BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanfaatan tanaman sebagai obat sudah dikenal luas dan dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun karena dianggap lebih aman dan lebih murah. Hal ini didukung dengan banyaknya tanaman di Indonesia yang bisa digunakan sebagai bahan-bahan baku alami untuk pengobatan. Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati yaitu kurang lebih 30.000 spesies tanaman dan diketahui sekurang-kurangnya 9.600 spesies tumbuhan berkhasiat sebagai obat dan kurang lebih 300 spesies telah digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh industri obat tradisional (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007). Hal ini memacu banyaknya penelitian terhadap tanaman yang digunakan dalam pengobatan untuk berbagai macam penyakit. Sambung nyawa (Gynura procumbens (Lour) Merr.) merupakan salah satu tumbuhan yang daunnya banyak digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional untuk pengobatan penyakit ginjal, migrain, konstipasi, hipertensi, diabetes mellitus, dan kanker (Perry, 1990). Studi farmakologi mengindikasikan bahwa ekstrak etanolik sambung nyawa juga mempunyai khasiat sebagai penurun kolesterol (Zhang & Tan, 2000). Fraksi air ekstrak etanolik daun sambung nyawa juga telah diteliti mengandung polifenol dan flavonoid yang dapat menurunkan aktivitas enzim lipase yang berperan dalam absorpsi lipid sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol (Setiawan, 2012). Uji toksisitas akut ekstrak etanol daun sambung nyawa pada dosis 5 g/kgBB tidak menimbulkan gejala toksik yang 1 2 bermakna dan tidak menyebabkan kematian hewan uji tikus jantan galur Sprague Dawley (Zahra dkk., 2011). Daun senna digunakan oleh masyarakat untuk mengatasi sembelit, ambeien, setelah operasi rektal-anal, pengosongan lambung sebelum foto rontgent, serta sebelum dan sesudah operasi abdominal (Sudarsono dkk., 2002). Daun senna juga dilaporkan memiliki aktivitas hipolipidemia (Bishri, 2012). LD50 ekstrak daun dan buah senna pada tikus jantan dan betina adalah > 10 g/kgBB, tidak menyebabkan penurunan berat badan, dan tidak terjadi perubahan morfologi organ pada hewan uji (Hancke dkk., 2009). Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan tanaman tradisional yang sudah dikenal luas dan sudah lama digunakan oleh masyarakat. Kandungan kurkumin dalam kunyit dilaporkan dapat menangkal dan mengurangi risiko beragam penyakit karena memiliki aktivitas antioksidan. Uji toksisitas akut minyak atsiri kunyit pada hewan percobaan tergolong praktis tidak toksik sedangkan uji teratogenik minyak atsiri kunyit pada hewan percobaan menunjukan tidak ada kecacatan pada janin atau aman. (Muniroh dkk., 2010). Pemberian ekstrak etanol rimpang kunyit maupun kurkumin secara per oral pada uji intoksikasi akut pada tikus, marmut dan monyet menunjukkan bahwa ekstrak etanol rimpang kunyit dan kurkumin bersifat tidak toksik (Shankar dkk., 1980). Kombinasi ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit telah diteliti mampu menurunkan kadar kolesterol maupun trigliserida (Priamsari, 2014). Jika dikembangkan menjadi produk obat maka harus memenuhi persyaratan sesuai standar mutu dari WHO meliputi kualitas, keamanan, dan 3 khasiat. Perlu dilakukan uji praklinik yang meliputi uji ketoksikan (akut, subkronis, kronis) untuk penegasan keamanannya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Senyawa yang masing - masing tidak toksik ketika dikombinasi atau digunakan bersama-sama dapat menjadi toksik. Contohnya adalah penggunaan produk herbal untuk pengobatan artritis dan rematik berupa air rebusan dari kulit batang Alstonia boonei dan Fagara zanthoxyloides. Ekstrak air kulit batang Alstonia boonei dan Fagara zanthoxyloides masing – masing termasuk kategori tidak toksik, namun pada penggunaan bersama-sama pada dosis tinggi dan jangka waktu lama bersifat hepatotoksik dan nefrotoksik (Oghenesuvwe dkk., 2014). Dalam hal ini ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit secara tunggal telah diteliti dan dinyatakan tidak toksik. Namun, ketika ketiganya digabung, terdapat kemungkinan muncul interaksi dan efek toksik yang belum diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian terkait ketoksikan akut kombinasi ketiga ekstrak tersebut. Uji toksisitas akut yang dilakukan menggunakan metode OECD 423 pada tikus betina galur Wistar. Uji toksisitas akut ini bertujuan untuk menentukan efek toksik sediaan uji, dalam hal ini kombinasi ekstrak sambung nyawa, senna, dan kunyit (1:1:1), yang akan terjadi dalam waktu singkat setelah pemberiannya sehingga dapat memberikan informasi awal terkait keamanan dalam pemakaian. 4 B. 1. Rumusan Masalah Seberapa besar potensi ketoksikan akut oral (LD50 cut off) dari sediaan penurun kolesterol ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit pada tikus betina galur Wistar? 