1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai negara tropis biodiversitas Indonesia sangat tinggi, bahkan
menempati peringkat kedua setelah Brazil. Tanahnya yang subur menjadikan
banyak tanaman dapat tumbuh dengan baik di Indonesia. Di antara tanamantanaman itu sebagian dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Terdapat sekitar 30.000
jenis tumbuhan terdapat di Indonesia dan 7000 di antaranya ditengarai memiliki
khasiat obat (Sampurno, 2007).
Tanaman obat tersebut diolah menjadi berbagai bentuk sediaan farmasi
untuk mempermudah penggunaannya oleh masyarakat. Salah satu sediaan farmasi
yang berasal dari tanaman obat adalah kombinasi ekstrak etanolik rimpang kunyit
dan herba meniran yang selanjutnya disebut dengan produk EKM. EKM
merupakan obat herbal yang mengandung kombinasi ekstrak kunyit (Curcuma
domestica Val.) dan ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L.) dengan perbandingan
kunyit:meniran sebesar 3:2. Kedua ekstrak tersebut dibuat menjadi bentuk sediaan
kapsul.
Kunyit banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kunyit memiliki efek hepatoprotektor
terhadap karbon tetraklorida (CCl4), galaktosamin, parasetamol, dan aflatoksin
Aspergilus pada pengujian in vivo. Efek hepatoprotektor ini dikarenakan sifat
antioksidan yang mampu mengurangi pembentukan pro-inflammatory cytokines
(Akram dkk., 2010).
1
2
Meniran sudah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat.
Meniran dilaporkan berfungsi sebagai antihepatotoksik. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan, meniran mengandung senyawa filantin dan hipofilantin
yang berpotensi sebagai hepatoprotektor (Syamasundar, 1985).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa produk EKM memiliki aktivitas
hepatoprotektor pada tikus putih galur Wistar yang diinduksi parasetamol dengan
dosis optimal 90 mg/kgBB (Khotimah, 2015). Meskipun telah diketahui efek
farmakologinya sebagai hepatoprotektor namun penelitian lebih lanjut mengenai
keamanan penggunaan EKM belum dilakukan. Sebagian besar masyarakat
menganggap penggunaan obat herbal tidak berbahaya. Anggapan ini tidak
sepenuhnya benar karena kemungkinan timbulnya efek merugikan tetap ada,
terlebih lagi bila digunakan dalam jangka panjang.
Ekstrak kunyit tidak menunjukkan efek toksik pada pengujian toksisitas
akut, subkronis, dan mutagenik (Liju dkk., 2012). Pengujian ekstrak meniran juga
tidak menunjukkan efek toksik pada pemberian secara akut (Asare dkk., 2011)
dan subkronis (Asare dkk., 2012). Namun pengujian toksisitas subkronis untuk
kombinasi kedua ekstrak tersebut belum dilakukan. Untuk itu diperlukan suatu uji
toksisitas subkronis untuk mengetahui potensi ketoksikan produk EKM pada
penggunaan jangka pendek. Uji toksisitas subkronis dilakukan untuk mengetahui
adanya efek toksik yang muncul akibat pemberian zat uji secara berulang selama
90 hari dan dilakukan pengamatan reversibilitas selama 28 hari setelah akhir
pemberian sediaan uji.
3
Pada penelitian ini parameter yang diamati adalah fungsi hati. Hati memiliki
banyak fungsi vital di dalam tubuh, antara lain metabolisme karbohidrat, lemak,
protein, obat, dan hormon, ekskresi bilirubin, sintesis garam empedu,
penyimpanan beberapa vitamin dan mineral, merombak sel darah merah, dan
mengaktivasi vitamin D (Tortora dan Derrickson, 2012). Fungsi hati menjadi
fokus penelitian karena berperan dalam proses detoksifikasi, namun zat yang
seharusnya didegradasi atau dieliminasi tersebut juga beresiko menyebabkan
kerusakan jaringan hati (Ramadori dkk., 2008). Karena fungsinya tersebut, organ
hati beresiko mengalami efek toksik dari zat-zat toksik yang masuk ke dalam
tubuh. Kerusakan hati dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan
detoksifikasi dalam tubuh (Underwood, 2000). Oleh karena itu, hasil penelitian ini
diharapkan dapat menggambarkan toksisitas EKM secara subkronis terhadap
fungsi hati normal.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1.
Apakah efek pemberian EKM sekali sehari secara subkronis selama 90 hari
pada aktivitas SGOT dan SGPT, kadar kolesterol dan protein, gambaran
gross patologis dan histopatologis organ hati tikus betina galur Wistar?
2.
Bagaimanakah sifat reversibilitas efek toksik akibat pemberian EKM sekali
sehari secara subkronis selama 90 hari pada aktivitas SGOT dan SGPT, kadar
kolesterol dan protein, gambaran gross patologis dan histopatologis organ
hati tikus betina galur Wistar?
4
3.
Apakah hubungan dosis dan toksisitas EKM yang diberikan sekali sehari
secara subkronis selama 90 hari pada tikus putih betina galur Wistar?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Mengetahui efek pemberian EKM sekali sehari secara subkronis selama 90
hari pada aktivitas SGOT dan SGPT, kadar kolesterol dan protein, gambaran
gross patologis dan histopatologis organ hati tikus betina galur Wistar.
2.
