1 PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DAN EMOTIONAL INTELLEGENCE TERHADAP PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SISWA KELAS VII SMP WAHIDIYAH KEDIRI Nur Wachid Program Pasca Sarjana Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya [email protected] Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan strategi pembelajaran Problem Based Learning dan konvensional ( ceramah dan tanya jawab) terhadap prestasi belajar siswa, untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa antara siswa yang memiliki Emotional Intellegence tinggi dengan siswa yang memiliki Emotional Intellegence rendah dan untuk mengetahui kemungkinan adanya interaksi antara strategi pembelajaran Problem Based Learning dan konvensional ( ceramah dan tanya jawab ) dengan Emotional Intellegence terhadap prestasi belajar siswa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan kelas VII SMP Wahidiyah Kediri Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif jenis eksperimen. Hubungan yang diukur adalah hubungan sebab akibat atau kausal, dengan melakukan kontrol terhadap variabel independen. Adapun jenis rancangan penelitian yang digunakan adalah Factorial Design dua jalur. Sebelum Instrumen penelitian digunakan terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Teknik analisa data menggunakan Anava Dua Jalur yang sebelumnya dilakukan terlebih dahulu uji normalitas dan uji homogenitas Setelah melakukan penelitian diperoleh hasil yaitu, ada perbedaan prestasi belajar antara siswa yang diajar menggunakan Problem Based Learning, dengan pembelajaran Konvensional ( ceramah dan tanya jawab ), ada perbedaan prestasi belajar siswa yang memiliki Emotional Intellegence tinggi dengan siswa yang memiliki Emotional Intellegence rendah, ada interaksi antara strategi pembelajaran Problem Based Learning dan Konvensional ( ceramah dan tanya jawab) dengan Emosional Intelegence terhadap prestasi belajar PKn siswa kelas VII SMP Wahidiyah Kediri. kesimpulan dari penelitian bahwa strategi pembelajaran Problem Based Learning mempunyai hasil yang lebih baik dari pada strategi pembelajaran konvensional ( ceramah dan tanya jawab ), juga diperoleh hasil belajar siswa yang mempunyai Emosional Intelegence tinggi lebih baik dari pada siswa yang memiliki Emosional Intelegence rendah. Saran esensial dari penelitian ini adalah strategi pembelajaran Problem Based Learning bisa diterapkan di semua sekolah dengan karakteristik mata pelajaran yang sesuai dan guru perlu juga memperhatikan Emosional Intelegence siswa karena hal ini berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Kata Kunci : Strategi Pembelajaran Problem Based Learning, Emotional Intellegence, Prestasi Belajar 1. Pendahuluan Mutu pendidikan merupakan fokus perhatian yang tidak bisa diabaikan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sekolah Menengah Pertama atau SMP 2 merupakan salah satu pendidikan formal yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memberikan pengetahuan dan pengembangan pengetahuan bagi peserta didiknya. Karakteristik pebelajar yang beraneka ragam membuat proses pembelajaran menghadapi kesulitan dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. Masalah yang timbul bisa secara intern yaitu dari diri pebelajar itu sendiri, misalnya, bakat, minat, kecakapan, motifasi, kondisi fisik dan kecerdasan emosi, maupun yang bersifat ekstern yaitu berasal dari luar individu atau pebelajar misalnya lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Untuk menciptakan visi pendidikan dan memperbaiki kondisi pendidikan nasional maka tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk menciptakan kondisi belajar. Kondisi belajar adalah suasana yang harus diciptakan agar kegiatan dapat tercipta, tumbuh dan berkembang menjadi kesadaran bagi pebelajar. Dalam proses belajar mengajar diperlukan adanya suatu strategi yang dipakai untuk menyampaikan pesan atau materi pelajaran. Strategi adalah merupakan cara dalam fungsinya untuk mencapai tujuan. Strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diajarkan perlu terus diteliti dan dikembangkan agar pesan pembelajaran dapat mencapai sasaran. Pemilihan strategi mengajar khususnya untuk mata pelajaran pendidikan Kewarganegaraan dituntut untuk memperhatikan berbagai faktor. Pertimbangan khusus juga diperlukan mengingat karakteritik mata pelajaran pendidikan Kewarganegaraan yang berbeda dengan mata pelajaran yang lain. Strategi pembelajaran didefinisikan sebagai cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda dalam kondisi yang berbeda (Syaodih, 2009). Usaha menerapkan strategi mengajar bervariasi adalah salah satu upaya untuk menggugah semangat belajar siswa sehinga tujuan dari pembelajaran dapat tercapai. Salah satu strategi yang mungkin