Lupus Eritematosus Sistemik - Jurnal Fakultas Kedokteran

advertisement
Nopa | Systemic Lupus Erythematosus
Lupus Eritematosus Sistemik
Nopa Septia Anggraini
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Abstrak
Lupus eritematosus sistemik (LES) atau systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun multisistem yang
berat karena tubuh membentuk berbagai jenis antibodi. Faktor genetik, imunologik, hormonal, serta lingkungan berperan
dalam patofisiologinya. Prevalensi SLE di Indonesia tahun 2010 mencapai 10.314 kasus. Survival rate SLE berkisar antara
85% dalam 10 tahun pertama dan 65% setelah 20 tahun menderita SLE. Dalam kasus ini, seorang pasien perempuan
berusia 27 tahun datang dengan keluhan nyeri pada seluruh sendi sejak 4 hari yang lalu. Pasien memiliki riwayat penyakit
lupus sejak 1 tahun yang lalu dan mengonsumsi metil prednisolon secara teratur. Keluhan saat ini muncul setelah pasien
tidak mengonsumsi obat karena kehabisan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran komposmentis. Tanda vital:
o
tekanan darah 150/100 mmHg, nadi 90x/menit, RR 22x/menit, suhu 37,0 C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan malar rash.
Pemeriksaan imunologis anti nuclear antibody (ANA) positif. Pasien ini didiagnosis lupus eritematosus sistemik . Terapi yang
diberikan pada pasien adalah kortikosteroid metil prednisolon.
Kata kunci: ANA, lupus eritematosus sistemik, metil prednisolon
Systemic Lupus Erythematosus
Abstract
Systemic lupus erythematosus (SLE) is a severe multisystem autoimmune disease which the body produces various types of
antibodies. Genetic, immunologic, hormonal and environmental role in the pathophysiological process. The prevalence of
SLE in Indonesia is 10.314. Survival rate SLE ranged from 85% in the first 10 years and 65% after 20 years of suffering from
SLE. In this case, a 27-year-old female patient, with complaints of advanced pain in all joints since four days ago. Patient had
lupus since one year ago and taking medication methyl prednisolone regularly. The complaints currently appear after the
patient ran out of medication a few days ago. On physical examination found awareness of compostmentis. Vital signs:
o
blood pressure 150/100 mmHg, pulse 90x/min, respiratory rate 22x/min, body temperature 37,0 C. On physical
examination found malar rash. Immunology test showed positive ANA. This patient was diagnosed systemic lupus
erythematosus. Therapy given to patients is a corticosteroid methyl prednisolone.
Keywords: ANA, systemic lupus erythematosus, methyl prednisolone
Korespondensi: Nopa Septya Anggraini, S.Ked., alamat Jl. Angkasa Raya (Angkasa 1) Komplek Perumahan Labuhan Alam
Residence No. A11, Untung Suraphati, Labuhan Dalam, Bandar Lampung, HP 081366521820, e-mail
[email protected]
Pendahuluan
Lupus eritematosus sistemik atau
systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan
penyakit autoimun multisistem yang berat.
