BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suplemen makanan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suplemen makanan merupakan produk yang dimaksudkan untuk melengkapi
kebutuhan zat gizi makanan, mengandung satu atau lebih vitamin, mineral, asam
amino atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang
mempunyai nilai gizi dan efek fisiologis dalam jumlah terkonsentrasi (BPOM,
2004). Pada tahun 2012, Badan Pengawasan Obat dan Makanan telah
mengevaluasi berkas pendaftaran suplemen makanan sebanyak 1.029 berkas yang
diterima dan memberikan persetujuan ijin edar sebanyak 591 produk suplemen
makanan.
Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat telah menyebabkan
peningkatan peredaran dan penggunaan suplemen makanan. Pada tahun 2000,
Puslitbang Farmasi Depkes RI telah melakukan survey konsumen di tiga kota
besar (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) tentang konsumsi suplemen makanan.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsumsi suplemen makanan
terbanyak
adalah
pada
perempuan
(78,1%).
Kebanyakan
dari
mereka
mengkonsumsi suplemen untuk menjaga kesehatan atau meningkatkan stamina
(59,4%), sebagian hanya untuk mengatasi kegemukan, mencegah keriputan
(proses penuaan) serta menghaluskan kulit yang kasar.
Masyarakat tetap perlu berhati-hati dalam mengkonsumsi suplemen, karena
pola konsumsi yang salah dapat membahayakan keselamatan seseorang. Efek
1
2
samping penggunaan suplemen tidak akan langsung muncul. Seperti juga
khasiatnya, efek samping suplemen baru muncul setelah pemakaian jangka lama.
Oleh karena itu informasi keamanan perlu diketahui, berapa batas maksimum
yang dibolehkan dengan menggunakan total asupan sehari dan jumlah yang
menimbulkan toksisitas melalui risk assessment. Jumlah yang menimbulkan
toksisitas sebaiknya berdasarkan pengalaman pada manusia meskipun dari negara
lain. Apabila tidak ada data pada manusia terpaksa menggunakan data hewan
dengan faktor koreksi (Purwantyastuti, 2009). Pada aturan BPOM (2004) juga
disebutkan bahwa masyarakat harus dilindungi dari suplemen makanan yang tidak
memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan serta resiko
penggunaan yang tidak aman.
Suplemen peninggi badan Fish Calcium YGF 251 merupakan suplemen yang
mengandung kalsium dan young growth factor yang dapat membantu
meningkatkan tinggi badan seseorang. Kalsium merupakan elemen mendasar dari
tubuh dan penting terkait fungsinya dalam melakukan mineralisasi tulang meliputi
pembentukan dan pemeliharaan struktur serta kekakuan skeleton (Branca, 2001).
Berdasarkan penelitian Kim et al. (2002) dan Choi et al. (2002) bahwa YGF 251
memiliki manfaat dalam pertumbuhan melalui peningkatan sekresi insulin like
growth factor (IGF-1).
Hasil studi pustaka telah diketahui uji toksisitas akut dari masing-masing
komponen YGF 251 yakni Phlomis umbrosa Turcz, Cynanchum wilfordii Hem,
Zingiber officinale Rosc dan Platycodi Radix ekstrak yang tidak menunjukan
kematian atau perubahan gejala toksik selama pemberian sediaan uji. Akan tetapi
3
belum diketahui dengan pasti hasil uji toksisitas subkronik kombinasi fish calcium
dan YGF (Young Growth Factor).
Informasi yang dapat diketahui dari hasil uji toksisitas akut adalah efek
toksik akibat penggunaan singkat, tetapi tidak dapat mengetahui mekanisme serta
efek toksik yang munculnya lambat yang mungkin tidak terliput saat uji toksisitas
akut (Barile, 2007). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian toksisitas subkronis
sehingga dapat diketahui ada atau tidak adanya efek toksik yang timbul akibat dari
penggunaan suplemen Fish Calcium YGF 251 yang berulang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat ditarik permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimana pengaruh sediaan suplemen peninggi badan Fish Calcium YGF
251 berulang selama 90 hari terhadap gejala toksik pada tikus betina galur
Wistar ?
2. Bagaimana pengaruh pemberian sediaan uji berulang selama 90 hari
terhadap parameter perkembangan bobot badan, purata kenaikan bobot
badan perhari (PKBP), asupan makanan dan minuman, serta parameter
kimia darah pada tikus betina galur Wistar ?
