MODUL BLOK 6: HEMATOLOGI IMUNOLOGI TUTORIAL MINGGU

advertisement
MODUL BLOK 6: HEMATOLOGI IMUNOLOGI
TUTORIAL MINGGU IV
TOPIK: PENYAKIT SISTEM IMUN
Skenario Kasus
Nn. X, 28 tahun, mahasiswi, berobat ke Poli dengan keluhan utama nyeri sendi sejak 2 bulan lalu.
Nyeri dirasakan pada sendi-sendi tangan, pergelangan tangan, kaki, pergelangan kaki, dan lutut,
kadang-kadang disertai bengkak dan kaku di pagi hari selama 2-3 jam. Kadang wajah dan leher timbul
bercak kemerahan bila beraktivitas di luar dan terkena terik matahari, kejadian ini sudah 3 kali dalam
kurun waktu 3 bulan terakhir. Ia mengeluh cepat merasa lelah dan sering sariawan. Ia menyangkal
adanya demam, nyeri dada, sesak, nyeri perut, berat badan turun, gangguan BAB/BAK.
Ia kadang-kadang minum obat anti rematik untuk mengatasi nyeri pada sendi-sendinya.
Riwayat penyakit dahulu: ia sering terserang flu.
Riwayat penyakit keluarga: anggota keluarga tidak ada yang sakit seperti ini.
Riwayat kebiasaan: ia tidak merokok, minum alkohol, ataupun konsumsi obat-obat tanpa resep dokter.
Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran
: kompos mentis
Kesan sakit
: ringan
Tanda vital
: Tensi: 130/80 mmHg
Nadi: 96x/menit
Respirasi: 20x/menit
Suhu: 37°C
Kepala
: konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
ulkus dangkal multipel pada mukosa oral
Leher
: JVP tidak meningkat, tiroid tidak membesar
Toraks
: Bentuk dan pergerakan simetris; taktil fremitus simetris, ictus cordis tidak teraba;
Kedua paru sonor pada perkusi dan batas-batas jantung normal
Paru-paru VBS +/+, Ronkhi -/-; bunyi jantung murni, reguler, murmur (-).
Abdomen
: datar, soepel, bising usus (+), hepar dan lien tidak membesar, nyeri tekan (-).
Ekstremitas
: Deformitas (-), edema minimal di pergelangan tangan dan sendi MCP bilateral, sendi
kemerahan (-), nyeri minimal pada pergerakan aktif, sensoris dan motoris baik.
Pemeriksaan Penunjang:
Darah:
Hb: 10.5 g/dL
Ht: 30%
Trombosit: 140.000/mm3
LED: 35 mm/jam
Leukosit: 4000/mm3 (1/2/2/82/10/3)
Urine:
Makroskopis: Warna: kuning
Mikroskopis: Eritrosit: 0-1/LPB
Bau: urine
Leukosit: 1-3/LPB
Kejernihan: jernih
Epitel: 8-12/LPK
BJ: 1.018
Hyaline cast: 0-1/LPK
pH: 6
Bakteri: -
Protein: positif (++)
Glukosa: Nitrit: Bilirubin: Urobilinogen: normal
Keton: Hasil Usulan Pemeriksaan Laboratorium:
ANA: reaktif, pola homogenous; Anti ds-DNA: non-reaktif; Anti CCP: non-reaktif.
Serum komplemen (C3): 80 mg/dL (rujukan: 83 – 177 mg/dL); CRP: 25 mg/dL (R<5 mg/dL).
Morfologi SADT: menunjukkan proses inflamasi (neutrofilia disertai hipersegmentasi neutrofil).
Istilah Penting:
1. Imunodefisiensi : ketidakmampuan sistem imun untuk mempertahankan diri terhadap antigen
yang menyerang tubuh. Akibat seringnya individu tersebut terkena infeksi yang berat dan lebih
lama dari biasanya.
2. Reaksi hipersensitivitas: reaksi tubuh dengan memberikan respon imun yang berlebihan atau
tidak tepat terhadap suatu bahan baik asing maupun yang dianggap asing, mengakibatkan
kerusakan jaringan lokal maupun menyeluruh. Reaksi ini diklasifikasikan sebagai tipe I –IV.
