Teori Komunikasi Massa - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Teori Komunikasi
Teori Komunikasi Massa
Fakultas
Program Studi
Fakultas Ilmu
Komunikasi
Bidang Studi
Advertising and
Marketing
Communication
Tatap Muka
09
Kode MK
Disusun Oleh
MK85004
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Abstract
Kompetensi
Terdapat banyak perkembangan teori komunikasi khususnya
komunikasi massa, pada modul ini aka nada pembahasan
mengenai beberapa teori komunikasi massa
Mahasiswa mampu
memahami kerangka
dasar dari berbagai teori
dan model komunikasi
massa
Teori Komunikasi Massa
1. Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)
Ini adalah salah satu teori yang mempelajari bagaimana media dapat mempengaruhi
kita . Di antara tiga teori yang membahas tentang hal itu , adalah teori yang paling umum
Efek tradisi . Sejak dulu , para peneliti percaya pada " teori peluru ajaib " dalam efek
komunikasi . Individu diyakini secara langsung dan mudah dipengaruhi oleh pesan media,
karena media dianggap sebagai kekuatan besar untuk membentuk opini publik .
Raymond Bauer menolak gagasan bahwa efek langsung dari karya - jarum suntik di
antara komunikator dan khalayak , dan mempertimbangkan berbagai variabel yang
berhubungan dengan efek bentuk pada penonton dengan berbagai cara .
Teori hipodermik - jarum diikuti dengan " dua aliran hipotesis . " Dua aliran hipotesis
ini adalah gagasan bahwa media menginformasikan pemimpin opini , yang bisa
mempengaruhi orang lain melalui komunikasi pribadi .
Pada tahun 1960 , percaya bahwa efek media yang dimediasi oleh variabel lain .
Iklan produk tertentu dapat mempengaruhi atau tidak mempengaruhi kita , tergantung pada
variabel lain , misalnya , dengan siapa kita menonton iklan tersebut , dll .
Dalam survei literatur tentang efek komunikasi , Klapper mengembangkan tesis
bahwa komunikasi adalah bukan keharusan dan cukup menyebabkan efek pada penonton ,
tetapi dimediasi oleh variabel lain .
Teori paparan selektif muncul untuk menjelaskan media yang dipengaruhi dalam
tingkat yang moderat . Menurut teori ini , efek pada penonton dipengaruhi juga oleh
selektivitas , baik sebagai kelompok atau pribadi .
Selektif hipotesis paparan memprediksi bahwa dalam banyak situasi , orang akan
cenderung memilih informasi yang konsisten dengan sikap mereka .
Dibandingkan dengan teori peluru , penguatan dan eksposur selektif teori
menganggap bahwa komunikasi massa lebih kompleks daripada apa yang dibayangkan .
Teori ini sepenuhnya memperhitungkan berbagai situasi dengan variabel yang akan
menghambat efek media .
Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami
perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya
pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-individu dipercaya
sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap
berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close
Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat
menggosok gigi.
Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow)
menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang
minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi
banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana
baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media
massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil
atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada
variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects
model).
‘13
2
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi
sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh yang
kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan
teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann
melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.
2. Teori Peluru (The Bullet Theory of Communication)
Wilbur Schramm
Teori peluru merupakan teori pertama tentang pengaruh atau efek komunikasi massa
terhadap khalayaknya. Teori peluru ini pertama kali dikemukakan oleh Wilbur Schramm dan
memiliki beberapa macam istilah yang masing-masing dicetuskan oleh sebagian para pakar
teori komunikasi. Istilah itu di antaranya:
1. Teori ”jarum suntik” (Hypodermic needle theory) yang dikemukakan oleh David K. Berlo, dan
2. Teori “stimulus-respons” oleh DeFleur dan Ball-Rokeach.
Teori peluru ini diperkenalkan pada tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran
kaleideskop stasiun radio CBS di Amerika yang berjudul “The Invasion From Mars”. Isi teori
ini mengatakan bahwa rakyat benar-benar rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa.
Ia menyebutkan pula bahwa apabila pesan ”tepat sasaran”, ia akan mendapatkan efek yang
diinginkan.
Sedangkan istilah teori ”jarum suntik” atau hypodermic needle theorysecara harfiah
berasal
dari
kata
bahasa
inggris,
yaitu hypodermic berarti
”di
bawah
kulit”
dan needle bermakna ”jarum”. Istilah ini mengasumsikan anggapan yang serupa dengan
teori peluru, yaitu media massa menimbulkan efek yang kuat, terarah, segera dan langsung.
‘13
3
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Anggapan ini pula adalah sejalan dengan pengertian ”perangsang tanggapan” atau
”stimulus-respons” yang mulai dikenal sejak penelitian ilmu jiwa pada tahun 1930-an.
Menurut Wilbur Schramm, pada tahun 1950-an, teori peluru adalah sebuah proses di
mana seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib
kepada khalayak yang bersifat pasif tidak berdaya. Akan tetapi dalam karya tulisnya yang
diterbitkan pada awal tahun 1970-an, Schramm meminta kepada para peminatnya agar teori
peluru komunikasi itu dianggap tidak ada, sebab khalayak yang menjadi sasaran media
massa itu ternyata tidak pasif.
Pernyataan Schramm tentang pencabutan teorinya itu didukung oleh Paul Lazarsfeld
dan Raymond Bauer. Lazarsfeld mengatakan bahwa jika khalayak diterpa peluru
komunikasi, mereka tidak jatuh terjerembab. Kadang-kadang peluru itu tidak menembus.
Adakalanya pula efek yang timbul berlainan dengan tujuan si penembak, yaitu media
massa. Seringkali pula khalayak yang dijadikan sasaran senang untuk ditembak.
