kerangka sistem pembayaran jasa lingkungan

advertisement
KERANGKA SISTEM PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN
(Payment for Environmental Service, PES)
SUB DAS GOPGOPAN
KABUPATEN TOBA SAMOSIR
Ir. DJATIPAN MANULLANG, MM
Lokal Consultant Payment for Environmental Services (PES)
Project SCBFWM – Regional North Sumatera, 2012
PROJECT SCBFWM REGIONAL SUMATERA UTARA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan
segala rahmatnya sehingga dokumen kerangka Sistem Pembayaran Jasa
Lingkungan di DAS Asahan Toba khususnya di Sub DAS Gopgopan
Kabupaten Toba Samosir ini dapat dipublikasikan. Dokumen ini memuat
kajian tentang rencana pengolahan DAS terpadu dengan dukungan
pembiayaan jangka panjang.
Kita menyadari banyaknya bencana nasional yang melanda negeri ini
sebagai dampak dari terjadinya degradasi lingkungan seperti banjir,
kekeringan dan tanah longsor yang mengakibatkan kerugian material bahkan
hilangnya nyawa manusia yang kesemuanya diakibatkan oleh kecerobohan
dalam mengelola DAS.
Tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup bukan semata-mata
menjadi tanggungjawab pemerintah melainkan tanggung jawab kita bersama.
Pelestarian hutan dan DAS membutuhkan koordinasi dan biaya yang besar.
Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for Environmental Services
= PES) diajukan merupakan solusi yang kreatif untuk jangka panjang.
Akhirnya kami mengucapkan terimakasih kepada UNDP, GEF,
Departemen Kehutanan dan SCBFWM Regional Sumatera Utara yang
menyediakan dana dan memberi kesempatan kepada kami untuk menyusun
dokumen ini. Dan secara khusus kepada jajaran Pemerintah Kabupaten Toba
Samosir atas penyediaan data, informasi dan masukan konstruktif. Semoga
ada manfaatnya.
Pematang Siantar,
Desember 2012
Ir. Djatipan Manullang, MM
Local Consultant PES
SAMBUTAN
KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
KABUPATEN TOBA SAMOSIR
Kami menyambut baik penerbitan “Dokumen Kerangka Sistem
Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for environmental services, PES) di
DAS Asahan Toba khususnya Sub DAS Gopgopan Kabupaten Toba
Samosir, sebagai wujud nyata kerjasama Pemkab Toba Samosir dengan
pihak SCBFWM Regional Sumatera Utara.
Dokumen ini memiliki nilai penting sebagai refrensi dalam menyusun
rencana pembangunan, khususnya menyangkut pengelolaan DAS. Kami
yakin analisis berbagai permasalahan yang dibahas dan disajikan dalam
dokumen ini dapat mewakili semua permasalahan menyangkut DAS yang
terbentang luas di Kabupaten Toba Samosir.
Kami menyampaikan apresiasi dan ucapan terimakasih kepada
Kepala BPDAS Asahan Barumun dan SCBFWM Regional Sumatera Utara
yang telah memberi kepedulian terhadap pengelolaan DAS dan tambahan
referensi dalam perencanaan pembangunan daerah.
Akhirnya kami berharap publikasi ini bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkannya.
Balige,
Desember 2012
KEPALA BAPPEDA
Kabupaten Toba Samosir
JAMES SILABAN, SH
SAMBUTAN
KEPALA BP – DAS ASAHAN BARUMUN
Kita bersyukur dengan terbitnya buku dokumen Kerangka Sistem
Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Asahan Toba khususnya di Sub DAS
Gopgopan di wilayah Kabupaten Toba Samosir merupakan sumbangan
pemikiran dan gagasan tentang pengelolaan DAS terpadu yang didukung
dengan pembiayaan jangka panjang.
Perlu disadari bahwa degradasi lingkungan telah membawa dampak
yang berat dan meningkat dari tahun ke tahun. Dimana deforestasi hutan dan
DAS adalah penyumbang terbesar terhadap degradasi dimaksud.
Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for environmental
services) adalah merupakan solusi alternatif yang telah diterapkan baik pada
negara maju maupun negara sedang berkembang, dan telah mulai
dilaksanakan pada beberapa DAS di Indonesia, kita berharap pelaksanaan
sistem yang relatif baru ini dapat berkembang walaupun pelaksanaannya
didasarkan kepada kesadaran masing-masing pihak, namun diyakini dapat
menjadi solusi dalam jangka panjang.
Akhirnya, saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih
kepada pihak SCBFWM beserta timnya dan pihak-pihak lain yang telah
berpartisipasi sehingga dokumen kerangka sistem pengembayaran jasa
lingkungan ini dapat dipublikasikan.
Pematang Siantar,
Desember 2012
KEPALA BALAI
Ir. Rukma Dayadi, M.Si
NIP. 19671013 199303 1 003
SEKAPUR SIRIH
REGIONAL FASILITATOR SCBFWM REGIONAL SUMATERA UTARA
Dokumen kerangka sistem Payment for Environmental Services (PES)
di Sub DAS Gopgopan, DAS Asahan Toba ini adalah merupakan bagian dari
rencana yang dibebankan dalam project SCBFWM Regional Sumatera Utara
tahun 2012, memuat analisis terhadap masalah, hingga skema pengelolaan
jasa lingkungan di Sub DAS Gopgopan khususnya dan di DAS Asahan Toba
umumnya.
Kita menyadari bahwa pengelolaan DAS bukan hanya tanggung jawab
pemerintah, melainkan tanggung jawab semua lapisan masyarakat beserta
para pemangku kepentingan. Dalam publikasi ini telah dibahas berbagai
permasalahan DAS beserta alternatif pengelolaannya dalam jangka panjang
dalam bentuk skema pembayaran jasa lingkungan.
Akhirnya saya mengucapkan terimakasih kepada konsultan yang telah
menyusun dokumen kerangka sistem Payment for Environmental Services
(PES) ini, dan kita berharap dapat bermanfaat dalam upaya pelestarian
lingkungan hidup khususnya pengelolaan DAS.
Pematang Siantar, Desember 2012
SCBFWM Regional Sumatera Utara
Ir. M. KHAIRUL RIZAL, M.Si
Regional Fasilitator
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................
i
SAMBUTAN KEPALA BAPPEDA TOBA SAMOSIR ....................................
ii
SAMBUTAN KEPALA BP DAS ASAHAN BARUMUN .................................
iii
SEKAPUR SIRIH REGIONAL FASILITATOR SCBFWM REGIONAL
SUMATERA UTARA ....................................................................................
iv
DAFTAR ISI .................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
ix
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................
I-1
1.2 Isu Strategis ..........................................................................
I-5
1.3 Tujuan ...................................................................................
I-6
1.4 Sasaran Wilayah ..................................................................
I-6
1.5 Batasan Studi........................................................................
I-6
1.6 Metodologi ............................................................................
I-8
1.6.1 Metode dan Pengambilan Data ...................................
I-8
1.6.2 Jenis Data ....................................................................
I-8
1.6.3 Kerangka Pendekatan .................................................
I-8
1.6.4 Pengumpulan Data ...................................................... I-10
1.6.5 Metode Observasi........................................................ I-10
1.6.6 Metode Wawancara ..................................................... I-10
1.6.7 Kerangka Pemikiran .................................................... I-10
1.6.8 Teknik Penyusunan ..................................................... I-13
1.7 Kajian Karakteristik Wilayah.................................................. I-13
1.8 Kajian Sumber Pembiayaan.................................................. I-14
BAB II
KONSEP JASA LINGKUNGAN DAN PEMBAYARAN JASA
LINGKUNGAN DI INDONESIA
2.1 Defenisi Penting ....................................................................
II-1
2.2 Jasa Lingkungan Hutan ........................................................
II-2
2.3 Sifat Jasa Lingkungan ...........................................................
II-3
2.4 Manfaat Ekonomi ..................................................................
II-5
2.5 Prinsip Pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan........
II-7
2.6 Indikator Target Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa
Lingkungan (RPJM Nasional 2010 – 2014)...........................
BAB III
II-7
PENGENALAN DAN CONTOH KASUS PAYMENT FOR
ENVIROMETAL SERVICES (PES) DI INDONESIA
3.1 PES Sebagai Instrumen Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Berbasis Pasar ........................................ III-2
3.2 Struktur Mekanisme PES ...................................................... III-3
3.3 PES sebagai Instrumen yang Pro Environment, Pro Growth,
Pro Poor dan Pro Job............................................................ III-6
3.4 Acuan Umum Pelaksanaan PES .......................................... III-7
3.5 Beberapa Contoh Implementasi PES di Indonesia ............... III-10
3.5.1 PJL Sumber Jaya Lampung ........................................ III-10
3.5.2 PJL Lombok ................................................................. III-14
3.5.3 PJL Kuningan .............................................................. III-17
3.5.4 PJL Lainnya ................................................................. III-18
BAB IV
KEADAAN UMUM SUB DAS GOPGOPAN
4.1 Karakteristik Wilayah di Sub DAS Gopgopan ....................... IV-1
4.1.1 Lokasi Sub DAS Gopgopan ......................................... IV-2
4.1.2 Bentuk Fisik Wilayah DAS ........................................... IV-4
4.1.3 Hidrologi dan Kualitas Air ............................................ IV-10
4.1.4 Drainase Wilayah......................................................... IV-11
4.2 Jumlah dan Perkembangan Penduduk ................................. IV-12
4.2.1 Kependudukan ............................................................ IV-12
4.2.2 Mata Pencaharian........................................................ IV-13
4.2.3 Kelembagaan .............................................................. IV-13
4.2.4 Lembaga Formal.......................................................... IV-14
4.2.5 Lembaga Informal ........................................................ IV-14
4.2.6 Identifikasi Masalah ..................................................... IV-14
4.3 Potensi Tanaman Lokal jenis HHBK ..................................... IV-15
4.4 Aliran Sungai dan Penggunaan Air ....................................... IV-16
4.4.1 Aliran Sungai ............................................................... IV-16
4.4.2 Penggunaan Air ........................................................... IV-17
BAB V
KAJIAN SUMBER PEMBIAYAAN
5.1 Dukungan Pemerintah .......................................................... V-1
5.2 Dukungan Pemerintah Provinsi ............................................. V-2
5.3 Sumber Pembiayaan Lokal ................................................... V-6
BAB VI SKEMA PES SUB-DAS GOPGOPAN ........................................ VI-1
1.
Kesepakatan yang diatur sendiri ........................................... VI-2
2.
Skema Pembayaran Publik ................................................... VI-2
3.
Skema Pasar Terbuka .......................................................... VI-2
4.
Kebijakan dan Strategi .......................................................... VI-9
BAB VII PENUTUP....................................................................................
DAFTAR LITERATUR
Lampiran I
RENCANA KEGIATAN PARTIPASI MASYARAKAT DI SUB
DAS GOPGOPAN
VII-1
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Barang ........................................................................
II-4
Tabel 2.2 Karakteristik Jasa Lingkaran ........................................................
II-4
Tabel 3.1 Implementasi PJ di Indonesia ...................................................... III-18
Tabel 4.1 Jumlah Daerah Aliran Sungai (Catchman Area / Danau Toba) ... IV-3
Tabel 4.2 Luas Administrasi Sub DAS Gopgopan ....................................... IV-4
Tabel 4.3 Panjang sungai setiap ordo Sub DAS Gopgopan ........................ IV-9
Tabel 4.4 Debit Sunagai Sub DAS Gopgopan ............................................. IV-10
Tabel 4.5 Curah Hujan Sub DAS Gopgopan ............................................... IV-10
Tabel 4.6 Data Tata Air Sub DAS Gopgopan .............................................. IV-11
Tabel 4.7 Jumlah Penduduk di Wilayah Sub DAS Gopgopan ..................... IV-13
Tabel 5.1 Pembagian Wilayah Kabupaten Kota di Sumatera Utara
Menurut Wilayah Pembangunan.................................................. V-4
Tabel L.1 Pembagian
Wilayah
Sub
DAS
Gopgopan
Menurut
Penggunaannya........................................................................... L-15
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Tahapan Pengembangan PES .............................................
Gambar 1.2
Kerangka Pendekatan Pengembangan Skema Pembayaran
Jam Lingkungan (PJL) ..............................................................
I-7
I-9
Gambar 1.3
Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian............................ I-12
Gambar 1.4
Kerangka Penyusunan Dokumen PES ................................. I-13
Gambar 3.1
Berbagai Tipe Jasa Lingkungan ............................................ III-2
Gambar 3.2
Struktur Mekanisme PES ...................................................... III-6
Gambar 3.3
Langkah Dalam Pelaksanaan PES ....................................... III-9
Gambar 3.4
Skema PJL di Sumber Jaya Lampung Barat ........................ III-12
Gambar 3.5
Skema PJL Lombok Barat .................................................... III-16
Gambar 3.6
Skema PJL Cirebon – Kuningan ........................................... III-18
Gambar 4.1
Bentuk Sub DAS Gopgopan Secara Vertikal ........................ IV-5
Gambar 4.2
Bentuk Sub DAS Gopgopan Secara Horizontal .................... IV-6
Gambar 4.3
Ketinggian Rata-rata Sub DAS Gopgopan ............................ IV-7
Gambar 4.4
Gradien Sungai Utama Sub DAS Gopgopan ........................ IV-8
Gambar 4.5
Posisi Wilayah Pemerintahan Otonomi dan Perusahaan /
Masyarakat ............................................................................... IV-18
Gambar 5.1
Sungai Asahan dari Danau Toba Bermuara di Kabupaten
Asahan ..................................................................................... V-6
Gambar 6.1
Ilustrasi Pembagian Jasa Lingkungan .................................. VI-1
Gambar 6.2
Sub DAS Gopgopan (Hulu – Hilir) ......................................... VI-4
Gambar 6.3
Skema PES Sub DAS Gopgopan ......................................... VI-7
Gambar L-1
Pengelolaan DAS Terpadu ...................................................
Gambar L-2
Proses
Berulang
(Interative
Process)
Perencanaan
Pengelolaan DAS Terpadu .......................................................
Gambar L-3
L-2
L-6
Kearifan Lokal ....................................................................... L-11
DAFTAR SINGKATAN
APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Asita
Assosiation of The Indonesia Tour & Travel Agencies
Bappeda
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BLU
Badan Layanan Umum
BPDAS
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
CBO
Community Based Organization
CD
Community Developmen
CSR
Corporiate Social Responsibilities
DAK
Dana Alokasi Khusus
DAS
Daerah Aliran Sungai
DAU
Dana Alokasi Umum
DPR
Dewan Perwakilan Rakyat
DTA
Daerah Tangkapan Air
EPI
Environmental Pervormance Index
GEF
Global Enviroment Facility
HKm
Hutan Kemasyarakatan
ICRAF
International Council for Agriforestry
IMP
Institusi Multipihak
LLASDF
Lalu Lintas Air Sungai Danau dan Ferry
LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat
MEA
Millenium Ecosystem Assessment
Monev
Monitoring dan Evaluasi
MoU
Memorandum of Understanding
NET
Nilai Ekonomi Total
NGO
Non Goverment Organization
PDAM
Perusahaan Daerah Air Minum
PDRB
Pendapatan Domestik Regional Bruto
Perda
Peraturan Daerah
PES
Payment for Environmental Services
PHRI
Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia
PJL
Pembayaran Jasa Lingkungan
PLTA
Pembangkit Listrik Tenaga Air
PMA
Penanaman Modal Asing
PMDN
Penanaman Modal Dalam Negeri
PPLH
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
PSDA
Pelestarian Sumber Daya Alam
PT
Perseroran Terbatas
RPJM
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RUPES
Rewards for Upland Poor Enviromental Services
SCBFWM
Strengthening Community Based Forest and Watershed
Management Project
SDH
Sumber Daya Hutan
SKPD
Satuan Kerja Perangkat Daerah
UNDP
United Nations Development Programme
USAID
United States Agency for International Development
WTA
Willingness to Aecept
WTP
Willingnes to Pay
WWF
World Widife Fund
Lampiran
RENCANA KEGIATAN PARTISIPASI MASYARAKAT
DI SUB-DAS GOPGOPAN
1.
Perencanaan DAS Terpadu
Pada
dasarnya
data
perencanaan
program
atau
kegiatan
perencanaan pengelolaan suatu DAS tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lain atau memprioritaskan satu atau lebih dari pada yang lain, karena
perencaan pengelolaan DAS ini merupakan suatu program atau kegiatan
yang harus dilaksanakan secara berkesimbangan dan saling terkait antara
satu program dengan program yang lain. Tetapi program yang menjadi
priositas bagi pengelolaan DAS adalah program penyuluhan terhadap
penduduk pada kawasan DAS tersebut akan pentingnya menjaga kelestarian
DAS yang bermanfaat bagi masyarakat dan juga bermanfaat bagi satwa yang
beraneka ragam pada kawasan DAS. (Irwato, 2006)
Konsep perencanaan DAS tertanta dengan cirri sebagai berikut :
a. Hutan masih dominasi
b. Satwa masih baik
c. Lahan pertanian masih kecil
d. Belum ada pencatatan hidrometri
e. HPH disiapkan untuk beroperasi
Pengelolaan DAS memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat
bagi instansi terkait dalam berkordinasi dan merencanakan kebijakan
pengelolaan DAS. Dalam perencanaan pengelolaan DAS dengan ciri-ciri
DAS yang masih alami dan kondisi tersebut di atas, ada beberapa langkah
atau tahapan yang harus dilakukan antara lain :
-
Mengidentifikasikan permasalahan
-
Menentukan sasaran dan tujuan pengelolaan
-
Alternatif kegiatan/program dan implementasinya
-
Menaksir atau mengevaluasi dampak dari kegiatan pengelolaan
-
Prioritas program atau kegiatan pengelolaan DAS
1.
2.
3.
4.
5.
Kondisi DAS
Hutan masih dominasi
Satwa masih baik
Lahan pertanian masih kecil
Belum ada pencatatan hidrometri
HPH disiapkan untuk beroperasi
PERENCANAAN PNGELOLAAN
DAS TERPADU
KETRPADUAN INSTANSI
Kehutanan
Perkebunan
Pertanian
Pekerjaan Umum
BMG
Perindustrian, dll
KETERPADUAN SUMBER
DAYA
Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Hutan
Sumber Daya Tanah
Sumber Daya Air
Identifikasi Masalah
Menetukan Sasaran dan Tujuan
Evaluasi Dampak Kegiatan
Pengelolaan
Prioritas Program Pengelolaan
DAS
Gambar L-1 : Pengelolaan DAS Terpadu
1.1.
Mengidentifikasi Permasalahan
Permasalahan yang dapat diidentifikasi dari Kondisi DAS yang
dikelola, antara lain :
•
Perlu adanya program untuk menjaga fungsi hutan sebagai kawasan
konservasi air sehingga dapat meningkatakan stabilitas tata air dan
stabilitas tanah di kawasan DAS.
•
Perlu menjaga keberadaan vegetasi sebagai habitat satwa baik itu habitat
makan, tidur bermain maupun berbagai jenis satur yang ada.
•
Perlu pembuatan stasiun hidrometri untuk memantau perkembangan
pengelolaan DAS dan pembuatan prasarana air.
•
Perlu meningkatkan perilaku masyarakat kearah kegiatan konservasi dan
peningkatan pendapatan petani.
•
Perencanaan HPH sesuai prosedur di kawasan tersebut agar tidak
merusak ekosistem DAS yang masih alami.
1.2.
Menentukan Sasaran dan Tujuan Pengelolaan.
Sasaran dan tujuan yang dapat ditentukan dalam perencanaan DAS
ini adalah :
a. Sasaran
•
Menjaga kelestarian air pada kawasan DAS
•
Menjaga keberadaan satwa atau kelestarian satwa yang masih baik
pada kawasan DAS
•
Meningkatkan kesadaran masyarakat yang ada di kawasan DAS akan
pentingnya menjaga kelestarian Sumber Daya Alam.
•
Pengendalian pengoperasian HPH agar tidak merusak ekosistem DAS
yang masih alamiah pada kawasan DAS.
b. Tujuan
Dengan perencanaan program atau kegiatan pengelolaan DAS yang
terpadu diharapkan dapat menjaga ketersediaan air, kelestarian satwa,
peningkatan pendapatan penduduk, pemanfaatan Sumber Daya Hutan tetapi
tidak merusak ekosistem DAS dan mengetahui perkembangan pengelolaan
DAS.
1.3.
Alternatif Kegiatan/Program dan Implementasian Program.
Dari permasalahan yang telah diidentifikasikan di atas untuk
melakukan perencanaan pengelolaan DAS, kita dapat melaksanakan
program-program antara lain :
•
Pembuatan peraturan-peraturan yang mengikat seluruh lapisan
masyarakat yang ada dalam peraturan menyangkut bagaimana
menjaga kawasan DAS agar tetap lestari.
•
Pembalakan hutan tidak dilakukan dengan cara memotong atau
menuju area aliran sungai dan pembuatan jalan sarad juga tidak
menyeberangi sungai, HPH tidak boleh beroperasi di daerah-daerah
penyangga (buffer area) dengan lebar bervariasi HPH tidak boleh
beroperasi di daerah hulu karena area tersebut merupakan arean
konservasi untuk menjaga keberlanjutan fungsi hidrologi.