Pada keadaan ini tubuh membentuk berbagai
jenis antibodi, termasuk antibodi terhadap
antigen nuklear (ANAs) sehingga menyebabkan
kerusakan berbagai organ. Penyakit ini ditandai
dengan adanya periode remisi dan episode
serangan akut dengan gambaran klinis yang
beragam berkaitan dengan berbagai organ
yang terlibat. SLE terutama menyerang wanita
usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik,
hormonal serta lingkungan berperan dalam
proses patofisiologi. 1-4
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5
juta orang di seluruh dunia. Prevalensi SLE di
India 3 kasus per 100.000 populasi yang
dilaporkan. Kejadian SLE di United Kingdom
dilaporkan sekitar 49,6 kasus per 100.000
populasi.5 Prevalensi SLE di Amerika adalah 1
kasus per 1000 populasi dengan rasio
wanita:laki-laki antara 9-14:1.2 Belum terdapat
data epidemiologi SLE yang mencakup semua
wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan
pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit
Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung
terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total
pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi
selama tahun 2010.6-8
Survival rate SLE berkisar antara 70-85%
dalam 5-10 tahun pertama dan 53-64% setelah
20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat
penyakit SLE ini 3-5 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum.8-10 Di RSCM
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 124
Nopa | Systemic Lupus Erythematosus
survival rate 5 tahun pasien SLE adalah 88%
dari pengamatan terhadap 108 orang pasien
SLE yang berobat dari tahun 1990-2002.6 Pada
beberapa tahun pertama mortalitas SLE
berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi
seperti infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan
protozoa, sedangkan dalam jangka panjang
berkaitan
dengan
penyakit
vaskular
aterosklerosis.8
Kasus
Seorang pasien perempuan berusia 27
tahun datang dengan keluhan nyeri pada
seluruh sendi yang memberat sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Sejak 1
tahun yang lalu pasien mengeluh sering merasa
lemas pada seluruh badan, nyeri sendi, demam
yang hilang timbul, sering sariawan dan muncul
ruam-ruam kemerahan pada wajah dan dada
pasien, serta badan akan kemerahan jika
terkena sinar matahari. Keluhan awalnya
dirasakan ringan, membaik dengan beristirahat
dan pasien masih bisa beraktivitas seperti
biasa. Akan tetapi, keluhan dirasakan
memberat, lalu pasien berobat ke dokter dan
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ANA
test.
Pada 11 bulan yang lalu, pasien melakukan
pemeriksaan dan hasil pemeriksaan tersebut
positif. Berdasarkan hasil pemeriksaan, pasien
didiagnosis menderita SLE, kemudian dilakukan
terapi dengan pemberian beberapa macam
obat. Salah satu obat yang diberikan adalah
metil prednisolon yang dikonsumsi secara rutin
2 kali per hari dengan dosis 16 mg. Sejak
mengkonsumsi obat tersebut, keluhan pasien
semakin dirasakan membaik. Empat hari yang
lalu pasien tidak mengonsumsi obat karena
kehabisan dan timbul keluhan nyeri pada
seluruh sendi yang semakin berat, kepala
terasa pusing terutama bila melihat cahaya
terang yang sangat silau. Keluhan disertai mata
memerah, badan terasa lemas, demam yang
hilang timbul serta muncul ruam kemerahan
yang menyerupai kupu-kupu. Pasien juga
merasa mual dan muntah sebanyak ±2x dalam
sehari, kulit yang kemerahan jika terkena sinar
matahari. Riwayat keluarga dengan penyakit
yang sama seperti pasien disangkal, rambut
sering rontok (+), riwayat hipertensi (+),
riwayat DM (+), sejak sakit nafsu makan
menurun.
Pasien datang dengan keadaan umum
tampak sakit sedang, kesadaran
komposmentis, GCS E4V5M6 = 15. Tanda vital:
tekanan darah 150/100 mmHg, nadi
90x/menit, RR 22x/menit, suhu 37,0oC. Indeks
Massa Tubuh 23,3. Status generalis: alopesia
(+), malar rash (+), leher, toraks, abdomen, dan
ekstremitas dalam batas normal. Pada
pemeriksaan neurologis tidak terdapat
kelainan.
Pada
pemeriksaan
laboratorium
didapatkan Hb: 10,6 gr/dl, LED: 45 mm/jam,
Hematokrit: 31%, Leukosit: 3900/ul, Trombosit
320.000/ul, dan Imuno Serologi Anti-dsDNA :
>3200, C3 komplemen # : 38, C4 komplemen #
: 9, Ana (IF)# : Positif.
Pasien didiagnosis mengalami sistemik
lupus eritomatosa. Pasien diberikan terapi
metil prednisolon injeksi 3x125 mg (hari ke
1,2,3), 2x125 mg (hari ke 4), 1x125 mg (hari ke
5) secara intravena. Prognosis pasien ini adalah
dubia ad bonam.
Pembahasan
Lupus eritematosus sistemik merupakan
penyakit autoimun multisistem yang berat.
