BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara tropis biodiversitas Indonesia sangat tinggi, bahkan menempati peringkat kedua setelah Brazil. Tanahnya yang subur menjadikan banyak tanaman dapat tumbuh dengan baik di Indonesia. Di antara tanamantanaman itu sebagian dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Terdapat sekitar 30.000 jenis tumbuhan terdapat di Indonesia dan 7000 di antaranya ditengarai memiliki khasiat obat (Sampurno, 2007). Tanaman obat tersebut diolah menjadi berbagai bentuk sediaan farmasi untuk mempermudah penggunaannya oleh masyarakat. Salah satu sediaan farmasi yang berasal dari tanaman obat adalah kombinasi ekstrak etanolik rimpang kunyit dan herba meniran yang selanjutnya disebut dengan produk EKM. EKM merupakan obat herbal yang mengandung kombinasi ekstrak kunyit (Curcuma domestica Val.) dan ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L.) dengan perbandingan kunyit:meniran sebesar 3:2. Kedua ekstrak tersebut dibuat menjadi bentuk sediaan kapsul. Kunyit banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kunyit memiliki efek hepatoprotektor terhadap karbon tetraklorida (CCl4), galaktosamin, parasetamol, dan aflatoksin Aspergilus pada pengujian in vivo. Efek hepatoprotektor ini dikarenakan sifat antioksidan yang mampu mengurangi pembentukan pro-inflammatory cytokines (Akram dkk., 2010). 1 2 Meniran sudah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat. Meniran dilaporkan berfungsi sebagai antihepatotoksik. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, meniran mengandung senyawa filantin dan hipofilantin yang berpotensi sebagai hepatoprotektor (Syamasundar, 1985). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa produk EKM memiliki aktivitas hepatoprotektor pada tikus putih galur Wistar yang diinduksi parasetamol dengan dosis optimal 90 mg/kgBB (Khotimah, 2015). Meskipun telah diketahui efek farmakologinya sebagai hepatoprotektor namun penelitian lebih lanjut mengenai keamanan penggunaan EKM belum dilakukan. Sebagian besar masyarakat menganggap penggunaan obat herbal tidak berbahaya. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar karena kemungkinan timbulnya efek merugikan tetap ada, terlebih lagi bila digunakan dalam jangka panjang. Ekstrak kunyit tidak menunjukkan efek toksik pada pengujian toksisitas akut, subkronis, dan mutagenik (Liju dkk., 2012). Pengujian ekstrak meniran juga tidak menunjukkan efek toksik pada pemberian secara akut (Asare dkk., 2011) dan subkronis (Asare dkk., 2012). Namun pengujian toksisitas subkronis untuk kombinasi kedua ekstrak tersebut belum dilakukan. Untuk itu diperlukan suatu uji toksisitas subkronis untuk mengetahui potensi ketoksikan produk EKM pada penggunaan jangka pendek. Uji toksisitas subkronis dilakukan untuk mengetahui adanya efek toksik yang muncul akibat pemberian zat uji secara berulang selama 90 hari dan dilakukan pengamatan reversibilitas selama 28 hari setelah akhir pemberian sediaan uji. 3 Pada penelitian ini parameter yang diamati adalah fungsi hati. Hati memiliki banyak fungsi vital di dalam tubuh, antara lain metabolisme karbohidrat, lemak, protein, obat, dan hormon, ekskresi bilirubin, sintesis garam empedu, penyimpanan beberapa vitamin dan mineral, merombak sel darah merah, dan mengaktivasi vitamin D (Tortora dan Derrickson, 2012). Fungsi hati menjadi fokus penelitian karena berperan dalam proses detoksifikasi, namun zat yang seharusnya didegradasi atau dieliminasi tersebut juga beresiko menyebabkan kerusakan jaringan hati (Ramadori dkk., 2008). Karena fungsinya tersebut, organ hati beresiko mengalami efek toksik dari zat-zat toksik yang masuk ke dalam tubuh. Kerusakan hati dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan detoksifikasi dalam tubuh (Underwood, 2000). Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan toksisitas EKM secara subkronis terhadap fungsi hati normal. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah : 1. Apakah efek pemberian EKM sekali sehari secara subkronis selama 90 hari pada aktivitas SGOT dan SGPT, kadar kolesterol dan protein, gambaran gross patologis dan histopatologis organ hati tikus betina galur Wistar? 2. Bagaimanakah sifat reversibilitas efek toksik akibat pemberian EKM sekali sehari secara subkronis selama 90 hari pada aktivitas SGOT dan SGPT, kadar kolesterol dan protein, gambaran gross patologis dan histopatologis organ hati tikus betina galur Wistar? 4 3. Apakah hubungan dosis dan toksisitas EKM yang diberikan sekali sehari secara subkronis selama 90 hari pada tikus putih betina galur Wistar? