bab-vi-pembelajaran-berdasarkan

advertisement
Bab VI
PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH
6.1 Latar Belakang Masalah
Pada saat kegiatan pembelajaran matematika berlangsung siswa seringkali
mengalami kesulitan dalam menerapkan ketrampilan yang mereka dapatkan di sekolah ke
dalam kehidupan nyata sehari-hari, hal ini dikarenakan ketrampilan yang diberikan dalam
pembelajaran lebih banyak diterima dalam konteks sekolah daripada konteks kehidupan
nyata. (Nur dan Wikandari,1998:39). Sementara itu Semiawan dalam Wulandari (2002:1)
menyatakan pendapatnya, meskipun para siswa mendapatkan nilai-nilai yang tinggi dalam
sejumlah mata pelajaran, namun mereka tampak kurang mampu menerapkan
perolehannya, baik berupa pengetahuan, ketrampilan, maupun sikap ke dalam situasi
lain. Para siswa memang memiliki sejumlah pengetahuan, namun banyak pengetahuan itu
tidak bermakna dalam kehidupan sehari-hari dan cepat terlupakan.
Salah satu faktor penyebab yang mempengaruhi hal tersebut adalah berkaitan
erat dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan sekolah masih berjalan konvensional
dan banyak di dominasi guru. Guru cenderung memindahkan informasi sebanyakbanyaknya kepada siswa sehingga konsep, prinsip dan aturan-aturan terkesan saling
terisolasi dan kurang bermakna. Banyak pihak merasa tidak puas lagi dengan model
pembelajaran konvensional. (Sinaga, 1999:1).
Untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran matematika, guru dituntut
mencari dan menemukan suatu cara yang dapat menumbuhkan ketrampilan-ketrampilan
yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya guru diharapkan dapat
mengembangkan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuam
mengembangkan, menemukan, menyelidiki dan mengungkapkan ide siswa sendiri.(Abbas,
2000:3). Dengan kata lain seorang guru diharapkan mampu meningkatkan kemampuan
berpikir dan memecahkan masalah
siswa dalam matematika.
Leitze dan Mau dalam Abbas (2000:4) mengatakan : guru dapat menggunakan
kegiatan pemecahan masalah untuk beberapa tujuan, seperti meningkatkan ketrampilan
berpikir kritis, ketrampilan mengorganisasikan data, ketrampilan berkomunikasi dan
pengambil keputusan yang tepat, dan membuat hubungan antar topik pada matematika.
Jadi tugas guru tidak hanya menuangkan informasi kepada siswa, tetapi mengusahakan
agar konsep-konsep penting tertanam kuat dalam benak siswa. Belajar yang hanya
menuangkan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa tanpa memaknai perolehan
informasi itu tidak bermakna bagi siswa sehingga perlu alternatif lain pembelajaran. Salah
satunya adalah pembelajaran berdasarkan masalah ( Problem-Based Instruction ).
Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang sangat
efektif untuk mengajarkan proses-proses berpikir tingkat tinggi, membantu siswa
memproses pengetahuan yang telah dimiliki dan membantu siswa membangun sendiri
pengetahuan tentang dunia sosial dan fisik di sekelilingnya. (Kardi dan Nur, 1999:16).
Ibrahim dan Nur (2000:7) mengatakan pembelajaran berdasarkan masalah dikembangkan
untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dan
ketrampilan intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka
dalam pengalaman nyata dan menjadi pebelajar yang mandiri.
Resnick dalam Ibrahim dan Nur (2000:11), mengemukakan bahwa bentuk
pembelajaran berdasarkan masalah penting untuk menjembatani dua kesenjangan antara
pembelajaran sekolah formal dan aktivitas mental yang lebih praktis dijumpai di luar
sekolah. Pembelajaran berdasarkan masalah sesuai dengan aktivitas mental di luar
sekolah, seperti mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas, mendorong
pengamatan dan dialog, melibatkan siswa dalam penyelidikan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (1999:133) pada siswa kelas I SMUN 3
Ambon didapatkan bahwa siswa yang diajar dengan model pembelajaran berdasarkan
61
masalah secara signifikan memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan siswa yang
dikenai model pembelajaran konvensional dan pembelajaran berdasarkan masalah efektif
dalam mengajarkan bahan kajian Fungsi Kuadrat. Wulandari (2002:36) yang melakukan
penelitian pada siswa kelas I SLTP Raden Rahmat Surabaya menemukan bahwa hasil
belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik
dari hasil belajar yang diajar dengan model pembelajaran konvensional. Dan dapat
dikatakan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah positif dari segi aktivitas guru dan
siswa, kemampuan mengelola pembelajaran, dan respon siswa terhadap pembelajaran
pada bahan kajian ukuran pemusatan.
Berdasarkan latar belakang dan hasil penelitian yang dikemukakan di atas, maka
dapat dikatakan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan
hasil belajar siswa, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada materi
yang berbeda, guna mengetahui apakah model pembelajaran berdasarkan masalah efektif
diterapkan untuk mengajarkan subpokok bahasan jajargenjang dan belahketupat.
