IPM Baru dan Kita KOMPAS, Jumat, 5 November 2010 | 03:52 WIB Oleh Ivan A Hadar Laporan Pembangunan Manusia Global 2010 diluncurkan ke publik dunia pada 4 November 2010. Edisinya yang ke-20 ini terbilang spesial karena memuat Indeks Pembangunan Manusia dengan penghitungan baru, berupa perubahan-perubahan kecil, tetapi signifikan. Sebelumnya, tiga indikator pengukurnya adalah angka harapan hidup, persentase melek aksara orang dewasa dikombinasikan dengan angka partisipasi (kotor) sekolah bagi anak, serta gross domestic product (GDP) per kapita dalam dollar AS. Dalam perkembangannya, laporan Pembangunan Manusia yang ruh dasarnya adalah menempatkan manusia sebagai titik pusat diskusi pembangunan dan rencana aksi, dari sisi indikator pengukurannya terus-menerus dikaji dan disempurnakan. Mengikuti perkembangan dan kompleksitas pembangunan di banyak negara, Laporan Pembangunan Manusia (LPM) Global tahun ini memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) reformasi dengan indikator baru, yaitu angka harapan hidup, expected years of schooling (lama harapan sekolah) dikombinasikan dengan means years of schooling (lama rata-rata sekolah) dan gross national income (GNI) per kapita dalam dollar AS serta sebuah kehidupan layak yang diukur lewat GNI, bukan sekadar GDP yang menafikan banyaknya produksi domestik yang sebagian keuntungannya mengalir ke luar negeri dan menutupi kesenjangan antarindividu. Pendekatan Pembangunan Manusia cukup kompleks dan terkait banyak aspek. Artikulasi falsafahnya diwarnai pemikiran Mahbub Ul-Haq dan Amartya Sen. IPM adalah alat yang memopulerkan Pembangunan Manusia sebagai cermin kesejahteraan manusia dan bahan perbandingan antara negara dan daerah. IPM adalah sebuah pendekatan komprehensif terkait keberdayaan dan kebutuhan dasar manusia. Perubahan dalam indikator dan metodologi pengukuran IPM ini tentu saja berpengaruh terhadap nilai dan peringkat IPM semua negara. Tahun ini LPM memperkenalkan tiga indeks, selain IPM reformasi, berupa Inequality-adjusted Index (nilainya disesuaikan dengan Kesenjangan), Indeks Ketidaksetaraan Jender, dan Indeks Kemiskinan Multidimensional. Tulisan ini, mencermati pencapaian Indonesia, dipandang dari empat indeks tersebut. LPM kali ini memantau kecenderungan selama 30 tahun terakhir. Berbeda dengan sebelumnya, perubahan 1 persen dari usia harapan hidup, misalnya, memiliki arti yang sama dibandingkan perubahan 1 persen dalam pendidikan dan pendapatan. Tahun ini, disebabkan oleh kelengkapan data per negara, terdapat 169 negara yang diukur IPM-nya. Kelompok menengah Pada tahun 2010 Indonesia masuk dalam kelompok menengah dengan nilai IPM 0,600, dengan peringkat ke-108 dari 169 negara yang dinilai. Penilaian dalam rentang waktu 1980-2010 beralasan, karena dalam jangka pendek beberapa indikator IPM tidak berubah secara cepat dalam mengantisipasi perubahan kebijakan, terutama terkait lama pendidikan dan usia harapan hidup. Dalam waktu 30 tahun, nilai IPM Indonesia meningkat dari 0,390 menjadi 0,600, sebuah peningkatan sebesar 54 persen atau rata-rata 1,4 persen per tahun. Dengan peningkatan tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-12 dunia terkait perbaikan IPM. Dalam kurun waktu tersebut, angka harapan hidup meningkat 19 persen, sementara GNI per kapita meningkat 180 persen. Penilaian jangka panjang, juga bermanfaat saat memperbandingkan dengan negara-negara tetangga atau secara regional. Pada tahun 1980, untuk kawasan Asia dan Pasifik, Indonesia bersama China, Vietnam, India, dan Thailand memiliki nilai IPM yang (hampir) sama. Namun, setelah itu hingga 2010, negara-negara tersebut mengalami perkembangan yang berbeda. Nilai IPM Indonesia sebesar 0,600, berada di atas nilai rata-rata negara-negara berkembang kelompok menengah yang bernilai 0,592. Dari kawasan Asia dan Pasifik, negara yang nilai IPMnya ”bertetangga” dengan Indonesia adalah Vietnam (peringkat ke-113) dan India (ke-119). Adapun negeri jiran Malaysia termasuk dalam negara yang memiliki IPM tinggi dan berperingkat ke-57 di kawasan tersebut. IPM adalah ukuran rata-rata pencapaian PM sebuah negara sehingga seperti biasanya ”menyembunyikan” ketimpangan dalam persebaran pembangunan manusia dalam sebuah negara. Laporan kali ini memperkenalkan tiga indeks. Pertama, Inequality Adjusted IPM, sebuah pengukuran baru bagi bagi sebagian besar negara, di mana ketimpangan dalam tiga dimensi IPM menjadi pertimbangan. IPM Indonesia 2010 adalah 0,600. Namun, jika nilai tersebut mempertimbangkan aspek ketimpangan, nilai IPM Indonesia turun menjadi 0,494, turun sebesar 18 persen. Kedua, Indeks Ketimpangan Jender yang memiliki tiga dimensi, yaitu kesehatan reproduktif yang diukur antara lain dari angka kematian ibu; lalu pemberdayaan, termasuk jumlah perempuan dalam parlemen; serta aktivitas ekonomi. Nilai Indeks Ketimpangan Jender di Indonesia adalah 0,680 atau pada peringkat ke-100 dari 138 negara, berbasis data 2008. Miskin multidimensional Sejak 1997 Laporan PM telah memperkenalkan Indeks Kemiskinan Manusia yang mengombinasikan berbagai aspek nonmoneter. Tahun ini laporan PM memperkenalkan Indeks Kemiskinan Multidimensi, yang mengidentifikasi ketimpangan dalam pendidikan, kesehatan, dan standar kehidupan. Di Indonesia, 21 persen penduduknya menderita kemiskinan multidimensional, plus 12 persen yang rawan terkena. Intensitas rata-rata yang mengalami kemiskinan multidimensional di Indonesia adalah 46 persen. Ketika semuanya diukur, nilai yang dicapai Indonesia adalah 0,095. Dalam kurun waktu pengukuran, Indeks Kemiskinan Multidimensi di Indonesia mengalami penurunan sebesar 9 persen dibandingkan 30 tahun lalu. Ini menjadi indikasi bahwa mereka yang miskin pendapatan di Indonesia masih memiliki akses ke pendidikan dan kesehatan. Selain itu, Indonesia masuk urutan ke-4 dalam 10 besar negara yang dianggap sebagai top movers— kecenderungan mengalami perbaikan PM paling cepat di dunia. Apakah ini berarti puluhan juta saudara-saudari kita masih miskin, masih berpengharapan bisa keluar dari perangkap kemiskinan secepatnya? IVAN A HADAR Pengamat MDGs dan Pembangunan Manusia