http://sumut.kemenag.go.id/ Bahasa, Dakwah Dan Persatuan Umat Oleh : Drs.H. M. Sazli Nasution SEJARAH perjuangan merintis kemerdekaan bangsa Indonesia mencatat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai pemicu tekad mengusir penjajahan dari bumi persada Indonesia. Semangat persatuan dan kesatuan yang dituangkan dalam Sumpah Pemuda 81 tahun yang lalu itu dilandasi kesadaran bahwa mereka berbangsa yaitu bangsa indonesia dan bertanah air satu, tanah air Indonesia. Murahnya adalah tercapainya kemerdekaan bangsa Indonesia, yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1995. Yang ingin kita garis bawahi adalah pentingnya faktor bahasa dalam kehidupan sosial, Bahasa Indonesia ternyata turut menjadi andil penting dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa dan bahasa itu. Jika kita kemudian menoleh ke dunia Islam, maka kita akna mendapati betapa masalah bahasa juga merupakan faktor penting dalam mempersatukan umat Islam sedunia. Bahasa persatuan umat Islamdalam pelaksanaan ibadah dan komunikasih lainnya adalah bahasa Arab. Hal ini disebabkan Nabi Muhammad Saw menerima wahyu berupa Al-Qur’an dalam bahasa Arab. Sedangkan Nabi Muhammmad bersama kaumnya pun berbahasa Arab. Dengan bahasa Arab komunikasih dan penyampaian dakwah Nabi Saw menjadi efektif. Hal ini tergambar dalam Al-Qur’an Surah Ibrahim ayat 4: “Tidak kami utus seorang rasulpun kecuali dengan bahasa kaumnya sendiri supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka (tentang syariat Allah, sehingga tercapailah tujuan risalah itu). Dakwah dalam arti menyeru orang lain ke jalan Allah akan efektif jika disampaikan dengan bahasa yang dipahaminya. Tidak Dapat Ditukar Seorang Kristen dapat bersembayang atau membaca Injil dalam bahasa Latin, Yunani, Indonesia, China, dan bahasa lainnya. Akan tetapi Al-Qur’an tidak bisa dibacakan dalam bahasa apapun selain bahasa Al-Qur’an. Di dalam penerapan pelaksanaan ibadah sholat, miisalnya: bahasa Arab tidak dapat ditukar dengan bahasa lain. Hal ini disebabkan adanya hadis Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Ahmad menyebutkan: Shollu kama sebagai mana kamu melihat saya sholat. Oleh karena itu dimanapun kita berada dibelahan dunia ini, mesjid manapun yang kita masuki, akan kita dapat sholat dilaksanakan dengan berbahasa Arab. Disisi lain sejarah pun mencatat, betapa kaum kolonialis didukung oleh penelitian para orientalis menyadari bahwa Al-Qur’an dan bahasa Arab fusha merupakan unsur pemersatuan yang harus lebih dulu diperangi. Ketika Turki pada akhir abad ke-19 menghilangkan peranan proporsional bahasa Arab dilingkungan pemerintah dan menggantinya dengan bahasa Turki, menyebabkan timbulnya semangat nasionalisme Arab. Menurut mereka hal ini merupakan http://sumut.kemenag.go.id/ penyimpangan terhadap semangat kesatuan Islam yang justru diserukan oleh orang-orang Turki pada masa sebelumnya. Semangat nasionalisme Arab itu, kemudian dibonceng oleh Barat untuk memwcah dunia Islam, sehingga pada akhir perang dunia I, muncullah kerajaan dan Negara-negara Arab lainnya di Timur Tengah, memisahkan diri dari imperium Turki. Perpecahan tersebut akan terus ditiupkan Barat, karena mereka khawatir terhadap persatuan Islam yang mengancam punahnya peradaban mereka yang materialistis. Nabi Muhammad Saw menyampaikan risalahnya dengan berpedoman kepada AlQur’an yang berbahasa Arab. Namun tidak berarti bahwa semua orang Arab otomatis akan memahami dengan baik Al-Qur’an dan hadits Nabi Saw. Hal ini disebabkan masih ada perangkat-perangkat ilmu bahasa, Ulumul Qur’an dan lain sebagainya yang harus dipelajari dengan mendalam. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah Yusuf ayat 2: “Sesungguhnya kami menurunkan Al-Qur’an di dalam bahasa Arab supaya kamu memahami dengan menggunakan akalmu. Al-Biqa’I (abad 9 H) dalam tafsirnya ketika mengulas ayat ini mengemukakan, bahasa Arab sangat fasih dan sangat luas (kosa kata dan pemahamannya-pen). Memang seoerti dikutip Quraish Shihab dalam Al-Mishbah, para pakar bahasa berpendapat bahwa terdapat 25 juta kosa kata dalam bahasa Arab, sehingga membantu menjelaskan pesan yang akan disampaikan dan itu semua harus dipelajari dengan tekun. Dalam hubungan ini, meskipun umat Islam itu orang Indonesia, jika ia menguasai perangkat ilmu bahasa Arab dan cabang-cabang ilmu terkait, maka ia pun dapat menyampaikan penjelasan tentang Al-Qur’an dan hadis Nabi saw di tengah-tengah masyarakat dan bahasanya dengan bahasa yang dikuasai mereka, baik lisan maupun tulisan. Bahkan pada tingkat tertentu dapat mengeluarkan fatwa hukum. Khutbah Berbahasa Indonesia Mulai Tahun 1935 Dari lembaran sejarah pun tersingkap bahwa penjelasan materi khutbah Jum’at dan khutbah lainnya di Medan dan sekitarnya baru disampaikan dalam bahasa Indonesia pada tahun 1935 yakni tujuh tahun setelah dicetuskannya “Ssumpah Pemuda” Dalam sebuah tulisannya (yang diterbitkan Sekretaris Dakwah MUI Sumut bersama Yayasan Baitul Makmur, Medan, Januari 1987), mantan Ketua Mui Sumut, Ahmad Nasution mengungkapkan sebelum tahun 1935, khutbah-khutbah disampaikan dalam berbahasa Arab. Terkadang hanya satu juudul saja dan inilah yang dibaca berulang-ulang, jelas alm. K.H. Ahmad Nasution. Setelah bertiup angin pembaharuan di bidang pendidikan dan pengajaran agama Islam, barulah muncul penyampaian mauizhoh atau pengajaran dalam khutbah berbahasa Indonesia. Namun rukun-rukunnya tetap dibaca dalam bahasa Arab sesuai tuntunan hukum agama. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi Saw diriwayatkan Bakhari : “Hadditsun nasa bima ya’rifun”, sampaikanlah kepada mereka, sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Dengan demikian komunikasi menjadi efektif karena tidak terdapat distorsi sematik. Maraknya Kitab Terjemah http://sumut.kemenag.go.id/ Di sisi lain maraknya kitab-kitab klasik dan kontemporer hasil karya para pakar dunia Islam membahasa berbagai aspek ajaran Islam kedalam bahasa Indonesia saat ini patut disyukuri. Terkait dengan hal ini mantan Rekor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta alm. Prof.Dr. Harun Nasution pernah mengatakan dalam salah satu tulisannya bahwa bukubuku terjemahan menyebabkan terjadinya pencepatan pemahaman terhadap ajaran Islam di Indonesia. Namun untuk sampai pada derajat mengeluarkan fatwa baru, seseorang harus benar-benar memahami bahasa Arab, sebagai sumber hukum Islam. Menurut penulis, ini sejalan dengan apa yang ditegaskan Al-Jazairi, Ulama Arab Saudi dalam tafsirnya aisaruttafasir bahwa untuk memungkinkan benar-benar mengetahui dan memahami petunjuk Allah dalam Al-Qur’an harus dengan bekal menguasai bahasa Arab. Seiring dengan berkembang pesatnya pemakaian bahasa Indonesia, semakin luas pula pertumbuh kosa katanya, baik diadopsi dari kosan kata bahasa daerah maupun bahasa asing. Pertumbuhan yang sudah baku al. diakomodasi dalam kamus Besar Bahasa Indonesia edisi satu, dst, terbitan Balai Pustaka jakarta. Ini tentunya terkait erat dengan lahirnya “Sumpah Pemuda”. Bahasa Indonesia yang awalnya berstatus sebagai “lingua franca” (alat komunikasi sosial antar komunikasi yang berbeda bahasa), kini menopang eratnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Statusnya sangat nasionalis seperti terimaktub dalam UUD 1945 pasal 36 yang menyatakan bahwa bahasa Negara adalah Bahasa Indonesdia. Sedangkan Bahasa Arab/bahasa Al-Qur’an menjadi unsur pemersatuan umat Islam sedunia.-**