2. Apa sajakah gejala toksik yang timbul akibat pemberian sediaan penurun kolesterol ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit pada tikus betina galur Wistar? 3. Bagaimana spektrum efek toksik dari sediaan penururn kolesterol ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit pada organ-organ vital hewan uji dari hasil histopatologi? C. 1. Tujuan Penelitian Mengetahui gejala toksik yang timbul akibat pemejanan sediaan penurun kolesterol ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit pada tikus betina galur Wistar. 2. Mengetahui potensi ketoksikan akut oral (LD50 cut off) dari sediaan penurun kolesterol ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit pada tikus betina galur Wistar. 3. Mengetahui spektrum efek toksik dari sediaan penurun kolesterol ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit pada organ-organ vital hewan uji dari hasil histopatologi. 5 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini berguna untuk dasar pada tahapan uji preklinis maupun klinis selanjutnya yakni untuk memperkirakan potensi ketoksikan jika sediaan ini akan digunakan bagi manusia sehingga bermanfaat dalam hal pengembangan obat alternatif penurun kolesterol. E. 1. Tinjauan Pustaka Sambung Nyawa Gynura procumbens (Lour) Merr dikenal dengan nama umum sambung nyawa. Tanaman sambung nyawa berupa herba, batangnya berwarna hijau keunguan. Daun berbentuk bulat telur atau bulat telur memanjang atau bulat memanjang dengan panjang 3-10 cm, lebar 0,5-3 cm, ujungnya tumpul, atau meruncing pendek, pangkal membulat. Tepi daun rata sampai bergelombang atau agak bergigi. Permukaan daun kedua sisi gundul atau berambut halus. Susunan bunga majemuk cawan, 2-7 cawan tersusun dalam susunan malai, tangkai karangan dan tangkai bunga gundul atau berambut pendek. Buah berbentuk bulat, panjang 5-6 mm berwarna coklat (Badan POM RI, 2008). Menurut van Steenis (1947) serta Backer & van den Brink (1965), klasifikasi dari Gynura procumbens (Lour) Merr. adalah: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Class : Dicotyledoneae 6 Ordo : Asterales (Campanulatae) Familia : Asteraceae Genus : Gynura Species : Gynura procumbens (Lour) Merr. Sambung nyawa banyak digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional untuk pengobatan penyakit ginjal, migrain, konstipasi, hipertensi, diabetes mellitus, dan kanker (Perry, 1990). Tanaman sambung nyawa mengandung flavonoid, sterol tak jenuh, triterpenoid, polifenol, tanin, saponin, steroid, asam klorogenat, asam kafeat, asam vanilat, asam para kumarat, asam para hidroksi benzoat, dan minyak atsiri. Lebih spesifik lagi, dari hasil uji isolasi flavonoid dilaporkan keberadaan 2 macam senyawa flavonoid, yaitu kamferol (suatu flavonol), flavonol, dan auron. Diduga juga terdapat isoflavon dengan gugus hidroksil pada posisi 6 atau 7, 8 (cincin A) tanpa gugus hidroksil pada cincin B (Sugiyanto dkk., 1994). Gambar 1. Tumbuhan Gynura procumbens (Lour.) Merr 7 Fraksi air ekstrak etanolik daun sambung nyawa yang mengandung polifenol dan flavonoid telah diteliti dapat menurunkan aktivitas enzim lipase yang berperan dalam absorpsi lipid sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol (Setiawan, 2012). Ekstrak etanol daun sambung nyawa mempunyai LD50 > 2000 mg/kgBB pada uji toksisitas akut dan subkronik serta tidak menyebabkan kerusakan organ hewan uji (Algariri dkk., 2014). Wardiyanti (2012) melaporkan bahwa ekstrak air daun sambung nyawa yang diberikan secara oral pada tikus betina galur Wistar memiliki potensi ketoksikan termasuk kategori 5 berdasarkan GHS (Global Harmonized Classification System) dengan nilai LD50 cut off tidak terklasifikasi dan termasuk kategori praktis tidak toksik. Penelitian lain menyebutkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun sambung nyawa pada dosis 5 g/kgBB tidak menimbulkan gejala toksik yang bermakna dan tidak menyebabkan kematian hewan uji tikus jantan galur Sprague Dawley (Zahra dkk., 2011). 2. Senna Cassia angustifolia atau senna merupakan tanaman perdu berupa semak rendah dengan tinggi sampai 1,5 m. Daun berwarna hijau terang - hijau kekuningan, majemuk menyirip genap (tanpa anak daun ujung), mempunyai 3-7 pasang helai, menyempit atau membulat. Bunga berkelopak 5 dan daun mahkota berwarna kuning dengan urat coklat. Buah berbentuk elips lebar, kadang bentuk ginjal, pipih, panjang 4-7 cm dengan lebar 2 cm, dan mengandung 6-10 biji perbuah (Sudarsono dkk., 2002). 