•
Pembuatan master plan pertanian terpadu berwawasan lingkungan
(sutainable agriculture) bagi masyarakat yang berada di wilayah DAS.
1.4.
Menaksir atau mengevaluasi Dampak dari Kegiatan Pengelolaan.
Konsekwensi atau Dampak yang timbul dari kegiatan ataupun
program-program pengelolaan DAS yang telah ditetapkan ada yang
berdampak positif dan ada yang berdampak negatif.
•
Dampak Positif yaitu :
Jika kegiatan atau program-program yang ada dilaksanakan dengan
baik, penuh rasa tanggung jawab serta rasa memiliki akan pentingnya
kelestarian lingkungan oleh seluruh pihak atau stakeholder yang terkait
dengan pemanfaatan kawasan DAS, maka secara langsung keberadaan
DAS yang masih alami dengan kondisi tersebut di atas tetap dapat
dipertahankan dan kelestariannya tetap dapat terjaga, baik itu lingkungannya
maupun satwa yang ada didalamnya.
•
Dampak Negatif yaitu :
Dampaknya terhadap prilaku hidrologi, yang mencakup iklim seperti
curah hujan, suhu dan evaporasi, data air larikan, debit air sungai dan potensi
air tanah. Sehingga perlu pemantauan terhadap data-data tersebut yang
nantinya dapat digunakan untuk program evaluasi.
1.5.
Keterpaduan Program Kegiatan Pengelolaan DAS
Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh
merupakan konsekwensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan
Sumber Daya Hutan, tanah dan air kurang tepatnya perencanaan dapat
menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan buruk dalam
upaya
menciptakan
menyeluruh,
pendekatan
berkelanjutan
dan
pengelolaan
berwawasan
DAS
secara
terpadu,
lingkungan
dengan
mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pngelolaan.
Identifikasi Kebutuhan
Sektoral
Kebijakan
Initiatif Proses Perencanaan Pemerintah
Arahan
Pusat Perencanaan
Pedoman
Tujuan / Sasaran
Evaluasi
Evaluasi
Kendala
Dewan DAS
Nasional
Dewan
Penasehat
Partisipasi
Masyarakat
Sistem Pengumpulan
Data dan Informasi
Formulasi Alternatif
Kegiatan
Analisis Alternatif
Yang Diusulkan
Aspek Kwantitatif
Landasan Manfaat
dan Biaya
+
Aspek Semi Kwantitatif
Dampak Lingkungan
Dampak Sosial
+
Aspek Kwalitatif
Dampak Ekologi
Penting
Pemilihan Rencana
Terbaik
Implementasi
Gbr. L.2. Proses Berulang (Interative Process) Perencanaan
Pengelolaan DAS Terpadu
Sumber : Irwanto, 2006.
2.
Perencanaan Wilayah Sub-DAS Gopgopan
Pengelolaan Sub-DAS Gopgopan terpadu mangandung pengertian
bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang mengangkut kinerja DAS dapat
dikelola dengan optimis sehingga terjadi kinerja positif yang akan
meningkatkan kinerja DAS ddalam menghasilkan output, sementara itu
karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS
dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan.
Sub-DAS Gopgopan dapat dimanfaatkan bagi berbagai kepentingan
pembangunan misalnya untuk areal pertaniaan, perkebunan, perikanan,
pemukiman, pembangunan PLTHM, pemanfaatan hasil hutan, pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut adalah untuk
memenuhi kepentingan manusia khususnya peningkatan kesejahteraan.
Namun demikian hal yang harus diperhatikan
adalah berbagai kegiatan
tersebut dapat mengakibatkan dampak lingkungan yang jika tidak ditangani
dengan baik akan dapat menurunkan tingkat produksi, baik produksi pada
masing-masing sektor maupun pada tingkat DAS. Karena itu upaya untuk
mengelola DAS secara baik dengan mensinergikan kegiatan-kegiatan yang
ada di dalam DAS sangat diperlukan bukan hanya untuk kepentingan
menjaga
kemampuan
produksi
atau
ekonomi,
tetapi
juga
untuk
menghirdarkan dari bencana alam yang dapat merugikan seperti banjir,
longsor, kekeringan dan lain-lain.
2.1 Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat diperlukan dalam pengelolaan DAS mulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi program.
Partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan meliputi penetapan
tujuan, dan pengelolaan, program, sasaran yang akan dicapai dan serta
kebijakan yang dibutuhkan bersama, pengumpulan data dilapangan maupun
pembiayaan.
Partisipasi
masyarakat
mulai
dari proses
perencanaan
merupakan bentuk gransi tidak diabaikannya, kepentingan, aspirasi, akses
maupun kontrol masyarakat dalam pengelolaan DAS.
Partisipasi masyarakat tidak akan muncul jika tidak disertai dengan
adanya
pemberdayaan
masyarakat
berupa
penciptaan
kondisi
yang
memungkinkan masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya
secara mandiri melalui peningkatan akses dan peningkatan perolehan
manfaat dari sumber daya yang dikelola di dalam DAS secara optimal dan
adil. Program-program kegiatan yang dilaksanakan secara sektoral maupun
keterpaduan sektoral dalam kerangka pengelolaan DAS seharusnya
mengandung
misi
pemberdayaan
masyarakat.
Tanpa
adanya
unsur
pemberdayaan masyarakat ini maka tingkat partisipasi masyarakat menjadi
rendah karena masyarakat tidak melihat manfaat apa yang bisa diperolehnya
dari kegiatan yang ada di lingkungan. Masyarakat petani berperan dalam
mengelola lahan (sawah, kebun, maupun tegalan) memelihara atau merubah
penutupan lahan dari berpenutupan Strata pepohonan sampai rerumputan
menjadi lahan terbangun atas lahan budidaya pertanian intensif maupun
menghijaukan sempadan sungai, anak sungai maupun alur sungai.
Masyarakat berperan dalam pengambilan keputusan terhadap lahan
dan sumber daya lingkungan sekitarnya, hal ini dipengaruhi oleh tingkat
kepemilikan terhadap lahan, pengahasilan keluarga, pendapatan tambahan,
dan lain-lain. Semakin kecil tingkat pendapatan keluarga petani maka
cenderung melakukan eksploitas terhadap lahannya dengan harapan untuk
memperoleh pendapatan maksimal pada jangka pendek.
Melihat pentingnya partisipasi masyarakat maka pemerintah telah
mengatur peran serta masyarakat dalam pengelolaan DAS sesuai dengan
peraturan pemerintah No. 37 Tahun 2012, tentang Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai ( DAS).
2.2. Menggali dan Mengembangkan Kearitan Lokal
Kriteria kearitan local yang terkait dengan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) terdiri dari :
a. Nilai-nilai hukum yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
b. Melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari dan
berkelanjutan.
Kriteria Pengetahuan Tradisional (PT) terkait perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup (Harry Alexander dan Miranda Risang Ayu,
2011) Secara garis besar adalah :
-
Dihasilkan,
direprentasikan,
dikembangkan,
dilestarikan
dan
ditransmisikan dalam konteks trdisional dan antar generasional.
-
Secara nyata dapat dibedakan, atau diakui menurut kebiasaan,
sebagai berasal dari suatu komunitas masyarakat, hukum adat, yang
melestarikan dan mentransmisikan Pengetahuan Tradisional (PT)
tersebut dari generasi ke generasi, dan terus menggunakan dan
mengembangkannya dalam konteks trdisional di dalam komunitas itu
sendiri.
-
Merupakan bagian integral dari identitas budaya suatu masyarakat
hukum adat, yang dikenal dan diakui sebagai pemegang hak atas
Pengetahuan Tradisional (PT) itu melalui aktivitas pemangkuan,
pemilikan kolektif, maupun tanggung jawab budaya. Kaitan antara
Pengetahuan
Tradisional
(PT)
dan
pemangkunya
ini
dapat
diungkapkan, baik secara formal maupun informal, melalui praktekpraktek kebiasaan atau praktek-praktek tradisional, protokol, atau
hukum nasional yang berlaku.
-
Diwariskan dari genersi ke generasi meskipun pemakaiannya tidak
terbatas lagi di dalam komunitas itu sendiri.
Beberapa karakteristik kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dari
masyarakat hukum adat antara lain :
-
Adanya keterkaitan dengan budaya atau masyarakat tertentu
-
Jangka waktu penciptaan dan pengembangan cukup lama, biasanya
melalui tradisi lisan
-
Bersifat dinamis (dynamic) dan senantiasa berobah seiring waktu dan
perobahan kondisi alam
-
Terdapat dalam bentuk tertulis/terkordifikasi maupun tidak tertulis/tidak
terkordifikasi seperti bentuk lainnya (folklor )
-
Dismpaikan secara turun temurun dari generasi ke generasi (intergeneration)
-
Bersifat lokal dan sering diungkapkan dalam bahan lokal
-
Diciptakan melalui proses yang unik dan kreatif seperti lahir dari
mimpi, kepercayaan /religi dan akibat bencana alam.
-
Sering sekali sulit untuk dapat mengidentifikasi pencipta asalnya.
Sistem
Pengetahuan
NilaiNilai
Luhur
Sikap dan
Perilaku
Pengetahuan
dan Kegiatan
PPLH
Kearifan
Lokal
Ingatan
Kolektif
PPLH
PPLH
Rekognisi
Revitalisasi
Gbr L.3 Kearifan Lokal
2.3 Kearifan lokal lingkungan hidup di sub DAS gopgopan.
Sub DAS Gopgopan yang merupakan bagian dari Tanah Batak,
mewarisi adat-istiadat secara turun temurun bersifat kearifan lokal terhadap
lingkungan tercermin dari sikap menghargai dan menghormati lingkungan
sebagai bagian yang tidak terlepas dari kehidupan .
Perkampungan asli suku Batak terdiri dari sekelompok rumah yang
dibentangi dengan gundukan tanah yang ditanami Bambu dan pada gerbang
perkampungan ditanami pohon besar jenis Beringin, hariara dan jabi-jabi
yang sering digunakan sebagai tempat berlindung untuk rapat membahas
masalah tertentu dan memutuskan sesuatu kebijakan yang lazim disebut
partukoan.
Hingga saat ini masih nampak Tambak (Pusara) para nenek moyang
yang berumur ratusan tahun terawat apik terdiri dari gundukan tanah yang
ditanami dengan pohon jabi- jabi atau beringin besar yang melambangkan
kedamaian, kebesaran, perlindungan yang mendatangkan kesejukan dan
kebahagian.
Masih terdapat hutan alam tertentu dikeramatkan karena dianggap
punya fungsi khusus untuk keselamatan, hutan-hutan ini dihormati bahkan
masih ada orang atau kelompok tertentu yang mendatangi dan memberi
sesajen untuk pemujaan, contoh ini walaupun langka masih ditemui di SubDAS Gopgopan Wilayah hutan persisnya di Gunung Simanuk-manuk.
Contoh lain masih dapat ditemukan di Tombak Sisulu-sulu Kecamatan
Baktiraja Bakkara.
Tambak Sisulu-sulu dirawat dan dihormati
untuk mengenang perjuangan
Raja Sisingamangaraja XII yang menggunakan tempat itu sebagai tempat
bersemadi dan menyusun rencana Perang melawan Klonial Belanda.
Salah satu contoh Kearifan lokal Suku
Batak Toba adalah membangun
rumah Adat Batak Toba yang berdiri megah tanpa menggunakan paku,
semua unsur alam ada dan terukir didalam, juga tidak menggunakan seng
dan semua bentuk besi tidak digunakan yang mengandung pengertian tidak
perlu menggali
perut bumi dan membangun industri yang merusak
lingkungan.
Atap terbuat dari ijuk yang lebih sejuk sehingga tidak perlu menggunakan
Air Condition (AC) untuk Pendingin Udara.
Kearifan lokal lainnya yakni melarang orang buang air kencing atau
buang hajad disembarang tempat karena alam akan marah menyebabkan
mala petaka adalah sebagai ujud penghargaan terhadap lingkungan.
Fakta sejarah menunjukkan nenek moyang Suku Batak sebagaimana
suku-suku lainnya di Indonesia, telah mengatur tata cara menebang pohon ,
tidak boleh sembarangan ada aturan yang mengaturnya . Aturan ini
menjadikan tata laksana kehidupan Suku Batak berkembang dan lestari dan
terbebas dari bencana. Hal yang paling sederhana, Suku Batak menggatur
tata laksana kehidupan masyarakat Batak sangat erat dengan alam (bumi)
tidak ada yang tidak berhubungan dengan bumi, air, pohon dan angin.
Hampir semua suku bangsa di Indonesia memiliki kearifan lokal
terhadap lingkungan. Namun, kearifan lokal secara perlahan tapi pasti mulai
sirna, secara fakta mulai ditinggalkan tergusur dengan yang namanya
keserakahan dan kemajuan teknologi serta peradaban modern yang tidak
terkendali.
Banyak kalangan berpendapat bahwa kekhawatiran, ketakutan akan
hancurnya lingkungan hidup Indonesia tidak akan terjadi bila Kearifan
lingkungan atau kearifan local (lokal wisdom) yang sudah ada di dalam
kehidupan masyarakat Indonesia
dengan baik.
sejak zaman dahulu tetap dipelihara
3.
Pengembangan Usaha dan Ekonomi Rakyat
Pengembangan usaha ekonomi masyarakat di wilayah Sub-DAS
Gopgopan diarahkan kepada usaha ekonomi produktif yang mendukung
kelestarian lingkungan tanah dan air dengan menawarkan berbagai pola
alternative yang, perlu didukung dengan insentif.
Perekonomian masyarakat di wilayah Sub-DAS Gopgopan pada
umumnya didominasi usaha pertanian konvensional yang terdiri dari komoditi
padi dan palawijaya, tanaman perkebunan tanaman kehutanan dan
peternakan tradisional sebagai usaha sampingan. Pola pertanian di daerah
hulu, bagian tengah dan bagian hilir tidak menunjukkan perbedaan yang
spesifik.
Berdasarkan hasil survei dan diskusi dengan masyarakat, terdapat
beberapa komoditi yang menjadi unggulan serta didukung dengan keinginan
masyarakat sebagai berikut :
a. Tanaman semusim berupa : padi, jagung, cabe, kacang tanah dan
singkong. Tanaman tersebut mudah dipelihara dan cepat memberi
hasil disamping memenuhi kebutuhan sehari-hari.
b. Tanaman perkebunan berupa : kopi, kakao dan kemiri, merupakan
tanaman yang tumbuh baik dan memberi hasil yang cukup tinggi dan
harga stabil.
c. Tanaman kehutanan/tanaman keras berupa : aren, ingul, durian, petai,
dan pinus. Tanaman ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, cepat
tumbuh dan mudah dipasarkan untuk pembuatan kapal bermotor, aren
menghasilkan nira/tuak yang merupakan minuman khas daerah.
Tanaman lain yang memenuhi syarat tumbuh dan dikembangkan
dalam skala kecil yakni : kelapa, pisang, jahe, mangga, ubi jalar,
papaya, jengkol, dan lain-lain.
Pembagian wilayah menurut jenis penggunaanya dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel
L.1.
Pembagian
wilayah
Sub-DAS
Gopgopan
menurut
penggunaannya.
Wilayah
Fungsi/pembusukan
Luas ( Ha )
Persentasi
(%)
Hulu
Tanah sawah
80,0
7,3
Tanah kering
2.810,0
73,6
Bangunan/pekarangan
16,0
1,5
Lain-lain
194,0
17,6
2.100,0
Tengah
Tanah sawah
152,0
100,00
Tanah kering
2.875,0
4,37
124,0
82,71
Bangunan/pekarangan
Lain-lain
325,0
3.476,0
Hilir
3,57
9,35
Tanah sawah
83,0
100.00
Tanah kering
1.897,0
3,64
148,0
83,13
Bangunan/pekarangan
Lain-lain
154,0
2.282,0
6,49
6,75
100,00
Total
Sumber Siregar, 2012 (data diolah)
7.858,0
Keterangan
4.
Konsep Pola Pertanian Konservatif
Dalam upaya pelestarian lingkungan tanah dan air Sub-DAS
Gopgopan sekaligus meningkatkan produktivitas lahan, ditawarkan beberapa
pola pertanian alternative sebagai berikut :
a. Kebun campuran yakni menggabungkan tanaman kehutanan dan
tanaman perkebunan seperti:
a. Aren – durian - petai khususnya di daerah Hulu.
b. Ingul – kopi – petai khususnya di daerah Tengah
c. Petai – kakao di daerah Tengah dan daerah Hilir
b. Tumpang sari, teras bangku
Petai – jahe – jagung di daerah Hulu dan daerah Tengah
c. Multiple Cropping
Pisang – kakao – tanaman semusim di daerah Tengah dan daerah Hilir
d. Rotasi padi – palawijaya di daerah hilir
e. Kelapa hibrida – mina padi di daerah hilir
f. Revitalisasi hutan desa – lebah madu di daerah hulu
g. Bambu–Aren di daearah Sempadan Sungai.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai di Indonesia mengalami kerusakan lingkungan
dari tahun ke tahun. Kerusakan Lingkungan pada Daerah Aliran Sungai
(DAS) meliputi kerusakan pada aspek biofisik atau pun kualitas air. Selain
mempunyai fungsi hidrologi, sungai juga mempunyai peran dalam menjaga
Keanekaragaman hayati, nilai ekonomi, budaya, transportasi, pariwisata dan
lainnya.
Saat ini sebagian Daerah Aliran Sungai mengalami kerusakan akibat
dari perubahan tata guna lahan, pertumbuhan jumlah penduduk serta
kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian Lingkungan DAS.
Gejala kerusakan lingkungan DAS dapat dilihat dari penyusutan luas hutan
dan kerusakan lahan terutama di kawasan lindung disekitar Daerah Aliran
Sungai.
Data dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia menyatakan
kerusakan hutan pada periode tahun 1985 – 1997 mencapai 1.6 juta
ha/tahun, meningkat menjadi 3.8 juta ha/tahun pada periode tahun 19972000. Dan pada periode 2004-2009, seperti yang diberitakan harian Bisnis
Indonesia tanggal 19 Mei 2010, angka deforestasi di Indonesia mencapai
1.17 ha/tahun. Keadaan ini menggambarkan bahwa upaya rehabilitasi hutan
tidak sebanding dengan kerusakan hutan yang akan semakin merebak jika
tidak segera ditanggulangi. Kerusakan Sumber Daya Alam Hutan sudah
berada dalam taraf mengkhawatirkan.
Dampak kerusakan DAS mengakibatkan kondisi kwantitas (debit) air
sungai menjadi fluktuatif antara musim penghujan dan musim kemarau.
Selain itu juga penurunan cadangan air serta tingginya laju sedimentasi dan
erosi. Dampak yang dirasakan kemudian adalah banjir dimusim penghujan
dan kekeringan dimusim kemarau. Menurunnya kualitas air sungai yang
mengalami pencemaran yang diakibatkan oleh erosi dari lahan kritis, limbah
rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian (perkebunan) dan limbah
pertambangan. Pencemaran air telah menjadi masalah tersendiri yang
sangat serius.
Undang-undang RI nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan
menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya
dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan
minimal 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan sebaran
proporsional. Sedang yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS)
didefenisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan suatu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan dan mengalirkan air ke danau atau ke laut secara alami.
Berdasarkan pengertian dari defenisi tersebut maka Daerah Aliran
Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai
komponen topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan,
manusia, aktifitasnya yang berada diatas dan dibawah tanah.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah upaya dalam
mengelola hubungan timbal balik antara sumber daya alam terutama
vegetasi tanah dan air dengan sumber daya manusia di Daerah Aliran Sungai
(DAS) dan segala aktifitasnya untuk mendapat manfaat ekonomi dan jasa
lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekonomi Daerah
Aliran Sungai (DAS). Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada
prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau optimasi penggunaan
lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta praktek lainnya yang
ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indicator kunci (ultimate
indicator) kuantitas, kualitas dan komunitas aliran sampai pada titik
pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu Daerah Aliran
Sungai (DAS) adalah adanya keterkaitan biofisik daerah hulu dengan daerah
hilir melalui daur hidrologik.
Dalam
pembangunan/pelestarian
Daerah
Aliran
Sungai
(DAS)
disamping usaha-usaha konservatif, juga diharapkan mampu meningkatkan
taraf hidup masyarakat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) melalui kegiatan
pengelolaan
dan
pemanfaatan
serta
pelestarian
hutan.
Dengan
meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan berarti pengentasan
kemiskinan (Sudiono, 1995). Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS)
Gopgopan dengan catchman area mencakup areal mulai dari bagian hulu di
pinggiran Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba, Kabupaten Toba
Samosir, sampai di hilir Sungai Asahan sebagai putusan (outlet) DAS.
Kegiatan pembangunan di Sub DAS Gopgopan, baik di hulu maupun di hilir
tergolong sangat intensif dan perubahan perlakuan di area sebagai akibat
pertambahan penduduk.
Kegiatan pembangunan di Sub DAS Gopgopan cenderung mengarah
pada penurunan kemampuan lahan dalam meresapkan air, dan melindungi
tanah dari erosi, yang pada akhirnya menyebabkan tingginya limpasan
permukaan dan erosi. Kejadian penurunan kualitas air tinggi, longsor dan
kekeringan merupakan indikator kegagalan dalam mengelola sumber daya
alam yang memiliki manfaat publik. Respons atas dampak negative
pengelolaan sumber daya Sub DAS Gopgopan, terutama lahan kritis di
catchman area telah menghasilkan banyak rekomendasi dan rumusan
program-program
yang
sasarannya
adalah
memecahkan
masalah
pengelolaan Sub DAS.