3. Bagaimana sifat reversibilitas efek toksik akibat pemberian sediaan uji
selama 90 hari terhadap parameter perkembangan bobot badan, purata
kenaikan bobot badan perhari (PKBP), asupan makanan dan minuman, serta
parameter kimia darah pada tikus betina galur Wistar ?
4
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gejala toksik yang timbul akibat pemberian produk suplemen
Fish Calcium YGF 251 selama 90 hari terhadap tikus betina galur Wistar.
2. Mengetahui pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang selama 90 hari
terhadap parameter perkembangan bobot badan, purata kenaikan bobot
badan perhari (PKBP), asupan makanan dan minuman, serta kimia darah
pada tikus betina galur Wistar.
3. Mengetahui sifat reversibilitas efek toksik akibat pemberian sediaan uji
secara berulang selama 90 hari terhadap parameter perkembangan bobot
badan, purata kenaikan bobot badan perhari (PKBP), asupan makanan dan
minuman, serta kimia darah pada tikus betina galur Wistar.
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
kefarmasian, ilmu kedokteran, dan pengetahuan tentang uji ketoksikan
subkronis.
2. Sebagai masukan kepada penelitian selanjutnya dalam meneliti masalah
toksisitas subkronis.
3. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai keamanan produk
suplemen Fish Calcium YGF 251.
5
E. Tinjauan Pustaka
1. Toksikologi
a. Definisi Toksikologi
Toksikologi didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek
toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologi lainnya. Selain
itu toksikologi juga membahas penilaian kuantitatif mengenai berat dan kekerapan
efek toksik dari suatu racun (Lu, 2009). Menurut Hodgson & Levi (1997) racun
sendiri merupakan senyawa-senyawa berbahaya yang dapat mengakibatkan
kerusakan apabila dipejankan pada makhluk hidup baik sengaja maupun tidak.
b. Asas Umum Toksikologi
Menurut Donatus (2001), empat asas utama toksikologi yang perlu dipahami
dalam mempelajari toksikologi, yaitu kondisi pemejanan dan kondisi makhluk
hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik. Kondisi pemejanan
mencakup semua faktor yang menentukan keberadaan zat toksik pada tempat aksi
dalam suatu jaringan biologis. Kondisi pemejanan meliputi jenis pemejanan akut
dan kronis, jalur pemejanan (intra vena, subkutan, inhalasi, intra peritoneal, intra
muskular, oral, dermal), lama dan kekerapan pemejanan, saat pemejanan, serta
takaran pemejanan (Donatus, 2001).
Kondisi makhluk hidup mencakup kondisi fisiologi dan patologi makhluk
hidup yang mempengaruhi ketersediaan zat toksik di tempat aksi dan keefektifan
antaraksi. Kondisi patologi meliputi penyakit saluran cerna, penyakit jantung,
penyakit ginjal, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk kondisi fisiologi meliputi
6
umur, berat badan, jenis kelamin, waktu pengosongan lambung, suhu tubuh, status
gizi, kecepatan aliran darah, dan lain-lain (Donatus, 2001).
Mekanisme aksi toksik suatu zat beracun berguna untuk mengetahui
penyebab timbulnya keracunan yang berkaitan dengan wujud dan sifat efek toksik
yang terjadi. Mekanisme aksi toksik racun dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu
berdasarkan sifat dan tempat kejadian, sifat antaraksi antara racun dan tempat
aksinya, serta resiko penumpukan racun di dalam tubuh (Donatus, 2001).
Wujud efek toksik suatu zat beracun dapat berupa perubahan fungsional,
biokimia, dan struktural. Sifat efek toksik dari suatu zat beracun dibedakan
menjadi dua yaitu efek toksik yang dapat terbalikan dan efek toksik yang tidak
terbalikan (Donatus, 2001). Efek toksik terbalikan yang ditimbulkan oleh racun
akan hilang setelah pemejanan dihentikan, sedangkan pada efek toksik tak
terbalikan, efek toksik akan menetap atau bahkan bertambah parah meskipun
pemejanan dihentikan (Lu, 2009).
c. Uji Toksikologi
Pada dasarnya uji toksikologi digolongkan menjadi dua, yakni uji ketoksikan
khas dan uji ketoksikan tak khas. Uji ketoksikan khas meliputi uji potensiasi,
kemutagenikan, keteratogenikan, preproduksi, kulit dan mata, dan perilaku. Uji
ketoksikan tak khas digunakan untuk mengetahui spektrum efek toksik racun dan
potensinya (Loomis, 1978). Uji ketoksikan tak khas meliputi :
1) Uji ketoksikan akut
Uji ini dirancang untuk menentukan efek toksik sesuatu senyawa (misal zat
tambahan makanan) yang akan terjadi dalam waktu yang singkat setelah
7
memberikan atau pemberiannya dengan takaran tertentu. Umumnya pengamatan
dilakukan 24 jam, kecuali pada kasus tertentu selama 7-14 hari. Pengamatan
tersebut meliputi gejala-gejala klinis, jumlah hewan yang mati, histopatologi
organ (Loomis, 1978; Auletta, 2002). Aplikasi dari uji ini adalah untuk
menentukan nilai LD50 dari toksikan. LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal
suatu zat atau senyawa yang dapat menyebabkan 50% kematian pada hewan uji.
