BAB II EKSISTENSI HARTA KARUN DALAM HUKUM INTERNASIONAL D. Ruang Lingkup Harta Karun Definisi harta karun dalam hukum internasional saat ini telah dikodifikasi ke dalam sebuah perjanjian internasional yaitu Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air tahun 2001. Konvensi ini mendefinisikannya sebagai berikut: Underwater cultural heritage means all traces of human existence having a cultural, historical or archaeological character which have been partially or totally under water, periodically or continuously, for at least 100 years such as: (i) sites, structures, buildings, artefacts and human remains, together with their archaeological and natural context; (ii) vessels, aircraft, other vehicles or any part thereof, their cargo or other contents, together with their archaeological and natural context; and (iii) objects of prehistoric character. 20 (Warisan Budaya Bawah Air merupakan seluruh jejak eksistensi manusia yang memiliki karakter budaya, historis, atau arkeologis yang sebagian atau seluruhnya berada di dalam air, secara berkala, terus – menerus, setidaknya selama seratus tahun, seperti: (i) situs, struktur, bangunan, artefak – artefak dan sisa – sisa manusia yang bersifat arkeologis dan alamiah; (ii) kapal, pesawat terbang, transportasi lain atau bagian daripadanya, muatannya atau isi lainnya yang bersifat arkeologis dan alamiah; (iii) barang – barang yang bersifat prasejarah.) Ruang lingkup harta karun dalam karya tulis ini sendiri membahas secara spesifik warisan budaya bawah air yaitu mencakup kapal beserta muatannya yang memiliki karakter budaya, historis, atau arkeologis yang karam di dasar laut perairan internasional. Rancangan pertama konvensi ini pada awalnya mendefinisikan warisan budaya bawah air sebagai seluruh jejak keberadaan manusia di bawah air. 21 Namun definisi ini kemudian di kritik oleh David Bederman, seorang Profesor 20 UCH Convention, op. cit., pasal 1 ayat 1(a) Cultural Heritage Law Comm., International Law Association, Buenos Aires Draft Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage (1994), hal. 432, 434 21 hukum dari Emory University, yang mempertanyakan, apakah ini berarti bahwa potongan papan seluncur ataupun kaleng minuman soda yang dilemparkan ke laut akan diperhitungkan dalam rancangan UNESCO ini. 22 Hal ini menunjukkan adanya dilema dalam perancangan konvensi itu sendiri, sehingga para perancang diharuskan untuk mengatasi pendefinisian warisan budaya bawah air, termasuk hal-hal yang belum diantisipasi sebelumnya. Para perancang konvensi akhirnya mempersempit definisi warisan budaya bawah air, namun penyempitan definisi tersebut masih terlalu luas. Saat ini konvensi menentukan warisan budaya bawah air sebagai semua jejak eksistensi manusia yang memiliki karakter budaya, historis atau arkeologis yang sebagian atau seluruhnya berada di bawah air, secara berkala atau terus-menerus, setidaknya selama 100 tahun. Definisi ini telah dipersempit dari rancangan konvensi sebelumnya dengan menambahkan persyaratan bahwa warisan budaya bawah air harus memiliki karakter budaya, historis, atau arkeologis. Namun, dalam upaya untuk memperbaiki definisi sebelumnya, perancang memasukkan beberapa frasa baru yang pada akhirnya tidak terdefinisi dan terlalu luas. Misalnya, apa yang memiliki karakter budaya, historis, atau arkeologis? Tidak dapat dihindari bahwa bangkai kapal memiliki peranan penting yang menjadi materi pembelajaran atas sisa – sisa aktivitas manusia di wilayah perairan. 