/RELEVANSI REALISME POLITIK H.J.MORGENTHAU TERHADAP POLITIK INTERNASIONAL KONTEMPORER I. Pendahuluan. Buku Politics Among Nations yang ditulis oleh H.J Morgenthau merupakan suatu masterpiece dalam studi hubungan internasional. Buku ini dianggap sebagai titik tolak bangkitnya “realisme dari dominasi idealisme yang menguasai studi hubungan internasional paska Perang Dunia ke I”. Dalam Politics Among Nations: Struggle For Power and Peace, HJ.Morgenthau menuliskan enam prinsip realisme politik., dan berikut ini rangkuman enam prinsip relisme politik HJ.Morgenthau yang ditulis oleh J.Ann Tickner : A Critique of Morgenthau’s Principles of Political Realism, hal.19. 1. Politics like society in general, is governed by objective laws thet have their roots in human nature, which unchanging ; therefore it is possible to develop a rational theory that reflects these objective laws. 2. The main signpost of political realism is the concept of interest defined in term of power which infuses rational order into the subject matter of politics, and thus makes the theoretical understunding of politics possible. Political realism stresses the rational, objective and unemotional. 3. Realism assumes that interst defined as power is an objectve category which is universally valid but not with a meaning that is fixed once and for all.Power is control of man over man. 4. Political realsm is aware of the moral significance of political actions. It is also aware of the tension between moral command and the requirements of successful political actions. 1 5. Political realsm refuses to identify the moral aspirations of a particular nations with the moral laws that govern the universe. It is the concept of interest defined in terms of power that saves us from moral excess and political folly. 6. The political realist maintains of the political sphere. Politics Among Nations : Struggle for Power and Peace diterbitkan pada tahun 1948, keenam prinsip realisme politik Morgenthau tersebut masih relevan dengan politik internasional kontemporer yang terjadi pada saat ini. Secara umum relevansi realisme politik Morgenthau hingga saat ini karena kesadaran Morgenthau untuk memisahkan antara sesuatu yang nyata dan factual dari sesuatu yang diharapkan atau ingin dicapai.Jadi yang ditulis oleh Morgenthau berdasarkan keadaan yang benar terjadi pada saat itu bukan berdasarkan khayalan atau pengharapan dari Morgenthau. Kesadaran Morgenthau ini dipengaruhi oleh E.H.Carr [1939],1964 : 9. yang menyatakan bahwa a true science must account of ‘what is’ and not focus just on ‘what should be”. II. Pembahasan. Beberapa alasan mengapa dikatakan bahwa realisme politik Morgenthau masih relevan dengan keadaan politik kontemporer pada saat ini dengan membahasnya satu persatu. 1. Human nature yang disebutkan disini dapat dianggap sebagai sifat yang ada pada manusia. Sifat self-centered, self-regarding, and self –interested yang merupakan salah satu dari beberapa human nature yang dimaksud, dimiliki oleh tiap manusia sejak dulu dan sampai saat ini masih ada pada tiap individu. Karena pada dasarnya manusia mementingkan dan memperjuangkan kepentingan dirinya. Sifat tiap individu tersebut 2 juga dapat terefleksiksn oleh sifst suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain. Bila diamati hubungan yang terjadi anatar negara pada saat ini dapat dilihat bahwa dalam hubungannya tersebut tiap negara memiliki sifst self-centered, self-regarding, and self-interested. 