Pada SLE, tubuh membentuk berbagai jenis
antibodi, termasuk antibodi terhadap antigen
nuklear (ANAs) sehingga menyebabkan
kerusakan berbagai organ. Manifestasi
klinisnya tergantung organ mana yang
terkena.11,12
Tampilan klinis SLE sangat bervariasi
sehingga sulit untuk mendiagnosis penyakit ini
secara dini. Jika pasien terdiagnosis dalam
keadaan sudah jelas semua tanda dan
gejalanya, biasanya derajat penyakitnya sudah
berat,
penatalaksaannya
lebih
sulit,
membutuhkan obat-obatan yang lebih mahal
dan prognosisnya pun lebih buruk. Penyakit
SLE menyerang hampir pada 90% wanita pada
rentang usia reproduksi antara usia 15-40
tahun dengan rasio wanita dan laki-laki adalah
5:1.13
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 125
Nopa | Systemic Lupus Erythematosus
Penegakkan diagnosis SLE berdasarkan
minimal 4 dari kriteria (minimal satu kriteria
klinis dan 1 kriteria laboratorium) atau hasil
biopsi menunjukkan nefritis lupus dengan
ANA atau Anti-DNA positif.14,15 Kriteria klinis
tersebut meliputi lupus kutaneus akut, lupus
kutaneus kronik, ulkus oral atau nasal,
alopesia non-scarring, arthritis, serositis,
renal,
neurologis,
anemia
hemolitik,
leukopenia,
dan
trombositopenia
(<100.000/mm3).
Kriteria
laboratorium
meliputi temuan terhadap ANA, anti-DNA,
anti-Sm, antibodi antifosfolipid, komplemen
rendah (C3, C4, CH50), dan tes coombs direk
(tidak dihitung pada anemia hemolitik).
Berdasarkan
hasil
anamnesis,
pemeriksaan
fisik,
dan
pemeriksaan
penunjang, pasien ini memiliki kriteria SLE
antara lain kriteria klinis yaitu lupus kutaneus
akut (malar rash), alopesia, sinovitis,
leukopenia (< 4.000/mm3) dan kriteria
imunologis yaitu peningkatan kadar AntidsDNA dan ANA (+). Karena telah memenuhi
kriteria diagnosis, maka pasien ini didiagnosis
SLE.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik11
Kriteria Klinis
Acute cutaneus lupus Meliputi ruam malar lupus (jangan dimasukkan bila diskoid malar);
lupus bula; varian nekrolisis epidermal toksik dari SLE; ruam lupus
makulopapular; ruam lupus fotosensitif tanpa deramtomiositis; atau
lupus kutan subakut (nonindurated psoriaform dan/atau lesi polisklik
anular yang sembuh tanpa jaringan parut, walaupun kadang-kadang
disertai depigmentasi atau telengiektasis postinflamasi)
Chronic
cutaneus Meliputi ruam diskoid klasik; terlokalisir (di atas leher); generalisata
(di atas dan di bawah leher); lupus hipertrofik (verukous); lupus
lupus
panniculitis (profundus); lupus mukosa; lupus eritematous tumidus;
lupus chilblains; lupus discoid/overlap dari liken planus
Ulkus palatum, bukal, lidah atau nasal tanpa penyebab lain seperti
Ulkus mulut
vaskulitis, infeksi Behcet (herpes), inflammatory bowel disease,
arthritis reaktif dan makanan asam
Alopesia
tanpa Penipisan atau kerapuhan rambut difus dengan rambut patah yang
nyata tanpa penyebab lain seperti alopesia areata, obat-obatan,
jaringan parut
defisiensi besi dan alopesia androgenik
Meliputi dua sendi atau lebih, yang dikarakeristikkan dengan bengkak,
Sinovitis
efusi dan nyeri, serta kaku di pagi hari selama 30 menit atau lebih
Pleuritis tipikal selama lebih dari 1 hari atau efusi pleura atau pleural
Serositis
rub; nyeri perikardial tipikal (nyeri yang diperberat dengan duduk
membungkuk) selama lebih dari 1 hari atau efusi perikard atau