Sub pokok bahasan jajargenjang dan belahketupat merupakan pokok bahasan
yang diajarkan pada siswa kelas II SLTP semester 3. Dalam kehidupan sehari-hari sering
dijumpai bentuk-bentuk segiempat, misalnya jendela, layang-layang, papan rambu lalu
lintas, kaca dan sebagainya, sehingga diharapkan siswa mampu untuk membedakan dan
menentukan luas dari masing-masing bentuk bangun tersebut dari masalah-masalah
dalam matematika itu sendiri maupun masalah-masalah yang ditemuinya dalam
kehidupan sehari-hari.
6.2 Hakikat Belajar Matematika
Matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur dan hubungan-hubungannya yang
diatur menurut aturan yang logis, sehingga matematika berkenaan dengan konsep-
62
konsep yang abstrak. Suatu kebenaran matematika dikembangkan berdasarkan alasan
logis dengan menggunakan pembuktian deduktif. Hudoyo (1988:3).
Dengan demikian matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas.
Karena itu dalam mengajar matematika sebaiknya tidak disamakan dengan ilmu yang
lain. Selain itu karena siswa yang belajar matematika
berbeda-beda kemampuannya,
maka kegiatan belajar dan mengajar haruslah diatur dengan memperhatikan kemampuan
masing-masing siswa.
Dalam proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang
paling pokok. Belajar adalah suatu proses atau usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungan. (Slamento dalam
Lastiningsih, 1995:2)
Hudoyo (1988:1) menjelaskan bahwa seseorang dikatakan belajar bila dalam diri
orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah
laku. Perubahan tingkah laku itu memang dapat diamati dan berlaku dalam dalam waktu
yang relatif lama. Perubahan tingkah laku yang relatif lama itu disertai usaha orang
tersebut, sehingga orang itu dari tidak mampu mengerjakan sesuatu menjadi dapat
mengerjakannya. Tanpa usaha, walaupun terjadi perubahan tingkah laku, bukanlah
belajar. Mempelajari matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan-bilangan
serta operasinya, melainkan juga berkenaan dengan ide-ide abstrak yang diberi simbolsimbol dan tersusun secara hierarkis dan penalarannya deduktif.
Bruner dalam Hudoyo (1988:43) berpendapat bahwa belajar matematika ialah
belajar tentang konsep-konsep dan struktur matematika yang terdapat dalam materi yang
dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur matematika
tersebut.
63
Uraian di atas memberi petunjuk bahwa hakikat belajar matematika merupakan
suatu kegiatan mental untuk memahami obyek-obyek dalam struktur matematika serta
hubungan-hubungannya sehingga didapatkan pengetahuan baru.
6.3 Model Pembelajaran
Saripuddin dalam Abbas (2000:17) mendefinisikan model pembelajaran sebagai
kerangka
konseptual
yang
menggambarkan
prosedur
yang
sistematis
dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu
dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang dan para pengajar dalam merencanakan
dan melaksanakan aktifitas belajar mengajar.
Kardi dan Nur (1999:9) menjelaskan bahwa model pembelajaran mempunyai 4
(empat) ciri khusus, yaitu : rasional teoritis yang logis yang disusun oleh para pencipta
atau pengembangnya, landasan pemikiran tentang bagaimana siswa belajar (tujuan
pembelajaran yang akan dicapai), tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model
tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil, dan lingkungan belajar yang diperlukan
agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.
Arends dalam Abbas (2000:18) menyatakan bahwa model pembelajaran mengacu
kepada pendekatan pembelajaran termasuk di dalamnya tujuan pembelajaran, tahaptahap kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas.
Berdasarkan penjelasan para ahli tersebut dapat dikatakan bahwa model
pembelajaran merupakan suatu kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur
yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar. Penerapan setiap model pembelajaran dapat menentukan keberhasilan tujuan
pembelajaran. Model pembelajaran tertentu dapat diterapkan pada materi tertentu sesuai
dengan tujuan pengajaran. Salah satu model pembelajaran yang bertujuan agar siswa
64
memiliki ketrampilan berpikir dan pemecahan masalah serta dapat menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari adalah pembelajaran berdasarkan masalah.
6.4
Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem-Based Instruction)
Model pembelajaran berdasarkan masalah (PBM) merupakan pola pembelajaran
yang menghadapkan siswa pada masalaah nyata yang dijumpai dalam kehidupan seharihari.
Model pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh penggunaan masalah
nyata. Model ini tidak dirancang untuk membantu siswa menerima informasi sebanyakbanyaknya, tetapi dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan
berpikir dan ketrampilan memecahkan masalah. Selain itu, belajar berbagai peran orang
dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi
pembelajar yang mandiri. Lingkungan belajar dan sistem manajemen pada PBM dicirikan
oleh lingkungan kelas yang terbuka dan peranan aktif siswa, sehingga guru dalam PBM ini
berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog dan pemberi fasilitas
penelitian. (Ibrahim dan Nur, 2000:7).
Jadi, pembelajaran berdasarkan masalah merupakan pembelajaran yang dicirikan
penggunaan masalah nyata dan siswa dilibatkan untuk melakukan penyelidikan sehingga
mereka mampu menemukan sendiri penyelesaian dari masalah yang diberikan.