Selain itu uji toksisitas akut dapat digunakan untuk memperkirakan target organ
suatu toksikan atau senyawa kimia dan bermanfaat untuk memperkirakan takaran
dosis dalam uji toksikologi jangka panjang (Lu, 2009).
2) Uji ketoksikan subkronik
Uji toksisitas subkronik disebut juga uji subakut. Pada uji subkronik
digunakan satu atau lebih jenis hewan uji. Hewan uji yang dipilih harus memiliki
jalur biotransformasi senyawa kimia atau toksikan yang mirip dengan jalur
biotransformasi pada manusia. Hewan uji yang sering digunakan dalam penelitian
yaitu tikus dan anjing karena pertimbangan jalur biotransformasi yang mirip
dengan manusia (Lu, 2009).
Menurut Eaton & Gilbert (2008), tujuan utama dari aplikasi uji ketoksikan
subkronik adalah mengestimasi kisaran dosis yang tidak menimbulkan efek toksik
atau sering disebut NOAEL (No Observed Adverse Effect Level) dan
mengidentifikasi lebih jauh target organ spesifik yang mungkin terkena efek
toksik akibat pemejanan berulang. Tujuan lain dari uji toksisitas subkronis ini
adalah mengungkap spektrum efek toksik senyawa uji, mengevaluasi hubungan
dosis pemejanan dengan respon toksik, dan memungkinkan terliputnya
8
mekanisme serta efek toksik yang munculnya lambat dan tidak terliput pada uji
ketoksikan akut (Barile, 2007).
3) Uji ketoksikan kronis
Berbeda dengan uji ketoksikan subkronis, dalam uji ketosikan kronis lama
pemejanan senyawa uji dan masa pengamatan atau pemeriksaannya berlangsung
selama lebih dari tiga bulan (selama sebagian besar masa hidup hewan uji). Uji
ketoksikan kronis dikerjakan dengan tujuan untuk menegaskan no-observedadverse-effect levels (NOAEL), yang dapat digunakan untuk menetapkan
masukan harian yang dapat diterima, batas toleransi zat kimia dalam makanan
atau air atau batas keamanan sesuatu senyawa (Henry, 1978).
2. Uji Ketoksikan Subkronis (OECD guideline nomor 408)
OECD (Organisation for Economic Co-Operation and Development) sudah
banyak menghasilkan guideline untuk berbagai penelitian, salah satunya yaitu
OECD Guideline for the Testing of Chemicals. Guideline ini merupakan acuan
standar dalam pengujian keamanan dari berbagai bahan kimia yang ada di dunia
(Anonim, 2013). Pada penelitian ini digunakan OECD 408 Repeated Dose 90days Oral Toxicity Study in Rodents. Guideline ini telah direvisi berulang kali.
Guideline OECD 408 direvisi pada 28 September 1998. Prinsip uji ini yaitu
pemejanan bahan kimia pada hewan uji secara oral setiap hari dengan dosis
bertingkat selama 90 hari, satu tingkatan dosis untuk satu kelompok hewan uji.
Selama penelitian dilakukan pengamatan gejala-gejala klinik yang terjadi pada
hewan uji. Selain itu juga dilakukan pengamatan tambahan selama 14 hari (setelah
hari ke-90) tanpa pemejanan sediaan uji yang dimaksudkan untuk melihat adanya
9
kemungkinan terjadinya gejala keracunan, resistensi ataupun penyembuhan yang
tertunda. Hewan yang mati selama tes ini akan dikorbankan dan dinekropsi. Pada
akhir penelitian, seluruh hewan uji yang masih hidup dikorbankan dan dilakukan
nekropsi (Anonim, 1998).
3. Suplemen Fish Calcium YGF 251
Suplemen Fish Calcium YGF 251 merupakan tablet suplemen dengan
kandungan tertinggi Fish Calcium dan YGF 251 (Young Growth Factor).
