BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan bertambah dan besarnya sel diseluruh bagian dari tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur, sedangkan perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (wong,2010). Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak terdapat dua peristiwa yaitu peristiwa percepatan dan perlambatan. Peristiwa tersebut akan berlainan di dalam organ tubuh. Peristwa percepatan dan perlambatan tersebut merupakan suatu kejadian yang berbeda dalam setiap organ tubuh, namun masih saling berhubungan satu dengan yang lain. Dalam peristiwa pertumbuhan dan perkembangan anak memiliki berbagai ciri khas yang membedakan antara komponen satu dengan komponen yang lain. Gangguan sistem imun yang terjadi pada anak-anak biasanya akibat alergi (paling sering ) atau imunodefisiensi (jarang). Sistem kekebalan tubuh ( Imunitas ) adalah suatu organ komplek yang memproduksi sel-sel yang khusus yang dibedakan dengan sistem peredaran darah dari sel darah merah, tetapi bekerja sama dalam melawan infeksi penyakit ataupun masuknya benda asing kedalam tubuh. Semua sel imun mempunyai bentuk dan jenis sangat bervariasi dan bersirkulasi dalam sistem imun dan diproduksi oleh sumsum tulang. Sedangkan kelenjar limfe adalah kelenjar yang dihubungkan satu sama lain oleh saluran limfe yang merupakan titik pertemuan dari sel-sel sistem imun yang mempertahankan diri dari benda asing yang masuk kedalam tubuh. Mikroorganisme yang menyerang tubuh kita dapat berupa bakteri, virus, jamur ataupun bahan kimia.Respon tubuh terhadap imun pada dasarnya berupa proses pengenalan dan eliminasi. Jika salah satu atau kedua proses ini terganggu maka akan terjadi gangguan patologis. 1 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi sistem imun? 2. Apa definisi dari SLE? 3. Bagaimana etiologi dari SLE? 4. Bagaimana patofisiologi dari SLE? 5. Apa manifestasi klinis dari SLE? 6. Apa klasifikasi dari SLE? 7. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari SLE? 8. Bagaimana evaluasi dari SLE? 9. Bagaimana penatalaksanaan dari SLE? 10. Bagaimana komplikasi dari SLE? 11. Bagaimana asuhan keperawatan dari SLE? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mahasiswa diharapkan memahami dan mengerti penyakit imunologi SLE serta dampak penyakit tersebut terhadap tumbuh kembang anak sehingga mampu memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem imunologis dengan tepat. 1.3.2 Tujuan Khusus Mengetahui anatomi, definisi, etiologi,patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, pemeriksaan diagnostic, penatalaksanaan, komplikasi dan asuhan keperawatan yang tepat untuk gangguan sistem imunologis. 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Sistem Imun Imunologi adalah suatu ilmu yang mempelajari antigen, antibody, dan fungsi pertahanan tubuh penjamu yang diperantarai oleh sel, terutama berhubungan imunitas terhadap penyakit, reaksi biologis hipersensitif, alergi dan penolakan jaringan. Sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organism, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor Letak sistem imun 3 Fungsi sistem imun 1. Sumsum Semua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel induk dalam sumsum tulang. Sumsum tulang adalah tempat asal sel darah merah, sel darah putih, (termasuk limfosit dan makrofag) dan platelet. Sel-sel dari sistem kekebalan tubuh juga terdapat di tempat lain. 2. Thymus Glandula thymus memproduksi dan mematurasi/mematangkan T limfosit yang kemudian bergerak ke jaringan limfatik yang lain, dimana T limfosit dapat berrespon terhadap benda asing. Thymus mensekresi 2 hormon thymopoetin dan thymosin yang menstimulasi perkembangan dan aktivitas T limfosit. a. Limfosit T sitotoksik Limfosit yang berperan dan imunitas yang diperantarai sel. Sel T sitotoksik memonitor sel di dalam tubuh dan menjadi aktif bila menjumpai sel dengan antigen permukaan yang abnormal. Bila telah aktif sel T sitotoksik menghancurkan sel abnormal. b. Limfosit T helper Limfosit yang dapat meningkatkan respon sistem imun normal. Ketika distimulasi oleh antigen presenting sel seperti makrofag, T helper melepas faktor yang menstimulasi proliferasi sel B limfosit. c. Limfosit B Tipe sel darah putih atau leukosit penting untuk imunitas yang diperantarai antibody/humoral. Ketika di stimulasi oleh antigen spesifik limfosit B akan berubah menjadi sel memori dan sel plasma yang memproduksi antibody. d. Sel plasma Klon limfosit dari sel B yang terstimulasi. Plasma sel berbeda dari limfosit lain, memiliki reticulum endoplamik kasar dalam jumlah yang banyak, aktif memproduksi antibody. 