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui efek pemberian EKM sekali sehari secara subkronis selama 90 hari pada aktivitas SGOT dan SGPT, kadar kolesterol dan protein, gambaran gross patologis dan histopatologis organ hati tikus betina galur Wistar. 2. Mengetahui sifat reversibilitas efek toksik akibat pemberian EKM sekali sehari secara subkronis selama 90 hari pada aktivitas SGOT dan SGPT, kadar kolesterol dan protein, gambaran gross patologis dan histopatologis organ hati tikus betina galur Wistar. 3. Mengevaluasi hubungan dosis dan toksisitas EKM yang diberikan sekali sehari secara subkronis selama 90 hari pada tikus putih betina galur Wistar. D. Tinjauan Pustaka 1. Kunyit (Curcuma domestica Val.) a. Deskripsi Tanaman Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman yang memiliki banyak manfaat. Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai bumbu dapur, pewarna alami, dan obat tradisional. Tanaman kunyit dapat tumbuh pada ketinggian 240 1.200 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 2.000 4.000 mm/tahun (Rahardjo dan Rostiana, 2010). 5 Gambar 1. Kunyit (Curcuma domestica Val.) Kunyit merupakan terna dengan batang berwarna semu hijau atau agak keunguan, rimpang terbentuk sempurna, bercabang-cabang, dan berwarna jingga. Setiap tanaman memiliki daun 3 5 helai, panjang tangkai daun beserta pelepahnya dapat mencapai 70 cm. Helai daun berbentuk lanset lebar, ujung daun lancip berekor, berwarna hijau atau hanya bagian atas dekat tulang utama berwarna agak keunguan, panjang 28 lebar 10 85 cm, dan 25 cm. Perbungaan terminal, gagang berambut dan bersisik dengan panjang 16 40 cm (Anonim, 1977). b. Taksonomi Tanaman Taksonomi kunyit menurut Hutapea (2001) adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Familia : Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma domestica Val. 6 c. Kandungan Kimia Kunyit mengandung sekitar 235 senyawa yang telah teridentifikasi, utamanya terdiri dari senyawa fenolik dan terpenoid meliputi 22 senyawa diarilheptanoid dan diarilpentanoid, 8 fenilpropena dan komponen fenolik lain, 68 monoterpen, 109 sesquiterpen, 5 diterpen, 3 triterpenoid, 4 sterol, 2 alkaloid, dan 14 senyawa lain. Kurkuminoid (diarilheptanoid) terutama terdapat di dalam rhizoma. Kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin digunakan sebagai senyawa penanda untuk kontrol kualitas rhizoma, serbuk dan ekstrak (Li dkk., 2011). Rhizoma kunyit mengandung 31,0% ar-turmeron sebagai komponen utama minyak kunyit (Leela dkk., 2002). Dalam Farmakope Herbal Indonesia Jilid I (2008) disebutkan bahwa kandungan minyak atsiri dalam kunyit tidak kurang dari 3,02% v/b dan kurkuminoid tidak kurang dari 6,60% yang dihitung sebagai senyawa kurkumin. d. Khasiat Tanaman Kurkumin diduga kuat sebagai zat aktif dalam kunyit yang mampu mencegah kerusakan hepatosit akibat paparan CCl4, menghambat peroksidasi lipid dan fibrosis (Akila dkk., 1998). Penelitian yang dilakukan oleh Sengupta dkk. (2011) tentang efektivitas Curcuma domestica Val. sebagai hepatoprotektor dan imunomodulator menunjukkan bahwa kunyit dapat menurunkan aktivitas SGOT dan SGPT serta dapat meningkatkan aktivitas sistem imun nonspesifik pada mencit yang diinduksi dengan CCl4. 7 e. Toksisitas Tanaman Liju dkk. (2012) telah mengevaluasi toksisitas akut dan subkronis serta efek mutagenik destilat kunyit pada tikus putih galur Wistar. Berdasarkan penelitian tersebut destilat kunyit tidak menunjukkan efek toksik. Pemberian dosis hingga 5 g/kgBB pada uji toksisitas akut dan dosis 0,1; 0,25; dan 0,5 g/kgBB pada uji toksisitas subkronis tidak menunjukkan adanya gejala klinis yang merugikan, tidak terdapat perubahan berat badan, konsumsi makan dan minum, serta tidak ada hewan uji yang mati. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Deshpande dkk. (1998), pemberian kunyit (1 dan 5%) dan ekstrak etanolik kunyit (0,05 dan 0,25%) selama 14 hari tidak mempengaruhi pertumbuhan mencit maupun tikus. Di sisi lain pemberian kunyit dosis tinggi (5%) dengan durasi yang lebih lama (90 hari) menunjukkan secara signifikan dapat menyebabkan kenaikan berat badan berkurang, meningkatkan bobot organ hati, dan hepatotoksisitas baik pada mencit maupun tikus. Pemeriksaaan jaringan menunjukkan kunyit pada dosis rendah (0,2%) dengan durasi yang lebih pendek (14 hari) sudah menunjukkan efek hepatotoksik pada mencit, sedangkan pada tikus efek hepatotoksik baru muncul pada dosis yang lebih tinggi (5%) dengan durasi yang lebih lama (90 hari). 