Penggunaan pendekatan konvensional mengenai masalah lingkungan
seperti command and control yang dilaksanakan selama ini belum cukup
memadai untuk menangani masalah lingkungan yang relative kompleks,
memahami akan defisiensi ini, berbagai lembaga kemudian mencari alternatif
dan inovatif untuk mengelola dan melestarikan lingkungan tanpa harus
mengorbankan kepentingan ekonomi itu sendiri. Salah satu strategi adalah
melalui Payment for Environmental Services (PES) atau Pembayaran Jasa
Lingkungan (PJL) yang kini banyak diadopsi baik dari negara maju maupun
dari negara berkembang.
Untuk mewujudkan integrasi program, kegiatan dan pandangan jangka
panjang perlu suatu perencanaan pengelolaan sumber daya Sub DAS
Gopgopan
yang
disusun
secara
partisipatif,
melibatkan
pemangku
kepentingan (stake holders), baik dari kalangan masyarakat, birokrasi
pemerintahan, kalangan pelaku, komunitas bisnis, maupun individu serta
kalangan akademisi dan pemerhati untuk merumuskan strategi (kebijakan
dan program/kegiatan). Dengan demikian para pihak terkait mempunyai
suatu komitmen untuk memprogramkan dan melaksanakan kegiatankegiatan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan disepakati
bersama.
Pasar global pun telah terdorong menghargai lingkungan ekosistem
hutan walaupun masih dalam serba keterbatasan. Pada umumnya di dunia
saat ini telah muncul kesediaan pasar untuk membayar jasa lingkungan
hutan seperti : pengaturan tata air, keindahan alam, keaneka ragaman hayati
dan rosot karbon. Indonesia yang memiliki luas hutan terbesar ketiga dan
kekayaan keaneka ragaman hayati kedua di dunia, tentunya memiliki potensi
yang sangat besar yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk
peningkatan kehidupan masyarakat dan lingkungan secara berkelanjutan.
Dari berbagai laporan kegiatan, di Indonesia sendiri inisiasi untuk
menghargai jasa lingkungan ekosistem hutan telah banyak dilakukan, baik
melalui kerjasama lembaga-lembaga domestik maupun dengan dorongan
dan bantuan lembaga internasional. Dari laporan tersebut diketahui
banyaknya masalah dan kendala terutama akibat lemahnya kondisi
pemungkin termasuk insentif pemungkin untuk pengembangannya.
Skema jasa lingkungan ekosistem hutan pun tidak bisa digeneralisir
tetapi harus disesuaikan dengan karakteristik daerah dan DAS nya sendiri.
Secara umum dalam mengembangkan skema ini maka perlu diidentifikasi
jasa ekosistem yang disediakan terkait dengan air, juga alat ukur yang dapat
dipergunakan untuk mengukur jasa tersebut. Selain itu perlu kelembagaan
yang mengawal skema tersebut, terutama aspek organisasi, aturan main dan
sumber pembiayaan. Penjelasan hal-hal tersebut merupakan inti dari laporan.
Studi PES untuk mengembangkan skema PES di Sub DAS Gopgopan
Kabupaten Toba Samosir yang akan dijelaskan dalam buku ini.
1.2.
Isu Strategis
Permasalahan mendasar yang dihadapi di Sub DAS Gopgopan adalah
degradasi lingkungan akibat perilaku yang tidak memperhatikan kaidah
lingkungan serta potensi dampak yang ditimbulkannya bisa menyebabkan
personalan sosial lebih kompleks serta perlunya koordinasi pengelolaan serta
kurangnya manfaat langsung pengelolaan konservasi lingkungan yang
dirasakan oleh masyarakat. Apabila digali lebih cermat, beberapa isu
strategis yang menyebabkan kompleksitas di Sub DAS Gopgopan sebagai
berikut :
1. Sinkronisasi program setiap multipihak dalam pengelolaan Sub DAS
Gopgopan;
2. Koordinasi antar lembaga dan setiap multipihak dalam optimalisasi
pengelolaan Sub DAS Gopgopan;
3. Appreciation dan reward bagi pengelola jasa lingkungan;
4. Kondisi sosial ekonomi memerlukan insentif.
1.3.
Tujuan
Tujuan dari penyusun Dokumen Payment for Environmental Services
(PES) /Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) adalah untuk memberikan
alternatif pelaksanaan pembangunan wilayah DAS terpadu dalam bentuk
kerangka kerja yang dapat diimplementasikan dalam jangka panjang tanpa
harus mengorbankan kepentingan ekonomi, baik yang bersifat umum untuk
seluruh DAS maupun bersifat khusus atas dasar prioritas. Adapun sasaran
spesifik adalah : menyusun dokumen kerangka system pembayaran Jasa
Lingkungan di DAS Asahan Toba khususnya di Sub DAS Gopgopan di
Kabupaten Toba Samosir. Dalam jangka panjang dan jangka pendek studi ini
bertujuan :
Tujuan Jangka Panjang (Goal)
“Terwujudnya hubungan hulu-hilir untuk mendukung fungsi Sub DAS
Gopgopan melalui Skema PES dan forum pendukungnya”.
Tujuan Jangka Pendek (Program)
“Tersosialisasinya alternatif skema PES Sub DAS Gopgopan kepada pihak
terkait beserta forumnya”.
1.4.
Sasaran Wilayah
Dokumen kerangka Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL)
mencakup keseluruhan Sub DAS Gopgopan yang terdiri dari empat
kecamatan yaitu kecamatan Lumban Julu, kecamatan Bonatua Lunasi,
kecamatan Porsea dan kecamatan Uluan yang merupakan wilayah
administratif pemerintah kabupaten Samosir.
1.5.
Batasan Studi
Pengalaman dari berbagai negara dan inisiasi nasional dibeberapa
daerah
menunjukkan
suplementasinya
sederhana.
bahwa
dimasyarakat
Paling
tidak
pengembangan
(lapangan)
terdapat
6
Skema
bukanlah
(enam)
PES
persoalan
tahapan
untuk
hingga
yang
dapat
mengaktualisasikan nilai potensi jasa lingkungan, seperti dilukiskan pada
gambar 1.1
3. Membangun
4. Legal
drafting proces,
termasuk
proses-proses
politik
kesepakatan
besaran,
mekanisme
penerapan, dls
1.Perhitungan
5. Penyusunan
6.PENERAPA
& pengesahan
peraturan/
perundangan
Skema PES
N PES
SECARA LUAS
2. Konsep
pengembang
an skema
PES
alternatifalternatif nilai
ekonomi jasa air
yang rasional
Lawas Studi PES
Sumber : Dokumen PES DAS Deli dan Progo
Gbr. 1.1 Tahapan Pengembangan Skema PES
Mengingat
kompleksitas
tahapan
pengembangan
Skema
PES,
ketersediaan waktu dan dana maka studi ini difokuskan untuk pelaksanaan
tahap 1 dan 2, yaitu :
1. Perhitungan nilai ekonomi jasa lingkungan yang rasional berdasarkan
pengalaman
pengembangan
PES
dan
transaksi-transaksi
semacamnya di Indonesia dan wilayah studi (Sub DAS Gopgopan)
yaitu nilai kesepakatan yang memungkinkan untuk terealisasi.
2. Menyusun konsep/rancangan pengembangan Skema PES yang isinya
secara garis besar dapat dijadikan sebagai acuan-acuan umum dalam
menjajagi kemungkinan pengembangan PES di Sub DAS Gopgopan.
1.6.
Metodologi
1.6.1 Metode dan Pengambilan Data
Dalam penulisan dokumen kerangka system pembayaran jasa
lingkungan di Sub DAS Gopgopan ini digunakan data primer dan data
sekunder. Data primer yang dikumpulkan merupakan data kualitatif
menyangkut sosial ekonomi, budaya dan kearifan lokal yang dikumpul dari
hasil wawancara langsung. Data sekunder yang dikumpul antara lain kondisi
umum lokasi penelitian atau data umum yang ada pada instansi pemerintah
desa, kecamatan dan kabupaten yang didukung dengan hasil-hasil
penelitian. Dalam pengambilan sampel digunakan metode sensus sampel
yang diambil adalah seluruh Community Based Organisation (CBO) yang ada
di lokasi Sub DAS Gopgopan, DAS Asahan Toba Kabupaten Toba Samosir.
1.6.2 Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer meliputi data
karakteristik masyarakat disekitar DAS dan data preferensi terhadap bentuk
insef hutan rakyat. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data dan
informasi mengenai kondisi CBO yang berasal dari laporan instansi
pemerintahan yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
1.6.3 Kerangka Pendekatan
Pada penelitian ini dilakukan pendekatan kualitatif untuk pengkajian
pola dan bentuk pemanfaatan jasa lingkungan disekitar kawasan Sub DAS
Gopgopan. Pola pemanfaatan mata air yang dikaji termasuk dalam
pengelolaan dan pemeliharaan mata air dan ekosisten disekitarnya oleh
masyarakat. Selain pengelolaan dan pemeliharaan fisik, system pengelolaan
meliputi
operasional,
pembiayaan,
kelembagaan,
peraturan
dan
pengawasan, peran serta masyarakat merupakan kajian dari penelitian ini.
Secara ekonomi jasa ekosistem dapat dinilai menggunakan instrument
penilaian jasa lingkungan ekosistem. Sesuai dengan sifat jasa ekosistem
tersebut. Berdasarkan konsepsi ekonomis telah banyak dikembangkan
mekanisme pembayaran jasa ekosistem tidak hanya terbatas pada
penyediaan (provisional services), namun juga jasa pengaturan dan jasa
ekosistem lainnya. Berdasarkan praktek-praktek pembayaran jasa lingkungan
baik di Indonesia maupun di negara lainnya dapat diambil pembelajaran dari
kisah sukses dan hambatan serta masalah yang dihadapi untuk membangun
strategi meningkatkan efektifitas pembayaran jasa lingkungan hutan dalam
mendorong pencapaian tujuan pembangunan lingkungan. Secara skematis
alur pendekatan tersebut disajikan dalam gambar 1.2 Skema Pembayaran
Jasa Lingkungan (PES) difokuskan pada jasa perlindungan DAS, sehingga
DAS dijadikan unit pengamatan, sedangkan aspek ekonomi banyak terkait
dengan
batas
politik
administrasi
pemerintahan,
sehingga
wilayah
pemerintahan juga menjadi unit analisis dalam DAS.
Jasa Lingkungan
Sifat dan Manfaat
Ekonomi
Penilaian
Jasa
Lingkungan
Pembelajaran dari
praktek-praktek
Pembayaran Jasa
Lingkungan
Karakteristik setempat
(Sub DAS Gopgopan)
dalam Pembayaran Jasa
Lingkungan Air
Skema Pembayaran Jasa
Lingkungan (PES) yang
memungkinkan di
Sub Das Gopgopan
Gbr. 1.2 Kerangka Pendekatan Pengembangan Skema Pembayaran Jasa
Lingkungan (PES)
1.6.4 Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara
mendalam (Indepth interview). Dilakukan secara terbuka dan terstruktur,
supaya dapat memperoleh informasi yang lengkap. Teknik wawancara
secara terstruktur menggunakan panduan pertanyaan dan daftar pertanyaan
yang dipersiapkan terlebih dahulu sebelum melakukan wawancara.
1.6.5 Metode Observasi
Yaitu pengamatan yang disertai dengan keterlibatan diri dalam
kehidupan masyarakat. Metode ini digunakan untuk
mengamati secara
langsung bagaimana keadaan hutan di DAS dan bagaimana jasa lingkungan
dimanfaatkan, apa masalah yang dihadapi, apa respons masyarakat dalam
kaitannya dengan pelaksanaan SCBFWM.
1.6.6 Metode Wawancara
Metode ini digunakan untuk menjaring informasi mengenai satu gejala
yang berkenaan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat dalam
usahanya
untuk
memenuhi
kebutuhan
hidup
dan
digunakan
untuk
memperoleh data mengenai Pengelolaan Jasa Lingkungan, apabila data
yang diperoleh dirasa masih kurang.
1.6.7 Kerangka Pemikiran
Pertanyaan-pertanyaan penelitian yang perlu dijawab antara lain :
1. Bagaimana proses berjalannya mekanisme pembayaran jasa
lingkungan?
2. Siapa saja pihak yang terkibat dalam mekanis PJL dikawasan
tersebut?
3. Apa saja norma dan peraturan yang diakui para pihak selama
berlangsungnya mekanisme tersebut?
4. Apakah keterlibatan para pihak tersebut sudah tepat atau masih
terdapat pihak lain yang harusnya dilibatkan dalam mekanisme
tersebut?
5. Apa peran-peran, hak dan kewajiban masing-masing pihak?
6. Apa output yang diharapkan?
Pertanyaan penelitian tersebut tergambar dalam bagan alur kerangka
pemikiran penelitian (Gambar 1.3)
Sub DAS Gopgopan
Daerah Tangkapan Air, mengontrol
aliran air, menjaga wilayah hilir dari
banjir dan erosi. Sumber Air Danau
Toba, Sumber air irigasi. Keragaman
hayati penyerab karbon sumber O2.
Nilai manfaat air untuk Danau
Toba, PLTA, industry, pertanian,
Rumah Tangga, Peternakan,
Perikanan, PDAM, Pariwisata.
Banjir, penurunan debit air untuk
irigasi, penurunan debit air
danau toba, perubahan kualitas
dan kuantitas air
Masyarakat desa
kecamatan Lumban Julu,
Bonatua Lunasi,
Porsea,Uluan
-
Pemanfaatan air dari
Sub DAS Gopgopan
Membangun kemitraan untuk upaya konservasi Sub
DAS Gopgopan
Meningkatkan mata pencaharian masyarakat desa
penyangga dengan inkubasi usaha terpadu
Melestarikan nilai sosial budaya
PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN
(PJL)
Norma yang meliputi :
- Peraturan-peratutan terkait
- Perjanjian-perjanjian para pihak
YA
Organisasi yang meliputi :
- Pihak-pihak yang terkait
- Peran para pihak
- Penegakan mekanisme
Kinerja mekanisme PJL :
- Realita dilapangan
- Studi literatur
- Dukungan penelitian
- Evaluasi
- Manfaat bagi kedua belah
pihak
TIDAK
Mekanisme Non PJL
Gbr. 1.3 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
1.6.8 Teknik Penyusunan
Secara sistematis langkah-langkah utama kegiatan penyusunan
dokumen kerangka system pembayaran jasa lingkungan di Sub Das
Gopgopan adalah : 1) Kajian kerangka karakteristik potensi Sub Das
Gopgopan, 2) Kajian Sumber Pembayaran, 3) Kajian Legalitas, 4) Model
Skema Pembayaran Jasa Lingkungan (Gambar 1.4).
Kajian Karakteristik
Wilayah
Kondisi Fisik
Potensi Lokal
Sumber Pembiayaan Lokal
Sumber APBN / APB Provinsi
Kajian Sumber
Pembiayaan
Kompesali Lingkungan
Daerah Hilir
PJL Dunia Usaha
ANALISIS
Donateur Luar Negeri
Out Put
Dokumen
Kerangka
PES
Undang-undang
Peraturan Pemerintah
Kajian Legalitas
Peraturan Daerah
Peraturan Desa
Kearifan Lokal/Hukum Adat
Gbr. 1.4 Kerangka Penyusunan Dokumen PES
1.7
Kajian Karakteristik Wilayah
Kajian karakteristik potensi sumber daya Sub Das Gopgopan yang
meliputi kajian sumber daya manusia, bio fisik, penggunaan lahan dan
sumber daya sosial budaya. Pengkajian bio fisik dan penggunaan lahan
dilakukan melalui kajian terhadap peta-peta, citra satelit, dan laporan-laporan
serta observasi lapangan.
Kajian sumber daya manusia dan sumber sosial budaya dan mata
pencaharian, pemilikan dan penguasa lahan, pranata institusi formal/informal
masyarakat, struktur dan instrumen kebijakan lembaga-lembaga pemerintah,
dilakukan dengan wawancara dan diskusi kepada kelompok masyarakat
dengan pelaku langsung maupun tidak langsung.
Keluaran (output) dari kajian ini adalah informasi tentang pola
penggunaan lahan optimal dari sudut teknis, potensi pengembangan dan
masalah yang dihadapi dalam penggunaan lahan, potensi sumber daya
manusia dan potensi pengembangan lembaga masyarakat.
1.8
Kajian Sumber Pembiayaan
Pengembangan potensi bio fisik, penggunaan lahan dan peningkatan
kualitas sumber daya manusia membutuhkan kegiatan diarahkan untuk
kelestarian sumber daya alam Sub Das Gopgopan tanpa harus merusak
hutan dan tidak mengorbankan kepentingan ekonomi, dibutuhkan dukungan
dana yang relatif besar, konsisten dan berkesinambungan. Diinfentarisasi
alternatif-alternatf sumber dana baik dalam bentuk uang tunai maupun dalam
bentuk bukan uang. Dengan mempedomani RPJM Pembangunan Nasional,
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dilakukan kajian terhadap
Alokasi Anggaran yang berpihak kepada pertumbuhan, kemiskinan, lapangan
kerja dan kelestarian lingkungan.
Keluaran dari kajian ini adalah adanya masukan kepada pemerintah
menyangkut kebijakan fiskal dimana karakteristik wilayah DAS disamping
luas wilayah; topografi, kontur dan peranannya sebagai provider jasa
lingkungan dimasukkan sebagai indeks kemahalan atau entri poin dalam
penetapan dana perimbangan.
BAB II
KONSEP JASA LINGKUNGAN DAN PEMBAYARAN
JASA LINGKUNGAN DI INDONESIA
2.1.
Defenisi Penting
Jasa lingkungan adalah penyediaan, pengaturan, penyokong proses
alami dan pelestarian nilai budaya oleh seksesi alamiah dan manusia yang
bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Empat jenis jasa lingkungan
yang dikenal oleh masyarakat global adalah jasa lingkungan tata air, jasa
lingkungan keragaman hayati, jasa lingkungan penyebaran karbon dan jasa
lingkungan keindahan lanskap.
Penyedia jasa lingkungan adalah (a) Perorangan, (b) Kelompok
Masyarakat, (c) Perkumpulan, (d) Badan Usaha, (e) Pemerintahan Daerah,
(f) Pemerintah Pusat yang mengelola lahan yang menghasilkan jasa
lingkungan serta memiliki izin atau alas hak atas lahan tersebut dari instansi
yang berwenang.
Pemanfaat jasa lingkungan adalah (a) Perorangan, (b) Kelompok
Masyarakat, (c) Perkumpulan, (d) Badan Usaha, (e) Pemerintahan Daerah,
(f) Pemerintah Pusat yang memiliki segala bentuk usaha yang memanfaatkan
potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak
mengurangi fungsi pokoknya. Pemanfaatan jasa lingkungan diluar Yurisdiksi
Hukum Indonesia tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembayaran jasa lingkungan yang lazim disebut PES adalah
Pemberian imbal jasa berupa pembayaran finansial dan non finansial kepada
pengelola lahan atas jasa lingkungan yang dihasilkan.
Sistem pembayaran jasa lingkungan adalah mekanisme pembayaran
finansial dan non finansial dituangkan dalam bentuk kontrak hukum yang
berlaku meliputi aspek-aspek legal, teknis maupun operasional. Komponen
system PJL adalah : (a) Jasa Lingkungan yang dapat diukur, (b) Penyedia,
(c) Pemanfaat, (d) Tata Cara Pembayaran.
Tujuan pembayaran finansial dan non finansial lingkungan adalah :
1. Sebagai alternatif sistem produksi dan pengelolaan lahan lebih ramah
lingkungan;
2. Sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pengelola lahan;
3. Sebagai upaya perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber
daya alam untuk pembangunan ekonomi social yang lestari
2.2
Jasa Lingkungan Hutan
Menurut Millennium Assessment (2003) “Hutan merupakan suatu
ekosistem yang dapat berperan dalam merubah dimensi utama dari ‘ill
being’ menjadi ‘human being’”. Perobahan tersebut dari powerlessness,
bad social relations, material lack, poor helth, dan vulnerability menjadi
freedom of choise anaction, good social relation, materially enough for
a good life, good health dan security.
Dr. Olman Sequre Bonilla dari International Center in Economic
Policy for Sustainable Development (CINPE) Costa Rica, mengidentifikasi
jasa lingkungan hutan sebagai berikut : 1) Penyedia hasil hutan kayu; 2)
Penyedia hasil hutan bukan kayu; 3) Pengatur siklus hidrologi; 4)
Perlindungan tanah dan kwalitas air; 5) Pengendalian angin dan kebisingan;
6) Penyedia keindahan bentang alam; 7) Penyediaan rekreasi ekowisata; 8)
Penyediaan
kebudayaan
dan
religi;
9)
Pengatur
iklim
mikro;
10)
Penyeimbang perubahan iklim; dan 11) Perlindungan keanekaragaman
hayati.
