KERANGKA SISTEM PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN (Payment for Environmental Service, PES) SUB DAS GOPGOPAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR Ir. DJATIPAN MANULLANG, MM Lokal Consultant Payment for Environmental Services (PES) Project SCBFWM – Regional North Sumatera, 2012 PROJECT SCBFWM REGIONAL SUMATERA UTARA 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan segala rahmatnya sehingga dokumen kerangka Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Asahan Toba khususnya di Sub DAS Gopgopan Kabupaten Toba Samosir ini dapat dipublikasikan. Dokumen ini memuat kajian tentang rencana pengolahan DAS terpadu dengan dukungan pembiayaan jangka panjang. Kita menyadari banyaknya bencana nasional yang melanda negeri ini sebagai dampak dari terjadinya degradasi lingkungan seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor yang mengakibatkan kerugian material bahkan hilangnya nyawa manusia yang kesemuanya diakibatkan oleh kecerobohan dalam mengelola DAS. Tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup bukan semata-mata menjadi tanggungjawab pemerintah melainkan tanggung jawab kita bersama. Pelestarian hutan dan DAS membutuhkan koordinasi dan biaya yang besar. Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for Environmental Services = PES) diajukan merupakan solusi yang kreatif untuk jangka panjang. Akhirnya kami mengucapkan terimakasih kepada UNDP, GEF, Departemen Kehutanan dan SCBFWM Regional Sumatera Utara yang menyediakan dana dan memberi kesempatan kepada kami untuk menyusun dokumen ini. Dan secara khusus kepada jajaran Pemerintah Kabupaten Toba Samosir atas penyediaan data, informasi dan masukan konstruktif. Semoga ada manfaatnya. Pematang Siantar, Desember 2012 Ir. Djatipan Manullang, MM Local Consultant PES SAMBUTAN KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN TOBA SAMOSIR Kami menyambut baik penerbitan “Dokumen Kerangka Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for environmental services, PES) di DAS Asahan Toba khususnya Sub DAS Gopgopan Kabupaten Toba Samosir, sebagai wujud nyata kerjasama Pemkab Toba Samosir dengan pihak SCBFWM Regional Sumatera Utara. Dokumen ini memiliki nilai penting sebagai refrensi dalam menyusun rencana pembangunan, khususnya menyangkut pengelolaan DAS. Kami yakin analisis berbagai permasalahan yang dibahas dan disajikan dalam dokumen ini dapat mewakili semua permasalahan menyangkut DAS yang terbentang luas di Kabupaten Toba Samosir. Kami menyampaikan apresiasi dan ucapan terimakasih kepada Kepala BPDAS Asahan Barumun dan SCBFWM Regional Sumatera Utara yang telah memberi kepedulian terhadap pengelolaan DAS dan tambahan referensi dalam perencanaan pembangunan daerah. Akhirnya kami berharap publikasi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Balige, Desember 2012 KEPALA BAPPEDA Kabupaten Toba Samosir JAMES SILABAN, SH SAMBUTAN KEPALA BP – DAS ASAHAN BARUMUN Kita bersyukur dengan terbitnya buku dokumen Kerangka Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Asahan Toba khususnya di Sub DAS Gopgopan di wilayah Kabupaten Toba Samosir merupakan sumbangan pemikiran dan gagasan tentang pengelolaan DAS terpadu yang didukung dengan pembiayaan jangka panjang. Perlu disadari bahwa degradasi lingkungan telah membawa dampak yang berat dan meningkat dari tahun ke tahun. Dimana deforestasi hutan dan DAS adalah penyumbang terbesar terhadap degradasi dimaksud. Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for environmental services) adalah merupakan solusi alternatif yang telah diterapkan baik pada negara maju maupun negara sedang berkembang, dan telah mulai dilaksanakan pada beberapa DAS di Indonesia, kita berharap pelaksanaan sistem yang relatif baru ini dapat berkembang walaupun pelaksanaannya didasarkan kepada kesadaran masing-masing pihak, namun diyakini dapat menjadi solusi dalam jangka panjang. Akhirnya, saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada pihak SCBFWM beserta timnya dan pihak-pihak lain yang telah berpartisipasi sehingga dokumen kerangka sistem pengembayaran jasa lingkungan ini dapat dipublikasikan. Pematang Siantar, Desember 2012 KEPALA BALAI Ir. Rukma Dayadi, M.Si NIP. 19671013 199303 1 003 SEKAPUR SIRIH REGIONAL FASILITATOR SCBFWM REGIONAL SUMATERA UTARA Dokumen kerangka sistem Payment for Environmental Services (PES) di Sub DAS Gopgopan, DAS Asahan Toba ini adalah merupakan bagian dari rencana yang dibebankan dalam project SCBFWM Regional Sumatera Utara tahun 2012, memuat analisis terhadap masalah, hingga skema pengelolaan jasa lingkungan di Sub DAS Gopgopan khususnya dan di DAS Asahan Toba umumnya. Kita menyadari bahwa pengelolaan DAS bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab semua lapisan masyarakat beserta para pemangku kepentingan. Dalam publikasi ini telah dibahas berbagai permasalahan DAS beserta alternatif pengelolaannya dalam jangka panjang dalam bentuk skema pembayaran jasa lingkungan. Akhirnya saya mengucapkan terimakasih kepada konsultan yang telah menyusun dokumen kerangka sistem Payment for Environmental Services (PES) ini, dan kita berharap dapat bermanfaat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup khususnya pengelolaan DAS. Pematang Siantar, Desember 2012 SCBFWM Regional Sumatera Utara Ir. M. KHAIRUL RIZAL, M.Si Regional Fasilitator DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................................... i SAMBUTAN KEPALA BAPPEDA TOBA SAMOSIR .................................... ii SAMBUTAN KEPALA BP DAS ASAHAN BARUMUN ................................. iii SEKAPUR SIRIH REGIONAL FASILITATOR SCBFWM REGIONAL SUMATERA UTARA .................................................................................... iv DAFTAR ISI ................................................................................................. v DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. x BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...................................................................... I-1 1.2 Isu Strategis .......................................................................... I-5 1.3 Tujuan ................................................................................... I-6 1.4 Sasaran Wilayah .................................................................. I-6 1.5 Batasan Studi........................................................................ I-6 1.6 Metodologi ............................................................................ I-8 1.6.1 Metode dan Pengambilan Data ................................... I-8 1.6.2 Jenis Data .................................................................... I-8 1.6.3 Kerangka Pendekatan ................................................. I-8 1.6.4 Pengumpulan Data ...................................................... I-10 1.6.5 Metode Observasi........................................................ I-10 1.6.6 Metode Wawancara ..................................................... I-10 1.6.7 Kerangka Pemikiran .................................................... I-10 1.6.8 Teknik Penyusunan ..................................................... I-13 1.7 Kajian Karakteristik Wilayah.................................................. I-13 1.8 Kajian Sumber Pembiayaan.................................................. I-14 BAB II KONSEP JASA LINGKUNGAN DAN PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN DI INDONESIA 2.1 Defenisi Penting .................................................................... II-1 2.2 Jasa Lingkungan Hutan ........................................................ II-2 2.3 Sifat Jasa Lingkungan ........................................................... II-3 2.4 Manfaat Ekonomi .................................................................. II-5 2.5 Prinsip Pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan........ II-7 2.6 Indikator Target Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan (RPJM Nasional 2010 – 2014)........................... BAB III II-7 PENGENALAN DAN CONTOH KASUS PAYMENT FOR ENVIROMETAL SERVICES (PES) DI INDONESIA 3.1 PES Sebagai Instrumen Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Berbasis Pasar ........................................ III-2 3.2 Struktur Mekanisme PES ...................................................... III-3 3.3 PES sebagai Instrumen yang Pro Environment, Pro Growth, Pro Poor dan Pro Job............................................................ III-6 3.4 Acuan Umum Pelaksanaan PES .......................................... III-7 3.5 Beberapa Contoh Implementasi PES di Indonesia ............... III-10 3.5.1 PJL Sumber Jaya Lampung ........................................ III-10 3.5.2 PJL Lombok ................................................................. III-14 3.5.3 PJL Kuningan .............................................................. III-17 3.5.4 PJL Lainnya ................................................................. III-18 BAB IV KEADAAN UMUM SUB DAS GOPGOPAN 4.1 Karakteristik Wilayah di Sub DAS Gopgopan ....................... IV-1 4.1.1 Lokasi Sub DAS Gopgopan ......................................... IV-2 4.1.2 Bentuk Fisik Wilayah DAS ........................................... IV-4 4.1.3 Hidrologi dan Kualitas Air ............................................ IV-10 4.1.4 Drainase Wilayah......................................................... IV-11 4.2 Jumlah dan Perkembangan Penduduk ................................. IV-12 4.2.1 Kependudukan ............................................................ IV-12 4.2.2 Mata Pencaharian........................................................ IV-13 4.2.3 Kelembagaan .............................................................. IV-13 4.2.4 Lembaga Formal.......................................................... IV-14 4.2.5 Lembaga Informal ........................................................ IV-14 4.2.6 Identifikasi Masalah ..................................................... IV-14 4.3 Potensi Tanaman Lokal jenis HHBK ..................................... IV-15 4.4 Aliran Sungai dan Penggunaan Air ....................................... IV-16 4.4.1 Aliran Sungai ............................................................... IV-16 4.4.2 Penggunaan Air ........................................................... IV-17 BAB V KAJIAN SUMBER PEMBIAYAAN 5.1 Dukungan Pemerintah .......................................................... V-1 5.2 Dukungan Pemerintah Provinsi ............................................. V-2 5.3 Sumber Pembiayaan Lokal ................................................... V-6 BAB VI SKEMA PES SUB-DAS GOPGOPAN ........................................ VI-1 1. Kesepakatan yang diatur sendiri ........................................... VI-2 2. Skema Pembayaran Publik ................................................... VI-2 3. Skema Pasar Terbuka .......................................................... VI-2 4. Kebijakan dan Strategi .......................................................... VI-9 BAB VII PENUTUP.................................................................................... DAFTAR LITERATUR Lampiran I RENCANA KEGIATAN PARTIPASI MASYARAKAT DI SUB DAS GOPGOPAN VII-1 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Klasifikasi Barang ........................................................................ II-4 Tabel 2.2 Karakteristik Jasa Lingkaran ........................................................ II-4 Tabel 3.1 Implementasi PJ di Indonesia ...................................................... III-18 Tabel 4.1 Jumlah Daerah Aliran Sungai (Catchman Area / Danau Toba) ... IV-3 Tabel 4.2 Luas Administrasi Sub DAS Gopgopan ....................................... IV-4 Tabel 4.3 Panjang sungai setiap ordo Sub DAS Gopgopan ........................ IV-9 Tabel 4.4 Debit Sunagai Sub DAS Gopgopan ............................................. IV-10 Tabel 4.5 Curah Hujan Sub DAS Gopgopan ............................................... IV-10 Tabel 4.6 Data Tata Air Sub DAS Gopgopan .............................................. IV-11 Tabel 4.7 Jumlah Penduduk di Wilayah Sub DAS Gopgopan ..................... IV-13 Tabel 5.1 Pembagian Wilayah Kabupaten Kota di Sumatera Utara Menurut Wilayah Pembangunan.................................................. V-4 Tabel L.1 Pembagian Wilayah Sub DAS Gopgopan Menurut Penggunaannya........................................................................... L-15 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Tahapan Pengembangan PES ............................................. Gambar 1.2 Kerangka Pendekatan Pengembangan Skema Pembayaran Jam Lingkungan (PJL) .............................................................. I-7 I-9 Gambar 1.3 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian............................ I-12 Gambar 1.4 Kerangka Penyusunan Dokumen PES ................................. I-13 Gambar 3.1 Berbagai Tipe Jasa Lingkungan ............................................ III-2 Gambar 3.2 Struktur Mekanisme PES ...................................................... III-6 Gambar 3.3 Langkah Dalam Pelaksanaan PES ....................................... III-9 Gambar 3.4 Skema PJL di Sumber Jaya Lampung Barat ........................ III-12 Gambar 3.5 Skema PJL Lombok Barat .................................................... III-16 Gambar 3.6 Skema PJL Cirebon – Kuningan ........................................... III-18 Gambar 4.1 Bentuk Sub DAS Gopgopan Secara Vertikal ........................ IV-5 Gambar 4.2 Bentuk Sub DAS Gopgopan Secara Horizontal .................... IV-6 Gambar 4.3 Ketinggian Rata-rata Sub DAS Gopgopan ............................ IV-7 Gambar 4.4 Gradien Sungai Utama Sub DAS Gopgopan ........................ IV-8 Gambar 4.5 Posisi Wilayah Pemerintahan Otonomi dan Perusahaan / Masyarakat ............................................................................... IV-18 Gambar 5.1 Sungai Asahan dari Danau Toba Bermuara di Kabupaten Asahan ..................................................................................... V-6 Gambar 6.1 Ilustrasi Pembagian Jasa Lingkungan .................................. VI-1 Gambar 6.2 Sub DAS Gopgopan (Hulu – Hilir) ......................................... VI-4 Gambar 6.3 Skema PES Sub DAS Gopgopan ......................................... VI-7 Gambar L-1 Pengelolaan DAS Terpadu ................................................... Gambar L-2 Proses Berulang (Interative Process) Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu ....................................................... Gambar L-3 L-2 L-6 Kearifan Lokal ....................................................................... L-11 DAFTAR SINGKATAN APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Asita Assosiation of The Indonesia Tour & Travel Agencies Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BLU Badan Layanan Umum BPDAS Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai CBO Community Based Organization CD Community Developmen CSR Corporiate Social Responsibilities DAK Dana Alokasi Khusus DAS Daerah Aliran Sungai DAU Dana Alokasi Umum DPR Dewan Perwakilan Rakyat DTA Daerah Tangkapan Air EPI Environmental Pervormance Index GEF Global Enviroment Facility HKm Hutan Kemasyarakatan ICRAF International Council for Agriforestry IMP Institusi Multipihak LLASDF Lalu Lintas Air Sungai Danau dan Ferry LSM Lembaga Swadaya Masyarakat MEA Millenium Ecosystem Assessment Monev Monitoring dan Evaluasi MoU Memorandum of Understanding NET Nilai Ekonomi Total NGO Non Goverment Organization PDAM Perusahaan Daerah Air Minum PDRB Pendapatan Domestik Regional Bruto Perda Peraturan Daerah PES Payment for Environmental Services PHRI Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia PJL Pembayaran Jasa Lingkungan PLTA Pembangkit Listrik Tenaga Air PMA Penanaman Modal Asing PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri PPLH Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup PSDA Pelestarian Sumber Daya Alam PT Perseroran Terbatas RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah RUPES Rewards for Upland Poor Enviromental Services SCBFWM Strengthening Community Based Forest and Watershed Management Project SDH Sumber Daya Hutan SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah UNDP United Nations Development Programme USAID United States Agency for International Development WTA Willingness to Aecept WTP Willingnes to Pay WWF World Widife Fund Lampiran RENCANA KEGIATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DI SUB-DAS GOPGOPAN 1. Perencanaan DAS Terpadu Pada dasarnya data perencanaan program atau kegiatan perencanaan pengelolaan suatu DAS tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain atau memprioritaskan satu atau lebih dari pada yang lain, karena perencaan pengelolaan DAS ini merupakan suatu program atau kegiatan yang harus dilaksanakan secara berkesimbangan dan saling terkait antara satu program dengan program yang lain. Tetapi program yang menjadi priositas bagi pengelolaan DAS adalah program penyuluhan terhadap penduduk pada kawasan DAS tersebut akan pentingnya menjaga kelestarian DAS yang bermanfaat bagi masyarakat dan juga bermanfaat bagi satwa yang beraneka ragam pada kawasan DAS. (Irwato, 2006) Konsep perencanaan DAS tertanta dengan cirri sebagai berikut : a. Hutan masih dominasi b. Satwa masih baik c. Lahan pertanian masih kecil d. Belum ada pencatatan hidrometri e. HPH disiapkan untuk beroperasi Pengelolaan DAS memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi instansi terkait dalam berkordinasi dan merencanakan kebijakan pengelolaan DAS. Dalam perencanaan pengelolaan DAS dengan ciri-ciri DAS yang masih alami dan kondisi tersebut di atas, ada beberapa langkah atau tahapan yang harus dilakukan antara lain : - Mengidentifikasikan permasalahan - Menentukan sasaran dan tujuan pengelolaan - Alternatif kegiatan/program dan implementasinya - Menaksir atau mengevaluasi dampak dari kegiatan pengelolaan - Prioritas program atau kegiatan pengelolaan DAS 1. 2. 3. 4. 