baki Mangkok sayur Cangkir dan lepekan Kursi roda Meja tulis Plato makan Waskom mandi Personal hygiene Termometer Troly Obat Dressing Troly Troly emergency Troly instrumen Tromel 20 cm Tromel 25 cm Resusitasi Korentang Sumber: Dirjen Bina Pelayanan Medik RSUP Sanglah.2007 Pada tabel 1 menunjukkan daftar alat kesehatan di ruangan sesuai standar RSUP Sanglah. Sedangkan untuk alat-alat kesehatan yang sesuai dengan standar Depkes RI dijabarkan pada tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Standar Peralatan Keperawatan dan Kebidanan di Sarana Kesehatan Alat Rumah Tangga Kursi Roda Komot Lemari Obat Emergency Light cast Meja pasien Overbed table Standard infus Standard waskom double Waskom mandi Lampu sorot Lampu senter Lampu kunci duplikat Nampan Tempat tidur fungsional Tempat tidur biasa Troly obat Troly balut Troly pispot Troly suntik Timbangan BB/TB Timbangan bayi Dorongan O2 Plato/piring makan Alat Medis Tensimeter Stetoskop Timbangan berat badan/tinggi badan Irigator set Sterilisator Tabung oksigen + flow meter Slym Zuiger V C Set Gunting perban Korentang Bak instrumen besar Bak instrumen sedang Bak instrumen kecil Blas spuit Gliserin spuit Bengkok Pispot Urinal Set angkat jahitan Set ganti balutan Termometer Standar infus Eskap 20 Piring snack Gelas Tatakan dan tutup gelas Sendok Garpu Kran air Baki Tempat sampah pasien Tempat sampah besar tertutup Senter Masker O2 Nasal Kateter Reflek hammer Sumber: Tim Departemen Kesehatan RI. 2001 2.4. Adaptasi 2.4.1. Pengertian Adaptasi Adaptasi adalah proses dimana dimensi fisiologis dan psikososial berubah dalam berespons terhadap stress. Karena banyak stressor tidak dapat dihindari, promosi kesehatan sering difokuskan pada adaptasi individu, keluarga, atau komunitas terhadap stress. Ada banyak bentuk adaptasi. Adaptasi fisiologis memungkinkan homeostatis fisiologis. Namun demikian mungkin terjadi proses yang serupa dalam dimensi psikososial dan dimensi lainnya. Adaptasi hospitalisasi anak terdiri dari adaptasi berbagai aspek pengalaman perawatan di rumah sakit termasuk prosedur invasif untuk uji diagnostik, nyeri, lingkungan rumah sakit yang “menyeramkan” dan membingungkan, rasa takut yang berkaitan dengan usia, karyawan rumah sakit yang tidak dikenal, kurangnya pengetahuan tentang rutinitas dan pengobatan di rumah sakit (Betz, 2002). 2.4.2. Faktor Yang Mempengaruhi Koping Anak a. Umur dan perkembangan kognitifnya 21 b. Pengalaman sakit terdahulu c. Kedekatan anak pada orang tua d. Lamanya sakit dan seringnya anak dirawat e. Tipe dan frekwensi tindakan invasif yang dilakukan f. Tingkat kecemasan orang tua g. Stres yang dialami anak sebelum di rumah sakit (Napitupulu, 2010). 2.4.3. Stressor pada Anak yang Dirawat di Rumah Sakit Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak (Nursalam, Susilaningrum, R., dan Utami, S, 2005). Jika seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis karena anak mengalami stres akibat perubahan yang dialaminya. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan status kesehatan anak, perubahan lingkungan, maupun perubahan kebiasaan sehari-hari. Selain itu anak juga mempunyai keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan. Stresor atau pemicu timbulnya stres pada anak yang dirawat di rumah sakit dapat berupa perubahan yang bersifat fisik, psiko-sosial, maupun spiritual. Perubahan lingkungan fisik ruangan seperti fasilitas tempat tidur yang sempit dan kurang nyaman, tingkat kebersihan kurang, dan pencahayaan yang terlalu terang atau terlalu redup. Selain itu suara yang gaduh dapat membuat anak merasa terganggu atau bahkan menjadi ketakutan. Keadaan dan warna dinding maupun tirai dapat membuat anak marasa kurang nyaman . 