Jasa-jasa ekosistem hutan diklasifikasikan menurut fungsinya, sebagai
berikut :
1. Fungsi pengadaan meliputi : a. Bahan pangan, b. Air, c. Bahan bakar,
d. Bahan serat, e. Bahan ornament, f. Sumberdaya genetic, g. Sumber
daya bio kimia, h. Sumber daya obat-obatan alami;
2. Fungsi pengaturan meliputi : a. Kwalitas udara, b. Iklim, c. Air
(kwalitas), d. Pengendalian erosi, e. Pengendalian penyakit manusia, f.
Kontrol biologi, g. Penyerbukan, h. Perlindungan badai;
3. Fungsi kebudayaan meliputi : a. Keanekaragaman budaya, b. Nilainilai keagamaan dan spiritual, c. Sistem pengetahuan (tradisional dan
formal), d. inspirasi, e. Nilai-nilai estetika, f. Hubungan social, g. Arti
suatu tempat, h. Nilai warisan budaya, i. Rekreasi, j. Ekowisata; dan
4. Fungsi penunjang meliputi : a. Produksi oksigen, b. Formasi dan
retensi tanah, c. Siklus nutrisi, d. Siklus air, e. Habitat, dan f. Produksi
primer.
2.3
Sifat Jasa Lingkungan
Sebagian besar jasa lingkungan mempunyai sifat “tidak memilah” (non
excludable), yakni tidak ada kwalifikasi yang dapat membedakan konsumen
yang memenuhi dan yang tidak memenuhi kwalifikasi. Semua konsumen
kwalifiksi dapat menikmati barang dan jasa yang berciri “tidak memilah”.
Banyak jenis sumber daya alam yang mempunyai ciri barang publik (public
goods) atau cadangan bersama (common public). Barang publik dicirikan
oleh sifat “tidak memilah” dan “tidak bersaing” (non rivalry). Sedangkan
cadangan bersama dicirikan oleh sifat “tidak memilah” dan “tidak bersaing”
(nonrivally). Tabel 2.1 dan 2.2, udara bersih adalah contoh barang publik,
sedangkan ikan di sungai adalah contoh barang cadangan bersama.
Tabel 2.1 Klasifikasi Barang
Memilah
Bersaing
Tidak Bersaing
Tidak Memilah
Barang Privat
Cadangan Umum
(Private Goods)
(Common Pool Goods)
Barang Kelompok
Barang Publik
(Club Goods)
(Public Goods)
Tabel 2.2 Karakteristik Jasa Lingkungan
Jasa Lingkungan
Memilah
Bersaing
Jasa tata air
Ya / tidak
Ya
Jasa biodiversity
Ya / tidak
Ya
Tidak
Tidak
Ya
ya
Jasa penimpaan dan penyerapan karbon
Jasa keindahan bentang alam
Tabel 2.2 menunjukkan bahwa beberapa jasa lingkungan
bersifat
memilah dan beberapa yang lain bersifat tidak memilah. Sebagian jasa tata
air bersifat memilah dan sebagian yang lain tidak memilah. Regim air dan
kualitas air sungai bersifat tidak memilah, artinya setiap orang dapat
menggunakan air sungai tersebut untuk transportasi dan menggunakan
airnya untuk kebutuhan domestiknya tanpa harus membayar. Sementara itu
air bersih yang keluar dari mata air bersifat memilah. Hanya pihak yang
memiliki kualitas tertentu yang dapat memanfaatkan air tersebut. Terhadap
regim dan kualitas air sungai, mekanisme pasar tidak dapat digunakan.
Sedangkan untuk air bersih dari mata air mekanisme pasar akan bekerja
dengan baik.
Jasa biodiversity ada yang bersifat memilah ada pula yang bersifat
tidak memilah. Sifat kepemilahan ini tergantung terutama pada ukuran
hamparan dimana biodiversity yang dimaksud berada semakin lebar ukuran
hamparannya semakin rendah tingkat kepemilahannya.
Pengenalan atas karakteristik jasa ini sangat penting, khususnya
berguna untuk menambahkan mekanisme pembayaran jasa. Terlebih lagi
kegiatan produksi kehutanan umumnya menghasilkan produk ganda. Apabila
produk utama yang menjadi tujuan kegiatan produksi kehutanan adalah
barang atau jasa yang bersifat memilah, maka jasa produk yang lain yang
bersifat tidak memilah dapat dimasukkan kedalam harga produk yang bersifat
memilah tadi.
Sebagai contoh konsumen kayu bukan hanya memperoleh kayu tetapi
juga udara yang mengandung C02 rendah yang umumnya belum dibayar.
Jasa kualitas udara yang lebih baik ini ditambahkan kepada harga kayu,
sehingga harga kayu harus dibayar konsumen menjadi lebih tinggi.
Instrument pasar dalam bentuk kebijakan fiskal dapat digunakan untuk
memecahkan problem ini.
2.4
Manfaat Ekonomi
Manfaat ekonomi adalah nilai manfaat yang dinikmati oleh masyarakat
(pengguna). Terdapat dua alasan penilaian ekonomi. Pertama, menunjukkan
bahwa ekosistem berperan dalam perencanaan pada tingkat ekonomi makro,
dan kedua menunjukkan bahwa jasa ekosistem secara keseluruhan berperan
dalam pembuatan alokasi keputusan yang efisien pada tingkat mikro ekonomi
(Pearce dan warford 1993).
Pearce ct al (1989) mengelompokkan nilai sumber daya hutan (SDH)
dalam tiga macam, yaitu :
Nilai penggunaan langsung, yaitu manfaat yang langsung diambil dari
SDH, sebagai barang konsumsi atau infput untuk barang konsumsi.
Jasa hutan dalam klasifikasi MEA 2003 yang termasuk nilai
penggunaan langsung adalah “jasa penyediaan”.
Nilai penggunaan tidak langsung, yaitu yang secara tidak langsung
dirasakan manfaatnya, dapat berupa hal yang mendukung nilai
langsung. Jasa hutan dalam klasifikasi MEA, 2003 yang termasuk nilai
penggunaan tidak langsung adalah “jasa pengaturan” dan “jasa
penunjang”.
Nilai non penggunaan yaitu semua manfaat yang dihasilkan bukan dari
interaksi secara fisik antara hutan dan konsumen jasa hutan dalam
MEA 2003 yang termasuk nilai non penggunaan adalah “kebudayaan”.
Sedangkan Barbier (1991) dalam Bishop (1994) menguraikan nilai
penggunaan selain penggunaan langsung dan tidak langsung menambahkan
nilai pilihan yaitu nilai penggunaan langsung dan tidak langsung pada masa
datang, dan keberadaan hutan sebagai nilai keberadaan.
Nilai Ekonomi Total (NET) merupakan penjumlahan dari nilai guna
langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai non guna dengan persamaan
sebagai berikut (pearce 1992).
NET = Nilai Guna Langsung + Nilai Guna Tidak Langsung +
Nilai Pilihan + Nilai Keberadaan
Nilai pilihan mengacu kepada nilai penggunaan langsung dan tidak
langsung yang berpotensi dihasilkan dimasa yang akan datang. Hal ini
meliputi
manfaat-manfaat
sumber
daya
alam
yang
“disimpan
atau
dipertahankan” untuk kepentingan yang akan datang (sumber daya hutan
yang disisihkan untuk pemanenan yang akan datang) contohnya adalah
sumber daya genetik dari hutan tropis untuk kepentingan masa depan.
2.5
Prinsip Pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan
Pengembangan pembayaran jasa lingkungan perlu dilakukan dengan
berpegang pada prinsip-prinsip : 1) Efisiensi, 2) Keadilan dan 3) Kelestarian.
Ketiga prinsip ini tidak selalu bebas satu dari yang lain, tetapi dalam satu
situasi proses saling menguatkan mungkin terjadi dan dalam situasi yang
lain, proses trade – off mungkin terjadi.
2.6
Indikator
Target
Jasa
Lingkungan
dan
Pembayaran
Jasa
Lingkungan (RPJM Nasional 2010 – 2014)
1. Adanya kebijakan dan regulasi nasional yang :
-
Mendukung kinerja jasa lingkungan secara komprehensif,
meliputi jasa lingkungan tata air, penyerapan karbon, keaneka
ragaman hayati dan keindahan lanskap.
-
Bersifat umum dan fleksibel tetapi mampu menyelesaikan
masalah-masalah (spesifik dan local).
2. Adanya Komisi Jasa Lingkungan Nasional beraanggotakan para
wakil pemangku kepentingan dengan jumlah tidak lebih dari tujuh
belas (17) orang terdiri dari unsur pemerintah, akademisi atau
pakar,
lembaga
swadaya
masyarakat,
bisnis,
organisasi
masyarakat yang berfungsi :
-
Mengatur dan menetapkan kebijakan umum pengelolaan jasa
lingkungan di tingkat nasional,
-
Menyusun
dan
menetapkan
pedoman
penyelenggaraan
pengelolaan jasa lingkungan yang meliputi aspek legal, teknis
dan operasional,
-
Memberikan
suvervisi
dan
asistensi
kepada
lembaga
pembiayaan jasa lingkungan,
-
Melakukan pengawasan terhadap lembaga pembiayaan jasa
lingkungan,
-
Memberikan sanksi administrasi kepada jajaran pengurus
lembaga baik melanggar tugas pokok dan fungsi dan
-
Membangun jaringan kerja dengan berbagai pihak terkait.
3. Adanya lembaga-lembaga penyelenggara system PJL yaitu :
-
Lembaga Pembayaran Jasa Lingkungan sebagai Lembaga
Pembiayaan untuk mengelola jasa lingkungan
-
Lembaga Sertifikasi Jasa Lingkungan sebagai Lembaga yang
dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
-
Lembaga akreditasi jasa lingkungan sebagai lembaga yang
berfungsi melakukan akreditasi terhadap lembaga sertifikasi
jasa lingkungan
4. Uji
coba
pengembangan
sistem
PJL
sekurang-kurangnya
disepuluh DAS di Indonesia.
Catatan Penting :
Lembaga-lembaga tersebut tidak harus terdiri dari
lembaga bentukan pemerintah tetapi pula memberikan
ruang
bagi
lembaga
non
pemerintah
melaksanakan fungsi-fungsi tersebut diatas.
untuk
BAB III
PENGENALAN DAN CONTOH KASUS PAYMENT FOR
ENVIROMETAL SERVICES (PES) DI INDONESIA
Berbagai kebijakan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup
sudah banyak diterapkan diberbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.
Kebijakan berbasis command and control, seperti Kebijakan Baku Mutu
Pencemaran, Kebijakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
bagi limbah B3 dan lain-lain merupakan skema perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang selama ini kita kenal di Indonesia.
Disadari bahwa skema-skema tersebut belum dapat sepenuhnya diandalkan
untuk menjaga keberlangsungan kualitas dan kuantitas lingkungan hidup,
terbukti dengan masih meningkatnya tred kerusakan dan pencemaran
lingkungan hidup di Indonesia. Diperlukan berbagai skema lain yang dapat
dijadikan komplemen bagi kebijakan yang ada untuk mendorong laju
kecepatan perbaikan kualitas lingkungan hidup Indonesia.
Pemerintah
melalui
Undang-undang
No.
32
Tahun
2009,
memperkenalkan model perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang baru, yaitu instrument ekonomi. Instrument ekonomi lingkungan adalah
instrument perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang berbasis pasar,
instrument ekonomi yang merupakan hal relatif baru di Indonesia. Walaupun
beberapa insrumen yang dikategorikan sebagai instrument ekonomi seperti
Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) telah banyak diterapkan pada berbagai
inisiatif baik dalam lingkungan sektoral maupun local. PES merupakan salah
satu instrument yang cukup dikenal, dan diharapkan dapat menjadi salah
satu instrument berbasis insentif disentif yang dapat diandalkan bagi
perlindungan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
3.1.
PES
Sebagai
Instrumen
Perlindungan
Lingkungan Hidup Berbasis Pasar
dan
Pengelolaan
Sumber daya alam dan lingkungan menyediakan jasa yang sangat
bervariasi bagi keberlangsungan hidup manusia, mulai dari air bersih, udara
bersih, keindahan alam, tanah yang subur, hutan sebagai penyerap karbon
dan lain sebagainya. Individual, industry dan masyarakat sangat tergantung
pada jasa lingkungan ini, mulai dari bahan bakunya, proses produksinya
sampai fungsinya (Gambar 3-1.) kebutuhan lingkungan tidak secara serta
merta membuat orang menghargai nilai dari sumber daya alam tersebut
secara semestinya, bahkan seringkali menilai jasa lingkungan tersebut
dibawah nilainya, atau bahkan tidak bernilai sama sekali. Kondisi seperti ini
membuat lingkungan hidup menjadi terdegradasi dengan cepat. Data dari
Millenium Ecosystem Assessment (2005) menyatakan bahwa 60% dari
jasa di lingkungan yang dipelajari mengalami degradasi lebih cepat dari
kemampuan memperbaikinya.
Sumber : Danida, 2011
Gambar 3.1 Berbagai Tipe Jasa Lingkungan
Salah satu penyebab utama dari degradasi lingkungan adalah karena
sifat sumber daya alam lingkungan yang cendeng bersifat barang publik yang
kemudian menimbulkan kegagalan pasar. Dalam situasi seperti ini berbagai
instrument kebijakan konvensional sering mengalami kendala dalam
melindungi dan mempertahankan fungsi-fungsi lingkungan yang tidak
terpasarkan. Namun demikian, fungsi pasar sebagai pengatur alokasi dan
distribusi barang dan jasa masih dapat digunakan sebagai instrument untuk
menghasilkan
alokasi
yang
efisien
melalui
dukungan
kelembagaan.
Mekanisme ini dalam khasanah ekonomi lingkungan dikenal sebagai
mekanisme “Penciptaan Pasar” atau Market Creation. Secara sederhana
pasar yang tidak berfungsi (missing market) karena adanya komponen
lingkungan yang tidak diperdagangkan, dibangkitkan melalui mekanisme
“Jual – beli” dengan terlebih dahulu memberikan “nilai ekonomi” pada jasa
lingkungan dan kemudian didukung oleh kelembagaan. Untuk menghasilkan
pasar tersebut. Salah satu mekanisme seperti itu dilakukan untuk pasar jasa
lingkungan yang selama ini dianggap sebagai barang bebas yang kemudian
cenderung terjadi over eksploitasi dan over konsumsi.
3.2.
Struktur Mekanisme PES
Dasar teori ekonomi dari PES secara konseptual sebenarnya
sederhana yaitu “beneficiary pays” atau penerima manfaat membayar
(Pagiola,
2004).
Mayrand
and
Paquin
(2004)
menyatakan
bahwa
sesungguhnya tidak ada defenisi PES yang disepakati. Pemahaman
mengenai PES selama ini lebih kepada klasifikasi yang berdasarkan jasa
lingkungan, struktur, tipe pembayaran dan hal-hal lainnya. Ketiadaan defenisi
ini pada akhirnya membuat implementasi PES menjadi sangat beragam.
PES pada dasarnya merupakan skema yang bertujuan untuk
menyediakan jasa lingkungan yang selama ini dianggap semakin mengalami
degradasi, akibat kurangnya apresiasi masyarakat terhadap nilai dari jasa
lingkungan dan juga kurangnnya mekanisme kompensasi. Skema PES
merupakan mekanisme yang membuat penyedia jasa lingkungan menjadi
lebih cost efisien dalam jangka waktu yang lama. Rosa et al (2002)
menjelaskan pendekatan PES sebagai berikut :
Merupakan pendekatan ekonomi yang berbasis optimisasi, mencari
biaya
serendah
mungkin
untuk
mencapai
tujuan
pengelolaan
lingkungan;
Focus pada pengelolaan ekosistem tunggal seperti penyerapan
karbon atau carbon sequestration, pengelolaan hidrologi DAS atau
konservasi keragaman hayati.
Merupakan preferensi menyederhanakan skala besar ekosistem,
untuk dimiliki beberapa orang untuk mengurangin biaya transaksi dan
monitoring.
Bertujuan
melindungi
hak
property
privat
dan
memberikan
penghargaan (reward) pada pemilik lahan.
Jika dilihat dari mekanisme PES miliki struktur dasar yang secara
konsep dapat dikatakan sederhana dan fleksibel dalam berbagai kondisi,
sehingga aplikasinya pun sangat bervariasi diseluruh dunia. Seperti diuraikan
oleh Paqiola (2003), skema PES dapat dilakukan pada berbagai jenis jasa
lingkungan,
seperti
penyeraban
karbon,
pengelolaan
hidrologi
DAS,
konservasi keragaman hayati, ataupun kelestarian lanskap untuk ekoturisme
yang sebelumnya harus didefenisikan, diukur dan dikwantifikasikan untuk
dihasilkan dalam skema. Pemahaman pengetahuan mengenai hal ini tentu
saja diperlukan untuk membuat skema ini menarik partisipasi dari pemanfaat
jasa lingkungan. Dengan demikian identifikasi jasa yang dibutuhkan
pemanfaatan pada berbagai tingkatan. Jasa lingkungan dapat dihasilkan dan
dimanfaatkan oleh berbagai level penyedia dan pemanfaat dari tingkat lokal,
nasional sampai internasional dan dari pemerintah, badan usaha, masyarakat
lokal, individual, atau campuran semuanya tergantung dari sifat jasa
lingkungan itu sendiri.
Secara sederhana, skema struktur dasar PES dapat dilihat pada
gambar 3.2 penerima manfaat memberikan pembayaran jasa lingkungan
kepada pengguna lahan yang aktivitasnya memberikan dampak pada
ketersediaan
jasa
lingkungan
secara
berkesinambungan
dan
juga
pembayarannya didisain melalui suatu sistem governance tertentu yang
disepakati kedua belah pihak.
Pengembangan
Skala
PES
mensyaratkan
adanya
mekanisme
pembiayaan untuk mengelola pendanaan dan pembayaran dari penerima
manfaat kepada penyedia jasa lingkungan atau dalam hal ini pengguna
lahan. Aliran jasa lingkungan yang dihasilkan diharapkan stabil dan terus
menerus dan memberi jaminan pada keberlanjutan jangka panjang sistem.
Fleksibiltas Skema PES dapat juga dilihat dari skema pembayaran
yang bisa berdasarkan besar luas area yang menjadi subjek perubahan
pemanfaatan lahan, atau pada praktek pemanfaatan lahan spesifik. Dapat
diarahkan pada area, praktek atau atribut spesifik dengan kriteria-kriteria
umum. Skema PES juga dapat dalam bentuk manfaat non moneter pada
pemanfaatan lahan seperti training, infrastruktur atau bantuan diversivikasi
pendapatan atau pengembangan pasar (Mayrand & Paquin, 2004)
STRUKTUR GOVERNANCE
Penggunaan Lahan
Penerimaan manfaat
[
Penerimaan manfaat
Mekanisme
Pendanaan
Mekanisme
Pembayaran
Penggunaan Lahan
Penerimaan manfaat
Penggunaan Lahan
Penerimaan manfaat
Penggunaan Lahan
Environmental
Services
Sumber : Paqiola, World Bank, 2003
Gambar 3.2 Struktur Mekanisme PES
3.3.
PES sebagai Instrumen yang Pro Environment, Pro Growth, Pro
Poor dan Pro Job
Skema PES pada awalnya memang didisain untuk tujuan pengelolaan
lingkungan, dan tidak didisain untuk kemiskinan. Namun demikian dalam
perjalanannya ternyata instrument PES memberi peluang bagi masyarakat
miskin dipedesaan yang hidup dikawasan hutan untuk dapat terlibat dalam
skema ini dan memperoleh tambahan pendapatan baik langsung maupun
tidak
langsung
dalam
bentuk
uang
(cash)
atas
kegiatan
mereka
merehabilitasi dan mengkonservasi hutan, atau dalam bentuk pembayaran
lainnya seperti peningkatan capacity building mereka melalui pelatihan.
Dalam
perkembangannya,
skema
PES
terutama
di
negara
berkembang kemudian selain digunakan untuk tujuan konservasi, juga
ditujukan untuk manfaat bagi masyarakat miskin di pedesaan. Skema ini
digunakan untuk mentransfer sumber daya finansial dari pihak yang
membutuhkan jasa lingkungan yang konsisten dan terus menerus kepada
masyarakat social dan finansial rapuh. Pengentasan kemiskinan bukanlah
tujuan utama dari program ini, namun dalam disain, proses dan keluaran
akhir sebaiknya harus berpihak kepada masyarakat miskin, karena menurut
Leimona et al (2009), jika hal ini tidak dilakukan, maka baik tujuan konservasi
maupun pengentasan kemiskinan tidak akan dapat dicapai.
Skema PES juga secara tidak langsung memberikan kesempatan
pekerjaan kepada masyarakat pedesaan melalui kegiatan yang ada dalam
Skema PES itu sendiri, masyarakat diberi kesempatan untuk mendapatkan
pekerjaan alternative, dari kegiatan mereka yang pada awalnya merambah
hutan untuk mempertahankan kehidupan mereka.
Secara makro, PES memberi dampak lebih luas lagi menyangkut
pertumbuhan ekonomi baik skala lokal maupun nasional, karena peningkatan
kualitas lingkungan yang baik akibat dari pengembangan PES ini akan diikuti
juga dengan peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat secara agregat.