5. Kondisi DAS Hutan masih dominasi Satwa masih baik Lahan pertanian masih kecil Belum ada pencatatan hidrometri HPH disiapkan untuk beroperasi PERENCANAAN PNGELOLAAN DAS TERPADU KETRPADUAN INSTANSI Kehutanan Perkebunan Pertanian Pekerjaan Umum BMG Perindustrian, dll KETERPADUAN SUMBER DAYA Sumber Daya Manusia Sumber Daya Hutan Sumber Daya Tanah Sumber Daya Air Identifikasi Masalah Menetukan Sasaran dan Tujuan Evaluasi Dampak Kegiatan Pengelolaan Prioritas Program Pengelolaan DAS Gambar L-1 : Pengelolaan DAS Terpadu 1.1. Mengidentifikasi Permasalahan Permasalahan yang dapat diidentifikasi dari Kondisi DAS yang dikelola, antara lain : • Perlu adanya program untuk menjaga fungsi hutan sebagai kawasan konservasi air sehingga dapat meningkatakan stabilitas tata air dan stabilitas tanah di kawasan DAS. • Perlu menjaga keberadaan vegetasi sebagai habitat satwa baik itu habitat makan, tidur bermain maupun berbagai jenis satur yang ada. • Perlu pembuatan stasiun hidrometri untuk memantau perkembangan pengelolaan DAS dan pembuatan prasarana air. • Perlu meningkatkan perilaku masyarakat kearah kegiatan konservasi dan peningkatan pendapatan petani. • Perencanaan HPH sesuai prosedur di kawasan tersebut agar tidak merusak ekosistem DAS yang masih alami. 1.2. Menentukan Sasaran dan Tujuan Pengelolaan. Sasaran dan tujuan yang dapat ditentukan dalam perencanaan DAS ini adalah : a. Sasaran • Menjaga kelestarian air pada kawasan DAS • Menjaga keberadaan satwa atau kelestarian satwa yang masih baik pada kawasan DAS • Meningkatkan kesadaran masyarakat yang ada di kawasan DAS akan pentingnya menjaga kelestarian Sumber Daya Alam. • Pengendalian pengoperasian HPH agar tidak merusak ekosistem DAS yang masih alamiah pada kawasan DAS. b. Tujuan Dengan perencanaan program atau kegiatan pengelolaan DAS yang terpadu diharapkan dapat menjaga ketersediaan air, kelestarian satwa, peningkatan pendapatan penduduk, pemanfaatan Sumber Daya Hutan tetapi tidak merusak ekosistem DAS dan mengetahui perkembangan pengelolaan DAS. 1.3. Alternatif Kegiatan/Program dan Implementasian Program. Dari permasalahan yang telah diidentifikasikan di atas untuk melakukan perencanaan pengelolaan DAS, kita dapat melaksanakan program-program antara lain : • Pembuatan peraturan-peraturan yang mengikat seluruh lapisan masyarakat yang ada dalam peraturan menyangkut bagaimana menjaga kawasan DAS agar tetap lestari. • Pembalakan hutan tidak dilakukan dengan cara memotong atau menuju area aliran sungai dan pembuatan jalan sarad juga tidak menyeberangi sungai, HPH tidak boleh beroperasi di daerah-daerah penyangga (buffer area) dengan lebar bervariasi HPH tidak boleh beroperasi di daerah hulu karena area tersebut merupakan arean konservasi untuk menjaga keberlanjutan fungsi hidrologi. • Pembuatan master plan pertanian terpadu berwawasan lingkungan (sutainable agriculture) bagi masyarakat yang berada di wilayah DAS. 1.4. Menaksir atau mengevaluasi Dampak dari Kegiatan Pengelolaan. Konsekwensi atau Dampak yang timbul dari kegiatan ataupun program-program pengelolaan DAS yang telah ditetapkan ada yang berdampak positif dan ada yang berdampak negatif. • Dampak Positif yaitu : Jika kegiatan atau program-program yang ada dilaksanakan dengan baik, penuh rasa tanggung jawab serta rasa memiliki akan pentingnya kelestarian lingkungan oleh seluruh pihak atau stakeholder yang terkait dengan pemanfaatan kawasan DAS, maka secara langsung keberadaan DAS yang masih alami dengan kondisi tersebut di atas tetap dapat dipertahankan dan kelestariannya tetap dapat terjaga, baik itu lingkungannya maupun satwa yang ada didalamnya. • Dampak Negatif yaitu : Dampaknya terhadap prilaku hidrologi, yang mencakup iklim seperti curah hujan, suhu dan evaporasi, data air larikan, debit air sungai dan potensi air tanah. Sehingga perlu pemantauan terhadap data-data tersebut yang nantinya dapat digunakan untuk program evaluasi. 1.5. Keterpaduan Program Kegiatan Pengelolaan DAS Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekwensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan Sumber Daya Hutan, tanah dan air kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan buruk dalam upaya menciptakan menyeluruh, pendekatan berkelanjutan dan pengelolaan berwawasan DAS secara terpadu, lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pngelolaan. Identifikasi Kebutuhan Sektoral Kebijakan Initiatif Proses Perencanaan Pemerintah Arahan Pusat Perencanaan Pedoman Tujuan / Sasaran Evaluasi Evaluasi Kendala Dewan DAS Nasional Dewan Penasehat Partisipasi Masyarakat Sistem Pengumpulan Data dan Informasi Formulasi Alternatif Kegiatan Analisis Alternatif Yang Diusulkan Aspek Kwantitatif Landasan Manfaat dan Biaya + Aspek Semi Kwantitatif Dampak Lingkungan Dampak Sosial + Aspek Kwalitatif Dampak Ekologi Penting Pemilihan Rencana Terbaik Implementasi Gbr. L.2. Proses Berulang (Interative Process) Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu Sumber : Irwanto, 2006. 2. Perencanaan Wilayah Sub-DAS Gopgopan Pengelolaan Sub-DAS Gopgopan terpadu mangandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang mengangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimis sehingga terjadi kinerja positif yang akan meningkatkan kinerja DAS ddalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan. Sub-DAS Gopgopan dapat dimanfaatkan bagi berbagai kepentingan pembangunan misalnya untuk areal pertaniaan, perkebunan, perikanan, pemukiman, pembangunan PLTHM, pemanfaatan hasil hutan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut adalah untuk memenuhi kepentingan manusia khususnya peningkatan kesejahteraan. Namun demikian hal yang harus diperhatikan adalah berbagai kegiatan tersebut dapat mengakibatkan dampak lingkungan yang jika tidak ditangani dengan baik akan dapat menurunkan tingkat produksi, baik produksi pada masing-masing sektor maupun pada tingkat DAS. Karena itu upaya untuk mengelola DAS secara baik dengan mensinergikan kegiatan-kegiatan yang ada di dalam DAS sangat diperlukan bukan hanya untuk kepentingan menjaga kemampuan produksi atau ekonomi, tetapi juga untuk menghirdarkan dari bencana alam yang dapat merugikan seperti banjir, longsor, kekeringan dan lain-lain. 2.1 Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat diperlukan dalam pengelolaan DAS mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi program. Partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan meliputi penetapan tujuan, dan pengelolaan, program, sasaran yang akan dicapai dan serta kebijakan yang dibutuhkan bersama, pengumpulan data dilapangan maupun pembiayaan. Partisipasi masyarakat mulai dari proses perencanaan merupakan bentuk gransi tidak diabaikannya, kepentingan, aspirasi, akses maupun kontrol masyarakat dalam pengelolaan DAS. Partisipasi masyarakat tidak akan muncul jika tidak disertai dengan adanya pemberdayaan masyarakat berupa penciptaan kondisi yang memungkinkan masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya secara mandiri melalui peningkatan akses dan peningkatan perolehan manfaat dari sumber daya yang dikelola di dalam DAS secara optimal dan adil. Program-program kegiatan yang dilaksanakan secara sektoral maupun keterpaduan sektoral dalam kerangka pengelolaan DAS seharusnya mengandung misi pemberdayaan masyarakat. Tanpa adanya unsur pemberdayaan masyarakat ini maka tingkat partisipasi masyarakat menjadi rendah karena masyarakat tidak melihat manfaat apa yang bisa diperolehnya dari kegiatan yang ada di lingkungan. Masyarakat petani berperan dalam mengelola lahan (sawah, kebun, maupun tegalan) memelihara atau merubah penutupan lahan dari berpenutupan Strata pepohonan sampai rerumputan menjadi lahan terbangun atas lahan budidaya pertanian intensif maupun menghijaukan sempadan sungai, anak sungai maupun alur sungai. Masyarakat berperan dalam pengambilan keputusan terhadap lahan dan sumber daya lingkungan sekitarnya, hal ini dipengaruhi oleh tingkat kepemilikan terhadap lahan, pengahasilan keluarga, pendapatan tambahan, dan lain-lain. Semakin kecil tingkat pendapatan keluarga petani maka cenderung melakukan eksploitas terhadap lahannya dengan harapan untuk memperoleh pendapatan maksimal pada jangka pendek. Melihat pentingnya partisipasi masyarakat maka pemerintah telah mengatur peran serta masyarakat dalam pengelolaan DAS sesuai dengan peraturan pemerintah No. 37 Tahun 2012, tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ( DAS). 2.2. Menggali dan Mengembangkan Kearitan Lokal Kriteria kearitan local yang terkait dengan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) terdiri dari : a. Nilai-nilai hukum yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. b. Melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari dan berkelanjutan. Kriteria Pengetahuan Tradisional (PT) terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Harry Alexander dan Miranda Risang Ayu, 2011) Secara garis besar adalah : - Dihasilkan, direprentasikan, dikembangkan, dilestarikan dan ditransmisikan dalam konteks trdisional dan antar generasional. - Secara nyata dapat dibedakan, atau diakui menurut kebiasaan, sebagai berasal dari suatu komunitas masyarakat, hukum adat, yang melestarikan dan mentransmisikan Pengetahuan Tradisional (PT) tersebut dari generasi ke generasi, dan terus menggunakan dan mengembangkannya dalam konteks trdisional di dalam komunitas itu sendiri. - Merupakan bagian integral dari identitas budaya suatu masyarakat hukum adat, yang dikenal dan diakui sebagai pemegang hak atas Pengetahuan Tradisional (PT) itu melalui aktivitas pemangkuan, pemilikan kolektif, maupun tanggung jawab budaya. Kaitan antara Pengetahuan Tradisional (PT) dan pemangkunya ini dapat diungkapkan, baik secara formal maupun informal, melalui praktekpraktek kebiasaan atau praktek-praktek tradisional, protokol, atau hukum nasional yang berlaku. - Diwariskan dari genersi ke generasi meskipun pemakaiannya tidak terbatas lagi di dalam komunitas itu sendiri. Beberapa karakteristik kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat antara lain : - Adanya keterkaitan dengan budaya atau masyarakat tertentu - Jangka waktu penciptaan dan pengembangan cukup lama, biasanya melalui tradisi lisan - Bersifat dinamis (dynamic) dan senantiasa berobah seiring waktu dan perobahan kondisi alam - Terdapat dalam bentuk tertulis/terkordifikasi maupun tidak tertulis/tidak terkordifikasi seperti bentuk lainnya (folklor ) - Dismpaikan secara turun temurun dari generasi ke generasi (intergeneration) - Bersifat lokal dan sering diungkapkan dalam bahan lokal - Diciptakan melalui proses yang unik dan kreatif seperti lahir dari mimpi, kepercayaan /religi dan akibat bencana alam. - Sering sekali sulit untuk dapat mengidentifikasi pencipta asalnya. Sistem Pengetahuan NilaiNilai Luhur Sikap dan Perilaku Pengetahuan dan Kegiatan PPLH Kearifan Lokal Ingatan Kolektif PPLH PPLH Rekognisi Revitalisasi Gbr L.3 Kearifan Lokal 2.3 Kearifan lokal lingkungan hidup di sub DAS gopgopan. Sub DAS Gopgopan yang merupakan bagian dari Tanah Batak, mewarisi adat-istiadat secara turun temurun bersifat kearifan lokal terhadap lingkungan tercermin dari sikap menghargai dan menghormati lingkungan sebagai bagian yang tidak terlepas dari kehidupan . Perkampungan asli suku Batak terdiri dari sekelompok rumah yang dibentangi dengan gundukan tanah yang ditanami Bambu dan pada gerbang perkampungan ditanami pohon besar jenis Beringin, hariara dan jabi-jabi yang sering digunakan sebagai tempat berlindung untuk rapat membahas masalah tertentu dan memutuskan sesuatu kebijakan yang lazim disebut partukoan. Hingga saat ini masih nampak Tambak (Pusara) para nenek moyang yang berumur ratusan tahun terawat apik terdiri dari gundukan tanah yang ditanami dengan pohon jabi- jabi atau beringin besar yang melambangkan kedamaian, kebesaran, perlindungan yang mendatangkan kesejukan dan kebahagian. Masih terdapat hutan alam tertentu dikeramatkan karena dianggap punya fungsi khusus untuk keselamatan, hutan-hutan ini dihormati bahkan masih ada orang atau kelompok tertentu yang mendatangi dan memberi sesajen untuk pemujaan, contoh ini walaupun langka masih ditemui di SubDAS Gopgopan Wilayah hutan persisnya di Gunung Simanuk-manuk. Contoh lain masih dapat ditemukan di Tombak Sisulu-sulu Kecamatan Baktiraja Bakkara. Tambak Sisulu-sulu dirawat dan dihormati untuk mengenang perjuangan Raja Sisingamangaraja XII yang menggunakan tempat itu sebagai tempat bersemadi dan menyusun rencana Perang melawan Klonial Belanda. Salah satu contoh Kearifan lokal Suku Batak Toba adalah membangun rumah Adat Batak Toba yang berdiri megah tanpa menggunakan paku, semua unsur alam ada dan terukir didalam, juga tidak menggunakan seng dan semua bentuk besi tidak digunakan yang mengandung pengertian tidak perlu menggali perut bumi dan membangun industri yang merusak lingkungan. Atap terbuat dari ijuk yang lebih sejuk sehingga tidak perlu menggunakan Air Condition (AC) untuk Pendingin Udara. Kearifan lokal lainnya yakni melarang orang buang air kencing atau buang hajad disembarang tempat karena alam akan marah menyebabkan mala petaka adalah sebagai ujud penghargaan terhadap lingkungan. Fakta sejarah menunjukkan nenek moyang Suku Batak sebagaimana suku-suku lainnya di Indonesia, telah mengatur tata cara menebang pohon , tidak boleh sembarangan ada aturan yang mengaturnya . Aturan ini menjadikan tata laksana kehidupan Suku Batak berkembang dan lestari dan terbebas dari bencana. Hal yang paling sederhana, Suku Batak menggatur tata laksana kehidupan masyarakat Batak sangat erat dengan alam (bumi) tidak ada yang tidak berhubungan dengan bumi, air, pohon dan angin. Hampir semua suku bangsa di Indonesia memiliki kearifan lokal terhadap lingkungan. Namun, kearifan lokal secara perlahan tapi pasti mulai sirna, secara fakta mulai ditinggalkan tergusur dengan yang namanya keserakahan dan kemajuan teknologi serta peradaban modern yang tidak terkendali. Banyak kalangan berpendapat bahwa kekhawatiran, ketakutan akan hancurnya lingkungan hidup Indonesia tidak akan terjadi bila Kearifan lingkungan atau kearifan local (lokal wisdom) yang sudah ada di dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan baik. sejak zaman dahulu tetap dipelihara 3. Pengembangan Usaha dan Ekonomi Rakyat Pengembangan usaha ekonomi masyarakat di wilayah Sub-DAS Gopgopan diarahkan kepada usaha ekonomi produktif yang mendukung kelestarian lingkungan tanah dan air dengan menawarkan berbagai pola alternative yang, perlu didukung dengan insentif. Perekonomian masyarakat di wilayah Sub-DAS Gopgopan pada umumnya didominasi usaha pertanian konvensional yang terdiri dari komoditi padi dan palawijaya, tanaman perkebunan tanaman kehutanan dan peternakan tradisional sebagai usaha sampingan. Pola pertanian di daerah hulu, bagian tengah dan bagian hilir tidak menunjukkan perbedaan yang spesifik. Berdasarkan hasil survei dan diskusi dengan masyarakat, terdapat beberapa komoditi yang menjadi unggulan serta didukung dengan keinginan masyarakat sebagai berikut : a. Tanaman semusim berupa : padi, jagung, cabe, kacang tanah dan singkong. Tanaman tersebut mudah dipelihara dan cepat memberi hasil disamping memenuhi kebutuhan sehari-hari. b. Tanaman perkebunan berupa : kopi, kakao dan kemiri, merupakan tanaman yang tumbuh baik dan memberi hasil yang cukup tinggi dan harga stabil. c. Tanaman kehutanan/tanaman keras berupa : aren, ingul, durian, petai, dan pinus. Tanaman ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, cepat tumbuh dan mudah dipasarkan untuk pembuatan kapal bermotor, aren menghasilkan nira/tuak yang merupakan minuman khas daerah. Tanaman lain yang memenuhi syarat tumbuh dan dikembangkan dalam skala kecil yakni : kelapa, pisang, jahe, mangga, ubi jalar, papaya, jengkol, dan lain-lain. Pembagian wilayah menurut jenis penggunaanya dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel L.1. Pembagian wilayah Sub-DAS Gopgopan menurut penggunaannya. Wilayah Fungsi/pembusukan Luas ( Ha ) Persentasi (%) Hulu Tanah sawah 80,0 7,3 Tanah kering 2.810,0 73,6 Bangunan/pekarangan 16,0 1,5 Lain-lain 194,0 17,6 2.100,0 Tengah Tanah sawah 152,0 100,00 Tanah kering 2.875,0 4,37 124,0 82,71 Bangunan/pekarangan Lain-lain 325,0 3.476,0 Hilir 3,57 9,35 Tanah sawah 83,0 100.00 Tanah kering 1.897,0 3,64 148,0 83,13 Bangunan/pekarangan Lain-lain 154,0 2.282,0 6,49 6,75 100,00 Total Sumber Siregar, 2012 (data diolah) 7.858,0 Keterangan 4. Konsep Pola Pertanian Konservatif Dalam upaya pelestarian lingkungan tanah dan air Sub-DAS Gopgopan sekaligus meningkatkan produktivitas lahan, ditawarkan beberapa pola pertanian alternative sebagai berikut : a. Kebun campuran yakni menggabungkan tanaman kehutanan dan tanaman perkebunan seperti: a. Aren – durian - petai khususnya di daerah Hulu. b. Ingul – kopi – petai khususnya di daerah Tengah c. Petai – kakao di daerah Tengah dan daerah Hilir b. Tumpang sari, teras bangku Petai – jahe – jagung di daerah Hulu dan daerah Tengah c. Multiple Cropping Pisang – kakao – tanaman semusim di daerah Tengah dan daerah Hilir d. Rotasi padi – palawijaya di daerah hilir e. Kelapa hibrida – mina padi di daerah hilir f. Revitalisasi hutan desa – lebah madu di daerah hulu g. Bambu–Aren di daearah Sempadan Sungai. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai di Indonesia mengalami kerusakan lingkungan dari tahun ke tahun. Kerusakan Lingkungan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) meliputi kerusakan pada aspek biofisik atau pun kualitas air. Selain mempunyai fungsi hidrologi, sungai juga mempunyai peran dalam menjaga Keanekaragaman hayati, nilai ekonomi, budaya, transportasi, pariwisata dan lainnya. Saat ini sebagian Daerah Aliran Sungai mengalami kerusakan akibat dari perubahan tata guna lahan, pertumbuhan jumlah penduduk serta kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian Lingkungan DAS. Gejala kerusakan lingkungan DAS dapat dilihat dari penyusutan luas hutan dan kerusakan lahan terutama di kawasan lindung disekitar Daerah Aliran Sungai. Data dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia menyatakan kerusakan hutan pada periode tahun 1985 – 1997 mencapai 1.6 juta ha/tahun, meningkat menjadi 3.8 juta ha/tahun pada periode tahun 19972000. Dan pada periode 2004-2009, seperti yang diberitakan harian Bisnis Indonesia tanggal 19 Mei 2010, angka deforestasi di Indonesia mencapai 1.17 ha/tahun. Keadaan ini menggambarkan bahwa upaya rehabilitasi hutan tidak sebanding dengan kerusakan hutan yang akan semakin merebak jika tidak segera ditanggulangi. Kerusakan Sumber Daya Alam Hutan sudah berada dalam taraf mengkhawatirkan. Dampak kerusakan DAS mengakibatkan kondisi kwantitas (debit) air sungai menjadi fluktuatif antara musim penghujan dan musim kemarau. Selain itu juga penurunan cadangan air serta tingginya laju sedimentasi dan erosi. Dampak yang dirasakan kemudian adalah banjir dimusim penghujan dan kekeringan dimusim kemarau. Menurunnya kualitas air sungai yang mengalami pencemaran yang diakibatkan oleh erosi dari lahan kritis, limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian (perkebunan) dan limbah pertambangan. Pencemaran air telah menjadi masalah tersendiri yang sangat serius. Undang-undang RI nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan sebaran proporsional. Sedang yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) didefenisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air ke danau atau ke laut secara alami. Berdasarkan pengertian dari defenisi tersebut maka Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai komponen topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia, aktifitasnya yang berada diatas dan dibawah tanah. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antara sumber daya alam terutama vegetasi tanah dan air dengan sumber daya manusia di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan segala aktifitasnya untuk mendapat manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekonomi Daerah Aliran Sungai (DAS). Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau optimasi penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta praktek lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indicator kunci (ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan komunitas aliran sampai pada titik pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah adanya keterkaitan biofisik daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur hidrologik. Dalam pembangunan/pelestarian Daerah Aliran Sungai (DAS) disamping usaha-usaha konservatif, juga diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) melalui kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan serta pelestarian hutan. Dengan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan berarti pengentasan kemiskinan (Sudiono, 1995). Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Gopgopan dengan catchman area mencakup areal mulai dari bagian hulu di pinggiran Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba, Kabupaten Toba Samosir, sampai di hilir Sungai Asahan sebagai putusan (outlet) DAS. Kegiatan pembangunan di Sub DAS Gopgopan, baik di hulu maupun di hilir tergolong sangat intensif dan perubahan perlakuan di area sebagai akibat pertambahan penduduk. Kegiatan pembangunan di Sub DAS Gopgopan cenderung mengarah pada penurunan kemampuan lahan dalam meresapkan air, dan melindungi tanah dari erosi, yang pada akhirnya menyebabkan tingginya limpasan permukaan dan erosi. Kejadian penurunan kualitas air tinggi, longsor dan kekeringan merupakan indikator kegagalan dalam mengelola sumber daya alam yang memiliki manfaat publik. Respons atas dampak negative pengelolaan sumber daya Sub DAS Gopgopan, terutama lahan kritis di catchman area telah menghasilkan banyak rekomendasi dan rumusan program-program yang sasarannya adalah memecahkan masalah pengelolaan Sub DAS. Penggunaan pendekatan konvensional mengenai masalah lingkungan seperti command and control yang dilaksanakan selama ini belum cukup memadai untuk menangani masalah lingkungan yang relative kompleks, memahami akan defisiensi ini, berbagai lembaga kemudian mencari alternatif dan inovatif untuk mengelola dan melestarikan lingkungan tanpa harus mengorbankan kepentingan ekonomi itu sendiri. Salah satu strategi adalah melalui Payment for Environmental Services (PES) atau Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) yang kini banyak diadopsi baik dari negara maju maupun dari negara berkembang. Untuk mewujudkan integrasi program, kegiatan dan pandangan jangka panjang perlu suatu perencanaan pengelolaan sumber daya Sub DAS Gopgopan yang disusun secara partisipatif, melibatkan pemangku kepentingan (stake holders), baik dari kalangan masyarakat, birokrasi pemerintahan, kalangan pelaku, komunitas bisnis, maupun individu serta kalangan akademisi dan pemerhati untuk merumuskan strategi (kebijakan dan program/kegiatan). Dengan demikian para pihak terkait mempunyai suatu komitmen untuk memprogramkan dan melaksanakan kegiatankegiatan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Pasar global pun telah terdorong menghargai lingkungan ekosistem hutan walaupun masih dalam serba keterbatasan. Pada umumnya di dunia saat ini telah muncul kesediaan pasar untuk membayar jasa lingkungan hutan seperti : pengaturan tata air, keindahan alam, keaneka ragaman hayati dan rosot karbon. Indonesia yang memiliki luas hutan terbesar ketiga dan kekayaan keaneka ragaman hayati kedua di dunia, tentunya memiliki potensi yang sangat besar yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk peningkatan kehidupan masyarakat dan lingkungan secara berkelanjutan. Dari berbagai laporan kegiatan, di Indonesia sendiri inisiasi untuk menghargai jasa lingkungan ekosistem hutan telah banyak dilakukan, baik melalui kerjasama lembaga-lembaga domestik maupun dengan dorongan dan bantuan lembaga internasional. Dari laporan tersebut diketahui banyaknya masalah dan kendala terutama akibat lemahnya kondisi pemungkin termasuk insentif pemungkin untuk pengembangannya. Skema jasa lingkungan ekosistem hutan pun tidak bisa digeneralisir tetapi harus disesuaikan dengan karakteristik daerah dan DAS nya sendiri. Secara umum dalam mengembangkan skema ini maka perlu diidentifikasi jasa ekosistem yang disediakan terkait dengan air, juga alat ukur yang dapat dipergunakan untuk mengukur jasa tersebut. Selain itu perlu kelembagaan yang mengawal skema tersebut, terutama aspek organisasi, aturan main dan sumber pembiayaan. Penjelasan hal-hal tersebut merupakan inti dari laporan. Studi PES untuk mengembangkan skema PES di Sub DAS Gopgopan Kabupaten Toba Samosir yang akan dijelaskan dalam buku ini. 1.2. Isu Strategis Permasalahan mendasar yang dihadapi di Sub DAS Gopgopan adalah degradasi lingkungan akibat perilaku yang tidak memperhatikan kaidah lingkungan serta potensi dampak yang ditimbulkannya bisa menyebabkan personalan sosial lebih kompleks serta perlunya koordinasi pengelolaan serta kurangnya manfaat langsung pengelolaan konservasi lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat. Apabila digali lebih cermat, beberapa isu strategis yang menyebabkan kompleksitas di Sub DAS Gopgopan sebagai berikut : 1. Sinkronisasi program setiap multipihak dalam pengelolaan Sub DAS Gopgopan; 2. Koordinasi antar lembaga dan setiap multipihak dalam optimalisasi pengelolaan Sub DAS Gopgopan; 3. Appreciation dan reward bagi pengelola jasa lingkungan; 4. Kondisi sosial ekonomi memerlukan insentif. 1.3. Tujuan Tujuan dari penyusun Dokumen Payment for Environmental Services (PES) /Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) adalah untuk memberikan alternatif pelaksanaan pembangunan wilayah DAS terpadu dalam bentuk kerangka kerja yang dapat diimplementasikan dalam jangka panjang tanpa harus mengorbankan kepentingan ekonomi, baik yang bersifat umum untuk seluruh DAS maupun bersifat khusus atas dasar prioritas. Adapun sasaran spesifik adalah : menyusun dokumen kerangka system pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Asahan Toba khususnya di Sub DAS Gopgopan di Kabupaten Toba Samosir. Dalam jangka panjang dan jangka pendek studi ini bertujuan : Tujuan Jangka Panjang (Goal) “Terwujudnya hubungan hulu-hilir untuk mendukung fungsi Sub DAS Gopgopan melalui Skema PES dan forum pendukungnya”. Tujuan Jangka Pendek (Program) “Tersosialisasinya alternatif skema PES Sub DAS Gopgopan kepada pihak terkait beserta forumnya”. 1.4. Sasaran Wilayah Dokumen kerangka Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) mencakup keseluruhan Sub DAS Gopgopan yang terdiri dari empat kecamatan yaitu kecamatan Lumban Julu, kecamatan Bonatua Lunasi, kecamatan Porsea dan kecamatan Uluan yang merupakan wilayah administratif pemerintah kabupaten Samosir. 1.5. Batasan Studi Pengalaman dari berbagai negara dan inisiasi nasional dibeberapa daerah menunjukkan suplementasinya sederhana. bahwa dimasyarakat Paling tidak pengembangan (lapangan) terdapat 6 Skema bukanlah (enam) PES persoalan tahapan untuk hingga yang dapat mengaktualisasikan nilai potensi jasa lingkungan, seperti dilukiskan pada gambar 1.1 3. Membangun 4. Legal drafting proces, termasuk proses-proses politik kesepakatan besaran, mekanisme penerapan, dls 1.Perhitungan 5. Penyusunan 6.PENERAPA & pengesahan peraturan/ perundangan Skema PES N PES SECARA LUAS 2. Konsep pengembang an skema PES alternatifalternatif nilai ekonomi jasa air yang rasional Lawas Studi PES Sumber : Dokumen PES DAS Deli dan Progo Gbr. 1.1 Tahapan Pengembangan Skema PES Mengingat kompleksitas tahapan pengembangan Skema PES, ketersediaan waktu dan dana maka studi ini difokuskan untuk pelaksanaan tahap 1 dan 2, yaitu : 1. Perhitungan nilai ekonomi jasa lingkungan yang rasional berdasarkan pengalaman pengembangan PES dan transaksi-transaksi semacamnya di Indonesia dan wilayah studi (Sub DAS Gopgopan) yaitu nilai kesepakatan yang memungkinkan untuk terealisasi. 2. Menyusun konsep/rancangan pengembangan Skema PES yang isinya secara garis besar dapat dijadikan sebagai acuan-acuan umum dalam menjajagi kemungkinan pengembangan PES di Sub DAS Gopgopan. 1.6. Metodologi 1.6.1 Metode dan Pengambilan Data Dalam penulisan dokumen kerangka system pembayaran jasa lingkungan di Sub DAS Gopgopan ini digunakan data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan merupakan data kualitatif menyangkut sosial ekonomi, budaya dan kearifan lokal yang dikumpul dari hasil wawancara langsung. Data sekunder yang dikumpul antara lain kondisi umum lokasi penelitian atau data umum yang ada pada instansi pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten yang didukung dengan hasil-hasil penelitian. Dalam pengambilan sampel digunakan metode sensus sampel yang diambil adalah seluruh Community Based Organisation (CBO) yang ada di lokasi Sub DAS Gopgopan, DAS Asahan Toba Kabupaten Toba Samosir. 1.6.2 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer meliputi data karakteristik masyarakat disekitar DAS dan data preferensi terhadap bentuk insef hutan rakyat. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data dan informasi mengenai kondisi CBO yang berasal dari laporan instansi pemerintahan yang berhubungan dengan tujuan penelitian. 1.6.3 Kerangka Pendekatan Pada penelitian ini dilakukan pendekatan kualitatif untuk pengkajian pola dan bentuk pemanfaatan jasa lingkungan disekitar kawasan Sub DAS Gopgopan. Pola pemanfaatan mata air yang dikaji termasuk dalam pengelolaan dan pemeliharaan mata air dan ekosisten disekitarnya oleh masyarakat. Selain pengelolaan dan pemeliharaan fisik, system pengelolaan meliputi operasional, pembiayaan, kelembagaan, peraturan dan pengawasan, peran serta masyarakat merupakan kajian dari penelitian ini. Secara ekonomi jasa ekosistem dapat dinilai menggunakan instrument penilaian jasa lingkungan ekosistem. Sesuai dengan sifat jasa ekosistem tersebut. Berdasarkan konsepsi ekonomis telah banyak dikembangkan mekanisme pembayaran jasa ekosistem tidak hanya terbatas pada penyediaan (provisional services), namun juga jasa pengaturan dan jasa ekosistem lainnya. Berdasarkan praktek-praktek pembayaran jasa lingkungan baik di Indonesia maupun di negara lainnya dapat diambil pembelajaran dari kisah sukses dan hambatan serta masalah yang dihadapi untuk membangun strategi meningkatkan efektifitas pembayaran jasa lingkungan hutan dalam mendorong pencapaian tujuan pembangunan lingkungan. Secara skematis alur pendekatan tersebut disajikan dalam gambar 1.2 Skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) difokuskan pada jasa perlindungan DAS, sehingga DAS dijadikan unit pengamatan, sedangkan aspek ekonomi banyak terkait dengan batas politik administrasi pemerintahan, sehingga wilayah pemerintahan juga menjadi unit analisis dalam DAS. Jasa Lingkungan Sifat dan Manfaat Ekonomi Penilaian Jasa Lingkungan Pembelajaran dari praktek-praktek Pembayaran Jasa Lingkungan Karakteristik setempat (Sub DAS Gopgopan) dalam Pembayaran Jasa Lingkungan Air Skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) yang memungkinkan di Sub Das Gopgopan Gbr. 1.2 Kerangka Pendekatan Pengembangan Skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) 1.6.4 Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (Indepth interview). Dilakukan secara terbuka dan terstruktur, supaya dapat memperoleh informasi yang lengkap. Teknik wawancara secara terstruktur menggunakan panduan pertanyaan dan daftar pertanyaan yang dipersiapkan terlebih dahulu sebelum melakukan wawancara. 1.6.5 Metode Observasi Yaitu pengamatan yang disertai dengan keterlibatan diri dalam kehidupan masyarakat. Metode ini digunakan untuk mengamati secara langsung bagaimana keadaan hutan di DAS dan bagaimana jasa lingkungan dimanfaatkan, apa masalah yang dihadapi, apa respons masyarakat dalam kaitannya dengan pelaksanaan SCBFWM. 1.6.6 Metode Wawancara Metode ini digunakan untuk menjaring informasi mengenai satu gejala yang berkenaan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan digunakan untuk memperoleh data mengenai Pengelolaan Jasa Lingkungan, apabila data yang diperoleh dirasa masih kurang. 1.6.7 Kerangka Pemikiran Pertanyaan-pertanyaan penelitian yang perlu dijawab antara lain : 1. Bagaimana proses berjalannya mekanisme pembayaran jasa lingkungan? 2. Siapa saja pihak yang terkibat dalam mekanis PJL dikawasan tersebut? 3. Apa saja norma dan peraturan yang diakui para pihak selama berlangsungnya mekanisme tersebut? 4. Apakah keterlibatan para pihak tersebut sudah tepat atau masih terdapat pihak lain yang harusnya dilibatkan dalam mekanisme tersebut? 5. Apa peran-peran, hak dan kewajiban masing-masing pihak? 6. Apa output yang diharapkan? Pertanyaan penelitian tersebut tergambar dalam bagan alur kerangka pemikiran penelitian (Gambar 1.3) Sub DAS Gopgopan Daerah Tangkapan Air, mengontrol aliran air, menjaga wilayah hilir dari banjir dan erosi. Sumber Air Danau Toba, Sumber air irigasi. Keragaman hayati penyerab karbon sumber O2. Nilai manfaat air untuk Danau Toba, PLTA, industry, pertanian, Rumah Tangga, Peternakan, Perikanan, PDAM, Pariwisata. Banjir, penurunan debit air untuk irigasi, penurunan debit air danau toba, perubahan kualitas dan kuantitas air Masyarakat desa kecamatan Lumban Julu, Bonatua Lunasi, Porsea,Uluan - Pemanfaatan air dari Sub DAS Gopgopan Membangun kemitraan untuk upaya konservasi Sub DAS Gopgopan Meningkatkan mata pencaharian masyarakat desa penyangga dengan inkubasi usaha terpadu Melestarikan nilai sosial budaya PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN (PJL) Norma yang meliputi : - Peraturan-peratutan terkait - Perjanjian-perjanjian para pihak YA Organisasi yang meliputi : - Pihak-pihak yang terkait - Peran para pihak - Penegakan mekanisme Kinerja mekanisme PJL : - Realita dilapangan - Studi literatur - Dukungan penelitian - Evaluasi - Manfaat bagi kedua belah pihak TIDAK Mekanisme Non PJL Gbr. 1.3 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian 1.6.8 Teknik Penyusunan Secara sistematis langkah-langkah utama kegiatan penyusunan dokumen kerangka system pembayaran jasa lingkungan di Sub Das Gopgopan adalah : 1) Kajian kerangka karakteristik potensi Sub Das Gopgopan, 2) Kajian Sumber Pembayaran, 3) Kajian Legalitas, 4) Model Skema Pembayaran Jasa Lingkungan (Gambar 1.4). Kajian Karakteristik Wilayah Kondisi Fisik Potensi Lokal Sumber Pembiayaan Lokal Sumber APBN / APB Provinsi Kajian Sumber Pembiayaan Kompesali Lingkungan Daerah Hilir PJL Dunia Usaha ANALISIS Donateur Luar Negeri Out Put Dokumen Kerangka PES Undang-undang Peraturan Pemerintah Kajian Legalitas Peraturan Daerah Peraturan Desa Kearifan Lokal/Hukum Adat Gbr. 1.4 Kerangka Penyusunan Dokumen PES 1.7 Kajian Karakteristik Wilayah Kajian karakteristik potensi sumber daya Sub Das Gopgopan yang meliputi kajian sumber daya manusia, bio fisik, penggunaan lahan dan sumber daya sosial budaya. Pengkajian bio fisik dan penggunaan lahan dilakukan melalui kajian terhadap peta-peta, citra satelit, dan laporan-laporan serta observasi lapangan. Kajian sumber daya manusia dan sumber sosial budaya dan mata pencaharian, pemilikan dan penguasa lahan, pranata institusi formal/informal masyarakat, struktur dan instrumen kebijakan lembaga-lembaga pemerintah, dilakukan dengan wawancara dan diskusi kepada kelompok masyarakat dengan pelaku langsung maupun tidak langsung. Keluaran (output) dari kajian ini adalah informasi tentang pola penggunaan lahan optimal dari sudut teknis, potensi pengembangan dan masalah yang dihadapi dalam penggunaan lahan, potensi sumber daya manusia dan potensi pengembangan lembaga masyarakat. 