Studi Deskriptif Mengenai Gambaran Kecerdasan Emosional pada Guru TK di Kecamatan Jatinangor Aini Damayanti Program Studi S1, Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran ABSTRAK Peran guru TK yang penting dalam mengembangkan kemampuan sosioemosional anak usia dini, tidak terlepas dari karakteristik yang ada pada diri guru, salah satunya kapasitas kecerdasan emosionalnya. Kecerdasan emosional ini akan membuat guru mampu memahami diri dan orang lain dengan baik. Pada penelitian ini, subjeknya adalah guru TK yang berada di Kecamatan Jatinangor. Uji validitas alat ukur dilakukan menggunakan tipe evidence based on test content dan uji reliabilitasnya menggunakan cronbach alpha didapatkan sebesar 0,976. Menggunaan teknik sampel jenuh dan kuisioner berbentuk self repport, didapatkan sebanyak 24 orang responden. Hasilnya, sebanyak 13 guru (54%) memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Dari empat cluster yang ada, cluster social awareness dominasinya rata-rata pada seluruh responden. Kompetensi yang belum berkembang dengan baik pada mayoritas responden adalah emotional self-awareness, self-confidence, emotional self-control, initiative, emphaty, service orientation, organizational awareness, influence, dan conflict management. Dengan begitu kapasitas kecerdasan emosional responden masih perlu dikembangkan dengan mengembangkan kompetensi-kompetensi kecerdasan emosional, terutama kompetensi yang masih belum berkembang dengan baik. Uji korelasional menunjukkan tidak terdapat hubungan antara usia dengan skor kecerdasan emosional, namun terdapat hubungan yang sedang antara penghasilan dengan skor kecerdasan emosional. Kata kunci: Guru TK, kecerdasan emosional. PENDAHULUAN Sekarang ini, pendidikan usia dini ada berbagai macam rupa dan berbagai macam kelompok usia. Salah satu pendidikan anak usia dini adalah taman kanak-kanak, yang lebih lanjut akan disebut TK. Adapun dalam penjelasan pada Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 28 ayat 3, dikatakan bahwa taman kanak-kanak (TK) menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Pada masa-masa anak usia dini ini dianggap sebagai masa emas, yaitu masa-masa yang berperan penting untuk perkembangan aspek kognitif, sosial, dan emosi anak. Tujuan-tujuan tersebut dapat dirangkum menjadi tujuan untuk mencapai perkembangan sosioemosional serta akademik peserta didik sesuai dengan tahapan perkembangannya. Menurut Pianta (1999), perkembangan sosioemosional dan keahlian akademik merupakan salah satu mekanisme fungsi dari adanya relasi antara guru dengan murid. Hal ini membuat relasi yang terbangun memberikan pengaruh yang besar terhadap kompetensi murid pada masa kanak-kanak. Relasi antara guru dengan murid memainkan peranan penting dalam perkembangan emosi serta perilaku (Doll, 1996 dalam Pianta, 1999). Pianta (dalam Reynolds & Miller, 2003) sendiri menggambarkan bahwa relasi antara guru dengan murid ini bersifat resiprokal, dimana komponen dari relasi ini terdiri atas fitur-fitur yang ada pada guru dan murid yang berinteraksi secara resiprokal, dan pengaruh eksternal yang ada. Dalam hal perkembangan keahlian akademik dan sosioemosional, guru merupakan kunci utama di dalam setiap kelas (Pianta, 1999). Untuk mengembangkan keahlian tersebut, secara terus 1 menerus guru melakukan interaksi dengan muridnya, sambil mengemban tugas untuk dapat memberikan pengetahuan, meningkatkan keahlian, dan meningkatkan kompetensi anak. Interaksi yang terus menerus dilakukan ini lama kelamaan akan membangun relasi diantara pihak-pihak yang terlibat, dalam hal ini guru dan murid. Di dalam kelas, kunci dari kualitas relasi ini berkaitan dengan kemampuan atau keahlian guru untuk membaca tanda-tanda emosional serta sosial dari anak secara akurat, merespon pemunculan dari tanda-tanda tersebut, memberikan kehangatan emosional, menawarkan