23 Bahkan jika dibandingkan dengan situs arkeologi lainnya atau 22 23 David J. Bederman, op. cit., hal. 332 David Gibbins and Jonathan Adams, op. cit., hal. 279 monumen sejarah dan budaya lainnya, bangkai kapal memiliki potensi dalam menawarkan kilas balik masa lalu yang tidak ada bandingannya. 24 Menurut sejarah, wilayah perairan berperan sebagai sarana untuk menghubungkan kelompok masyarakat. Penggunaan laut sebagai jalur transportasi meningkatkan jumlah kapal yang hilang di laut. Para arkeolog menyatakan bahwa lebih banyak kapal – kapal karam sebagai lokasi arkeologi yang belum ditemukan daripada lokasi arkeologi lainnya yang memiliki arti yang sebanding. Lagipula, kapal – kapal karam secara konsisten menyimpan berbagai artefak yang lengkap yang memiliki kualitas yang tiada taranya, sehingga membuatnya menjadi lokasi arkeologi yang paling kompleks yang pernah diselidiki. Kapal – kapal karam memiliki banyak karakteristik yang memiliki nilai tambah. Pertama, artefak yang ditemukan di lingkungan berair secara umum memiliki signifikansi lebih terpelihara dibanding artefak lainnya yang ditemukan di lingkungan kering. 25 Kedua, kapal biasanya hilang akibat kecelakaan sehingga dianggap sebagai time-capsule atau closedfind, yaitu dimana keadaan pada saat itu seperti diawetkan dalam suatu tempat. 26 Ketiga, barang – barang yang ditemukan di dalam kapal merupakan barang keperluan sehari – hari yang memiliki fungsinya masing – masing. Hal ini memberikan banyak keuntungan dibandingkan dengan situs arkeologi lainnya. Pada intinya, kapal – kapal karam bersejarah merupakan kilas balik masa lalu yang tidak dapat dinilai, yang memberikan kekayaan pengetahuan sejarah 24 Jonathan Adams, Ships and Boats as Archaeological Source Material, 32 World Archaeology (2001), hal. 292-293 25 Ole Varmer, The Case Against the “Salvage” of the Cultural Heritage, 30 J. Mar. L. & C0m. 279 (1999), hal. 281 26 Jonathan Adams, op. cit., hal. 296 begitu juga dengan kekayaan yang sebenarnya yaitu emas, perak dan komoditi berharga lainnya. E. Sejarah Penemuan Harta Karun di Dunia Banyak orang yang mengidentikkan harta karun dengan sosok sekumpulan bajak laut yang tengah mengarungi lautan dengan menggengam botol minuman, burung beo di pundak, serta sebuah peta letak harta karun yang lambangkan dengan simbol “X” sebagai tempat terkuburnya harta karun tersebut. 27 Meskipun karakter tersebut merupakan fiktif belaka, namun keberadaan harta karun tersebut masih tetap ada sampai saat ini dalam sekitar tiga juta kapal karam yang berada didasar laut dan masih belum ditemukan. 28 Perkembangan di bidang teknologi, eksplorasi laut dalam, dan teknik penyelamatan yang mengarah kepada peningkatan pencarian dan penyelamatan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap kapal – kapal karam bersejarah yang sebelumnya tidak pernah dapat diakses dan dianggap hilang selamanya di laut. Lautan memisahkan sekaligus menghubungkan peradaban selama ribuan tahun dan telah menjadi media penjelajahan manusia. Sebagaimana peradaban manusia berkembang semakin maju, manusia mulai mengeksplor lautan luas. Pada tahun 1488 penjelajah dari Portugis, Bartolomeus Dias, mengitari Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika, membuat kemungkinan penjelajahan 27 Cathryn Henn, The Trouble With Treasure Historic Shipwrecks Discovered In International Waters, 19 U. Miami Int'l & Comp. L. Rev. 141 (2012), hal. 142 28 Ulrike Guérin & Katrin Köller, Of Shipwrecks, Lost Worlds and Grave Robbers, A World Of Sci., April – June 2009, hal 19 dan 22, dapat diakses pada http://portal.unesco.org /science/en/ev.php [diakses pada tanggal 31 Februari 2014] melalui jalur laut ke wilayah Timur Jauh. 29 Kemudian pada tahun 1492, perjalanan Colombus ke “dunia baru” dianggap sebagai momen munculnya penjelajahan ke wilayah Barat. Kemudian pedagang dari Bristol, wilayah barat daya Inggris, pertama kali menjelajahi Atlantik pada tahun 1480 dalam upaya menemukan pulau yang disebut Brazil dan mereka terus-menerus mengirimkan dua atau tiga kapal ke arah barat setiap tahunnya. Dalam kegiatan ekspedisi, selama berabad – abad, ditambah dengan adanya ledakan penduduk dan penggunaan laut sebagai jalur transportasi baik untuk barang maupun orang, belum lagi adanya perang dan pertempuran di laut, banyak kapal yang tenggelam di seluruh dunia. PBB memperkirakan bahwa ada lebih dari tiga juta kapal karam di area dasar laut. 30 Dengan perkembangan teknologi setiap tahunnya para peneliti semakin mampu untuk memeriksa ke wilayah yang lebih dalam dari wilayah dasar laut sehingga lebih banyak menemukan kapal – kapal karam. Dokos merupakan bangkai kapal tertua yang pernah ditemukan oleh para arkeolog. Bangkai kapal tersebut merupakan kapal pada masa Proto Helladic yaitu pada tahun 2700-2200 sebelum masehi. 31 Sisa bangkai kapal tersebut berada pada sekitar 15 – 30 meter dibawah laut dari lepas pantai selatan Yunani dekat pulau Dokos. Pulau Dokos terletak di sekitar 60 mil bagian timur Sparta, Peloponnese. 29 Professor Callum Roberts, The Unnatural History of the Sea 2nd ed.,(Washington D.C: Island Press 2009), hal. 33 30 United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, The Protection of the Underwater Cultural Heritage, Wrecks dapat diakses pada http://www.unesco.org /new/en/culture /themes/underwater-cultural-heritage/the-underwater heritage/wrecks/, [diakses tanggal 03 Maret 2014] 31 Proto Helladic adalah istilah arkeologi modern yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi urutan periode karakteristik daratan Yunani kuno selama zaman perunggu dapat diakses pada http://en.wikipedia.org/wiki/Early_Helladic_period [diakses tanggal 03 Maret 2015] Kapal tersebut sudah lama hilang, begitu juga dengan seluruh catatannya. Sisa – sisa muatan kapal ini berupa ratusan vas tanah liat dan barang – barang keramik lainnya yang merupakan bukti dari keberadaan kapal. Bangkai kapal berumur 4000 tahun tersebut ditemuan oleh Peter Throckmorton pada tanggal 23 Agustus 1975. 32 Situs bangkai kapal Dokos secara ekstensif digali pada tahun 1989 – 1992 oleh Hellenic Institute of Marine Archaeology/HIMA. 33 Kemudian arkeolog, Dr. George Papathanasopoulos, Presiden HIMA, melaksanakan penggalian pertama dalam skala besar di lokasi bangkai kapal. Berdasarkan informasi dari HIMA, tembikar Cycladic merupakan mutan kapal tersebut merupakan bukti yang berasal dari tahun 2200 sebelum masehi. Barang – barang seperti vas yang terbuat dari tembikar merupakan barang dagangan dari fasilitas manufaktur kuno Argolida. Muatan kapal tersebut diketahui terdiri dari salah satu koleksi terbesar pada zamannya. Selama penggalian dari tahun 1989 sampai 1992, HIMA telah berhasil memulihkan lebih dari 15.000 pecahan tembikar dan artefak. Mereka juga menemukan banyak batu pada situs yang diperkirakan digunakan sebagai bagian dari muatan kapal atau sebagai pemberat. Artefak – artefak ini kemudian diangkat dari dasar laut dan dibawa ke Museum Spetses. Disana, mereka akan dipelajari dan dimasukkan ke dalam konservasi. 