sesuai dengan karakteristik mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah strategi pembelajaran Problem Based Learning. Problem Based Learning (PBL) adalah suatu strategi pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap strategi ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah (Kamdi, 2007: 77). PBL atau pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran (mustaji, 2009). Penggunaan strategi pembelajaran Problem Based Learning ( PBL ) dilakukan karena PBL memiliki karakteristik sebagai berikut (Sanjaya, 2007) : (1) belajar dimulai dengan satu masalah, (2) memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran seputar masalah, bukan seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut siswa untuk mendemonstrasikan yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja. Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa pembelajaran dengan strategi PBL dimulai oleh adanya masalah yang dalam hal ini dapat dimunculkan oleh siswa ataupun guru, kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memcahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar. 3 Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, disamping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa strategi PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya pada siswa. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari, sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari. PBL merupakan strategi pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam strategi PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga siswa tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga strategi ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, siswa tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan strategi ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis. Kegagalan pembelajaran siswa pada sekolah sering kali para guru tidak mempertimbangkan faktor kecerdasan emosi, sebagai hal yang berbeda dari kemampuan yang diperoleh malalui belajar. Emotional Intellegence (EI) atau kecerdasan emosi adalah sesuatu yang merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khas, tentang suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak (Goleman, 2009). Emotional Intellegence merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan oleh para guru selain pemilihan strategi mengajar. Merujuk pada definisi EI diatas maka pembahasan mengenahi konsep EI sebenarnya tidak hanya berfokus pada skor EI saja akan tetapi yang lebih esensial dalam pembahasan mengenai konsep perasaan dan fikiran-fikiran khas. Karena yang diukur adalah emosi itu sendiri. Melihat hal tersebut maka peneliti terpacu untuk menguji apakah tingkat EI siswa berpengaruh dalam mencapai hasil belajar siswa pada suatu materi pembelajaran, yang dalam hal ini mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Dengan melihat kondisi pebelajar yang begitu komplek dengan berbagai latar belakang masing-masing, dan tingkat emosi siswa yang berfariasi antara satu siswa dengan siswa yang lainnya serta karakteristik mata pelajaran pendidikan Kewarganegaraan yang berbeda dengan mata pelajaran yang lain maka salah satu strategi yang diterapkan untuk memecahkan permasalahan tersebut penulis menggunakan pendekatan strategi pembelajaran Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah. 2. Kajian Pustaka a. Pembelajaran Problem Based Learning Pembelajaran Problem Based Learning pertama kali diterapkan di kanada pada tahun 1969 tepatnya di Mcmaster University of medicine. Sejak saat itu Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah ( PBM ) menyebar keseluruh dunia khususnya di pendidikan kedokteran dan keperawatan dan dibidang ilmu-ilmu lainnya. Arends (dalam Riyanto 2010), PBM adalah strategi pembelajaran yang menuntut siswa untuk memecahkan masalah kehidupan secara kolaborasi. Barraw (dalam Riyanto 2010) mendefinisikan PBM 4 sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa untuk menghadapi permasalahan melalui praktek nyata sesuai dengan kehidupan sehari-hari . Pembelajaran berbasis masalah adalah strategi pembelajaran yang menuntut peserta didik untuk berfikir kritis, memecahkan masalah, belajar secara mandiri, dan menuntut ketrampilan berpartisipasi dalam tim. Proses pemecahan masalah dilakukan secara kolaborasi dan disesuaikan dengan kehidupan ( barrows & Kelson, 2004 ). Sementara itu Boud & Feletti (1991) mendefinisikan pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan kearah penataan pembelajaran yang melibatkan para peserta didik untuk menghadapi permasalahan melalui praktek nyata sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Duch (1995 ) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu strategi pembelajaran yang menghadapkan peserta didik pada