MONITORING DAN EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR DI KOTA SALATIGA TAHUN 2011/2012 Donald Samuel Slamet Santosa Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang PENDAHULUAN Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf dan kualitas hidup masyarakat Indonesia adalah dengan memberi layanan pendidikan yang baik bagi segenap anak bangsa. Layanan pendidikan yang disediakan pemerintah termasuk program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 1 ayat 18 dinyatakan bahwa ”Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.” Sasaran program wajib belajar adalah meningkatnya partisipasi jenjang pendidikan dasar yang diukur dengan meningkatnya Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) jenjang SD, meningkatnya APK jenjang SMP/MTs/Paket B setara SMP, meningkatnya Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun, dan meningkatnya APS penduduk usia 13-15 tahun. Saat ini, perbaikan mutu pendidikan nasional telah menunjukan hasil positif yang terlihat dari pencapaian Angka Partisipasi Pendidikan pada semua jenjang. Dengan demikian, dalam konteks wajib belajar, kinerja pembangunan pendidikan nasional mengalami peningkatan yang cukup berarti. Peningkatan dalam hal kuantitas pendidikan tersebut tidak akan ada artinya apabila tidak diimbangi dengan kualitas atau mutu pendidikan. Dalam upaya memperbaiki mutu pendidikan, khususnya pendidikan dasar, layanan pendidikan terus ditingkatkan agar sesuai dengan standar nasional pendidikan dengan merujuk pada standar pelayanan minimal (SPM), yang sejauh ini belum sepenuhnya dapat dipenuhi. Meskipun Kebijakan desentralisasi dan otonomi pendidikan telah dilaksanakan selama tujuh tahun, manajemen pelayanan pendidikan belum sepenuhnya efektif dan efisien. Oleh karena itu sasaran kebijakan dalam hal kualitas pendidikan, sangat perlu untuk terus ditingkatkan karena lembaga pendidikan belum sepenuhnya mampu memenuhi tuntutan masyarakat untuk melahirkan lulusan-lulusan yang berkompeten. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: manajemen, kurikulum, dan sarana pendukung pembelajaran maupun administrasinya, guru, evaluasi, dan pengelolaan pelayanan pendidikan. Faktor manajemen atau pengelolaan sekolah sejalan dengan sasaran kebijakan pembangunan pendidikan yaitu meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan untuk secara bertahap mencapai standar nasional pelayanan pendidikan melalui penataan perangkat lunak (software) seperti perbaikan kurikulum, pemantapan sistem penilaian dan pengujian, dan penyempurnaan sistem akreditasi. Secara khusus untuk pengelolaan sekolah, diluncurkan kebijakan Akreditasi Sekolah. Sehubungan dengan kulikulum, diberlakukan Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP). Sehubungan dengan faktor pendukung pembelajaran dikembangkan Pembelajaran berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) yang selanjutnya populer dengan E-pembelajaran, dan sehubungan dengan Sistem Administrasi dikembangkan sistem yang berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) yang selanjutnya populer dengan Eadministrasi. Berkaitan dengan guru terdapat dua hal yang menjadi fokus perhatian, yaitu ketersediaan pendidik yang belum memadai secara kualitas dan dengan distribusi yang kurang merata, dan kesejahteraan pendidik yang masih terbatas. Guru yang berkualitas memainkan peranan sentral dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Untuk itulah sertifikasi guru menjadi sangat urgent. Sasaran kebijakan pembangunan pendidikan yang diamanatkan dalam Rencana Strategis Kementrian Pendidikan Nasional 2010-2014 sehubungan dengan guru, adalah tersedianya pendidik pendidikan dasar yang berkompeten yang merata diseluruh provinsi, kabupaten, dan kota yang meliputi pemenuhan guru SD/SDLB dan SMP/SMPLB serta tutor Paket A dan Paket B berkompeten. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, perlu ditingkatkannya proporsi pendidik yang memenuhi kualifikasi pendidikan dan standar kompetensi yang disyaratkan, serta memperbaiki distribusi guru dan peningkatan kesejahteraan guru. Saat ini masih banyak guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan S-1 atau D-4 seperti yang disyaratkan oleh UndangUndang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dari hasil survei Kemendiknas tahun 2009 diperoleh informasi bahwa rata-rata kualifikasi pendidikan guru SD/MI baik negeri maupun swasta yang memiliki ijazah sarjana (S-1) atau D-4 hanya 24,59 persen. Selain itu, dijumpai pula guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang bidang ilmu yang dimilikinya atau lazim disebut mismatch. Selain itu, diperlukan sistem evaluasi untuk mengukur kinerja satuan pendidikan dan sistem pengujian untuk mengukur prestasi setiap peserta didik. Selama ini, sistem evaluasi kinerja para pendidik dan standarisasi prestasi peserta didik masih belum sepenuhnya memenuhi seperti yang diamanatkan di dalam Standar Nasional Pendidikan. Sistem evaluasi dan sistem pengujian ini sangat penting untuk melihat tingkat keberhasilan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, dengan membuat perbandingan antardaerah dan antarsatuan pendidikan sebagai landasan bagi perencanaan pembangunan pendidikan lebih lanjut. Untuk kepentingan itu diterapkan akreditasi kelembagaan sekolah dan Ujian Nasional. Peningkatan kualitas pengelolaan pelayanan pendidikan di atas, sejalan dengan penerapan prinsip good governance yang mencakup transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya pendidikan. Sejalan dengan itu adalah peningkatan peranserta masyarakat dalam pembangunan pendidikan baik dalam penyelenggaraan maupun pembiayaan pendidikan, termasuk yang diwadahi dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Berbagai upaya yang sedang dan telah dilakukan oleh pemerintah dan segenap stake holder pendidikan perlu dievaluasi guna mengetahui progres yang telah dicapai. Selama ini, evaluasi terkait dengan upaya-upaya tersebut dilakukan oleh pihak internal pendidikan, seperti Badan Akreditasi Sekolah dan Badan Standar Nasional Pendidikan. Evaluasi yang dilakukan oleh pihak internal perlu divalidasi oleh evaluator independen. Bertolak dari pemikiran tersebut, maka sangatlah strategis apabila dilakukan penelitian mengenai “Monitoring dan Evaluasi Independen Pelaksanaan Program Wajib Belajar”. Keberhasilan program wajib belajar di kota Salatiga dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan pendidikan di Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan Salatiga merupakan salah satu trend centre pendidikan di Provinsi Jawa Tengah. Salatiga memiliki ratusan SD/MI/SDLB, serta puluhan SMP/MTS/SMPLB yang tersebar hampir diseluruh penjuru kota. Diantara ratusan sekolah tersebut terdapat beberapa sekolah yang dapat dijadikan sampel purposive untuk melihat pelaksanaan program wajib belajar di Salatiga. ISI Penelitian evaluasi kebijakan ini merupakan penelitian evaluative dengan pendekatan kualitatif. Model evaluasi yang digunakan merujuk pada model illuminative karya Malcolm Parlett dan Hamilton. Model ini lebih menekankan pada evaluasi kualitatif terbuka (open-ended). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari secara cermat dan hati-hati kualitas pelaksanaan program wajib belajar di kota Salatiga. Hasil evaluasi lebih bersifat deskriptif dan interpretasi, bukan pengukuran dan prediksi. Fungsi evaluasi adalah sebagai input untuk kepentingan pengambilan keputusan dalam rangka penyesuaian dan penyempurnaan sistem pembelajaran yang sedang dikembangkan. Cara-cara yang digunakan tidak bersifat standar, tetapi bersifat fleksibel dan selektif. Terdapat 3 fase evaluasi yang harus ditempuh, yaitu observe, inquiry further, dan seek to explain. Satuan analisis dalam penelitian ini adalah pelaksanaan program wajib belajar di kota Salatiga, sedangkan yang menjadi satuan observasi adalah beberapa SD, SMP, komite sekolah, dewan pendidikan, dinas pendidikan, dan pengamat pendidikan. Untuk mendapatkan sumber data, peneliti menggunakan sampel purposive yang dilanjutkan dengan snowball sampling. Untuk memperoleh data, peneliti memilih 3 SD, yaitu SD Salatiga 6, SD Laboratorium, FKIPUKSW, dan SD Muhammadiah Plus. Untuk SMP, dipilih 1 SMP, yaitu SMP Negeri 8. Berikut ini merupakan sajian data penelitian yang diperoleh dari sumber pimpinan sekolah. Manajemen merupakan serangkaian kegiatan yang diawali dari perencanaan, serta diikuti dengan pengorganisasian, pendelegasian/pengarahan, dan pengawasan. Berdasarkan hasil dari wawancara mendalam yang dilakukan terhadap responden, sekolah selalu memiliki 3 jenis perencanaan jika ditinjau dari segi waktunya, yaitu perencanaan jangka panjang (8 tahunan), perencanaan jangka menengah (4 tahunan), dan perencanaan jangka pendek (1 tahunan). Perencanaan tersebut meliputi berbagai komponen sekolah yang pada dasarnya mengacu pada 8 Standar Nasional Pendidikan. Perencanaan jangka panjang kemudian dijabarkan dalam rencana jangka menengah, dan rencana jangka pendek. Dalam kaitannya dengan