34 32 The Early Helladic Shipwreck, dapat diakses pada http://www.mhargolid.nl /data/webb1992.pdf (1992)) [diakses tanggal 03 Maret 2015] 33 http://www.ienae.gr/index.php/en/hima/about-us (HIMA adalah sebuah organisasi nonprofit, didirikan tahun 1973, yang bertujuan untuk mempromosikan penelitian arkeologi maritim di wilayah Yunani dan membantu Menteri Kebudayaan Yunani dalam hal melestarikan, mempelajari dan memperkenalkan warisan maritim Yunani) [diakses tanggal 29 Februari 2015] 34 The Dokos Cargo Site, dapat diakses pada http://www2.rgzm.de/navis/cargo/ Dokossite/Dokostxt.htm [diakses tanggal 04 Maret 2015] Pada periode awal zaman modern, upaya penyelamatan sendiri dilakukan dengan melakukan penyelaman menggunakan diving bells. 35 Pada 1658, Albrecht von Treileben dikontrak oleh Raja Gustavus Adolphus dari Swedia untuk menyelamatkan kapal perang Vasa, yang tenggelam di pelabuhan Stockholm pada pelayaran perdananya pada tahun 1628. Antara tahun 1663-1665 penyelam dari Von Treileben berhasil menyelamatkan sebagian besar meriam menggunakan diving bells. 36 Pada tahun 1687, Sir William Phipps menggunakan wadah terbalik untuk memulihkan £ 200.000 nilai harta dari kapal Spanyol yang tenggelam di lepas pantai San Domingo. Pada zaman modern, upaya penyelamatan adalah menggunakan diving helmets yang ditemukan oleh Charles Deane, John Deane dan Augustus Siebe, di tahun 1830-an. Diving helmets sendiri merupakan alat yang dipakai oleh penyelam profesional dengan menggunakan peralatan/helm yang diisi dengan udara untuk bernapas yang disediakan dari pusat penyelam dari permukaan, pinggir pantai atau kapal pendukung penyelam, kadang menggunakan diving bell secara tidak langsung. 37 Royal George, kapal angkatan laut kerajaan Inggris memiliki 100 buah senjata, tenggelam saat menjalani tugas rutinnya tahun 1782, dan Deane bersaudara ditugaskan untuk melakukan penyelamatan atas bangkai kapal tersebut. Menggunakan diving helmets barunya, mereka berhasil memulihkan sekitar dua lusin meriam. 35 Diving bell merupakan ruang yang kaku digunakan untuk mengangkut penyelam untuk kedalaman di laut, dapat diakses pada http://en.wikipedia.org/wiki/Diving_bell [diakses tanggal 04 Maret 2015] 36 Vasa Museet, dapat diakses pada http://www.vasamuseet.se/en/The-Ship/Importantdates/ [diakses tanggal 03 Maret 2015] 37 Gernhardt, ML, Biomedical and Operational Considerations for Surface-Supplied Mixed-Gas Diving to 300 FSW, dalam Lang, MA and Smith, NE (eds). Proceedings of Advanced Scientific Diving Workshop (Washington, DC: Smithsonian Institution, 2006) Karena kesuksesan ini, Kolonel dari teknisi kerajaan, Charles Pasley, memulai operasi penyelamatan pertamanya pada tahun 1839. Rencananya adalah untuk menghancurkan bangkai Royal George dengan bubuk mesiu dan kemudian memulihkan properti dalam kapal sebanyak mungkin meggunakan penyelam. Pasley kemudian memulihkan 12 senjata lagi pada tahun 1839, 11 senjata pada tahun 1840 dan 6 sennjata pada tahun 1841. Pada tahun 1843 situs tersebut dinyatakan bersih. 38 Beberapa operasi penyelamatan penting dalam sejarah diantaranya 39: 1. Operasi penyelamatan kapal karam terbesar dalam catatan sejarah adalah pengangkatan kapal armada Jerman yang tenggelam di Scapa Flow, Scotlandia pada tahun 1919. 