pericardial rub atau perikarditis oleh gambaran elektrokardiografi
tanpa penyebab lain seperti infeksi, uremia dan perikarditis Dressler
Protein urin/kreatinin (atau protein urin 24 jam) menunjukkan 500mg
Ginjal
protein/24 jam atau adanya endapan eritrosit
Kejang; psikosis; mononeuritis multipel tanapa penyeba lain yang
Neurologis
dikteahui seperti vaskulitis primer; mielitis; neuropati cranial atau
perifer tanpa penyebab lain yang diketahui seperti vaskulitis primer,
infeksi dan diabetes mellitus; keadaan acute confusional tanpa
penyebab lain seperti toksik metabolik, uremia, obat-obatan
Anemia Hemolitik
<4.000/mm3 minimal sekali (tanpa penyebab lain seperti Felty, obatLeukopenia
obatan dan hipertensi porta); atau limfopenia (<1.000/mm3 minimal
sekali) tanpa penyebab lain seperti kortikosteroid, obat-obatan dan
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 126
Nopa | Systemic Lupus Erythematosus
Trombositopenia
Kriteria imunologis
ANA
Anti-dsDNA
Anti-Sm
Antibodi
antifosfolipid
Komplemen rendah
Tes Coomb direk
infeksi
(<100.000/mm3) minimal sekali (tanpa penyebab lain seperti obatobatan, hipertensi porta dan TP)
Melebiihi rentang rujukan laboratorium
Melebiihi rentang rujukan laboratorium, kecuali ELISA; dua kali di atas
rentang
Setiap RPR antikoagulan lupus yang positif-salah dengan titer
antikardiolipin yang sedang atau tinggi (IgA, IgG atau IgM) glikoprotein
I anti-β2 (IgA, IgG atau IgM)
C3 yang rendah, C4 yang rendah, CH50 yang rendah
Tanpa adanya anemia hemolitik
Singkatan: SLE, Systemic lupus erythematous; ANA, Antinuclear antibody; ELISA, Enzyme linked
immunosorbent assay; RPR, Rapid plasma reagin.
Pengelolaan SLE diberikan sesuai
dengan tingkat penyakit. Penyakit SLE
dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu
ringan, sedang, berat sampai mengancam
nyawa.16,17 Contoh SLE ringan berupa
arthritis dan SLE yang bermanifestasi pada
kulit. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan
diantaranya adalah pasien secara klinis
tenang, tidak terdapat tanda atau gejala
yang mengancam nyawa, dan fungsi organ
seperti
ginjal,
paru,
jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat,
sendi, hematologi dan kulit, normal atau
stabil. Kriteria penyakit SLE dengan tingkat
keparahan sedang diantaranya meliputi
nefritis ringan sampai sedang (lupus
nefritis kelas I dan II), trombositopenia
(trombosit 20-50x103/mm3), dan serositis
mayor.8,16,18
Penyakit SLE berat atau mengancam
nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini,
yaitu:8,16,18
a.
J
antung: endokarditis Libman-Sacks,
vaskulitis
arteri
koronaria,
miokarditis, tamponade jantung,
hipertensi maligna.
b.
P
aru-paru: hipertensi pulmonal,
perdarahan paru, pneumonitis,
emboli paru, infark paru, fibrosis
interstisial, shrinking lung.
c.
G
astrointestinal:
pankreatitis,
vaskulitis mesenterika.
d.
G
injal: nefritis proliferatif dan atau
membranous.
e.
K
ulit: vaskulitis berat, ruam difus
disertai ulkus atau melepuh
(blister).
f.
N
eurologi: kejang, acute confusional
state, koma, stroke, mielopati
transversa,
mononeuritis,
polineuritis, neuritis optik, psikosis,
sindroma demielinasi.
g.
H
ematologi: anemia hemolitik,
neutropenia
(leukosit
<1.000/mm3),
trombositopenia
<20.000/mm3, purpura trombotik
trombositopenia, thrombosis vena
atau arteri.