Mengetahui sifat reversibilitas efek toksik akibat pemberian EKM sekali
sehari secara subkronis selama 90 hari pada aktivitas SGOT dan SGPT, kadar
kolesterol dan protein, gambaran gross patologis dan histopatologis organ
hati tikus betina galur Wistar.
3.
Mengevaluasi hubungan dosis dan toksisitas EKM yang diberikan sekali
sehari secara subkronis selama 90 hari pada tikus putih betina galur Wistar.
D. Tinjauan Pustaka
1. Kunyit (Curcuma domestica Val.)
a. Deskripsi Tanaman
Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman yang
memiliki banyak manfaat. Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai bumbu
dapur, pewarna alami, dan obat tradisional. Tanaman kunyit dapat tumbuh
pada ketinggian 240
1.200 meter di atas permukaan laut dengan curah
hujan 2.000 4.000 mm/tahun (Rahardjo dan Rostiana, 2010).
5
Gambar 1. Kunyit (Curcuma domestica Val.)
Kunyit merupakan terna dengan batang berwarna semu hijau atau
agak keunguan, rimpang terbentuk sempurna, bercabang-cabang, dan
berwarna jingga. Setiap tanaman memiliki daun 3
5 helai, panjang tangkai
daun beserta pelepahnya dapat mencapai 70 cm. Helai daun berbentuk
lanset lebar, ujung daun lancip berekor, berwarna hijau atau hanya bagian
atas dekat tulang utama berwarna agak keunguan, panjang 28
lebar 10
85 cm, dan
25 cm. Perbungaan terminal, gagang berambut dan bersisik
dengan panjang 16 40 cm (Anonim, 1977).
b. Taksonomi Tanaman
Taksonomi kunyit menurut Hutapea (2001) adalah sebagai berikut :
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Familia
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Spesies
: Curcuma domestica Val.
6
c. Kandungan Kimia
Kunyit mengandung sekitar 235 senyawa yang telah teridentifikasi,
utamanya terdiri dari senyawa fenolik dan terpenoid meliputi 22 senyawa
diarilheptanoid dan diarilpentanoid, 8 fenilpropena dan komponen fenolik
lain, 68 monoterpen, 109 sesquiterpen, 5 diterpen, 3 triterpenoid, 4 sterol, 2
alkaloid, dan 14 senyawa lain. Kurkuminoid (diarilheptanoid) terutama
terdapat
di
dalam
rhizoma.
Kurkumin,
demetoksikurkumin,
dan
bisdemetoksikurkumin digunakan sebagai senyawa penanda untuk kontrol
kualitas rhizoma, serbuk dan ekstrak (Li dkk., 2011). Rhizoma kunyit
mengandung 31,0% ar-turmeron sebagai komponen utama minyak kunyit
(Leela dkk., 2002). Dalam Farmakope Herbal Indonesia Jilid I (2008)
disebutkan bahwa kandungan minyak atsiri dalam kunyit tidak kurang dari
3,02% v/b dan kurkuminoid tidak kurang dari 6,60% yang dihitung sebagai
senyawa kurkumin.
d. Khasiat Tanaman
Kurkumin diduga kuat sebagai zat aktif dalam kunyit yang mampu
mencegah
kerusakan
hepatosit
akibat paparan
CCl4,
menghambat
peroksidasi lipid dan fibrosis (Akila dkk., 1998). Penelitian yang dilakukan
oleh Sengupta dkk. (2011) tentang efektivitas Curcuma domestica Val.
sebagai hepatoprotektor dan imunomodulator menunjukkan bahwa kunyit
dapat menurunkan aktivitas SGOT dan SGPT serta dapat meningkatkan
aktivitas sistem imun nonspesifik pada mencit yang diinduksi dengan CCl4.
7
e. Toksisitas Tanaman
Liju dkk. (2012) telah mengevaluasi toksisitas akut dan subkronis
serta efek mutagenik destilat kunyit pada tikus putih galur Wistar.
Berdasarkan penelitian tersebut destilat kunyit tidak menunjukkan efek
toksik. Pemberian dosis hingga 5 g/kgBB pada uji toksisitas akut dan dosis
0,1; 0,25; dan 0,5 g/kgBB pada uji toksisitas subkronis tidak menunjukkan
adanya gejala klinis yang merugikan, tidak terdapat perubahan berat badan,
konsumsi makan dan minum, serta tidak ada hewan uji yang mati.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Deshpande dkk. (1998),
pemberian kunyit (1 dan 5%) dan ekstrak etanolik kunyit (0,05 dan 0,25%)
selama 14 hari tidak mempengaruhi pertumbuhan mencit maupun tikus. Di
sisi lain pemberian kunyit dosis tinggi (5%) dengan durasi yang lebih lama
(90 hari) menunjukkan secara signifikan dapat menyebabkan kenaikan berat
badan berkurang, meningkatkan bobot organ hati, dan hepatotoksisitas baik
pada mencit maupun tikus. Pemeriksaaan jaringan menunjukkan kunyit
pada dosis rendah (0,2%) dengan durasi yang lebih pendek (14 hari) sudah
menunjukkan efek hepatotoksik pada mencit, sedangkan pada tikus efek
hepatotoksik baru muncul pada dosis yang lebih tinggi (5%) dengan durasi
yang lebih lama (90 hari).
2. Meniran (Phyllanthus niruri L.)
a. Deskripsi Tanaman
Meniran (Phyllanthus niruri L.) terdapat di India, Cina, Malaysia,
Filiphina, dan Australia. Tersebar hampir di seluruh Indonesia pada
8
ketinggian 1 - 1.000 meter di atas permukaan laut. Tumbuh liar di tempat
terbuka, pada tanah gembur yang mengandung pasir, di ladang, di tepi
sungai, dan pantai (Anonim, 1978).