Ciri-ciri Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBM)
Pengembang pembelajaran berdasarkan masalah seperti Madden, Dollan dan
Wasik, Krajcik, Blumenfield, Mark dan Soloway, Slavin, Varderbitl dalam Ibrahim dan Nur
(2000:5-7) memerikan model PBM itu memiliki karakteristik sebagai berikut.
a. Pengajuan pertanyaan atau masalah
PBM mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang duaduanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka
65
mengajukan situasi kehidupan nyata otentik, menghindari jawaban sederhana dan
memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.
Menurut Arends dalam Abbas (2000:23) pertanyaan atau masalah itu haruslah
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1.
Otentik, yaitu masalah didasarkan dan diambil dari kehidupan sehari-hari, sesuai
dengan pengalaman siswa dan sesuai dengan prinsip-prinsip akademik.
2.
Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah
baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.
3.
Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa.
Selain itu, masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
4.
Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, yaitu masalah yang disusun dan
dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh
materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang
tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada
tujuan pembelajaran telah ditetapkan.
5.
Bermanfaat, yaitu masalah yang disusun dan dirumuskaan haruslah bermanfaat, baik
bagi siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pemilik masalah. Masalah
yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan
memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.
b. Keterkaitan dengan disiplin ilmu.
Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata
pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial), masalah yang akan diselidiki telah
dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari
banyak mata pelajaran.
c. Penyelidikan otentik.
66
PBM mengharuskan siswa melakukan penyelidikan otentik untuk mencari
penyelesaian
nyata
mendefinisikan
terhadap
masalah,
masalah
nyata.
mengembangkan
Siswa
hipotesis
harus
dan
menganalisis
membuat
dan
ramalan,
mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan),
membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Sudah barang tentu, metode
penyelidikan yang digunakan, bergantung kepada masalah yang sedang dipelajari.
d. Memamerkan hasil kerja.
PBM mengajak siswa menyusun dan memamerkan hasil kerja sesuai dengan
kemampuannya. Setelah selesai mengerjakan, beberapa kelompok menyajikan hasil
kerjanya di depan kelas dan siswa pada kelompok lain memberikan tanggapan, kritik
terhadap pemecahan masalah yang disajikan oleh temannya. Dalam hal ini guru
mengarahkan, membimbing, memberi petunjuk kepada siswa agar aktivitas siswa
menjadi terarah.
e. Kerjasama / Kolaborasi
PBM dicirikan dengan kerjasama antar siswa dalam satu kelompok kecil.
Kerjasama dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks dapat meningkatkan ketrampilan
berpikir dan ketrampilan sosial.
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, Arends dalam Ibrahim dan Nur
(2000:13) menjelaskan pengelolaan PBM mengikuti 5 (lima) langkah pokok yang diawali
dengan orientasi siswa pada masalah dan diakhiri dengan menganalisis dan mengevaluasi
hasil kerja siswa. Kelima langkah tersebut disajikan pada tabel 2.1 sebagai berikut :
Tabel 2.1
Lima Langkah Pokok
Pembelajaran Berdasarkan Masalah
67
Langkah
Kegiatan Guru
Langkah-1
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskaan
Orientasi siswa kepada
sarana dan prasarana yang dibutuhkan, memotivasi
masalah
siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah.
Langkah-2
Guru membantu siswa mendefinisikan dan
Mengorganisasikan siswa
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
untuk belajar
dengan masalah tersebut.
Langkah-3
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
Membimbing penyelidikan
yang sesuai, melaksanakan eksperimen, dan
individual maupun
penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan
kelompok
pemecahan masalah.
Langkah-4
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan
Mengembangkan dan
menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video,
menyajikan hasil karya
dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas
dengan temannya.
Langkah-5
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau
Menganalisis dan
evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-
mengevaluasi proses
proses yang mereka gunakan.
pemecahan masalah
68
6.5 Teori Belajar Yang Mendukung Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Teori yang mendukung PBM salah satunya adalah teori konstruktivisme. Von
Glasersferd dan Matthew dalam Suparno (1997:18) menjelaskan bahwa konstruktivisme
adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan seseorang
merupakan konstruksi diri mereka sendiri.
Dalam pembelajaran, teori konstruktivis memandang siswa secara terus-menerus
memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan
memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Teori ini menganjurkan
peranan aktif siswa. Karena penekanannya pada siswa sebagai siswa yang aktif, starategi
konstruktivis
sering
disebut
pengajaran
berpusat
pada
siswa
(student-centered
instruction). Di dalam kelas yang berpusat pada siswa peran guru bukan memberikan
ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas melainkan membantu siswa
menemukan informasi-informasi penting bagi siswa. (Nur dan Wikandari, 1998:3).