8 Tanaman senna mempunyai binomial name Cassia angustifolia Vahl dan dikenal dengan nama dagang Tinnevelly senna (Evans, 2002). Taksonomi tanaman senna sebagai berikut: Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Genus : Cassia Spesies : Cassia angustifolia Vahl (Anonim, 2012) Gambar 2. Tanaman Cassia angustifolia Vahl 9 Kandungan kimia daun dan biji senna adalah glikosida antrasena yaitu sennosida A, B, C, D, E, F; glikosida rhein, sejumlah kecil aloe-emodin, musilago (10%), flavonoid berupa turunan kaemferol dan isoramnetin, glikosida naftalen, asam krisofanat, senakrol, senapikrin, katartomanit dan β-sitosterol (Sudarsono dkk., 2002). Reaksi daun senna pada saluran pencernaan 8-10 jam dengan meningkatkan gerak peristaltik usus sehingga mempermudah buang air besar. Sennosida yang masuk secara oral akan diubah oleh flora usus menjadi antronrhein yaitu senyawa aktif yang menginduksi sekresi dinding mukosa dan mencegah reabsorpsi air dalam saluran pencernaan sehingga dapat digunakan untuk terapi konstipasi (Edward dkk., 2015). Uji toksisitas akut oral ekstrak daun dan buah senna pada tikus jantan dan betina diperoleh nilai LD50 > 10 g/kgBB, tidak menyebabkan penurunan berat badan, dan pada hasil pengamatan organ tidak terjadi perubahan morfologi pada hewan uji (Hancke dkk., 2009). Hasil uji toksisitas pada tikus jantan dan betina galur Sprague Dawley yang diberikan ekstrak buah senna setiap hari pada dosis 0, 100, 300, 750 atau 1500 mg/kgBB selama 13 minggu menunjukkan bahwa senna tidak menyebabkan ketoksikan pada organ hewan uji (Mengs dkk., 2004). Penelitian lain menyebutkan bahwa ekstrak daun senna yang diberikan pada tikus Wistar (12 dan 58 mg/kg/hari) selama 4 – 8 minggu tidak menyebabkan perubahan berat badan, konsumsi pakan dan minum, dan tidak mempengaruhi morfologi maupun fungsi hati (Mammola dkk., 2011). 10 3. Kunyit Di berbagai daerah, kunyit mempunyai nama yang beragam. Misalnya kunyir, koneng (Sunda), cahang (Dayak) (Rukmana, 1994). Tanaman kunyit berupa semak dengan tinggi ±70 cm. Batang berwarna hijau kekuningan semu, tegak, bulat, membentuk rimpang. Daun berwarna hijau pucat, tunggal, berbentuk lanset memanjang. Helai daun tiga sampai delapan. Ujung dan pangkal daun runcing, tepi rata, panjang 20-40 cm, lebar 8-12 cm. Pertulangan daun menyirip. Bunga majemuk, berambut, bersisik. Panjang tangkai 16-40 cm. Mahkota berwarna kuning, kelopak silindris, tipis dan berwarna ungu. Akar berupa akar serabut (Badan POM RI, 2008). Berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan, tanaman kunyit termasuk ke dalam klasifikasi sebaagi berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledone Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma domestica Val. (Badan POM RI, 2008) 11 Gambar 3. Tumbuhan Curcuma domestica Val. Kunyit mempunyai kandungan kurkuminoid terutama kurkumin, desmetoksikurkumin, bisdesmetoksikurkumin, juga terdapat kandungan resin, minyak atsiri dengan komponen utama α dan β turmeron, ar-turmeron, α dan β atlanton, kurlon, zingiberen, dan kurkumol (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Pemberian ekstrak kunyit 200 mg/kgBB tikus menunjukkan aktivitas sebagai antihiperkolesterol serta dapat menurunkan LDL tanpa mempengaruhi HDL. Ekstrak etanol rimpang kering kunyit dosis 30 mg/kgBB, diberikan kepada tikus secara intragastrik setiap 6 jam selama 48 jam, memiliki aktivitas antihiperkolesterolemia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Pemberian ekstrak etanol rimpang kunyit maupun kurkumin secara per oral pada uji intoksikasi akut pada tikus, marmut dan monyet menunjukkan bahwa ekstrak etanol rimpang kunyit dan kurkumin bersifat tidak toksik (Shankar dkk., 1980). Ekstrak rimpang kunyit pada uji intoksikasi akut pada tikus dan mencit 12 hanya menimbulkan perubahan minimal organ hati dan ginjal pada dosis tinggi (Lilja dkk., 1983; Shankar dkk., 1980). 4. Toksikologi Toksikologi didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan racun atau sesuatu yang menimbulkan efek berbahaya jika dipaparkan pada makhluk hidup baik secara sengaja maupun tidak sengaja (Hodgson, 2004). Menurut Loomis (1978) toksikologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang aksi berbahaya suatu zat kimia atas suatu jaringan biologi. Sedangkan definisi Lu (1995) toksikologi diartikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem hidup lainnya. Perjalanan racun di dalam tubuh meliputi proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi. Racun yang masuk ke dalam tubuh, pertama akan mengalami peristiwa absorbsi. Pada tubuh mamalia, sebenarnya sudah ada barrier membran atau serangkaian mekanisme pertahanan tubuh untuk melawan dan mencegah masuknya racun ke dalam tubuh (Hodgson, 2004). Jika racun berhasil melewati barrier tubuh ini, racun kemudian akan terdistribusi di dalam tubuh menuju tempat aksinya yang kemudian akan mengadakan antaraksi dengan reseptor sasaran dan menimbulkan pengaruh berbahaya maupun efek tosik dengan sifat tertentu (Donatus, 2005). Untuk menimbulkan suatu efek berbahaya hingga terjadinya suatu kerusakan dalam tubuh memerlukan dosis yang cukup. Hal ini dikarenakan ketoksikan atau keamanan suatu senyawa dipengaruhi oleh jumlah senyawa yang ada di dalam tubuh (Loomis, 1978). 