Komposisi bahan yang terkandung dalam tablet terlihat dalam tabel I.
Tabel I. Komposisi bahan tablet suplemen peninggi badan Fish Calcium YGF 251 (PT.
Kalbe Farma)
Bahan
Kandungan
(mg/tablet)
Rekomendasi dosis harian
Fish Calcium > 30%
437,6
875,2
YGF 251
125
250
Microcrystalline Cellulose
213,4
426,8
Hydroxypropilmethyl Cellulose
8
16
Magnesium Stearate
8
16
Silica dioxide
8
16
Total
800
1600
a. Fish Calcium
Ikan dikenal sebagai penghasil kalsium yang penting bagi tubuh untuk fungsi
fisiologis tubuh. Ikan laut merupakan sumber kalsium, dengan variasi antara 6120 mg/100 g tergantung dari spesies ikan (Venugopal, 2009).
Kalsium merupakan mineral yang banyak ditemukan di dalam tubuh dan
berkontribusi 1,5 – 2% bobot tubuh (Kirschman, 2007). Kalsium memainkan
peran penting dalam mineralisasi tulang, serta berbagai fungsi biologis. Kalsium
10
merupakan elemen penting yang hanya tersedia untuk tubuh melalui sumber
makanan. Rekomendasi diet kalsium berkisar 1.000 – 1.500 mg/hari, tergantung
pada usia seseorang. Pada beberapa individu, terutama orang tua, suplemen
kalsium mungkin diperlukan untuk mencapai asupan kalsium yang dianjurkan.
Kebutuhan kalsium tergantung pada keadaan metabolisme kalsium, yang diatur
oleh tiga mekanisme utama, yakni: penyerapan usus, reabsorpsi ginjal, dan
pergantian tulang. Mekanisme tersebut diatur oleh seperangkat hormon, termasuk
hormon paratiroid (PTH), 1,25-dihydroxyvitamin D [1,25 (OH) 2D], dan kalsium
terionisasi itu sendiri (Peacock, 2010).
Penyebab kelainan kalsium biasanya berhubungan dengan penyakit
paratiroid, penyakit metabolik tulang dan gangguan metabolisme vitamin D.
Hiperkalsemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita tumor
ganas, hipertiroid, hiperparatiroid, intoksikasi vitamin D, dan asupan kalsium
yang berlebih. Hipokalsemia dapat disebabkan karena adanya hipoparatiroid,
defisiensi vitamin D dan pankreatitis akut (Widmann, 1989).
b. YGF 251 (Young Growth Factor)
YGF 251 (Young Growth Factor) merupakan ekstrak tumbuhan yang
diproduksi oleh Doosan Feed Inc (Bucheon, Korea). YGF 251 diekstrak secara
farmasetik dari tumbuhan antara lain Phlomis umbrosa Turcz, Cynanchum
wilfordii Hem, Zingiber officinale Rosc dan Platycodi radix (25: 30: 15: 30;
5,2%). YGF 251 ini memiliki efek herbal alami untuk menginduksi IGF-1 yang
berperan dalam pertumbuhan (Kim et al., 2002).
11
Sintesis dan sekresi GH (Growth Hormon) dari pituitari diperantarai oleh
GHRH (Growth Hormon Releasing Hormon), sedangkan inhibisi dari sekresi GH
diregulasi oleh somatostatin, selain itu juga dipengaruhi oleh signal pusat dan
signal periperal. Pituitari GH merupakan regulator utama untuk produksi IGF-1 di
liver. Liver merupakan organ utama yang berkontribusi dalam sirkulasi IGF-1
(75%) sedangkan jaringan lain seperti lemak dan otot berkontribusi (25%) dalam
sirkulasi IGF-1 di serum (Waters & Brooks, 2011).
Kelebihan GH dan IGF-1 akan memicu terjadinya peningkatan pertumbuhan.
Penelitian menunjukan bahwa kelebihan GH pada mencit menyebabkan
peningkatan ukuran tubuh dan gigantisme tulang (Lim et al., 2015). Tidak adanya
GH dapat menyebabkan retardasi dalam pertumbuhan, pengurangan volume
tulang, mengurangi kepadatan tulang kortikal, serta luas tulang berkurang (Yakar
& Isaksson, 2015).
1) Zingiber officinale
Gambar 1. Zingiber officinale Rosc.
Rimpang jahe merupakan herba, semusim, tegak, tinggi 40-50 cm. Berbatang
semu, beralur, membentuk rimpang. Berdaun tunggal, bentuk lanset, tepi rata,
12
ujung runcing, panjang 3-5 cm. Kandungan kimia utama dari jahe adalah
flavonoida, polifenol, dan minyak atsiri (Hutapea et al., 2001).