Sementara itu, Raymond Bauer menyatakan bahwa khalayak sasaran tidak pasif.
Mereka bandel (stubborn). Secara aktif mereka mencari yang diinginkan dari media massa.
Jika menemukannya, lalu mereka langsung melakukan penafsiran sesuai dengan
kecenderungan dan kebutuhannya.
Sejak tahun 1960-an banyak penelitian yang dilakukan para pakar komunikasi yang
ternyata tidak mendukung teori peluru tadi. Kini timbul apa yang dinamakan limitted effect
model atau model efek terbatas, antara lain penelitian Hovland yang dilakukan terhadap
tentara dengan menayangkan film. Hovland mengatakan bahwa pesan komunikasi efektif
dalam menyebarkan informasi, tetapi tidak dalam mengubah perilaku.
Selanjutnya penelitian Cooper dan Jahoda pun menunjukkan bahwa persepsi (sudut
pandang) yang selektif dapat mengurangi efektivitas sebuah pesan serta penelitian
Lazarsfeld dan kawan-kawan terhadap kegiatan pemilihan umum menampakkan bahwa
hanya sedikit saja orang-orang yang dijadikan sasaran kampanye pemilihan umum yang
terpengaruh oleh komunikasi massa.
Dari berbagai pemaparan di atas, kita sekarang tahu bahwa teori komunikasi ini
terlalu disederhanakan. Sebuah pesan komunikasi massa tidak memiliki efek yang sama
pada masing-masing orang. Dampaknya pada seseorang tergantung pada beberapa hal,
termasuk karakteristik kepribadian seseorang dan beragam aspek situasi dan konteks.
Namun demikian, ”teori peluru” merupakan sebuah teori komunikasi massa yang dapat
dimengerti: ia tampaknya lahir dari efektivitas nyata propaganda setelah Perang Dunia I. Ini
di antaranya karena rakyat begitu naif dan mempercayai kebohongan. Teori ini mungkin
tidak lagi akan bekerja baik sekarang, tapi pada waktu itu teori ini masih akurat.
Sampai saat ini, ”teori peluru” mungkin belum mati. Ia muncul dalam bentuk yang
sedikit direvisi pada tulisan seorang filsuf Perancis Jacques Ellul (1973). Ellul berpendapat
‘13
4
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
bahwa propaganda jauh lebih efektif dibandingkan analisa-analisa yang dibuat orang
Amerika. Dia secara khusus menolak bukti dari eksperimen-eksperimen, dan mengatakan
bahwa propaganda adalah bagian dari sebuah lingkungan total dan tidak dapat
diduplikasikan dalam laboratorium. Ellul berpendapat bahwa propaganda bersifat sangat
meresap dalam kehidupan orang Amerika sehingga sebagian besar dari kita tidak
menyadarinya, tetapi ia mampu mengontrol nilai-nilai kita. Tentunya, inti dari nilai-nilai ini
adalah ”gaya hidup orang Amerika”.
Di Indonesia, contoh penerapan propaganda ini bisa dilihat pada iklan-iklan produk
kecantikan yang ditayangkan di TV. Sang pemasang iklan banyak menyajikan keunggulankeunggulan yang terdapat dalam produknya untuk menarik perhatian para penonton.
Walaupun pada kenyataannya, dari pesan keunggulan yang disampaikan tidak memberikan
efek secara langsung dan hanya berdampak pada sebagian orang dengan jenis kulit yang
cocok. Dari sinilah, iklan meluncurkan peluru atau propaganda berupa pesan keunggulan
produknya dan diterima para penonton yang mungkin sebagian dari mereka terkena
pengaruhnya dengan cara membeli produk kecantikan tersebut.
3.
Teori Komunikasi Dua Tahap (Two Step Flow of Communication)
Lazarsfeld
Konsep komunikasi dua tahap (two step flow of communication) pada awalnya
berasal dari Paul Felix Lazarsfeld, Bernard Berelson dan Hazel Gaudet yang berdasarkan
pada penelitiannya menyatakan bahwa ide-ide seringkali datang dari radio dan surat kabar
yang ditangkap oleh pemuka pendapat (opinion leaders) dan dari mereka ini berlalu menuju
penduduk yang kurang giat. Hal ini pertama kali diperkenalkan oleh Lazarsfeld pada tahun
1944. Kemudian dikembangkan oleh Elihu Katz di tahun 1955.
Pada awalnya para ilmuan berpendapat bahwa efek yang diberikan media massa
berlaku secara langsung seperti yang dikatakan oleh teori jarum suntik. Akan tetapi
Lazarsfeld mempertanyakan kebenarannya. Pada saat itu, mungkin saja dia
mempertanyakan apa hubungan antara media massa dan masyarakat pengguna media
massa saat kampanye pemilihan presiden berlangsung. Selain itu keingintahuan Lazarsfeld
terhadap apa saja efek yang diberikan media massa pada masyarakat pengguna media
‘13
5
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
massa pada saat itu serta cara media massa menyampaikan pengaruhnya terhadap
masyarakat.
Untuk itu Lazarsfeld memanfaatkan pemilihan umum presiden Amerika pada tahun
1940. Lazarsfeld mencari tahu cara kerja media dalam mempengaruhi opini publik mengenai
calon presiden Amerika yang berkampanye melalui media massa. Lazarsfeld dan beberapa
rekannya memilih daerah Erie County di Ohio serta Elmira di New York sebagai tempat
penelitian. Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif pada bulan Mei hingga November
1940. Fokusnya terhadap pengaruh interpersonal dalam penyampaian pesan. Hal tersebut
bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya keputusan media dibuat. Ternyata
ditemukan hal yang sangat menarik bahwa hanya 5% responden yang mengaku bahwa
mereka menglami perubahan sikap setelah melihat pesan media secara langsung.