Gambar 2. Meniran (Phyllanthus niruri L. )
Meniran termasuk terna semusim dengan tinggi 30
50 cm. Batang
berwarna hijau pucat dan bercabang-cabang, daun berbentuk bulat telur dan
di bagian bawah terdapat bintik-bintik. Meniran memiliki bunga jantan dan
betina dalam satu tanaman. Bunga jantan keluar di bawah ketiak daun,
sedangkan bunga betina keluar di atas ketiak daun. Buah meniran berbentuk
bulat pipih dan licin (Dalimartha, 2000).
b. Taksonomi Tanaman
Menurut Hutapea (2001) taksonomi meniran adalah sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Geraniales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Phyllanthus
Spesies
: Phyllanthus niruri L.
9
c. Kandungan Kimia
Meniran mengandung berbagai senyawa seperti flavonoid, alkaloid,
terpenoid, lignan, polifenol, tanin, kumarin, dan saponin. Golongan senyawa
flavonoid terdiri dari rutin, quersetin, quersitrin, astragalin, katekin, dan
senyawa lain. Golongan terpen terdiri dari limonen, p-cymene, lupeol,
kumarin, dan metilbrevifolinkarboksilat. Golongan lignan utamanya terdiri
dari filantin dan hipofilantin. Golongan tanin terdiri dari asam repandusinat,
geraniin, dan korilagin. Senyawa alkaloid berupa norsekurinin (Bagalkotkar
dkk., 2006).
d. Khasiat tanaman
Aktivitas herba meniran sebagai hepatoprotektor telah banyak
dilaporkan baik uji in vitro maupun in vivo. Pada beberapa penelitian
praklinik terhadap hewan uji, meniran telah terbukti efektif sebagai
hepatoprotektor pada kejadian hepatotoksisitas obat yang diinduksi oleh
parasetamol (Tabassum dkk., 2005), nimesulid (Chatterjee dan Sil, 2006),
dan CCl4 (Manjrekar dkk., 2008).
Filantin dan hipofilantin dalam meniran merupakan komponen utama
yang berkhasiat sebagai hepatoprotektor (Syamasundar, 1985). Meniran
dapat berperan sebagai antioksidan dan hepatoprotektor karena dapat
menangkal radikal bebas, menghambat Reactive Oxygen Species (ROS) dan
peroksidasi lipid (Harris dan Shivanandappa, 2006).
10
e. Toksisitas Tanaman
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asare dkk. (2011),
ekstrak air meniran tidak memiliki efek toksik secara akut pada tikus betina
galur Sprague-Dawley. Analisis urin, hematologi, dan kimia darah tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan
kelompok
kontrol.
Pengamatan
pada
berbagai
organ
juga
tidak
menunjukkan abnormalitas. LD50 ekstrak air meniran lebih dari 5000
mg/kgBB atau dapat dikatakan tidak toksik pada pengujian secara akut.
Pengujian keamanan ekstrak etanolik meniran yang dilakukan Asare
dkk. (2012) pada tikus betina galur Sprague-Dawley menunjukkan bahwa
ekstrak tersebut tidak memiliki efek toksik. Pengujian mikronukleus pada
sampel eritrosit yang berasal dari sumsum tulang menunjukkan bahwa
ekstrak tersebut tidak bersifat genotoksik. Uji sitotoksisitas menggunakan
laktat dehidrogenase menunjukkan bahwa ekstrak etanolik meniran
memiliki CC50 sebesar 26,3 µg/mL sehingga dapat dikatakan sedikit atau
tidak berefek sitotoksik. Ekstrak etanolik meniran tidak toksik secara akut
dengan LD50 > 3000 mg/kgBB dan secara umum tidak menunjukkan efek
toksik secara subkronis.
3. EKM
Produk EKM berisi kombinasi ekstrak rimpang kunyit non-destilasi dan
herba meniran dengan perbandingan 3:2 yang dibuat dalam sediaan kapsul.
Kunyit
diekstraksi
menggunakan
pelarut
etanol
96%
dan
meniran
menggunakan pelarut etanol 70% dengan perbandingan serbuk:pelarut sebesar
11
1:7. Komposisi EKM terdiri dari 240 mg ekstrak kunyit, 160 mg ekstrak
meniran, dan 178 mg bahan pengisi yang terdiri dari Amprotab® dan
comprecel (1:1). EKM memiliki warna kecoklatan, berasa pahit, dan beraroma
kuat (Putra, 2016). Analisis kualitatif menggunakan kromatografi lapis tipis
(KLT) menunjukkan bahwa EKM memiliki bercak yang sama dengan
pembanding kurkuminoid, namun memiliki bercak dengan fluoresensi yang
berbeda dengan pembanding kuersetin. Profil KLT tersebut menunjukkan
EKM diduga mengandung senyawa kurkuminoid, namun senyawa kuersetin
tidak terdeteksi karena kandungan utama meniran adalah filantin (Khotimah,
2015; dan Putra, 2016). EKM memenuhi persyaratan waktu hancur kapsul,
keseragaman bobot, kadar air, cemaran logam berat, cemaran bakteri patogen,
angka lempeng total (ALT), dan angka kapang khamir (AKK) (Putra, 2016).