Dengan demikian pada dasarnya PES ini merupakan skema yang sudah
sejalan dengan arah pembangunan Indonesia yang berbasis pada triple
track development : pro growth, pro poor dan pro job dan ditambah lagi
dengan arah kebijakan pemerintah dalam kebijakan fiscal 2011 yaitu pro
environment.
3.4.
Acuan Umum Pelaksanaan PES
Skema PES merupakan kerangka besar dari berbagai langkah-
langkah kegiatan yang sifatnya komprehensip. Langkah awal sekali yang
merupakan dasar pelaksanaan PES adalah identifikasi jenis jasa lingkungan
yang akan dijual belikan. Iedentifikasi lebih detail lagi untuk deskripsi
komoditas jasa lingkungan dalam hal sejenis, spesifikasi teknis, baik kualitas
maupun
kuantitas.
Tahapan
selanjutnya
adalah
penghitungan
nilai
komoditas/jasa lingkungan ini dengan menggunakan metode valuasi ekonomi
standard yang sudah banyak dikenal. Kegiatan selanjutnya adalah identifikasi
penyedia dan pemanfaat serta fasilitator/pihak ketiga yang mungkin
diperlukan dalam PES ini. Selanjutnya dilakukan analisis institusional yang
merupakan kumpulan dari berbagai aspek legal dan kebijakan yang
menyangkut pemanfaatan dan pengelolaan jasa lingkungan, kesesuaian
peraturan perundang-undangan dalam pemanfaatan dan pengelolaan jasa
lingkungan. Setelah tiga aspek diatas diidentifikasi, langkah selanjutnya
adalah merancang Skema PES nya sendiri yang terdiri dari skema disain
kontrak kerjasama dan skema system pembayaran.
Didalam Skema PES ini juga diatur mengenai beberapa hal penting
seperti detail perencanaan pengelolaan PES, Verifikasi Penyediaan Jasa dan
manfaat, monitoring dan evaluasi dan juga yang tidak kalah pentingnya
adalah skema penyelesaian konflik. Selain itu karena Skema PES ini juga
mengandung resiko dan ketidak pastian, dengan demikian manajemen resiko
merupakan keniscayaan dalam PES. Gambar 3.3 menjelaskan langkahlangkah
dalam
mengembangkan
Skema
PES
meliputi
persiapan,
pengembangan (identifikasi), perencanaan dan implementasi. Setiap tahap
meliputi informasi, komponen, aktor yang terlibat dan kegiatan yang harus
dilakukan.
Sumber : Danida, 2011
Gambar 3.3. Langkah dalam Pelaksanaan PES
3.5.
Beberapa Contoh Implementasi PJL di Indonesia
Beberapa Contoh Implementasi PJL di Indonesia Implementasi PJL di
Indonesia termasuk yang sudah banyak direferensikan pada tingkat
internasional. Kebanyakan memang berkaitan dengan PJL DAS, namun
demikian beberapa juga terkait dengan komoditas keanekaragaman hayati,
scenic beauty dan bahkan sekarang ini sudah mulai berkembang skemaskema PJL untuk carbon sequestration. Diantara beberapa insisiatif tersebut
sudah berjalan, walaupun masih berada pada tahap awal, dan belum dapat
dikatakan sebagai PJl yang murni (real PJL), namun demikian seluruh inisiatif
tersebut patut diapresiasi, mengingat keberadaannya dapat memberikan
dampak positif bagi pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
Berikut ini adalah beberapa inisiatif yang dapat dijadikan sebagai role
model bagi pengembangan skema PJL di Indonesia.
3.5.1. PJL Sumber Jaya lampung
Sumber jaya yang terletak di Lampung Barat, merupakan sebuah
Kecamatan yang berada di wilayah pegunungan Bukit Barisan, dengan area
seluas 55.000 Ha dan populasi sebanyak lebih kurang 80.000 penduduk.
40% dari wilayah Sumber Jaya merupakan kawasan hutan lindung dan 10%
nya adalah taman nasional. Sumber jaya merupakan wilayah yang ditetapkan
oleh pemerintah sebagai daerah transmigrasi bagi penduduk dari Jawa Barat
di tahun 1952. Selanjutnya area ini berkembang sebagai kawasan
perkebunan kopi yang cukup terkenal di Lampung.
Sejak dikeluarannya kebijakan pemerintah mengenai Program Hutan
Kemasyarakatan (Hkm) di tahun 2007, (Kep Menhut No. P.37/MenhutII/2007), dimana disebutkan bahwa hutan produksi dan hutan lindung dapat
dikelola oleh masyarakat, masyarakat diberikan hak individu atas lahan hutan
lindung selama mereka melakukan pengelolaan hutan secara multi strata.
Pengelolaan hutan multistrata ini adalah penanaman hutan dengan
tumbuhan bervariasi ketinggiannya dari tajuk rendah, sedang sampai tinggi.
Selain itu masyarakat juga diharuskan melakukan konservasi air dan tanah
dan melindungi area kawasan hutan. Kontrak HKm ini awalnya dilakukan
untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang hingga 25 tahun lagi.
Petani di Hutan lindung Sumber Jaya, dibagi menjadi beberapa
kelompok untuk dapat mengikuti perjanjian HKm. DIbandingkan dengan
kawasan lainnya di Provinsi Lampung, HKm Sumber Jaya merupakan
kelompok yang paling maju. Dengan batuan dari NGO seperti ICRAF,
program HKm di wilayah ini berjalan dengan baik. ICRAF dan the
International Fund for Agricultural Development juga memperkenalkan
konsep
PJL
melalui
proyek
RUPJL
(Rewarding
Upland
Poor
for
Environmental Services they provide) kepada masyarakat di wilayah ini.
Proyek RUPJL mempelajari tiga usulan mekanisme imbal jasa. Pertama
skema pembayaran jasa lingkungan yang melibatkan Perusahaan Listrik
Negara sebagai pemanfaat jasa lingkungan DAS. Kedua Hak pengelolaan
tanah sebagai mekanisme rewards bagi proyek perlindungan DAS dan
carbon sequestration. Departemen Kehutanan sebagai pemberi imbal jasa
untuk jasa lingkungan dengan cara menerbitkan izin pemanfaatan lahan bagi
masyarakat. Masyarakat lokal dan pemerintah melakukan negosiasi untuk
hak legal pemanfaatan lahan, sebagai imbal jasa bagi pengelolaan hutan
yang lebih baik. ICRAF dan LSM lokal membantu masyarakat untuk
mengembangakan skema hutan kemasyarakatan. Ketiga, mekanisme
dikembangkan untuk meningkatkan kualitas dari air untuk pemanfaatan
domestik,
dengan
cara
memperkenalkan
kemungkinan
pembayaran
langsung.
Sejak 2004 2004 RUPJL memberikan bantuan pada masyarakat lokal
untuk memperoleh akses HKm. Program HKm memberikan bantuan untuk
masyarakat setempat memperoleh akses pada program Hkm. Program HKm
memberikan petani land tenure pada hutan lindung untuk ditanami. Sebagai
imbalan, petani melakukan kegiatan pertanian yang ramah lingkungan dan
melindungi hutan alam sisanya, sehingga lahan hutan akan terus
memberikan manfaat perlindungan terhadap keberlanjutan supai air. Program
HKm meliputi 70% dari hutan lindung di Sumberjaya, meliputi 6.400 petani
dan 13.000 ha areal hutan.
Untuk River Care program, RUPJL mengembangkan pilot project pada
masyarakat di salah satu sub-catchment area dan PLTA melakukan
mekanisme pembayaran untuk mengurangi sedimentasi. Petani membangun
dam dan drainase di hulu. RUPJL membantu dalam melakukan monitoring
teknis sedimen. prinsip utama dalam skema ini adalah kondisionalitas (hanya
dibayar jika jasa lingkungan diterima), artinya jika hasil monitoring
sedimentasi bagus, maka pembayaran akan diberikan. Selama periode
kesepakatan, kelompok river care menerima 1000 US Dollar untuk
penurunan sedimentasi sebesar 30%, 700 US Dollar untuk penurunan 20%
sampai 30%. Gambar di bawah ini adalah skema RUPJL di Lampung Barat.
Gambar 3.4. Skema PJL di Sumber Jaya Lampung Barat
Beberapa pembelajaran yang dapat ditarik dari implementasi skema
PJL di Sumber Jaya Lampung diantaranya adalah: PJL tipe P to C ini dapat
diimplementasikan secara sederhana dengan perjanjian Memorandum of
Understanding letter (MOU) antara Perusahaan Listrik Tenaga Air (PLTA).
MOU dibuat untuk setiap antivitas pada jasa lingkungan yang akan dibayar,
seperti misalnya pembayaran untuk menurunkan sedimen.MOU berlaku
selama periode 1 tahun dan dapat diperpanjang untuk tahun berikutnya jika
memungkinkan. MOU ditandatangani oleh perwakilan dari PLTA sebagai
pihak pertama dan perwakilan dari ICRAF. MOU diantaranya memuat hal-hal
sebagai berikut:
a. Tanggal, bulan dan tahun perjanjian.
b. Penyedia dan pemanfaat. Penyedia diwakili oleh ketua kelompok
dan pemanfaat diwakili oleh manajer perusahaan.
c. Validation time.
d. Bentuk kerjasama, meliputi kewajiban pemanfaat dan penyedia.
e. Biaya operasional, tahapan pembayaran, dan teknik transfer
payment.
f. Detail perencanaan pembagian tugas, lokasi dan skedul.
g. Perencanaan penggunaan anggaran.
h. Kompensasi.
i.
Pelaksanaan Kegiatan, termasuk tanggung jawab, hak dan sanksi.
j.
Monitoring dan evaluasi, termasuk indikator yang akan dievaluasi.
k. Penghentian kegiatan dalam kondisi force major atau wan prestasi
salah satu pihak.
Skema PJL di Sumber Jaya tidak hanya melibatkan uang tunai (cash),
tetapi juga dalam bentuk lain, seperti dana bergulir untuk peternakan
kambing dan budidaya ikan, pembangunan instalasi mikro hidro dan benih
pohon. Sumber dana PLTA adalah anggaran CSR perusahaan yang relatif
kecil yaitu 150 juta rupiah per tahun, dan dari dana pengelolaan lingkungan.
Untuk mengembangkan mekanisme monitoring dan evaluasi, kedua pihak
dibantu oleh ICRAF, khususnya dalam menyiapkan kriteria indikator river
care program. Kriteria terdiri dari dimensi fisik, sosial dan ekonomi. Walaupun
kriteria ini masih bersifat kualitatif, namun sudah merupakan langkah maju
dalam pengembangan PJL di Indonesia.
3.5.2 PJL Lombok
Pembayaran jasa Lingkungan (PJL) Di Lombok Barat dilakukan
melalui payung hukum PERDA Kabupaten Lombok Barat No. 4 Tahun 2007
Tentang pengelolaan Jasa Lingkungan. Latar belakang dari aplikasi skema
PJL di Kabupaten Lombok Barat adalah bermula dari studi valuasi ekonomi
WWF di kawasan Gunung Rinjani pada tahun 2003 yang menunjukkan
adanya degradasi lingkungan di kawasan tersebut akibat pemanfaatan
ladang berpindah dan juga penebangan liar terhadap pohon untuk tujuan
ekonomi. Kawasan tersebut pada dasarnya merupakan sumber air baku bagi
masyarakat di kabupaten Lombok Barat dan sekitarnya. Kondisi degradasi
memicu penurunan kualitas dan kuantitas air baku, sehingga muncullah ide
untuk menggunakan instrumen PJL untuk memperbaiki kondisi kawasan
Gunung Rinjani melalui program konservasi. Inisiator dari PJL di Lombok
Barat ini adalah LP3ES, WWF, Pemda Lombok Barat (Bappeda, Dinas
Kehutanan, PSDA), dan LSM Jayakarta. Untuk tahap awal dilakukan studi
willingness
To
Pay
(WTP)
dari
masyarakat
terhadap
nilai
untuk
mengkonservasi kawasan Gunung Rinjani, dengan sampel sebanyak 1500
dari populasi 60000 penduduk Lombok Barat. Studi menunjukkan nilai WTP
antara Rp. 500 sd Rp. 5000. Setelah diajukan ke DPRD, disetujui sebesar
Rp. 1000,- per kepala keluarga domestik dan Rp. 1500 pelanggan
industri/hotel air bersih PDAM.
Sampai saat ini PJL dikelola oleh Institusi Multi Pihak (IMP) yang
didirikan
berdasarkan
Keputusan
Bupati
Lombok
Barat
Nomor
1072/207/Dishut/2009 Tentang Pembentukan Institusi Multi Pihak. IMP
bertanggung jawab kepada Bupati, dengan anggota terdiri dari Kepala
Bappeda, Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Dinas Kelautan dan perikanan,
kepala dinas Pariwisata, Kabag Ekonomi, Kepala Baan Lingkungan Hidup,
Kepala Dinas PU dan Tamben, Kepala Dinas Pertanian, Bagian Hukum,
Kepala UPT Dephut (BTNGR, BKSDA), Akademisi, Konsepsi, WWF, PDAM,
Wakil masyarakat (Forum Kawasan Hutan Sesaot), Pengusaha (DIrektur PT
Narmada Awet Muda), dan unsur ASITA. IMP ini dianggap sebagai super
body yang memiliki tugas berat selain memfasilitasi uangnya, juga
memungut, dengan verifikasi yang ketat bertugas antara lain:
•
Menilai dan menyetujui atas kelayakan usulan penggunan d ana
pembayaran jasa lingkungan.
•
Mengawasi mekanisme penggunan dana pembayaran jasa lingkungan
dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar objek jasa
lingkungan.
•
Melakukan kerjaama dengan pihak lain untuk penggalangan dana
pembayaran jasa lingkungan dan kegiatan pelestarian, pemeliharaan
kebersihan lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di
sekitar objek jasa lingkungan.
•
Memberikan rekomendasi tentang tata cara dan besaran tarif
pembayaran jasa lingkungan, dan
•
Menyelesaikan
sengketa
yang
berkaitan
dengan
penggunaan
pembayaran jasa lingkungan.
Pola aliran dana PJL seperti tampak pada Gambar 7 di bawah ini
adalah dari masyarakat dipungut oleh PDAM dan masuk ke kas daerah,
selanjutnya melalui dinas Kehutanan dana dialirkan untuk management IMP
sebesar 25% dan kepada masyarakat melalui kelompok yang telah disetujui
propoalnya untuk kegiatan konservsi di wilayah Gunung Rinjani sebesar
75%. Dana konservasi kelompok ini 85% digunakan untuk program restorasi,
pembibitan dan sisanya menyangkut kelembagaan serta keiatan ekonomi
alternatif seperti pengolahan kopi untuk pekerjaan lain hasil hutan non timber.
Untuk penanaman pohon direkomendasikan yang bernilai ekonomi tinggi
seperti durian, sukun dll. Sampai saat ini ada 3 kelompok yang
melaksanakan kegiatan konservasi dengan dana PJL di kawasan Gunung
Rinjani, yaitu untuk kawasan Desa Batu Mekar untuk hutan kawasan Sesau,
seluas 6000 Ha berupa kegiatan restorasi bantaran sungai. selanjutnya
kelompok Suranadi/Ranget berupa kebiatan pembibitan, dan kelompok
Sedau, dengan kegiatan restorasi, pembibitan dan penanaman untuk
kawasan seluas 25 Ha.
Gambar 3.5. Skema PJL Lombok Barat
3.5.3 PES Kuningan Cirebon
Skema PJL Kuningan Cirebon adalah tipe PJL G to G (antar
pemerintah) yang melibatkan dua pemerintah daerah tingkat II yaitu Kota
Cirebon dan Kabupaten Kuningan. Kerjasama menyangkut pengelolaan mata
air Paniis yang terletak di Kabupaten Kuningan. Mata air ini merupakan
sumber bagi air baku masyarakat Kota Cirebon, yang diolah PDAM Kota
Cirebon. Melalui perjanjian kerjasana antara Pemda kabupaten Kuningan dan
Pemda Kota Cirebon No. 44 tahun 2004/No.690/PERJ.35-EKON/2004
tentang Pemanfaatan sumber mata air paniis, Kecamatan Pasawahan,
kabupaten Kuningan, Pemda Kota Cirebon memberikan kompensasi air baku
kepada Pemda Kabupaten Kuningan.
Selanjutnya melalui perjanjian kerjasama Bupati Kuningan dengan
walikota Cirebon No. 10 tahun 2009/No. 690/Perj.I-Adm Perek/2009 tentang
kerjasama pengelolaan sumber mata air Desa Paniis, kec. Pasawahan,
kabupaten Kuningan, kembali dilakukan skema PJL dengan tujuan
melestarikan sumber air melalui kegiatan konservasi. Formula perhitungan
pembayaran jasa lingkungan per tahun adalah: 6,5% x Tarif air sebelum air
diolah bagi pelanggan kota Cirebon x produksi air x kebocoran 25% X 12.
Jangka waktu kerjasama adalah 25 tahun. Pembayaran dilakukan per
triwulan melalui kas daerah Kabupaten Kuningan. Secara keseluruhan skema
tersebut dapat digambarkan pada Gambar berikut ini.
Gambar 3.6. Skema PJL Cirebon – Kuningan
3.5.4 PES Lainnya
Berikut ini adalah tabel yang memetakan implementasi PJL lainnya di
Indonesia. Implementasi PJL ini beragam dari mulai pemanfaatan jasa
lingkungan DAS, Hutan, Biodiversitas genetika dan juga keindahan alam.
Tabel 3.1. Implementasi PJL di Indonesia
No.
Lokasi
Jasa
Lingkungan
yang di
transaksikan
Stakeholder yang
terlibat
Mekanisme
Perlindungan DAS
1.
Cidanau,
Perlindungan
PT. Krakatau Tirta
Pembayaran di sesuaikan
Banten
DAS, Sumber
Industri (KTI)
dengan syarat yang telah
daya Air
(User); Forum
ditentukan yaitu 500 pohon
Komunikasi DAS
per 1 ha lahan per tahun
Cidanau
sebesar Rp 3,5 jt/ha dan
(mediator);
naik Rp 4jt/ha tahun 2007,
Kelompok Tani
PJL yang diterima
No.
Lokasi
Jasa
Lingkungan
yang di
transaksikan
Stakeholder yang
terlibat
(Providers)
Mekanisme
masyarakat sebesar Rp 1,2
jt/ ha/th (P to C)
2.
S ungai
Perlindungan
Perum Jasa Tirta-I
1) Kurun waktu
Brantas,
DAS, Sumber
(User); Kelompok
kesepakatan antara YPP
Malang
daya air
Tani (Providers);
dengan Petani adalah
YPP (mediator)
selama 6 bulan. Setelah
berakhirnya
kesepakatan tersebut,
petani akan melakukan
pemeliharaan tanaman
dari bantuan tersebut
(Rp 44.000.000) meliputi
penyulaman,
pemupukan,
pendangiran, dan
penyiraman secara
swadaya sampai
tanaman mampu
menghasilkan buah atau
produk lainnya. Hasil
panen dari tanaman
tersebut sepenuhnya
menjadi hak petani.
Meskipun demikian,
hasil kayu dari
penanaman tersebut
diperoleh dengan
No.
Lokasi
Jasa
Lingkungan
yang di
transaksikan
Stakeholder yang
terlibat
Mekanisme
melakukan tebang pilih
untuk menghindari
degradasi lahan.
2) Dana untuk masing
masing kelompok
sebesar; Rp. 25.500.000
untuk Desa Tlekung dan
sebesar Rp. 9.500.000
untuk Desa Bondongsari
serta Rp. 12.000.000
untuk desa Bendosari
pada tahap berikutnya.
Dana tersebut
dibayarkan secara
bertahap (G to C)
3.
Danau
Perlindungan
PLN (PLTA)
Pembagian royalti sebesar
Singkarak
DAS, Sumber
(User); Forum
$40.000 per tahun atau $1
daya air,
danau Sentric
per orang per tahun (P to C)
perlindungan
(Mediator);
sedimentasi
masyarakat
(Providers)
4.
Gunung
Perlindungan
Kota Cirebon
Dana kompensasi untuk
Ciremai
Sumber daya air (User); Kabupaten konservasi G. Ciremai dari
Kabupaten
Kuningan
Kota Cirebon yang
Kuningan
(Provider)
disepakati adalah Rp 1,75
milyar/tahun (G to G)
No.
5.
Danau
Jasa
Lingkungan
yang di
transaksikan
Sumber daya
Toba
Air dan
Lokasi
Rehabilitasi
Lahan Kritis
Stakeholder yang
terlibat
- PT. Indonesia
Asahan
Aluminium
(INALUM)
(User), yang
menggunakan
sumberdaya air
yang berasal dari
Danau Toba
untuk Asahan
Hydropower
electricity yang
mensuplai
kebutuhan energi
listrik PT.
INALUM.
Pemerintah
kabupaten
(Provider)
melakukan
konservasi
dengan biaya
dari pemasukan
yang didapat dari
PT. INALUM.
- PT. Toba Pulp
Lestari
Mekanisme
Ada empat komponen dana
untuk konservasi
lingkungan yaitu pajak bumi
dan bangunan, iuran jasa
air, selisih nilai pertukaran
rupiah terhadap dollar dari
setiap penjualan produk
INALUM dan pajak lainnya,
Dana terkumpul sebesar Rp
49 Milliar dari keempat
komponen pungutan yang
sudah ditetapkan (P to G).