Selebihnya pemilih mengatakan bahwa hal yang sedikit banyak berpengaruh dalam
pembuatan opini mereka adalah interaksi dengan orang terdekat seperti keluarga atau
teman.
Setelah melakukan observasi terhadap responden, Lazarsfeld kemudian
menemukan kesimpulan yang sedikit bertolak belakang dengan apa yang diyakini
sebelumnya. Hal yang ditemukan Lazarsfeld bahwa terdapat banyak hal yang terjadi saat
media massa menyampaikan pesannya. Cara kerja media massa dalam mempengaruhi
opini masyarakat terjadi dalam dua tahap. Disebut dua tahap karena model komunikasi ini
dimulai dengan tahap pertama sebagai proses komunikasi massa, yaitu sumbernya adalah
komunikator kepada pemuka pendapat. Kedua sebagai proses komunikasi antarpersonal,
yaitu dimulai dari pemuka pendapat kepada pengikut-pengikutnya. Proses tersebut bisa
digambarkan
seperti
bagan
di
bawah
ini:
Media Massa ---> Pesan-pesan ---> Opinion Leaders ---> Followers (Mass Audience)
Pada masa selanjutnya, teori ini memperlihatkan bahwa pengaruh media itu kecil,
ada variabel lain yang lebih bisa mendominasi dalam mempengaruhi masing-masing
penonton. Hal ini dapat dicontohkan pada dua orang yang sedang menonton sebuah iklan
motor di TV. Orang pertama berkeyakinan bahwa motor yang ditayangkan dalam iklan
tersebut adalah paling bagus daripada motor lainnya, karena ia pun telah mencoba dan
membuktikannya. Dan akhirnya ia menceritakan hal itu kepada penonton lain yang
kebetulan sedang mencari motor yang dianggap baik pula. Setelah itu, penonton kedua pun
mendapat keyakinan yang sama, sehingga ia membeli motor yang serupa. Dari contoh
tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel lain yang dianggap lebih bisa mendominasi
daripada media adalah seseorang terdekat yang memberi pengaruh kuat pada orang
lainnya.
4. Uses, Gratifications and Depedency
Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai
kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications.
Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen
pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang
dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan :
“Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?”
(McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :
Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen
media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam
‘13
6
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan
pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari
khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat
mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).
Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota
khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap
media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana
cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara
memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui
media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini
pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan
masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka
membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang
mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun
mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan
mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka
miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat
kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa
aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).
Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan
mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media
– persons interactions sebagai berikut :
 Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan
emosi
 Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial
 Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
 Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu
gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap
berbagai hal secara lebih mendalam.
5. Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)
Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di
dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai
expectance-value theory (teori pengharapan nilai).
Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan
oleh sikap Anda terhadap media –kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium dapat
berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai contoh, jika Anda
percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan
Anda senang dihibur, Anda akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda
dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcoms
menyediakan suatu pandangan hidup yang tak realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti
ini Anda akan menghindari untuk melihatnya.
6. Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
‘13
7
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra BallRokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga
menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini,
pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka
mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan
sistem sosial yang lebih besar.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini
memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media
massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan
tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak
tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media. Lalu apa yang
sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak terhadap media massa ?
Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih
tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak
bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja.
Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara Manchester United,
Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan menjadi tergantung pada tayangan
langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain yang lebih tertarik Liga Spanyol dan
tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan
Liga Inggris telah di up date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.
Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan
sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam
menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak
untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan
ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada
beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.
7. Spiral of Silence Theory
‘13
8
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Spiral of silence theory di kenal juga dengan teori spiral kesunyian, dan sering juga
disebut juga spiral kebisuan. Teori ini dikembangkan oleh Elisabeth Noelle Neumann
(1973,1980). Pada beberapa sumber Neumann di sebutkan sebagai seorang sosiolog,
peneliti politik, bahkan ada yang menyebutkan bahwa Neumann adalah seorang jurnalis
Nazi Jerman, dimana tulisan-tulisannya mendukung rezim Hitler dan anti yahudi. Teori spiral
kesunyian dianggapnya sebagai buah karyan Neumann yang pemikirannya dipengaruhi oleh
lingkungan Nazi (Saverin & Tankard, 2001). Namun para ilmuwan lain lebih memilih untuk
memandang teori spiral kesunyian ini sebagai sebuah teori yang hendaknya dipandang atau
dinilai dengan prinsip-prinsip ilmiah.
Teori ini mendasarkan asumsinya pada pernyataan bahwa pendapat pribadi
bergantung pada apa yang dipikirkan atau diharapkan orang lain, atau apa yang orang
rasakan atau anggap sebagai pendapat dari orang lain. Orang pada umumnya berusaha
untuk menghindari isolasi sosial, atau pengucilan atau keterasingan dalam komunitasnya
dalam kaitannya mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Dalam hal ini terdapat 2
premis yang mendasarinya; pertama, bahwa orang tahu pendapat mana yang diterima dan
pendapat mana yang tidak diterima. Manusia dianggap memiliki indera semi statistik (quasistatistical sense) yang digunakan untuk menentukan opini dan cara perilaku mana yang
disetujui atau tidak disetujui oleh lingkungan mereka, serta opini dan bentuk perilaku mana
yang memperoleh atau kehilangan kekuatan (Saverin & Tankard, 2001). Kedua, adalah
bahwa orang akan menyesuaikan pernyataan opini mereka dengan persepsi ini. Dalam
kehidupan sehari-hari kita mengekspresikan opini kita dengan berbagai cara, tak selalu
harus membicarakannya, kita mengenakan pin atau bros, atau menempel stiker di belakang
mobil kita. Kita berani melakukan itu karena kita yakin bahwa orang lain pun dapat
menerima pendapat kita (Littlejohn, 1996).