Kortikosteroid
(KS)
digunakan
sebagai terapi utama pada pasien SLE.19
Meski dihubungkan dengan munculnya
banyak laporan efek samping, KS tetap
merupakan obat yang banyak dipakai
sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.20
Dosis KS yang digunakan juga bervariasi.
Untuk meminimalkan masalah interpretasi
dari pembagian ini maka dilakukanlah
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 127
Nopa | Systemic Lupus Erythematosus
standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.
Tabel 2. Dosis Kortikosteroid yang dianjurkan
19
Kategori
Dosis rendah
Definisi
< 7.5 mg prednison
atau setara perhari
Dosis sedang
>7.5 mg, tetapi < 30 mg
prednison atau setara
perhari
Dosis tinggi
>30 mg, tetapi < 100
mg prednison atau
setara perhari
Dosis
sangat > 100 mg prednison
tinggi
atau setara perhari
Terapi pulse
>250 mg prednison
atau setara perhari
untuk 1 hari atau
beberapa hari
Pembagian dosis KS membantu kita
dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis
rendah sampai sedang digunakan pada SLE
yang relatif tenang. Dosis sedang sampai
tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis
sangat tinggi dan terapi pulse diberikan
untuk krisis akut yang berat seperti pada
vaskulitis luas, nefritis lupus, lupus
cerebral. Pulse terapi KS digunakan untuk
penyakit rematik yang mengancam nyawa,
induksi atau pada kekambuhan.19 Tapering
tergantung dari penyakit dan aktivitas
penyakit, dosis dan lama terapi, serta
respon klinis.22 Sebagai panduan, untuk
tapering dosis prednison lebih dari 40 mg
sehari maka dapat dilakukan penurunan 510 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan
penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada
dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya
diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3 minggu
bila dosis prednison <20 mg/hari.
Selanjutnya dipertahankan dalam dosis
rendah untuk mengontrol aktivitas
penyakit.8,19-22
Pada
pasien
ini
pemberian
kortikosteroid berupa metil prednisolon
injeksi 3x125 mg (hari ke 1,2,3), 2x125 mg
(hari ke 4), 1x125 mg (hari ke 5).
Pemberian ini termasuk kategori pulse
therapy dimana pemberian kortikosteroid
berupa prednisone >250 mg per hari atau
yang setara selama beberapa hari, namun
dosis diberikan kurang tepat, pemberian
metil prednisolon diberikan intravena
dengan dosis 0,5-1 gram per hari selama 3
hari.8 Indikasi pemberian ini adalah
kekambuhan penyakit rematik yang dialami
pada pasien ini.
Obat-obatan lain yang dapat
digunakan pada terapi SLE antara lain obat
anti inflamasi nonsteroid (OAINS) dan
imunosupresan atau sitotoksik. Selain
diberikan obat, pada pasien juga perlu
diberikan edukasi mengenai penyakit
pasien untuk menjaga kepatuhan terhadap
konsumsi
obat,
dan
juga
terapi
rehabilitasi.23,24 Pada keadaan tertentu
seperti lupus nefritis, lupus serebritis,
perdarahan paru atau sitopenia, seringkali
diberikan gabungan antara kortikosteroid
dan imunosupresan/sitotoksik karena
memberikan hasil pengobatan yang lebih
baik. Algoritma penatalaksanaan SLE dapat
dilihat pada bagan 1. Prognosis pasien
dengan lupus semakin membaik dengan
gejala ringan dalam beberapa tahun
terakhir. Wanita penderita lupus yang
hamil dapat bertahan dengan aman sampai
melahirkan bayi yang normal, tidak
ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung
yang berat dan gejala penyakitnya dapat
dikendalikan. Angka harapan hidup 10
tahun meningkat sampai 85%. Prognosis
yang paling buruk ditemukan pada
penderita yang mengalami kelainan otak,
paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.
19,20,25
Simpulan
Lupus eritematosus sistemik atau
systemic lupus erythematosus (SLE) adalah
penyakit autoimun multisistem dimana
tubuh
membentuk
antibodi
yang
menyebabkan kerusakan multipel organ.
