BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanfaatan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemanfaatan tanaman sebagai obat sudah dikenal luas dan dilakukan oleh
masyarakat Indonesia secara turun temurun karena dianggap lebih aman dan lebih
murah. Hal ini didukung dengan banyaknya tanaman di Indonesia yang bisa
digunakan sebagai bahan-bahan baku alami untuk pengobatan. Indonesia kaya
akan keanekaragaman hayati yaitu kurang lebih 30.000 spesies tanaman dan
diketahui sekurang-kurangnya 9.600 spesies tumbuhan berkhasiat sebagai obat
dan kurang lebih 300 spesies telah digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh
industri obat tradisional (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007). Hal
ini memacu banyaknya penelitian terhadap tanaman yang digunakan dalam
pengobatan untuk berbagai macam penyakit.
Sambung nyawa (Gynura procumbens (Lour) Merr.) merupakan salah satu
tumbuhan yang daunnya banyak digunakan oleh masyarakat sebagai obat
tradisional untuk pengobatan penyakit ginjal, migrain, konstipasi, hipertensi,
diabetes mellitus, dan kanker (Perry, 1990). Studi farmakologi mengindikasikan
bahwa ekstrak etanolik sambung nyawa juga mempunyai khasiat sebagai penurun
kolesterol (Zhang & Tan, 2000). Fraksi air ekstrak etanolik daun sambung nyawa
juga telah diteliti mengandung polifenol dan flavonoid yang dapat menurunkan
aktivitas enzim lipase yang berperan dalam absorpsi lipid sehingga dapat
menurunkan kadar kolesterol (Setiawan, 2012). Uji toksisitas akut ekstrak etanol
daun sambung nyawa pada dosis 5 g/kgBB tidak menimbulkan gejala toksik yang
1
2
bermakna dan tidak menyebabkan kematian hewan uji tikus jantan galur Sprague
Dawley (Zahra dkk., 2011).
Daun senna digunakan oleh masyarakat untuk mengatasi sembelit,
ambeien, setelah operasi rektal-anal, pengosongan lambung sebelum foto
rontgent, serta sebelum dan sesudah operasi abdominal (Sudarsono dkk., 2002).
Daun senna juga dilaporkan memiliki aktivitas hipolipidemia (Bishri, 2012). LD50
ekstrak daun dan buah senna pada tikus jantan dan betina adalah > 10 g/kgBB,
tidak menyebabkan penurunan berat badan, dan tidak terjadi perubahan morfologi
organ pada hewan uji (Hancke dkk., 2009).
Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan tanaman tradisional yang
sudah dikenal luas dan sudah lama digunakan oleh masyarakat. Kandungan
kurkumin dalam kunyit dilaporkan dapat menangkal dan mengurangi risiko
beragam penyakit karena memiliki aktivitas antioksidan. Uji toksisitas akut
minyak atsiri kunyit pada hewan percobaan tergolong praktis tidak toksik
sedangkan uji teratogenik minyak atsiri kunyit pada hewan percobaan
menunjukan tidak ada kecacatan pada janin atau aman. (Muniroh dkk., 2010).
Pemberian ekstrak etanol rimpang kunyit maupun kurkumin secara per oral pada
uji intoksikasi akut pada tikus, marmut dan monyet menunjukkan bahwa ekstrak
etanol rimpang kunyit dan kurkumin bersifat tidak toksik (Shankar dkk., 1980).
Kombinasi ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit telah
diteliti mampu menurunkan kadar kolesterol maupun trigliserida (Priamsari,
2014). Jika dikembangkan menjadi produk obat maka harus memenuhi
persyaratan sesuai standar mutu dari WHO meliputi kualitas, keamanan, dan
3
khasiat. Perlu dilakukan uji praklinik yang meliputi uji ketoksikan (akut,
subkronis, kronis) untuk penegasan keamanannya (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2000).
Senyawa yang masing - masing tidak toksik ketika dikombinasi atau
digunakan bersama-sama dapat menjadi toksik. Contohnya adalah penggunaan
produk herbal untuk pengobatan artritis dan rematik berupa air rebusan dari kulit
batang Alstonia boonei dan Fagara zanthoxyloides. Ekstrak air kulit batang
Alstonia boonei dan Fagara zanthoxyloides masing – masing termasuk kategori
tidak toksik, namun pada penggunaan bersama-sama pada dosis tinggi dan jangka
waktu lama bersifat hepatotoksik dan nefrotoksik (Oghenesuvwe dkk., 2014).
Dalam hal ini ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit secara
tunggal telah diteliti dan dinyatakan tidak toksik. Namun, ketika ketiganya
digabung, terdapat kemungkinan muncul interaksi dan efek toksik yang belum
diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian terkait ketoksikan akut kombinasi
ketiga ekstrak tersebut. Uji toksisitas akut yang dilakukan menggunakan metode
OECD 423 pada tikus betina galur Wistar. Uji toksisitas akut ini bertujuan untuk
menentukan efek toksik sediaan uji, dalam hal ini kombinasi ekstrak sambung
nyawa, senna, dan kunyit (1:1:1), yang akan terjadi dalam waktu singkat setelah
pemberiannya sehingga dapat memberikan informasi awal terkait keamanan
dalam pemakaian.
4
B.
1.
Rumusan Masalah
Seberapa besar potensi ketoksikan akut oral (LD50 cut off) dari sediaan
penurun kolesterol ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit
pada tikus betina galur Wistar?
2.
Apa sajakah gejala toksik yang timbul akibat pemberian sediaan penurun
kolesterol ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit pada tikus
betina galur Wistar?
3.
Bagaimana spektrum efek toksik dari sediaan penururn kolesterol ekstrak
daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit pada organ-organ vital
hewan uji dari hasil histopatologi?