Dalam menghadapi sebuah isu yang dianggap kontroversial, orang akan membentuk
kesan tentang distribusi opini. Mereka mencoba menentukan apakah sikapnya terhadap isu
tersebut termasuk kedalam kelompok mayoritas atau tidak, apakah opini publik sejalan
dengan mereka atau tidak. Apabila menurut mereka opini publik ternyata tidak sejalan
dengan mereka, atau mereka masuk kedalam kelompok (yang memiliki sikap) minoritas,
maka mereka akan cenderung diam dalam menghadapi isu tersebut. Semakin mereka diam,
semakin sudut pandang tertentu tidak terwakili, dan mereka semakin diam. Spiral kesunyian
timbul karena adanya ketakutan akan pengucilan atau keterasingan. Neumann mengatakan
“mengikuti arus memang relatif menyenangkan, tapi itupun bila mungkin, karena anda tidak
bersedia menerima apa yang tampak sebagai pendapat yang diterima umum, paling tidak
anda dapat berdiam diri, supaya orang lain dapat menerima anda” (Littlejohn, 1996).
Dalam hal penentuan opini publik, media masa menjadi bagian yang penting dan
kuat walaupun para individu seringkali menyangkal hal ini. Tiga karakteristik komunikasi
‘13
9
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
masa, yaitu cumulation, ubiquity, dan consonance, bergabung untuk menghasilkan dampak
yang sangat kuat pada opini publik. Cumulation mengacu pada pembesaran tema-tema atau
pesan-pesan tertentu secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu. Ubiquity mengacu pada
kehadiran media masa yang tersebar luas. Consonance mengacu pada gambaran tunggal
dari sebuah kejadian atau isu yang dapat berkembang dan seringkali digunakan bersama
oleh surat kabar, majalah, televisi, dan media lain yang berbeda-beda. Dampak harmoni
adalah untuk mengatasi ekspos selektif, karena orang tidak dapat memilih pesan lain, dan
untuk menyajikan kesan bahwa sebagian besar orang melihat isu dengan cara yang
disajikan media.
Walaupun opini publik pada hakikatnya adalah pandangan serta pemahaman pribadi
terhadap sebuah isu, namun mereka tak dapat membedakan dan menyangkal pengaruh
media terhadap pandangan mereka terhadap isu tersebut. Setiap orang atau individu
biasanya ‘tidak berdaya’ di hadapan media. Ada dua alasan yang memprekuat
ketidakberdayaan individu dihadapan media; pertama, sulitnya mendapatkan publisitas bagi
suatu maksud atau sudut pandang; kedua, dikambinghitamkan oleh media, dalam hal ini
Neumann
menyebutnya pillory
function(fungsi
pasungan)
dari
media.
Media
mempublikasikan opini mana yang menonjol dan mana yang tidak. Pada akhirnya
seseorang akan sulit membedakan mana pemahaman yang diperoleh dari media atau
berasal dari saluran-saluran lainnya.
Dalam hal menentukan distribusi opini publik, menurut Neumann, media masa
memiliki 3 cara. Pertama, media masa membentuk kesan tentang opini yang dominan.
Kedua, media masa membentuk kesan tentang opini mana yang sedang meningkat. Ketiga,
media masa membentuk kesan tentang opini mana yang dapat disampaikan di muka umum
tanpa menjadi tersisih (Saverin & Tankard, 2001).
Dalam hal ‘keberanian’ seseorang untuk menyatakan pendapat, tentunya ada faktorfaktor lain yang membedakan. Seseorang yang umurnya lebih muda cenderung lebih
ekspresif dibandingkan seseorang yang lebih tua. Kaum pria pada umumnya lebih bersedia
untuk mengemukakan pendapatnya dibandingkan wanita. Orang yang berpendidikan lebih
tinggi, lebih banyak berbicara dibandingkan yang berpendidikan rendah. Dalam Littlejohn
(1995), terdapat pula beberapa pengecualian dalam teori ini. Mereka adalah kelompokkelompok atau individu-individu yang tidak takut dikucilkan dan bersedia mengemukakan
opini mereka dengan tanpa memperdulikan apapun akibatnya, suatu karakteristik dari para
inovator, para pembuat perubahan, dan kaum berfikiran maju.
Memang, teori lingkaran kesunyian menggambarkan fenomena yang melibatkan baik
saluran komunikasi antarpribadi maupun komunikasi masa. Media mempublikasikan opini
publik, kemudian memperjelas opini mana yang menonjol. Selanjutnya, individu-individu
menyatakan opini mereka (atau tidak, bergantung kepada sudut pandang yang menonjol).
‘13
10
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dan selanjutnya, media kemudian melibatkan diri kedalam opini yang diekspresikan
tersebut, dan lingkaran itu terus berlanjut. Pada beberapa fenomena, teori lingkaran
kesunyian dapat pula menggambarkan bagaimana sebuah ancaman-ancaman kritik dari
orang lain merupakan suatu kekuatan yang ampuh dalam membungkam seseorang.
Terdapat beberapa kritik mengenai teori ini. Pada penelitiannya, Larosa (1991)
menunjukan bahwa dihadapan opini publik, orang tidak benar-benar selemah yang
dinyatakan Neumann. Larosa melakukan sebuah survey dimana dia menguji apakah
keterbukaan politik dipengaruhi tidak hanya oleh persepsi iklim opini seperti yang dinyatakan
olah Neumann, tetapi juga oleh variabel-variabel lain. Variabel-variabel lain tersebut antara
lain usia, pendidikan, penghasilan, minat dalam politik, tingkat persepsi atas kemampuan diri
(self eficacy), relevansi pribadi dengan isi, penggunaan media berita oleh seseorang, dan
perasaan yakin seseorang dalam kebenaran pendapatnya. Hasil analisis regresi
menunjukan keterbukaan dipengaruhi oleh rintangan variabel demografi, tingkat persepsi
atas kemampuan diri, perhatian pada informasi politik dalam media berita, dan perasaan
yakin seseorang dalam posisinya, tetapi tidak dipengaruhi oleh relevansi pribadi pada isu
atau penggunaan media berita secara umum.