2. Pengertian national interest yang didefinisikan sebagai power sampai saat ini juga masih relevan. National interest yang diperjuangkan oleh suatu negara akan berujung pada pencapaian power. Power didefinisikan oleh Morgenthau tidak hanya sebagai sasaran melainkan juga sebagai tujuan, misalnya untuk memperbesar power,suatu negara mempergunakan power yang telah dimilikinya untuk dapat mencapainya. Power juga dapat diartikan sempit sebagai force. Karena power tidak terbatas pada kekuatan militer atau secara fisik saja, tetapi ancaman atau tekanan secara psikologis juga dapat dikatakan sebagai suatu power. Dalam hal ini dapat diberikan contoh mengenai kepemilikan senjata nuklir oleh suatu negara. Bila suatu negara memiliki senjsts nuklir, meskipun belum digunakan untuk menyerang negara lain, tapi negara yang telah memilikinya, baik itu telah menguasai pembuatan maupun baru mulai mengembangkannya saja, akan sangat diperhitungkan oleh negara lain. Negara tersebut dianggap telah memiliki power yaitu suatu tekanan secara psikologis terhadap negara lain walaupun negara tersebut belum menggunakannya secara nyata. Contoh konkritnya adalah kepemilikan senjata nuklir oleh India menimbulkan reaksi dari Pakistan untuk mengembangkan senjata nuklir juga. Walaupun sampai sekarang India belum pernah meluncurkan senjata nuklirnya untuk menyerang Pakistan dan jika ditanya mengenai senjata nuklir yang dimilikinya, pihak India akan memberi jawaban diplomatis bahwa senjata nuklir tersebut tidak untuk tujuan perang melawan Pakistan, tetapi hanya suatu alat untuk mempertahankan diri (defence). Tetapi karena geografi Pakistan yang berbatasan langsung dengan .India dan kedua negara sering terlibat konflik terutama di daerah Jamnu dan Kashmir, maka Pakistan akan selalu mencurigai dan bersiap-siap untuk menghadapi serangan senjata nuklir dari India. 3 Jadi suatu negara dapat menekan negara lain dengan powernya dalam hal ini melalui senjata nuklir untuk mendapatkan national interest yang didefinisikan oleh Morgenthau sebagai power. . 3. National interest yang didefinisikan sebagai power artinya dapat berubah-rubah tergantung dari waktu dan lingkungan. Hal ini terlihat relevansinya ketika mengamati peubahan-perubahan kebijakan luar negeri suatu negara terhadap negara lain yang terjadi. Kebijakan luar negeri suatu negara terhadap negara lain pasti berbeda, hal ini tergantung dari national interest negara tersebut terhadap negara yang ditujunya. Tetapi bukan berarti kebijakan luar negeri negara A akan selalu sama dari waktu ke waktu terhadap negara B. Kebijakan luar negara A terhadap negara B dapat saja berubah, hal ini tergantung keadaan di negara B,karena dengan seiring waktu berjalan keadaan juga dapat berubah, lebih baik atau menjadi lebih buruk dari yang telah diperkirakan sebelumnya oleh para pembuat kebijakan. Contohnya adalah kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada Perang Dingin untuk membantu negara-negara dunia ketiga baik dalam bidang militer maupun ekonomi untuk membendung pengaruh Uni-Soviet, Setelah berakhirnya Perang Dingin yang ditandai oleh runtuhnya Uni-Soviet, maka Amerika Serikat mulai memberikan bantuannya kepada negara-negara pecahan Uni-Soviet. Dengan demikian perubahan kebijakan luar negeri tetap merupakan salah satu bentuk penyesuaian national interest Amerika Serikat pada negara-negara tersebut. 4. Realisme menyadari peranan moral dalam politik praktis dan menyadari ketegangan antara perintah moral dengan prasyarat untuk terjadinya suatu aksi politik yang berhasil. Ketegangan ini sampai saat ini masih terjadi dimana seringkali moral diabaikan demi berjalannya politik praktis. Ketegangan antara keduanya ditengahi oleh pendapat yang mengatakan bahwa moral yang dimiliki oleh individu itu berbeda dengan yang dimiliki oleh negara. Karena bagi 4 suatu negara ada moral yang dianggap lebih tinggi yaitu national survival, maka moral tersebut akan dilanggar. Masalah mengenai moral juga muncul akibat berbedanya standar atau pandangan mengenai moral dari setiap negara. Maka tidak ada moral yang dapat diberlakukan secara universal. Yang menjadikan moral lebih sulit adalah apa yang dianggap baik oleh suatu negara belum tentu baik bagi negara lain begitu juga sebaliknya. Contoh yang terjadi adalah penyerangan pasukan Israel terhadap penduduk Palestina banyak dikecam oleh masyarakat internasional, tetapi Israel menyatakan penyerangan yang dilakukan sebagai bentuk upaya untuk mempertahankan national survival. 