C.
1.
Tujuan Penelitian
Mengetahui gejala toksik yang timbul akibat pemejanan sediaan penurun
kolesterol ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit pada tikus
betina galur Wistar.
2.
Mengetahui potensi ketoksikan akut oral (LD50 cut off) dari sediaan
penurun kolesterol ekstrak daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit
pada tikus betina galur Wistar.
3.
Mengetahui spektrum efek toksik dari sediaan penurun kolesterol ekstrak
daun sambung nyawa, daun senna, dan kunyit pada organ-organ vital
hewan uji dari hasil histopatologi.
5
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna untuk dasar pada tahapan uji preklinis maupun
klinis selanjutnya yakni untuk memperkirakan potensi ketoksikan jika sediaan ini
akan digunakan bagi manusia sehingga bermanfaat dalam hal pengembangan obat
alternatif penurun kolesterol.
E.
1.
Tinjauan Pustaka
Sambung Nyawa
Gynura procumbens (Lour) Merr dikenal dengan nama umum sambung
nyawa. Tanaman sambung nyawa berupa herba, batangnya berwarna hijau
keunguan. Daun berbentuk bulat telur atau bulat telur memanjang atau bulat
memanjang dengan panjang 3-10 cm, lebar 0,5-3 cm, ujungnya tumpul, atau
meruncing pendek, pangkal membulat. Tepi daun rata sampai bergelombang atau
agak bergigi. Permukaan daun kedua sisi gundul atau berambut halus. Susunan
bunga majemuk cawan, 2-7 cawan tersusun dalam susunan malai, tangkai
karangan dan tangkai bunga gundul atau berambut pendek. Buah berbentuk bulat,
panjang 5-6 mm berwarna coklat (Badan POM RI, 2008).
Menurut van Steenis (1947) serta Backer & van den Brink (1965),
klasifikasi dari Gynura procumbens (Lour) Merr. adalah:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Class
: Dicotyledoneae
6
Ordo
: Asterales (Campanulatae)
Familia
: Asteraceae
Genus
: Gynura
Species
: Gynura procumbens (Lour) Merr.
Sambung nyawa banyak digunakan oleh masyarakat sebagai obat
tradisional untuk pengobatan penyakit ginjal, migrain, konstipasi, hipertensi,
diabetes mellitus, dan kanker (Perry, 1990). Tanaman sambung nyawa
mengandung flavonoid, sterol tak jenuh, triterpenoid, polifenol, tanin, saponin,
steroid, asam klorogenat, asam kafeat, asam vanilat, asam para kumarat, asam
para hidroksi benzoat, dan minyak atsiri. Lebih spesifik lagi, dari hasil uji isolasi
flavonoid dilaporkan keberadaan 2 macam senyawa flavonoid, yaitu kamferol
(suatu flavonol), flavonol, dan auron. Diduga juga terdapat isoflavon dengan
gugus hidroksil pada posisi 6 atau 7, 8 (cincin A) tanpa gugus hidroksil pada
cincin B (Sugiyanto dkk., 1994).
Gambar 1. Tumbuhan Gynura procumbens (Lour.) Merr
7
Fraksi air ekstrak etanolik daun sambung nyawa yang mengandung
polifenol dan flavonoid telah diteliti dapat menurunkan aktivitas enzim lipase
yang berperan dalam absorpsi lipid sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol
(Setiawan, 2012). Ekstrak etanol daun sambung nyawa mempunyai LD50 > 2000
mg/kgBB pada uji toksisitas akut dan subkronik serta tidak menyebabkan
kerusakan organ hewan uji (Algariri dkk., 2014). Wardiyanti (2012) melaporkan
bahwa ekstrak air daun sambung nyawa yang diberikan secara oral pada tikus
betina galur Wistar memiliki potensi ketoksikan termasuk kategori 5 berdasarkan
GHS (Global Harmonized Classification System) dengan nilai LD50 cut off tidak
terklasifikasi dan termasuk kategori praktis tidak toksik. Penelitian lain
menyebutkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun sambung nyawa pada dosis 5
g/kgBB tidak menimbulkan gejala toksik yang bermakna dan tidak menyebabkan
kematian hewan uji tikus jantan galur Sprague Dawley (Zahra dkk., 2011).
2.
Senna
Cassia angustifolia atau senna merupakan tanaman perdu berupa semak
rendah dengan tinggi sampai 1,5 m. Daun berwarna hijau terang - hijau
kekuningan, majemuk menyirip genap (tanpa anak daun ujung), mempunyai 3-7
pasang helai, menyempit atau membulat. Bunga berkelopak 5 dan daun mahkota
berwarna kuning dengan urat coklat. Buah berbentuk elips lebar, kadang bentuk
ginjal, pipih, panjang 4-7 cm dengan lebar 2 cm, dan mengandung 6-10 biji
perbuah (Sudarsono dkk., 2002).
8
Tanaman senna mempunyai binomial name Cassia angustifolia Vahl dan
dikenal dengan nama dagang Tinnevelly senna (Evans, 2002). Taksonomi
tanaman senna sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Super Divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Rosidae
Ordo
: Fabales
Famili
: Fabaceae
Genus
: Cassia
Spesies
: Cassia angustifolia Vahl
(Anonim, 2012)
Gambar 2. Tanaman Cassia angustifolia Vahl
9
Kandungan kimia daun dan biji senna adalah glikosida antrasena yaitu
sennosida A, B, C, D, E, F; glikosida rhein, sejumlah kecil aloe-emodin, musilago
(10%), flavonoid berupa turunan kaemferol dan isoramnetin, glikosida naftalen,
asam krisofanat, senakrol, senapikrin, katartomanit dan β-sitosterol (Sudarsono
dkk., 2002). Reaksi daun senna pada saluran pencernaan 8-10 jam dengan
meningkatkan gerak peristaltik usus sehingga mempermudah buang air besar.