2. Meniran (Phyllanthus niruri L.) a. Deskripsi Tanaman Meniran (Phyllanthus niruri L.) terdapat di India, Cina, Malaysia, Filiphina, dan Australia. Tersebar hampir di seluruh Indonesia pada 8 ketinggian 1 - 1.000 meter di atas permukaan laut. Tumbuh liar di tempat terbuka, pada tanah gembur yang mengandung pasir, di ladang, di tepi sungai, dan pantai (Anonim, 1978). Gambar 2. Meniran (Phyllanthus niruri L. ) Meniran termasuk terna semusim dengan tinggi 30 50 cm. Batang berwarna hijau pucat dan bercabang-cabang, daun berbentuk bulat telur dan di bagian bawah terdapat bintik-bintik. Meniran memiliki bunga jantan dan betina dalam satu tanaman. Bunga jantan keluar di bawah ketiak daun, sedangkan bunga betina keluar di atas ketiak daun. Buah meniran berbentuk bulat pipih dan licin (Dalimartha, 2000). b. Taksonomi Tanaman Menurut Hutapea (2001) taksonomi meniran adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Geraniales Famili : Euphorbiaceae Genus : Phyllanthus Spesies : Phyllanthus niruri L. 9 c. Kandungan Kimia Meniran mengandung berbagai senyawa seperti flavonoid, alkaloid, terpenoid, lignan, polifenol, tanin, kumarin, dan saponin. Golongan senyawa flavonoid terdiri dari rutin, quersetin, quersitrin, astragalin, katekin, dan senyawa lain. Golongan terpen terdiri dari limonen, p-cymene, lupeol, kumarin, dan metilbrevifolinkarboksilat. Golongan lignan utamanya terdiri dari filantin dan hipofilantin. Golongan tanin terdiri dari asam repandusinat, geraniin, dan korilagin. Senyawa alkaloid berupa norsekurinin (Bagalkotkar dkk., 2006). d. Khasiat tanaman Aktivitas herba meniran sebagai hepatoprotektor telah banyak dilaporkan baik uji in vitro maupun in vivo. Pada beberapa penelitian praklinik terhadap hewan uji, meniran telah terbukti efektif sebagai hepatoprotektor pada kejadian hepatotoksisitas obat yang diinduksi oleh parasetamol (Tabassum dkk., 2005), nimesulid (Chatterjee dan Sil, 2006), dan CCl4 (Manjrekar dkk., 2008). Filantin dan hipofilantin dalam meniran merupakan komponen utama yang berkhasiat sebagai hepatoprotektor (Syamasundar, 1985). Meniran dapat berperan sebagai antioksidan dan hepatoprotektor karena dapat menangkal radikal bebas, menghambat Reactive Oxygen Species (ROS) dan peroksidasi lipid (Harris dan Shivanandappa, 2006). 10 e. Toksisitas Tanaman Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asare dkk. (2011), ekstrak air meniran tidak memiliki efek toksik secara akut pada tikus betina galur Sprague-Dawley. Analisis urin, hematologi, dan kimia darah tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pengamatan pada berbagai organ juga tidak menunjukkan abnormalitas. LD50 ekstrak air meniran lebih dari 5000 mg/kgBB atau dapat dikatakan tidak toksik pada pengujian secara akut. Pengujian keamanan ekstrak etanolik meniran yang dilakukan Asare dkk. (2012) pada tikus betina galur Sprague-Dawley menunjukkan bahwa ekstrak tersebut tidak memiliki efek toksik. Pengujian mikronukleus pada sampel eritrosit yang berasal dari sumsum tulang menunjukkan bahwa ekstrak tersebut tidak bersifat genotoksik. Uji sitotoksisitas menggunakan laktat dehidrogenase menunjukkan bahwa ekstrak etanolik meniran memiliki CC50 sebesar 26,3 µg/mL sehingga dapat dikatakan sedikit atau tidak berefek sitotoksik. Ekstrak etanolik meniran tidak toksik secara akut dengan LD50 > 3000 mg/kgBB dan secara umum tidak menunjukkan efek toksik secara subkronis. 3. EKM Produk EKM berisi kombinasi ekstrak rimpang kunyit non-destilasi dan herba meniran dengan perbandingan 3:2 yang dibuat dalam sediaan kapsul. Kunyit diekstraksi menggunakan pelarut etanol 96% dan meniran menggunakan pelarut etanol 70% dengan perbandingan serbuk:pelarut sebesar 11 1:7. Komposisi EKM terdiri dari 240 mg ekstrak kunyit, 160 mg ekstrak meniran, dan 178 mg bahan pengisi yang terdiri dari Amprotab® dan comprecel (1:1). EKM memiliki warna kecoklatan, berasa pahit, dan beraroma kuat (Putra, 2016). Analisis kualitatif menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) menunjukkan bahwa EKM memiliki bercak yang sama dengan pembanding kurkuminoid, namun memiliki bercak dengan fluoresensi yang berbeda dengan pembanding kuersetin. Profil KLT tersebut menunjukkan EKM diduga mengandung senyawa kurkuminoid, namun senyawa kuersetin tidak terdeteksi karena kandungan utama meniran adalah filantin (Khotimah, 2015; dan Putra, 2016). EKM memenuhi persyaratan waktu hancur kapsul, keseragaman bobot, kadar air, cemaran logam berat, cemaran bakteri patogen, angka lempeng total (ALT), dan angka kapang khamir (AKK) (Putra, 2016). Gambar 3. Sampel uji EKM EKM memiliki khasiat sebagai hepatoprotektor dengan zat aktif kurkuminoid, filantin, hipofilantin, dan kuersetin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khotimah (2015), pemberian EKM sekali sehari selama 6 hari berturut-turut memiliki aktivitas hepatoprotektor pada pengujian terhadap tikus putih jantan galur Wistar yang diinduksi parasetamol dosis 2,5 g/kgBB. Efek hapatoprotektor ditunjukkan dengan penurunan aktivitas SGOT dan SGPT 12 kelompok perlakuan dibanding kelompok kontrol hepatotoksik. Gambaran histopatologis juga menunjukan EKM mampu menurunkan kerusakan hati dibanding kelompok hepatotoksik. Dosis optimal EKM adalah 90 mg/kgBB, pada dosis yang lebih tinggi (180 mg/kgBB dan 360 mg/kgBB) aktivitas hepatoprotektor justru menurun. 