bantuan secara proporsional, menjadi model terkait regulasi perilaku, dan memberlakukan batasan yang tepat terhadap perilaku anak (Pianta, 1999). Karakteristik guru ini, dalam aspek psikologi, erat kaitannya dengan konsep emotional intelligence atau kecerdasan emosional. Sehingga dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional ini menjadi salah satu karakteristik yang ada pada diri seorang guru. Sudah barang tentu, seorang guru TK harus memiliki keahlian kecerdasan emosional, agar tidak mudah terbawa emosi negatif akibat frustrasi menghadapi anak-anak didiknya, mengingat emosi frustrasi merupakan emosi nomor pertama yang sering dikeluhkan oleh para guru (Sutton, 2007 dalam Garner, 2010). Apabila seorang guru memiliki kecerdasan emosional yang baik, ia akan mampu secara pantas mengekspresikan emosi serta perasaan mereka, kapan, dimana, dan kepada siapa hal tersebut hendak ditujukan. Kecerdasan emosional yang tinggi akan membantu seorang guru dalam membangun atau menciptakan suasana yang menyenangkan di dalam kelas. Suasana yang menyenangkan merupakan suasana ideal yang mampu mendukung proses kegiatan di dalam kelas, terutama dalam pendidikan TK yang kegiatannya selalu diisi oleh kegiatan bermain dalam rangka untuk mengembangkan kepribadian serta potensi sesuai dengan tahapan perkembangannya. Kecerdasan Emosional Daniel Goleman (1998) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai: “the capacity for recognizing our own feelings and those of others, for motivating ourselves, and for managing emotions well in ourselves and in our relationships” atau “kapasitas untuk mengenali perasaan didalam diri serta orang lain, memotivasi diri sendiri, dan untuk mengatur emosi diri dengan baik juga dalam berelasi dengan orang lain”. Didalam kecerdasan emosional ini terdapat empat cluster yaitu self awareness, self-management, social awareness, dan relationship management. Dari empat cluster tersebut, di dalamnya terdapat sebanyak 20 kompetensi yang satu rumpun. Self-awareness Adalah kemampuan untuk mengenali, memahami perasaan diri sendiri dan memiliki keyakinan terhadap dirinya. Terdiri dari kompetensi: a. Emotional Self-awareness. Kompetensi yang merefleksikan akan kemampuan seseorang untuk menyadari apa yang dirasakan oleh diri sendiri serta apa sebabnya. b. Accurate Self-Assessment. Kompetensi ini membuat seseorang peka terhadap kemampuan serta keterbatasannya, mencari umpan balik dan belajar dari kesalahan-kesalahannya. c. Self-Confidence. Kompetensi akan perasaan yang tinggi terhadap keberhargaan dan kemampuan diri. Self-management Adalah kemampuan untuk mengelola serta mengontrol dorongan-dorongan dalam diri. Terdiri dari kompetensi: a. Emotional Self-Control. Kompetensi untuk mengatur distress dan perasaan yang mengganggu. 2 b. Trustworthiness. Kompetensi yang membuat individu untuk membiarkan orang lain mengetahui nilai dan prinsip dirinya, intensi serta perasaan, dan berperilaku dengan konsisten terhadap hal-hal tersebut. c. Conscientiousness. Kompetensi yang di dalamnya terdapat kehati-hatian, kedisiplinan, serta kecermatan dalam suatu tanggung jawab. d. Adaptability. Kompetensi adaptability ini membuat seseorang terbuka akan informasi baru dan dapat melepaskan asumsi-asumsi lama dan menyesuaikan bagaimana perilakunya terhadap informasi baru tersebut. e. Achievement Drive. Mengacu pada kompetensi untuk tetap bekerja keras dengan optimis untuk peningkatan performa secara terus menerus. f. Initiative. Orang yang memiliki kompetensi ini akan mampu bertindak sebelum diminta untuk melakukannya oleh lingkungan eksternalnya, serta mengejar suatu tujuan melampaui apa yang diharapkan terhadap dirinya. Social-awareness Adalah kemampuan mengenali serta memahami orang lain dan lingkungannya. Terdiri dari kompetensi: a. Empathy. Kompetensi yang membuat seseorang sadar akan emosi, kebutuhan, dan