Sennosida yang masuk secara oral akan diubah oleh flora usus menjadi antronrhein yaitu senyawa aktif yang menginduksi sekresi dinding mukosa dan
mencegah reabsorpsi air dalam saluran pencernaan sehingga dapat digunakan
untuk terapi konstipasi (Edward dkk., 2015).
Uji toksisitas akut oral ekstrak daun dan buah senna pada tikus jantan dan
betina diperoleh nilai LD50 > 10 g/kgBB, tidak menyebabkan penurunan berat
badan, dan pada hasil pengamatan organ tidak terjadi perubahan morfologi pada
hewan uji (Hancke dkk., 2009). Hasil uji toksisitas pada tikus jantan dan betina
galur Sprague Dawley yang diberikan ekstrak buah senna setiap hari pada dosis 0,
100, 300, 750 atau 1500 mg/kgBB selama 13 minggu menunjukkan bahwa senna
tidak menyebabkan ketoksikan pada organ hewan uji (Mengs dkk., 2004).
Penelitian lain menyebutkan bahwa ekstrak daun senna yang diberikan pada tikus
Wistar (12 dan 58 mg/kg/hari) selama 4 – 8 minggu tidak menyebabkan
perubahan berat badan, konsumsi pakan dan minum, dan tidak mempengaruhi
morfologi maupun fungsi hati (Mammola dkk., 2011).
10
3.
Kunyit
Di berbagai daerah, kunyit mempunyai nama yang beragam. Misalnya
kunyir, koneng (Sunda), cahang (Dayak) (Rukmana, 1994). Tanaman kunyit
berupa semak dengan tinggi ±70 cm. Batang berwarna hijau kekuningan semu,
tegak, bulat, membentuk rimpang. Daun berwarna hijau pucat, tunggal, berbentuk
lanset memanjang. Helai daun tiga sampai delapan. Ujung dan pangkal daun
runcing, tepi rata, panjang 20-40 cm, lebar 8-12 cm. Pertulangan daun menyirip.
Bunga majemuk, berambut, bersisik. Panjang tangkai 16-40 cm. Mahkota
berwarna kuning, kelopak silindris, tipis dan berwarna ungu. Akar berupa akar
serabut (Badan POM RI, 2008).
Berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan, tanaman kunyit
termasuk ke dalam klasifikasi sebaagi berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas
: Monocotyledone
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Spesies
: Curcuma domestica Val.
(Badan POM RI, 2008)
11
Gambar 3. Tumbuhan Curcuma domestica Val.
Kunyit
mempunyai
kandungan
kurkuminoid
terutama
kurkumin,
desmetoksikurkumin, bisdesmetoksikurkumin, juga terdapat kandungan resin,
minyak atsiri dengan komponen utama α dan β turmeron, ar-turmeron, α dan β
atlanton, kurlon, zingiberen, dan kurkumol (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2010). Pemberian ekstrak kunyit 200 mg/kgBB tikus menunjukkan
aktivitas sebagai antihiperkolesterol serta dapat menurunkan LDL tanpa
mempengaruhi HDL. Ekstrak etanol rimpang kering kunyit dosis 30 mg/kgBB,
diberikan kepada tikus secara intragastrik setiap 6 jam selama 48 jam, memiliki
aktivitas antihiperkolesterolemia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2010).
Pemberian ekstrak etanol rimpang kunyit maupun kurkumin secara per
oral pada uji intoksikasi akut pada tikus, marmut dan monyet menunjukkan bahwa
ekstrak etanol rimpang kunyit dan kurkumin bersifat tidak toksik (Shankar dkk.,
1980). Ekstrak rimpang kunyit pada uji intoksikasi akut pada tikus dan mencit
12
hanya menimbulkan perubahan minimal organ hati dan ginjal pada dosis tinggi
(Lilja dkk., 1983; Shankar dkk., 1980).
4.
Toksikologi
Toksikologi didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan racun atau
sesuatu yang menimbulkan efek berbahaya jika dipaparkan pada makhluk hidup
baik secara sengaja maupun tidak sengaja (Hodgson, 2004). Menurut Loomis
(1978) toksikologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang aksi
berbahaya suatu zat kimia atas suatu jaringan biologi. Sedangkan definisi Lu
(1995) toksikologi diartikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek
toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem hidup lainnya.
Perjalanan racun di dalam tubuh meliputi proses absorbsi, distribusi,
metabolisme dan eliminasi. Racun yang masuk ke dalam tubuh, pertama akan
mengalami peristiwa absorbsi. Pada tubuh mamalia, sebenarnya sudah ada barrier
membran atau serangkaian mekanisme pertahanan tubuh untuk melawan dan
mencegah masuknya racun ke dalam tubuh (Hodgson, 2004). Jika racun berhasil
melewati barrier tubuh ini, racun kemudian akan terdistribusi di dalam tubuh
menuju tempat aksinya yang kemudian akan mengadakan antaraksi dengan
reseptor sasaran dan menimbulkan pengaruh berbahaya maupun efek tosik dengan
sifat tertentu (Donatus, 2005). Untuk menimbulkan suatu efek berbahaya hingga
terjadinya suatu kerusakan dalam tubuh memerlukan dosis yang cukup. Hal ini
dikarenakan ketoksikan atau keamanan suatu senyawa dipengaruhi oleh jumlah
senyawa yang ada di dalam tubuh (Loomis, 1978).