Gambar 3. Sampel uji EKM
EKM memiliki khasiat sebagai hepatoprotektor dengan zat aktif
kurkuminoid, filantin, hipofilantin, dan kuersetin. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Khotimah (2015), pemberian EKM sekali sehari selama 6 hari
berturut-turut memiliki aktivitas hepatoprotektor pada pengujian terhadap tikus
putih jantan galur Wistar yang diinduksi parasetamol dosis 2,5 g/kgBB. Efek
hapatoprotektor ditunjukkan dengan penurunan aktivitas SGOT dan SGPT
12
kelompok perlakuan dibanding kelompok kontrol hepatotoksik. Gambaran
histopatologis juga menunjukan EKM mampu menurunkan kerusakan hati
dibanding kelompok hepatotoksik. Dosis optimal EKM adalah 90 mg/kgBB,
pada dosis yang lebih tinggi (180 mg/kgBB dan 360 mg/kgBB) aktivitas
hepatoprotektor justru menurun.
4. Toksikologi
a. Definisi Toksikologi
Istilah toksikologi merujuk pada bahasa latin toxicon
racun
logos
dkk., 2000). Awalnya
toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang racun (Donatus, 2005).
Kemudian Paracelsus menyatakan bahwa semua senyawa adalah racun yang
membedakan antara racun dan bukan racun adalah takarannya (Koeman,
1996). Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan
sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan
terhadap makhluk hidup dan sistem biologis lainnya (Lu, 2010).
b. Asas Umum Toksikologi
Untuk mempelajari toksikologi, diperlukan pemahaman tentang empat
asas utama toksikologi yang diperoleh berdasarkan alur peristiwa timbulnya
efek toksik. Keempat asas tersebut yaitu kondisi efek toksik (meliputi
kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup), mekanisme aksi, wujud,
dan sifat efek toksik (Donatus, 2005; Priyanto, 2010).
13
1) Kondisi efek toksik
Kondisi efek toksik meliputi kondisi pemejanan dan kondisi
makhluk hidup. Kondisi pemejanan menentukan keberadaan zat beracun
di dalam sel sasaran, sedangkan kondisi makhluk hidup menentukan
keberadaan zat beracun di dalam sel sasaran dan keefektifan
antaraksinya. Kedua kondisi tersebut mempengaruhi ketersediaan zat
beracun di dalam sel sasaran sehingga menentukan efeknya (Priyanto,
2010).
Kondisi pemejanan yang dapat mempengaruhi efek toksik adalah
jenis, jalur, lama, kekerapan, saat, dan dosis pemejanan (Donatus, 2005;
Priyanto, 2010). Jenis pemejanan dapat dibedakan menjadi dua yaitu akut
dan kronis. Akut berarti dipejankan dalam dosis tertentu yang cukup
tinggi dalam waktu singkat, sedangkan kronis berarti pemejanan berulang
dosis kecil dalam waktu tertentu yang cukup lama. Jalur pemejanan dapat
mempengaruhi efek toksik yang muncul karena dapat menentukan
ketersediaan zat beracun atau produk metabolitnya di tempat aksi. Dosis
dan frekuensi yang sama dari suatu zat beracun dapat menimbulkan efek
toksik yang relatif lebih ringan ketika dipejankan per oral dibandingkan
jika secara parenteral (Donatus, 2005).
Maksud dari kondisi makhluk hidup adalah keadaan fisiologi dan
patologi makhluk hidup yang dapat mempengaruhi ketersediaan zat
beracun dalam sel sasaran serta efektivitas antaraksi zat beracun dengan
sel sasaran. Kondisi fisiologis makhluk hidup yang berpengaruh dalam
14
efek toksik adalah berat badan, usia, suhu tubuh, kecepatan pengosongan
lambung, kecepatan aliran darah, status gizi, kehamilan, jenis kelamin,
irama sirkadian, dan irama diurnal. Sedangkan kondisi patologis yang
dimaksud meliputi sejumlah penyakit, diantaranya adalah penyakit
saluran cerna, kardiovaskuler, hati, dan ginjal (Donatus, 2005).
2) Mekanisme efek toksik
Mekanisme efek toksik dapat dibagi menjadi tiga, yaitu mekanisme
aksi berdasar sifat dan tempat kejadian, berdasarkan antaraksi antara
racun dan tempat aksinya, dan berdasarkan penumpukkan racun dalam
gudang penyimpanan tubuh (Donatus, 2005).
Mekanisme aksi berdasarkan sifat dan tempat kejadian dapat dibagi
menjadi dua, yaitu mekanisme luka intrasel dan ekstrasel. Mekanisme
luka intrasel yang disebut juga mekanisme primer atau langsung adalah
luka sel yang diawali oleh aksi langsung zat beracun atau metabolitnya
pada tempat aksi tertentu di tempat sel sasaran. Sebaliknya mekanisme
luka ekstrasel terjadi secara tidak langsung. Artinya zat beracun pada
awalnya beraksi di lingkungan luar sel yang berakibat terjadinya luka di
dalam sel (Priyanto, 2010).
Mekanisme aksi berdasarkan antaraksi antara racun dan tempat
aksinya dibagi menjadi dua, yaitu reversible dan irreversible. Disebut
reversible bila efek toksik dapat hilang dengan sendirinya. Sedangkan
mekanisme aksi irreversible akan menetap atau justru bertambah parah
15
setelah pemejanan zat beracun dihentikan, seperti karsinoma, mutasi,
kerusakan saraf, dan sirosis hati (Lu, 2010).