Rimmer dan Howard (1990) dalam penelitiannya mereka tidak menemukan
hubungan antara penggunaan media dan kemampuan untuk memperkirakan dengan akurat
pendapat mayoritas berkenaan suatu isu. Namun Salwen, Lin, dan Matera (1994), dalam
penelitannya, mereka menemukan bahwa kecenderungan umum untuk berbicara lebih
berhubungan dengan persepsi opini nasional dan persepsi liputan media nasional daripada
dengan opini lokal atau liputan media lokal pada suatu isu tersebut.
‘13
11
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
8. Teori Difusi Inovasi
Everett M. Rogers (6 Maret 1931 – 21 Oktober 2004)
Bernama lengkap Everett M. Rogers, pria ini dilahirkan di Carroll, Iowa pada tanggal
6 Maret 1931. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga pemilik Pinehurst Farm. Awalnya
Rogers tidak memiliki ide untuk mengambil kuliah hingga gurunya mengarahkannya beserta
beberapa teman-teman sekelasnya untuk mengambil Agriculture untuk S1 dan S2-nya di
Iowa State University. Selanjutnya ia sempat menjadi suka relawan di perang Korea selama
2 tahun. Sepulangnya dari perang itu Rogers kembali lagi ke Iowa State University untuk
mendapatkan gelar PhD di bidang sosiologi dan statistik pada tahun 1957.
Sejarah teori
:
Pada tahun 1950-an, Iowa State University menghasilkan banyak lulusan besar di
bidang pertanian dan khususnya masalah sosiologi pedesaan. Banyak sekali inovasi
pertanian yang dihasilkan seperti benih jagung hybrid, pupuk kimiawi, dan semprotan untuk
rumput liar. Namun tidak semua petani mengadopsi beberapa inovasi tersebut, hanya ada
beberapa petani saja yang mengadopsinya setelah inovasi tersebut berhasil dilakukan oleh
beberapa petani barulah inovasi tersebut menyebar secara perlahan-lahan. Hal inilah yang
menjadi pertanyaan besar bagi Rogers hingga akhirnya menjadi inti dari disertasi Rogers di
Iowa State University. Disertasinya berupa penyebaran atau difusi weed spray, ia juga
melakukan wawancara langsung terhadap 200 petani tentang keputusannya untuk
keputusan mereka mengadopsi inovasi tersebut. Selain itu Rogers juga memelajari
bagaimana difusi inovasi dari bidang-bidang lain, misalnya pada bidang pendidikan,
marketing, dan obat-obatan. Ia menemukan banyak kesamaan dalam beberapa bidang
‘13
12
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tersebut. Hasilnya merujuk kepada S-shaped Diffusion Curve yang diperkenalkan oleh
seorang sosiolog Prancis bernama Gabriel Tarde pada awal abad ke-20.
Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi
seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu
dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya
menggambarkan dimensi waktu.
Rogers (1983) mengatakan, “Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current
importance because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat
itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian
sosiologi.
Sumber : www.stsc.hill.af.mil/crosstalk/1999/11/paulk.asp
Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana
studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer,
seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Melalui bukunya yang berjudul
Diffusion of Innovation yang kini menjadi buku legendaris, Rogers menjelaskan hasil risetnya
tentang difusi atau penyebaran inovasi dalam suatu sistem sosial dan pengaplikasiannya di
berbagai bidang. Hal ini yang membantu beberapa negara di daerah Asia, Africa, dan
Amerika Latin untuk menyebarkan inovasi dalam bidang pertanian, family planning, dan
beberapa perubahan sosial lainnya. Hingga mereka menjadi negara yang mandiri.
‘13
13
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Esensi Teori
Di dalam buku Diffusion of Innovation, Everett M. Rogers mendefinisikan difusi
inovasi adalah
”proses sosial yang mengomunikasikan informasi tentang ide baru yang dipandang
secara subjektif. Makna inovasi dengan demikian perlahan-lahan dikembangkan melalui
sebuah proses konstruksi sosial.”
”inovasi yang dipandang oleh penerima sebagai inovasi yang mempunyai manfaat
relatif, kesesuaian, kemampuan untuk dicoba, kemampuan dapat dilihat yang jauh lebih
besar, dan tingkat kerumitan yang lebih rendahakan lebih cepat diadopsi daripada inovasiinovasi lainnya.”
Difusi merupakan suatu jenis khusus komunikasi yang berkaitan dengan penyebaran
pesan-pesan sebagai ide baru. Komunikasi didefinisikan sebagai proses dimana para
pelakunya menciptakan informasi dan saling bertukar informasi untuk mencapai pengertian
bersama. Di dalam pesan itu terdapat ketermasaan (newness) yang memberikan ciri khusus
kepada difusi yang menyangkut ketakpastian (uncertainty).
Asumsi utama yang dapat disimpulkan dari teori ini adalah:
1.
Difusi inovasi adalah proses sosial yang mengomunikasikan informasi tentang
ide baru yang dipandang secara subjektif. Makna inovasi dengan demikian perlahan-lahan
dikembangkan melalui sebuah proses konstruksi sosial
2.
Inovasi yang dipandang oleh penerima sebagai inovasi yang mempunyai
manfaat relatif, kesesuaian, kemampuan untuk dicoba, kemampuan dapat dilihat yang jauh
lebih besar, dan tingkat kerumitan yang lebih rendah akan lebih cepat diadopsi daripada
inovasi-inovasi lainnya
3.