tantangan belajar untuk belajar. Siswa aktif untuk bekerjasama dalam kelompok untuk mencari solusi permasalahan dunia nyata (Mustaji, 2010). Permasalahan ini sebagai acuan bagi peserta didik untuk merumuskan, menganalisis, dan memecahkan masalah. Lebih lanjut Duch menyatakan bahwa strategi ini dimaksudkan untuk mengembangkan siswa berfikir kritis, analitis dan untuk menemukan serta menggunakan sumber daya yang sesuai untuk belajar. Dari berbagai definisi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu strategi pembelajaran yang dirancang dan dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik memecahkan masalah. Pemecahan masalah dilakukan dengan pola kolaborasi dan menggunakan kemampuan berfikir tingkat tinggi yaitu kemampuan analisis-sintesis, dan evaluasi atau menggunakan menemukan dalam rangka memecahkan suatu masalah. Dalam hal ini guru berperan mengajukan permasalahan nyata, memberikan dorongan, memotifasi dan menyediakan bahan ajar dan fasilitas yang diperlukan peserta didik untuk memcahkan masalah. Selain itu guru memberikan dukungan dalam upaya meningkatkan temuan dan perkembangan intelektual peserta didik. Kelebihan pembelajaran berbasis masalah adalah : 1. Peserta didik dapat belajar, mengingat, menerapkan, dan melanjutkan proses belajar secara mandiri. Prinsip-prinsip membelajarkan seperti ini tidak bisa dilayani melalui pembelajaran tradisional yang banyak menekankan pada kemampuan menghafal. 2. Peserta didik diperlakukan sebagai pribadi yang dewasa. Perlakuan ini memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengimplementasikan pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki untuk memecahkan masalah. Dalam rangka mengoptimalkan kualitas proses dan hasil pembelajaran berbasis masalah, Knowles ( 2003 ) mengusulkan kondisi yang sesuai dengan karakteristik peserta didik untuk belajar efektif yaitu : 1. Suatu lingkungan pembelajaran yang ditandai oleh kenyamanan fisik. 2. Kepercayaan timbal balik dan rasa hormat, bantuan timbal balik yang bermanfaat. 3. Kebebasan untuk mengungkapkan, diterimanya perbedaan, pengalaman sebagai tujuan belajar itu sendiri. 4. Belajar menerima tanggungjawab untuk perencanaan dan operasi belajar 5. Peserta didik mempunyai suatu komitmen untuk mengambil bagian dalam proses pembelajaran dengan aktif dan merasakan kemajuan kearah tujuan mereka sendiri. Arends, 2004 ( dalam Riyanto, 2010 ) mengidentifikasikan ada 6 keunggulan pembelajaran berbasis masalah yaitu : 1. Peserta didik lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut. 2. Menuntut ketrampilan berfikir tingkat tinggi untuk memecahkan masalah. 5 3. Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki peserta didik sehingga pembelajaran lebih bermakna. 4. Peserta didik dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah yang dikaji merupakan masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata. 5. Menjadikan peserta didik lebih mandiri dan lebih dewasa, termotivasi, mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif diantara peserta didik. 6. Pengkondisian peserta didik dalam bekerja kelompok yang saling berinteraksi, baik dengan guru maupun teman akan memudahkan peserta didik mancapai ketuntasan belajar. Karakteristik esensial PBM menurut Rideut (dalam Rusiono, 2009 ) adalah : 1) suatu kurikulum yang disusun berdasarkan masalah relevan dengan hasil akhir pembelajaran yang diharapkan bukan berdasarkan topik atau bidang ilmu dan 2) disediakannya kondisi yang dapat memfasilitasi kelompok bekerja/ belajar secara mandiri dan/ atau kolaborasi, menggunakan pemikiran kritis dan membangun semangat untuk belajar seumur hidup. Menurut Arends (dalam Riyanto, 2010) mengidentifikasikan 5 karakteristik pembelajaran berbasis masalah atau problem based learning yaitu : 1. Pengajuan Masalah Langkah awal dari pembelajaran berbasis masalah adalah mengajukan masalah selanjutnya berdasarkan masalah ditentukan konsep, prinsip serta aturan-aturan. Guru dapat membantu peserta didik untuk belajar memecahkan masalah dengan memberi tugas yang memiliki konteks kehidupan nyata dan dengan menghindarkan jawaban-jawaban tunggal dan sederhana. 2. Keterkaitan antar disiplin ilmu Walaupun pembelajaran berbasis masalah ditujukan pada suatu bidang ilmu tertentu tetapi dalam pemecahan masalah-masalah aktual, peserta didik dapat menyelidiki dari berbagai ilmu. 3. Investigasi autentik Dalam pembelajaran berbasis masalah amat diperlukan untuk menyelidi masalah autentik dan mencari solusi nyata atas masalah tersebut. Siswa menganalisis dan merumuskan masalah, mengembangkan hipotesis dan meramalkan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen (jika diperlukan ) membuat acuan dan menyimpulkan. 