13
Serangkaian proses perjalanan atau nasib senyawa toksik di dalam tubuh
tersebut mendasari 4 asas utama dalam toksikologi yaitu kondisi efek toksik
(kondisi pemejanan dan kondisi mahluk hidup), mekanisme aksi, wujud, dan sifat
efek toksik. Pemahaman terkait kondisi pemejanan dan kondisi mahluk hidup
akan berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi ketoksikan suatu senyawa,
pemahaman tentang mekanisme aksi akan mempermudah memahami penyebab
timbulnya efek toksik, sedangkan pemahaman terhadap wujud dan sifat efek
toksik akan mempermudah memahami respon tubuh terhadap ketoksikan suatu
senyawa dan tolak ukur kualitatifnya (Donatus, 2005).
a.
Kondisi Efek Toksik
Kondisi pemejanan merupakan faktor yang menentukan keberadaan racun
ditempat aksinya di dalam tubuh yang berkaitan dengan pemejanannya pada diri
mahluk hidup. Kondisi pemejanan meliputi jenis, jalur, lama, kekerapan, dan
takaran pemejanan racun. Ada dua jenis pemejanan, yaitu pemejanan akut dan
kronis. Pemejanan akut berkaitan dengan peristiwa tunggal masuknya sejumlah
racun ke dalam tubuh mahluk hidup. Sedangkan pemejanan kronis merupakan
suatu peristiwa masuknya racun ke dalam tubuh selama beberapa kali, sehingga
efek toksik yang ditimbulkan merupakan akibat dari kumulatif racun di dalam
tubuh.
Jalur pemejanan menentukan
ketersediaan senyawa induk atau
metabolitnya di tempat aksi. Jalur pemejanan juga sangat mungkin akan
mempengaruhi ketoksikan sistemik suatu racun, karena jalur pemejanan
menentukan keefektifan absorbsi pangan. Lama pemejanan racun ialah batas
kurun waktu pemejanan sesuatu terhadap makhluk hidup. Rentang kurun waktu
14
ini adalah satu hari sampai tak terhingga atau sampai dengan hari kematian
makhluk hidup. Kekerapan pemejanan adalah batas pemejanan racun terhadap
makhluk hidup setiap satuan waktu, dengan takaran atau dosis serta melalui jalur
pemejanan tertentu (Donatus, 2005).
Ada beberapa kondisi mahluk hidup yang dapat mempengaruhi keefektifan
antaraksi antara racun dengan sel targetnya, diantaranya berat badan, umur, suhu
tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan alir darah, status gizi,
kehamilan, genetika, jenis kelamin dan ritme sirkardian serta diurnal. Kondisi
patologis seperti penyakit saluran cerna, kardiovaskular, hati, dan ginjal juga
dapat mempengaruhi keefektifan (Donatus, 2005).
b.
Mekanisme Aksi
Mekanisme aksi toksik racun dapat digolongkan menjadi tiga, yakni
mekanisme berdasarkan sifat dan tempat kejadian, berdasarkan sifat antaraksi
antara racun dan tempat aksinya, dan berdasarkan risiko penumpukan racun dalam
gudang penyimpanan tubuh. Berdasarkan sifat dan tempat kejadiannya,
mekanisme aksi toksik dibedakan menjadi mekanisme luka intrasel dan
mekanisme luka ekstrasel. Mekanisme luka intra sel atau mekanisme langsung
merupakan luka yang diawali oleh aksi langsung senyawa beracun di tempat
aksinya di dalam sel, seperti membran sel, DNA dan protein. Sedangkan
mekanisme ekstrasel adalah luka yang terjadi secara tidak langsung, dimana
kondisi luka pada sel terjadi akibat kerusakan yang terjadi pada ekstrasel.
Beberapa contoh mekanisme luka ekstrasel adalah gangguan pasokan oksigen, zat
hara, dan cairan (Donatus, 2005).
15
Berdasarkan sifat antaraksinya, mekanisme luka dibedakan menjadi
terbalikkan dan tidak terbalikkan. Tempat sasaran molekuler yang terlibat dalam
induksi efek toksik diantaranya adalah sisi aktif enzim atau reseptor pada molekul.
Mekanisme aksi ini dibagi menjadi 2 yaitu terbalikkan dan tak terbalikkan.
Berdasarkan risiko penumpukan, mekanisme aksinya dilihat dari kemungkinan
penumpukan senyawa racun yang bersifat lipofil yang sulit dimetabolisme.
Senyawa tersebut seringkali tidak membahayakan pada saat tersimpan karena
berada dalam keadaan inaktif. Akan tetapi ketika senyawa tersebut akhirnya
terlepas secara perlahan dan beredar ke sirkulasi dan meningkatkan kadarnya yang
ada di dalam cairan tubuh. Apabila kadarnya melibihi harga ketoksikan
minumumnya akan menimbulkan efek toksik (Donatus, 2005).
c.
Wujud Efek Toksik
Wujud efek toksik dapat berupa perubahan biokimia, fungsional, dan
struktural. Perubahan biokimia akibat adanya antaraksi racun dengan reseptornya
dapat berupa peningkatan atau pengurangan aktivitas transpor elektron
pembangkit energi di mitokondria, sintesis protein, maupun pergeseran hormonal.
Perubahan fungsional dapat berupa perubahan tekanan darah, efek sedasi sampai
halusinasi. Sedangkan efek perubahan struktural dapat berupa nekrosis,
karsinogenesis, mutagenesis, maupun teratogenesis. Perubahan struktural ini dapat
mengakibatkan respon histopatologis dasar berupa degenerasi, proliferasi, dan
inflamasi, atau perbaikan (Donatus, 2005).
16
d.
