ISBN 978-602-99218-7-8 PROSIDING SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN DAS Surakarta, 12 Juni 2013 Terbit Tahun 2014 Tim Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc Dr. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, MSi Dr. Ika Heriansyah, S.Hut, M.Agr Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS Bogor, Indonesia : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR), 2014 ISBN : 978-602-99218-7-8 Desain Sampul : Tommy Kusuma AP © P3KR 2014 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia Telp : (0251) 8633234 Fax : (0251) 8638111 E-mail: [email protected] Website: http://www.puskonser.or.id/ Dicetak oleh : Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ii Tim Penyunting Penanggung Jawab : Dr. Nur Sumedi, S.Pi, M.P. Redaktur : Ir. Didik Purwito, M.Sc Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc Dr. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, M.Si Dr. Ika Heriansyah, S.Hut, M.Agr Sekretariat : Lukman Hakim, S.Hut, M.P Ir. Salamah Retnowati, M.Si Rara Retno K. R., S.H, M.Hum Eko Priyanto, S.P Farika Dian Nuralexa, S.Hut Zamal Wildan, S.Kom Wahyu Budiarso, S.P Tommy Kusuma AP iii KATA PENGANTAR Daya dukung daerah aliran sungai (DAS) adalah kemampuan DAS untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia dan makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan. Daya dukung DAS harus ditingkatkan sebagai akibat dari terjadinya penurunan daya dukung DAS yang ditandai dengan banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi dan kekeringan yang mengakibatkan terganggunya perekonomian dan tata kehidupan masyarakat. Daerah aliran sungai termasuk kategori dipertahankan atau dipulihkan daya dukungnya tergantung dari kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah. Permasalahan pengelolaan DAS saat ini adalah penurunan kualitas DAS di Indonesia sebagai akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan serta meningkatnya ego sektoral dan ego kewilayahan. Untuk itu maka pengelolaan DAS merupakan upaya yang sangat penting untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan DAS meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan yang diselenggarakan secara terkoordinasi dengan melibatkan Instansi Terkait pada lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat. Dengan terbitnya PP Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, maka Indonesia memiliki acuan sehingga pengelolaan DAS secara terpadu dapat dilaksanakan dan daya dukung DAS dapat dipertahankan. Selain itu dukungan IPTEK di bidang pengelolaan DAS diperlukan untuk menjawab permasalahanpermasalahan tersebut. Dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran dan dukungan dalam pengelolaan DAS, Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS (BPTKPDAS) menyelenggarakan Kegiatan Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS 2013. Penyelenggaraan tersebut iv adalah sebagai bentuk tanggung jawab BPTKPDAS sebagai lembaga litbang yang bergerak di bidang pengelolaan DAS. Penyelenggaraan Kegiatan Seminar Nasional dimaksudkan sebagai wadah untuk menyampaikan hasil penelitian dan pengembangan bidang pengelolaan DAS yang telah dilaksanakan oleh BPTKPDAS dan instansi lain kepada pengguna. Semoga hasil-hasil tersebut dapat dicermati dan dimanfaatkan oleh parapihak terkait dan diharapkan kegiatan penelitian bidang pengelolaan DAS ke depan dapat ditingkatkan. Dengan demikian Penyelenggaraan Seminar Nasional Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS 2013 dilaksanakan sebagai media untuk menyampaikan hasil-hasil dari kegiatan penelitian oleh BPTKPDAS dan instansi lain agar memperoleh umpan balik dari pengguna. Prosiding Seminar Nasional Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS 2013 ini memuat 12 judul materi yang dibahas dan berasal dari 3 instansi yaitu BPTKPDAS, UNS serta UMS. Dalam pelaksanaan seminar tersebut disepakati rumusan seminar yang merupakan rangkuman keseluruhan dari hasil diskusi. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyaji, Panitia Penyelenggara, Penyunting Prosiding, serta pihak-pihak yang telah mendukung sampai selesainya kegiatan. Semoga Prosiding ini bermanfaat. Bogor, Juni 2014 Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabiltiasi Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP. 19571221 198203 1 002 v DAFTAR ISI KATA PENGANTAR………………………………….......................... DAFTAR ISI……………………………………………....................... v vi PENGARAHAN Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan............... viii RUMUSAN Rumusan Seminar........................…………………………............... xii MAKALAH-MAKALAH 1. Aspek Hukum Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai / AL Sentot Sudarwanto (UNS)............................................................................................ 2. Hubungan Antara Luas Hutan Pinus Dan Aliran Dasar Di Sub DAS Kedungbulus, Kebumen / Irfan Budi Pramono dan Wahyu Wisnu Wijaya (BPKTPDAS).............................................. 3. Hubungan Antara Karakteristik Hujan Dan Banjir Di Sub DAS Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri / Irfan Budi Pramono, Gunardjo Tjakarawarsa (BPKTPDAS)........................................... 4. Pemanfaatan Citra dari Google Earth dan DEM Aster yang Bebas Diunduh untuk Mendapatkan Beberapa Parameter Lahan / Tyas Mutiara Basuki, Nining Wahyuningrum (BPKTPDAS).................................................................................. 5. Kajian Kelembagaan Konservasi Tanah dan Air Di Hulu Sub DAS Gandusuwaduk, Pati – Jawa Tengah / C. Yudilastiantoro (BPKTPDAS).................................................................................. 6. Pemetaan Kawasan Rawan Kebakaran Hutan dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Taman Nasional Bali Barat / Arina Miardini, Nunung Pujinugroho (BPKTPDAS)................... 7. Model Pengendalian Banjir Terpadu Berdasarkan Parameter Utama Penyebab Banjir Di DAS Bengawan Solo Hulu / Alif Noor Anna, Suharjo, Yuli Priyana, Rudiyanto (UMS).................. 8. Pertumbuhan Tanaman Rehabilitasi Pola Agroforestry Sengon dan Jabon pada Lahan Terdegradasi Di Tlogowungu Pati / Heru Dwi Riyanto, Gunardjo Tjakrawarsa (BPKTPDAS).... vi 1 18 38 53 74 86 106 130 9. Nilai Konsumsi Air Beberapa Jenis Pohon Cepat Tumbuh / Agung Budi Supangat, Ugro Hari Murtiono (BPKTPDAS).......... 10. Kandungan Hara Dan Tingkat Erosi Pada Lahan Miring Bersolum Dangkal / Nining Wahyuningrum, Tyas Mutiara Basuki (BPKTPDAS) ..................................................................... 11. Identifikasi Karakteristik Morfometri Daerah Aliran Sungai Dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis / Agus Wuryanta, Ragil Bambang Winarno Mulyono Putro dan Beny Harjadi (BPTKPDAS)............ 12. Kajian Unsur Hara Tanah pada Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) di Pantai Berpasir Petanahan Kebumen / Beny Harjadi, Pranatasari Dyah Susanti, Arina Miardini (BPKTPDAS)................................................................... 146 163 191 208 LAMPIRAN Jadwal Acara....................................................................................... Daftar Peserta..................................................................................... Hasil Diskusi......................................................................................... vii 219 222 227 PENGARAHAN Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS 2013 Yth. Yth. Yth. Yth. Yth. Yth. Yth. Yth. Yth. Yth. Yth. Yth. Yth. Yth. Saudara Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial atau yang mewakili Saudara Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Saudara Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Saudara Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi D.I. Yogyakarta Saudara Kepala SKPD terkait kehutanan lingkup Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi D.I. Yogyakarta Para Kepala Dinas Kabupaten yang menangani kehutanan lingkup Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi D.I. Yogyakarta Para Kepala Pusat Litbang lingkup Badan Litbang Kehutanan dan Para Pejabat Struktural Eselon II lingkup Kementerian Kehutanan Para Kepala Balai Penelitian lingkup Badan Litbang Kehutanan dan Kepala UPT lingkup Kementerian Kehutanan Para Kepala UPT Kementerian dan Kepala UPTD yang terkait dengan Kementerian Kehutanan Saudara Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perhutani Cepu Para Administratur KPH Perum Perhutani Para Dekan Perguruan Tinggi, Kepala SMA, Ketua Forum dan Mitra Strategis Kementerian Kehutanan Saudara Kepala Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo Hadirin yang berbahagia. viii Assalamu’alaikum Wr.Wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua, Mengawali sambutan ini, marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmatNya pada hari ini kita dapat menghadiri acara pembukaan Seminar Hasil-Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai tahun 2013 dalam keadaan sehat walafiat. Ekspose hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo ini saya nilai sangat strategis mengingat tiga hal, yakni tahun ini merupakan peringatan 100 tahun litbang kehutanan berkarya di Indonesia; perlunya solusi yang tepat terhadap permasalahan kerusakan dan penurunan daya dukung DAS yang diikuti dengan meningkatnya bencana ekologis dan hidrometeorologi; dan momentum untuk memformulasikan program dan kegiatan litbang BPTKPDAS Solo tahun 2015-2019 yang gayut dengan kebutuhan pengelolaan DAS di Indonesia. Saudara-saudara sekalian, Sejarah panjang penelitian kehutanan di Indonesia diawali dengan berdirinya Bosbouw Proef Station Voor Het Boswezen di Bogor pada tanggal 16 Mei 1913. Pada era kolonial Belanda, banyak hasil penelitian yang membanggakan yang dihasilkan oleh para peneliti Belanda yang mempunyai disiplin kerja yang tinggi. Hasil penelitian tersebut, antara lain mencakup botani hutan, silvika, silvikultur tanaman Jati, bonita dan konservasi hutan. Hasil penelitian tersebut pada umumnya sangat membantu pengelolaan hutan tanaman jati di Jawa. Hasil-hasil penelitian tersebut juga dipublikasikan pada majalah ilmiah Tectona, yang merupakan salah satu majalah ilmiah paling bergengsi di dunia pada zaman tersebut. Namun pada era penjajahan Jepang (19421945), institusi litbang praktis tidak berkembang karena Jepang tidak memperdulikan pentingnya riset kehutanan dan bahkan mengeksploitasi hutan-hutan jati di Jawa untuk kepentingan perang. Selanjutnya, pada era Kemerdekaan sampai Orde Lama (1945- 1965), institusi litbang tersebut hanya survive dengan nama Balai Penyelidikan Kehutanan dengan hasil penelitian yang kurang signifikan. Pada Awal Orde Baru (1966) sampai dengan pertengahan ix tahun 2013 ini, organisasi litbang kehutanan secara periodik mengalami perubahan sesuai dengan konstelasi politik pada masa tersebut namun secara umum menunjukkan peningkatan kinerja dari tahun ke tahun, baik kuantitas maupun kualitas output penelitian. Beberapa output litbang yang sangat strategis yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Kehutanan adalah: sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI), teknik silvikultur berbagai jenis hutan tanaman, teknik produksi bibit meranti dengan sistem KOFFCO, bioteknologi dan pemuliaan tanaman jenis-jenis pohon cepat tumbuh, beberapa tabel volume pohon, teknik pengolahan beberapa komoditas HHBK seperti sutera alam dan madu lebah, teknik inokulasi gaharu, teknik produksi mikoriza, teknik penangkaran rusa timor, teknologi pengolahan kayu solid dan kayu komposit, teknik produksi kayu pertukangan dari batang sawit, teknik produksi bambu lamina, teknik produksi briket arang dan cuka kayu, teknik produksi perekat dari tannin kulit kayu, model allometrik biomassa dan input kebijakan mitigasi perubahan iklim dan REDD+. Khusus untuk pengelolaan DAS, beberapa output litbang yang telah dihasilkan oleh BPTKPDAS Solo mencakup: sistem perencanaan pengelolaan DAS, teknik mitigasi banjir dan tanah longsor, panduan sidik cepat degradasi sub DAS, sistem karakterisasi DAS pada beberapa zona ekologi di Jawa dan Sumatera, teknik rehabilitasi lahan kritis, aplikasi citra satelit dan SIG untuk monev DAS dan revisi peta penggunaan lahan, pemodelan hidrologi DAS, sistem analisis neraca ekonomi sumberdaya alam dalam DAS, analisis tipologi sosial dan pengaruhnya terhadap kinerja DAS, implementasi pengelolaan DAS pada skala mikro dan penentuan luas penutupan hutan optimum, khususnya hutan tanaman jati dan pinus berdasarkan parameter hidrologi. Satuan kerja Badan Litbang Kehutanan di luar BPTKPDAS Solo, baik Puskonser dan beberapa Balai Penelitian Kehutanan, juga menghasilkan output litbang di bidang pengelolaan DAS, mencakup peta kesesuaian jenis pohon untuk kegiatan RHL pada beberapa provinsi dan DAS, teknik konservasi tanah dan air, teknik reklamasi lahan bekas tambang emas, batubara, batu kapur feldspar dan timah, x alat deteksi longsor dan teknik pembangkit listrik tenaga mikrohidro untuk penguatan kelembagaan dan kesehatan DAS. Dalam rangka memperingati 100 tahun litbang kehutanan di Indonesia, serangkaian kegiatan diseminasi hasil litbang akan digelar baik di pusat maupun di daerah dan puncaknya adalah penyelenggaraan konferensi internasional INAFOR (Indonesia Forestry Researchers) II dan peluncuran buku Seratus Tahun Litbang Kehutanan di Indonesia pada bulan Agustus 2013. Rangkaian acara tersebut diawali dengan pencanangan 100 tahun litbang kehutanan di Indonesia oleh Menteri Kehutanan pada bulan Maret 2013 di Bogor dan dilanjutkan oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 24 April 2013 berupa penandatangan prasasti peringatan 100 tahun dan prasasti revitalisasi laboratorium, penanaman pohon secara simbolis, penyelenggaraan seminar ”Applications and Challenges of Green Economy for Sustainable Development” dan bedah buku konservasi hutan. Kegiatan tersebut diliput secara luas oleh berbagai media massa nasional dan daerah dan sampai saat ini secara berkala dimuat pada rubrik ilmu pengetahuan dan teknologi di harian Kompas dan harian lainnya. Peliputan tersebut dan testimoni para pengguna pada saat penendatanganan prasasti menunjukkan bahwa sesungguhnya sudah banyak output litbang yang bermanfaat dan potensial dikembangkan untuk meningkatkan kinerja pembangunan kehutanan dan kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan peringatan 100 tahun tersebut, Badan Litbang Kehutanan telah menetapkan motto, sebagaimana prasasti yang ditandatangani Menteri Kehutanan, yakni: ”Iptek Merupakan Landasan Kebijakan dan Etika Membangun Hutan Lestari dan Peradaban Bangsa”. Motto ini menggambarkan arah penelitian pasca 100 tahun yang mengedepankan produk kebijakan kehutanan dan pencapaian pembangunan kehutanan berkelanjutan yang mengakomodir nilai etika dan sosial budaya bangsa yang mandiri dan unggul. Dalam konteks peringatan Satu Abad inilah BPTKPDAS Solo melakukan diseminasi hasil-hasil penelitian terbarunya kepada para pengguna iptek dan sekaligus mengharapkan umpanbalik dari para peserta seminar dalam rangka memformulasikan kegiatan penelitian ke depan yang gayut dengan kebutuhan pengelolaan DAS. xi Saudara-saudara sekalian, Terkait dengan kebutuhan iptek pengelolaan DAS, Indonesia saat ini dihadapkan pada permasalahan lingkungan hidup yang sangat serius yakni fenomena perubahan iklim dan kerusakan DAS. Ke duanya mempunyai interrelasi yang sangat kuat di mana deforestasi dan degradasi hutan merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global dan pada tataran lokal kerusakan sumberdaya hutan bersamaan dengan meluasnya lahan kritis akibat pengabaian teknik konservasi tanah dan air menyebabkan penurunan daya dukung DAS. Bencana hidrometeorologi yang semakin sering menimpa Indonesia, berupa banjir, tanah longsor dan kekeringan serta kerusakan ekologi berupa erosi dan sedimentasi diyakini dipicu oleh faktor antropogenik berupa intervensi manusia terhadap sumberdaya hutan dan lahan yang berlebihan. Kejadian bencana tersebut menimbulkan kerugian material dan immaterial yang tinggi dan bahkan seringkali menimbulkan korban jiwa. Deforestasi dan degradasi hutan serta kerusakan lahan di luar kawasan hutan yang masif belum sepenuhnya dapat diimbangi oleh kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Meskipun laju kerusakan hutan turun menjadi 450.000 ha/tahun pada periode 2010-2011 dari yang sebelumnya 2,83 juta ha/tahun pada periode 1997 sampai dengan 2000, namun hutan dan lahan kritis yang ada saat ini masih sangat tinggi yakni sekitar 51,67 juta hektar. Sementara itu, kinerja rehabilitasi hutan dan lahan, yang dihitung berdasarkan prestasi RHL sebesar 2.009.881 ha dari tahun 2003-2008, hanya mencapai 500.000 ha/tahun. Kinerja RHL sebesar 500.00 ha/tahun tersebut hanya dapat mengatasi laju kerusakan hutan dan belum dapat mengatasi hutan dan lahan kritis yang ada. Hutan dan lahan kritis tersebut berada pada DAS prioritas di mana di seluruh Indonesia terdapat 458 DAS prioritas di antaranya 282 DAS merupakan prioritas I dan II. Sehubungan dengan itu, Kementerian Kehutanan menetapkan salah dua dari 18 Sasaran Strategis tahun 2010-2014 berupa rencana pengelolaan DAS terpadu sebanyak 108 DAS prioritas; dan tanaman rehabilitasi pada lahan kritis di dalam DAS prioritas seluas 2,5 juta ha. xii Kerusakan DAS, pada umumnya, disebabkan oleh kebutuhan lahan yang semakin tinggi seiring dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya kepentingan pembangunan sektoral dan daerah yang berakibat pada perubahan status, fungsi dan peruntukan kawasan hutan menjadi penggunaan lain. Kerusakan DAS tersebut menunjukkan adanya ketidaktepatan dalam pengelolaan DAS di mana selama ini lebih ditekankan pada aspek biofisik dan kurang pada aspek sosial dan kelembagaan. Permasalahan dalam pengelolaan DAS saat ini adalah pengelolaan sumberdaya alam DAS yang melampaui kapasitasnya atau tidak ramah lingkungan; pertumbuhan penduduk; perkembangan industri serta pembangunan di berbagai bidang berakibat pada peningkatan kebutuhan akan lahan; lapangan kerja yang terbatas mendorong masyarakat mendesak penggunaan lahan di luar batas kemampuannya; konversi lahan; orientasi otonomi daerah yang berwawasan sempit dan semata-mata fokus pada economic development; meningkatnya ego sektoral dan ego kewilayahan yang berakibat pada konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antar sektor, antar wilayah hulu dan hilir. Untuk itu, upaya pengelolaan DAS yang tepat dengan kondisi administrasi pemerintahan, kelembagaan, sosial kemasyarakatan dan biofisik, menjadi sangat penting untuk mengatasi permasalahan tersebut. Konkritnya, solusi masalah pengelolaan DAS membutuhkan komitmen politik, payung hukum, kerjasama komprehensif dan teknologi Konservasi Tanah dan Air tepat guna yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan DAS tidak bisa lagi melalui pendekatan sektoral, tetapi harus mengedepankan prinsip keterpaduan, yang dilaksanakan oleh Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dan para pemangku kepentingan terkait pada lintas wilayah administrasi sesuai dengan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No.33 Tahun 2011 tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumberdaya Air dan PP No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah dengan meningkatkan daya dukung DAS. Oleh karena itu diperlukan suatu xiii pengelolaan DAS yang obyektif, rasional dan utuh mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi sampai dengan pembinaan dan pengawasan. Untuk menyelenggarakan pengelolaan DAS yang baik perlu dukungan IPTEK di bidang pengelolaan DAS yang adaptif sebagai dasar untuk menjawab permasalahan dinamika politik, sosial, ekonomi dan teknologi yang semakin berkembang. Lebih jauh lagi, solusi masalah pengelolaan DAS perlu dituangkan dalam Kebijakan Prioritas Pembangunan Kehutanan, Program dan Kegiatan yang terukur, realistis dan berkelanjutan, yang kesemuanya diharapkan tertuang dalam dokumen Rencana Strategis Kementerian Kehutanan dan Ditjen BPDASPS untuk periode berikutnya (2015-2019). Permasalahan utama DAS ke depan akan lebih diwarnai permasalahan eco-resources dengan basis faktor-faktor antropogenik berupa sosial budaya, sikap, perilaku, pendidikan dan kepercayaan. Kerusakan DAS pada dasarnya disebabkan oleh intervensi manusia dan oleh karena itu yang ditangani adalah faktor kemanusiaan itu sendiri. Dalam kaitan ini, Kebijakan Prioritas Pembangunan Kehutanan dapat diarahkan pada Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Peningkatan Daya Dukung DAS dan Program Peningkatan Fungsi dan Daya Dukung DAS Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Adapun kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan, antara lain: penyelenggaraan pengelolaan DAS terpadu pada DAS prioritas; pengembangan kelembagaan dan mekanisme monitoring dan evaluasi DAS; dan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dan reklamasi hutan. Hadirin yang berbahagia, Untuk menyikapi tantangan dalam menjawab kebutuhan masyarakat dalam pengelolaan DAS, maka pada kesempatan ini, kami mengajak hadirin baik pemangku kebijakan maupun praktisi, akademisi dan peneliti untuk berdiskusi dan saling bertukar informasi dan pengalaman dalam Seminar Hasil-Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS ini. Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, BPTKPDAS Solo telah banyak menghasilkan output penelitian pengelolaan DAS dan teknologi pendukungnya, namun tampaknya belum banyak yang xiv termanfaatkan dengan baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan bahkan monitoringnya sekalipun oleh berbagai pihak terkait. Pada hakekatnya, output penelitian tersebut secara teknis memperlancar implementasi kebijakan strategis dan operasional yang telah dibuat, dalam hal ini, implementasi PP No.37 Tahun 2012. Semangat PP tersebut adalah untuk mengkoordinasikan, mengintegrasikan, mensinkronkan dan mensinergikan pengelolaan DAS dalam rangka meningkatkan daya dukung DAS (pasal 3.). Dalam PP tersebut juga mengatur tentang siapa yang berwenang menyusun rencana pengelolaan DAS (pasal 22 ayat 2), yang melaksanakan (pasal 42), memonitor dan mengevaluasi pelaksanaannya (pasal 50), yang secara jelas diserahkan kepada Menteri untuk DAS lintas negara dan lintas provinsi, Gubernur sesuai kewenangan untuk DAS dalam provinsi dan atau lintas kabupaten/kota, dan Bupati/Walikota sesuai kewenangannya untuk DAS dalam kabupaten/kota. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan DAS baik secara perorangan maupun kelompok melalui forum DAS diatur dalam Pasal 57. Tugas kita ke depan adalah untuk menjabarkan PP ini ke dalam kebijakan yang lebih operasional dalam bentuk Peraturan-Peraturan Menteri Kehutanan. Dalam rangka meningkatkan dukungan litbang pengelolaan DAS dalam implementasi dan bahan kebijakan, Kepala Badan Litbang Kehutanan bersama Direktur Jenderal BPDASPS telah menandatangani Nota Kesepahaman Nomor NK.3/VIII-Set/2011 dan NK.2/V-Set/2011 tentang IPTEK Pengelolaan DAS Sebagai Landasan Kebijakan Operasional. Oleh karena itu, seminar ini juga merupakan salah satu wujud komitmen Badan Litbang Kehutanan untuk senantiasa menindaklanjuti dan meng-update Nota Kesepahaman tersebut. Saudara-saudara sekalian, Untuk meningkatkan kontribusi iptek kehutanan pada pengelolaan DAS di Indonesia, BPTKPDAS Solo harus segera memformulasikan program dan kegiatan penelitian yang dituangkan dalam Rencana Strategis BPTKPDAS Solo tahun 2015-2019 yang didasarkan pada permasalahan pembangunan kehutanan nasional dan kebutuhan iptek pengelolaan DAS. xv Permasalahan pembangunan kehutanan nasional yang perlu diaddress oleh BPTKPDAS Solo, adalah: 1. Hak ulayat (tenurial) dan akses masyarakat adat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan yang masih rendah; 2. Masih tingginya jumlah penduduk miskin di dalam dan sekitar hutan; 3. Pengaturan tata ruang yang belum didasarkan pada daya dukung lingkungan dan kebutuhan optimal setiap sektor sehingga potensial menyebabkan konflik penggunaan kawasan; 4. Deforestasi dan degradasi hutan; 5. Bencana hidrometeorologi akibat luasnya lahan kritis dan tutupan berhutan <30%; 6. Pengelolaan DAS lintas wilayah administrattif belum terintegrasi dengan baik; dan 7. Penurunan kualitas DAS. Kebutuhan iptek pengelolaan DAS ke depan bertumpu pada solusi masalah-masalah sosial dan tata kelola pemerintahan dan organisasi yang belum mendukung pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan yang berkelanjutan dalam unit DAS, pengelolaan sumberdaya alam dalam DAS yang dapat menjamin kesejahteraan masyarakat dan kesehatan DAS dan penemuan teknik-teknik rehabilitasi hutan serta konservasi tanah dan air yang berdayaguna dan berhasilguna. Melihat permasalahan utamanya adalah masalah manusia dengan segala faktor-faktor antropogenik dan kelembagaan yang ada maka pendekatannya adalah eco-resources dengan pola manajemen kolaboratif dan adaptif serta kegiatan pembangunan ekonomi hijau. Saudara-saudara sekalian, Merangkum pemaparan saya di atas, beberapa agenda penelitian yang perlu diadopsi BPTKPDAS Solo dan dituangkan dalam Rencana Strategis tahun 2015-2019 adalah sebagai berikut: 1. Model pengaruh perubahan iklim dan tataruang terhadap daya dukung DAS; 2. Model pengaruh perubahan iklim dan penutupan lahan terhadap eco-hidrologi DAS; 3. Model pengaruh pengelolaan DAS dan konservasi Tanah dan Air terhadap biodiversitas dan serapan karbon; 4. Model koordinasi dan pengatasan konflik tataruang dalam unit DAS; xvi 5. Model pembangunan ekonomi hijau dan peningkatan akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan dalam unit DAS; 6. Penyusunan Norma, Standar, Pedoman dan Kriteria (NSPK) monitoring dan evaluasi serta kelembagaan pengelolaan DAS; 7. Sistem pengelolaan DAS pulau-pulau kecil dan perkotaan; 8. Strategi dan teknik rehabilitasi hutan dan lahan dengan pendekatan manajemen kolaboratif dan pemberian insentif pada unit DAS; 9. Penetapan imbal jasa lingkungan (PES), insentif dan disinsentif wilayah hilir ke hulu dalam unit DAS; 10. Strategi dan teknik mitigasi bencana ekologi berupa banjir, longsor, erosi, sedimentasi dan kekeringan dalam unit DAS; 11. Teknik efisiensi penggunaan air pada masyarakat dan virtual water pada berbagai sistem produksi pertanian pada unit DAS; 12. Teknik pengelolaan sumberdaya lahan dan air wilayah daratan dan reklamasi lahan bekas tambang secara kolaboratif; 13. Kajian sistem hidrooceanografi ekosistem mangrove dan hidrologi ekosistem hutan rawa gambut; 14. Penyiapan draf akademis Peraturan-Peraturan Menteri Kehutanan yang diamanatkan pada PP No.76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan dan PP 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. Keempatbelas topik penelitian tersebut masih relevan dengan tema dan subtema Roadmap Litbang Kehutanan 2010-2025 yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Di samping itu, BPTKPDAS Solo perlu mengakomodir usulan penelitian yang diajukan oleh pemerintah daerah dan kelompok masyarakat dalam bentuk Kajian Isu Aktual Kehutanan. Saya mengharapkan dalam merancang ke empatbelas penelitian tersebut harus didasarkan pada penelitian terpadu dan menyeluruh (integrated and holistic research) melalui pendekatan antar disiplin ilmu (inter-disciplinary research). Aspek-aspek ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan kebijakan diharapkan dapat diakomodasikan pada setiap kegiatan penelitian tersebut untuk mewujudkan penelitian integratif. Keempatbelas penelitian tersebut juga dapat dirancang xvii dalam format action research di mana para pengguna dilibatkan dalam keseluruhan proses penelitian, mulai dari perencanaan, pelaksanaan di lapangan, pemasyarakatan hasil penelitian sampai pengukuran dampak dan manfaat penelitian. Saudara-saudara sekalian, Akhir kata, harapan kami semoga seminar ini bermanfaat baik bagi BPTKPDAS Solo, maupun para pihak terkait dan para pengguna hasil litbang. Melalui seminar ini diharapkan terjalin koordinasi dan komunikasi yang baik di antara kita dalam menyikapi permasalahan pembangunan kehutanan pada umumnya dan permasalahan pengelolaan DAS pada khususnya. Di samping itu, kami mengharapkan berbagai masukan dari Saudara sekalian sebagai bahan formulasi kebijakan pimpinan terhadap pengelolaan DAS ke depan. Akhirnya, dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirochim, dengan ini “Seminar Hasil-hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS” kami nyatakan dibuka secara resmi. Terima kasih. Wassalamua’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. SOLO, 12 Juni 2013 Kepala Badan, Dr. Ir. Iman Santoso M.Sc. xviii RUMUSAN SEMINAR NASIONAL “Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS 2013” (12 Juni 2013) Memperhatikan laporan Kepala Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan, keynote speech Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, pemaparan 12 makalah yang dipresentasikan, proses diskusi dan saran-saran dari seluruh peserta seminar, dihasilkan beberapa rumusan sebagai berikut: 1. 2. 3. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan ekosistem alami yang utuh dari hulu hingga hilir beserta kekayaan sumber daya alam dan sumber daya buatan. Untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat di dalam DAS, maka sumber daya DAS perlu dikembangkan dan didayagunakan secara maksimal dan berkelanjutan melalui upaya pengelolaan DAS. Mengingat adanya berbagai kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya DAS, baik secara kewilayahan maupun sektoral, maka pengelolaan DAS perlu dilakukan secara terpadu dan didasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku dengan didukung oleh adanya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang memadai. Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan yuridis pengelolaan DAS adalah Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Namun demikian, masing-masing UU tersebut belum memiliki aturan pelaksanaan sebagai penjelasan rinci dari pasal-pasal yang terkait dengan DAS. Penjelasan terperinci dari pasal-pasal tentang DAS tersebut dituangkan ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. PP ini memberikan arahan yang lengkap dalam mengatur pengelolaan DAS terpadu dari hulu ke hilir secara utuh yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi (monev), serta pembinaan dan pengawasan pada setiap hierarki pemerintahan, baik untuk DAS dengan kondisi dipertahankan maupun dipulihkan daya dukungnya. Keterpaduan antar instansi/lembaga di dalam kegiatan pengelolaan DAS perlu diwujudkan melalui adanya suatu grand design pengelolaan DAS yang disebut Rencana Pengelolaan DAS Terpadu (RPDAST) yang disepakati bersama oleh seluruh stakeholders, sehingga dapat menjamin tidak terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest) dalam implementasinya. xix 4. 5. 6. 7. Dalam perencanaan pengelolaan DAS diharapkan dapat dipenuhi luas penutupan hutan minimal. Di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan adalah 30% dari luas DAS dengan sebaran yang proporsional. Hal ini mengingat respon hidrologi suatu DAS, baik kuantitas maupun kontinuitas aliran air, salah satunya dipengaruhi oleh luas penutupan hutan dalam DAS. Dalam hal ini, semakin luas penutupan hutan pada suatu DAS, maka respon hidrologinya semakin baik pula, misalnya debit aliran dasar pada musim kemarau, sebagaimana yang terjadi pada wilayah DAS dengan tutupan hutan pinus. Pada musim kemarau, tutupan hutan yang baik lebih berfungsi untuk memperlambat proses pengatusan air dari suatu wilayah DAS daripada meningkatkan debit aliran musim kemarau, sehingga kontinuitas aliran lebih terjaga. Namun demikian, perlu dipertimbangkan pula faktor geologi dan tanah dalam memahami karakteristik aliran dasar pada suatu wilayah DAS selain faktor tutupan lahannya. Pada musim hujan, intensitas hujan yang tinggi serta pola penutupan lahan yang kurang mendukung penyerapan air hujan ke dalam tanah menjadi faktor penyebab terjadinya banjir. Karakteristik banjir yang terjadi pada suatu wilayah DAS tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik hujan (tebal, durasi dan intensitas hujan), namun juga kondisi awal lengas tanah (antecedent soil moisture). Dalam hal ini, karakteristik hujan lebih berpengaruh pada debit puncak, sedangkan kondisi awal lengas tanah lebih memengaruhi waktu untuk menuju debit puncak. Teknologi penginderaan jauh (PJ) dan sistem informasi geografis (SIG) dapat dimanfaatkan dalam kegiatan perencanaan maupun monev pengelolaan DAS. Karakteristik data PJ (citra satelit) dengan cakupan yang luas dan waktu perekaman yang teratur memberikan nilai tambah untuk dimanfaatkan dalam kegiatan pengelolaan DAS. Beberapa parameter biofisik monev kondisi DAS pun dapat diturunkan dari data citra satelit, misalnya penutupan lahan dan kemiringan lahan (slope). Pemanfaatan citra satelit yang bebas diunduh (misalnya citra Quickbird dari Google Earth untuk klasifikasi penutupan lahan dan citra DEM ASTER untuk klasifikasi kemiringan lahan) dan dapat memberikan akurasi yang dapat diterima akan memberikan keuntungan dari segi biaya, waktu dan prosedur kerja. Teknologi PJ dan SIG dapat pula dimanfaatkan untuk membantu pengelolaan suatu taman nasional atau wilayah DAS, misalnya dalam mencegah atau mengatasi kebakaran hutan. Peta daerah rawan kebakaran hutan tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak pengelola dalam mengalokasikan sumber daya yang ada dalam penanganan kebakaran hutan. Dalam memetakan daerah rawan kebakaran hutan, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah tipe vegetasi (berdasarkan sifat kekeringannya), topografi (kemiringan lahan dan xx arah lereng), jarak dari jalan, dan jarak dari permukiman. Selain itu, perlu pula dipertimbangkan tipe model yang akan diterapkan (misalnya model statis atau dinamis) untuk menjawab permasalahan yang ada. 8. Dalam pengelolaan DAS Mikro, kelembagaan konservasi tanah dan air di tingkat desa mempunyai peran yang penting di dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS. Kelembagaan tersebut dapat dibangun melalui proses kerjasama antara kelompok tani dengan instansi/lembaga terkait seperti Dinas Pertanian dan Kehutanan melalui Petugas Penyuluh Pertanian (PPL) dan Perum Perhutani, sebagaimana yang dijumpai di Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Lembaga bersama ini berperan dalam merencanakan, melaksanakan serta memonitor dan mengevaluasi kegiatan konservasi tanah dan air untuk meningkatkan kesejahteraan bersama melalui pelestarian hutan, tanah dan air. 9. Dalam pemanfaatan data untuk penelitian (termasuk data PJ), perlu diperhatikan kualitas data tersebut untuk menjamin keakurasian dari penelitian yang dihasilkan. 10. Perlu adanya tindak lanjut penelitian dengan menambahkan komponen-komponen yang diteliti maupun memperbaiki metode penelitian yang dipakai, sehingga pada akhirnya hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan bermanfaat bagi praktisi lapangan. 11. Seminar hasil penelitian merupakan media komunikasi interaktif antara peneliti dan praktisi untuk menyampaikan/mendiseminasikan hasil-hasil penelitian dan pengembangan, mendapatkan umpan balik dari pengguna hasil penelitian dan menyinergikan hasil-hasil penelitian antar lembaga penelitian yang terkait. Dengan demikian, kegiatan seminar ini dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan baik peneliti maupun praktisi. Surakarta, 12 Juni 2013 Tim Perumus 1. Ir. Purwanto, M.Si 2. Dr. Nunung Pujinugroho, S.Hut, M.Sc 3. Agung Wahyu Nugroho, S.Hut, M.Sc xxi ASPEK HUKUM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI1 Oleh: AL. Sentot Sudarwanto2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ketua Divisi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PPLH LPPM UNS Jl. Ir. Sutami no.36 A Surakarta 57126 Telepon/Fax Telp, (0271) 646994 / 646655 Email: [email protected] ABSTRAK Pengelolaan DAS merupakan upaya yang sangat penting sebagai akibat terjadinya penurunan kualitas lingkungan DAS di Indonesia yang disebabkan oleh pengelolaan Sumber Daya Alam yang tidak ramah lingkungan dan meningkatnya potensi ego-sektoral dan ego-kewilayahan. Rencana pengelolaan DAS harus disusun secara terpadu dan disepakati oleh para pihak sebagai dasar dalam penyusunan rencana pembangunan sektor dan rencana pembangunan wilayah pada setiap provinsi dan kabupaten/kota. Kerjasama lintas sektor dan antarwilayah di dalam DAS Bengawan Solo sangat mendesak untuk segera dilakukan karena tingkat kerusakan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu perlu segera diwujudkan Strategi Implementasi PP No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS Kata Kunci: Pengelolaan DAS, Koordinasi, Kelembagaan 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan, pada tanggal 12 juni 2013. 1 I. PENDAHULUAN Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya dalam tulisan ini disingkat DAS yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia merupakan kesatuan ekosistem alami yang utuh dari hulu hingga hilir beserta kekayaan sumber daya alam dan sumber daya buatan. DAS perlu dikembangkan dan didayagunakan secara maksimal dan berkelanjutan melalui upaya pengelolaan DAS bagi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Pengelolaan DAS merupakan upaya yang sangat penting sebagai akibat terjadinya penurunan kualitas lingkungan DAS di Indonesia yang disebabkan oleh pengelolaan Sumber Daya Alam yang tidak ramah lingkungan dan meningkatnya potensi ego-sektoral dan egokewilayahan, karena pemanfaatan dan penggunaan sumber daya alam pada DAS melibatkan berbagai kepentingan sektor, wilayah administrasi, dan disiplin ilmu. Oleh karena itu pengelolaan DAS diselenggarakan melalui perencanaan, pelaksanaan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, pendanaan, monitoring dan evaluasi pembinaan dan pengawasan serta pendayagunaan sistem informasi pengelolaan DAS. Rencana pengelolaan DAS harus disusun secara terpadu dan disepakati oleh para pihak sebagai dasar dalam penyusunan rencana pembangunan sektor dan rencana pembangunan wilayah pada setiap provinsi dan kabupaten/kota. Untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan DAS yang baik dan terpadu maka perlu landasan hukum sebagai pedoman bagi sektor dan pemegang wilayah. II. PIJAKAN YURIDIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI Apabila dicermati, pijakan yuridis yang mengatur masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) ada 2 (dua) Undang-undang yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Di dalam UU No. 41 Tahun 1999 hanya terdapat 3 (tiga) Pasal 2 yang mengatur tentang Daerah Aliran Sungai yaitu Pasal 3 Huruf c, Pasal 17 Ayat 1, Pasal 18 Ayat 1 dan 2. Pasal 3 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan, penyelenggaran Kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: a. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. b. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari. c. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai. d. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan, sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahal eksternal. e. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pasal 17 Ayat (1): pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat: (a.) Provinsi (b.) Kabupaten/Kota (c. Unit Pengelolaan). Penjelasan dari Pasal 17 ayat (1) yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi adalah seluruh hutan di dalam wilayah provinsi yang dapat dikelola secara lestari. Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari. Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKM), Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat (KPHA), dan Kesatuan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KPDAS). 3 Pasal 18 Ayat (1): Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap Daerah Aliran Sungai dan/ pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Pasal 18 Ayat (2): luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang Menyinggung tentang Daerah Aliran Sungai, hanya terdapat 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 1 Point 11 tentang pengertian Daerah Aliran Sungai. Pengertian DAS menurut Undang-undang Sumber Daya Air adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Undang-undang tersebut di atas masing-masing belum memiliki aturan pelaksanaan sebagai penjelasan rinci dari pasal-pasal yang terkait dengan Daerah Aliran Sungai. Penjelesan secara terinci tentang pasalpasal yang terkait dengan Daerah Aliran Sungai barulah pada tanggal 1 Maret 2012 ketika Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Pemerintahan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Peraturan Pemerintah tersebut diharapkan akan menjadi mediator antara kementerian/lembaga dan antarwilayah administrasi agar dapat terselenggara pengelolaan daerah aliran sungai yang rasional dan berkelanjutan serta Peraturan Pemerintah ini menjadi salah satu acuan atau dasar dalam menyusun rencana pengelolaan DAS terpadu di seluruh wilayah Indonesia. Lebih lanjut di dalam Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 2012 Ayat (1) Peraturan Pemerintah ini mengatur Pengelolaan DAS dari hulu ke hilir 4 secara utuh, (2) Pengelolaan DAS secara utuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui tahapan: a. perencanaan; b. pelaksanaan; c. monitoring dan evaluasi; dan d. pembinaan dan pengawasan (3) pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang dan pola pengelolaan sumber daya air sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang penataan ruang dan sumber daya air. (4) dalam pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diselenggarakan secara terkoordinasi dengan melibatkan instansi terkait pada lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat. Dari Pasal 2 ayat (4) PP Nomor 37 Tahun 2012 tersebut yang dimaksud dengan ’instansi terkait’ antara lain kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya air serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Mencermati pengaturan Pasal 2 PP Nomor 37 tahun 2012 tersebut di atas telah menerapkan teori sociological jurisprudence dari Roscoe Pound yang menyebutkan bahwa ilmu hukum yang menggunakan pendekatan sosiologis, juga ditujukan untuk memberi kemampuan bagi institusi hukum untuk secara lebih menyeluruh dan cerdas mempertimbangkan fakta sosial yang di situ hukum tersebut berproses dan diaplikasikan. 2 Teori Roscoe Pound mengenai kepentingan-kepentingan sosial merupakan sebuah usaha yang lebih explisit untuk mengembangkan suatu model hukum responsif. Dalam perspektif ini, hukum yang baik seharusnya menawarkan suatu yang lebih dari keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil; hukum semacam ini seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substansial.3 2 Phillippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 83. 3 Ibid, hlm. 83-84. 5 Hukum yang mampu merespon kehidupan sosial yang sangat kompleks hanya bisa terwujud jika telah sampai pada tahap hukum otonom sebagaimana dikatakan Philippe Nonet dan Philip Selznick, yaitu pada suatu bangsa itu sudah dapat memberikan tempat pada hukumnya dan tidak lagi menjadi sekedar penggunaan kekuasaan oleh penguasa. Disebabkan oleh status otonominya itu hukum dapat juga berkembang menjadi suatu kekuasan yang absolut demi hukum dan membelakangi konteks sosialnya. Tahap berikutnya adalah munculnya hukum yang lebih peka terhadap masyarakatnya yang disebut hukum responsif.4 Phlippe Nonet dan Philip Selznick melalui hukum responsif, menempatkan hukum sebagi sarana respons terhadap ketentuanketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik.5 Keberadaan teori hukum progresif sangat cocok dalam membantu memecahkan persoalan-persoalan pengelolaan DAS pada umumnya dan DAS Bengawan Solo pada khususnya. Mengingat karakter utama hukum progresif adalah mampu merespon kebutuhan, kepentingan dan penderitaan masyarakat, dan melihat fakta bahwa 75% wilayah DAS Bengawan Solo adalah lahan milik masyarakat maka perlindungan kepentingan masyarakat harus diakomodir. Dengan hukum yang selalu berprogress sesuai dengan kondisi empiris di DAS Bengawan Solo, maka perlindungan dan pengelolaan DAS Bengawan Solo dapat terwujud. Dengan hukum progresif peraturan perundangan yang telah ditetapkan dan khususnya Peraturan Daerah yang akan dihasikan memiliki spirit mengakomodasi kepentingan masyarakat. Alasannya, posisi Peraturan Daerah (Perda) itu lebih dekat dengan masyarakat 4 Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum Nasional dan Perubahan Sosial”, Identitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1997, hlm. 3. 5 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 170. 6 karena akan menjawab permasalahan masyarakat di wilayah Peraturan Daerah tersebut dibuat. Di dalam Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 2012 disebutkan Peraturan Pemerintah ini ditujukan untuk mengkoordinasikan, mengintegrasikan, mensinkronisasikan, dan mensinergikan Pengelolaan DAS dalam rangka meningkatkan daya dukung DAS. Sesuai dengan isi Pasal 3 tersebut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 diharapkan sebagai pengikat antar kementerian atau lembaga dan antar wilayah administrasi agar terselenggara pengelolaan DAS yang rasional dan berkelanjutan. Pasal 22 PP Nomor 37 Tahun 2012 menyebutkan Ayat (1) berdasarkan penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,6 dilakukan penyusunan Rencana Pengelolaan DAS. Ayat (2) Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS dilakukan oleh: a. Menteri untuk DAS lintas negara dan DAS lintas provinsi; b. Gubernur sesuai kewenangannya untuk DAS dalam provinsi dan/atau lintas kabupaten/kota; c. Bupati/walikota sesuai kewenangannya untuk DAS dalam kabupaten/kota; Ayat (3) Dalam menyusun Rencana Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya dapat membentuk tim dengan melibatkan instansi terkait. Berdasarkan Pasal 22 tersebut menurut penulis untuk dapat terlaksananya pengelolaan DAS secara terpadu, maka rencana pengelolaan DAS harus dibuat oleh pemerintah atau pemerintah daerah di setiap tingkatan dengan memperhatikan dan melibatkan 6 Pasal 12 PP Nomor 37 Tahun 2012 Ayat (1) Berdasarkan hasil proses penetapan batas DAS yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dilakukan penyusunan Klasifikasi DAS; Ayat (2) Penyusunan Klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan untuk menentukan: a. DAS yang dipulihkan; dan b. DAS yang dipertahankan, daya dukungnya; Ayat (3) Penentuan Klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan kriteria: a. Kondisi lahan; b. Kualitas, kuantitas dan kontinuitas air; c. Sosial ekonomi; d. Investasi bagunan air; dan e. Pemanfaatan ruang wilayah. 