2. Kapal perang Swedia abad 17, Vasa, dipulihkan pada bulan April 1961 di wilayah pelabuhan Stockholm yang tenggelam pada pelayaran pertamanya tahun 1628. 3. Pemulihan dan konservasi lebih lanjut dari Mary Rose, kapal angkatan laut Raja Henry VII yang tenggelam pada tahun 1545 di Solent, bagian utara Isle of Wight. Penyelamatan Mary Rose pada tahun 1982 merupakan operasi penyelamtan yang kompleks dan merupakan pencapaian utama di bidang arkeologi laut. 4. Pada tahun 1968 Shipwrecks Inc., yang dikepalai by E. Lee Spence, berhak atas penyelamatan berlisensi dari South Caroline terhadap bangkai kapal Perang Saudara, SS. Georgiana yang ditemukan pada tahun 1965, 38 (1843) 39 Sholto Percy, Iron: An Illustrated Weekly Journal for Iron and Steel Manufacturers Dapat diakses pada http://en.wikipedia.org/wiki/Marine_salvage [diakses tanggal 28 Februari 2015] berdasarkan peraturan baru tentang barang – barang yang merupakan warisan budaya bawah air. Usaha ini merupakan penyelamatan arkeologi pertama yang terjadi di Amerika Serikat. 40 Spence beserta anak buahnya berhasil memulihkan sekitar 1.000.000 artefak, yang nilainya berkisar US$12.000.000. Artefak – artefak tersebut terbagi dalam tiga jenis, yaitu: obat – obatan, senjata, dan barang dagangan. 5. Penemuan kapal Nuestra Señora de las Mercedes pada tahun 2007, diklaim sebagai penemuan harta karun terbesar karena kapal tersebut membawa muatan yang diperkirakan bernilai US$500 million (£314 million). Kemudian penemuan ini menimbulkan klaim dari berbagai pihak, mulai dari negara sampai kepada peruasahaan eksplorasi. F. Pengaturan Harta Karun Dalam Hukum Internasional 1. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) Salah satu sumber hukum internasional yang mengatur tentang kapal karam beserta muatannya adalah UNCLOS. Konvensi ini sendiri tidak menyebutkan kapal karam beserta muatannya secara langsung melainkan memasukkan sebagai objek – objek yang memiliki historis dan arkeologis. Pembentukan UNCLOS sendiri merupakan suatu peristiwa sejarah, dimana konvensi ini merupakan perjanjian pertama dari jenisnya. 41 Disamping itu, 40 E. Lee Spence, Underwater Archeology in South Carolina, The Conference on Historic Site Archeology Papers 1970, (1971), Volume 5, Part 1 41 Louis B. Sohn & John E. Noyes, Cases and Materials on The Law of the Sea 2nd ed., (Leiden, Netherlands: Traansnational Publishers Inc., 2004), hal. 13 UNCLOS sudah diterima secara luas dalam hukum kebiasaan dan dirujuk sebagai konstitusi laut yang komprehensif. 42 Meskipun UNCLOS mengatur seluruh aspek hukum laut, namun pengaturan tentang kapal karam dalam dua pasal ini sedikit kabur yakni pasal 149 dan 303. Ketentuan dari kedua pasal tersebut memiliki makna ambigu, yang tidak memberikan panduan umum yang jelas. Pada dasarnya UNCLOS tidak mengatur dengan jelas terkait dengan penemuan harta karun di wilayah perairan internasional. Pasal 149 menyatakan: “All objects of an archaeological and historical nature found in the Area shall be preserved or disposed of for the benefit of mankind as a whole, particular regard being paid to the preferential rights of the State or country of origin, or the State of cultural origin, or the State of historical and archaeological origin” yang artinya “seluruh objek yang bersifat arkeologis dan historis yang ditemukan di Kawasan harus dilestarikan ataupun dilepaskan untuk kepentingan seluruh umat manusia, khususnya terhadap hak – hak istimewa negara atau negara asal (country of origin), atau negara asal budaya, atau negara asal historis dan arkeologis.” 