CSR, CD yang dialokasikan
setiap tahun tunuk 12
Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara,
penyaluran dan
pemanfaatannya difasilitasi
No.
Lokasi
Jasa
Lingkungan
yang di
transaksikan
Stakeholder yang
Mekanisme
terlibat
oleh time independen
- PT. Aqua Farm
CSR & CD
- PT. Gunung
CSR & CD
Hijau Megah
- PHRI
CSR & CD
Pelestarian Kenaekaragaman Hayati
6.
Taman
Perlindungan
Pemerintah
Kelompok tani medapatkan
Nasional
Sumber
(Perum Perhutani)
hak pengelolaan hutan dari
Meru
daya hutan
(User);
Perhutani untuk menanam
Betiri,
ConsorsiumLATIN
atau mengkonservasi
Jember
dan IPB, KAIL
tanaman obatobatan.
(Lokal NGO),
Kelompok tani
pemerintah daerah
diperbolehkan menanam
(mediator)
tanaman pertanian yang
Kelompok tani
direkomendasikan. (C to G)
(Providers)
7.
Tiga Gili
Keindahan alam
Wisatawan lokal
Lombok
bawah
dan asing (Users);
Barat
laut dan daratan
Aliansi Tiga Gili
untuk
(mediator);
pariwisata
Masyarakat dari
tiga Gili (Gili
Trawangan, Gili
Meno and Gili Air)
Penggalan dana konservasi
dari wisatawan asing yang
akan menyelam sebesar Rp
20.000 per kali kunjungan.
Dana dikumpulkan
organisasi pengusaha
diving (Ecotrust). Selain itu,
Asosiasi Pengusaha Tiga
Gili juga memungut iuran
No.
Lokasi
Jasa
Lingkungan
yang di
transaksikan
Stakeholder yang
terlibat
(Providers)
Mekanisme
bulanan dari para
pengusaha/ pedagang/
penyedia jasa yang
besarnya bervariasi mulai
dari Rp 500 sampai Rp
5000. Dana ini digunakan
untuk keperluan
pengamanan laut dari
kegiatan nelayan yang
merusak lingkungan. Selain
itu, pengusaha diving
melalui Ecotrust memberi
kompensasi sebesar Rp
3000.000 per bulan kepada
kelompok nelayan sebagai
konsekuensi dari larangan
menangkap ikan pada
kawasan tertentu yang
digunakan untuk kegiatan
diving. (C to C)
BAB IV
KEADAAN UMUM SUB DAS GOPGOPAN
4.1.
Karakteristik Wilayah di Sub DAS Gopgopan
Program Pembangunan sumber daya air Provinsi Sumatera Utara
secara umum dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang
terus meningkat dan semakin memudahkan rakyat mendapatkan dan
memanfaatkan air untuk keperluan hidupnya. Pemanfaatan dan pengaturan
air beserta sumber-sumbernya meliputi usaha penyediaan dan pengaturan
air guna menunjang usaha permukiman, pembangunan pertanian, industri,
pariwisata, kehutanan, air minum, pencegahan pencemaran dan pengotoran,
pengamanan pantai dan pengembangan daerah rawa dan tambak.
Pembangunan pengairan di Provinsi Sumatera Utara dilaksanakan melalui
peningkatan, perluasan dan pembaharuan usaha pengembangan sumber
daya air dan upaya pelestarian serta distribusinya untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kebutuhan air untuk hajat hidup orang
banyak, konservasi dan rehabilitasi lahan kritis. Secara terinci, program
pembangunan sumber daya air Provinsi Sumatera Utara sebagai berikut :
1. Program
Pengembangan
Konservasi
sumber
daya
air
untuk
meningkatkan produktivitas pemanfaatan sumber daya air melalui
peningkatan penyediaan prasarana pengairan dan mendayagunakan
sumber daya air bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
2. Program Pengembangan dan Pengelolaan Daerah Rawa;
3. Program Sungai, Danau dan sumber air lainnya untuk melestarikan
kondisi dan fungsi air sekaligus menunjang daya dukung serta
meningkatkan
nilai
dan
manfaat
sumber
air
sehingga
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan;
4. Program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi;
dapat
5. Program penyediaan dan pengelolaan air baku untuk meningkatkan
penyediaan air baku serta prasarananya dalam memenuhi air bagi
hajat hidup rakyat, baik di daerah kota maupun desa.
Secara administrative wilayah DAS di wilayah Propinsi Sumatera
Utara berdasarkan peraturan Menteri PU. No.39/PRT/1989 penetapan dan
pembagian
wilayah
terselenggaranya
sungai
dimaksudkan
usaha-usaha
perlindungan,
untuk
lebih
menjamin
pengembangan
dan
penggunaan air secara menyeluruh dan terpadu pada suatu DAS atau lebih
dengan tujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kepentingan masyarakat disegala bidang kehidupan dan penghidupan
(Soewarno, 2000).
4.1.1 Lokasi Sub DAS Gopgopan
Wilayah Sub DAS Gopgopan merupakan bahagian catchman area
dengan air yang masuk ke Danau Toba berasal dari : (1). Air hujan yang
langung jatuh ke danau; (2) Air yang berasal dari sungai-sungai yang masuk
ke danau. Ada 19 buah sungai besar yang mengalir dan bermuara ke Danau
Toba yaitu (1) Sungai Sigumbang, (2). Sungai Bah Bolon, (3) Sungai Guluan,
(4) (5) Sungai Arun. (6) Sungai Tomok, (7) Sungai Sibandang, (8) Sungai
Halian, (9) Sungai Simare, (10) Sungai Aek Bolon, (11) Sungai Mongu, (12)
Sungai Mandosi, (13) Sungai Gopgopan, (14) Sungai Kijang, (15) Sungai
Silabung, (16) Sungai Ringo, (17) Sungai Prembakan, (18) Sungai
Sipultakhuda dan (19) Sungai Silang. Sedangkan Outlet Danau Toba 1 buah
Sungai Asahan. DAS Toba dapat ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 4.1 : Jumlah Daerah Aliran Sungai (Catchment Area) Danau Toba
1.
Aek
Sigumbang
2.
Aek
Haranggaol
3.
Situnggaling
4.
Naborsahon
5.
Tongguran
6.
Gopgopan
7.
Mandosi
8.
Aek Bolon
9.
Simare
10. Halion
11. Sitobu
12. Siparbul
13. Pulau Kecil
14. Silang
15. Boding
16. Parembakan
17. Tulas
18. Aek Ranggo
19. Simala
20. B.
Sigumbang
21. Bah Bolon
22. Silabung
23. Guluan
24. Arun
25. Simaratuang
26. Sitiung-tiung
Sumber : Dinas Pengairan Provinsi Sumatera Utara, 2011
Sub DAS Gopgopan berada pada daerah Kabupaten Toba Samosir
dengan titik koordinat 2003’-2040’ LU dan 98056’-99040’ BT dan memiliki luas
wilayah 295.52 km2 serta memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
-
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Simalungun
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan dan Labuhan
Batu
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Samosir
Kabupaten Toba Samosir berada di Dataran Tinggi Bukit Barisan
dengan ketinggian 300-2.200 m dpl.
4.1.2 Bentuk Fisik Wilayah DAS
Secara geografis Sub DAS Gopgopan terletak pada posisi 2063’ LU
dan 99007’ BT secara administrative Sub DAS Gopgopan berada di
Kabupaten Toba Samosir meliputi kecamatan Lumban Julu, Bonatua Lunasi,
Porsea dan Kec. Uluan. Adapun luas total 295.52 Km sebagaimana pada
Tabel 2.2
Tabel 4.2 Luas Administrasi Sub DAS Gopgopan
Kabupaten/Regency
Kecamatan
Sub Regency
Luas/Area
(Km2)
Jumlah
Desa/Kelurahan
Lumban Julu
90.90
12
Bonatua Lunasi
57.74
12
Porsea
37.88
17
Uluan
109.00
17
Total
295.52
Sumber : Toba Samosir dalam angka 2012 (data diolah)
58
Toba Samosir
Sementara bentuk fisik dari Sub DAS Gopgopan adalah :
a. Morfologi
1. Bentuk DAS
Berdasarkan perhitungan bilai bentuk DAS adalah sebesar 3.9
dengan demikian maka bentuk Sub Das Gopgopan bulat seperti
pada gambar 4.1 dan 4.2 berikut :
Sumber : SCBFWM – Regional Sumut, 2012
Gambar 4.1. Bentuk Sub DAS Gopgopan Secara Vertikal
Sumber : Google Map, 2012 (data diolah)
Gambar 4.2 Bentuk Sub DAS Gopgopan Secara Horizontal
2. Bentuk Lahan
Dari peta topografi relief Sub Das Gopgopan merupakan Raunded
Steep Sidelopes adapun topografinya termasuk Retranguler
Dendritic dengan Landform berupa Dendritic Retranguler, sedang
halus.
3. Pola Aliran
Berdasarkan peta diperoleh bahwa Pola Aliran Sub Das Gopgopan
adalah Retranguler Dendritic.
b. Morfometri
1. Kerapatan Drainase
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh Kerapatan Drainase di
Sub Das Gopgopan seluas 0.806 km/km2 semakin tinggi kerapatan
sungai maka semakin tinggi Depresions Strorage nya, yang
berarti bahwa ketika hujan turun akan semakin banyak air yang
tertampung
di
badan-badan
sungai.
Hal
ini
memberikan
konsekwensi semakin tingginya tingkat drainase pada DAS
tersebut.
2. Keliling DAS
Dari perhitungan yang dilakukan diperoleh nilai kerapatan drainase
Sub Das Gopgopan maka besaran keliling DAS adalah 66.98 km.
3. Lereng (Sloop)
Dengan menggunakan contour length method diperoleh nilai
kereng untuk Sub Das Gopgopan sebesar 39.74%.
4. Ketinggian (Elevation)
Ketinggian (Elevation) suatu DAS sangat berpengaruh terhadap
temperature dan pola hujan, khususnya daerah bergunung. Dari
hasil
perhitungan
diperoleh
ketinggian
rata-rata
Sub
Das
Gopgopan adalah 1300 Mdpl untuk selengkapnya disajikan pada
Gambar 4.3 berikut :
Sumber : Updating data, 2011
Gambar 4.3 Ketinggian Rata-rata Sub DAS Gopgopan
5. Pusat Gravitasi
Penentuan pusat gravitasi dilakukan dengan metode centroid,
untuk Sub Das Gopgopan pusat gravitasi terletak pada koordinat
BT 20502 Lu 990060.
6. Gradien Sungai Utama
Dengan menghitung gradient sungai rata-rata dengan slofe faktor
didapat nilai gradient Sub Das Gopgopan adalah 2.86, untuk
selengkapnya disajikan pada Gambar 4.4 berikut :
Suber : Updating data, 2011
Gambar 4.4. Gradien Sungai Utama Sub DAS Gopgopan
7. Panjang Sungai Utama
Dari perhitungan yang dilakukan diperoleh nilai panjang sungai
utama di Sub Das Gopgopan adalah 13.986 km.
8. Jaringan sungai
Parameter jaringan sungai dikuantifikasikan dengan menentukan
ordo sungai (urutan) dari masing-masing alur sungai bahwa
penentuan ordo sungai
menggunakan metode Strahler dimana
sungai yang paling hulu tidak mempunyai cabang disebut ordo
pertama (ordo 1). Pertemuan antara ordo 1 denga ordo 1 disebut
ordo ke dua (ordo 2), demikian seterusnya sampai pada sungai
utama ditandai dengan
nomor ordo paling besar. Dengan
menggunakan metode ini kemudian dilakukan analisis ordo sungai
di wilayah Sub Das Gopgopan seperti yang tersaji pada Tabel 4.3
berikut :
Tabel 4.3 Panjang Sungai setiap Ordo Sub DAS Gopgopan
Ordo
Panjang Sungai
Meter
Km
1
48.475.552
48.475
2
26.545.746
26.545
3
21.628.428
21.628
Total
96.649.726
96.649
9. Perbedaan Tinggi
Ketinggian Sub Das Gopgopan diperoleh dari informasi garis
kontur. Dari hasil tersebut maka dapat diperoleh bahwa ketinggian
terendah 925 Dpl dan tertinggi 2.200 Dpl.
4.1.3 Hidrologi dan Kualitas Air
Hidrologi DAS yang disampaikan adalah debit sungai, dalam hal ini
debit sungai di estimasi dari hubungan antara curah hujan dengan debit.
Regresi yang digunakan adalah Regresi Sub Das Gopgopan karena kedua
datanya tersedia pada lokasi ini dari hasil regresi tersebut debit air di Sub
Das Gopgopan diperlihatkan pada table 4.4.
Tabel 4.4 Debit Sungai Sub Das Gopgopan
Bulan
Jan
Feb
Mart April Mei
Juni
Juli
Agust Sep
Okt
Nov
Des
7.9
7.8
8.0
7.8
7.9
8.0
8.1
7.9
8.1
8.0
7.8
8.1
Sumber : Hasil estimasi data curah hujan, 2010
Untuk kondisi iklim dan tata air di wilayah Sub Das Gopgopan dapat dilihat
sebagai berikut :
1. Iklim/Curah Hujan
Berdasarkan klasifikasi iklim Odleman (1972), kondisi iklim pada Sub
Das Gopgopan Kabupaten Toba Samosir termasuk pada tipe iklim E2
dengan bulan basah antara 0 s/d 2 bulan dan bulan kering antara 2 s/d
3 bulan. Curah hujan di Sub DAS Gopgopan berkisar antara 28.96 mm
sampai 164.63 mm untuk selengkapnya disajikan pada Tabel 4.5
berikut :
Table 4.5. Curah Hujan Sub Das Gopgopan
Bulan
CH
Jan
Feb
Mart
April
Mei
Juni
Juli
Agust
Sep
Okt
Nov
Des
Tahunan
67
29
113
109
36
32
79
97
165
161
93
134
1115
Sumber : Hasil estimasi data curah hujan Prapat dan Toba Samosir
2. Tata Air
Data tata air yang terdapat pada sungai Gopgopan dapat dilihat
pada tabel 4.6 berikut :
Tabel 4.6. Data Tata Air Sub DAS Gopgopan
Debit
Debit rerata
Tubidity
Tubidity rerata
Barometric
Barometric rerata
pH
pH rerata
Conductivy
Conductivy rerata
16.97
4.24
58.34
14.58
2,729.21
682.30
28.05
7.01
198.63
49.66
m3/s
m3/s
NTU
mmHg
Mg/l
Sumber : Hasil Pengukuran dilapangan menggunakan
currentmeter dengan 4 titik pengambilan sampel
Secara geografis Sub DAS Gopgopan berada di Kabupaten Toba
Samosir meliputi kecamatan Lumban julu, Porsea, Bona Tua Lunasi dan
Kecamatan Uluan. Adapun luas total 295.52 Km2 sebagaimana pada Tabel
4.2.
4.1.4 Drainase Wilayah
Keadaan drainase dari suatu tanah pada tempat tertentu didalam
satuan wilayah tertentu pula akan mempengaruhi indeks bahaya erosi
disuatu wilayah. Adapun untuk mendekati beberapa nilai tingkat drainase
pada suatu wilayah dengan menggunakan peta topografi skala 1 : 50.000,
photo udara pancromatik hitam putih skala 1 : 50.000. Dari bahan tersebut
diinterprestasi atau pengamatan starsoskopi dan delenasi mengenai daerahdaerah yang seragam kerapatan alur pengaturannya.
Dari data diatas diharapkan akan diperoleh data mengenai bentuk
drainase disuatu wilayah atau tempat. Semua informasi tentang drainase
wilayah akan dituangkan dalam suatu peta yang bisa memuat informasi
secara lengkap mengenai bentuk percabangan, sungai yang besar, anakanak sungai dengan sungai yang kecil bahkan sampai dengan alur-alur
disuatu tempat sebagai saluran alam yang berfungsi sebagai pembuangan
kelebihan air pada saat hujan.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bentuk muka lahan
berbukit, relief berombak dengan kemiringan lereng 30-40% sehingga
drainase wilayahnya terbagi dalam drainase aliran lambat dan drainase
permukaan cepat.
4.2
Jumlah dan Perkembangan Penduduk
4.2.1 Kependudukan
Berdasarkan data statistik desa-desa pada tahun 2010 yang ada
diketahui jumlah penduduk diwilayah Aek Sikorsik-korsik Sub DAS Gopgopan
yang merupakan DAS mikro terpilih tercatat sebanyak 4.925 orang dengan
perbandingan jumlah penduduk laki-laki terhadap perempuan (sex ratio)
adalah 0.96 yang berarti jumlah perempuan lebih banyak dibanding jumlah
laki-laki. Nilai laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2.04%. pada
pengamatan satuan terkecil desa laju pertumbuhan penduduk 1.1% sampai
dengan 2.9%.
Jumlah penduduk di wilayah Sub DAS Gopgopan Kabupaten Toba
Samosir pada tahun 2011 adalah 34.898 jiwa, dengan jumlah persentase di
Kecamatan Porsea 7.73, Kecamatan Lumban Julu 4.70, Kecamatan Uluan
4.63, dan Kecamatan Bonatua Lunasi 2.91.
Tingkat kepadatan penduduk wilayah Sub DAS Gopgopan di
Kecamatan Porsea dengan tingkat kepadatan sebesar 356.52 jiwa/km2.
Untuk lebih jelasnya data penduduk setiap kecamatan di wilayah Sub DAS
Gopgopan Kabupaten Toba Samosir dapat ditunjukkan dalam tabel 4.7
berikut :
Tabel 4.7 : Jumlah Penduduk di Wilayah Sub DAS Gopgopan
Penduduk (Jiwa)
Jumlah
Persen
1
Porsea
13.505
7.73
2
Lumban Julu
8.218
4.70
3
Uluan
8.094
4.63
4
Bonatua Lunasi
5.081
2.91
Jumlah
34.898
19.97
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Toba Samosir 2012
(data diolah)
No.
Kecamatan
Untuk melihat seberapa besar tingkat kepadatan agraris guna
mengetahui banyaknya penduduk dibanding dengan lahan pertanian yang
ada terlihat kepadatan penduduk agraris desa-desa di wilayah Aek Sikorsikkorsik Sub DAS Gopgopan mayoritas tingkat kepadatan agraris tertinggi
adalah pada lokasi kantor kepala desa.
4.2.2 Mata Pencaharian
Mata Pencaharian penduduk adalah pekerjaan pokok yang merupakan
sumber baku penghasilan untuk penghidupan sehari-hari. Keadaan kegiatan
ekonomi penduduk di Sub DAS Gopgopan didominasi oleh bidang pertanian
dengan jenis pencaharian pertanian dibidang tanaman pangan yaitu 14.321
orang atau sebesar 65.57% dari jumlah penduduk.
4.2.3 Kelembagaan
Keadaan organisasi kelembagaan yang hidup dan berkembangan di
wilayah Sub DAS Gopgopan yang merupakan lembaga formal dan lembaga
informal, baik bersifat tradisional maupun yang menyesuaikan dengan
pembangunan yang dilaksanakan.
4.2.4 Lembaga Formal
Lembaga Formal merupakan lembaga masyarakat yang bersifat local
dan secara organisasi berdiri sendiri serta merupakan wadah partisipasi
masyarakat
dalam
pembangunan,
seperti
Pembinaan
Kesejahteraan
Keluarga (PKK), Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Dharma
Wanita, Pramuka, dll. Keadaan kelembagaan formal di wilayah Sub DAS
Gopgopan terutama PKK, LKMD sudah ada disetiap desa maupun
kecamatan sedangkan dharma masih terbatas di kota kecamatan.
4.2.5 Lembaga Informal
Lembaga informal dimaksudkan adalah lembaga/badan/organisasi
yang dibentuk berdasarkan inisiatif kelompok warga masyarakat tertentu
dengan dana warga masyarakat yang bersangkutan, seperti Kelompok Tani,
KUD, dll. Keadaan kelembagaan informal di wilayah Sub DAS Gopgopan
belum menyeluruh di setiap desa, keadaan kelembagaan ini merupakan
bersifat sporadic.
4.2.6 Identifikasi Masalah
Masyarakat memandang
bahwa air dari sungai Gopgopan adalah
barang bebas yang tidak banyak manfaatnya karena terdapat dilembah dan
kalaupun digunakan diperlukan biaya yang besar untuk menaikkannya, yang
tidak mungkin dilakukan dengan kemampuan masyarakat itu sendiri.
Pandangan ini terjadi karena air dari sungai Gopgopan belum
dimanfaatkan secara optimal baik untuk keperluan rumah tangga maupun
untuk mendukung usaha ekonomi masyarakat. Air dari sungai Gopgopan
mengalir walaupun pada musim kemarau. Sumber air terletak di pegunungan
dengan beda ketinggian yang memadai untuk pemamfaatannya, sebagai
sumber air minum dengan tekanan grafitasi. Masyarakat sekitar DAS
Gopgopan masih mengambil air untuk keperluan rumah tangga dari mata air
terdekat, hingga saat ini air dari sungai Gopgopan belum dikelola sebagai
Sumber Air Bersih oleh PDAM Kabupaten Toba Samosir.