Sifat Efek Toksik
Sifat efek toksik suatu racun dapat dibedakan menjadi terbalikkan
(reversible) dan tak terbalikkan (irreversible). Ciri dari efek toksik yang
terbalikkan adalah apabila kadar racun yang ada dalam tempat aksi atau reseptor
tertentu telah habis maka reseptor akan kembali kepada keadaan semula, efek
toksik yang ditimbulkan akan segera kembali kepada kondisi normal, toksisitas
racun tergantung pada takaran serta kecepatan absorpsi, distribusi, dan eliminasi
racun (Loomis, 1978). Ciri dari efek toksik yang tak terbalikkan yaitu kerusakan
yang terjadi sifatnya menetap, pemejanan berikutnya akan menimbulkan
kerusakan yang sifatnya sama sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan
efek toksik. Efek yang ditimbulkan antara pemejanan dengan takaran kecil jangka
panjang sama efektifnya dengan pemaparan dosis besar dalam jangka pendek. Zat
yang dapat menimbulkan efek toksik tak terbalikkan adalah zat racun yang
terakumulasi atau sangat sukar dieliminasi (Loomis, 1978).
5.
Uji Toksikologi
Uji toksikologi merupakan suatu uji yang dilakukan untuk mendeteksi
adanya potensi dari suatu zat yang bersifat racun, dengan melihat kondisi yang
ditimbulkan dan mengkarakterisasi aksinya. Uji ini biasanya dilakukan dengan
tujuan penilaian aspek risiko suatu zat terhadap kesehatan manusia. Uji
toksikologi dapat dibagi menjadi uji in vivo dan in vitro. Uji ketoksikan in vivo
seperti uji ketoksikan akut, uji ketoksikan sub akut, uji ketoksikan kronis dan uji
ketoksikan spesial, sedangkan uji ketoksikan in vitro dilakukan untuk uji
genotoksik (Hodgson, 2004).
17
Menurut Loomis (1996), uji toksikologi dapat dibedakan menjadi uji
ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas didesain
sebagai uji untuk mengevaluasi efek keseluruhan dari suatu senyawa pada hewan
uji. Yang termasuk uji ketoksikan tak khas adalah uji ketoksikan akut, sub akut
dan kronis. Sedangkan uji ketoksikan yang khas, dilakukan untuk mengetahui tipe
ketoksikan
yang
spesifik.
Uji
teratogenisitas,
uji
mutagenisitas,
uji
karsinogenisitas merupakan contoh dari uji ketoksikan yang khas.
6.
Uji Toksisitas Akut
Uji ini dirancang untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan
terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan atau pemberiannya dengan
takaran tertentu. Uji ini dikerjakan dengan cara memberikan dosis tunggal
senyawa uji pada hewan uji (sekurang-kurangnya 2 jenis hewan uji roden dan
nirroden, jantan maupun betina). Takaran dosis yang dianjurkan paling tidak
empat peringkat dosis, berkisar dari dosis terendah yang tidak atau hampir tidak
mematikan seluruh hewan uji sampai dengan dosis tertinggi yang dapat
mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji. Senyawa ini diberikan melalui
jalur yang akan digunakan oleh manusia atau jalur yang memungkinkan manusia
terpejani dengan senyawa itu. Biasanya pengamatan dilakukan selama 24 jam,
kecuali pada kasus tertentu selama 7-14 hari. Pengamatan tersebut meliputi gejalagejala klinis, jumlah hewan yang mati, dan histopatologi organ (Donatus, 2005).
Data kuantitatif yang diperoleh dari uji ketoksikan akut ini adalah LD50
sedangkan data kualitatifnya berupa penampakan klinis dan morfologis efek
18
toksik senyawa uji. Data LD50 yang diperoleh dapat digunakan untuk potensi
ketoksikan akut senyawa relatif terhadap senyawa lain. Selain itu, juga dapat
digunakan untuk memperkirakan takaran dosis uji toksikologi lainnya (Donatus,
2005).
Penentuan LD50 secara konvensional dapat dilakukan dengan metode
grafik Lithfield dan Wilcoxon, metode kertas grafik probit logaritma TainterMiller, dan metode rata-rata bergerak Thompson-Weil yang berdasarkan pada
hubungan antara peringkat dosis dan persen respon. Ketiga metode tersebut
menekankan pada adanya kematian hewan uji sebagai end point dalam
menentukan LD50 (Barile, 2008).
7.
Uji Toksisitas Akut Oral Metode OECD 423
Beberapa metode uji toksisitas akut oral untuk senyawa kimia telah
dipublikasikan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development). Pedoman yang pertama kali deluarkan adalah OECD 401 yang
prinsip ujinya mengelompokkan hewan uji dengan jenis kelamin yang sama ke
dalam beberapa kelompok dosis yang telah ditetapkan. Setiap kelompok terdiri
dari 5 hewan uji dengan jenis kelamin yang sama. Pemberian dosis dilakukan
secara oral dengan dosis bertingkat untuk setiap kelompok. Dilakukan uji kembali
dengan hewan uji dari jenis kelamin yang berbeda (Sitzel & Carr, 1999).
OECD mengeluarkan pedoman nomor 420 (Fixed Dose Procedure), 423
(Acute Toxic Class Method), dan 425 (Up and Down Procedure) untuk
menggantikan metode OECD 401. Semuanya menggunakan hewan uji roden
(tikus atau mencit) dengan jenis kelamin betina. Metode OECD 420
19
mengelompokkan hewan uji ke dalam beberapa kelompok dosis yaitu 5, 50, 300,
dan 2000 mg/kg BB dengan 5 hewan uji pada tiap kelompoknya. Uji pendahuluan
dilakukan dengan satu hewan uji pada tiap dosis sebelum uji utama untuk
menentukan dosis awal. (OECD, 2001b).
Pada metode OECD 425, hewan uji diberi seri dosis dengan faktor
pengalian 3,2 dan dosis yang dipilih harus berada dalam jarak LD50 dari acuan.