4 3. Getah bening Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di sepanjang perlanan limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, axillae, selangkangan, dan para-aorta daerah. 4. Nodus limfatikus Nodus limfatikus (limfonodi) terletak sepanjang sistem limfatik. Nodus limfatikus mengandung limfosit dalam jumlah banyak dan makrofag yang berperan melawan mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Limfe bergerak melalui sinus, sel fagosit menghilangkan benda asing. Pusat germinal merupakan produksi limfosit. 5. Tonsil Tonsil adalah sekumpulan besar limfonodi terletak pada rongga mulut dan nasofaring. Tiga kelompok tonsil adalah tonsil palatine, tonsil lingual dan tonsil pharyngeal. 6. Limpa/spleen Limpa mendeteksi dan merespon terhadap benda asing dalam darah, merusak eritrosit dan sebagi penyimpan darah. Parenkim limpa terdiri dari 2 tipe jaringan yaitu pulpa merah dan pulpa putih. a. Pulpa merah terdiri dari sinus dan di dalamnya terisi eritrosit. b. Pulpa putih terdiri dari limfosit dan makrofag. Benda asing di dalam darah yang melalui pulpa putih dapat menstimulasi limfosit. 5 2.2 SLE (Systemic Lupus Erythematosus) 2.2.1 Definisi Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun multisistem kronis pembuluh darah dan jaringan ikat. Penyebab dan gejalanya bervariasi dan tak terduga, dari ringan sampai komplikasi yang mengancam jiwa. Jenis lain dari lupus eritematosus termasuk lupus erythematosus kronis kulit (discoid lupus erythematosus), obat-induced lupus erythematosus, sub-akut cutaneus lupus eritematosus, dan neonatal lupus. Neonatal lupus terjadi ketika autoantibodi ibu melewati plasenta dan menyebabkan lupus transien seperti gejala pada bayi baru lahir dengan potensi komplikasi mematikan yg memblok jantung. SLE pada anak-anak cenderung lebih parah pada onset dan memiliki perjalanan klinis lebih agresif dari penyakit onset dewasa. Sisa diskusi berfokus pada SLE. Laporan terakhir menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup pada anak-anak dengan SLE harus ditingkatkan secara signifikan; Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun dikatakan tingkat kelangsungan hidup hampir 100% dan 10 tahun mendekati 90% (Ravelli, Ruperto, and Martini, 2005). Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun pada jaringan penyambung yang dapat mencakup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala SLE, dan estrogen memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan (Elizabeth, 2009). SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang bercirikan nyeri sendi (artralgia), demam, malaise umum dan erythema dengan pola berbentuk kupu-kupu khas di pipi muka. Darah mengandung 6 antibody beredar terhadap IgG dan imunokompleks, yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen yang dapat mengendap dan mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan rematik, SLE juga merupakan penyakit autoimun, teteapii jauh lebih jarang terjadi dan terutama timbul pada wanita. Sebabnya tidak diketahui, penanganannya dengan kortikosteroida atau secara alternative dengan sediaan enzim (papain 200 mg+bromelain 110 mg+pankreatin 100 mg+vitamin E 10 mg) 2 dd 1 kapsul (Tan&Kirana, 2007). Keadaan ini susah didiagnosis. Lupus terjadi kira-kira 1 dari 700 wanita berumur 15-64 tahun. Pada wanita kulit hitam, lupus terjadi pada 1 dari 254 wanita. Lupus lebih sering menyerang wanita daripada pria, khususnya wanita berusia 20 dan 40 tahun. Tidak ada obat untuk lupus. Pengobatan bersifat individual dan biasanya berupa minum steroid. Ada baiknya tidak hamil ketika anda mengalami serangan lupus. Wanita penderita lupus berisiko tinggi mengalami keguguran. Juga risiko lahir mati, yang memerlukan perawatan ekstra selama kehamilan. Bayi-bayi yang lahir dari lupus dapat terkena ruam. Mereka juga mengalami blok jantung dan defek jantung. Bayi-bayi ini mungkin lahir premature atau mengalami keterlambatan pertumbuhan intrauterine. Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens sitotoksik, seperti siklofosfamida. Konseling prakehamilan dapat membantu menentukan terapi yang aman digunakan baik pada kehamilan maupun menyusui. 2.2.2 Etiologi Penyebab SLE tidak diketahui. Tampaknya hasil dari interaksi kompleks pada genetika dengan pemicu tak dikenal yang menyebabkan penyakit ini menjadi aktif. Pemicu diduga termasuk paparan sinar ultraviolet, estrogen, kehamilan, infeksi, dan obat-obatan. Kecenderungan 7 genetik untuk SLE dibuktikan dengan tingkat konkordansi yang meningkat pada orang kembar (sepuluh kali lipat), peningkatan kejadian dalam anggota keluarga (10% sampai 16%), dan peningkatan frekuensi alel gen tertentu dalam studi berbasis populasi (Tsao and Wallace, 1997). Antibody anti Ro dan anti La dapat menyebabkan sindrom lupus neonates dengan melinttasi plasenta. Sindrom ini dapat bermanifestasi sebagai lesi kulit atau blok jantung congenital. Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10%-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat yang menderita SLE. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haptolip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu Crq, Cir, Cis, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengode reseptor sel T, immunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003). SLE yang berasal dari faktor lingkungan yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mampunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulas di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini di respon sebagai benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam aino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibody entiviral sehingga mengaktivasi sel B 8 limfosit nonspesifik yang yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000). 2.2.3 Patofisiologi Stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) dapat berasal dari luar seperti bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, dan dapat berasal dari dalam yaitu protein DNA atau RNA. Stimulus ini menyebabkan terjadinya aktifasi sel B dan sel T. Karena terdapat antibodi antilimfosit T, menyebabkan terjadinya limfositopenia sel T dan terjadi hiperaktifitas sel B. peningkatan sel B yang teraktifasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (helper). CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfalli, 1998). Berkurangnya jumlah sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai pada CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T yang disebut double negatif (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Proses autoantibodi terjadi melalui 3 mekanisme yaitu : 1) Kompleks imun terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. 2) Autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak dalam jaringan, komplemen akan teraktifasi dan terjadi kerusakan jaringan. 3) Autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktifasi komplemen yang berperan dalam kematian sel (Epstein, 1998). 9 Pada sel B, terjadi peningkatan reseptor sitokin, IL-2, sehingga dapat meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) dan CD4+ pada sel B. Namun terjadi penurunan terhadap CR 1 ( complement reseptor 1) dan juga fagositosis yang inadekuat pada igG2 dan igG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktifasi komplemen yang menghasilkan mediatormediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit dan sebagainya (Albar, 2003). Secara ringkas, proses perjalanan penyakit lupus eritematosus sistemikadalah sebagai berikut : Stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) yang berasal dari luar (bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus) dan dari dalam (protein DNA/RNA Terdapatnya antibodi antilimfosit T Limfositopenia sel T, Hiperaktivitas sel B, fungsi sel T supresor abnormal Double negatif (CD4-CD8-), hipergamaglobulinemia, penimbunan kompleks agab (igG/igM) dalam jaringan/pembuluh darah 10 Mengaktifkan komplemen Komplemen melepaskan MCF (Macrophage chemotactic factor) Makrofag dikerahkan ke tempat tersebut Melepaskan enzim protease dan bahan toksik yang berasal dari metabolisme oksigen dan arginin (oksigen radikal bebas) Merusak jaringan sekitarnya (autoimun) Lupus Eritematosus Sistemik 2.2.4 Manifestasi klinis SLE bukanlah penyakit masa kanak-kanak umum; kejadian diperkirakan adalah 0,28 per 100.000 anak muda dari 16 tahun. Ini biasanya memanifestasikan antara usia 10 dan 19 tahun, dan onset sebelum usia 5 tahun tidak biasa. Ada 5: 1 perempuan atau dominasi laki-laki. Penyakit onset bisa berbahaya, dengan gejala konstitusional intermiten seperti demam, kelelahan, penurunan berat badan, dan arthralgia. Namun, keterlibatan cepat dari organ vital, terutama ginjal, dapat menyebar dengan cepat dengan hasil yang berpotensi fatal. 