4. Toksikologi a. Definisi Toksikologi Istilah toksikologi merujuk pada bahasa latin toxicon racun logos dkk., 2000). Awalnya toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang racun (Donatus, 2005). Kemudian Paracelsus menyatakan bahwa semua senyawa adalah racun yang membedakan antara racun dan bukan racun adalah takarannya (Koeman, 1996). Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologis lainnya (Lu, 2010). b. Asas Umum Toksikologi Untuk mempelajari toksikologi, diperlukan pemahaman tentang empat asas utama toksikologi yang diperoleh berdasarkan alur peristiwa timbulnya efek toksik. Keempat asas tersebut yaitu kondisi efek toksik (meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup), mekanisme aksi, wujud, dan sifat efek toksik (Donatus, 2005; Priyanto, 2010). 13 1) Kondisi efek toksik Kondisi efek toksik meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup. Kondisi pemejanan menentukan keberadaan zat beracun di dalam sel sasaran, sedangkan kondisi makhluk hidup menentukan keberadaan zat beracun di dalam sel sasaran dan keefektifan antaraksinya. Kedua kondisi tersebut mempengaruhi ketersediaan zat beracun di dalam sel sasaran sehingga menentukan efeknya (Priyanto, 2010). Kondisi pemejanan yang dapat mempengaruhi efek toksik adalah jenis, jalur, lama, kekerapan, saat, dan dosis pemejanan (Donatus, 2005; Priyanto, 2010). Jenis pemejanan dapat dibedakan menjadi dua yaitu akut dan kronis. Akut berarti dipejankan dalam dosis tertentu yang cukup tinggi dalam waktu singkat, sedangkan kronis berarti pemejanan berulang dosis kecil dalam waktu tertentu yang cukup lama. Jalur pemejanan dapat mempengaruhi efek toksik yang muncul karena dapat menentukan ketersediaan zat beracun atau produk metabolitnya di tempat aksi. Dosis dan frekuensi yang sama dari suatu zat beracun dapat menimbulkan efek toksik yang relatif lebih ringan ketika dipejankan per oral dibandingkan jika secara parenteral (Donatus, 2005). Maksud dari kondisi makhluk hidup adalah keadaan fisiologi dan patologi makhluk hidup yang dapat mempengaruhi ketersediaan zat beracun dalam sel sasaran serta efektivitas antaraksi zat beracun dengan sel sasaran. Kondisi fisiologis makhluk hidup yang berpengaruh dalam 14 efek toksik adalah berat badan, usia, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status gizi, kehamilan, jenis kelamin, irama sirkadian, dan irama diurnal. Sedangkan kondisi patologis yang dimaksud meliputi sejumlah penyakit, diantaranya adalah penyakit saluran cerna, kardiovaskuler, hati, dan ginjal (Donatus, 2005). 2) Mekanisme efek toksik Mekanisme efek toksik dapat dibagi menjadi tiga, yaitu mekanisme aksi berdasar sifat dan tempat kejadian, berdasarkan antaraksi antara racun dan tempat aksinya, dan berdasarkan penumpukkan racun dalam gudang penyimpanan tubuh (Donatus, 2005). Mekanisme aksi berdasarkan sifat dan tempat kejadian dapat dibagi menjadi dua, yaitu mekanisme luka intrasel dan ekstrasel. Mekanisme luka intrasel yang disebut juga mekanisme primer atau langsung adalah luka sel yang diawali oleh aksi langsung zat beracun atau metabolitnya pada tempat aksi tertentu di tempat sel sasaran. Sebaliknya mekanisme luka ekstrasel terjadi secara tidak langsung. Artinya zat beracun pada awalnya beraksi di lingkungan luar sel yang berakibat terjadinya luka di dalam sel (Priyanto, 2010). Mekanisme aksi berdasarkan antaraksi antara racun dan tempat aksinya dibagi menjadi dua, yaitu reversible dan irreversible. Disebut reversible bila efek toksik dapat hilang dengan sendirinya. Sedangkan mekanisme aksi irreversible akan menetap atau justru bertambah parah 15 setelah pemejanan zat beracun dihentikan, seperti karsinoma, mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati (Lu, 2010). Mekanisme aksi terakhir adalah berdasarkan penumpukan racun dalam gudang penyimpanan tubuh. Senyawa yang sangat lipofil dan sulit untuk dimetabolisme, di dalam tubuh akan disimpan dalam gudang penyimpanan kompartemen lemak yang dikenal sebagai sekuistrasi fisik. Penumpukan seperti ini relatif tidak berbahaya karena di dalam gudang penyimpanannya senyawa tersebut bersifat tidak aktif. Perlahan-lahan senyawa tersebut terlepas ke sirkulasi sistemik dan meningkatkan kadarnya di dalam cairan tubuh. Jika kadar tersebut melebihi kadar toksik minimumnya akan menimbulkan efek toksik. Oleh karena itu, mekanisme aksi toksik ini dikatakan sebagai resiko penumpukan suatu senyawa (Donatus, 2005). 