3. Respon humoral: respon antibodi terhadap antigen.
4. Taktil Fremitus simetris: sentuhan getaran simetris
5. Ictus Cordis: bangkitan, pukulan, serangan tiba-tiba pada jantung
6. Hyaline Cast: silinder urine yang hampir transparan serta bersifat agak refrakter dan terbentuk
dari mukoprotein yang homogen, dapat muncul secara sepintas pada saat seseorang melakukan
olahraga, mengalami demam, menderita gagal jantung kongestif, serta mendapatkan terapi
diuretik, dan terlihat secara lebih kontinu pada beberapa penyakit ginjal.
7. Ulkus: kerusakan lokal pada permukaan organ atau jaringan akibat terkelupasnya jaringan
nekrotik radang. Didalam luka ditemukan rongga.
8. Soepel : abdomen yang lembut saat dipalpasi
9. Urobilinogen: senyawa tak berwarna yang dibentuk di dalam usus dengan mereduki bilirubin.
Sebagian diantaranya diekskresi di dalam feses yang teroksidasi akan menjadi urobilin, dan
sebagian diabsorpsi dan ekskresikan kembali di dalam empedu sebagai bilirubin atau waktu di
dalam urin, yang mungkin akhirnya teroksidasi kembali menjadi urobilin.
10. Ronchi: suara pernapasan tambahan pada paru-paru, seperti hentakan kaki. Terjadi bila alveolus
terisi cairan.
11. Autoimun: keadaan dimana tubuh tidak mampu membedakan sel atau jaringan tubuh sendiri
dari sel atau jaringan asing, sehingga jaringan tubuh sendiri dianggap sebagai antigen asing.
Akibatnya timbul suatu respon imun, baik respon selular maupun respon humoral.
Identifikasi Masalah:
1. Apakah usia dan jenis kelamin berpengaruh pada penyakit pasien?
2. Mengapa nyeri hanya dirasakan pada ekstremitas dan apa penyebabnya?
3. Mengapa terjadi bengkak dan kaku pagi?
4. Mengapa pada wajah dan leher timbul bercak merah jika terkena matahari?
5. Mengapa pasien mengeluh cepat lelah dan sering sariawan?
6. Apa hubungan demam, nyeri dada, sesak, nyeri perut, BB turun, dan gangguan BAB/BAK pada
penyakit ini?
7. Apa pengaruh obat anti-rematik pada penyakit pasien?
8. Bagaimana hubungan flu dengan penyakit ini?
9. Bagaimana hubungan riwayat keluarga dan kebiasaan terhadap penyakit ini?
10. Mengapa konjungtiva anemis dan ulkus dangkal multipel?
11. Mengapa ditemukan edema minimal di pergelangan tangan, sendi MCP bilateral, dan nyeri
minimal pada pergerakan aktif?
12. Mengapa terjadi penurunan limfosit, Hb, Ht, dan peningkatan LED?
13. Mengapa ditemukan protein urin (++)?
14. Mengapa ditemukan leukosit, epitel, dan hyaline cast pada urin?
Prasyarat
Sistem Imun dan Respon Imun
Sistem pertahanan tubuh yang pertama dilakukan oleh jaringan epitel yang menutupi
permukaan tubuh atau meliputi organ. Sistem imun merupakan pertahan lini kedua atau ketiga.
Pertahanan lapis pertama:
a. Kulit dan membran mukosa yang utuh
b. Kelenjar keringat, sebum, dan air mata mensekresi zat kimia bersifat bakterisida
c. Mukus, silia, tight junction, desmosom, sel keratin, dan lisozim di lapisan epitel
d. Rambut pada lubang hidung
e. Flora normal
Unsur-unsur yang berperan dalam reaksi imunologik:
1. Unsur selular: berasal dari sel induk pluripoten yang berdiferensiasi melalui 2 jalur, yaitu: a)
jalur limfoid untuk pembentukan limfosit dan subsetnya, b) jalur mieloid yang membentuk selsel fagosit dan sel lainnya.
2. Organ limfoid: nodus limfatikus, nodulus limfatikus, limpa, timus, dan tonsilla. Umumnya
terdiri dari jaringan ikat yang mengandung sel limfosit, makrofag, sel plasma, sel
retikuloendotel, dan serabut-serabut retikuler.
