4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Daging Lumat Ikan layaran yang akan diolah telah dilakukan uji organoleptik terlebih dahulu untuk melihat tingkat kesegarannya. Uji organoleptik merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu ikan hidup dan produk perikanan yang segar utuh. Ikan layaran yang digunakan memiliki ciri-ciri bola mata agak cekung, pupil berubah keabuabuan dan kornea agak keruh, insang mulai ada diskolorisasi, merah kecoklatan, sedikit lendir dan tanpa lendir, lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih dan kurang transparan, sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifikasi jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang dan dinding perut daging utuh, bau ikan netral, serta tekstur agak padat, agak elastik bila ditekan dengan jari dan sulit menyobek daging dari tulang belakang. Bau netral dan tekstur daging agak padat, agak elastik bila ditekan dengan jari, sulit menyobek tulang daging dari belakang. Selanjutnya, dilakukan preparasi, dipisahkan antara daging, tulang dan jeroan serta benda asing lainnya. Daging dilumatkan dengan grender hingga menjadi daging lumat. Satu ekor ikan layaran dengan berat 20 kg setelah dipreparasi terdiri dari insang 2,36%, tulang 9,25%, sirip 5,09%, kepala 5,68%, kulit 8,23%, jeroan 7,62%, daging samping 14,63% dan daging 44,49%. Rendemen bagian-bagian tubuh dari ikan layaran disajikan dalam diagram lingkaran pada Gambar 8. 14.63% 2.65% 44.49% 7.62% 8.23% 5.68% 5.09% 9.25% 2.36% Daging Insang Tulang Sirip Kepala Kulit Jeroan Daging samping Lainālain Gambar 8 Rendemen bagian-bagian tubuh ikan layaran (Istiophorus sp.) 31 Dilakukan uji proksimat terhadap daging lumat untuk melihat komposisi kimia daging ikan layaran. Nilai komposisi kimia daging lumat ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi kimia daging lumat ikan layaran Parameter (%) Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat Daging lumat 79,10±0,25 1,09±0,15 12,43±0,02 0,39±0,02 6,98±0,39 Berdasarkan hasil uji proksimat daging lumat ikan layaran yaitu kadar air sebesar 79,10%, kadar air ini tinggi. Kandungan air semua bahan makanan berbeda-beda dan menentukan acceptability, kesegaran serta daya tahan bahan itu. Banyaknya air dalam suatu bahan tidak dapat ditentukan dari keadaan fisik bahan tersebut (Winarno 2008). Kadar abu sebesar 1,09%, kadar abu ini rendah. Kadar abu berasal dari kandungan mineral yang terdapat pada ikan tersebut. Kadar abu daging berhubungan erat dengan kadar air dan kadar protein pada suatu jaringan bebas lemak. Kadar protein sebesar 12,43%, kadar ini cukup tinggi, sedangkan kadar lemak sebesar 0,39%, kadar ini sangat rendah. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang terbaik (Almatsier 2006). Kandungan protein erat sekali kaitannya dengan kandungan lemak dan airnya. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam jumlah besar (Adawyah 2008). Apabila kandungan lemak pada ikan kurang dari 2% maka ikan tersebut termasuk dalam golongan leng (golongan ikan tidak berlemak) (Shahidi dan Botta 1994). Kadar karbohidrat sebesar 6,98%, kadar ini rendah karena bahan makanan seperti ikan sedikit mengandung karbohidrat (Almatsier 2006). Kadar karbohidrat diperoleh dengan cara perhitungan kasar atau Carbohydrate by Difference yang berarti kandungan karbohidrat termasuk serat kasar bukan melalui analisis tetapi melalui perhitungan (Winarno 2008). 32 4.2 Pembuatan Surimi Surimi yang digunakan untuk membuat gel dan bakso terbuat dari daging lumat sebanyak 4 kg. Surimi diproses dengan frekuensi pencucian dua kali. Proses pencucian kedua dilakukan dengan menambahkan garam sebanyak 0,3% untuk melarutkan protein miofibril dan membentuk sol aktomiosin (Astawan et al. 1996). Pencucian dilakukan menggunakan air dengan perbandingan daging lumat dan air 1:3. Air yang digunakan yaitu air mineral bermerk yang ada dipasaran. Kadar air adalah jumlah molekul air tidak terikat yang terkandung dalam suatu produk. Total surimi yang dihasilkan yaitu sebanyak 2,480 kg. Surimi yang dihasilkan kemudian diuji kadar airnya. Kadar air surimi ikan layaran yaitu sebesar 76,24%. Kadar air ini lebih rendah daripada kadar air ketika dalam bentuk daging lumat. Hal ini dikarenakan pada proses pembuatan surimi dilakukan pengepresan untuk menghilangkan air. Kadar air yang terdapat pada surimi akan mempengaruhi kekuatan gel yang dihasilkan, pH, sejumlah garam yang ditambahkan, waktu dan proses pemanasan (Utomo et al. 2004). 4.3 Rendemen Rendemen dari suatu ikan merupakan rasio berat antara daging dengan berat ikan utuh. Perhitungan rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa banyaknya bagian dari tubuh ikan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan (Hadiwiiyoto 1993). Rendemen yang dianalisis meliputi rendemen daging dan rendemen surimi. Rendemen daging lumat yang dihasilkan yaitu sebesar 8.898 kg dari berat ikan utuh sebesar 20 kg. Bobot akhir surimi yang dihasilkan yaitu sebesar 2,480 kg dari 4 kg daging lumat. Nilai rendemen surimi dengan frekuensi pencucian dua kali yaitu sebesar 62%. Nilai rendemen surimi ikan layaran ini semakin menurun dengan semakin banyaknya frekuensi pencucian yang dilakukan. Setelah mengalami poses pencucian maka akan menyebabkan semakin berkurangnya rendemen karena semakin banyak komponen yang akan terlarut bersama air, antara lain protein larut air, pigmen, lemak dan darah (Venugopal et al. 1994). Semakin besar rendemen maka semakin tinggi pula nilai ekonomis bahan tersebut. 