5. Realis menolak mengidentifikasi moral dari negara-negara tertentu dengan hukum-hukum moral berlaku secara universal. Bahwa tidak ada suatu moral yang dapat diberlakukan secara universal, karena semuanya itu tergantung tempat dan waktu serta kebudayaan masyarakat yang telah ada. Sampai saat ini juga terlihat bahwa moralmoral yang diuniversalkan sebenarnya merupakan upaya dari suatu negara demi kepentingan mereka untuk mencapai power. Maka power sangat menentukan moral judgment dari suatu tindakan politik. Seperti halnya demokrasi yang sangat ditekankan oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Dngan power yang besar maka suatu tindakan politik akan dapat “diterima” 6. Kehidupan politik itu sangat berkaitan erat dengan banyak aspek kehidupan lainnya seperti antara lain ekonomi, hukum, moral. Tetapi realis ingin tetap menjaga kemandirian politik dari aspek yang lainnya. Keinginan suatu negara adalah power seperti halnya keinginan dari seorang praktisi ekonomi yaitu mencapai suatu keuntungan. Keterkaitan antara aspek-aspek itu sangat besar, tetapi dalam kaitannya dengan politik semua itu ditempatkan dibawah politik itu sendiri, karena tetap saja power sebagai national interest adalah tujuan yang utama. 5 Sampai saat kini banyak sekali kejadian yang mengindikasikan masih relevannya prinsip realisme dari Morgenthau ini. Salah satunya adalah pendudukan Israel terhadap beberapa wilayah Arab mendapat kecaman dari seluruh dunia bahkan PBB mengeluarkan suatu resolusi, tetapi sikap pemerintah Amerika Serikat seperti “menutup mata” terhadap perlakuan Israel tersebut. Berbeda halnya dengan invasi yang dilakukan oleh Irak pada tahun 1990-an terhadap Kuwait, Amerika Serikat bereaksi sangat keras sampai menjadi motor pembentukan force untuk membebaskan Kuwait. Dari segi hukum kedua negara agresor tersebut tidak dapat dibenarkan. Tetapi perbedaan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap kedua negara agresor tersebut tentunya berpulang pada national interest Amerika Serikat itu sendiri. Untuk acuan relevansi realisme politik Morgenthau dapat juga dilihat dari politik internasional kontemporer yang terjadi seperti interdependensi, globalisasi dan moralitas internasional. Sebagai penjelasan argumentatifnya adalah : Interdependensi merupakan suatu bentuk hubungan kerjasama ekonomi antara negara-negara maju yang dikeluarkan oleh kaum liberal institutionalsm. Sebelumnya akan dijelaskan dahulu mengenai arti interdependensi itu sendiri, yang berasal dari kata interdependence yang dalam studi hubungan internasional berarti a condition where the action of one state impact upon other state, [John Baylis dan Steve Smith, The Globalization of World Politics An Introduction to International Relation, Oxford, New York, 1999, hal.122].States yang dimaksud disini adalah negara-negara maju. Menurut Liberal Institutionalism dengan adanya interdependensi maka muncul aktoraktor baru yang memiliki peran yang besar selain aktor negara, seperti antara lain ,multinational corporations, organisasi internasional. Keberadaan non-state actors ini mengurangi sovereignty yang dimiliki oleh negara. Jika dilihat dari sejarah yang melatar belakangi pemikiran dari liberal institutionslism untuk menyatakan munculnya kekuatan non-state actors tersebut dengan adanya Bretton Woods System, International Monitery Fund, World Bank, World Trade Organization, dan semua terjadi atas perundingan antar perwakilan-perwakilan negara. 