3. Substansi-substansi: imunoglobulin, komplemen, dan sitokin/interleukin.
Respon imun yang dibentuk dapat dibagi menjadi 2 respon imun spesifik/adaptif dan tidak
spesifik/innate. Respon imun tidak spesifik sudah dimiliki secara adaptif sejak awal. Respon imun
spesifik melibatkan respon imun seluler dan humoral. Contoh respon imun seluler: kulit, makrofag, sel
polimorfonuklear, sel NK, dan sel T sitotoksik. Sel langsung membunuh antigen tanpa harus diaktivasi
terlebih dahulu. Respon imun humoral diatur oleh sel limfosit B dan mengaktifkan antibodi.
Sistem Kekebalan Non Spesifik
Dapat mendeteksi adanya benda asing, dan melindungi tubuh dari kerusakan yang
diakibatkannya. Namun, tidak dapat mengenali benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
Yang termasuk dalam sistem ini:
1. Reaksi inflamasi/peradangan
2. Protein antivirus (interferon)
3. Sel natural killer (NK cells)
4. Sistem komplemen
Sistem Kekebalan Spesifik
Unsur seluler:
1. Sel limfosit: terdiri dari limfosit B dan limfosit T. Semua limfosit dibentuk di sumsum tulang.
Limfosit B kemudian akan mengalami pematangan di sumsum tulang belakang. Limfosit T
akan mengalami pematangan di timus. Sumsum tulang belakang dan timus disebut organ
limfoid sentral. Nodus limfatikus, nodulus limfatikus, limpa, dan tonsil adalah organ limfoid
sekunder.
Limfosit B: diaktivasi jika kontak dengan antigen. Selanjutnya berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi.
Limfosit T:
T killer cells: langsung menghancurkan antigen melalui pembentukan perforin.
T helper cells: membantu aktivasi sel B.
T memory cells: di nodus limfatikus dan bersirkulasi; menjadi T killer cells bila diaktivasi.
T regulator: mengatur imunitas seluler dan humoral dan menghambat kerja T helper dan T
killer.
T amplifier cells: di timus dan limpa; memelihara populasi sel limfosit T.
2. Sel plasma.
3. Sel NK: limfosit yang tidak mempunyai molekul penanda; reseptor untuk komplemen dan Fc
reseptor; terutama untuk membunuh sel yang terinfeksi virus dan pertahanan imunologik
terhadap sel kanker.
4. Sel fagosit mononuklear/APC: menghancurkan antigen dalam fagolisosom.
5. Sel polimorfonuklear: neutrofil, eosinofil, dan basofil.
Mekanisme respon imun seluler:
1. Degradasi antigen asing (terutama pada infeksi virus) di dalam sel inang.
2. Antigen yang terlah diproses kemudian diikatkan pada MHC di retikulum endoplasma.
3. Kompleks antigen-MHC dibawa ke permukaan sel dengan menembus membran sitoplasma dan
kemudian dikenali oleh TCR pada permukaan sel Tc (CD8).
4. Sel Tc memproduksi protein sitotoksik perforin dan akan membunuh sel yang terinfeksi virus.
Mekanisme respon imun humoral:
1. Antigen masuk ke dalam tubuh.
2. APC menangkap dan memproses antigen dengan fagolisosom vakuola.
3. Antigen dipotong-potong menjadi epitop dan ditangkap MHC II.
4. Makrofag akan berjalan ke nodus-nodus, masuk melalui pembuluh limfatik afferen, mencari
limfosit yang sesuai.
5. Sinyal inti makrofag mengakibatkan pengeluaran IL-1 yang akan diberikan pada T helper yang
sedang menempel (limfosit masih naif).
6. T helper menghasilkan IL-2 untuk diri sendiri (agar menjadi sel efektor), sel T sitotoksik yang
memiliki TCR sesuai, dan limfosit B. IL-2 akan mengkode proliferasi dan diferensiasi.
7. Sel B berubah menjadi sel plasma (melepaskan protein permukaan IgM, memproduksi IgG)
untuk menangkap antigen. Sel T sitotoksik akan berikatan dengan makrofag dan melisiskannya.
Sel efektor hanya berusia 100 hari. Sel memori akan dibentuk.