11 Ruam adalah fitur umum. Malar "kupu-kupu" ruam seperti lipatan nasolabial yaitu fitur sugestif tetapi tidak patognomonik. Ruam makulopapular lebih sering dan dapat terjadi di mana saja, tetapi biasanya ditemukan pada kulit yang terpapar sinar matahari. Kuku dan rambut dapat terlibat, dengan warna merah, kutikula retak, telangiectasias periungual, dan tambal sulam atau menyebar alopecia. Fenomena Raynaud, atau spasme pembuluh darah, menyebabkan tangan dingin dan kaki dengan rasa sakit dan tricolor karakteristik (ungu atau biru-putih-merah) perubahan. Fenomena Raynaud terjadi pada sekitar 15% pasien (Boon and McCurdy, 2002). Ini biasanya muncul sebagai respon terhadap paparan dingin dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang signifikan. Selain perubahan warna pada ekstremitas, nekrosis pembuluh darah dan ulserasi digital dapat terjadi (Boon and McCurdy, 2002). Arthritis dan tenosynovitis umum pada SLE. Arthritis biasanya sangat menyakitkan tapi pada durasi yang singkat, dan deformitas sendi yang tidak biasa. Keterlibatan ginjal merupakan komplikasi serius yang disebabkan terutama oleh deposisi pada sirkulasi kompleks imun di membran basal glomerulus dengan infiltrares seluler. Lupus nefritis biasanya tanpa gejala; akibatnya, pemantauan urin dan fungsi ginjal diperlukan untuk mendeteksi penyakit. Biopsi Ginjal diperlukan untuk klasifikasi lupus nefritis. Ada enam kelas tergantung pada jenis dan luasnya lesi ginjal. Pengobatan khusus didasarkan pada kelas nefritis. Meskipun hasil telah ditingkatkan untuk anak-anak dengan penyakit ginjal, tentu saja sulit untuk memprediksi. Beberapa anak lebih baik, sedangkan beberapa tetap sama atau kemajuan untuk gagal ginjal yang memerlukan dialisis dan transplantasi. Lupus neuropsikiatri adalah komplikasi serius lainnya. Gejala dapat bervariasi dari manifestasi ringan yaitu ketidakmampuan untuk berkonsentrasi untuk psikosis jujur dan kejang. Kinerja sekolah dan 12 kestabilan emosi harus dinilai pada setiap kunjungan mungkin sebagai indikator peyebaran lupus. Keluhan penderita SLE yang lainnya adalah sakit kepala, kejang epilepsy, dan gangguan kejaiwaan ssering merupakan keluhan awal. 1. Gejala pada persendian Mulai dari keluhna nyeri pad abanyak persendian yang hilanghilang timbul sampai keluhan nyeri sendi yang akut, merupakan keluhan awal pada 90% penderita SLE. Dalam keadaan SLE berlangsung lama, terjadi erosi sendi tulang telapak kaki. Namun demikian, kebayakan SLE yang menyerang banyak sendi, tidak memperlihatkan kerusakan sendi. 2. Gejala pada kulit Yang khas disebut gambaran kemerahan kulit pipi berbentuk kupu-kupu yang disebut butterfly erithema. Lesi kulit berbentuk makulo papul pad kulit muka samapi ke leherdan bahu lesi kulit ini jarang yang melepuh atau menjadi borok. Tetapi lesi pada rahang atas pada pertemuan bagian lunak dan bagian keras, pada daerah pipi bagian dalam dan bagian depan rongga hidung, bisa terjadi. Rambut rontok pada bebrapa daerah kulit kepala (generalize focal alopecia) terjadi pada fase aktif SLE. Timbul bintikbintik merah pendarahan (purpura) karena sel pebeku darah turun (trombositopeni). Penderita mengeluh silau pada sinar yang terang (photophobi). Bebrapa penderita SLE memperlihatlan gejala pleuritis yang hilang timbul (recurrent) yaitu peradangan dinding dada dan selaput paru hingga penderita mengeluhkan sakit dada, tetapi tidak ada efusi cairan pada rongga paru. 13 Pada keadaan lebih berat, bisa terjadi perdarahan paru dan mengancam kehidupan (fatal). Peradangan selaput pembungkus jantung (pericarditis) sering terjadi pada penderita SLE. Peradangan pembuluh darah jantung (coronary arteri vasculitis) atauotot jantung megalami fibrosis (fibrosing myocarditis). Timbul pembengkakan elenjar limfe di seluruh tubuh terutamapadapenderita anak-anak dan dewasa muda (umur 20 tahunan). Pembesaran limfe terjadi pada 10% penderita SLE. 3. Gejala gangguan saraf pusat Keluhan sakit kepala, perubahan kepribadian, stroke, kejang epilepsy, psikosis, gangguan organic pada otak 4. Gangguan ginjal Bisa ringan dan tanpa gejala, sampai gangguan yang progresif dan mematikan. pemeriksaan Gejala laboratorium yang air serign ditemukan seni, terdapat pada protein (proteinuria). Secara patologi terdapat kelainan pada injal, peradangan glomerulus jinak, sampai yang peradangan membrane yang luas (diffuse membrane prliferatif glomerulopritis). Sindroma menghancurkan darha sendiri pada stadium akut SLE (Acute lupus homo pagosotik syndrome). Pada keadaan ini sumsum tulang mengalami proliferasi yang terlihat pada pemeriksaan darah tepi, banyak terlihat sel histosit. Untuk mengatasi kelainan ini, biasanya penderita berespons baik terhadap pemberian obat kortkosteroid. 