4. Memamerkan hasil kerja Strategi ini membelajarkan peserta didik untuk menyusun dan memamerkan hasil kerja sesuai dengan kemampuannya. Setelah peserta didik selesai mengerjakan lembar kerja, salah satu tim menyajikan hasil kerjanya didepan kelas dan peserta didik dari tim lain memberikan tanggapan, kritik terhadap pemecahan masalah yang disajikan oleh temannya. Dalam hal ini guru memberikan arahan, bimbingan, memberikan petunjuk kepada peserta didik agar aktivitas siswa terarah. 5. Kerja kolaboratif Strategi ini bercirikan dengan kerja sama antar siswa dalam satu tim. Kerja sama dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks dan meningkatkan temuan dan dialog pengembangan ketrampilan berfikir dan ketrampilan sosial. Indikasi kemandirian dalam Problem Based Learning atau Pembelajaran Berbasi Masalah dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut : 6 a. Siswa dihadapkan pada masalah yang memuat sejumlah konsep dan isu b. Siswa diberi kewenangan dan tanggungjawab yang cukup untuk menentukan pilihan tentang topik atau isu yang akan dipelajari c. Analisis kebutuhan dilakukan secara individual d. Dilakukan seleksi terhadap sumber belajar yang akan digunakan. e. Hasil sintesis atau investigasi yang dilakukan peserta didik disajikan kepada pihak lain f. Partisipasi didalam evaluasi yang dilakukan merupakan perilaku SDL ( Self directed learning ) lain yang diharapkan dari peserta didik. Walaupun pembelajaran berbasis masalah telah disesuaikan untuk penggunaaan dalam kelompok besar, pada awalnya pembelajaran tersebut ditujukan untuk kelompok kecil dan tetap menjadi strategi pilihan dalam kebanyakan program yang ada. Peserta didik biasanya berkumpul dalam kelompok yang terdiri dari 5-10 orang, paling sering dihadiri juga oleh pengajar, untuk mengkaji masalah yang disajikan. Sifat tatap muka dari proses tersebut mendorong peserta didik mengembangkan ketrampilan dan kemampuan untuk bekerja sama dalam kelompok b. Pembelajaran Konvensional Salah satu strategi pembelajaran yang masih berlaku dan sangat banyak digunakan oleh guru adalah strategi pembelajaran Konvensional. Pembelajaran Konvensional mempunyai beberapa pengertian menurut para ahli, diantaranya: 1. Djamarah (1996), strategi pembelajaran Konvensional adalah strategi pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan strategi ceramah, karena sejak dulu strategi ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah strategi Konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan. 2. Freire (1999), memberikan istilah terhadap pengajaran seperti itu sebagai suatu penyelenggaraan pendidikan ber “gaya bank” penyelenggaraan pendidikan hanya dipandang sebagai suatu aktivitas pemberian informasi yang harus “ditelan” oleh siswa, yang wajib diingat dan dihafal. Ciri-ciri Pembelajaran Konvensional Secara umum, ciri-ciri pembelajaran Konvensional adalah: 1. Siswa adalah penerima informasi secara pasif, dimana siswa menerima pengetahuan dari guru dan pengetahuan diasumsinya sebagai badan dari informasi dan keterampilan yang dimiliki sesuai dengan standar. 2. Belajar secara individual 3. Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis 4. Perilaku dibangun atas kebiasaan 5. Kebenaran bersifat absolut dan pengetahuan bersifat final 6. Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran 7. Perilaku baik berdasarkan motivasi ekstrinsik 8. Interaksi di antara siswa kurang 9. Guru sering bertindak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompokkelompok belajar. 7 Keunggulan dan kelemahan strategi pembelajaran Konvensional adalah: 1. Berbagai informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain 2. Menyampaikan informasi dengan cepat 3. Membangkitkan minat akan informasi 4. Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan 5. Mudah digunakan dalam proses belajar mengajar. Sedangkan kelemahan pembelajaran ini adalah sebagai berikut: 1. Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan 2. Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa yang dipelajari 3. Para siswa tidak mengetahui apa tujuan mereka belajar pada hari itu 4. Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas 5. Daya serapnya rendah dan cepat hilang karena bersifat menghafal. Jika dilihat dari tiga jalur penyampaian pesan pembelajaran, penyelenggaraan pembelajaran Konvensional lebih sering menggunakan strategi telling (pemberian informasi), ketimbang strategi demonstrating (memperagakan), dan doing direct performance (memberikan kesempatan untuk menampilkan unjuk kerja secara langsung). Dalam kata lain, guru lebih sering menggunakan strategi atau strategi ceramah atau drill dengan mengikuti urutan materi dalam kurikulum secara ketat. Guru berasumsi bahwa keberhasilan program pembelajaran dilihat dair ketuntasannya menyampaikan seluruh meteri yang ada dalam kurikulum. Pembelajaran yang