Beberapa studi in vivo menyebutkan bahwa jahe dapat digunakan untuk
meningkatkan motilitas gastrointestinal, anti emetik, anti inflamasi. Selain itu
menurut hasil studi klinik menyebutkan bahwa jahe dapat digunakan sebagai anti
mual dan muntah, dan anti inflamasi (WHO, 1999).
Hasil penelitian Bardi et al. (2013) menyebutkan bahwa ekstak etanolik akar
jahe (Zingiber officinale Rosc) dosis 2 g/kgBB dan 5 g/kgBB tidak menyebabkan
kematian dan perubahan gejala toksik yang signifikan selama masa perlakuan uji
toksisitas akut. Hasil pengamatan histopatologi menunjukan bahwa ekstrak jahe
tersebut aman pada dosis kurang dari 5g/kgBB. Selain itu, menurut penelitian
Jeena et al. (2011) bahwa minyak atsiri jahe yang diuji toksisitas subkronis
selama 13 minggu pada tikus wistar tidak memberikan efek toksik diatas 500
mg/kgBB (NOAEL).
2) Phlomis umbrosa Turcs
Gambar 2. Phlomis umbrosa Turcs. (Boufford, 1999)
Phlomis umbrosa Turcs telah digunakan sebagai obat herbal di China selama
ribuan tahun. Merupakan tumbuhan (famili Labitae) dengan tinggi 40-100 cm
13
yang terdistribusi di bagian Asia Selatan. Phlomis umbrosa tumbuh baik di
dataran China dengan ketinggian 300-1500 m. Di daerah China, Phlomis umbrosa
sering dijadikan pengganti S.orientalis L. untuk menyembuhkan demam, bronkitis
kronik, athralgia (Fu et al., 1999). Iridoid dan feniletanoid merupakan dua
komponen utama dari bagian permukaan dan akar Phlomis umbrosa Turcs (Li et
al., 2010).
Menurut penelitian Shang et al. (2011) bahwa ekstrak air Phlomis umbrosa
Turcs. dengan dosis 25, 50, 100 mg/kgBB mampu menghambat inflamasi pada
mencit yang terinduksi asam asetat. Uji toksisitas akut juga telah dilakukan
dengan dosis 100-1000 mg/kgBB pada mencit secara intra peritoneal. Hasil yang
didapat bahwa tidak ada tikus yang mati setelah dipejankan dosis tertinggi,
sehingga diperkirakan nilai LD50 lebih dari 1000 mg/kgBB. Studi lebih lanjut
mengenai uji toksitas subkronis belum dilakukan.
3) Platycodi radix
Gambar 3. Platycodi radix (Zhang et al., 2015)
Platycodi radix adalah akar dari Platycodon grandiflorum A., yang umumnya
dikenal sebagai doraji di Korea Selatan. Di Korea serta negara-negara Asia
lainnya, Platycodi radix telah digunakan sebagai bahan makanan dan obat oriental
14
tradisional untuk kondisi seperti bronkitis, asma dan tuberkulosis paru,
hiperlipidemia, diabetes, dan sebagai obat penenang (Lee et al., 2004).
Kandungan kimia utama dari Platycodi radix adalah saponin triterpenoid
(Wen et al., 2006). Polisakarida yang terkandung dalam Platycody radix
mempunyai aktivitas imunostimulator, dimana pada dosis 3, 10, 30, 100 µg/mL
mampu mengaktivasi sel B dan meningkatkan jumlah makrofag (Zhang et al.,
2015).
Hasil uji toksisitas akut Platycodi radix oleh Lee et al. (2004) menunjukan
bahwa pada dosis lebih dari 2000 mg/kgBB tidak menyebabkan kematian,
perubahan gejala klinik, perubahan histopatologi organ. Selain itu Korean Food
and Drug Administration (2009) juga menyebutkan bahwa rekomendasi dosis
maximal dari Platycodi radix adalah 2000 mg/kgBB.
4)
Cynanhcum wilfordii Hem
Gambar 4. Cynanchum wilfordii Hem (Xiao, 1999)
Cynanchum wilfordii Hem merupakan famili dari Asclepiadaceae dan banyak
tersebar di wilayah Korea, China, dan Jepang. Tumbuhan ini memiliki tinggi 1-3
m, daun dengan panjang 5-10 cm dan lebar 4-8 cm, bunga berwarna kuning-
15
kehijauan. Tumbuhan ini mengandung komponen aktif biologi yang penting
seperti gagaminine dan glikosida, berbagai wilfosides dan cynauricousides, yang
dikenal sebagai sarcotine, penupogenin, dan cynandione A (Yoon et al., 2011 ).