apa yang dianggap penting bagi orang lain. b. Service Orientation. Kompetensi yang membuat seseorang mampu mengidentifikasi kebutuhan serta apa yang dianggap penting oleh klien atau pelanggan yang kemudian mencocokannya dengan produk atau layanan tertentu. c. Organizational Awareness. Kemampuan untuk membaca emosi yang ada dan keadaan politik di dalam kelompok, yang mampu menjadikan individu untuk menggunakan pangaruhnya, terlepas dari jabatan profesional mereka apa. Relationship management adalah kemampuan untuk mempengaruhi serta mengatur perubahan pada orang lain dan lingkungannya. Terdiri dari kompetensi: a. Developing Others. Melibatkan kemampuan merasakan kebutuhan seseorang untuk berkembang dan mendorong kemampuan-kemampuan mereka. b. Influence. Kompetensi yang dibutuhkan ketika kita mengontrol dan mengatur emosi orang lain secara efektif dan begitu persuasif. c. Communication. Kompetensi untuk secara efektif dalam memberikan dan menangkap informasi emosional, mendengarkan dengan baik, dan keterbukaan akan pertukaran informasi. d. Conflict Management. Kompetensi untuk menemukan permasalahan ketika akan terjadi dan mengambil langkah untuk menenagkan siapa saja yang terlibat. e. Visionary Leadership. Kompetensi yang menggambarkan rentang keahlian personal yang mampu menginspirasi orang lain untuk bekerja secara bersama-sama terhadap tujuan tertentu. f. Catalyzing Change. Kompetensi untuk mampu mengetahui kebutuhan akan perubahan, menghilangkan hambatan-hambatan, serta melibatkan orang lain dalam mencari inisiatif baru terhadap perubahan. g. Building Bonds. Kompetensi untuk membangun hubungan yang baik dengan orang-orang baru serta mempertahankan hubungan yang telah ada. h. Collaboration and Teamwork. Kompetensi untuk bekerja secara kooperatif dengan orang lain terhadap tujuan bersama. 3 METODE PENELITIAN Rancangan penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian noneksperimental. Adapun metode penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian deskriptif, sehingga fokusnya adalah mendeskripsikan fenomena, peristiwa, atau situasi (Christensen, Johnson, & Turner, 2011). Sedangkan untuk variabel yang digunakan adalah variabel kuantitatif, yaitu variabel yang bervariasi dari derajat ataupun jumlahnya (Christensen, Johnson, & Turner, 2011). Subjek penelitian Penelitian ini dilakukan pada guru TK se-Kecamatan Jatinangor menggunakan metode sampling jenuh. Dari 65 guru yang ada, didapat 24 guru yang bersedia menjadi responden penelitian. Pengukuran Kecerdasan emosional digambarkan menggunakan alat ukur yang berbentuk self-report questionnaire yang ditujukan untuk mengetahui frekuensi pemunculan perilaku kecerdasan emosional menggunakan skala Likert dengan Skala 1 sampai 7 (Goleman, 2001a) yang merentang dari “Tidak Pernah” hingga “Selalu”. Kuisioner kecerdasan emosional ini menggunakan konsep kecerdasan emosional Goleman tahun 2001 yang ada di dalam buku yang berujudul The Handbook of Emotional Intelligence karangan Chernis dan Goleman tahun 2001. Setelah dilakukan uji coba alat kur, hasilnya di akhirnya di dapatkan sebanyak 177 item. Analisis statistik Pada uji reliabilitas menggunakan Cronbach Alpha, didapatkan α=0,976. Skor tersebut menunjukkan bahwa alat ukur kecerdasan emosional bersifat reliabel. Uji validitas yang dilakukan menggunakan tipe evidence based on test content, yang mana peneliti melakukan pengujian validitas kepada dosen ahli yaitu Ibu Nurul Wardhani, S.Psi., M.Pd. dan Ibu Erna Susanti, M.Pd. HASIL & PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sebanyak 13 responden atau sebanyak 54% memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, sedangkan sisanya sebanyak 11 responden atau 46% memiliki kecerdasan emosional yang masuk dalam kategori rata-rata. Maka dapat dikatakan bahwa lebih dari setengah responden sudah mampu dengan baik