Ada sedikitnya 5 tahapan dalam difusi inovasi yakni, tahap pengetahuan,
persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi
4.
Ada 5 tipe masyarakat dalam mengadopsi inovasi yakni inovator, early
adopter,early majority, late majority, dan laggard.
1.
Tahap Pengetahuan (Knowledge)
Ada beberapa sumber yang menyebutkan tahap pengetahuan sebagai tahap
“Awareness”. Tahap ini merupakan tahap penyebaran informasi tentang inovasi baru, dan
saluran yang paling efektif untuk digunakan adalah saluran media massa. Dalam tahap
ini kesadaran individu akan mencari atau membentuk pengertian inovasi dan tentang
‘13
14
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Rogers mengatakan ada tiga macam pengetahuan
yang dicari masyarakat dalam tahapan ini, yakni:
Kesadaran bahwa inovasi itu ada
Pengetahuan akan penggunaan inovasi tersebut
Pengetahuan yang mendasari bagaimana fungsi inovasi tersebut bekerja
2.
Tahap Persuasi (Persuasion)
Dalam tahapan ini individu membentuk sikap atau memiliki sifat yang menyetujui
atau tidak menyetujui inovasi tersebut. Dalam tahap persuasi ini, individu akan mencari tahu
lebih dalam informasi tentang inovasi baru tersebut dan keuntungan menggunakan informasi
tersebut. Yang membuat tahapan ini berbeda dengan tahapa pengetahuan adalah pada
tahap pengetahuan yang berlangsung adalah proses memengaruhi kognitif, sedangkan
pada tahap persuasi, aktifitas mental yang terjadi alah memengaruhi afektif. Pada tahapan
ini seorang calon adopter akan lebih terlibat secara psikologis dengan inovasi. Kepribadian
dan norma-norma sosial yang dimiliki calon adopter ini akan menentukan bagaimana ia
mencari informasi, bentuk pesan yang bagaimana yang akan ia terima dan yang tidak, dan
bagaimana cara ia menafsirkan makna pesan yang ia terima berkenaan dengan informasi
tersebut. Sehingga pada tahapan ini seorang calon adopterakan membentuk persepsi
umumnya tentang inovasi tersebut. Beberapa ciri-ciri inovasi yang biasanya dicari pada
tahapan
ini
adalah
karekateristik
inovasi
yakni relative
advantage, compatibility, complexity, trialability, danobservability.
3.
Tahap Pengambilan Keputusan (Decision)
Di tahapan ini individu terlibat dalam aktivitas yang membawa pada suatu pilihan
untuk mengadopsi inovasi tersebut atau tidak sama sekali. Adopsi adalah keputusan untuk
menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara tindak yang paling baik. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi, yakni:
Praktik sebelumnya
Perasaan akan kebutuhan
Keinovatifan
Norma dalam sistem sosial
Proses keputusan inovasi memiliki beberapa tipe yakni:
a)
Otoritas adalah keputusan yang dipaksakan kepada seseorang oleh individu
yang berada dalam posisi atasan
b)
Individual adalah keputusan dimana individu yang bersangkutan mengambil
peranan dalam pembuatannya. Keputusan individual terbagi menjadi dua macam, yakni:
a.
Keputusan opsional adalah keputusan yang dibuat oleh seseorang, terlepas dari
keputusan yang dibuat oleh anggota sistem.
‘13
15
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
b.
Keputusan kolektif adalah keputusan dibuat oleh individu melalui konsesnsus
dari sebuah sistem sosial
c)
Kontingen adalah keputusan untuk menerima atau menolak inovasi setelah ada
keputusan yang mendahuluinya.
Konsekuensi adalah perubahan yang terjadi pada individu atau suatu sistem sosial
sebagai akibat dari adopsi atau penolakan terhadap inovasi . Ada tiga macam konsekuensi
setelah diambilnya sebuah keputusan, yakni:
Konsekuensi Dikehendaki VS Konsekuensi Tidak Dikehendaki
Konsekuensi dikehendaki dan tidak dikehendaki bergantung kepada dampakdampak inovasi dalam sistem sosial berfungsi atau tidak berfungsi. Dalam kasus ini, sebuah
inovasi bisa saja dikatakan berfungsi dalam sebuah sistem sosial tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa sebenarnya inovasi tersebut tidak berfungsi bagi beberapa orang di
dalm sistem sosial tersebut Sebut saja revolusi industri di Inggris, akibat dari revolusi
tersebut sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemilik modal tetapi tidak sesuai denganapa
yang dikehendaki oleh tenaga kerja yang pada akhirnya kehilangan pekerjaaan dan menjadi
pengangguran.
Konsekuensi Langsung VS Koneskuensi Tidak Langsung
Konsekuensi yang diterima bisa disebut konsekuensi langsung atau tidak langsung
bergantung kepada apakah perubahan-perubahan pada individu atau sistem sosial terjadi
dalam respons langsung terhadap inovasi atau sebagai hasil dari urutan kedua dari
konsekuensi. Terkadang efek atau hasil dari inovasi tidak berupa pengaruh langsung pada
pengadopsi.
Konsekuensi Yang Diantisipasi VS Konsekuensi Yang Tidak Diantisipasi
Tergantung kepada apakah perubahan-perubahan diketahui atau tidak oleh para
anggota sistem sosial tersebut. Contohnya pada penggunaan internet sebagai media massa
baru di Indonesia khususnya dikalangan remaja. Umumnya, internet digunakan untuk
mendapatkan informasi yang terbaru dari segala penjuru dunia, inilah yang disebut
konsekuensi
yang
diantisipasi.