13 Serangkaian proses perjalanan atau nasib senyawa toksik di dalam tubuh tersebut mendasari 4 asas utama dalam toksikologi yaitu kondisi efek toksik (kondisi pemejanan dan kondisi mahluk hidup), mekanisme aksi, wujud, dan sifat efek toksik. Pemahaman terkait kondisi pemejanan dan kondisi mahluk hidup akan berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi ketoksikan suatu senyawa, pemahaman tentang mekanisme aksi akan mempermudah memahami penyebab timbulnya efek toksik, sedangkan pemahaman terhadap wujud dan sifat efek toksik akan mempermudah memahami respon tubuh terhadap ketoksikan suatu senyawa dan tolak ukur kualitatifnya (Donatus, 2005). a. Kondisi Efek Toksik Kondisi pemejanan merupakan faktor yang menentukan keberadaan racun ditempat aksinya di dalam tubuh yang berkaitan dengan pemejanannya pada diri mahluk hidup. Kondisi pemejanan meliputi jenis, jalur, lama, kekerapan, dan takaran pemejanan racun. Ada dua jenis pemejanan, yaitu pemejanan akut dan kronis. Pemejanan akut berkaitan dengan peristiwa tunggal masuknya sejumlah racun ke dalam tubuh mahluk hidup. Sedangkan pemejanan kronis merupakan suatu peristiwa masuknya racun ke dalam tubuh selama beberapa kali, sehingga efek toksik yang ditimbulkan merupakan akibat dari kumulatif racun di dalam tubuh. Jalur pemejanan menentukan ketersediaan senyawa induk atau metabolitnya di tempat aksi. Jalur pemejanan juga sangat mungkin akan mempengaruhi ketoksikan sistemik suatu racun, karena jalur pemejanan menentukan keefektifan absorbsi pangan. Lama pemejanan racun ialah batas kurun waktu pemejanan sesuatu terhadap makhluk hidup. Rentang kurun waktu 14 ini adalah satu hari sampai tak terhingga atau sampai dengan hari kematian makhluk hidup. Kekerapan pemejanan adalah batas pemejanan racun terhadap makhluk hidup setiap satuan waktu, dengan takaran atau dosis serta melalui jalur pemejanan tertentu (Donatus, 2005). Ada beberapa kondisi mahluk hidup yang dapat mempengaruhi keefektifan antaraksi antara racun dengan sel targetnya, diantaranya berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan alir darah, status gizi, kehamilan, genetika, jenis kelamin dan ritme sirkardian serta diurnal. Kondisi patologis seperti penyakit saluran cerna, kardiovaskular, hati, dan ginjal juga dapat mempengaruhi keefektifan (Donatus, 2005). b. Mekanisme Aksi Mekanisme aksi toksik racun dapat digolongkan menjadi tiga, yakni mekanisme berdasarkan sifat dan tempat kejadian, berdasarkan sifat antaraksi antara racun dan tempat aksinya, dan berdasarkan risiko penumpukan racun dalam gudang penyimpanan tubuh. Berdasarkan sifat dan tempat kejadiannya, mekanisme aksi toksik dibedakan menjadi mekanisme luka intrasel dan mekanisme luka ekstrasel. Mekanisme luka intra sel atau mekanisme langsung merupakan luka yang diawali oleh aksi langsung senyawa beracun di tempat aksinya di dalam sel, seperti membran sel, DNA dan protein. Sedangkan mekanisme ekstrasel adalah luka yang terjadi secara tidak langsung, dimana kondisi luka pada sel terjadi akibat kerusakan yang terjadi pada ekstrasel. Beberapa contoh mekanisme luka ekstrasel adalah gangguan pasokan oksigen, zat hara, dan cairan (Donatus, 2005). 15 Berdasarkan sifat antaraksinya, mekanisme luka dibedakan menjadi terbalikkan dan tidak terbalikkan. Tempat sasaran molekuler yang terlibat dalam induksi efek toksik diantaranya adalah sisi aktif enzim atau reseptor pada molekul. Mekanisme aksi ini dibagi menjadi 2 yaitu terbalikkan dan tak terbalikkan. Berdasarkan risiko penumpukan, mekanisme aksinya dilihat dari kemungkinan penumpukan senyawa racun yang bersifat lipofil yang sulit dimetabolisme. Senyawa tersebut seringkali tidak membahayakan pada saat tersimpan karena berada dalam keadaan inaktif. Akan tetapi ketika senyawa tersebut akhirnya terlepas secara perlahan dan beredar ke sirkulasi dan meningkatkan kadarnya yang ada di dalam cairan tubuh. Apabila kadarnya melibihi harga ketoksikan minumumnya akan menimbulkan efek toksik (Donatus, 2005). c. Wujud Efek Toksik Wujud efek toksik dapat berupa perubahan biokimia, fungsional, dan struktural. Perubahan biokimia akibat adanya antaraksi racun dengan reseptornya dapat berupa peningkatan atau pengurangan aktivitas transpor elektron pembangkit energi di mitokondria, sintesis protein, maupun pergeseran hormonal. Perubahan fungsional dapat berupa perubahan tekanan darah, efek sedasi sampai halusinasi. Sedangkan efek perubahan struktural dapat berupa nekrosis, karsinogenesis, mutagenesis, maupun teratogenesis. Perubahan struktural ini dapat mengakibatkan respon histopatologis dasar berupa degenerasi, proliferasi, dan inflamasi, atau perbaikan (Donatus, 2005). 