7 peran serta masyarakat baik perorangan/pribadi maupun forum koordinasi pengelolaan DAS 7 dan dilaksanakan oleh pemerintah bersama dengan masyarakat. Pelaksanaan Pengelolaan DAS telah diatur dalam Pasal 38 PP Nomor 37 tahun 2012 disebutkan kegiatan Pengelolaan DAS dilaksanakan berdasarkan Rencana Pengelolaan DAS yang telah ditetapkan dan menjadi acuan rencana pembangunan sektor dan rencana pembangunan wilayah administrasi sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 35 Ayat (3). Pasal 39 disebutkan kegiatan Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dilaksanakan pada: a. DAS yang akan dipulihkan daya dukungnya; dan b. DAS yang akan dipertahankan daya dukungnya Menurut penulis Pengelolaan DAS Bengawan Solo berdasarkan Pasal 39 PP Nomor 37 Tahun 2012 termasuk pada kriteria Pengelolaan DAS yang akan dipulihkan daya dukungnya karena dewasa ini kondisi empiris DAS Bengawan Solo termasuk salah satu DAS kritis di Indonesia. Berdasarkan Pasal 40 Ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 2012, kegiatan pengelolaan DAS yang akan dipulihkan daya dukungnya sebagaimana dimaksud Pasal 39 huruf a, meliputi: a. optimalisasi penggunaan lahan, sesuai dengan fungsi dan daya dukung wilayah; 7 Forum Koordinasi Pengelolaan DAS menurut Pasal 1 Butir 8 PP Nomor 37 Tahun 2012 adalah wahana koordinasi antarinstansi penyelenggara pengelola DAS. Forum ini bertugas membantu dalam mendukung keterpaduan penyelenggaraan pengelolaan DAS. Berdasar Pasal 58 Forum Koordinasi Pengelolaan DAS mempunyai fungsi untuk: (a) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat terkait pengelolaan DAS; (b) memberikan sumbangan pemikiran dalam pengelolaan DAS; dan (c) menumbuh dan mengembangkan peran pengawasa masyarakat dalam pengelolaan DAS. Menurut rumusan hasil RAKERNAS Pengelolaan DAS Tahun 2012 (23 Mei 2012), Forum Koordinasi Pengelolaan DAS harus bersifat non-struktural, independen, berbasis komitmen bersama, bebas ego sektor, profesional dan nirlaba, mendukung program dan kebijakan pemerintah serta beranggotakan lembaga pemerintah dan non-pemerintah 8 b. penerapan teknik konservasi tanah dan air dilakukan dalam rangka pemeliharaan kelangsungan daerah tangkapan air, menjaga kualitas, kuantitas, kontinutitas dan distribusi air; c. Pengelolaan vegetasi dilakukan dalam rangka pelestarian keanekaragaman hayati, peningkatan produktivitas lahan, restorasi ekosistem, rehabilitasi dan reklamasi lahan; d. Peningkatan kepedulian dan peran serta instansi terkait dalam pengelolaan DAS; dan/atau e. Pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS untuk meningkatkan koordinasi, integrasi, dan sinergi lintas sektor dan wilayah administrasi. Ayat (2) Pelaksanaan kegiatan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai persyaratan teknis masing-masing kegiatan. Setelah pelaksanaan pengelolaan DAS, maka tahapan berikutnya yang harus dilakukan adalah monitoring dan evaluasi. Berdasarkan Pasal 50 PP Nomor 37 Tahun 2012 disebutkan Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS sesuai dengan kewenangannya. Untuk lebih lanjut mengenai tata cara monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS akan diatur dengan peraturan menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 51. Dalam penjelasan Pasal 51 PP Nomor 37 Tahun 2012 yang dimaksud dengan menteri adalah Menteri Kehutanan. Sedangkan yang dimaksud dengan ”menteri terkait” antara lain menteri yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Pekerjaan Umum, Dalam Negeri dan Lingkungan Hidup. Pembinaan dan pengawasan Pengelolaan DAS dilakukan oleh menteri dan menteri terkait sesuai kewenangannya, gubernur dan bupati/walikota sesuai kewenangannya sebagaimana telah diatur dalam Pasal 52 Ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 2012. Sedangkan pengawasan diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) disebutkan pengawasan bertujuan untuk mewujudkan efektivitas dan kesesuaian pelaksanaan pengelolaan DAS dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) menteri, gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya 9 melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS. Di dalam Pasal 56 PP Nomor 37 Tahun 2012 disebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan kegiatan pengelolaan DAS diatur dengan Peraturan menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait. Yang dimaksud dengan menteri terkait menurut penjelasan antara lain menteri yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Pekerjaan Umum, Dalam Negeri, dan Lingkungan Hidup. Mengenai peran serta dan pemberdayaan masyarakat telah diatur di dalam Pasal 57 Ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 2012 disebutkan masyarakat dapat berperan serta dalam pengelolaan DAS; Ayat (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik perorangan maupun melalui forum koordinasi pengelolaan DAS. Menurut penulis istilah masyarakat ”dapat” berperan serta dalam pengelolaan DAS memiliki interpretasi tidak tegas karena penggunaan kata ’dapat’ dalam pasal tersebut dapat memiliki arti ’bisa dilakukan’ maupun ’tidak dilakukan’ oleh masyarakat, yang dalam hal ini adalah masyarakat DAS. Penggunaan kata ’masyarakat dapat’ tersebut menurut penulis akan lebih tegas dan tepat apabila menggunakan kata ’masyarakat berkewajiban’. Alasan pemilihan kata ’berkewajiban’ dalam konteks ini didasarkan pada Penjelasan umum PP Nomor 37 Tahun 2012 bahwa tujuan pengelolaan DAS untuk mewujudkan kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif instansi terkait dan masyarakat dalam pengelolaan DAS yang lebih baik. Selain dasar di atas hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat selalu berinteraksi langsung terhadap DAS dalam pemenuhan kehidupannya. Pemberdayaan masyarakat juga telah diatur dalam Pasal 61 PP Nomor 37 Tahun 2012. Disebutkan pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas, kepedulian dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan DAS. Mengenai sistem informasi pengelolaan DAS telah diatur di dalam Pasal 64 Ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 2012 disebutkan untuk mendukung penyelenggaran pengelolaan DAS dibangun Sistem 10 Informasi Pengelolaan DAS di setiap provinsi. Ayat (2) Sistem informasi Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibangun dan dikelola8 oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan DAS dengan mengikutsertakan instansi terkait. Menurut Pasal 66 Ayat (3) PP Nomor 37 Tahun 2012, Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan dan pengelolaan sistem informasi pengelolaan DAS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait.9 Berkaitan dengan amanat PP Nomor 37 Tahun 2012 tentang segera dibuat Peraturan menteri, maka penulis telah menginventarisasi 9 (sembilan) peraturan menteri yang harus dibuat sebagai peraturan pelaksanaan yang lebih operasional. Peraturan Menteri yang dimaksud di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2012 adalah Menteri Kehutanan setelah berkoordinasi dengan menteri terkait (masalah Daerah Aliran Sungai). Di samping itu, ada satu amanat untuk membuat Keputusan Presiden tentang Klasifikasi Daerah Aliran Sungai. Setelah mencermati isi Pasal demi Pasal yang diatur dalam PP Nomor 37 Tahun 2012, maka penulis dapat merangkum bahwa sesuai dengan pengertian DAS sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 PP. Nomor 37 Tahun 2012, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Oleh karena itu, DAS tidak bisa dimaknai dan dikelola secara terkotakkotak sesuai dengan kewenangan wilayah administratif, tetapi 8 Yang dimaksud dengan ’dibangun dan dikelola’ berdasarkan Penjelasan Pasal 64 Ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 2012 yaitu menghimpun data dan informasi dari berbagai pihak untuk dirumuskan ke dalam Sistem Informasi Pengelolaan DAS dan selanjutnya dikelola sebagai pusat informasi pengelolaan DAS. 9 Yang dimaksud dengan ’menteri terkait’ dalam penjelasan Pasal 66 Ayat (3) PP Nomor 37 tahun 2012 antara lain Menteri yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Pekerjaan Umum, Dalam Negeri, dan Lingkungan Hidup. 11 merupakan kesatuan utuh dari hulu sampai dengan hilir dengan prinsip ekoregion karena menurut Pasal 1 angka 29 UUPPLH-2009, yang dimaksud dengan ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Dengan melihat prinsip ekoregion, pengelolaan lingkungan hidup tidak bisa dibatasi secara ketat oleh pendekatan administratif wilayah, karena memiliki ciri-ciri ekologis yang melampaui batas-batas wilayah administrasi tersebut (beyond the administrative boundary).10 Di dalam peraturan pemerintah tersebut dijelaskan Daerah Aliran Sungai yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, merupakan kesatuan ekosistem alami yang utuh dari hulu hingga hilir beserta kekayaan sumber daya alam dan sumber daya buatan. DAS wajib dikembangkan dan didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan melalui upaya pengelolaan DAS bagi sebesar-besarnya kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Tujuan pengelolaan DAS untuk mewujudkan kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif instansi terkait dan masyarakat DAS, mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan DAS secara berkelanjutan, mewujudkan kuantitas, kualitas dan keberlanjutan ketersediaan air yang optimal menurut ruang dan waktu serta mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan DAS merupakan upaya yang sangat penting sebagai akibat penurunan kualitas lingkungan DAS di Indonesia yang diakibatkan pengelolaan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan dan meningkatnya ego-sektoral dan ego-kewilayahan akibat kewenangan yang dimiliki secara otonomi oleh masing-masing daerah kabupaten/kota. Konsepsi pengelolaan DAS di dalam PP Nomor 37 Tahun 2012 adalah pendekatan sistem yang terencana, proses manajemen dan keterkaitan aktivitas antarsektor, antarwilayah administrasi dan masyarakat secara terpadu serta penanganannya dilakukan secara utuh mulai dari hulu sampai hilir. Menurut penulis 10 Sudharto P. Hadi, Dimensi Lingkungan Perencanaa Pembangunan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 117. 12 konsepsi pengelolaan DAS tersebut sudah mewujudkan upaya keterpaduan antara stakeholder yang terkait dengan pengelolaan DAS sebagai dasar penyusunan rencana pembangunan antar sektor dan rencana pembangunan wilayah pada setiap daerah provinsi dan kabupaten/kota. Untuk mengelola DAS Bengawan Solo strategi kebijakan yang harus dilakukan perlu adanya penyesuaian regulasi yang mendukung pengelolaan DAS secara utuh, karena mempunyai areal lintas wilayah administrasi provinsi dan penggunaan lintas institusi. Sehingga dengan berlakunya Peraturan Pemerintah yang baru yaitu PP Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, maka perlu adanya sosialisasi PP Nomor 37 Tahun 2012 ke semua Kementerian dan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk mempersiapkan penyusunan peraturan pelaksanaan yang berupa Peraturan Daerah yang bersifat mengatur dan mengikat semua instansi atau lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat untuk melakukan pengelolaan DAS yang bersifat integratif pada kawasan DAS. Keberadaan produk Peraturan Daerah (Perda) harus selaras dengan produk hukum nasional, sehingga produk hukum daerah yang dihasilkan adalah jawaban terhadap kebutuhan masyarakat. Moh. Mahfud MD menyebutnya produk hukum yang berkarakter responsif populistik. Produk hukum yang berkarakter responsif populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya, produk hukum tersebut memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompokkelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat.11 Produk hukum yang berkarakter responsif pernah diungkapkan oleh Thomas Aquinas yang dalam definisinya mengungkapkan bahwa hukum adalah tatanan rasio yang berfungsi menegakkan kebaikan 11 Moch. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hlm. 25. 13 bersama yang dibuat dan diumumkan secara resmi oleh orang yang memiliki kepedulian pada komunitas.12 Lebih lanjut dikatakan, hukum hanya layak dipatuhi karena membela kepentingan masyarakat. Tuntutan ini secara eksplisit ditegaskan Aquinas, tetapi juga secara implisit dikatakan dalam frase ’orang yang memiliki kepedulian pada komunitas’. Dari definisi di atas, artinya pemerintah menjadi pemerintah dan karenanya berhak membuat hukum negara dan bahkan berhak memaksakannya, karena pemerintah pada esensinya hadir dan berada demi kepentingan rakyat.13 Dengan mencermati fakta di atas, maka menurut penulis penting untuk memadukan prinsip ekoregion ke dalam penyusunan rencana pengelolaan DAS secara kewenangan wilayah administratif, sebagaimana disampaikan oleh Ketua Pusat Pengelolaan Ekoregion Jawa (PPEJ) bahwa sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ada kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah (Provinsi, Kabupaten/kota) untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup. Harapan ketua PPEJ dengan pembagian kewenangan yang diamanatkan, maka peran pemerintah daerah (provinsi, Kabupaten/Kota) harus optima. Supaya optimal harus punya program yang terukur. Di samping itu, Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana amanat UUPPLH harus mengalokasikan dana untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup karena urusan lingkungan hidup merupakan urusan wajib sebagaimana mandat Undang-undang Pemerintah Daerah.14 III. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS BENGAWAN SOLO TERPADU Pengelolaan DAS tidak terlepas dari banyak pihak seperti pembuat peraturan (regulator), pengelola (operator), pengembang (developer) 12 Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum; Membangun Hukum, Membela Keadilan, Kanisius, Yogyakarta, 2009, hlm. 54. 13 Ibid., hlm. 55. 14 Wawancara pribadi dengan Barlin, S.H.,MS. – Ketua PPEJ pada tanggal 20 Juli 2011 di Kusuma Sahid Prince Hotel Jalan Sugiyopranoto Surakarta. 14 dan pengguna atau pengambil manfaat (user), sehingga kegiatan yang dilakukan cenderung menjadi kompleks dan tumpang tindih. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut diperlukan upaya bersama dengan menerapkan pendekatan one river, one plan, and multi management sehingga keterpaduan dalam fungsi management yang berlaku umum seperti fungsi perencanaan (planning), fungsi pengorganisasian (organizing), fungsi pelaksanaan (operating), fungsi koordinasi (coordinating) dan fungsi pengendalian (controlling) dapat terwujud. 15 Mengkaji permasalah kelembagaan pengelolaan DAS Bengawan Solo, penulis merekonstruksi eksisting kelembagaan pengelolaan DAS Bengawan Solo sebagai solusi akan permasalah kelembagaan yang ada. Model Kelembagaan Terpadu Pengelolaan DAS Bengawan Solo (Integrated Institutional Model of Bengawan Solo Rivershed Management) atau yang penulis namakan IIN MO NGASO, diarahkan pada sistem One River, One Plan and Multi Management dengan menggunakan pendekatan kolaborasi kelembagaan antara lembaga formal dan lembaga non-formal dengan menitikberatkan pada peran serta masyarakat DAS Bengawan Solo. Kelembagaan pengelolaan DAS Bengawan Solo akan dikoordinir oleh Pusat Pengelolaan Ekoregion Jawa (PPEJ) Kementerian Lingkungan Hidup yang memiliki kompetensi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di wilayah Pulau Jawa yang merupakan tugas, pokok dan fungsi dari Pusat Pengelolaan Ekoregion Jawa berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara serta Peraturan Menteri negara Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup. Sedangkan untuk mengakomodir keterlibatan masyarakat DAS Bengawan Solo dalam membuat perencanaan umum (grand design), akan difasilitasi dan disalurkan melalui Forum Peduli DAS Solo untuk kemudian diteruskan kepada koordinator. 15 Mohammad Bisri, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 2009, Hal. 30. 15 IV. PENUTUP Kerjasama lintas sektor dan antar wilayah di dalam DAS Bengawan Solo sangat mendesak untuk segera dilakukan karena tingkat kerusakan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu perlu segera diwujudkan Strategi Implementasi PP No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS yang terdiri dari: 1. 2. 3. Rencana Pengelolaan DAS Bengawan Solo Terpadu (RPDAST) yang merupakan panduan di dalam pengelolaan DAS Bengawan Solo. Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu oleh masing-masing Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) sebagai pengikat sektor dan kewilayahan di suatu daerah. Sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS oleh BPDAS Solo Bekerjasama dengan perguruan tinggi setempat kepada seluruh stakeholders yang terkait dengan Pengelolaan DAS. DAFTAR RUJUKAN Ata Ujan, Andrea. 2009 Filsafat Hukum; Membangun Hukum, Membela Keadilan. Kanisius, Yogyakarta. Bisri, Mohammad. 2009. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Malang : CV Asrori. Hadi, Sudharto. P. 2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Mahfud MD, Moch. 2010. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : Rajawali Press Nonet, Phillipe and Phillip Selznick. 2007. Hukum Responsif. Bandung : Nusa Media. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Rahardjo, Satjipto. 1997. Pembangunan Hukum Nasional dan Perubahan Sosial, Identitas Hukum Nasional, Yogyakarta : Fakultas Hukum Univ. Islam Indonesia. 16 Tanya, Bernard L. Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage. 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Surabaya : Genta Publishing. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang- undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 17 HUBUNGAN ANTARA LUAS HUTAN PINUS DAN ALIRAN DASAR DI SUB DAS KEDUNG BULUS, KEBUMEN1 Oleh : Irfan Budi Pramono2* dan Wahyu Wisnu Wijaya2 2 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected] *E-mail: [email protected] ABSTRAK Variasi luas penutupan hutan pinus dalam suatu DAS akan menghasilkan respon hidrologi yang berbeda sehingga mempengaruhi kuantitas dan kontinuitas aliran. Aliran dasar merupakan salah satu komponen penting sebagai indikator kontinuitas aliran pada saat musim kering. Penelitian dilakukan untuk mengetahui hasil air musim kemarau atau aliran dasar berdasarkan variasi luas hutan pinus dalam Sub DAS Kedung Bulus, Kebumen. Aliran dasar dihitung melalui pengukuran langsung dan untuk mengetahui hubungannya dengan luas hutan didasarkan pada trend analisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase penutupan hutan pinus dalam suatu sub DAS maka debit musim kemaraunya makin besar. Selama musim kemarau, % luas hutan dalam suatu Sub DAS memberikan pengaruh sebesar 66,8 %, sehingga 33,2 % dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor geologi memegang peranan penting dalam menghasilkan aliran dasar. Kata kunci : variasi luas, hutan pinus, aliran dasar, debit musim kemarau 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan, pada tanggal 12 juni 2013. 18 I. PENDAHULUAN Keberadaan hutan dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan. Salah satu manfaat dari hutan yakni sebagai pengatur tata air (fungsi hidrologi). Tata air merupakan fenomena yang menggambarkan proses perolehan, kehilangan, dan penyimpanan air tanah dalam kondisi alami (Pudjiharta, 2008). Dalam siklus hidrologi, hutan berperan sebagai penahan air hujan untuk kemudian disimpan dan didistribusikan secara berkesinambungan sepanjang waktu. Hutan sebagai kesatuan dari tanah, akar, dan serasah berfungsi sebagai spon (sponge) yang menyimpan air selama musim penghujan dan mengeluarkannya selama musim kemarau (Bruijnzeel, 1990). Selain itu, keberadaan tajuk hutan dapat mengurangi laju air hujan menuju lantai hutan, yang berpengaruh pada semakin sedikitnya air hujan yang lolos menjadi aliran permukaan, sehingga air hujan yang masuk dapat tersimpan lebih lama. Adanya hutan dalam suatu DAS merupakan salah satu solusi dari permasalahan sumberdaya air yang banyak muncul dan dirasakan selama ini terutama yang berkaitan dengan waktu dan penyebaran aliran air (Asdak, 1995). DAS yang tidak berhutan mempunyai kemampuan yang kurang optimal dalam menyimpan air pada musim penghujan, sehingga masukan air dari hujan pada daerah hulu suatu DAS sebagian menjadi aliran permukaan. Menurut Hewlett dan Nutter dalam Pudjiharta (2008), daerah hulu yang tertutup hutan dengan baik maka 80-85 % total aliran yang dihasilkan berasal dari aliran dasar dan selebihnya berasal dari aliran langsung. Aliran langsung merupakan jumlah aliran air dari air hujan di atas permukaan ditambah aliran dari air hujan yang terjadi di sungai. Sedangkan aliran dasar adalah aliran yang berasal dari air tanah (groundwater outflow). Aliran dasar dan aliran langsung menggambarkan respon hidrologi dari DAS dalam memproses air hujan yang masuk. Disamping itu, aliran dasar merupakan salah satu komponen penting sebagai indikator kontinuitas aliran, karena pada saat musim kering aliran sungai hanya terdiri atas aliran dasar. 19 Pengetahuan mengenai besarnya aliran dasar sangat penting untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya air terutama pada saat musim kemarau. Informasi ini dapat digunakan, misalnya untuk memperkirakan sumber daya air yang tersedia, mengetahui tingkat abstraksi air dari sungai, dan kebutuhan air lingkungan (Mazvimavi et al., 2004). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa besarnya aliran dasar dipengaruhi oleh faktor geologi dari DAS (Institute of Hydrology, 1980). Kemudian Lacey dan Grayson (1998) menyatakan bahwa ukuran DAS, kemiringan dan kerapatan drainase berpengaruh terhadap besarnya aliran dasar. Sedangkan Mazvimavi et al. (2004) menyatakan bahwa aliran dasar dipengaruhi oleh besarnya rata-rata hujan tahunan, rata-rata evapotranspirasi tahunan, kelerengan DAS, kerapatan drainase, perbedaan struktur batuan, dan perbedaan jenis penutupan lahan. Suatu DAS dengan jenis penutupan hutan yang berbeda akan menghasilkan respon hidrologi yang berbeda dan mempengaruhi kuantitas dan kontinuitas aliran. Sebagaimana diketahui bahwa hutan pinus salah satu jenis hutan berdaun jarum, merupakan luasan hutan terbesar kedua yang terdapat di Pulau Jawa setelah hutan jati (Perhutani dalam Pramono dan Adi, 2006). Hutan pinus diduga menggunakan air lebih banyak dibandingkan dengan jenis tanaman hutan lainnya. Hasil penelitian Coster (1938), Dumairi (1992), dan Asdak (1995) memperkirakan kebutuhan air pada penggunaan lahan untuk hutan daun jarum sebesar 1.250 mm/tahun dan hutan daun lebar sebesar 1.000 mm/tahun. Masyarakat di beberapa daerah yang terdapat hutan pinus seperti di Banyumas, Purworejo dan Tegal, juga berpendapat sama yakni mengeluhkan kekurangan air terutama karena keberadaan hutan pinus. Berdasarkan hal tersebut di atas, keberagaman luasan hutan pinus dalam suatu DAS diduga mempengaruhi aliran yang terjadi. Untuk mengetahui seberapa jauh hutan pinus mempengaruhi ketersediaan air pada musim kemarau maka dilakukan pengukuran debit musim kemarau yang keluar dari berbagai luas hutan pinus dalam suatu DAS. Penelitian ini bertujuan mengetahui hasil air musim kemarau atau 20 aliran dasar (baseflow) dari berbagai variasi luas hutan pinus dalam Sub DAS Kedung Bulus, Kebumen. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Sub DAS Kedung Bulus yang secara administratif termasuk wilayah Desa Somagede, Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Wilayah Sub DAS Kedung Bulus sebagian besar didominasi oleh penutupan lahan berupa hutan pinus yang merupakan kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani RPH Somagede, BKPH Karanganyar, KPH Kedu Selatan Unit I Jawa Tengah. Penelitian dilakukan pada tahun 2012 khususnya pada musim kemarau. Pengukuran debit musim kemarau dimulai pada bulan Juli sampai Agustus, karena hujan terakhir terjadi pada bulan Mei dan bulan September beberapa Sub DAS sudah tidak ada alirannya lagi. B. Bahan dan Alat Bahan dan peralatan yang digunakan yaitu stasiun pengamat arus sungai (SPAS), alat pengukur debit kecil seperti gelas ukur, stop watch, citra dan peta dasar untuk melihat variasi penutupan luas hutan pinus dari 13 % sampai 95 %. C. Metode Penelitian Metode yang dilakukan adalah pendekatan dengan Sub DAS. Sub DAS yang dipilih adalah Sub DAS Kedung Bulus. Sub DAS ini terdiri dari subsub DAS Silengkong, Watujali, Tapak Gajah, Pasuruhan, Kedung Pane, Kali Poh, Lowereng, dan sub-sub DAS Kali Kemit. Sub-sub DAS tersebut mempunyai luas hutan pinus yang bervariasi mulai dari 13 % sampai dengan 95 % dari luas DAS. Pengukuran debit sungai dilakukan secara langsung dengan menggunakan peralatan berupa gelas ukur 1000 ml dan stop watch. Debit musim kemarau ditampung ke dalam gelas ukur kemudian dicatat waktunya serta volume air yang tertampung. Pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali kemudian dihitung 21 rata-ratanya sehingga akan diperoleh debit aliran dalam satuan liter/detik. Pengukuran debit dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2012 karena pada bulan-bulan tersebut sudah tidak terjadi hujan sehingga debit yang dihasilkan betul-betul merupakan aliran dasar (baseflow). Hasil pengukuran debit disandingkan dengan luas hutan pinus yang diperoleh dari peta penutupan lahan untuk kemudian dilakukan trend analisis. Pengukuran luas hutan dinyatakan dalam satuan km2 sehingga debit kemarau yang digunakan dalam analisis merupakan debit dalam satuan liter/detik/km2. D. Profil Lokasi Penelitian Hutan di lokasi penelitian didominasi oleh hutan pinus. Tanaman jati hanya ditanam di batas-batas kepemilikan lahan di areal milik rakyat. Di areal penelitian ini telah dipasang SPAS (Stasiun Pengukur Arus Sungai) di 7 Sub DAS, yaitu Sub DAS Silengkong, Watujali, Tapak Gajah, Pasuruan, Kedung Pane, Kali Poh, dan Sub DAS Lowereng. Sebetulnya masih ada dua Sub DAS lagi di bawah SPAS Lowereng yaitu SPAS Kali Kemit dan Kedung Bulus. Namun di SPAS Kali Kemit dan Kedung Bulus sudah tidak ada alirannya lagi. Gambar 1. Aliran Sub DAS Kedung Bulus Di areal penelitian, luas penutupan hutan bervariasi dari 13 % sampai 95 % dari luas DAS. Prosentase luas hutan dikurangi dengan menambah luas DAS, namun sampai SPAS Kedung Bulus, luas DAS tidak bisa ditambah lagi karena aliran sungai sudah dibendung dan dialirkan keluar sub DAS untuk irigasi. Prosentase penutupan lahan di Sub DAS Kedung Bulus dapat dilihat pada Tabel 1. 22 Tabel 1. Penutupan lahan di setiap Sub DAS Kedung Bulus Sub DAS Silengkong Watujali Tapak Gajah Pasuruan Kedung Pane Kali Poh Lowereng Kali Kemit Kedung Bulus Luas (km2) 1,17 1,03 0,55 0,80 3,11 0,45 11,61 22,75 37,95 Hutan (%) 52 49 13 20 31 95 33 37 35 Kebun (%) 23 28 25 33 30 0 23 24 29 Tegal (%) 25 23 58 44 37 5 32 18 24 Sawah (%) 0 0 1 2 1 0 10 8 5 Pemukiman (%) 0 0 3 2 2 0 1 12 8 Penutupan lahan di Sub DAS Kedung Bulus terdiri dari beberapa kelas penutupan yakni hutan, kebun, tegal, sawah, dan permukiman. Kelas penutupan hutan merupakan kelas penutupan dominan dengan tipe vegetasi pinus. Penutupan lahan lainnya adalah kebun dan tegal. Perincian dan penyebaran penutupan lahan dapat dilihat pada pada Gambar 2. Gambar 2. Peta penutupan lahan Sub DAS Kedung Bulus 23 III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hujan Bulanan Hujan merupakan sumber dari semua air yang mengalir di sungai dan tempat penampungan lain, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Jumlah dan variasi debit sungai tergantung pada tebal hujan, intensitas hujan, dan lama hujan serta distribusi dari curah hujan (Hadisusanto, 2010). Pada saat musim penghujan, karakteristik hujan tersebut cenderung besar sehingga menghasilkan aliran permukaan (debit) yang tinggi. Namun pada saat musim kemarau, debit sungai cenderung kecil bahkan bisa nol karena tidak ada aliran sama sekali. Salah satu indikator musim kemarau ditunjukkan oleh kejadian hujan yang terjadi pada suatu daerah. Dari pencatatan data hujan pada stasiun klimatologi silengkong di Sempor menunjukkan bahwa, musim kemarau di Sempor mulai pada bulan Juni sampai bulan September seperti yang terlihat pada Gambar 3. Dari Gambar 3 terlihat bahwa mulai bulan Juni sampai September tidak terjadi hujan. Walaupun bulan Agustus menunjukkan ada hujan sebesar 3 mm, namun pengaruh hujan tersebut tidak sampai menimbulkan aliran, curah hujan tersebut hanya sedikit membasahi tanah yang sudah kering karena dua bulan sebelumnya tidak turun hujan. 1000 Curah Hujan (mm) 800 600 400 200 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan Gambar 3. Curah Hujan Bulanan tahun 2012 di Silengkong 24 Besarnya curah hujan pada suatu DAS mempengaruhi aliran dasar yang dihasilkan. Di lokasi penelitian, musim kemarau yang terjadi pada bulan Juni sampai dengan September 2012 dijadikan sebagai periode pengukuran aliran dasar. Pada saat musim kemarau diasumsikan bahwa tidak ada hujan yang jatuh pada suatu DAS sehingga aliran yang ada merupakan aliran dasar yang akan diukur untuk mengetahui kondisi hidrologi DAS pada saat itu. Pengukuran aliran dasar ini dapat digunakan sebagai indikator ketersediaan air DAS karena pada saat musim kemarau, variabel hujan sangat berpengaruh terhadap kurangnya pasokan air di DAS tersebut. Hal ini dikemukakan oleh Mazvimavi et al. (2004) bahwa, indeks aliran dasar mempunyai hubungan yang positif dengan hujan tahunan yakni ditunjukkan dengan besarnya koefisien korelasi (r) sebesar 0,71. Nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,71 menurut Sarwono (2006) dapat di interpretasikan bahwa terdapat hubungan korelasi yang kuat antara indeks aliran dasar dan hujan tahunan. Yamin dan Kurniawan (2009), bahkan menyebut bahwa nilai 0,71 menggambarkan hubungan yang sangat kuat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa apabila curah hujan naik maka akan cenderung menaikkan aliran dasarnya dan apabila curah hujan turun maka akan cenderung menurunkan aliran dasarnya sehingga pengukuran aliran dasar pada musim kemarau merupakan representasi kondisi hidrologis DAS pada saat itu. Hal ini sangat berguna bagi pengelola untuk mengetahui ketersediaan air pada suatu DAS. B. Debit aliran dasar (debit musim kemarau) Pengukuran debit aliran dasar pada saat musim kemarau berbeda dengan pengukuran pada saat musim penghujan. Pada musim penghujan, untuk mengetahui debit aliran dasar perlu diketahui besarnya debit aliran langsung yang disebabkan oleh adanya hujan, sehingga dapat dipisahkan antara debit aliran langsung, aliran antara, dan aliran dasarnya. Namun, pada saat musim kemarau dikarenakan tidak terjadi hujan, maka debit sungai yang cenderung kecil merupakan debit aliran dasar pada sungai tersebut. Pengukuran aliran dasar dimulai pada bulan Juli sampai bulan Agustus. Bulan September tidak dilakukan pengukuran karena beberapa Sub 25 DAS sudah tidak ada alirannya lagi. Hasil pengukuran debit pada masing-masing Sub DAS ditampilkan dalam tabel 2. Tabel 2. Hasil pengukuran debit aliran dasar Debit (lt/dt/km2) Tanggal Pengukuran Silengkong (52%) Watujali (49%) Pesuruhan (20%) Tapak Gajah (13%) Kedung pane (31%) Kali poh (95%) 17 Juli 2012 0,949 0,816 0,363 0,364 0,190 0,900 18 Juli 2012 1,026 0,704 0,394 0,400 0,359 0,840 19 Juli 2012 0,769 0,752 0,375 0,382 0,185 0,850 20 Juli 2012 0,718 0,772 0,369 0,418 0,198 0,890 0,397 0,233 0,125 0,169 0,128 0,236 0,333 0,200 0,126 0,142 0,106 0,214 0,396 0,212 0,084 0,118 0,081 0,198 7 Agustus 2012 8 Agustus 2012 9 Agustus 2012 Hubungan antara debit aliran dasar dengan % luas hutan dapat dilihat dari besarnya nilai koefisien determinasi (R2). Nilai koefisien determinasi mempunyai arti bahwa besarnya variasi dari variabel Y (variabel terikat) yang dapat diterangkan dengan variabel X (variabel bebas), sedang sisanya dipengaruhi oleh variabel-variabel yang lain. Dalam hal ini debit aliran dasar merupakan variabel Y dan % luas hutan merupakan variabel X. Berdasarkan pengukuran pada bulan Juli hubungan antara luas hutan pinus dan aliran dasar mempunyai koefisien determinasi (R2) bervariasi dari 0,672 sampai 0,696 yang terlihat pada Gambar 4 sampai 7. Hal ini berarti bahwa hubungan antara % luas hutan dengan aliran dasarnya dapat dilihat dari besarnya pengaruh perbedaan % dari luas hutan terhadap aliran dasar sebesar 67,2 % sampai 69,6 % pada bulan Juli. 26 Aliran dasar (lt/dt/km2) 1,0 0,8 0,6 y = -0,0001x2 + 0,0225x - 0,0431 R² = 0,6862 0,4 0,2 0,0 0 20 40 60 80 Luas Hutan (% luas DAS) 100 Aliran Dasar (lt/dt/km2) Gambar 4. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus tanggal 17 Juli 2012 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 y = -0,0001x2 + 0,0221x + 0,0264 R² = 0,6966 0 20 40 60 80 100 Luas Hutan (% Luas DAS) Aliran Dasar (lt/dt/km2) Gambar 5. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus tanggal 18 Juli 2012 1,000 0,800 0,600 y = -7E-05x2 + 0,0146x + 0,0948 R² = 0,6726 0,400 0,200 0,000 0 20 40 60 80 Luas Hutan (% Luas DAS) 100 Gambar 6. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus tanggal 19 Juli 2012 27 Aliran Dasar (lt/dt/km2) 1,000 0,800 0,600 0,400 y = -4E-05x2 + 0,0116x + 0,1569 R² = 0,6818 0,200 0,000 0 20 40 60 80 Luas Hutan (% Luas DAS) 100 Gambar 7. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus tanggal 20 Juli 2012 Aliran Dasar (lt/dt/km2) Pada bulan Agustus, hubungan antara luas hutan pinus dan aliran dasar masih menunjukkan pola yang sama seperti pada bulan Juli namun dengan nilai koefisien determinasi (R2) lebih kecil yaitu antara 0,480 sampai 0,514 seperti yang terlihat pada Gambar 8 sampai dengan 10. Hal ini berarti, pengaruh perbedaan % luas hutan terhadap aliran dasarnya berkurang antara 48 % sampai 51,4 %. Sisanya terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap besarnya aliran dasar. Dapat diketahui bahwa pada bulan Agustus 2012, sudah tidak terjadi hujan selama 2 bulan, sehingga dapat disimpulkan bahwa selama musim kemarau besarnya aliran dasar cenderung mengalami penurunan. Hal ini terbukti bahwa pada saat bulan September 2012, beberapa Sub DAS tidak terdapat aliran lagi. 0,500 0,400 0,300 0,200 y = -7E-05x2 + 0,0087x + 0,0059 R² = 0,4804 0,100 0,000 0 20 40 60 80 Luas Hutan (% Luas DAS) 100 Gambar 8. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus tanggal 7 Agustus 2012 28 Aliran Dasar (lt/dt/km2) 0,400 0,300 0,200 y = -5E-05x2 + 0,0068x + 0,0197 R² = 0,4881 0,100 0,000 0 20 40 60 80 Luas Hutan (% Luas DAS) 100 Aliran Dasar (lt/dt/km2) Gambar 9. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus tanggal 8 Agustus 2012 0,500 0,400 0,300 0,200 y = -8E-05x2 + 0,0109x - 0,0751 R² = 0,5141 0,100 0,000 0 20 40 60 80 100 Luas Hutan (% Luas DAS) Gambar 10. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus tanggal 9 Agustus 2012 Dari 7 ulangan pengukuran yang dilakukan di Sub DAS Kedung Bulus kemudian dihitung rata-rata debit aliran dasarnya yang ditampilkan dalam tabel 3. Tabel 3. Rata-rata debit aliran dasar (musim kemarau) di Sub DAS Kedung Bulus % Luas Hutan Sub-sub DAS Rata- rata Debit (lt/dt/km2) Silengkong (52%) Watu jali (49%) Pesuruh an (20%) Tapak Gajah (13%) Kedung pane (31%) Kali poh (95%) 0,655 0,527 0,262 0,285 0,178 0,590 29 Aliran Dasar (lt/dt/km2) Dari tabel di atas kemudian dapat digambarkan ke dalam grafik untuk mengetahui besarnya pengaruh perbedaan % luas hutan terhadap besarnya debit aliran dasar (musim kemarau) yang dapat dilihat pada gambar 11. 0,800 0,600 0,400 y = -8E-05x2 + 0,0139x + 0,0265 R² = 0,668 0,200 0,000 0 20 40 60 80 Luas Hutan (% Luas DAS) 100 Gambar 11. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus saat musim kemarau. Berdasarkan pada gambar 11 dapat disimpulkan bahwa, selama musim kemarau, % luas hutan dalam suatu Sub DAS memberikan pengaruh sebesar 66,8 %, sehingga 33,2 % dipengaruhi oleh faktor lain. Pada luas hutan pinus 13 % dari luas DAS menghasilkan debit sebesar 0,285 liter/detik/km2, sedangkan pada luas hutan pinus 95 % menghasilkan debit sebesar 0,590 liter/detik/km2. Dari data tersebut juga terlihat bahwa fungsi hutan pinus masih dapat mengalirkan air pada musim kemarau dan debitnya cenderung tinggi pada daerah yang % luas hutan pinusnya tinggi. Namun, dalam kasus ini semakin luas hutan pinus tidak selalu diikuti dengan kenaikan debit aliran dasar per satuan luas DAS (liter/detik/km2). Hal ini terlihat pada luas hutan 20 % dan 31 % justru mengalami penurunan seperti yang terjadi di Sub DAS Pesuruhan dan Kedung Pane. Bila dilihat pada gambar 1, aliran air di Sub DAS Kedung Pane merupakan gabungan dari aliran SPAS Watujali, SPAS Tapak Gajah, dan SPAS Pasuruan yang melewati wilayah Kedung Pane, sehingga seharusnya mempunyai debit aliran yang cenderung lebih besar. Namun pada kenyataannya, aliran air di Kedung Pane justru menghasilkan air yang lebih sedikit. Hal ini disebabkan oleh kondisi lapisan geologi di Sub DAS Kedung Pane yang sedikit berbeda dengan lapisan geologi sub DAS di atasnya. Lapisan tanah di Sub DAS 30 1.200 1.200 1.000 1.000 Aliran Dasar (lt/dt/km2) Aliran Dasar (lt/dt/km2) Kedung Pane lebih tebal dari sub DAS yang lain sehingga tidak semua hasil air dari bagian atasnya dikeluarkan melalui sungai namun sebagian juga diresapkan ke dalam tanah sebagai cadangan air tanah. Berdasarkan hal di atas, data debit Kedung Pane merupakan outlier data yakni titik pengamatan yang jauh dari pengamatan yang lain. Outlier disebabkan bukan karena dari kesalahan pengukuran ataupun keragaman cara pengukuran melainkan diduga karena adanya faktor geologi seperti yang disebutkan di atas. Outlier terkadang dikeluarkan dari kumpulan data dan pada penelitian ini bila mengeluarkan outlier data maka pengaruh % luas hutan terhadap aliran dasar dalam suatu Sub DAS cenderung naik. Kenaikan tersebut bisa dilihat dari besarnya nilai R2 setelah analisis ulang seperti pada gambar 12 – 19. 0.800 0.600 y = -0.000x2 + 0.026x - 0.011 R² = 0.950 0.400 0.200 0.000 0.800 0.600 0.400 y = -0.000x 2 + 0.024x + 0.046 R² = 0.820 0.200 0.000 0 20 40 60 80 100 0 20 Luas Hutan (% Luas DAS) 1.000 1.000 0.900 0.900 0.800 0.800 0.700 0.600 y= 0.400 -0.000x2 + 0.017x + 0.122 R² = 0.971 0.300 0.200 80 100 0.700 0.600 0.500 y = -8E-05x 2 + 0.014x + 0.182 R² = 0.940 0.400 0.300 0.200 0.100 0.100 0.000 0.000 0 20 40 60 80 100 0 20 Luas Hutan (% Luas DAS) 40 60 80 100 Luas Hutan (% Luas DAS) Gambar 14. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus tanggal 19 Juli 2012 Gambar 15. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus tanggal 20 Juli 2012 0.450 0.350 Aliran Dasar (lt/dt/km2) 0.400 Aliran Dasar (lt/dt/km2) 60 Gambar 13. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus tanggal 18 Juli 2012 Aliran Dasar (lt/dt/km2) Aliran Dasar (lt/dt/km2) Gambar 12. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus tanggal 17 Juli 2012 0.500 40 Luas Hutan (% Luas DAS) 0.350 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 y= 0.050 -8E-05x2 + 0.009x + 0.013 R² = 0.597 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 y = -6E-05x 2 + 0.007x + 0.026 R² = 0.631 0.050 0.000 0.000 0 20 40 60 80 100 0 Luas Hutan (% Luas DAS) 20 40 60 80 100 Luas Hutan (% Luas DAS) Gambar 16. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus tanggal 7 Agustus 2012 31 Gambar 17. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus tanggal 8 Agustus 2012 0.450 0.700 Aliran Dasar (lt/dt/km2) Aliran Dasar (lt/dt/km2) 0.400 0.350 0.300 0.250 0.200 0.150 y = -1E-04x2 + 0.012x - 0.065 R² = 0.649 0.100 0.050 0.600 0.500 y = -0.000x2 + 0.016x + 0.044 R² = 0.901 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 0.000 0 20 40 60 80 100 0 20 Luas Hutan (% Luas DAS) 40 60 80 100 Luas Hutan (% Luas DAS) Gambar 18. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus tanggal 9 Agustus 2012 Gambar 19. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus saat musim kemarau. Setelah dilakukan analisis dengan mengeluarkan outlier dari data, dapat diketahui bahwa nilai R2 cenderung naik dari 0,668 menjadi 0,901. Hal ini berarti % luas hutan pinus terhadap debit aliran dasar memberikan pengaruh sebesar 90,1 % selama musim kemarau (gambar 19). Selain itu, pengaruh % luas hutan terhadap debit aliran cenderung menurun selama musim kemarau. Hal ini terlihat pada bulan Juli, luas hutan memberikan pengaruh sebesar 95,0 % dan pada bulan Agustus menurun sebesar 62,7 % terhadap debit aliran (gambar 20 – 21). Berdasarkan hal tersebut dapat dipastikan bahwa pada bulan September dan Oktober, pengaruh % luas hutan juga akan cenderung menurun. Hal ini berarti ada faktor lain yang berpengaruh terhadap kondisi hidrologi pada hutan pinus selama musim kemarau. 1.000 0.400 0.350 0.800 0.700 y= 0.600 Aliran Dasar (lt/dt/km2) Aliran Dasar (lt/dt/km2) 0.900 -0.000x2 0.500 + 0.020x + 0.084 R² = 0.950 0.400 0.300 0.200 0.300 0.250 0.200 0.150 y = -8E-05x 2 + 0.009x - 0.008 R² = 0.627 0.100 0.050 0.100 0.000 0.000 0 20 40 60 80 100 0 Luas Hutan (% Luas DAS) 20 40 60 80 100 Luas Hutan (% Luas DAS) Gambar 20. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus bulan Juli 2012 Gambar 21. Hubungan antara luas hutan pinus dan debit aliran dasar di Sub DAS Kedung Bulus bulan Agustus 2012 Salah satu faktor yang dapat diidentifikasi berasal dari karakteristik tanaman pinus itu sendiri. Menurut Priyono dan Siswamartana (2002), tegakan pinus dirasakan mengkonsumsi banyak air sehingga selama musim kemarau kehilangan air di hutan pinus karena evapotranspirasi akan menjadi tinggi. Utomo et al. (2002) juga berpendapat bahwa, tingginya evapotranspirasi tersebut menyebabkan pinus akan banyak 32 mengkonsumsi air sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan defisit air tanah. Selain itu juga, faktor penurunan aliran dasar juga dipengaruhi oleh faktor umur tegakan. Seperti diketahui bahwa hutan pinus di Sub DAS Kedung Bulus bervariasi dari umur 5 tahun sampai 30 tahun sehingga dapat dikategorikan menjadi pinus muda dan pinus tua. Menurut Nurwahidah (2008), dalam pengelolaan untuk tujuan produksi, hutan pinus dibagi menjadi 4 kelompok umur yakni kelompok 1 umur 0-10 tahun, kelompok 2 umur 11-15 tahun, kelompok 3 umur 16-20 tahun, dan kelompok 4 umur > 20 tahun, sehingga dalam penelitian ini kategori pinus muda meliputi kelompok 1 dan 2 sedangkan kategori pinus tua meliputi kelompok 3 dan 4. Utomo et al. (2002) menyebutkan bahwa kandungan air tersedia cenderung berkurang dengan semakin bertambahnya umur tegakan. Hal ini disebabkan karena umur tegakan yang semakin tua berpengaruh terhadap sifat fisik tanah, sehingga mempengaruhi jumlah air yang dapat ditahan oleh tanah, disamping tingkat konsumsi air oleh tegakan pinus tua semakin meningkat. Seperti yang terjadi di Watujali dan Silengkong, beberapa tanaman pinus merupakan tanaman pinus muda sehingga rata-rata debit yang diukur cenderung tinggi. Bila melihat hal tersebut di atas, aliran dasar pada hutan pinus tidak hanya dipengaruhi oleh % luas hutan pinus saja. Pudjiharta (2008) masih meragukan pengaruh hutan terhadap tata air karena kemampuan hutan hanya terbatas pada pengendalian aliran. Faktor luas hutan dalam suatu DAS memang berpengaruh terhadap besarnya debit puncak dan sedimentasi (Pramono dan Wahyuningrum, 2010), namun dalam kaitannya dengan debit aliran dasar, beberapa faktor lain seperti karakteristik vegetasi, curah hujan, geologi/ tanah, tata ruang/ tataguna lahan perlu dipertimbangkan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap aliran dasar. Hal ini dikarenakan, selama musim kemarau fungsi hutan dianalogikan seperti spon yang melepas air. Cepat atau lambat hilangnya air saat musim kemarau sangat dipengaruhi oleh karakteristik vegetasi, jenis tanah, kedalaman solum, tataguna lahan dan pemanfaatan air oleh makhluk hidup. 33 Selain beberapa faktor di atas, Lacey dan Grayson (1998) menyebutkan pengaruh faktor geologi terhadap aliran dasar terdiri dari pengaruh langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung terhadap aliran dasar yakni aliran groundwater akan disimpan di dalam batuan, terlebih lagi bila batuan tersebut memiliki patahan. Sedangkan pengaruh tidak langsung yakni dari formasi tanah, karena jenis batuan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan jenis tanah dan kedalaman tanah yang mempengaruhi tata airnya. Delin et al. ( 2007) menyebutkan bahwa karakteristik tanah dan iklim merupakan faktor utama yang digunakan untuk memprediksi besarnya aliran dasar di Minnesota. Stuckey (2006) juga mencoba untuk mencari besarnya aliran dasar dari variabel luas hutan dengan model regresi, namun ditambahkan dengan variabel lain seperti curah hujan tahunan, persentase cekungan dan persentase daerah perkotaan. Ada fenomena menarik di hutan pinus ini, yaitu pada bulan Juli 2012 hubungan antara luas hutan dan debit aliran dasar mempunyai koefisien determinasi yang lebih tinggi dibandingkan pada pengukuran bulan Agustus 2012. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh luas hutan terhadap aliran dasarnya semakin kecil saat musim kemarau, sehingga hujan merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi besarnya aliran dasar. Untuk ke depan perlu diteliti lagi faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya aliran dasar sejak berakhirnya musim penghujan sampai berakhirnya musim kemarau dengan menambah variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap aliran dasarnya. IV. KESIMPULAN 1. 2. 3. Makin luas prosentase hutan pinus di dalam suatu DAS maka debit musim kemaraunya makin besar. Selama musim kemarau, % luas hutan dalam suatu Sub DAS memberikan pengaruh sebesar 66,8 %, sehingga 33,2 % dipengaruhi oleh faktor lain Faktor geologi memegang peranan penting dalam menghasilkan aliran dasar. 34 DAFTAR PUSTAKA Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta Bruijnzeel, L.A. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forest and Effect of Conversion: A State of Knowledge Review. UNESCO, Paris and Vrije Universiteit, Amsterdam, The Netherlands. Coster, C. 1938. Superficial Run-off and Erosion In Java. Tevtona 31 : 613-728. Delin, G.N., Healy, R.W., Lorenz, D.L., Nimmo, J.R., 2007. Comparison of local to regional scale estimates of ground water recharge in Minnesota, USA. Journal of Hydrology 334, 231–249. Dumairi. 1992. Ekonomika Sumber Daya Hidronomika. BPFE.Yogyakarta. Hadisusanto, N. 2010. Aplikasi :Yogyakarta. Hidrologi. Air. Jogja Pengantar ke Mediautama Institute of Hydrology (1980) Low flow studies. Research Report 1, Institute of Hydrology, Wallingford, UK. Lacey, G. C. & Grayson, R. B. (1998) Relating baseflow characteristics to basin properties in south-eastern Australia. J. Hydrology. 204, 231–250 Mazvimavi, D., Meijerink, A.M.J., Stein, A., 2004. Prediction of baseflows from basin characteristics: a case study from Zimbabwe. Hydrological Sciences Journal 49 (4), 703– 715. Mulyana, N. 2000. Pengaruh Hutan Pinus (P. merkusii) Terhadap Karakteristik Hidrologi di Sub Daerah Aliran Sungai 35 Ciwulan Hulu KPH Tasikmalaya Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (Kajian Menggunakan Model POWERSIMPINUS ver. 3.1). Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nurwahidah, 2008. Penerapan Aljabar Linear untuk Mengoptimalkan Hasil Produksi Pengelolaan Hutan (Studi Kasus Hutan Pinus BKPH Tumpang-Malang). Skripsi, Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang. Pramono, IB dan Adi, RN. 2006. Hydrological Responses of Pine Plantation Forest at Gombong Central Java : Proceeding of The International Seminar on Plantation Forest Research and Development, November 21-23 2005: 95-98, Yogyakarta. Pramono, I.B. dan Adi, R.N. 2010. Fluktuasi Muka Air Tanah di Bawah Tegakan Hutan Pinus. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam VII(5): 469-482. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Pramono, I.B. dan Wahyuningrum N. 2010. Luas Optimal Hutan Jati Sebagai Pengatur Tata Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Berbahan Induk Kapur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam VII(5): 459-467. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Priyono, N.S. dan S. Siswamartana. 2002. Hutan Pinus dan Hasil Air. Ekstraksi Hasil-Hasil Penelitian Tentang Hutan Pinus terhadap Erosi dan Tata Air. Pusat Pengembangan Sumber Daya Hutan Perhutani, Cepu Pudjiharta, A. 2008. Pengaruh Pengelolaan Hutan Pada Hidrologi. Info Hutan Vol. V No. 2 : 141-150. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta. 36 Stuckey, M.H., 2006. Low flow, base flow, and mean flow regression equations for Pennsylvania streams. US Geological Survey Scientific Investigations Report 2006-5130. Utomo, WH, Titiek I dan Widianto, 1998. Pengaruh Tanaman Terhadap Hasil Air. Makalah Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan Pembangunan. 23 September 1998, Jakarta. Yamin, S. dan Kurniawan, H. 2009. SPSS Complete :Teknik Analisis Statistik Terlengkap dengan Software SPSS, Buku Seri Pertama. Jakarta : Salemba Infotek. 37 HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK HUJAN DAN BANJIR DI SUB DAS WURYANTORO, KABUPATEN WONOGIRI1 Oleh : Irfan B. Pramono dan Gunardjo Tjakrawarsa3 2 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected] Email: 2 [email protected] ; 3 [email protected] ABSTRAK Banjir lokal sering terjadi di Sub DAS Solo Hulu. Penyebab banjir tersebut selain intensitas hujan yang tinggi juga dipengaruhi oleh pola penutupan lahannya yang kurang mendukung penyerapan air hujan ke dalam tanah. Pola penutupan lahan di Sub DAS Solo Hulu yang dominan adalah lahan tegal. Sub DAS Wuryantoro adalah salah satu Sub DAS Solo Hulu yang masuk ke Waduk Gajahmungkur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik banjir yang terjadi di Sub DAS Wuryantoro dengan penutupan lahan dominan tegal yang mencapai 57 % dari luas Sub DAS. Metode yang digunakan adalah analisis unit hidrograf pada beberapa kejadian banjir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa puncak banjir di Sub DAS Wuryantoro dengan luas DAS 1.792 ha berkisar antara 1,14 sampai dengan 21,23 m3/dt sedangkan waktu mencapai banjir berkisar antara 10 sampai 120 menit, sedangkan waktu dasar (time base) yaitu waktu mulai terjadinya banjir sampai berakhirnya banjir berkisar antara 480 sampai 4.320 menit. Hubungan antara puncak banjir dan karakteristik hujan, Qp = 3,987 + 0,090T + 0,005L + 0,109I + 0,016AMC, sedangkan hubungan antara waktu menuju puncak dengan karakteristik hujan adalah Tp = 40,427 - 0,058T + 0,053L + 0,086I + 0,282AMC. Karakter hujan yang paling berpengaruh terhadap debit puncak (Qp) adalah intensitas hujan (I, tebal hujan (T), Antecedent Soil Moisture Condition (AMC) dan lama hujan (L). Hal ini berbeda dengan karakter hujan yang mempengaruhi waktu menuju puncak (Tp) yang sangat dipengaruhi oleh Antecedent Soil Moisture Condition (AMC), intensitas hujan dan lama hujan. Kata kunci : karakteristik hujan, debit puncak, waktu menuju puncak, waktu dasar 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan, pada tanggal 12 Juni 2013 38 I. PENDAHULUAN Kejadian banjir akhir-akhir ini terjadi dengan waktu yang cepat dengan dampak kerusakan yang parah. Selain disebabkan oleh intensitas curah hujan yang tinggi, banjir juga dipengaruhi oleh penutupan lahan yang ada di DAS. Kejadian debit maksimum atau banjir puncak hanya beberapa saat, tetapi mampu menimbulkan saat kritis yang dapat menghancurkan tanggul atau tebing; melimpaskan air karena melebihi kapasitas tampung sungai, menyebabkan bendung atau bangunan air lainnya jebol. Dampak dari kejadian tersebut adalah penggenangan air di wilayah permukiman dan pertanian. Sub DAS Wuryantoro merupakan salah satu sub DAS dari empat sub DAS yang alirannya masuk ke Waduk Gajahmungkur, Wonogiri. Keempat sub DAS menghadapi permasalahan berupa tingginya tingkat sedimentasi yang disalurkan ke Waduk Gajahmungkur, Wonogiri serta distribusi aliran yang tidak merata. Namun keempat sub DAS tersebut memiliki formasi geologi yang berbeda yaitu vulkan tua dan kapur di Temon dan Wuryantoro, kapur di Sub DAS Alang dan vulkan muda di sub DAS Keduang (Murtiono, 2009). Penggunaan lahan di Sub DAS Wuryantoro didominasi tegal dengan karakter kurang menyerap air hujan. Penggunaan lahan seperti ini merupakan pewakil penggunaan lahan DAS-DAS di Pulau Jawa yang didominasi oleh tegal lahan kering. Rendahnya penyerapan curah hujan memicu terjadinya banjir dengan cepat karena kemampuan tanah meresapkan air di lahan tegal lebih sedikit dari pada penutupan lahan hutan. Oleh karena itu dianggap perlu untuk mengkaji karakteristik banjir puncak di Sub DAS Wuryantoro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik hujan dan banjir yang berasal dari sub DAS dengan penutupan lahan dominan tegalan. Karakteristik hujan meliputi tebal, intensitas, dan lama hujan. Sedangkan karakteristik banjir meliputi debit puncak dan waktu mencapai puncak banjir. 39 II. A. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Sub DAS Wuryantoro dengan penutupan lahan yang dominan adalah tegalan lahan kering. Secara administratif pemerintahan Sub DAS Wuryantoro terletak di Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian dilakukan pada tahun 2009 sampai 2010. B. Bahan dan Alat Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian, yaitu : 1. 