1.8 Kajian Sumber Pembiayaan Pengembangan potensi bio fisik, penggunaan lahan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia membutuhkan kegiatan diarahkan untuk kelestarian sumber daya alam Sub Das Gopgopan tanpa harus merusak hutan dan tidak mengorbankan kepentingan ekonomi, dibutuhkan dukungan dana yang relatif besar, konsisten dan berkesinambungan. Diinfentarisasi alternatif-alternatf sumber dana baik dalam bentuk uang tunai maupun dalam bentuk bukan uang. Dengan mempedomani RPJM Pembangunan Nasional, peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dilakukan kajian terhadap Alokasi Anggaran yang berpihak kepada pertumbuhan, kemiskinan, lapangan kerja dan kelestarian lingkungan. Keluaran dari kajian ini adalah adanya masukan kepada pemerintah menyangkut kebijakan fiskal dimana karakteristik wilayah DAS disamping luas wilayah; topografi, kontur dan peranannya sebagai provider jasa lingkungan dimasukkan sebagai indeks kemahalan atau entri poin dalam penetapan dana perimbangan. BAB II KONSEP JASA LINGKUNGAN DAN PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN DI INDONESIA 2.1. Defenisi Penting Jasa lingkungan adalah penyediaan, pengaturan, penyokong proses alami dan pelestarian nilai budaya oleh seksesi alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Empat jenis jasa lingkungan yang dikenal oleh masyarakat global adalah jasa lingkungan tata air, jasa lingkungan keragaman hayati, jasa lingkungan penyebaran karbon dan jasa lingkungan keindahan lanskap. Penyedia jasa lingkungan adalah (a) Perorangan, (b) Kelompok Masyarakat, (c) Perkumpulan, (d) Badan Usaha, (e) Pemerintahan Daerah, (f) Pemerintah Pusat yang mengelola lahan yang menghasilkan jasa lingkungan serta memiliki izin atau alas hak atas lahan tersebut dari instansi yang berwenang. Pemanfaat jasa lingkungan adalah (a) Perorangan, (b) Kelompok Masyarakat, (c) Perkumpulan, (d) Badan Usaha, (e) Pemerintahan Daerah, (f) Pemerintah Pusat yang memiliki segala bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemanfaatan jasa lingkungan diluar Yurisdiksi Hukum Indonesia tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembayaran jasa lingkungan yang lazim disebut PES adalah Pemberian imbal jasa berupa pembayaran finansial dan non finansial kepada pengelola lahan atas jasa lingkungan yang dihasilkan. Sistem pembayaran jasa lingkungan adalah mekanisme pembayaran finansial dan non finansial dituangkan dalam bentuk kontrak hukum yang berlaku meliputi aspek-aspek legal, teknis maupun operasional. Komponen system PJL adalah : (a) Jasa Lingkungan yang dapat diukur, (b) Penyedia, (c) Pemanfaat, (d) Tata Cara Pembayaran. Tujuan pembayaran finansial dan non finansial lingkungan adalah : 1. Sebagai alternatif sistem produksi dan pengelolaan lahan lebih ramah lingkungan; 2. Sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pengelola lahan; 3. Sebagai upaya perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi social yang lestari 2.2 Jasa Lingkungan Hutan Menurut Millennium Assessment (2003) “Hutan merupakan suatu ekosistem yang dapat berperan dalam merubah dimensi utama dari ‘ill being’ menjadi ‘human being’”. Perobahan tersebut dari powerlessness, bad social relations, material lack, poor helth, dan vulnerability menjadi freedom of choise anaction, good social relation, materially enough for a good life, good health dan security. Dr. Olman Sequre Bonilla dari International Center in Economic Policy for Sustainable Development (CINPE) Costa Rica, mengidentifikasi jasa lingkungan hutan sebagai berikut : 1) Penyedia hasil hutan kayu; 2) Penyedia hasil hutan bukan kayu; 3) Pengatur siklus hidrologi; 4) Perlindungan tanah dan kwalitas air; 5) Pengendalian angin dan kebisingan; 6) Penyedia keindahan bentang alam; 7) Penyediaan rekreasi ekowisata; 8) Penyediaan kebudayaan dan religi; 9) Pengatur iklim mikro; 10) Penyeimbang perubahan iklim; dan 11) Perlindungan keanekaragaman hayati. Jasa-jasa ekosistem hutan diklasifikasikan menurut fungsinya, sebagai berikut : 1. Fungsi pengadaan meliputi : a. Bahan pangan, b. Air, c. Bahan bakar, d. Bahan serat, e. Bahan ornament, f. Sumberdaya genetic, g. Sumber daya bio kimia, h. Sumber daya obat-obatan alami; 2. Fungsi pengaturan meliputi : a. Kwalitas udara, b. Iklim, c. Air (kwalitas), d. Pengendalian erosi, e. Pengendalian penyakit manusia, f. Kontrol biologi, g. Penyerbukan, h. Perlindungan badai; 3. Fungsi kebudayaan meliputi : a. Keanekaragaman budaya, b. Nilainilai keagamaan dan spiritual, c. Sistem pengetahuan (tradisional dan formal), d. inspirasi, e. Nilai-nilai estetika, f. Hubungan social, g. Arti suatu tempat, h. Nilai warisan budaya, i. Rekreasi, j. Ekowisata; dan 4. Fungsi penunjang meliputi : a. Produksi oksigen, b. Formasi dan retensi tanah, c. Siklus nutrisi, d. Siklus air, e. Habitat, dan f. Produksi primer. 2.3 Sifat Jasa Lingkungan Sebagian besar jasa lingkungan mempunyai sifat “tidak memilah” (non excludable), yakni tidak ada kwalifikasi yang dapat membedakan konsumen yang memenuhi dan yang tidak memenuhi kwalifikasi. Semua konsumen kwalifiksi dapat menikmati barang dan jasa yang berciri “tidak memilah”. Banyak jenis sumber daya alam yang mempunyai ciri barang publik (public goods) atau cadangan bersama (common public). Barang publik dicirikan oleh sifat “tidak memilah” dan “tidak bersaing” (non rivalry). Sedangkan cadangan bersama dicirikan oleh sifat “tidak memilah” dan “tidak bersaing” (nonrivally). Tabel 2.1 dan 2.2, udara bersih adalah contoh barang publik, sedangkan ikan di sungai adalah contoh barang cadangan bersama. Tabel 2.1 Klasifikasi Barang Memilah Bersaing Tidak Bersaing Tidak Memilah Barang Privat Cadangan Umum (Private Goods) (Common Pool Goods) Barang Kelompok Barang Publik (Club Goods) (Public Goods) Tabel 2.2 Karakteristik Jasa Lingkungan Jasa Lingkungan Memilah Bersaing Jasa tata air Ya / tidak Ya Jasa biodiversity Ya / tidak Ya Tidak Tidak Ya ya Jasa penimpaan dan penyerapan karbon Jasa keindahan bentang alam Tabel 2.2 menunjukkan bahwa beberapa jasa lingkungan bersifat memilah dan beberapa yang lain bersifat tidak memilah. Sebagian jasa tata air bersifat memilah dan sebagian yang lain tidak memilah. Regim air dan kualitas air sungai bersifat tidak memilah, artinya setiap orang dapat menggunakan air sungai tersebut untuk transportasi dan menggunakan airnya untuk kebutuhan domestiknya tanpa harus membayar. Sementara itu air bersih yang keluar dari mata air bersifat memilah. Hanya pihak yang memiliki kualitas tertentu yang dapat memanfaatkan air tersebut. Terhadap regim dan kualitas air sungai, mekanisme pasar tidak dapat digunakan. Sedangkan untuk air bersih dari mata air mekanisme pasar akan bekerja dengan baik. Jasa biodiversity ada yang bersifat memilah ada pula yang bersifat tidak memilah. Sifat kepemilahan ini tergantung terutama pada ukuran hamparan dimana biodiversity yang dimaksud berada semakin lebar ukuran hamparannya semakin rendah tingkat kepemilahannya. Pengenalan atas karakteristik jasa ini sangat penting, khususnya berguna untuk menambahkan mekanisme pembayaran jasa. Terlebih lagi kegiatan produksi kehutanan umumnya menghasilkan produk ganda. Apabila produk utama yang menjadi tujuan kegiatan produksi kehutanan adalah barang atau jasa yang bersifat memilah, maka jasa produk yang lain yang bersifat tidak memilah dapat dimasukkan kedalam harga produk yang bersifat memilah tadi. Sebagai contoh konsumen kayu bukan hanya memperoleh kayu tetapi juga udara yang mengandung C02 rendah yang umumnya belum dibayar. Jasa kualitas udara yang lebih baik ini ditambahkan kepada harga kayu, sehingga harga kayu harus dibayar konsumen menjadi lebih tinggi. Instrument pasar dalam bentuk kebijakan fiskal dapat digunakan untuk memecahkan problem ini. 2.4 Manfaat Ekonomi Manfaat ekonomi adalah nilai manfaat yang dinikmati oleh masyarakat (pengguna). Terdapat dua alasan penilaian ekonomi. Pertama, menunjukkan bahwa ekosistem berperan dalam perencanaan pada tingkat ekonomi makro, dan kedua menunjukkan bahwa jasa ekosistem secara keseluruhan berperan dalam pembuatan alokasi keputusan yang efisien pada tingkat mikro ekonomi (Pearce dan warford 1993). Pearce ct al (1989) mengelompokkan nilai sumber daya hutan (SDH) dalam tiga macam, yaitu : Nilai penggunaan langsung, yaitu manfaat yang langsung diambil dari SDH, sebagai barang konsumsi atau infput untuk barang konsumsi. Jasa hutan dalam klasifikasi MEA 2003 yang termasuk nilai penggunaan langsung adalah “jasa penyediaan”. Nilai penggunaan tidak langsung, yaitu yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya, dapat berupa hal yang mendukung nilai langsung. Jasa hutan dalam klasifikasi MEA, 2003 yang termasuk nilai penggunaan tidak langsung adalah “jasa pengaturan” dan “jasa penunjang”. Nilai non penggunaan yaitu semua manfaat yang dihasilkan bukan dari interaksi secara fisik antara hutan dan konsumen jasa hutan dalam MEA 2003 yang termasuk nilai non penggunaan adalah “kebudayaan”. Sedangkan Barbier (1991) dalam Bishop (1994) menguraikan nilai penggunaan selain penggunaan langsung dan tidak langsung menambahkan nilai pilihan yaitu nilai penggunaan langsung dan tidak langsung pada masa datang, dan keberadaan hutan sebagai nilai keberadaan. Nilai Ekonomi Total (NET) merupakan penjumlahan dari nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai non guna dengan persamaan sebagai berikut (pearce 1992). NET = Nilai Guna Langsung + Nilai Guna Tidak Langsung + Nilai Pilihan + Nilai Keberadaan Nilai pilihan mengacu kepada nilai penggunaan langsung dan tidak langsung yang berpotensi dihasilkan dimasa yang akan datang. Hal ini meliputi manfaat-manfaat sumber daya alam yang “disimpan atau dipertahankan” untuk kepentingan yang akan datang (sumber daya hutan yang disisihkan untuk pemanenan yang akan datang) contohnya adalah sumber daya genetik dari hutan tropis untuk kepentingan masa depan. 2.5 Prinsip Pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan Pengembangan pembayaran jasa lingkungan perlu dilakukan dengan berpegang pada prinsip-prinsip : 1) Efisiensi, 2) Keadilan dan 3) Kelestarian. Ketiga prinsip ini tidak selalu bebas satu dari yang lain, tetapi dalam satu situasi proses saling menguatkan mungkin terjadi dan dalam situasi yang lain, proses trade – off mungkin terjadi. 2.6 Indikator Target Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan (RPJM Nasional 2010 – 2014) 1. Adanya kebijakan dan regulasi nasional yang : - Mendukung kinerja jasa lingkungan secara komprehensif, meliputi jasa lingkungan tata air, penyerapan karbon, keaneka ragaman hayati dan keindahan lanskap. - Bersifat umum dan fleksibel tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah (spesifik dan local). 2. Adanya Komisi Jasa Lingkungan Nasional beraanggotakan para wakil pemangku kepentingan dengan jumlah tidak lebih dari tujuh belas (17) orang terdiri dari unsur pemerintah, akademisi atau pakar, lembaga swadaya masyarakat, bisnis, organisasi masyarakat yang berfungsi : - Mengatur dan menetapkan kebijakan umum pengelolaan jasa lingkungan di tingkat nasional, - Menyusun dan menetapkan pedoman penyelenggaraan pengelolaan jasa lingkungan yang meliputi aspek legal, teknis dan operasional, - Memberikan suvervisi dan asistensi kepada lembaga pembiayaan jasa lingkungan, - Melakukan pengawasan terhadap lembaga pembiayaan jasa lingkungan, - Memberikan sanksi administrasi kepada jajaran pengurus lembaga baik melanggar tugas pokok dan fungsi dan - Membangun jaringan kerja dengan berbagai pihak terkait. 3. Adanya lembaga-lembaga penyelenggara system PJL yaitu : - Lembaga Pembayaran Jasa Lingkungan sebagai Lembaga Pembiayaan untuk mengelola jasa lingkungan - Lembaga Sertifikasi Jasa Lingkungan sebagai Lembaga yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. - Lembaga akreditasi jasa lingkungan sebagai lembaga yang berfungsi melakukan akreditasi terhadap lembaga sertifikasi jasa lingkungan 4. Uji coba pengembangan sistem PJL sekurang-kurangnya disepuluh DAS di Indonesia. Catatan Penting : Lembaga-lembaga tersebut tidak harus terdiri dari lembaga bentukan pemerintah tetapi pula memberikan ruang bagi lembaga non pemerintah melaksanakan fungsi-fungsi tersebut diatas. untuk BAB III PENGENALAN DAN CONTOH KASUS PAYMENT FOR ENVIROMETAL SERVICES (PES) DI INDONESIA Berbagai kebijakan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup sudah banyak diterapkan diberbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Kebijakan berbasis command and control, seperti Kebijakan Baku Mutu Pencemaran, Kebijakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi limbah B3 dan lain-lain merupakan skema perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selama ini kita kenal di Indonesia. Disadari bahwa skema-skema tersebut belum dapat sepenuhnya diandalkan untuk menjaga keberlangsungan kualitas dan kuantitas lingkungan hidup, terbukti dengan masih meningkatnya tred kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup di Indonesia. Diperlukan berbagai skema lain yang dapat dijadikan komplemen bagi kebijakan yang ada untuk mendorong laju kecepatan perbaikan kualitas lingkungan hidup Indonesia. Pemerintah melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2009, memperkenalkan model perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baru, yaitu instrument ekonomi. Instrument ekonomi lingkungan adalah instrument perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang berbasis pasar, instrument ekonomi yang merupakan hal relatif baru di Indonesia. Walaupun beberapa insrumen yang dikategorikan sebagai instrument ekonomi seperti Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) telah banyak diterapkan pada berbagai inisiatif baik dalam lingkungan sektoral maupun local. PES merupakan salah satu instrument yang cukup dikenal, dan diharapkan dapat menjadi salah satu instrument berbasis insentif disentif yang dapat diandalkan bagi perlindungan lingkungan hidup yang berkelanjutan. 3.1. PES Sebagai Instrumen Perlindungan Lingkungan Hidup Berbasis Pasar dan Pengelolaan Sumber daya alam dan lingkungan menyediakan jasa yang sangat bervariasi bagi keberlangsungan hidup manusia, mulai dari air bersih, udara bersih, keindahan alam, tanah yang subur, hutan sebagai penyerap karbon dan lain sebagainya. Individual, industry dan masyarakat sangat tergantung pada jasa lingkungan ini, mulai dari bahan bakunya, proses produksinya sampai fungsinya (Gambar 3-1.) kebutuhan lingkungan tidak secara serta merta membuat orang menghargai nilai dari sumber daya alam tersebut secara semestinya, bahkan seringkali menilai jasa lingkungan tersebut dibawah nilainya, atau bahkan tidak bernilai sama sekali. Kondisi seperti ini membuat lingkungan hidup menjadi terdegradasi dengan cepat. Data dari Millenium Ecosystem Assessment (2005) menyatakan bahwa 60% dari jasa di lingkungan yang dipelajari mengalami degradasi lebih cepat dari kemampuan memperbaikinya. Sumber : Danida, 2011 Gambar 3.1 Berbagai Tipe Jasa Lingkungan Salah satu penyebab utama dari degradasi lingkungan adalah karena sifat sumber daya alam lingkungan yang cendeng bersifat barang publik yang kemudian menimbulkan kegagalan pasar. Dalam situasi seperti ini berbagai instrument kebijakan konvensional sering mengalami kendala dalam melindungi dan mempertahankan fungsi-fungsi lingkungan yang tidak terpasarkan. Namun demikian, fungsi pasar sebagai pengatur alokasi dan distribusi barang dan jasa masih dapat digunakan sebagai instrument untuk menghasilkan alokasi yang efisien melalui dukungan kelembagaan. Mekanisme ini dalam khasanah ekonomi lingkungan dikenal sebagai mekanisme “Penciptaan Pasar” atau Market Creation. Secara sederhana pasar yang tidak berfungsi (missing market) karena adanya komponen lingkungan yang tidak diperdagangkan, dibangkitkan melalui mekanisme “Jual – beli” dengan terlebih dahulu memberikan “nilai ekonomi” pada jasa lingkungan dan kemudian didukung oleh kelembagaan. Untuk menghasilkan pasar tersebut. Salah satu mekanisme seperti itu dilakukan untuk pasar jasa lingkungan yang selama ini dianggap sebagai barang bebas yang kemudian cenderung terjadi over eksploitasi dan over konsumsi. 3.2. Struktur Mekanisme PES Dasar teori ekonomi dari PES secara konseptual sebenarnya sederhana yaitu “beneficiary pays” atau penerima manfaat membayar (Pagiola, 2004). Mayrand and Paquin (2004) menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada defenisi PES yang disepakati. Pemahaman mengenai PES selama ini lebih kepada klasifikasi yang berdasarkan jasa lingkungan, struktur, tipe pembayaran dan hal-hal lainnya. Ketiadaan defenisi ini pada akhirnya membuat implementasi PES menjadi sangat beragam. PES pada dasarnya merupakan skema yang bertujuan untuk menyediakan jasa lingkungan yang selama ini dianggap semakin mengalami degradasi, akibat kurangnya apresiasi masyarakat terhadap nilai dari jasa lingkungan dan juga kurangnnya mekanisme kompensasi. Skema PES merupakan mekanisme yang membuat penyedia jasa lingkungan menjadi lebih cost efisien dalam jangka waktu yang lama. Rosa et al (2002) menjelaskan pendekatan PES sebagai berikut : Merupakan pendekatan ekonomi yang berbasis optimisasi, mencari biaya serendah mungkin untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan; Focus pada pengelolaan ekosistem tunggal seperti penyerapan karbon atau carbon sequestration, pengelolaan hidrologi DAS atau konservasi keragaman hayati. Merupakan preferensi menyederhanakan skala besar ekosistem, untuk dimiliki beberapa orang untuk mengurangin biaya transaksi dan monitoring. Bertujuan melindungi hak property privat dan memberikan penghargaan (reward) pada pemilik lahan. Jika dilihat dari mekanisme PES miliki struktur dasar yang secara konsep dapat dikatakan sederhana dan fleksibel dalam berbagai kondisi, sehingga aplikasinya pun sangat bervariasi diseluruh dunia. Seperti diuraikan oleh Paqiola (2003), skema PES dapat dilakukan pada berbagai jenis jasa lingkungan, seperti penyeraban karbon, pengelolaan hidrologi DAS, konservasi keragaman hayati, ataupun kelestarian lanskap untuk ekoturisme yang sebelumnya harus didefenisikan, diukur dan dikwantifikasikan untuk dihasilkan dalam skema. Pemahaman pengetahuan mengenai hal ini tentu saja diperlukan untuk membuat skema ini menarik partisipasi dari pemanfaat jasa lingkungan. Dengan demikian identifikasi jasa yang dibutuhkan pemanfaatan pada berbagai tingkatan. Jasa lingkungan dapat dihasilkan dan dimanfaatkan oleh berbagai level penyedia dan pemanfaat dari tingkat lokal, nasional sampai internasional dan dari pemerintah, badan usaha, masyarakat lokal, individual, atau campuran semuanya tergantung dari sifat jasa lingkungan itu sendiri. Secara sederhana, skema struktur dasar PES dapat dilihat pada gambar 3.2 penerima manfaat memberikan pembayaran jasa lingkungan kepada pengguna lahan yang aktivitasnya memberikan dampak pada ketersediaan jasa lingkungan secara berkesinambungan dan juga pembayarannya didisain melalui suatu sistem governance tertentu yang disepakati kedua belah pihak. Pengembangan Skala PES mensyaratkan adanya mekanisme pembiayaan untuk mengelola pendanaan dan pembayaran dari penerima manfaat kepada penyedia jasa lingkungan atau dalam hal ini pengguna lahan. Aliran jasa lingkungan