implementasi perencanaan, setiap sekolah memiliki kemudahan dan kesulitan masing-masing. Terkait dengan sarana dan prasarana pendukung, sekolah sampel cenderung mengalami kesulitan dalam rangka implementasi perencanaan yang telah dibuat. Target sarana dan prasaran menjadi sulit dicapai karena alasan biaya. Sarana dan prasaran merupakan salah satu kebutuhan sekolah yang memerlukan biaya yang tinggi. Meski demikian, sekolah telah dan sedang berkomitmen untuk melakukan berbagai usaha terkait dengan pengadaan sarana dan prasarana sekolah. Upaya tersebut bukan merupakan upaya yang akan membebani orang tua atau wali murid. Upaya-upaya tersebut meliputi pencarian sumber dana lain, seperti dari sponsor, usaha dana, dan efisiensi dari anggaran belanja yang lain. Kaitannya dengan standar pendidik, sekolah sampel tidak mengalami permasalahan yang berarti. Pendidik disemua sekolah sampel sebagian besar telah berkualifikasi akademik minimal S1, dan hanya sebagian kecil yang sedang dalam proses menuju S1. Pendidik disekolah sampel juga telah melakukan berbagai inovasi terkait dengan standar proses. Pendidik tidak hanya mengajar dengan metode konvensional, tetapi telah menggunakan metode pembelajaran yang inovatif (meski banyak tidak menerapkan Eksplorasi, Elaborasi, dan Konfirmasi sebagaimana diamanatkan dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses). Berdasar data yang dikumpulkan, hal-hal yang merupakan kelemahan dari pendidik adalah yang terkait dengan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Sebagian besar guru memutuskan untuk menerapkan metode pengajaran tertentu berdasarkan uji coba sederhana, dan pengalaman semata. Di SD Muhammadiyah misalnya, PTK sudah dilaksanakan tanpa adanya dokumentasi. Sementara itu di SD Lab, PTK masih melibatkan pihak lain seperti mahasiswa dan praktisi pendidikan yang lain. Meski demikian, sekolah tetap memiliki upaya optimalisasi pendidik. Sekolah senantiasa mengadakan program pembinaan guru, dan pengembangan kompetensi. Terkait dengan standar isi, guru-guru dapat melaksanakan KTSP dengan baik. Guru dapat menyusun kurikulum dan silabusnya secara mandiri dengan berpedoman pada rambu-rambu yang ada dalam permendiknas. Berdasarkan data yang telah diperoleh, penilaian pendidikan telah dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Permendiknas No. 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Sekolah telah melakukan evaluasi dan penilaian hasil belajar peserta didik secara komprehensif dan sistematis. Sekolah mengadakan beberapa evaluasi sesuai dengan kebijakan dan kebutuhan di sekolah masing-masing. Terkait dengan pengelolaan layanan, sekolah senantiasa melibatkan komite sekolah dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan strategis. Komite sekolah memiliki hubungan yang baik dengan sekolah, dan setiap periode melakukan pertemuan dengan sekolah. Dalam pertemuan tersebut diagendakan pembahasan mengenai hal-hal strategis yang menjadi program sekolah. Komite memberikan masukan dan saran terkait dengan program sekolah. Selain itu, sekolah yang menjadi sampel penelitian juga melaksanakan rapat bersama orang tua siswa, dalam rangka membahas hal-hal yang terkait dengan siswa. Berbagai komponen dalam yang menjadi focus penelitian tersebut kemudian dikonfirmasi dengan menggunakan triangulasi sumber. Peneliti kemudian mewawancarai seorang pengamat pendidikan kota Salatiga (Dr. Bambang Ismanto). Menurut beliau, dari 8 standar yang ada dalam standar nasional pendidikan, komponen yang justru paling baik yang ada dikota Salatiga adalah Standar Sarana Prasarana. Menurut beliau, dalam disertasinya mengenai pembiayaan pendidikan kota Salatiga, pemerintah kota mengalokasikan dua macam anggaran untuk pendidikan, yaitu Bantuan Operasional Sekolah yang dapat digunakan untuk penyelenggaraan sekolah, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pengadaan sarana dan prasaran fisik. Kecenderungan SIMPULAN SD dan SMP sebagai satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar telah melaksanakan berbagai upaya dalam rangka menyukseskan program wajib belajar. Upaya-upaya tersebut nampak dari 5 komponen yang menjadi focus penelitian, yaitu manajemen sekolah, sarana dan prasaran, guru/pendidik, evaluasi pembelajaran, dan pengelolaan layanan. Hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya manusia memiliki kecenderungan yang telah baik. Sedangkan hal-hal yang diluar kemampuan guru atau diluar kompetensi guru cenderung belum baik (seperti sarana dan prasarana).