33 4.4 Pembuatan Gel Ikan Layaran (Istiophorus sp.) Pembuatan gel ikan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisik dan kimia dari ikan layaran yang terbuat dari surimi dengan frekuensi pencucian dua kali. Analisis yang dilakukan terhadap gel ikan yaitu analisis karakteristik fisik yaitu analisis sensori, uji lipat, uji gigit, derajat putih, kekuatan gel dan WHC (Water Holding Capacity) serta analisis karakteristik kimia yaitu analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu dan karbohidrat) dan PLG (protein larut garam). 4.4.1 Karakteristik sensori Analisis sensori dalam penelitian ini yaitu uji kesukaan (hedonik) yang merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Metode uji ini digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap produk menggunakan lembar penilaian. Pada uji ini, panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan pribadinya mengenai kesukaan atau ketidaksukaan, serta mengemukakan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan (Rahayu 2001). Nilai rata-rata hasil uji hedonik gel ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai rata-rata uji hedonik gel ikan layaran (Istiophorus sp.) Parameter Warna Penampakan Rasa Tekstur Aroma Gel ikan (rata-rata) 6 6 5 6 5 Berdasarkan hasil uji hedonik gel ikan layaran dapat diketahui bahwa nilai rata-rata untuk parameter warna, penampakan dan tekstur yaitu sebesar 6 yang berarti panelis agak suka, sedangkan parameter rasa dan aroma sebesar 5, hal ini berarti gel ikan memiliki rasa dan aroma yang netral menurut pendapat panelis. 4.4.1.1 Warna Warna mempunyai arti dan peranan yang sangat penting pada komoditas pangan dan hasil pertanian lainnya. Peranan itu sangat nyata pada 34 tiga hal yaitu daya tarik, tanda pengenal dan atribut mutu. Diantara sifat-sifat produk pangan yang paling menarik perhatian pada konsumen dan paling cepat pula memberi kesan disukai atau tidak adalah sifat warna (Soekarto 1990). Rata-rata hasil uji hedonik gel ikan untuk parameter warna yaitu sebesar 6 yang berarti panelis agak suka terhadap warna yang dihasilkan. Warna yang dihasilkan oleh gel ikan diduga dipengaruhi oleh surimi yang digunakan diproses dengan frekuensi pencucian dua kali sehingga bahan-bahan larut air, lemak dan darah akan hilang. Menurut Suzuki (1981), semakin banyak frekuensi pencucian yang dilakukan, zat-zat yang terlarut tersebut semakin banyak dan mengakibatkan warna surimi akan semakin bersih dan disukai panelis. 4.4.1.2 Penampakan Penampakan produk memegang peranan penting dalam hal penerimaan konsumen karena penilaian awal dari suatu produk adalah penampakannya sebelum faktor lain dipertimbangkan. Meskipun penampakan tidak menggunakan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak tetapi penampakan mempengaruhi penerimaan konsumen (Soekarto 1985). Penampak gel ikan layaran dengan menggunakan surimi frekuensi pencucian dua kali memiliki nilai rata-rata parameter penampakan sebesar 6, hal ini berarti bahwa panelis agak suka terhadap penampakan gel ikan. Penampakan ini diduga dipengaruhi oleh surimi yang digunakan. Frekuensi pencucian pada pembuatan surimi dapat meningkatkan kemampuan daging untuk membentuk gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin serta berkurangnya protein sarkoplasma yang menghambat pembentukan gel (Lee 1984). 4.4.1.3 Rasa Rasa merupakan faktor yang sangat menentukan suatu produk dapat diterima atau tidak oleh konsumen. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain (Winarno 2008). Nilai rata-rata rasa gel ikan yaitu sebesar 5, hal ini berarti panelis berpendapat bahwa rasa gel ikan tersebut netral. Rasa yang dihasilkan dari gel ikan diduga dipengaruhi oleh penambahan garam 35 sebesar 2,5% (b/b) serta dipengaruhi oleh frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi. Frekuensi pencucian ketika pembuatan surimi adalah untuk menghilangkan bahan-bahan larut air, lemak dan darah sehingga memperbaiki flavor (Toyoda et al. 1992). 4.4.1.4 Tekstur Tekstur adalah penginderaan yang dihubungkan dengan rabaan atau sentuhan. Tekstur merupakan karakteristik yang sangat penting bagi produk gel ikan karena sifat elastisitas dan kekenyalannya. Tekstur meliputi keras, halus, kasar, berminyak, dan lembab (Soekarto 1985). Nilai rata-rata tekstur gel ikan yaitu sebesar 6, hal ini berarti bahwa panelis agak suka terhadap tekstur gel ikan yang dihasilkan. Tekstur gel ikan yang dihasilkan diduga dipengaruhi oleh frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi. Pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel. Frekuensi pencucian dua kali dapat menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel dan melarutkan protein miofibril sehingga membentuk sol aktomiosin (Astawan et al. 1996). 4.4.1.5 Aroma Aroma makanan dalam banyak hal menentukan enak atau tidak enaknya makanan, bahkan aroma atau bau-bauan lebih kompleks dari pada rasa dan kepekaan indera pembauan biasanya lebih tinggi dari indera pencicipan, bahkan industri pangan menganggap sangat penting terhadap uji bau karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian apakah produk disukai atau tidak (Soekarto 1985). Nilai rata-rata aroma gel ikan yaitu sebesar 5, hal ini berarti bahwa aroma gel ikan yang dihasilkan menurut panelis yaitu netral. Pada proses pembuatan gel ikan hanya ditambahkan garam, sehingga diduga aroma yang dihasilkan dipengaruhi oleh proses pencucian surimi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muhibuddin (2010), bahwa pada proses pencucian surimi dapat meningkatkan kualitas aroma. 36 4.4.2 Karakteristik fisik Gel ikan yang telah dihasilkan kemudian dilakukan analisis fisik yaitu uji lipat (folding test), uji gigit (teeth cutting test), derajat putih, kekuatan gel dan WHC (Water Holding Capacity). Hasil uji karakteristik fisik gel ikan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil uji karakteristik fisik gel ikan layaran (Istiophorus sp.) Parameter Uji lipat Uji gigit Derajat putih (%) Kekuatan gel (gf) Water Holding Capacity (WHC) (%) Gel ikan 3 8 66,26±0,43 2624,90±72,83 75,20±0,30 Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui nilai uji karakteristik fisik gel ikan layaran. Nilai rata-rata uji lipat gel ikan layaran yaitu 3, nilai rata-rata uji gigit sebesar 8, derajat putih 66,26%, kekuatan gel sebesar 2624,90 gf dan nilai WHC sebesar 75,20%. 