yang dihasilkan diharapkan stabil dan terus menerus dan memberi jaminan pada keberlanjutan jangka panjang sistem. Fleksibiltas Skema PES dapat juga dilihat dari skema pembayaran yang bisa berdasarkan besar luas area yang menjadi subjek perubahan pemanfaatan lahan, atau pada praktek pemanfaatan lahan spesifik. Dapat diarahkan pada area, praktek atau atribut spesifik dengan kriteria-kriteria umum. Skema PES juga dapat dalam bentuk manfaat non moneter pada pemanfaatan lahan seperti training, infrastruktur atau bantuan diversivikasi pendapatan atau pengembangan pasar (Mayrand & Paquin, 2004) STRUKTUR GOVERNANCE Penggunaan Lahan Penerimaan manfaat [ Penerimaan manfaat Mekanisme Pendanaan Mekanisme Pembayaran Penggunaan Lahan Penerimaan manfaat Penggunaan Lahan Penerimaan manfaat Penggunaan Lahan Environmental Services Sumber : Paqiola, World Bank, 2003 Gambar 3.2 Struktur Mekanisme PES 3.3. PES sebagai Instrumen yang Pro Environment, Pro Growth, Pro Poor dan Pro Job Skema PES pada awalnya memang didisain untuk tujuan pengelolaan lingkungan, dan tidak didisain untuk kemiskinan. Namun demikian dalam perjalanannya ternyata instrument PES memberi peluang bagi masyarakat miskin dipedesaan yang hidup dikawasan hutan untuk dapat terlibat dalam skema ini dan memperoleh tambahan pendapatan baik langsung maupun tidak langsung dalam bentuk uang (cash) atas kegiatan mereka merehabilitasi dan mengkonservasi hutan, atau dalam bentuk pembayaran lainnya seperti peningkatan capacity building mereka melalui pelatihan. Dalam perkembangannya, skema PES terutama di negara berkembang kemudian selain digunakan untuk tujuan konservasi, juga ditujukan untuk manfaat bagi masyarakat miskin di pedesaan. Skema ini digunakan untuk mentransfer sumber daya finansial dari pihak yang membutuhkan jasa lingkungan yang konsisten dan terus menerus kepada masyarakat social dan finansial rapuh. Pengentasan kemiskinan bukanlah tujuan utama dari program ini, namun dalam disain, proses dan keluaran akhir sebaiknya harus berpihak kepada masyarakat miskin, karena menurut Leimona et al (2009), jika hal ini tidak dilakukan, maka baik tujuan konservasi maupun pengentasan kemiskinan tidak akan dapat dicapai. Skema PES juga secara tidak langsung memberikan kesempatan pekerjaan kepada masyarakat pedesaan melalui kegiatan yang ada dalam Skema PES itu sendiri, masyarakat diberi kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan alternative, dari kegiatan mereka yang pada awalnya merambah hutan untuk mempertahankan kehidupan mereka. Secara makro, PES memberi dampak lebih luas lagi menyangkut pertumbuhan ekonomi baik skala lokal maupun nasional, karena peningkatan kualitas lingkungan yang baik akibat dari pengembangan PES ini akan diikuti juga dengan peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat secara agregat. Dengan demikian pada dasarnya PES ini merupakan skema yang sudah sejalan dengan arah pembangunan Indonesia yang berbasis pada triple track development : pro growth, pro poor dan pro job dan ditambah lagi dengan arah kebijakan pemerintah dalam kebijakan fiscal 2011 yaitu pro environment. 3.4. Acuan Umum Pelaksanaan PES Skema PES merupakan kerangka besar dari berbagai langkah- langkah kegiatan yang sifatnya komprehensip. Langkah awal sekali yang merupakan dasar pelaksanaan PES adalah identifikasi jenis jasa lingkungan yang akan dijual belikan. Iedentifikasi lebih detail lagi untuk deskripsi komoditas jasa lingkungan dalam hal sejenis, spesifikasi teknis, baik kualitas maupun kuantitas. Tahapan selanjutnya adalah penghitungan nilai komoditas/jasa lingkungan ini dengan menggunakan metode valuasi ekonomi standard yang sudah banyak dikenal. Kegiatan selanjutnya adalah identifikasi penyedia dan pemanfaat serta fasilitator/pihak ketiga yang mungkin diperlukan dalam PES ini. Selanjutnya dilakukan analisis institusional yang merupakan kumpulan dari berbagai aspek legal dan kebijakan yang menyangkut pemanfaatan dan pengelolaan jasa lingkungan, kesesuaian peraturan perundang-undangan dalam pemanfaatan dan pengelolaan jasa lingkungan. Setelah tiga aspek diatas diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah merancang Skema PES nya sendiri yang terdiri dari skema disain kontrak kerjasama dan skema system pembayaran. Didalam Skema PES ini juga diatur mengenai beberapa hal penting seperti detail perencanaan pengelolaan PES, Verifikasi Penyediaan Jasa dan manfaat, monitoring dan evaluasi dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah skema penyelesaian konflik. Selain itu karena Skema PES ini juga mengandung resiko dan ketidak pastian, dengan demikian manajemen resiko merupakan keniscayaan dalam PES. Gambar 3.3 menjelaskan langkahlangkah dalam mengembangkan Skema PES meliputi persiapan, pengembangan (identifikasi), perencanaan dan implementasi. Setiap tahap meliputi informasi, komponen, aktor yang terlibat dan kegiatan yang harus dilakukan. Sumber : Danida, 2011 Gambar 3.3. Langkah dalam Pelaksanaan PES 3.5. Beberapa Contoh Implementasi PJL di Indonesia Beberapa Contoh Implementasi PJL di Indonesia Implementasi PJL di Indonesia termasuk yang sudah banyak direferensikan pada tingkat internasional. Kebanyakan memang berkaitan dengan PJL DAS, namun demikian beberapa juga terkait dengan komoditas keanekaragaman hayati, scenic beauty dan bahkan sekarang ini sudah mulai berkembang skemaskema PJL untuk carbon sequestration. Diantara beberapa insisiatif tersebut sudah berjalan, walaupun masih berada pada tahap awal, dan belum dapat dikatakan sebagai PJl yang murni (real PJL), namun demikian seluruh inisiatif tersebut patut diapresiasi, mengingat keberadaannya dapat memberikan dampak positif bagi pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Berikut ini adalah beberapa inisiatif yang dapat dijadikan sebagai role model bagi pengembangan skema PJL di Indonesia. 3.5.1. PJL Sumber Jaya lampung Sumber jaya yang terletak di Lampung Barat, merupakan sebuah Kecamatan yang berada di wilayah pegunungan Bukit Barisan, dengan area seluas 55.000 Ha dan populasi sebanyak lebih kurang 80.000 penduduk. 40% dari wilayah Sumber Jaya merupakan kawasan hutan lindung dan 10% nya adalah taman nasional. Sumber jaya merupakan wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai daerah transmigrasi bagi penduduk dari Jawa Barat di tahun 1952. Selanjutnya area ini berkembang sebagai kawasan perkebunan kopi yang cukup terkenal di Lampung. Sejak dikeluarannya kebijakan pemerintah mengenai Program Hutan Kemasyarakatan (Hkm) di tahun 2007, (Kep Menhut No. P.37/MenhutII/2007), dimana disebutkan bahwa hutan produksi dan hutan lindung dapat dikelola oleh masyarakat, masyarakat diberikan hak individu atas lahan hutan lindung selama mereka melakukan pengelolaan hutan secara multi strata. Pengelolaan hutan multistrata ini adalah penanaman hutan dengan tumbuhan bervariasi ketinggiannya dari tajuk rendah, sedang sampai tinggi. Selain itu masyarakat juga diharuskan melakukan konservasi air dan tanah dan melindungi area kawasan hutan. Kontrak HKm ini awalnya dilakukan untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang hingga 25 tahun lagi. Petani di Hutan lindung Sumber Jaya, dibagi menjadi beberapa kelompok untuk dapat mengikuti perjanjian HKm. DIbandingkan dengan kawasan lainnya di Provinsi Lampung, HKm Sumber Jaya merupakan kelompok yang paling maju. Dengan batuan dari NGO seperti ICRAF, program HKm di wilayah ini berjalan dengan baik. ICRAF dan the International Fund for Agricultural Development juga memperkenalkan konsep PJL melalui proyek RUPJL (Rewarding Upland Poor for Environmental Services they provide) kepada masyarakat di wilayah ini. Proyek RUPJL mempelajari tiga usulan mekanisme imbal jasa. Pertama skema pembayaran jasa lingkungan yang melibatkan Perusahaan Listrik Negara sebagai pemanfaat jasa lingkungan DAS. Kedua Hak pengelolaan tanah sebagai mekanisme rewards bagi proyek perlindungan DAS dan carbon sequestration. Departemen Kehutanan sebagai pemberi imbal jasa untuk jasa lingkungan dengan cara menerbitkan izin pemanfaatan lahan bagi masyarakat. Masyarakat lokal dan pemerintah melakukan negosiasi untuk hak legal pemanfaatan lahan, sebagai imbal jasa bagi pengelolaan hutan yang lebih baik. ICRAF dan LSM lokal membantu masyarakat untuk mengembangakan skema hutan kemasyarakatan. Ketiga, mekanisme dikembangkan untuk meningkatkan kualitas dari air untuk pemanfaatan domestik, dengan cara memperkenalkan kemungkinan pembayaran langsung. Sejak 2004 2004 RUPJL memberikan bantuan pada masyarakat lokal untuk memperoleh akses HKm. Program HKm memberikan bantuan untuk masyarakat setempat memperoleh akses pada program Hkm. Program HKm memberikan petani land tenure pada hutan lindung untuk ditanami. Sebagai imbalan, petani melakukan kegiatan pertanian yang ramah lingkungan dan melindungi hutan alam sisanya, sehingga lahan hutan akan terus memberikan manfaat perlindungan terhadap keberlanjutan supai air. Program HKm meliputi 70% dari hutan lindung di Sumberjaya, meliputi 6.400 petani dan 13.000 ha areal hutan. Untuk River Care program, RUPJL mengembangkan pilot project pada masyarakat di salah satu sub-catchment area dan PLTA melakukan mekanisme pembayaran untuk mengurangi sedimentasi. Petani membangun dam dan drainase di hulu. RUPJL membantu dalam melakukan monitoring teknis sedimen. prinsip utama dalam skema ini adalah kondisionalitas (hanya dibayar jika jasa lingkungan diterima), artinya jika hasil monitoring sedimentasi bagus, maka pembayaran akan diberikan. Selama periode kesepakatan, kelompok river care menerima 1000 US Dollar untuk penurunan sedimentasi sebesar 30%, 700 US Dollar untuk penurunan 20% sampai 30%. Gambar di bawah ini adalah skema RUPJL di Lampung Barat. Gambar 3.4. Skema PJL di Sumber Jaya Lampung Barat Beberapa pembelajaran yang dapat ditarik dari implementasi skema PJL di Sumber Jaya Lampung diantaranya adalah: PJL tipe P to C ini dapat diimplementasikan secara sederhana dengan perjanjian Memorandum of Understanding letter (MOU) antara Perusahaan Listrik Tenaga Air (PLTA). MOU dibuat untuk setiap antivitas pada jasa lingkungan yang akan dibayar, seperti misalnya pembayaran untuk menurunkan sedimen.MOU berlaku selama periode 1 tahun dan dapat diperpanjang untuk tahun berikutnya jika memungkinkan. MOU ditandatangani oleh perwakilan dari PLTA sebagai pihak pertama dan perwakilan dari ICRAF. MOU diantaranya memuat hal-hal sebagai berikut: a. Tanggal, bulan dan tahun perjanjian. b. Penyedia dan pemanfaat. Penyedia diwakili oleh ketua kelompok dan pemanfaat diwakili oleh manajer perusahaan. c. Validation time. d. Bentuk kerjasama, meliputi kewajiban pemanfaat dan penyedia. e. Biaya operasional, tahapan pembayaran, dan teknik transfer payment. f. Detail perencanaan pembagian tugas, lokasi dan skedul. g. Perencanaan penggunaan anggaran. h. Kompensasi. i. Pelaksanaan Kegiatan, termasuk tanggung jawab, hak dan sanksi. j. Monitoring dan evaluasi, termasuk indikator yang akan dievaluasi. k. Penghentian kegiatan dalam kondisi force major atau wan prestasi salah satu pihak. Skema PJL di Sumber Jaya tidak hanya melibatkan uang tunai (cash), tetapi juga dalam bentuk lain, seperti dana bergulir untuk peternakan kambing dan budidaya ikan, pembangunan instalasi mikro hidro dan benih pohon. Sumber dana PLTA adalah anggaran CSR perusahaan yang relatif kecil yaitu 150 juta rupiah per tahun, dan dari dana pengelolaan lingkungan. Untuk mengembangkan mekanisme monitoring dan evaluasi, kedua pihak dibantu oleh ICRAF, khususnya dalam menyiapkan kriteria indikator river care program. Kriteria terdiri dari dimensi fisik, sosial dan ekonomi. Walaupun kriteria ini masih bersifat kualitatif, namun sudah merupakan langkah maju dalam pengembangan PJL di Indonesia. 3.5.2 PJL Lombok Pembayaran jasa Lingkungan (PJL) Di Lombok Barat dilakukan melalui payung hukum PERDA Kabupaten Lombok Barat No. 4 Tahun 2007 Tentang pengelolaan Jasa Lingkungan. Latar belakang dari aplikasi skema PJL di Kabupaten Lombok Barat adalah bermula dari studi valuasi ekonomi WWF di kawasan Gunung Rinjani pada tahun 2003 yang menunjukkan adanya degradasi lingkungan di kawasan tersebut akibat pemanfaatan ladang berpindah dan juga penebangan liar terhadap pohon untuk tujuan ekonomi. Kawasan tersebut pada dasarnya merupakan sumber air baku bagi masyarakat di kabupaten Lombok Barat dan sekitarnya. Kondisi degradasi memicu penurunan kualitas dan kuantitas air baku, sehingga muncullah ide untuk menggunakan instrumen PJL untuk memperbaiki kondisi kawasan Gunung Rinjani melalui program konservasi. Inisiator dari PJL di Lombok Barat ini adalah LP3ES, WWF, Pemda Lombok Barat (Bappeda, Dinas Kehutanan, PSDA), dan LSM Jayakarta. Untuk tahap awal dilakukan studi willingness To Pay (WTP) dari masyarakat terhadap nilai untuk mengkonservasi kawasan Gunung Rinjani, dengan sampel sebanyak 1500 dari populasi 60000 penduduk Lombok Barat. Studi menunjukkan nilai WTP antara Rp. 500 sd Rp. 5000. Setelah diajukan ke DPRD, disetujui sebesar Rp. 1000,- per kepala keluarga domestik dan Rp. 1500 pelanggan industri/hotel air bersih PDAM. Sampai saat ini PJL dikelola oleh Institusi Multi Pihak (IMP) yang didirikan berdasarkan Keputusan Bupati Lombok Barat Nomor 1072/207/Dishut/2009 Tentang Pembentukan Institusi Multi Pihak. IMP bertanggung jawab kepada Bupati, dengan anggota terdiri dari Kepala Bappeda, Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Dinas Kelautan dan perikanan, kepala dinas Pariwisata, Kabag Ekonomi, Kepala Baan Lingkungan Hidup, Kepala Dinas PU dan Tamben, Kepala Dinas Pertanian, Bagian Hukum, Kepala UPT Dephut (BTNGR, BKSDA), Akademisi, Konsepsi, WWF, PDAM, Wakil masyarakat (Forum Kawasan Hutan Sesaot), Pengusaha (DIrektur PT Narmada Awet Muda), dan unsur ASITA. IMP ini dianggap sebagai super body yang memiliki tugas berat selain memfasilitasi uangnya, juga memungut, dengan verifikasi yang ketat bertugas antara lain: • Menilai dan menyetujui atas kelayakan usulan penggunan d ana pembayaran jasa lingkungan. • Mengawasi mekanisme penggunan dana pembayaran jasa lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar objek jasa lingkungan. • Melakukan kerjaama dengan pihak lain untuk penggalangan dana pembayaran jasa lingkungan dan kegiatan pelestarian, pemeliharaan kebersihan lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar objek jasa lingkungan. • Memberikan rekomendasi tentang tata cara dan besaran tarif pembayaran jasa lingkungan, dan • Menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan penggunaan pembayaran jasa lingkungan. Pola aliran dana PJL seperti tampak pada Gambar 7 di bawah ini adalah dari masyarakat dipungut oleh PDAM dan masuk ke kas daerah, selanjutnya melalui dinas Kehutanan dana dialirkan untuk management IMP sebesar 25% dan kepada masyarakat melalui kelompok yang telah disetujui propoalnya untuk kegiatan konservsi di wilayah Gunung Rinjani sebesar 75%. Dana konservasi kelompok ini 85% digunakan untuk program restorasi, pembibitan dan sisanya menyangkut kelembagaan serta keiatan ekonomi alternatif seperti pengolahan kopi untuk pekerjaan lain hasil hutan non timber. Untuk penanaman pohon direkomendasikan yang bernilai ekonomi tinggi seperti durian, sukun dll. Sampai saat ini ada 3 kelompok yang melaksanakan kegiatan konservasi dengan dana PJL di kawasan Gunung Rinjani, yaitu untuk kawasan Desa Batu Mekar untuk hutan kawasan Sesau, seluas 6000 Ha berupa kegiatan restorasi bantaran sungai. selanjutnya kelompok Suranadi/Ranget berupa kebiatan pembibitan, dan kelompok Sedau, dengan kegiatan restorasi, pembibitan dan penanaman untuk kawasan seluas 25 Ha. Gambar 3.5. Skema PJL Lombok Barat 3.5.3 PES Kuningan Cirebon Skema PJL Kuningan Cirebon adalah tipe PJL G to G (antar pemerintah) yang melibatkan dua pemerintah daerah tingkat II yaitu Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan. Kerjasama menyangkut pengelolaan mata air Paniis yang terletak di Kabupaten Kuningan. Mata air ini merupakan sumber bagi air baku masyarakat Kota Cirebon, yang diolah PDAM Kota Cirebon. Melalui perjanjian kerjasana antara Pemda kabupaten Kuningan dan Pemda Kota Cirebon No. 44 tahun 2004/No.690/PERJ.35-EKON/2004 tentang Pemanfaatan sumber mata air paniis, Kecamatan Pasawahan, kabupaten Kuningan, Pemda Kota Cirebon memberikan kompensasi air baku kepada Pemda Kabupaten Kuningan. Selanjutnya melalui perjanjian kerjasama Bupati Kuningan dengan walikota Cirebon No. 10 tahun 2009/No. 690/Perj.I-Adm Perek/2009 tentang kerjasama pengelolaan sumber mata air Desa Paniis, kec. Pasawahan, kabupaten Kuningan, kembali dilakukan skema PJL dengan tujuan melestarikan sumber air melalui kegiatan konservasi. Formula perhitungan pembayaran jasa lingkungan per tahun adalah: 6,5% x Tarif air sebelum air diolah bagi pelanggan kota Cirebon x produksi air x kebocoran 25% X 12. Jangka waktu kerjasama adalah 25 tahun. Pembayaran dilakukan per triwulan melalui kas daerah Kabupaten Kuningan. Secara keseluruhan skema tersebut dapat digambarkan pada Gambar berikut ini. Gambar 3.6. Skema PJL Cirebon – Kuningan 3.5.4 PES Lainnya Berikut ini adalah tabel yang memetakan implementasi PJL lainnya di Indonesia. Implementasi PJL ini beragam dari mulai pemanfaatan jasa lingkungan DAS, Hutan, Biodiversitas genetika dan juga keindahan alam. Tabel 3.1. Implementasi PJL di Indonesia No. Lokasi Jasa Lingkungan yang di transaksikan Stakeholder yang terlibat Mekanisme Perlindungan DAS 1. Cidanau, Perlindungan PT. Krakatau Tirta Pembayaran di sesuaikan Banten DAS, Sumber Industri (KTI) dengan syarat yang telah daya Air (User); Forum ditentukan yaitu 500 pohon Komunikasi DAS per 1 ha lahan per tahun Cidanau sebesar Rp 3,5 jt/ha dan (mediator); naik Rp 4jt/ha tahun 2007, Kelompok Tani PJL yang diterima No. Lokasi Jasa Lingkungan yang di transaksikan Stakeholder yang terlibat (Providers) Mekanisme masyarakat sebesar Rp 1,2 jt/ ha/th (P to C) 2. S ungai Perlindungan Perum Jasa Tirta-I 1) Kurun waktu Brantas, DAS, Sumber (User); Kelompok kesepakatan antara YPP Malang daya air Tani (Providers); dengan Petani adalah YPP (mediator) selama 6 bulan. Setelah berakhirnya kesepakatan tersebut, petani akan melakukan pemeliharaan tanaman dari bantuan tersebut (Rp 44.000.000) meliputi penyulaman, pemupukan, pendangiran, dan penyiraman secara swadaya sampai tanaman mampu menghasilkan buah atau produk lainnya. Hasil panen dari tanaman tersebut sepenuhnya menjadi hak petani. Meskipun demikian, hasil kayu dari penanaman tersebut diperoleh dengan No. Lokasi Jasa Lingkungan yang di transaksikan Stakeholder yang terlibat Mekanisme melakukan tebang pilih untuk menghindari degradasi lahan. 