bersifat linier didesain dengan kerangka kerja berupa serangkaian aktivitas belajar dalam suatu tata urutan yang sistematis dan hasil belajar (berupa prilaku) yang dapat ditentukan secara pasti (deterministik) serta teramati. Beberapa prinsip yang melatar belakangi desian pembelajaran linier adalah: (1) mengidentifikasi dan merumuskan tujuan pembelajaran, (2) hasil belajar yang diharapkan harus terukur serta sesuai dengan standar validitas dan reliabilitas, dan (3) desain berorientasi pada perubahan tingkah laku siswa. Kegiatan tanya jawab adalah strategi didalam pendidikan dan pengajaran dimana guru bertanya sedangkan siswa menjawab atau dari siswa kepada seorang guru tentang bahan matari yang ingin diperolehnya. Strategi ini layak dipakai bila dilakukan sebagai pengulangan pelajaran yang telah lalu serta ketika berlangsungnya pembelajaran, untuk merangsang siswa agar perhatian mereka lebih terpusat pada masalah-masalah yang sedang dibicarakan, dan untuk mengarahkan proses berfikir siswa. c. Emotional Intelegence Menurut Oxford English Dictionary, emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang meluap-luap. Daniel Goleman ( 2009 ) dalam bukunya Emotional Intelligence, emosi adalah sesuatu yang merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Sejumlah teoritikus mengelompokan emosi dalam golongan-golongan besar, meskipun tidak semua sepakat tentang golongan itu. Goleman ( 2009 ) mengatakan ada beberapa golongan utama emosi yaitu: 8 1. Amarah, bringas, ngamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan barangkali yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis. 2. Kesedihan, pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan jika menjadi patologis depresi berat. 3. Rasa takut, cemas, gugup, khawatir, was was, perasaan takut sekali, khawatir, waspada, sedih, tidak tenang, ngeri, takut sekali, kecut sebagai pobia dan panik. 4. Kenikmatan, sebagai gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang, senang sekali, dan batas ujungnya, mania. 5. Penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih. 6. Terkejut, terkesiap, takjub, terpana, jengkel, hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah, malu, rasa salah, malu hati, sesal, aib, dan hati hancur lebur. Alasan bahwa ada beberapa emosi inti, sampai tahap tertentu, bertumpu pada penemuan Paul Ekman dari University of California di sanfrancisco yang menyatakan bahwa ekspresi wajah tertentu untuk emosi, takut, marah, sedih, dan senang. Dikenal oleh bangsabangsa diseluh dunia dengan budayanya masing-masing, termasuk bangsa-bangsa buta huruf, yang dianggap tidak tercemar film dan televisi, sehingga menandakan adanya universalitas tersebut (Goleman, 2009 ). Ekman memperlihatkan foto-foto wajah yang memeperlihatkan ekpresi-ekpresi dengan ketepatan teknis kepada orang-orang dengan budaya yang terpencil seperti suku Fore di Papua Nugini, suku terpencil kebudayaan jaman batu didataran tinggi terasing, dan menemukan bahwa orang-orang dimanapun menemukan emosi dasar yang sama. Universalitas ekpresi wajah untuk emosi barangkali untuk pertama kalinya diamati oleh Darwin yang menganggapnya sebagai bukti bahwa daya evolusi telah mencapkan isyaratisyarat ini dalam sistem saraf pusat kita. Dalam mencari prinsip dasar yang menganggap emosi berdasar kerangka kelompok atau dimensi, dengan cara mengambil kelompok besar emosi, marah, sedih, takut, bahagia, cinta, malu dan sebagainya sebagai titik tolak bagi nuansa kehidupan emosional seseorang yang tak habis-habisnya. Masing-masing kelompok ini mempunyai inti emosi dasar dititik pusatnya, dengan kerabat-kerabatnya mengembang keluar dari titik pusat tersebut dalam proses mutasi yang tidak berujung. Tepi luar lingkungan emosi diisi oleh suasana hati yang secara teknis lebih tersembunyi dan berlangsung jauh lebih lama dari emosi. Diluar suasana hati itu terdapat temperamen, yaitu kesiapan untuk memunculkan emosi tertentu atau suasana hati tertentu yang membuat orang menjadi murung, takut atau gembira dan diluar bakat emosional seperti itu ada juga gangguan emosi seperti depresi klinis, atau kecemasan yang tidak kunjung reda, yaitu ketika seseorang merasa terus menerus terjebak dalam keadaan memedihkan. Pikiran emosional jauh lebih cepat dari pada pikiran rasional, langsung melompat bertindak tanpa mempertimbangkan bahkan sekejap pun apa yang dilakukan. Kecepatannya itu mengesampingkan pemikiran hati-hati dan analisis yang merupakan cirri khas akal yang berfikir. Dalam evolusi kecepatan itu sangat boleh jadi berkisar di seputar keputusan yang 9 paling dasar. Tindakan yang muncul dari pemikiran emosional membawa rasa kepastian yang sangat kuat, hasil samping dari cara pandang akan segala sesuatu yang sederhana dan sempit yang dapat sangat mengerikan