4.4.2.1 Uji lipat Uji lipat dilakukan terhadap produk untuk mengetahui kualitas gel dengan menggunakan panelis melalui uji sensori. Uji lipat cocok untuk membedakan gel yang bermutu tinggi dan bermutu rendah, tetapi tidak bisa membedakan antara gel yang bermutu baik dan bermutu sangat baik (Lanier 1992). Rata-rata nilai uji lipat gel ikan yaitu 3, hal ini berarti gel ikan sedikit retak bila dilipat satu kali. Uji lipat gel ikan ini diduga dipengaruhi oleh proses pencucian yang dapat meningkatkan kekuatan gel dengan semakin pekatnya protein miofibril. Semakin baik hasil uji lipat (makin sukar retak), maka mutu gel ikan yang dihasilkan pun semakin baik (Santoso et al. 1997). 4.4.2.2 Uji gigit Uji gigit merupakan uji untuk mengukur tingkat elastisitas atau kelentingan dari gel. Rata-rata nilai uji gigit dari gel ikan yaitu sebesar 8 dengan spesifikasi kuat. Hal ini diduga dipengaruhi oleh proses pencucian yang dapat meningkatkan kekuatan gel sehingga berpengaruh terhadap nilai 37 uji gigit. Pembentukan gel atau gelasi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain konsentrasi, pH, adanya komponen lain serta perlakuan panas ketika pemasakan (Yulianti 2003). 4.4.2.3 Derajat putih Semakin besar nilai derajat putih yang diperoleh maka warna yang dihasilkan semakin mendekati standar. Derajat putih gel ikan yang dihasilkan yaitu sebesar 66,26%. Hal ini diduga dipengaruhi oleh frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi. Semakin banyak frekuensi pencucian maka semakin banyak pula komponen yang akan terlarut bersama air antara lain protein sarkoplasma, pigmen, lemak dan darah (Reynolds et al. 2002). 4.4.2.4 Kekuatan gel Kekuatan gel merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Umumnya dilakukan pada bahan pangan untuk mengetahui tingkat gelasi produk tersebut. Nilai kekuatan gel ikan yaitu sebesar 2624,90 gram force (gf). Hal ini diduga dipengaruhi oleh frekuensi pencucian dua kali yang memberikan pengaruh terhadap kekuatan gel ikan. Secara umum kekuatan gel akan meningkat sampai dengan pencucian ke dua karena fungsi dari konsentrasi protein miofibril sudah tercapai pada level tertingginya sehingga proses pencucian selanjutnya tidak diperlukan untuk meningkatkan kekuatan gel surimi (Toyoda et al. 1992). 4.4.2.5 Water Holding Capacity (WHC) Water Holding Capacity merupakan suatu nilai yang menunjukan kemampuan protein daging untuk mengikat air atau cairan baik yang berasal dari dirinya maupun yang berasal dari luar yang ditambahkan. Gel ikan memiliki nilai WHC sebesar 75,20%. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kandungan protein karena semakin meningkatnya kandungan protein maka akan semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC pun menigkat. WHC sangat dipengaruhi oleh kandungan air, protein dan penggunaan garam (Kramlich 1971). 38 4.4.3 Karakteristik kimia Tiap-tiap komoditas dibangun dari senyawa kimia. Zat-zat kimia yang menyusun komoditas pangan dan hasil pertanian dapat digolongkan pada komponen makro (penyusun utama) dan komponen mikro (penyusun atau kandungan zat renik). Komponen makro merupakan zat-zat kimia struktural yang terdiri dari zat-zat bermolekul besar yang menyusun bentuk sel atau zat penyusun utama dari produk pangan. Komposisi kimia dari suatu produk pangan segar maupun olahan yaitu komponen kimia alami serta jumlahnya yang terkandung didalamnya. Gel ikan yang telah dihasilkan kemudian dilakukan analisis karakteristik kimia yaitu analisis proksimat dan protein larut garam (PLG). Nilai komposisi kimia dan protein larut garam pada gel ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Nilai komposisi kimia dan protein larut garam gel ikan Parameter (%) Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat Protein larut garam Gel ikan 72,25±0,20 2,59±0,01 14,74±0,00 0,59±0,01 9,81±0,20 2,79±0,03 Berdasarkan analisis proksimat dapat diketahui bahwa gel ikan memiliki kadar air sebesar 72,25%, kadar abu 2,59%, kadar protein 14,74%, kadar lemak 0,59% dan kadar karbohidrat sebesar 9,81%. Selain itu juga dilakukan analisis protein larut garam yang bernilai 2,79%. 4.4.3.1 Analisis proksimat Analisis proksimat yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. 1) Kadar air Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan kita. Semua bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda, baik itu bahan makanan hewani maupun nabati (Winarno 2008). Kadar air 39 dari gel ikan yaitu sebesar 72,25%. Kadar air ini mengalami penurunan setelah diolah menjadi gel ikan. Kadar air pada gel ikan diduga dipengaruhi oleh proses pemasakan dengan menggunakan suhu tinggi sehingga air dalam bahan menguap. 2) Kadar abu Abu merupakan zat anorganik yang tidak terbakar. Abu yang terbentuk berwarna abu-abu, berpartikel halus dan mudah dilarutkan (Winarno 2008). Kadar abu dari gel ikan yaitu sebesar 2,59%. Pada pembuatan gel ikan tidak ditambahkan bahan-bahan lain, diduga kadar abu gel berasal dari kandungan mineral makro atau zat organik pada ikan yang digunakan (Winarno 2008). Kadar abu yang rendah dipengaruhi oleh frekuensi pencucian karena menyebabkan bahan-bahan inorganik menghilang. 3) Kadar protein Protein ikan merupakan komponen terbesar setelah air dan merupakan bagian yang sama pentingnya untuk tubuh. Kadar protein dari gel ikan sebesar 14,74%. Protein gel ikan tinggi, hal ini diduga dipengaruhi oleh bahan baku serta menurunnya kadar air yang menyebabkan kadar lainnya meningkat yaitu protein. Kandungan protein erat sekali kaitannya dengan kandungan lemak dan airnya (Adawyah 2008). Bahan makanan hewani kaya akan protein bermutu tinggi (Almatsier 2006). 