BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melaju sangat pesat, pendidikan seharusnya berinovasi agar tidak ketinggalan perkembangan serta memiliki arah tujuan yang jelas. Di sinilah perlunya landasan filosofis yang mampu melandasi teori dan praktek pendidikan untuk mencapai keberhasilan yang nyata. Filsafat pendidikan adalah lajur yang dapat mendasari keberhasilan suatu pendidikan karena filsafat pendidikan menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang cara dan hasilnya serta hakikat ilmu pendidikan yang bersangkut paut terhadap struktur kegunaannya. Filsafat pendidikan ini perlu dipedomani oleh para perencana pendidikan tentang tujuan, isi, kurikulum yang merumuskan tujuan-tujuan pengubahan perilaku yang bersifat personal, sosial dan ekonomi. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum maka filsafat pendidikan pun terdiri beberapa aliran pendidikan. Salah satu aliran pendidikan tersebut pendidikan tersebut adalah aliran “realisme”. Realisme sekarang ini menerima dunia kesungguhan di luar kesadaran. Realitas yang diberikan tidak melalui pengetahuan langsung melainkan yang adanya diketahui dari pengalaman. Dengan demikian, dalam kegiatan pendidikan akan muncul masalah yang lebih luas, kompleks, dan mendalam serta tidak terbatas oleh pengalaman indrawi maupun faktafakta sehingga tidak dapat dijangkau oleh ilmu pendidikan (sains) saja. Masalah-masalah tersebut antara lain adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan hidup manusia. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan suatu fakta, namun pembahasannya tidak dapat dikaji hanya dengan menggunakan pendekatan sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam melalui filsafat. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana filsafat aliran realisme? 2. Apa bentuk filsafat aliran realisme? 3. Bagaimana impilkasi filsafat realisme dalam pendidikan? 1 1.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui filsafat aliran realisme. 2. Untuk mengetahui bentuk filsafat aliran realisme. 3. Untuk mengetahui implikasi filsafat realisme dalam pendidikan. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Istilah realisme berasal dari Bahasa Latin ”realis” yang berarti ”sungguh-sungguh, nyata benar”. Realisme adalah filsafat yang menganggap bahwa terdapat satu dunia eksternal nyata yang dapat dikenali. Karena itu, realisme berpandangan bahwa objek persepsi indrawi dan pengertian sungguh-sungguh ada, terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya karena objek itu memang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat ilmu filsafat1. Maka penganut aliran filsafat realisme berkeyakinan bahwa objek indera kita adalah riil atau sungguh-sungguh nyata adanya. Realisme juga berkeyakinan bahwa alam semesta hakikatnya berdiri sendiri diluar pikiran manusia (objektif).Penekanan filosof Realisme adalah kepada dunia luar yang berdiri sendiri. Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. 2.2 Bentuk-bentuk Filsafat Aliran Realisme Kneller membagi realisme menjadi dua bentuk, yaitu : 1) Realisme Rasional, 2) Realisme Naturalis.(Uyoh Sadullah : 2007 : 103). . 1. Realisme Rasional a. Realisme klasik Menurut Aristoteles, terdapat aturan, terdapat aturan moral universal yang diperoleh dengan akal dan mengikat manusia sebagai mahklul nasional. Realisme klasik oleh Brubacher (1950) disebut humanisme rasional. Realisme klasik berpandangan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki ciri rasional. Dunia dikenal melalui akal, dimulai dengan prinsip “self evident”, dimana manusia dapat menjangkau kebenaran umum. Self evident 1 Drs.H.Burhanuddin Salam,Pengantar Pedagogik,(Jakarta:rineka Cipta,2002),hal:33 2 merupakan suatu bukti yang ada pada diri (realitas, eksistensi) itu sendiri. Bahan pendidikan yang esensial bagi aliran ini, yaitu pengalaman manusia. Yang esensial adalah apa yang merupakan penyatuan dan pengulangan dari pengalaman manusia. Kneller (1971) mengemukakan bahwa realisme klasik bertujuan agar anak