bagi pikiran rasional. Karena interval antara apa yang memicu emosi dan ledakannya praktis hanya sekejap, mekanisme yang memahami persepsi haruslah mampu bertindak dengan sangat cepat, bahkan menurut waktu otak, yang dihitung dalam sepersekianribu detik. Penilaian akan perlunya bertindak itu harus menjadi otomatis, begitu cepat sehingga tidak pernah memasuki pikiran sadar. Jenis respon emosional yang cepat tetapi belum diolah ini melanda praktis sebelum kita betul-betul memahami apa yang terjadi. Paul Ekman (dalam Goleman, 2009 ) berpendapat bahwa kecepatan ini, dimana emosi dapat menguasai kita sebelum kita menyadari bahwa mereka telah mulai, sangat penting bagi sifatnya yang sangat mudah beradaptasi. Emosi menyiapkan kita untuk menanggapi peristiwa-peristiwa mendesak tanpa membuang waktu untuk merenung apakah kita harus bereaksi atau bagaimana kita harus merespon. Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan, sedangkan, kecerdasan (intelligence) mengacu pada kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan suatu hubungan. Kecerdasan emosi belakangan ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasan intelektual. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting daripada kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang. Slameto (2003: 56) mengemukakan bahwa intellegence atau kecakapan terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan kedalam situasi yang baru dan cepat efektif mengetahui atau menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat Kecerdasan emosi lahir seiring dengan pertumbuhan seorang individu sejak lahir hingga dia meninggal dunia. Pertumbuhan kecerdasan emosi dipengaruhi oleh keluarga, lingkungan sekitar dan contoh-contoh pengalaman yang diperoleh seseorang sejak lahir dari kedua orang tuanya. Goleman (2009), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, maka orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman (2009) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosi tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Berbeda dengan pemahaman 10 negatif masyarakat tentang emosi yang lebih mengarah pada emosionalitas. sebaliknya pengertian emosi dalam lingkup kecerdasan emosi lebih mengarah pada kemampuan yang bersifat positif. Kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk dapat merasakan dan memahami dengan benar, selanjutnya mampu menggunakan daya dan kepekaan emosinya sebagai energi informasi dan pengaruh yang manusiawi. Sebaliknya bila individu tidak memiliki kematangan emosi maka akan sulit mengelola emosinya secara baik dalam melakukan sesuatu. Disamping itu individu akan menjadi pekerja atau pelajar yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan, tidak mampu bersikap terbuka dalam menerima perbedaan pendapat , kurang gigih dan sulit untuk berkembang. Individu yang memiliki tahap kecerdasan emosi yang tinggi adalah seorang individu yang bisa menguasai perasaan dan tindakannya sendiri, mempunyai daya tahan yang kuat, bisa menguasai perasaan negatif serta mudah menjalin hubungan dengan orang lain. Sementara individu yang memiliki tahap kecerdasan emosi yang rendah akan berbuat mengikuti perasaan tanpa memikirkan akibatnya dan mempunyai tujuan hidup yang kurang jelas. Selain itu juga, individu tersebut kurang bias menguasai perasaan negatif serta kurang bisa menjalin hubungan dengan orang lain. 3. Metodologi Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, karena karakteristik data yang diperoleh lebih sesuai dianalisis dengan statistika. Jenis penelitiannya adalah penelitian eksperimen, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap variabel yang data-datanya belum ada sehingga perlu dilkukan proses manipulasi melalui pemberian treatmen perlakuan tertentu terhadap subyek penelitian yang kemudian diamati dan diukur dampaknya. Penelitian ini pada dasarnya penelitian kuantitatif jenis eksperimen. Hubungan yang diukur adalah hubungan sebab akibat atau kausal, dengan melakukan kontrol terhadap variabel independen berupa pretes dan post tes. Pre test-post test only control group design. Adapun jenis rancangan penelitian yang digunakan adalah Factorial Design dua jalur. Variabel bebas penelitian yakni strategi pembelajaran Problem Based Learning dan Konvensional (ceramah dan tanya jawab ) sedangkan variabel moderator ada dua yaitu Emotional Intellegence (EI) tinggi dan Emotional Intellegence (EI) rendah. Variabel terikatnya adalah Prestasi belajar siswa Pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn ). Adapun keterkaitan Penetapan kelompok dalam penelitian ini dilakukan secara acak dimana perlakuan strategi pembelajaran problem based learning dan strategi pembelajaran Konvensional (ceramah dan tanya jawab) dikenakan pada kelompok siswa yang