Setidaknya menggunakan 1 hewan uji untuk masing-masing dosis. Pemberian
dosis selanjutnya dilakukan berdasarkan satu dosis sebelumnya setelah 48 jam.
Jika hewan uji hidup, maka dosis selanjutnya dinaikkan dengan faktor kenaikan
3,2. Jika hewan uji mati, maka dosis diturunkan dengan faktor penurunan 3,2.
(OECD, 2001c).
Metode uji toksisitas akut OECD 423 merupakan prosedur yang dilakukan
secara bertahap menggunakan 3 hewan uji dengan satu jenis kelamin pada setiap
tahap. Banyaknya tahapan yang dilakukan tergantung pada kematian dan atau
status kesakitan dari hewan uji, diperlukan rata-rata 2-4 tahap untuk menentukan
toksisitas akut suatu senyawa (OECD, 2001a).
Jumlah hewan uji yang digunakan tiap kelompok pada metode OECD
tersebut berbeda - beda. OECD 420 menggunakan 5 hewan uji tiap kelompok
dosis, OECD 423 menggunakan 3 hewan uji tiap kelompok dosis, sedangkan
OECD 425 menggunakan 1 hewan uji tiap pemberian dosis, maksimal 8 hewan
uji. OECD 420 dan 423 menggunakan peringkat dosis tetap yang sama yaitu 5;
50; 300; dan 2000 mg/kgBB serta 5000 mg/kgBB, sedangkan OECD 425 dosis
yang digunakan mengikuti faktor perkalian 3,2 dan harus berada dalam jarak nilai
20
LD50 acuan dengan dosis maksimal 5000 mg/kgBB (OECD, 2001a,b,c). Pada
penelitian ini dilakukan sesuai metode OECD 423 karena hewan uji yang
digunakan relatif sedikit dan peringkat dosis yang digunakan tetap.
Pada metode OECD 423 senyawa uji tidak boleh diberikan pada dosis
yang diketahui dapat menyebabkan luka yang berbekas jelas dan kesakitan karena
korosif atau mengiritasi. Hewan-hewan uji yang sekarat, atau benar-benar
kesakitan atau menunjukkan tanda-tanda keparahan dan menahan stress harus
dikorbankan denagn cara yang manusiawi dan dalam interpretasi dianggap
sebagai hewan uji yang mati karena uji. Pada prinsipnya, metode ini tidak
dimaksudkan untuk menghitung nilai LD50 yang tepat tetapi menentukan rentang
paparan di mana suatu senyawa dapat menimbulkan kematian hewan uji dalam
jumlah banyak atau mayor. Metode ini menentukan LD50 ketika paling tidak dua
harga dosis yang menghasilkan kematian lebih dari 0% dan kurang dari 100%
(OECD, 2001a).
Prinsip uji ini berdasarkan pada prosedur bertahap dengan menggunakan
jumlah minimum hewan uji tiap tahap. Senyawa uji diberikan secara oral kepada
satu kelompok hewan uji pada dosis tertentu. Senyawa uji diuji menggunakan
prosedur bertahap, masing-masing tahap menggunakan tiga hewan uji yang
berjenis kelamin sama (biasanya betina). Ada atau tidaknya kematian hewan uji
yang disebabkan senyawa uji pada satu tahap akan menentukan tahap selanjutnya:
a.
Tidak diperlukan pengujian lebih lanjut
b.
Perlakuan pada tiga hewan uji tambahan dengan dosis yang sama
21
c.
Perlakuan pada tiga hewan uji tambahan pada dosis selanjutnya yang lebih
tinggi atau dosis selanjutnya yang lebih rendah (OECD, 2001a).
Hewan uji roden yang lebih disukai adalah tikus, walaupun spesies roden
lain dapat digunakan. Biasanya jenis kelamin yang direkomendasikan adalah
betina. Hal ini karena dari survei literatur pada uji LD50 konvensional
menunjukkan bahwa, walaupun terdapat sedikit perbedaan sensitifitas di antara
jenis kelamin, secara umum betina lebih sensitif. Akan tetapi jika diketahui
toksikologi atau toksikokinetik senyawa yang akan diuji mungkin pada hewan uji
jantan lebih sensitif maka hewan uji jantan dapat digunakan. Digunakan hewan
uji yang sehat,
berusia 8-12 minggu, dan beratnya kurang lebih 200 gram
(OECD, 2001a).
Suhu laboratorium seharusnya 22oC (± 3oC). Kelembaban relatif ruangan
sebaiknya paling tidak 30% dan tidak lebih 70% lain dengan pada saat ruangan
dibersihkan sebaiknya 50-60%. Pencahayaan diatur agar tersedia 12 jam terang
dan 12 jam gelap. Hewan uji dipilih secara acak, ditandai untuk identifikasi
individu, dan diaklimatisasi (dibiasakan) pada kondisi laboratorium selama paling
tidak 5 hari (OECD, 2001a).
Volume pemejanan seharusnya tidak melebihi volume dosis maksimal.
Volume maksimal pemberian senyawa uji tergantung dari berat hewan uji. Pada
roden, volume pemberian sebaiknya tidak melebihi 1ml/100 gramBB, akan tetapi
pada larutan yang mengandung air dapat diberikan 2ml/100 gramBB. Disarankan
untuk
menggunakan
memungkinkan,
jika
larutan/suspensi/emulsi
tidak
bisa,
yang
disarankan
pelarutnya
untuk
air
jika
menggunakan
22
larutan/suspensi/emulsi yang pelarutnya minyak (misalnya minyak jagung).
Senyawa uji dibuat baru pada saat hendak pemejanan agar stabilitasnya terjaga
dan dapat diterima (OECD, 2001a).