menjadi manusia bijaksana, yaitu seorang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan fisik dan sosial. b. Realisme religious Realisme religious terdapat dua order yang terdiri atas “order natural” dan “order supernatural”. Kedua order tersebut berpusat pada tuhan. Tuhan adalah pencipta semesta alam dan abadi. Pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan diri, guna mencapai yang abadi. Realisme religious menyetujui bahwa kita dapat memahami banyak hukum moral dengan mengunakan akal, namun secara tegas beranggapan bahwa hukumhukum moral tersebut diciptakan oleh Tuhan. Realisme religious beranggapan bahwa manusia diciptakan memiliki kemampuan untuk melampaui alam natural, yang pada akhirnya dapat mencapai nilai supernatural. Johan Amos Comenius merupakan pemikir pendidikan yang dapat digolongkan pada realisme religious. 2. Realisme Natural Ilmiah Realisme natural ilmiah dipelopori oleh Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill, dan lain-lainnya pada abad 15 dan 16. Pada abad ke-20 tercatat pemikiran-pemikiran seperti Ralph Borton Perry, Alferd Nortt Whitehead, dan Betrand Russel. Realisme natural ilmiah mengatakan bahwa manusia adalah organisme biologis dengan system syaraf yang kompleks dan secara inheren berpembawaan social (social disposition). Apa yang dinamakan berfikir merupakan fungsi yang sangat kompleks dari organism yang berhubungan dengan lingkungannya. Teori kebenaran yang dipergunakan oleh kaum realism natural ilmiah adalah teori “korespondensi” tentang kebenaran, yang menyatakan bahwa kebenaran itu adalah persesuaian terhadap fakta dengan situasi yang nyata, kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan mengenai fakta dengan faktanya sendiri, atau antara pikiran dengan realitas situasi lingkungannya. Mengenai konsep pendidikan realism natural, Brucher (1950) mengemukakan bahwa pendidikan berkaitan dengan dunia disini dan sekarang.Dunia bukan sesuatu yang eksternal, tidak abadi, melainkan diatur oleh hukum alam. Jiwa (mind) merupakan produk alam 3 dan bersifat biologis, berkembang dengan cara menyesuaikan diri dengan alam. Pendidikan menurut realism natural haruslah ilmiah dan yang menjadi objek penelitiannya adalah kenyataan dalam alam. 3. Neo-Realisme dan Realisme Kritis Aliran tersebut disebut “Neo-Realisme” dari Frederick Breed, dan “Realisme Kritis” dari Immanuel Kant. Menurut pandangan Breed, filsafat pendidikan hendaknya harmoni dengan prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi adalah hormat dan menghormati atas hak-hak individu. Pendidikan sebagai pertumbuhan harus diartikan sebagai menerima arah tuntunan social dan individual.Istilah demokrasi harus didefinisikan kembali sebagai pengawasan dan kesejahteraan social. Realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant, menurutnya semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semuanya dari pengalaman. Objek luar dikenal melalui indera, namun pikiran atau rasio, atau pengertian, mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut. Pengalaman merupakan suatu interpretasi tentang benda-benda yang kita terima melalui alat indera kita. Dan di dalam interpretasi tersebut kita mempergunakan suatu struktur untuk mengorganisasi benda-benda. Lebih lanjut Kant mengemukakan, bahwa manusia telah dilengkapi dengan seperangkat kemauan, sehingga kita dapat memberi bentuk terhadap data mentah yang kita amati. Dengan demikian, kita mungkin memiliki pengetahuan apriori, yang tidak perlu untuk mengalami sendiri untuk mendapatkan pengetahuan yang fundamental, dan pengetahuan yang aposteriori, pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman. Manusia tidak bisa mengetahui realitas yang sebenarnya, melainkan suatu realitas di luar pengalaman, dan merupakan objek pengetahuan. Kant mengakui, bahwa manusia tidak hanya memiliki kemampuan alamiah, melainkan juga memiliki kemampuan agama dan moral. 