16 d. Sifat Efek Toksik Sifat efek toksik suatu racun dapat dibedakan menjadi terbalikkan (reversible) dan tak terbalikkan (irreversible). Ciri dari efek toksik yang terbalikkan adalah apabila kadar racun yang ada dalam tempat aksi atau reseptor tertentu telah habis maka reseptor akan kembali kepada keadaan semula, efek toksik yang ditimbulkan akan segera kembali kepada kondisi normal, toksisitas racun tergantung pada takaran serta kecepatan absorpsi, distribusi, dan eliminasi racun (Loomis, 1978). Ciri dari efek toksik yang tak terbalikkan yaitu kerusakan yang terjadi sifatnya menetap, pemejanan berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang sifatnya sama sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan efek toksik. Efek yang ditimbulkan antara pemejanan dengan takaran kecil jangka panjang sama efektifnya dengan pemaparan dosis besar dalam jangka pendek. Zat yang dapat menimbulkan efek toksik tak terbalikkan adalah zat racun yang terakumulasi atau sangat sukar dieliminasi (Loomis, 1978). 5. Uji Toksikologi Uji toksikologi merupakan suatu uji yang dilakukan untuk mendeteksi adanya potensi dari suatu zat yang bersifat racun, dengan melihat kondisi yang ditimbulkan dan mengkarakterisasi aksinya. Uji ini biasanya dilakukan dengan tujuan penilaian aspek risiko suatu zat terhadap kesehatan manusia. Uji toksikologi dapat dibagi menjadi uji in vivo dan in vitro. Uji ketoksikan in vivo seperti uji ketoksikan akut, uji ketoksikan sub akut, uji ketoksikan kronis dan uji ketoksikan spesial, sedangkan uji ketoksikan in vitro dilakukan untuk uji genotoksik (Hodgson, 2004). 17 Menurut Loomis (1996), uji toksikologi dapat dibedakan menjadi uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas didesain sebagai uji untuk mengevaluasi efek keseluruhan dari suatu senyawa pada hewan uji. Yang termasuk uji ketoksikan tak khas adalah uji ketoksikan akut, sub akut dan kronis. Sedangkan uji ketoksikan yang khas, dilakukan untuk mengetahui tipe ketoksikan yang spesifik. Uji teratogenisitas, uji mutagenisitas, uji karsinogenisitas merupakan contoh dari uji ketoksikan yang khas. 6. Uji Toksisitas Akut Uji ini dirancang untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan atau pemberiannya dengan takaran tertentu. Uji ini dikerjakan dengan cara memberikan dosis tunggal senyawa uji pada hewan uji (sekurang-kurangnya 2 jenis hewan uji roden dan nirroden, jantan maupun betina). Takaran dosis yang dianjurkan paling tidak empat peringkat dosis, berkisar dari dosis terendah yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji sampai dengan dosis tertinggi yang dapat mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji. Senyawa ini diberikan melalui jalur yang akan digunakan oleh manusia atau jalur yang memungkinkan manusia terpejani dengan senyawa itu. Biasanya pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus tertentu selama 7-14 hari. Pengamatan tersebut meliputi gejalagejala klinis, jumlah hewan yang mati, dan histopatologi organ (Donatus, 2005). Data kuantitatif yang diperoleh dari uji ketoksikan akut ini adalah LD50 sedangkan data kualitatifnya berupa penampakan klinis dan morfologis efek 18 toksik senyawa uji. Data LD50 yang diperoleh dapat digunakan untuk potensi ketoksikan akut senyawa relatif terhadap senyawa lain. Selain itu, juga dapat digunakan untuk memperkirakan takaran dosis uji toksikologi lainnya (Donatus, 2005). Penentuan LD50 secara konvensional dapat dilakukan dengan metode grafik Lithfield dan Wilcoxon, metode kertas grafik probit logaritma TainterMiller, dan metode rata-rata bergerak Thompson-Weil yang berdasarkan pada hubungan antara peringkat dosis dan persen respon. Ketiga metode tersebut menekankan pada adanya kematian hewan uji sebagai end point dalam menentukan LD50 (Barile, 2008). 7. Uji Toksisitas Akut Oral Metode OECD 423 Beberapa metode uji toksisitas akut oral untuk senyawa kimia telah dipublikasikan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Pedoman yang pertama kali deluarkan adalah OECD 401 yang prinsip ujinya mengelompokkan hewan uji dengan jenis kelamin yang sama ke dalam beberapa kelompok dosis yang telah ditetapkan. Setiap kelompok terdiri dari 5 hewan uji dengan jenis kelamin yang sama. Pemberian dosis dilakukan secara oral dengan dosis bertingkat untuk setiap kelompok. Dilakukan uji kembali dengan hewan uji dari jenis kelamin yang berbeda (Sitzel & Carr, 1999). OECD mengeluarkan pedoman nomor 420 (Fixed Dose Procedure), 423 (Acute Toxic Class Method), dan 425 (Up and Down Procedure) untuk menggantikan metode OECD 401. Semuanya menggunakan hewan uji roden (tikus atau mencit) dengan jenis kelamin betina. Metode OECD 420 19 mengelompokkan hewan uji ke dalam beberapa kelompok dosis yaitu 5, 50, 300, dan 2000 mg/kg BB dengan 5 hewan uji pada tiap kelompoknya. Uji pendahuluan dilakukan dengan satu hewan