dalam mengenali perasaan didalam diri serta orang lain, memotivasi diri sendiri, dan untuk mengatur emosi diri dengan baik juga dalam berelasi dengan orang lain. Kemampuan inilah yang akan membantunya dalam membangun atau menciptakan suasana yang menyenangkan di dalam kelas. Suasana yang menyenangkan merupakan suasana ideal yang mampu mendukung proses kegiatan di dalam kelas, terutama dalam pendidikan TK yang kegiatannya selalu diisi oleh kegiatan bermain dalam rangka untuk mengembangkan kepribadian serta potensi sesuai dengan tahapan perkembangannya. Hal tersebut dikarenakan kecerdasan emosional adalah kemampuan yang memiliki dampak terhadap bagaimana individu mengatur perilaku, mengarahkan perilaku sosial, dan membuat keputusan-keputusan personal yang menghasilkan hasil yang positif. Gambaran setiap cluster, pada cluster self-awareness terdapat 13 responden memiliki selfawareness yang tinggi, itu berarti 54% responden dapat dengan baik mengenali, memahami, dan 4 mengekspresikan emosi dan perasaan diri. Memiliki kemampuan self awareness yang dominan tinggi pada kelompok responden, artinya mayoritas responden memiliki pemahaman yang baik akan emosinya, kekuatan kelemahannya, dan keberhargaan dirinya. Guru yang memiliki self awareness adalah individu yang realistik, dimana ia adalah individu yang jujur terhadap dirinya dan jujur mengenai dirinya. Guru yang memiliki self aware akan mampu memhami nilai, tujuan, dan citacitanya. Individu akan tahu kemana dirinya mengarah dan mengapa ia memilih arah tersebut. Guru yang memiliki kemampuan ini adalah ia yang sering dan mudah dalam merefleksikan dirinya baik itu kelemahan ataupun kelebihannya selama ini. Memahami bagaimana emosi dan pikiran memengaruhi perilakunya, dan memahami bagaimana perilakunya berdampak pada rekan kerja dan muridnya adalah hal yang penting dan menjadi keahlian fundamental dalam kecerdasan emosional guru TK. Ketika seseorang memahami hubungan antara perilakunya dan bagaimana orang lain bereaksi, maka akan meningkatkan kemampuannya untuk dapat berdampingan dengan orang lain. Guru yang memahami bagaimana emosi yang ia rasakan dapat mempengaruhi performa dan hubungannya denan orang lain, ia akan lebih baik dalam mengontrol reaksinya terhadap situasi yang dapat memicu pemunculkan reaski negatif. Sekali individu sadar akan dampak dari emosinya, dia akan mengembangkan kemampuannya untuk mampu mengontrol emosi mereka. Cluster kedua, sebanyak 58,3% atau 14 responden memiliki self- management yang tinggi, ini berarti bahwa lebih dari setengah responden mampu dengan baik mengelola serta mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam diri mereka. Self management membuat guru akan mampu mengatur frustrasi, marah, takut, dan emosi negatif lain yang dirasakan ketika ia mengajar sehingga ia mampu mencapai tujuannya sebagai seorang guru. Sedangkan untuk emosi positif seperti antusiasme dan kesenangan biasanya tidak bermasalah pada individu guru. Kemampuan self management yang tinggi akan mampu membuat pikiran seorang guru menjadi jernih dan berkonsentrasi pada tugas mengajar yang ada. Dikarenakan emosi yang dirasakan seorang guru mampu “menular” pada orang-orang disekitar baik itu rekan kerja ataupun muridnya. Sehingga ketika seorang guru dikuasai oleh emosi negatif, akan membuat muridnya berada pada kondisi yang sama, dimana hasil belajar yang optimal tidak akan didapat pada situasi dan kondisi seperti ini. Guru juga akan mampu mengontrol emosi muridnya apabila ia lebih dahulu mampu mengontrol emosi negatif yang muncul pada dirinya. Dari empat cluster yang ada, cluster ketiga yaitu social-awareness memiliki jumlah responden terbanyak pada kategori rata-rata, dengan terdapat 16 responden atau sebesar 66,7% dari total responden, yang berarti bahwa mayoritas responden cukup mampu mengenali serta memahami orang lain dan