Cynanchum wilfordii Hem telah lama digunakan sebagai obat tradisional di
Korea. Secara empirik tumbuhan tersebut bermanfaat untuk penyakit gangguan
lambung, memiliki efek antiinflamasi dan relaksan pembuluh darah (Yoon et al.,
2011 ).
Penelitian toksisitas akut Chung et al. (2007) menyebutkan bahwa ektrak
Cynanchum wilfordii dosis 50, 100, 200, 300 mg/kgBB yang diberikan secara
intraperitonial tidak menyebabkan kematian pada hewan uji mencit. Namun
informasi uji toksisitas subkronis dari Cynanchum wilfordii masih terbatas.
4. Parameter Kimia Darah
Analisis parameter kimia darah merupakan analisis yang penting dalam
toksikologi. Analisis ini dapat digunakan untuk menetapkan, mendeteksi dan
mengkarakterisasi efek toksik yang ditimbulkan oleh senyawa toksik dilihat dari
abnormalitas biokimiawi. Jika mungkin digunakan untuk menyediakan bukti
perubahan reversibilitas yang ditimbulkan oleh senyawa toksik (Street, 1970).
Selain itu, analisis ini juga berperan penting dalam evaluasi organ target spesifik
dari senyawa toksik dan memberikan informasi yang penting untuk memahami
proses terjadinya penyakit (Gad, 2007).
a. Glukosa
Glukosa merupakan bahan bakar utama untuk kebanyakan fungsi sel dan
jaringan. Oleh karena itu ketersediaan glukosa menjadi prioritas utama dari sistem
16
homeostasis tubuh (Widmann, 1989). Kadar glukosa darah tergantung dari
keseimbangan asupan karbohidrat, sintesa glukosa endogen dan pelepasan oleh
hepar serta penggunaan cadangan glukosa (Baron, 1995).
Penetapan kadar glukosa darah dianalisis dengan menggunakan metode
GOD-PAP (enzymatic photometric test). Prinsip dari uji ini adalah penentuan
glukosa berdasarkan oksidasi enzim oleh glukosa oksidase. Enzim glukosa
oksidase ini bekerja spesifik pada glukosa, tetapi tidak pada gula lain dan
pereduksi lain (Sacher & McPherson, 2004).
Abnormalitas kadar glukosa baik hipoglikemia atau hiperglikemia akan
memberikan pengaruh buruk terhadap homeostasis organ dan jaringan-jaringan
yang lain. Hiperglikemia paling banyak disebabkan oleh penyakit diabetes, yaitu
adanya kerusakan sel-sel β pankreas atau berkurangnya sensitivitas insulin
(Kawahito et al., 2009). Hiperglikemia juga dapat terjadi karena adanya
hiperaktifitas cortex adrenal (sindrom Chusing), hiperfungsi kelenjar tiroid,
akromegali, dan obesitas (Widmann, 1989). Hipoglikemia mempunyai penyebab
yang luas seperti adanya penyakit liver, ginjal, gastrointestinal dan kelenjar
endokrin, atau karena karena asupan yang kurang (Field, 1989).
b. Urea darah
Urea adalah molekul kecil dengan berat molekul sebesar 60 dalton. Urea
berdifusi masuk ke dalam cairan inrasel dan ekstrasel. Zat ini dipekatkan dalam
urin untuk diekskresikan. Pada keseimbangan nitrogen yang stabil, sekitar 25
gram urea diekskresikan setiap hari. Kadar dalam darah menecrminkan
keseimbangan antara produksi dan ekskresi urea. Kadar BUN yang sangat rendah
17
merupakan temuan penting pada penyakit hati yang berat, yang menandakan
bahwa hati tidak mampu membentuk urea dari amonia dalam sirkulasi. Kondisi
kadar urea yang tinggi disebut uremia, penyebab tersering adalah gagal ginjal
yang menyebabkan gangguan ekskresi (Sacher & Mc.Pherson, 2004).
Metode kimiawi untuk menetapkan urea umumnya telah diganti dengan
metode enzimatik dengan menggunakan bantuan enzim urease yang bersifat
sangat spesifik untuk urea (Sacher & McPherson, 2004). Prinsip dari uji ini adalah
urea akan dihidrolisis menjadi amonium dengan bantuan enzim urease (Burtis et
al., 2008).
c. Kreatinin
Kreatinin merupakan produk akhir dari kreatin. Kreatin disintesis utama oleh
hati, terdapat pada hampir semua otot rangka. Kreatin terikat secara reversibel
dengan fosfat dalam bentuk fosfokreatin, yakni senyawa yang penyimpan energi
(Widmann, 1989).