Toleransi Imun
Toleransi imun merupakan sistem imun yang tidak atau kurang dapat mengekspresikan imunitas
humoral atau seluler terhadap satu atau lebih antigen spesifik. Beberapa faktor eksogen dapat merusak
toleransi. Akibatnya dapat berbahaya; bergantung pada derajat kerusakan toleransi. Penyakit autoimun
adalah akibat hilangnya self tolerance.
Toleransi Imun Timus Secara Sentral terhadap Antigen dalam Tubuh
Limfosit berkembang dari prekursor di sumsum tulang. Sel-sel limfoid akan berdiferensiasi
menjadi limfosit B, limfosit T, dan sel NK. Di kelenjar timus, limfosit T tidak mengekspresikan
molekul koreseptor baik CD4 maupun CD8 (double negative). Sel-sel limfosit T kemudian berubah
menjadi double positive (ada CD4 dan CD8).
Tahap selanjutnya adalah seleksi positif:
a. Yang terpapar MHC I: CD8.
b. Yang terpapar MHC II: CD4.
c. Yang tidak terpapar MHC akan apoptosis.
d. Yang bereaksi dengan self antigen akan mengalami kematian sel
Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun dapat disebabkan oleh antigen eksogen maupun endogen.
I. Eksogen:
a. Mimikri molekuler
b. Stimulan superantigenik (bakteri dan virus)
c. Mikroba
II. Endogen:
a. Presentasi antigen yang salah
b. Peningkatan T helper cell
c. Peningkatan fungsi sel B
d. Ketidakseimbangan sitokin
e. Imunoregulasi yang tidak normal
Penyakit autoimun dapat dibagi menjadi 3 golongan besar:
1. Kelainan autoimun yang organ spesifik
a. Thyroiditis Hashimoto: penghancuran sel-sel tiroid oleh proses seluler dan mediasi antibodi
(hipotiroid).
b. Grave's disease: hipertiroidisme karena autoimun
2. Kelainan autoimun yang non-organ spesifik
a. SLE
b. Rheumatoid arthtritis
c. Anemia hemolitik autoimun
3. Kelainan autoimun kombinasi antara organ spesifik dan non-organ spesifik:
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Leukemia Limfositik Kronik
c. Limfoma: keganasan sistem limfatik
Definisi SLE
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun non organ spesifik akibat
terbentuknya autoantibodi terutama antibody IgG dan IgM yang mentarget komponen sel dengan
manifestasi klinik ringan hingga berat dan cirri khas berupa kerusakan jaringan akibat inflamasi yang
luas dan berulang di seluruh tubuh.
Etiologi SLE
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti
Insidensi SLE
Penderita SLE dapat ditemukan pada semua umur tetapi paling sering usia 15-45 tahun dan
90% penderitanya adalah wanita. Rasio insidensi pada wanita dan pria meningkat sesuai bertambahnya
umur, dengan perbandingan 2:1 pada anak-anak dan 9:1 pada dewasa muda. Distribusi penykit SLE
lebih banyak pada ras Negroid, insidensinya empat kali lebih sering dibandingkan ras Kaukasia.
Insidensi lupus dua sampai tiga kali lebih banyak pada ras Afrika dan Amerika. Insidensi lupus pada
saudara dekat odapus sebesar 10%, sedangkan bayi yang dilahirkan odapus hanya 5% kemungkinan
terkena lupus.
Faktor Risiko SLE
1.
Faktor Genetik
- Anggota keluarga odapus memiliki risiko tinggi terkena SLE
- Insidensi tinggi pada kembar monozygot (>20%) dibanding kembar dizygot (1-3%)
- Anti-dsDNA sering dijumpai pada beberapa anggota keluarga dan kembar monozygot (50-
70%)
- Ditemukan adanya hubungan antara SLE dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA)
seperti DR2, DR3 dari MHC kelas II. Penderita SLE yang mempunyai epitop antigen HLADR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA sedangkan penderita SLE dengan epitop
HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibody anti-Ro dan anti-La.
2.
Defisiensi Komplemen
Sebagian kecil odapus mengalami defisiensi komponen komplemen seperti C2, C3, C4 atau
C1q yang dapat menyebabkan kegagalan fagositosis sel-sel apoptotik. Komponen inti sel-sel
apototik yang tersisa dapat menyebabkan penurunan respon imun.