Tetapi
tanpa
disadari
penggunaan
internet
bisa
disalahgunakan, misalnya untuk mengakses hal-hal yang berbau pornografi hal inilah yang
disebut konsekuensi yang tidak diantisipasi. Remaja menjadi mudah mendapatkan video
atau gambar-gambar yang tidak pantas.
4.
Tahap Pelaksanaan (Implementation)
Tahapan ini hanya akan ada jika pada tahap sebelumnya, individu atau partisipan
memilih untuk mengadopsi inovasi baru tersebut. Dalam tahap ini, individu akan
menggunakan inovasi tersebut. Jika ditahapan sebelumnya proses yang terjadi lebih
kepada mental exercise yakni berpikir dan memutuskan, dalam tahap pelaksanaan ini
‘13
16
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
proses yang terjadi lebih ke arah perubahan tingkah laku sebagai bentuk dari penggunaan
ide baru tersebut.
5.
Tahap Konfirmasi (Confirmation)
Tahap terakhir ini adalah tahapan dimana individu akan mengevaluasi dan
memutuskan untuk terus menggunakan inovasi baru tersebut atau menyudahinya. Selain
itu, individu akan mencari penguatan atas keputusan yang telah ia ambil sebelumnya.
Apabila, individu tersebut menghentikan penggunaan inovasi tersebut hal tersebut
dikarenakan
oleh
hal
yang
disebutdisenchantment discontinuance dan
atau replacement discontinuance.Disenchantment discontinuance disebabkan
ketidakpuasan
individu
terhadap
inovasi
oleh
tersebut
sedangkan replacement discontinuancedisebabkan oleh adanya inovasi lain yang lebih baik.
Tipe-tipe Pengadopsi Inovasi
Pembagian anggota sistem sosial ke dalam kelompok-kelompok adopter didasarkan
pada tingkat keinovatifannya, yakni lebih awal atau lebih lambatnya seseorang mengadopsi
sebuah inovasi dibandingkan dengan anggota sistem sosial lainnya. Berikut adalah kurva
yang menggambarkan distribusi frekwensi normal kategori adopter beserta persentase
anggota kelompok adopter dalam sebuah sistem sosialnya.
Kurva yang membentuk lonceng tersebut dihasilkan oleh sejumlah penelitian tentang
difusi inovasi. Kurva lonceng tersebut menggambarkan banyaknya pengadopsi dari waktu
ke waktu. Pada tahun pertama, usaha penyebaran inovasi akan menghasilkan jumlah
pengadopsi yang sedikit, pada tahun berikutnya jumlah pengadopsi akan lebih banyak dan
setelash sampai pada puncaknya, sedikit demi sedikit jumlah pengadopsi akan menyusut.
Sehingga jika kurva tersebut dikumulasikan akan membentuk kurva S sesuai dengan kurva
S yang sebelumnya telah disampaikan oleh Gabriel Tarde.
Berikut adalah karakteristik dari berbagai macam kategori adopter:
1.
Inovator
Tipe ini adalah tipe yang menemukan inovasi. Mereka mencurahkan sebagian besar
hidup, energi, dan kreatifitasnya untuk mengembangkan ide baru. Selain itu orang-orang
yang masuk ke dalam kategori ini cenderung berminat mencari hubungan dengan orangorang yang berada di luar sistem mereka. Rogers menyebutkan karakteristik innovator
sebagai berikut:
‘13
17
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
a.
Berani mengambil risiko
b.
Mampu mengatur keuangan yang kokoh agar dapat menahan kemungkinan
kerugian dari inovasi yang tidak menguntungkan
c.
Memahami dan mampu mengaplikasikan teknik dan pengetahuan yang
kompleks
d.
Mampu menanggulangi ketidakpastian informasi
Berikut adalah cara agar dapat bekerja dengan inovator:
a.
Mengundang innovator yang rajin untuk menjadi partner dalam merancang
b.
Merekrut dan melatih mereka sebagai pendidik
2.
Penerima Dini
poyek
Penerima dini atau Early adopter biasanya adalah orang-orang yang berpengaruh
dan lebih dulu memiliki banyak akses karena mereka memiliki orientasi yang lebih ke dalam
sistem sosial. Untuk memengaruhi penerima dini tidak memerlukan persuasi karena mereka
sendiri yang selalu berusaha mencari sesuatu yang dapat memberikan mereka keuntungan
dalam kehidupan sosial atau ekonomi. Karakteristik yang dimiliki oleh early adopteradalah:
a.
Bagian yang terintegrasi dalam sistem lokal sosial
b.
Opinion leader yang paling berpengaruh
c.
Role model dari anggota lain dalam sebuah sistem sosial
d.
Dihargai dan disegani oleh orang-orang disekitarnya
e.
Sukses
Untuk dapat bekerja dengan penerima dini berikut adalah hal-hal yang dapat
dilakukan:
a.
Menawarkan secara pribadi dukungan untuk beberapa early adopteruntuk
mencoba inovasi baru
b.
Memelajari percobaan inovasi tersebut secara hati-hati untuk menemukan atau
membuat ide baru yang lebih sesuai, murah dan mudah dipasarkan
c.
Meninggikan ego mereka, misalnya dengan publisitas atau pemberitaan media
d.
Mempromosikan mereka sebagai trendsetter
e.
Menjaga hubungan baik dengan melakukan feedback secara rutin
3.
Mayoritas Dini (orang–orang yang lebih dahulu selangkah lebih maju)
Early majority ini adalah golongan orang yang selangkah lebih maju. Mereka
biasanya orang yang pragmatis, nyaman dengan ide yang maju, tetapi mereka tidak akan
bertindak tanpa pembuktian yang nyata tentang keuntungan yang mereka dapatkan dari
sebuah produk baru. Mereka adalah orang-orang yang sensitive terhadap pengorbanan dan
membenci risiko untuk itu mereka mencari sesuatu yang sederhana, terjamin, cara yang
lebih baik atas apa yang telah mereka lakukan.