PDAM Tirtanadi Cabang Toba Samosir, pelayanan masih terbatas
pada 5 kecamatan yakni kecamatan Balige, Laguboti, Porsea, Ajibata dan
Parmaksian, meliputi 42 desa/kelurahan dengan jumlah pelanggan 4.701
sambungan.
Sarana irigasi yang ada masih sangat terbatas pada jaringan irigasi
setengah teknis dan irigasi sederhana/irigasi desa. Air mengalir ke Danau
Toba tanpa memberi manfaat bagi masyarakat yang bermukim di wilayah
DAS.
4.3
Potensi Tanaman Lokal jenis HHBK
Secara fisik potensi tanaman yang dapat menghasilkan pendapatan
masyarakat jenis yang di wilayah Sub DAS Gopgopan. Tanaman potensi
local ini akan lebih mudah dilakukan pengembangannya dan sesuai dengan
kondisi wilayah. Untuk itu tanaman ini dapat dilihat dari segi land used,
tofografi, sosial budaya dan kebiasaan dari wilayah tersebut. Tanaman
potensi lokal yang ditemukan pada tulisan ini adalah : 1). Nira; 2). Petai; 3).
Jengkol; 4). Durian; 5). Kemiri; 6). Kunyit; 7). Jahe.
Pohon aren yang ada di wilayah Sub DAS Gopgopan banyak dijumpai
di hutan rakyat. Umumnya aren yang telah ditanam dapat dipanen setelah
umur 8 tahun. Walaupun pohon aren bisa tumbuh di dataran rendah, tapi
daerah yang mampu memberi hasil yang memuaskan ialah tempat-tempat
antara 500-1200 mdpl. Sebab tempat setinggi itu tidak pernah kekurangan air
tanah, tapi juga tidak pernah tergenang banjir air permukaan seperti di
dataran rendah. Itulah sebabnya kebanyakan pohon aren tumbuh sumbur di
tempat-tempat yang landai seperti lereng gunung, atau tepian lembah sungai.
Di tempat yang miring itu, kelebihan air dipermukaan air tanah selalu cepat
mengalir ke tempat lain. Namun tanahnya tidak pernah kering karena adanya
air tanah yang dangkal dibawah permukaan. Asal ada tempat seperti ini,
pohon aren mau tumbuh dengan subur baik di Sumatera, pulau Jawa,
Sulawesi maupun pulau-pulau kecil lainnya (Soeseno, 1993).
Pohon aren dengan air nira atau “tuak” yang dihasilkan telah menjadi
bahagian dari adat budaya dan kebiasaan dari
masyarakat batak yang
dominan di wilayah Sub DAS Gopgopan. Tuak yang ada hubungannnya
dengan adat adalah tuak tangkasang : tuak yang tidak bercampur dengan
raru. Karena tuak itu berasal dari mayang bagot, maka perlu diketahui
legenda keberadaan batang bagot.
4.4.
Aliran Sungai dan Penggunaan Air
4.4.1 Aliran Sungai
Berdasarkan sifat aliran sungai dari posi wilayah pemerintahan di Sub
DAS Gopgopan, aliran permukaan yang berasal dari hulu sungai Gopgopan
mengalir melalui 4 (empat) kecamatan di kabupaten Toba Samosir kemudian
secara kolektif menyatu dengan aliran 289 sungai lainnya membentuk Danau
Toba. Danau Toba secara administratif dimiliki oleh 7 kabupaten yaitu
kabupaten Samosir, kabupaten Toba Samosir, kabupaten Simalungun,
kabupaten Tapanuli Utara, kabupaten Humbang Hasundutan, kabupaten
Dairi dan kabupaten Karo. Luas permukaan Danau Toba itu 1.130,00 Km2
dan luas daratan DTA 4.311,58 Km2 dan kedalaman maksimum 529 Meter.
Kondisi letak geografis sedemikian menyebabkan pengelolaan PES di
Sub DAS Gopgopan tidak terpisahkan dari pengelolaan PES Sub DAS
lainnya khususnya dalam lingkungan wilayah DAS Asahan Toba. Air dari
Danau Toba dialirkan oleh satu outlet yaitu sungai Asahan yang bermuara di
Pantai Timur Sumatera Utara melalui kabupaten Asahan dan kota Tanjung
Balai.
4.4.2 Penggunaan Air
Penggunaan air di kabupaten Toba Samosir yang wilayahnya tercakup
dalam Sub DAS Gopgopan terbatas untuk keperluan domestik, sebagian
untuk keperluan air irigasi, sedikit pertanian tadah hujan (non irigasi). Air
yang digunakan adalah air hujan, air permukaan dan air tanah.
Penggunaan air Danau Toba selain kebutuhan domestik juga sudah
mengarah
kepada
kebutuhan
komersial,
yakni
dengan
semakin
berkembangnya budidaya ikan air tawar dan usaha angkutan danau. Danau
Toba sebagai ekosistem air berperan mendukung kehidupan biota air dan
jasa estetika lainnya yang mendukung pariwisata. Di Danau Toba terdapat
satu perusahaan PMA yakni PT. Aqua Farm yang membudidayakan ikan air
tawar dengan tujuan eksport, 2 (dua) unit Ferry milik PT. Gunung Hijau
Megah; 2 (dua) unit Ferry milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
disamping
kapal
bermotor
milik
masyarakat
(belum
terinventarisasi)
melakukan aktifitas sehari-hari.
Outlet Danau Toba adalah sungai Asahan mengalirkan air Danau
Toba menuju Selat Malaka. Air sungai Asahan selain pemanfaatan domestic
degunakan untuk industri oleh PT. TPL Porsea, Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA) Tangga, Sigura-gura dan PLTA Asahan I dengan kapasitas lebih
dari 10.000 Mw.
Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai merupakan daerah Hilir
DAS Asahan Toba. Air sungai Asahan di daerah ini dimanfaatkan lebih
optimal yakni untuk irigasi, PT. INALUM, Usaha Industri, PDAM, Agroindustri
dan lain-lain.
Posisi Sub DAS Gopgopan hubungannya dengan wilayah pemerintah
otonomi dan perusahaan/masyarakat pengguna air dapat dilihat pada
Kab. Tapanuli Utara
Kab. Humbang
Kab. Simalungun
Kab. Dairi
Kab. Karo
Kab. Asahan
-
PLTA siguragura, Tangga,
Asahan I
PT. TPL
Masyarakat Pengelola
Lahan/Penghasil Kualitas Air
PT. Aqua Farm, PT. Gunung
Hijau Megah
LLASDF
PHRI
Pariwisata
PDA
M
Masyarakat
pengguna
Air
Lembaga Non Pemerintahan
Kab. Samosir
Masyarakat Pengelola
Lahan/Penghasil Kualitas Air
ovinsi
Sub DAS Gopgopan
Kab. Tobasa
P e m e r i n t a h K a b u p a t e n, K o t a, P r
gambar 4.5.
Masyarakat Pengelola Lahan
Penghasil Kualitas Air
PT. INALUM
IRIGASI
INDUSTRI
PDAM
Agroindustri
Masyarakat
pengguna
Air
Arah aliran
sungai dan anak
sungai
Gambar 4.5 Posisi Wilayah Pemerintahan Otonomi dan
Perusahaan/masyarakat Pengguna Air Sub DAS Gopgopan.
BAB V
KAJIAN SUMBER PEMBIAYAAN
5.1.
Dukungan Pemerintah
Susilo Bambang Yudoyono (2012), “Ini adalah waktunya dimana kita
bisa mematahkan sisa-sisa mitos tentang pembangunan dan lingkungan. Kita
dapat mematahkan mitos bahwa pembangunan pasti akan mengarah pada
deforestasi. Kita dapat mematahkan mitos bahwa pembangunan otomatis
akan
meningkatkan
emisi.
Kita
dapat
mematahkan
mitos
bahwa
pembangunan akan menyebabkan ketimpangan. Kita dapat mematahkan
mitos bahwa kita hanya bisa memilih antara pembangunan dan demokrasi
dan kita tidak bisa memiliki keduanya”.
RPJM Pembangunan Nasional Kabinet Pembangunan Indonesia
bersatu menetapkan 11 (sebelas) prioritas pembangunan yaitu : 1) Reformasi
Birokrasi dan Good Govermance; 2) Pendidikan, 3) Kesehatan, 4)
Penanggulangan kemiskinan, 5) Ketahanan Pangan, 6) Infrastruktur, 7) Iklim
Infertasi dan bisnis, 8) Energi, 9) Lingkungan hidup, 10) Pembangunan
Daerah Tertinggal, Terdepan dan Pasca Konflik, 11) Kebudayaan Kreativitas
dan Inovasi Teknologi.
Sebelas prioritas Pembangunan Nasional bertumpu pada empat pilar
yang telah dicanangkan pemerintah yaitu pembangunan yang Pro Growth,
Pro Job, Pro Poor dan Pro Environmental (Menteri Keuangan RI).
Tingginya atensi pemerintah terhadap peranan lingkungan dalam
pembangunan nasional hendaknya dimanfaatkan sebagai momentum
penting oleh
jajaran pemerintah disemua
lini,
diterjemahkan
dalam
penyusunan program strategis yang didukung dengan pengalokasian
anggaran.
5.2.
Dukungan Pemerintah Provinsi
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sekaligus
merupakan Kepala Daerah untuk wilayah Provinsi juga bertugas melakukan
pembinaan,
pengawasan
dan
mengkoordinasikan
penyelenggaraan
pemerintah daerah kabupaten kota.
Berdasarkan topografi Daerah Sumatera Utara dibagi menjadi 3 (tiga)
wilayah yaitu wilayah Pantai Timur yang merupakan Dataran Rendah seluas
24.921,99 km2 (34.77%) dari luas Provinsi Sumatera Utara dan wilayah
Dataran Tinggi dan Pantai Barat yang sebagian besar pegunungan dan lahan
terjal dengan luas 46.758,69 km2 (65.23%).
Wilayah Pantai Timur merupakan daerah subur, kelembaban tinggi,
curah hujan tinggi merupakan daerah pusat pertanian, industri dan jasa
dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, mengalami pertumbuhan
penduduk yang tinggi akibat migrasi dari daerah Dataran Tinggi dan Pantai
Barat untuk peningkatan kualitas hidup (Simamora, Sirojuzilan).
Wilayah Pantai Timur terdiri dari 4 (empat) kota dan 9 (sembilan)
kabupaten, yaitu : Kotamadya Medan, Binjai, Tebing Tinggi, Tanjung Balai,
Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat, Labuhan Batu, Labuhan Batu
Utara, Labuhan Batu Selatan, Asahan, Batu Bara dan Topografi Datar.
Wilayah dataran tinggi terdiri dari satu kota dan 8 kabupaten yaitu kota
Pematang Siantar, Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Samosir,
Humbang Hasundutan, Dairi, Pakpak Bharat, Simalungun dan Karo, dengan
topografi Pegunungan, berbukit.
Wilayah Pantai Barat terdiri dari 3 kota dan 9 kabupaten, yaitu : Kota
Sibolga, Sidempuan, Gunung Sitoli, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah,
Mandailing Natal, Nias, Nias Barat, Nias Selatan, Nias Utara, Padang Lawas,
Padang Lawas Utara.
Wilayah Pantai Timur memiliki potensi ekonomi yang tinggi sehingga
cenderung semakin padat karena arus migrasi dari wilayah Pantai Barat dan
Dataran Tinggi. Banjir juga sering melanda wilayah tersebut akibat
berkurangnya pelestarian hutan, erosi dan pendangkalan sungai. Pada
musim kemarau terjadi pula kekurangan persediaan air disebabkan kondisi
hutan yang kritis.
Wilayah Dataran Tinggi dan Pantai Barat sebagian besar merupakan
pegunungan, memiliki variasi dalam tingkat kesuburan tanah, iklim, topografi
dan kontur serta daerah yang struktur tanahnya labil. Beberapa danau
sungai, air terjun dan gunung berapi dijumpai di wilayah ini serta sebagian
wilayahnya tercatat sebagai daerah gempa tektonik dan vulkanik.
Terdapat ketimpangan wilayah yang nyata antara Pantai Timur,
Dataran Tinggi dan Pantai Barat di Sumatera Utara yang digambarkan
dengan pertumbuhan ekonomi, kontribusi PDRB dan PDRB perkapita.
Kontribusi PDRB wilayah Pantai Timur terhadap PDRB Provinsi Sumatera
Utara sebesar 67.08%, PDRB/kapita Rp. 2.230.310,- sedangkan kontribusi
PDRB wilayah dataran tinggi Pantai Barat hanya 14.89% dan PDRB
perkapita Rp. 1.336.162 pada tahun 2001 (Tampubolon, 2001).
Pengerahan dana pemerintah daerah juga merupakan salah satu
faktor utama yang menentukan perekonomian regional. Untuk wilayah pantai
timur pengerahan dana pemerintah mengalami peningkatan dari Rp. 2.547,5
milyar tahun 2002 meningkat menjadi Rp. 3.415,8 milyar pada tahun 2003
(meningkat 34.8%) dan proporsi wilayah Pantai Timur sebesar 54.3%
(Simamora).
Struktur ekonomi Dataran Tinggi dan Pantai Barat Sumatera Utara
mengalami perobahan dari sektor pertanian ke industri diikuti sedikit sektor
jasa seiring dengan pertumbuhan pendapatan perkapita. Wilayah Pantai
Timur menunjukkan perobahan yang lebih tegas dari sektor pertanian ke
sektor industri dan jaa. Perobahan di wilayah Pantai Barat disebabkan oleh
faktor lokalitas di wilayah Pantai Timur disebabkan faktor eksternal.
Di wilayah Pantai Barat dan Pantai Timur terjadi pertumbuhan dengan
pola tidak seimbang. Gambaran tersebut menunjukkam fenomena yang
sesuai mengenai bagaimana proses pembangunan yaitu pembangunan yang
terjadi merupakan rangkaian ketidak seimbangan-ketidak seimbanga (a
chain of disequlibrium) pertumbuhan (Tampubolon, 2001).
Kesenjangan yang terdapat dikawasan Timur – Dataran Tinggi/Barat
ini disebabkan oleh ketimpangan aksesibilitas yang mempengaruhi tata niaga
dan pola koleksi distribusi yang pada akhirnya menyebabkan tidak efisiennya
perekonomian di wilayah Dataran Tinggi/Pantai Barat Sumatera Utara.
Kawasan Dataran Tinggi Sumatera Utara yang terletak dibagian
Tengah Sumatera Utara merupakan Punggung Bukit Barisan dengan
topografi berbukit, bergelombang dan terjal adalah merupakan DAS dari
beberapa sungai yang mengalir ke wilayah Pantai Timur. Wilayah ini adalah
merupakan daerah Hulu mempunyai peranan penting sebagai Butfer Zona
(penyangga kehidupan) bagi wilayah Pantai Timur yang merupakan daerah
hilir.
Tabel 5.1 Pembagian Wilayah Kabupaten Kota di Sumatera Utara
menurut Wilayah Pembangunan
Bagian
I
II
Pantai Barat
Nias
Nias Selatan
Nias Barat
Nias Utara
Mandailing Natal
Padang Lawas Utara
Tapanuli Selatan
Tapanuli Tengah
Sibolga
Padang Sidempuan
Gunung Sitoli
Dataran Tinggi
Tapanuli Utara
Toba Samosir
Humbang Hasundutan
Samosir
Dairi
Pakpak Bharat
Potensi Daerah
Pertanian
Perikanan
Pariwisata
Perkebunan
Pertanian
Perkebunan
Industri
Pariwisata
Luas Wilayah
(%)
36.85
28.34
Bagian
Potensi Daerah
Pematang Siantar
Pantai Timur
Deli Serdang
Perkebunan
Serdang Bedagai
Pertambangan
Langkat
Industri
Tebing Tinggi
Jasa
Medan
Binjai
IV Pantai Selatan
Perkebunan
Labuhan Batu
Industri
Labuhan Batu Utara
Perdagangan
Labuhan Batu Selatan
Asahan
Batubara
Tanjung Balai
Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara (diolah)
Luas Wilayah
(%)
III
15.33
19.48
Wilayah Pantai Selatan merupakan pemisahan dari wilayah Pantai
Timur mempunyai karakteristik dan pertumbuhan ekonomi yang relatif sama.
Sedangkan wilayah Dataran Tinggi dan wilayah Pantai Barat mempunyai
karakteristik topografi dan pertumbuhan ekonomi yang relatif sama.
Wilayah Dataran Tinggi mempunyai peran penting sebagai Buffer
Zone (penyangga kehidupan) bagi kelangsungan ekosistem bagi Daerah
Pantai Timur. Wilayah Dataran Tinggi merupakan Daerah Hulu Sungau
(DHS) dan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bermuara di Pantai Timur.
Letak geografis sedemikian, sesuai dengan hukum alam bahwa
potensi ekonomi wilayah Pantai Timur seperti Tanah Subur, suplay air dan
kelembaban tinggi adalah merupakan sumbangan jasa lingkungan yang
dihasilkan dari Daerah Hulu Sungai/Daerah Aliran Sungai (DHS/DAS)
wilayah Dataran Tinggi.
Hulu
Hilir
Sumber : Google Map (data diolah), 2012
Gbr.5.1 Sungai Asahan dari Danau Toba Bermuara di Kabupaten
Asahan
Dalam konteks mengurangi kesenjangan pertumbuhan ekonomi
sekaligus mendukung upaya pelestarian lingkungan dalam jangka panjang,
keserasian antar wilayah hulu dan hilir adalah wajar dengan sangat
bijaksana. Jika daerah kabupaten kota yang berada dalam wilayah Pantai
Timur member kompensasi dalam bentuk payment for environmental
services (Pembayaran Jasa Lingkungan) bagi wilayah Dataran Tinggi hal ini
perlu diatur dalam naskah kesepahaman bersama yang didasarkan kepada
kesadaran yang di koordinasikan pelaksanaannya olah pemerintah provinsi
Sumatera Utara.
5.3.
Sumber Pembiayaan Lokal
Undang-undang No. 33 Tahun 2004, Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah suatu system pembagian
keuangan yang adil, demokratis, transparan dan efisien. Dalam rangka
penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, dan
kebutuhan daerah serta besaran pendanaan Dekonsentrasi dan tugas
perbantuan.
Penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas
pendapatan daerah dalam pembiayaan pendapatan daerah bersumber dari :
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
b. Dana Perimbangan
c. Lain-lain Pendapatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari :
a. Pajak Daerah
b. Retribusi Daerah
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan
d. Lain-lain PAD yang sah
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka desentralisasi, terdiri atas :
a. Dana Bagi Hasil
b. Dana Alokasi Umum
c. Dana Alokasi Khusus
Dana bagi hasil bersumber dari pajak dan sumber alam, dana bagi
hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas :
a. Pajak Bumi dan Bangunan
b. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
c. Pajak Penghasilan (PPh)
Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber alam berasal dari :
a. Kehutanan
b. Pertambangan umum
c. Perikanan
d. Pertambangan gas bumi, dan
e. Pertambangan panas bumi
Dana bagi hasil dibagi antara daerah provinsi penghasil daerah/kota
penghasil, pemerintah dan sebagian dibagi untuk kabupaten/kota merata se
Indonesia. Pembagian dana perimbangan dilaksanakan secara proporsional
dengan porsi yang lebih besar kepada daerah/kota penghasilan. Jadi lebih
tepat jika dikatakan “adil dan proporsional”. Namun belum memperhitungkan
peranan daerah yang bukan penghasil dana akan tetapi berperan sebagai
penyedia jasa lingkungan khususnya Daerah Aliran Sungai.
Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari Pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah untuk mendamai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana alokasi umum suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal
dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan
kapaitas fiskal daerah alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah Pegawai
Negeri Sipil Daerah, Kebutuhan Fiskal Daerah merupakan kebutuhan
pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum.
Setiap kebutuhan pendanaan yang dibiayai dari Dana Alokasi Umum
(DAU) diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah,
indek kemahalan konstruksi Produk Domestik Regional Bruto per kapita dan
Indeks Pembangunan Manusia.
Data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal diperoleh
dari lembaga statistik pemerintah dan atau lembaga pemerintah yang
berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Luas wilayah sebagai dasar pengukuran untuk pengalokasian DAU
untuk kabupaten kota dan sejauh ini masih belum memperhitungkan
karakteristik wilayah sehingga wilayah datar dan wilayah berbukit, lahan
terjal, daerah aliran sungai diperlakukan sama berdasarkan luas perhitungan
ini belum memperhitungkan faktor kesulitan untuk pengelolaan lingkungan
hidup yang harus ditangani oleh Kabupaten / Kota di wilayah pengunungan /
DAS.
Dalam konteks pembangunan yang pro environmental diharapkan
karakteristik wilayah khususnya topografi, kontur dan peranan wilayah
sebagai provider jadi lingkungan dapat diperhitungan sebagai indek
kemahalan jasa lingkungan dalam pengalokasian DAU Kabupaten Kota.
Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah dana yang bersumber dari APBN
yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan
prioritas nasional. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah, kegiatan khusus dimaksud
sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN.
Pemerintah menerapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum,
kriteria khusus dan kriteria teknis, kriteria umum ditetapkan dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD, kriteria
khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan
dan
karakteristik
daerah,
sedangkan
kriteria
teknis
ditetapkan
oleh
kementerian negara / departemen teknis.