2) Dana untuk masing masing kelompok sebesar; Rp. 25.500.000 untuk Desa Tlekung dan sebesar Rp. 9.500.000 untuk Desa Bondongsari serta Rp. 12.000.000 untuk desa Bendosari pada tahap berikutnya. Dana tersebut dibayarkan secara bertahap (G to C) 3. Danau Perlindungan PLN (PLTA) Pembagian royalti sebesar Singkarak DAS, Sumber (User); Forum $40.000 per tahun atau $1 daya air, danau Sentric per orang per tahun (P to C) perlindungan (Mediator); sedimentasi masyarakat (Providers) 4. Gunung Perlindungan Kota Cirebon Dana kompensasi untuk Ciremai Sumber daya air (User); Kabupaten konservasi G. Ciremai dari Kabupaten Kuningan Kota Cirebon yang Kuningan (Provider) disepakati adalah Rp 1,75 milyar/tahun (G to G) No. 5. Danau Jasa Lingkungan yang di transaksikan Sumber daya Toba Air dan Lokasi Rehabilitasi Lahan Kritis Stakeholder yang terlibat - PT. Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) (User), yang menggunakan sumberdaya air yang berasal dari Danau Toba untuk Asahan Hydropower electricity yang mensuplai kebutuhan energi listrik PT. INALUM. Pemerintah kabupaten (Provider) melakukan konservasi dengan biaya dari pemasukan yang didapat dari PT. INALUM. - PT. Toba Pulp Lestari Mekanisme Ada empat komponen dana untuk konservasi lingkungan yaitu pajak bumi dan bangunan, iuran jasa air, selisih nilai pertukaran rupiah terhadap dollar dari setiap penjualan produk INALUM dan pajak lainnya, Dana terkumpul sebesar Rp 49 Milliar dari keempat komponen pungutan yang sudah ditetapkan (P to G). CSR, CD yang dialokasikan setiap tahun tunuk 12 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, penyaluran dan pemanfaatannya difasilitasi No. Lokasi Jasa Lingkungan yang di transaksikan Stakeholder yang Mekanisme terlibat oleh time independen - PT. Aqua Farm CSR & CD - PT. Gunung CSR & CD Hijau Megah - PHRI CSR & CD Pelestarian Kenaekaragaman Hayati 6. Taman Perlindungan Pemerintah Kelompok tani medapatkan Nasional Sumber (Perum Perhutani) hak pengelolaan hutan dari Meru daya hutan (User); Perhutani untuk menanam Betiri, ConsorsiumLATIN atau mengkonservasi Jember dan IPB, KAIL tanaman obatobatan. (Lokal NGO), Kelompok tani pemerintah daerah diperbolehkan menanam (mediator) tanaman pertanian yang Kelompok tani direkomendasikan. (C to G) (Providers) 7. Tiga Gili Keindahan alam Wisatawan lokal Lombok bawah dan asing (Users); Barat laut dan daratan Aliansi Tiga Gili untuk (mediator); pariwisata Masyarakat dari tiga Gili (Gili Trawangan, Gili Meno and Gili Air) Penggalan dana konservasi dari wisatawan asing yang akan menyelam sebesar Rp 20.000 per kali kunjungan. Dana dikumpulkan organisasi pengusaha diving (Ecotrust). Selain itu, Asosiasi Pengusaha Tiga Gili juga memungut iuran No. Lokasi Jasa Lingkungan yang di transaksikan Stakeholder yang terlibat (Providers) Mekanisme bulanan dari para pengusaha/ pedagang/ penyedia jasa yang besarnya bervariasi mulai dari Rp 500 sampai Rp 5000. Dana ini digunakan untuk keperluan pengamanan laut dari kegiatan nelayan yang merusak lingkungan. Selain itu, pengusaha diving melalui Ecotrust memberi kompensasi sebesar Rp 3000.000 per bulan kepada kelompok nelayan sebagai konsekuensi dari larangan menangkap ikan pada kawasan tertentu yang digunakan untuk kegiatan diving. (C to C) BAB IV KEADAAN UMUM SUB DAS GOPGOPAN 4.1. Karakteristik Wilayah di Sub DAS Gopgopan Program Pembangunan sumber daya air Provinsi Sumatera Utara secara umum dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang terus meningkat dan semakin memudahkan rakyat mendapatkan dan memanfaatkan air untuk keperluan hidupnya. Pemanfaatan dan pengaturan air beserta sumber-sumbernya meliputi usaha penyediaan dan pengaturan air guna menunjang usaha permukiman, pembangunan pertanian, industri, pariwisata, kehutanan, air minum, pencegahan pencemaran dan pengotoran, pengamanan pantai dan pengembangan daerah rawa dan tambak. Pembangunan pengairan di Provinsi Sumatera Utara dilaksanakan melalui peningkatan, perluasan dan pembaharuan usaha pengembangan sumber daya air dan upaya pelestarian serta distribusinya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kebutuhan air untuk hajat hidup orang banyak, konservasi dan rehabilitasi lahan kritis. Secara terinci, program pembangunan sumber daya air Provinsi Sumatera Utara sebagai berikut : 1. Program Pengembangan Konservasi sumber daya air untuk meningkatkan produktivitas pemanfaatan sumber daya air melalui peningkatan penyediaan prasarana pengairan dan mendayagunakan sumber daya air bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; 2. Program Pengembangan dan Pengelolaan Daerah Rawa; 3. Program Sungai, Danau dan sumber air lainnya untuk melestarikan kondisi dan fungsi air sekaligus menunjang daya dukung serta meningkatkan nilai dan manfaat sumber air sehingga dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan; 4. Program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi; dapat 5. Program penyediaan dan pengelolaan air baku untuk meningkatkan penyediaan air baku serta prasarananya dalam memenuhi air bagi hajat hidup rakyat, baik di daerah kota maupun desa. Secara administrative wilayah DAS di wilayah Propinsi Sumatera Utara berdasarkan peraturan Menteri PU. No.39/PRT/1989 penetapan dan pembagian wilayah terselenggaranya sungai dimaksudkan usaha-usaha perlindungan, untuk lebih menjamin pengembangan dan penggunaan air secara menyeluruh dan terpadu pada suatu DAS atau lebih dengan tujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat disegala bidang kehidupan dan penghidupan (Soewarno, 2000). 4.1.1 Lokasi Sub DAS Gopgopan Wilayah Sub DAS Gopgopan merupakan bahagian catchman area dengan air yang masuk ke Danau Toba berasal dari : (1). Air hujan yang langung jatuh ke danau; (2) Air yang berasal dari sungai-sungai yang masuk ke danau. Ada 19 buah sungai besar yang mengalir dan bermuara ke Danau Toba yaitu (1) Sungai Sigumbang, (2). Sungai Bah Bolon, (3) Sungai Guluan, (4) (5) Sungai Arun. (6) Sungai Tomok, (7) Sungai Sibandang, (8) Sungai Halian, (9) Sungai Simare, (10) Sungai Aek Bolon, (11) Sungai Mongu, (12) Sungai Mandosi, (13) Sungai Gopgopan, (14) Sungai Kijang, (15) Sungai Silabung, (16) Sungai Ringo, (17) Sungai Prembakan, (18) Sungai Sipultakhuda dan (19) Sungai Silang. Sedangkan Outlet Danau Toba 1 buah Sungai Asahan. DAS Toba dapat ditunjukkan pada tabel berikut : Tabel 4.1 : Jumlah Daerah Aliran Sungai (Catchment Area) Danau Toba 1. Aek Sigumbang 2. Aek Haranggaol 3. Situnggaling 4. Naborsahon 5. Tongguran 6. Gopgopan 7. Mandosi 8. Aek Bolon 9. Simare 10. Halion 11. Sitobu 12. Siparbul 13. Pulau Kecil 14. Silang 15. Boding 16. Parembakan 17. Tulas 18. Aek Ranggo 19. Simala 20. B. Sigumbang 21. Bah Bolon 22. Silabung 23. Guluan 24. Arun 25. Simaratuang 26. Sitiung-tiung Sumber : Dinas Pengairan Provinsi Sumatera Utara, 2011 Sub DAS Gopgopan berada pada daerah Kabupaten Toba Samosir dengan titik koordinat 2003’-2040’ LU dan 98056’-99040’ BT dan memiliki luas wilayah 295.52 km2 serta memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Simalungun - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu - Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Samosir Kabupaten Toba Samosir berada di Dataran Tinggi Bukit Barisan dengan ketinggian 300-2.200 m dpl. 4.1.2 Bentuk Fisik Wilayah DAS Secara geografis Sub DAS Gopgopan terletak pada posisi 2063’ LU dan 99007’ BT secara administrative Sub DAS Gopgopan berada di Kabupaten Toba Samosir meliputi kecamatan Lumban Julu, Bonatua Lunasi, Porsea dan Kec. Uluan. Adapun luas total 295.52 Km sebagaimana pada Tabel 2.2 Tabel 4.2 Luas Administrasi Sub DAS Gopgopan Kabupaten/Regency Kecamatan Sub Regency Luas/Area (Km2) Jumlah Desa/Kelurahan Lumban Julu 90.90 12 Bonatua Lunasi 57.74 12 Porsea 37.88 17 Uluan 109.00 17 Total 295.52 Sumber : Toba Samosir dalam angka 2012 (data diolah) 58 Toba Samosir Sementara bentuk fisik dari Sub DAS Gopgopan adalah : a. Morfologi 1. Bentuk DAS Berdasarkan perhitungan bilai bentuk DAS adalah sebesar 3.9 dengan demikian maka bentuk Sub Das Gopgopan bulat seperti pada gambar 4.1 dan 4.2 berikut : Sumber : SCBFWM – Regional Sumut, 2012 Gambar 4.1. Bentuk Sub DAS Gopgopan Secara Vertikal Sumber : Google Map, 2012 (data diolah) Gambar 4.2 Bentuk Sub DAS Gopgopan Secara Horizontal 2. Bentuk Lahan Dari peta topografi relief Sub Das Gopgopan merupakan Raunded Steep Sidelopes adapun topografinya termasuk Retranguler Dendritic dengan Landform berupa Dendritic Retranguler, sedang halus. 3. Pola Aliran Berdasarkan peta diperoleh bahwa Pola Aliran Sub Das Gopgopan adalah Retranguler Dendritic. b. Morfometri 1. Kerapatan Drainase Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh Kerapatan Drainase di Sub Das Gopgopan seluas 0.806 km/km2 semakin tinggi kerapatan sungai maka semakin tinggi Depresions Strorage nya, yang berarti bahwa ketika hujan turun akan semakin banyak air yang tertampung di badan-badan sungai. Hal ini memberikan konsekwensi semakin tingginya tingkat drainase pada DAS tersebut. 2. Keliling DAS Dari perhitungan yang dilakukan diperoleh nilai kerapatan drainase Sub Das Gopgopan maka besaran keliling DAS adalah 66.98 km. 3. Lereng (Sloop) Dengan menggunakan contour length method diperoleh nilai kereng untuk Sub Das Gopgopan sebesar 39.74%. 4. Ketinggian (Elevation) Ketinggian (Elevation) suatu DAS sangat berpengaruh terhadap temperature dan pola hujan, khususnya daerah bergunung. Dari hasil perhitungan diperoleh ketinggian rata-rata Sub Das Gopgopan adalah 1300 Mdpl untuk selengkapnya disajikan pada Gambar 4.3 berikut : Sumber : Updating data, 2011 Gambar 4.3 Ketinggian Rata-rata Sub DAS Gopgopan 5. Pusat Gravitasi Penentuan pusat gravitasi dilakukan dengan metode centroid, untuk Sub Das Gopgopan pusat gravitasi terletak pada koordinat BT 20502 Lu 990060. 6. Gradien Sungai Utama Dengan menghitung gradient sungai rata-rata dengan slofe faktor didapat nilai gradient Sub Das Gopgopan adalah 2.86, untuk selengkapnya disajikan pada Gambar 4.4 berikut : Suber : Updating data, 2011 Gambar 4.4. Gradien Sungai Utama Sub DAS Gopgopan 7. Panjang Sungai Utama Dari perhitungan yang dilakukan diperoleh nilai panjang sungai utama di Sub Das Gopgopan adalah 13.986 km. 8. Jaringan sungai Parameter jaringan sungai dikuantifikasikan dengan menentukan ordo sungai (urutan) dari masing-masing alur sungai bahwa penentuan ordo sungai menggunakan metode Strahler dimana sungai yang paling hulu tidak mempunyai cabang disebut ordo pertama (ordo 1). Pertemuan antara ordo 1 denga ordo 1 disebut ordo ke dua (ordo 2), demikian seterusnya sampai pada sungai utama ditandai dengan nomor ordo paling besar. Dengan menggunakan metode ini kemudian dilakukan analisis ordo sungai di wilayah Sub Das Gopgopan seperti yang tersaji pada Tabel 4.3 berikut : Tabel 4.3 Panjang Sungai setiap Ordo Sub DAS Gopgopan Ordo Panjang Sungai Meter Km 1 48.475.552 48.475 2 26.545.746 26.545 3 21.628.428 21.628 Total 96.649.726 96.649 9. Perbedaan Tinggi Ketinggian Sub Das Gopgopan diperoleh dari informasi garis kontur. Dari hasil tersebut maka dapat diperoleh bahwa ketinggian terendah 925 Dpl dan tertinggi 2.200 Dpl. 4.1.3 Hidrologi dan Kualitas Air Hidrologi DAS yang disampaikan adalah debit sungai, dalam hal ini debit sungai di estimasi dari hubungan antara curah hujan dengan debit. Regresi yang digunakan adalah Regresi Sub Das Gopgopan karena kedua datanya tersedia pada lokasi ini dari hasil regresi tersebut debit air di Sub Das Gopgopan diperlihatkan pada table 4.4. Tabel 4.4 Debit Sungai Sub Das Gopgopan Bulan Jan Feb Mart April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nov Des 7.9 7.8 8.0 7.8 7.9 8.0 8.1 7.9 8.1 8.0 7.8 8.1 Sumber : Hasil estimasi data curah hujan, 2010 Untuk kondisi iklim dan tata air di wilayah Sub Das Gopgopan dapat dilihat sebagai berikut : 1. Iklim/Curah Hujan Berdasarkan klasifikasi iklim Odleman (1972), kondisi iklim pada Sub Das Gopgopan Kabupaten Toba Samosir termasuk pada tipe iklim E2 dengan bulan basah antara 0 s/d 2 bulan dan bulan kering antara 2 s/d 3 bulan. Curah hujan di Sub DAS Gopgopan berkisar antara 28.96 mm sampai 164.63 mm untuk selengkapnya disajikan pada Tabel 4.5 berikut : Table 4.5. Curah Hujan Sub Das Gopgopan Bulan CH Jan Feb Mart April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nov Des Tahunan 67 29 113 109 36 32 79 97 165 161 93 134 1115 Sumber : Hasil estimasi data curah hujan Prapat dan Toba Samosir 2. Tata Air Data tata air yang terdapat pada sungai Gopgopan dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut : Tabel 4.6. Data Tata Air Sub DAS Gopgopan Debit Debit rerata Tubidity Tubidity rerata Barometric Barometric rerata pH pH rerata Conductivy Conductivy rerata 16.97 4.24 58.34 14.58 2,729.21 682.30 28.05 7.01 198.63 49.66 m3/s m3/s NTU mmHg Mg/l Sumber : Hasil Pengukuran dilapangan menggunakan currentmeter dengan 4 titik pengambilan sampel Secara geografis Sub DAS Gopgopan berada di Kabupaten Toba Samosir meliputi kecamatan Lumban julu, Porsea, Bona Tua Lunasi dan Kecamatan Uluan. Adapun luas total 295.52 Km2 sebagaimana pada Tabel 4.2. 4.1.4 Drainase Wilayah Keadaan drainase dari suatu tanah pada tempat tertentu didalam satuan wilayah tertentu pula akan mempengaruhi indeks bahaya erosi disuatu wilayah. Adapun untuk mendekati beberapa nilai tingkat drainase pada suatu wilayah dengan menggunakan peta topografi skala 1 : 50.000, photo udara pancromatik hitam putih skala 1 : 50.000. Dari bahan tersebut diinterprestasi atau pengamatan starsoskopi dan delenasi mengenai daerahdaerah yang seragam kerapatan alur pengaturannya. Dari data diatas diharapkan akan diperoleh data mengenai bentuk drainase disuatu wilayah atau tempat. Semua informasi tentang drainase wilayah akan dituangkan dalam suatu peta yang bisa memuat informasi secara lengkap mengenai bentuk percabangan, sungai yang besar, anakanak sungai dengan sungai yang kecil bahkan sampai dengan alur-alur disuatu tempat sebagai saluran alam yang berfungsi sebagai pembuangan kelebihan air pada saat hujan. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bentuk muka lahan berbukit, relief berombak dengan kemiringan lereng 30-40% sehingga drainase wilayahnya terbagi dalam drainase aliran lambat dan drainase permukaan cepat. 4.2 Jumlah dan Perkembangan Penduduk 4.2.1 Kependudukan Berdasarkan data statistik desa-desa pada tahun 2010 yang ada diketahui jumlah penduduk diwilayah Aek Sikorsik-korsik Sub DAS Gopgopan yang merupakan DAS mikro terpilih tercatat sebanyak 4.925 orang dengan perbandingan jumlah penduduk laki-laki terhadap perempuan (sex ratio) adalah 0.96 yang berarti jumlah perempuan lebih banyak dibanding jumlah laki-laki. Nilai laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2.04%. pada pengamatan satuan terkecil desa laju pertumbuhan penduduk 1.1% sampai dengan 2.9%. Jumlah penduduk di wilayah Sub DAS Gopgopan Kabupaten Toba Samosir pada tahun 2011 adalah 34.898 jiwa, dengan jumlah persentase di Kecamatan Porsea 7.73, Kecamatan Lumban Julu 4.70, Kecamatan Uluan 4.63, dan Kecamatan Bonatua Lunasi 2.91. Tingkat kepadatan penduduk wilayah Sub DAS Gopgopan di Kecamatan Porsea dengan tingkat kepadatan sebesar 356.52 jiwa/km2. Untuk lebih jelasnya data penduduk setiap kecamatan di wilayah Sub DAS Gopgopan Kabupaten Toba Samosir dapat ditunjukkan dalam tabel 4.7 berikut : Tabel 4.7 : Jumlah Penduduk di Wilayah Sub DAS Gopgopan Penduduk (Jiwa) Jumlah Persen 1 Porsea 13.505 7.73 2 Lumban Julu 8.218 4.70 3 Uluan 8.094 4.63 4 Bonatua Lunasi 5.081 2.91 Jumlah 34.898 19.97 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Toba Samosir 2012 (data diolah) No. Kecamatan Untuk melihat seberapa besar tingkat kepadatan agraris guna mengetahui banyaknya penduduk dibanding dengan lahan pertanian yang ada terlihat kepadatan penduduk agraris desa-desa di wilayah Aek Sikorsikkorsik Sub DAS Gopgopan mayoritas tingkat kepadatan agraris tertinggi adalah pada lokasi kantor kepala desa. 4.2.2 Mata Pencaharian Mata Pencaharian penduduk adalah pekerjaan pokok yang merupakan sumber baku penghasilan untuk penghidupan sehari-hari. Keadaan kegiatan ekonomi penduduk di Sub DAS Gopgopan didominasi oleh bidang pertanian dengan jenis pencaharian pertanian dibidang tanaman pangan yaitu 14.321 orang atau sebesar 65.57% dari jumlah penduduk. 4.2.3 Kelembagaan Keadaan organisasi kelembagaan yang hidup dan berkembangan di wilayah Sub DAS Gopgopan yang merupakan lembaga formal dan lembaga informal, baik bersifat tradisional maupun yang menyesuaikan dengan pembangunan yang dilaksanakan. 4.2.4 Lembaga Formal Lembaga Formal merupakan lembaga masyarakat yang bersifat local dan secara organisasi berdiri sendiri serta merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan, seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Dharma Wanita, Pramuka, dll. Keadaan kelembagaan formal di wilayah Sub DAS Gopgopan terutama PKK, LKMD sudah ada disetiap desa maupun kecamatan sedangkan dharma masih terbatas di kota kecamatan. 4.2.5 Lembaga Informal Lembaga informal dimaksudkan adalah lembaga/badan/organisasi yang dibentuk berdasarkan inisiatif kelompok warga masyarakat tertentu dengan dana warga masyarakat yang bersangkutan, seperti Kelompok Tani, KUD, dll. Keadaan kelembagaan informal di wilayah Sub DAS Gopgopan belum menyeluruh di setiap desa, keadaan kelembagaan ini merupakan bersifat sporadic. 