3) Wujud efek toksik Wujud efek toksik dari suatu senyawa yang dipejankan dapat berupa perubahan biokimia, fungsional, dan struktural. Wujud efek toksik berdasarkan perubahan biokimia berkaitan dengan respon dan perubahan atau kekacauan biokimia terhadap luka sel akibat antaraksi antara racun dan tempat aksi. Termasuk dalam wujud efek toksik ini diantaranya adalah peningkatan atau pengurangan aktivitas transport elektron, sintesis protein, dan gangguan hormonal. Perubahan ini bila dapat diminimalisir atau terjadi proses adaptasi maka tidak akan terjadi cedera atau efek toksik (Priyanto, 2010). 16 Wujud efek toksik berdasarkan perubahan fungsional berkaitan dengan antaraksi racun dengan reseptor atau tempat aktif enzim yang terbalikkan sehingga mempengaruhi fungsi homeostatis tertentu (Donatus, 2005). Wujud efek toksik jenis ini di antaranya adalah anoksia, gangguan pernapasan, gangguan sistem syaraf pusat, hipertensi atau hipotensi, hiperglikemia atau hipoglikemia (Priyanto, 2010), perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, perubahan kontraksi atau relaksasi otot, dan bernapas (Donatus, 2005). Wujud efek toksik berdasarkan perubahan struktural berkaitan dengan perubahan bentuk luar dan mikroskopi pada morfologi jaringan. Efek toksik jenis ini antara lain nekrosis dan neoplasia yang bersifat irreversible dan berbahaya (Lu, 2010). 4) Sifat efek toksik Sifat efek toksik dapat dibedakan menjadi reversible dan irreversible. Efek toksik yang reversible dapat kembali normal segera setelah zat toksik hilang. Sedangkan efek toksik yang irreversible, kerusakan yang terjadi bersifat menetap. Pemejanan berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang sama, sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan efek toksik (Priyanto, 2009). c. Uji Toksisitas Obat baru yang akan diproduksi dan dipasarkan harus memenuhi syarat keamanan bila dikonsumsi. Untuk itu diperlukan uji toksisitas untuk 17 mengetahui keamanan suatu obat karena toksikologi pada dasarnya berkaitan dengan sifat dan mekanisme luka toksik dan evaluasi kualitatif maupun kuantitatif spektrum perubahan biologis yang disebabkan oleh pemejanan yang disengaja maupun tidak dari suatu zat toksik (Donatus, 2005). Uji toksisitas dapat dibagi menjadi uji toksisitas tak khas dan uji toksisitas khas. Uji toksisitas tak khas dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Uji toksisitas akut, subkronis, dan kronis termasuk ke dalam uji toksisitas tak khas. Sedangkan uji toksisitas khas dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas dari suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk uji toksisitas khas adalah uji potensiasi, uji mutagenesis, uji karsinogenesis, uji teratogenesis, uji reproduksi, uji kulit dan mata, serta uji perilaku (Donatus, 2005). 5. Uji Toksisitas Subkronis Uji toksisitas subkronis yang dilakukan pada penelitian ini berdasarkan guideline pengujian toksisitas suatu zat dalam OECD 408 (Repeated Dose 90day Oral Toxicity Study in Rodent) dan Peraturan Kepala BPOM RI Nomor 7 tahun 2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik secara In Vivo. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merupakan organisasi yang memiliki misi untuk mempromosikan kebijakankebijakan yang akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat dunia. OECD memiliki forum di mana pemerintah dapat bekerja 18 sama untuk berbagi pengalaman dan mencari solusi untuk memecahkan masalah. OECD menganalisis dan membandingkan data untuk memprediksi tren di masa yang akan datang. Organisasi ini menetapkan standar internasional pada berbagai hal, mulai dari pertanian dan pajak hingga keamanan suatu zat kimia. Nilai inti dari OECD adalah objective (analisis dan rekomendasi yang diberikan bersifat independen dan evidence-based), open (mendorong diskusi dan berbagi untuk memahami isu global), bold (berani menantang kearifan konvensional), pioneering (mengidentifikasi dan memulai tantangan yang muncul dan tantangan jangka panjang), dan ethical (kredibilitas dibangun berdasarkan kepercayaan, integritas, dan transparansi). Salah satu guideline yang dikeluarkan oleh OECD adalah OECD Guideline for the Testing of Chemicals. Guideline ini telah diterima secara internasional sebagai metode standar pengujian keamanan zat kimia yang digunakan untuk menilai potensi efek suatu zat kimia pada kesehatan manusia dan lingkungan (OECD, 2015). Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di Indonesia. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen pasal 69, BPOM memiliki kewenangan penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya; perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro; penetapan sistem informasi di bidangnya; penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) 19 tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan peredaran obat dan makanan; pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi; serta penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan dan pengawasan tanaman obat. BPOM memiliki pedoman untuk pengujian toksisitas preklinik menggunakan hewan uji yang tertuang dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik secara In Vivo. Pada peraturan tersebut terdapat berbagai pedoman uji toksisitas yaitu uji toksisitas akut oral, uji toksisitas subkronik oral, uji toksisitas kronik oral, uji teratogenisitas, uji sensitisasi kulit, uji iritasi mata, uji iritasi akut dermal, uji iritasi mukosa vagina, uji toksisitas akut dermal, dan uji toksisitas subkronik dermal. Pedoman tersebut penting sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan uji keamanan pengembangan obat baru, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, dan pangan. Uji toksisitas subkronis atau yang biasa disebut uji toksisitas subakut dilakukan dengan memberikan zat uji secara berulang-ulang, setiap hari atau lima kali dalam seminggu, selama kurang lebih 10% dari masa hidup hewan, untuk tikus selama tiga bulan. Dapat pula menggunakan jangka waktu yang lebih pendek, yaitu selama 14 atau 28 hari (Lu, 2010). Uji ini memberikan informasi tentang efek toksik utama senyawa uji dan organ-organ yang dipengaruhi, perkembangan efek toksik yang lambat yang tidak teramati pada uji toksisitas akut, hubungan antara dosis terhadap perkembangan luka toksik, dan reversibilitas efek toksik (Donatus, 2005). 20 Hewan uji yang digunakan paling tidak satu jenis hewan dewasa sehat baik jantan atau betina (Donatus, 2005). Pemilihan hewan uji didasarkan pada bukti yang diperoleh dari uji toksisitas akut dan uji metabolik. Idealnya hewan uji yang dipilih mampu mengabsorbsi dan memetabolisme zat uji semirip mungkin dengan manusia (WHO, 1966). Umumnya dipakai 10 30 tikus dalam setiap kelompok dosis dan kontrol. Biasanya prosedur ini akan memberikan data yang dapat dianalisis secara statistik (Lu, 2010). Hewan uji digunakan sebagai model untuk melihat adanya reaksi biokimia, fisiologis, dan patologis pada manusia terhadap suatu sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak sepenuhnya membuktikan keamanan suatu zat pada manusia, namun dapat memberi petunjuk toksisitas relatif dan identifikasi efek toksik bila terpapar pada manusia (BPOM, 2014). Takaran dosis yang diberikan sekurang-kurangnya tiga peringkat dosis. Satu dosis cukup tinggi untuk menimbulkan efek toksik yang nyata namun tidak membunuh hewan uji, dosis menengah yang menimbulkan gejala toksik lebih ringan, dan dosis rendah yang tidak memberikan efek toksik atau no observed adverse effect level (NOAEL). Selain itu juga perlu ditambahkan kelompok kontrol dan dua kelompok satelit masing masing untuk kelompok dosis tertinggi dan kelompok kontrol. Kelompok satelit digunakan untuk melihat reversibilitas dan efek toksik tertunda yang dilakukan selama 28 hari setelah hari terakhir pemberian sediaan uji (BPOM, 2014). Interval dosis biasanya ditingkatkan dua hingga empat kali lipatnya. Tingkatan dosis biasanya berdasarkan pada hasil uji toksisitas akut, dosis ulangan, atau rentang 21 dosis yang diperoleh dari pustaka dan berasal dari data toksikologi dan toksikokinetik (OECD, 1998). 6. Pemeriksaan Fungsi Hati Hati merupakan organ terbesar dan memiliki metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme makanan dan sebagian besar obat serta zat toksik. Hati sering menjadi organ sasaran zat toksik karena sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem pencernaan kemudian diserap dan dibawa ke hati melalui vena porta hepatika (Lu, 2010). Oleh karena itu, pengaruh efek toksik suatu zat pada organ hati penting untuk dievaluasi. Parameter yang dapat diamati untuk mengetahui gangguan fungsi hati antara lain uji biokimia darah, gross patologis, dan histopatologis organ hati. a. Kimia Darah Darah berfungsi untuk mengangkut zat kimia ke seluruh tubuh. Sehingga perubahan kadar zat