6 Walaupun dalam agenda yang dibawa utusan-utusan tersebut banyak sekali kepentingan non-state actor yang ada, tetap saja ketika perundingan dijalankan, para juru runding diutus sebagai perwakilan sebuah negara bukan atas nama suatu multinational corporation. Kepentingan-kepentigan non-state actors tersebut telah dijadikan suatu bentuk kepentingan negara. Oleh karenaitu pada akhirnya peranan suatu negara tetap dominan. Selain itu dalam kegiatannya suatu non-state-actors yang bermarkas di suatu negara harus mematuhi peraturan yang dibuat oleh negara tersebut. Peraturan-peraturan yang dibuat didalamnya mungkin tidak akan menempatkan kontrol negara mengenai hal tersebut secara menyeluruh, tetapi tetap untuk regulasi atau kebijakan hal tersebut dipegang oleh negara. Jika suatu kepentingan non-state-actors sesuai dengan kepentingan negara tempat ia berada maka kepentingan mereka akan diakomodasi dan diperjuangkan oleh negara sebagai kepentingan nasionalnya. Tetapi jika kepentingan suatu non-state actors tidak sesuai dengan kepentingan negara maka kepentingannya tidak akan diperjuangkan oleh negara tersebut. Sebagai contoh adalah usaha yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat menekan pemerintah Jepang untuk membuka pasarnya terhadap produk-produk hasil industri Amerika Serikat. Lobbi ini dilakukan dengan banyaknya kepentingan multi nasional Amerika Serikat untuk memperluas pangsa pasar mereka. Karena kepentingan multinasional Amerika Serikat ini sejalan dengan kepentingan negara yaitu untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi jumlah pengangguran,maka pemerintah turut memperjuangkan kepentingan multinasional corporations tersebut sebagai kepentingan negara. Dengan power yang dimilikinya, Amerika Serikat dapat menekan pemerintahan Jepang, dan sebaliknya karena Jepang merasa bahwa Amerika Serikat membutuhkan kerjasama dengan Jepang sebagaimana Jepang membutuhkan kerjasama dengan Amerika Serikat, maka akhirnya Jepang membuka pasarnya lebih besar lagi untuk barang-barang Amerika Serikat. Karena itu berdasarkan argumen tersebut dapat 7 dijelaskan bahwa dengan adanya interdependensi tidak menjadikan realisme politik Morgenthau menjadi usang. Globalisasi menurut Anthony Giddens: 1990 didefinisikan sebagai “the intensifications of world wide social relations which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events occurring many miles away and vice versa. Globalisasi yang terjadi sering dikaitkan dengan antara lain aaaaa; kegiatan ekonomi, perkembangan teknologi. Dengan teknologi yang maju memungkinkan srasuatu yang terjadi walaupun berjarak jauh antara satu dengan yang lainnya, tetapi masing-masing dapat saling mempengaruhi. Globalisasi dari segi ekonomi tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada interdependensi ekonomi yaitu kegiatan perekonomian suatu negara akan sangat berpengaruh dan dipengaruhi oleh kegiatan perekonomian negara lain, yang berbeda adalah bahwa yang mengalami globalisasi ini bukan hanya antar negara maju, tetapi hal tersebut juga terjadi diantara negara maju dengan dunia ketiga serta antar negara duni ketiga, tetapi tetap hal ini tergantung dari power yang dimiliki oleh negara tersebut untuk mencapai kepentingannya. Dengan globalisasi maka interaksi kerjasama perekonomian antar non-state actor sangat bebas dan leluasa, seakan-akan tidak terpengaruh oleh batasan negara lagi.. Jika dilihat lebih jauh sebenarnya sebebas apapun batas negara itu tetap ada. Jika sekarang batas-batas itu semakin kabur maka hal tersebut tidak terlepas dari perjanjian yang telah disetujui oleh negara dan kebijakan perekonomian yang dikeluarkannya untuk mengurangi kontrol mereka terhadap kegiatan produksi maupun konsumsi, tetapi hukum negara yang mengatur hal tersebut masih tetap ada. Pengaruh teknologi memberikan kekuatan baru bagi non-state actors dalam pelaksanaan kegiatan mereka. Jika suatu negara benar-benar dapat menggunakan teknologi tersebut seperti non-state actors menggunakannya, maka hal tersebut akan menambah power bagi negara itu sendiri. 