Mekanisme aksi terakhir adalah berdasarkan penumpukan racun
dalam gudang penyimpanan tubuh. Senyawa yang sangat lipofil dan sulit
untuk dimetabolisme, di dalam tubuh akan disimpan dalam gudang
penyimpanan kompartemen lemak yang dikenal sebagai sekuistrasi fisik.
Penumpukan seperti ini relatif tidak berbahaya karena di dalam gudang
penyimpanannya senyawa tersebut bersifat tidak aktif. Perlahan-lahan
senyawa tersebut terlepas ke sirkulasi sistemik dan meningkatkan
kadarnya di dalam cairan tubuh. Jika kadar tersebut melebihi kadar toksik
minimumnya akan menimbulkan efek toksik. Oleh karena itu,
mekanisme aksi toksik ini dikatakan sebagai resiko penumpukan suatu
senyawa (Donatus, 2005).
3) Wujud efek toksik
Wujud efek toksik dari suatu senyawa yang dipejankan dapat
berupa perubahan biokimia, fungsional, dan struktural. Wujud efek
toksik berdasarkan perubahan biokimia berkaitan dengan respon dan
perubahan atau kekacauan biokimia terhadap luka sel akibat antaraksi
antara racun dan tempat aksi. Termasuk dalam wujud efek toksik ini
diantaranya adalah peningkatan atau pengurangan aktivitas transport
elektron, sintesis protein, dan gangguan hormonal. Perubahan ini bila
dapat diminimalisir atau terjadi proses adaptasi maka tidak akan terjadi
cedera atau efek toksik (Priyanto, 2010).
16
Wujud efek toksik berdasarkan perubahan fungsional berkaitan
dengan antaraksi racun dengan reseptor atau tempat aktif enzim yang
terbalikkan
sehingga
mempengaruhi
fungsi
homeostatis
tertentu
(Donatus, 2005). Wujud efek toksik jenis ini di antaranya adalah anoksia,
gangguan pernapasan, gangguan sistem syaraf pusat, hipertensi atau
hipotensi, hiperglikemia atau hipoglikemia (Priyanto, 2010), perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit, perubahan kontraksi atau relaksasi
otot, dan bernapas (Donatus, 2005). Wujud efek toksik berdasarkan
perubahan struktural berkaitan dengan perubahan bentuk luar dan
mikroskopi pada morfologi jaringan. Efek toksik jenis ini antara lain
nekrosis dan neoplasia yang bersifat irreversible dan berbahaya (Lu,
2010).
4) Sifat efek toksik
Sifat efek toksik dapat dibedakan menjadi reversible dan
irreversible. Efek toksik yang reversible dapat kembali normal segera
setelah zat toksik hilang. Sedangkan efek toksik yang irreversible,
kerusakan yang terjadi bersifat menetap. Pemejanan berikutnya akan
menimbulkan kerusakan yang sama, sehingga memungkinkan terjadinya
penumpukan efek toksik (Priyanto, 2009).
c. Uji Toksisitas
Obat baru yang akan diproduksi dan dipasarkan harus memenuhi
syarat keamanan bila dikonsumsi. Untuk itu diperlukan uji toksisitas untuk
17
mengetahui keamanan suatu obat karena toksikologi pada dasarnya
berkaitan dengan sifat dan mekanisme luka toksik dan evaluasi kualitatif
maupun kuantitatif spektrum perubahan biologis yang disebabkan oleh
pemejanan yang disengaja maupun tidak dari suatu zat toksik (Donatus,
2005).
Uji toksisitas dapat dibagi menjadi uji toksisitas tak khas dan uji
toksisitas khas. Uji toksisitas tak khas dirancang untuk mengevaluasi
keseluruhan efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji.
Uji toksisitas akut, subkronis, dan kronis termasuk ke dalam uji toksisitas
tak khas. Sedangkan uji toksisitas khas dirancang untuk mengevaluasi
secara rinci efek yang khas dari suatu senyawa pada aneka ragam jenis
hewan uji. Termasuk uji toksisitas khas adalah uji potensiasi, uji
mutagenesis, uji karsinogenesis, uji teratogenesis, uji reproduksi, uji kulit
dan mata, serta uji perilaku (Donatus, 2005).
5. Uji Toksisitas Subkronis
Uji toksisitas subkronis yang dilakukan pada penelitian ini berdasarkan
guideline pengujian toksisitas suatu zat dalam OECD 408 (Repeated Dose 90day Oral Toxicity Study in Rodent) dan Peraturan Kepala BPOM RI Nomor 7
tahun 2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik secara In Vivo.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)
merupakan organisasi yang memiliki misi untuk mempromosikan kebijakankebijakan yang akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial
masyarakat dunia. OECD memiliki forum di mana pemerintah dapat bekerja
18
sama untuk berbagi pengalaman dan mencari solusi untuk memecahkan
masalah. OECD menganalisis dan membandingkan data untuk memprediksi
tren di masa yang akan datang. Organisasi ini menetapkan standar internasional
pada berbagai hal, mulai dari pertanian dan pajak hingga keamanan suatu zat
kimia. Nilai inti dari OECD adalah objective (analisis dan rekomendasi yang
diberikan bersifat independen dan evidence-based), open (mendorong diskusi
dan berbagi untuk memahami isu global), bold (berani menantang kearifan
konvensional), pioneering (mengidentifikasi dan memulai tantangan yang
muncul dan tantangan jangka panjang), dan ethical (kredibilitas dibangun
berdasarkan kepercayaan, integritas, dan transparansi). Salah satu guideline
yang dikeluarkan oleh OECD adalah OECD Guideline for the Testing of
Chemicals. Guideline ini telah diterima secara internasional sebagai metode
standar pengujian keamanan zat kimia yang digunakan untuk menilai potensi
efek suatu zat kimia pada kesehatan manusia dan lingkungan (OECD, 2015).