Pendekatan konstruktivis dalam pengajaran lebih menekankan pada pengajaran
top-down daripada bottom-up. Top-down berarti siswa mulai dengan masalah-masalah
yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan
(dengan bantuan guru) ketrampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan. Di dalam
pengajaran top-down, siswa mulai dengan suatu tugas yang kompleks, lengkap dan
otentik. Otentik artinya bahwa tugas-tugas itu bukan merupakan bagian atau
penyederhanaan dari tugas-tugas yang diberikan kepada siswa, melainkan tugas itu
merupakan tugas yang sebenarnya. Sedangkan di dalam pengajaran bottom-up,
ketrampilan-ketrampilan
dasar
secara
bertahap
dilatihkan
kepada
siswa
untuk
mewujudkan ketrampilan-ketrampilan yang kompleks.( Nur dan Wikandari, 1998:6).
Teori-teori pembelajaran yang mendasarkan pada pandangan konstruktivis antara
lain adalah teori Piaget, teori Vygotsky, teori Ausubel, dan teori Bruner.
69
a. Teori Piaget
Piaget adalah salah seorang pioner konstruktivis. Piaget dalam Hudoyo (1988:45),
menyatakan bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap
dari berpikir intelektual konkrit ke abstrak berurutan melalui empat periode. Urutan
periode itu tetap bagi semua orang, namun usia kronologis pada setiap orang yang
memasuki setiap periode berpikir lebih tinggi berbeda-beda tergantung pada masingmasing individu.
Piaget dalam Suparno (1997:47) menyebutkan bahwa perkembangan struktur
kognitif hanya berjalan bila anak mengasimilasikan dan mengakomodasikan rangsangan
dalam lingkungannya. Ini terjadi mugkin bila nalar anak dibawa ke situasi lingkungan
tertentu sehingga ia bisa berinteraksi dengan objek, mengamati dan meneliti, serta
berpikir.
Piaget dalam Ibrahim dan Nur (2000:17), mengatakan bahwa pengetahuan tidak
statis tetapi secara terus-menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa menghadapi
pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan
awal mereka. Pembelajaran yang baik harus melibatkan pemberian anak dengan situasisituasi sehingga anak dapat mandiri melakukan eksperimen, mencoba segala sesuatu
untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi simbol-simbol, mengajukan pertanyaan dan
menemukan sendiri jawabannya. Selain itu, juga mencocokkan apa yang ia temukan pada
suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain, membandingkan temuantemuannya dengan temuan anak lain.
Pemanfaatan teori Piaget dalam PBM adalah guru memusatkan pada proses
berpikir anak atau proses mental anak lebih utama daripada sekedar hasil. Peran aktif
siswa dalam pembelajaran sangat penting untuk perkembangan intelektualnya.
b. Teori Vygotsky
70
Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky yang telah
digunakan untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran
kooperatif, pembelajaran berbasis proyek dan penemuan. (Karpov dalam Nur dan
Wikandari, 1998:3). Nur dan Wikandari (1998:3-5), menyebutkan bahwa ada empat
prinsip kunci yang diturunkan dari teori-teorinya, antara lain :
1. Menekankan pada hakikat sosial dari pembelajaran. Vygotsky percaya bahwa interaksi
sosial dengan orang dewasa atau teman sebaya lebih mampu memacu terbentukanya
ide baru dan memperkaya perkembangan intelektualnya siswa.
2. Siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan
terdekat mereka. Anak sedang bekeja di dalam zona perkembangan terdekat mereka
pada saat mereka terlibat dalam tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan
sendiri tetapi dapat menyelesaikannya bila dibantu oleh teman sebaya atau orang
dewasa.
3. Menekankan pada pemagangan kognitif (Gardner dalam Nur dan Wikandari, 1988:40).
Istilah ini mengacu kepada proses ketika seseorang yang sedang belajar tahap demi
tahap memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan seorang pakar. Pakar itu bisa
orang dewasa atau orang yang lebih tua atau kawan sebaya yang telah menguasai
permasalahannya. Mengajar siswa di kelas adalah suatu bentuk pemagangan.
Penganut
teori
konstruktivis
menganjurkan
penggunaan
model
pembelajaran
melibatkan aktivitas sehari-hari di kelas, baik dengan cara melibatkan siswa dalam
tugas-tugas kompleks maupun membantu mereka mengatasi tugas-tugas tersebut dan
melibatkannya dalam kelompok pembelajaran heterogen di mana siswa yang lebih
pandai membantu siswa yang kurang pandai dalam menyelesaikan tugas-tugas
kompleks tersebut.
4. Menekankan pada scaffolding sebagai satu hal yang penting dalam pemikiran teori
konstruktivis modern. Interpretasi terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah siswa
71
diberikan tugas-tugas kompleks, sulit dan realistik dan kemudian diberi bantuan
secukupnya untuk menghasilkan tugas-tugas ini.
Pemanfaatan dari teori Vygotsky dalam pembelajaran berdasarkan masalah adalah
guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok belajar, kemudian menciptakan suasana
kelas yang memungkinkan pertukaran ide yang terbuka dan memberikan bimbingan,
dorongan dan bantuan kepada siswa untuk menyelesaikan atau memecahkan masalah.
c. Teori belajar Ausubel
Menurut Ausubel, Novak dan Hanesian dalam Suparno (1997:53-54), ada dua
jenis belajar, yaitu belajar bermakna (meaningfull learning) dan belajar menghapal (rote
learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar yang menghubungkan informasi
baru dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang belajar. Belajar
bermakna terjadi jika pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur
pengetahuan mereka. Ini terjadi melalui belajar konsep. Jika pengetahuan baru tidak
dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada, maka pengetahuan baru itu akan
dipelajari melalui belajar hafalan. Hal ini disebabkan pengetahuan yang baru tidak
diasosiasikan dengan pengetahuan yang ada.