2. C. Bahan dan peralatan monitoring tata air (stasiun hujan otomatis dan pemantau tinggi muka air otomatis), peta-peta dasar skala 1: 25.000 (topografi), blanko pengamatan dan label. Bahan dan peralatan pengamatan tegakan hutan dan penutupan lahan antara lain berupa peta dasar skala 1: 25.000 (sebaran tegakan, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), citra Satellite Pour l’observ tion de la Terre (SPOT) meteran dan blangko pengamatan. Metode Metode pengukuran berikut: 1. parameter banjir dan hujan adalah sebagai Pengukuran parameter debit banjir Pengukuran debit puncak banjir dilakukan secara langsung pada Sub DAS Wuryantoro. Pengukuran dilakukan dengan bangunan Stasiun Pengamatan Air Sungai (SPAS) dan AWLR (Automatic Water Level Recorder). Data banjir diperoleh dari hasil pencatatan tinggi muka air dari AWLR dan debit banjir diperoleh dari tabel debit yang telah ada berdasarkan dari pencatatan tinggi muka air pada AWLR. 40 Data debit banjir dipilih berdasarkan puncak-puncak banjir dari AWLR dan data curah hujan penyebabnya, sehingga dapat diasumsikan bahwa banjir yang terjadi disebabkan oleh hujan yang merata di seluruh DAS. 2. Pengukuran parameter curah hujan Pengukuran curah hujan di Sub DAS Wuryantoro dilakukan di dua tempat yaitu di bagian tengah dan hulu Sub DAS. Untuk memperoleh hujan rata-rata dibuat polygon Thiessien. Curah hujan yang dipilih adalah curah hujan yang turun merata di seluruh DAS. 3. Parameter yang diamati a. b. c. 4. Luas penutupan lahan di dalam Sub DAS Wuryantoro. Karakteristik hujan: lamanya hujan (L, jam), tebal hujan (T, mm) intensitas hujan (I, mm/jam) dan Antecedent Soil Moisture Condition (AMC, mm) yang menyebabkan banjir. Karakteristik banjir: debit puncak banjir (Qp), waktu mencapai puncak (Tp) dan waktu dasar (Tb). Pengolahan dan analisis data Setiap pasangan hujan dengan puncak banjir dipilih berdasarkan banjir yang terekam di AWLR (Automatic Water Level Recorder) dan curah hujan yang terekam di ARR (Automatic Rainfall Recorder). Jika hujan yang terekam di ARR mempunyai intensitas yang tinggi dan dalam waktu yang tidak terlalu lama diikuti oleh banjir yang terekam di AWLR maka dapat diasumsikan bahwa banjir tersebut karena hujan yang merata diseluruh DAS. Data hidrograf banjir dipisahkan antara aliran langsung dan aliran dasar. Dari hidrograf aliran langsung dianalisis karakteristiknya seperti debit puncak banjir (Qp) dan waktu sampai puncak banjir (Tp). Data hujan dianalisis mulai dari tebal hujan (T), lamanya hujan (L), intensitas hujan (I) dan Antecedent Soil Moisture Condition(AMC). Jumlah hujan dihitung dengan satuan mm, lama hujan dengan menit, dan intensitas hujan dalam mm/15 menit. 41 Dari data tersebut kemudian dicari hubungan antara Qp dengan T, L, I dan AMC serta hubungan antara Tp dengan T, L, I dan AMC dengan analisis regresi berganda. Analisis regresi linier berganda adalah hubungan secara linear antara dua atau lebih variabel independen (X1, X2,….Xn) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah masing-masing variabel independen berhubungan positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan. Persamaan regresi linear berganda sebagai berikut: Y’ = a + b1X1+ b2X2+…..+ bnXn Keterangan: Y’ = Variabel dependen (nilai yang diprediksikan) X1 dan X2 = Variabel independen a = Konstanta (nilai Y’ apabila X1, X2…..Xn = 0) b = Koefisien regresi (nilai peningkatan ataupun penurunan) Data diolah dengan menggunakan program SPSS Statistic 17.0.(Janie, 2012) III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi penutupan lahan Kondisi penutupan lahan Sub DAS Wuryantoro dengan luas 1.792 ha terdiri dari hutan (11.96 %), tegal (57,71 %), sawah (13,3 %), dan pemukiman (17,03 %). Penyebarannya dapat di lihat pada Gambar 1 berikut ini. 42 Gambar 1. Peta penutupan lahan di Sub DAS Wuryantoro B. Karakteristik iklim Menurut klasifikasi Iklim Koppen, Sub DAS Wuryantoro diklasifikasikan kedalam tipe iklim Ama (daerah iklim hujan tropik dengan suhu ratarata dari bulan terpanas > 22,2 oC). Musim hujan terjadi antara bulan November – April, sedangkan musim kering pada bulan Mei – Oktober, dengan jumlah bulan basah 6-7 bulan (Schmidt dan Fergusson, 1957). Rata-rata curah hujan tahunan 1.635,7 mm dengan koefisien limpasan sebesar 29%. C. Karakteristik hujan Karakteristik curah hujan penyebab banjir Sub DAS Wuryantoro yang tercatat dalam kertas pias sehingga dapat dihitung lama terjadinya hujan, tebal hujan, intensitas hujan dan Antecedent Soil Moisture Condition condition (AMC) dari bulan Januari 2009 sampai dengan September 2010 terdapat dalam Tabel 1. 43 Tabel 1. Lama terjadinya hujan, tebal hujan, intensitas hujan dan Antecedent Soil Moisture Condition(AMC) No Tanggal L (menit) T (mm) I (mm/ 15 menit) AMC (mm) 1 2-Feb-2009 50 30 9,00 26,50 2 18-Nov-09 64 50 11,72 61,00 3 21-Agt- 10 8 40 51,11 0,00 4 15-Jun-10 74 100 18,30 3,60 5 7-Apr-09 80 26,3 4,93 70,80 6 27-Feb- 2009 20 30 8,25 53,80 7 25-Jan- 2009 20 20 4,67 45,00 8 19-Nov-09 120 0,2 1,73 0,00 9 6-Apr-09 60 11,8 2,95 23,80 10 18-Sep-10 10 10 15,00 0,00 11 8-Jan-2009 30 10 1,00 20,00 12 21-Mei-2009 30 1,7 4,82 22,80 13 30-Apr-09 25 10 5,49 10,00 14 23-Jan-2009 20 1 2,42 93,00 15 16-Sep-10 16 10 6 0,00 16 8-Apr-09 70 24,8 5,31 83,90 17 20-Apr-09 110 0,8 2,74 30,00 18 18-Mei- 2009 24 10 2,94 10,00 19 12- Feb-2009 120 2,2 0,75 60,00 20 24 Juli 2009 30 0,2 0,10 0,00 Keterangan: L = Lama hujan (menit); T=Tebal hujan (mm), I=Intensitas Hujan (mm/15 menit), AMC= Antecedent Soil Moisture Condition(mm) 44 Dari Tabel 1 di atas terlihat bahwa karakteristik curah hujan penyebab banjir yang dinyatakan dalam lama terjadinya hujan berkisar antara 8 – 120 menit, tebal hujan berkisar antara 0,2 – 100 mm, intensitas hujan berkisar antara 0,1 – 51,11 mm/15 menit dan Antecedent Soil Moisture Condition (AMC) antara 0,00 – 93,00 mm. D. Karakteristik banjir Banjir sebagai debit maksimum pada suatu saat dinyatakan dalam debit puncak (Qp), waktu menuju puncak (Tp) dan waktu dasar (Tb). Pada waktu bersamaan dapat dihitung karakteristik curah hujan penyebab banjirnya yang dinyatakan dalam tebal hujan, lama terjadinya hujan, intensitas hujan dan Antecedent Soil Moisture Condition (AMC). Data debit puncak, waktu menuju puncak, waktu dasar, tebal hujan, lama terjadinya hujan, intensitas hujan dan Antecedent Soil Moisture Condition (AMC) terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Debit puncak, waktu menuju puncak, waktu dasar, tebal hujan, lama terjadinya hujan, intensitas hujan dan Antecedent Soil Moisture Condition (AMC) Debit No Tanggal Curah hujan Qp Tp Tb T L I AMC (m3/dt) (mnt) (jam, mnt) (mm) (mnt) (mm/ 15 mnt) (mm) 1 2-Feb-09 21,23 40 22,50 30 50 9,00 26,50 2 18-Nov-09 14,12 30 29,50 50 64 11,72 61,00 3 21-Agt- 10 12,4 50 38,0 40 8 51,11 0,00 4 15-Jun-10 11,2 48 17,0 100 74 18,30 3,60 5 7-Apr-09 9,72 60 25,0 26,3 80 4,93 70,80 6 27-Feb-09 9,03 90 24,30 30 20 8,25 53,80 7 25-Jan-09 8,37 60 23,0 20 20 4,67 45,00 8 19-Nov-09 8,05 20 11,40 0,2 120 1,73 0,00 9 6-Apr-09 6,29 68 21,52 11,8 60 2,95 23,80 45 10 18-Sep-10 5,76 50 24,10 10 10 15,00 0,00 11 8-Jan-09 5,5 120 8,0 10 30 1,00 20,00 12 21-Mei-09 5,5 10 15,30 1,7 30 4,82 22,80 13 30-Apr-09 5,38 15 14,5 10 25 5,49 10,00 14 23-Jan-09 5,26 60 21,0 1 20 2,42 93,00 15 16-Sep-10 5,26 50 27,10 10 16 6 0,00 16 8-Apr-09 4,56 34 35,30 24,8 70 5,31 83,90 17 20-Apr-09 4,34 50 48,10 0,8 110 2,74 30,00 18 18-Mei-09 1,86 10 9,50 10 24 2,94 10,00 19 12-Feb-09 1,80 120 72,0 2,2 120 0,75 60,00 20 24-Jul-09 1,14 40 39,0 0,2 30 0,10 0,00 Keterangan: Qp= debit puncak, Tp = waktu menuju puncak, Tb = waktu dasar, L = lama hujan (menit); T=tebal hujan (mm), I=intensitas hujan (mm/15 menit), AMC= Antecedent Soil Moisture Condition (mm) Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa dalam periode pengamatan debit puncak tertinggi terjadi pada tanggal 2 Februari 2009 dengan Qp sebesar 21,23 m3/det dengan waktu menuju puncak (Tp) 40 menit dan waktu dasar (Tb) 22 jam 50 menit yang diakibatkan oleh curah hujan (T) sebesar 30 mm, selama (L) 50 menit, intensitas hujan sebesar (I) 9 mm/15 menit dan Antecedent Soil Moisture Condition (AMC) 26,50 mm. Sedangkan debit puncak terendah terjadi pada tangal 24 Juli 2009 dengan Qp sebesar 1,14 m3/det, waktu menuju puncak (Tp) 40 menit dan waktu dasar (Tb) sebesar 39 menit yang diakibatkan oleh curah hujan (T) sebesar 0,2 mm, selama (L) 30 menit, intensitas (I) 0,1 mm/15 menit dengan Antecedent Soil Moisture Condition (AMC) 0,00 mm. C. Hubungan antara karakteristik hujan dan karakteristik banjir Untuk mengetahui karakteristik banjir Sungai Wuryantoro perlu diketahui hubungan debit puncak banjir (Qp) dan waktu menuju puncak (Tp) dengan karakteristik curah hujan yang menyebabkannya 46 yang dinyatakan dalam tebal hujan (T), lama terjadinya hujan (L), intensitas hujannya (I) dan Antecedent Soil Moisture Condition (AMC). Berdasarkan dari data sebanyak 20 kejadian banjir di sungai Wuryantoro yang dianalisis dengan metode regresi linier berganda diperoleh hubungan debit puncak (Qp) dan waktu menuju puncak (Tp) dengan tebal hujan (T), lamanya hujan (L), intensitas (I) dan Antecedent Soil Moisture Condition (AMC) sebagai berikut: Qp = 3,987 + 0,090 + 0,005L + 0,109I + 0,016AMC Tp = 40,427 - 0,058T + 0,053L + 0,086I + 0,282AMC Besarnya nilai koefisien (r) korelasi persamaan hubungan antara Qp (debit puncak) dan Tp (waktu menuju puncak) dengan karakteristik hujan yaitu tebal hujan (T), lamanya hujan (L), intensitas (I) dan Antecedent Soil Moisture Condition (AMC) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rekapitulasi model untuk debit puncak (Qp) Mode l 1 R .618a R Kwada rat R Kwadrat disesuai kan Kesalahan baku pendugaa n .382 .218 4.19938 a. Penduga: ( Konstanta), AMC, T, L, I b. Variabel dependen: Qp 47 Change Statistics R kwadarat perubaha n F Peruba han df1 df2 .382 2.321 4 15 Nyata F perubahan .104 Tabel 4. Analisis sidik ragam (ANOVA) utuk debit puncak (Qp) ANOVAb Jumlah kwadrat Model 1 Kwadrat tengah df Regresi 163.722 4 40.931 Sisa 264.522 15 17.635 Total 428.244 19 F Sig. .104a 2.321 a. Penduga: ( Konstanta), AMC, T, L, I b. Variabel dependent: Qp Tabel 5. Nilai koefisien untuk Qp 3.987 2.203 -.710 8.683 Bagian .090 sebagian 1.809 Korelasi Rangka nol batas atas 1 (konstanta) batas bawah B t Beta Std. Error Model Selang kepercayaan 95.0% untuk B Signifikan Koef. sudah distand arisasi Koef. tidak distandarisasi T .090 .049 .452 1.853 .084 -.014 .195 .583 .432 .376 L .005 .029 .036 .164 .872 -.056 .066 -.010 .042 .033 I .109 .111 .258 .983 .341 -.128 .347 .451 .246 .200 AMC .016 .034 .102 .475 .642 -.056 .088 .028 .122 .096 Tabel 6. Rekapitulasi model untuk waktu menuju puncak (Tp) statistik perubahan Model 1 R .289a R kwa drat .083 R kwa drat disesu aikan Kesalahan baku penduga R kwadrat perubahan -.161 33.32876 .083 48 F Peruba han .341 df1 df2 Signifikan peruba han . F 4 15 .846 Tabel 7. Analisis sidik ragam (ANOVA) untuk Tp ANOVAb 1 Model Jumlah Kwadrat Df Kwadrat tengah Regresi 1515.655 4 378.914 Sisa 16662.095 15 1110.806 Total 18177.750 19 F Signifikan .846a .341 a. Penduga: (konstanta), AMC, T, L, I Tabel 8. Nilai koefisien untuk Tp Koefisiena Selang kepercayaan 95.0% untuk B .387 -.045 -.151 .882 -.884 .767 -.034 -.039 -.037 L .053 .227 .063 .234 .818 -.431 .537 .111 .060 .058 I .086 .883 .031 .098 .923 -1.796 1.968 -.087 .025 .024 .282 .268 .276 1.054 .308 -.288 .852 .282 .263 .261 40.427 17.487 a. 2.312 .035 3.155 77.700 Variabel dependen: Tp Dari Tabel 5 dan 8 nampak bahwa yang paling berpengaruh terhadap besarnya debit puncak adalah intensitas hujan, tebal hujan, AMC dan lama hujan. Sedangkan factor yang banyak mempengaruhi waktu mencapai puncak banjir adalah AMC, intensitas hujan dan lama hujan. 49 Bagian -.058 1 (Konstanta) batas bawah T B Beta sebagian Korelasi Rangka nol batas atas t Std. Error Model Signifikan Koef. sudah Koef. tidak distandari distandari-sasi sasi Rejekiningrum dan Kartiwa (1999) dalam penelitian tentang pengaruh sifat hujan dan karakteristik biofisik DAS terhadap debit banjir DAS Kaligarang, Semarang menemukan bahwa debit puncak banjir (Qp) dipengaruhi oleh karakteristik hujan yang dicirikan oleh variabel tebal hujan (T), lama hujan (T) dan intensitas hujan (I). Tiga episode banjir yang dianalisis terdapat pada Tabel 4. Tabel 4. Debit puncak banjir, tebal hujan, lama hujan dan intensitas hujan DAS Kaligarang Episode banjir Qp (m3/det) Tebal hujan T (mm) Lama hujan L (jam) Intensitas I (mm/menit) 8-10 Januari 1996 38,8 30,6 1 0,51 19-20 Januari 1996 45,6 41,6 5,5 0,13 25-26 Januari 1996 85,3 35,1 2,5 0,21 Sumber: Rejekiningrum dan Kartiwa (1999) Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara debit puncak banjir (Qp), tebal hujan (T), lama hujan (L) dan intensitas hujan (I) di DAS Kaligarang. Namun demikian, Rejekiningrum dan Kartiwa (1999) tidak mencari hubungan antar variabel tersebut. Pramono dan Wijaya (2012) dalam penelitian tentang hubungan antara debit puncak dengan lama hujan, tebal hujan dan intensitas hujan di sub DAS berhutan jati, Kabupaten Blora menemukan bahwa hubungan antara Qp dengan L, T dan I adalah Qp = -14,905 + 0,060 L + 3,032 T – 6,218 I dimana yang paling berpengaruh dalam menentukan debit puncak adalah intensitas hujan diikuti oleh tebal hujan dan lama hujan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mulya dan Mananoma (2010) yang menyatakan bahwa curah hujan sepanjang tahun dengan intensitas yang relatif lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya di tahun 2008 menyebabkan peningkatan kejadian banjir di Ambon. Hubungan antara debit puncak dan karakteristik hujan di suatu daerah akan berbeda dengan daerah yang lain karena hubungan tersebut tergantung juga pada jenis penutupan lahan dan karakteristik fisik lainnya seperti kelerengan dan jenis tanah. Sedangkan hubungan antara waktu mencapai puncak dan karakteristik hujan juga 50 dipengaruhi oleh faktor-faktor yang telah disebutkan di atas ditambah dengan bentuk DAS. III. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Karakteristik banjir di Sub DAS Wuryantoro yang dinyatakan dalam debit puncak (Qp) dan waktu menuju puncak (Tp) dipengaruhi oleh karakter curah hujan (tebal (T), lama terjadinya hujan (L), intensitas hujan (I) dan Antecedent Soil Moisture Condition (AMC). Hubungan debit puncak (Qp) dan waktu menuju puncak (Tp) dengan karakter hujan dinyatakan dengan persamaan Qp = 3,987 + 0,090T + 0,005L + 0,109I + 0,016AMC Tp = 40,427 - 0,058T + 0,053L + 0,086I + 0,282AMC 2. Karakter hujan yang paling berpengaruh terhadap debit puncak (Qp) adalah intensitas hujan (I), tebal hujan (T), Antecedent Soil Moisture Condition (AMC) dan lama hujan (L). Sedangkan karakter hujan yang paling berpengaruh terhadap waktu menuju puncak (Tp) adalah Antecedent Soil Moisture Condition (AMC), lama hujan (L), intensitas hujan (I) dan tebal hujan. B. Saran Untuk mendapatkan persamaan hubungan Qp dan Tp dengan karakteristik hujan yang baik masih diperlukan data yang cukup banyak sehingga kelemahan pasangan data curah hujan dan debit yang sering tidak berhubungan dapat dikurangi. DAFTAR PUSTAKA Janie, D.N.A. 2012. Statistik Deskriptif dan Regresi Linier Berganda dengan SPSS. Semarang Univeristy Press. Semarang. Mulya, H dan T. Mananoma, 2010. Dampak Perubahan Karakteristik Hujan Terhadap Fenomena Banjir di Ambon. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XXVII Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI), Surabaya 29 Juli – 01 Agustus 2010. Penerbit HATHI Cabang Jawa Timur. ISBN 978-979-17093-3-0. 51 Murtiono, U.H. 2009. Kajian Ketersediaan Air Permukaan Pada beberapa Daerah Aliran Sungai (Studi kasus di Sub DAS Temon, Wuryantoro, Alang dan Keduang). 3-FG-23-1-2009ugro.pdf-Adobe reader. Diunduh tanggal 10 maret 2013 Pramono, I. B. dan W.W. Wijaya, 2012. Hubungan Antara Debit Puncak dengan Lama Hujan, Tebal Hujan dan Intensitas Hujan di Sub DAS Berhutan Jati, Kabupaten Blora. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Semarang 11 September 2012. Rejekiningrum, R dan B, Kartiwa. 1999. Pengaruh Sifat Hujan dan Karakteristik Biofisik DAS Terhadap Debit Banjir DAS Kaligarang Semarang. J. Agromet 14(1-2): 13-24. 1999. Schmidt and Ferguson. 1957. Instruction and Tabels For Computing Potensial Evapotransprration And Water Balance . Publication in Climatology Drexel Institute of Technology, Laboratory of Climatology. Thornthwaite, C.W. and J.R. Mather. 1957. Instruction and Tabels For Computing Potensial Evapotransprration And Water Balance . Publication in Climatology Drexel Institute of Technology, Laboratory of Climatology. 52 PEMANFAATAN CITRA DARI GOOGLE EARTH DAN DEM ASTER YANG BEBAS DIUNDUH UNTUK MENDAPATKAN BEBERAPA PARAMETER LAHAN1 Oleh : Tyas Mutiara Basuki dan Nining Wahyuningrum2 2* 2 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected] *E-mail : [email protected] ABSTRACT Land cover and slope are essential biophysical parameters for monitoring and evaluating of watershed condition. Those informations can be extracted from remotely sensed data. The data are commonly expensive, while monitoring and evaluation (monev) of watershed condition should be conducted in every year. Therefore, utilization of free access of remotely sensed data is an effort to reduce cost of monev. This study is intended to evaluate the utilization of DEM ASTER and image from Google Earth in providing information on slope and land cover. These parameters were then used to predict erosion based on USLE (Universal Soil Loss Equation) method and land capability classes. The study was conducted in Samin Sub-Watershed, Central Java. The results suggest that open access of imageries provide reasonable results for slope and land cover classifications. For slope classification, DEM ASTER provides an overall accuracy of 79.5% with Kappa agreement of 0.67, while land cover classification using image from Google Earth produces an average accuracy of 70.3% with Kappa agreement of 0.60. Prediction of soil erosion shows that severe soil erosion is also found in forest area because of its very steep slope. Land capability classification shows that the study area is dominated by class IV with slope as a restriction. It is found that some of the area in class VII is still used for settlement and dryland cultivation with minimum soil conservation practices. The use of free access remotely sensed data reduce the cost of monitoring in term of slope and land cover classification, with reasonable result. The limitation using the image is land cover classification must be conducted based on visual interpretation. Keywords: imagery, slope, land cover, erosion, land capability 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan, pada tanggal 12 juni 2013. 53 I. PENDAHULUAN Vegetasi penutup dan kemiringan lahan atau lereng merupakan parameter biofisik yang penting dalam kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) kondisi lahan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Kedua jenis parameter tersebut sering digunakan sebagai parameter yang berdiri sendiri ataupun digunakan untuk menghitung parameter lain dalam monev kinerja DAS, seperti dalam prediksi erosi yang terjadi dan penentuan kelas kemampuan penggunaan lahan (KPL). Jenis penutupan lahan bersifat dinamis, sehingga dalam kegiatan monev kinerja DAS informasi tersebut perlu pembaharuan secara periodik. Informasi penutupan lahan terkini dapat diperoleh dari klasifikasi citra yang dihasilkan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (Stefanov et al., 2001; Rogan et al., 2002; Chust et al., 2004; Yuan et al., 2005). Citra Land Sattelite (Landsat) merupakan salah satu jenis citra yang sudah lama diproduksi dan banyak digunakan untuk klasifikasi penutupan lahan. Selain Landsat, beberapa citra yang dihasilkan dari sensor optik seperti Satellite Probatoire d'Observation de la Terre (SPOT), Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER), IKONOS, Quickbird, Hyperspectral, dan World View banyak digunakan untuk mendapatkan data penutupan lahan. Namun demikian, biaya yang dibutuhkan untuk membeli citra-citra tersebut cukup mahal. Di lain pihak monitoring kinerja DAS perlu dilakukan setiap tahun sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 47 Ayat 1, Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2012. Sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi biaya pembelian citra, perlu dikaji pemanfaatan beberapa jenis citra yang bebas diunduh. Citra Landsat yang sudah termasuk arsip (archive) merupakan citra yang bebas diunduh, namun informasi yang diperoleh dari citra Landsat tersebut bukan yang terbaru. Alternatif lain adalah penggunaan citra MODIS yang bebas diunduh dari website National Aeronautics Space Administration (NASA) (Stefanov and Netzband, 2005) dan citra dari Google Earth (Fritz et al., 2009). Kelebihan dari citra MODIS adalah resolusi radiometrik dan temporal yang tinggi dimana jumlah band yang cukup banyak dan revisit time yang pendek, 54 namun resolusi spasialnya tergolong sedang sampai kecil antara 250 m hingga 1 km (Stefanov and Netzband, 2005). Citra yang diunduh dari Google Earth walaupun hanya mempunyai band tunggal, namun jarak pengambilan gambar dapat diatur sesuai kebutuhan sehingga informasi yang dibutuhkan dapat diperoleh (maksimal sesuai dengan resolusi citra yang tersedia). Citra dari Google Earth sudah banyak digunakan untuk klasifikasi penutupan lahan secara langsung maupun untuk memvalidasi klasifikasi penutupan lahan dengan citra yang resolusinya lebih rendah (Cha and Park, 2007; Fritz et al., 2009). Selain digunakan untuk mendapatkan informasi penutupan lahan, citra tersebut dapat juga dipergunakan untuk identifikasi teknik konservasi tanah secara global maupun untuk melihat batuan singkapan (Dunhill, 2011). Thenkabail et al. (2007) menggunakan citra dari Google Earth untuk estimasi areal yang mendapatkan irigasi. Dorais and Cardille (2011) menggunakan detil informasi dari citra Google Earth yang diintegrasikan dengan citra MODIS untuk mengidentifikasi degradasi hutan di Borneo. Selain penutupan lahan, parameter biofisik yang dibutuhkan pada kegiatan monev DAS adalah kelerengan. Parameter tersebut dapat diperoleh dari citra DEM (Digital Elevation Model). Untuk skala global saat ini tersedia dua jenis citra DEM, yaitu DEM SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dan DEM ASTER (Hirano et al., 2003; Paul et al., 2004). DEM SRTM dengan resolusi spasial 90 m dapat diunduh bebas dari website USGS, NASA (Gorokhovich and Voustianiouk, 2006), sedangkan citra DEM ASTER dengan resolusi spasial 30 m dapat diperoleh secara gratis melalui website Ministry of Economy, Trade and Industry of Japan (METI). Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, studi ini dilakukan untuk mengkaji pemanfaatan citra DEM-ASTER dan Google Earth untuk mendapatkan informasi kelerengan dan penutupan lahan. Kedua informasi tersebut selanjutnya digunakan untuk memprediksi erosi dan KPL yang merupakan dua parameter dalam kegiatan monev kinerja DAS. Selain itu, citra dari Google Earth juga digunakan untuk mendapatkan gambaran umum informasi praktek konservasi tanah pada lokasi kajian. 55 II. METODE A. Lokasi Penelitian dilakukan di Sub-DAS Samin pada tahun 2012. Secara administratif, wilayah tersebut termasuk kedalam Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah. Topografi Sub-DAS Samin di bagian hulu berbukit-bukit yang dengan kelerengan sangat curam (>45%). Penggunaan lahan pada bagian hulu adalah hutan lindung dan kebun sayur. Sementara itu di bagian tengah dan hilirpenggunaan lahan lebih banyak didominasi oleh tegal/sawah dan permukiman dengan kemiringan lahan landai hingga datar. B. Klasifikasi lereng dan penutupan lahan Klasifikasi lereng dilakukan dengan menggunakan citra DEM ASTER dan dengan menggunakan software ArcMap 9.2. Georefensi dilakukan pada data raster dengan menggunakan sistem koodinat UTM WGS 84. Selanjutnya citra diklasifikasi menjadi 5 kelas lereng, yaitu 0-8%, 8-15%, 15-25%, 25-45% dan > 45%. Data raster ini selanjutnya diubah menjadi data vektor. Pengecekan lapangan dilakukan pada 78 titik yang selanjutnya digunakan untuk validasi data. Klasifikasi penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan software Google-earth-4.2.0196-Beta (CNET, 2008), (GE_jpg-extractor (TM (R)+C2012, 2012) dan GEsticher (Appronic, 2013) yang bebas diunduh. Bahan klasifikasi diperoleh dari citra Quickbird tahun 2011 yang diunduh secara bebas. Klasifikasi citra dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: Pengunduhan citra dan penggabungan citra (stitches) Georeferensi, dengan sistem koordinat UTM WGS 84 Zona 49 S Delineasi batas penutupan lahan dengan menggunakan metode onscreen digitizing dengan software ArcMap 9.2 Penutupan lahan diklasifikasikan menjadi 6 kelas, yaitu hutan, kebun campur, pemukiman, sawah, tegal dan tubuh air. Pengecekan lapangan pada 64 titik dilakukan untuk keperluan validasi hasil klasifikasi. Citra dari Google Earth juga digunakan untuk mendapatkan 56 informasi penerapan konservasi tanah secara umum, berdasarkan kenampakan terasering. Untuk mengetahui detil teknik konservasi tanah yang diterapkan seperti penguat teras dengan rumput maka perlu dilakukan pengecekan lapangan. C. Prediksi erosi dengan USLE Besarnya erosi diprediksi berdasarkan rumus USLE (Universal Soil Loss Equation) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) sebagaimana pada persamaan (1). A = RKLSCP dimana: A = Banyaknya tanah tererosi (ton/ha/tahun) R = Indeks erosivitas hujan K = Indeks erodibilitas tanah LS = Indeks panjang dan kemiringan lereng C = Indeks pengelolaan tanaman P = Indeks upaya konservasi tanah Oleh karena data hujan yang tersedia merupakan data bulanan maka, erosivitas hujan dihitung berdasarkan Utomo dan Mahmud 1984 dalam Tresnawati (1991) seperti pada persamaan (2). R = 10,80 + 4,15 H_bln dimana: R = Indeks erosivitas hujan H_bln = curah hujan bulanan (mm) Penggunaan rumus tersebut diasumsikan yang sesuai dengan kondisi biofisik dan hujan yang ada, karena perhitungan dengan rumus lain menghasilkan erosi yang sangat berat sekali yang tidak sesuai kandungan sedimen yang dihasilkan pada outlet dari sub-DAS yang diamati. Data hujan diperoleh dari delapan stasiun hujan yang terletak di 8 kecamatan yang tersebar merata. Titik-titik stasiun hujan tersebut disusun menjadi polygon Thiesen untuk mendapatkan nilai hujan pada lokasi yang terwakili. Erodibilitas tanah ditentukan berdasarkan tekstur tanah sesuai dengan pedoman buku Sidik Cepat Degradasi Sub-DAS (Paimin et al., 2010). 57 Parameter lereng diakses dari DEM ASTER seperti yang telah diterangkan sebelumnya pada Sub-Bab IIB. Nilai LS dihitung berdasarkan rumus Arnoldus (1977) dalam Tresnawati (1991) seperti pada persamaan (3). LS = (L/22,1)0,6 x (S/9)1,4 (3) Nilai pengelolaan tanaman (C) dan tindakan konservasi tanah (P) disatukan menjadi nilai CP yang digunakan oleh Ditjen RLPS (2009). D. Klasifikasi kemampuan penggunaan lahan Kelas KPL dinilai berdasarkan kondisi penutupan lahan, penerapan teknik konservasi tanah, kemiringan lereng, curah hujan, dan beberapa sifat tanah seperti yang tercantum dalam Lampiran 1 (Priyono dan Savitri, 1999). Data yang digunakan diperoleh dari analisis citra satelit, hasil pengamatan langsung di lapangan, serta data curah hujan. E. Analisis data Parameter-parameter yang digunakan untuk memprediksi erosi dengan USLE dan juga untuk klasifikasi KPL ditumpang-susunkan (overlay) sesuai dengan parameter yang dibutuhkan. Hasil prediksi erosi tersebut juga merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk klasifikasi KPL. Hasil tumpang-susun adalah berupa poligonpoligon yang dilengkapi dengan atribut-atribut yang mencerminkan karakteristik masing-masing unit lahan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi tanah, lereng dan penutupan lahan Sub-DAS Samin sebagian besar (55%) mempunyai areal yang relatif datar (lereng 0 – 8%) seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1. Lahan dengan lereng sangat curam (> 45%) hanya menempati 6% dari arealnya. Secara spasial distribusi lereng dapat dilihat dalam Gambar 2, dimana pada bagian atas di Tawangmangu dan sekitarnya memiliki 58 lereng curam sampai sangat curam, sedangkan di bagian tengah dan hilir lereng landai hingga datar. Gambar (Figure) 1. Persentase kelas lereng di Sub-DAS Samin (Percentage of slope classes at Samin Sub-Watershed) Perhitungan tingkat akurasi estimasi kemiringan lereng yang diturunkan dari citra DEM ASTER dilakukan dengan melihat matrik kesalahan (error matrix) dan nilai Kappa seperti yang tercantum dalam Tabel 1. Secara keseluruhan klasifikasi kelas lereng mempunyai akurasi 79,5% dan Kappa 0.67 yang tergolong sangat sesuai. Kesalahan klasifikasi terbesar dijumpai pada kelas lereng 0 – 8% dengan 8 – 15 %. Berdasarkan pengamatan lapangan, pada lereng-lereng yang curam masih dijumpai solum tanah cukup dalam. Menurut peta “Land System” skala 1:250.000, tanah di Sub-DAS Samin didominasi ordo “Inceptisols”, namun demikian di lapangan terlihat areal yang termasuk ordo Ultisols. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam menggunakan peta skala kecil memungkinkan untuk terjadinya generalisasi sehingga informasi kurang detil. Untuk itu pengamatan secara langsung di lapangan sangat diperlukan guna memperoleh informasi yang benar. 59 Gambar (Figure)2. Distribusi spasial kelas lereng Sub-DAS Samin (Spatial distribution of slope classes at Samin Sub-Watershed) Tabel (Table) 1. Matrik kesalahan klasifikasi lereng Sub-DAS Samin (Error matrix of slope classification in Samin Sub-Watershed). Pengukuran lapangan 0-8% Klasifikasi lereng yang dihasilkan dari DEM ASTER Total Akurasi 8-15% 15-25% 25-45% > 45% klasifikasi produsen 0-8% 36 1 0 0 0 37 97,3% 8-15% 8 16 0 0 0 24 66,7% 15-25% 0 0 2 0 0 2 100% 25-45% 3 1 1 3 0 8 37,5% >45% Keseluruhan kelas Akurasi pengguna 0 0 0 2 5 7 71,4% 47 18 3 5 5 78 76,6% 88,9% 66,7% 60% 100% Akurasi total (Overall accuracy): 79.5% Kappa: 0.67 Nilai Kappa untuk berbagai tingkat kesesuaian/kecocokan (Kappa agreement classification): <0 = Tidak sesuai (Less than chance agreement) 0.01–0.20 = Agak sesuai (Slight agreement) 0.21– 0.40 = Cukup sesuai (Fair agreement) 60 0.41–0.60 = Sesuai (Moderate agreement) 0.61–0.80 = Sangat sesuai (Substantial agreement) 0.81–0.99 = Hampir sesuai sempurna (Almost perfect agreement) Penutupan lahan di Sub-DAS Samin didominasi oleh sawah dengan persentase sekitar 34% dari total wilayahnya, diikuti oleh pemukiman (24%), tegalan (17%), kebun campur (13%), dan hutan (10%) seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2. Hutan umumnya terletak pada areal dengan kelerengan curam hingga sangat curam. Namun demikian sebagian kebun campur, tegalan, maupun pemukiman juga menempati areal dengan kelerengan sangat curam. Tegalan yang digunakan untuk budidaya sayur-sayuran umumnya menempati lahanlahan dengan kelerengan curam. Namun demikian, sebagian besar lokasi tersebut sudah menerapkan teknik konservasi tanah secara mekanis maupun vegetatif. Distribusi spasial penggunaan lahan pada lokasi kajian disajikan dalam Gambar 3. 61 Tabel (Table) 2. Penutupan lahan pada berbagai kelas lereng di Sub-DAS Samin (Land cover on various slope classes at Samin Sub-Watershed) Penutupan lahan Hutan Kebun Campur Pemukiman Sawah Tegal Tubuh air 0–8% Luas (ha) % Luas 8 – 15% Luas (ha) % Luas 423,09 2,13 261,53 1,32 719,66 3225,99 4394,58 2026,16 167,80 10957,29 3,63 16,27 22,16 10,22 0,85 55,25 419,96 957,02 1347,41 769,62 54,59 3810,12 2,12 4,83 6,79 3,88 0,28 19,21 Kelas lereng 15 – 25 % 25 – 45 % Luas (ha) % Luas Luas % Luas (ha) 238,31 1,20 538,60 2,72 387,49 376,14 569,18 287,76 11,67 1870,54 1,95 1,90 2,87 1,45 0,06 9,43 62 671,52 152,83 389,20 276,14 2,83 2031,12 3,39 0,77 1,96 1,39 0,01 10,24 >45 % Luas % Luas (ha) 539,66 2,72 394,93 21,12 122,90 82,32 1,52 1162,44 1,99 0,11 0,62 0,42 0,01 5,86 Total (ha) 2001,19 % 10,09 2593,54 4733,10 6823,27 3441,99 238,41 19831,50 13,08 23,87 34,41 17,36 1,20 100,00 Gambar (Figure) 2. Distribusi spasial penutupan lahan di Sub DAS Samin (Spatial distribution of land cover at Samin Sub Watershed) Hasil perhitungan tingkat akurasi klasifikasi penutupan lahan dicantumkan dalam Tabel 3. Kesalahan yang banyak terjadi dalam klasifikasi adalah antara jenis penutupan lahan kebun campur dengan tegalan dan antara tegalan dengan sawah. Hal ini disebabkan oleh adanya penanaman beberapa jenis tanaman keras pada batas-batas petak kepemilikan tegalan yang nampak seperti kebun campur pada citra satelit karena tajuknya yang rimbun. Pada areal tegalan juga sering diklasifikasikan sebagai sawah atau sebaliknya. Hal demikian terjadi karena seringkali lahan pada kedua penggunaan tersebut diteras walaupun pada umumnya teras untuk sawah lebih baik daripada teras untuk tegalan. Disamping itu, sawah sering dikonversi menjadi tegalan tergantung pada kondisi pasar suatu jenis komoditi hasil pertanian. Harga dari komoditi yang lebih menguntungkan pada suatu musim akan lebih disukai untuk ditanam masyarakat pada saat itu. Tingkat akurasi dari klasifikasi penutupan lahan dalam Tabel 3 tersebut cukup baik, dimana akurasi total adalah sebesar 70% dengan nilai Kappa sebesar 0,60. Namun demikian, nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tingkat akurasi yang diperoleh Ghorbani dan 63 Pakravan (2013). Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan oleh Ghorbani dan Pakravan (2013) di DAS Darasi, Barat Laut Iran dengan menggunakan citra Google Earth mendapatkan akurasi total 94% dengan nilai Kappa 0.90 Penyebab terjadinya perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh kharakteristik penutupan lahan yang berbeda. Di Sub-DAS Samin terdapat penutupan lahan hutan yang dalam analisis sering rancu dengan kebun campur yang juga mempunyai tajuk yang rimbun. Dilain pihak dalam lokasi penelitian Ghorbani dan Pakravan (2013) tidak dijumpai hutan. Tabel (Table) 3. Matrik kesalahan klasifikasi penutupan lahan Sub-DAS Samin (Matrix error of land cover classification at Samin Sub-Watershed) Pengecekan lapangan (Ground check) Klasifikasi citra dari Google Earth Hutan Kebun Pemu campur kiman Hutan 10 1 Kebun 3 18 Pemukiman Sawah Tegal 11 1 1 3 Sawah 2 Tegal Keseluruhan kelas Akurasi Pengguna 5 Keseluruhan klasifikasi 2 23 3 3 7 4 11 20 64 13 26 5 8 12 76,9% 69,2% 60,0% 37,5% 91,7% Overall accuracy (Akurasi total): 70,3% Kappa: 0,60 =Moderate agreement (Sesuai) Nilai Kappa pada berbagai kesesuaian/kecocokan (Kappa Agreement) < 0 Less than chance agreement (Tidak sesuai) 0,01–0,20 = Slight agreement (Agak sesuai) 0,21– 0,40 = Fair agreement (Cukup sesuai) 0,41–0,60 = Moderate agreement (Sesuai) 0,61–0,80 = Substantial agreement (Sangat sesuai) 0,81–0,99 = Almost perfect agreement (Hampir sesuai sempurna) 64 Akurasi Produsen 90,0% 78,3% 100,0% 42,9% 55,0% Berdasarkan hasil analisis yang telah dikerjakan diperoleh bahwa pemanfaatan citra dari Google Earth cukup baik digunakan untuk analisis penutupan lahan karena resolusi spasial yang tinggi. Walaupun analisis klasifikasi penutupan lahan dilakukan secara visual, untuk mendapatkan ketajaman kenampakan masing-masing penutupan lahan dapat diatur jarak antara obyek yang ada di permukaan tanah dengan pengambilan citra. Namun demikian kelemahan dari penggunaan citra dari Google Earth adalah analisis klasifikasi penutupan lahan harus dilakukan secara visual dan tidak bisa dilakukan analisis secara otomatis berdasarkan spectral bands. B. Konservasi tanah Citra dari Google Earth hanya bisa memberikan gambaran secara global adanya terasering di lokasi penelitian. Detil praktek konservasi tanah dilakukan berdasarkan pengamatan di lapangan. Kombinasi teras bangku dan teras gulud banyak dijumpai di lahan-lahan untuk budidaya sayuran. Jika diamati lebih detil, sebagian lahan sayuran diberi guludan yang sejajar lereng pada bidang olahnya agar tanaman tidak tergenang air, namun terasnya sendiri dibuat memotong lereng (Gambar 4a). Jenis konservasi tanah yang lain hanya menggunakan guludan, namun saluran pembuangan air ditanami rumput (Gambar 4b dan c). Terasering pada areal yang ditanami kacang tanah, kedelai, singkong ataupun tanaman palawija lainnya umumnya tidak diberi penguat seperti yang terlihat pada Gambar 4d. 65 (a) (b) (c) (d) Gambar (Figure) 4. Beberapa teknik konservasi tanah di Sub-DAS Samin (Various soil conservation techniques at Samin SubWatershed) C. Prediksi erosi dengan USLE Informasi lereng yang diturunkan dari DEM ASTER, erosivitas hujan, erodibilitas tanah yang diprediksi dari tekstur tanah, pengamatan teknik konservasi tanah dari Google Earth dan pengecekan lapangan digunakan untuk memprediksi erosi. Prediksi erosi dengan USLE menunjukkan bahwa erosi > 480 ton/ha/tahun dijumpai pada lahan tegalan, dan sebaliknya erosi < 15 ton/ha/tahun tidak dijumpai pada penggunaan lahan tersebut (Tabel 4). 66 Pada areal permukiman prediksi erosi cukup tinggi, nilai CP yang digunakan adalah 0,05. Nilai ini merupakan nilai CP untuk pemukiman dengan pekarangan luas yang dijadikan tegalan. Berdasarkan pengamatan di lapangan memang benar di bagian tengah Sub-DAS Samin, seperti pada DAS mikro Ngunut, pekarangan umumnya diolah untuk tegalan. Sejauh ini belum diperoleh nilai CP untuk pekarangan yang tidak diolah. Erosi < 15 ton/ha/tahun terluas dijumpai pada areal persawahan yang menempati sekitar 31%. Erosi sebesar 180-480 ton/ha/tahun juga dijumpai pada areal kebun campur. Hal ini terutama disebabkan oleh lereng yang curam hingga sangat curam. Gambar 5 menunjukkan distribusi spasial prediksi erosi di Sub-DAS Samin. Tabel (Table) 4. Prediksi erosi menggunakan USLE pada berbagai penutupan lahan (Predicted erosion using USLE at various land cover) Penutupan lahan Hutan Kebun Campur Persentase luasan pada masing-masing tingkat erosi < 15 ton/ha/th 15-60 ton/ha/th 60-180 ton/ha/th 4,7 5,5 0,0 180-480 ton /ha/th > 480 ton/ha/th Total (ton/ha/tahun) 0,0 0,0 10,2 3,7 3,0 1,9 4,7 0,0 13,2 Pemukiman 16,2 6,2 1,1 0,7 0,0 24,2 Sawah 30,7 2,1 2,0 0,0 0,0 34,8 Tegal 0,0 14,0 1,7 1,4 0,4 17,6 Total 55,3 30,8 6,7 6,8 0,4 100,0 67 Gambar (Figure) 5. Prediksi erosi menggunakan USLE di Sub-DAS Samin (Predicted erosion using USLE at Samin Sub-Watershed) F. Kemampuan Penggunaan Lahan Penutupan lahan aktual pada berbagai kelas KPL yang dijumpai di SubDAS Samin disajikan pada Gambar 6. Pada kelas KPL ≥ V sebagian lahan digunakan untuk pemukiman, sawah dan tegalan, sebaliknya KPL IV sebagian juga tertutup hutan rakyat. Lahan yang termasuk kelas KPL ≥ V seharusnya hanya sesuai untuk hutan dan kebun campur (Fletcher and Gibb, 1990). Lahan-lahan dengan kelas KPL < V yang ditanami tanaman keras umumnya disebabkan oleh ketiadaan tenaga kerja untuk budidaya tanaman semusim yang membutuhkan banyak tenaga untuk penyiapan lahan maupun pemeliharaan tanaman secara intensif. Lahan yang termasuk kedalam KPL kelas IV atau V dengan penghambat kemiringan lereng dapat ditingkatkan kelasnya dengan cara menerapkan teknik konservasi tanah. Penerapan terasering pada lahan-lahan yang miring akan mengurangi panjang lereng sehingga dapat mengurangi erosi yang terjadi. Untuk kelas KPL dengan 68 penghambat iklim, maka kelasnya tidak bisa diubah karena iklim merupakan faktor alami yang relatif bersifat tetap. Persentase KPL terhadap luas Sub-DAS 30 25 20 Hutan 15 Kebun Campur 10 Pemukiman Sawah 5 Tegal 0 IIIc IIIg IVs IVg Vs VIg VIIg Kelas kemampuan penggunaan lahan Gambar (Figure) 6. Kondisi aktual penutupan lahan pada berbagai kelas kemampuan penggunaan lahan (Existing land cover at various land capability class). IV. KESIMPULAN 1. Hasil kajian menunjukkan bahwa penggunaan data penginderaan jauh dari citra satelit yang bebas diunduh memberikan tingkat akurasi yang baik. Klasifikasi kelas lereng dengan menggunakan DEM ASTER menghasilkan akurasi total sebesar 79,5 % dengan nilai Kappa 0,67 yang tergolong sangat sesuai (substantial agreement). Akurasi total 70% dengan Kappa 0,60 diperoleh pada klasifikasi penutupan lahan menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari Google Earth. 2. Teknik konservasi tanah yang dapat diidentifikasi pada citra dari Google Earth hanya bersifat global. Detil teknik konservasi tanah hanya bisa diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan. 3. Prediksi erosi dengan menggunakan USLE menunjukkan bahwa tingkat erosi berat tidak hanya terjadi pada areal tegalan, namun juga dijumpai di hutan maupun pemukiman. Di areal hutan, erosi yang tinggi disebabkan oleh lereng yang sangat curam, sedangkan 69 di pemukiman disebabkan faktor CP yang digunakan merupakan nilai dari pekarangan yang digunakan sebagai tegalan. 4. Kemampuan penggunaan lahan di Sub-DAS Samin didominasi oleh kelas IV dengan lereng sebagai faktor penghambat. Untuk menaikkan kelas KPL dari kelas IV menjadi III atau V menjadi IV maka perlu dilakukan penerapan teknik konservasi tanah misalnya dengan terasering. 5. Pemanfaatan citra yang dapat diunduh secara gratis dan memberikan hasil klasifikasi dengan akurasi yang baik merupakan salah satu alternatif untuk memperbaharui informasi penutupan lahan yang dinamis. Hal ini juga akan mengurangi anggaran pengumpulan data dalam rangka monitoring kinerja DAS. DAFTAR PUSTAKA Cha, S., and C. Park. 2007. The utilization of Google Earth images as reference data for the multitemporal land cover classification with MODIS data of North Korean. Korean Journal of Remote Sensing 23 (5): 483 – 491. Chust, G., D. Ducrot, D., and J.L. Pretus. 2004. Land cover mapping with patch-derived landscape indices. Landscape and Urban Planning 69: 437 – 449. Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2009. Pedoman Monitoring dan Evaluasi DAS. Jakarta. Dunhill, A.M., 2011. Using remote sensing and a geographic information system to quantify rock exposure area in England and wales: implications for paleodiversity studies. Geology 39(2): 111-114. Geological Society of America. Fletcher, J. R. and R. G. Gibb. 1990. Land Resource Survey Handbook For Soil Conservation Planning In Indonesia, Ministry of Forestry Directorate General Reforestation and Land Rehabilitation Indonesia and Department of Scientific and Industrial Research DSIR Land Resources Palmerston North New Zealand. Fritz, S., I. McCollum, C. Schill, C. Perger, R. Grillmayer, F. Achard, F. Kraxner, and M. Obersteiner. 2009. Geo-wiki.org: The use of crowdsourcing to improve global land cover. Remote Sensing 1: 345 – 354. 70 Gorokhovich, Y. and A. Voustianiouk., 2006. Accuracy assessment of the processed SRTM-based elevation data by CGIAR using field data from USA and Thailand and its relation to the terrain characteristics. Remote Sensing of Environement 104: 409-415. Hirano, A., R. Welch, and H. Lang. 2003. Mapping from ASTER stereo image data: DEM validation and accuracy assessment. ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing 57: 356 – 370. Apponic. 2013. Apponic free download. http://www.4shared.com/file/ IBf2im7l/GEStitcher.html. CNET. 2008. CBS interactive Inc. http://www.4shared.com/file/ M0u0LZkd/ Google-Earth-420196-Beta.html. TM (R)+C2012.alOt., Inc. http://www.4shared.com/file/xe3kKyWs/ GE_jpg_extractor.html. kioskea.net Paimin, Sukresno, dan Purwanto. 2010. Sidik Cepat Degradasi Sub-DAS. Edisi kedua. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Paul, F., C. Huggel, and A. Kääb. 2004. Combining satellite multispectral image data and a digital elevation model for mapping debris-covered glaciers. Remote Sensing of Environment 89: 510 – 518. Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan daerah Aliran Sungai. Kementrian Sekretariat Negara RI. Jakarta. Priyono, C.N.S, dan E. Savitri. 1999. Pedoman teknis kesesuaian lahan dan jenis-jenis HTI. Pedoman Teknis. Balai Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Rogan, J., J. Franklin, and D.A. Roberts. 2002. A comparison of methods for monitoring multitemporal vegetation change using Thematic Mapper imagery. Remote Sensing of Environment 80: 143 – 156. Stefanov, W.L., M.S. Ramsey, and P.R. Christensen. 2001. Monitoring urban land cover change classification of semi arid to arid urban centers. Remote Sensing of Environement 77:173 – 185. Stefanov, W.L. and M. Netzband. 2005. Assessment of Aster land cover and MODIS NDVI data at multiple scales for ecological characterization of an arid urban center. Sensing of Environement 99: 31-43. Thenkabail, P., C.M. Birader, P. Noojipady, X. Cai, Dheeraavath, V., Y. Li, M. Velpuri, N. Gumma, and S. Pandey. 2007. Sub-pixel area 71 calculation methods for estimating irrigated areas. Sensors 7:2519 – 2538. Tresnawati, D. 1991. Prediksi erosi menggunakan USLE pada beberapa Kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Skripsi, IPB., Bogor. Wischmeier, W.H., and D. Smith. 1978. Predicting rainfall erosion losses. A guide to conservation planning. U.S. Dept. Of Agriculture, Agriculture Handbook No. 537. Yuan, F., K.E. Sawayu, B.C. Loeffelholz, and Baver, M.F., 2005. Land cover classification and change analysis of the Twin Cities (Minnesota) Metropolitan area by multitemporal Landsat remote sensing. Remote sensing of Environment 98: 317 – 328. 72 Lampiran (Annex) 1. Kriteria Kemampuan Penggunaan Lahan (Land Capability Criteria) No 1 Kelas e 2 3 4 Hambatan Adanya teknik konservasi tanah, terasering, dll Tingkat Erosi Drainase Tekstur tanah e w s Terabaikan Terhambat L, SiL 5 Struktur tanah s 6. 7 Kedalaman tanah (cm) Kedalaman regolith (cm) Persentase gravel (%) Persentase singkapan (%) Iklim Bulan basah > 200 mm Bulan kering < 100 mm Slope (%) s s Granular kasar > 90 > 200 s s - - 7-12 7-9 atau 5-6 c 0-1 2-3 atau 0-1 g 0-8 - 8 9 10. 11. I 100 II III 60-80 100 Ringan Agak terhambat SL, SCL, CL, SiCL Granular halus 60-90 100-200 IV 60-80 Sedang Berat Sedang Cepat LS, Si, S SC, C, SiC BlockyBlocky platy 30-60 15-30 80-100 60-80 - V 20-60 Sangat cepat - VI 10-40 1-20 VII VIII 1-20 - - - - - - 0-15 40-60 20-40 10-20 <10 1-10 1-10 10-20 10-20 20-40 20-60 40-80 >60 >80 3-4 3-4 atau 0-3 0-2 0-2 0-1 2-6 7-8 atau 0-1 - 2-6 7-9 - 25-45 >45 - c 5-6 atau 3-4 2-6 atau 0-1 8-15 15-25 Keterangan: e = erosion, w =wetness, s = soil, c = climate, g = gradient, L = loam, SiL = Silty loam, SL = Sandy loam, SCl = Silty clay loam, Cl = Clay loam, SiCl = Silty clay loam, LS = Loamy sand, Si = Silt , SC = Sandy clay, C = Clay, SiC = Silty clay 73 KAJIAN KELEMBAGAAN KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HULU SUB-DAS GANDUSUWADUK, PATI – JAWA TENGAH1 Oleh : C. Yudilastiantoro2 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected] 2 Email: [email protected] ABSTRAK Lembaga tingkat petani dalam hal ini kelompok tani di daerah penelitian belum berperan dalam mengajak anggotanya untuk menerapkan usahatani berbasis konservasi tanah dan air. Tujuan penelitian, mengkaji kelembagaan tingkat petani yang berbasis konservasi tanah dan air menuju kelestarian hutan, tanah dan air. Metode penelitian dilakukan dengan teknik wawancara terstruktur kepada 30 responden, dilanjutkan dengan diskusi kelompok untuk mencermati data yang sudah terkumpul. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode diskriptif kualitatif dan klasifikasi parapihak. Hasil penelitian: Lembaga yang berperan penting dalam membangun kelembagaan tingkat petani adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati melalui Petugas Penyuluh Pertanian (PPL) yang berperan sebagai pendamping kelompok tani dan Perum Perhutani BKPH Regaloh melalui Ketua RT merangkap Ketua Sub LMDH serta Kelompok Tani Wana Lestari. Mereka berperan dalam merencanakan, melaksanakan dan memonitor serta mengevaluasi kegiatan konservasi tanah dan air di desa Gunungsari. Kelompok Tani Wana Lestari dibutuhkan oleh masyarakat tani desa Gunungsari, sebagai tempat informasi pemasaran hasil usahatani sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Kata kunci : kelembagaan, pengelolaan, lahan, lestari, konservasi, tanah 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan, pada tanggal 12 juni 2013. 74 I. PENDAHULUAN Hulu Sub DAS Gandu Suwaduk, secara administrasi terletak di Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Desa tersebut merupakan daerah penghasil ubikayu (Manihot utilissima). Topografinya bergunung-gunung dengan kelerengan antara 30% – 45%. Sejak 10 tahun terakhir para petani sudah mengusahakan tanaman ubikayu tanpa menerapkan konservasi tanah dan air. Menurut Bapak Ngarjono sebagai Ketua Kelompok Tani Wana Lestari II, bahwa di Sub DAS Gandusuwaduk yang merupakan bagian wilayah dari desa Gunungsari; pendapatan usahatani dari ubikayu dari tahun ke tahun semakin menurun karena jumlah pengeluaran untuk ongkos usahatani ubikayu bertambah, sedangkan lahan semakin tidak subur karena tererosi . Badan Pusat Statistik Kecamatan Tlogowungu, (2005 dan 2009) menunjukkan Namun produksi ubikayu di Desa Gunungsari secara keseluruhan mengalami kenaikan produksi maupun luas panen, pada tahun 2005 produksi ubikayu per hektar mencapai 1.99 ton, dengan luas panen 59 hektar. Tahun 2009 mencapai 2,71 ton per hektar dengan luas panen 334 hektar (BPS Kecamatan Tlogowungu, 2005 dan 2009). Saat ini di Desa Gunungsari sudah terbentuk kelompok tani – kelompok tani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) terdiri dari: Kelompok Tani Wana Lestari I dan II dan Kelompok Tani Wana Jaya. Kegiatan GAPOKTAN saat ini adalah melaksanakan Proyek Menanam Pohon dari Kebun Bibit Desa (KBD) setempat dan Proyek Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Kementerian Pertanian, yaitu memberikan pinjaman modal usaha tani bagi para petani yang menjadi anggotanya sebesar Rp 500.000. per anggota. Jangka waktu pengembalian pinjaman 10 bulan dengan bunga 1% sebulan. Gapoktan diharapkan dapat menjadi lembaga berbasis ekonomi yang dimiliki dan dikelola oleh petani secara mandiri. Para petani yang lahannya digunakan untuk lokasi penelitian di Sub DAS Gandusuwaduk belum tergabung dalam salah satu kelompok tani. Sehingga diperlukan suatu kelompok sebagai organisasi, wadah atau 75 pranata tempat diskusi dan alih teknologi dari Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai kepada para petani pemilik penggarap lahan tersebut. Kelompok tani ini sangat diperlukan untuk mengupayakan kelestarian tanah dan air dilokasi ini agar produksi ubikayu yang dari tahun ketahun menurun dapat ditekan. Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengkaji kelembagaan tingkat petani berbasis konservasi tanah dan air menuju kelestarian hutan tanah dan air. II. A. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah dari bulan Oktober - Desember 2012. Sub DAS Gandusuwaduk merupakan bagian wilayah dari Desa Gunungsari, yang berpotensi menyumbang erosi karena lahannya miring (>45%) dan ditanami ubikayu tanpa menerapkan usaha konservasi tanah dan air. Para petani di Desa Gunungsari belum semuanya menjadi anggota kelompok tani. Demikian juga para petani yang lahannya digunakan untuk lokasi penelitian ini. B. Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan teknik wawancara terstruktur kepada 30 responden, yang terdiri dari semua petani pemilik penggarap lahan yang digunakan untuk plot penelitian konservasi tanah dan air serta petani pemilik penggarap di sekitarnya. Wawancara dilakukan dengan mendatangi setiap responden baik di rumah maupun di lahan, sehingga diperoleh data tiap pribadi responden. Selanjutnya para responden diundang untuk melakukan diskusi. Diskusi kelompok dilaksanakan untuk mencermati data yang sudah terkumpul. C. Analisis Data Data dianalisis dengan metode diskriptif kualitatif dan klasifikasi para pihak dengan pendekatan power (kekuasaan/wewenang) dan interest 76 (kepentingan) menggunakan empat klasifikasi Mintzberg (1999) dalam Balai Penelitian Kehutanan Solo (2009) yaitu : 1. Key Players : memiliki interest (kepentingan) dan power (kekuasaan/wewenang) yang tinggi 2. Keep involved : memiliki power (kekuasaan/wewenang) yang rendah tetapi interest (kepentingannya) tinggi. 3. Keep Informed : memiliki interest (kepentingan) yang tinggi tetapi power (kekuasaan/wewenang) rendah. 4. Minimal effort : memiliki interest (kepentingan) dan power (kekuasaan/wewenang) yang rendah. Dalam menentukan suatu lembaga mempunyai kekuasaan/wewenang, perlu dilakukan identifikasi dari indikator-indikator : pengaruh, kontrol terhadap sumberdaya alam dan manusia, kepemilikan pengetahuan dan ketrampilan, keterlibatan dalam strategi pelaksanaan dan kontrol terhadap lingkungan (Mintzberg,1999 dalam Balai Penelitian Kehutanan Solo,(2009). Pemetaan lembaga dengan menggunakan metode diagram Venn yaitu dengan menemukenali lembaga yang paling dekat dengan lokasi masyarakat, kekuatan dan potensinya, hubungan antar lembaga, serta peluang dan manfaatnya bagi masyarakat. Semakin besar bulatannya, semakin besar peran lembaga tersebut sebagai sumber informasi, pengetahuan dan pembelajaran di dusun/desa. Semakin dekat dengan lingkaran dusun/desa semakin sering (frekuensinya) lembaga tersebut memberikan informasi, pengetahuan dan pembelajaran kepada masyarakat (Zulkilfi , 2011). III. A. HASIL DAN PEMBAHASAN Peran Para Pihak Berdasarkan hasil analisis para pihak, maka para pihak yang terlibat dalam usahatani konservasi tanah dan air dapat dilihat dari matrik Mintzberg (1999) 77 High Level of Power Low Keep Statisfied Pemerintah Desa Gunungsari Pemerintah Kecamatan Tlogo wungu. Key players Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati Perum Perhutani KPH Regaloh- Pati Minimal Effort Kelompok Masyarakat lainnya (perkumpulan pedagang pengumpul, persatuan tukang ojek, kelompok buruh tani, dll) Keep Informed Kelompok Tani KTA Lembaga Masyarakat Desa Hutan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) High Low Level of Interest Gambar 1. Matriks power dan enterest a. Keep Informed Keep Informed adalah parapihak yang mempunyai kepentingan besar namun kekuasaan/wewenangnya kecil, atau merupakan pihak utama yang dipengaruhi atau merasakan akibat dari kegiatan pihak lain. Lembaga yang termasuk Keep Informed antara lain: Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Gabungan kelompok tani (GAPOKTAN) serta Kelompok Tani Konservasi Tanah dan Air. Lembaga ini mempunyai kepentingan yang besar dalam mengajak anggotanya untuk menerapkan usahatani berbasis konservasi tanah dan air dalam rangka mengurangi erosi di wilayahnya namun tidak mempunyai wewenang dalam membuat kebijakan atau peraturan menuju kelestarian hutan tanah dan air. b. Key Players Key Players mempunyai kekuasaan yang besar dan mempunyai wewenang yang besar untuk melakukan sesuatu seperti membuat aturan atau melaksanakan kegiatan membangun suatu kelompok tani 78 berbasis konservasi tanah dan air. Lembaga yang termasuk Key Players antara lain: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati dan Perum Perhutani Unit I - BKPH Regaloh. Lembaga ini mempunyai kekuasaan atau kewenangan yang besar dalam melestarikan sumberdaya alam melalui program atau kegiatan pelestarian hutan, konservasi tanah dan air serta membina kelompok-kelompok tani sebagai mitra kerjanya. c. Keep Statisfied Keep Statisfied adalah pihak yang mempunyai kepentingan kecil akan tetapi wewenangnya besar. Lembaga yang termasuk Keep Statisfied antara lain: Pemerintah Desa Gunungsari dan Pemerintah Kecamatan Tlogowungu. Lembaga ini mempunyai wewenang untuk membuat kebijakan atau aturan-aturan untuk melaksanakan program atau kegiatan dari instansi yang terkait dengan usahatani berbasis konservasi tanah dan air. d. Minimal Effort Minimal Effort adalah pihak yang mempunyai kepentingan kecil dan wewenangnya kecil. Merupakan lembaga yang kurang atau tidak terkait dalam usahatani konservasi tanah dan air. Lembaga yang termasuk Minimal Effort antara lain: Kelompok Masyarakat Lain seperti Perkumpulan Pedagang Pengumpul, Persatuan Tukang Ojek, Kelompok Buruh Tani, dll. Dengan demikian program parapihak yang termasuk dalam Key Players dapat menyelaraskan program dari lembaga masyarakat yang telah ada di Desa Gunungsari. Sehingga diperlukan kerjasama antar lembaga. Kemampuan lembaga - lembaga yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat harus ditingkatkan untuk lebih mendukung pelaksanaan usahatani berbasis konservasi tanah dan air. B. Lembaga yang Terkait Konservasi Tanah dan Air Berdasarkan tugas pokok dan fungsi, lembaga yang terkait dalam kegiatan usahatani konservasi tanah dan air di desa Gunungsari, 79 antara lain Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah - BKPH Regaloh, Pemerintah Desa Gunungsari, Pemerintah Kecamatan Tlogowungu, Kelompok Tani Wana Lestari I,II dan III. (Gambar 2). Pedagang Pengumpul Pemerintah kecamatan Kel.TaniK ontan Pemerintah Desa Dinas Pertanian Kehutanan Kel. Tani Wana Lestari Kel.Masy BKPH Regaloh LMDH Per Bank an Gambar 2. Diagram Venn untuk lembaga yang terkait pengelolaan DAS di desa Gunungsari Keterangan : = masyarakat desa Gunungsari, Pemerintah Desa digambarkan besar dan berada dalam lingkaran, yang berarti mempunyai peran besar terhadap masyarakat dan dekat dengan masyarakat. Pemerintah Desa merupakan motor dari pembangunan SDM di wilayahnya termasuk menangani semua urusan kemasyarakatan warganya. Pemerintah Kecamatan digambarkan jauh dan kecil, mempunyai arti pengaruh dan peran di dalam pembangunan masyarakat desa Gunungsari lebih kecil dibandingkan pemerintah Desa. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) digambarkan besar dan di dalam lingkaran, yang berarti lembaga ini dekat dengan masyarakat dan berperan/berpengaruh besar terhadap pembangunan masyarakat. Pedagang pengumpul digambarkan berada di lingkaran, yang berarti dekat dengan masyarakat dan diperlukan dalam menopang pembangunan SDM terutama dalam pemasaran hasil bumi. Renternir 80 atau tengkulak atau lintah darat; digambarkan ada di dalam lingkaran besar, yang menunjukan kedekatan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara per-Bank-an digambarkan di luar lingkaran masyarakat, yang berarti kurang dekat dengan masyarakat, kurang dibutuhkan. Kelompok Tani Wana Lestari dan Kelompok Tani Konservasi Tanah dan Air berada di dalam lingkaran masyarakat; namun berbeda besarannya. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati digambarkan berada di luar laingkaran masyarakat dan jaraknya dekat. Hal ini menunjukan bahwa kegiatan instansi ini mendukung pembangunan bidang pertanian dan kehutanan di desa Gunungsari, seperti kegiatan Gerakan penghijauan (Gerhan) dan Kebun Bibit Desa (KBD). BKPH Regaloh digambarkan dekat dengan lingkaran masyarakat, menunjukan bahwa keberadaannya dekat dengan masyarakat dan cukup berperan dalam menunjang pembangunan LMDH di desa Gunungsari. Peran aktif Kelompok Tani yang sudah terbentuk dibutuhkan oleh masyarakat tani untuk digunakan sebagai sarana saling berbagi pengalaman dan berbagi informasi, terutama informasi pemasaran hasil usahatani sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Hindra,2006). Menurut Hendropuspito (1989) dalam Ekawati et al., (2004), bahwa hubungan antar institusi sosial saling mempengaruhi satu sama lainnya. Tidak ada satu institusipun yang dapat hidup sendiri tanpa dipengaruhi oleh institusi lainnya. C. Membangun Kelembagaan berbasis konservasi tanah dan air Membangun kelembagaan merupakan proses jangka panjang, meski tidak berurutan tetapi harus ada untuk sebuah proses membangun pemberdayaan masyarakat. (Awang, et al., 2008). Membangun kelembagaan dalam hal ini kelompok tani konservasi tanah dan air, diawali dengan pertemuan multi pihak di tingkat desa untuk menentukan kriteria siapa pelaku atau anggota masyarakat yang lahannya akan digunakan untuk lokasi penelitian usahatani berbasis konservasi tanah dan air. Lokasi penelitian ini disamping sebagai plot percobaan juga sebagai plot percontohan bagi petani di sekitarnya. Penentuan anggota masyarakat yang lahannya dijadikan 81 plot penelitian usaha tani konservasi tanah dan air menggunakan kriteria yang telah disepakati bersama. Penentuan lokasi penelitian tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak, namun hal itu penting dirumuskan secara bersama, antara para peneliti Balai Peneltian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS) dengan petani pemilik lahan. Oleh sebab itu proses pertama penentuan petani pemilik lahan untuk bersedia lahannya dijadikan plot penelitian menjadi penting. Proses awal inilah yang akan menentukan anggota masyarakat mana yang akan terlibat dalam proses-proses selanjutnya. Menurut Awang, et al., (2008), metode Pendekatan Aksi Partisipatif (PAP) berguna dalam proses memahami dan membangun kebersamaan. PAP menunjukkan adanya hubungan aktif antara petani terpilih yang berjumlah 13 orang kepala keluarga dengan para peneliti BPTKPDAS yang difasilitasi oleh ketua Kelompok Tani Wana Lestari I bapak Ngarjono, untuk melakukan kegiatan usahatani konservasi tanah dan air di masing-masing lahannya sesuai perlakuan penelitian yang telah ditentukan. Kemudian dilanjutkan pada tahap merumuskan visi dan misi bersama. Hal ini menunjukkan bahwa visi dan misi itu bukan bersifat angan-angan semata, namun menjadi cita-cita bersama dan akan dicapai dengan tindakan bersama. Setelah terbentuk sebuah kelompok tani pemilik lahan yang digunakan sebagai sarana penelitian secara partisipatif, maka kelompok ini diberi nama: Kelompok Tani Konservasi Tanah dan Air dengan Ketua bapak Ngarjono. Jumlah anggota 13 orang. Langkah selanjutnya adalah penyusunan aturan internal yaitu berupa Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) kelompok tani. Sebuah lembaga atau kelompok tani di tingkat apapun pada bidang apapun membutuhkan AD dan ART sebagai aturan yang disusun dan berlaku dalam lembaga/ kelompok. Namun sebelum AD dan ART kelompok tani konservasi tanah dan air tersusun, lembaga ini sudah tidak ada kegiatan lagi. Kendala yang dihadapi kelompok tani ini, antara lain: jumlah anggotanya sedikit (13 orang), domisili tersebar, memiliki lahan garapan lain yang lebih luas dan lebih produktif yaitu kopi dibawah tegakan pinus, yang memerlukan tegana dan waktu lebih banyak. Sehingga untuk berkumpul dan bertemu sebulan sekali terasa sulit. 82 Kemudian diadakan pertemuan bersama antara anggota kelompok tani konservasi tanah dan air dengan peneliti BPTKPDAS sebagai pendamping, maka diperoleh kesepakatan bahwa kelompok ini bubar dan anggotanya bergabung dengan kelompok tani Wana Lestari yang jumlah anggotanya lebih banyak yaitu mencapai 100 orang. Aset kelompok tani Wana Lestari sudah mencapai 100 juta lebih yang diperoleh dari iuran anggota dan bantuan pemerintah, antara lain oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten. Pengembangan ekonomi kelompok tani dirasa penting karena kelompok tani membutuhkan dana untuk berbagai kegiatan. Sementara kelompok tani konservasi tanah dan air belum memiliki dana untuk berbagai kegiatannya. Namun kelompok tani Wana Lestari sudah memiliki kegiatan ekonomi antara lain simpan pinjam uang anggota, menyewakan alat untuk prosesing kopi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hindra (2006), bahwa peran pendamping dari instansi sangat diperlukan untuk mendorong dan membimbing masyarakat agar mampu bekerjasama di bidang ekonomi secara berkelompok. Anggota kelompok haruslah terdiri dari masyarakat yang saling mengenal, saling percaya dan mempunyai kepentingan yang sama, sehingga akan tumbuh kerjasama yang kompak dan serasi. Bantuan kemudahan diberikan oleh instansi pembina atau pihak lain untuk menumbuhkan keswadayaan dan kemandirian kelompok. Proses pembangunan kelembagaan konservasi tanah dan air memiliki peran yang penting dalam pengelolaan lahan lestari. Pengelolaan lahan lestari harus mengikuti kaidah konservasi tanah dan air yang dilakukan melalui kerja bersama kelompok yang merupakan hasil dari musyawarah mufakat anggota kelompok dalam meningkatkan produktifitas. IV. A. 1. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Proses membangun kelembagaan konservasi tanah dan air dilakukan melalui kerjasama antara instansi/lembaga kepada kelompok tani, kerjasama antar anggota dalam kelompok tani dan kerjasama dengan masyarakat desa dalam pengelolaan 83 2. 3. B. lahan lestari berbasis konservasi tanah dan air untuk meningkatkan produksi dan meningkatkan pendapatan. Lembaga yang berperan penting dalam membangun kelembagaan tingkat petani adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten lewat Petugas Penyuluh Pertanian (PPL) sebagai pendamping kelompok tani dan Perum Perhutani KPH Regaloh lewat Ketua RT merangkap Ketua Sub LMDH dan para anggota Kelompok Tani Wana Lestari. Mereka berperan dalam merencanakan, melaksanakan dan memonitor serta mengevaluasi kegiatan konservasi tanah dan air di desa Gunungsari. Peran aktif Kelompok Tani Wana Lestari dibutuhkan oleh masyarakat tani desa Gunungsari. Kelompok Tani Wana Lestari digunakan sebagai tempat untuk saling berbagi pengalaman dan berbagi informasi, terutama informasi pemasaran hasil usahatani sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rekomendasi Kemampuan para pihak perlu ditingkatkan dan kegiatannya harus terpadu dengan kegiatan masyarakat dalam mendukung pelaksanaan usahatani berbasis konservasi tanah dan air. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2005. Kecamatan Tlogowungu dalam Angka. Monografi Desa Gunungsari.Pati. Badan Pusat Statistik. 2009. Kecamatan Tlogowungu dalam Angka. Monografi Desa Gunungsari.Pati. Balai Penelitian Kehutanan Solo. 2009. Kajian pola kemitraan pengelolaan hutan rakyat di Jawa Tengah. Laporan Hasil Penelitian. Surakarta. Hindra, B. 2006. Potensi dan kelembagaan hutan rakyat. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 14-23. Bogor. Kementerian Pertanian.2008.Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16/Permentan/OT.140/2/2008, tanggal 11 Pebruari 2008. Tentang pedoman umum Proyek Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Jakarta. 84 San Afri Awang, W.T Widayanti, B. Himmah, A. Astuti, R.M. Septiana, Solehudin dan A. Novenanto .2008. Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). CIFOR. Bogor. Sulistya, E., S. Donie, Y. Indrajaya, S. Retnowati, D. Yuliantoro, Siswo, Sudirman. 2004. Kajian kelembagaan pengelolaan DAS dalam konteks desentralisasi. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknoilogi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Inonesia Bagian Barat. Tidak dipublikasi. Surakarta. Zulkifli, I. 2011. Penyusunan peta sosial www.bintans.web.id/2011/.../penyusunan-peta-sosialkemiskinan.ht...Diunduh tanggal 11 April 2013 85 PEMETAAN KAWASAN RAWAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS: STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT1 Oleh: Arina Miardini dan Nunung Puji Nugroho 2 1* 2 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected] *E-mail: [email protected] ABSTRAK Taman Nasional Bali Barat (TNBB) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki keterwakilan ekosistem hutan yang tergolong lengkap, mulai dari hutan bakau/mangrove, hutan pantai, hutan musim, hutan evergreen, hutan dataran rendah, sampai savanna. Gangguan yang secara intensif mengancam keberadaan kawasan TNBB adalah kebakaran hutan, terutama pada hutan musim dan pada savanna yang didominasi oleh tumbuhan bawah berupa rumput, semak-semak, alangalang, dan serasah tegakan hutan yang kering pada saat musim kemarau, sehingga menimbulkan gangguan habitat bagi kelangsungan hidup tumbuhan, satwa liar dan ekosistemnya. Dalam upaya mencegah atau meminimalkan risiko kebakaran hutan, maka diperlukan peta tingkat kerawanan kebakaran hutan yang berguna dalam mengoptimalkan pengalokasian sumberdaya yang ada. Kajian ini bertujuan untuk memetakan kawasan rawan kebakaran hutan di TNBB dengan menggunakan teknik penginderaan jauh (PJ) dan sistem informasi geografis (SIG). Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah skoring dan pembobotan dengan menghitung indeks numerik kawasan rawan kebakaran hutan berdasarkan parameter vegetasi, kemiringan lereng (slope), arah lereng (aspek), jarak dari jalan, dan jarak dari permukiman. Hasil kajian menunjukkan bahwa kerentanan kawasan TNBB terhadap kebakaran hutan didominasi oleh kelas sedang, yaitu sebesar 31,28% dari total luas kawasan, dan terdapat pada hutan musim dan sebagian hutan dataran rendah. Kelas kerawanan sangat tinggi hanya mencakup 0,41% dari total luas kawasan dan terdapat pada hutan musim dan savanna. Blok hutan yang rawan kebakaran adalah blok hutan Lampu Merah, Tegal Bunder, Teluk Kelor, dan Teluk Brumbun. Kawasan rawan kebakaran hutan yang tinggi perlu mendapatkan perhatian yang lebih, baik berupa tindakan preventif/pencegahan melalui patroli intensif, pendekatan dan penyuluhan kepada masyarakat desa sekitar daerah penyangga dengan membentuk masyarakat peduli api (MPA), penyediaan embung air dan sekat bakar maupun tindakan pemadaman api yang bersinergi dengan MPA dan manggala agni. Kata kunci: rawan, kebakaran hutan, penginderaan jauh, SIG, Taman Nasional Bali Barat 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan, pada tanggal 12 juni 2013. 86 I. PENDAHULUAN Berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya pariwisata dan rekreasi (Republik Indonesia, 1990). Salah satu taman nasional yang memiliki potensi keanekaragaman hayati dan ekosistem yang tinggi adalah Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Tipe ekosistem yang dijumpai di TNBB adalah hutan bakau (mangrove), hutan pantai, hutan musim, hutan evergreen, hutan dataran rendah, dan savanna (BTNBB, 2010). Sebagai salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki keterwakilan ekosistem hutan yang tergolong lengkap, TNBB cenderung rentan terhadap gangguan hutan yang dapat mengancam keutuhan dan integritas ekologi kawasan. Gangguan hutan merupakan semua faktor baik yang disebabkan oleh alam maupun manusia yang dalam kondisi tertentu dapat menyebabkan hutan tidak dapat berfungsi secara optimal sesuai peruntukannya (Sriyanto dan Oetomo, 1988 dalam Kasim, 1990). Gangguan yang secara intensif mengancam keberadaan kawasan TNBB adalah kebakaran hutan (BTNBB, 2010), yang terjadi hampir setiap tahun. Kawasan TNBB bahkan mengalami empat kali kejadian kebakaran pada tahun 2008. Ekosistem hutan musim dan savanna yang didominasi oleh tumbuhan bawah berupa rumput, semak-semak, alang-alang, dan serasah yang kering sangat rentan terhadap kebakaran, khususnya pada saat musim kemarau. Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Buleleng mencatat sekitar 1.410 hektar (ha) hutan musim dan savanna pada wilayah ini yang tergolong rawan kebakaran hutan (BTNBB, 2009). Kebakaran hutan di TNBB terutama dipicu oleh kondisi iklim yang kering dengan curah hujan yang rendah, yang merupakan karakteristik daerah dengan tipe iklim D dan E berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson (BTNBB, 2011). 87 Salah satu hal penting yang perlu diketahui dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Dengan mengenali faktorfaktor tersebut, upaya awal dalam kegiatan pencegahan kebakaran akan dapat dilakukan sedini mungkin (Saharjo, 2003). Dalam hal ini, kebakaran terjadi apabila ada tiga unsur yang bersatu, yaitu bahan bakar (fuel), oksigen (oxygen) dan panas (heat), yang dikenal dengan prinsip segitiga api (fire triangle). Selanjutnya, faktor-faktor yang berperan dalam proses terjadinya kebakaran hutan adalah bahan bakar, topografi, cuaca, waktu dan sumber api serta keterkaitan diantaranya (Saharjo, 2003). Dampak kebakaran hutan terhadap kondisi bio-fisik kawasan sangat besar. Kerusakan akibat kebakaran hutan dapat berkisar mulai dari gangguan luka-luka bakar pada pangkal batang pohon/tanaman sampai dengan hancurnya pepohonan/tanaman secara keseluruhan berikut vegetasi lainnya. Dengan hancurnya vegetasi, yang paling dikhawatirkan adalah hilangnya plasma nutfah (sumber daya genetik pembawa sifat keturunan). Kebakaran hutan juga dapat mengurangi kepadatan tegakan dan merusak hijauan yang bermanfaat bagi hewan serta menggangu habitat satwa liar. Kebakaran hutan dan lahan dapat pula merusak sifat fisik tanah akibat hilangnya humus dan bahan-bahan organik tanah, dan pada gilirannya tanah menjadi terbuka terhadap pengaruh panas matahari dan aliran air permukaan (Departemen Kehutanan, 2007). Dalam upaya mencegah atau meminimalkan risiko kebakaran hutan, pihak pengelola TNBB membutuhkan informasi kawasan-kawasan yang rawan terhadap kebakaran. Informasi tersebut salah satunya dapat diperoleh dari peta tingkat kerawanan kebakaran hutan. Dengan adanya peta tersebut diharapkan pengalokasian sumber daya yang ada untuk mencegah, mengatasi atau meminimalkan dampak kebakaran dapat dilakukan dengan tepat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memetakan kawasan rawan kebakaran hutan di TNBB dengan menggunakan teknik penginderaan jauh (PJ) dan sistem informasi geografis (SIG). 88 II. METODE A. Lokasi Penelitian ini dilakukan di TNBB pada tahun 2012. TNBB merupakan salah satu kawasan pelestarian alam di Bali yang memiliki ekosistem asli dan merupakan habitat terakhir bagi burung Curik Bali (Leucopsar rothschildi). Penunjukkan Taman Nasional Bali Barat didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1995 tanggal 15 September 1995, dengan luas kawasan 19.002,89 ha (15.587,89 ha adalah wilayah daratan dan 3.415,00 ha adalah wilayah perairan) (BTNBB, 2011). Secara administratif TNBB terletak di Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng. TNBB dikelola dengan sistem zonasi (Gambar 1) sesuai dengan SK Direktur Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) No. SK.143/IV-KK/2010 tanggal 20 September 2010 tentang Zonasi Taman Nasional Bali Barat. Berdasarkan SK tersebut TNBB dibagi menjadi tujuh zona, yaitu: (1) Zona Inti (seluas ± 8.023,22 ha), (2) Zona Rimba (± 6.174,76 ha), (3) Zona Perlindungan Bahari (± 221,74 ha), (4) Zona Pemanfaatan (± 4.294,43 ha), (5) Zona Budaya, Religi dan Sejarah (± 50,57 ha), (6) Zona Khusus (± 3,97 ha), dan (7) Zona Tradisional (± 310,94 ha). TNBB dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian, budidaya, pariwisata dan rekreasi (BTNBB, 2011). 89 Gambar 1. Peta Zonasi Taman Nasional Bali Barat (Sumber: BTNBB, 2010) B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) peta indeks kebasahan (wetness index) yang diturunkan dari citra Landsat-7 ETM+ path 117/row 66 dengan resolusi spasial 30 meter, perekaman tanggal 21 Mei 2011 hasil koreksi Scan Line Corrector (SLC) Off dengan citra pengisi dari perekaman tanggal 18 Maret 2011, (2) peta kelerengan dan arah lereng yang diturunkan dari ASTER DEM (Digital Elevation Model), (3) peta batas kawasan TNBB dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VIII Denpasar, (4) peta jaringan jalan dari peta RBI tahun 2009, (5) peta tipe ekosistem hutan dan peta enclave dari Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (PPSDALH) Universitas Udayana tahun 1997 dan (6) Lokasi kejadian kebakaran di TNBB dari Data Lahan Kritis dan Rawan Kebakaran Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I dan II TNBB untuk validasi peta rawan kebakaran. Alat yang digunakan adalah: (1) perangkat keras (hardware), yaitu laptop, dan (2) perangkat lunak (software), yaitu: (a) Frame and Fill untuk koreksi SLC Off (NASA, 2003), (b) ArcGis 9.3 (untuk analisis citra dan SIG) dan (3) Microsoft Excel 2007 (untuk tabulasi). 90 C. Metode Gambar 2. Diagram alur pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan di TNBB D. Analisis Data Kerawanan kawasan terhadap kebakaran hutan ditentukan oleh lima parameter, yaitu: 1. Tipe vegetasi Tutupan vegetasi memiliki peran penting sebagai bahan bakar saat terjadinya kebakaran hutan. Dalam hal ini tingkat kekeringan tipe 91 vegetasi menentukan mudah tidaknya suatu tutupan untuk terbakar. Tingkat kekeringan tipe tutupan lahan di TNBB didekati dengan menggunakan indeks kebasahan (wetness index) hasil dari analisis transformasi citra. Indeks kebasahan merupakan salah satu indeks yang dihasilkan dari transformasi Tasseled Cap (Akhter dan Hassan, 2005). Kadar air bahan bakar berpengaruh sangat nyata dalam menentukan perilaku api pada saat terjadinya kebakaran hutan. Kadar air menentukan kemudahan bahan bakar untuk menyala, kecepatan proses pembakaran, kecepatan penjalaran api dan kemudahan usaha pemadaman kebakaran. Api sulit untuk mulai menyala pada kadar air bahan bakar di atas 12% untuk jenis rumput-rumputan dan di atas 20% untuk bahan bakar hutan (Sagala, 1988 dalam Darwo, 2009). 2. Kelerengan Faktor topografi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam kebakaran hutan dan lahan. Ada tiga faktor topografi yang biasanya berperan penting, yaitu kemiringan lereng, arah lereng (aspek) dan medan (terrain) (Purbowaseso, 2004). Kemiringan lereng (slope) akan berpengaruh terhadap laju penjalaran api. Pada lereng yang curam, api membakar dan menghabiskan dengan cepat tumbuhan yang dilaluinya dan api akan menjalar lebih cepat ke arah menaiki lereng. Sebaliknya api yang menjalar ke bawah lereng akan padam jika melalui daerah lembab yang memiliki kadar air tinggi (Clar dan Chatten, 1994). Kawasan yang memiliki besar sudut kemiringan yang tinggi memiliki tingkat kerawanan yang sangat tinggi terhadap kebakaran hutan. Semakin besar sudut maka kecepatan penjalaran api akan semakin besar pula. Kemiringan yang tinggi ini memungkinkan terjadinya lidah api yang besar, sehingga dapat mempercepat pengeringan bahan bakar. 3. Arah lereng Arah lereng merupakan salah satu faktor topografi yang berpengaruh dalam kebakaran hutan. Kawasan dengan lereng yang langsung menghadap matahari cenderung rawan terhadap kebakaran. Wilayah dengan arah lereng (aspek) menghadap matahari akan lebih cepat terjadinya pengeringan bahan bakar dibandingkan dengan wilayah yang memiliki arah kemiringan yang 92 tidak menghadap matahari. Pada arah lereng, menyebabkan kondisi yang rentan terhadap kebakaran, sehingga bahan bakar akan mudah tersulut dan apabila sudah tersulut, maka api akan lebih cepat menjalar, karena angin bertiup lebih kencang (Purbowaseso, 2004). 4. Jarak dari jalan Jalan merupakan akses utama dalam intervensi masyarakat ataupun aktivitas dalam kawasan. Jarak dari jaringan jalan, pemukiman penduduk memiliki kategori sangat penting, sehingga peubah jalan dan pemukiman penduduk digunakan sebagai peubah penyebab kebakaran untuk menentukan pengaruh aktivitas manusia. Semakin jauh lokasi hutan terhadap pemukiman penduduk, jalan, dan sungai maka hutan semakin terhindar dari kebakaran (Arianti, 2006). Dalam menentukan kerawanan kawasan terhadap kebakaran hutan berdasarkan kelas jarak dari jalan, maka dilakukan buffering untuk mendapatkan sempadan jalan pada berbagai kelas radius. Makin dekat daerah dengan jaringan jalan maka makin mempertinggi risiko terjadinya kebakaran hutan. Namun jalan dalam penilaian ini menempati bobot terendah dalam penilaian kerawanan kebakaran hutan karena jalan yang mampu dilakukan buffering adalah jaringan jalan provinsi dan kabupaten sehingga jalan setapak tidak terekam secara spasial. 5. Jarak dari enclave Enclave mempengaruhi intervensi masyarakat dalam kawasan,baik itu kegiatan bercocok tanam, penggembalaan ternak maupun perambahan hutan. Kebakaran hutan dan lahan bisa terjadi baik disengaja maupun tanpa disengaja, namun sekitar 90% kebakaran hutan dan lahan saat ini disebabkan oleh faktor kesengajaan (Purbowaseso, 2004), yang antara lain dipicu oleh adanya enclave. Dalam menentukan kerawanan kawasan terhadap kebakaran hutan berdasarkan kelas jarak dari enclave, maka dilakukan buffering untuk mendapatkan kawasan yang rawan pada berbagai kelas radius. Semakin dekat daerah dengan aktivitas pemukiman, maka semakin rawan pula terhadap kebakaran hutan. Namun enclave dalam penilaian ini menempati bobot terendah dalam penilaian kerawanan kebakaran hutan karena enclave yang mampu 93 dilakukan buffering adalah enclave yang telah terinventarisir oleh Balai TNBB, sedangkan titik enclave yang kecil tidak terekam secara spasial. Persamaan yang digunakan dalam menentukan daerah rawan kebakaran hutan ditunjukkan dalam Persamaan 1 (Erten et al, 2004). RC = 7 * VT + 5 * (S + A) + 3 …………………………………… (1) * (DR + DS) dimana: RC : Indeks numerik zona rawan kebakaran hutan VT : Tipe vegetasi S : Kemiringan A : Aspek DR : Jarak dari jalan DS : Jarak dari permukiman Berdasarkan analisis dilakukan pemetaan zona rawan kebakaran hutan. Pembobotan parameter dalam penilaian kawasan rawan kebakaran hutan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pembobotan Parameter dalam Penilaian Kerawanan Kebakaran Hutan di TNBB Table 1. The Weight of Parameters in Determination of Fire Risk Areas in Bali Barat National Park Parameter Tutupan vegetasi (Vegetation cover) Bobot 7 Kelas Faktor Penilaian Savanna (Sangat kering) 5 Sangat Tinggi Hutan Pantai dan Hutan Musim (Kering) Hutan Dataran Rendah (Lembab) Mangrove (Agak basah) Perairan (Basah ) 4 Tinggi 3 Sedang 2 1 Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Lereng (Slope) 5 > 35% 35-25% 25-10% 10-5% < 5% 5 4 3 2 1 Orientasi/arah lereng (Aspect) 5 Selatan 5 94 Jarak dari jalan (Distance from road) Jarak dari permukiman (Distance from settlements) 3 3 Barat 4 Tinggi Timur 3 Sedang Utara 2 Rendah < 100 m 5 Sangat Tinggi 100-200 m 4 Tinggi 200-300 m 3 Sedang 300-400 m 2 Rendah > 400 m 1 < 1000 m 5 Sangat Rendah Sangat Tinggi 1000-2000 m 4 Tinggi 2000-3000 m 3 Sedang > 3000 m 2 Rendah Sumber: Erten et al. (2004) III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Parameter dalam Penilaian Kerawanan Kebakaran Hutan di TNBB 1. Vegetasi Sekitar 25,30% kawasan TNBB tergolong memiliki kerentanan sangat rendah terhadap kebakaran hutan terdapat di hutan mangrove. Nilai ini juga termasuk kawasan perairan (15.587,89 ha) yang dikelaskan sangat rendah atau tidak rawan terhadap kebakaran hutan. Keberadaan Savanna dan Hutan Musim pada saat musim kemarau tergolong memiliki tingkat kerawanan yang sedang (23,35%) sampai sangat tinggi (27,43%) terhadap kebakaran hutan karena vegetasi yang terdapat pada kedua tipe ekosistem tersebut merupakan sumber bahan bakar yang sangat potensial. Kerawanan kawasan terhadap risiko kebakaran hutan berdasarkan kelas tutupan lahan ditunjukkan pada Gambar 3. 95 Gambar 3 Kerawanan Kawasan terhadap Kebakaran Hutan berdasar Parameter Vegetasi 2. Kelerengan Kemiringan lereng di TNBB didominasi oleh kelas kelerengan 10-25% yang meliputi 31,29% dari total luas TNBB. Kelerengan10-25% termasuk dalam kawasan yang memiliki tingkat kerawanan sedang terhadap risiko kebakaran hutan. Kawasan dengan kemiringan 10-25% terdapat hampir merata di seluruh kawasan TNBB. Kawasan yang memiliki besar sudut kemiringan yang tinggi (> 35%) memiliki tingkat kerawanan yang sangat tinggi terhadap kebakaran hutan. Hal ini berbanding terbalik dengan tipe vegetasi yang rawan kebakaran seperti savanna, dengan kemiringan yang relatif datar. Savana berperan dalam kebakaran hutan sebagai bahan bakar, sedangkan kemiringan berperan dalam laju kebakaran hutan. Kombinasi antara terdapat vegetasi bahan bakar dan kemiringan tinggi akan meningkatkan potensi terjadinya kebakaran hutan.. Kawasan TNBB yang memiliki kerawanan sangat tinggi terhadap kebakaran hutan berdasar kelas kemiringan sebesar 13,93% dari luas kawasan. Kerawanan kawasan 96 terhadap risiko kebakaran hutan berdasar kelas kemiringan lereng ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4 Kerawanan Kawasan terhadap Kebakaran Hutan berdasar Kemiringan Lereng 3. Arah Lereng Wilayah TNBB secara umum mempunyai arah lereng yang menghadap Utara, yaitu sebesar 34,38% dengan tingkat kerawanan kebakaran rendah. Arah lereng yang memiliki kerawanan sangat tinggi terdapat di arah selatan sebesar 27,71% dari luas kawasan, sedangkan arah lereng barat tergolong kerawanan tinggi (10,26%). Kedua arah tersebut menghadap matahari, sehingga akan lebih cepat terjadinya pengeringan bahan bakar. Kerawanan kawasan terhadap risiko kebakaran hutan berdasarkan kelas arah lereng ditunjukkan pada Gambar 5. 97 Gambar 5 Kerawanan Kawasan terhadap Kebakaran Hutan berdasar Parameter Arah Lereng 4. Jarak dari Jalan Berdasarkan buffering jalan sebesar 84,34% termasuk pada kerawanan sangat rendah terhadap kebakaran hutan dengan kawasan radius > 400 m dari badan jalan. Makin dekat daerah dengan jaringan jalan maka makin mempertinggi risiko terjadinya kebakaran hutan. Kawasan dengan radius paling dekat dari jalan (< 100 m) hanya sebesar 3,74% dari luas kawasan TNBB. Kerawanan kawasan terhadap risiko kebakaran hutan berdasar kelas jarak dari jalan ditunjukkan pada Gambar 6. 98 Gambar 6 Kerawanan Kawasan terhadap Kebakaran Hutan berdasar Parameter Jarak dari Jalan 5. Jarak dari enclave Berdasarkan buffering enclave sebesar 67,38% termasuk pada kerawanan rendah terhadap kebakaran hutan dengan kawasan radius > 3000 m dari garis enclave terluar. Semakin dekat daerah dengan aktivitas pemukiman, maka semakin rawan pula terhadap kebakaran hutan. Kawasan dengan radius paling dekat dari permukiman (< 1000 m) hanya sebesar 8,63% dari luas kawasan TNBB. Kerawanan kawasan terhadap risiko kebakaran hutan berdasar kelas jarak dari enclave ditunjukkan pada Gambar 7. 99 Gambar 7 Kerawanan Kawasan terhadap Kebakaran Hutan berdasar Parameter Jarak dari Enclave B. Kerawanan Kebakaran Hutan di TNBB Berdasarkan hasil analisis dari persamaan 1 diketahui bahwa nilai kerentanan kawasan terhadap kebakaran hutan didominasi oleh kelas sedang, yaitu sebesar 31,28% dari total luas kawasan yang terdapat di hutan musim dan sebagian di hutan dataran rendah. Kelas kerawanan sangat tinggi hanya sekitar 0,41% yang terdapat di hutan musim dan savanna. Beberapa blok yang rawan terbakar terdapat di blok hutan lampu merah, Tegal Bunder, Teluk Kelor, dan Teluk Brumbun. Kerawanan kawasan terhadap risiko kebakaran hutan ditunjukkan pada Gambar 8. Validasi peta kerawanan kebakaran hutan di TNBB dilakukan dengan membandingkan hasil analisis dengan kejadian kebakaran yang pernah terjadi di TNBB. Hasil validasi menunjukkan bahwa dari 10 lokasi titik kebakaran yang pernah terjadi, sebanyak 8 titik lokasi kejadian kebakaran hutan di TNBB terjadi pada kelas kerawanan sedang sampai sangat tinggi, sedangkan 2 titik kebakaran berada pada kelas 100 kerawanan rendah. Berikut tabel 2 yang menunjukkan kejadian kebakaran di TNBB dan hasil analisis dari peta kerawanan. Tabel 2. Kebakaran Hutan di TNBB dan Hasil Analisis Kerawanan Kawasan terhadap Kebakaran Hutan No Koordinat X Y 1 220955 9088100 2 230626 9098749 3 218353 9094441 4 217285 9102663 5 224038 9094149 6 221751 9104107 7 224367 9103340 8 218015 9093486 9 222577 9097010 10 217790 9095288 Lokasi Panginuman Malaya trimbawan Pura Bakungan Lampu Merah sumber klampok teluk kelor teluk brumbun cekik tegal bunder Depan spbu gilimanuk Tipe Ekosistem Kerawanan Kebakaran Hutan Pantai Musim Savana Savana Rendah Sedang Sedang Sangat Tinggi Musim Musim Savanna Savanna Musim Rendah Tinggi Tinggi Sedang Sedang Savanna Tinggi Beberapa kawasan dengan kelas kerawanan sedang seperti pada kawasan Trimbawan, Pura Bakungan, Cekik dan Tegal Bunder pernah mengalami kebakaran namun tidak terjadi setiap tahun. Kelas kerawanan tinggi sampai sangat tinggi terhadap kebakaran hutan pada kawasan lampu Merah, Teluk Brumbun dan Teluk Kelor memiliki catatan frekuensi kebakaran yang cukup sering. Hal ini dikarenakan kondisi ekosistem yang berupa savanna dan hutan musim yang mengalami kekeringan, sehingga mudah tersulut api dan didukung oleh faktor lain seperti kelerengan dan arah lereng yang mempercepat laju penjalaran api. Pada kawasan perbatasan TNBB yang sering mengalami kebakaran, yaitu lokasi di depan SPBU Gilimanuk, faktor pemicu yang utama adalah adanya intervensi dari luar khususnya puntung rokok, pembakaran sampah dan kecerobohan pengguna jalan. Tipe kebakaran yang terjadi di TNBB termasuk kebakaran permukaan (surface fire) (BTNBB, 2009). Menurut De Bano et al. (1998), pada kebakaran permukaan api membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah pembakaran dan bahan bakar lainya yang terdapat di 101 lantai hutan. Energi kebakaran dapat rendah sampai tinggi dan penjalarannya dipengaruhi oleh angin permukaan dan slope sehingga dapat membakar tumbuhan yang lebih tinggi hingga ke tajuk pohon (crowing out). Ekosistem hutan musim memiliki luasan paling besar di TNBB. Saat musim kemarau, tumbuhan pada hutan ini akan menggugurkan daunnya sehingga terlihat gersang, namun saat musim penghujan akan terlihat hijau. Hutan musim hanya memiliki satu strata tajuk, sehingga memungkinkan penetrasi cahaya ke lantai hutan. Savana di TNBB mengalami masa kekeringan lebih panjang dari pada tipe ekosistem berhutan. Saat musim penghujan produksi hijauan melimpah dan berkurang pada musim kemarau. Kondisi hutan savana memiliki penutupan tajuk yang relatif terbuka sehingga intensitas cahaya matahari juga lebih besar masuk ke lantai hutan, sehingga api sangat mudah tersulut. Savana merupakan padang rumput dan semak yang terpencar di antara rerumputan, serta merupakan daerah peralihan antara hutan dan padang rumput (Sabarno, 2001). Jenis yang mendominasi antara lain: merakan (Themeda arguens) sebesar 90,56%, kemudian Pring-pringan (Pogonatherum crinitum) dengan INP sebesar 39,76% dan nyawon (Vernonia cinerea) sebesar 21,17% (Miardini dan Supangat, 2012). Ekosistem hutan dataran rendah di TNBB merupakan ekosistem yang tergolong memiliki tingkat kerawanan rendah sampai sangat rendah terhadap bahaya kebakaran hutan. Secara umum potensi bahan bakar pada hutan ini sangat terbatas karena memiliki nilai wetness index tinggi yang berkaitan dengan kondisi bahan bakar yang mempengaruhi laju pelepasan energi dalam penyalaan api. Hutan ini memiliki kerapatan yang tinggi dan penutupan tajuk besar yang memungkinkan penetrasi cahaya matahari pada lantai hutan sangat terbatas sehingga sangat kecil kemungkinan kebakaran terjadi pada hutan dataran rendah di TNBB. 102 Gambar 8 Kerawanan Kawasan terhadap Kebakaran Hutan Dalam upaya pencegahan terjadinya kebakaran hutan di TNBB, pihak Balai TNBB melakukan kegiatan berupa: (1) Patroli dan operasi pengamanan kawasan, (2) Penyuluhan dan pembinaan bagi masyarakat dan pegawai serta polisi hutan lingkup TNBB, (3) Pelatihan penanggulangan dan pencegaan kebakaran hutan, (4) Pembuatan sekat bakar pada daerah yang berpotensi terjadi kebakaran hutan antara lain: blok Tanjung Gelap, Prapat Agung, Teluk Brumbun, Teluk Kelor dan Teluk Kotal, dan (5) Pemasangan papan peringatan daerah rawan kebakaran hutan. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis kerentanan kawasan TNBB terhadap kebakaran hutan dengan mempertimbangkan faktor tipe vegetasi (dari sifat kekeringannya), kelerengan, arah lereng, jarak dari jalan, dan jarak dari permukiman, diperoleh informasi bahwa kerentanan kebakaran hutan pada kawasan TNBB didominasi oleh kelas sedang, yaitu sebesar 31,28% dari total luas kawasan. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kebakaran hutan yaitu tutupan vegetasi yang berperan sebagai bahan bakar dan faktor yang mempengaruhi laju 103 percepatan terjadinya kebakaran hutan yaitu arah lereng dan kemiringan. Kelas kerawanan sedang tersebut terutama terdapat pada hutan musim dan hanya sebagian terdapat pada hutan dataran rendah. Kelas kerawanan sangat tinggi hanya menempati 0,41% dari total kawasan TNBB dan terdapat pada hutan musim dan savanna. Informasi peta kerawanan kebakaran hutan tersebut akan memudahkan pihak pengelola TNBB dalam proses perencanaan, pemantauan, dan evaluasi pembangunan serta dapat menjadi pedoman untuk pengambilan keputusan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan di TNBB. DAFTAR PUSTAKA Akther, M.S. dan Q.K. Hassan. 2005. Remote sensing-based assessment of firedanger conditions over boreal forest. IEEE Journal of Selected Topics in Applied EarthObservations & Remote Sensing. Department of Geomatics Engineering, Schulich School of Engineering, University of Calgary, 2500University Dr NW, Calgary, Alberta, Canada T2N 1N4. Balai Taman Nasional Bali Barat. 2009. Data Lahan Kritis dan Rawan Kebakaran Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I. Laporan. Bali Balai Taman Nasional Bali Barat. 2010. Statistik Balai Taman Nasional Bali Barat. Bali Balai Taman Nasional Bali Barat. 2011. Taman Nasional Bali Barat. Diakses tanggal 4 Januari 2012. http://www.tnbalibarat.com/?page_id=42 Chuvieco, E. and R.G. Congalton. 1989. Application of Remote Sensing and Geographic Information Systems to Forest Fire Hazard Mapping. Remote Sensing of Environment, 29:147-159. Darwo. 2009. Perilaku Api dan Sebab Akibat Kebakaran Hutan. http://www.p3hka.org/pdf/394_Karo.pdf. Diakses tanggal 20 februari 2013 DeBano, L.F., D.G. Neary and P.F. Ffolliott. 1998. Fire’s Effects on Ecosystems. New York: John Wiley & Sons, Inc. 333 p. Departemen Kehutanan. 2007. Pedoman Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan 104 Lahan Dati I Sumatera Utara. http://www.dephut.go.id. Diakses tanggal 20 Februari 2013 Erten, E., V. Kurgun and N. Musaoglu. 2004. Forest Fire Risk Zone Mapping from Satelite Imagery and GIS: a Case Study. ITU, Institute of Informatics, Civil Engineering Faculty, Remote Sensing Division. www.isprs.org/proceedings/xxxv/congress/yf/papers/927. Diakses tanggal 20 Februari 2013. Kasim, S. 1990. Hubungan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pemukim Liar Terhadap Tingkat Penggunaan Lahan di Taman Nasional Ujung Kulon. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Miardini, A. dan A.B. Supangat. 2011. Komposisi dan Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Potensial pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Taman Nasional Bali Barat. Makalah Expose Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Surakarta NASA. 2003. NASA gap filling software. http://l7gapfill.sourceforge.net Purbowaseso, B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rinetka Cipta. Republik Indonesia. 1990. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 No. 49. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Sabarno, M.Y. 2002. Savana Taman Nasional Baluran. Biodiversitas, 3(1): 207-212. Saharjo, B.H. 2003. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Yang Lestari: Perlukah Dilakukan?. Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan. Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Suratmo, F.G. 1985. Ilmu Perlindungan Hutan. Bagian Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 105 Lahan Dati I Sumatera Utara. http://www.dephut.go.id. Diakses tanggal 20 Februari 2013 Erten, E., V. Kurgun and N. Musaoglu. 2004. Forest Fire Risk Zone Mapping from Satelite Imagery and GIS: a Case Study. ITU, Institute of Informatics, Civil Engineering Faculty, Remote Sensing Division. www.isprs.org/proceedings/xxxv/congress/yf/papers/927. Diakses tanggal 20 Februari 2013. Kasim, S. 1990. Hubungan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pemukim Liar Terhadap Tingkat Penggunaan Lahan di Taman Nasional Ujung Kulon. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Miardini, A. dan A.B. Supangat. 2011. Komposisi dan Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Potensial pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Taman Nasional Bali Barat. Makalah Expose Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Surakarta NASA. 2003. NASA gap filling software. http://l7gapfill.sourceforge.net Purbowaseso, B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rinetka Cipta. Republik Indonesia. 1990. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 No. 49. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Sabarno, M.Y. 2002. Savana Taman Nasional Baluran. Biodiversitas, 3(1): 207-212. Saharjo, B.H. 2003. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Yang Lestari: Perlukah Dilakukan?. Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan. Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Suratmo, F.G. 1985. Ilmu Perlindungan Hutan. Bagian Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 105 MODEL PENGENDALIAN BANJIR TERPADU BERDASARKAN PARAMETER UTAMA PENYEBAB BANJIR DI DAS BENGAWAN SOLO HULU1 Oleh : Alif Noor Anna2, Suharjo, Yuli Priyana dan Rudiyanto Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta Jawa Tengah 57162 Indonesia Telp. +62 271 717417 Faks. +62 271 715448 Email: [email protected] Website: www.ums.ac.id Email: 2 [email protected] ABSTRAK Penanganan bencana banjir di DAS Bengawan Solo cenderung kurang efektif. Metode penanganan yang dilakukan hanya sebatas pada metode struktur sipil teknis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh faktor utama penyebab banjir dan membuat model pengendalian banjir terpadu. Metode yang digunakan adalah survei yang didukung dengan analisis data sekunder. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah ada 3 faktor penyebab kejadian banjir yakni kondisi iklim, perubahan tata guna lahan, dan kondisi morfologi sungai. Perubahan tata guna lahan menjadi penyebab paling dominan terjadinya banjir di daerah penelitian. Perubahan tata guna lahan ini dapat meningkatkan potensi air permukaan akibat luasan vegetasi berkurang. Selain penggunaan lahan faktor kondisi morfologi sungai juga berpengaruh signifikan terhadap kejadian banjir di Kota Surakarta. Hal ini dikarenakan Sungai Bengawan Solo Hulu yang mengalami pelurusan menyebabkan laju air dan debit meningkat sehingga terjadi erosi tebing dan sedimentasi. Model pengendalian banjir yang dapat diterapkan di daerah penelitian berdasarkan parameter curah hujan meliputi metode: sumur resapan, river side polder, kolam konservasi, perlindungan areal airtanah, dan biopori. Kata kunci : model, pengendalian banjir terpadu, DAS I. PENDAHULUAN Bencana banjir yang terjadi di Indonesia pada akhir-akhir ini umumnya terjadi pada bulan basah, yang dalam hal ini terutama disebabkan oleh curah hujan yang telah melebihi rata-rata normal. Adapun banjir yang terjadi di Surakarta awal bulan Januari tahun 2008 diakibatkan oleh curah hujan di atas normal, morfologi sungai, dan adanya alih fungsi lahan pada daerah hulu, (Anna, et al., 2010). 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan, pada tanggal 12 juni 2013. 106 Selama ini penanganan bencana banjir di DAS Bengawan Solo cenderung kurang efektif. Metode penanganan yang dilakukan selama ini di DAS Bengawan Solo hanya sebatas pada metode struktur seperti: pembuatan tanggul, sudetan, normalisasi sungai dan sebagainya. Hal ini tentu bertolak belakang dengan berbagai Negara maju di dunia. Sebagian besar Negara maju di dunia telah mengubah pola pengendalian banjir dengan lebih dulu mengutamakan metode non struktur seperti: pengelolaan DAS, pengaturan tata guna lahan, law enforcement, pengendalian erosi DAS baru kemudian menggunakan metode struktur. Selain itu selama ini dalam penanganan banjir di Bengawan Solo pemerintah juga belum sepenuhnya melibatkan masyarakat, sehingga seringkali dalam penanganan banjir timbul adanya konflik. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka salah satu langkah untuk menyelesaikan permasalahan banjir di daerah penelitian adalah dengan membuat model pengendalian banjir terpadu berdasarkan parameter utama penyebab banjir. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengindentifikasi pengaruh faktor utama penyebab banjir, dan (2) membuat model pengendalian banjir terpadu. II. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan didukung analisis data sekunder yang berupa data potensi limpasan permukaan, data penggunaan lahan dengan dasar citra landsat ETM, dan morfologi Sungai Bengawan Solo hulu. Selanjutnya hasil interpretasi tersebut diolah dengan sistem informasi geografis (SIG). Adapun penentuan posisi survei dilakukan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu: (1) Peta Rupa Bumi daerah Klaten, Sukoharjo dan Kota Surakarta Skala 1:25000, (2) Peta Geologi lembar Yogyakarta dan Surakarta skala 1:100.000, (3) Peta Jenis Tanah, (4) Peta Penggunaan Lahan Tahun 1989, (5) Citra Landsat ETM+ Tahun 2002, , (6) stereoskop Cermin, (7) Stereoskop Saku, (8) Lope, (9) Kompas Geologi, (10) Abney Level, (11) Kurvimeter, (12) Meteran 50 m dan 5 m, (13) Theodolit, (14) Yalon, (15) Plastik sampel tanah, (16) Bor Tanah, (17) Tas sampel tanah, (18) Palu Geologi, (19) Kompas Geologi, (20) Pisau Lapang, (21) Handicam, (22) 107 Kuesioner, (23) alat laboratorium tanah dan hidrologi, dan (24) Komputer dan seperangkat analisis SIG. III. A. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Iklim terhadap Banjir Kondisi iklim di daerah penelitian dibentuk menggunakan Poligon Theissen. Poligon Theissen daerah penelitian dibentuk dengan lima stasiun penakar curah hujan, sehingga terdapat lima area poligon Theissen, yaitu Stasiun Nepen (Boyolali), Pabelan (Surakarta), Klaten, Tawangmangu (Karanganyar), dan Baturetno (Wonogiri). Masing-masing stasiun penakar curah hujan tersebut kemudian dibentuk sebuah poligon Theissen yang akhirnya akan menentukan cakupan area curah hujan pada tiap-tiap sub-sub DAS (SSDAS), seperti yang tertera dalam Tabel 1. Tabel 1. Cakupan stasiun curah hujan di tiap sub-sub DAS No 1. 