Diagnosis ditegakkan sesuai kriteria
diagnosis SLE, yaitu minimal 4 dari kriteria
(minimal 1 kriteria klinis dan minimal 1
kriteria laboratorium). Terapi utama
dengan menggunakan kortikosteroid yang
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 128
Nopa | Systemic Lupus Erythematosus
disesuaikan dengan derajat keparahan.
Prognosis baik dengan pengendalian gejala.
Derajat beratnya SLE
Ringan
- Manifestasi kulit
- Artritis
Terapi
Hidroksiklorokuin/klor
okuin atau MTX ± KS
(dosis rendah)
OAINS
Sedang
- Nefritis ringan sampai berat
- Trombositopenia (trombosit
20-50 x 103/mm3)
- Serositis mayor
Terapi Induksi
MP iv 0,5-1gr/hari
selama 3 hari diikuti oleh
AZA (mg/kg/hari) atau
MMF (2-3 gr/hari)
+
KS (0,5-0,6 mg/kg/hari
selama 4-6 minggu lalu
diturunkan bertahap)
TR
Terapi Pemeliharaan
AZA (1-2 mg/kg/hari)
atau MMF (1-2 gr/hari)
+
KS (diturunkan sampai
dosis 0,125 mg/kg/hari
selang sehari)
Berat
- Nefritis berat (kelas IV, III+V,
IV+V atau III-V dengan
gangguan fungsi ginjal
- Trombositopenia refrakter
3
3
berat (trombosit < 20x10 /mm )
- Anemia hemolitik refrakter
berat
- Ketrelibatan paru-paru
(hemoragik)
- NPSLE (serebritis, mielitis)
- Vaskulitis abdomen
Terapi Induksi
MP iv 0,5-1gr/hari selama 3 hari
+
2
CYC (0,5-0,75 gr/m /bulan x 7
dosis)
RP
Terapi Pemeliharaan
2
CYC iv (0,5-0,75 gr/m /3
bulan selama satu tahun)
RS
TR
Tambahkan Rituximab
Inhibitor calcineurin
(siklosporin)
IVig (immunoglobulin
intravena)
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 129
Nopa | Systemic Lupus Erythematosus
Singkatan: TR, tidak respon; RS, respon sebagian; RP, respon penuh; KS, kortikosteroid setara
prednisone; MP, metilprednisolon; AZA, azatioprin; OAINS, obat anti-inflamasi nonsteroid; CYC,
siklofosfamid;
NPSLE,
neuropsikiatri
SLE.
Bagan 1. Algoritma Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik. Terapi SLE sesuai dengan
8,19
keparahan
manifestasinya.
Daftar Pustaka
1.
ahman A, Isenberg DA. Systemic lupus
erythematosus. N Engl J Med. 2008;
358(9):929-39.
2.
raunwald E, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.
Harrisson’s Principle of Internal
Medicine. Edisi ke-18. USA: McGrawHill Professional Publishing; 2012.
3.
estak AL, Fürnrohr BG, Harley JB,
Merrill JT, Namjou B. The genetics of
systemic lupus erythematosus and
implications for targeted therapy. Ann
Rheum Dis. 2011; 70 (S1):i37-43.
4.
osch X. Systemic lupus erythematosus
and the neutrophil. N Engl J Med.
2011; 365(8):758-60.
5.
oy JS, Das PP, Datta A. SLE in
Pregnancy. BSMMU J. 2010; 3(1):54-9.
6.
SCM. Data poli penyakit dalam RS
Ciptomangunkusumo 2010. Dalam:
Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus
Sistemik.
Jakarta:
Perhimpunan Reumatologi Indonesia;
2011.
7.
SHS. Data poliklinik reumatologi RS
Hasan Sadikin Bandung tahun 2010.
Dalam: Perhimpunan Reumatologi
Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan
Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta:
Perhimpunan Reumatologi Indonesia;
2011.
8.
erhimpunan Reumatologi Indonesia.
Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus
Sistemik.
Jakarta:
R
B
S
B
R
R
R
P
Perhimpunan Reumatologi Indonesia;
2011.
9.