Dukungan penting teori belajar bermakana Ausubel pada PBM adalah dalam hal
menghubungkan pengetahuan yang sudah dipunyai siswa dengan masalah yang akan
diselesaikan. Untuk menyelesaikan masalah yang diberikan, siswa harus mampu
menghubungkan pengetahuan yang ia miliki dengan permasalahan yang dihadapi. Bila
pengetahuan atau konsep yang dimiliki siswa belum dapat digunakan untuk memecahkan
masalah maka guru perlu membimbing siswa untuk menemukan konsep tersebut.
Dengan demikian siswa akan mampu memecahkan masalah yang diajukan apabila
ia cukup memiliki pengetahuan yang terkait dengan masalah itu sehingga pengetahuan
baru yang didapatkan akan lebih bermakna.
72
d.Teori Bruner
Jerome Bruner merupakan ahli psikologi yang menganjurkan pembelajaran
dengan penemuan. Pembelajaran dengan penemuan merupakan suatu komponen penting
dalam pendekatan konstruktivis yang telah memiliki sejarah panjang dalam inovasi
pendidikan (Nur dan Wikandari, 1998:7). Pembelajaran penemuan merupakan suatu
pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa memahami struktur atau
ide kunci dari suatu disiplin ilmu. Dalam pembelajaran tersebut siswa perlu aktif terlibat
dalam proses pembelajaran dan suatu keyakinan bahwa pembelajaran yang sebenarnya
terjadi melalui penemuan. (Ibrahim dan Nur, 2000:20-21). Belajar dengan penemuan
mempunyai beberapa keuntungan antara lain: memacu keingintahuan siswa, memotivasi
mereka untuk melanjutkan pekerjaannya sehingga mereka menemukan jawaban, dan
belajar memecahkan masalah secara mandiri serta melatih ketrampilan berpikir kritis. Hal
tersebut terjadi, karena mereka harus selalu menganalisis dan memanipulasi informasi.
Kaitan antara pembelajaran penemuan dan PBM sangat jelas. Pada kedua model
ini guru menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan
daripada deduktif, dan siswa menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan mereka
sendiri.
Guru yang menganut teori Bruner harus menjadikan siswa mampu mandiri. Guru
mendorong
siswa
untuk
memecahkan
masalah
yang
dihadapinya
sendiri
atau
memecahkan masalah secara berkelompok, sehingga siswa akan mendapat keuntungan
jika mereka dapat “ melihat “ dan “melakukan” sesuatu daripada hanya sekedar
mendengarkan ceramah.
6.6 Pelaksanaan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah, meliputi :
Pendahuluan
73
Pada kegiatan ini guru mengingatkan siswa tentang materi pelajaran yang lalu
(membahas PR), memotivasi siswa, menyampaikan TPK, dan menjelaskan model
pembelajaran yang akan digunakan.
Kegiatan Inti
Tahap 1: Mengorientasikan siswa pada masalah
Pada kegiatan ini, guru menyajikan masalah, kemudian meminta siswa
mencermati dan mengidentifikasi masalah. Guru memberikan penjelasan mengenai
prosedur-prosedur apa yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Guru juga
menegaskan bahwa siswa dalam penyelidikannya akan didorong untuk mengajukan
pertanyaan dan mengumpulkan informasi. Guru akan bertindak sebagai pembimbing,
namun siswa harus berusaha memecahkan masalah yang diberikan dengan teman dalam
kelompoknya.
Tahap 2 : Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Pada kegiatan ini, siswa dikelompokkan secara bervariasi baik dalam tingkat
kemampuan dan jenis kelamin yang didasarkaan pada tujuan yang ditetapkan. Setelah
kelompok terbentuk, guru meminta siswa untuk berbagi tugas sehingga semua siswa
dalam kelompok-kelompok terlibat aktif dalam kegiatan penyelidikan (pengumpulan data)
yang akan dilakukan. Dengan bekerjasama diharapkan siswa dapat menyelesaikan
masalah yang diberikan.
Tahap 3 : Membimbing penyelidikan secara mandiri atau kelompok
Pada tahap ini, guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan mendorong
siswa untuk melaksanakan kerja mental (eksperimen) sampai mereka betul-betul
memahami situasi masalah yang diberikan. Tujuannya adalah agar siswa mengumpulkan
cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Setelah siswa
mengumpulkan data yang diperlukan dan telah melakukan eksperimen, guru mendorong
74
siswa untuk memberikan penjelasan mengapa mereka berpikir seperti itu. Guru bisa
mengajukan pertanyaan yang membuat siswa memikirkan tentang kelayakan hipotesis
dan pemecahan masalah mereka. Selama tahap penyelidikan, guru memberikan bantuan
yang dibutuhkan siswa tanpa mengganggu untuk sampai pada pemecahan masalah yang
dapat dipertahankan.