2.2.5 Klasifikasi SLE 14 Subcommitte for Systemic Lupus Erythematosus Criteria of the American Rheumatism Association Diagnostic and Therapeutic Criteria Committee tahun 1982 merevisi kriteria untuk klasifikasi SLE. Subkomite ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat di antara 11 kriteria berikut beruntun atau secara stimultan, selama satu interval observasi: 1. Ruam di bagian malar wajah 2. Ruam berbentuk discoid 3. Fotosensitivitas 4. Ulkus di mulut 5. Arthritis 6. Setositis (pleuritis, perikarditis) 7. Gangguan ginjal 8. Gangguan neurologis (kejang atau psikosis) 9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik, leucopenia, trombositopenia) 10. Gangguan imunologi 11. Antibody nuclear R. Leonard mengusulkan jembatan keledai barikut untuk mengingat kriteria diagnosis SLE: A Rash Points MD. Arthritis Renal disease (penyakit ginjal), ANA Serositis, Haematological disorders, Photosensitivitas, Oral ulcers (ulkus di mulut), Immunological disorder, Neurological disorder, Malar rash, Discoid rash Ann Rheum Dis 2001. 2.2.6 Pemeriksaan penunjang a) CBC (complete Blood Cell Count ) untuk mengukur jumlah sel darah maka terdapat anemia,leucopenia,trombisutopenia. b) ESR (Erythrocyte Sedimen Rate ), laju endap darah pada lupus aka ESR akan lebih cepat dari pada normal 15 c) Biopsi untuk mngetahui fungsi hati dan ginjal d) Urinalysis merupakan pengukuran urina kadar protein dan sel darah merah e) X-ray dada f)Uji imunofluroresensi ANA pada setiap pasien SLE+ sehingga uji tersebut sangat sensitive 2.2.7 Evaluasi diagnostic SLE adalah diagnosis klinis didukung oleh hasil abnormal tertentu pada tes laboratorium. Perguruan tinggi Amerika bidang Reumatologi mengklasifikasikan SLE pada orang dewasa memiliki sensitivitas 96% dan spesifisitas 96% jika 4 dari 11 kriteria yang hadir. Pemeriksaan SLE mencakup anamnesis yang luas dan pemeriksaan fisik dengan penyelidikan tentang kinerja sekolah dan perubahan perilaku, tes laboratorium awal termasuk hitung darah lengkap dengan diferensial, panel kimia yang komprehensif metabolik, urinalisis mikroskopis, uji cepat reagin plasma, penentuan kuantitatif tingkat immunoglobulin, dan tes untuk antibodi antinuklear, antibodi anti-DNA, Complement 3 (C3), Complement 4 (C4), lupus antikoagulan, dan antibodi antifosfolipid. Diagnosis lupus tidak boleh dilakukan tanpa pertimbangan semua obat yang diambil dan efek sampingnya. Beberapa obat yang biasa digunakan seperti procainamide, hydralazine, dan klorpromazin dapat menyebabkan gejala seperti lupus (Thompson, 2000). 2.2.8 Penatalaksanaan Tidak ada obat untuk SLE; tujuan adalah untuk membalikkan atau meminimalkan aktivitas penyakit dengan obat yang tepat sambil membantu anak dan keluarga mengatasi komplikasi dari penyakit dan pengobatan. 1. Obat : Sejak tahun 1950-an, kortikosteroid telah menjadi andalan terapi SLE. Itu adalah agen anti-inflamasi dan imunosupresif efektif. Sayangnya, penggunaan keterlambatan steroid terhambat pertumbuhan, osteoporosis, kenaikan berat oleh efek penurunan samping, resistensi badan, hipertensi, yang meliputi terhadap infeksi, pengembangan fitur 16 cushingoid dan katarak, dan risiko diabetes. Umumnya dosis yang cukup untuk mengontrol gejala adalah yang diresepkan dan kemudian dosis yang meruncing ke tingkat kemungkinan terendah untuk mencapai keseimbangan diterima antara aktivitas penyakit dan efek samping steroid. Untuk beberapa penyakit berat IV (dosis tinggi) steroid diberikan pada jadwal intermiten, yang memungkinkan pengurangan dosis steroid sehari-hari dengan kepatuhan yang lebih baik dan gambaran cushing lebih sedikit (Klien-Gitelman and Pachman, 1998). Steroid topikal digunakan untuk lesi kulit, tapi terapi jangka panjang akan menyebabkan penipisan kulit; akibatnya, penggunaan pada wajah harus dalam waktu singkat atau dengan obat konsentrasi yang lebih rendah. Karena peningkatan imunosupresi dengan penggunaan steroid, tes kulit tuberkulin harus dilakukan sebelum memulai terapi steroid, terutama dalam komunitas berisiko tinggi. Sebuah etiket identifikasi medis harus dipakai oleh anak-anak yang menjalani terapi steroid kronis sehingga petugas tidak kebingungan untuk membuat pertimbangan pemberian steroid dalam situasi darurat. Obat-obat lain yang digunakan yaitu NSAID seperti ibuprofen dan naproxen untuk rasa sakit yang terkait dengan arthritis, arthralgia, dan mialgia. Perawat perlu menginstruksikan pasien untuk meminum NSAID setelah makan untuk membantu mencegah efek samping gastrointestinal. Hydroxychloroquine, obat antimalaria, merupakan terapi yang efektif untuk kulit dan manifestasi gabungan. Efek tak diinginkan yang mungkin termasuk kulit, gastrointestinal, dan toksisitas retina. Pemeriksaan oftalmologi lengkap ditunjukkan sebelum pengobatan dimulai dan setiap 6 bulan setelahnya. Siklofosfamid, agen imunosupresif kuat, digunakan dalam kombinasi dengan kortikosteroid, efektif dalam mengobati proliferasi lupus nefritis dan lupus neuropsikiatri. Sebuah pembelajaran rinci tentang siklofosfamid harus dimiliki oleh pasien dan keluarga yang mana bermanfaat dan berisiko, termasuk infertilitas dan keganasan masa depan, secara jelas dinyatakan. 