4.2.6 Identifikasi Masalah Masyarakat memandang bahwa air dari sungai Gopgopan adalah barang bebas yang tidak banyak manfaatnya karena terdapat dilembah dan kalaupun digunakan diperlukan biaya yang besar untuk menaikkannya, yang tidak mungkin dilakukan dengan kemampuan masyarakat itu sendiri. Pandangan ini terjadi karena air dari sungai Gopgopan belum dimanfaatkan secara optimal baik untuk keperluan rumah tangga maupun untuk mendukung usaha ekonomi masyarakat. Air dari sungai Gopgopan mengalir walaupun pada musim kemarau. Sumber air terletak di pegunungan dengan beda ketinggian yang memadai untuk pemamfaatannya, sebagai sumber air minum dengan tekanan grafitasi. Masyarakat sekitar DAS Gopgopan masih mengambil air untuk keperluan rumah tangga dari mata air terdekat, hingga saat ini air dari sungai Gopgopan belum dikelola sebagai Sumber Air Bersih oleh PDAM Kabupaten Toba Samosir. PDAM Tirtanadi Cabang Toba Samosir, pelayanan masih terbatas pada 5 kecamatan yakni kecamatan Balige, Laguboti, Porsea, Ajibata dan Parmaksian, meliputi 42 desa/kelurahan dengan jumlah pelanggan 4.701 sambungan. Sarana irigasi yang ada masih sangat terbatas pada jaringan irigasi setengah teknis dan irigasi sederhana/irigasi desa. Air mengalir ke Danau Toba tanpa memberi manfaat bagi masyarakat yang bermukim di wilayah DAS. 4.3 Potensi Tanaman Lokal jenis HHBK Secara fisik potensi tanaman yang dapat menghasilkan pendapatan masyarakat jenis yang di wilayah Sub DAS Gopgopan. Tanaman potensi local ini akan lebih mudah dilakukan pengembangannya dan sesuai dengan kondisi wilayah. Untuk itu tanaman ini dapat dilihat dari segi land used, tofografi, sosial budaya dan kebiasaan dari wilayah tersebut. Tanaman potensi lokal yang ditemukan pada tulisan ini adalah : 1). Nira; 2). Petai; 3). Jengkol; 4). Durian; 5). Kemiri; 6). Kunyit; 7). Jahe. Pohon aren yang ada di wilayah Sub DAS Gopgopan banyak dijumpai di hutan rakyat. Umumnya aren yang telah ditanam dapat dipanen setelah umur 8 tahun. Walaupun pohon aren bisa tumbuh di dataran rendah, tapi daerah yang mampu memberi hasil yang memuaskan ialah tempat-tempat antara 500-1200 mdpl. Sebab tempat setinggi itu tidak pernah kekurangan air tanah, tapi juga tidak pernah tergenang banjir air permukaan seperti di dataran rendah. Itulah sebabnya kebanyakan pohon aren tumbuh sumbur di tempat-tempat yang landai seperti lereng gunung, atau tepian lembah sungai. Di tempat yang miring itu, kelebihan air dipermukaan air tanah selalu cepat mengalir ke tempat lain. Namun tanahnya tidak pernah kering karena adanya air tanah yang dangkal dibawah permukaan. Asal ada tempat seperti ini, pohon aren mau tumbuh dengan subur baik di Sumatera, pulau Jawa, Sulawesi maupun pulau-pulau kecil lainnya (Soeseno, 1993). Pohon aren dengan air nira atau “tuak” yang dihasilkan telah menjadi bahagian dari adat budaya dan kebiasaan dari masyarakat batak yang dominan di wilayah Sub DAS Gopgopan. Tuak yang ada hubungannnya dengan adat adalah tuak tangkasang : tuak yang tidak bercampur dengan raru. Karena tuak itu berasal dari mayang bagot, maka perlu diketahui legenda keberadaan batang bagot. 4.4. Aliran Sungai dan Penggunaan Air 4.4.1 Aliran Sungai Berdasarkan sifat aliran sungai dari posi wilayah pemerintahan di Sub DAS Gopgopan, aliran permukaan yang berasal dari hulu sungai Gopgopan mengalir melalui 4 (empat) kecamatan di kabupaten Toba Samosir kemudian secara kolektif menyatu dengan aliran 289 sungai lainnya membentuk Danau Toba. Danau Toba secara administratif dimiliki oleh 7 kabupaten yaitu kabupaten Samosir, kabupaten Toba Samosir, kabupaten Simalungun, kabupaten Tapanuli Utara, kabupaten Humbang Hasundutan, kabupaten Dairi dan kabupaten Karo. Luas permukaan Danau Toba itu 1.130,00 Km2 dan luas daratan DTA 4.311,58 Km2 dan kedalaman maksimum 529 Meter. Kondisi letak geografis sedemikian menyebabkan pengelolaan PES di Sub DAS Gopgopan tidak terpisahkan dari pengelolaan PES Sub DAS lainnya khususnya dalam lingkungan wilayah DAS Asahan Toba. Air dari Danau Toba dialirkan oleh satu outlet yaitu sungai Asahan yang bermuara di Pantai Timur Sumatera Utara melalui kabupaten Asahan dan kota Tanjung Balai. 4.4.2 Penggunaan Air Penggunaan air di kabupaten Toba Samosir yang wilayahnya tercakup dalam Sub DAS Gopgopan terbatas untuk keperluan domestik, sebagian untuk keperluan air irigasi, sedikit pertanian tadah hujan (non irigasi). Air yang digunakan adalah air hujan, air permukaan dan air tanah. Penggunaan air Danau Toba selain kebutuhan domestik juga sudah mengarah kepada kebutuhan komersial, yakni dengan semakin berkembangnya budidaya ikan air tawar dan usaha angkutan danau. Danau Toba sebagai ekosistem air berperan mendukung kehidupan biota air dan jasa estetika lainnya yang mendukung pariwisata. Di Danau Toba terdapat satu perusahaan PMA yakni PT. Aqua Farm yang membudidayakan ikan air tawar dengan tujuan eksport, 2 (dua) unit Ferry milik PT. Gunung Hijau Megah; 2 (dua) unit Ferry milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara disamping kapal bermotor milik masyarakat (belum terinventarisasi) melakukan aktifitas sehari-hari. Outlet Danau Toba adalah sungai Asahan mengalirkan air Danau Toba menuju Selat Malaka. Air sungai Asahan selain pemanfaatan domestic degunakan untuk industri oleh PT. TPL Porsea, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tangga, Sigura-gura dan PLTA Asahan I dengan kapasitas lebih dari 10.000 Mw. Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai merupakan daerah Hilir DAS Asahan Toba. Air sungai Asahan di daerah ini dimanfaatkan lebih optimal yakni untuk irigasi, PT. INALUM, Usaha Industri, PDAM, Agroindustri dan lain-lain. Posisi Sub DAS Gopgopan hubungannya dengan wilayah pemerintah otonomi dan perusahaan/masyarakat pengguna air dapat dilihat pada Kab. Tapanuli Utara Kab. Humbang Kab. Simalungun Kab. Dairi Kab. Karo Kab. Asahan - PLTA siguragura, Tangga, Asahan I PT. TPL Masyarakat Pengelola Lahan/Penghasil Kualitas Air PT. Aqua Farm, PT. Gunung Hijau Megah LLASDF PHRI Pariwisata PDA M Masyarakat pengguna Air Lembaga Non Pemerintahan Kab. Samosir Masyarakat Pengelola Lahan/Penghasil Kualitas Air ovinsi Sub DAS Gopgopan Kab. Tobasa P e m e r i n t a h K a b u p a t e n, K o t a, P r gambar 4.5. Masyarakat Pengelola Lahan Penghasil Kualitas Air PT. INALUM IRIGASI INDUSTRI PDAM Agroindustri Masyarakat pengguna Air Arah aliran sungai dan anak sungai Gambar 4.5 Posisi Wilayah Pemerintahan Otonomi dan Perusahaan/masyarakat Pengguna Air Sub DAS Gopgopan. BAB V KAJIAN SUMBER PEMBIAYAAN 5.1. Dukungan Pemerintah Susilo Bambang Yudoyono (2012), “Ini adalah waktunya dimana kita bisa mematahkan sisa-sisa mitos tentang pembangunan dan lingkungan. Kita dapat mematahkan mitos bahwa pembangunan pasti akan mengarah pada deforestasi. Kita dapat mematahkan mitos bahwa pembangunan otomatis akan meningkatkan emisi. Kita dapat mematahkan mitos bahwa pembangunan akan menyebabkan ketimpangan. Kita dapat mematahkan mitos bahwa kita hanya bisa memilih antara pembangunan dan demokrasi dan kita tidak bisa memiliki keduanya”. RPJM Pembangunan Nasional Kabinet Pembangunan Indonesia bersatu menetapkan 11 (sebelas) prioritas pembangunan yaitu : 1) Reformasi Birokrasi dan Good Govermance; 2) Pendidikan, 3) Kesehatan, 4) Penanggulangan kemiskinan, 5) Ketahanan Pangan, 6) Infrastruktur, 7) Iklim Infertasi dan bisnis, 8) Energi, 9) Lingkungan hidup, 10) Pembangunan Daerah Tertinggal, Terdepan dan Pasca Konflik, 11) Kebudayaan Kreativitas dan Inovasi Teknologi. Sebelas prioritas Pembangunan Nasional bertumpu pada empat pilar yang telah dicanangkan pemerintah yaitu pembangunan yang Pro Growth, Pro Job, Pro Poor dan Pro Environmental (Menteri Keuangan RI). Tingginya atensi pemerintah terhadap peranan lingkungan dalam pembangunan nasional hendaknya dimanfaatkan sebagai momentum penting oleh jajaran pemerintah disemua lini, diterjemahkan dalam penyusunan program strategis yang didukung dengan pengalokasian anggaran. 5.2. Dukungan Pemerintah Provinsi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sekaligus merupakan Kepala Daerah untuk wilayah Provinsi juga bertugas melakukan pembinaan, pengawasan dan mengkoordinasikan penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten kota. Berdasarkan topografi Daerah Sumatera Utara dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah yaitu wilayah Pantai Timur yang merupakan Dataran Rendah seluas 24.921,99 km2 (34.77%) dari luas Provinsi Sumatera Utara dan wilayah Dataran Tinggi dan Pantai Barat yang sebagian besar pegunungan dan lahan terjal dengan luas 46.758,69 km2 (65.23%). Wilayah Pantai Timur merupakan daerah subur, kelembaban tinggi, curah hujan tinggi merupakan daerah pusat pertanian, industri dan jasa dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, mengalami pertumbuhan penduduk yang tinggi akibat migrasi dari daerah Dataran Tinggi dan Pantai Barat untuk peningkatan kualitas hidup (Simamora, Sirojuzilan). Wilayah Pantai Timur terdiri dari 4 (empat) kota dan 9 (sembilan) kabupaten, yaitu : Kotamadya Medan, Binjai, Tebing Tinggi, Tanjung Balai, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat, Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Asahan, Batu Bara dan Topografi Datar. Wilayah dataran tinggi terdiri dari satu kota dan 8 kabupaten yaitu kota Pematang Siantar, Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi, Pakpak Bharat, Simalungun dan Karo, dengan topografi Pegunungan, berbukit. Wilayah Pantai Barat terdiri dari 3 kota dan 9 kabupaten, yaitu : Kota Sibolga, Sidempuan, Gunung Sitoli, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Mandailing Natal, Nias, Nias Barat, Nias Selatan, Nias Utara, Padang Lawas, Padang Lawas Utara. Wilayah Pantai Timur memiliki potensi ekonomi yang tinggi sehingga cenderung semakin padat karena arus migrasi dari wilayah Pantai Barat dan Dataran Tinggi. Banjir juga sering melanda wilayah tersebut akibat berkurangnya pelestarian hutan, erosi dan pendangkalan sungai. Pada musim kemarau terjadi pula kekurangan persediaan air disebabkan kondisi hutan yang kritis. Wilayah Dataran Tinggi dan Pantai Barat sebagian besar merupakan pegunungan, memiliki variasi dalam tingkat kesuburan tanah, iklim, topografi dan kontur serta daerah yang struktur tanahnya labil. Beberapa danau sungai, air terjun dan gunung berapi dijumpai di wilayah ini serta sebagian wilayahnya tercatat sebagai daerah gempa tektonik dan vulkanik. Terdapat ketimpangan wilayah yang nyata antara Pantai Timur, Dataran Tinggi dan Pantai Barat di Sumatera Utara yang digambarkan dengan pertumbuhan ekonomi, kontribusi PDRB dan PDRB perkapita. Kontribusi PDRB wilayah Pantai Timur terhadap PDRB Provinsi Sumatera Utara sebesar 67.08%, PDRB/kapita Rp. 2.230.310,- sedangkan kontribusi PDRB wilayah dataran tinggi Pantai Barat hanya 14.89% dan PDRB perkapita Rp. 1.336.162 pada tahun 2001 (Tampubolon, 2001). Pengerahan dana pemerintah daerah juga merupakan salah satu faktor utama yang menentukan perekonomian regional. Untuk wilayah pantai timur pengerahan dana pemerintah mengalami peningkatan dari Rp. 2.547,5 milyar tahun 2002 meningkat menjadi Rp. 3.415,8 milyar pada tahun 2003 (meningkat 34.8%) dan proporsi wilayah Pantai Timur sebesar 54.3% (Simamora). Struktur ekonomi Dataran Tinggi dan Pantai Barat Sumatera Utara mengalami perobahan dari sektor pertanian ke industri diikuti sedikit sektor jasa seiring dengan pertumbuhan pendapatan perkapita. Wilayah Pantai Timur menunjukkan perobahan yang lebih tegas dari sektor pertanian ke sektor industri dan jaa. Perobahan di wilayah Pantai Barat disebabkan oleh faktor lokalitas di wilayah Pantai Timur disebabkan faktor eksternal. Di wilayah Pantai Barat dan Pantai Timur terjadi pertumbuhan dengan pola tidak seimbang. Gambaran tersebut menunjukkam fenomena yang sesuai mengenai bagaimana proses pembangunan yaitu pembangunan yang terjadi merupakan rangkaian ketidak seimbangan-ketidak seimbanga (a chain of disequlibrium) pertumbuhan (Tampubolon, 2001). Kesenjangan yang terdapat dikawasan Timur – Dataran Tinggi/Barat ini disebabkan oleh ketimpangan aksesibilitas yang mempengaruhi tata niaga dan pola koleksi distribusi yang pada akhirnya menyebabkan tidak efisiennya perekonomian di wilayah Dataran Tinggi/Pantai Barat Sumatera Utara. Kawasan Dataran Tinggi Sumatera Utara yang terletak dibagian Tengah Sumatera Utara merupakan Punggung Bukit Barisan dengan topografi berbukit, bergelombang dan terjal adalah merupakan DAS dari beberapa sungai yang mengalir ke wilayah Pantai Timur. Wilayah ini adalah merupakan daerah Hulu mempunyai peranan penting sebagai Butfer Zona (penyangga kehidupan) bagi wilayah Pantai Timur yang merupakan daerah hilir. Tabel 5.1 Pembagian Wilayah Kabupaten Kota di Sumatera Utara menurut Wilayah Pembangunan Bagian I II Pantai Barat Nias Nias Selatan Nias Barat Nias Utara Mandailing Natal Padang Lawas Utara Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Sibolga Padang Sidempuan Gunung Sitoli Dataran Tinggi Tapanuli Utara Toba Samosir Humbang Hasundutan Samosir Dairi Pakpak Bharat Potensi Daerah Pertanian Perikanan Pariwisata Perkebunan Pertanian Perkebunan Industri Pariwisata Luas Wilayah (%) 36.85 28.34 Bagian Potensi Daerah Pematang Siantar Pantai Timur Deli Serdang Perkebunan Serdang Bedagai Pertambangan Langkat Industri Tebing Tinggi Jasa Medan Binjai IV Pantai Selatan Perkebunan Labuhan Batu Industri Labuhan Batu Utara Perdagangan Labuhan Batu Selatan Asahan Batubara Tanjung Balai Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara (diolah) Luas Wilayah (%) III 15.33 19.48 Wilayah Pantai Selatan merupakan pemisahan dari wilayah Pantai Timur mempunyai karakteristik dan pertumbuhan ekonomi yang relatif sama. Sedangkan wilayah Dataran Tinggi dan wilayah Pantai Barat mempunyai karakteristik topografi dan pertumbuhan ekonomi yang relatif sama. Wilayah Dataran Tinggi mempunyai peran penting sebagai Buffer Zone (penyangga kehidupan) bagi kelangsungan ekosistem bagi Daerah Pantai Timur. Wilayah Dataran Tinggi merupakan Daerah Hulu Sungau (DHS) dan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bermuara di Pantai Timur. Letak geografis sedemikian, sesuai dengan hukum alam bahwa potensi ekonomi wilayah Pantai Timur seperti Tanah Subur, suplay air dan kelembaban tinggi adalah merupakan sumbangan jasa lingkungan yang dihasilkan dari Daerah Hulu Sungai/Daerah Aliran Sungai (DHS/DAS) wilayah Dataran Tinggi. Hulu Hilir Sumber : Google Map (data diolah), 2012 Gbr.5.1 Sungai Asahan dari Danau Toba Bermuara di Kabupaten Asahan Dalam konteks mengurangi kesenjangan pertumbuhan ekonomi sekaligus mendukung upaya pelestarian lingkungan dalam jangka panjang, keserasian antar wilayah hulu dan hilir adalah wajar dengan sangat bijaksana. Jika daerah kabupaten kota yang berada dalam wilayah Pantai Timur member kompensasi dalam bentuk payment for environmental services (Pembayaran Jasa Lingkungan) bagi wilayah Dataran Tinggi hal ini perlu diatur dalam naskah kesepahaman bersama yang didasarkan kepada kesadaran yang di koordinasikan pelaksanaannya olah pemerintah provinsi Sumatera Utara. 5.3. Sumber Pembiayaan Lokal Undang-undang No. 33 Tahun 2004, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah suatu system pembagian keuangan yang adil, demokratis, transparan dan efisien. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan Dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dalam pembiayaan pendapatan daerah bersumber dari : a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) b. Dana Perimbangan c. Lain-lain Pendapatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari : a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan d. Lain-lain PAD yang sah Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi, terdiri atas : a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus Dana bagi hasil bersumber dari pajak dan sumber alam, dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas : a. Pajak Bumi dan Bangunan b. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) c. Pajak Penghasilan (PPh) Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber alam berasal dari : a. Kehutanan b. Pertambangan umum c. Perikanan d. Pertambangan gas bumi, dan e. Pertambangan panas bumi Dana bagi hasil dibagi antara daerah provinsi penghasil daerah/kota penghasil, pemerintah dan sebagian dibagi untuk kabupaten/kota merata se Indonesia. Pembagian dana perimbangan dilaksanakan secara proporsional dengan porsi yang lebih besar kepada daerah/kota penghasilan. Jadi lebih tepat jika dikatakan “adil dan proporsional”. Namun belum memperhitungkan peranan daerah yang bukan penghasil dana akan tetapi berperan sebagai penyedia jasa lingkungan khususnya Daerah Aliran Sungai. Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendamai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapaitas fiskal daerah alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah, Kebutuhan Fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan yang dibiayai dari Dana Alokasi Umum (DAU) diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, indek kemahalan konstruksi Produk Domestik Regional Bruto per kapita dan Indeks Pembangunan Manusia. Data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal diperoleh dari lembaga statistik pemerintah dan atau lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Luas wilayah sebagai dasar pengukuran untuk pengalokasian DAU untuk kabupaten kota dan sejauh ini masih belum memperhitungkan karakteristik wilayah sehingga wilayah datar dan wilayah berbukit, lahan terjal, daerah aliran sungai diperlakukan sama berdasarkan luas perhitungan ini belum memperhitungkan faktor kesulitan untuk pengelolaan lingkungan hidup yang harus ditangani oleh Kabupaten / Kota di wilayah pengunungan / DAS. Dalam konteks pembangunan yang pro environmental diharapkan karakteristik wilayah khususnya topografi, kontur dan peranan wilayah sebagai provider jadi lingkungan dapat diperhitungan sebagai indek kemahalan jasa lingkungan dalam pengalokasian DAU Kabupaten Kota. Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah, kegiatan khusus dimaksud sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Pemerintah menerapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis, kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD, kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah, sedangkan kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara / departemen teknis. Pemerintah Kabupaten Kota difasilitasi oleh kementerian negara / departemen teknis perlu menetapkan kriteria teknis wilayah dalam peranannya sebagai provider jasa lingkungan untuk dapat digunakan sebagai acuan pengalokasian Dana Alokasi Khusus. Dana Tugas pembantuan adalah nama yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan, merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian negara / lembaga negara. Tata kerja dan pembiayaan rehabilitasi hutan dan lahan diatur dalam Permenhut Nomor : P.14/Menhut-II/2012 tentang pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2012 dan Permenhut Nomor : P.15/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Umum Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi. BAB VI SKEMA PES SUB-DAS GOPGOPAN Secara umum PES (Payment for Environmental Services) didefinisikan sebagai mekanisme kompensasi di mana penyedia jasa (Service Provider) dibayar oleh penerima jasa (service User) USAID 2009. Sedangkan definisi dari Wunder (2005) Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) adalah sebuah transaksi suka rela dengan kerangka kerja yang dinegosiasikan dimana terdapat jasa lingkungan yang dapat terukur atau adanya pengguna lahan untuk memelihara jasa lingkungan yang dikandungnya yang kemudian jasa lingkungan tersebut dibeli oleh minimal satu pembeli dari minimal satu penyedia jasa lingkungan, pembelian hanya dilakukan jika pelayanan benarbenar diberikan. Berikut adalah ilustrasi pembagian jasa lingkungan. Waduk, Sungai Danau, Laut. Gbr. 6.1. Ilustrasi Pembagian Jasa Lingkungan Berdasarkan definisi di atas suatu pembayaran jasa lingkungan memerlukan sebuah mekanisme untuk mengatur berjalannya kegiatan tersebut. Menakisme pembayaran jasa multi fungsi DAS yang tergolong dalam pembayaran jasa lingkungan dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) bentuk (Chayono & Purwanto, 2006) yaitu : 1. Kesepakatan yang diatur sendiri. Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima jasa, biasanya bersifat terbuka, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara tatap muka, perjanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang rendah dari Pemerintah. Misalnya skema ekolabel, sertifikasi, pembelian hak pengembangan lahan dimana jasa itu berada, pembayaran langsung antara pemanfaatan jasa yang bertanggung jawab atas ketersediaan jasa multi fungsi DAS. 2. Skema Pembayaran Publik. Pendekatan ini sering digunakan bilamana Pemerintah bermaksud menyediakan landasan kelembagaan untuk suatu program dan sekaligus menanamkan investasinya. Pemerintah dapat memperoleh dana melalui beberapa jenis iuran dan pajak. Contohnya, kebijakan penetapan harga air, persetujuan penggunaan pajak air untuk melindungi DAS, menciptakan mekanisme pengawasan, pemantauan pelaksanaan regulasi yang bersifat melindungi penyedia jasa dan menerapkan denda bagi yang melanggarnya. 3. Skema Pasar Terbuka. Skema ini jarang diterapkan dan cenderung diterapkan di negara maju. Pemerintah dapat mendefenisikan barang atau jasa apa saja dari multifungsi DAS yang dapat diperjual belikan. Selanjutnya dibuat regulasi yang menimbulkan permintaan. Perlu sebuah kerangka regulasi yang kuat dan penegakan hukum tranparansi, perhitungan secara ilmiah yang akurat dan system verifikasi yang terjamin. Menurut USAID (2009), konsep PES relatif baru, sehingga tidak semua skema kontrak PES yang berkembang telah memiliki kesempurnaan dan siap diperbanyak untuk daerah lain. Hingga sekarang skema PES pada pengelolaan DAS yang dikembangkan masih sangat beragam dengan tahapan kemajuan yang berbeda-beda dan untuk berbagai tujuan mulai dari tingkat mikro dengan fokus yang sangat spesifik hingga tingkat nasional yang dikontrol oleh negara. Sehingga pengelolaan DAS yang tercermin dalam skema PES berbeda satu sama lain : one river on manajement. Skema PES Sub-DAS Gopgopan akan memberi warna tersendiri karena karateristik DAS nya yang unik. Dimana Air dari DAS Gopgopan berwarna ke Danau Toba, sedangkan Danau Toba merupakan reservoir air raksasa, setelah terakumulasi dengan DAS lainnya pada catchemen area Danau Toba air dari Danau Toba dialirkan oleh satu sungai yang besar yaitu sungai asahan ke Kabupaten Asahan, sehingga Danau Toba adalah hulu DAS bagi Pantai Timur Sumatera Utara, diilustrasikan dalam gambar berikut : DAS Asahan Toba Sub DAS Gopgopan Hulu Hilir (intermaete) PT. Aqua Farm PT. TPL LLASDF D-Toba Hilir (advance) Asahan PLTA Siguragura, Tangga dan Asahan I PT. Inalum Industri Agroindustri Irigasi Air Minum (PDAM) Gbr. 6.2. Sub DAS Gopgopan ( Hulu - Hilir ) Pengembangan kebijakan PES dimulai dari kasus-kasus bersifat local dengan cara melakukan kajian, terutama bila kajian tersebut berdasarkan pada konsep intrumen ekonomi lingkungan sehingga formulasi instrument kebijakan menjadi suatu yang signifikan untuk diaplikasikan dalam masyarakat. Hubungan antara jasa lingkungan dan PES berarti terjadinya pemanfaatan atas sumber dimaksud, dalam hal ini diatur dalam peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 tentang Tata hutan dan penggunaan kawasan hutan, dimana disebut bahwa pemanfaatan jasa lingkungan adalah bentuk usaha untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi potok hutan. Dalam peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 dikatakan pula bahwa jasa lingkungan adalah jasa ekonomi system alamiah dan system budaya yang memanfaatkannya dapat digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka membantu memelihara dan meningkatkan kwalitas lingkungan dan kehidupan manusia. Skema PES merupakan kegiatan yang berjangka panjang dan memerlukan pembiyaan terus menerus dan diharapkan dapat berkelanjutan. Oleh karena itu sejak awal kegiatan PES akan dicanangkan, identifikasi dari platform pembiayaan ini haruslah menjadi prioritas utama, karena tanpa pembiayaan yang berkelanjutan, PES ini tidak akan dapat berjalan dengan berdurasi panjang, pembiayaann akan meliputi pengeluaran yang ditentukan mulai awal ide dan desain awal PES bekerja, sampai dengan kegiatan mulai jalan, Platform pembiayaan PES terdiri dari : - Sumbangan hibah dari organisasi nasional dan internasional. - Dana Pemerintah dari APBN, APBD - Dana dari penerima manfaat - Pengembangan pasar dari barang dan jasa misalnya dari PES itu sendiri dan juga pariwisata berbasiskan pungutan (tourism bases fees ) Sub DAS Gopgopan yang merupakan bagian dari DAS Asahan Toba dalam upaya pengembangan pengelolaan DAS pada saat ini sedang melakukan kegiatan stregthning Community Based and Watershed Management (SCBFWM) atau penguatan pengelolaan hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) berbasis masyarakat, berbagai kegiatan telah dilaksanakan antara lain mengembangkan system agroforestri dalam pengelolaan lahan dikawasan DAS, meningkatkan usaha ekonomi masyarakat sekitar dan mersiapkan rencana pengembangan ekonomi rakyat disekitar DAS serta mempersiapkan dokumen PES untuk jangka panjang. Hasil survey menunjukkan kegiatan ini mendapat sambutan dan dukungan dari masyarakat karena upaya ini dinilai sangat partisipastif dan dapat dipahami masyarakat. Masalahnya apakah upaya ini akan dapat dilanjutkan sesuai harapan masyarakat atau terhenti disitu saja? Skema PES Sub-DAS Gopgopan dikembangkan berdasarkan karateristik Sub-DAS, keterpaduan lintas sektor. Lintas wilayah dengan melibatkan semua stake holder terkait dengan mengedepankan kearifan local yang didukung dengan kajian pembiayaan berkelanjutan APBN, APBD Provinsi, Donor Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten Badan Usaha : - BUMN - BUMD - Swasta - PMA/PMDN KAS DAERAH Daerah Hilir (intermediate) Kab/Kota Advance Dep. Kehutanan BP-DAS Pengelola TK DAS Badan Usaha: - BUMN - BUMD - Swasta - PMA/PMDN (Badan Pengelola Keuangan PES) Pengelola Keuangan TkSUB DAS Daerah Hilir (Advance) Institusi Multi Pihak: - Swasta, (PT, CV) - Instansi Pemerintah - Dunia Usaha LSM, Assosiasi LH, Tenaga ahli Unit Usaka Konservatif Pengembangan Kearifan Lokal Jasa Lingkungan Evaluasi Monitoring AUDIT LH Gambar 6.3. Skema PES Sub-DAS Gopgopan Keterangan : = garis komando = garis koordinasi = garis konsultasi program, pembinaan, evaluasi dan monitoring Bentuk skema PES Sub-DAS Gopgopan adalah skema pembayaran publik, dimana Pemerintah sebagai pemeran penting dalam pembinaan, pembiayaan, koordinasi di evaluasi, Pemerintah Provinsi berperan penting dalam upaya mengokoordinasikan antara Kabupaten/Kota yakni antara Pemerintah Kabupaten Toba Samosir dengan Pemerintah Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, dan Kabupaten lainnya di wilayah pantai Timur Sumatera Utara sebagai user jasa lingkungan Sub-DAS Gopgopan dan DAS Toba. Institusi multi pihak melibatkan semua pemangku kepentingan, Wakil dari user dan provider jasa lingkungan, Intansi Pemerintah terkait, Perguruan Tinggi, assosiasi pemerhati lingkungandan lain-lain yang dibentuk dengan peraturan Bupati Toba Samosir dengan Keanggotaan tetap (bukan exsopisio). Beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat dirunut sebagai landasan Konstitusional pengelolaan sumber daya alam dan pembayaran jasa lingkungan antara lain : 1. Undang-undang No.05 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam Hayati dan ekosistem. 2. Undang-undang No.24 Tahun 1992 tentang tata ruang. 3. Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan. 4. Undang-undang No.34 Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi Pemerintah Daerah. 5. Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang manajemen lingkungan. 6. Undang-undang No.07 Tahun 2004 tentang sumber daya air. 7. Undang-undang No.215 Tahun 2004 tentang perkebunan. 8. Undang-undang No. 32 dan No. 33 tentang otonomi Daerah dan desentrasi Fisikal. 9. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. 4. Kebijakan dan Strategi Pada saat ini kerusakan hutan dan lingkungan hidup terus terjadi, disisi lain pendanaan pemerintah untuk melaksanakan rehabilitasi hutan dan lingkungan hidup mengalami keterbatasan. PES memiliki posisi strategis yang diharapkan dapat menjadi sumber dana alternatif bagi pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan. Pelaksanaan PES sejauh ini telah sampai pada transaksi antar penyedia dan pengguna jasa sehingga telah ada dana bagi penyedia jasa untuk melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan. Pelaksanaan PES sejauh ini dapat dikatakan berjalan secara suka rela, lembaga-lembaga pemerintah seperti BPDAS, Dinas Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup, PDAM, PLTA, Badan Usaha meski telah ada melaksanakan pembayaran jasa lingkungan dalam bentuk spesifik secara legal belum mempunyai wadah dan program khusus pelaksanaan PES sehingga terkesan berjalan lambat dan tidak berkembang. Kebijakan regulasi merupakan factor yang penting sebagai payung hukum sekaligus sebagai wadah koordinasi yang dinamis yang dapat sebagai landasan berpijak bagi semua pihak yang ingin berpartisipasi di bidang pelestarian sumber daya lingkungan hidup sekaligus mengikat bagi semua pihak untuk menghargai setidak-tidaknya tidak semena-mena merusak hutan dan lahan, lingkungan hidup dalam arti luas. Kebijakan-kebijakan ini ditempuh dengan berbagai strategi sebagai berikut : a. Membentuk peraturan daerah tentang pengelolaan jasa lingkungan. b. Meningkatkan adpokasi/sosialisasi tentang PES terhadap masyarakat umum, dunia usaha dan semua pemangku kepentingan. c. Melanjutkan dan memperluas pilot proyek pemberdayaan masyarakat di wilayah Sub DAS Gopgopan yang telah dirintis oleh proyek SCBFWM d. Memanfaatkan seoptimal mungkin penggunaan air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik sebagai air minum maupun air irigasi sehingga masyarakat merasakan manfaat pelestarian sumber daya alam khususnya sumber daya air. e. Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum diwujudkan dengan membangun sistem pengawasan dalam pelaksanaan ketentuan pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan peran serta masyarakat. f. Membentuk forum multi pihak dengan melibatkan unsur-unsur pemerintahan, Dunia Usaha, Tokoh Masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi dan pihak lain yang berkepentingan sebagai wadah partisipasi pengelolaan lingkungan. BAB VII PENUTUP Dokumen kerangka system pembayaran jasa di lingkungan (Payment for Envidonmental Services) PES di wilayah Sub-DAS Gopgopan DAS Asahan Toba Kabupaten Toba Samosir disusun berdasarkan krakteristik wilayah, dinamika yang berkembang pada kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat di wilayah Sub-DAS dengan memperhatikan nilai-nilai keberlanjutan, keterbukaan, kesadaran, kepekaan, keadilan dan kesejahteraan sesuai dengan tujuan pengelolaan DAS yakni terciptanya kondisi hidrologi yang optimal, terwujudnya pembangunan yang sustainable serta berwawasan linkungan. Berdasarkan analisis, bentuk skema yang sesuai untuk Payment for Environmental Services pada Sub-DAS Gopgopan adalah bentuk pembayaran public, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Dalam hal ini peranan pemerintah lebih dominan dalam pembinaan, fasilitasi, pemberdayaan masyarakat, pendanaan, monitoring, evaluasi dan audit lingkungan. Pengelolaan PES di wilayah Sub-DAM Gopgopan ditujukan untuk upaya-upaya konservasi sumber daya lahan dan air, menggali dan mengembangkan potensi kearifan lokal dalam wujud partisipasi masyarakat baik perorangan maupun kelompok. PES diberikan sebagai insentif berdasarkan kwantitatif dan kwalitatif partisipasi masyarakat terhadap kelestarian sumber daya lahan dan air yang dilaksanakan secara objektif, adil dan terbuka. Dalam rangka upaya mengurangi kesenjangan pertumbuhan ekonomi dan penyebaran penduduk yang rasional antara daerah Hulu dan daerah Hilir serta mempertahankan fungsi DAS di daerah Hulu. Keterpaduan lintas wilayah khususnya dalam pembayaran jasa lingkungan (sharing pendanaan Hulu dan Hilir) sangat diperlukan, didasarkan atas kesadaran yang difasilitasi/dikoordinasikan oleh pemerintah provinsi Sumatera Utara. Partisipasi dimaksud tercermin dalam bentuk pengerahan dana Jasa Lingkungan dari wilayah Hilir (Pantai Timur) ke daerah Hulu (daerah Dataran Tinggi) Sumatera Utara yang idealnya dianggarkan dalam APBD Kabupaten/Kota. Pengalokasian dana pemerintah kepada pemerintah Kabupaten/Kota yang berasal dari dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) pengalokasinya didasarkan pada konstribusi daerah Kabupaten/Kota terhadap pendapatan nasional, jumlah penduduk luas wilayah indeks kemahalan konstruksi, PDRB perkapita dan Indeks Pembangunan Manusia. Karakteristik seperti topografi, kontur dan perannya sebagai DAS sekaligus menjadi providen jasa lingkungan belum mendapat perhatian. Sesuai dengan pilar pembangunan nasional yang pro pertumbuhan, pro lapangan kerja, pro kemiskinan dan pro lingkungan hidup diharapkan selain luas wilayah, krakteristik wilayah sebagai provider jasa lingkungan dapat dimasukkan sebagai entripoin dalam penetapan pengalokasian dan APBN kepada pemerintah Kabupaten/Kota yang berada di wilayah pegunungan. Sistem pembayaran jasa lingkungan (PES) di Sub-DAS Gopgopan adalah mekanisme pembayaran finansial dan non finansial dituangkan dalam kontarak hukum yang berlaku meliputi aspek-aspek legal, teknis maupun operasional yang dilaksanakan oleh lembaga tersendiri meliputi jasa lingkungan yang dapat diukur, penyedia, pemanfaat dan tata cara pembayaran. DAFTAR LITERATUR Asdak, Chay, 1995. Hidrologi dan pengelolaan DAS. Gajah Mada University Press. Jogyakarta. Badan Pusat Statistik, 2010. Toba Samosir Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir. Badan Pusat Statistik, 2012. Toba Samosir dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Toba Samosir. Danida, 2001. Protokol Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) (Protokol of payment for environmental services) Laporan E. ESP. Environmental Services Support Program. Danida, 2009. Review of payment for environmental services Indonesia and other country. ESP. Program. Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2009. Rencana Strategis tahun 2010-2014. Dirjen RLPS. Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan, 2003. Strategi Pengelolaan Sosial Forestry. Departemen Kehutanan, Jakarta. EPI, 2008. Environemtal Ferformance Indeks. EFI Irawanto, 2011. Konsep Perencanaan DAS Terpadu, Yogyakarta. http://www.irwantoshut.com Leimona. B, 2008. Konsep Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan di Indonesia. World Agroforestry Centere – KRAF – SEA Leimona. B, at al 2009. Can rewards for environmental services benefit the poor? Lesson from Asia International Journal of the comnons. [on line] URL http://www.thecommononsjournal.org/index.pnp/ije/article/view/121. Leimona. B, at al, 2010. The Livelihood Impacts of incentive payment for watershed management in cicadanau watershed, west java Indonesia. Edward Elger Publishing Cheltenhans. Millenium Eosystim Assessment, 2005. Ecosystem and Human will – being. Synthesis island press Washington, DC. Paquin M, mayrand K, 2004. Payment for environmental services : A. Survey and Assessment of curren Schemes. Unisfera International Cetre for the commission of environmental corporation of North America. Pagiala. S, 2003. “Economics Overview” of Forest Area to Drinking Water, Running Pure. Edited by Nigel and Suue Sulton”. World Bank/WWF Aliance for forest conservation anda sustainable use. Wasington DC. Pagiala. S, 2004. Environmental Services Payment in Central Amerika : putting theory into practice presentea at “Environmental Economic for Development policy”. Training Course World Bank Institute. Simamora Marganda, Sirojuzipan, 2008. Determinan Pertumbuhan ekonomi Regional Sumatera Utara (Studi Kasus Wilayah Pantai Timur). USU Intitutional report (USU – IR). Universitas of Sumatera Utara. Suhardi, LP3 ES, 2006. Agroforestry Petani, Kompromi antara Ekonomi dan Konservasi. www.jasalingkungan.org Srimurni Soenarmo, 2012. Pembangunan Jasa Lingkungan. Alam Lestari. srini.blogspot.com Tampubolon Tulus, 2011. Industrialisasi di negara berkembang, Penerbit Chalid Indonesia. Jakarta Tampubolon Dahlan, 2011. Pembangunan dan ketimpangan wilayah Pantai Barat dan Pantai Timur. Tesis Perencanaan Pembangunan. PSDAL – LPP3ES, 2006. Program Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Mengembangkan Mekanisme dan Transaksi Hulu – Hilir untuk Meningkatkan Kehidupan Masyarakat. www.wikipedia.co.id Wunder. S, 2005. Payment for Environmental Services : Sone Nuts and Blots. CIFOR. Occasional Paper No. 42 Centre for International Research Mayor Indonesia.