rr.ivlr_rsl1%Ohhw nr_vvrllV rHOvP4ivlh I I Ulm I vIX MENELUSURI

advertisement
rr.ivlr_rsl 1%Ohhw nr_vvrllV rHOvP4ivlh I I Ulm I vIX
MENELUSURI PENYEBAB KEMATIAN
Tarmudji
BalaiPenelitian Penyakit Hewan, Bogor
PENDAHULUAN
Salah satu hambatan dalam usaha mengembangkan peternakan adalah kematian hewan yang
diternakkan . Kejadian semacam itu sewaktu-waktu
dapat menimpa para peternak, baik pada peternakan ternak besar (sapi dan kerbau), ternak kecil
(kambing, domba dan babi), Unggas (ayam dan
itik) maupun aneka ternak. Kematian ini bisa diakibatkan oleh penyakit bakterial, viral, fungal atau
parasiter, atau gangguan keracunan .
Ressang (3) menyatakan bahwa, kematian
hewan biasanya disebabkan oleh : mekanik (trauma
otak, kerobekan jantung atau corong darah besar),
termal (suhu yang tinggi), elektrik (aliran listrik),
kimiawi (bawan-bahan kimia dan racun-racun dari
agen penyakit), alimenter (kekurangan makanan)
dan pencekikan (adanya tumor atau benda asing di
dalam saluran pernafasan) .
Ada tiga pintu kematian, yaitu : otak, jantung
dan paru-paru . Apabila salah satu dari ketiga organ
ini tidak berfungsi, maka terjadilah kematian . Otak,
suatu organ halus yang dilindungi oleh tulang tengkorak, mudah rusak bila terkena benturan yang
hebat, dan akibatnya bisa fatal . Kehilangan darah
akibat kerobekan jantung atau corong-corong
darah besar dan kekurangan zat oksigen di dalam
paru-paru dapat menimbulkan kematian hewan .
Kematian dapat terjadi secara cepat, bila penyebabnya mempengaruhi tenunan-tenunan vital (otak,
jantung dan paru-paru) secara tiba-tiba, dan dapat
juga terjadi perlahan-lahan bila tenunan-tenunan
vital tadi secara perlahan-lahan dan teratur kehilangan fungsinya .
Dalam menelusuri penyebab kematian hewan
dan menentukan diagnosenya harus diadakan pemeriksaan terhadap bangkai hewan (cadaver) . Yang
biasa dilakukan adalah pemeriksaan bangkai hewan
dengan jalan pembedahan (bedah bangkai, seksi
atau nekropsi) .
Penentuan diagnose secara cepat dan tepat
dengan pembedahan ini adalah sangat penting .
Karena tanpa pembedahan dan melihat perubahan
perubahan organ-organ dalam suatu bangkai, sulit
diparoleh gambaran penyebab kematian hewan.
Bila dari hasil diagnose tersebut diduga penyakit
menular sebagai penyebabnya, maka tindakan
pengamanan terhadap hewan-hewan lain di sekitar
tempat kejadian harus segera dilakukan . Misalnya
dengan vaksinasi hewan-hewan yang sehat supaya
tidak terserang penyakit, mengisolasi dan mengobati hewan-hewan yang sakit dan sebagainya .
Kadang-kadang dengan pembedahan saja belum
dapat menentukan diagnose, tetapi harus disertai
dengan keterangan-keterangan mengenai riwayat
hewan sebelum mati (anamnese), gejala-gejala
klinik dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorik (5) .
PEM BAHASAN
Pada kasus kematian hewan yang terjadi secara
mendadak, harus dicurigai kemungkinan-kemungkinannya akibat penyakit menular akut seperti
anthrax pada ruminansia atau Newcastle Disease
(ND) pada unggas dan .akibat keracunan pada
semua jenis hewan . Pemeriksaan hewan pascamati
secara sistematik, teliti dan sungguh-sungguh di
harapkan dapat mengungkap penyebab kematian .
Gambar 1 . Bedah Bangkai. Seorang petugas
sedang melakukan seksi (bedah bangkai) seekor sapi Ongole di ruang seksi
(bagian Patologi dan Toksikologi)
BAKITWAN, Bogor.
31
Gambar 2. Hati sapi. Tampak jaringan parut pada
permukaan hati (sirrhosis) dan kantong
empedu yang agak membesar, yang
disebabkan oleh infeksi cacing hati
(Fasciola sp. ) .
Keterangan-keterangan mengenai riwayat hewan
sebelum mati yang diperoleh dari pemilik atau pemelihara hewan sangat membantu untuk menentukan arah pemeriksaan yang hendak dilakukan .
Keterangan-keterangan tersebut meliputi : lama
sakit, jumlah hewan yang sakit clan mati dalam satu
kandang, gejala-gejala klinik, pengobatan yang
pernah diberikan, jenis pakan yang diberikan dan
sebagainya.
Dalam hal tertentu, pemeriksaan bangkai
hanya dilakukan pada keadaan luarnya saja. Misalnya, pada kejadian kematian hewan yang dicurigai
anthrax, bangkainya tidak boleh dibuka . Hal ini
untuk mencegah terbentuknya spora anthrax yang
clapat mencemari tempat-tempat sekitar peternakan
atau ke tempat-tempat yang lebih jauh lagi . Dan
untuk keperluan pemeriksaan di laboratorium . terhadap penyakit tersebut, maka diambil darah dari
vena telinga, metakarpal, metatarsal atau pangkal
ekor bangkai hewan tersebut (1) .