3.
Hormonal
Estrogen adalah suatu stimulator penyakit autoimun yaitu mempunyai efek meningkatkan
progesivitas penyakit autoimun, sedangkan androgen merupakan imunosupresan penyakit
autoimun yang menurunkan progresivitas penyakit autoimun.
4.
Lingkungan
- Sinar UV terutama sinar UVb dapat menimbulkan eksaserbasi SLE
- Bakteri atau virus dapat mempunyai antigen yang mirip autoantigen penderita SLE
- Obat-obatan seperti trimethoprim, khlorpromazin, metildopa, hidralazin dapat bereaksi dengan
antigen DNA sehingga antigen-antigen tersebut lebih imunogenik.
5.
Stress
Perasaan stress dapat mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat
Klasifikasi SLE
Ada 4 jenis lupus:
1. Systemic Lupus Erythematosus
2. Chronic Discoid Lupus Erythematosus
3. Subacute Cutaneuous Lupus Erythematosus
4. Drug-Induced Lupus Erythematosus
Klasifikasi Nefritis Lupus (WHO)
I
Glomerulus normal
(dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, imunofluoresen, mikroskop elektron)
II
Perubahan pada mesangial
a. normal pada mikroskop cahaya tetapi deposit mesangial pada imunofluoresen dan mikroskop
electron
b. hiperselularitas mesangial
III
Fokal Segmenta Glomerulonefritis
a. lesi nekrotik aktif
b. lesi aktif dan sklerotik
c. lesi sklerotik
IV
Glomerulonefritis difus
a. tanpa lesi segmental
b. lesi nekrotik aktif
c. lesi aktif dan sklerotik
d. lesi sklerotik
V
Glomerulonefritis membranose
a. murni
b. berhubungan dengan lesi kelas II (a dan b)
VI
Glomerulonefritis sklerotik lanjutan
Patogenesis
Patofisiologi
•Gender wanita memiliki resiko lebih tinggi terkena SLE karena pengaruh hormone estrogen. Estradiol
dapat menempel pada reseptor sel B dan T dan membuat aktivasi dari sel tersebut juga survival.
Wanita cenderung untuk membuat lebih banyak respon antibody dibanding dengan gender pria.
Selain itu ada pengaruh dari gen yang terdapat pada kromosom X misalnya TREX-1
•Infeksi virus flu yang berulang juga menjadi factor resiko. Bagian antigen virus strukturnya mirip
dengan bagian dari nucleus tubuh manusia (teori mimikri)
•Lesi visceral yang terjadi seperti arthritis , nefritis, malar rash terjadi melalui proses hipersensitifitas
tipe 3 dimana terjadi penumpukan kompleks antigen-antibodi yang memancing pembentukan
komplemen sehingga menarik fagosit dan memicu proses peradangan.
•Potosensitifitas ini terjadi karena cahaya UV menyebabkan apoptosis pada kulit, normalnya sel-sel
yang apoptosis ini langsung dibuang, tetapi pada kasus SLE terjadi defek system klirens apoptosis
sehingga sisa sel ini memicu respon imun
•Sariawan yang terjadi juga disebabkan oleh mikrotrauma yang mengakibatkan keluarnya nucleus sel
epitel oral sehingga memicu respon imun
•Anemia yang terjadi disebabkan karena pada pasien ditemukan juga antibody anti eritrosit yang bisa
mengopsonisasi eritrosit dan akhirnya eritrosit dibuang
•LED pasien meningkat berhubungan dengan banyaknya immunoglobulin yang mempercepat
pembentukan rouleaux
•Proteinuria, ditemukannya sel-sel pada urin, dan terbentuknya cast berhubungan dengan nefritis
Gejala Klinik
•Malar rash
•Discoid rash
•Fotosensitifitas
•Ulserasi oral
•Arthritis
•Pleuritis
•Pericarditis
•Gangguan ginjal (nefritis)
•Psikosis, seizure dan kelainan neurologis lain
•Anemia, neutropenia dan trombositopenia
•Gejala sistemik demam, malaise, dan fatique
•Berat badan turun
Diagnosis
Anamnesis
•Perempuan dalam usia produktif : faktor resiko terkena SLE
•Bercak merah pada wajah dan leher jika terpapar matahari: reaksi hipersensitivitas terhadap radiasi
matahari
•Nyeri pada beberapa sendi : Membuat DD terhadap RA
•Tidak ada demam : membuang DD terhadap infeksi
•Tidak ada nyeri dada, sesak napas, cepat lelah : gejala klinik yang biasanya timbul pada SLE
•Tidak ada nyeri perut dan gangguan BAB/BAK : gejala klinik yang biasanya timbul pada SLE
•Morning stiffness 2-3jam : menghilangkan DD terhadap RA
•Hb dan Ht turun, LED naik : menandakan adanya keadaan anemia
•Protein, leukosit, epitel, hyaline cast pada urin : menandakan kelainan pada ginjal sebagai GK dari
SLE
Diagnosis Banding
RA (Rheumatoid Arthritis) merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya arthritis
erosif pada sendi sinovial. Bermula pada membran sinovial, mengenai 3 atau lebih daerah persendian.