2.3 Realisme dan Pendidikan Teori Pengetahuan Pendidikan dalam realisme memiliki keterkaitan erat dengan pandangan John locke bahwa akan pikiran jiwa manusia tidak lain adalah tabula rasa, ruang kosong tak ubahnya kertas putih kemudian menerima impresi dari lingkungan. Oleh karena itu pendidikan dipandang 4 dibutuhkan karena untuk membentuk setiap individu agar mereka menjadi sesuai dengan apa yang dipandang baik. Dengan demikian, pendidikan dalam realisme kerap indentikkan sebagai upaya pelaksanaan psikologi behavioristik kedalam ruang pengajaran.(Wangsa Gandhi HW, Teguh. 2011: 143). Realisme juga menganut “prinsip independensi” yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang realitas tidak dapat mengubah substansi atau esensi realitas karena sebuah realitas bersifat objektif. Kebenaran pengetahuan diuji kesesuaiannya dengan fakta di dalam dunia material atau pengalaman dirinya. Teori ini dikenal sebagai “Teori Korespondensi” yaitu sebuah teori yang digunakan sesuai dengan penempatannya agar permasalahan dapat dipecahkan dengan tepat dan akurat. Implikasi Filsafat Realisme bagi Pendidikan Berdasarkan aliran realisme, maka tujuan pendidikan akan dirumuskan sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh peserta didik untuk menjadi seoptimal mungkin2. a. Siswa Siswa adalah sosok yang mengalami inferiosasi secara berlebih sebab ia dipandang sama sekali tidak mengetahui apapun kecuali apa-apa yang telah pendidikan berikan. Disini dalam pengajaran setiap siswa akan subjek didik tak berbeda dengan robot. Ia mesti tunduk dan patuh, sepatuh-patuhnya untuk deprogram dan mengerti materi-materi yang telah ditetapkan sedemikian rupa. Dalam hubungannya dengan pengajaran, peranan siswa adalah penguasaan pengetahuan yang dapat berubah-ubah. Dalam hubungannya dengan disiplin, tata cara yang baik sangat penting dalam belajar. Peserta didik perlu mempunyai disipilin mental dan moral untuk setiap tingkat kebajikan. Siswa berperan untuk menguasai pengetahuan yang diandalkan, siswa harus taat pada aturan dan disiplin, sebab aturan yang baik sangat diperlukan untuk belajar. Siswa memperoleh disiplin melalui ganjaran dan prestasi. b. Guru Peranan guru yang realis adalah menguasai pengetahuan, keterampilan teknik-teknik pendidikan dengan kewenangan untuk mencapai hasil pendidikan yang dibebankan padanya. Guru adalah pengelola KBM di dalam kelas (classroom is teacher centered), guru penentu materi 2 Prof. Imam Barnadib, M.A., Ph.D., Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 2002), hal. 15 5 pelajaran, guru harus menggunakan minat siswa yang berhubungan dengan mata pelajaran, dan membuat mata pelajaran sebagai sesuatu yang kongkret untuk dialami siswa.3 c. Kurikulum Kurikulum yang realis adalah kurikulum komprehensif yang berisi semua pengetahuan yang berguna bagi penyesuaian diri dalam hidup dan tanggung jawab sosial. Kurikulum pula berisi unsur-unsur pendidikan liberal atau pendidikan umum untuk mengembangkan kemampuan berpikir, dan pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja. Kurikulum pendidikan sebaiknya meliputi: (1) Sains dan Matematika, (2) Ilmu-ilmu Kemanusiaan dan Sosial, (3) Nilai-nilai. Kurikulum yang baik diorganisasi menurut mata pelajaran dan berpusat pada materi pelajaran (subject matter centered) yang diorganisasi menurut prinsip-prinsip psikologi belajar. Kurikulum direncanakan dan diorganisasi oleh guru atau orang dewasa (society centered). Isi kurikulum harus berisi pengetahuan dan nilai-nilai essensial agar siswa dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya, masyarakat, dan kebudayaanyang ideal. 