2. Pendidikan, Diet, Istirahat, dan Olahraga. Selain obat-obatan, perawatan termasuk langkah-langkah umum seperti pendidikan pasien dan keluarga, 17 istirahat dan olahraga, diet yang tepat, menghindari sinar matahari, dan dukungan sosial. SLE adalah kompleks dan pasien memerlukan pendidikan. Keluarga dan pasien perlu up-to-date, informasi dimengerti untuk menjadi membuat keputusan sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam manajemen penyakit. Perawat berkewajiban untuk mendiskusikan informasi keluarga dengan membawa ke internet, teman, dan keluarga. Sebagai penyedia layanan kesehatan kritis mengevaluasi informasi penyakit dengan keluarga, keluarga diajarkan keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi diri pendukung. Keluarga juga ingin mendengar tentang dampak dari SLE pada pertumbuhan dan perkembangan, melahirkan anak, sekolah, dan panggilan. Pesan harus optimis dan jelas dengan beberapa pengecualian: "mempersiapkan masa depan Anda akan bersekolah, pascasarjana, memiliki anak, dan bekerja." Diet, olahraga, dan sisanya adalah unsur harian di bawah kontrol pasien langsung. Keluarga perlu memaksimalkan kekuatan pada fungsi-fungsi yang normal untuk keuntungan mereka. Tidak ada diet spesifik SLE, tetapi diet seimbang yang tidak melebihi pengeluaran kalori sangat penting untuk menjaga berat badan yang sesuai pada terapi kortikosteroid. Diet rendah garam mungkin diperlukan jika pasien menjadi nefrotik atau hipertensi. Konsultasi dengan ahli diet terdaftar akan membantu keluarga mengembangkan diet individual yang jerat dengan gaya hidup mereka. Manfaat dari program latihan yang teratur termasuk pemeliharaan berat badan, kebugaran kardiovaskular, dan pencegahan osteoporosis, yang semuanya akan membantu meminimalkan komplikasi SLE dan efek samping kortikosteroid. Sisanya tambahan diperlukan selama eksaserbasi penyakit tetapi tidak sejauh yang mengganggu pola tidur yang teratur. Mengingat frekuensi ruam fotosensitif, bahaya pada paparan sinar ultraviolet yang berlebihan (termasuk paparan lampu neon) perlu ditekankan. Ini bisa menjadi topik sensitif bagi remaja yang suka matahari dan atlet luar ruangan. Penggunaan tabir surya (dengan SPF [faktor perlindungan matahari] minimal 15), topi, dan pakaian pelindung harus didiskusikan. Salah satu aturan yang 18 berguna untuk berbagi dengan adolescet yang mungkin dikelilingi oleh rekanrekan yang secara teratur mencari paparan sinar matahari adalah aturan "slip, slop, slap": slip pada kemeja, slop tabir surya, dan slap pada topi sebelum keluar di siang hari. Penjadwalan aktivitas luar ruangan di pagi dan sore hari dapat mengurangi eksposur tanpa membatasi partisipasi dalam kegiatan rekreasi. Setiap upaya harus dilakukan untuk memasukkan anak-anak dalam kegiatan sebaya dan membuat modifikasi perlindungan pada matahari sebagai kemungkinan yang mencolok. Dukungan sosial dari keluarga, teman, guru, konselor, dan pekerja sosial profesional dan terapis dapat membantu anak dan keluarga melalui masa-masa sulit dan mempromosikan adaptasi terhadap penyakit yang tidak akan pergi. Mekanisme koping destruktif perlu diidentifikasi dan diganti dengan perilaku yang meningkatkan adaptasi dan kesehatan. Organisasi yang dapat membantu anak-anak dan keluarga mempelajari dan menyesuaikan diri dengan penyakit lupus merupakan dasar pondasi dari Amerika dan yayasan Arthritis (see p. 1795). 2.2.9 Komplikasi 1. Ginjal Sebagian besar penderita menunjukkan adanya panimbunan protein di dalam sel-sel ginjal tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal. 2. Sistem Saraf Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikas yang paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagianmanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organic dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi 19 3. Penggumpalan Darah Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlha trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. 4. Kardiovaskuler Peradangan berbagai bagian jantung seperti perikarditis, endokarditis maupun mikarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan tersebut. 