Sendi yang terkena simetris, morning stiffness lebih dari 30 menit. LED dan CRP meningkat.
Kriteria SLE :
No
Gejala
Pengertian
1
Malar
rash Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi
(Butterfly rash)
sekitar hidung (wilayah malar)
2
Discoid rash
Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai dengan sisik keratotik
adherent. Jaringan parut atropi dapat terjadi
3
Fotosensitivitas
Paparan terhadap sinar UV yang dapat menimbulkan bercak-bercak
4
Ulkus oral
Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan
5
Arthritis
Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri,
bengkak, atau efusi
6
Serositis
Pleuritis atau pericarditis yang ditemukan melalui ECG atau bukti adanya
efusi pleura
7
Gangguan ginjal
Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atas serpihan seluler
8
Gangguan
neurologik
Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas
9
Gangguan
hematologik
Anemia atau leucopenia hemolytic (<4000/l)>
10
Gangguan
Imunologis
Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-fosfolipid
11
Antibodi
Antinuklear
Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan immunofluoroscence atau
pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat
memicu ANA sebelumnya.
Diagnosis terhadap SLE dapat dilakukan jika memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut, sedangkan untuk
mencurigai kemungkinan penyakit tersebut adalah SLE, diperlukan 2 keterlibatan hal berikut :
•Gender wanita, usia produktif
•Gejala konstitutional: lemah, turun berat badan, demam tanpa infeksi
•Muskuloskeletal: arthritis, atralgia, miositis
•Kulit: ada ruam biasanya berbentuk seperti kupu-kupu (butterfly/malar rash), fotosensitivitas,
purpura, vaskulitis, urtikaria.
•Ginjal : hematouria, proteinuria, sindroma nefrotik
•GIT: mual, muntah, nyeri abdomen
•Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal
•Jantung: perkarditis, endokarditis, miokarditis
•RES: organomegali (limfadenopati, hepatosplenomegali)
•Hematologi: anemia, leukopenia, trombositopenia
•Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversa, neuropati kranial dan
perifer.
Pemeriksaan Penunjang
•Pemeriksaan Autoantibodi
•ANA ( Antinuclear Antibodi)
Pemeriksaan skrinning terbaik. HAasil pemeriksaan negative berulang menyingkirkan SLE.
•Anti ds-DNA
Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE. Pada beberapa pasien berhubungan dengan aktivitas
penyakit (nephritis, vasculitis)
•Anti Sm
Antigen: kompleks protein pada 6jenis U1 RNA. Spesifik untuk SLE.
•Anti RNP
Overlap gejala RA.
•Anti Ro(SS-A)
Tidak spesifik. Berkaitan dengan syndrome sicca, subcutaneous lupus, penurunan resiko
nephritis.
•Anti la
Terkait dengan anti Ro. Berkaitan dengan penurunan rsiko nephritis.
•Antihistone
Lebih sering pada lupus akibat obat, bukan SLE
•Antiphospolipid
Tiga tes tersedia – ELISA untuk cardiolipin dan β2G1, sensitive prothrombin time
(DRVVT); merupakan predisposisi pembekuan, kematian janin, dan trombositopenia.