Sanchez E1, Nadig A, Richardson
BC, Freedman BI, Kaufman KM, Kelly
JA, et al. Phenotypic associations of
genetic susceptibility loci in systemic
lupus erythematosus. Ann Rheum Dis.
2011; 70(10):1752-7.
10.
Blank M, Shoenfeld Y, Perl A. Crosstalk of the environment with the host
genome and the immune system
through endogenous retroviruses in
systemic lupus erythematosus. Lupus.
2009; 18(13):1136-43.
11.
Petri M1, Orbai AM, Alarcón GS,
Gordon C, Merrill JT, Fortin PR, et al.
Derivation and validation of the
Systemic
Lupus
International
Collaborating Clinics classification
criteria
for
systemic
lupus
erythematosus. Arthritis Rheum.
2012; 64(8):2677-86.
12.
uyon
J
P.
Systemic
lupus
erythematosus
a
clinical
and
laboratory features Dalam: Klippel JH,
editor. Primer Primer on the
rheumatic diseases. Edisi ke-13.
Atlanta: Arthritis Foundation; 2008.
hlm. 303-18.
13.
usuma AANJ. Lupus Eritematosus
Sistemik Pada Kehamilan. J Peny
Dalam. 2007; 8(2):170-5.
14.
ervera R, Espinosa G, D’Cruz D. Eular
Compendium on Rheumatic Diseases.
Edisi ke-1. United Kingdom: BMJ
Publishing; 2009.
15.
ooley M A. Clinical and laboratory
features of lupus nephritis. Edisi ke-7.
Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins; 2007.
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 130
B
K
C
D
Nopa | Systemic Lupus Erythematosus
16.
J
acobs
JWG,
Bijlsma
JWJ.
Glucocorticoid
therapy.
Dalam:
Firestein GS, Budd RC, Harris ED,
McInnes IB, Ruddy S, Sergent JS,
editor.
Kelley’s
Textbook
of
rheumatology.
Edisi
ke-8.
Philadelphia: WB Saunders Elsevier;
2009. hlm.863-81.
17.
20.
araprasad IR, Agrawal S, Prabu VN,
Rajasekhar L, Kanikannan MA,
Narsimulu G. Posterior reversible
encephalopathy syndrome in systemic
lupus erythematosus. J Rheumatol.
2011; 38(8):1607-11.
21.
22.
N
23.
K
yttaris VC, Tsokos GC. New
Treatments in Systemic Lupus
Erythematosus. Philadelphia: Mosby,
Inc.; 2007.
B
ertsias GK, Ioannidis JPA, Boletis J,
Bombardieri S, Cervera R, Dostal C, et
al. EULAR recommendations for the
management of systemic lupus
erythematosus (SLE). Report of a Task
Force of the European Standing
Committee for International Clinical
Studies
Including
Therapeutics
(ESCISIT). Ann Rheum Dis. 2008;
67:195–205.
H
ariadi, Hoediyanto. Lupus dan
Penatalaksanaannya
Edisi
ke-3.
Surabaya: Fakultas Kedokteran UNAIR;
2007.
tali S, Tzabakakis M, Bertsias G,
Boumpas DT. What’s new in clinical
trials in lupus. Int J Clin Rheum. 2009;
4(4):473-85.
19.
K
rishnan S, Chowdhury B, Juang Y-T,
Tsokos GC. Overview of the
Pathogenesis of Systemic Lupus
Erythematosus. Philadelphia: Mosby,
Inc.; 2007.
H
oes JN, Jacobs JWG, Boers M,
Boumpas D, Buttgereit F, Caeyers N, et
all.
EULAR
evidence
based
recommendations
on
the
management
of
systemic
glucocorticoid therapy in rheumatic
diseases. Ann Rheum Dis. 2007; 66:
1560-7.
18.
V
24.
P
ostal M, Costallat LT, Appenzeller S.
Biological therapy in systemic lupus
erythematosus. Int J Rheumatol. 2012;
2012:578-641.
25.
P
risilia NKD, Kurniari PK, Kambayana G.
Target Terapi Imunosupresan pada
Lupus Eritematosus Sistemik. CDK.
2014;
41(1):73-74.
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 131
Download