22 Beberapa perubahan lingkungan fisik selama dirawat di rumah sakit dapat membuat anak merasa asing. Hal tersebut akan menjadikan anak merasa tidak aman dan tidak nyaman. Ditambah lagi, anak mengalami perubahan fisiologis yang tampak melalui tanda dan gejala yang dialaminya saat sakit. Adanya perlukaan dan rasa nyeri membuat anak terganggu. Selain perubahan pada lingkungan fisik, stressor pada anak yang dirawat di rumah sakit dapat berupa perubahan lingkungan psiko-sosial. Sebagai akibatnya, anak akan merasakan tekanan dan mengalami kecemasan, baik kecemasan yang bersifat ringan, sedang, hingga kecemasan yang bersifat berat. Pada saat anak menjalani masa perawatan, anak harus berpisah dari lingkungannya yang lama serta orang-orang yang terdekat dengannya. Anak biasanya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibunya, akibatnya perpisahan dengan ibu akan meninggalkan rasa kehilangan pada anak akan orang yang terdekat bagi dirinya dan akan lingkungan yang dikenalnya, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa cemas (Nursalam, Susilaningrum, R., dan Utami, S, 2005). 2.4.4. Pola Koping Anak Usia Sekolah Untuk mengatasi stress, usia sekolah menggunakan mekanisme pemecahan masalah dan pertahanan meliputi regresi, penolakan, agresi, dan supresi. Beberapa kategori perilaku koping anak usia sekolah yang mengalami hospitalisasi meliputi ketidakaktifan (diam total, kurang beraktivitas dan apatis). Orientasi pra-koping (melihat dan mendengar, berjalan berkeliling dan mengamati, dan menanyakan pertanyaan), kooperasi (kepatuhan terhadap perawatan), resistensi (berusaha 23 menghindari situasi dengan menolak atau membuat serangan fisik atau verbal) dan mengendalikan (memikul tanggung jawab terhadap perawatan mandiri dan menyarankan bagaimana suatu hal dapat diselesaikan) Anak usia sekolah menggunakan mekanisme pemecahan masalah dan pertahanan meliputi regresi, penolakan, agresi, dan supresi untuk mengatasi stres (Potter, 2006). Menarik diri ke pola perilaku yang lebih muda biasa dijumpai jika anak diimobilisasi, lemah atau membutuhkan pengobatan jangka panjang (Juffrie, 2003). Anak juga merasa hilangnya kendali karena mereka mengalami kehilangan kekuatan sendiri. Takut kepada cedera tubuh yang mengarah kepada rasa takut terhadap mutilasi, prosedur yang menyakitkan dan keterbatasan pengetahuan mengenai tubuh juga meningkatkan rasa takut yang khas seperti takut terhadap kastrasi dan takut terhadap pemasangan intravena (Muscari 2005, dalam Lubis 2007). 2.4.5. Pengaruh Orientasi ALKES Terhadap Adaptasi Anak Usia Sekolah Alat kesehatan seperti jarum suntik dan peralatan infus adalah sumber ketakutan bagi anak apalagi namanya terdengar asing dan aneh bagi anak. Anak bisa berpikiran yang negatif dan semakin merasa takut apalagi orang tua sering sekali memakai jarum suntik sebagai alat untuk menakut-nakuti anak supaya anak jangan nakal sehingga hal ini diingat anak terus-menerus bahkan ketika anak dirawat dan harus menjalani prosedur pengobatan anak menjadi trauma dan stres (Napitupulu, 2010). Orientasi ruangan merupakan hal yang penting yang harus dilaksanakan oleh perawat kepada pasien dan pendamping untuk menghindari sesuatu yang 24 mencemaskan dan menakutkan bagi pasien tersebut. Mengorientasikan pasien dan pendamping tentang rumah sakit, fasilitas, dan peraturan yang berlaku (Nursalam, 2008). Informasi tentang rumah sakit dibutuhkan pasien dan pendamping untuk dapat beradaptasi dengan situasi rumah sakit yang berbeda dengan rumah sendiri (Keliat, 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Alexandria dengan judul Fears of School-Age Children During Hospitalization and Their Coping Strategies disimpulkan beberapa hal yaitu: Pasien anak-anak usia sekolah dan keluarga perlu untuk diberikan persiapan psikologis dan emosional untuk mengurangi ketakutan anak-anak sebelum rawat inap dan pembedahan. Perawat harus memperhatikan ketakutan dan strategi koping anak karena anak-anak sering terlihat ketakutan dan memiliki strategi koping yang berbeda dari orang dewasa. Sehingga, perawat bisa mendorong anak-anak untuk mengungkapkan ketakutan mereka dalam rangka untuk membantu mereka mengatasi ketakutannya secara efektif. (Gamalat et al, 2007)