‘13
18
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
a.
Ada beberapa karakteristik mayoritas dini, yakni:
b.
Sering berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya
c.
Jarang mendapatkan posisi sebagai opinion leader
d.
Sepertiganya adalah bagian dari sistem (kategori atau tipe terbesar dalam
e.
Berhati-hati sebelum mengadopsi inovasi baru
sistem)
Untuk menarik simpati golongan ini dapat dilakukan engan beberapa cara sebagai
berikut:
a.
Menawarkan kompetisi atau sampel secara gratis untuk stimulus
b.
Menggunakan advertiser dan media yang memiliki kredibilitas, dipercaya, dan
yang akrab dengan golongan ini
c.
Menurunkan biaya dan memberikan jaminan
d.
Mendesain ulang untuk memaksimalkan penggunaan dan membuatnya menjadi
lebih simple
e.
Menyederhanakan formulir aplikasi dan atau instruksi
f.
Menyediakan customer service and support yang profesional
4.
Mayoritas Belakangan
Orang-orang dari golongan ini adalah orang-orang yang konservatif pragmatis yang
sangat membenci risiko serta tidak nyaman dengan ide baru sehingga mereka belakangan
mendapatkan inovasi setelah mereka mendapatkan contoh. Golongan ini lebih dipengaruhi
oleh ketakutan dan golongan laggard.
Rogers mengidentifikasi karakteristik golongan late majority sebagai berikut:
a.
Berjumlah sepertiga dari suatu sistem sosial
b.
Mendapatkan tekanan daro orang-orang sekitarnya
c.
Terdesak ekonomi
d.
Skeptis
e.
Sangat berhati-hati
5.
Laggard (lapisan paling akhir)
Golongan Laggard adalah golongan akhir yang memandang inovasi atau
sebuah perubahan tingkah laku sebagai sesuatu yang memiliki risiko tinggi. Ada indikasi
bahwa sebagian dari golongan ini bukanlah orang-orang yang benar-benar skeptis, bisa jadi
mereka adalah inovator, penerima dini, atau bahkan mayoritas dini yang terkurung dalam
suatu sistem sosial kecil yang masih sangat terikat dengan adat atau norma setempat yang
kuat. Atau munngkin karena terbatasnya sumber dan saluran komunikasi menyebabkan
seseorang terlambat mengetahui adanya sebuah inovasi dan pada akhirnya golongan ini
disebut sebagai Laggard.
Ada beberapa karakteristik Laggard, yakni:
‘13
19
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
a.
Tidak terpengaruh opinion leader
b.
Terisolasi
c.
Berorientasi terhadap masa lalu
d.
Curiga terhadap inovasi
e.
Mempunyai masa pengambilan keputusan yang lama
f.
Sumber yang terbatas
Untuk melakukan pendekatan dengan Laggards ada beberapa cara yang perlu
diperhatikan, yakni:
a.
Memberikan mereka perhatian yang lebih terhadap kapan, dimana, dana
bagaimana mereka melakukan kebiasaan baru
b.
Memaksimalkan kedekatan mereka dengan inovasi tersebut atau berikan
mereka contoh Laggard yang sukses melakukan pengadopsian inovasi tersebut
Namun ada beberapa peniliti yang menunjukan bentuk tabel distribusi yang berbeda.
Moore menunjukkan adanya gap antara early adopter dengan early majority. Gap atau jarak
ini menyebabkan perbedaan karektiristik yang begitu jauh antara dua golongan tersebut,
yakni di fase awal karakteristiknya berorientasi pada hal-hal yang baru atau visioner
sedangkan pada fase berikutnya setelah gap mereka cenderung pragmatis tentu saja hal ini
akan menjadi sebuah tantangan besar, bagaimana cara memersuasi mereka untuk
mengadopsi sebuah inovasi.
‘13
20
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
De Fleur, Melvin L, Sandra Ball B Rokeach. 1988. Teori Komunikasi Massa. Kuala Lumpur:
Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.
Djiwandono,
J.
Soedjati.
1994. AAnalisis
dan
Strategi
Kompetisi
antar
Media
Massa@ disampaikan pada Forum Diskusi Alternatif Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Atmajaya Yogyakarta.
MacBride, S, 1983, Aneka Suara, Satu Dunia, Jakarta: PN Balai Pustaka-Unesco.
Mahayana, Dimitri, 1999, Menjemput Masa Depan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
McLuhan, Marshal, 1999, Understanding Media, The Extension Of Man. London: The MIT
Press.
Mulyana, Deddy, 1999, Nuansa-Nuansa Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Piliang, Yasraf Amir, 2004, Posrealitas Realitas
Kebudayaan
dalam
Era
Posmetafisik. Yogyakarta: Jalasutra.
Sendjaja, Sasa Djuarsa, 2000. Paradigma Baru dalam Perkembangan Ilmu Komunikasi
disampaikan pada Orasi Ilmiah Dies Natalis Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas
Padjadjaran Bandung.
Strinati, Dominic. 2003. Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Bentang.
Tester, Keith,
2003,
diterjemahkan
Muhammad
Syukri, Media,
Budaya, Moralitas. Yogyakarta: Kerjasama Juxtaposedan Kreasi Wacana.
Saverin, J.W., & Tankard, J.W.Jr. (2005). Teori Komunikasi: Sejarah, metode, dan terapan
di dalam media masa.Jakarta:Kencana Prenanda media Group
Stephen W. Littlejohn. (1996). Theories of Human Communication. New Jersey: Wadsworth
Puublication
Rohim, S. (2009). Teori Komunikasi: Perspektif, ragam, & Aplikasi. Jakarta: PT Rineka Cipta
‘13
21
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download