4) Kadar lemak Kadar lemak dari gel ikan yaitu sebesar 0,59%, kandungan lemak ini rendah. Kadar lemak pada gel diduga dipengaruhi oleh kadar lemak bahan baku yang digunakan mengandung lemak rendah serta faktor pencucian pada proses pembuatan surimi yang dapat menghilangkan bahan-bahan larut air, lemak dan darah (Toyoda et al. 1992). 5) Kadar karbohidrat (by difference) Perhitungan Carbohydrate by Difference adalah penentuan karbohidrat dalam bahan makanan secara kasar dan hasilnya ini biasanya dicantumkan dalam daftar komposisi bahan makanan (Winarno 2008). 40 Kadar karbohidrat diperoleh dengan menghitung selisih dari empat komponen yaitu kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar protein. Kadar karbohidrat gel ikan yaitu sebesar 9,81%, kadar karbohidrat ini termasuk rendah. Bahan makanan seperti ikan sedikit mengandung karbohidrat (Almatsier 2006). 4.4.3.2 Protein larut garam (PLG) Protein larut garam ini bertanggung jawab terhadap kualitas surimi dalam membentuk struktur tiga dimensi gel. Kadar PLG gel ikan yaitu sebesar 2,79%, kandungan PLG gel ikan diduga dipengaruhi oleh surimi yang dengan frekuensi pencucian dua kali yang digunakan. Semakin banyak frekuensi pencucian akan menurunkan protein larut garam pada surimi tersebut (Toyoda et al. 1992). 4.5 Pembuatan Bakso Ikan Layaran (Istiophorus sp.) Bakso ikan yang dihasilkan terbuat dari surimi dengan frekuensi pencucian dua kali, kemudian dilakukan analisis karakteristik sensori, fisik dan kimia terhadap bakso hasil penelitian, bakso merk X dan merk Y. Selanjutnya, dilakukan pembandingan terhadap bakso hasil penelitian, bakso komersial merk X dan merk Y. 4.5.1 Karakteristik sensori Pengujian sensori merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk perikanan yang sudah mengalami proses pengolahan. Pengujian sensori yang dilakukan bertujuan untuk menentukan kualitas produk atau bahan makanan yang telah tersedia. Parameter yang diuji yaitu meliputi parameter warna, rasa, aroma, tekstur dan penampakan. Mutu sensori pangan adalah sifat produk atau komoditas yang hanya dikenali atau dapat diukur dengan proses penginderaan yaitu penglihatan dengan mata, penciuman dengan hidung, pencicipan dengan rongga mulut, perabaan dengan ujung jari tangan atau pendengaran dengan telinga. Mutu organoleptik mempunyai peranan dan makna yang sangat besar dalam penilaian mutu produk (Soekarto 1990). Nilai rata-rata hasil uji hedonik bakso ikan hasil penelitian, bakso komersial merk X dan Y dapat dilihat pada Tabel 8. 41 Tabel 8 Nilai rata-rata hasil uji hedonik bakso ikan Parameter Warna Penampakan Rasa Tekstur Aroma Bakso hasil penelitian 6 6 5 5 6 Bakso komersial merk X 5 4 4 4 4 Bakso komersial merk Y 7 7 7 7 7 Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui nilai rata-rata hasil uji hedonik terhadap bakso ikan hasil penelitian, bakso ikan komersial merk X dan merk Y. Bakso ikan hasil penelitian memiliki nilai rata-rata 6 untuk parameter warna, penampakan dan aroma, sedangkan parameter rasa dan tekstur bernilai 5. Bakso ikan merk X memiliki nilai rata-rata 5 untuk parameter warna, sedangkan parameter penampakan, rasa, aroma dan tekstur bernilai rata-rata 4. Bakso ikan merk Y memiliki nilai rata-rata uji hedonik 7 untuk semua parameter. 4.5.1.1 Warna Warna mempunyai banyak arti dan peranan pada produk pangan, diantaranya sebagai perinci jenis, tanda-tanda pematangan buah, tanda-tanda kerusakan, petunjuk tingkat mutu, pedoman proses pengolahan dan masih banyak lagi peranannya (Soekarto 1990). Berdasarkan hasil uji hedonik dapat diketahui bahwa rata-rata penilaian panelis terhadap warna bakso hasil penelitian yaitu 6 yang berarti panelis agak suka terhadap warna bakso, sedangkan nilai rata-rata terhadap warna bakso merk X sebesar 5 yang berarti warna bakso netral menurut panelis dan bakso merk Y sebesar 7 yang berarti panelis suka terhadap warna bakso. Kriteria warna bakso ikan yaitu putih merata tanpa warna asing lain (Wibowo 1995). Bakso hasil penelitian ini berwarna putih tanpa warna asing lainnya, normal dan tidak menggunakan bahan pewarna alami maupun sintetik, diduga warna bakso ikan yang dihasilkan dipengaruhi oleh frekuensi pencucian pada surimi yang digunakan. Warna bakso hasil penelitian telah sesuai dengan syarat mutu bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995. Nilai 42 rata-rata uji hedonik warna bakso hasil penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan bakso komersial merk X, namun lebih rendah dari bakso merk Y. Bahan baku yang digunakan pada bakso merk X berupa daging lumat dengan bahan pengisi tapioka, sedangkan merk Y menggunakan surimi dengan bahan pengisi tapioka serta menggunakan zat aditif makanan yaitu sekuestran dan diduga adanya penambahan STPP (Sodium Tripolyphosphate). Hal ini diduga yang mengakibatkan nilai rata-rata parameter warna bakso merk Y lebih tinggi dibandingkan bakso hasil penelitian dan bakso merk X. Sekuestran atau zat pengikat logam merupakan bahan penstabil yang digunakan dalam berbagai pengolahan bahan makanan, senyawa ini dapat membantu menstabilkan warna, cita rasa dan tekstur (Winarno 2008). Menurut Wulandari (2007), warna bakso dipengaruhi oleh bahan pengisi yang ditambahkan. Semakin banyak frekuensi pencucian maka semakin banyak komponen yang akan terlarut bersama air antara lain protein sarkoplasma, pigmen, lemak dan darah (Reynolds et al. 2002). Sams (2001), berpendapat bahwa STPP dapat memelihara warna. 4.5.1.2 Rasa Rasa lebih banyak melibatkan panca indera lidah. Penginderaan cecapan dapat dibagi menjadi empat cecapan utama yaitu asin, asam, manis dan pahit. Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup cecapan yang terletak pada papila yaitu bagian noda merah jingga pada lidah (Winarno 2008). Berdasarkan hasil uji hedonik dapat diketahui bahwa rata-rata penilaian terhadap rasa bakso ikan hasil penelitian yaitu 5 yang berarti netral, sedangkan nilai rata-rata penilaian panelis terhadap rasa bakso komersial merk X sebesar 4 yang berarti agak tidak suka dan bakso komersial merk Y sebesar 7 yang berarti suka. Kriteria rasa bakso ikan yaitu enak, lezat, rasa ikan dominan sesuai jenis ikan dan rasa bumbu menonjol tetapi tidak berlebihan, tidak terdapat rasa asing yang mengganggu dan tidak terlalu asin (Wibowo 1995). Nilai ratarata uji hedonik pada parameter rasa, bakso ikan hasil penelitian lebih tinggi dari bakso merk X, namun lebih rendah dari bakso merk Y. Hal ini diduga dipengaruhi oleh bumbu-bumbu yang ditambahkan pada bakso ikan. Bumbu- 43 bumbu yang digunakan pada adonan bakso ikan layaran yaitu garam 2,5%, bawang merah goreng 2,5%, bawang putih 4% dan lada 1%. Pada adonan bakso ikan merk X selain menggunakan bumbu-bumbu juga ditambahkan telur dan MSG (Monosodium Glutamate), sedangkan pada adonan bakso merk Y ditambahkan gula, penguat rasa (Mononatrium Glutamate) dan sekuestran fosfat serta diduga adanya penambahan STPP yang dapat meningkatkan flavor daging. Penambahan penguat rasa dan sekuestran fosfat pada bakso merk Y diduga mengakibatkan nilai rata-rata parameter rasa bakso merk Y lebih tinggi dibandingkan bakso hasil penelitian dan bakso merk X. Sekuestran atau zat pengikat logam merupakan bahan penstabil yang digunakan dalam berbagai pengolahan bahan makanan, senyawa ini dapat menstabilkan warna, cita rasa dan tekstur (Winarno 2008). Menurut Tarwotjo (1998), bumbu selain memberi rasa, bau atau aroma pada masakan, bumbu itu sendiri mempunyai pengaruh sebagai bahan pengawet terhadap makanan. Garam yang digunakan sebanyak 2-3% memiliki fungsi untuk memperbaiki cita rasa (Widyaningsih dan Murtini 2006). Gula atau pemanis berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dan aroma makanan, memperbaiki sifat-sifat fisik, sebagai pengawet serta memperbaiki sifat-sifat kimia (Winarno 2008). 4.5.1.3 Aroma Aroma makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut. Aroma atau bau dapat dikenali bila berbentuk uap, umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bahan utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Winarno 2008). Berdasarkan hasil uji hedonik dapat diketahui bahwa nilai rata-rata parameter aroma bakso ikan hasil penelitian yaitu 6 yang berarti agak suka, sedangkan nilai rata-rata penilaian terhadap aroma bakso komersial merk X sebesar 4 yang berarti agak tidak suka dan bakso komersial merk Y sebesar 7 yang berarti suka. Kriteria aroma bakso ikan yaitu bau khas ikan segar rebus dominan sesuai jenis ikan dan bau bumbu tajam, tidak terdapat bau amis, tengik, masam, basi atau busuk (Wibowo 1995). Aroma bakso ikan hasil penelitian yaitu normal dan khas ikan, hal ini sesuai dengan SNI 01-3819-1995 tentang 44 syarat mutu bakso ikan. Nilai rata-rata parameter aroma bakso ikan hasil penlitian lebih tinggi dari pada bakso merk X, namun lebih rendah dari bakso merk Y. Aroma bakso ikan dipengaruhi oleh frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi dan komposisi bumbu yang digunakan, serta adanya penambahan gula pada adonan bakso merk Y. Tujuan dari proses pencucian adalah untuk menghilangkan bahan-bahan larut air, lemak dan darah sehingga memperbaiki warna dan flavor (Toyoda et al. 1992). Menurut Tarwotjo (1998), bumbu memberi rasa, bau ataun aroma pada masakan. Gula atau pemanis berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dan aroma makanan, memperbaiki sifat-sifat fisik, sebagai pengawet serta memperbaiki sifat-sifat kimia (Winarno 2008). 4.5.1.4 Tekstur Tekstur adalah halus atau tidaknya suatu irisan pada saat disentuh dengan jari atau indera pengecap oleh panelis. Tekstur makanan dapat dievaluasi dengan uji mekanika atau dengan analisis secara penginderaan menggunakan alat indera manusia sebagai alat analisis. Berdasarkan hasil uji hedonik dapat diketahui bahwa rata-rata penilaian terhadap tekstur bakso ikan hasil penelitian yaitu 5 yang berarti netral, sedangkan nilai rata-rata penilaian terhadap tekstur bakso komersial merk X sebesar 4 yang berarti agak tidak suka dan bakso komersial merk Y sebesar 7 yang berarti suka. Kriteria tekstur bakso ikan yaitu kompak, tidak liat, elastis, tidak ada serat daging, tanpa duri, dan tulang, tidak lembek, tidak basah dan berair serta tidak rapuh (Wibowo 1995). Tekstur bakso ikan hasil penelitian yaitu kenyal dan sesui dengan SNI 01-3819-1995 tentang syarat mutu bakso ikan. Nilai rata-rata parameter tekstur bakso ikan hasil penelitian lebih tinggi dibandingkan bakso merk X, namun lebih rendah dari bakso merk Y. Hal ini diduga dipengaruhi oleh surimi yang diproses dengan frekuensi pencucian dua kali, konsentrasi tapioka yang digunakan serta adanya penambahan sekuestran fosfat pada bakso merk Y. Pembentukan tekstur yang kompak dapat dipengaruhi oleh proses pencucian. Semakin banyak frekuensi pencucian menyebabkan tekstur akan semakin baik karena dengan pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel, frekuensi pencucian dua kali dapat 45 menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel dan melarutkan protein miofibril sehingga membentuk sol aktomiosin (Astawan et al. 1996). Sekuestran fosfat atau zat pengikat logam merupakan bahan penstabil yang digunakan dalam berbagai pengolahan bahan makanan, dapat megikat logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga dapat mengalahkan sifat dan pengaruh jelek logam tersebut dalam bahan dengan demikian senyawa ini dapat membantu menstabilkan warna, cita rasa dan tekstur (Winarno 2008). Menurut Handershoot (1970), tepung tapioka memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dan pati memegang peranan penting dalam menentukan tekstur makanan. 