memiliki Emotional Intellegence tinggi maupun kelompok siswa yang memiliki Emotional Intellegence rendah mengalami perlakuan yang sama Pembelajaran Problem Based Learning, Konvensional (ceramah dan tanya jawab ), Emosional intellegence dan prestasi belajar adalah variabel-variabel yang akan dibuktikan hubungan dan keterkaitanya dalam penelitian ini. Instrumen atau alat ukur pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Riduwan, 2004 : 98). Sesuai dengan jenis data 11 yang diperoleh maka alat ukur penelitian ini yang digunakan ada dua yaitu Instrumen untuk intervensi dan instrumen untuk mengukur hasil belajar. Instrumen yang pertama terdiri dari instrumen untuk penyelenggaraan aktivitas Problem Based Learning, dan panduan aktivitas untuk pembelajaran di kelas. Instrumen yang kedua meliputi alat ukur emosional intellegence dalam bentuk angket, yang kemudian diisi oleh siswa dan di skoring, sehingga menghasilkan skor yang membedakan siswa yang memiliki emotional intellegence tinggi dan siswa yang memiliki emotional intellegence rendah. Pembagian skor emotional intellegence tingga dan emotional intellegence rendah dilakukan dengan menggunakan strategi statistik frekwensi rata-rata (mean). 4. Hasil Pembahasan Dengan memperhatikan berbagai faktor antara lain: tujuan, ruang lingkup pembelajaran, karakteristik mata pelajaran PKn, karakteristik siswa Sekolah Menengah Pertama pada umumnya. serta beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penyajian pembelajaran PKn, maka salah satu strategi pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran PKn di SMP adalah strategi pembelajaran Problem Based Learning, sebagai strategi utama, sedangkan strategi yang Iain tetap dapat digunakan sebagai pelengkap. Jadi sesuai dengan karakteristik perkembangan siswa Sekolah Menengah Pertama, Strategi Pembelajaran Problem Based Learning merupakan strategi pembelajaran yang baik dibanding Strategi Pembelajaran Konvensional (ceramah dan tanya jawab). Ini sesuai dengan hasil penelitian, yaitu : 1. Ada perbedaan prestasi belajar antara siswa yang diajar dengan menggunakan strategi pembelajaran Problem Based Learning, dengan siswa yang diajar menggunakan strategi pembelajaran Konvensional ( ceramah dan tanya jawab) pada mata pelajaran PKn kelas VII SMP Wahidiyah Kediri Tahun pelajaran 2011/2012. Dari perhitungan didapat nilai Fhitung sebesar 4,279 dengan signifikansi 0,043. Dengan rata-rata prestasi belajar siswa yang diajar dengan menggunakan strategi pembelajaran Problem Based Learning sebesar 18,665 dengan signifikansi 0,000. 2. Adanya perbedaan yang signifikan antara siswa yang memiliki Emotional IntelIegence tinggi dengan Emotional IntelIegence rendah terhadap prestasi belajar mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di SMP Wahidiyah kediri. 3. Ada interaksi antara strategi pembelajaran Problem Based Learning, Strategi pembelajaran Konvensional (ceramah dan tanya jawab) dengan Emotional IntelIegence siswa terhadap prestasi belajar siswa kelas VII pada mata pelajaran PKn SMP Wahidiyah Kediri Tahun Pelajaran 2011/2012. Peneliti bisa menyimpulan dari hasil analisis kuantitatif bahwa angka-angka hasil analisis menunjukan ada perbedaan dan ada interaksi antara ketiga variabel tersebut. Sejauh ini penulis belum menemukan adanya penelitian yang mengkaji secara mendalam tentang Emotional IntelIegence terutama standar kecerdasan Emotional IntelIegence, sebagaimana dengan standar kecerdasan Intelektual yang sudah populer. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian lanjutan yang mengkaji secara mendalam tentang hubungan interaksi variabel-variabel penelitian yang penulis teliti. Emotional IntelIegence merupakan bidang kajian yang relatif baru dan belum menjadi perhatian yang mendalam dari para pendidik. Para pendidik lebih cenderung memperhatikan Intelektual Quatient ketimbang Emotional IntelIegence. Padahal peran 12 Emotional IntelIegence dalam meningkatkan prestasi belajar mempunyai pengaruh yang signifikan. Belakangan ini muncul strategi ilmiah untuk otak emosional yang menjelaskan betapa banyaknya diantara apa-apa yang dilakukan oleh seseorang dapat didorong oleh emosi, bagaimana seseorang bisa menjadi begitu rasional disuatu saat dan menjadi begitu tidak rasional pada saat-saat lainya dan pemahaman dimana emosi mempunyai nalar dan logikanya sendiri. Dua penilaian terbaik terhadap otak emosional diberikan oleh Paul Ekman, Kepala human interaction Laboratoryn di Universitas of California, San Francisco, dan Seymour Epstein, ahli psikologi klinis di Universitas of Massachutes. Meskipun Ekman dan Epstein masing-masing memiliki bukti ilmiah dengan bobot berbeda, mereka berdua memberikan daftar pokok ciri-ciri yang membedakan emosi dengan bagian lain kehidupan mental. 5. Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan sebagaimana diuraikan pada bab-bab sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada perbedaan yang signifikan prestasi belajar antara siswa yang menggunakan strategi pembelajaran Problem Based Learning, dengan siswa yang menggunakan Strategi pembelajaran Konvensional (ceramah dan tanya jawab) yang dikombinasi dengan tanya jawab pada siswa kelas VII pada mata pelajaran PKn SMP Wahidiyah Kediri Tahun Pelajaran 2011/2012. 2. Ada perbedaan yang signifikan prestasi belajar siswa yang memiliki Emotional IntelIegence tinggi dengan siswa yang memiliki Emotional IntelIegence rendah pada siswa kelas VII pada mata pelajaran PKn SMP Wahidiyah Kediri Tahun Pelajaran 2011/2012. 3. Ada perbedaan yang signifikan prestasi belajar siswa berdasarkan interaksi strategi pembelajaran Problem Based Learning dan Emotional IntelIegence dengan interaksi strategi pembelajaran Konvensional ( ceramah dan tanya jawab ) dan Emotional IntelIegence siswa kelas VII pada mata pelajaran PKn SMP Wahidiyah Kediri Tahun Pelajaran 2011/2012. Berdasarkan hasil analisis data dan kesimpulan maka beberapa saran dapat diberikan sebagai berikut: 1. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa strategi pembelajaran Problem Based Learning (PBL), mempunyai hasil yang lebih baik, maka perlu diterapkan untuk kelaskelas lain, juga diperoleh hasil belajar siswa yang mempunyai Emotional IntelIegence tinggi menunjukkan hasil belajar yang lebih baik sehingga diharapkan dalam setiap pembelajaran sebaiknya guru selalu membangun Emotional IntelIegence peserta didik agar meningkatkan hasil belajarnya. 2. Penelitian ini hanya dilakukan di satu sekolah yaitu SMP Wahidiyah Kediri dan dengan dua kelas, maka dimungkinkan akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda apabila dilakukan ditempat lain. Oleh karena itu untuk penelitian berikutnya perlu dikembangkan dengan mengambil sampel untuk sekolah lain dan kelas lain agar kesimpulan yang dihasilkan lebih umum. 3. Sebaiknya pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam dunia pendidikan, melalui dinas pendidikan mensosialisasikan dan mengadakan pelatihan penggunaan strategistrategi pembelajaran terbaru kepada jajaran lembaga pendidikan dibawahnya atau sekolah-sekolah yang ada karena terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar siswa yang 13 selalu ditekankan pada pembelajaran PAIKEM dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan. 14 DAFTAR PUSTAKA Ali, Atabik, 2003. Oxford English Dictionary, Yogyakarta : Multi Karya Grafita Arikunto, Suharsimi, 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Degeng, 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga pendidikan Tenaga Pendidikan. Djamarah, Syaiful Bahri. 1994. Prestasi Belajar dan kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional. Goleman, Daniel , 2009. Emotional Intellegence, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Hergenhahn, Olson, 2009, Theories Of Learning. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Irianto, Agus, 2009. Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Iskandar, 2009. Psikologi Pendidikan sebuah Orientasi Baru. Ciputat.: Gaung Persada Press. Miarso, Yusufhadi. 2011. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Muhibbin, 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Perss Mustaji, Rusiono, 2008, Penelitian Teknologi Pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press Mustaji, 2010, Pendekatan KonstruktivistikTeori dan Penerapan dalam Pembelajaran berbasis Masalah. Surabaya: Unesa University Press. _________, 2009. Teori dan Strategi Pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press Nurkencana. 2005. Evaluasi Hasil Belajar Mengajar. Surabaya: Usaha Nasional. Riyanto, Yatim , 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif dan Kuantitatif. Surabaya: Unesa University Press. ____________ 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Surabaya: Fajar Interpratama Offset. Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Silberman, Melvin. 2009. Active Learning 101 Cara belajar Siswa Aktif. Bandung: Nusamedia Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta Sumadi Suryasubrata. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sujanto, Agus. 1986. Psikologi Umum. Jakarta: Aksara Baru. Syaodih, Nana, 2009, Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Utami S.C Munandar. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: Grasindo. Winkel, W. S. 1983. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: Gramedia. Winarsunu, Tulus. 2010. Statistik dalam Penelitian Psikologi & Pendidikan. Malang: Umm Press www.gogle.co.id,http://muhammadkholik.wordpress.com/2011/11/08 www.gogle.co.id,http://edukasi.kompasiana.com