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan
dan makanan di Indonesia. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen pasal 69, BPOM memiliki kewenangan penyusunan rencana
nasional secara makro di bidangnya; perumusan kebijakan di bidangnya untuk
mendukung pembangunan secara makro; penetapan sistem informasi di
bidangnya; penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif)
19
tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan peredaran obat
dan makanan; pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta
pengawasan
industri
farmasi;
serta
penetapan
pedoman
penggunaan
konservasi, pengembangan dan pengawasan tanaman obat. BPOM memiliki
pedoman untuk pengujian toksisitas preklinik menggunakan hewan uji yang
tertuang dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas
Nonklinik secara In Vivo. Pada peraturan tersebut terdapat berbagai pedoman
uji toksisitas yaitu uji toksisitas akut oral, uji toksisitas subkronik oral, uji
toksisitas kronik oral, uji teratogenisitas, uji sensitisasi kulit, uji iritasi mata, uji
iritasi akut dermal, uji iritasi mukosa vagina, uji toksisitas akut dermal, dan uji
toksisitas subkronik dermal. Pedoman tersebut penting sebagai acuan dalam
pelaksanaan kegiatan uji keamanan pengembangan obat baru, obat tradisional,
kosmetik, suplemen kesehatan, dan pangan.
Uji toksisitas subkronis atau yang biasa disebut uji toksisitas subakut
dilakukan dengan memberikan zat uji secara berulang-ulang, setiap hari atau
lima kali dalam seminggu, selama kurang lebih 10% dari masa hidup hewan,
untuk tikus selama tiga bulan. Dapat pula menggunakan jangka waktu yang
lebih pendek, yaitu selama 14 atau 28 hari (Lu, 2010). Uji ini memberikan
informasi tentang efek toksik utama senyawa uji dan organ-organ yang
dipengaruhi, perkembangan efek toksik yang lambat yang tidak teramati pada
uji toksisitas akut, hubungan antara dosis terhadap perkembangan luka toksik,
dan reversibilitas efek toksik (Donatus, 2005).
20
Hewan uji yang digunakan paling tidak satu jenis hewan dewasa sehat
baik jantan atau betina (Donatus, 2005). Pemilihan hewan uji didasarkan pada
bukti yang diperoleh dari uji toksisitas akut dan uji metabolik. Idealnya hewan
uji yang dipilih mampu mengabsorbsi dan memetabolisme zat uji semirip
mungkin dengan manusia (WHO, 1966). Umumnya dipakai 10
30 tikus
dalam setiap kelompok dosis dan kontrol. Biasanya prosedur ini akan
memberikan data yang dapat dianalisis secara statistik (Lu, 2010).
Hewan uji digunakan sebagai model untuk melihat adanya reaksi
biokimia, fisiologis, dan patologis pada manusia terhadap suatu sediaan uji.
Hasil uji toksisitas tidak sepenuhnya membuktikan keamanan suatu zat pada
manusia, namun dapat memberi petunjuk toksisitas relatif dan identifikasi efek
toksik bila terpapar pada manusia (BPOM, 2014).
Takaran dosis yang diberikan sekurang-kurangnya tiga peringkat dosis.
Satu dosis cukup tinggi untuk menimbulkan efek toksik yang nyata namun
tidak membunuh hewan uji, dosis menengah yang menimbulkan gejala toksik
lebih ringan, dan dosis rendah yang tidak memberikan efek toksik atau no
observed adverse effect level (NOAEL). Selain itu juga perlu ditambahkan
kelompok kontrol dan dua kelompok satelit masing masing untuk kelompok
dosis tertinggi dan kelompok kontrol. Kelompok satelit digunakan untuk
melihat reversibilitas dan efek toksik tertunda yang dilakukan selama 28 hari
setelah hari terakhir pemberian sediaan uji (BPOM, 2014). Interval dosis
biasanya ditingkatkan dua hingga empat kali lipatnya. Tingkatan dosis
biasanya berdasarkan pada hasil uji toksisitas akut, dosis ulangan, atau rentang
21
dosis yang diperoleh dari pustaka dan berasal dari data toksikologi dan
toksikokinetik (OECD, 1998).
6. Pemeriksaan Fungsi Hati
Hati merupakan organ terbesar dan memiliki metabolisme paling
kompleks di dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme makanan dan
sebagian besar obat serta zat toksik. Hati sering menjadi organ sasaran zat
toksik karena sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem
pencernaan kemudian diserap dan dibawa ke hati melalui vena porta hepatika
(Lu, 2010). Oleh karena itu, pengaruh efek toksik suatu zat pada organ hati
penting untuk dievaluasi. Parameter yang dapat diamati untuk mengetahui
gangguan fungsi hati antara lain uji biokimia darah, gross patologis, dan
histopatologis organ hati.
a. Kimia Darah
Darah berfungsi untuk mengangkut zat kimia ke seluruh tubuh.