lingkungan. Social awareness -terutama empati- menjadi penting bagi seorang guru untuk dapat mengatur hubungannya dengan murid maupun rekan kejanya. Dominansi rata-rata dalam kompetensi ini, termanifestasi dalam kemampuan memahami orang lain yang belum cukup baik. Dimana pemahaman guru terhadap apa yang orang lain rasakan pada suatu situasi tidak selalu dapat direspon secara tepat olehnya. Kemampuan ini juga akan membuat seorang guru hanya mampu secara cukup berbagi nilai dengan guru yang lain dan prioritasnya untuk mengarahkan kelompok. Guru yang kurang memiliki empati tanpa disadarinya akan mematikan relasinya dengan murid ataupun rekan kerjanya atau juga mungkin akan berespon dengan salah terhadap situasi emosional orang lain. Terakhir yaitu cluster relationship management, sebanyak 15 responden atau 62,5% total responden memiliki relationship management yang tinggi, ini berarti bahwa lebih dari setengah responden telah mampu dengan baik mempengaruhi serta mengatur perubahan pada orang lain dan lingkungannya. Menangani suatu hubungan (handling realtionship) tidaklah semudah yang dibayangkan, karena tidak hanya sebatas berteman dengan guru lain atau mengatur suatu relasi dengan muridnya yang telah ada, tetapi juga bagaimana mengatur suatu relasi dengan tujuan. Seperti pada responden penelitian ini, dengan tingginya cluster ini, dapat dikatakan bahwa mayoritas guru 5 mampu dengan baik mengarahkan muridnya untuk mampu mencapai tujuan pembelajaran di taman kanak-kanak. Itulah mengapa guru yang memiliki keahlian sosial memiliki kemampuan untuk dapat mempengaruhi orang lain dalam kelompok, baik itu rekan kerja ataupun muridnya. Meskipun demikian tidak berarti guru-guru ini selalu melakukan sosialisasi dengan guru lain, tetapi mereka menyadari bahwa pekerjaan tidak akan tercapai hanya dengan hanya bekerja sendiri. Guru yang memiliki kemampuan relationship management akan mampu mneginspirasi rekan kerja dan muridnya serta menggerakan mereka menuju tujuan dari kegiatan pembelajaran yang ada di taman kanak-kanak. Pada konsep Goleman, di dalam empat cluster kecerdasan emosional yang ada, terdapat total 20 kompetensi emosional yang menyusunnya. Kompetensi emosional adalah kemampuan yang dipelajari berdasarkan kecerdasan emosional, yang menunjukkan seberapa banyak individu telah mengasah potensi kecerdasan emosional, sehingga dapat menghasilkan performa unggul pada suatu pekerjaan. Pada tabel 4.4. ditampilkan bahwa dari seluruh responden penelitian, diketahui ada 9 kompetensi dari 20 kompetensi tersebut yang berada pada kategori belum berkembang dengan baik, yaitu kompetensi emotional self-awareness, self-confidence, emotional self-control, initiative, emphaty, service orientation, organizational awareness, influence, dan conflict management. Kelompok responden yang memiliki kecerdasan emosional yang rata-rata, ternyata memiliki cluster dan kompetensi yang seluruhnya didominasi oleh kategori rata-rata. Sedangkan kelompok responden yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, didukung oleh cluster yang seluruhnya berada pada kategori tinggi, meskipuin demikian masih ada kompetensi yang berada pada kategori rata-rata atau yang dimaknakan bahwa kompetensi tersebut belum berkembang dengan baik, kompetensi tersebut adalah emotional self-awareness dan ifluence. Pada uji-uji yang dilakukan antara skor kecerdasan emosional dengan data demografi, didapatkan bahwa usia responden tidak berhubungan dengan skor kecerdasan emosional. Padahal pada penjelasan yang dikemukakan oleh Goleman (1998), dikatakan bahwa kecerdasan emosional seseorang akan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya usia. Meskipun demikian, dalam jurnal yang ditulis oleh Ilhan Adilogullari (2011), dikatakan bahwa studi yang dilakukan Guijar et al (2010) dan Ozturk and Deniz (2008) menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kecerdasan