2. 3. SSDAS Alang Unggahan Dengkeng Jlantah Walikun Ds 4. Keduang 5. Mungkung 6. Samin 7. Bambang 8. Pepe 9. 10. Wiroko Temon Waduk Gajah Mungkur Jumlah Stasiun Baturetno Luas 512.975.695,21 Persentase 13,59 Baturetno Boyolali Klaten Pabelan Baturetno 86.397.415,68 107.636.201,44 549.727.221,45 117.352.591,17 102.927.040,03 2,29 2,85 14,57 3,11 2,73 Pabelan Tawangmangu Baturetno Tawangmangu Pabelan Tawangmangu Pabelan Tawangmangu Boyolali Pabelan 62.483.338,29 200.327.775,87 158.499.220,57 265.145.364,33 104.558.372,73 220.360.392,36 117.145.272,91 197.497.157,79 101.348.259,43 219.885.313,14 1,66 5,31 4,20 7,03 2,77 5,84 3,10 5,23 2,69 5,83 Boyolali Pabelan Baturetno Baturetno 190.874.284,10 105.657.868,51 303.800.945,99 49.394.977,56 5,06 2,80 8,05 1,31 3.773.994.708,56 100 Sumber : Anna et al., 2009 108 Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa SSDAS Alang Unggahan dan Wiroko Temon serta Waduk Gajah Mungkur hanya dipengaruhi dari satu stasiun saja yaitu Baturetno. Sedangkan SSDAS lainnya dipengaruhi dua hingga empat stasiun pengukur curah hujan. Penentuan tipe iklim menurut pembagian tipe iklim (Q) dari Schmidt dan Ferguson, yaitu dengan rumus sebagai berikut: Rata − RataJumlahBulanKering = 100% Rata − RataJumlahBulanBasah a) b) c) Kriteria bulan basah dan bulan kering yaitu : Bulan basah : suatu bulan yang curah hujannya > 100 mm Bulan lembab : suatu bulan yang curah hujannya 60- 100 mm Bulan kering : suatu bulan yang curah hujannya < 60 mm Berdasarkan nilai Q tersebut, Iklim dikelompokkan menjadi delapan, seperti yang tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Pembagian iklim menurut Schmidt dan Ferguson Tipe iklim Nilai Q (%) Arti simbol A 0,00 - < 14,30 Sangat basah B 14,30 - < 33,30 Basah C 33,30 - < 60,00 Agak basah D 60,00 - < 100,00 Sedang E 100,00 - < 167,00 Agak kering F 167,00 - < 300,00 Kering G 300,00 - < 700,00 Sangat kering H 700,00 atau lebih Luar biasa kering Sumber : Tjasyono, 1999 109 Tabel 3. Kondisi iklim di daerah penelitian Nama stasiun Nepen (Boyolali) Pabelan (Surakarta) Klaten Tawangmangu (Karanganyar) Baturetno (Wonogiri) Jumlah ratarata Bulan Basah (BB) 6,2 6,8 Jumlah ratarata Bulan Kering (BK) 4,8 5,8 Nilai Q (%) Keterangan 77,42 85,29 Sedang Sedang 5,6 7 5 4,4 89,29 62,86 Sedang Sedang 5,8 6 103,45 Agak kering Sumber : Anna et al., 2009 Sedangkan kondisi iklim di daerah penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa daerah penelitian mempunyai tipe iklim agak kering sampai sedang. Hal ini berarti daerah penelitian termasuk daerah dengan curah hujan yang kurang mencukupi bulan kering sampai curah hujan yang sebanding dengan bulan kering yang ada dalam satu tahunnya. B. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan terhadap Banjir Pengaruh tataguna lahan terhadap banjir sangat tinggi. Perubahan tata guna lahan menyebabkan perubahan pada debit, dan potensi aliran permukan (Co). Sejalan dengan hal tersebut Kodatie et al., (2005) menyatakan bahwa perubahan tata guna lahan menjadi penyebab utama kejadian banjir di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini dikarenakan perubahan tata guna lahan akan meningkatkan debit puncak air naik dari lima sampai 35 kali karena air meresap ke dalam tanah sedikit, sehingga menyebabkan aliran permukaan (run off) menjadi besar yang pada akhirnya menyebabkan kenaikan laju erosi dan sedimentasi (Gambar 1) 110 Gambar 1. Peningkatan debit akibat perubahan tata guna lahan dengan hutan sebagai referensi Sumber : Kodatie, et al., (2005) Penggunaan Lahan di daerah penelitian meliputi: penggunaan lahan berupa hutan, kebun, lahan kering, permukiman, sawah, dan daerah berair atau waduk. Secara detail mengenai gambaran penggunaan lahan dan perubahannya di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Penggunaan lahan dan perubahannya di daerah penelitian Penggunaan Luas (m²) Selisih (m2) lahan 1989 % 2002 % Hutan 216.842.624,64 5,75 95.364.768,39 2,53 -121.477.856.25 Kebun 385.804.095,54 10,22 1.011.058.458,59 26,79 +625.254.363.05 Lahan 1.371.238.737,90 36,33 835.809.514,07 22,15 -535.429.223.83 Kering Permukiman 405.896.735,54 10,76 678.769.872,10 17,99 +272.873.136.56 Sawah 1.308.204.097,86 34,66 1.066.983.678,33 28,27 -241.220.419.53 Daerah 86.008.417,08 2,28 86.008.417,08 2,28 0 Berair Jumlah 3.773.994.708,56 100 3.773.994.708,56 100 0 Sumber : Anna et al., 2009 Tabel 4. menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan penggunaan lahan pada tahun pengamatan dalam penelitian. Adapun perubahan 111 terluas terjadi pada jenis penggunaan lahan kebun sebesar 16,57% (bertambah luas), dan sebaliknya terkecil terjadi pada jenis penggunaan lahan hutan -3,22% (menyempit). Demikian jenis penggunaan lahan untuk permukiman juga bertambah cukup besar yaitu 14,18%, diikuti oleh jenis penggunaan lahan sawah yang menyempit sebesar 7,23%, dan berikutnya jenis penggunaan lahan untuk sawah ternyata telah menyusut sebesar 5,79%. Adapun karakter perubahan penggunaan lahan disajikan dalam Tabel 5. Perubahan penggunaan lahan daerah penelitian mempunyai 12 karakter. Tabel 5. Karakter dan luasan perubahan penggunaan lahan No Perubahan Luas (m2) Persentase (%) 1. Hutan-kebun 38.616.887,10 1,02 2. Hutan - lahan kering 36.773.614,73 0,97 3. Hutan-sawah 46.087.354,42 1,22 4. Kebun - lahan kering 127.103.146,98 3,37 5. Kebun- permukiman 7.685.842,64 0,20 6. Kebun-sawah 102.940.142,10 2,73 7. Lahan kering -Kebun 670.486.979,01 17,77 8. Lahan kering 30.394.436,67 0,81 Permukiman 9. Lahan kering - Sawah 224.389.557,62 5,95 10. Sawah-kebun 153.879.628,66 4,08 11. Sawah - lahan kering 225.964.987,76 5,99 12. Sawah- permukiman 234.792.857,25 6,22 13. Tetap 1.874.879.273,62 49,68 Jumlah 3.773.994.708,56 100 Sumber : Anna, et al., 2009 Berdasarkan Tabel 5 dapat kita ketahui bahwa persentase kejadian perubahan lahan yang terbesar pada karakter dari lahan kering menjadi kebun. Hal ini disebabkan pada lahan kering telah tumbuh vegetasi yang dibudayakan manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Selanjutnya diikuti karakter perubahan penggunaan lahan dari sawah ke permukiman. Perubahan ini umumnya terjadi di wilayah-wilayah sub sub DAS Bambang, Pepe, Dengkeng, Jlantah Walikun, Mungkung, dan Samin. Hal ini terjadi akibat kebutuhan akan tempat tinggal penduduk di wilayah masing-masing. Adapun wilayahwilayah yang terjadi karakter perubahan penggunaan tersebut 112 umumnya merupakan sub-sub DAS yang melingkupi daerah-.daerah perkotaan. Kaitannya dengan banjir salah satu aspek yang penting selain adanya perubahan tata guna lahan adalah perubahan kondisi penutup lahan (C). Perubahan penggunaan lahan pasti selalu diikuti dengan perubahan kondisi penutup lahannya, yang pada akhirnya akan berdampak pada potensi limpasan permukannya (Co). Adapun perubahan vegetasi di daerah penelitian secara detail dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perubahan Co berdasarkan perubahan C (Cover) Cover Co (%) Cover Co (%) Selisih No Sub-sub DAS 1989 1989 2002 2002 Co 1. Alang 12,908 49,147 13,998 50,237 +1,090 Unggahan 2. Bambang 15,377 31,673 16,142 32,438 +0,765 3. Dengkeng 15,214 38,836 15,205 38,827 -0,009 4. Jlantah Walikun 15,468 44,211 14,996 43,739 -0,472 Ds 5. Keduang 13,674 46,288 13,090 45,704 -0,584 6. Mungkung 13,811 41,752 12,453 40,394 -1,358 7. Pepe 13,957 37,463 12,845 36,351 -1,112 8. Samin 15,867 43,936 15,055 43,124 -0,812 9. Wiroko Temon 12,193 52,347 12,529 52,683 +0,336 10. Waduk/Daerah 2,500 37,643 2,500 37,643 0 Berair Sumber : Anna, et al., 2009 Berdasarkan Tabel 6 dapat kita ketahui bahwa terdapat tiga sub-sub DAS yang mempunyai perubahan naik (+) yaitu Sub sub DAS Alang Unggahan, Bambang, dan Wiroko Temon, sedangkan enam Sub sub DAS lain yaitu Sub sub DAS Dengkeng, Jlantah Walikun, Keduang, Mungkung, Pepe, dan Samin koefisien run off berubah turun (-). Perubahan Co pada masing-masing sub sub DAS tersebut ternyata mempunyai karakter yang berbeda. Sebagian besar peubahan nilai Co disebabkan karena perubahan pada kondisi covernya. 113 C. Pengaruh Paleo Morfologi dan Morfologi Masa Sekarang Sungai Bengawan Solo terhadap Banjir Konsep dasar yang berkaitan dengan paleo morfologi adalah “prosesproses geomorfologi meninggalkan bekas-bekas yang nyata pada bentuk lahan, dan setiap proses geomorfologi akan membangun suatu karakteristik tertentu pada bentuk lahan. Morfokronologi mempelajari sejarah terbentuknya bentuk lahan pada zaman geologi yang ditunjukkan oleh karakteristik hasil proses geomorfologi yang ditinggalkan” (Thornbury, 1954). Sungai Bengawan Solo awalnya arah aliran mengalir ke arah selatan bermuara ke Samudra Indonesia. Akibat tenaga paleo tektonik dari Australia yang menunjam ke Pulau Jawa maka bagian pinggir (bagian Selatan Pulau Jawa) berangsur-angsur terangkat sehingga aliran air tidak dapat mengalir ke Selatan dan berbalik ke Utara yang lebih rendah. Bekas-bekas yang ditinggal sebagai bukti bahwa Sungai Bengawan Solo pernah mengalir ke Pantai Selatan Jawa yaitu morfologi sungai, struktur perlapisan sedimen, ukuran butir sedimen, dan asal sedimen terbentuk. Paleo morfologi Sungai Bengawan Solo berdasarkan penelitian yang dilakukan Suharjo tahun 1991 dan 2006 mengemukakan bahwa meander Sungai Bengawan Solo merupakan hasil proses erosi horisontal atau pelebaran lembah. Proses erosi horisontal hanya dominan terjadi di daerah sungai bagian hilir mendekati marine/pantai. Dengan demikian Sungai Bengawan Solo pernah mengalir ke Pantai Selatan Jawa. Bentuk-bentuk meander dapat disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan penyebaran meander sungai maka sampel untuk analisa data lebih banyak diambil di daerah dataran banjir di Solo bagian Selatan. 114 Gambar 3 Meander yang menjadi sungai mati Sumber : Anna et al., 2009 Morfologi dataran fluvial volkan Merapi; arah lereng daerah ini mengarah ke Timur dengan kemiringan lereng antara 2-3% sehingga arah aliran air permukaan mengarah Timur Laut ke arah segmen cekung. Morfologi dataran fluvial Pegunungan Kendeng Selatan; arah lereng ke Selatan dengan kemiringan lereng antara 2-5%, morfologi lereng bervariasi yaitu lereng berubah atau change of slope; patahan lereng break of slope, dan segmen cekung ke arah Selatan. Morfologi dataran fluvial Volkan Lawu; bentuk lahan ini berada di bagian Timur daerah penelitian dengan kemiringan lereng 2-5% yang merupakan lereng segmen cekung ke arah Barat bertemu dengan bentuk lahan dataran banjir. Paleo struktur geologi; arah perlapisan sedimen, jenis perlapisan sedimen ukuran butir sedimen, hasil analisis statistik (kemencengan ukuran butir) akan memberikan informasi jenis proses/tenaga pembentuknya. Hasil penelitian Suharjo (2007) mengemukakan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo mengalami tiga tanah hasil proses geomorfologi yaitu 1) proses marine, 2) proses paleo fluvial, dan 3) proses fluvial. Material sedimen yang ditinggalkan bahwa pernah terjadi proses marine yaitu: 1) kemencengan ukuran butir sedimen dengan kemencengan negatif (-) yang berarti marine, 2) terdapat lapisan sedimen berbatuan kapur. Proses paleo fluvial, DAS Bengawan Solo ini ditunjukkan dengam kemencengan ukuran butir 115 positif pada posisi peralihan antara sedimen marine dan di atas sedimen marine dengan lapisan mengarah ke Selatan atau arah Laut Jawa. Proses fluvial masa sekarang ditunjukkan dengan perlapisan sedimen mengarah ke Utara atau menuju hilir DAS Bengawan Solo sekarang atau ke arah Pantai Utara Jawa. Bukti profil lapisan sedimen dapat disajikan pada Gambar 4. D. Morfologi Sungai Bengawan Solo Masa Sekarang Penampang sungai yakni dasar sungai merupakan hasil morfologi masa sekarang. Hal ini disebabkan adanya penumpukan atau sedimentasi material-material yang terbawa oleh aliran air sungai. Hasil analisa kemencengan data ukuran butir (2010) didapatkan angka kemencengan positif (Tabel 7). Hal ini berarti material tersebut merupakan hasil proses fluvial bukan marin. Arah aliran menuju ke Utara yaitu ke Pantai Utara Jawa yang lebih rendah. Tabel 7. Hasil analisa statistik kemencangan (Skewness) No No sampel Skewness 1. 1 + 0.0358 2. 2 + 0.00585 3. 3 + 0.00414 4. 4 + 0.00578 5. 5 + 2.0535 6. 6 + 0.07147 7. 7 + 0.0114 8. 8 + 0.0883 Sumber : Analisa data ukuran butir, 2010 116 Gambar 4 . Profil material sedimen Sumber : Suharjo, et al., 2007 Berdasarkan Tabel 7 dapat disimpulkan bahwa air mengalir menuju ke tempat yang lebih rendah. Demikian halnya dengan aliran air sungai. Ketinggian air sungai berdasarkan cek lapangan tahun 2010 menunjukkan arah kemiringan menuju ke Utara, seperti terlihat pada Tabel 8. 117 Tabel 8. Ketinggian permukaan Sungai Bengawan Solo Titik Ketinggian air (mdpal) Ketinggian permukaan (mdpal) 1. 118 128 2. 118 128 3. 118 128 4. 118 125 5. 117 124 6. 109 116 7. 107 116 8. 106 116 9. 106 116 10. 105 115 11. 114 116 12. 108 121 13. 103 108 14. 105 110 15. 103 114 16. 103 106 17. 95 102 18. 94 100 19. 96 107 20. 83 105 21. 85 108 Sumber : Cek lapangan, 2010 Tabel 8 memperlihatkan bahwa ketinggian air Sungai Bengawan Solo mengarah ke Utara, namun pada titik tertentu terlihat adanya tempat yang menanjak atau tempat yang lebih tinggi dari sebelumnya yang seharusnya lebih rendah. Hal ini yang mengakibatkan kemiringannya menjadi naik. Dampak positif adanya kemiringan yang naik ini tentunya akan dapat menahan laju aliran air sungai, sehingga alirannya menjadi tidak terlalu deras. Dampak negatifnya antara lain akan mengakibatkan badan sungai menjadi melebar untuk menampung kuantitas air yang mengalir. 118 E. Model Pengendalian Banjir Berdasarkan Parameter Utama Penyebab Banjir Model merupakan suatu cara atau penyederhanaan untuk menerangkan proses rumit alami ke dalam gambar atau bahasa matematika agar mudah dipahami berdasarkan kaidah kaidah yang berlaku. Menurut pengertian umum lainnya, model hidrologi adalah sebuah sajian sederhana dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks. Adapun model yang diterapkan dalam penelitian ini secara detail dapat dilihat pada Gambar 5. F. Model Pengendalian Banjir Berdasarkan Faktor Alih Fungsi Lahan Berdasarkan hasil FGD yang telah dilakukan pada tahun 2011, sebagian besar Perda yang ada di wilayah Sungai Bengawan Solo Hulu kurang mendukung dalam pengelolaan sumber daya air, terutama peraturan yang berkaitan dengan program pembangunan jalan raya. Program pembangunan infrastruktur jalan yang ada di wilayah Surakarta, Klaten, Boyolali, Wonogiri dan Sukoharjo selama ini cenderung mengabaikan prinsip-prinsip lingkungan. Hal ini terlihat dari program betonisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang tidak memperhatikan sistem drainase. Program betonisasi ini tentunya akan mengurangi wilayah resapan air, sehingga proses drainase air hujanpun terhambat yang pada akhirnya dapat menimbulkan banjir. Selain itu dalam UU No 26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang Pasal 17, yakni Pemerintah harus mengupayakan agar luas area hutan di wilayah aliran Sungai Bengawan Solo mencapai angka 30% dari luas total seluruh DAS tersebut, namun pada kenyataannya berdasarkan penelitian yang dilakukan luas area hutan yang ada di kawasan Sungai Bengawan Solo tidak mencapai 30%, yakni hanya 2,53% dari luas total seluruh DAS. Berkurangnya luas area hutan ini tentu harus menjadi prioritas bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang secara langsung berhubungan dengan DAS Bengawan Solo ini. Adanya fakta tersebut tentu setiap pemerintah daerah harus mengkaji ulang mengenai RUTRK-nya masing-masing daerah agar ambang minimal luas hutan terpenuhi. 119 Hal lain yang bisa dilakukan untuk membenahi kondisi perubahan tata guna lahan di daerah hulu adalah melalui program reboisasi dan penghijauan yang dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat untuk terciptanya kelestarian lingkungan hidup. Program penghijauan dan reboisasi di daerah hulu penting karena setiap aktivitas yang dilakukan pada daerah hulu akan berdampak pada keseimbangan ekosistem wilayah hilir. Gambar 5. Model pengendalian banjir berdasarkan parameter utama penyebab banjir Sumber : Anna et al., 2011 G. Model Pengendalian Banjir Berdasarkan Faktor Curah Hujan Metode Sumur Resapan Sumur resapan merupakan metode praktis dengan cara membuat sumur-sumur untuk menampung air hujan yang jatuh pada atap perumahan atau kawasan tertentu (Sunjoto, 1991). Sumur resapan ini 120 juga dapat dikembangkan pada areal olah raga dan wisata. Konstruksi dan kedalaman sumur resapan disesuaikan dengan kondisi lapisan tanah setempat. Perlu dicatat bahwa sumur resapan ini hanya dikhususkan untuk air hujan, sehingga masyarakat harus mendapatkan pemahaman mendetail untuk tidak memasukkan air limbah rumah tangganya ke sumur resapan ini (Maryono, 2005 dengan modifikasi peneliti, 2011) (Gambar 6). Gambar 6. Metode sumur resapan Sumber : Anonim, 2013 a 1. Metode River Side Polder Cara menerapkan metode ini adalah dengan menahan aliran air dengan mengelola atau menahan air kelebihan (hujan) di sepanjang bantaran sungai. Pembuatan polder pinggir sungai ini dilakukan dengan memperlebar bantaran sungai di berbagai tempat secara selektif di sepanjang sungai. Lokasi polder perlu dicari, sejauh mungkin polder yang dikembangkan mendekati kondisi alamiah, dalam arti bukan polder dengan pintu-pintu hidraulik teknis dan tanggul-tanggul lingkar hidraulis yang mahal. Pada saat muka air naik (banjir), sebagian air akan mengalir ke polder dan akan keluar jika banjir reda, sehingga banjir di bagian hilir dapat dikurangi dan konservasi air terjaga (Maryono, 2005 dengan modifikasi peneliti, 2011) (Gambar 7). 121 Gambar 7. Metode River Side Polder Sumber : Anonim, 2013 b 2. Metode Kolam Konservasi Metode kolam konservasi dibuat untuk menampung air hujan terlebih dahulu, diresapkan dan sisanya dapat dialirkan ke sungai secara perlahan-lahan. Kolam konservasi dapat dibuat dengan memanfaatkan daerah-daerah dengan topografi rendah, daerah-daerah bekas galian pasir atau galian material lainnya, atau secara ekstra dibuat dengan menggali suatu areal atau bagian tertentu (Maryono, 2005 dengan modifikasi peneliti, 2011) (Gambar 8). Gambar 8. Metode kolam konservasi Sumber : Anonim, 2013 c 122 3. Metode Areal Pelindungan Air tanah Metode areal perlindungan air tanah yaitu metode yang dilakukan dengan menetapkan kawasan lindung untuk air tanah. Kawasan ini tidak boleh dibangun bangunan apapun. Areal ini dikhususkan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah. Di berbagai kawasan perlu sesegera mungkin dicari tempat-tempat yang cocok secara geologi dan ekologi sebagai areal untuk recharge dan perlindungan air tanah sekaligus sebagai bagian penting dari komponen drainase kawasan (Maryono, 2005 dengan modifikasi peneliti, 2011) (Gambar 9). Gambar 9. Metode areal perlindungan air tanah Sumber : Anonim, 2013 d 4. Metode Biopori Biopori merupakan suatu metode resapan air yag digunakan untuk mengatasi banjir dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah. Biopori adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai akitifitas organisma di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah lainnya. Lubang-lubang yang terbentuk akan terisi udara, dan akan menjadi tempat berlalunya 123 air di dalam tanah. Bila lubang tersebut dibuat dalam jumlah banyak, maka kemampuan tanah dalam meresapkan air diharapkan semakin meningkat. Meningkatnya kemampuan tanah dalam meresapkan air diharapkan dapat memperkecil peluang terjadinya aliran air di permukaan atau dengan kata lain dapat mengurangi potensi banjir yang sering terjadi (Gambar 10). Gambar 10. Metode biopori Sumber : Anonim, 2013 e H. 1. Model Pengendalian Banjir Berdasarkan Faktor Morfologi Sungai Mengaktifkan Oxbow Sungai bekas sudetan biasanya disebut dengan initial oxbow lake (danau oxbow buatan). Danau oxbow buatan merupakan penggal ekosistem sungai yang mati, airnya diam, kualitas airnya jelek, dan sering menjadi sarang nyamuk serta sebagai tempat pembuangan sampah bagi masyarakat. Lambat laun sungai oxbow buatan ini akan mengalami pendangkalan karena sedimen baik yang berasal dari daerah sekitarnya maupun endapan sisa-sisa vegetasi. Banjir yang sering terjadi di Kota Surakarta dan Sukoharjo juga terjadi karena adanya pelurusan atau sudetan Sungai Bengawan Solo yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang, sehingga tanpa disadari aliran 124 sungai tidak terkontrol yang pada akhirnya aliran semakin deras dan bertambah cepat. Aliran yang deras dan cepat tersebut dari waktu ke waktu akan menyebabkan erosi pada tebing sungai semakin tinggi. Erosi tebing sungai yang tinggi dikhawatirkan akan mengakibatkan longsor pada tebing sungai, sehingga menyebabkan kekhawatiran bagi masyarakat yang tinggal dekat dengan tebing sungai. Salah satu cara agar banjir dapat terkendali adalah dengan merenaturalisasi oxbow dengan membuka kembali tanggul pembatas oxbow dengan sungai utama (Maryono, 2005 dengan modifikasi peneliti, 2011) (Gambar 11) Gambar 11. Mengaktifkan Oxbow Sumber: Anonim, 2013 f 125 2. Re-vegetasi Bantaran dan Tebing Sungai Pada pelurusan, normalisasi sungai dan pentaludan, umumnya bantaran dan tebing sungai menjadi gundul. Hal ini mengakibatkan kepunahan flora dan fauna serta penurunan retensi aliran. Menanami kembali bantaran dan tebing sungai dengan vegetasi setempat akan dapat meningkatkan kualitas ekosistem dan meningkatkan retensi air banjir, mengurangi tingkat erosi tebing serta menjamin kestabilan tebing sungai (Maryono, 2005 dengan modifikasi peneliti, 2011) (Gambar 12). Gambar 12. Re-vegetasi bantaran dan tebing sungai Sumber: Anonim, 2013 g Daerah bantaran sungai (flood plain) yang biasanya sudah berubah menjadi areal pertanian atau dibuat talud memanjang dan di urug, dapat direnaturalisasi dengan membuka kembali talud atau tanggul yang ada atau dengan mengeruk kembali timbunan yang ada. Di samping itu pada daerah bantaran yang sempit dapat diperlebar secara proporsional. Areal terbuka bantaran sungai ini dapat dibiarkan sebagai kolam retensi bantaran atau diadakan revegetasi dengan tanaman yang sesuai. Cara ini sangat efektif untuk menahan banjir dan meningkatkan konservasi air di hulu (Maryono, 2005 dengan modifikasi peneliti, 2011). 126 I. Model Pengendalian Banjir Terpadu Salah satu bentuk terpadu dalam penelitian adalah adanya bentuk kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat. Partisipasi masyarakat mempunyai arti penting dalam suksesnya suatu proyek atau kegiatan sumber daya air. Tingkatan pasrtisipasi masyarakat akan berdampak secara signifikan terhadap laju konflik yang timbul akibat adanya proyek atau kegiatan. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat, maka konflik yang ditimbulkan juga semakin kecil. Kodati, et al., (2005) membagi tingkatan partisipasi masyarakat yang meliputi: tidak terlibat, terlibat dan berpartisipasi, bermitra dan sebagai pemain utama. Secara detail mengenai gambaran tersebut dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13. Peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan SDA Sumber : Kodatie et al., 2005 IV. KESIMPULAN Berdasarkan tujuan dan analisis dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut : a. Ada tiga faktor penyebab kejadian banjir di daerah penelitian, yakni kondisi iklim, perubahan tata guna lahan, dan kondisi morfologi sungai. Perubahan tata guna lahan menjadi penyebab paling dominan terjadinya banjir di daerah penelitian. 127 b. c. Perubahan tata guna lahan ini dapat meningkatkan potensi air permukaan akibat luasan vegetasi di daerah penelitian berkurang. Semakin sedikit perubahan tata guna lahan pada daerah hutan, maka debitnya-pun semakin kecil. Selain penggunaan lahan faktor kondisi morfologi sungai juga berpengaruh signifikan terhadap kejadian banjir di Kota Surakarta. Model pengendalian banjir yang dapat diterapkan di daerah penelitian berdasarkan parameter curah hujan meliputi: metode sumur resapan, metode river side polder, metode kolam konservasi, metode perlindungan areal airtanah, dan metode biopori. Sedangkan berdasarkan parameter tata guna lahan meliputi: evaluasi RTRW/RTRK, evaluasi Perda Lingkungan Hidup, pengadaan program penghijauan, dan reboisasi pada daerah hulu; berdasarkan parameter morfologi sungai meliputi: mengaktifkan oxbow, re-vegetasi daerah bantaran dan tebing sungai, dan melakukan pelebaran daerah bantaran sungai. Model pengendalian banjir terpadu yang harus dilakukan adalah dengan mengikutsertakan masyarakat dalam upaya pengelolaan sumber daya air. Hal ini dibutuhkan untuk memperkecil terjadinya konflik pengelolaan sumber daya air. DAFTAR PUSTAKA Anna. AN, dan Suharjo,. 2006. Analisis karakteristik parameter hidrologi akibat alih fungsi lahan di Daerah Sukoharjo melalui citra landsat tahun 1997 dengan tahun 2002. Surakarta : Fakultas Geografi UMS. Anna. AN, Suharjo, Cholil, Munawar. 2009. Model pengelolaan air permukaan untuk pencegahan banjir di kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. Surakarta : Fakultas Geografi UMS. Anna. AN. 2010. Analisis Karakteristik parameter hidrologi akibat alih fungsi lahan di Daerah Sukoharjo melalui citra landsat tahun 1997 dengan tahun 2002, Jurnal Geografi UMS : Forum Geografi, volume 14, Nomor 1, Juli 2010. Surakarta: Fakultas Geografi UMS. Anna. AN. 2011. Analisis fluktuasi hujan dan morfologi sungai terhadap konsentrasi banjir daerah Surakarta, Jurnal Geografi UMS : 128 Forum Geografi, volume 25 Nomor 1, Juli 2011. Surakarta: Fakultas Geografi UMS. Anonim. 2013. Metode areal perlindungan air tanah. Diakses pada Tanggal 4 Juni 2013 pada alamat : http://bebasbanjir2025. files.wordpress.com Anonim. 2013. Metode Biopori. Diakses pada Tanggal 4 Juni 2013 pada alamat : http://alamendah.org/2009/10/14/lubang-resapanbiopori -sederhanatepat-guna Anonim. 2013. Metode kolam konservasi. Diakses pada Tanggal 4 Juni 2013 pada alamat : http://bebasbanjir2025.files.wordpress.com Anonim. 2013. Metode River Side Polder. Diakses pada Tanggal 4 Juni 2013 pada alamat : http://anggunsugiarti.blogspot.com Anonim. 2013. Metode sumur resapan. Diakses pada Tanggal 4 Juni 2013 pada alamat : http:// vienastra.wordpress.com Anonim. 2013. Oxbow. Diakses pada Tanggal 4 Juni 2013 pada alamat : http://www.daviddarling.info/encyclopedia/O/oxbow_lake.html Anonim. 2013. Revegetasi bantaran dan tebing sungai. Diakses pada Tanggal 4 Juni 2013 pada : http://oxyprimasetiya.blogspot.com/ 20e12/03/struktursungai. html Kodati, Robert J., Sjarief, Roestam. 2005. Pengelolaan sumber daya air terpadu. Yogyakarta : ANDI. Maryono, Agus. 2005. Menangani banjir, kekeringan, dan lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Pawitan, Hidayat. 2002. Perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap Daerah Aliran Sungai. Bogor : Laboratorium Hidrometeorologi FMIPA IPB. Soenarno. 2005. Kebijakan pengelolaan sumber daya air dan privatisasi atas air. Makalah. Proseding Seminar Nasional. Fak. Geografi UMS. Suharjo. 2007. Evolusi lereng dan tanah daerah Solo Jawa Tengah. Fakultas Geografi UMS. Sunjoto. 1991. Analisis Sumur Resapan Serta Pengembangannya. Disampaikan pada Sarasehan Ilmiah, Puslitbang Pemukiman Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Thornbury.Th. 1958 . Principles of geomophology. John Wiley and Sons Inc. New York. Tjasyono, Bayong, 1999. Klimatologi umum. ITB. Bandung. 129 PERTUMBUHAN TANAMAN REHABILITASI POLA AGROFORESTRY SENGON DAN JABON PADA LAHAN TERDEGRADASI DI TLOGOWUNGU PATI1 Oleh : Heru Dwi Riyanto dan Gunardjo Tjakrawarsa2 2* 2 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected] *Email: [email protected] ABSTRAK Jenis-jenis pohon lokal disarankan untuk kegiatan rehabilitasi lahan terdegradasi karena memiliki kemampuan tumbuh baik dilingkungannya. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pertumbuhan jenis sengon dan jabon di kawasan Gunung Muria melalui penerapan model rehabilitasi lahan dengan pendekatan agroforestri di lahan miring serta perannya dalam memelihara kesuburan tanah. Hasil penelitian menunjukkan kadar N total dan bahan organik tanah 14 bulan setelah tanam secara umum cenderung mengalami peningkatan. Kondisi pH tanah antar plot cukup bervariasi, setelah 18 bulan setelah tanam kondisi pH tanah mengalami penurunan 11 - 16%. Persen tumbuh sengon dan jabon sampai 6 bulan setelah tanam menurun masing-masing 0,96 dan 3,84% per bulan dan sampai 18 bulan setelah tanam dengan penurunan 0,27 dan 0,23 % per bulan. Persen tumbuh umur 18 bulan adalah 88 dan 74 % masing-masing untuk sengon dan jabon. Rata-rata pertumbuhan tinggi sengon model A dan C sampai 6 bulan dan 18 bulan setelah tanam masing-masing adalah 8,84, 18,64, 25,64 dan 22,53 cm per bulan. Pertumbuhan tinggi sengon model A dan C sampai 18 bulan setelah tanam tidak berbeda nyata dengan increment masing-masing 20,70 dan 21,39 cm per bulan. Ratarata pertumbuhan tinggi jabon model B dan C sampai 6 bulan dan 18 bulan setelah tanam masing-masing adalah 8,00, 6,88 , 9,71 dan 9,77 cm per bulan. Pertumbuhan tinggi jabon model B dan C sampai 18 bulan setelah tanam berbeda nyata dengan increment masing-masing 9,71 dan 9,77 cm per bulan. Rata-rata pertumbuhan diameter sengon model A dan C sampai 6 bulan dan 18 bulan setelah tanam masing-masing 2,16 , 1,92 , 2,85 dan 2,83 mm per bulan. Pertumbuhan diameter sengon model A dan C sampai 18 bulan setelah tanam tidak berbeda nyata dengan increment masing-masing 2,65 dan 2,56 mm per bulan. Rata-rata pertumbuhan diameter jabon model B dan C sampai 6 bulan dan 18 bulan setelah tanam masing-masing 1,12 , 1,42 , 1,86 dan 2,04 mm per bulan. Pertumbuhan diameter jabon model B dan C sampai 18 bulan setelah tanam tidak berbeda nyata dengan increment masing-masing 1,64 dan 1,86 mm per bulan. Kata kunci: kesuburan tanah, riap tinggi dan diameter, sengon, jabon. 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan, pada tanggal 12 juni 2013. 130 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktek pengolahan dan pemanfaatan lahan tanpa memperhatikan aspek-aspek konservasi tanah, akan memicu terjadinya degradasi lahan yang berimplikasi pada bertambah luasnya lahan kritis. Hal tersebut berpotensi meningkatkan pengaruh negatif kondisi hidrologis DAS seperti meningkatnya aliran permukaan, laju erosi, banjir, kekeringan, dan menurunnya jumlah resapan air ke dalam tanah. Lahan terbuka tanpa pepohonan dan tanaman penutup tanah memperbesar peluang terjadinya erosi tanah yang akibatnya dapat menurunkan kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Erosi diduga memicu bertambah luasnya lahan yang terdegradasi yang menyebabkan lahan kritis. Kementerian Kehutanan (2013) menyebutkan bahwa total lahan kritis di Indonesia tercatat seluas 27,2 juta ha. Pemilihan jenis-jenis pohon yang akan digunakan dalam kegiatan rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi disarankan menggunakan jenis-jenis pohon lokal atau andalan setempat. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kegagalan pelaksanaan kegiatan tersebut, karena jenis-jenis lokal tersebut memiliki kemampuan untuk dapat tumbuh baik di lingkungannya. Di sisi lain jika ingin menggunakan jenis-jenis yang eksotik sebaiknya dipilih jenis pohon yang sudah didomestikasi (Rachman, 2002). Rehabilitasi lahan merupakan solusi yang tepat dalam mengatasi masalah degradasi lahan. Penanaman jenis – jenis pohon lokal maupun jenis yang diminati masyarakat di lereng Gunung Muria dengan memerhatikan kesesuaian dan ketepatan dalam pemilihan jenis dengan tempat tumbuhnya serta mempertimbangkan adoptabilitas masyarakat dan penerapan teknik konservasi tanah dan air, akan meningkatkan keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan serta dapat memelihara bahkan meningkatkan basis genetik suatu wilayah. Kegiatan model rehabilitasi hutan dan lahan secara vegetatif dengan menggunakan jenis sengon dan jabon diharapkan dapat memenuhi fungsi kelestarian atas dasar kaidahkaidah ekologi dan konservasi sehingga terwujud keseimbangan 131 antara produksi, kelestarian, dan kesejahteraan masyarakat. Jenis sengon dipilih karena masih memenuhi syarat ketinggiannya (500 dpl), sedangkan jenis jabon merupakan pilihan petani berdasarkan hasil wawancara. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi pertumbuhan jenis sengon dan jabon yang sesuai dalam rangka rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air lahan berlereng. II. METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Blok Duren Bayi, Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati seluas 6 hektar yang melibatkan 11 petani pemilik dan penggarap lahan. Topografi bergunung dengan ketinggian tempat antara 500 – 750 m di atas permukaan laut dengan wilayah berhutan seluas 1.000 ha (BPDAS Pemali Jeratun, 2008; Badan Pusat Statistik, 2010). Penelitian dilaksanakan mulai Maret 2011 sampai dengan September 2012. B. Metode Penelitian Evaluasi pertumbuhan tanaman sengon dan jabon dilakukan menurut: Model A = Sengon dengan tanaman campuran agroforestri (manggis, petai, manglid, randu dan lajur lamtoro), Model B = Jabon dengan tanaman campuran agroforestri (duku, petai, manglid, randu, dan lajur glerisidia), Model C = Sengon dan Jabon dengan tanaman agroforestri (manggis, duku, petai, manglid, randu, lajur amtoro dan lajur glerisidia) dan Kontrol = singkong. Tanaman campuran agroforestri di dalam model-model tersebut tidak diukur karena merupakan pilihan petani atau memang sudah tumbuh di plot penelitian, tersebar acak dan tidak berpola. Setiap model diulang sebanyak tiga kali (A1, A2 dan A3, B1, B2 dan B3, C1, C2, dan C3) dan setiap perlakuan terdiri dari 100 pohon. Pertumbuhan tinggi dan diameter jenis sengon antara Model A dan C 132 serta pertumbuhan jabon antara model B dan C dianalisis menggunakan paired-t test. Data yang dikumpulkan terdiri dari kesuburan tanah, tinggi pohon dan diameter batang sengon dan jabon. Data kesuburan tanah yang merupakan hasil analisis sampel tanah mencakup kandungan Nitrogen (N) total, bahan organik (BO), dan pH tanah. Tinggi pohon diukur dengan menggunakan meteran dari permukaan tanah sampai pucuk pohon. Diameter batang diukur pada ketinggian 130 cm (setinggi dada). C. Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman sengon dan jabon setelah tanam yang diberikan selain plot kontrol adalah pemberian pupuk kandang sebagai pupuk dasar sebanyak 2 kg dan pupuk NPK 30 gr per lubang tanam yang dicampur dengan tanah bagian atas (top soil). Pemupukan lanjutan (setelah tanaman umur satu tahun) menggunakan 2 kg pupuk kandang dan 50 gr NPK per pohon. Variabel yang diamati adalah: N total, bahan organik (BO), pH tanah, persen hidup, tinggi dan diameter tanaman sengon dan jabon. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Status Kesuburan Tanah Hasil perbandingan analisis kesuburan fisik dan kimia tanah antara awal sebelum penanaman dari umur 14 bulan setelah tanam yang meliputi nitrogen (N) total, bahan organik (BO), pH tanah dan setelah 14 bulan setelah tanam disajikan pada Gambar 1,2, dan 3. 133 N total (%) 0,14 0,12 0,10 0,08 0,06 0,04 0,02 0,00 Awal 14 bln A B C K Plot Gambar 1. Perubahan N total tanah antara awal dan 14 bulan setelah tanam Gambar 1 menunjukkan kandungan N total semua perlakuan antara awal penanaman dan 14 bulan setelah tanam bervariasi, tetapi secara umum pada 14 bulan setelah tanam kandungan N total cenderung mengalami peningkatan. 3,00 BO (%) 2,50 2,00 1,50 BO awal 1,00 BO akhir 0,50 0,00 A B C K Plot Gambar 2. Perubahan BO tanah antara awal dan 14 bulan setelah tanam Seperti halnya N total, kandungan BO pada awal tanam dan 14 bulan setelah tanam juga bervariasi, dan cenderung mengalami peningkatan (Gambar 2). 134 pH (H2O) 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 Awal 14 bln A B C K Plot Gambar 3. Perubahan pH (H2O) tanah antara awal dan 18 bulan setelah tanam Kondisi awal sebelum tanam, pH antar plot cukup bervariasi, setelah 18 bulan setelah tanam kondisi pH mengalami penurunan. Penurunan ini kemungkinan disebabkan oleh 1) waktu/musim pengukuran pH yang berbeda, pengukuan pH awal dilakukan saat akhir musim hujan, pengukuran pH 18 bulan setelah tanam dilakukan saat awal musim hujan, jadi berbeda dalam kelembaban tanah, 2) analisis tanah awal dan akhir dilakukan oleh laboratorium yang berbeda, 3) peningkatan N total dan bahan organik. Jamaludheen dan Kumar (1999) melaporkan bahwa rata-rata produksi serasah tahunan sengon (umur 7 tahun) pada tanah Oksisols di wilayah beriklim basah, Palakkad, Kerala, India, cukup tinggi yaitu 9,17 Mg ha-1 tahun-1. Serasah daun sengon relatif cepat terdekomposisi dalam kisaran waktu 2 bulan. Dalam sistem wanatani, sisa tanaman atau pangkasan pohon terutama legum yang dikembalikan ke tanah berfungsi sebagai sumber N bagi tanaman dan untuk mempertahankan atau memperbaiki kandungan bahan organik tanah (Handayanto, 1996). Peningkatan N tanah diduga bukan dipengaruhi oleh hasil dekomposisi serasah sengon karena pohon sengon masih muda (berumur 18 bulan) belum banyak memroduksi serasah. Namun demikian, sengon yang termasuk kelompok legum dapat mengurangi limitasi N dengan mendorong respon tanaman melalui kemampuannya mengikat N2 135 atmosfer secara simbiosis dengan bakteri Rhizobium (bakteri penambat N). Legum sebagai pengikat N2 menunjukkan fotosintesis dan respon pertumbuhan yang positif yang tidak tergantung pada suplai N tanah (Lee at al., 2003). Tanaman legum lebih banyak memperoleh N melalui fiksasi N2 secara simbiosis dengan bakteri Rhizobium yang hidup di nodul pada sistem perakaran legum. Rhizobium sangat berperan dalam meningkatkan fiksasi nitrogen menjadi senyawa amonia (NH3) untuk selanjutnya mengalami amonifikasi membentuk senyawa ammonium (NH4+) dan kemudian oleh bakteri nitrifikasi akan diubah menjadi ion nitrat (NO3-). Kedua urutan senyawa terakhir ini merupakan bentuk yang sudah siap diserap oleh tanaman (Haynes, 1986). Dengan demikian, peran pohon legum ini akan sangat membantu meningkatkan N organik tanah. Di masing-masing plot, pH umur 18 bulan setelah tanam terlihat cenderung menurun dibandingkan dengan pH awal sebelum penanaman. Hal ini dimungkinkan karena tanah sebagian besar bertipe lempung. Lempung merupakan koloid tanah anorganik. pH tanah mempengaruhi kelarutan nutrisi, hal ini juga mempengaruhi aktivitas mikro-organisme yang bertanggung jawab untuk merombak bahan organik dan sebagian besar transformasi kimia di dalam tanah (USDA, 1998). Oleh sebab itu, pH tanah akan mempengaruhi ketersediaan beberapa nutrisi tanaman. Tabel 1 memperlihatkan pH KCl tanah yang lebih rendah dibandingkan pH H2O untuk seluruh plot perlakuan. Hal ini menunjukkan banyaknya jumlah ion H+ sebagai penyebab kemasaman tanah yang terjerap (teradsorpsi) di lapisan koloid tanah. Pada saat terlepas dari jerapan koloid, maka kemasaman tanah akan meningkat. Hal ini terlihat dari menurunnya pH rata-rata tanah dari awalnya 5,5 sebelum penanaman menjadi 4,8 setelah jangka waktu 18 bulan. Namun penurunan tersebut tidak jauh karena keduanya masih dalam kategori yang sama yaitu tanah kategori masam. Kisaran pH tersebut masih mendukung berlangsungnya proses nitrifikasi yang hasil akhirnya adalah suplai ion nitrat (NO3-) yang siap diserap tanaman. Serasah sengon yang masih berumur muda belum cukup banyak untuk memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan pH tanah. pH tanah adalah salah satu faktor paling penting yang memengaruhi proses dekomposisi. Dekomposisi serasah/secara spesifik berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral dibandingkan pH rendah (tanah masam). pH tanah juga dikenal 136 menjadi salah satu faktor pembatas dalam proses nitrifikasi. Secara umum, nitrifikasi masih bisa dijumpai hingga pada pH sekitar 4,5 (Tisdale et. al., 1986). Nitrifikasi optimal terjadi pada pH mendekati netral (pH 7). Jumlah ion nitrat di dalam tanah berkorelasi positif dengan pH tanah (Sahrawat, 1982 dalam Tisdale et. al., 1986). Untuk solusi permasalahan tersebut, pemberian pupuk kandang perlu ditingkatkan karena di samping mampu mengurangi kemasaman tanah juga akan membantu meningkatkan unsur hara tanah. Pupuk kandang memiliki kandungan unsur hara yang lebih lengkap dengan sifat pelepasan hara lebih lambat/slow release. Penanaman rumputrumputan di samping membantu mengurangi erosi juga membantu menaikkan pH tanah. Pupuk kandang yang berasal dari hewan ternak pemakan rumput memiliki kandungan Ca2+, Mg2+ dan K+ yang lebih tinggi karena rumput-rumputan lebih banyak menyerap logam alkali tersebut sehingga apabila terdekomposisi akan mengurangi kemasaman tanah. Atmojo (2003) mengemukakan bahwa peningkatan pH tanah juga akan terjadi apabila bahan organik tersebut telah terdekomposisi lanjut (matang) karena bahan organik yang telah termineralisasi akan melepaskan mineralnya, berupa kationkation basa. Lebih lanjut, peningkatan jumlah bahan tanaman sebagai sumber bahan organik, hidup atau mati, umumnya akan membantu proses infiltrasi. B. Persen Hidup Tanaman Persen hidup tanaman pada umur 1 bulan setelah tanam (bst) adalah 96 % (tanaman mati, layu dan patah sebesar 4,2%). Namun demikian, 9,7 % dari total tanaman terserang hama (hama ulat pada jabon dan kutu putih pada sengon) yang cukup parah. Data persen hidup sengon dan jabon pada umur 1, 6, dan 18 bulan terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Persen hidup sengon dan jabon umur 1, 6, dan 18 bulan bst Jenis Sengon Jabon 1 bulan 96,0 96,0 Persen Hidup (%) 6 bulan 18 bulan 91,2 88,0 76,8 74,0 137 Tanaman yang sakit ini diprioritaskan untuk disulam kembali di tahun berikutnya yaitu sebesar 28,3 % (sekitar 700 bibit). Persen hidup untuk jenis sengon, dari 1079 sengon mengalami kematian sebesar 43 tanaman sehingga persentase hidup 96 persen. Untuk jenis jabon, dari 1078 tanaman, mengalami kematian 38 tanaman dengan demikian persentase hidupnya 96 persen. Persen tumbuh sengon dan jabon sampai 6 bulan setelah tanam masing-masing menurun 0,96 dan 3,84% per bulan, tetapi relatif lebih setabil setelahnya sampai umur 18 bulan dengan penurunan persen tumbuh masing-masing 0,27 dan 0,23% per bulan. Persen tumbuh umur 18 bulan adalah 88 dan 74% masing-masing untuk sengon dan jabon. C. Pertumbuhan Tinggi Dan Diameter Pertumbuhan tinggi dan diameter adalah dua variabel yang umum digunakan dalam menilai perkembangan tanaman (pohon). Hasil pengukuran tinggi dan diameter secara lengkap disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2. Rata-rata tinggi pohon (cm) umur 1 (satu), 6 (enam) dan 18 (delapan belas) bulan setelah tanam Kombinasi Perlakuan Jenis 1 Bln 6 Bln 18 Bln Model A Sengon 99,4±24,89 143,6±75,39 451,3±88,88 Model C Sengon 99,6±24,11 192,8±95,68 463,2±98,72 Model B Jabon 84,3±19,37 124,3±37,06 249,4±54,16 Model C Jabon 83,3±25,18 117,7±81,74 249,4±108,23 Tinggi rata-rata tanaman sengon Model A dan C sampai umur 6 bulan setelah tanaman masing-masing naik 8,84 dan 18,64 cm per bulan dan relatif seragam setelahnya dengan pertumbuhan sampai 18 bulan sebesar 25,64 dan 22,53 cm per bulan. Sampai dengan umur 6 bulan setelah tanam Model C menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan Model A sedangkan sampai umur 18 bulan yang terjadi 138 sebaliknya. Pertumbuhan tinggi sampai 18 bulan tidak berbeda secara nyata dengan increment 20,70 dan 21,39 cm per bulan masing-masing untuk model A dan C. Tinggi rata-rata tanaman jabon model B dan C sampai 6 bulan setelah tanam relatif sama masing-masing naik 8,00 dan 6,88 cm per bulan, demikian juga setelahnya dengan pertumbuhan sampai 18 bulan sebesar 10,43 dan 10,98 cm per bulan. Rendahnya tinggi awal pada umur 1 bulan diduga menyebabkan rendahnya pertumbuhan tinggi jabon sampai dengan umur 6 bulan setelah tanam, walaupun pada pertumbuhan berikutnya rendahnya tinggi awal dapat menunjukkan pertumbuhan tinggi yang lebih baik. Pertumbuhan tinggi sampai 18 bulan berbeda nyata dengan increment 9,71 dan 9,77 cm per bulan masing-masing untuk model B dan C. Tabel 3. Diameter pohon (mm) umur 1 (satu), 6 (enam) dan 18 (delapan belas) bulan setelah tanam Jenis 1 Bln 6 Bln 18 Bln Model A Sengon 7,7±0,25 18,5±4,57 52,7±0,96 Model C Sengon 8,1±0,32 17,7±0,77 51,7±0,74 Model B Jabon 14,1±0,68 19,7±0,74 42,0±1,16 Model C Jabon 11,7±0,41 18,8±3,05 43,3±1,12 Kombinasi Perlakuan Diameter rata-rata tanaman sengon model A dan C sampai 6 bulan setelah tanam masing-masing naik 2,16 dan 1,92 mm per bulan dan relatif seragam setelahnya dengan pertumbuhan sampai 18 bulan sebesar 2,85 dan 2,83 m per bulan. Pertumbuhan diameter sampai 18 bulan tidak berbeda secara nyata dengan increment 2,65 dan 2,56 mm per bulan masing-masing untuk model A dan C. Tinggi rendahnya diameter awal tidak secara konsisten menentukan besarnya pertumbuhan diameter sengon sampai 6 dan 18 bulan setelah tanam. Diameter rata-rata tanaman jabon model B dan C sampai 6 bulan setelah tanam masing-masing naik 1,12 dan 1,42 mm per bulan, meningkat setelahnya dengan pertumbuhan sampai 18 bulan sebesar 1,86 dan 2,04 mm per bulan. Pertumbuhan tinggi sampai 18 bulan tidak berbeda secara nyata dengan increment 1,64 dan 1,86 mm per 139 bulan masing-masing untuk model B dan C. Diameter awal diduga berpengaruh pada pertumbuhan diameter jabon sampai umur 6 bulan dan 18 bulan setelah tanam. Sedang untuk mengetahui pertumbuhan tanaman pada masingmasing plot (lahan masing-masing petani partisipan) sampai umur tanaman 18 bulan disajikan pada Gambar 4. berikut: 500 Tinggi (cm) 400 300 200 Model A 100 Model C 0 1 bln 18 bln Umur Gambar 4. Pertumbuhan tinggi sengon dari satu bulan setelah tanam sampai 18 bulan setelah tanam Gambar 4 tersebut memperlihatkan bahwa pada saat umur 1 bulan rata-rata tinggi sengon antar plot A dan C hampir tidak berbeda, tetapi setelah umur 18 bulan tinggi sengon menjadi bervariasi. Bervariasinya tinggi sengon tersebut menandakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan sengon tersebut. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tersebut adalah peran petani partisipan dalam pemeliharaan tanaman sengonnya, karena berdasarkan laporan terdahulu kondisi status kesuburan lahan pada saat tanam berbeda tidak nyata antar plotnya. Pemeliharaan yang dilakukan oleh petani penggarap meliputi pembabatan gulma dan pendangiran yang dilakukan setiap 6 bulan sekali. 140 60 Diameter (mm) 50 40 30 Blok A 20 Blok C 10 0 1 bln 18 bln Umur Gambar 5. Pertumbuhan diameter sengon dari satu bulan setelah tanam sampai 18 bulan setelah tanam Kondisi yang terjadi pada petumbuhan diameter sengon hampir tidak berbeda dengan pertumbuhan tinggi sengon, peran aktif petani partisipan dalam memelihara sengon sangat berperan dalam pertumbuhan diameter tanaman sengon sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5. 300 Tinggi (cm) 250 200 150 Model A 100 Model C 50 0 1 bln 18 bln Umur Gambar 6. Pertumbuhan tinggi jabon dari satu bulan setelah tanam sampai 18 Bulan setelah tanam Pertumbuhan tinggi jabon dari Gambar 6 terlihat bahwa pada awal tanam tinggi tanaman jabon relatif sama tetapi setelah 18 bulan tinggi 141 antar plot mulai menunjukkan variasi antar plotnya, hal ini juga dipengaruhi oleh keaktifan petani partisipan dalam memelihara tanaman jabonnya. Diameter (mm) 50 40 30 Model A 20 Model C 10 0 1 bln 18 bln Umur Gambar 7. Pertumbuhan diameter jabon dari satu bulan setelah tanam sampai 18 Bulan setelah tanam Dari Gambar 4 terlihat bahwa besar pameter diameter awal jabon lebih bervariasi daripada parameter tinggi, dan terlihat juga bahwa diameter awal berpengaruh terhadap perkembangan atau pertumbuhan diameter selanjutnya, tetapi faktor keaktifan petani partisipan dalam hal ini juga berpengaruh. Sebagaimana yang diketahui bahwa pada akhir tahun 2011 sudah diadakan penilaian terhadap keaktifan terhadap petani partisipan, dari hasil penilaian tersebut hasil terbaik I didapatkan oleh petani partisipan pemilik lahan A1, terbaik 2 didapatkan oleh petani pemilik lahan C1 dan hasil terbaik ke 3 didapatkan oleh petani partisipan pemilik lahan B3. Dalam kaitan pertumbuhan Tisdale et al. (1985) mengemukakan bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara terutama nitrogen. Hal ini disebabkan oleh fungsi nitrogen yang mendorong pertumbuhan merupakan pengatur penggunaan kalium, fosfat dan penyusun lainnya. Apabila kekurangan N, tanaman tidak dapat melakukan metabolisme dan pertumbuhan tinggi juga terhambat (tanaman bisa menjadi kerdil). Tanaman harus memperoleh cukup N untuk dapat tumbuh baik dan membentuk sel-sel baru. 142 D. Hasil analisis paired t-test Hasil analisis paired t-test terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter sengon dan jabon menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi dan diameter sengon Model A dan C tidak berbeda nyata, sedangkan pertumbuhan tinggi jabon Model B dan C berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% dan pertumbuhan diameter jabon Model B dan C menunjukkan tidak berbeda nyata. Hasil analisis paired t-test selengkapnya terdapat pada tabel 4. Tabel 4. Hasil analisis paired t-test Paired Samples Test Paired Differences Mean Pair 1 Pair 1 Pair 1 Pair 1 TS – TSCamp DS – DSCamp TJ – Tjcamp DJ – Djcamp 2.0322 Std. Deviation Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the Difference Lower df Sig. (2tailed) Upper 3.1915 3.464 151 0.001 1.7714 1.7836 8.7835 2.983 151 0.003 -0.1047 2.4946 0.2051 -0.5100 0.3005 -0.511 147 0.61 -1.5237 13.0291 1.0710 -3.6402 0.5929 -1.423 147 0.157 5.2836 7.2334 0.5867 0.8730 t 21.8396 IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Kadar N total dan bahan organik tanah 14 bulan setelah tanam secara umum cenderung mengalami peningkatan. Kondisi pH tanah antar plot cukup bervariasi, setelah 18 bulan setelah tanam kondisi pH tanah mengalami penurunan 11% - 16%. Persen tumbuh sengon dan jabon sampai 6 bulan setelah tanam menurun masing-masing 0,96 dan 3,84% per bulan dan sampai 18 bulan setelah tanam dengan penurunan 0,27 dan 0,23 % per bulan. Persen tumbuh umur 18 bulan adalah 88 % dan 74 % masing-masing untuk sengon dan jabon. 