4.5.1.5 Penampakan Penampakan merupakan karakteristik utama yang dinilai oleh konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk. Bila kesan penampakan baik atau disukai, maka konsumen melihat karakteristik lainnya. Penampakan mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen meskipun tidak menggunakan kesukaan konsumen secara mutlak (Soekarto 1985). Berdasarkan hasil uji hedonik dapat diketahui bahwa nilai rata-rata penampakan bakso hasil penelitian yaitu 6 yang berarti agak suka, sedangkan nilai rata-rata terhadap penampakan bakso komersial merk X sebesar 4 yang berarti agak tidak suka dan bakso komersial merk Y sebesar 7 yang berarti suka. Kriteria penampakan bakso ikan menurut Wibowo (1995), yaitu bentuk halus, berukuran seragam, bersih, cemerlang dan tidak kusam. Penampakan bakso ikan hasil penelitian yaitu memiliki bentuk yang agak kasar, bersih, tidak kusam serta berukuran seragam karena proses pencetakan dilakukan oleh seorang karyawan yang sudah ahli dan telah lama bekerja di pabrik bakso ikan. Nilai rata-rata parameter penampakan bakso hasil penelitian lebih tinggi dari bakso merk X, namun lebih rendah dari bakso merk Y. Hal ini diduga dipengaruhi oleh frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi serta penambahan gula pada adonan bakso merk Y. Menurut Lee (1984), proses pencucian dalam pembuatan surimi dapat meningkatkan kemampuan daging untuk membentuk gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin serta berkurangnya protein sarkoplasma 46 yang menghambat pembentukan gel. Gula atau pemanis berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dan aroma, memperbaiki sifat-sifat fisik, sebagai pengawet serta memperbaiki sifat-sifat kimia (Winarno 2008). 4.5.2 Karakteristik fisik Sifat fisik merupakan sifat-sifat yang dapat diukur dengan alat-alat tertentu.Pengujian ini dilakukan untuk menentukan kualitas elastisitas produk atau bahan makanan yang telah tersedia (Soekarto 1990). Pengujian dilakukan terhadap bakso hasil penelitian, bakso merk X dan bakso merk Y yang berupa uji karakteristik fisik yaitu uji lipat, uji gigit, derajat putih, kekuataan gel dan WHC (Water Holding Capacity). Hasil uji karakteristik fisik bakso hasil penelitian, bakso komersial merk X dan bakso komersial merk Y dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Hasil uji karakteristik fisik bakso ikan Parameter Bakso hasil penelitian Uji lipat Uji gigit Derajat putih (%) Kekuatan gel (gf) WHC (%) 3 6 66,78±0,01 916,25±31,61 67,42±3,28 Bakso komersial merk X 2 5 61,17±0,00 2219,20±68,02 63,28±1,66 Bakso komersial merk Y 4 8 73,44±0,03 1171,85±24,11 60,96±0,74 Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui nilai rata-rata uji lipat bakso hasil penelitian, bakso merk X dan merk Y berturut-turut yaitu 3, 2 dan 5. Nilai rata-rata uji gigit berturut-turut yaitu 6,5 dan 7. Nilai derajat putih berturutturut 66,78%, 61,17% dan 73,44%. Nilai kekuatan gel berturut-turut yaitu 916,25 gf, 2219,20 gf dan 1171,85 gf. Nilai WHC berturut-turut sebesar 67,42%, 63,28% dan 60,96%. 4.5.2.1 Uji lipat Uji lipat merupakan salah satu pengujian sensori awal yang bertujuan untuk menentukan serta memastikan kekuatan gel dan elastisitas surimi oleh para panelis (Shaviklo 2006). Berdasarakan hasil uji lipat dapat diketahui bahwa bakso hasil penelitian memiliki nilai rata-rata uji lipat sebesar 3 yang 47 berarti sedikit retak bila dilipat satu kali, sedangkan bakso komersial merk X sebesar 2 yang berarti retak bila dilipat satu kali dan bakso komersial merk Y sebesar 4 yang berarti tidak retak bila dilipat satu kali. Nilai rata-rata uji lipat bakso hasil penelitian lebih tinggi daripada bakso merk X, namun lebih rendah dari bakso merk Y. Hal ini diduga dipengaruhi oleh frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi dan sekuestran fosfat atau zat aditif makanan serta penambahan gula pada adonan bakso merk Y, sedangkan pada adonan bakso hasil penelitian tidak menggunakan gula dan zat aditif makanan. Sekuestran merupakan bahan penstabil, dapat mengalahkan sifat dan pengaruh jelek logam dalam bahan, sedangkan gula dapat memperbaiki sifat-sifat fisik makanan (Winarno 2008). Semakin baik hasil uji lipat (makin sukar retak), maka mutu gel ikan yang dihasilkan pun semakin baik (Santoso et al. 1997). Uji lipat dapat dikaitkan dengan kemampuan elastisitas produk. 4.5.2.2 Uji gigit Uji gigit merupakan salah satu pengujian sensori awal yang bertujuan untuk mengevaluasi resiliensi dan elastisitas surimi oleh para panelis (Shaviklo 2006). Berdasarkan hasil uji gigit bakso hasil penelitian memiliki nilai rata-rata sebesar 6 yang berarti normal, sedangkan bakso komersial merk X sebesar 5 yang berarti agak lunak dan bakso komersial merk Y sebesar 8 yang berarti kuat. Nilai rata-rata uji gigit bakso hasil penelitian lebih tinggi daripada bakso merk X, namun lebih rendah dari bakso merk Y. Hal ini diduga dipengaruhi oleh frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi karena meningkatnya kekuatan gel juga berpengaruh terhadap nilai uji gigit. Nilai kekuatan gel yang tinggi berhubungan dengan meningkatknya komponen protein, rendahnya komponen lemak serta konsentrasi penambahan air (Huda et al. 2000). 