emosional dan variasi usia. Pada faktor penghasilan responden, ditemukan berhubungan dengan skor kecerdasan emosional dengan korelasi yang sedang. Penjelasan adanya hubungan pada dua faktor ini dikarenakan kemampuan emosional membuat seseorang tidak hanya efektif dalam memproses informasi tetapi juga menggunakan informasi tersebut untuk membuatnya sukses di dunia sosial dalam organisasinya dalam mencapai kesejahteraan (Momm et all, 2014). KESIMPULAN & SARAN Kesimpulan Lebih dari setengah responden guru TK di Kecamatan Jatinangor memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, yaitu sebanyak 13 orang. Hal tersebut berati bahwa guru sudah mampu mengatur perilaku, mengarahkan perilaku sosial, dan membuat keputusan-keputusan personal yang menghasilkan hasil yang positif, sehingga mereka dapat dikatakan mampu mengenali perasaan didalam diri serta orang lain, memotivasi diri sendiri, dan untuk mengatur emosi diri dengan baik juga dalam berelasi dengan orang lain. Cluster yang muncul dominan pada kategori tinggi di seluruh responden adalah self awareness, self management, dan relationship management. Sedangkan cluster yang muncul dominan pada kategori rata-rata adalah social awareness, yang berarti bahwa mayoritas responden cukup mampu mengenali serta memahami orang lain dan lingkungan. 6 Berdasarkan 20 kompetensi kecerdasan emosional Goleman, kompetensi yang sudah berkembang dengan baik pada mayoritas responden adalah accurate self-assessment, trustworthiness, conscientiousness, adaptability, achievement drive, developing others, communication, visionary leadership, catalyzing change, building bonds, collaboration and teamwork. Sedangkan yang belum berkembang dengan baik pada mayoritas responden adalah emotional self-awareness, self-confidence, emotional self-control, initiative, emphaty, service orientation, organizational awareness, influence, dan conflict management. Responden yang memiliki kecerdasan emosional yang baik tidak menjamin bahwa kompetensi-kompetensi kecerdasan emosionalnya sudah berkembang dengan baik. Terakhir, faktor atau karakteristik yang diduga memiliki hubungan dengan kecerdasan emosional seperti usia, ternyata tidak berhubungan dengan skor kecerdasan emosional responden. Sedangkan pada faktor/ karakteristik penghasilan guru ditemukan berhubungan dengan skor kecerdasan emosional dengan tingkat korelasi yang sedang. Saran Saran teoritisnya adalah untuk penelitian selanjutnya yang melakukan studi mengenai kecerdasan emosional, agar dicobakan meneliti pada populasi dengan terdapat dua jenis kelamin yang berbeda. Kedua, untuk penelitian yang dilakukan dengan populasi guru, peneliti perlu mengetahui jadwal kesibukan guru terlebih dahulu, sehingga target sampel yang diharapkan peneliti dapat terpenuhi seluruhnya. Terakhir, jika terdapat sampel yang banyak, untuk pengujian validitas akan lebih baik lagi selain menggunakan tipe evidence based on test content, ditambahkan dengan pengujian validitas tipe evidence based on test content. Adapun saran aplikatifnya adalah Diharapkan dapat menjadi informasi bagaimana tingkat kecerdasan emosional dan cluster-nya pada responden penelitian sebagai anggota PKG (Pusat Kerja Gugus) PAUD Kecamatan Jatinangor. Selain itu, diharapkan dapat menjadi informasi kepada kepala TK di tempat responden penelitian bekerja, sebagai bahan evaluasi mengenai gambaran kecerdasan emosional. DAFTAR PUSTAKA Adilogullari, I. (2011). The teachers level of emotional intelligence some of the demographic variables for investigation. Educational Research and Reviews. American Educational Research Association, American Psychological Association, & National Council on Measurement in Education. (1999). Standards for educational and psychological testing.Washington, DC: American Psychological Association. Bar-On, R. (2000). Emotional