Sehingga perubahan kadar zat kimia di dalam darah dapat digunakan untuk
mendiagnosis suatu penyakit. Zat yang dapat diukur kadarnya dalam serum
antara lain: zat yang dalam keadaan normal berfungsi dalam sirkulasi
(misalnya: glukosa, protein, dan kolesterol), metabolit (misalnya: urea,
kreatinin, dan asam urat), zat yang dikeluarkan dari sel akibat kerusakan dan
kelainan permeabilitas atau kelainan proliferasi sel (misalnya: laktat
dehidrogenase, alanin aminotransferase, dan aspartat aminotransferase),
serta obat dan zat toksik. Plasma darah berada dalam keseimbangan dengan
jaringan dan mengandung zat-zat yang keluar dari jaringan, sehingga
22
hampir semua pengukuran kimiawi darah dilakukan pada plasma,
khususnya pada serum yang diperoleh dari sampel darah yang telah
disentrifugasi. Banyak aktivitas hati yang secara langsung tercermin dari zat
yang beredar dalam darah dan cairan tubuh lain (Sacher dan McPherson,
2004).
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas
Nonklinik secara In Vivo, parameter utama yang harus diperiksa pada uji
biokimia darah adalah glukosa, total kolesterol, trigliserid, nitrogen urea,
kreatinin, SGOT, dan SGPT. Dari ketujuh parameter biokimia darah
tersebut, aktivitas SGOT dan SGPT, serta kadar kolesterol dapat digunakan
untuk mengetahui pengaruh sediaan uji pada fungsi hati. Selain itu juga
dilihat kadar protein total.
Uji enzim dapat menjadi petunjuk adanya kerusakan pada sel hati.
Enzim yang paling sering berkaitan dengan kerusakan sel hati adalah
aminotransferase yang mengkatalisis pemindahan reversibel satu gugus
amino antara asam amino dengan asam alfa-keto. Glutamic-Oxaloacetic
Transaminase (GOT) yang kadarnya dalam plasma diukur sebagai GOT
serum (SGOT) merupakan enzim yang memperantarai reaksi antara asam
aspartat dengan asam alfa-ketoglutarat. Enzim ini disebut juga Aspartate
aminotrasferase (AST) (Sacher dan McPherson, 2004).
Di hati, SGOT terdapat di dalam hepatosit dan akan dilepas ke dalam
sirkulasi sistemik bila sel mengalami kerusakan (Froud dkk., 2015). SGOT
23
kurang spesifik untuk mendiagnosis kerusakan hati dari pada SGPT
(Roberts dkk., 2000). Hal ini disebabkan karena aktivitas SGOT juga tinggi
di organ lain, khususnya otot (Tripathi dan Hall, 2016).
Uji enzim lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan hati
adalah Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGOT) atau Alanine
aminotransferase (ALT). Enzim ini bekerja dengan cara memindahkan satu
gugus amino alanin dan asam alfa-ketoglutarat (Sacher dan McPherson,
2004). Sama seperti SGOT, enzim ini juga terdapat di hepatosit dan akan
dilepas ke sirkulasi sistemik bila terjadi kerusakan sel (Froud dkk., 2015).
SGPT merupakan parameter aktivitas enzim yang paling utama untuk
mengidentifikasi kerusakan hepatoseluler (Tripathi dan Hall, 2016), namun
pada kondisi miopati aktivitasnya juga dapat meningkat (Froud dkk., 2015).
Enzim ini kadarnya paling tinggi di dalam organ hati pada kebanyakan
spesies (Roberts dkk., 2000; Tripathi dan Hall, 2016), dan dalam kadar yang
lebih rendah pada ginjal, jantung, dan otot skeletal (Froud dkk., 2015).
Hati berfungsi sebagai tempat penyimpanan lemak. Akumulasi lipid
dipengaruhi oleh gangguan sintesis atau sekresi lipoprotein. Asam lemak
akan dimetabolisme dan dikonversi menjadi lipid yang dapat terkonjugasi
dengan protein yang disintesis oleh hati menjadi lipoprotein (Hodgson dan
Levi, 2004). Hati bertanggung jawab dalam mengubah asam lemak menjadi
trigliserid dan mengesterifikasi kolesterol. Obstruksi saluran empedu
menyebabkan ekskresi kolesterol ke dalam empedu terhambat, sehingga
kadar kolesterol meningkat (Sacher dan McPherson, 2004).
24
Kolesterol dibutuhkan untuk sintesis asam empedu, kortikosteroid,
dan sex steroid. Hati melalui sistem empedu merupakan jalur utama eksresi
kolesterol. Kerusakan hati dapat meningkatkan kadar kolesterol serum,
namun beberapa penyakit hati yang menyebabkan disfungsi hati
diasosiasikan dengan hipokolesterolemia (Tripathi dan Hall, 2016).
Sebagian besar protein plasma disintesis oleh hati, kecuali faktor von
Willebrand dan imunoglobulin. Hati juga berfungsi untuk mengatur
perubahan asam amino, menguraikan protein endogen dan eksogen, dan
memetabolisme protein untuk diekskresikan (Sacher dan McPherson, 2004).
Degenerasi dan kerusakan sel membebaskan protein intraseluler ke dalam
darah. Beberapa protein ditemukan utamanya di dalam hepatosit, kenaikan
kadar protein di dalam darah dapat dijadikan dasar uji hepatotoksisitas
(Roberts dkk., 2000).