8 III. Penutup. Pada bagian akhir akan dijelaskan mengenai relevansi prinsip realisme Morgenthau dengan moralitas internasional. Moral dapat diartikan berbeda-beda oleh suatu negara, menjadikannya sangat sulit untuk menetapkan suatu bentuk moral yang dapat berlaku secara universal. Karena itu jika ada moral yang dipaksakan berlaku secara universal, hal tersebut lebih merupakan upaya suatu negara untuk mencapai power. Power yang dimiliki oleh suatu negara seringkali dijadikan sebagai suatu moral judgment bagi suatu tindakan politik, seperti invasi Amerika Serikat terhadap Haiti untuk mengembalikan presiden yang terpilih melalui pemilu ke tampuk kekuasaan. Dengan powernya Amerika Serikat berupaya menegakkan demokrasi di Haaiti, tetapi sebenarnya presiden tersebut digulingkan oleh kudeta militer akibat kebijakannya selama ini yang mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyat Haiti. Dengan power yang dimiliki oleh Amerika Serikat maka moral judgement dapat membenarkan tindakan Amerika Serikat. Jika merujuk pada Piagam PBB tentang sovereignty sebuah negara yang isinya adalah “No state or group of states has the right to intervene, directly or indirectly, for any reason whatever, in the internal or external affairs of any other state” [UN 1970], Robert Jackson dan Georg Sorensen, Introduction to International Relations, Oxford, 1999, hal. 263., maka sebenarnya yang dilakukan Amerika Serikat itu tidak dapat dibenarkan, tetapi dapat menjadi “benar” dengan power yang dimiliki Amerika Serikat. . 9 Daftar Pustaka 1. Bailys, John and Steve Smith, The Globalization of World Politics : An Introduction to International Relation. Oxford. New York. 1997. 2. Holsti, K.J. International Politics : A Framework of Analysis. Prentice Hall. Inc. 3. J. Ann Tickner, A Critique of Morgenthau’s Principles of Political Realism. 4. Jackson, Robert and Georg Sorensen. Introductions to International Relation. Oxford Press. New York. 1999. 5. John Vasquez, The Enduring Contributions of Hans J . Morgenthau’s Politics Among Nations. 6. Lee Ray, James. Global Politics. Houghton Mifflin Co. Boston. 1998. 10 RELEVANSI REALISME POLITIK HJ MORGENTHAU TERHADAP POLITIK INTERNASIONAL KONTEMPORER MAKALAH Oleh : DRA DEWI UTARIAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJADJARAN 2006 11 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR……………………………………… i. DAFTAR ISI……………………………………………….. ii. I. Pendahuluan…………………………………………… 1. II. Pembahasan…………………………………………… 2. III. Penutup……………………………………………….. 9. DAFTAR PUSTAKA……………………………………… 10. 12 KATA PENGANTAR Makalah ini menggambarkan dan menjelaskan mengenai prinsip Realisme Politik yang dikemukakan oleh H>J>Morgenthau. Realisme politik percaya terhadap “hukum-hukum obyektif” yang berakar dalam kodrat manusia sebagai pengatur masyarakat pada umumnya. Konsep kepentingan yang berdasarkan kepada power merupakan papan penunjuk bagi realisme politik dalam percaturan politik internasional. Bahwa power sebagai konsepsi kunci dari kepentingan akan selalu berubah pada setiap saat dan dalam segala keadaan. Realisme politik menyadari adanya manfaat moral bagi tindakan politik tetapi menyadari pertentangan antara titah moral dengan tindakan politik yang berhasil dan tidak menutupi pertentangan tersebut, sehingga membuat kabur masalah moral dan politik. Realisme politik menolak menyamakan aspirasi moral suatu bangsa dengan hukum moral yang mengatur semesta. Semoga makalah ini memberikan manfaat dan berguna bagi penulis khususnya dan bagi mereka yang memerlukannya sebagai referensi. September,2006 Penulis, Dewi Utariah 13