Senyawa uji diberikan dalam dosis tunggal secara oral menggunakan
stomach tube atau intubation canula yang sesuai. Jika dosis tunggal tidak
memungkinkan, pemejanan dapat dilakukan berulang dengan fraksi lebih kecil
dalam waktu tidak lebih dari 24 jam. Hewan uji dipuasakan sebelum pemejanan.
Untuk tikus, dipuasakan dalam arti tidak diberi makanan tetapi diberi minum
dalam waktu semalam sebelum pemejanan. Diikuti dengan penimbangan hewan
uji dan pemejanan senyawa uji. Setelah senyawa uji diadministrasikan, makanan
tidak dapat diberikan selama 3-4 jam pada tikus (OECD, 2001a).
Tiga ekor hewan uji digunakan pada setiap step dosis. Level dosis yang
digunakan sebagai starting dose dapat dipilih dari empat level yang telah
ditetapkan yaitu 5, 50, 300, dan 2000 mg/kgBB. Starting dose yang dipilih sebisa
mungkin dosis yang bisa menimbulkan kematian pada sebagian dari hewan uji.
Ketika ada data valid yang dapat memberikan informasi bahwa kematian hewan
uji tidak akan terjadi pada starting dose yang tertinggi (2000 mg/kgBB), maka
perlu dilakukan limit test. Ketika tidak ada informasi yanhg memadai mengenai
senyawa uji dan ketoksikannya, maka dosis yang direkomendasika sebagai
starting dose adalah 300 mg/kgBB. Perlakuan pada hewan uji dosis selanjutnya
harus dilakukan setelah mendapat kepastian bahwa hewan uji pada perlakuan
sebelumnya tidak mati (OECD, 2001a).
23
Limit test digunakan ketika situasi di mana terdapat informasi bahwa
senyawa uji yang digunakan kemungkinan tidak toksik atau baru akan
memperlihatkan gejala-gejala toksik pada dosis di atas limit dose yang biasa
digunakan. Limit test pada dosis 2000 mg/kgBB dilakukan dengan enam hewan
uji (tiga hewan uji tiap step) dan limit test pada dosis 5000 mg/kgBB dialkukan
dengan tiga hewan uji. Apabila terjadi kematian hewan uji, dilakukan uji lebih
lanjut dengan dosis selanjutnya yang lebih rendah (OECD, 2001a).
Hewan uji diamati secara individual setelah pemejanan paling tidak sekali
selama 30 menit pertama, secara periodik selama 24 jam, dengan perhatian khusus
selama 4 jam pertama, dan setiap hari hingga 14 hari, kecuali di mana hewan uji
perlu dibunuh secara manusiawi atau ditemukan mati. Akan tetapi, durasi
pengamatan tidak boleh ditetapkan secara kaku. Tergantung pada reaksi toksik,
onset dan lamanya waktu pemulihan. Pengamatan meliputi perubahan pada kulit
dan bulu, mata dan membran mukosa, pernafasan, sirkulasi, otonomi, dan sistem
saraf pusat, aktivitas somatotor, serat pola perilaku. Perhatian juga harus ditujukan
pada tremor, kejang, salivasi, diare, tidur, dan koma. Hewan uji yang
menunjukkan kesakitan yang parah dan alam keadaan sekarat atau dalam kondisi
menahan penderitaan yang parah harus dikorbankan (OECD, 2001a).
Bobot setiap hewan uji ditimbang sebelum pemejanan dan paling tidak
seminggu sekali setelah pemejanan. Perubahan berat badan sebaiknya dihitung
dan dicatat. Pada akhir uji, hewan uji yang masih hidup ditimbang dan
dikorbankan. Semua hewan uji dinekropsi dan diambil organ-organnya untuk
dilakukan pengamatan histopatologi (OECD, 2001a).
24
8.
Histopatologi
Histologi adalah ilmu yang mempelajari jaringan tubuh dan bagaimana
jaringan-jaringan tersebut menyusun organ-organ (Junqueira & Carneiro, 2005).
Histopatologi adalah cabang dari patologi yang berpusat pada penemuan dan
diagnosis penyakit dari hasil pemeriksaan jaringan. Jaringan berasal dari biopsi
yang dimasukkan dalam cairan fiksasi dan dikirim ke laboratorium histopatologi
(Underwood, 2000). Bahan fiksasi yang sering digunakan adalah formalin 10%.
Pewarna yang sering digunakan dalam pengamatan ini adalah kombinasi dari
hematoksilin dan eosin. Hematoksilin mewarnai inti dan struktur asal lainnya dari
sel (seperti pada bagian sitoplasma yang kaya RNA dan matriks tulang rawan)
menjadi biru. Eosin akan mewarnai sitoplasma dan kolagen menjadi merah muda
(Junqueira & Carneiro, 2005).
Organ-organ yang biasanya diamati pada pemeriksaan histopatologis
adalah :
a.
Hati
Hati memiliki fungsi metabolisme paling kompleks di dalam tubuh, yaitu
metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Bahan toksik
dapat menyebabkan perubahan pada sel-sel hati, sehingga mengakibatkan
perlemakan hati, nekrosis hati, kolestasis dan sirosis (Lu, 1995).
b.
Ginjal
Ginjal merupakan salah satu organ yang rentan terhadap efek toksik,
karena ginjal menerima 25% dari cardiac output, sehingga sering dan mudah
25
kontak dengan zat kimia dalam jumlah besar. Secara mendasar ginjal akan
mendapat efek langsung dari senyawa toksik (Lu, 1995).
c.
Paru-paru
Paru-paru merupakan bagian dari sistem pernafasan. Saat proses
pernafasan berlangsung, ada kemungkinan terjadi toksisitas yang diakibatkan oleh
adanya suatu bahan kimia di udara, sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan
epitel dan jaringan dalam bentuk degenerasi, proliferasi dan inflamasi.
d.