•Antierythrocyte
Diukur dengan coombs’ test langsung hemolysis
•Antiplatelet
Terkait dengan trombositopenia
•Antineuronal
Pada beberapa hasil positif terkait dengan lupus CNS aktif.
•Antiribosomal
•CBC (complete Blood Count)
Anemia (hb ht menurun), leukopenia, trombositopenia
•Urinalisis
Untuk periksa fungsi ginjal
•X-ray thorax
Untuk periksa adanya pleuritis, pericarditis.
ANA ( Anti Nuclear Antibodi)
ANA ditemukan pada pasien dengan penyakit autoimun ( SLE, RA, Addison disease,dll)
Sampel yang digunakan : serum darah.
Metode yang dipakai untuk periksa ANA
•FANA ( Fluorescent Antinuclear Antibodi)
Prosedur ini dapat mengidentifikasi autoantibodi terhadap DNA, histon, atau antigen
nuklear yang dapat larut. Antibodi yang dilekati zat fluorenscen diamati di bawah
mikroskop dan menentukan pola dan intensitas fluoresensinya.
Sel positif makan fluoresensi berwarna hijau dengan pola yang berbeda- beda. Pola yang
ada : homogenous, Speckled, Rim, Nucleolar, Centromers. Pola yang paling sering terdapat
pada pasien SLE adalah homogenous, speckled, dan rim. Selanjutnya, sel tersebut
diencerkan lalu pembacaan titer. FANA ini dilakukan secara manual.
FANA dapat mengidentifikasi autoantibodi terhadap DNA, histon, antigen nuclear yang
dapat larut.
•ELISA ( Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
Menggunakan label enzim dan zat kromogen sebagai indicator reaksi untuk deteksi
antibody.
Lebih akurat daripada FANA karena dilakuka secara otomatis. Hasil pemeriksaan berupa
densitas optic sebagai titer ANA.
Nilai Rujukan :
HASIL NORMAL : Negatif ( kurang dari 20 Units)
HASIL ABNORMAL : Equivocal : 20 – 60 Units, Positif : lebih dari 60 Units atau titer 1/160 atau
lebih.
Nilai rujukan untuk tiap laboratorium bisa berbeda.
Logaritma Diagnosis SLE:
Penatalaksanaan SLE
Sampai saat ini SLE belum dapat disembuhkan dengan sempurna namun pengobatan yang tepat dapat
menekan gejala klinis dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Dalam garis besar penatalaksanaan SLE dibagi menjadi 2 yaitu farmakologis dan non farmakologis.
Non Farmakologis:
1. Konseling: tindakan supprotif berupa edukasi. Tindakan pertama adalah penderita diberitahu
mengenai penyakit yang dideritanya, perjalanan penyakit, komplikasi, dan prognosisnya.
2. Istirahat: diperlukan dalam mengatasi kelelahan (membatasi aktivitas secara berlebihan dan
dengan istirahat yang cukup).
3. Menghindari kontak dengan matahari dan perubahan cuaca: sinar matahari harus dihindari
karena sinar UV dapat merusak dan merubah membran lisosom dari DNA sel kulit yang
memacu eksaserbasi. Diatasi dengan menggunakan sun screener SPF30+, menghindari terpapar
matahari pukul sepuluh pagi sampai tiga sore.
4. Menghindari stress, kerusakan jaringan baik karena trauma maupun operasi, infeksi, dan
pemakaian obat-obatan seperti antikonvulsi dan sulfanamid.
5. Kontrasepsi oral: sebaiknya diberikan takaran yang minim khususnya yang mengandung
estrogen.
6. Diet: melakukan pembatasan makanan yang mengandung lemak,agar kadar lipid darah normal.
7. Menghindari rokok
8. Mengurangi oksigenasi
Farmakologis
1. Obat AINS digunakan untuk kelainan muskoloskeletal berupa atralgia ,arthritis ,dan mialgia
serta kelainan sistemik seperti demam dan serositis
2. Obat anti malaria: untuk mengatasi kelainan kulit dan arthritis dengan hidroksiklorokuin dosis
2-3x100 mg/hari (membaik dalam beberapa minggu, tetapi terdapat efek samping terutama
infiltrasi kornea (reversible) dan retinopati (ireversible) disertai dengan kebutaan sehingga
dianjurkan pemeriksaan mata setiap 3 bulan sekali.