and social intelligence: Insights from the Emotional Quotient Inventory (EQ-i). Dalam R. Bar-On & J.D.A. Parker (Eds.), Handbook of Emotional Intelligence. San Francisco: Jossey-Bass. Beaty, Janice J. (1994). Skill for preeschool teachers. New Jersey : Merril, an Imprint of Prentice Hall. Boyatzis, R. E., Goleman, D., & Rhee, K. S. (2000). Clustering competence in emotional intelligence: insight from the emotional competence inventory. Dalam R. Bar-On, & J. D. Parker, The Handbook of Emotional Intelligence. San Francisco: Jossey-Bass. Bradberry, T. & Greaves, J. (2003). Emotional Intelligence Appraisal: Technical Manual. TalentSmart, Inc.: San Diego, CA Christensen, L. B. (2007). Experimental Methodology. USA: Pearson. 7 Christensen, L. B., Johnson, R. B., & Turner, L. A. (2011). Research Methods, Design, and Analysis. Boston: Pearson. Cohen, Louis, et al. (2007). Research Methods in Education. New York: Routledge Ebel, R.L. & Frisbie, D.A. (1991). Essential of Educational Measurement. USA: Prentice-Hall, Inc. Emmerling, R.J. & Goleman, D. (2003). Emotional intelligence: issues and common misunderstandings. The Consortium for Research on Emotional Intelligene in Organizations. Gage, N. L., & Berliner, D. C. (1998). Educational Psychology. New York: Houghton Mifflin Company. Garner, P. W. (2010). Emotional competence and its influences on teaching and learning. Review Article. Goleman, D. (1998). Working with Emotional intelligence. New York: Bantam Books _______(2001a). An ei-based theory of performance. Dalam C. Cherniss, & D.Goleman, The Emotionally Intelligent Workplace. USA: Jossey-Bass. _______(2001b). Emotional intelligence: Issues in paradigm building. Dalam C. Cherniss & D. Goleman (Eds.), The Emotionally Intelligent Workplace. Jossey-Bass: San Francisco. Gordon, A.M., & Browne, K.W. (2011). Beginnings and Beyond: Foundations In Early Childhood Edication.USA: Wadsworth. Institute Career for Research. (2006). Career as a Kindergarten Teacher. Chicago: Careers Internet Database www.careers-internet.org. Jatinangor, P. P. (2013). Dasar penyelenggaraan pendidikan taman kanak kanak. Dari http://pkgpaudjatinangor.blogspot.co.id/2013/04/dasar penyelenggaraan-pendidikantaman.html (diakses 21 Januari, 2016). Kaplan, R. M. (2005). Psychological Testing: Principles, Applications, and Issues (6th ed.). USA: Wadsworth, Cengage Learning. Kerlinger, Fred N. (1998). Asas-asas Penelitian Behavioral (Diterjemahkan oleh Landung R. Situmorang dan H.J. Koesoemanto). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Pendidikan anak usia dini Penting dan genting. Dari www. kemdikbud.go.id/kemdikbud/node/3959 (diakses 4 Oktober 2015). Mahmud, M. D. (1990). Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Terapan. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Mayer, J. D., Caruso, D., & Salovey, P. (1999). Emotional intelligence meets traditional standards for an intelligence.Elsevier Science Inc. Momm, T., et all. (2014). It pays to have an eye for emotions: emotion recognition ability indirectly predicts annual income. Journal of Organizational Behavior . Nasution, S. (2007). Metode Research (Penelitian ilmiah). Jakarta: PT Bumi Aksara. Papalia, D. E., Gross D., Feldman R. D. (2003). Child Development: A Topical Approach. NY: McGraw-Hill. Pianta, R. C. (1999). Enhancing Relationship: Between Children and Teacher. Washington, DC: American Psychology Association. Reynolds, W. M., & Miller, G. E. (2003). Handbook of Psychology. USA: John Wiley & Sons, Inc. Santrock, J. W. (2010). Child Development. New York: Mc Graw Hill. Syarief, dkk. (2006). Studi Kegiatan Pengembangan Anak Usia Dini yang Holistik dan Terintegrasi. Staf ahli Meneg PPN Bidang SDM dan Kemiskinan. Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. BAPPENAS. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 28 ayat 3 8