5. Paru-paru Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibatnya dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas. 6. tot dan keranOgka tubuh Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendia pada jari tangan, tangan, pergelangantangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut. 7. Kulit Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu di tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. 20 BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN 1.1 Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) 1.1.1 PENGKAJIAN 1. Identitas a. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria, namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan pria 8 : 1. b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina. c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif. d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini. 1. Keluhan Utama Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien. 2. Riwayat Penyakit Dahulu Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain. 3. Riwayat Penyakit Sekarang a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul, Artralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut. b. Mulai kapan keluhan dirasakan. c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan. 21 d. keluhan-keluhan lain yang menyertai. 4. Riwayat Pengobatan Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin. 5. Riwayat Penyakit Keluarga Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama atau penyakit autoimun yang lain. 6. Pemeriksaan Fisik Dikaji secara sistematis B1 ( Breath ) Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri saat inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi.Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura. . B2 ( Blood ) Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung ( S1,S2,S3), bunyi systolic click ( ejeksi click pulmonal dan aorta ), bunyi murmur.Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan B3 ( Brain ) Mengukur tingkat kesadaran( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale secara kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi klien.Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang 22 B4 ( Bladder ) Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine (menilai filtrasi glomelorus), B5 ( Bowel ) Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan., turgor kulit. Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran limpa. 1.1.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN a. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit. b. Nyeri berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan. c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada penampilan fisik. d. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan hemoglobin e. Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan akibat anemia. 1.2 Reaksi Hipersensitivitas 1.2.1 Pengkajian 1. Identitas klien Meliputi nama, umur,jenis kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose medis. 2. Keluhan utama Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal. 3. Riwayat penyakit sekarang 23 Pasien mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, tibul kemerahan pada kulit, mual muntah dan terasa gatal. 4. Riwayat penyakit dahulu Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu. 5. Riwayat penyakit keluarga Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama. 6. Riwayat psikososial Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan. 7. Pemeriksaan fisik a. kulit, seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik, bekas garukan terutama daerah pipi dan lipatan kulit daerah fleksor. b. Mata, diperiksa terhadap hiperemia, edema, sekret mata yang berlebihan dan katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit atropi. c. Telinga, telinga tengah dapat merupakan penyulit rinitis alergi. 24 d. Hidung, beberapa tanda yang sudah baku misal: salute, allergic crease, allergic shiners, allergic facies. e. Mulut dan orofaring pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa orofaring kemerahan, edema. Palatum yang cekung kedalam, dagu yang kecil serta tulang maksila yang menonjol kadang-kadang disebabkan alergi kronik. f. Dada, diperiksa secara infeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pada waktu serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu pernafasan. g. Periksa tanda-tanda vital terutama tekanan darah. 8. Pemeriksaan Diagnostik. a. Pemeriksaan pada jumlah leukosit dan hitung jenis sel. b. Pemeriksaan sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, sputum. c. Pemeriksaan serum Ig E total dan Ig G spesifik. 