4.5.2.3 Derajat putih Mutu bakso yang baik juga ditentukan oleh derajat putihnya. Bakso yang baik diharapkan memiliki warna putih merata dan bebas dari 48 pengotornya. Nilai derajat putih bakso hasil penelitian yaitu sebesar 66,78%, sedangkan bakso komersial merk X sebesar 61,17% dan bakso komersial merk Y sebesar 73,44%. Nilai derajat putih tertinggi yaitu pada bakso merk Y, sedangkan yang terendah yaitu bakso merk X. Hal ini diduga derajat putih bakso dipengaruhi daging ikan yang digunakan dan frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi. Tujuan dari pencucian adalah untuk menghilangkan bahan-bahan larut air, lemak dan darah sehingga memperbaiki warna, flavor serta meningkatkan kekuatan gel surimi (Toyoda et al. 1992). Menurut Suzuki (1981), semakin banyak frekuensi pencucian yang dilakukan, zat-zat yang terlarut tersebut semakin banyak dan mengakibatkan warna surimi akan semakin bersih dan disukai panelis. 4.5.2.4 Kekuatan gel Kekuatan gel diklasifikasikan berdasarkan pengukuran kekerasan dan pengukuran daya tahan pecah gel. Nilai kekuatan gel dari bakso ikan hasil penelitian yaitu sebesar 916,25 gf, bakso merk X sebesar 2219,20 gf dan bakso merk Y sebesar 1171,85 gf. Nilai kekuatan gel tertinggi yaitu pada bakso merk X, sedangkan nilai kekuatan gel terendah yaitu pada bakso hasil penelitian. Hal ini diduga dipengaruhi oleh adanya penambahan STPP (Sodium Tripolyphosphate) pada bakso komersil merk X dan Y. Menurunnya kualitas gel akibat konsentrasi protein miofibril yang juga menurun. Semakin banyak frekuensi pencucian maka konsentrasi protein larut garam pun akan menurun, sehingga kemampuan untuk membentuk gel juga akan ikut menurun (Reynolds et al. 2002). STPP dapat meningkatkan protein miosin yang merupakan hasil dari resolusi aktomiosin dalam miosin dan aktin (Cross dan Overby 1988). 4.5.2.5 Water Holding Capacity (WHC) Water Holding Capacity (WHC) atau daya ikat air merupakan kemampuan daging untuk mengikat air atau cairan baik yang berasal dari dirinya maupun yang berasal dari luar (Foegeding et al. 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WHC antara lain jenis bahan baku, bahan tambahan, lama penyimpanan, penanganan dan pengolahan bahan baku 49 (Huda et al. 2000). Nilai WHC bakso hasil penelitian yaitu sebesar 67,42%, sedangkan bakso merk X sebesar 63,28% dan bakso merk Y sebesar 60,96%. Nilai WHC tertinggi yaitu bakso hasil penelitian. Hal ini diduga dipengaruhi oleh komposisi protein ikan. Semakin tinggi kandungan protein maka akan semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC meningkat. WHC sangat dipengaruhi oleh kandungan air, protein, dan penggunaan garam. Gugus polar pada protein akan berinteraksi dengan ion hidrogen dari air yang bersifat polar pula (Kramlich 1971). 4.5.3 Karakteristik kimia Bahan pangan dan hasil pertanian mengandung zat-zat kimia yang dengan komposisi kimia dan susunan tertentu membangun bentuk produk dan menjadikan produk tersebut mempunyai sifat-sifat khas. Komposisi kimia dapat ditinjau dari berbagai aspek yang berkaitan dengan mutu gizi, bergizi dan bersifat pengolahan, tak bergizi dan bersifat pengolahan, struktural, toxin (beracun) (Soekarto 1990). Nilai komposisi kimia, protein larut garam dan pH bakso hasil penelitian, bakso komersial merk X dan bakso komersial merk Y dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Nilai komposisi kimia, protein larut garam, pH bakso ikan Parameter Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Kadar karbohidat(%) Protein larut garam (%) pH Bakso hasil penelitian 66,73±0,09 1,19±0,01 11,68±0,17 3,17±0,02 17,21±0,05 2,72±0,00 6,57±0,01 Bakso komersial merk X 59,44±0,16 2,27±0,12 5,01±0,00 4,02±0,13 29,24±0,09 3,89±0,02 5,63±0,02 Bakso komersial merk Y 73,80±0,05 2,16±0,00 7,88±0,01 0,85±0,02 15,31±0,01 0,37±0,00 6,62±0,01 Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui kandungan gizi dari bakso ikan layaran hasil penelitian, bakso ikan komersial merk X dan merk Y berturutturut yaitu kadar air sebesar 66,73%, 59,44% dan 73,80%, kadar abu sebesar 1,19%, 2,27% dan 2,16%, kadar protein sebesar 11,68%, 5,01% dan 7,88%, kadar lemak sebesar 3,17%, 4,02% dan 0,86%, serta kadar karbohidrat 50 sebesar 17,21%, 29,24% dan 15,31%. Selain itu, dilakukan uji PLG dan pH. Nilai PLG bakso hasil penelitian sebesar 2,72%, bakso merk X sebesar 3,89% dan bakso merk Y sebesar 0,37%. Nilai pH bakso hasil penelitian, bakso merk X dan bakso merk Y berturut-turut sebesar 6,57, 5,63, dan 6,62. 4.5.3.1 Analisis proksimat Kadar proksimat merupakan gambaran nilai gizi suatu produk makanan, dimana semakin baik kadar gizi suatu bahan maka semakin baik bagi konsumen. Kadar proksimat terdiri atas kadar air, abu, protein, lemak, serta karbohidrat. 1) Kadar air Kadar air merupakan komponen utama bahan makanan serta faktor yang besar pengaruhnya terhadap acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan itu. Sebagian besar perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri (Winarno 2008). Kadar air bakso ikan hasil penelitian sebesar 66,73%. Kadar air bakso ikan hasil penelitian lebih tinggi dari pada kadar air bakso merk X, namun lebih rendah dari kadar air bakso merk Y. Kadar air bakso hasil penelitian lebih rendah dibandingkan kadar air ketika dalam bentuk daging lumat dan surimi. Hal ini diduga karena proses pemanasan dan adanya penambahan pati. Proses pemanasan akan mengakibatkan air dalam bahan akan mengalami penguapan. Semakin tinggi komposisi pati yang digunakan maka semakin rendah kadar air, hal ini dikarenakan tepung berfungsi sebagai bahan pengikat yang dapat meningkatkan daya ikat air, dimana tepung akan mengikat air yang berada dalam matriks daging sehingga kada air bakso semakin menurun. Kadar air bakso ikan hasil penelitian sesuai dengan syarat mutu bakso ikan yaitu tidak melebihi batas maksimum sebesar 80% (BSN 1995). Bahan makanan yang mengadung pati umumnya mengalami penurunan kadar air, penurunan kadar air akibat mekanisme interaksi pati dan protein sehingga air tidak dapat diikat sempurna karena ikatan hidrogen yang seharusnya mengikat air terpakai untuk interaksi pati dan protein (Manullang et al. 1995). 