uji pada tiap dosis sebelum uji utama untuk menentukan dosis awal. (OECD, 2001b). Pada metode OECD 425, hewan uji diberi seri dosis dengan faktor pengalian 3,2 dan dosis yang dipilih harus berada dalam jarak LD50 dari acuan. Setidaknya menggunakan 1 hewan uji untuk masing-masing dosis. Pemberian dosis selanjutnya dilakukan berdasarkan satu dosis sebelumnya setelah 48 jam. Jika hewan uji hidup, maka dosis selanjutnya dinaikkan dengan faktor kenaikan 3,2. Jika hewan uji mati, maka dosis diturunkan dengan faktor penurunan 3,2. (OECD, 2001c). Metode uji toksisitas akut OECD 423 merupakan prosedur yang dilakukan secara bertahap menggunakan 3 hewan uji dengan satu jenis kelamin pada setiap tahap. Banyaknya tahapan yang dilakukan tergantung pada kematian dan atau status kesakitan dari hewan uji, diperlukan rata-rata 2-4 tahap untuk menentukan toksisitas akut suatu senyawa (OECD, 2001a). Jumlah hewan uji yang digunakan tiap kelompok pada metode OECD tersebut berbeda - beda. OECD 420 menggunakan 5 hewan uji tiap kelompok dosis, OECD 423 menggunakan 3 hewan uji tiap kelompok dosis, sedangkan OECD 425 menggunakan 1 hewan uji tiap pemberian dosis, maksimal 8 hewan uji. OECD 420 dan 423 menggunakan peringkat dosis tetap yang sama yaitu 5; 50; 300; dan 2000 mg/kgBB serta 5000 mg/kgBB, sedangkan OECD 425 dosis yang digunakan mengikuti faktor perkalian 3,2 dan harus berada dalam jarak nilai 20 LD50 acuan dengan dosis maksimal 5000 mg/kgBB (OECD, 2001a,b,c). Pada penelitian ini dilakukan sesuai metode OECD 423 karena hewan uji yang digunakan relatif sedikit dan peringkat dosis yang digunakan tetap. Pada metode OECD 423 senyawa uji tidak boleh diberikan pada dosis yang diketahui dapat menyebabkan luka yang berbekas jelas dan kesakitan karena korosif atau mengiritasi. Hewan-hewan uji yang sekarat, atau benar-benar kesakitan atau menunjukkan tanda-tanda keparahan dan menahan stress harus dikorbankan denagn cara yang manusiawi dan dalam interpretasi dianggap sebagai hewan uji yang mati karena uji. Pada prinsipnya, metode ini tidak dimaksudkan untuk menghitung nilai LD50 yang tepat tetapi menentukan rentang paparan di mana suatu senyawa dapat menimbulkan kematian hewan uji dalam jumlah banyak atau mayor. Metode ini menentukan LD50 ketika paling tidak dua harga dosis yang menghasilkan kematian lebih dari 0% dan kurang dari 100% (OECD, 2001a). Prinsip uji ini berdasarkan pada prosedur bertahap dengan menggunakan jumlah minimum hewan uji tiap tahap. Senyawa uji diberikan secara oral kepada satu kelompok hewan uji pada dosis tertentu. Senyawa uji diuji menggunakan prosedur bertahap, masing-masing tahap menggunakan tiga hewan uji yang berjenis kelamin sama (biasanya betina). Ada atau tidaknya kematian hewan uji yang disebabkan senyawa uji pada satu tahap akan menentukan tahap selanjutnya: a. Tidak diperlukan pengujian lebih lanjut b. Perlakuan pada tiga hewan uji tambahan dengan dosis yang sama 21 c. Perlakuan pada tiga hewan uji tambahan pada dosis selanjutnya yang lebih tinggi atau dosis selanjutnya yang lebih rendah (OECD, 2001a). Hewan uji roden yang lebih disukai adalah tikus, walaupun spesies roden lain dapat digunakan. Biasanya jenis kelamin yang direkomendasikan adalah betina. Hal ini karena dari survei literatur pada uji LD50 konvensional menunjukkan bahwa, walaupun terdapat sedikit perbedaan sensitifitas di antara jenis kelamin, secara umum betina lebih sensitif. Akan tetapi jika diketahui toksikologi atau toksikokinetik senyawa yang akan diuji mungkin pada hewan uji jantan lebih sensitif maka hewan uji jantan dapat digunakan. Digunakan hewan uji yang sehat, berusia 8-12 minggu, dan beratnya kurang lebih 200 gram (OECD, 2001a). Suhu laboratorium seharusnya 22oC (± 3oC). Kelembaban relatif ruangan sebaiknya paling tidak 30% dan tidak lebih 70% lain dengan pada saat ruangan dibersihkan sebaiknya 50-60%. Pencahayaan diatur agar tersedia 12 jam terang dan 12 jam gelap. Hewan uji dipilih secara acak, ditandai untuk identifikasi individu, dan diaklimatisasi (dibiasakan) pada kondisi laboratorium selama paling tidak 5 hari (OECD, 2001a). Volume pemejanan seharusnya tidak melebihi volume dosis maksimal. Volume maksimal pemberian senyawa uji tergantung dari berat hewan uji. Pada roden, volume pemberian sebaiknya tidak melebihi 1ml/100 gramBB, akan tetapi pada larutan yang mengandung air dapat diberikan 2ml/100 gramBB. Disarankan untuk menggunakan memungkinkan, jika larutan/suspensi/emulsi tidak bisa, yang disarankan pelarutnya untuk air jika menggunakan 22 larutan/suspensi/emulsi yang pelarutnya minyak (misalnya minyak jagung). Senyawa uji dibuat baru pada saat hendak pemejanan agar stabilitasnya terjaga dan dapat diterima (OECD, 2001a). Senyawa uji diberikan dalam dosis tunggal secara oral menggunakan stomach tube atau intubation canula yang