Pemerintah Kabupaten Kota difasilitasi oleh kementerian negara /
departemen
teknis
perlu
menetapkan
kriteria
teknis
wilayah
dalam
peranannya sebagai provider jasa lingkungan untuk dapat digunakan sebagai
acuan pengalokasian Dana Alokasi Khusus.
Dana Tugas pembantuan adalah nama yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh Daerah yang mencakup semua penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan, merupakan
bagian
anggaran
kementerian
negara/lembaga
yang
dialokasikan
berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian negara / lembaga
negara. Tata kerja dan pembiayaan rehabilitasi hutan dan lahan diatur dalam
Permenhut Nomor : P.14/Menhut-II/2012 tentang pedoman Penyelenggaraan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2012 dan Permenhut Nomor :
P.15/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Umum Pengembangan Perhutanan
Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi.
BAB VI
SKEMA PES SUB-DAS GOPGOPAN
Secara umum PES (Payment for Environmental Services) didefinisikan
sebagai mekanisme kompensasi di mana penyedia jasa (Service Provider)
dibayar oleh penerima jasa (service User) USAID 2009. Sedangkan definisi
dari Wunder (2005) Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) adalah sebuah
transaksi suka rela dengan kerangka kerja yang dinegosiasikan dimana
terdapat jasa lingkungan yang dapat terukur atau adanya pengguna lahan
untuk memelihara jasa lingkungan yang dikandungnya yang kemudian jasa
lingkungan tersebut dibeli oleh minimal satu pembeli dari minimal satu
penyedia jasa lingkungan, pembelian hanya dilakukan jika pelayanan benarbenar diberikan. Berikut adalah ilustrasi pembagian jasa lingkungan.
Waduk,
Sungai
Danau,
Laut.
Gbr. 6.1. Ilustrasi Pembagian Jasa Lingkungan
Berdasarkan definisi di atas suatu pembayaran jasa lingkungan
memerlukan sebuah mekanisme untuk mengatur berjalannya kegiatan
tersebut. Menakisme pembayaran jasa multi fungsi DAS yang tergolong
dalam pembayaran jasa lingkungan dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga)
bentuk (Chayono & Purwanto, 2006) yaitu :
1. Kesepakatan yang diatur sendiri.
Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima
jasa, biasanya bersifat terbuka, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara
tatap muka, perjanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang
rendah dari Pemerintah. Misalnya skema ekolabel, sertifikasi, pembelian hak
pengembangan lahan dimana jasa itu berada, pembayaran langsung antara
pemanfaatan jasa yang bertanggung jawab atas ketersediaan jasa multi
fungsi DAS.
2.
Skema Pembayaran Publik.
Pendekatan ini sering digunakan bilamana Pemerintah bermaksud
menyediakan landasan kelembagaan untuk suatu program dan sekaligus
menanamkan investasinya. Pemerintah dapat memperoleh dana melalui
beberapa jenis iuran dan pajak. Contohnya, kebijakan penetapan harga air,
persetujuan penggunaan pajak air untuk melindungi DAS, menciptakan
mekanisme pengawasan, pemantauan pelaksanaan regulasi yang bersifat
melindungi penyedia jasa dan menerapkan denda bagi yang melanggarnya.
3.
Skema Pasar Terbuka.
Skema ini jarang diterapkan dan cenderung diterapkan di negara
maju. Pemerintah dapat mendefenisikan barang atau jasa apa saja dari
multifungsi DAS yang dapat diperjual belikan. Selanjutnya dibuat regulasi
yang menimbulkan permintaan. Perlu sebuah kerangka regulasi yang kuat
dan penegakan hukum tranparansi, perhitungan secara ilmiah yang akurat
dan system verifikasi yang terjamin.
Menurut USAID (2009), konsep PES relatif baru, sehingga tidak
semua skema kontrak PES yang berkembang telah memiliki kesempurnaan
dan siap diperbanyak untuk daerah lain. Hingga sekarang skema PES pada
pengelolaan DAS yang dikembangkan masih sangat beragam dengan
tahapan kemajuan yang berbeda-beda dan untuk berbagai tujuan mulai dari
tingkat mikro dengan fokus yang sangat spesifik hingga tingkat nasional yang
dikontrol oleh negara. Sehingga pengelolaan DAS yang tercermin dalam
skema PES berbeda satu sama lain : one river on manajement.
Skema PES Sub-DAS Gopgopan akan memberi warna tersendiri
karena karateristik DAS nya yang unik. Dimana Air dari DAS Gopgopan
berwarna ke Danau Toba, sedangkan Danau Toba merupakan reservoir air
raksasa, setelah terakumulasi dengan DAS lainnya pada catchemen area
Danau Toba air dari Danau Toba dialirkan oleh satu sungai yang besar yaitu
sungai asahan ke Kabupaten Asahan, sehingga Danau Toba adalah hulu
DAS bagi Pantai Timur Sumatera Utara, diilustrasikan dalam gambar berikut :
DAS Asahan Toba
Sub DAS Gopgopan
Hulu
Hilir (intermaete)
PT. Aqua Farm
PT. TPL
LLASDF
D-Toba
Hilir (advance)
Asahan
PLTA Siguragura,
Tangga dan Asahan I
PT. Inalum
Industri
Agroindustri
Irigasi
Air
Minum
(PDAM)
Gbr. 6.2. Sub DAS Gopgopan
( Hulu - Hilir )
Pengembangan kebijakan PES dimulai dari kasus-kasus bersifat local
dengan cara melakukan kajian, terutama bila kajian tersebut berdasarkan
pada konsep intrumen ekonomi lingkungan sehingga formulasi instrument
kebijakan menjadi suatu
yang
signifikan
untuk
diaplikasikan
dalam
masyarakat. Hubungan antara jasa lingkungan dan PES berarti terjadinya
pemanfaatan atas sumber dimaksud, dalam hal ini diatur dalam peraturan
Pemerintah nomor 6 tahun 2007 tentang Tata hutan dan penggunaan
kawasan hutan, dimana disebut bahwa pemanfaatan jasa lingkungan adalah
bentuk usaha untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak
merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi potok hutan.
Dalam peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 dikatakan pula
bahwa jasa lingkungan adalah jasa ekonomi system alamiah dan system
budaya yang memanfaatkannya dapat digunakan baik secara langsung
maupun
tidak
langsung
dalam
rangka
membantu
memelihara
dan
meningkatkan kwalitas lingkungan dan kehidupan manusia.
Skema PES merupakan kegiatan yang berjangka panjang dan
memerlukan pembiyaan terus menerus dan diharapkan dapat berkelanjutan.
Oleh karena itu sejak awal kegiatan PES akan dicanangkan, identifikasi dari
platform pembiayaan ini haruslah menjadi prioritas utama, karena tanpa
pembiayaan yang berkelanjutan, PES ini tidak akan dapat berjalan dengan
berdurasi panjang, pembiayaann akan meliputi pengeluaran yang ditentukan
mulai awal ide dan desain awal PES bekerja, sampai dengan kegiatan mulai
jalan, Platform pembiayaan PES terdiri dari :
-
Sumbangan hibah dari organisasi nasional dan internasional.
-
Dana Pemerintah dari APBN, APBD
-
Dana dari penerima manfaat
-
Pengembangan pasar dari barang dan jasa misalnya dari PES itu sendiri
dan juga pariwisata berbasiskan pungutan (tourism bases fees )
Sub DAS Gopgopan yang merupakan bagian dari DAS Asahan Toba
dalam upaya pengembangan pengelolaan DAS pada saat ini sedang
melakukan
kegiatan
stregthning
Community
Based
and
Watershed
Management (SCBFWM) atau penguatan pengelolaan hutan dan Daerah
Aliran
Sungai (DAS) berbasis masyarakat,
berbagai kegiatan
telah
dilaksanakan antara lain mengembangkan system agroforestri dalam
pengelolaan
lahan
dikawasan
DAS,
meningkatkan
usaha
ekonomi
masyarakat sekitar dan mersiapkan rencana pengembangan ekonomi rakyat
disekitar DAS serta mempersiapkan dokumen PES untuk jangka panjang.
Hasil survey menunjukkan kegiatan ini mendapat sambutan dan
dukungan dari masyarakat karena upaya ini dinilai sangat partisipastif dan
dapat dipahami masyarakat. Masalahnya apakah upaya ini akan dapat
dilanjutkan sesuai harapan masyarakat atau terhenti disitu saja?
Skema
PES
Sub-DAS
Gopgopan
dikembangkan
berdasarkan
karateristik Sub-DAS, keterpaduan lintas sektor. Lintas wilayah dengan
melibatkan semua stake holder terkait dengan mengedepankan kearifan local
yang didukung dengan kajian pembiayaan berkelanjutan
APBN, APBD Provinsi, Donor
Pemerintah
Provinsi
Pemerintah
Kabupaten
Badan Usaha :
- BUMN
- BUMD
- Swasta
- PMA/PMDN
KAS
DAERAH
Daerah Hilir
(intermediate)
Kab/Kota
Advance
Dep. Kehutanan
BP-DAS
Pengelola TK
DAS
Badan Usaha:
- BUMN
- BUMD
- Swasta
- PMA/PMDN
(Badan Pengelola
Keuangan PES)
Pengelola
Keuangan TkSUB DAS
Daerah Hilir
(Advance)
Institusi Multi
Pihak:
- Swasta, (PT, CV)
- Instansi Pemerintah
-
Dunia Usaha
LSM,
Assosiasi LH,
Tenaga ahli
Unit Usaka Konservatif
Pengembangan Kearifan Lokal
Jasa Lingkungan
Evaluasi
Monitoring
AUDIT LH
Gambar 6.3. Skema PES Sub-DAS Gopgopan
Keterangan
:
= garis komando
= garis koordinasi
= garis konsultasi program,
pembinaan, evaluasi dan monitoring
Bentuk skema PES Sub-DAS Gopgopan adalah skema pembayaran
publik, dimana Pemerintah sebagai pemeran penting dalam pembinaan,
pembiayaan, koordinasi di evaluasi, Pemerintah Provinsi berperan penting
dalam upaya mengokoordinasikan antara Kabupaten/Kota yakni antara
Pemerintah Kabupaten Toba Samosir dengan Pemerintah Kabupaten
Asahan, Kota Tanjung Balai, dan Kabupaten lainnya di wilayah pantai Timur
Sumatera Utara sebagai user jasa lingkungan Sub-DAS Gopgopan dan DAS
Toba.
Institusi multi pihak melibatkan semua pemangku kepentingan, Wakil
dari user dan provider jasa lingkungan, Intansi Pemerintah terkait, Perguruan
Tinggi, assosiasi pemerhati lingkungandan lain-lain yang dibentuk dengan
peraturan Bupati Toba Samosir dengan Keanggotaan tetap (bukan
exsopisio).
Beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat dirunut sebagai
landasan Konstitusional pengelolaan sumber daya alam dan pembayaran
jasa lingkungan antara lain :
1. Undang-undang No.05 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya
alam Hayati dan ekosistem.
2. Undang-undang No.24 Tahun 1992 tentang tata ruang.
3. Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan.
4. Undang-undang No.34 Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi
Pemerintah Daerah.
5. Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang manajemen lingkungan.
6. Undang-undang No.07 Tahun 2004 tentang sumber daya air.
7. Undang-undang No.215 Tahun 2004 tentang perkebunan.
8. Undang-undang No. 32 dan No. 33 tentang otonomi Daerah dan
desentrasi Fisikal.
9. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai.
4. Kebijakan dan Strategi
Pada saat ini kerusakan hutan dan lingkungan hidup terus terjadi,
disisi lain pendanaan pemerintah untuk melaksanakan rehabilitasi hutan dan
lingkungan hidup mengalami keterbatasan. PES memiliki posisi strategis
yang diharapkan dapat menjadi sumber dana alternatif bagi pelaksanaan
rehabilitasi hutan dan lahan. Pelaksanaan PES sejauh ini telah sampai pada
transaksi antar penyedia dan pengguna jasa sehingga telah ada dana bagi
penyedia jasa untuk melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan.
Pelaksanaan PES sejauh ini dapat dikatakan berjalan secara suka
rela, lembaga-lembaga pemerintah seperti BPDAS, Dinas Kehutanan, Badan
Lingkungan
Hidup,
PDAM,
PLTA,
Badan
Usaha
meski
telah
ada
melaksanakan pembayaran jasa lingkungan dalam bentuk spesifik secara
legal belum mempunyai wadah dan program khusus pelaksanaan PES
sehingga terkesan berjalan lambat dan tidak berkembang.
Kebijakan regulasi merupakan factor yang penting sebagai payung
hukum sekaligus sebagai wadah koordinasi yang dinamis yang dapat
sebagai landasan berpijak bagi semua pihak yang ingin berpartisipasi di
bidang pelestarian sumber daya lingkungan hidup sekaligus mengikat bagi
semua pihak untuk menghargai setidak-tidaknya tidak semena-mena
merusak hutan dan lahan, lingkungan hidup dalam arti luas.
Kebijakan-kebijakan ini ditempuh dengan berbagai strategi sebagai berikut :
a. Membentuk peraturan daerah tentang pengelolaan jasa lingkungan.
b. Meningkatkan adpokasi/sosialisasi tentang PES terhadap masyarakat
umum, dunia usaha dan semua pemangku kepentingan.
c. Melanjutkan dan memperluas pilot proyek pemberdayaan masyarakat
di wilayah Sub DAS Gopgopan yang telah dirintis oleh proyek
SCBFWM
d. Memanfaatkan seoptimal mungkin penggunaan air untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat baik sebagai air minum maupun air irigasi
sehingga masyarakat merasakan manfaat pelestarian sumber daya
alam khususnya sumber daya air.
e. Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum diwujudkan dengan
membangun sistem pengawasan dalam pelaksanaan ketentuan
pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan peran serta
masyarakat.
f. Membentuk forum multi pihak dengan melibatkan unsur-unsur
pemerintahan, Dunia Usaha, Tokoh Masyarakat, LSM, Perguruan
Tinggi dan pihak lain yang berkepentingan sebagai wadah partisipasi
pengelolaan lingkungan.
BAB VII
PENUTUP
Dokumen kerangka system pembayaran jasa di lingkungan (Payment
for Envidonmental Services) PES di wilayah Sub-DAS Gopgopan DAS
Asahan Toba Kabupaten Toba Samosir disusun berdasarkan krakteristik
wilayah, dinamika yang berkembang pada kehidupan sosial ekonomi dan
budaya masyarakat di wilayah Sub-DAS dengan memperhatikan nilai-nilai
keberlanjutan,
keterbukaan,
kesadaran,
kepekaan,
keadilan
dan
kesejahteraan sesuai dengan tujuan pengelolaan DAS yakni terciptanya
kondisi hidrologi yang optimal, terwujudnya pembangunan yang sustainable
serta berwawasan linkungan.
Berdasarkan analisis, bentuk skema yang sesuai untuk Payment for
Environmental
Services
pada
Sub-DAS
Gopgopan
adalah
bentuk
pembayaran public, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan
(stakeholders). Dalam hal ini peranan pemerintah lebih dominan dalam
pembinaan, fasilitasi, pemberdayaan masyarakat, pendanaan, monitoring,
evaluasi dan audit lingkungan.
Pengelolaan PES di wilayah Sub-DAM Gopgopan ditujukan untuk
upaya-upaya konservasi sumber daya lahan dan air, menggali dan
mengembangkan potensi kearifan lokal dalam wujud partisipasi masyarakat
baik perorangan maupun kelompok. PES diberikan sebagai insentif
berdasarkan kwantitatif dan kwalitatif partisipasi masyarakat terhadap
kelestarian sumber daya lahan dan air yang dilaksanakan secara objektif, adil
dan terbuka.
Dalam rangka upaya mengurangi kesenjangan pertumbuhan ekonomi
dan penyebaran penduduk yang rasional antara daerah Hulu dan daerah Hilir
serta mempertahankan fungsi DAS di daerah Hulu. Keterpaduan lintas
wilayah khususnya dalam pembayaran jasa lingkungan (sharing pendanaan
Hulu dan Hilir) sangat diperlukan, didasarkan atas kesadaran yang
difasilitasi/dikoordinasikan
oleh
pemerintah
provinsi
Sumatera
Utara.
Partisipasi dimaksud tercermin dalam bentuk pengerahan dana Jasa
Lingkungan dari wilayah Hilir (Pantai Timur) ke daerah Hulu (daerah Dataran
Tinggi)
Sumatera
Utara
yang
idealnya
dianggarkan
dalam
APBD
Kabupaten/Kota.
Pengalokasian dana pemerintah kepada pemerintah Kabupaten/Kota
yang berasal dari dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) pengalokasinya didasarkan pada konstribusi daerah
Kabupaten/Kota terhadap pendapatan nasional, jumlah penduduk luas
wilayah
indeks
kemahalan
konstruksi, PDRB
perkapita
dan
Indeks
Pembangunan Manusia. Karakteristik seperti topografi, kontur dan perannya
sebagai DAS sekaligus menjadi providen jasa lingkungan belum mendapat
perhatian.
Sesuai dengan pilar pembangunan nasional yang pro pertumbuhan,
pro lapangan kerja, pro kemiskinan dan pro lingkungan hidup diharapkan
selain luas wilayah, krakteristik wilayah sebagai provider jasa lingkungan
dapat dimasukkan sebagai entripoin dalam penetapan pengalokasian dan
APBN kepada pemerintah Kabupaten/Kota yang berada di wilayah
pegunungan.
Sistem pembayaran jasa lingkungan (PES) di Sub-DAS Gopgopan
adalah mekanisme pembayaran finansial dan non finansial dituangkan dalam
kontarak hukum yang berlaku meliputi aspek-aspek legal, teknis maupun
operasional yang dilaksanakan oleh lembaga tersendiri meliputi jasa
lingkungan yang dapat diukur, penyedia, pemanfaat dan tata cara
pembayaran.
DAFTAR LITERATUR
Asdak, Chay, 1995. Hidrologi dan pengelolaan DAS. Gajah Mada University
Press. Jogyakarta.
Badan Pusat Statistik, 2010. Toba Samosir Dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Kabupaten Toba Samosir.
Badan Pusat Statistik, 2012. Toba Samosir dalam Angka. Badan Pusat
Statistik. Toba Samosir.
Danida, 2001. Protokol Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) (Protokol of
payment for environmental services) Laporan E. ESP. Environmental
Services Support Program.
Danida, 2009. Review of payment for environmental services Indonesia and
other country. ESP. Program.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2009. Rencana
Strategis tahun 2010-2014. Dirjen RLPS. Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan, 2003. Strategi Pengelolaan Sosial Forestry.
Departemen Kehutanan, Jakarta.
EPI, 2008. Environemtal Ferformance Indeks. EFI
Irawanto,
2011.
Konsep
Perencanaan
DAS
Terpadu,
Yogyakarta.
http://www.irwantoshut.com
Leimona. B, 2008. Konsep Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa
Lingkungan di Indonesia. World Agroforestry Centere – KRAF – SEA
Leimona. B, at al 2009. Can rewards for environmental services benefit the
poor? Lesson from Asia International Journal of the comnons. [on line]
URL
http://www.thecommononsjournal.org/index.pnp/ije/article/view/121.
Leimona. B, at al, 2010. The Livelihood Impacts of incentive payment for
watershed management in cicadanau watershed, west java Indonesia.
Edward Elger Publishing Cheltenhans.
Millenium Eosystim Assessment, 2005. Ecosystem and Human will – being.
Synthesis island press Washington, DC.
Paquin M, mayrand K, 2004. Payment for environmental services : A. Survey
and Assessment of curren Schemes. Unisfera International Cetre for
the commission of environmental corporation of North America.
Pagiala. S, 2003. “Economics Overview” of Forest Area to Drinking Water,
Running Pure. Edited by Nigel and Suue Sulton”. World Bank/WWF
Aliance for forest conservation anda sustainable use. Wasington DC.
Pagiala. S, 2004. Environmental Services Payment in Central Amerika :
putting theory into practice presentea at “Environmental Economic for
Development policy”. Training Course World Bank Institute.
Simamora Marganda, Sirojuzipan, 2008. Determinan Pertumbuhan ekonomi
Regional Sumatera Utara (Studi Kasus Wilayah Pantai Timur). USU
Intitutional report (USU – IR). Universitas of Sumatera Utara.
Suhardi, LP3 ES, 2006. Agroforestry Petani, Kompromi antara Ekonomi dan
Konservasi. www.jasalingkungan.org
Srimurni Soenarmo, 2012. Pembangunan Jasa Lingkungan. Alam Lestari.
srini.blogspot.com
Tampubolon Tulus, 2011. Industrialisasi di negara berkembang, Penerbit
Chalid Indonesia. Jakarta
Tampubolon Dahlan, 2011. Pembangunan dan ketimpangan wilayah Pantai
Barat dan Pantai Timur. Tesis Perencanaan Pembangunan.
PSDAL – LPP3ES, 2006. Program Pembayaran Jasa Lingkungan DAS
Mengembangkan Mekanisme dan Transaksi Hulu – Hilir untuk
Meningkatkan Kehidupan Masyarakat. www.wikipedia.co.id
Wunder. S, 2005. Payment for Environmental Services : Sone Nuts and
Blots. CIFOR. Occasional Paper No. 42 Centre for International
Research Mayor Indonesia.
Download