Pada kasus kematian hewan akibat keracunan,
perubahan-perubahan organ atau jaringan jarang
ada yang karakteristik, tetapi meskipun demikian,
penting untuk mengarahkan diagnose dan
pembuktiannya . Pada saat diadakan pemeriksaan
pascamati, sekaligus dilakukan pengumpulan material/spesimen untuk pemeriksaan lebih lanjut, baik
pemeriksaan histopatologik maupun pemeriksaan
kimiawi (2) .
Penyebab kematian akan mudah ditentukan
bila terdapat perubahan-perubahan patologik anatomik (P.A .) yang spesifik, seperti ND, cacingan
clan sebagainya . Adanya kelainan nekrotik-hemoragik pada proventrikulus unggas clan gejala-gejala
pernafasan, leher terputar (torticollis) sebelum hewan mati disertai mortalitas yang tinggi, maka
diagnose lebih mengarah ke ND . Untuk penetapan
diagnosenya, harus diadakan isolasi dan identifikasi
virusnya . Diketemukannya cacing hati (Fasciola
sp.) pada hati sapi atau cacing Haemonchus sp.
pada lambung kelenjar domba atau kambing dalam
jumlah yang cukup banyak sewaktu pemeriksaan
pascamati, clapat merupakan bukti bahwa endoparasit itulah yang merupakan penyebab kematiannya . Endoparasit ini dapat merugikan induk semang
dengan cara mengambil makanan, merusak mukosa atau alat-alat tubuh induk semang yang ditempatinya dan dapat mengeluarkan zat racun . Di
samping itu secara tidak langsung, kehadiran endoparasit dapat menimbulkan kelemaha i . tubuh sehingga hewan mudah terserang penyakit lain dan
clapat berakhir dengan kematian.
Pada pemeriksaan makroskopik alat-alat tubuh, adakalanya tidak ditemukan perubahan-perubahan P .A. yang spesifik . Dalam hal ini diagnose
sulit ditentukan, lebih-lebih bila tanpa disertai keterangan-keterangan yang lengkap mengenai riwayat
hewan sebelum mati. Perubahan-perubahan P.A.
yang ticlak jelas dapat juga disebabkan oleh adanya
proses otolisis atau proses pembusukan pada sebagian atau seluruh jaringan tubuh.
Otolisis yaitu mengurai sendiri akibat pelarutan
sel-sel tubuh oleh enzim-enzim pelarut . Ini terjadi
setelah kekejangan bangkai (rigor mortis) berlang
sung, kira-kira dua sampai delapan jam setelah
individu mati. Di samping itu, adanya pengaruh
kuman-kuman pembusuk dari dalam (usus) clan dari
luar yang masuk ke dalam tubuh bangkai dapat
menyebabkan pembusukan . Yang memperlihatkan
pembusukan ialah berturut-turut : hati, limpa, buah
pinggang, dincling usus, uterus, otot-otot, paruparu dan sumsum tulang (3) .
Sesudah hewan mati, pada hatinya secara lekas terlihat tanpa-tanda pembusukan . Perubahan warna
coklat menjadi hitam hijau atau biru hitam pada
bidang kaudalnya terjadi karena H2S di dalam usus
bersenyawa dengan besi di dalam darah menjadi
FeS (4) .
Untuk mendapatkan gambaran P .A. yang sebenarnya, maka pemeriksaan hewan pascamati
sebaiknya dilakukan sebelum proses otolisis atau
proses pembusukan berlangsung .
WAR TAZOA Vol. 1 No . 2, Oktober 19183
KESIMPULAN
Pemeriksaan hewan pascamati adalah sangat
penting untuk mengetahui penyebab kematian .
Dengan pembukaan bangkai hewan (kecuali bang
kai anthrax) dan melihat perubahan patologik-anatomiknya diharapkan dapat mengungkapkan
penyebab kematian hewan . Anamnese yang lengkap dan jelas dari pemilik atau pemelihara hewan
sangat diperlukan untuk membantu pengarahan
diagnose.
Diagnose yang dihasilkan dari pemeriksaan
hewan pascamati umumnya hanya didasarkan pada
perubahan-perubahan makroskopiknya saja . Pada
penyakit-penyakit yang tidak menimbulkan perubahan-perubahan yang spesifik, untuk diagnosenya
perlu pemeriksaan alat-alat tubuh secara mikroskopik. Kadang-kadang pemeriksaan bakteriologik,
virologik, mikologik, parasitologik, toksikologik dan
serologik perlu dilakukan untuk penegasan diagnose.
1.
2.
3.
4.
5.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymus . 1973. Petunjuk Kerja Bagi Petugas
Lapangan . Bull LPPH, Edisi Khusus, 6(5)
1-85.
Atmakusuma, Tb .A., B . Poerwodhiredjo, N .
Mihardja, Harnowo dan Harsono. 1972.
Diktat Mata Ajaran Toksikologi . Dept.
FIFARM Fak. Kedokteran Hewan Institut
Pertanian bogor.
Ressang, A.A. 1961/1962. Pedoman Mata Pejaran Patologi Umum. Fak. Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor .
Reswng, A.A. 1983. Buku Pelajaran Patologi
Khusus Veteriner. Departemen Urusan
Research Nasional R .I . Jakarta .
Rumawas, W., I .T. Budiarso dan M .S. Maidie .
1974/1975. Ilmu Penyakit Hewan. Bagia
Patologi Fak. Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor .
Download