4 d. Metode Pendidikan Semua kegiatan belajar berdasarkan pengalaman baik langsung maupun tidak langsung. Metode mengajar hendaknya bersifat logis, bertahap atau berurutan. Pembiasaan merupakan sebuah metode pokok yang dipergunakan baik oleh kalangan penganut realism maupun behaviorisme. Pembiasaan merupakan metode utama bagi filsuf penganut behaviorisme. Metode mengajar yang disarankan bersifat otoriter. Guru mewajibkan siswa untuk dapat menghafal, menjelaskan, dan membandingkan faktafakta, menginterprestasi hubungan-hubungan, dan mengambil kesimpulan makna-makna baru. Secara lengkap, menurut Power (1982) bahwa implikasi filsafat pendidikan realisme adalah sebagai berikut: (1) Tujuan: penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial; (2) Kurikulum: komprehensif mencakup semua pengetahuan yang berguna berisi pengetahuan umum dan pengetahuan praktis; (3) Metode: Belajar tergantung pada pengalaman baik langsung atau tidak langsung. Metodenya harus logis dan psikologis. Metode pontiditioning (Stimulua- 3 Burhadib Imam, Filsafat Pendidikan, Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan, 1926. 4 Ali Hamdani, Filsafat Pendidikan, kota Kembang, Yogyakarta 1987. 6 Respon) adalah metode pokok yang digunakan; (4) Peran peserta didik adalah menguasai pengetahuan yang handal dapat dipercaya. Dalam hal disiplin, peraturan yang baik adalah esensial dalam belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik; (5) Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar dan dengan keras menuntut prestasi peserta didik. Potret Realitas Yang Terjadi Dalam Dunia Pendidikan di Indonesia Guru : guru di sekolah kadang mengabaikan sisi psikologis dalam hubungan antara pendidik dan peserta didik. Misalnya, guru SMP dengan tipe mengajar hanya membaca materi. Sedangkan anak SMP berada pada usia remaja yang aktif maka gurupun kreatif menggunakan metode mengajar yang sesuai dengan tingkatan usia mereka agar menarik. uru harus lebih aktif agar pembelajaran menyenangkan, tidak monoton dan siswa dapat memahami materi secara keseluruhan. Karena dalam pandangan realis, apabila seorang guru menggunakan filsafat realisme, maka dia tidak akan melihat kepada sebuah pembelajaran yang hanya mementingkan materi dari pendidikan saja, akan tetapi guru juga mengetahui kondisi yang terjadi pada jiwa dari diri dia sendiri selaku pentransfer ilmu maupun siswa selaku penerima. Maka akan timbul pembelajaran yang lebih menyenangkan dan tidak mebosankan, karena guru dapat menyampaikan materi pembelajaran dengan memahami kondisi siswanya. Siswa : Siswa seringkali bermasalah dalam hal disiplin dan moral. Siswa-siswa memang menguasai pengetahuan tapi secara moral untuk peningkatan kebajikan menurut pandangan realisme ternyata kurang mendapat perhatian siswa. Misalnya, terjadi tawuran antara beberapa siswa bahkan sekolah sering terjadi di Indonesia. Dalam pandangan realisme hal ini menunjukan bahwa siswa tersebut tidak realis karena siswa yang realis adalah mampu menguasai pengetahuan, disiplin juga bermoral dan dapat dipercaya. Kurikulum : Kurikulum pada sekolah-sekolah tertentu kadang tidak mengutamakan pengetahuan yang berguna untuk penyesuaian diri siswa dengan lingkungan sosial maupun alam dan budaya. Kurikulum tersebut misalnya pada sekolah-sekolah yang berbasis fundamentalis. Hal tersebut, menurut ajaran realis tidaklah sesuai karena tidak 7 mengembangkan siswa pada arah penyesuaian diri terhadap lingkungan terutama budaya dan masyarakat yang majemuk seperti Indonesia. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari hal-hal tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa aliran filsafat realisme sangat bermanfaat dan dibutuhkan dalam dunia pendidikan karena pendidikan juga merupakan salah satu aspek dalam kehidupan manusia. Filsafat realisme yang dipelopori oleh beberapa filsuf dan ahli terkenal ternyata terbagi atas beberapa bentuk dan berkembang sesuai zaman. Filsafat realisme juga berjasa dalam dunia pendidikan karena menelaah realitas kehidupan pendidikan secara luas, karena pada dasarnya dalam pendidikan menurut pandangan realis ternyata pemahaman akan psikologi behaviroustik sangat diperlukan dalam dunia pendidikan. Hal inilah yang dihadapi oleh dunia pendidikan sekarang ini tak terkecuali Indonesia. Dengan demikian, komponenkomponen dalam dunia pendidikan yakni, tujuan pendidikan, guru, siswa, kurikulum, metode pendidikan dan lainnya akan dalam kesatuan yang riil maka pengamatan dan pengalaman menjadi hal penting demi berlangsungnya proses pendidikan. 8