43 Hal ini menimbulkan persoalan terhadap apa yang merupakan kepentingan umat manusia dan apa yang dimaksud dengan objek yang memiliki nilai arkeologis dan nilai historis tersebut. Namun kedua hal itu tidak diatur dalam konvensi. Sehingga pengaturannya tergantung kepada interpretasi masing – masing negara, dimana interpretasi tersebut tentu saja diwarnai dengan latar belakang budaya maupun filosofis suatu negara. 42 43 Ibid UNCLOS, op. cit., pasal 149 Ketidakjelasan dari pasal 149 juga bersumber dari hak istimewa atas objek – objek historis dan arkeologis yang diberikan kepada negara tertentu. Batasan hak istimewa tersebut tidak diuraikan dengan jelas dan tidak ada aturan ketika lebih dari satu negara yang memiliki hak istimewa tersebut. Sementara pasal 303 UNCLOS lebih mengatur secara umum mengenai objek – objek arkeologis maupun historis yang ditemukan di laut. Pasal ini menyatakan “States have the duty to protect objects of an archaeological and historical nature found at sea and shall cooperate for this purpose”, yang artinya “negara – negara memiliki kewajiban untuk melindungi objek – objek arkeologis dan historis yang ditemukan di laut”. 44 Pada dasarnya, UNCLOS 1982 ini sendiri mengatur masalah perlindungan warisan budaya bawah air dalam komunitas internasional secara umum, sehingga dibutuhkan instrumen hukum internasional yang baru untuk secara khusus merumuskan perlindungan secara spesifik terhadap bangkai kapal beserta muatannya. 2. Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air 2001 (UNESCO Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage/UCH Convention) Tanggal 02 November 2001, ditandai sebagai peristiwa yang sangat penting bagi seluruh komunitas yang peduli terhadap perlindungan budaya dan arkeologi bawah air, dimana konferensi umum UNESCO mengesahkan Convention on the Protection of Underwater Cultural Heritage dengan proses yang sulit dan kompleks. Negosiasi resmi yang berlangsung dalam UNESCO sendiri yaitu 44 Ibid., pasal 303 selama 4 tahun akhirnya selesai. Sebagai badan khusus bagian budaya dalam sistem PBB, UNESCO merundingkan kerangka khusus tentang dimensi budaya dari warisan budaya bawah air dalam bentuk yang berbeda dari kerangka umum dalam UNCLOS. Dalam struktur hukum laut yang sangat luas dan bersesuaian dengan keseimbangan kepentingan yang terdapat dalam UNCLOS, konvensi ini muncul sebagai instrumen umum baru, yaitu sebagai lex specialis dari warisan budaya bawah air dan perlindungannya, dimana UNCLOS sebagai lex generalis dari seluruh hukum laut. Tujuan awal UNESCO dalam perlindungan warisan budaya bawah air lebih bersifat ke substansi dan lebih ekstensif dari hukum internasional sebelumnya. Peningkatan jumlah kegiatan pengrusakan dan penjarahan warisan budaya bawah air menyiratkan kelemahan dari UNCLOS sendiri sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan menciptakan suatu rezim hukum baru yaitu UCH Convention. Pencapaian terbesar konvensi UNESCO ini adalah bahwa konvensi ini merupakan instrumen universal pertama dengan standar perlindungan terhadap warisan budaya bawah air yang ditawarkan kepada komunitas internasional. Namun, konvensi ini memiliki sejumlah perbedaan dengan doktrin hukum intenasional lainnya dimana keefektifannya masih dipertanyakan. 