Kuliah 1: Pengantar Teori Politik Internasional: 'Gugatan' dan 'Pencarian' M embaca fenomena Hubungan Internasional kontemporer seperti mengelilingi dunia tanpa batas, tanpa tujuan, tanpa kepastian. Dinamika perubahan dan keberlanjutan (continuity and change) yang begitu cepat membuat pengembangan pengetahuan Hubungan Internasional harus bergerak maju, sesuai kondisi dan tantangan zaman. Tak heran, sudah lebih dari tiga kali perdebatan besar terjadi dalam Hubungan Internasional, tak kunjung jua titik akhir itu bertemu. Sebuah 'Gugatan' Selama ini, Hubungan Internasional dicitrakan dalam perspektif yang sangat "realis": international politics adalah arena struggle of power, perebutan kekuasaan. CItraan ini tak salah. Dari Morgenthau hingga Waltz, sampai Nye dan Keohane yang lebih halus, selalu mendengung-dengungkan hal ini, dibaca oleh mahasiswa-mahasiswa HI, dan terkadang menjadi dogma tersendiri. Bicara soal politik internasional pasti akan bicara soal perlombaan senjata, hegemoni Amerika Serikat, Terorisme, dan sederet persoalan lain yang bermula pada nalar 'kedaulatan negara', dan bahwa formasi kekuasaan dibentuk dari sebuah entitas yang bernama 'negara', tak terkecuali pengetahuan. Dalam perspektif yang lebih kritis, hal ini bukannya tidak mengundang pertanyaan. Apakah benar bicara politik internasional hanya sekadar bicara pertarungan kekuasaan, dalam formasinya sebagai "Westphalian State" dan "Kedaulatan" semata? Pandangan yang melihat politik internasional hanya sebagai perwujudan dari 'arena perebutan kekuasaan' membawa konsekuensi-konsekuensi yang cukup fundamental, hingga mengantarkan politik internasional berada dalam posisi krisis beberapa dekade terakhir. Forma militerisme, dalam berbagai bentuknya, selalu saja menjadi opsi 'negara' dalam berbagai penyelesaian konflik. Realisme yang hegemonik justru memaksa negara-negara yang tak memiliki kuasa material untuk 'tunduk'. Realisme, meminjam Foucault sedikit, telah mengantarkan Hubungan Internasional berada dalam 'politik penundukan', mengatur, menghukum, mengeksploitasi, dan pada titik yang ekstrem 'menghancurkan' tubuh negara yang dikuasai dalam hubungan-hubungan kekuasaan yang merasuk ke dalam fondasi keilmuan Hubungan Internasional kita hari ini. Tentu saja, hal-hal tersebut perlu dibongkar. Forma hubungan internasional, meminjam istilah Muhadi Sugiono, bukan forma hubungan anti-kemanusiaan. Dalam konteks pengetahuan secara epistemologis, harus ada upaya 'dekonstruksi' dan 'rekonstruksi' atas setiap hal yang hampir menjadi dogma. Upaya-upaya untuk membongkar 'dogma-dogma' dalam HI tersebut mengantarkan kita pada sebuah pertanyaan kritis: adakah "yang-lain" dalam politik internasional? Bagaimana kita menempatkan 'moralitas' pada diskursus politik internasional? Bagaimana kerangka epistemologi Hubungan Internasional internasional kontemporer? dipertautkan dengan dinamika politik Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk menelaah kembali diskursus dan perdebatan dalam Hubungan Internasional secara lebih kritis dalam kerangka epistemologi. Teori Politik Internasional adalah fondasi bangunan yang cukup kritis dalam beberapa kali perdebatan dalam diskursus Hubungan Internasional Kontemporer. Dan fondasi kebangunan teoretik itu perlu dibongkar dan dikaji ulang melalui akar-akar pemikiran yang melandasi perdebatan tersebut. Dari mana, misalnya, Hans J. Morgenthau mendasarkan pandangannya tentang politik internasional sebagai 'struggle for power'? Atau bagaimana etika liberal mendapatkan relevansi dan tantangannya dalam diskursus teoretik Hubungan Internasional? Gagasan-gagasan ini perlu menjadi bahan perdebatan serius dalam studi Hubungan Internasional kita saat