kimia di dalam darah dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu penyakit. Zat yang dapat diukur kadarnya dalam serum antara lain: zat yang dalam keadaan normal berfungsi dalam sirkulasi (misalnya: glukosa, protein, dan kolesterol), metabolit (misalnya: urea, kreatinin, dan asam urat), zat yang dikeluarkan dari sel akibat kerusakan dan kelainan permeabilitas atau kelainan proliferasi sel (misalnya: laktat dehidrogenase, alanin aminotransferase, dan aspartat aminotransferase), serta obat dan zat toksik. Plasma darah berada dalam keseimbangan dengan jaringan dan mengandung zat-zat yang keluar dari jaringan, sehingga 22 hampir semua pengukuran kimiawi darah dilakukan pada plasma, khususnya pada serum yang diperoleh dari sampel darah yang telah disentrifugasi. Banyak aktivitas hati yang secara langsung tercermin dari zat yang beredar dalam darah dan cairan tubuh lain (Sacher dan McPherson, 2004). Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik secara In Vivo, parameter utama yang harus diperiksa pada uji biokimia darah adalah glukosa, total kolesterol, trigliserid, nitrogen urea, kreatinin, SGOT, dan SGPT. Dari ketujuh parameter biokimia darah tersebut, aktivitas SGOT dan SGPT, serta kadar kolesterol dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh sediaan uji pada fungsi hati. Selain itu juga dilihat kadar protein total. Uji enzim dapat menjadi petunjuk adanya kerusakan pada sel hati. Enzim yang paling sering berkaitan dengan kerusakan sel hati adalah aminotransferase yang mengkatalisis pemindahan reversibel satu gugus amino antara asam amino dengan asam alfa-keto. Glutamic-Oxaloacetic Transaminase (GOT) yang kadarnya dalam plasma diukur sebagai GOT serum (SGOT) merupakan enzim yang memperantarai reaksi antara asam aspartat dengan asam alfa-ketoglutarat. Enzim ini disebut juga Aspartate aminotrasferase (AST) (Sacher dan McPherson, 2004). Di hati, SGOT terdapat di dalam hepatosit dan akan dilepas ke dalam sirkulasi sistemik bila sel mengalami kerusakan (Froud dkk., 2015). SGOT 23 kurang spesifik untuk mendiagnosis kerusakan hati dari pada SGPT (Roberts dkk., 2000). Hal ini disebabkan karena aktivitas SGOT juga tinggi di organ lain, khususnya otot (Tripathi dan Hall, 2016). Uji enzim lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan hati adalah Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGOT) atau Alanine aminotransferase (ALT). Enzim ini bekerja dengan cara memindahkan satu gugus amino alanin dan asam alfa-ketoglutarat (Sacher dan McPherson, 2004). Sama seperti SGOT, enzim ini juga terdapat di hepatosit dan akan dilepas ke sirkulasi sistemik bila terjadi kerusakan sel (Froud dkk., 2015). SGPT merupakan parameter aktivitas enzim yang paling utama untuk mengidentifikasi kerusakan hepatoseluler (Tripathi dan Hall, 2016), namun pada kondisi miopati aktivitasnya juga dapat meningkat (Froud dkk., 2015). Enzim ini kadarnya paling tinggi di dalam organ hati pada kebanyakan spesies (Roberts dkk., 2000; Tripathi dan Hall, 2016), dan dalam kadar yang lebih rendah pada ginjal, jantung, dan otot skeletal (Froud dkk., 2015). Hati berfungsi sebagai tempat penyimpanan lemak. Akumulasi lipid dipengaruhi oleh gangguan sintesis atau sekresi lipoprotein. Asam lemak akan dimetabolisme dan dikonversi menjadi lipid yang dapat terkonjugasi dengan protein yang disintesis oleh hati menjadi lipoprotein (Hodgson dan Levi, 2004). Hati bertanggung jawab dalam mengubah asam lemak menjadi trigliserid dan mengesterifikasi kolesterol. Obstruksi saluran empedu menyebabkan ekskresi kolesterol ke dalam empedu terhambat, sehingga kadar kolesterol meningkat (Sacher dan McPherson, 2004). 24 Kolesterol dibutuhkan untuk sintesis asam empedu, kortikosteroid, dan sex steroid. Hati melalui sistem empedu merupakan jalur utama eksresi kolesterol. Kerusakan hati dapat meningkatkan kadar kolesterol serum, namun beberapa penyakit hati yang menyebabkan disfungsi hati diasosiasikan dengan hipokolesterolemia (Tripathi dan Hall, 2016). Sebagian besar protein plasma disintesis oleh hati, kecuali faktor von Willebrand dan imunoglobulin. Hati juga berfungsi untuk mengatur perubahan asam amino, menguraikan protein endogen dan eksogen, dan memetabolisme protein untuk diekskresikan (Sacher dan McPherson, 2004). Degenerasi dan kerusakan sel membebaskan protein intraseluler ke dalam darah. Beberapa protein ditemukan utamanya di dalam hepatosit, kenaikan kadar protein di dalam darah dapat dijadikan dasar uji hepatotoksisitas (Roberts dkk., 2000). Kadar protein total dalam serum merupakan jumlah total semua protein plasma kecuali protein yang berperan