Jantung
Jantung merupakan target potensial dan mudah diserang oleh toksin.
Sejumlah besar obat dan bahan kimia dapat menyebabkan berbagai kerusakan
tingkat seluler jantung dengan mekanisme yang berbeda.
e.
Lambung
Lambung secara histologi terdiri dari beberapa bagian, yaitu mukosa,
kelenjar lambung, dan tunika muskularis. Obat atau senyawa kimia sebagian besar
dikonsumsi melalui oral dan akan masuk dalam lambung, sehingga lambung dapat
terpapar secara langsung oleh senyawa toksik.
f.
Usus
Usus merupakan organ pencernaan, sehingga setelah obat atau senyawa
kimia dikonsumsi secara oral melalui lambung, zat tersebut akan masuk ke dalam
usus.
26
g.
Limpa
Limpa merupakan organ limfoid sekunder yang berfungsi untuk menahan
agen asing atau zat toksik yang berhasil mencapai sirkulasi darah agar tidak
menyebar lebih luas.
Perubahan spesifik yang sering muncul pada sel dari suatu organ sebagai
respon akibat masuknya bahan toksik diantaranya adalah degenerasi hidropik,
infiltrasi, radang, edema, atropi, kongesti, dan nekrosis. Degenerasi merupakan
perubahan akibat luka yang tidak fatal dan dapat pulih kembali (reversibel).
Degenerasi hidropik merupakan gangguan metabolisme atau karena keracunan
bahan makanan. Hal ini mengakibatkan pembengkakan sel dengan penimbunan
lebih banyak air dan metabolit dalam vakuola yang terbentuk di sitoplasma.
Secara mikroskopis organ yang mengalami degenerasi hidropik akan terlihat
membesar, lebih pucat dan konsistensinya lebih rapuh (Underwood, 1999).
Infiltrasi adalah terjadinya penumpukan metabolit seperti air, lemak dan
aneka ragam jenis inklusi dalam jumlah berlebih karena adanya luka pada sel
(Donatus, 2005). Sedangkan radang atau inflamasi adalah respon yang timbul
akibat adanya benda asing atau terjadinya perubahan spesifik atau kerusakan pada
jaringan secara langsung, baik karena bahan kimia, trauma mekanis, maupun
pengaruh fisik.
Edema merupakan adanya cairan berlebihan pada jaringan tubuh. Edema
terutama terjadi pada kompartemen cairan ekstrasluler, tetapi juga dapat
melibatkan cairan intraseluler. Perubahan spesifik berupa atropi adalah
mengecilnya sel atau berkurangnya jumlah sel yang biasanya menyebabkan
27
penyusutan atau pengkerutan jaringan atau organ yang terpengaruh (Donatus,
2005).
Kongesti terjadi dengan meningkatnya volume darah akibat pelebaran
pembuluh darah kecil. Kongesti akan menyebabkan venula dan kapiler semakin
permeabel. Selain terganggunya sirkulasi darah, kongesti juga menyebabkan selsel hati mengalami degenerasi atau akan berlanjut pada nekrosis karena
kekurangan nutrien dan oksigen. Nekrosis adalah kematian sel dalam diri makhluk
hidup, dan merupakan respon degenerasi terhadap luka sel yang sering sekali
dijumpai. Kejadian ini merupakan hasil akhir dari berbagai macam mekanisme
luka sel baik intrasel maupun ekstrasel (Donatus, 2005).
F. Landasan Teori
Berdasarkan penelitian terdahulu, bahwa pemberian ekstrak metanol daun
sambung nyawa pada dosis 1000-5000 mg/kg tidak menyebabkan kematian
hewan uji tikus galur Sprague Dawley jantan dan betina, serta tidak menunjukkan
perubahan signifikan pada perilaku umum, berat badan maupun berat organ.
Ekstrak air daun sambung nyawa yang diberikan secara oral pada tikus betina
galur Wistar mempunyai nilai LD50 cut off tidak terklasifikasi atau termausk
kategori praktis tidak toksik.
Uji toksisitas akut oral ekstrak senna pada tikus jantan dan betina
diperoleh nilai LD50 > 10 g/kgBB, tidak menyebabkan penurunan berat badan dan
pada hasil pengamatan organ tidak terjadi perubahan morfologi pada hewan uji.
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa uji toksisitas pada tikus jantan dan
28
betina galur Sprague Dawley yang diberikan ekstrak senna setiap hari selama 13
minggu tidak menyebabkan ketoksikan pada organ hewan uji. Ekstrak daun senna
yang diberikan pada tikus Wistar) selama 4 – 8 minggu juga tidak menyebabkan
perubahan berat badan, konsumsi makanan dan minuman, dan tidak
mempengaruhi morfologi maupun fungsi hati.
Pemberian ekstrak etanol rimpang kunyit maupun kurkumin secara oral
pada uji intoksikasi akut pada tikus menunjukkan bahwa ekstrak etanol rimpang
kunyit dan kurkumin bersifat tidak toksik. Berdasarkan pada penelitian toksisitas
yang telah dilakukan, ketiga ekstrak tersebut yaitu ekstrak daun sambung nyawa,
daun senna, dan kunyit termasuk kategori tidak toksik. Namun ketika ketiganya
dikombinasi ada kemungkinan terjadinya interaksi dari ketiga ekstrak tersebut dan
munculnya efek toksik terhadap tikus betina galur Wistar yang belum diketahui,
sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap toksisitas akut kombinasi ketiga
ekstrak tersebut.
G. Hipotesis
Sediaan penurun kolesterol berupa ekstrak daun sambung nyawa, daun
senna, dan kunyit diduga tidak menimbulkan efek toksik, tidak menyebabkan
kematian hewan uji serta tidak menyebabkan perubahan yang spesifik pada organ
vital hewan uji.
Download