45 Satu hal yang menarik dari UCH Convention ini adalah larangan eksploitasi komersial terhadap warisan budaya bawah air. Salah satu tujuan dan prinisp umum konvensi ini adalah “Underwater cultural heritage shall not be 45 David J. Bederman, op. cit., hal. 140 commercially exploited” yang artinya “bahwa warisan budaya bawah air tidak boleh dieksploitasi secara komersial.” 46 Selanjutnya, pada bagian tambahan konvensi menggambarkan aturan yang harus diikuti, menyatakan bahwa eksploitasi komersial warisan budaya bawah air untuk diperdagangkan adalah tidak sesuai dengan perlindungan dan pengelolaan warisan budaya bawah air. Warisan budaya bawah air seharusnya tidak boleh diperdagangkan, dijual, dibeli atau ditukar dengan barang-barang komersil. 47 Dalam kompromi, konvensi ini memungkinkan penyimpanan warisan budaya bawah air yang dipulihkan selama proses penelitian. 48 Namun, penyimpanan ini tidak mencakup penjualan setiap barang yang termasuk warisan budaya bawah air. Oleh sebab itu, akibat larangan eksploitasi komersial ini merupakan upaya untuk menghilangkan motif komersil pada perusahaan perusahaan komersil dalam upaya penyelamatan bangkai kapal. Sehingga, jika konvensi ini menjadi hukum kebiasaan internasional, konsekuensi dari larangan eksploitasi komersial akan menjadi upaya pemusnahan industri penyelamatan bangkai kapal. Konvensi ini mengharuskan negara pihak bekerja sama dalam perlindungan warisan budaya bawah air, 49 melestarikan warisan budaya bawah air untuk kepentingan kemanusiaan, dan mengambil langkah yang diperlukan untuk melindungi warisan budaya bawah air berdasarkan konvensi dan hukum internasional. 46 UCH Convention, op. cit., pasal 2(7) Ibid., Annex r. 2 48 Ibid., Annex, r. 2(b) 49 UCH Convention, op. cit., pasal 2(2) 47 Namun, tanpa industri penyelamatan yang kompetitif, lebih sedikit dana yang akan diberikan ke dalam penelitian dan pengembangan teknologi baru sehingga membutuhkan jumlah waktu yang lama untuk menemukan bangkai kapal, jika mereka ingin menemukannya. Selain itu, dengan menghilangkan insentif keuntungan bagi perusahaan eksplorasi kapal karam komersil maka akan membatasi jumlah bangkai kapal yang dapat ditemukan, banyak bangkai kapal dalam bahaya kerusakan dan kehancuran yang tidak akan menerima perlindungan sama sekali. Para perancang konvensi tampaknya berasumsi bahwa karena tidak semua bangkai kapal dianggap berada dalam bahaya laut (marine peril), semua bangkai kapal benar-benar aman dalam kondisi mereka saat ini. Nyatanya, prinsip ini tidak dapat didukung. Gangguan manusia dalam bentuk pembuangan limbah dan kegiatan mencari ikan di lokasi yang memiliki lalu lintas tinggi seperti Selat Inggris menempatkan bangkai kapal dalam bahaya serius. 50 Sama halnya, dasar laut merupakan sasaran dari banyak bencana alam yang terjadi , seperti gunung berapi dan gempa bumi bawah laut. Para pendukung konvensi kemungkinan akan menunjukkan bahwa konvensi ini membuka kemungkinan bagi upaya penyelamatan bangkai kapal jika mereka benar-benar dalam bahaya. Pasal 12 konvensi ini mengizinkan semua Negara Pihak untuk melakukan upaya praktis untuk mencegah bahaya terhadap warisan budaya bawah air, baik yang timbul dari aktivitas manusia maupun penyebab lainnya. 51 Terdapat dua asumsi terhadap pasal ini. Pertama, kerumitan dalam konvensi membutuhkan konsultasi dan kesepakatan antara beberapa pemerintah 50 51 Sean A. Kingsley, loc. cit UCH Convention, op. cit., pasal 12(3) negara. 