Kadar protein total dalam serum merupakan jumlah total semua
protein plasma kecuali protein yang berperan dalam pembekuan darah,
seperti fibrinogen dan faktor pembekuan. Oleh karena itu kadar protein
plasma umumnya lebih tinggi sekitar 0,3
0,5 g/dL dibandingkan dengan
kadar protein serum. Perbedaan kecil antara kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan mungkin menunjukkan adanya hepatotoksisitas ringan
hingga berat (Tripathi dan Hall, 2016).
b. Gambaran Gross Patologis
Pengamatan gross patologis organ hati dilakukan terhadap warna,
penampilan, dan bobot organ. Secara anatomi hati tikus berbentuk
25
multilobular. Hati tikus dapat dibagi menjadi tiga permukaan, yaitu
superior, inferior, dan posterior. Ujung hati berbentuk lancip, batas yang
jelas membagi permukaan inferior dan superior (Martins dan Neuhaus,
2007).
Bobot hati sangat penting dalam toksikologi karena banyak xenobiotik
yang mempengaruhi bobot hati (Tucker, 2003). Bobot organ yang dianalisis
adalah bobot absolut dan bobot relatif. Bobot absolut merupakan bobot
organ hati itu sendiri, sedangkan bobot relatif dihitung dengan cara bobot
organ absolut dibagi bobot badan hewan uji (BPOM, 2014).
c. Gambaran Histopatologis
Pemeriksaan mikroskopik dapat dengan melihat histopatologis seperti
adanya perlemakan, nekrosis, sirosis, nodul hiperplastik, dan neoplasia (Lu,
2010). Pemeriksaan histopatologis memiliki korelasi dengan data klinis dan
pemeriksaan kimia darah (Greaves, 2000). Pengamatan histopatologis dapat
memberikan informasi mengenai lesi dan bagian hati yang terkena dampak
toksin (Roberts dkk., 2000).
Pengamatan histopatologis pada penelitian ini dilakukan dengan
mengamati preparat jaringan organ hati menggunakan mikroskop.
Dilakukan pengecatan terhadap preparat jaringan untuk meningkatkan
kontras struktur jaringan (Johnson, 1991). Hematoksilin-Eosin (HE) sering
digunakan untuk pengecatan jaringan pada studi toksisitas (Keller dan
Banks, 2006). Hematoksilin merupakan pewarna yang dapat terikat pada
organel yang bermuatan negatif, seperti nukleus, retikulum endoplasma
26
kasar, dan matriks ekstraseluler. Sedangkan eosin merupakan pewarna yang
dapat terikat pada organel yang bermuatan positif, seperti sitoplasma, serat
kolagen,
mitokondia,
dan
lisosom
(Johnson,
1991).
Hematoksilin
memberikan warna biru pada nukleus, sedangkan eosin memberikan warna
merah muda pada sitoplasma (Keller dan Banks, 2006).
E. LANDASAN TEORI
EKM merupakan sediaan obat herbal baru yang sedang dikembangkan oleh
Universitas Gadjah Mada. Sediaan ini berupa kapsul yang berisi kombinasi
ekstrak rimpang kunyit non-destilasi dan herba meniran dengan perbandingan 3:2.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khotimah (2015) pada hewan uji
tikus jantan putih galur Wistar, EKM terbukti memiliki khasiat sebagai
hepatoprotektor dengan dosis optimal 90 mg/kgBB. Namun pada dosis yang lebih
tinggi aktivitas hepatoprotektor justru menurun.
Destilat kunyit tidak memiliki efek mutagenik dan pemberian dosis hingga
5 mg/kgBB pada uji toksisitas akut serta hingga dosis 0,5 g/kgBB pada uji
toksisitas subkronis tidak memiliki efek toksik (Liju dkk, 2012). Penelitian lain
menunjukkan bahwa pemberian kunyit dosis 5% dengan durasi 90 hari dapat
menimbulkan efek toksik terutama pada organ hati tikus meskipun dosis tersebut
lebih tinggi 50 kali dari pada rata-rata konsumsi harian manusia yang berkisar 0,6
g/hari (Deshpande, 1998).
Uji toksisitas yang pernah dilakukan pada meniran menunjukkan bahwa
meniran tidak memiliki efek toksik. Ekstrak air meniran tidak menunjukkan efek
27
toksik secara akut dengan LD50 > 5000 mg/kgBB (Asare dkk, 2011). Ekstrak
etanolik meniran juga tidak memiliki efek genotoksik maupun sitotoksik, tidak
toksik secara akut dengan LD50 > 3000 mg/kgBB dan secara umum tidak
menunjukkan efek toksik secara subkronis (Asare dkk, 2012).
Meskipun keamanan kunyit dan meniran sudah diketahui dan secara umum
menunjukkan bahwa kedua ekstrak tersebut relatif tidak toksik, namun evaluasi
keamanan kombinasi kedua ekstrak tersebut belum dilakukan. Penelitian yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa pada dosis yang lebih tinggi aktivitas
hepatoprotektor justru menurun dan pada dosis yang lebih tinggi dan durasi yang
lebih lama kunyit dapat memiliki efek hepatotoksik. Oleh karena itu penelitian ini
perlu dilakukan untuk mengevaluasi keamanan EKM pada penggunaan secara
subkronis.
F. HIPOTESIS
Pemberian EKM sekali sehari secara subkronis selama 90 hari tidak
memiliki efek toksik pada fungsi hati normal tikus betina galur Wistar dilihat dari
aktivitas SGOT dan SGPT, kadar kolesterol dan protein dalam darah, gambaran
gross patologis serta histopatologis organ hati.
Download