dalam pembekuan darah, seperti fibrinogen dan faktor pembekuan. Oleh karena itu kadar protein plasma umumnya lebih tinggi sekitar 0,3 0,5 g/dL dibandingkan dengan kadar protein serum. Perbedaan kecil antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan mungkin menunjukkan adanya hepatotoksisitas ringan hingga berat (Tripathi dan Hall, 2016). b. Gambaran Gross Patologis Pengamatan gross patologis organ hati dilakukan terhadap warna, penampilan, dan bobot organ. Secara anatomi hati tikus berbentuk 25 multilobular. Hati tikus dapat dibagi menjadi tiga permukaan, yaitu superior, inferior, dan posterior. Ujung hati berbentuk lancip, batas yang jelas membagi permukaan inferior dan superior (Martins dan Neuhaus, 2007). Bobot hati sangat penting dalam toksikologi karena banyak xenobiotik yang mempengaruhi bobot hati (Tucker, 2003). Bobot organ yang dianalisis adalah bobot absolut dan bobot relatif. Bobot absolut merupakan bobot organ hati itu sendiri, sedangkan bobot relatif dihitung dengan cara bobot organ absolut dibagi bobot badan hewan uji (BPOM, 2014). c. Gambaran Histopatologis Pemeriksaan mikroskopik dapat dengan melihat histopatologis seperti adanya perlemakan, nekrosis, sirosis, nodul hiperplastik, dan neoplasia (Lu, 2010). Pemeriksaan histopatologis memiliki korelasi dengan data klinis dan pemeriksaan kimia darah (Greaves, 2000). Pengamatan histopatologis dapat memberikan informasi mengenai lesi dan bagian hati yang terkena dampak toksin (Roberts dkk., 2000). Pengamatan histopatologis pada penelitian ini dilakukan dengan mengamati preparat jaringan organ hati menggunakan mikroskop. Dilakukan pengecatan terhadap preparat jaringan untuk meningkatkan kontras struktur jaringan (Johnson, 1991). Hematoksilin-Eosin (HE) sering digunakan untuk pengecatan jaringan pada studi toksisitas (Keller dan Banks, 2006). Hematoksilin merupakan pewarna yang dapat terikat pada organel yang bermuatan negatif, seperti nukleus, retikulum endoplasma 26 kasar, dan matriks ekstraseluler. Sedangkan eosin merupakan pewarna yang dapat terikat pada organel yang bermuatan positif, seperti sitoplasma, serat kolagen, mitokondia, dan lisosom (Johnson, 1991). Hematoksilin memberikan warna biru pada nukleus, sedangkan eosin memberikan warna merah muda pada sitoplasma (Keller dan Banks, 2006). E. LANDASAN TEORI EKM merupakan sediaan obat herbal baru yang sedang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada. Sediaan ini berupa kapsul yang berisi kombinasi ekstrak rimpang kunyit non-destilasi dan herba meniran dengan perbandingan 3:2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khotimah (2015) pada hewan uji tikus jantan putih galur Wistar, EKM terbukti memiliki khasiat sebagai hepatoprotektor dengan dosis optimal 90 mg/kgBB. Namun pada dosis yang lebih tinggi aktivitas hepatoprotektor justru menurun. Destilat kunyit tidak memiliki efek mutagenik dan pemberian dosis hingga 5 mg/kgBB pada uji toksisitas akut serta hingga dosis 0,5 g/kgBB pada uji toksisitas subkronis tidak memiliki efek toksik (Liju dkk, 2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa pemberian kunyit dosis 5% dengan durasi 90 hari dapat menimbulkan efek toksik terutama pada organ hati tikus meskipun dosis tersebut lebih tinggi 50 kali dari pada rata-rata konsumsi harian manusia yang berkisar 0,6 g/hari (Deshpande, 1998). Uji toksisitas yang pernah dilakukan pada meniran menunjukkan bahwa meniran tidak memiliki efek toksik. Ekstrak air meniran tidak menunjukkan efek 27 toksik secara akut dengan LD50 > 5000 mg/kgBB (Asare dkk, 2011). Ekstrak etanolik meniran juga tidak memiliki efek genotoksik maupun sitotoksik, tidak toksik secara akut dengan LD50 > 3000 mg/kgBB dan secara umum tidak menunjukkan efek toksik secara subkronis (Asare dkk, 2012). Meskipun keamanan kunyit dan meniran sudah diketahui dan secara umum menunjukkan bahwa kedua ekstrak tersebut relatif tidak toksik, namun evaluasi keamanan kombinasi kedua ekstrak tersebut belum dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada dosis yang lebih tinggi aktivitas hepatoprotektor justru menurun dan pada dosis yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama kunyit dapat memiliki efek hepatotoksik. Oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mengevaluasi keamanan EKM pada penggunaan secara subkronis. F. HIPOTESIS Pemberian EKM sekali sehari secara subkronis selama 90 hari tidak memiliki efek toksik pada fungsi hati normal tikus betina galur Wistar dilihat dari aktivitas SGOT dan SGPT, kadar kolesterol dan protein dalam darah, gambaran gross patologis serta histopatologis organ hati.