sesuai. Jika dosis tunggal tidak memungkinkan, pemejanan dapat dilakukan berulang dengan fraksi lebih kecil dalam waktu tidak lebih dari 24 jam. Hewan uji dipuasakan sebelum pemejanan. Untuk tikus, dipuasakan dalam arti tidak diberi makanan tetapi diberi minum dalam waktu semalam sebelum pemejanan. Diikuti dengan penimbangan hewan uji dan pemejanan senyawa uji. Setelah senyawa uji diadministrasikan, makanan tidak dapat diberikan selama 3-4 jam pada tikus (OECD, 2001a). Tiga ekor hewan uji digunakan pada setiap step dosis. Level dosis yang digunakan sebagai starting dose dapat dipilih dari empat level yang telah ditetapkan yaitu 5, 50, 300, dan 2000 mg/kgBB. Starting dose yang dipilih sebisa mungkin dosis yang bisa menimbulkan kematian pada sebagian dari hewan uji. Ketika ada data valid yang dapat memberikan informasi bahwa kematian hewan uji tidak akan terjadi pada starting dose yang tertinggi (2000 mg/kgBB), maka perlu dilakukan limit test. Ketika tidak ada informasi yanhg memadai mengenai senyawa uji dan ketoksikannya, maka dosis yang direkomendasika sebagai starting dose adalah 300 mg/kgBB. Perlakuan pada hewan uji dosis selanjutnya harus dilakukan setelah mendapat kepastian bahwa hewan uji pada perlakuan sebelumnya tidak mati (OECD, 2001a). 23 Limit test digunakan ketika situasi di mana terdapat informasi bahwa senyawa uji yang digunakan kemungkinan tidak toksik atau baru akan memperlihatkan gejala-gejala toksik pada dosis di atas limit dose yang biasa digunakan. Limit test pada dosis 2000 mg/kgBB dilakukan dengan enam hewan uji (tiga hewan uji tiap step) dan limit test pada dosis 5000 mg/kgBB dialkukan dengan tiga hewan uji. Apabila terjadi kematian hewan uji, dilakukan uji lebih lanjut dengan dosis selanjutnya yang lebih rendah (OECD, 2001a). Hewan uji diamati secara individual setelah pemejanan paling tidak sekali selama 30 menit pertama, secara periodik selama 24 jam, dengan perhatian khusus selama 4 jam pertama, dan setiap hari hingga 14 hari, kecuali di mana hewan uji perlu dibunuh secara manusiawi atau ditemukan mati. Akan tetapi, durasi pengamatan tidak boleh ditetapkan secara kaku. Tergantung pada reaksi toksik, onset dan lamanya waktu pemulihan. Pengamatan meliputi perubahan pada kulit dan bulu, mata dan membran mukosa, pernafasan, sirkulasi, otonomi, dan sistem saraf pusat, aktivitas somatotor, serat pola perilaku. Perhatian juga harus ditujukan pada tremor, kejang, salivasi, diare, tidur, dan koma. Hewan uji yang menunjukkan kesakitan yang parah dan alam keadaan sekarat atau dalam kondisi menahan penderitaan yang parah harus dikorbankan (OECD, 2001a). Bobot setiap hewan uji ditimbang sebelum pemejanan dan paling tidak seminggu sekali setelah pemejanan. Perubahan berat badan sebaiknya dihitung dan dicatat. Pada akhir uji, hewan uji yang masih hidup ditimbang dan dikorbankan. Semua hewan uji dinekropsi dan diambil organ-organnya untuk dilakukan pengamatan histopatologi (OECD, 2001a). 24 8. Histopatologi Histologi adalah ilmu yang mempelajari jaringan tubuh dan bagaimana jaringan-jaringan tersebut menyusun organ-organ (Junqueira & Carneiro, 2005). Histopatologi adalah cabang dari patologi yang berpusat pada penemuan dan diagnosis penyakit dari hasil pemeriksaan jaringan. Jaringan berasal dari biopsi yang dimasukkan dalam cairan fiksasi dan dikirim ke laboratorium histopatologi (Underwood, 2000). Bahan fiksasi yang sering digunakan adalah formalin 10%. Pewarna yang sering digunakan dalam pengamatan ini adalah kombinasi dari hematoksilin dan eosin. Hematoksilin mewarnai inti dan struktur asal lainnya dari sel (seperti pada bagian sitoplasma yang kaya RNA dan matriks tulang rawan) menjadi biru. Eosin akan mewarnai sitoplasma dan kolagen menjadi merah muda (Junqueira & Carneiro, 2005). Organ-organ yang biasanya diamati pada pemeriksaan histopatologis adalah : a. Hati Hati memiliki fungsi metabolisme paling kompleks di dalam tubuh, yaitu metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Bahan toksik dapat menyebabkan perubahan pada sel-sel hati, sehingga mengakibatkan perlemakan hati, nekrosis hati, kolestasis dan sirosis (Lu, 1995). b. Ginjal Ginjal merupakan salah satu organ yang rentan terhadap efek toksik, karena ginjal menerima 25% dari cardiac output, sehingga sering dan mudah 25 kontak dengan zat kimia dalam jumlah besar. Secara mendasar ginjal akan mendapat efek langsung dari senyawa toksik (Lu, 1995). c. Paru-paru Paru-paru merupakan bagian dari sistem pernafasan. Saat proses pernafasan berlangsung, ada kemungkinan terjadi toksisitas yang diakibatkan oleh adanya suatu bahan kimia di udara, sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan epitel dan jaringan dalam bentuk degenerasi, proliferasi dan inflamasi. d. Jantung Jantung merupakan target potensial dan mudah diserang oleh toksin. Sejumlah