52 Tidaklah realistis bagi pemerintah untuk dapat bersama-sama menyelamatkan kapal terancam rusak atau hancur dengan cepat. Upaya penyelamatan bangkai kapal merupakan upaya yang memakan banyak waktu dan birokrasi yang diciptakan dalam konvensi mencegah pihak – pihak untuk bertindak cepat. Kedua, kenyataan bahwa bangkai kapal yang ditemukan dalam bahaya semakin menurun karena karena penurunan jumlah industri penyelamatan komersil. Sederhananya, dengan lebih sedikit orang yang mencari kapal karam bersejarah, ada kemungkinan bahwa lebih sedikit bangkai kapal yang akan ditemukan. Pada akhirnya akan lebih banyak kemungkinan bangkai kapal yang dalam bahaya akan menjadi rusak atau hancur tanpa sepengetahuan siapa pun, daripada masyarakat internasional bersama-sama menyelamatkan bagkai kapal dari kehancuran berdasarkan konvensi ini. Jawaban dalam masalah perlindungan kapal karam bersejarah adalah tidak boleh membatasi jumlah entitas dalam mencari bangkai kapal, tetapi untuk memberikan perlindungan yang lebih memadai sekaligus memaksimalkan kesempatan akan penemuan bangkai kapal. 3. International Convention on Salvage 1989 Pada tahun 1989, International Maritime Organization, sebuah badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) ditugaskan menciptakan pengaturan mengenai pengaturan tentang kapal, dan kemudian mereka sampai kepada kesimpulan, yaitu International Convention on Salvage tahun 1989. 53 52 Ibid., pasal 12(4) Nicholas J.J. Gaskell, The International Salvage Convention of 1989, 4 Int'l J. Estuarine & Coastal L. (1989), hal 268; Brian F. Binney, Protecting the Environment With Salvage Law: Risks, Rewards, and the 1989 Salvage Convention, 65 Wash. L. Rev (1990), hal. 647 53 Konvensi ini menggantikan Brussels Convention on Salvage tahun 1910, yang sama sekali tidak mengatur ketentuan mengenai kapal karam bersejarah. Konvensi ini mempunyai pengaturan yang berbeda terhadap harta karun, dimana konvensi ini berfokus pada upaya penyelamatan terhadap bangkai kapal beserta muatannya dalam ruang lingkup yang lebih spesifik dibanding konvensi – konvensi lain. Jadi konvensi ini berbeda dengan konvensi yang sudah dijelaskan sebelumnya yang hanya mengatur tentang perlindungan terhadap kapal karam beserta muatannya bagi kepentingan umat manusia tanpa mengatur secara jelas tentang upaya penyelamatan. Upaya penyelamatan dimaksudkan sebagai tindakan atau kegiatan untuk membantu kapal berserta muatannya yang sedang dalam bahaya. 54 Ketentuan dalam konvensi ini mengatur mengenai imbalan bagi salvor yang berhasil melakukan pemulihan atas bangkai kapal beserta muatannya 55, kriteria pemberian imbalan, 56 serta pemberian imbalan khusus. 57 Konvensi ini memiliki istilah no cure, no pay, yang berarti salvor hanya akan diberi penghargaan/imbalan atas jasanya menemukan bangkai kapal, dengan kata lain jika upaya pemulihan berhasil dilakukan. Konvensi ini juga mengatur mengenai pemberian imbalan khusus, yaitu jika salvor melakukan upaya untuk mencegah terjadinya polusi di lingkungan laut namun tidak berhasil melakukan upaya penyelamatan, konvensi ini memberikan sedikit imbalan bagi salvor tersebut, meskipun hanya memiliki sedikit keberhasilan pemulihan bangkai kapal beserta muatannya. 54 International Convention on Salvage 1989, 1953 UNTS 193, S. Treaty Doc. No. 102-12, 102d Cong., 1st Sess. (1991), pasal 1(1) 55 Ibid., pasal 12 56 Ibid., pasal 13 57 Ibid., pasal 14