3. Kortikosteroid: anti inflamasi yang kuat dan mampu mencegah radang tetapi memiliki efek
samping seperti:
a. Dosis tinggi > Cushing syndrome, peningkatan berat badan, penyembuhan luka terganggu,
osteoporosis, risiko infeksi meningkat, dan katarak.
b. Ekserbasi oleh terapi > hipertensi, intoleransi glukosa.
c. Kadang-kadang > perlemakan hati nekrosis.
d. Gejala susunan saraf pusat, perikarditis, miokarditis, dan anemia hemolitik.
4. Obat imunosupresif: indikasi utama untuk nefritis lupus yang dikombinasikan dengan
kortikosteroid. Jenis yang sering dipakai adalah azathioprine dan siklofosfamid. Efek samping
yang ditimbulkan obat berupa penekanan sumsum tulang dan peningkatan keganasan.
SLE derajat ringan:
1. Berikan Aspirin dan OAINS, dosis sesuai dengan derajat penyakitnya.
2. Penambahan obat anti malaria bila ada ruam kulit dan lesi mukosa membran.
3. Bila gagal, tambahkan Prednison 2,5-5 mg/hari dosis dapat dinaikan 20% secara
bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan.
SLE derajat berat:
Pemberian steroid sistemik dengan dosis sesuai dengan kelainan organ sasaran yang terkena.
Pengobatan pada keadaan khusus
1. Anemia Hemolitik Autoimun
Prednison 60-80 mg/hari. Dapat ditingkatkan sampai dengan 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari
sampai 1 minggu belum ada perbaikan.
2. Trombositopenia Autoimun
Prednison 60-80 mg/hari. Bila tidak ada respon dalam 4 minggu, ditambah immunoglobulin intravena
(IVIg) dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5 hari.
3. Efusi Pleura
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari.
4. Lupus Pneumonitis
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu.
Komplikasi SLE:
•Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita SLE. Gagal ginjal dapat terjadi
akibat deposit kompleks antibody antigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen
resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III.
•Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong pericardium yang mengelilingi jantung)
•Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru dapat membatasipernafasan sering terjadi
bronchitis.
•Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer.
•Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian, termasuk
psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat
atau penyakitnya.
Komplikasi pada anak:
•Hipertensi (41%)
•Gangguan pertumbuhan (38%)
•Gangguan paru-paru kronik (31%)
•Abnormalitas mata (31%)
•Kerusakan ginjal permanen (25%)
•Gejala neuropsikiatri (22%)
•Kerusakan muskuloskeletal (9%)
•Gangguan fungsi gonad (3%)
Preventif
SLE termasuk golongan penyakit yang sukar untuk dicegah. Akan tetapi ketika penyakit
tersebut berkembang, kualitas hidup dapat tetap dipertahankan dengan melakukan pencegahan terhadap
manifestasi ataupun progesifitas perjalanan penyakitnya. Tanda peringatan akan manifestasi mendatang
dapat berupa cepat lelah, nyeri, ruam, demam, rasa tidak nyaman pada perut, sakit kepala, dan pusing.
Pencegahan yang dapat dilakukan berupa :
•Vaksinasi orang SLE rentan terhadap infeksi
•Kontrol hipertensi, osteoporosis, hiperglikemia, juga obesitas efek samping dari penggunaan obat
steroid
•Kontrol dislipidemia thrombosis yang kronis dapat menyebabkan aterosklerosis.
Prognosis
Survival rate
5 years – survival
95%
10 years – survival
90%
20 years – survival
78%
Poor prognosis (50% mortality in 10 years)
•Kreatin serum ↑
> 1,4 mg/dL
•Hipertensi
•Sindrom nefrotik
> 2,6 g (ekskresi protein)
•Anemia
Hb < 12,4 g/dL
•Hypoalbuminemia
•Laki-laki
•Etnis Afrika – Amerika – Mexico
•Kulit hitam
Causes of death
•Aktifitas penyakit sistemik
•Gagal ginjal
•Infeksi berulang
•Quo ad vitam
: dubia ad malam
•Quo ad functionam : dubia ad malam
•Quo ad sanationam : ad bonam
Download