51 2) Kadar abu Bahan makanan sebagian besar terdiri dari bahan organik dan air. Dalam proses pembakaran sampai suhu 600 0C bahan organik mudah terbakar, sedangkan zat anorganik tidak terbakar. Zat anorganik yang tidak terbakar disebut abu. Abu yang terbentuk berwarna abu-abu, berpartikel halus dan mudah dilarutkan (Winarno 1997). Kadar abu bakso hasil penelitian yaitu sebesar 1,19%. Kadar abu bakso hasil penelitian memiliki nilai lebih rendah dibandingkan bakso merk X dan Y. Rendahnya kadar abu ini diduga disebabkan oleh proses pencucian yang dilakukan karena pencucian menyebabkan bahan-bahan inorganik menghilang. Kadar abu berhubungan erat dengan kadar air dan kadar protein pada suatu jaringan bebas lemak. Mineral yang tidak larut berasosiasi dengan protein karena mineral terutama berasosiasi dengan bagian non lemak, daging tak berlemak biasanya memiliki kandungan mineral atau abu yang tinggi (Granada 2011). Kadar abu bakso ikan hasil penelitian sesuai dengan syarat mutu bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995 yaitu tidak melebihi batas maksimum 3% (BSN 1995). 3) Kadar protein Protein merupakan komponen terpenting dalam produk bakso ikan. Cara Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung, karena yang dianalisis dengan cara ini adalah kadar nitrogennya. Kadar protein bakso hasil penelitian sebesar 11,68%. Kadar protein bakso ikan hasil penelitian memiliki nilai tertinggi dibandingkan kadar protein bakso merk X dan Y. Hal ini diduga dipengaruhi oleh jenis ikan yang digunakan karena daging ikan layaran yang digunakan memiliki kadar protein yang tinggi serta adanya penambahan tepung tapioka. Tingginya kadar potein juga dipengaruhi oleh bahan pengikat yang ditambahkan pada bakso karena persentase daging surimi yang digunakan lebih tinggi daripada persentase jumlah tepung. Kadar protein bakso hasil penelitian sesuai dengan syarat mutu bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995 yaitu kadar protein minimal 9% (BSN 1995). 52 4) Kadar lemak Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda (Winarno 2008). Kadar lemak bakso ikan hasil penelitian sebesar 3,17%. Kadar lemak bakso ikan hasil penelitian lebih tinggi dari kadar lemak bakso merk Y, namun memiliki nilai lebih rendah dari bakso merk X. Kadar lemak mengalami peningkatan diduga dipengaruhi oleh adanya penambahan minyak dalam adonan bakso hasil penelitian. Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih dan penambah nilai kalori bahan pangan (Winarno 2008). Kadar lemak bakso hasil penelitian tidak sesuai dengan syarat mutu bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995 yaitu maksimal 1% (BSN 1995). 5) Kadar karbohidrat (by difference) Karbohidrat diperoleh dari bahan makanan yang dimakan sehari-hari, terutama bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Penentuan kadar karbohidrat dalam bahan makanan yaitu secara kasar melalui perhitungan Carbohydrate by Difference dan hasilnya biasanya dicantumkan dalam daftar komposisi bahan makanan (Winarno 2008). Kadar karbohidrat diperoleh dengan menghitung selisih dari empat komponen yaitu kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar protein. Kadar karbohidrat bakso hasil penelitian sebesar 17,21%. Kadar karbohidrat bakso hasil penelitian lebih tinggi dari bakso merk Y, namun lebih rendah dari bakso merk X. Diduga kadar karbohidrat dipengaruhi oleh tepung tapioka yang ditambahkan. Nilai kadar air dan kadar protein pada bakso hasil penelitian mengalami penurunan, sehingga kadar lemak dan kadar karbohidrat pada bakso akan meningkat. Pati adalah bentuk simpanan karbohidrat berupa polimer glukosa yang dihubungkan dengan ikatan glikosidik (Almatsier 2006). Menurut Manullang et al. (1995), bahan makanan yang mengandung pati umumnya mengalami penurunan kadar air. Penurunan kadar air akibat mekanisme interaksi pati dan protein sehingga air tidak dapat diikat secara sempurna karena ikatan hidrogen yang seharusnya mengikat air telah dipakai untuk interaksi pati dan protein ikan. 53 4.5.3.2 Derajat keasaman (pH) Perubahan nilai pH ikan tergantung spesiesnya sehingga nilai pH tidak menjadi kriteria yang pasti untuk mendeteksi kesegaran dan kualitas daging ikan dan olahannya. Derajat keasaman (pH) adalah salah satu faktor yang berpengaruh dalam pembentukan dan kekuatan gel dari surimi (Park dan Lin 2005). Nilai pH bakso hasil penelitian sebesar 6,57. Nilai ini lebih rendah dari bakso merk Y dan memiliki nilai lebih tinggi dari bakso merk X. Menurut Thawornchinsombut dan Park (2004), kekuatan gel tinggi apabila pH daging berkisar antara 6-7, hal ini dikarenakan protein miosin mudah larut pada pH tersebut. Nilai pH lebih dari 7 dapat melemahkan gel karena hidrasi protein. Nilai pH kurang dari 6 menyebabkan ketidak stabilan protein miofibril dalam daging dan mengindikasikan penurunan kemampuan pembentukan gel (Park dan Lin 2005). 4.5.3.3 Protein larut garam (PLG) Protein larut garam yaitu protein miofibril yang terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin dan aktinin). Pengukuran kadar protein larut garam (myofibril) dilakukan untuk mengetahui kandungan protein miofibril dalam surimi yang berperan dalam pembentukan gel yang diakibatkan oleh terjadinya agregasi antara aktin dan miosin pada saat diekstrak (Suzuki 1981). Nilai PLG bakso hasil penelitian sebesar 2,72%. Nilai PLG bakso hasil penelitian lebih tinggi dari bakso merk Y, namun memiliki nilai lebih rendah dari bakso merk X. Hal ini diduga dipengaruhi oleh frekuensi pencucian. Pernyataan ini sesuai dengan Toyoda et al. (1992), yaitu semakin banyak frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi maka akan menurunkan protein larut garam pada surimi tersebut.