Penetapan kadar kreatinin menggunakan Kinetic test tanpa deproteinasi
berdasarkan metode Jaffe. Kreatinin yang direaksikan dengan larutan pikrat alkali
akan membentuk warna merah orange diukur menggunakan spektrofotometer
pada panjang gelombang 492 nm (BPOM, 2014).
Penilaian terhadap kadar urea dan kreatinin serum dapat menjadi penanda
adanya gangguan terhadap laju filtrasi glomerulus yang mengarah pada gagal
ginjal. Peningkatan kadar kreatinin dan urea dalam darah yang diikuti dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus akan mengarahkan pada kondisi gangguan
ginjal akut, namun peningkatan tersebut tidak selalu terkait dengan gangguan
18
ginjal akut karena dapat pula menandai kondisi dehidrasi, hipovolemia, atau
proses katabolisme protein. Penilaian kadar kreatinin dan urea darah serta
pemeriksaan histopatologis ginjal yang terintegrasi dapat dilakukan untuk menilai
toksisitas ginjal akibat paparan toksikan (Schnellmann, 2008).
d. Albumin
Albumin merupakan salah satu protein plasma yang disintesis di dalam hepar
dan mempunyai masa paruh 15 hari. Albumin bertanggung jawab terhadap
transportasi bilirubin dan kalsium yang terikat protein (tak terionisasi) di dalam
plasma (Baron, 1995).
Albumin sering dikuantifikasi dengan menggunakan analyzers kimiawi
otomatis. Albumin secara reversibel berikatan dengan banyak molekul kecil,
termasuk zat-zat warna yang tidak berinteraksi dengan protein serum lainya.
Pengikatan selektif ini biasanya dilakukan dengan zat warna seperti hijau
bromkresol atau ungu bromkresol. Metode-metode terbaru fraksionasi protein
dapat menggunakan elektroforesis dengan medium penunjang padat seperti
agarosa atau selulosa asetat (Sacher & McPherson, 2004).
Perubahan konsentrasi albumin dalam darah dibedakan menjadi 2, yaitu
hipoalbuminemia dan hiperalbuminemia. Hipoalbuminemia dapat disebabkan
oleh penurunan sintesis karena insufisiensi hepar, sehingga pengukuran albumin
plasma dapat untuk mengevaluasi kronisitas dan keparahan dari penyakit hepar.
Hilangnya cairan plasma akibat dehidrasi dapat menyebabkan peningkatan kadar
albumin atau hiperalbuminemia (Thrall et al., 2012).
19
e. Kolesterol
Kolesterol merupakan alkohol steroid yang memiliki 27 atom karbon yang
tersusun dalam sistem steran tetrasiklik. Sumber kolesterol berasal dari asupan
makanan dan sintesis endogen. Hampir 90% sintesis kolesterol berada di hati dan
usus (Burtis et al., 2008). Kolesterol digunakan tubuh untuk sintesis hormonhormon steroid, asam empedu, dan membran sel (Boh, 1996).
Pengukuran kolesterol total dahulu dilakukan dengan menggunakan metode
kimiawi kolorimetrik yang memperlihatkan adanya interfensi dari zat-zat lain.
Saat ini sebagian besar metode kolesterol menggunakan enzim kolesterol oksidase
dan bersifat jauh lebih spesifik (Sacher & McPherson, 2004).
Hiperkolesterolemia adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan
tingginya low density lipoprotein (LDL) dan kolesterol darah. Kondisi ini
merupakan faktor resiko paling penting dalam perkembangan arterosklerosis yang
menyebabkan penyakit kardiovaskuler. Penurunan kadar kolesterol dapat
dikaitkan dengan adanya malnutrisi, gangguan hati atau kelenjar empedu, sepsis,
dan anemia berat (Widmann, 1989).
f. Total Protein
Penyerapan protein dipengaruhi oleh gangguan fungsi lambung, pankreas,
dan usus halus. Oleh karena itu, protein total dapat menggambarkan defisiensi
nutrisi dan masalah fungsi pencernaan. Penurunan nilai protein total dapat
mengindikasikan malnutrisi, gangguan fungsi pencernaan karena HCl yang tinggi,
atau gangguan fungsi hati. Malnutrisi lebih mengarah pada penurunan protein
20
total yang disebabkan oleh kurang tersedia asam amino essensial (Weatherby &
Fergusson, 2002).