2. 3. Rata-rata pertumbuhan tinggi sengon model A dan C sampai 6 bulan dan 18 bulan setelah tanam masing-masing adalah 8,84 cm, 18,64 cm, 25,64 cm dan 22,53 cm per bulan. Pertumbuhan tinggi sengon model A 143 dan C sampai 18 bulan setelah tanam tidak berbeda nyata dengan increment masing-masing 20,70 dan 21,39 cm per bulan. Rata-rata pertumbuhan tinggi jabon model B dan C sampai 6 bulan dan 18 bulan setelah tanam masing-masing adalah 8,00 cm, 6,88 cm, 9,71 cm dan 9,77 cm per bulan. Pertumbuhan tinggi jabon model B dan C sampai 18 bulan setelah tanam berbeda nyata dengan increment masing-masing 9,71 dan 9,77 cm per bulan. 4. Rata-rata pertumbuhan diameter sengon model A dan C sampai 6 bulan dan 18 bulan setelah tanam masing-masing 2,16 mm, 1,92 mm, 2,85 mm dan 2,83 mm per bulan. Pertumbuhan diameter sengon model A dan C sampai 18 bulan setelah tanam tidak berbeda nyata dengan increment masing-masing 2,65 dan 2,56 mm per bulan. Rata-rata pertumbuhan diameter jabon model B dan C sampai 6 bulan dan 18 bulan setelah tanam masing-masing 1,12 mm, 1,42 mm, 1,86 mm dan 2,04 mm per bulan. Pertumbuhan diameter jabon model B dan C sampai 18 bulan setelah tanam tidak berbeda nyata dengan increment masing-masing 1,64 dan 1,86 mm per bulan. B. Saran Penelitian pertumbuhan sengon dan jabon ini masih dalam taraf awal, sehingga masih perlu pengamatan lanjut minimal sampai umur tanaman tiga tahun, setelah riap melewati titik asimtot. DAFTAR PUSTAKA Atmojo. S. W. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Badan Pusat Statistik. 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati. BPDAS Pemali Jeratun. 2008. Grand Design Rehabilitasi Kawasan Gunung Muria. Balai Pengelolaan DAS. Departemen Kehutanan. Semarang. Departemen Kehutanan. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta. 204 p. 144 Jamaludheen, V. dan B. M. Kumar. 1999. Litter of Multipurpose Trees in Kerala, India: Variations in The Amount, Quality, Decay Rates and Release of Nutrients. Forest Ecology and Management 115: 1-11. Handayanto, E. 1996. Interaksi Kualitas Campuran Sisa Tanaman dan Pengaruhnya Terhadap Mineralisasi Sisa Tanaman. Agrivita 19 (2): 43-50. Haynes, R. J. 1986. Mineral Nitrogen in The Plant-Soil System. Academic Press.Inc. New York. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: 44/MenhutII/2013 tentang Rencana Kerja Kementerian Kehutanan Tahun 2014. Lee, T. D., M. G. Tjoelker, P. B. Reich dan M. P. Russelle. 2003. Contrasting Growth Response of An N2-fixing and Non-fixing forb to elevated CO2: Dependence on Soil N supply. Plant and Soil 255: 475–486. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. Martawijaya A, Iding K, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor-Indonesia 1989. Rachman, E. 2004. Perencanaan Penanaman untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan Terdegradasi di Jawa Barat. Prosiding. Ciamis. Tisdale, S.L., W.L. Nelson, dan J.D. Beaton. 1986. Soil Fertility and Fertilizer. Four Edition Mac Millan Publ. Co. Inc. New York. USDA. 1998. Soil Quality Indicator : pH. USDA Natural Resources Conservation Service. Soil Quality Information Sheet. Diunduh dari http://soils.usda.gov 145 NILAI KONSUMSI AIR BEBERAPA JENIS POHON CEPAT TUMBUH1 Oleh : Agung B. Supangat 2*, dan Ugro H. Murtiono2 2 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected] *Email: [email protected] [email protected] ABSTRAK Informasi nilai evapotranspirasi yang merupakan gambaran kebutuhan air oleh tanaman (crop water requirements) sangat penting diketahui sebagai data dasar karakteristik hidrologi jenis sebelum tanaman dikembangkan dalam skala luas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya konsumsi air oleh tanaman (crop water requirements) beberapa jenis spesies cepat tumbuh di Indonesia. Metode pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan lisimeter. Jenis tanaman yang diteliti meliputi sengon, akasia, kayu putih, nyamplung, mahoni dan ekaliptus. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa besarnya nilai evapotranspirasi (ET) tahunan sangat beragam pada setiap jenis tanaman. Nilai ET tahunan rata-rata dan persentasenya terhadap hujan dari masing-masing jenis berturut-turut adalah: ekaliptus 1.450 mm (59,7%), akasia mangium 1.220 mm (45,5%), sengon 708 mm (28,5%), kayu putih 681 mm (35,3%), mahoni 566 mm (34,0%) dan nyamplung 497 mm (25,0%). Selain jenis tanaman dengan umur dan kerapatannya, faktor curah hujan (tebal dan sebaran bulanan dalam setahun) serta jenis tanah sangat mempengaruhi besar nilai ET tahunan. Jenis tanaman dengan nilai ET yang tinggi (mendekati curah hujan tahunan) perlu kewaspadaan dalam melakukan pemilihan lokasi penamaman dan pengelolaannya, agar tidak menimbulkan kekeringan di wilayah yang bersangkutan. Kata Kunci : Evapotranspirasi, Hutan tanaman, Curah hujan, Jenis tanaman cepat tumbuh 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan, pada tanggal 12 juni 2013. 146 I. PENDAHULUAN Dalam mendukung pembangunan kehutanan di Indonesia, kegiatan pembangunan hutan perlu dilakukan melalui pengembangan jenisjenis tanaman industri sesuai kegunaannya, seperti untuk kayu pertukangan, kayu penghasil pulp dan kayu energi. Beberapa jenis tanaman hutan yang dikembangkan merupakan jenis tanaman cepat tumbuh, baik jenis asing (exotic species) maupun asli (indigenous species) dan bercirikan memiliki produktivitas tinggi. Jenis-jenis cepat tumbuh umumnya tidak memerlukan persyaratan tempat tumbuh yang tinggi, tetapi masih diperdebatkan pengembangannnya terkait dampak negatif terhadap lingkungan terutama terhadap kondisi lingkungan tata air (hidrologi) di daerah aliran sungai (DAS), termasuk adanya peningkatan banjir, kekeringan, tanah longsor, serta erosi dan sedimentasi. Salah satu contohnya, jenis Eucalyptus sp., yang telah dikembangkan dalam skala besar di Indonesia terutama oleh perusahaan HTI (hutan tanaman industri) sebagai salah satu andalan tanaman penghasil pulp selain Acacia mangium. Tanaman Eucalyptus sp. di Indonesia mengalami perkembangan pesat pada tahun 1980 setelah Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII di Jakarta tahun 1978. Namun, pada tahun 1988 timbul kritik dan protes terhadap tanaman ini karena adanya indikasi pengaruh negatif terhadap lingkungan (Pudjiharta, 2001). Di India, dilaporkan bahwa jenis tanaman Eucalyptus sp. telah menyebabkan bencana kekurangan air karena tingginya konsumsi air untuk pertumbuhannya (Shiva dan Bandyopadhyay, 1983 dalam Bruijnzeel, 1997). Besarnya konsumsi air tanaman dapat didekati dari nilai evapotranspirasi. Besarnya evapotranspirasi suatu komunitas vegetasi menurut US Soil Conservation Service (1970) dalam Asdak (1995) perlu diketahui karena hasil penelitian menunjukkan bahwa dua pertiga dari jumlah hujan yang jatuh di daratan Amerika Utara kembali lagi ke atmosfer sebagai hasil evaporasi tanaman dan permukaan tubuh air. Sedangkan di Afrika, air yang terevapotranspirasi bahkan melebihi 90% dari jumlah curah hujan yang jatuh di tempat tersebut. Nilai ET juga 147 perlu diketahui sebagai salah satu karakteristik hidrologi jenis tanaman dalam merespon input hujan. Besarnya nilai ET yang sering juga dianggap sebagai kehilangan air oleh tanaman (crop water consumptions), selain dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi, juga dipengaruhi ketersediaan air di dalam tanah terutama di zona perakaran. Di areal dengan tutupan hutan, evapotranspirasi juga dipengaruhi jenis, umur, kerapatan serta tinggi tanaman (Seyhan, 1977). Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan penelitian karakteristik hidrologis jenis tanaman sebelum dikembangkan dalam skala yang lebih luas, di antaranya adalah nilai konsumsi air oleh tanaman (nilai evapotranspirasi). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya konsumsi air oleh tanaman dari beberapa jenis spesies cepat tumbuh di Indonesia. Selain sebagai sumbangan dalam ilmu pengetahuan bidang hidrologi hutan, data dan informasi yang diperoleh diperlukan dalam rangka mendukung pelaksanaan tindakan silvikultur, terutama manipulasi lingkungan pertumbuhan terkait dengan siklus air. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan hutan tanaman di areal kerja Perum Perhutani, HPHTI PT. Arara abadi - Riau, serta HPHTI. PT. Musi Hutan Persada - Sumatera Selatan. Lokasi dan jenis tanaman yang diteliti selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis tanaman yang dikaji dan lokasi penelitian No. 1. 2. 3. 4. Spesies tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) Akasia (Acacia mangium) Kayu putih (Melaleuca cajuputi) Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Lokasi penelitian Wonosobo Kawasan Hutan KPH Kedu Selatan - Wonogiri - Sumatera Selatan - Grobogan - Gunung Kidul - Ponorogo Karanganyar - 148 KPH Surakarta PT. Musi Hutan Persada KPH Gundih KPH Madiun Tanah/Kebun milik masyarakat 5. Mahoni Ngawi KPH Ngawi (Swietenia mahagoni) 6. Ekaliptus Riau PT. Arara Abadi, (Eucalyptus pellita) Perawang Keterangan: KPH = Kesatuan Pemangkuan Hutan, di Perum Perhutani Waktu pelaksanaan penelitian (pengukuran) evapotranspirasi tidak dilakukan secara bersama-sama. Jenis tanaman akasia (lokasi Sumatera Selatan) dilakukan selama 2 tahun (2007-2008), jenis ekaliptus dilakukan selama 4 tahun (2008-2011), sedangkan jenis sengon, akasia (Wonogiri), kayu putih, nyamplung dan mahoni dilakukan selama 1 tahun (2012). B. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan adalah masing-masing jenis tanaman yang menjadi obyek penelitian (sengon, kayu putih, mahoni, nyamplung, akasia dan ekaliptus), yang ditanam dalam plot lisimeter. Adapun peralatan penelitian meliputi alat penakar hujan manual (ombrometer) dan plot lisimeter lapangan berukuran 4 m x 4 m (panjang-lebar) x 1-1,5 m (dalam), untuk mengukur laju evapotranspirasi. C. Rancangan Penelitian Penelitian pengukuran nilai ET ini tidak menggunakan rancangan percobaan dengan perlakuan yang secara khusus diterapkan. Namun, beberapa jenis yang diamati memiliki perbedaan kondisi jarak tanam dan tanaman bawahnya. Diskripsi masing-masing tanaman dalam plot lisimeter disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Diskripsi kondisi pertanaman tiap jenis tanaman dalam plot lisimeter Spesies tanaman Lokasi Jarak tanam Sengon Wonosobo Akasia mangium Wonogiri Plot 1: (2mx3m) + kopi Plot 2: (2mx3m) + kopi Plot 3: (2mx3m) + kopi Plot 1: (4mx3m) Plot 2: (4mx3m) Plot 3: (4mx4m) 149 Kondisi tanaman bawah Dibiarkan 100% Dibiarkan 50% Dibiarkan 25% Dibiarkan 100% Dibiarkan 100% Dibiarkan 100% Nyamplung Sumsel Grobogan Gunung Kidul Ponorogo Karanganyar Mahoni Ekaliptus pellita Ngawi Riau Kayu putih 3mx3m 2mx4m 2mx4m 2mx4m Plot 1: 2mx2m Plot 2: 3mx3m 2mx4m 3mx2m Dibiarkan 100% Dibiarkan 100% Dibiarkan 100% Dibiarkan 100% Dibiarkan 100% Dibiarkan 100% Dibiarkan 50% Dibiarkan 100% D. Pengumpulan Data Penelitian lapangan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode keseimbangan/neraca air (water balance), dengan formula Q = P – (ET + ΔS). Berdasarkan model tersebut, nilai ET merupakan evapotranspirasi, nilai Q merupakan penjumlahan dari limpasan permukaan langsung (DRO) dan aliran air bawah tanah (BF), sehingga ET = P – (DRO + BF + ΔS). Pengamatan ΔS dilakukan dengan alat pengukur kandungan air tanah pada kedalaman 0,2 m dan 0,5 m. Prinsip pengamatan evapotranspirasi pada lisimeter lapangan ukuran panjang 4 m, lebar 4 m, dan dalam 1-1,5 m (Gambar 1.), yaitu pengamatan terhadap limpasan langsung (DRO) dan limpasan bawah permukaan (BF) dan kandungan air tanah (ΔS) yang diamati secara harian tiap jam 07.00 pagi setiap hari hujan. Pada musim kemarau, pengamatan ΔS merupakan nilai rata-rata bulanan. 150 Bak DRO Tanaman * Tanaman Bak BF * DRO Tanah Batu Kali 1 -1,5m Ijuk BF Gambar 1. Plot lisimeter untuk ukuran 4 m x 4 m x 1 m Pengamatan debit (Q) harian, dilakukan dengan mengukur tinggi muka air pada bak penampung DRO (H_dro, m) dan bak penampung BF (H_bf, m). Pengamatan ∆S (perubahan kandungan air tanah) dilakukan dengan alat pengukur kadar air tanah atau dari sampel tanah yang diambil pada saat sebelum dan setelah kejadian hujan, pada musim penghujan ∆S diasumsikan konstan (= 0), sehingga ET = P – Q. E. Pengolahan dan Analisis Data Penghitungan air yang hilang menjadi evapotranspirasi (ET) tiap kejadian hujan harian (daily rainfall event) dilakukan dengan dasar persamaan neraca air di atas, yang dibalik menjadi sebagai berikut: 151 ET = P – (Q + ΔS) (dalam mm) di mana P adalah tebal hujan (mm), ΔS = (selisih kadar air tanah (%) pada kapasitas lapang (pF 2,54) dengan pada kondisi aktual) x nilai porositas tanan (n, %). Perhitungan nilai ET harian saat musim hujan adalah sebagai berikut: DRO BF Q Q ET = H_dro x panjang bak x lebar bak (dalam m3) = H_bf x panjang bak x lebar bak (dalam m3) = DRO + BF (dalam m3) = (DRO+BF)/luas plot = (DRO+BF)/16 x (1/1000) (dlm mm) = P–Q, dimana P adalah tinggi hujan (mm), (dalam mm/hari) Hasil perhitungan nilai ET kemudian disajikan dalam satuan total nilai tahunan (mm/tahun), agar bisa dibandingkan dengan curah hujan tahunan yang terjadi. Penyajian data ET tiap jenis tanaman dilakukan secara rata-rata dari beberapa kondisi pertanaman dan tahun pengamatan, serta kisaran angka (dalam satuan mm/th) dan persentase nilai ET (%) terhadap curah hujan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Besar kecilnya nilai penggunaan air atau evapotranspirasi oleh tanaman dipengaruhi selain oleh jenis tanaman, kondisi iklim mikro, juga oleh faktor di dalam tanah. Kondisi karakteristik tanaman yang diamati beserta aspek tanah disajikan oleh Tabel 3. Hasil perhitungan besarnya evapotranspirasi (ET) tahunan pada masing-masing jenis dan lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1., sedangkan rekapitulasi nilai rata-rata dan kisaran angka ET disajikan pada Tabel 4. Setiap jenis tidak sama rentang waktu pengamatannya, dipengaruhi oleh waktu dan akhir penelitian yang berbeda-beda. Namun demikian, rata-rata telah diketahui nilai ET sampai tanaman berumur 2 sampai 6 tahun. 152 Tabel 3. Kondisi tanaman dan faktor tanah di lokasi penelitian Jenis pohon Umur tanaman (th) Lokasi studi Jenis Tanah Kelas tekstur tanah Kadar air tanah (%) Air tersedia (%) Sengon 4 Wonosobo Inceptisols Lempung 2,81 - 16,80 13,40 - 23,50 A. mangium 4 Wonogiri Inceptisols Lempung 2,62 - 12,50 11,70 - 19,00 2-3 Ultisols 2,31 - 2,69 9,40 - 18,80 Akasia Kayu putih 4 Sumatera Selatan Gundih Vertisols Lempung pasiran Lempung 2,16 – 2,76 18,00 – 19,50 Kayu putih 4 Ponorogo Vertisols Lempung 1,67 – 2,47 9,30 – 19,85 Kayu putih 6 Gunung Kidul Vertisols Lempung 2,29 - 3,01 24,23 - 33,45 Nyamplung 4 Karanganyar Inceptisols 2,10 - 8,51 10,54 – 17,65 Mahoni 4 Ngawi Vertisols 2,85 - 12,47 16,60 - 34,80 Riau Ultisols Lempung debuan Lempung debuan Geluh pasiran 2,46 - 3,20 8,91 - 13,90 E. pellita 2-5 Tabel 4. Hasil perhitungan nilai evapotranspirasi tahunan pada masingmasing jenis tanaman CH ratarata (mm/th) ET ratarata (mm/th) Wonosobo 2.487 708 28,5 22,2-34,9 Wonogiri 2.045 597 29,2 22,9-34,8 Akasia Sumater Selatan 3.069 1.843 59,9 58,8-61,1 kayu putih Gundih 981 397 40,5 33,4-47,6 kayu putih Ponorogo 1.982 750 37,8 30,8-44,8 kayu putih Gunung Kidul 1.875 612 32,7 30,6-34,9 Nyamplung Karanganyar 1.983 497 25,0 23,0-27,1 Mahoni Ngawi 1.665 566 34,0 31,4-36,6 Ekaliptus Riau 2.485 1.450 59,7 47,8-71,5 Jenis pohon Lokasi Sengon Akasia (%) ET terhadap CH Rata-rata Kisaran B. Pembahasan Nilai evapotranspirasi beberapa spesies tanaman di berbagai wilayah disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil sintesa terhadap nilai ET diketahui bahwa jenis tanaman yang sama jika ditanam di tempat yang berbeda karakteristik agroklimatologinya menunjukkan nilai ET yang berbeda dengan kisaran angka yang sangat variatif. Variasi nilai ET pada setiap jenis hutan tersebut (lebih tinggi atau lebih rendah) 153 dipengaruhi faktor seperti curah hujan, ketinggian tempat maupun faktor meteorologis lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai ET yang juga variatif. Tanaman sengon yang ditanam di daerah tinggi (Wonosobo) dengan curah hujan lebih dari 2.000 mm/th, menunjukkan nilai ET yang rendah (ratarata 28,5% dari curah hujan). Keberadaan tanaman bawah juga berpengaruh dalam menyumbang besarnya nilai ET. Semakin rapat dan banyak (jenis) tanaman bawah akan menyebabkan nilai ET semakin besar. Pada plot lisimeter tanaman sengon dengan kondisi tanaman bawah yang dibiarkan 100% menunjukkan nilai ET yang lebih besar dibandingkan pada plot dengan tanaman bawah dibiarkan 50%, dan paling kecil pada plot dengan tanaman bawah 25%. Tanaman akasia (A. mangium) yang ditanam di tempat yang berbeda jumlah dan karakter curah hujannya menunjukkan angka ET yang berbeda. Di Wonogiri yang relatif lebih kering (CH = 2.045 mm/th) dan tidak merata sepanjang tahun menunjukkan angka ET 29,2%; sedangkan di Sumatera Selatan dengan curah hujan lebih tinggi (>3.000 mm/th) dan merata sepanjang tahun menunjukkan nilai ET yang lebih tinggi (59,9%). Hasil penelitian Pudjiharta (1986) pada jenis yang sama (A. mangium) juga menghasilkan nilai ET yang bahkan lebih tinggi (68,8% dari curah hujan 3.465 mm/th). 154 Tabel 5. Evapotranspirasi berbagai jenis pohon Jenis pohon Pinus merkusii Lama Penelitian/ Umur tanaman (th) Curah hujan (mm/th) ET (mm/th) ET (% dari CH) 8 3.056 1.971 Metode Pengukuran Lokasi Studi Sumber 64,5 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1986) *) P. merkusii - 3.695 1.308 35,4 Model Penman-Monteith Indonesia Arifjaya, dkk. (2002) P. merkusii 5 1.816 - 3.455 1.002 - 1.253 29 - 69 - Indonesia Soedjoko, dkk. (1998) P. merkusii - - 900 - - Indonesia Bruijnzeel (1997) P. caribaea 1 1.121 717 63,9 P. caribaea - - 1.770 P. patula - - 1.160 Model Soil Water Balance Brazil Lima, et al. (1990) - Model Penman-Monteith Fiji Waterloo (1994) - Kenya Indonesia Blackie (1979) **) Pudjiharta (1986) *) E. urophylla 8 3.056 1.128 36,9 Model Catchment Water Balance Lisimeter E. deglupta 3 3.136 1.659 52,9 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1992) *) E. alba 3 3.136 1.643 52,4 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1992) *) E. trianta 3 3.136 1.673 53,4 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1992) *) E. grandis 1 1.121 922 82,2 Model Soil Water Balance Brazil Lima, et al. (1990) E. grandis 6 1.147 1.092 95,2 Model Soil Water Balance Brazil Almeida, et al. (2007) E. grandis 9 1.396 1.345 96,4 Model Penman-Monteith Brazil Soares, et al. (2001) E. hybrid - 3.187 1.912 60,0 - - Poore, et al. (1985) *) E. hybrid 3 1.518 1.024 67,5 Lisimeter Congo Laclau, et al. (2005) Eucalyptus sp. - 500 - 1.200 450 - 1.000 80 - 90 - - Poore, et al. (1985) *) Schima walichii 8 3.056 700 22,9 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1986) *) 155 Lama Penelitian/ Umur tanaman (th) Jenis pohon Curah hujan (mm/th) ET (mm/th) ET (% dari CH) Metode Pengukuran Lokasi Studi Sumber S. walichii - - 1.200 - 1.300 - Model Penman-Monteith Indonesia Rusdiana, dkk (2002) Swietenia macrophylla 6 4.016 2.317 57,7 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1986) *) A. mangium 4 3.465 2.384 68,8 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1986) *) Model Penman-Monteith Indonesia Hendrayanto, dkk (2002) Tectona grandis - - 950 - 1.600 - Tectona grandis 3 1.671 1.164 69,7 Tectona grandis 3 1.671 946 - 1.118 56,6 - 66,9 Dalbergia latifolia 4 3.465 41,7 Model Tornthwaite-Matter Indonesia Supangat dan Putra (2012) Model Penman-Monteith Indonesia Supangat dan Putra (2012) Lisimeter Indonesia Pudjiharta dan Pramono (1988) *) Rusdiana, dkk (202) 1.445 Agathis sp. - - 1.200 - 1.250 - Model Penman-Monteith Indonesia Agathis damara - - 1.070 - Model Catchment Water Balance Indonesia ) ) Keterangan: * dalam Pudjiharta (2001); ** dalam Bruijnzeel (1997) 156 Bruijnzeel (1988) **) Tanaman nyamplung yang ditanam di daerah Karanganyar dengan curah hujan 1.983 mm/th, menunjukkan angka ET yang juga rendah (rata-rata 25,0%). Hal tersebut selain disebabkan curah hujan yang tidak besar dan tidak merata sepanjang tahun, juga karena struktur daun tanaman nyamplung yang memiliki lapisan lilin (kutikula) yang tebal menutupi stomata daun. Struktur daun yang demikian menyebabkan kecilnya transpirasi yang terjadi pada tanaman. Tanaman kayu putih yang memang cocok dikembangkan di daerah kering (berbahan induk kapur) pada jenis tanah vertisols, dengan curah hujan yang lebih rendah, menunjukkan angka ET yang juga rendah. Hasil penelitian pada ketiga lokasi tanaman (Gundih, Ponorogo dan Gunung Kidul), memberikan kisaran angka ET yang rendah (30,6% - 40,5%) dari curah hujan sebesar 981mm/th – 1.982mm/th. Pada ketiga lokasi tanaman kayu putih tersebut berjenis tanah vertisols yang mempunyai sifat sangat kering (lengas tanah rendah) pada musim kemarau. Hal tersebut membuat cadangan air tanah menjadi kecil/sedikit untuk mendukung terjadinya proses evapotranspirasi. Tanaman mahoni di Ngawi menunjukkan angka ET berkisar antara 31,4% 36,6%, dari curah hujan sebesar 1.665mm/th. Angka ini tergolong kecil, dibandingkan hasil penelitian Pudjiharta (1986) pada jenis mahoni daun kecil (S. macrophylla) yang menunjukkan angka ET sampai 57,7%. Kecilnya angka ET dari hasil penelitian ini (di Ngawi) lebih dipengaruhi karakter curah hujan yang kecil (di bawah 2.000mm/th) dan tidak merata sepanjang tahun, dibandingkan pada penelitian Pudjiharta (1986) yang curah hujannya sampai 4.016mm/th. Selain itu, umur tanaman dan jenis tanah juga berpengaruh terhadap besar-kecilnya angka ET. Pada lokasi Ngawi, tanaman yang diamati berumur 4 tahun dengan jenis tanah vertisols, sedangkan pada penelitian Pudjiharta tanaman mahoni berumur 6 tahun. Besarnya nilai ET tanaman ekaliptus juga cukup bervariasi dipengaruhi spesies maupun lokasi mengukuran yang memiliki karakteristik meteorologis yang berbeda beda. Secara umum, besar ET tanaman Eucalyptus berkisar 900 – 1.900 mm/th tergantung besarnya curah hujan yang ada (Poore et al., 1985; Lima et al., 1990; Pudjiharta, 2001; Soares et al., 2001; Laclau et al., 2005; Almeida et al., 2007). Berdasarkan angka 157 persentasenya terhadap curah hujan, angka ET jenis Eucalyptus sp. sangat variatif, berkisar dari angka 36% sampai 95% (Tabel 5.). Hasil penelitian E. pellita di Riau menunjukkan angka ET yang masuk dalam kisaran yaitu 1.188-1.834mm/th (atau 47,8%-71,4%). Pada jenis tanaman yang lain juga memperlihatkan nilai ET yang beragam. Tanaman Pinus spp., menunjukkan nilai ET yang juga bervariasi. Smith (1974) dalam Bruijnzeel (1997) melaporkan nilai P. radiata di Australia sebesar1.587±204 mm atau 71,9 % dari curah hujan (2.207±110 mm). Di Indonesia, dari berbagai wilayah dilaporkan besarnya ET P. merkusii berkisar antara 900 - 1971 dengan prosentase ET terhadap curah hujan bekisar 29 - 64,5% (Pudjiharta, 1986; Bruijnzeel, 1997; Sudjoko et al., 1998; Arifjaya et al., 2002). Spesies P. caribaea di Brazil dilaporkan Lima et al., memiliki nilai ET sebesar 716,6 mm (63,9%), sementara di Fiji menunjukkan angka yang lebih besar yaitu 1.770 mm (Waterloo, 1994). Spesies lain dari pinus (P. patula) di Kenya dilaporkan oleh Blackie (1979) dalam Bruijnzeel (1997) sebesar 1.160 mm dengan evapotranspirasi relatif (ET/Eo) sebesar 0,77. Di wilayah dengan curah hujan yang lebih rendah, dilaporkan bahwa tanaman jati di Jawa Barat memiliki nilai ET sebesar 950 - 1.600 mm (Hendrayanto dkk., 2002), sedangkan di Cepu, Jawa Tengah dilaporkan nilai ET sebesar 946 - 1.164 mm (dari curah hujan rata-rata sebesar 1.671 mm) (Supangat dan Putra, 2012). Jenis tanaman lain juga memperlihatkan nilai ET yang beragam, antara lain: jenis Puspa (S. walichii) menunjukkan angka 22,9% (700-1.300mm/th) (Pudjiharta, 1986; Rusdiana dkk., 2002); Sonokeling (D. latifolia) sebesar 1.445mm (41,7%) (Pudjiharta dan Pramono, 1988); serta jenis Agathis sp. sebesar 1.070-1.250mm/th (Pudjiharta, 1986; Bruijnzeel, 1988). Jika dibandingkan dengan kawasan hutan alam, nilai ET juga berbedabeda dipengaruhi lokasi pengukuran dengan karakteristik curah hujannya. Pada hutan hujan dataran rendah (<100 m.dpl) di Jawa, besarnya nilai ET mencapai 1.480 mm dengan ET/Eo 0,90, sedangkan hutan hujan dataran tinggi (2.400 m.dpl) di Kenya dilaporkan angka ET sebesar 1.155 mm dengan ET/Eo sebesar 0,78 (Calder, 1986 dalam Bruijnzeel, 1997). 158 IV. KESIMPULAN Besarnya konsumsi air (nilai ET) bervariasi pada setiap jenis tanaman tergantung pada umur dan kerapatan tanaman, faktor curah hujan (tebal dan sebaran bulanan dalam setahun) serta jenis tanah. Hasil penelitian konsumsi air beberapa jenis cepat tumbuh menunjukkan besarnya nilai ET tahunan yang bervariasi pada setiap jenis tanaman. Nilai ET tahunan ratarata dan persentase terhadap hujan masing-masing jenis yang diteliti adalah: ekaliptus 1.450 mm (59,7%), akasia mangium 1.220 mm (45,5%), sengon 708 mm (28,5%), kayu putih 681 mm (35,3%), mahoni 566 mm (34,0%) dan nyamplung 497 mm (25,0%). Jenis tanaman dengan nilai ET yang tinggi (mendekati curah hujan tahunan) perlu kewaspadaan dalam melakukan pemilihan lokasi penamaman dan pengelolaannya, agar tidak menimbulkan kekeringan di wilayah yang bersangkutan. DAFTAR PUSTAKA Almeida, A.C., J.V. Soares, J.J. Landsberg dan G.D. Rezende. 2007. Growth and water balance of Eucalyptus grandis hybrid plantations in Brazil during a rotation for pulp production. Forest Ecology and Management, 251: 10–21. Arifjaya, N.M., O. Rusdiana dan Hendrayanto. 2002. Pengaruh pengelolaan hutan pinus (P. merkusii) terhadap karakteristik hidrologi, Studi kasus di DAS Ciwulan Hulu, KPH Tasikmalaya, PT. Perhutani Unit III Jawa Barat. Prosiding Workshop Aplikasi HasilHasil Penelitian Bidang Hidrologi untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem, Yogyakarta. Asdak, C. 1995. Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bruijnzeel, L.A. 1997. Hydrology of forest plantations in the tropics. In: Nambiar, E.K.S. and A.G. Brown. 1997. Management of Soil, Nutrient and Water in Tropical Plantation Forest. ACIAR Monograph No. 43. Canberra, Australia. pp. 125-167. 159 Hendrayanto, O. Rusdiana, dan N.M. Arifjaya. 2002. Pengaruh hutan tanaman jati terhadap tata air dan perlindungan tanah, Studi kasus penelitian di SubDAS Cijurey Hulu, KPH Purwakarta. Prosiding Workshop Aplikasi Hasil-Hasil Penelitian Bidang Hidrologi untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem, Yogyakarta. Laclau, J. Ranger, P. Deleporte, Y. Nouvellon, L. S. Andre, S. Marlet dan J.P. Bouillet. 2005. Nutrient Cycling in A Clonal Stand of Eucalyptus and An Adjacent Savanna Ecosystem in Congo, 3: Input–Output Budgets and Consequences for The Sustainability of The Plantations. Forest Ecology and Management, 210: 375-391. Lima, W.D.P., M.J.B. Zakia, P.L. Libardi dan A.P.D. Filho. 1990. Comparative evapotranspiration of Eucalyptus, Pine and natural “Cerrado” vegetation measure by the soil water balance method. IPEF International (1), Piracicaba. pp. 5-11. Pudjiharta, Ag. 2001. Pengaruh hutan tanaman industri Eucalyptus terhadap tata air di Jawa Barat. Jurnal Puslitbang dan KA, Tahun 2001. Bogor. Rusdiana, O., N.M. Arifjaya, dan Hendrayanto. 2002. Pengaruh hutan tanaman campuran terhadap tata air dan perlindungan tanah, Studi kasus penelitian di SubDAS Cipeureu, Gunung Walat. Prosiding Workshop Aplikasi Hasil-Hasil Penelitian Bidang Hidrologi untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem, Yogyakarta. Seyhan, E. 1977. Fundamentals of hydrology. Terjemahan. S. Subagyo. 1993. Dasar-dasar hidrologi (Edisi cetakan kedua). Gajah Mada Univ. Press. Yogyakarta. 380 pp. Soares, J.V. dan A.C. Almeida. 2001. Modeling the water balance and soil water fluxes in a fast growing Eucalyptus plantation in Brazil. Journal of Hydrology, 253: 130–147. 160 Soedjoko, S.A., Suyono dan Darmadi, 1998. Kajian Neraca Air di Hutan Pinus. Makalah Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan Pembangunan, 23 September 1998, Jakarta. Supangat, A.B., A. Junaedi, Kosasih, D. Frianto dan Nasrun. 2008. Kajian tata air hutan Acacia mangium dan Eucalyptus pellita. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat. Badan Litbang Kehutanan. Kuok. (tidak dipublikasikan). Supangat, A.B. dan P.B. Putra. 2012. Neraca Air Meteorologis di Kawasan Hutan Tanaman Jati di Cepu. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Badan Litbang Kehutanan. Surakarta. Waterloo, M.J. 1994. Water and nutrient dynamics of Pinus caribaea plantation forests on former grassland soils in Viti levu, Fiji. PhD dissertation. Vrije Universiteit van Amsterdam, Amsterdam, the Netherlands. Wibowo, A. 2006. Usulan Kegiatan Penelitian (UKP) Tahun Anggaran 20062007: Pengelolaan Lingkungan Hutan Tanaman. Puslitbang Hutan Tanaman, Badan Litbang Kehutanan, Dep. Kehutanan, Bogor. 161 Lampiran 1. Hasil pengukuran nilai ET tahunan pada masing-masing plot Spesies tanaman Sengon Akasia Lokasi Wonosobo Wonogiri Sumsel Kayu putih Nyamplung CH (mm) Nilai ET (mm/th) (%) ET thd CH Plot 1 (Th. 2012) 2.487 867 34,9 Plot 2 (Th. 2012) 2.487 705 28,3 Plot 3 (Th. 2012) 2.487 553 22,2 Plot 1 (Th. 2012) 2.045 713 34,9 Plot 2 (Th. 2012) 2.045 609 29,8 Plot 3 (Th. 2012) 2.045 468 22,9 Th. 2007 2.754 1.618 58,8 Plot / (th) Th. 2008 3.383 2.068 61,1 Grobogan Th. 2012 981 397 40,5 Gunung Kidul Plot 1 (Th. 2012) 1.969 602 30,6 Plot 2 (Th. 2012) 1.780 621 34,9 Ponorogo Th. 2012 1.982 750 37,8 Karanganyar Plot 1 (Th. 2012) 1.983 537 27,1 Plot 2 (Th. 2012) 1.983 456 23,0 Plot 1 (Th. 2012) 1.665 609 36,6 Plot 2 (Th. 2012) 1.665 522 31,4 Th. 2008 2.813 1.345 47,8 Th. 2009 2.679 1.433 53,5 Th. 2010 2.783 1.834 65,9 Th. 2011 1.663 1.188 71,4 Mahoni Ngawi Ekaliptus Riau 162 KANDUNGAN HARA DAN TINGKAT EROSI PADA LAHAN MIRING BERSOLUM DANGKAL1 Oleh : Nining Wahyuningrum2 dan Tyas Mutiara Basuki3 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected] Email: [email protected] ; [email protected] ABSTRAK Degradasi lahan umumnya disebabkan oleh erosi. Penggunaan lahan yang intensif pada lahan miring merupakan pemicu erosi. Dampak dari erosi selain menipisnya lapisan tanah juga menurunnya kesuburan tanah. Hal ini menyebabkan menurunnya produktivitas lahan yang tercermin dari menurunnya pertumbuhan tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati kandungan hara tanah pada lahan miring bersolum dangkal. Lokasi penelitian terletak di Desa Ngadipiro, Kecamatan Nguntoronadi, Wonogiri, Jawa Tengah. Inventarisasi sumber-daya lahan dilaksanakan untuk mengumpulkan data biofisik, sedangkan prediksi erosi dilakukan dengan menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation). Untuk mengetahui dampak erosi terhadap kesuburan dilakukan analisis fisika dan kimia tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lokasi penelitian didominasi oleh lahan dengan lereng curam dengan lahan bervegetasi permanen (nilai C rendah), tanah dengan tekstur silty clay. Meskipun didominasi oleh lereng terjal, erosi yang terjadi masih didominasi oleh erosi kategori rendah-sangat rendah (lebih 50% luas area) dan sedang (23% area). Tanah masih dalam taraf subur yang tercermin dari kandungan Nitrogen (N) dan Bahan Organik (BO), Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan Basa (KB). Nitrogen dan Bahan Organik berada pada tingkat sedang dan sangat tinggi, sedangkan KTK dan KB pada tingkat tinggi. Hal ini bisa terjadi karena adanya dominasi vegetasi permanen di lokasi penelitian, vegetasi ini merupakan sumber BO dalam bentuk seresah, selain berfungsi sebagai pelindung tanah. Kata Kunci: erosi, degradasi lahan, kehilangan hara, solum tipis, vegetasi permanen, seresah 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan, pada tanggal 12 Juni 2013. 163 1. PENDAHULUAN Degradasi lahan di Indonesia umumnya diakibatkan erosi oleh air hujan(Dariah dkk., 2004). Hal ini disebabkan oleh tingginya curah hujan yang jatuh pada lahan yang berlereng curam dan kurangnya penerapan konservasi tanah. Lahan berlereng curam dan marjinal masih banyak digunakan untuk budidaya tanaman semusim sebagai akibat kebutuhan penduduk untuk mencukupi kebutuhan pangan. Erosi pada dasarnya merupakan proses penggerusan permukaan kulit bumi, yang dimulai dari penghancuran agregat tanah, pengangkutan dan pengendapan partikel-partikel tanah yang terlepas dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Di alam ada dua penyebab utama yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air (Utomo, 1994). Menurut Weischmeier dan Smith (1978), erosi dipengaruhi oleh faktor hujan, topografi, sifat fisik tanah, penutupan dan pengelolaan lahan. Aktifitas manusia dapat mengendalikan erosi dengan mengurangi pengaruh faktor topografi, sifat fisik tanah, penutupan dan pengelolaan lahan dengan teknik konservasi tanah vegetatif maupun mekanis. Pengolahan lahan juga berpengaruh pada erosi meskipun efeknya tidak secara cepat dapat dilihat seperti halnya erosi oleh air dan angin (Oost dkk., 2006). Erosi oleh air menimbulkan masalah serius, terutama pada lahan-lahan pertanian. Penutupan lahan oleh vegetasi mempunyai dampak positif terhadap pengurangan erosi karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap tanah (Kefi dkk., 2011). Selain menyebabkan sedimentasi, erosi juga juga akan menyebabkan berkurangnya ketebalan tanah (solum) dan berkurangnya tingkat kesuburan tanah di wilayah hulu (on site) (Sutrisno dkk., 2012). Studi ini bertujuan memaparkan efek dari erosi dan penutupan lahan terhadap kesuburan tanah yang diwakili oleh kandungan unsur hara esensial yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh secara normal (Buckman dan Brady, 1982). Dalam studi ini akan dianalisis unsur Nitrogen tersedia (N), Karbon organik (C org) atau bahan organik (BO), Fosfor (P) tersedia, Kalium (K) tersedia, Kapasitas Tukar Kation (KTK), dan Kejenuhan Basa (KB). 164 2. METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian secara administratif terletak di Dusun Dungwot Desa Ngadipiro, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri dan secara geografis terletak pada 110o 59’ 52’’ BT; 7o 53’ 8’’ LS. Lokasi penelitian ini dipilih karena merupakan lahan kering berlerang curam dengan curah hujan rata-rata pertahun 1.976,6 mm dengan jumlah bulan basah (Schmidt dan Fergusson, 1951)6 bulan. Di lokasi yang terjal dan bersolum dangkal ini kegiatan pertanian tanaman semusim masih dilakukan. Penelitian dilakukan pada tahun 2012. B. Rancangan Penelitian Lokasi penelitian berupa sub DAS kecil dengan luas lebih kurang 10,82 ha. Analisis dilakukan dalam satuan lahan yang terbentuk berdasar kesamaan karakter biofisik seperti jenis penutupan lahan, kedalaman tanah dan kelas lereng. Pembatasan DAS dilakukan secara terestris dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Titik koordinat yang tercatat diolah dengan ArcMap 9.2 (Crosier dkk., 2004)menjadi shape file, yang merupakan peta digital dari penutupan lahan, kedalaman tanah dan kelas lereng. Tumpang susun (overlay) peta-peta tersebut dilakukan untuk menentukan/mengelompokkan menjadi satuan lahan yang mempunyai ciri biofisik yang relatif seragam. Data biofisik dikumpulkan melalui survei inventarisasi sumber daya lahan (Fletcher dan Gibb, 1990). Data yang dikumpulkan meliputi jenis penutupan lahan, jenis tanah, kedalaman solum, tekstur tanah, kemiringan lahan. Selain itu dilakukan pengambilan sampel tanah. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada setiap satuan lahan pada kedalaman 0-20 cm. Pengambilan sampel secara komposit, masing-masing satuan lahan diambil 3 sampel yang dicampur menjadi satu. Pengukuran tegakan dilakukan untuk mengetahui nilai index pengelolaan tanaman (C). Pengukuran dilakukan dengan membuat petak ukur (PU) berjari-jari 16 m. Dengan intensitas sampel lebih kurang 10%, PU dibuat secara purposive yaitu pada lokasi yang ditumbuhi tanaman keras. Data yang dikumpulkan meliputi tinggi 165 tanaman total, tinggi bebas cabang, diameter batang, jari-jari tajuk, jumlah tanaman dan prosentase penutupan tajuk. Dalam PU juga diamati secara visual persentase penutupan lahan oleh tanaman semusim, semak, seresah dan kerikil permukaan. c. Analisis Data Untuk mengetahui fisik dan kimia tanah dilakukan analisis sampel tanah. Jenis analisis yang dilakukan seperti pada Tabel 1. Hasil analisis dikelompokkan menurut kriteria tinggi-rendah unsur hara (Puslittanah, 1983) (Lampiran 5). Tabel (Table) 1. Parameter sifat fisik dan kimia tanah dan metode analisis yang digunakan (physical and chemical soil properties and the method of analyses NO Parameter pH (H2O) Satuan pH Metode 1 : 2.5 (tanah : H2O) Nitrogen total % Kjeldahl Bahan Organik % Oksidasi basah (Walkley and Black) P tersedia mg kg-1 Bray II (molybdate blue), Spectrophotometer K tertukar cmol kg-1 1 M NH4OAc, pH 7, Flame photometer KapasitasTukar Kation % Destilasi Kejenuhan Basa % Jumlah basa-basa dibagi KTK Tekstur (3 fraksi) % Cara pipet Prediksi erosi pada satuan lahan menggunakan rumus Universal soil Loss Equation (USLE) yang dikemukan oleh Weischmeier and Smith (1978), adalah sebagai berikut: A = R K L S C P .....................................................................................(1) 166 Dalam hal ini : A = Banyaknya tanah tererosi (ton/ha/tahun) R = Indeks erosivitas hujan K = Indeks erodibilitas tanah LS = Indeks panjang dan kemiringan lereng C = Indeks pengelolaan tanaman P = Indeks upaya konservasi tanah Indeks erosivitas hujan (R) dihitung dengan rumus EI30 (Utomo, 1989), yaitu: EI30 = -8,79 + (7,01 x R)..................................................................(2) Dalam hal ini : EI30 = Erosivitas hujan R = Hujan rata-rata bulanan (cm) Indeks panjang dan kemiringan lereng dihitung dengan rumus (Paningbatan, 2001): LS = 0,2 S 1,33 + 0,1 ………………………...……..…………………….(3) Dalam hal ini : LS = indeks panjang lereng S = lereng (%) Perhitungan nilai C tanaman keras dengan rumus Dissmeyer dan Foster (1984) C = (SFPH) (SFKO) (SFT)………………….........………….………….(4) Dalam hal ini: C SFPH = faktor tanaman keras. = sub faktor perakaran halus, diperoleh dengan memasukkan data prosentase tanah terbuka dan data prosentase tanah terbuka dengan perakaran 167 halus ke dalam tabel pada Lampiran 1. SFKO = sub faktor kandungan bahan organik. SFT = sub faktor tajuk, diperoleh dengan memasukkan data tinggi tajuk dan prosentase tanah terbuka berpenutup tajuk (Lampiran 1). Prediksi erosi kemudian diklasifikasikan sesuai dengan Tabel 2. Tabel 2. Tingkat erosi (Erosion degree) Erosi (erosion) Tingkat Erosi (ton/ha/th) (ton/ha/year) (Erosion degree) <15 Sangat Ringan (very low) 15-60 Ringan (low) 60-180 Sedang (moderate) 180-480 Berat (heavy) >480 Sangat Berat (very heavy) Sumber:(Dirjen RRL, 1995) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Lokasi penelitian didominasi oleh hutan jati dengan umur muda (Ut3) sebesar 45% (Tabel 3) yang ditumpangsarikan dengan tanaman semusim terutama singkong dengan kondisi teras yang tidak terawat. Dari total area (10,82 ha), 20 % lahan mempunyai penutupan lahan Ut3 yang terletak pada lereng 31-45%. Dari Tabel 4 terlihat bahwa lereng terjal (>45%) mendominasi lahan dalam sub DAS mini (lebih dari 50%). 168 Tabel 3. Jenis dan prosentase penutupan lahan (Land cover type and its percentage) No Simbol Penutupan Lahan (Land cover symbols) 1 Ut1 2 3 4 5 6 Ut2 Ut3 Ut4 Ut5 Ut6 Keterangan (Remarks) Luas (ha) (Area) (ha) % Tanaman jati (5 – 10 th) monokultur, teras diperkuat dengan batu dan tidak terawat 0,50 4,60 Tanaman jati (5 - 10 th)tumpangsari dengan tanaman palawija, banyak teras yang tidak terawat) 1,26 11,65 Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawija, campuran antara teras batu dan tanah yang tidak terawat. 4,88 45,08 Tanaman Gliricidia monokultur, sebagian besar tidak berteras 2,78 25,67 Tanaman Gliricidia tumpangsari dengan tanaman palawija, teras diperkuat dengan batu tetapi kurang terawat. 0,50 4,60 Tidak ada tanamannya, sebagian besar sejenis lumut dan rumput liar. 0,91 8,39 10,82 100,00 Jumlah (Total) 169 Tabel 4. Penutupan lahan pada berbagai kelas lereng (Land cover types on various degrees of slope) Penutupan Lahan Jumlah (Total) Kelas Lereng (Slope classes) (%) (Land cover) 4-8 9-15 16-30 31-45 46-65 >65 (%) Ut1 0,00 4,60 0,00 0,00 0,00 0,00 4,60 Ut2 0,00 11,65 0,00 0,00 0,00 0,00 11,65 Ut3 0,30 3,98 1,28 20,27 10,74 8,51 45,08 Ut4 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 25,67 25,67 Ut5 0,00 0,00 0,00 0,00 4,60 0,00 4,60 Ut6 0,00 0,00 0,00 0,00 8,39 0,00 8,39 Jumlah (Total) 0,30 20,24 1,28 20.27 23,73 34,18 100,00 Nilai indeks pengelolaan tanaman (C) untuk tanaman keras disajikan dalam Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 tersebut terlihat variasi nilai C dari 0,001 hingga 0,019. Nilai paling tinggi terdapat pada penutupan lahan Ut3 dan kondisi di lapangan. Tabel 5. Nilai tanaman keras (C value of trees) Penutupan Lahan Nilai C tanaman keras (Land cover) (C value of trees) Ut1 0,001 Ut2 0,002 Ut3 0,019 Ut4 0,003 Ut5 0,004 Rerata (Average) 0,006 170 Hasil analisis menunjukkan bahwa lebih dari 50% area didominasi oleh penutupan vegetasi hutan (jati) yang relatif berumur muda. Nilai C tanaman keras tertinggi (0,019) terdapat pada penutupan lahan Ut3 yaitu tanaman jati 5-10 tahun, tumpang sari dengan palawija dengan teras tidak terawat. Dengan bertambahnya umur tanaman diharapkan akan menambah tinggi dan luas tajuk tanaman, hal ini akan berakibat pada menurunnya nilai C tanaman keras. Penutupan lahan Ut4 dan Ut5 memberikan nilai C yang lebih kecil dibandingkan dengan C pada Ut1, Ut2 dan Ut3. Secara berurutan nilai C Ut4 dan Ut5 adalah 0,003 dan 0,004. Meskipun dominasi tanaman pada jenis penutupan ini adalah gamal (Gliricidae spium) yang secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan jati, namun dari segi perlindungan tanah kondisi ini sangat menguntungkan. Perakaran Gliricidae yang dapat mencengkeram tanah akan mengurangi erosi yang terjadi. Selain itu seresah dari guguran daunnya yang mudah terdekomposisi juga akan menstimulasi agregasi tanah. Dari hasil analisis tekstur tanah dan segitiga tektsur tanah (Buckman dan Brady, 1982), diperoleh hasil bahwa tektur tanah dapat digolongkan bertekstur tanah lempung berliat (Clay Loam). B. Prediksi erosi Meskipun didominasi lereng terjal erosi yang terjadi masih dalam taraf sangat ringan dan ringan (lebih dari 50%) dan sedang (23%). Erosi sangat berat kurang dari 5% (Tabel 6) yang terdapat hanya pada penutupan lahan Ut6 yang didominasi oleh batuan singkapan. Nilai erosi ini menurut model prediksi USLE, dipengaruhi oleh hujan, erodibilitas tanah, lereng dan panjang lereng, vegetasi penutup dan pengelolaan. Erosi ini akan berdampak pada unsur hara tanah seperti P, K dan bahan organik (Ni dan J.H.Zhang, 2007; Casasnovas dan Ramos, 2009; Fucheng dkk., 2012). Unsur hara dapat hilang terangkut oleh aliran permukaan dan terlarut dalam sedimen. 171 Tabel 6. Tingkat erosi tanah berdasar penutupan lahan (Soil erosion degree based on land cover types) Penutupan Lahan Tingkat Erosi (Erosion degree) Jumlah (Total) (Land cover) SR R S SB % Ut1 4,60 0,00 0,00 0,00 4,60 Ut2 11,65 0,00 0,00 0,00 11,65 Ut3 5,56 20,27 19,25 0,00 45,08 Ut4 25,67 0,00 0,00 0,00 25,67 Ut5 0,00 0,00 4,60 0,00 4,60 Ut6 0,00 3,84 0,00 4,55 8,39 47,49 24,11 23,85 4,55 100,00 Jumlah (Total) Keterangan (Remarks) : SR = Sangat ringan (Very low) S = Sedang (Moderate) R = Ringan (Low) SB = Sangat berat (Very heavy) C. Sifat kimia dan fisika tanah Tanah di lokasi penelitian, secara umum mempunyai pH rendah (5,66,5) demikian juga dengan P tersedia sangat rendah sampai dengan rendah (< 7 dan 7-16 mg/kg) (Lampiran 2 dan Lampiran 5).Unsur P banyak digunakan tanaman, terutama dalam sintesis protoplasma (Mas'ud, 1992). Kondisi kemasaman tanah akan mempengaruhi keterlarutan P. Kemasaman (pH) tanah yang sangat rendah (<5,5) dapat mempengaruhi ketersediaan P (Mas'ud, 1992). Pengapuran dengan dolomit dan batuan kapur dapat menaikkan pH, dengan demikian dapat meningkatkan ketersediaan P. Pemupukan dengan bahan organik (Centrosema pubescen) juga dapat meningkatkan pH dan ketersediaan P (Djuniwati dkk., 2007). 172 Unsur lain yang penting bagi pertumbuhan tanaman adalah K. Kalium berperan untuk memberi ketahanan tanaman terhadap penyakit dan meningkatkan sistem perakaran selain itu juga berperan dalam pembentukkan karbohidrat dan translokasi gula (Buckman dan Brady, 1982). Kandungan K di lokasi kajian sangat rendah (< 10 %) (Lampiran 2 dan Lampiran 5). Untuk menanggulangi kekurangan K, salah satu cara adalah dengan menerapkan sistem multiple cropping yang dapat meningkatkan penyerapan K dan secara cepat mengurangi kandungan K tersedia dalam tanah (Mas'ud, 1992). Unsur hara yang relatif banyak diambil setiap tahun melalui pemanenan adalah unsur N. Selain itu, unsur ini mudah menguap dan jumlahnya dalam tanah amat sedikit (Buckman dan Brady, 1982). Pada Tabel 7 terlihat bahwa kandungan N ada pada tingkat sedang (86%) dan tinggi (8,5%) (Lampiran 5). Erosi hanya sedikit berpengaruh terhadap kandungan N dibandingkan dengan unsur P dan K. Tabel (Table) 7. Kandungan N pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi tanah (N content in different land cover types) Penutupan Lahan (Land cover) Kandungan N Total (Total N content) S T (blank) Luas (Area) (%) Ut1 4,60 0,00 0,00 4,60 Ut2 11,65 0,00 0,00 11,65 Ut3 36,57 8,51 0,00 45,08 Ut4 25,67 0,00 0,00 25,67 Ut5 4,60 0,00 0,00 4,60 Ut6 3,84 0,00 4,55 8,39 86,94 8,51 4,55 100,00 Luas (Area) (%) Keterangan (Remarks): S : Sedang (Moderate) T : Tinggi (High) 173 Kandungan C organik yang tergolong rendah sebanyak 4,29% dan yang termasuk kategori sangat tinggi sebesar 14,18% dijumpai pada penutupan lahan Ut3 (Tabel 8, Lampiran 5). . Karbon merupakan penyusun umum bahan organik. Sumber utama bahan organik tanah adalah jaringan tumbuhan (Buckman dan Brady, 1982). Jaringan tumbuhan dapat berasal dari akar pohon, semak-semak dan tumbuhan tingkat rendah lainnya. Selain jaringan tanaman, hewan-hewan seperti cacing tanah juga dapat menghasilkan bahan organik. Pengolahan lahan yang intensif dapat mempengaruhi unsur hara dan meningkatkan kandungan bahan organik, terutama pada lereng bagian bawah (Oost dkk., 2006; Fucheng dkk., 2012). Penurunan kandungan bahan organik tanah dapat mengakibatkan penurunan makroporositas tanah. Apabila kondisi ini terjadi pada lahan miring dengan penutupan lahan yang kurang rapat akan berpotensi meningkatkan limpasan permukaan dan erosi (Hairiah dkk., 2012). Pemberian pupuk hijau dengan koro benguk (Mucuna sp.) dapat meningkatkan kandungan C organik (Prakosa dan Priyono, 1996). Selain itu dengan pemberian mulsa dengan bahan-bahan dari bagian tanaman seperti daun dan ranting mampu untuk memberikan tambahan unsur hara secara bertahap sejalan dengan proses dekomposisinya (Basuki, 2002). Tabel (Table) 8. Kandungan C organik pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi tanah (C organic content in different land cover types) Penutupan Lahan (Land cover) Ut1 Kandungan C organik (C organic content) R S T ST 0,00 4,60 0,00 0,00 0,00 4,60 11,65 0,00 0,00 0,00 11,65 Ut2 (blank) Luas (Area) (%) Ut3 4,29 14,60 12,01 14,18 0,00 45,08 Ut4 0,00 0,00 2567 0,00 0,00 25,67 Ut5 0,00 4,60 0,00 0,00 0,00 4,60 Ut6 0,00 3,84 0,00 0,00 4,55 8,39 Luas (Area) (%) 4,29 39,31 37,68 14,18 4,55 100,00 174 Keterangan (Remarks): R : Rendah (Low) S : Sedang (Moderate) T : Tinggi (High) ST : Sangat Tinggi (Very high) Apabila kandungan bahan organik tanah tinggi maka akan mempunyai porositas tinggi dengan demikian akan meningkatkan kapasitas infiltrasi (Hairiah dkk., 2012). Siklus bahan organik berpengaruh terhadap erodibilitas tanah, kondisi ini sangat dipengaruhi oleh karakter vegetasi penutup lahan dan fauna tanah(Bryan dkk., 1989). Bahan organik yang berupa seresah, ranting dan sebagainya yang belum terdekomposisi juga merupakan pelindung tanah dari daya rusak butiran hujan, sekaligus dapat mengurangi aliran permukaan. Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan nilai yang menunjukkan kemampuan atau kapasitas koloid tanah untuk memegang kation. Kapasitas ini secara langsung tergantung pada jumlah muatan negatif dari koloid tanah dan sangat ditentukan oleh tipe koloid yang terdapat di dalam tanah. Semakin tinggi KTK tanah, semakin subur tanah tersebut (Prakosa dan Priyono, 1996); sebaliknya semakin rendah KTK tanah, maka semakin kurang subur tanahnya. Nilai KTK pada taraf sedang terdapat di hampir semua jenis penutupan lahan seluas lebih kurang 58% (Tabel 9, Lampiran 5). Nilai KTK selain dipengaruhi oleh kandungan clay juga dipengaruhi oleh kandungan bahan organik. Pada penutupan lahan Ut3 kandungan bahan organik yang tergolong tinggi hingga sangat tinggi cukup luas, sejalan dengan hal tersebut terlihat KTK pada lahan tersebut juga termasuk tinggi.Peningkatan KTK dapat dilakukan dengan cara pemberian pupuk hijau seperti koro benguk (Mucuna sp.) (Prakosa dan Priyono, 1996). 175 Tabel (Table) 9. Kapasitas Tukar Kation tanah pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi tanah (Soil Cation Exchange Capacity in different land cover types) Penutupan Lahan Kapasitas Tukar Kation Luas (Land cover) (Cation exchange capacity) (Area) (%) S T Ut1 4,60 0,00 0,00 4,60 Ut2 11,65 0,00 0,00 11,65 Ut3 12,76 32,32 0,00 45,08 Ut4 25,67 0,00 0,00 25,67 Ut5 0,00 4,60 0,00 4,60 Ut6 3,84 0,00 4,55 8,39 58,53 36,92 4,55 100,00 Luas (Area) (%) (blank) Keterangan (Remarks): S : Sedang (Moderate) T : Tinggi (High) Kejenuhan basa (KB) menunjukkan perbandingan jumlah kation basa dengan jumlah seluruh kation yang terikat pada kation tanah dalam satuan persen. Kation basa adalah unsur hara yang diperlukan tanaman dan sangat mudah tercuci oleh aliran air sehingga tanah yang mempunyai kejenuhan basa yang tinggi menunjukkan ketersediaan hara yang tinggi. Artinya, tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian. Setengah (58,79%) dari DAS mikro yang diteliti mempunyai nilai KB pada tingkat sedang (Tabel 10) dan hanya 28% pada tingkat tinggi. 