Tahap 4 : Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada kegiatan ini, guru meminta 2 orang siswa dari 1 atau 2 kelompok untuk
mempresentasikan hasil pemecahan masalah kelompoknya dan guru membantu jika siswa
mengalami
kesulitan.
Kegiatan
ini
berguna untuk
mengetahui hasil
sementara
pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi jajargenjang dan belahketupat yang
diberikan.
Tahap 5 : Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Pada kegiatan ini, guru membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses
berpikir mereka. Guru meminta siswa untuk melakukan rekonstruksi pemikiran dan
kegiatan selama tahap-tahap pembelajaran yang telah dilewatinya.
Penutup
Guru membimbing siswa menyimpulkan pembelajaran dan memberikan soal-soal
untuk dikerjakan di rumah.
6.7 Kelebihan dan Kekurangan PBM
Beberapa kelebihan model PBM adalah :
1.
Siswa lebih memahami konsep matematika yang diajarkan, sebab mereka sendiri
yang menemukan konsep tersebut.
75
2.
Melibatkan siswa secara aktif memecahkan masalah dan menuntut ketrampilan
berpikir siswa yang lebih tinggi.
3.
Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran matematika, sebab masalahmasalah yang diselesaikan dikaitkan dengan kehidupan nyata. Hal ini dapat
meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap matematika.
4.
Menjadikan siswa lebih mandiri dan lebih dewasa.
Kekurangan Model PBM
1. Tidak dapat diterapkan untuk semua materi pelajaran matematika. Hanya materi
tertentu saja yang dapat diajarkan dengan pembelajaran berdasarkan masalah.
2.
Membutuhkan persiapan yang matang.
3.
Memakan waktu yang relatif lama, sehingga dapat berakibat materi pembelajaran
kadang-kadang tidak tuntas penyelesaiannya.
Dengan adanya PBM diharapkan efektifitas pembelajaran dapat dibentuk. Suharman
(2000:1), mengatakan bahwa kefektifan belajar terjadi bila siswa secara aktif dilibatkan
dalam mengorganisasikan dan menemukan hubungan-hubungan informasi. Berbeda
dengan belajar yang pasif, siswa hanya menerima pengetahuan dari guru yang sudah
siap diberikan. Kegiatan belajar yang efektif tidak hanya meningkatkan pemahaman dan
daya serap siswa pada materi pembelajaran tetapi juga melibatkan ketrampilan berpikir.
Menurut Slavin dalam Sinaga (1999:20) keefektifan pengajaran dapat ditinjau dari
4 (empat) aspek, yaitu:
76
1. Kualitas pembelajaran, yaitu seberapa besar informasi atau ketrampilan yang disajikan
sehingga siswa dapat dengan mudah mempelajarinya. Kualitas pembelajaran sebagian
besar merupakan hasil dari kualitas kurikulum dan pembelajaran itu sendiri.
2. Kesesuaian tingkat pembelajaran, yaitu sejauh mana guru memastikan tingkat
kesiapan siswa untuk mempunyai informasi baru (yakni harus memiliki ketrampilan dan
pengetahuan yang perlu berkaitan dengan informasi itu). Dengan kata lain masalah yang
dibicarakan tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah.
3. Insentif, yaitu seberapa besar usaha guru memotivasi siswa untuk mengerjakan tugastugas belajar dan mempelajari materi yang disajikan.
4. Waktu, yaitu banyaknya waktu yang diberikan kepada siswa untuk mempelajari materi
yang disajikan.
Pembelajaran yang aktif terjadi apabila siswa terlibat aktif dalam menemukan
sendiri konsep dan aktif memecahakan masalah dengan bantuan guru sebagai fasilitator.
Guru tidak boleh mendominasi siswa dalam belajar dan tidak boleh sekedar memberi
ceramah. Akan tetapi, guru dituntut untuk mendorong siswa berpikir, memotivasi,
memberi petunjuk dan mengamati siswa bekerja. Sehingga, dalam kegiatan mengajar
perlu
diperhatikan
bagaimana
keterlibatan
siswa
dalam
pengorganisasian
pengetahuannya, apakah mereka aktif ataukah pasif ?.
Aktivitas siswa diklasifikasikan menjadi 2 (dua) bagian:
(1). Aktivitas Aktif
Indikator aktivitas siswa yang dikategorikan aktivitas aktif adalah jika siswa
melakukan aktivitas sebagai berikut :
a. Membaca atau mencermati (buku siswa, LKS, pemecahan masalah)
b. Bekerja dalam memecahkan masalah
c. Berdiskusi atau bertanya antar siswa atau kelompok atau guru
d. Menyajikan hasil pemecahan masalah
77
dan
e. Mengkaji ulang proses atau hasil pemecahan masalah
f. Menyimpulkan hasil pembelajaran
(2). Aktivitas Pasif
Indikator aktivitas siswa yang dikategorikan aktivitas pasif adalah jika siswa
melakukan aktivitas sebagai berikut :
a. Mendengarkan atau memperhatikan penjelasan guru atau siswa
b. Kegiatan yang tidak relevan dengan KBM
Pembelajaran efektif menghendaki guru agar melibatkan siswa secara aktif dalam
pembelajaran sehingga siswa mampu menemukan hubungan antara informasi baru
dengan informasi yang telah ia punya dan akhirnya ia mampu memahami informasi yang
diberikan guru. Semakin aktif siswa akan semakin efektif pembelajarannya.
Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran sangat berpengaruh terhadapa
proses kegiatan belajar dan hasil belajar siswa. Guru sebagai penyampai informasi tidak
hanya memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi guru
diharapkan mampu mengelola pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan
erpikir siswa. Keeektifan dari kemampuan guru mengelola pembelajaran, apabila nilai dari
indikator-indikator pada setiap tahap pembelajaran yang diberikan telah memenuhi
criteria yang telah ditetapkan. Dalam PBM ini, guru dalam mengelola pembelajaran
dikaatakan memenuhi eektivitas jika nilai retaa-rata indikator pada setiap tahap
pengelolaan pembelajaran yang diberikan oleh pengamat cukup baik atau baik (  3).
Respon siswa merupakan salah satu indikator keefektifan suatu rancangan
pembelajaran. Respon siswa dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang
menunjukkan bahwa siswa lebih menyukai sesuatu hal daripada hal lainnya. Dapat pula
dilihat melalui partisipasi dalam suatu aktivitas dan cenderung memberikan perhatian
yang lebih besar terhadap obyek tersebut. (Slamento dalam Siswono, 1999:17).
78
Dengan demikian perlu diungkap tanggapan siswa terhadap model PBM tersebut
apakah mereka berminat atau punya harapan positif dan suka terhadap model PBM
tersebut. Siswa dikatakan berminat terhadap model pembelajaran tersebut, bila rata-rata
persentase jawaban “ ya” dan “berminat” harus lebih besar dari 80 %.
Dalam kegiatan pembelajaran, guru perlu memotivasi, memfasilitasi dan
membantu siswa dalam belajar. Untuk mengetahui bagaimana hasil belajar siswa maka
diadakan tes. Tes hasil belajar berkaitan erat dengan pencapaian tujuan belajar. Jika hasil
tes belajar tinggi, maka menunjukkan tingkat pencapaian tujuan belajar yang tinggi pula.
Tingkat pencapaian tujuan belajar tidak lepas dari ketuntasan belajar. Belajar dikatakan
tuntas jika apa yang dipelajari siswa dapat dikuasai sepenuhnya atau siswa mencapai
taraf penguasaan tertentu mengenai tujuan pembelajaran yang ditetapkan dengan
standar norma tertentu pula. (Abdullah dalam Siswono, 1999:14).
Selanjutnya pengajaran dikatakan efektif apabila mampu mencapai sasaran yang
diinginkan baik dari segi tujuan pembelajaran maupun dari prestasi belajar siswa yang
maksimal. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
berdasarkan masalah ditinjau dari aktivitas guru dan siswa, kemampuan guru dalam
mengelola pembelajaran dan respon siswa memenuhi kriteria efektifitas. Akan tetapi hasil
belajar siswa belum mencapai ketuntasan belajar baik secara klasikal maupun ketuntasan
tujuan pembelajaran .
Berdasarkan
pada
kriteria
efektifitas
pembelajaran
berdasarkan
masalah
disimpulkan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah tidak efektif dalam
pembelajaran pada sub pokok bahasan jajargenjang dan belahketupat. Kemungkinan
tidak efektifnya model PBM disebabkan karena siswa- terbiasa untuk meniru atau
menerima apa yang diajarkan oleh guru atau meniru teman yang lebih pintar darinya.
Beberapa siswa cenderung meniru cara penyelesaian masalah yang ditemukan temannya.
79
80
Daftar Bacaan
Nurhayati Abbas. 2000. Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem-
Based Instruction) pada Pembelajaran Matematika di SMU. Tesis yang tidak
dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.
Suharsimi Arikunto. 1996. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Wahyudin Djumanta. 1999. Matematika Untuk SLTP Jilid 2. Bandung: Multi Trust.
Herman Hudojo. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.
M. Ibrahim dan M. Nur. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya.
Syamsul Junaidi dan Eko Siswono. 2002. Matematika Untuk SLTP Jilid 2
Kurikulum 1994 Suplemen GBPP 1999. Jakarta: ESIS Erlangga.
Kardi S., dan M. Nur. 2000. Pengajaran Langsung. Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya.
Jerold Kemp. 1994. Proses Perancangan Pengajaran (terjemahan Asril Marjohan).
Bandung: Institut Teknologi Bandung.
81
Netti Lastiningsih. 1996. Studi Korelasi antara Alih Bahasa dengan Prestasi
Menyelesaikan Soal Cerita di Kelas V SD Negeri Ketintang Surabaya, Skripsi
yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Mustangin. 2001.
Pengantar Metodologi Penelitian. Malang: Iniversitas Islam
Malang.
M. Nur dan Wikandari P.R. 1998. Pengajaran Berpusat pada Siswa dan
Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya.
Bornok Sinaga. 1999. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBI) pada
Kelas I SMU dengan Bahan Kajian Fungsi Kuadrat, Tesis Tidak Dipublikasikan.
Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Tatag YE Siswono. 2003. Proses Berpikir Kreatif dalam Pengajuan Masalah
(Problem Posing) Matematika. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstrukitvis dalam Pendidikan. Jakarta: Kanisius.
Turmudi. 2001. Matematika Untuk SLTP Kelas 2. Bandung: Grafindo Media
Pratama.
Emmy Nuniek Wulandari. 2002. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Masalah
(Problem-Based Instruction) pada Ukuran Pemusatan Siswa Kelas II SLTP
82
Raden Rahmat Surabaya, Skripsi tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya.
Daftar Bacaan
83
6
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil
analisis
deskriptif,
dapat
disimpulkan
bahwa
pembelajaran berdasarkan masalah ditinjau dari aktivitas guru dan siswa,
kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dan respon siswa memenuhi
kriteria efektifitas. Akan tetapi hasil belajar siswa belum mencapai ketuntasan
belajar baik secara klasikal maupun ketuntasan tujuan pembelajaran .
Berdasarkan pada kriteria efektifitas pembelajaran berdasarkan masalah
disimpulkan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah tidak efektif dalam
pembelajaran pada sub pokok bahasan jajargenjang dan belahketupat.
Kemungkinan tidak efektifnya model PBM disebabkan karena siswa- terbiasa
untuk meniru atau menerima apa yang diajarkan oleh guru atau meniru teman
yang lebih pintar darinya. Beberapa siswa cenderung meniru cara penyelesaian
masalah yang ditemukan temannya.
7 Saran
Berdasarkan
hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
pembelajaran
berdasarkan masalah belum dapat dikatakan efektif dalam mengajarkan sub
pokok bahasan jajargenjang dan belahketupat, karena dari segi ketuntasan
belajar belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Namun, dari hasil analisis
data mengenai aktivitas guru dan siswa dan kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran didapatkan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah mampu
mengaktifkan
siswa
dalam
belajar
dan
pembelajaran. Untuk itu disarankan kepada :
1. Guru
84
guru
tidak
lagi
mendominasi
a. Untuk menerapkan atau mencoba lagi pembelajaran berdasarkan
masalah karena model ini dapat memotivasi siswa aktif dalam belajar.
b. Sebelum melakukan kegiatan pembelajaran guru perlu mempersiapkan
kemampuan awal dan mengecek materi prasyarat yang diperlukan siswa
untuk belajar, sehingga siswa mudah memahami materi yang diajarkan.
85
c. Karena ketuntasan TPK dan ketuntasan belajar secara klasikal belum
tercapai
maka hendaknya guru melihat kembali kesulitan siswa dan
mengadakan pengajaran ulang.
2. Siswa
Dari segi ketuntasan TPK dan ketuntasan belajar secara klasikal belum
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, maka hendaknya siswa mengikuti atau
mencoba lagi pembelajaran berdasarkan masalah dan bekerjasama dengan
kelompok sehingga siswa dapat aktif dalam belajar.
Daftar Bacaan
Nurhayati Abbas. 2000. Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem-
Based Instruction) pada Pembelajaran Matematika di SMU. Tesis yang tidak
dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.
Suharsimi Arikunto. 1996. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Wahyudin Djumanta. 1999. Matematika Untuk SLTP Jilid 2. Bandung: Multi Trust.
Herman Hudojo. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.
86
M. Ibrahim dan M. Nur. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya.
Syamsul Junaidi dan Eko Siswono. 2002. Matematika Untuk SLTP Jilid 2
Kurikulum 1994 Suplemen GBPP 1999. Jakarta: ESIS Erlangga.
Kardi S., dan M. Nur. 2000. Pengajaran Langsung. Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya.
Jerold Kemp. 1994. Proses Perancangan Pengajaran (terjemahan Asril Marjohan).
Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Netti Lastiningsih. 1996. Studi Korelasi antara Alih Bahasa dengan Prestasi
Menyelesaikan Soal Cerita di Kelas V SD Negeri Ketintang Surabaya, Skripsi
yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Mustangin. 2001.
Pengantar Metodologi Penelitian. Malang: Iniversitas Islam
Malang.
M. Nur dan Wikandari P.R. 1998. Pengajaran Berpusat pada Siswa dan
Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya.
87
Bornok Sinaga. 1999. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBI) pada
Kelas I SMU dengan Bahan Kajian Fungsi Kuadrat, Tesis Tidak Dipublikasikan.
Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Tatag YE Siswono. 2003. Proses Berpikir Kreatif dalam Pengajuan Masalah
(Problem Posing) Matematika. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstrukitvis dalam Pendidikan. Jakarta: Kanisius.
Turmudi. 2001. Matematika Untuk SLTP Kelas 2. Bandung: Grafindo Media
Pratama.
Emmy Nuniek Wulandari. 2002. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Masalah
(Problem-Based Instruction) pada Ukuran Pemusatan Siswa Kelas II SLTP
Raden Rahmat Surabaya, Skripsi tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya.
88
Daftar Bacaan
BAB VI
PENGELOLAAN KELAS
6.1 Definisi Pengelolaan Kelas
6.2 Masalah dalam Pengelolaan Kelas
6.3 Cara dalam Menghadapi Pengelolaan Kelas
6.4 Rangkuman
89
Download