besar obat dan bahan kimia dapat menyebabkan berbagai kerusakan tingkat seluler jantung dengan mekanisme yang berbeda. e. Lambung Lambung secara histologi terdiri dari beberapa bagian, yaitu mukosa, kelenjar lambung, dan tunika muskularis. Obat atau senyawa kimia sebagian besar dikonsumsi melalui oral dan akan masuk dalam lambung, sehingga lambung dapat terpapar secara langsung oleh senyawa toksik. f. Usus Usus merupakan organ pencernaan, sehingga setelah obat atau senyawa kimia dikonsumsi secara oral melalui lambung, zat tersebut akan masuk ke dalam usus. 26 g. Limpa Limpa merupakan organ limfoid sekunder yang berfungsi untuk menahan agen asing atau zat toksik yang berhasil mencapai sirkulasi darah agar tidak menyebar lebih luas. Perubahan spesifik yang sering muncul pada sel dari suatu organ sebagai respon akibat masuknya bahan toksik diantaranya adalah degenerasi hidropik, infiltrasi, radang, edema, atropi, kongesti, dan nekrosis. Degenerasi merupakan perubahan akibat luka yang tidak fatal dan dapat pulih kembali (reversibel). Degenerasi hidropik merupakan gangguan metabolisme atau karena keracunan bahan makanan. Hal ini mengakibatkan pembengkakan sel dengan penimbunan lebih banyak air dan metabolit dalam vakuola yang terbentuk di sitoplasma. Secara mikroskopis organ yang mengalami degenerasi hidropik akan terlihat membesar, lebih pucat dan konsistensinya lebih rapuh (Underwood, 1999). Infiltrasi adalah terjadinya penumpukan metabolit seperti air, lemak dan aneka ragam jenis inklusi dalam jumlah berlebih karena adanya luka pada sel (Donatus, 2005). Sedangkan radang atau inflamasi adalah respon yang timbul akibat adanya benda asing atau terjadinya perubahan spesifik atau kerusakan pada jaringan secara langsung, baik karena bahan kimia, trauma mekanis, maupun pengaruh fisik. Edema merupakan adanya cairan berlebihan pada jaringan tubuh. Edema terutama terjadi pada kompartemen cairan ekstrasluler, tetapi juga dapat melibatkan cairan intraseluler. Perubahan spesifik berupa atropi adalah mengecilnya sel atau berkurangnya jumlah sel yang biasanya menyebabkan 27 penyusutan atau pengkerutan jaringan atau organ yang terpengaruh (Donatus, 2005). Kongesti terjadi dengan meningkatnya volume darah akibat pelebaran pembuluh darah kecil. Kongesti akan menyebabkan venula dan kapiler semakin permeabel. Selain terganggunya sirkulasi darah, kongesti juga menyebabkan selsel hati mengalami degenerasi atau akan berlanjut pada nekrosis karena kekurangan nutrien dan oksigen. Nekrosis adalah kematian sel dalam diri makhluk hidup, dan merupakan respon degenerasi terhadap luka sel yang sering sekali dijumpai. Kejadian ini merupakan hasil akhir dari berbagai macam mekanisme luka sel baik intrasel maupun ekstrasel (Donatus, 2005). F. Landasan Teori Berdasarkan penelitian terdahulu, bahwa pemberian ekstrak metanol daun sambung nyawa pada dosis 1000-5000 mg/kg tidak menyebabkan kematian hewan uji tikus galur Sprague Dawley jantan dan betina, serta tidak menunjukkan perubahan signifikan pada perilaku umum, berat badan maupun berat organ. Ekstrak air daun sambung nyawa yang diberikan secara oral pada tikus betina galur Wistar mempunyai nilai LD50 cut off tidak terklasifikasi atau termausk kategori praktis tidak toksik. Uji toksisitas akut oral ekstrak senna pada tikus jantan dan betina diperoleh nilai LD50 > 10 g/kgBB, tidak menyebabkan penurunan berat badan dan pada hasil pengamatan organ tidak terjadi perubahan morfologi pada hewan uji. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa uji toksisitas pada tikus jantan dan 28 betina galur Sprague Dawley yang diberikan ekstrak senna setiap hari selama 13 minggu tidak menyebabkan ketoksikan pada organ hewan uji. Ekstrak daun senna yang diberikan pada tikus Wistar) selama 4 – 8 minggu juga tidak menyebabkan perubahan berat badan, konsumsi makanan dan minuman, dan tidak mempengaruhi morfologi maupun fungsi hati. Pemberian ekstrak etanol rimpang kunyit maupun kurkumin secara oral pada uji intoksikasi akut pada tikus menunjukkan bahwa ekstrak etanol rimpang kunyit dan kurkumin bersifat tidak toksik. Berdasarkan pada penelitian toksisitas yang telah dilakukan, ketiga ekstrak tersebut yaitu ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit termasuk kategori tidak toksik. Namun ketika ketiganya dikombinasi ada kemungkinan terjadinya interaksi dari ketiga ekstrak tersebut dan munculnya efek toksik terhadap tikus betina galur Wistar yang belum diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap toksisitas akut kombinasi ketiga ekstrak tersebut. G. Hipotesis Sediaan penurun kolesterol berupa ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit diduga tidak menimbulkan efek toksik, tidak menyebabkan kematian hewan uji serta tidak menyebabkan perubahan yang spesifik pada organ vital hewan uji.