ini. Sebuah 'Pencarian' Dengan menggugat beberapa fondasi dasar tersebut, kita juga perlu memusatkan agenda pada 'pencarian' perspektif baru dalam studi Hubungan Internasional. Selama ini, Hubungan Internasional telah mengalami setidaknya tiga perdebatan besar -plus satu perdebatan antar-paradigma- yang semuanya masih bertahan dalam posisi teoretik masing-masing. Perdebatan pertama antara realisme vs idealisme, yang akhirnya mengarah pada perdebatan metodologis behavorialis vs tradisionalis, hingga perdebatan antara positivisme dan post-positivisme. Sebagai bagian 'civitas akademika' Hubungan Internasional, penting kiranya mendudukkan posisi kita dan berkecumpung dalam perdebatan ini. Akan tetapi, persoalan paling fundamental, menurut saya, adalah membangun dan memahami kerangka epistemologis pengetahuan kita. Pada titik inilah Teori Politik Internasional menemui momentumnya. Dengan membongkar-pasang kerangka teoretik yang ada, kita akan dapat belajar menempatkan perdebatan tersebut dalam posisi epistemik dan metodologis yang pas. Dan tentu saja, perdebatan tersebut tidak hadir dalam 'ruangruang kosong' alias hadir begitu saja sebagai sebuah perdebatan, melainkan memiliki pijakan sejarahnya sendiri-sendiri. Guna menceburkan diri dalam pencarian tersebut, kita perlu pula memahami sejarah dan pemikiran yang mendasari logika Hubungan Internasional yang ada saat ini. Dengan mempertanyakan beberapa hal yang sudah diulas di atas, kita akan dapat menggali Teori Hubungan Internasional dari 'jantung' pemikir-pemikir klasik. Thomas Hobbes, Thucydides, dan Reinhold Niebuhr akan menjadi 'makanan pembuka' yang cukup lezat guna memperdebatkan skeptisisme moral. Dari sisi negara dan hukum internasional, ada Grotius, de Vattel, atau van Purfendorf yang siap mengupas mengapa hukum internasional itu makes sense. Dan dari sisi moral-etik, ada Almarhum Adam Smith, John Rawls, dan Immanuel Kant yang siap dengan argumen-argumen mereka soal etika liberal. Tentu saja, memahami pemikiran para tokoh bersejarah tersebut bukan hanya melihat 'isi' kepala mereka yang dituangkan dalam literatur-literatur, melainkan pula memahami konteks dan relevansi pemikiran tersebut. Ini penting, agar teori politik internasional tidak disalahpahami sebagai 'kuliah tentang pemikiran tokoh', melainkan jauh melangkah sebagai fondasi paling penting dari struktur kebangunan Ilmu Hubungan Internasional saat ini. Dengan memetakan pemikiran-pemikiran tokoh tersebut, kita bisa memetakan dimana posisi scholars Hubungan Internasional terkemuka saat ini. Dan yang lebih penting lagi, dimana posisi teoretik kita sebagai calon scholars Hubungan Internasional di masa yang akan datang. Maka dari itu, Teori Politik Internasional adalah menyangkut epistemologi yang dibangun dalam Hubungan Internasional. Dan dengan mengikuti kuliah ini, semoga kita semua dapat semakin memahami realitas politik internasional dalam kacamata yang lebih jernih, dan pemahaman teoretik yang semakin mendasar. Bacaan Lebih Lanjut: Anthony Wight. "Why is There No International Theory?" (1966) Antonio Negri dan Michael Hardt. Empire. Verso (2000) Hans J Morgenthau. Politics Among Nations. Alfred and Knopf (1956) Justin Rosenberg. "Why is There No International Historical Sociology?" European Journal of International Relations 12 (2006) John Rawls. A Theory of Justice. Michael Foucault, Discipline and Punish: The Birth of Prison Muhadi Sugiono, "Cosmopolitanism and World Politics". Jurnal Global dan Strategis (2011) Shaummil Hadi. Third Debate dan Kritik Positivisme Hubungan Internasional. Jalasutra (2006) Samuel van Purfendorf. On The Duty of Man. Thomas Hobbes. The Leviathan Ahmad Rizky Mardhatillah Umar [email protected] Tutor