Total protein biasanya diukur dengan reagen biuret dan tembaga sulfat basa.
Penyerapan diukur pada panjang gelombang 545 nm. Sebagian besar protein
diharapkan bereaksi dengan reagen ini secara ekuivalen berdasarkan berat
molekulnya (Sacher & McPherson, 2004).
g. Bilirubin
Bilirubin memiliki dua bentuk yaitu bentuk conjugated (sirkulasi
bebas
dalam serum) dan unconjugated (terikat dalam protein). Bilirubin merupakan
indikator penting untuk mengevaluasi fungsi liver, anemia hemolitik, dan
hiperalbuminemia (Boh, 1996).
Penetapan bilirubin conjugated diukur oleh suatu reaksi kimia spesifik
(diazotasi) tanpa modfikasi apapun karena zat ini larut air. Bilirubin unconjugated
tidak dikuantifikiasi secara terpisah, tetapi dihitung sebagai perbedaan antara
bilirubin total dan fraksi bilirubin conjugated. Pengukuran bilirubin total
melibatkan pelarutan bentuk tidak terkonjugasi sebelum kuantifikasi kimiawi
(Sacher & McPherson, 2004).
Kadar bilirubin dalam serum dipengaruhi oleh metabolisme hemoglobin,
fungsi hati dan kondisi pada saluran empedu. Destruksi eritrosit yang bertambah,
akan menyebabkan bilirubin yang terbentuk lebih banyak. Keadaan fungsi hati
yang menurun dapat menyebabkan peningkatan kadar bilirubin serum yang
signifikan (Widmann, 1989).
21
h. Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT)
SGPT yang disebut juga Alanine transaminase (ALT) merupakan enzim
transaminase yang terdapat pada serum dan jaringan tubuh. Secara klinis SGPT
digunakan dalam evalusi diagnosis cedera hati untuk menentukan tingkat
kesehatan sel hati (Wang, 2012). SGPT sebagian besar berada di sitosol sel-sel
hati. Sel hati yang mengalami nekrosis akan menyebabkan SGPT yang ada di
dalam sitosol keluar karena rusaknya membran sel, sehingga kadar SGPT di
dalam plasma menjadi tinggi (Zakim & Boyer, 1982).
Penetapan kadar Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGPT) dapat
ditentukan menggunakan metode spektrofotometer UV. Metode kolorimetrik
adalah metode yang paling banyak digunakan karena lebih sederhana dan praktis
(Paget, 1970).
i. Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT)
SGOT yang disebut juga Aspartate transaminase (AST) merupakan enzim
transaminase yang berfungsi mengkatalisis perpindahan gugus amino aspartat ke
asam α-ketoglutarat membentuk oksaloasetat dan glutamat (Burtis et al., 2008).
SGOT berada di mitokondria dan sitosol sel-sel hati. Membran sel yang pecah
atau rusak akan menyebabkan keluarnya SGOT yang ada di dalam sel. Hal ini
terjadi apabila sel hati mengalami kerusakan atau nekrosis. Keluarnya SGOT
tersebut akan menyebabkan SGOT berada di dalam plasma dengan konsentrasi
tinggi. SGOT kurang spesifik dibandingkan SGPT, karena SGOT tidak hanya
berada di hati (mitokondria dan sitosol) melainkan juga ada di jantung, ginjal,
otak, dan tulang (Zakim & Boyer, 1982).
22
Penetapan kadar
Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT)
menggunakan metode spektrofotometer UV. L-aspartat (pereaksi A) dan 2oksoglutarat (pereaksi B) dengan adanya SGOT akan menjadi L-glutamat dan
oksaloasetat, hasil uraian tersebut dengan adanya NADH akan direduksi
menghasilkan 1-malat dan NAD+. Jumlah hasil urai yang terbentuk diukur
absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 340 nm
(BPOM, 2014).
F. KETERANGAN EMPIRIK
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi atau mengetahui gambaran
toksisitas pemberian jangka panjang produk suplemen peninggi badan fish
calcium YGF 251 pada tikus betina galur Wistar, ditinjau dari parameter kimia
darah, perkembangan bobot badan, purata kenaikan bobot badan perhari (PKBP),
asupan makanan dan minuman, dan kekerabatan antara dosis pemberian dengan
wujud efek toksik, jika suplemen tersebut dipejankan berulang sekali sehari secara
peroral selama 90 hari dan masa uji reversibilitas selama 14 hari.
Download