176 Tabel (Table) 10. Kejenuhan Basa pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi tanah (Base saturation in different land cover types) Penutupan Lahan Kejenuhan basa (Base saturation) (Land cover) R S T (blank) Jumlah (Total) Ut1 0,00 4,60 0,00 0,00 4,60 Ut2 8,25 3,40 0,00 0,00 11,65 Ut3 0,00 21,28 23,81 0,00 45,08 Ut4 0,00 25,67 0,00 0,00 25,67 Ut5 0,00 0,00 4,60 0,00 4,60 Ut6 0,00 3,84 0,00 4,55 8,39 Jumlah (Total) 8,25 58,79 28.41 4,55 100,00 Keterangan (Remarks): R : Rendah (Low) S : Sedang (Moderate) T : Tinggi (High) Walaupun di lokasi penelitian mempunyai lereng curam dan bersolum dangkal namun sifat kimia dan fisik tanah masih tergolong baik. Tingkat erosi rendah disebabkan oleh tekstur dan kandungan bahan organik serta penutupan lahan yang didominasi dengan vegetasi permanen dan tumbuhan bawah. 4. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Beberapa hal yang dapat disimpukan dari penelitian ini yaitu: a. Meskipun didominasi oleh lereng terjal, erosi yang terjadi di lokasi penelitian masih pada taraf sangat ringan hingga ringan (>50%). Hal ini dapat disebabkan oleh jenis penutupan 177 b. c. lahan yang berupa hutan jati dan gamal yang mempunyai nilai C rendah (0,006). Tingkat erosi ringan mempengaruhi kandungan P dan K dengan memberikan nilai rendah-sangat rendah. Sedangkan untuk N, C organik, KTK dan KB tidak begitu berpengaruh karena ada pada tingkat sedang-tinggi-sangat tinggi. Penutupan lahan yang relatif banyak ditumbuhi vegetasi permanen merupakan sumber bahan organik berupa seresah dan ranting-ranting tanaman. Bahan organik yang belum melapuk juga merupakan pelindung dari percikan air hujan. B. Saran Penutupan lahan dengan vegetasi permanen harus selalu dipertahankan karena mempunyai nilai C rendah sehingga mempunyai kemampuan untuk mengendalikan erosi dan juga menjadi sumber bahan organik. DAFTAR PUSTAKA Basuki, T.M., (2002), Penggunaan Mulsa Organik untuk Konservasi Tanah di Areal Hutan Tanaman, InfoDAS Vol. 13, Hal. 1-13 Bryan, R.B., Scarborough G. Govers dan J. Poesen, L., (1989), The Concept of Soil Erodibility and Some Problems of Assessment and Application, CATENA Vol. 16, Hal. 393412. Buckman, H.O. dan Brady, N.C., (1982), Ilmu Tanah. PT. Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Casasnovas, J.A.M.n. dan Ramos, M.C.n., (2009), Soil Use and Management, Soil alteration due to erosion, ploughing and levelling of vineyards in north east Spain Vol. 25, Hal. 183-192. 178 Crosier, S., Booth, B. dkk, (2004), Arcis 9, Getting Started with ArcGis. Dariah, A., Subagyo, H., Tafakresnanto, C. dan Marwanto, S., (2004), Kepekaan Tanah Terhadap Erosi. Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (Dirjen RRL) .1995. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jeneberang-Walanae Makassar, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan.dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Dissmeyer, G.E. dan Foster, G.R., (1984), A Guide for Predicting Sheet and Rill Erosion on Forest Land. USDA, Forest Service, Southern Region Atlanta, Ga. Djuniwati, S., Pulunggono, H.B. dan Suwarno, (2007), Pengaruh pemberian bahan organik (Centrosema pubescens) dan fosfat alam terhadap aktivitas fosfatase dan fraksi P tanah latosol di Darmaga, Bogor, Jurnal Tanah dan Lingkungan Vol. 9, Hal. 10-15. Fletcher, J.R. dan Gibb, R.G., (1990), Land Resource Survey Handbook For Soil Conservation Planning In Indonesia. Ministry of Forestry Directorate General Reforestation and Land Rehabilitation Indonesia and Department of Scientific and Industrial Research DSIR Land Resources Palmerston North New Zealand. Fucheng, L., Jianhui, Z. dan Zhengan, S., (2012), Changes in SOC and Nutrients under Intensive Tillage in Two Types of Slope Landscapes J. Mt. Sci. Vol. 9, Hal. 67-76. 179 Hairiah, K., Suprayogo, D. dkk, (2012), Alih Guna Lahan Hutan menjadi Lahan Agroforestri Berbasis Kopi: Ketebalan Seresah, Populasi Cacing Tanah dan Makroporositas Tanah, 29 Juni, 2012, http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/files/ book/BK0063-04/BK0063-04-9.pdf Kefi, M., Yoshino, K. dkk, (2011), Assessment of the effects of vegetation on soil erosion risk by water: a case of study of the Batta watershed in Tunisia, Environ Earth Sci Vol. 64, Hal. 707-719. Mas'ud, P., (1992), Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa, Bandung. Ni, S.J. dan J.H.Zhang, (2007), Variation of chemical properties as affected by soil erosion on hillslopes and terraces, European Journal of Soil Science Vol. 58, Hal. 1285-1292. Oost, K.V., Govers, G., Alba, S.d. dan Quine, T.A., (2006), Tillage erosion: a review of controlling factors and implications for soil quality, Progress in Physical Geography Vol. 30, Hal. 443-466. Paningbatan, Jr., (2001), Hydrology and Soil Erosion Models for Catchment Researh and Management. In: A.R., M., Leslie, R.N. (Eds.), Soil Erosion Management Research in Asia. Prakosa, D. dan Priyono, C.N.S., (1996), Pengaruh Sekat Rumput dan Tanaman Legume terhadap Pengendalian Erosi dan Perubahan Sifat Tanam pada Lahan Bekas Letusan Gunung Berapi, Jurnal Pengelolaan DAS Vol. Volume I No.3, Hal. Pusat Penelitian Tanah (Puslittanah). 1983. Kriteria Penilaian Hasil Analisis Tanah. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. 180 Schmidt, F.H.A. dan Fergusson, J.H.S., (1951), Rainfall Type Based on Wet and Dry Periods of Ratios from Indonesia with Western New Guinea. Directorate Meteorology and Geophysics, Jakarta. Sutrisno, J., Sanim, B., Saefuddin, A. dan Sitorus, S.R.P., (2012), Valuasi Ekonomi Erosi Lahan Pertanian di Sub Daerah Aliran Sungai Keduang Kabupaten Wonogiri, SEPA Vol. 8, Hal. 51-182. Utomo, W.H., (1989), Mencegah Erosi. Penebar Swadaya, Jakarta. Utomo, W.H., (1994), Erosi dan Konservasi Tanah. Penerbit IKIP Malang, Malang. Weischmeier, W.H. dan Smith, D.D., (1978), Predicting Rainfall Erosion Losses; A Guide to Conservation Planning. In: Agriculture, U.S.D.o. (Ed.), Agriculture Handbook. Science and Education Administration. 181 Lampiran (Appendix) 1. Tabel nilai SFPH dan SFT untuk menghitung nilai C tanaman keras (SFPH and SFT table to calculate C value of perennial trees) Tanah terbuka (Bare land) (%) Tanah terbuka dengan perakaran halus (Bare land with fine root) (%) Bare land with canopy cover (%) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 0,000 1 0,004 0,004 0,005 0,006 0,007 0,008 0,010 0,120 0,014 0,016 0,078 2 0,008 0,008 0,010 0,012 0,017 0,017 0,020 0,023 0,027 0,031 0,036 5 0,030 0,030 0,030 0,040 0,050 0,060 0,070 0,080 0,090 0,110 0,120 10 0,050 0,050 0,060 0,080 0,090 0,110 0,130 0,150 0,170 0,200 0,230 20 0,110 0,120 0,140 0,170 0,200 0,240 0,280 0,330 0,380 0,440 0,500 30 0,170 0,180 0,200 0,250 0,900 0,360 0,420 0,500 0,590 0,680 0,770 40 0,230 0,240 0,270 0,340 0,420 0,490 0,580 0,580 0,790 0,920 104,000 50 0,300 0,320 0,380 0,450 0,540 0,640 0,740 0,880 103 118 135 60 0,370 0,380 0,430 0,550 0,670 0,790 0,920 109 127 147 167 70 0,470 0,490 0,540 0,680 0,830 0,980 117 138 161 187 212 80 0,550 0,580 0,660 0,810 0,980 118 141 164 192 221 252 85 0,660 0,690 0,780 0,950 115 138 165 195 228 264 300 90 0,750 0,800 0,800 111 133 157 187 222 260 301 342 95 0,860 0,900 102 125 155 182 217 255 298 345 392 100 0,990 104 117 144 180 207 248 293 342 396 450 182 Tabel baku SFT Tinggi tajuk (Canopy height) (m) Tanah terbuka dengan penutupan tajuk (Bare land with canopy cover)(%) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0,5 1 91 83 74 66 58 49 41 32 24 16 1,0 1 93 86 79 72 65 58 51 44 37 30 2,0 1 95 90 85 80 75 70 65 60 55 50 4,0 1 97 97 92 90 87 84 82 79 76 74 6,0 1 98 98 96 94 93 92 90 89 87 85 8,0 1 99 99 97 96 95 94 94 93 93 92 16,0 1 1 1 99 98 98 98 97 96 96 96 20,0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Keterangan : • Persentase tanah yang terbuka adalah persentase tanah tanpa seresah, ranting-ranting, vegetasi atau lainnya yang melindungi tanah dari bahaya erosi butiran air hujan maupun limpasan permukaan terhadap luas lahan. • Persentase tanah terbuka dengan perakaran halus adalah persentase tanah terbuka yang masih memiliki perakaran halus terhadap luas lahan. • Penutupan tajuk yaitu luas horisontal penampang tajuk yang menutupi tanah di bawahnya. Untuk pohon sebagai individu, pengertian tersebut merupakan luas horisontal maksimum dari penampang tajuk yang menutupi tanah di bawahnya. 183 Lampiran (Appendix) 2. Sifat kimia dan fisika tanah (Chemical and physical soil characters) No. SL Tekst ur* pH N Total C. Org BO P Tsd K Na Ca Mg KTK KB % % % ppm % % % % % % 1 Gp Saat ini sedang ditanami jati umur 8 – 15 tahun (monokultur) sehingga tidak dijadikan lokasi model perlakuan 2 Gp 6,19 0,38 1,72 2,97 5,91 0,26 0,16 6,99 4,19 23,20 49,94 3 Gp 6,35 0,32 1,07 1,85 6,58 0,25 0,24 6,18 3,68 20,40 49,22 4 Gp 5,87 0,32 1,50 2,59 6,31 0,27 0,15 6,17 3,78 25,20 58,84 5 Gp 5,75 0,26 1,72 2,96 6,58 0,30 0,16 6,46 3,83 16,00 32,84 6 Gp 0,25 1,72 2,97 7,85 0,38 0,16 6,57 4,06 30,00 62,78 7 Gp 0,22 3,44 5,93 5,78 0,43 0,10 7,87 4,36 24,00 46,85 8 Gp 9 Gp 10 Gp 11 Gp 12 Gp 13 Gp 6,05 0,25 2,79 4,81 7,13 0,39 0,25 6,14 4,22 28,15 60,19 14 Gp 6,33 0,56 1,29 2,22 5,71 0,33 0,17 6,61 4,09 29,60 62,20 15 Gp 6,05 0,36 3,87 6,68 11,26 0,26 0,19 6,18 3,44 26,00 61,26 16 Gp 5,85 0,52 6,01 10,36 5,24 0,25 0,15 6,24 3,88 24,00 56,16 17 Gp 6,07 0,37 2,36 4,08 6,18 0,24 0,15 6,42 4,16 28,00 60,19 6,21 Saat ini berwujud hamparan batuan tersingkap, tidak dijadikan lokasi model perlakuan 5,68 0,46 2,57 4,44 7,85 0,27 0,15 4,85 4,16 26,00 63,71 Saat ini berwujud hamparan tanaman gliricidea dan tanahnya sangat tipis , tidak dijadikan lokasi model 5,48 0,45 2,79 4,81 6,51 0,44 0,15 6,46 4,00 19,60 43,64 Saat ini berwujud hamparan batuan tersingkap, tidak dijadikan lokasi model perlakuan Catatan (Remarks): Gp = Geluh pasiran (Sandy Loam) 184 Lampiran (Appendix) 3. Hasil analisis tanah 3 fraksi (3 Fraction-Soil analyses) No. Sampel Pasir (%) Debu (%) Liat (%) (sand) (silt) (clay) 1 A1 24,9 40,9 34,2 2 A4 27,1 47,2 25,7 3 B1 29 39,7 31,3 4 B4 24,9 48,9 26,2 5 C1 34,1 38 27,9 6 C4 19,3 45,7 35 7 K1 19,9 42,6 37,5 8 K2 49,8 29,5 20,7 9 K3 25,9 39,5 34,6 28,32 41,33 30.,4 Rerata (average) 185 Lampiran (Appendix) 4. Karakteristik satuan lahan (Characteristic of land unit) SL 1 Karakteristik (Characteristic) Lereng (Slope) Kedalaman Tanah (Soil depth) 4–8% (sl1) 50-25 cm Jenis Penutupan Lahan (Land cover types) Tanaman jati (5 – 10 th) monokultur, teras diperkuat dengan batu dan tidak terawat (Ut1) 2 9–15% (sl2) 50-25 cm Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawijo, campuran antara teras batu dan tanah yang tidak terawat (Ut3) 3 9–15% (sl2) < 25 cm Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawijo, campuran antara teras batu dan tanah yang tidak terawat (Ut3) 4 4–8 % (sl1) 50-25 cm Tanaman jati (5 – 10 th) tumpangsari dengan tanaman palawijo, banyak teras yang tidak terawat (Ut2) 5 9–15%(sl2) 50-25 cm Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawijo, campuran antara teras batu dan tanah yang tidak terawat (Ut3) 186 6 31–45% (sl4) 50-25 cm Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawijo, campuran antara teras batu dan tanah yang tidak terawat (Ut3) 7 31–45% (sl4) < 25 cm Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawijo, campuran antara teras batu dan tanah yang tidak terawat (Ut3) 8 46–65% (sl5) < 25 cm Tidak ada tanamanya, sebagian besar sejenis lumut dan rumput liar (Ut6) 9 46 – 65 % (sl5) 50-25 cm Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawijo, campuran antara teras batu dan tanah yang tidak terawat (Ut3) 10 > 65 % < 25 cm Tanaman Gliricidea monokultur, sebagian besar tidak berteras (Ut4) 11 46–65% (sl5) 50-25 cm Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawijo, campuran antara teras batu dan tanah yang tidak terawat 12(Ut3) 12 4–8% (sl1) < 25 cm Tanaman Gliricidea monokultur, sebagian besar tidak berteras (Ut4) 187 13 16–30% (sl3) 50-25 cm Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawijo, campuran antara teras batu dan tanah yang tidak terawat (Ut3) 14 46–65% (sl5) 50-25 cm Tanaman Gliricidea tumpangsari dengan tanaman polowijo, teras diperkuat dengan batu tetapi kurang terawat (Ut5) 15 31–45% (sl4) 50-25 cm Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawijo, campuran antara teras batu dan tanah yang tidak terawat (Ut3) 16 >65% (sl6) 50-25 cm Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawijo, campuran antara teras batu dan tanah yang tidak terawat (Ut3) 17 31–45% (sl4) 50-25 cm Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawijo, campuran antara teras batu dan tanah yang tidak terawat (Ut3) Catatan (Remarks): SL = Satuan Penggunaan Lahan (Land Unit) 188 Lampiran (Appendix) 5. Kriteria unsur hara (Soil nutrient Criteria) Parameter SR R S < 0,6 0,6-1,25 1,26-2,5 T ST C (%) 2,51-3,5 > 3,51 BO (%) < 1,00 1,00-2,00 2,10-4,20 4,30-6,00 > 6,00 N total (%) < 0,10 0,10-0,20 0,21-0,50 K total (%) C/N nisbah N-NO3 (mg/kg) P total (ppm) P-tsd Bray 1 0,51-1,00 > 1,00 < 10 10-20 21-40 41-60 > 60 < 8,0 8-10 11-15 16-25 > 25 <5 5-15 15-25 25-50 > 50 < 50 51-100 101-150 151-250 > 250 (mg/kg) <3 3-7 7-20 > 20 P-tsd Bray 2 (mg/kg) <7 7-16 16-46 > 46 P-tsd Olsen (mg/kg) 0-5 5-10 10-15 15-20 > 20 Kation Tertukar K+ (Cmol/kg) < 0,1 0,1-0,3 0,3-0,6 0,6-1,2 > 1,2 Na+ (Cmol/kg) < 0,1 0,1-0,3 0,3-0,7 0,7-2,0 > 2,0 Mg++ (Cmol/kg) < 0,5 0,5-1,5 1,5-3,0 3,0-8,0 > 8,0 Ca++ (Cmol/kg) < 2,0 2,0-5,0 5,0-10,0 10-20 > 20 Total Kation (Cmol/kg) < 3,0 3,0-7,5 7,5-15 15-30 > 30 KTK (Cmol/kg) <5 5-15 15-25 25-40 > 40 Al (Cmol/kg) < 0,1 0,1-0,5 0,6-2,0 2,0-5,0 > 5,0 Kejenuhan Al (%) <5 5-10 11-20 21-40 > 40 KB (%) < 20 21-40 41-60 61-80 80-100 DHL (mmhos/cm) < 1,0 1,0-2,0 2,0-3,0 3,0-4,0 > 4,0 pH (H2O) < 4,5 4,55,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 > 8,5 Sumber : (Puslittanah, 1983) Keterangan (Remarks): SR = Sangat ringan (Very low) S = Sedang (Moderate) R = Ringan (Low) SB = Sangat berat (Very heavy) 189 Lampiran (Appendix) 6. Lokasi sampel tanah pada masing-masing SL dan sampel untuk analisis struktur (Location of soil samples in each land unit and soil samples for soil texture) 190 IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK MORFOMETRI DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS1 Oleh : Agus Wuryanta , Ragil Bambang WMP3 dan Beny Harjadi4 2 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected] Email: 2 [email protected] ; 3 [email protected]; 4 [email protected] ABSTRAK Identifikasi morfometri Daerah Aliran Sungai (DAS) penting dilakukan sebagai upaya untuk dapat mengetahui karakter DAS. Karakter DAS dapat dipergunakan sebagai dasar dalam pengelolaan DAS seperti perencanaan, kelembagaan, serta monitoring dan evaluasi. Teknologi Penginderaan Jauh (PJ) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat dimanfaatkan untuk identifikasi morfometri DAS. Lokasi kajian terletak di DAS Musi yang secara administratif meliputi empat provinsi yaitu Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung dan Jambi. Tujuan kegiatan adalah untuk menghitung dan menentukan morfometri DAS (bentuk DAS, kerapatan drainase, pola aliran, dan kelerengan wilayah DAS) dan penutupan penggunaan lahan DAS Musi. Kelerengan lahan DAS Musi diperoleh dari hasil analisis peta kontur 1:50.000 (format digital), bentuk DAS dihitung dengan menggunakan persamaan circularity ratio, sementara kerapatan aliran dihitung dengan menggunakan persamaan yang didasarkan pada panjang keseluruhan sungai utama dan anak – anak sungai serta luas DAS. Pola aliran ditentukan secara kualitatif dengan bantuan peta jaringan sungai, sedangkan penutupan/penggunaan lahan diperoleh dari hasil analisis citra satelit Landsat 5 Thematic Mapper (TM). Hasil kajian menunjukkan, kelas kelerengan DAS Musi didominasi oleh tipe kelerengan datar (0 – 8%) yaitu seluas 3.594.802,47 ha (67% dari total luas DAS Musi). Tipe bentuk Sub – Sub DAS di DAS Musi didominasi tipe memanjang, hanya Sub DAS Kikim dan Sub DAS Deras yang memiliki tipe membulat dengan nilai bentuk 0,64 dan 0,53. Kerapatan aliran seluruh DAS Musi dapat dikategorikan ke dalam tingkat kerapatan sangat jarang dengan nilai kerapatan aliran 1,53. Luas hutan keseluruhan di DAS Musi (Hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder dan hutan tanaman) yaitu 776.572,36 ha (14,52% dari total luas DAS). Kata kunci: Morfometri DAS, karakter DAS, penginderaan jauh, Sistem Informasi Geografis 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan, pada tanggal 12 Juni 2013. 191 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem, sehingga kegiatan monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS sebaiknya dilakukan secara terpadu dan menyeluruh. Pengelolaan DAS secara terpadu (Integrated Watershed Management) adalah suatu proses formulasi dan implementasi suatu kegiatan yang menyangkut pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan manusia dalam suatu DAS dengan mempertimbangkan aspek sosial, politik, ekonomi dan institusi di dalam DAS dan di sekitar DAS untuk mencapai tujuan sosial tertentu (Dixon and Easter,1986). Salah satu langkah awal di dalam pengelolaan DAS secara terpadu adalah dengan melakukan identifikasi karakteristik DAS. Karakter DAS terbentuk dari interaksi antara Sumber Daya Alam (SDA) dengan manusia. Setiap DAS memiliki karakter masing-masing, yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam pengelolaan DAS yang meliputi aspek perencanaan, kelembagaan, serta monitoring dan evaluasi (Paimin et al., 2006). Karakteristik DAS terbentuk dari faktor alami (geologi, geomorfologi, iklim dan tanah) dan faktor pengolahan manusia (management) seperti penutupan/penggunaan lahan. Salah satu karakter DAS yang terbentuk dari faktor alami adalah morfometri. Morfometri DAS merupakan ukuran kuantitatif karakteristik DAS yang terkait dengan aspek geomorfologi (Widodo et al., 2009). Morfometri DAS memiliki peranan penting pada proses pengatusan (drainase) air hujan yang jatuh ke dalam wilayah DAS. Parameter morfometri DAS antara lain adalah luas DAS, bentuk DAS, kelerengan (slope), kerapatan aliran dan pola aliran. Morfometri DAS dapat digunakan untuk mengetahui karakter DAS yang selanjutnya dipergunakan untuk perencanaan pengelolaan DAS. Selain morfometri, karakteristik suatu DAS juga dipengaruhi oleh topografi, intensitas hujan, keadaan drainase, infiltrasi dan penutupan lahan. Perubahan penggunaan lahan suatu DAS akan mempengaruhi kapasitas infiltrasi, terutama apabila perubahan penggunaan lahan terjadi dari lahan yang mempunyai kapasitas infiltrasi tinggi menjadi lebih rendah (Priyono dan Savitri, 1997). 192 Analisis morfometri DAS dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi Penginderaan Jauh (PJ) dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Bentuk DAS, kelas kelerengan, kerapatan drainase dan pola aliran dapat dianalisis berdasarkan peta topografi/rupa bumi format digital, sedangkan penutupan/penggunaan lahan diperoleh dari analisis citra satelit. B. Tujuan Tujuan kajian ini adalah untuk menghitung dan menentukan morfometri DAS (bentuk DAS, kerapatan drainase, pola aliran dan kelerengan wilayah DAS) serta penutupan penggunaan lahan pada DAS Musi. II. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi kajian terletak di DAS Musi, yang secara administratif meliputi 4 (provinsi), yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Lampung. DAS Musi terbagi ke dalam empat belas (14) sub DAS yaitu Batangharileko, Rawas, Medak, Deras, Lakitan, Batang Peledas, Semangus, Lematang, Ogan, Komering, Kelingi, Baung, Musi Hulu dan Kikim. Berdasarkan peta DAS yang diperoleh dari Balai Pengelolaan DAS Musi di Palembang, lokasi kajian secara geografis terletak pada koordinat 101,75o – 104,99o BT dan 2,02o – 4,98o LS dengan luas total sebesar 5.348.643,06 ha. Tata waktu penelitian disajikan pada tabel 1. Peta lokasi kajian disajikan pada Gambar 1. 193 Tabel 1. Tata waktu penelitian Kegiatan I 1 2. Persiapan (mengumpulkan citra satelit digital dan data digital sungai dan garis kontur) Pemrosesan data 3. Pemrosesan citra Satelit digital dan data digital sungai dan garis kontur Analisis data satelit digital dan data digital sungai dan garis kontur Digitasi batas DAS dan Sub DAS Survey Lapangan 4. 5. II III Orientasi lapangan Pengumpulan data lapangan dan Kompilasi Proses Overlay dan Analisa GIS serta layout peta Penyusunan tulisan ilmiah 194 IV V VI Bulan VII VIII IX X XI XII Gambar 1. Lokasi kajian di DAS Musi B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk kegiatan kajian ini adalah: 1. Peta-peta dasar (dalam format digital), antara lain: Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 50.000. Peta kontur, jaringan jalan dan jaringan sungai. Peta situasi dan administrasi. 2. Peta tematik (Peta batas DAS). 3. Citra satelit digital Citra Landsat 5 Thematic Mapper (TM), yaitu LS5_2012-03-24_124062, LS5_2012-03-24_124063, LS5_2012-04-29_125062 dan LS5_2012-0331_125063. 4. Alat tulis seperti pensil, ballpoint dan alat tulis lainnya. 5. Kertas printer dan tinta warna (cartridge) untuk warna hitam, kuning, magenta dan cyan. Sedangkan peralatan yang diperlukan antara lain: 1. Peralatan survei lapangan antara lain: GPS (Global Positioning System). 195 2. Peralatan untuk pengolahan data digital dan SIG, antara lain: Perangkat keras (hardware) berupa komputer. Perangkat lunak (software) adalah ArcView 3.2a dan ArcGIS 9. Tabulasi data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Office Excel. C. Pengumpulan dan Pengolahan Data Data yang dikumpulkan untuk kegiatan kajian antara lain: 1) Peta batas DAS. 2) Peta jalan, sungai, peta kontur dan peta administrasi (batas provinsi dan batas kabupaten). 3) Peta penutupan/penggunaan lahan. 4) Citra landsat 5 TM perekaman tahun 2012. 5) Informasi penutupan/penggunaan lahan dan koordinatnya dari hasil kegiatan lapangan. D. D1. Tahapan Kegiatan Tahapan kegiatan analisis morfometri DAS 1. Mengumpulkan dan menggabungkan peta digital seperti jaringan sungai dan kontur serta peta batas DAS dan Subsub DAS yang diperoleh dari Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Musi di Palembang. 2. Menghitung keliling dan luas DAS serta sub DAS. 3. Membuat model elevasi digital berdasarkan peta kontur. 4. Klasifikasi kelas kelerengan seluruh DAS dan sub DAS. Kelas kelerengan dibagi menjadi 5 (lima) kelas sebagaimana terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Kelas kelerengan Kelas Kelerengan (%) 1 0-8 2 8-15 3 15-25 4 25-45 5 >45 Sumber: Asdak (2010) 196 Tipe Datar Miring Sangat miring Curam Sangat curam 5. Menghitung jumlah panjang sungai utama dan anak sungai berdasarkan peta jaringan sungai. 6. Menentukan bentuk DAS dan masing-masing sub DAS dengan menggunakan metode circularity ratio (Widodo et al., 2009), sebagaimana pada Persamaan (1). Rc = 4ЛA/p2............................................ (1) dimana Rc = Bentuk DAS; A = Luas DAS dan Sub DAS (Km2); p = Keliling (perimeter DAS dan sub DAS) (Km). Klasifikasi bentuk DAS ditentukan berdasarkan pada Tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi bentuk DAS No. Nilai Bentuk DAS Kelas Bentuk DAS 1 < 0,5 Memanjang 7. 2 > 0,5 Membulat Sumber :Soewarno (1991) 7. Menentukan kerapatan drainase DAS dan masing-masing sub DAS berdasarkan Persamaan (2) (Widodo et al., 2009). Dd = L/A .................................. (2) dimana Dd = Kerapatan drainase; L = Jumlah panjang sungai dan anak-anak sungai (Km); A = Luas DAS (Km2). Tabel 4. Tabel indeks kerapatan aliran Kerapatan aliran Kelas (km/km2) < 1,84 1 1,84 – 2,39 2 2,39 – 3,12 3 3,12 – 3,44 4 > 3,44 5 Sumber: Thapa et al. (2008) 197 Tingkat kerapatan Lowest/sangat jarang Low/jarang Medium/sedang High/tinggi Highest/sangat tinggi 8. Pola aliran sungai ditentukan secara kualitatif, yaitu dengan melihat dan mengamati peta jaringan sungai dan kemudian disesuaikan dengan pola aliran sungai yang disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Pola aliran sungai (Sumber: Desaunettes, 1977) D2. Tahapan kegiatan klasifikasi penutupan/penggunaan lahan dengan menggunakan citra satelit : 2) Pemrosesan citra, seperti koreksi geometri dan penajaman citra. 3) Klasifikasi awal obyek pada citra digital dengan metode tidak berbantuan (unsupervised classification). 4) Penentuan lokasi sampel. 5) Kegiatan lapangan untuk mengumpulkan data lapangan dan untuk mencocokkan serta menguji hasil klasifikasi obyek awal dengan kondisi aktualnya di lapangan. 6) Data hasil kegiatan lapangan dan didukung oleh analisis spektral pada citra serta informasi yang lain seperti indeks vegetasi, topografi digunakan untuk melakukan klasifikasi obyek dengan metode berbantuan (supervised classification). 198 III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kelerengan (Slope) Lereng adalah istilah dalam geomorfologi yang menyatakan permukaan lahan yang letaknya miring, yaitu merupakan perbandingan antara perbedaan tinggi dengan jarak datar. Kelerengan dapat dinyatakan dalam satuan derajat atau persen (%). Informasi kelerengan dapat diperoleh dari analisis citra PJ seperti Shuttle Radar Thopographic Mission (SRTM) dan Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) serta dapat juga diperoleh dari peta kontur. Pada kajian ini informasi kelerengan diperoleh dari hasil analisis peta kontur skala 1:50.000 dengan interval kontur 25 m. Kelas kelerengan hasil analisis peta kontur di DAS Musi menunjukkan bahwa DAS Musi didominasi oleh kelas kelerengan datar (0 – 8 %), yaitu seluas 3.594.802,47 ha (67% dari total luas DAS Musi). Kelas kelerengan sangat curam (> 45%) menempati areal seluas 415.556,72 ha (7,76% dari total luas DAS) dan tidak terdistribusi secara merata di seluruh DAS (Gambar 3). Kelas kelerengan pada masing- masing sub DAS terdapat pada Tabel 5. Sub DAS Ogan memiliki areal paling luas, yaitu sebesar 936.848,45 ha dan didominasi oleh tipe kelerengan datar (0-8 %). Sub DAS Baung merupakan sub DAS paling kecil (69.014,35 ha), dengan tipe kelerengan datar mendominasi sub DAS Baung. 199 Tabel 5. Kelerengan masing – masing Sub DAS di DAS Musi No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Kelas Kelerengan (%) Sub DAS Total Bt.harileko Rawas Deras Medak Lakitan Bt. Peledas Semangus Lematang Ogan Komering Kelingi Baung Musi Hulu Kikim 0-8 363.985 332.325 84.790 150.490 191.090 81.261 252.244 532.959 753.755 579.853 78.319 62.318 61.262 70.146 8 - 15 34.174 39.255 1.774 2.244 15.218 3.134 18.551 121.175 74.710 78.564 28.483 6.601 62.464 26.189 15 - 25 2.287 40.420 31 10 14.814 58 1.028 79.803 43.600 103.430 28.154 94 85.034 16.023 25 - 45 12 67.072 0,00 0,00 26.451 0,00 19 67.455 35.122 92.181 20.901 0,00 84.367 17.299 > 45 0,00 107.695 0,00 0,00 50.600 0,00 0,00 75.888 29.660 61.348 16.661 0,00 52.034 21.667 400.460 586.769 86.596 152.744 298.175 84.455 271.844 877.281 936.848 915.377 172.520 69.014 345.164 151.326 Total DAS 3.594.802 512.543 414.794 410.883 415.556 5.348.580 Sumber data: Hasil analisis peta kelas kelerengan Gambar 3. Kelas kelerengan DAS Musi 200 Informasi kelerengan dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya erosi. Semakin curam dan panjang suatu lereng, maka kecepatan aliran permukaan semakin tinggi yang selanjutnya berakibat pada erosi tanah semakin tinggi (Widodo et al., 2009). Kelas kelerengan yang berpotensi mengakibatkan erosi di DAS Musi adalah kelas kelerengan sangat miring (15-25%), curam (25-45%) dan sangat curam (> 45%). Kelas kelerengan tersebut menempati areal seluas 1.241.234,45 ha (23,21% dari total luas DAS Musi) dan berada di bagian hulu DAS Musi. Selain kelerengan, penutupan/penggunaan lahan merupakan salah satu parameter penting di dalam menentukan besarnya erosi. B. Bentuk DAS (Watershed shape) Bentuk DAS merupakan salah satu parameter alami yang penting untuk mencirikan suatu DAS rawan terhadap banjir dan kebanjiran. Analisis bentuk DAS/sub DAS berdasarkan persamaan circularity ratio memerlukan 2 parameter, yaitu luas (area) dan keliling (perimeter) pada masing – masing sub DAS. Parameter tersebut dapat diperoleh dari hasil analisis peta digital batas DAS/sub DAS dengan menggunakan perangkat lunak (software) SIG, yaitu ArcGIS 10 atau ArcView 3.3. Selanjutnya penghitungan bentuk DAS dilakukan dengan program Excel (hasil penghitungan bentuk DAS/sub DAS disajikan pada Tabel 6). Tabel 6. Nilai dan tipe bentuk DAS/sub DAS No. Sub DAS Keliling (km) Luas (Km2) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Sub DAS Batangharileko Sub DAS Rawas Sub DAS Deras Sub DAS Medak Sub DAS Lakitan Sub DAS Batang Peledas Sub DAS Semangus Sub DAS Lematang Sub DAS Ogan Sub DAS Komering Sub DAS Kelingi Sub DAS Baung Sub DAS Musi Hulu Sub DAS Kikim Total DAS Musi 499,11 479,05 143,05 235,12 277,92 220,82 293,10 603,86 549,73 791,42 237,91 135,08 415,98 171,93 5.054,08 4.004,63 5.868,36 865,98 1.527,45 2.981,76 844,56 2.718,44 8.772,82 9.368,47 9.153,80 1.725,20 690,15 3.451,66 1.513,26 53.486,53 Nilai bentuk DAS 0,20 0,32 0,53 0,35 0,48 0,22 0,40 0,30 0,39 0,18 0,38 0,48 0,25 0,64 0,29 Sumber data: Hasil analisis peta digital DAS/Sub DAS 201 Tipe bentuk DAS Memanjang Memanjang Membulat Memanjang Memanjang Memanjang Memanjang Memanjang Memanjang Memanjang Memanjang Memanjang Memanjang Membulat Memanjang Tipe bentuk Sub – Sub DAS di DAS Musi didominasi oleh tipe memanjang, hanya Sub DAS Kikim dan Sub DAS Deras yang memiliki tipe membulat dengan nilai bentuk 0,64 dan 0,53 (Soewarno (1991). DAS Musi secara keseluruan memiliki nilai bentuk 0,29 yang dikategorikan ke dalam tipe memanjang. DAS dengan bentuk sempit dan memanjang mempunyai bentuk hidrograf aliran yang landai sehingga mempunyai debit banjir yang kecil. Sebaliknya DAS yang mempunyai bentuk melebar mempunyai banjir yang besar pada titik pertemuan sungai– sungainya, serta hidrograf alirannya lebih meruncing (Priyono dan Savitri, 1997). Dengan demikian, berdasarkan analisis bentuk DAS, DAS Musi secara keseluruhan memiliki hidrograf aliran yang landai dan memiliki debit banjir kecil, hanya sub DAS Kikim dan Sub DAS Deras yang memiliki hidrograf aliran meruncing karena berbentuk membulat. C. Kerapatan Aliran (drainage density) Kerapatan aliran adalah suatu angka indeks yang menunjukkan panjang sungai utama dan anak sungai di dalam setiap satu kilometer persegi suatu DAS atau sub DAS. Kerapatan aliran dihitung pada seluruh DAS Musi dan masing-masing sub DAS di dalam DAS Musi (Tabel 7). Kelas kerapatan aliran didasarkan pada Thapa et al. (2008) Tabel 7. Nilai dan tingkat kerapatan aliran sub-sub DAS dan DAS Musi No SUB DAS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Sub DAS Batangharileko Sub DAS Rawas Sub DAS Deras Sub DAS Medak Sub DAS Lakitan Sub DAS Batang Peledas Sub DAS Semangus Sub DAS Lematang Sub DAS Ogan Sub DAS Komering Sub DAS Kelingi Sub DAS Baung Sub DAS Musi Hulu Sub DAS Kikim Sungai utama (Km) 670,30 1.126,89 109,90 227,61 623,54 241,13 583,89 1.872,25 2.505,78 2.790,78 506,81 0,00 559,46 508,01 DAS Musi 12.326,35 3.043,60 6.050,40 680,63 1.698,01 2.279,24 1.291,08 2.899,29 14.009,21 13.609,54 12.920,24 2.590,84 973,62 5.278,25 1.988,13 Total sungai (km) 3.713,90 7.177,29 790,52 1.925,63 2.902,77 1.532,21 3.483,18 15.881,46 16.115,32 15.711,03 3.097,65 973,62 5.837,71 2.496,13 0,93 1,22 0,91 1,26 0,97 1,81 1,28 1,81 1,72 1,72 1,80 1,41 1,69 1,65 Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang 69.312,07 81.638,42 1,53 Sangat jarang Cabang sungai(Km) Nilai kerapatan Sumber data: hasil analisis peta digital jaringan sungai 202 Tingkat kerapatan Kerapatan aliran seluruh DAS Musi dapat dikategorikan ke dalam tingkat kerapatan sangat jarang (1,53) dengan nilai kerapatan aliran terkecil adalah 0,91 dan paling besar adalah 1,81. Kerapatan aliran sungai dapat digunakan untuk menggambarkan kapasitas penyimpanan air permukaan dalam cekungan–cekungan seperti danau, rawa dan badan sungai yang mengalir ke suatu DAS (Widodo et al., 2009). Menurut Asdak (2010), semakin besar nilai kerapatan aliran (Dd) berarti semakin baik sistem pengaliran (drainase), sehingga semakin besar jumlah air larian total (semakin kecil infiltrasi) dan semakin kecil air tanah yang tersimpan. Kerapatan aliran di DAS Musi disajikan pada Gambar 4. Gambar 4. Kerapatan aliran dan jaringan sungai DAS Musi D. Pola Aliran Sungai (drainage pattern) Jaringan sungai dalam suatu DAS mengikuti suatu aturan tertentu, yaitu aliran sungai dihubungkan oleh suatu jaringan satu arah dimana cabang dan anak sungai mengalir ke dalam sungai induk yang lebih besar dan membentuk pola tertentu (Sukentyas dan Harsanugraha, 2008). Pola aliran sungai secara tidak langsung menunjukkan karakteristik material bahan induk seperti permeabilitas, struktur geologi dan kemudahannya mengalami erosi (Widodo et al., 2009). 203 Pola aliran diidentifikasi secara kualitatif yaitu dengan bantuan peta jaringan sungai. Berdasarkan hasil identifikasi pola aliran di DAS Musi secara umum, terdapat beberapa jenis pola aliran, yaitu dendritik, radial dan paralel. E. Penutupan/Penggunaan Lahan (land cover/use) Penutupan/penggunaan lahan merupakan salah satu parameter penting dalam perencanaan pengelolaan DAS. Jumlah penduduk yang terus bertambah telah mengakibatkan kebutuhan akan lahan terus meningkat sehingga penutupan/penggunaan lahan berubah dari waktu ke waktu. Teknologi PJ merupakan salah satu alat yang efektif untuk memantau perubahan penutupan/penggunaan lahan. Penutupan/penggunaan lahan pada kajian ini diperoleh dari hasil analisis citra Landsat 5 TM dan dibantu dengan sumber data lainnya seperti peta penutupan/penggunaan lahan yang telah ada dan data kelerengan. Penutupan/penggunaan lahan di DAS Musi hasil analisis menunjukkan bahwa kebun kelapa sawit menempati areal paling luas, yaitu 1.249.473,16 ha (23,36 % dari total luas DAS Musi). Luas hutan keseluruan di DAS Musi (hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder dan hutan tanaman) adalah seluas 776.572,36 ha (14,52% dari total luas DAS). Luas dan jenis penutupan/penggunaan lahan di DAS Musi terdapat pada Tabel 8, sedangkan distribusi spasialnya pada Gambar 5. Tabel 8. Luas masing-masing penutupan/penggunaan lahan DAS Musi No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Penutupan/penggunaan lahan Hutan lahan kering primer Hutan lahan kering sekunder Hutan rawa sekunder Hutan tanaman Kebun (tanaman muda) Kebun campuran Kebun karet Kebun karet campuran Kebun kelapa sawit Kebun kopi campuran Lahan kosong Pemukiman Pertanian lahan kering Sawah Semak belukar (rawa) Tubuh air Total 204 Luas (ha) 347.692,83 255.785,15 13.524,93 159.569,45 166.613,74 136.585,00 748.100,72 256.484,16 1.249.473,16 670.847,88 174.281,83 184.038,88 529.337,23 76.378,46 178.005,42 200.095,88 5.346.814,71 Gambar 5. Penutupan/penggunaan lahan DAS Musi IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil kajian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kelas kelerengan di DAS Musi didominasi oleh tipe kelerengan datar (0-8%), yaitu seluas 3.594.802,47 ha (67% dari total luas DAS Musi). 2. Bentuk DAS Musi adalah lonjong, sedangkan sub-sub DAS di dalam DAS Musi bentuknya bervariasi mulai dari agak lonjong sampai dengan lonjong, hanya Sub DAS Kikim dan Sub DAS Deras yang memiliki bentuk agak bulat. 3. Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi memiliki tingkat kerapatan aliran sangat jarang. 4. Luas hutan keseluruhan di DAS Musi (hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder dan hutan tanaman) masih kurang dari 30%. 205 B. Saran Untuk memudahkan penentuan morfometri DAS (kelerengan, bentuk DAS, kerapatan aliran dan pola aliran) dengan perangkat SIG, sebaiknya data dasar seperti batas DAS/sub DAS, kontur dan jaringan sungai sebaiknya tersedia dalam format digital. DAFTAR PUSTAKA Asdak. Chay. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Desaunettes, J. R. 1977. Catalogue of Landforms for Indonesia. Example of a physiographic approach to land evaluation for agriculture development, SRI (Soil Research Institute), FAO-Bogor.111p and Appendices. Dixon, J. A. and K. W. Easter. 1986. Integrated Watershed Management: An Approach to Resource Management. In K. W. Easter, J. A.Dixon, and M. M. Hufschmid. Watershed Resources Management. An Integrated Framework with Studies from Asia and the Pacific. Studies in Water Policy and management, No.10. Westview Press and London. Honolulu. Esri.1999.ArcView 3.2a. Esri. California.USA Esri.2004.ArcGIS 9. Esri.California. USA Priyono, C. N. S. dan E. Savitri. 1997. Hubungan antara Morfometri dengan Karakteristik Hidrologi Suatu Daerah Aliran Sungai (DAS): Studi Kasus Sub DAS Wader. Buletin Pengelolaan DAS No.III, 2, 1997. Paimin, Sukresno, dan Purwanto. 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Sukentyas, S. E. dan W. K. Harsanugraha. 2008. Pemanfaatan Citra Satelit Penginderaan jauh Untuk Pengelolaan Sumber Daya 206 Air. Studi kasus: Daerah Aliran Sungai Dodokan Provinsi NTB. PIT MAPIN XVII. Bandung 2008. Soewarno.1991. Hidrologi:Pengukuran dan (Hidrometri). Nova. Bandung. Pengelolaan DAS Thapa, R., K. Ravindra and R. K. Sood. 2008. Study of Morphotectonics and Hydrogeology for Groundwater Prospecting Using Remote Sensing and GIS In The North West Himalaya, District Sirmour, Himachal Pradesh, India. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII. Part B4. Beijing 2008. Widodo, H. R., M. v. Noordwijk., I. Suryandi dan B. Verbist. 2009. Monitoring Air di Daerah Aliran Sungai. World Agroforestry Centre. ICRAF Asia Tenggara. Bogor 2009. 207 KAJIAN UNSUR HARA TANAH PADA TEGAKAN CEMARA LAUT (Casuarina equisetifolia) DI PANTAI BERPASIR PETANAHAN KEBUMEN1 Oleh : Beny Harjadi , Pranatasari Dyah Susanti 3 dan Arina Miardini 4 2 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected] 2 3 4 Email: [email protected]; [email protected]; [email protected] ABSTRAK Tanah berpasir di pesisir merupakan tanah marjinal yang memerlukan penanganan secara tepat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan tindakan konservasi vegetatif melalui penanaman tanaman cemara laut. Tanaman tersebut diharapkan dapat memperbaiki kandungan unsur hara tanah. Penelitian ini bertujuan mengetahui status unsur hara tanah pada tiga titik yang berbeda, yaitu unsur hara tanah di pasir terbuka, dibawah tegakan cemara laut dan di bawah tegakan tanaman semusim yang telah dibudidayakan masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah survey dengan mengambil sampel tanah pada masing-masing titik dan dilakukan analisa unsur hara tanah meliputi : kadar air 0,5 mm, kadar air 2 mm, pH, BO, C, N, P, K, dan Na. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kandungan unsur hara tanah pada berbagai penggunaan lahan. Penanaman cemara laut berdampak positif terhadap peningkatan kandungan unsur hara tanah berpasir. Penggunaan pupuk kandang efektif memperbaiki kandungan unsur hara tanah selain masukan hara yang berasal dari dekomposisi serasah dan bahan organik yang berada di bawah tegakan tanaman semusim dan dibawah tegakan tanaman cemara laut. Kata kunci : unsur hara tanah, cemara laut, pasir terbuka 1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan, pada tanggal 12 juni 2013. 208 I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dimana 70% luas wilayahnya berupa laut serta memiliki 80.000 km garis pantai merupakan sumber daya yang sangat potensial (Nizam, 2010). Meskipun potensial tetapi pengelolaan lahan berpasir memerlukan tindakan dan penanganan yang tepat. Wilayah pesisir adalah suatu sistem sumberdaya (resource system) yang unik, sehingga memerlukan pendekatan khusus dalam merencanakan dan mengelola pembangunannya (Maroeto, et al., 2007). Lahan pantai berpasir merupakan salah satu lahan yang memiliki kesuburan tanah yang rendah. Lahan ini merupakan lahan marjinal yang disebabkan oleh beberapa faktor permasalahan, antara lain angin laut yang kencang, erosi angin, suhu tinggi, uap air bergaram, dan tanah yang rendah hara (Harjadi dan Octavia, 2008). Untuk meningkatkan kesuburan pada lahan pantai berpasir, maka diperlukan tindakan konservasi. Konservasi tanah menurut Arsyad (1989), merupakan tindakan (1) penutupan tanah dengan tumbuhan dan tanaman atau sisa tanaman agar terlindung dari daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, (2) memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar resisten terhadap penghancuran agregat dan terhadap pengangkutan, dan lebih besar dayanya untuk menyerap air di permukaan tanah, serta (3) mengatur air aliran permukaan agar mengalir dengan kecepatan yang tidak merusak dan memperbesar jumlah air yang terinfiltrasi. Metode konservasi yang dapat digunakan adalah metode vegetatif, mekanik, dan kimia. Tindakan konservasi pada tanah berpasir di daerah pesisir akan sangat tepat apabila menggunakan metode vegetatif (Harjadi, dan Miardini 2010). Selain tidak memerlukan biaya yang tinggi, metode ini juga mudah digunakan, dengan syarat tanaman yang sesuai dan perawatan serta pemeliharaan tanaman yang baik. Tindakan penanaman tanaman cemara laut (Casuarina equisetifolia), merupakan salah satu metode konservasi secara vegetatif, dimana tanaman ini merupakan tanaman potensial untuk dikembangkan di lahan berpasir. Penanaman pohon di wilayah pantai perlu didasarkan pada jenis tanaman yang sesuai dan dapat tumbuh di daerah pantai serta memiliki kemampuan antara lain tahan terhadap angin agar dapat menstabilkan bukit pasir di pantai, 209 tahan terhadap kondisi tanah dan pasir yang marginal dan saline (Nurahmah, et al, 2007). Whistler dan Elevitch (2004) dalam Sukresno (1998) mengatakan bahwa pada lahan berpasir tanaman yang cocok sebagai tanggul angin adalah cemara laut. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan diantaranya: (1) dapat tumbuh pada permukaan laut sampai ketinggian 800 m dpl, (2) toleran terhadap kekeringan hingga 6 - 8 bulan, (3) dapat tumbuh bersamaan dengan tanaman lain di wilayah pantai dan dataran rendah, (4) dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah termasuk tanah-tanah jelek, dangkal, tidak subur atau tanah dengan kadar garam tinggi, (5) merupakan tanaman yang dapat mengikat nitrogen udara dengan bantuan Frankia sp., (6) merupakan tanaman cepat tumbuh (fast growing species) dengan pertumbuhan dapat mencapai ketinggian 20-30 m, serta (7) pemanfaatannya sebagai tanaman agroforestry untuk tanggul angin, penstabil tanah, pelindung pantai dan pagar. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, penanaman tanaman cemara laut ini, diharapkan dapat meningkatkan status kesuburan tanah dari tanah marjinal menjadi tanah yang lebih subur. Kesuburan tanah merupakan pengaruh kombinasi tiga komponen utama yang saling berinteraksi yaitu sifat kimia, fisika dan biologi tanah (Handayanto, 2007). Penelitian ini bertujuan mengkaji status unsur hara tanah pada lahan berpasir yang telah ditanami cemara laut. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan pada bulan April 2012 di lahan pantai berpasir yang secara administratif terletak di Desa Karanggadung, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1). Secara geografi berdasarkan peta topografi skala 1 : 25.000 terletak pada 109o 35’ 01,9” BT , 07o 46’ 31,3” LS sampai 109o 35’ 34,9” BT , 07o 46’ 39,1” LS. Kondisi Geologi berupa endapan alluvium pasiran dan jenis tanah yang terbentuk adalah jenis tanah regosol (Typic Tropopsamments) 210 yang berasal dari endapan pasiran dengan topografi umumnya berombak. Gambar 1. Lokasi penelitian B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanah di bawah tegakan cemara laut, dan sampel tanah di pasir terbuka dan dibawah tanaman semusim sebagai pembanding. Peralatan yang digunakan adalah plastik sampel tanah, cangkul, tali dan kertas label, kamera digital dan alat tulis menulis. C. Metode Penelitian dilakukan dengan metode survey. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada 3 tipe penggunaan lahan, yaitu: dibawah tegakan cemara laut , pasir terbuka, dan dibawah tegakan tanaman semusim. Masing-masing tipe penggunaan lahan tersebut, terbagi dalam 3 blok, yaitu blok tahun 2007 (6 tahun), 2009 (3 tahun), dan tahun 2012 (1 tahun). Masing-masing blok diambil 3 sampel tanah untuk dikomposit. Sampel tanah yang digunakan adalah tanah dengan kedalaman 25-30 cm. Selanjutnya sampel tersebut dibawa ke laboratorium untuk dilakukan analisis kimia tanah meliputi: kadar air 05 mm, kadar air 2 mm, pH, bahan organik, C, N, P, K, dan Na. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (Anova). Apabila berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji beda nilai tengah Duncan. 211 III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis tanah di laboratorium serta analisis sidik ragam yang dilakukan, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan nilai kandungan unsur hara pada ketiga lokasi pengembilan sampel tanah. Tabel 1 hasil analisis sidik ragam kandungan unsur hara tanaman pada tiga penggunaan lahan yaitu pasir terbuka, tegakan cemara laut, dan tanaman semusim. Tabel 1. Hasil analisis sidik ragam kandungan unsur hara tanah No 1 2 3 Penggunaan Lahan Pasir terbuka Cemara Laut Tanaman semusim pH 8,01a Na (me/ 100gr) 2,02a 6,88a 1,34a b 5,85b 0,78a Kandungan Unsur Hara Tanah KA KA KTK C BO 0,5 2 (%) (%) (%) mm mm 0,35a 0,47a 4,69a 0,25a 0,4a 0,01a 0,02a 0,37a 0,36a 0,33a 8,52a 0,26a 0,4a 0,02a 0,03a 0,14a 1,38b 1,64b 6,83a 1,04a 2,4b 0,08b 0,06a 0,15a N (%) P (%) Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (p<0,05) Tabel 1 menunjukkan terdapat beberapa kandungan unsur hara yang berbeda nyata, maupun tidak berbeda nyata. Salah satu unsur hara yang berbeda nyata adalah pH. Nilai pH tanah sangat penting karena : (1) Menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap tanaman, (2) Menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman, dan (3) Mempengaruhi perkembangan mikroorganisme dalam tanah (Nugroho, 2007). Menurut Hardjowigeno (1992), pH tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah serta dapat menggambarkan banyaknya konsentrasi ion H+ dan OH- di dalam tanah. Nilai pH tanah pada Tabel 1 menunjukkan, bahwa pH dibawah tegakan cemara laut tidak berbeda nyata dengan pH di tanah pada tanaman semusim, maupun pada pasir terbuka. Tetapi pH pada pasir terbuka berbeda nyata dengan pH pada tanaman semusim. Nilai pH yang tinggi di pasir terbuka, disebabkan oleh kandungan garam di laut, sedangkan nilai pH yang lebih rendah pada tegakan cemara laut, disebabkan oleh 212 K (%) pengaruh pupuk organik dan serasah yang ada pada tegakan cemara laut. pH tanah yang terlalu rendah pada tanaman semusim dapat dinetralkan dengan penggunaan pupuk organik (kandang) serta meningkatkan ketersediaan air. pH yang netral dapat membantu ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman karena pH tanah yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah akan menurunkan kesuburan tanah, terutama unsur hara mikro (Tan, 1998). Berdasarkan analisis sidik ragam, terlihat bahwa nilai Na berbeda tidak nyata pada ketiga tipe penggunaan lahan. Meskipun demikian secara diskriptif terlihat bahwa pasir terbuka memiliki nilai Na tertinggi. Menurut Hanafiah (2012), pH yang tinggi antara 7,5-8 akan menyebabkan tanaman menjadi keracunan unsur Mo dan unsur penunjang lain seperti Na dan Cl. Nilai Na yang rendah seperti pada tanah dibawah tegakan cemara laut akan lebih menguntungkan karena konsentrasi yang tinggi dapat menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman dan menyebabkan hancurnya agregat tanah, meskipun pada tanaman tertentu perannya dapat menggantikan unsur K (Supriyadi, 2009). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 1, kadar air 0,5 mm dan 2 mm tidak berbeda nyata untuk tanah di bawah cemara laut dan di pasir terbuka, dan berbeda nyata untuk tanaman semusim. Hal ini disebabkan pada tanah dengan tingkat pengelolaan yang baik, serta penambahan pupuk organik, maka akan meningkatkan tekstur tanah, sehingga air akan tersimpan dengan baik. Parameter unsur hara lain yang diukur dalam penilaian status hara tanah pada penelitian ini adalah Kapasitas Tukar Kation (KTK). KTK berhubungan erat terhadap tingkat kesuburan tanah. Pada Tabel 1 terlihat bahwa terjadi peningkatan KTK tanah pada tegakan cemara laut dibandingkan pada tanah pasir terbuka. Hal ini menunjukkan, bahwa penanaman cemara laut akan memperbaiki kondisi unsur hara dalam tanah yang berdampak pada peningkatan KTK tanah, meskipun berdasarkan analisis sidik ragam, ketiganya tidak berbeda nyata. Sejalan dengan KTK, pada Tabel 1 terlihat bahwa, meskipun nilai C tidak berbeda nyata pada setiap tipe penggunaan lahan, tetapi unsur C di bawah tegakan cemara laut secara deskriptif memiliki nilai yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan pada tanah dibawah tegakan cemara 213 laut dengan kondisi tanaman yang usia dan tegakannya telah bertambah, maka akan menghasilkan bahan organik atau serasah yang nantinya akan dirombak oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi, sehingga C akan tersedia. Demikian juga pada tanah di titik tegakan semusim, kandungan C akan lebih besar karena perkembangan tanaman dan pertumbuhan tanaman yang akan mendukung ketersediaan C dalam tanah. C merupakan salah satu komponen bahan organik yang utama. C berasal dari CO2 yang ditangkap tanaman dari udara, dan melalui dekomposisi, C akan dibebaskan kembali, sehingga kandungannya pada tanah akan meningkat (Susanti, et al.,2010). Kandungan unsur C tersebut, juga berhubungan dengan kandungan bahan organik (BO) tanah. Sumber utama bahan organik bagi tanah berasal dari jaringan tanaman, baik berupa sampah tanaman (serasah) ataupun sisa-sisa tanaman yang telah mati (Sutedjo, 1987). Pada tanah di tegakan cemara laut dan pasir terbuka nilai BO tanah tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata pada tanaman semusim. Perbedaan ini disebabkan karena pemberian pupuk organik serta adanya input dari serasah yang ada akan menyebabkan kandungan bahan organik meningkat. N (nitrogen) merupakan salah satu unsur hara makro yang sangat menentukan pada tingkat kesuburan tanah. Menurut Sanchez (1992), N berada di dalam tanah berasal dari jasad renik penambat N yang mati, hasil proses mineralisasi residu tanaman dan hewan, serta dari pupuk buatan. Demikian juga menurut Murni (2009) bahwa N merupakan salah satu hara kunci dalam pertumbuhan tumbuhan. Secara alami, penyediaan N yang utama bagi tumbuhan adalah melalui pengikatan N oleh mikroorganisme, baik simbiosis maupun nonsimbiosis. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis sidik ragam, diketahui bahwa nilai N pada pasir terbuka dan pada tegakan cemara laut tidak berbeda nyata, sedangkan pada tanaman semusim berbeda nyata. Secara diskriptif nilai N pada tanaman semusim dan pada tegakan cemara laut lebih tinggi dibandingkan pada pasir terbuka karena bintil akar pada tanaman cemara laut dapat mengikat NH3, sehingga meningkatkan ketersediaan N. Selain itu, adanya bahan organik yang sudah 214 terdekomposisi akan mengalami proses mineralisasi N organik sehingga dapat meningkatkan ketersediaan N di dalam tanah. Menurut Soemarno (2011), pada tanah yang subur dekomposisi bahan organik akan terus terjadi secara berkelanjutan, sehingga kebutuhan nitrogen mudah dipenuhi, tetapi pada tanah berpasir yang miskin bahan organik, sehingga tanpa penambahan pupuk organik ketersediaan N dalam jumlah cukup akan mengalami kesulitan. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tanah-tanah marjinal perlu penambahan frekuensi pemupukan nitrogen dan perlu pemberian pupuk organik untuk ketersediaan N dalam tanah. Selain unsur N, salah satu unsur yang penting dalam kesuburan tanah adalah unsur P (Fosfor). Unsur ini merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam kesuburan tanah. Tabel 1 menunjukkan, meskipun berdasarkan hasil analisis sidik ragam tidak berbeda nyata, tetapi kandungan unsur hara P dibawah tegakan cemara laut lebih tinggi dibandingkan tanah pasir terbuka. Selain itu penambahan pupuk kandang dibawah tegakan cemara laut sebesar 1,5 kg/tanaman juga berpengaruh positif terhadap kandungan P tanah. Berdasarkan hasil penelitian Wigati et al. (2006) dalam Suharyani et al. (2012) pemberian pupuk kandang dengan takaran 20 ton/ha dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah, pertumbuhan tanaman meliputi berat kering tanaman, konsentrasi dan serapan P dalam jaringan tanaman. Unsur hara makro yang juga menjadi parameter dalam penelitian ini adalah unsur K (Kalium). K adalah salah satu unsur hara makro yang paling banyak diperlukan tanaman setelah nitrogen dan fosfor (Subiksa, 2004). Berdasarkan hasil penelitian kandungan unsur hara tanah, menunjukkan tidak berbeda nyata antara tanah pada pasir terbuka, cemara laut, maupun pada tanaman semusim. Meskipun demikian terlihat bahwa pada tanah berpasir, nilainya lebih tinggi . Hal ini karena adanya kandungan Na dan pH tanah pada tanah pasir terbuka lebih tinggi dibandingkan dengan pada tanah dibawah tegakan cemara laut dan tanaman semusim. Menurut Supriyadi (2009), unsur K, Ca, Mg, dan Na merupakan unsur alkali tanah. Dengan demikian semakin tinggi nilai pH tanah, maka kandungan K dan Na juga akan semakin meningkat. 215 Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa berbagai perbedaan nilai kandungan unsur hara, disebabkan adanya pengelolaan lahan yang lebih baik, dan adanya proses input unsur hara dari luar seperti pemupukan. Selain proses pemupukan, terjadi juga proses pemasukan unsur hara yang berasal dari serasah-serasah tanaman yang akan bermanfaat terhadap perkembangan mikroorganisme tanah, sehingga kandungan unsur hara juga akan bertambah sebagai akibat dari adanya proses dekomposisi bahan organik. IV. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kandungan unsur hara tanah pH, kadar air 0,5 mm, kadar air 2 mm, bahan organik, dan N berbeda nyata antar tiga tipe penggunaan lahan yaitu pasir terbuka, dibawah tegakan cemara laut, dan dibawah tegakan tanaman semusim. Secara berurutan status unsur hara tanah terbaik adalah pada lahan tanaman semusim, lahan cemara laut, dan lahan pasir terbuka. Dengan demikian penanaman tanaman cemara laut, selain dapat digunakan sebagai salah satu langkah konservasi vegetatif, juga dapat meningkatkan kandungan unsur hara tanah, dan meningkatkan kandungan pupuk organik ke dalam tanah. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 1989. Konservasi tanah dan air. IPB Press. Bogor. Hanafiah. 2012. Dasar-dasar ilmu tanah. PT Raja Grafindo Perkasa. Jakarta. Handayanto. 2007. Biologi tanah landasan pengelolaan tanah sehat. Pustaka Adipura. Yogyakarta. Hardjowigeno. 1992. Ilmu tanah. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Harjadi, B., dan D. Octavia. 2008. Penerapan teknik konservasi tanah di pantai berpasir untuk agrowisata, Info Hutan Vol. V, No. 2, 2008. 216 Harjadi, B., dan A. Miardini . 2010. Penanaman cemara laut (Casuarina equisetifolia LINN) sebagai upaya pencegahan abrasi di pantai berpasir. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. VII No. 5 Tahun 2010 : 517-523. Maroeto., Arifin., dan Sutoyo. 2007. Identifikasi dan diagnose sifat kimia tanah salin untuk kesesuaian tanaman cemara udang ( Casuarina Equisetifolo ) Jurnal Pertanian Mapeta Vol 10 No 1 Desember 2007 : 13-23. Murni, 2009. Peningkatan pH tanah podsolik merah kuning melalui pemberian abu dan hubungannya dengan aktivitas mikroorganisme pengikat nitrogen. Jurnal Biospesies. Vol.2 No.2 Juni 2009. Nizam. 2010. Stabilitas pantai pasir dan interaksinya dengan struktur pelindung pantai. Laporan akhir kegiatan Penelitian hibah kompetensi lanjutan batch II. UGM. Yogyakarta. Nugroho, A.W. 2007. Karakteristik tanah pada sebaran ulin di Sumatera dalam mendukung konservasi. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Padang. Nurahmah., M. Y. Mile, Suhaendah, E. 2007. Tekhnis perbanyakan tanaman laut (Casuarina equisetifolia) pada media pasir. Info Tekhnis Vol 5 no. 1. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Sanchez, P. A. 1992. Sifat dan pengelolaan tanah tropika. Jilid 1.ITB. Bandung. Soemarno. 2011. Pentingnya Nitrogen Bagi Tanaman Tebu. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Subiksa. 2004. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan K terhadap parameter hubungan Q-I kalium pada tanah mineral masam. Jurnal Tanah dan Iklim No 22 Tahun 2004. 217 Suharyani, Kusmiyati., dan Karno. 2012. Pengaruh metode perbaikan tanah salin terhadap serapan nitrogen dan fosfor rumput benggala (Panicum Maximum) Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2, 2012. Sukresno, 1998. Laporan “Kajian konservasi tanah dan air pada kawasan pantai berpasir dan berlumpur di Jawa Tengah dan DIY. Dephut, Balitbanghut, BTPDAS. Solo. Supriyadi, 2009. Status unsur-unsur basa di lahan kering Madura. Jurnal Agrovigor. Vol No. I tahun 2009. Susanti. P. D., dan Panjaitan.S. 2010. Manfaat zeolit dan rock phosphat dalam pengomposan limbah pasar. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi, BSN, Banjarmasin, 4 Agustus 2010. Sutedjo, 1987. Pupuk dan cara pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta. Tan. K.H. 1998. Dasar-dasar kimia tanah. UGM Press. Yogyakarta. 218 Lampiran 1. Jadwal Acara JADWAL ACARA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN DAS Surakarta, 12 Juni 2013 Waktu 8.00 – 8.30 8.30 – 8.40 8.40 – 8.50 8.50 – 9.00 9.00 – 9.30 9.30 – 10.00 10.00 – 10.15 Acara A. REGISTRASI Pendaftaran ulang B. PLENO – PEMBUKAAN Doa Menyanyikan lagu Indonesia Raya Laporan Panitia Penyelenggara oleh Kepala BPTKPDAS 1. Arahan dan Pembukaan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2. Keynote Speech : Permasalahan Pengelolaan DAS di Jawa Tengah (Integrasi Lintas Sektor) dan Dukungan Litbang Pengelolaan DAS yang Diperlukan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah diwakili oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah REHAT KOPI C. SIDANG KOMISI SIDANG KOMISI I Sistem Pengelolaan DAS 10.15 – 10.30 10.30 – 10.45 1. Aspek Hukum Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai 2. Hubungan Antara Luas Hutan Pinus Dan Aliran Dasar Di Sub Das 219 Perangkat Sidang Pembicara(1), Moderator(2), Perumus (3), Notulis(4) Panitia Panitia Panitia Ir. Bambang Sugiarto, MP. (1) Dr. Ir. R. Iman Santosa, M.Sc (1) Dr. Ir. Sri Puryono, KS, MS diwakili oleh Ir. Bowo Suryoko, MM(1) Ir. Paimin, M.Sc(2) Nunung Puji Nugraha, S.Hut., M.Sc (3) Wahyu Wisnu Wijaya, S.Hut (4) Dr. AL. Sentot Sudarwanto, SH., M.Hum(1) Drs. Irfan Budi Pramono, M.Sc(1) Waktu 10.45 – 11.00 11.00 – 12.00 Acara Kedungbulus, Gombong 3. Karakteristik Banjir di Sub DAS Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri DISKUSI SIDANG KOMISI II Teknologi Pengelolaan DAS 10.15 – 10.30 1. Model Pengendalian Banjir Terpadu Perangkat Sidang Pembicara(1), Moderator(2), Perumus (3), Notulis(4) Ir. Gunardjo Tjakrawarsa, M.Sc(1) Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc (2) Agung Wahyu Nugroho, S.Hut., M.Sc (3) Wiwin Budiarti, S.Hut (4) Alif Noor Anna(1) Berdasarkan Parameter Utama Penyebab Banjir di DAS Bengawan Solo Hulu 10.30 – 10.45 2. Kajian Pertumbuhan Sengon Dan Ir. Heru Dwi Riyanto(1) Jabon Dalam Rehabilitasi Lahan Terdegradasi Di Tlogowungu Pati 10.45 – 11.00 3. Penggunaan Air oleh Tanaman 11.00 – 12.00 12.00 – 13.00 (Crop Water Requirements) Beberapa Jenis Pohon Cepat Tumbuh DISKUSI ISHOMA SIDANG KOMISI I Sistem Pengelolaan DAS 13.00 – 13.15 13.15 – 13.30 13.30 – 13.45 4. Pendayagunaan Data Penginderaan Jauh yang Bebas Diunduh untuk Mengakses Beberapa Parameter Lahan 5. Membangun Kelembagaan Konservasi Tanah dan Air di Hulu Sub DAS Gandusuwaduk, Pati Jawa Tengah 6. Pemetaan Kawasan Rawan Kebakaran Hutan dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem 220 Agung Budi Supangat, S.Hut, MT(1) Ir. Paimin, M.Sc(2) Nunung Puji Nugroho, S.Hut., M.Sc (3) Wahyu Wisnu Wijaya, S.Hut (4) Dr. Tyas Mutiara Basuki(1) Ir. C. MP(1) Yudilastiantoro, Arina Miardini, S.Hut(1) Waktu Acara 13.45 – 14.45 Informasi Geografis Sebuah Studi Kasus di Taman Nasional Bali Barat DISKUSI SIDANG KOMISI II Teknologi Pengelolaan DAS 13.00 – 13.15 4. Kandungan Hara dan Tingkat Erosi Pada Lahan Miring Bersolum Dangkal 13.15 – 13.30 5. Identifikasi Karakteristik Biofisik Daerah Aliran Sungai Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis 13.30 – 13.45 13.45 – 14.45 14.45 – 15.05 15.05 – 15.25 15.25 – 16.00 16.00 – 16.30 16.30 – 17.00 6. Kajian Unsur Hara Tanah Pada Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) di Pantai Berpasir Petanahan Kebumen DISKUSI D. PLENO – PRESENTASI SUMMARY HASIL SIDANG KOMISI Presentasi Ringkasan Hasil Sidang Komisi I Presentasi Ringkasan Hasil Sidang Komisi II Perumusan dan Diskusi Hasil Sidang Komisii I dan II E. PENUTUPAN Penutupan oleh Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi REHAT KOPI 221 Perangkat Sidang Pembicara(1), Moderator(2), Perumus (3), Notulis(4) Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc (2) Agung Wahyu Nugroho, S.Hut., M.Sc (3) Wiwin Budiarti, S.Hut (4) Ir. Nining Wahyuningrum, M.Sc(1) Drs. Agus M.Sc(1) Wuryanta, Ir. Beny Harjadi, M.Sc(1) Ir. Adi Susmianto, M.Sc (2) Ir. Paimin, M.Sc(1) Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc (1) Ir. Purwanto, M.Si (3) Ir. Adi Susmianto, M.Sc (1) Lampiran 2. Daftar Peserta DAFTAR PESERTA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN DAS” Surakarta, 12 Juni 2013 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. Nama Instansi Engkos Kosasih Lukman Jarir Agung WN Gunardjo Tjakrawarsa Dewi Subaktini Beny Harjadi Nining Wahyuningrum Nur Ainun Jariyah Susi Abdiyani Heru Dwi Riyanto Rahma Dewi Murzat Sobri Agus Wuryanta Wiwin Budiarti TM Basuki Irfan BP Dadang M Bambang DA Siswo Dewi Estu M Wahyu Wisnu W Aris Boediyono Dody Yuliantoro Eva YR Saeful Hidayat Armin Nugroho Untung Rubayan Bambang Dwi Purwanto BPTH Jawa Madura Dishutbun Banjarnegara BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPK Palembang SMA Batik BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS Dinas Pertanian BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTPTH Bogor BTN Gn Merbabu BPBD Jateng BPBD Jateng TN Merapi BPTKPDAS 222 No 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. Nama Instansi Rahardyan C Nugroho S Agung BS C. Yudilastiantoro1 Nunung PN Gunarti Sumardi S. Agung Sri Raharjo Agus Sugianto Edi Sulasmiko Asep Hermawan Ragil Bamban g Andy Cahyono Arina Miardini Agus Munawar Sudarso Prabang Setyono Joko Prihatno La Ode Asir Ibnu SM Eva B. Sinaga Tri Wulandari M. Farid Fanani Nur Sumedi Choirul Ahmad Iton Dyah Arum K Bambang Pujiarmanto Syafii Ash Shiddiqie Annisa Aulia Haries Apriliyana Syahrul Donie Sagiman Hani Dwi Trisnaningsih Budi Sulihanto BPTKPDAS Sekbadan Litbang BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPK Kupang BPK Kupang BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS UNS Pasca BBKSDA Jateng BPK Manado Puskonser BPK Manado Puskonser BPK Manado Balitek KSDA BPK Palembang BPK Aek Nauli BKSDA Jateng BKSDA Jateng BPDAS Sampean FP UNS FP UNS Pusprohut Perum Perhutani BDK Kadipaten Hutbun Sragen 223 No 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. Nama Instansi Paimin Kusrin AL Sentot Sudarwanto Nurhasanah Kurniawan Sigit W Salamah Retnowati Iman Santoso Sri Astuti Soedjoko Listra Shelly Vita N Jalma Giring S Aries Horizon Forila DA Samsudi Retno Maryani Aryana Citra K Fauzi Mas'ud Suratno Firmansyah Afandi Alif Noor Anna Fitriyani Hardono Zainuddin Fanani Ika Yulianti Yuli Priyana NP Rahadian Retisa Mutiaradevi Agus Tampubolon Edy Subagyo Nana Ugro Hari Murtiono Bowo Suryoko Sri Widayadi Agus S Raharjo Prasodjo BPTKPDAS BPTKPDAS FH UNS BPDAS Citarum Ciliwung FP Unibraw BPTKPDAS Litbang Kehutanan UGM UGM UGM BPBD Prov Jateng BPTKP Jatim Pusdiklat Puspijak Bogor BPTP Jateng Puskonser Dishutbun Grobogan BPK Banjarbaru F. Geografi UMS F. Geografi UMS FKDC Dishutbun Grobogan BBWS Bengawan Solo Fak. Geografi UMS FKDC Banten Setbadan Puskonser BBPBPTH BBPBPTH BPTKPDAS Dinas Kehutanan Jateng Dinas Kehutanan Jateng Balitbang Dinas Kehutanan Jateng Puslitbang Perhutani 224 No 100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. Nama Instansi Rahmad Sri Sulawati Harry BJ Evi Irawan Nana Haryanti Joko Purwanto Sri Jarwadi Sunarto Gunardi Sukirno Verina Ristianti Johni Nur Sihmiati Widiyanti Supriyadi Arief W Kus Wardani Adi Susmianto Muhadi Dewi Retna I Ambar Kusumandari Yayat Sigit HT M Yanuar MT Sudarmanto Corryanti Mesri Ferdian Anung Wijayanti Sri Baruni Istiyadi Radyastono Supriyanto Eko Priyanto Tommy Kusuma AP Wahyu Budiarso Mariska Sururi Balitbang Jateng Pusprohut BPTA Ciamis BPTKPDAS BPTKPDAS BPDAS SOP Hutbun Wonogiri FTP UGM FTP UGM Balai KPH YK Perhutani BPDAS Solo BPDAS Solo BAPPEDA Sukoharjo Dispertan Klaten BPTKPDAS Puskonser Puslitbang Cepu BPTKPDAS Fahutan UGM Puspijak Dishutbun Banten Puspijak Puslitbang Cepu BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS 225 No 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151. 152. 153. 154. 155. Nama Instansi Farika Dian N Nidhomuddin M. Fachrur Rozi Dwi Purnomo Amin Suranto B. Wirid A M. Shidiq Bambang Sugiarto Bambang Subandrio Deddy Kusnadi Ana Pangaribuan Tri Endah Yusuf Irianto Suparno Tri Wahyuni Taryoto Kuwat Raharjo Arjuna K. Adi Wirawan Azis Zaelani Sutikno BPTKPDAS BTN Merbabu BTN Merbabu BTN Merbabu BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BPTKPDAS BTN G Merbabu BPTKPDAS BPTKPDAS BTN Gn Merbabu BTN Gn Merbabu BTN Gn Merbabu BTN Gn Merbabu BTN Gn Merbabu BTN Gn Merbabu BTN Gn Merbabu 226 Lampiran 3. Hasil Diskusi Arahan Kepala Badan Litbang Kehutanan : Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc Seminar diselenggarakan dalam rangka menyemarakkan peringatan 100 tahun Badan Litbang Kehutanan. Semangat untuk senantiasa membangun dunia kehutanan agar lebih baik telah ada sejak jaman dahulu dan harus dijaga sampai sekarang. Dalam peringatan 100 tahun Kelitbangan Kehutanan, Menteri Kehutanan menyebutkan bahwa Iptek merupakan landasan kebijakan dan etika membangun hutan lestari dan peradaban bangsa. Bangsa Indonesia sangat berpotensi, dan memiliki sumberdaya manusia yang baik untuk dapat digunakan sebagai modal dasar yang kemudian didukung dengan iptek untuk membangun dunia kehutanan. Kebutuhan iptek pengelolaan DAS; lebih difokuskan pada pengatasan masalah perubahan iklim, kerusakan DAS, deforestasi degradasi hutan dan lahan kritis, intervensi manusia terhadap SDH terlalu berlebihan, kebutuhan lahan yang tinggi. Solusi masalah : pendekatan lansekap DAS. Peran BPTKPDAS sangat diharapkan untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan DAS. Dengan SDM yang cukup kuat, sarana dan prasarana yang cukup, diharapkan hasil penelitian bisa bermanfaat untuk membangun kehutanan. BPTKPDAS harus ikut dengan agenda pembangunan Jawa Tengah, sehingga arah riset untuk menyelesaikan permasalahan yang terdapat di wilayah Jawa Tengah. Keynote Speech : Ir. Bowo Suryoko, MM “Permasalahan Pengelolaan DAS di Jawa Tengah (Integrasi Lintas Sektor) dan Dukungan Litbang Pengelolaan DAS yang diperlukan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah” 20 DAS di Jawa Tengah kondisinya kurang memadai dan masuk prioritas untuk mendapatkan penanganan agar bisa dipulihkan daya dukungnya. Rendahnya daya dukung DAS merupakan penyebab terjadinya bencana alam. 227 Hal ini akibat kurang terpadunya pengelolaan DAS apalagi di era otonomi daerah, pembangunan wilayah lebih diutamakan kepada faktor ekonomi dengan kurang memperhatikan faktor lingkungan. Pengelolaan yang tidak sinergis akan merugikan yang lain, DAS tidak bisa hanya dilihat dari satu sektor misal airnya, atau hutannya, tapi harus semua sektor. Pengelolaan hendaknya dilakukan secara terpadu agar tidak menyebabkan konflik. PP 37 Th 2012 menjadi payung hukum agar tercapai penyelenggaraan pengelolaan DAS di Jawa Tengah yang terpadu. Upaya pengelolaan DAS hendaknya tidak hanya melalui penanaman saja tetapi juga harus didukung dengan penelitian. Penelitian juga tidak hanya aspek fisik/teknis saja namun juga mempertimbangkan aspek sosial. Upaya penelitian DAS perlu didorong agar memajukan pengelolaan DAS di Jawa Tengah. Salah satu yg penting yakni penelitian mengenai baku mutu air agar dapat mengetahui besarnya air bersih yang dapat dinikmati oleh penduduk di Jawa Tengah seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. Sidang Komisi I “Sistem Pengelolaan DAS” Moderator : Ir. Paimin, M.Sc Perumus : Nunung Puji Nugroho, S.Hut, M.Sc Notulen : Wahyu Wisnu Wijaya, S.Hut Makalah : 1. Aspek Hukum Pengelolaan DAS berdasarkan PP No 37 Tahun 2012 tentang PDAS (Pembicara : Dr.Al. Sentot Sudarwanto, SH, M.Hum) Ada 2 undang-undang yang mengatur DAS, yakni UU Kehutanan (3 pasal) dan UU SDA (1 pasal). Baru muncul adanya kebijakan pemerintah yakni PP 37 tahun 2012, yang menjadi payung hukum. Falsafahnya mengatur dari hulu sampai hilir. Diharapkan akan ada grand design dengan payung hukum PP 37 dalam pengelolaan DAS, untuk terjadi sinergi dan sinkronisasi. 228 Tujuan Pengelolaan DAS sesuai dengan tujuan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu perlu keterpaduan sehingga perlu membangun keterpaduan antar pemangku kepentingan. Dalam membangun keterpaduan perlu koordinasi integrasi sinkronisasi. Mandat PP 37 adalah wewenang Pengelolaan DAS oleh pemerintah daerah. Menurut surat edaran Mendagri, Pemerintah daerah diharapkan segera menyiapkan produk hukum. Keterpaduan yakni pertimbangan ekonomi dengan ekologi, perencanaan sektor dan instansi terkait. Dalam aspek kelembagaan DAS pada kenyataannya masih bekerja sendiri. Strategi implementasi PP 37 : RPDAST Bengawan Solo yang merupakan panduan dalam pengelolaan DAS Bengawan Solo, mendorong dibuatnya Perda tentang Pengelolaan DAS terpadu sebagai pengikat sektor, instansi antar wilayah, perlu adanya sosialisasi mengenai RPDAST. 2. Hubungan antara luas hutan pinus dan aliran dasar di Sub DAS Kedungbulus, Gombong (Pembicara : Drs. Irfan Budi Pramono, MSc) Hutan bermanfaat sebagai pengatur tata air. Aliran dasar adalah aliran yang berasal dari air tanah (groundwater out flow). Aliran dasar merupakan salah satu komponen penting sebagai indikator kontinuitas aliran. Perlu mengukur debit aliran dasar sebagai indikator kontinuitas aliran. Pada musim kemarau, hutan pinus masih dapat menyimpan air. 3. Karakteristik Banjir di Sub DAS Wuryantoro Kabupaten Wonogiri (Pembicara : Ir. Gunardjo Tjakrawarsa, M.Sc.) Kejadian banjir akhir-akhir ini mempunyai dampak kerusakan yang parah, Salah satu subdas (wuryantoro) kurang menyerap air hujan dominasi penggunaan non hutan. 229 Perlu mengetahui hubungan antara karakteristik hujan dan banjir dengan penutupan lahan. Karakteristik banjir dinyatakan dalam debit puncak dan waktu puncak yang dipengaruhi oleh tebal hujan lama hujan, intensitas hujan dan antecedent soil moisture condition (AMC). 4. Pendayagunaan data penginderaan jauh yang bebas diunduh untuk mengakses beberapa parameter lahan (Pembicara : Dr. Tyas M Basuki) Penggunaan data penginderaan jauh dari citra satelit yg bebas di unduh memberikan tingkat akurasi yang baik. Klasifikasi kelas lereng dengan DEM ASTER menghasilkan akurasi total sebesar 79,5% dengan nilai kappa 0,67 yang tergolong sangat sesuai (substantial agreement). Akurasi total 70% dengan kappa 0,60 diperoleh pada klasifikasi penutupan lahan menggunakan citra quickbird yang diunduh dari google earth. 5. Membangun kelembagaan konservasi tanah dan air di hulu sub DAS Gandusuwaduk Pati Jawa Tengah (Pembicara : Ir. Yudilastiantoro, MP) Proses membangun kelembagaan konservasi tanah dan air dilakukan melalui kerjasama antara instansi/lembaga kepada kelompok tani, antar anggota kelompok tani dengan masyarakat desa dalam pengelolaan lahan lestari berbasis konservasi tanah dan air untuk meningkatkan produksi dan pendapatan. Kelembagaan yang berperan penting yakni Dinas Pertanian dan kehutanan kabupaten, Perum Perhutani KPH Regaloh dan para anggota kelompok tani wana lestari. 6. Pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan SIG sebuah studi kasus di Taman Nasional Bali Barat. (Pembicara : Arina Miardini, S.Hut) Kerentanan kawasan TNBB terhadap kebakaran hutan dgn mempertimbangkan faktor tipe vegetasi, kelerengan, arah lereng, jarak dari jalan dan jarak dari pemukiman didominasi oleh kelas sedang sebesar 31,28 % dari luas kawasan. 230 Kelas tersebut terdapat pada hutan musim dan hanya sebagian terdapat pada hutan dataran rendah. HASIL DISKUSI : Sesi I NO 1 NAMA Lukman (Dinas Kehutanan Kab. Banjarnegara ) DISKUSI PERTANYAAN, SARAN TANGGAPAN DAN MASUKAN : Makalah 1 : Makalah 1 : Makalah mengenai aspek Memang banyak SKPD hukum Pengelolaan DAS yang mempunyai harus ada keterpaduan tupoksi terkait dengan antar pemangku DAS, lalu bagaimana kepentingan. Dikarenakan cara untuk membangun instansi yang menangani keterpaduan? masalah kehutanan sangat Pengikatnya yakni grand banyak, sehingga untuk di desain RPDAST yang daerah sering dijadikan secara partisipasif yang sebagai leading sector dibangun oleh lembaga dalam Pengelolaan DAS. formal dan non formal Kesulitan yang dihadapi secara bersama. untuk mencapai Implementasinya pada keterpaduan. Bagaimana stake holder terkait, langkah yang harus masing-masing akan dilakukan untuk melakukan sesuai membangun konteks besar yg telah keterpaduan? disepakati bersama. (tidak membuat organisasi baru. Makalah 2 : Apakah benar bahwa hutan pinus rakus terhadap air? 231 Makalah 2 : Hasil penelitian sebelumnya memang menyebutkan kebutuhan air di Jawa sangat tinggi. Namun bergantung pada curah hujan yg ada, karena tidak semua daerah menghadapi masalah. Masalah kebutuhan air tergantung pada site NO 2 NAMA Tuti (Fakultas Kehutanan UGM) DISKUSI spesifik. Untuk mengetahui tentang kebutuhan air tanaman bisa di cari hasil penelitian di website www.google.com Makalah 1 : Makalah 1 : Komitmen dan kontribusi Didalam norma sudah berbagai lembaga ada, sebagai contoh ada terhadap Pengelolaan DAS peraturan daerah yang sudah banyak tetapi kalau mengsle (kurang tepat) ada peraturan yang karena ada kepentingan kurang tepat, siapa yang ada beberapa akan menjadi “wasit” kepentingan tertentu (penengah) ? (karena dan itu sudah masing-masing lembaga dibatalkan. Seringnya tidak punya kekuatan) Perda dibuat agak lama tergantung pada komitmen dan dari akademisi, forum, maupun yang lain dapat mendesak legislatif dan eksekutif agar cepat. Bilamana ada peraturan yang cacat tidak apa-apa asalkan dalam pelaksanaan punya komitmen bagus pasti hasilnya juga akan bagus. Makalah 2 : Saya senang sekali karena meneliti tentang berapa luas hutan pinus yang ada dan hubungannya dengan air tersedia, sarannya agar dilanjutkan lagi dan ditambahkan dengan rumus barrens yakni untuk mengetahui sampai berapa hari hutan pinus bisa mengeluarkan air. 232 Makalah 2 : Dari segi banjir, hutan pinus bisa mencegah banjir 33% dan jati 55%. Untuk aliran dasar, karena baru awal, jadi baru dilihat pada 52% luas. Terimakasih atas sarannya, dan penelitian nantinya bisa dilanjutkan lagi. NO 3 4 NAMA Supriyadi (Forum DAS) Nur Sumedi DISKUSI Makalah 1 : Di Jawa Tengah ada forum DAS, di Jawa Timur juga, dll, tapi payung hukum forum DAS belum ada. Apakah memang seharusnya forum DAS bersifat sektoral atau lintas sektoral? Makalah 1 : Forum DAS memang ada banyak dan territorial (terkapling-kapling), kenapa begitu? Penyebabnya yaitu UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah karena wewenang ada pada wilayah. Jadi dari banyaknya forum perlu dipadukan, yang penting berjalan bersama-sama atau kolaborasi. Sekarang sedang digodok peraturan Menteri Kehutanan terkait dengan keberadaan forum das dan rencana akan dituangkan dalam 2 peraturan menteri. Makalah 2 : Didalam penelitian menunjukkan ada korelasi antara beberapa faktor terhadap aliran dasar, namun masih perlu kejelasan hubungan antara luas hutan dgn aliran dasar karena belum diuji korelasinya. Makalah 2 : Dalam penelitian ini hutan merupakan salah satu faktor, faktor lain yang berpengaruh yakni geologi dan jenis tanah. Misal di hutan jati, ada pengaruh dari aquifer. Untuk itu kedepannya akan dilihat lagi korelasinya. Makalah 1 : Langkah-langkah tersebut sangat setuju. Munculnya PP 37 karena amanat undang-undang, karena pada UU Makalah 1 : Dlm pengelolaan DAS ada pemikiran (sederhana): 1) Pengelolaan das difokuskan pada wilayah berdasarkan 233 NO NAMA DISKUSI pada ekosistem (misal Kehutanan cuma 3 pasal pegunungan, pesisir), dan UU sda hanya ada 1 sehingga kemungkinan pasal itupun hanya ada das lintas wilayah. pengertian. 2) Negara ikut berperan Oleh karena itu, meski dalam penentuan rohnya dari kehutanan, status hutan, sesuai tapi otomatis semua dengan ketinggian sektor harus taat karena (berdasarkan peraturan pemerintah. penelitian terdahulu). Di Jakarta, para mentri 3) Ada model agroforestry dikabarkan sudah yang tepat untuk solusi menyetujui sehingga di wilayah tinggal menunggu pegunungan. implementasi (tindak lanjut). Banyaknya stake holder memperumit sehingga harus ada 1 lembaga yang berperan sebagai pemimpin tapi selalu masih ada masalah. Makalah 3 : Saya mencoba memberi saran, ada salah satu metode cepat untuk bisa diadopsi sebagai penduga kejadian banjir (contoh di kalimantan) ada spesies burung yang membuat sarang secara alami sehingga selalu terhindar dari banjir. Mungkin bisa jadi bahan referensi. 5 Marto Makalah 1 : Kata kunci dari makalah yakni perlu membangun keterpaduan. Apa sudah ada sosialisasi PP Kehutanan terhadap kementerian lain. 234 Makalah 3 : Terimakasih, atas saran. Seperti diketahui pada penelitian ini sebenarnya sudah menambahkan AMC namun masih kurang tepat karena ada faktor evapotranspirasi yang perlu dipertimbangkan, sehingga untuk kedepannya perlu ditambahkan lagi. Makalah 1 : Sudah disosialisasikan tapi masih terbatas Kemenhut Kemendagri dan Kemenlh, khususnya yang di Kemenhut sedang NO NAMA DISKUSI digodog 9 Permenhut (draft sdh jadi). Makalah 2 : Dalam penelitian lanjutan, faktor geologi seperti bagaimana yang akan dihitung. Makalah 3 : Bila dilihat dari koefisien yang dihasilkan yang nilainya kecil apakah itu akan berpengaruh terhadap debit puncaknya? 6 Hardono (Forum DAS Cidanau) Makalah 1 : Sebenarnya pada era tahun 80-an Kemenhut sudah bikin RTLRLKT yang seiring berjalannya waktu ganti-ganti namanya, namun intinya tentang pengelolaan das terpadu. Masalah yang utama yakni kejar-kejaran untuk membuat pola (grand desain). Masih ragu kira-kira berjalan sampai berapa tahun PP ini. Selain itu, karena saling kejarkejaran kenapa tidak dibuat UU yang 1 saja terhadap das. Forum das juga sudah mencoba dalam skala kecil, caranya dengan menunjuk SKPD dengan metode kekeluargaan yang hal ini padahal sebenarnya tugas ada di 235 Makalah 2 : Geologi fulkan tua, dengan solum dalam. Bila diterapkan di geologi lain misal di cepu kurang berpengaruh. Makalah 3 : Rencana akan ditambah data mengenai puncakpuncak banjir yang lain. Makalah 1 : Saya sependapat, memang pejabat selalu mengklaim produk baru. Yang penting tinggal menyikapi dan implementasi. Lembaga meskipun banyak tapi yang penting fungsinya. Kalau tupoksinya baik idealnya hasilnya pun akan baik. Bappeda hanya sebagai fungsi strategis. Undang-undang yang tidak sinkron memang benar. NO NAMA DISKUSI bappeda. 7 Paimin Makalah 2 : Sebenarnya hutan itu yang bagus seperti apa? Sebaiknya Kemenhut meneliti terkait homogenitas tanaman, jangan-jangan karena homogennya jadi penyebab kurang air. Saran : Tolong yang disampaikan jangan hanya usulan kegiatan, namun masalah. Kalau itu sudah terjadi maka akan terwujud RPJM. Harus bisa menselaraskan antara alam dengan administrasi. Alami hanya alat untuk membuat analisis. Kita harus tahu bagamana menghubungkan (membangun komunikasi) tanpa konflik. PP 37 prosesnya tidak mandiri kehutanan tapi juga kementerian lain dan terasa di pasal-pasalnya. Misal di Kementerian PU. Makalah 2 : Hutan yang bagus yakni hutan campuran multi stratum, namun karena masalah ekonomi beberapa daerah jadi monokultur. Sesi II NO 1 NAMA Bowo (Kadin Hut Jateng) DISKUSI PERTANYAAN, SARAN TANGGAPAN DAN MASUKAN : Hasil penelitian harus bisa ditindaklanjuti dan disosialisasi-kan sehingga 236 NO NAMA DISKUSI lebih membumi. Makalah 4 : a) Data itu mahal, apa dengan data yang gratis validasinya dapat dipertanggungjawabkan (akurat)? b) Seberapa persen akurasinya kalau memang bisa? a) Bila melihat jurnal internasional, ada suatu web yg menunjukan bahwa banyak peneliti yang sudah menggunakan google earth sebagai sumber data citra. Selain itu google earth juga dapat digunakan untuk validasi. b) Caranya dengan melakukan groundcek. Perlu validasi dengan georeferencing agar selisih tidak terlalu besar. Makalah 5 : Kenapa tidak dengan kelompok tani yang sudah ada? Kan lebih baik menggunakan kelompok yang ada dengan menggunakan metode yang pelan-pelan dan diterima masyarakat. Makalah 5 : Memang sedang dilakukan dengan kelompok tani yang sudah ada. Makalah 6 : Apakah yang dilakukan di taman nasional di bali bisa direplika di jateng? Melihat kondisi hutan yg ada. Makalah 6 : Model yg sudah dipublis merupakan model universal, di TNBB model bersifat statis, untuk daerah yang lebih luas perlu model yang dinamis dengan mempertimbangkan faktor lain. 237 NO 2 NAMA Kabid Dinas Kehutanan Jateng 3 Supriyadi (Forum DAS) DISKUSI Makalah 5 : Sudah diinfokan Makalah 5 : Apakah sudah diinformasikan pada instansi terkait di daerah tersebut agar bisa ditindak lanjuti? Saran: a) Hindari kata-kata mungkin, atau banyak analisis kualitatif. b) Penelitian diarahkan kepada tren terkini. Makalah 4 : Bila data tersebut diperoleh secara tunda, perlu dipertimbangkan waktu apabila yang akan dianalisis merupakan lahan pertanian. 4 Kurniawan Sigit (univ brawijaya malang) Makalah 5 : Pembentukan kelembagaan berbasis konservasi rawan gagal karena ada 3 aspek lain yg perlu diperhatikan (menimbulkan sesat pikir) Makalah 4 : a) Data dem merupakan data permukaan, apabila dibikin lereng bisa rancu. Apakah ada algoritma tertentu untuk membuat itu? b) Usle untuk skala plot oke, tapi bila luas akan over estimate. Apa ada cara lain? 238 Makalah 4 : Salah satu caranya dengan pengecekan lapangan dan wawancara dengan penduduk setempat. Makalah 4 : a) Apakah ada algoritma belum diketahui secara pasti. b) Yang diukur tingkat land unit kemudian diambil rata-rata tertimbang. Hasil cukup mendekati, namun masih perlu validasi. NO 5. 6. 7. NAMA Giring (Mahasiswa UGM) Syamsudi (Pusdiklathut) Sunarto Gunadi DISKUSI Makalah 6: Makalah 6: a) Buffer jalan yang a) Buffering dilakukan dilakukan gimana? pada 1 jalan b) Validasi seperti apa b) Validasi dilakukan yang dilakukan? pada lokasi yang c) Groundcek, ada satelit pernah ada di TNBB yang bisa membaca c) Masukan diterima titik api. Makalah 4 : Bagaimana cara agar bisa meningkatkan akurasi Makalah 4 : Meningkatkan akurasi dengan menggunakan multiband spectral, bisa digunakan dengan subpixel klasifikasi. Makalah 6 : Apa ada pertimbangan untuk pemilihan lokasi Makalah 6 : Lokasi dipilih berdasarkan informasi kerawanan yang tinggi Penelitian makalah 5,6 mempelajari kasus. Mestinya ada beberapa tempat yang diteliti agar mendapat kesimpulan yg bisa dipakai oleh pengguna dari beberapa tempat. Membangun kelompok merupakan tugas seorang penyuluh, harapannya peneliti bisa meneliti dari banyak tempat. Makalah 6 : Formula itu awalnya pada hipotesis seperti apa? Apakah sama dengan model awal? 239 Makalah 6 : Model tersebut awalnya berawal dari turki, penulis mencari metode yang simple untuk mengembangkan model statis di taman nasional. Dari literature sebenarnya sangat NO NAMA DISKUSI banyak model untuk bisa digunakan, namun bergantung pada tujuan. Model yg rumit terkadang akurasi malah lebih rendah, sehingga digunakan model dengan akurasi yang lebih tinggi. SIDANG KOMISI II “Teknologi Pengelolaan DAS” Moderator : Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc Perumus : Agung Wahyu Nugroho, S.Hut, M.Sc Notulis : Wiwin Budiarti, S.Hut SESI I : 1. Makalah I Model Pengendalian Banjir Terpadu Berdasarkan Parameter Utama Penyebab Banjir di DAS Bengawan Solo Hulu (Alif Noor Anna) Tujuan : menganalisis pengaruh faktor utama penyebab banjir dan membuat model pengendalian banjir terpadu Hasil : 3 faktor penyebab banjir : kondisi iklim, perubahan tata guna lahan dan kondisi morfologi sungai Pengaruh iklim : pada bulan basah CH tinggi debit air tinggi Pengaruh alih fungsi lahan : hutan berkurang, kebun bertambah, pemukiman bertambah. Ada pergeseran alih fungsi hutan dari hutan ke lahan yang dibudidayakan (kebun dan pemukiman) 2,5x maksimal. Pengaruh dari besarnya alih fungsi lahan : debit akan meningkat Surakarta morfologi wilayah termasuk cekung Pelurusan Sungai Bengawan Solo Hulu menyebabkan laju air dan debit meningkat yang menyebabkan erosi tebing dan sedimentasi. Model pengendalian banjir yang dapat diterapkan berdasarkan parameter CH metode sumur resapan, metode river side polder, metode kolam konservasi, metode perlindungan air tanah dan metode biopori. 240 Model Pengendalian Banjir Terpadu dengan mengikutsertakan masyarakat (selaku pelaku utama) dan pemerintah (fasilitator) dalam upaya pengelolaan sumber daya air. 2. Makalah II. Evaluasi Pertumbuhan Sengon dan Jabon dalam Rehabilitasi Lahan Terdegradasi di Tlogowungu Pati (Heru Dwi Riyanto) Tujuan : mengevaluasi pemilihan jenis yang sesuai dalam upaya rehabilitasi lahan dan KTA berlereng. Metode : menerapkan 4 model RLKT kombinasi jenis tanaman Model A : Sengon Model B : Jabon Model C : campuran sengon dan jabon Kontrol Hasil : Untuk parameter rata-rata pertumbuhan tinggi (riap tinggi) untuk jenis tanaman Sengon lebih bagus daripada Jabon Untuk parameter rata-rata pertumbuhan diameter (riap diameter) untuk jenis tanaman Sengon lebih bagus daripada Jabon Persen hidup sengon lebih tinggi (88 %) daripada jabon (74 %) 3. Makalah III. Penggunaan Air oleh Tanaman (crop water requirements) Beberapa Jenis Pohon Cepat Tumbuh (Agung B. Supangat) Tujuan : mengetahui besarnya penggunaan air oleh tanaman dari beberapa jenis spesies cepat tumbuh di Indonesia. Manfaat : untuk pemilihan jenis dan perencanaan pengelolaan tanaman Metode : 6 jenis tanaman yang diteliti (Sengon, Mahoni, Akasia, Nyamplung, Ekaliptus dan Kayu Putih). Menggunakan instrument plot lisimeter. 3 faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi : faktor iklim, faktor tanaman dan faktor tanah (edafis). Hasil : Nilai ET tahunan rata-rata tertinggi jenis tanaman Ekaliptus (1.450 mm/ 59,7 %) terendah Nyamplung (497 mm/ 25 %). Jenis tanaman yang sama jikan ditanam ditempat yang berbeda karakteristik Keberadaan kondisi tanaman bawah ikut berpengaruh terhadap nilai ET. 241 DISKUSI : No Nama Diskusi 1. Drs. Ugro H M, M.Si a. Banjir di DAS Solo, ada 2 parameter alami dan manajemen. Beberapa parameter belum disinggung diantaranya parameter tentang morfometri DAS (bulat vs memanjang) waktu mencapai puncak lebih cepat dibanding DAS memanjang. Pola aliran . bagaimana kondisi morfometri DAS di Bengawan solo ? 2. Dr. Evi Irawan a. UMS permodelan tentang pengendalian banjir di DAS Solo seperti apa belum terlihat, faktor kependudukan (termasuk sebaran penduduk, growth) belum disampaikan apakah berpengaruh terhadap banjir itu sendiri. Untuk naturalisasi sungai perlu melihat kondisi ekologis sungai. Terkait partisipasi dalam PDAS yang seperti apa apakah bentuk partisipasinya representative atau di atau dalam tataran desa b. Heru untuk kasus di Pati tergantung kondisi lahan, introduksi teknologi agroforestry yang seperti apa yang pelu dipaparkan untuk lahan yang sempit sehingga stabilitas keluarga di sekitar lahan tersebut masih bertahan 3. Sukirno, Fapertan a. Agung bagaimana merubah satuan % UGM kedalam mm b. Hasil penelitian bagus, perlu masukan nilai ET sangat tergantung pada lingkungan, ETO, indeks tanaman (KC), dan status lengasnya (KS), dalam penelitian ini KS adalah CH. Penelitian ini sangat bermanfaat apabila bisa menetapkan nilai KC dari masingmasing tanaman yang tidak berubah hanya tergantung jenis dan umur. Kalau nilai KC sudah ketemu maka akan mudah untuk menentukan standar ETO dan KS. c. UMS intensitas CH dengan hidrograf dari sungai tersebut sehingga lebih mudah untuk menggambarkan kondisi banjir 4. Amin Nugroho, a. UMS data citra satelit yang ditampilkan BPBD Jateng (th 1998 – 2002) perubahan alih guna lahan 242 No Nama b. c. 5. UMS a. b. c. Diskusi sangat signifikan. Apakah dari citra tersebut hasil mendekati sama kondisinya dengan th 2013. Mana model yang paling unggul ? Apakah metode pengendalian banjir yang dihasilkan relevan untuk diterapkan di Waduk Wonogiri ? Model pengendalian banjir dengan keterlibatan masyarakat contoh yang seperti apa ? Ugro, Sukirno lebih berkonsentrasi pada banjir di atas rata-rata. Morfometri DAS sangat berpengaruh termasuk kapasitas air, dan pola aliran. Penelitian lingkup luas sehingga tidak menghitung morfometri DAS, lebih berkonsentrasi potensi aliran permukaan, sehingga yang diteliti ada 3 parameter, CH, tekstur tanah dan perubahan penggunaan lahan. Kalau ditambah lagi dengan bentuk hidrograf akan sangat luas lagi, tetapi disini cukup menampilkan trend debit terhadap curah hujannya. Nugroho, Evi penelitian sudah dilakukan sebelumnya dimana landsat 2013 belum ada, jadi menggunakan landsat 2002, tentunya kalau 2013 perubahan penggunaan lahan lebih signifikan. Tahun ini sudah dilakukan lagi menggunakan ikonos lebih detail lagi. Model pengendalian masih bersifat konseptual/ referensi, belum membuat demplot sehingga mana model yang paling unggul belum bisa ditetapkan. Dalam penentuan model pengendalian banjir yang sesuai perlu melihat morfometri/karakter sungai, topografi dan tanah dimana aspek tersebut sangat berpengaruh terhadap model yang akan diterapkan. Evi kependudukan sangat penting, bagaimana tekanan penduduk terhadap kondisi lahan, belum masuk kesana. Pendekatan menggunakan luasan pemukiman. Partisipasi yang konkret adalah 243 No Nama 6. Heru D R a. 7. Agung B S a. 8. Ibu NN a. b. 9. Rahardyan N. A. a. b. 10. Dishutbun Wonogiri a. b. Diskusi yang timbul dari masyarakat itu sendiri melalui FGD dengan didukung oleh pemerintah sebagai fasilitator. Evi model agroforestry yang seperti apa yang cocok untuk diterapkan ? Tidak mudah untuk menggabungkan kegiatan teknis dan sosial secara bersam-sama dengan hasil yang sama-sama besar. Mencoba dengan membagi space lahan yang agak luas dengan jartan 5x5 m2 dengan jenis tanaman fast wood dengan mengembangkan tanaman pertanian misalnya tanaman bawah untuk pakan ternak (konsep tebang butuh). Sukirno prinsip perhitungan untuk pengukuran evapotranspirasi menggunakan plot lisimeter dengan perhitungan detil mm/tahun. Indeks tanaman (KC) setuju, pada penelitian ini belum ada penelitian masih berlanjut, nantinya akan ditentukan KC. Heru pemanfaatan lahan dibawah tegakan untuk mengakomodir kebutuhan petani, dengan penanaman empon-empon atau tanaman pertanian bernilai ekonomi tinggi misalnya Porang. Konsep tebang butuh tidak mengharapkan adanya kondisi tersebut. Sekarang ini untuk menghindari adanya tebang butuh ada pinjaman lunak. UMS dari ketiga itu sudah dibandingkan belum potensi banjir terbesar yang mana sehingga penanganan akan lebih difokuskan ke tempat yang berpotensi besar Agung Implementasi terhadap luasan yang lebih luas. Perlu ditelusur jumlah transpirasi dari tanaman seberapa besar ? UMS data yang dipakai s/d 2002, hasil apakah masih relevan dengan tahun sekarang. Heru Sifat karakteristik jabon dibanding sengon dari fungsi ekonomi, karakteristik kayu, hubungannya terhadap manfaat, dari fungsi ekologis ? 244 No 11. Nama UMS 12. Heru 13. Agung B S 14. Agus Tampubolon Diskusi a. b. c. a. < 40 % Klaten > 50 % Sragen, Madiun, Karanganyar Tadi sudah dijawab di atas. Pemanfaatan lahan sudah memberikan space untuk ditanami tanaman pertanian, salah satunya singkong. Konsep tebang butuh untuk aspek konservasi masih cocok untuk diterapkan (lereng miring) tetapi kalau untuk aspek produksi memang tidak cocok. a. Rahardyan akan dihitung nilai ET tertimbang. a. Model pengendalian banjir di DAS Solo Hulu merupakan kombinasi dari parameter CH, morfometri lahan dan perubahan alih guna lahan. Perlu model pengendalian terpadu dengan partisipasi masyarakat perlu lebih detil lagi b. Model agroforestry di HR lahan sempt perlu digali lagi untuk meningkatkan daya dukung DAS c. SESI II : 1. Makalah I. Kandungan Hara dan Tingkat Erosi pada Lahan Miring Bersolum Dangkal (Nining Wahyuningrum) Tujuan : memaparkan efek dari erosi dan penutupan lahan terhadap kesuburan tanah yang diwakili oleh kandungan unsur hara esensial yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh secara normal unsur N, C org (BO), P, K, kapasitas pertukaran kattion (KPK) dan kejenuhan basa (KB). Lokasi : Sub DAS Keduang, Wonogiri Analisis data parameter sifat fisik dan kimia tanah. Prediksi erosi menggunakan rumus USLE. Hasil : Meskipun didominasi oleh lereng terjal, erosi yang terjadi di lokasi penelitian masih pada taraf sangat ringan – ringan (> 50%). Hal ini disebabkan oleh jenis penutupan lahan yang berupa hutan jati dan gamal yang mempunyai nilai C rendah. Tingkat erosi ringan mempengaruhi kandungan P dan K dengan memberikan nilai rendah – sangat rendah. Sedangkan untuk N, C organik, KTK dan KB tidak begitu berpengaruh karena ada pada tingkat sedang-tinggi-sangat tinggi. 245 2. Makalah II. Identifikasi Karakteristik Morfometri DAS dengan Menggunakan Teknologi PJ dan SIG (Agus Wuryanta) Tujuan : untuk menghitung dan menentukan morfometri DAS (bentuk DAS, kerapatan drainase, pola aliran, dan kelerengan wilayah DAS) dan penutupan penggunaan lahan pada DAS Musi. Lokasi DAS Musi mencakup 4 provinsi (Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Lampung), 14 Sub DAS. Citra digital : citra landsat 5 TM (thematic mapper) Hasil : a. Kelerengan DAS Musi hampir > 80% kelerengan datar. b. Bentuk DAS secara keseluruhan DAS Musi memanjang. Hanya 2 Sub DAS yaitu Sub DAS Kikin dan Sub DAS Deras bentuk DAS membulat. Bentuk DAS membulat hidrograf tinggi daerah potensi banjir, sedangkan memanjang hidrograf landai sehingga daerah berpotensi banjir, tetapi faktor tidak berdiri sendiri masih dipengaruhi faktor2 yang lain. c. Kerapatan aliran tingkat kerapatan DAS Musi sangat jarang. d. Penutupan/Penggunaan Lahan luas keseluruhan di DAS Musi (hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder dan hutan tanaman) masih kurang dari 30 %. 3. Makalah III. Kajian Unsur Hara Tanah pada Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) di Pantai berpasir Petanahan Kebumen (Beni Harjadi) Tujuan : mengkaji status unsur hara tanah pada lahan berpasir yang telah ditanami cemara laut. Lokasi Ds. Karanggadung, Kec. Petanahan, Kab. Kebumen. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada 3 tipe penggunaan lahan : pasir terbuka, dibawah tegakan cemara laut dan dibawah tegakan tanaman semusim Hasil : a. Secara berurutan status unsur hara tanah DISKUSI : No Nama 1. Alif, Fakultas Geografi, UMS Diskusi a. Nining Perbedaan kandungan unsur hara dari setiap satuan lahan belum terlihat ?. dari informasi tersebut bisa untuk mengidentifikasi tingkat erosi. Pengaruh perbedaan solum terhadap besarnya nilai erosi. 246 No Nama b. c. 2. Budi, Dishutbun a. Sragen b. 3. Edi S a. b. 4. Nining a. Diskusi Agus hasil merupakan database yang sangat penting. Terkait hasil penutupan lahan akan lebih baik jika mengklasifikasikan lahan ke satuan terkecil (Sub DAS). Beny satuan wilayah yang digunakan (berbentuk segiempat) apakah berdasarkan letak geografisnya bukan geomorfologisnya ? Agus DAS Musi memiliki tingkat kerapatan sangat jarang, masukan di kesimpulan ditambahkan deskripsi disebabkan apa dan impact seperti apa ?. GIS yang digunakan tidak nampak agar ditampakkan? Beny kondisi hujan mengapa harus disirami ? Nining antara judul, tujuan dan kesimpulan belum nyambung. Hal 139. Nilai C pada UT 4 dan 5 lebih kecil daripada UT 1, apakah ini memang demikian atau penulisan terbalik. Kesimpulan : erosi yang terjadi ringan – sangat ringan apakah benar demikian sedangkan kalau dilihat dari lokasi penelitian memang sedikit tanah. Nilai erosi yang ditetapkan apakah sudah menghitung solum tanahnya ? Beny di kesimpulan antara di 3 penggunaan lahan kandungan unsur hara berbeda nyata, sedangkan pada table 1 tidak berbeda nyata mohon dijelaskan ?. apakah sudah memasukkan input unsur hara/pupuk ? Alif (UMS) pada hal. 148 sudah dijelaskan ada 17 jenis satuan penggunaan lahan (SPL), hanya tidak didetailkan lagi, tetapi cukup memakai penggunaan lahan. Asumsi solum tipis pasti tidak subur dan erosi besar, tetapi tidak terbukti di lokasi kajian. Hal ini bisa disebabkan karena tekstur tanah di lokasi kajian sandyloam (geluh pasiran) selain itu juga adanya kerikil permukaan sehingga menghambat pergerakan tanah. 247 No 5. 6. 7. 8. 9. 10. Nama Diskusi b. Edi judul berdasarkan DRI sudah oke. Berdasarkan prediksi dan kenampakan visual memang nilai erosi rendah. Agus a. Alif (UMS) tidak perlu mengklasifikasi per Sub DAS, dan luasan yang digunakan cukup kecil, kalau diklasifikasi per Sub DAS dan di zoom akan pecah. b. Budi kerapatan aliran dampaknya terhadap surface runoff, kerapatan jarang porositas tinggi, nanti akan disampaikan di kesimpulan. GIS Beny a. Alif (UMS) pantai bentuk segiempat, maksudnya itu demplot yang diambil untuk kajian penelitian ditarik 100m dari garis pantai tertinggi. b. Budi c. Edi di kesimpulan yang berbeda nyata hanya PH dan C, sedangkan NPK tidak berbeda nyata. Sukirno (BPBD a. Nining unsur apa yang menyebabkan Jateng) erosinya rendah. b. Beny mengapa air di pantai itu tawar, karena BJ antara air asin lebih rendah dari air tawar. Belum ada informasi mengani pengelolaan tanaman semusim ? manajemen sangat berpengaruh tidak semata-mata karena adanya penanaman cemara laut. Amin Nugroho a. Bentuk DAS Musi memanjang, tampak petas DAS Musi membulat ? Nining a. Sukirno hal 138, terlihat bahwa UT6 tidak ada tanamannya. Agus a. Perbandingan antara luas dengan keliling kuadrat mendekati satu dikatakan bulat, tetapi kalau < 0,5 dikatakan memanjang. Penetuan secara kualitatif bukan subyektif. 248 PLENO PRESENTASI SUMMARY HASIL SIDANG KOMISI : Diskusi : No Nama Diskusi 1. Komisi II tidak hanya jenis vegetasi tetapi unsur2 iklim juga menjadi faktor penentu 2. Kurniawan Komisi I dalam menentukan batas DAS Sigit_Unibraw apakah penyiapan bahan sudah benar menurut PP37 pasal 6 termasuk citra satelit yang digunakan; aplikasi luas lahan optimal minimal luas 30 %. 3. Paimin Dalam PP37 tidak merinci sedetil itu. 30 % mandate UU41 hanya minimal 30 %, tidak menghitung kelas kemampuan lahan maupun slope, silahkan kalau untuk mengkaji terhadap faktor tersebut. 4. Syamsudi Tindak lanjut agar ada suatu titik yang bisa memberikan suatu rekomendasi teknologi yang sudah dikaji secara memadai oleh litbang, karena hasil penelitian arahnya akan menjadi bahan kebijakan yang nantinya akan menjadi petunjuk operasional. Teknologi siap pakai/ pemanfaatan hasil penelitian. 5. Adi Susmianto BPTKPDAS sudah cukup baik dalam menderiver hasil penelitian Dirjen BPDAS PS sebagai salah satu pengguna utama dari hasil litbang BPTKPDAS. 6. Adi Susmianto DAS Solo belum sehat Penggunaan IT (PJ dan SIG) diperlukan dalam PDAS Kelembagaan PDAS Rekomendasi perlu tindak lanjut sosialisasi, publikasi melalui media internet, TV, dll 7. Tri Wilaida Rumusan poin 8 dan 9 kurang pas untuk dicantumkan Sosialisasi sudah menjadi penekanan di Badan Litbang Kehutanan 8. Sudarso Menambahi terkait pertanyaan dari Bp. Kurniawan Sigit (Unibraw) dalam PP37/2012 terkait penentuan penyiapan penentuan batas DAS dalam penjelasan pasal 6 secara detil sudah dijelaskan. 9. Adi Susmianto Wrap Up : Tujuan dari seminar, adanya feedbad 249 No Nama Diskusi Yang melakukan kajian tentang DAS bukan hanya BPTKPDAS Solo, ada PT, instansi PU, Perairan, dll, adakah forum yang melakukan sintesa terhadap hasil2 riset terkait PDAS. Hal itu sangat perlu untuk mengetahui adanya Gap dari berbagai sector. Dengan ditemukannya GAP terkait PDAS maka tentunya bisa untuk menjadi dasar penentuan penelitian kedepan (penelitian bisa untuk menjawab GAP) ? Perlu dilakukan evaluasi, implementasi atas penerapan IPTEK yang dihasilkan, baik riset yang dilakukan oleh litbang maupun PT dan instansi lain ? tidak punya hak untuk memaksa pengguna/petani menerapkan hasil riset. DAS mikro apakah sudah ada lokasi demplot DAS mikro ? Mohon untuk DAS mikro bisa untuk mengcover dari hulu s/d ke hilir. Persoalan sosial PDAS yang sulit adalah persoalan sosial. 250