1.2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen 2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi 3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal sekunder 4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih 5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan). 25 1.2.3 INTERVENSI Dx :Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan allergen Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x15 menit. diharapkan pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal. Kriteria hasil : a. Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit) b. Pasien tidak merasa sesak lagi c. Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan d. Tidak terdapat tanda-tanda sianosis Intervensi 1. Kaji frekuensi, kedalaman Rasional Kecepatan biasanya meningkat. pernapasan dan ekspansi paru. Catat Dispenea dan terjadi peningakatan upaya pernapasan, termasuk kerja napas. Kedalaman pernapasan pengguanaan otot bantu/ pelebaran berpariasi tergantung derajat gagal masal. napas. Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis atau nyeri dada pleuritik. 2. Auskultasi bunyi napas dan catat Bunyi napas menurun/ tak ada bila adanya bunyi napas adventisius jalan napas obstruksi sekunder seperti krekels, mengi, gesekan terhadap pendarahan, bekuan/ kolaps pleura. jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan mengi menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan pernapasan. 26 Tinggikan kepala dan bantu Duduk tinggi memungkinkan mengubah posisi. Bangunkan pasien ekspansi paru dan memudahkan turun dari tempat tidur dan ambulansi pernapasan. Pengubahan posisi dan sesegera mungkin. ambulansi meningkatkan pengisian udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas. Observasi pola batuk dan karakter Kongesti alveolar mengakibatkan secret. batuk kering atau iritasi. Sputum berdarah dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan. Berikan oksigen tambahan Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas Berikan humidifikasi tambahan, mis: Memberikan kelembaban pada nebulizer ultrasonic membran mukosa dan membantu pengenceran secret untuk memudahkan pembersihan. Dx : Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x.24 jam diharapkan suhu tubuh pasien menurun. Kriteria hasil : 27 a. Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC) b. Bibir pasien tidak bengkak lagi Intervensi Rasional Pantau suhu pasien ( derajat dan pola ) Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses penyakit infeksius akut. Pantau suhu lingkungan, batasi atau Suhu ruangan/jumlah selimut harus tambahkan linen tempat tidur sesuai diubah untuk mempertahankan indikasi mendekati normal Berikan kompres mandi hangat; hindari Dapat membantu mengurangi demam penggunaan alcohol Dx :Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal sekunder Tujuan : setelah diberikan askep selama 2 x24 jam diharapkan pasien tidak akan mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah. Kriteria hasil : a. Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol dan odema b. Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria,pruritus dan angioderma c. Kerusakan integritas kulit berkurang Intervensi Rasional Lihat kulit, adanya edema, area Kulit berisiko karena gangguan 28 sirkulasinya terganggu atau pigmentasi sirkulasi perifer Hindari obat intramaskular Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorpsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit Beritahu pasien untuk tidak menggaruk Mencegah terjadinya luka akibat area yang gatal garukan Dx : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih Tujuan : setelah diberikan askep selama 1 x 24 jam diharapkan kekurangan volume cairan pada pasien dapat teratasi. Kriteria hasil : a. Pasien tidak mengalami diare lagi b. Pasien tidak mengalami mual dan muntah c. Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi d. Turgor kulit kembali normal Intervensi Rasional Ukur dan pantau TTV, contoh Peningkatan suhu atau memanjangnya peningakatan suhu/ demam demam meningkatkan laju metabolic 29 memanjang, takikardia, hipotensi dan kehilangan cairan melalui ortostatik. evaporasi. TD ortostatik berubah dan peningkatan takikardia menunjukkan kekurangan cairan sistemik. Kaji turgor kulit, kelembaban Indicator langsung keadekuatan volume membrane mukosa (bibir, lidah). cairan, meskipun membrane mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen. Monitor intake dan output cairan Mengetahui keseimbangan cairan Beri obat sesuai indikasi misalnya Berguna menurunkan kehilangan cairan antipiretik, antiemetic. Berikan cairan tambahan IV sesuai pada adanya penurunan masukan/ keperluan banyak kehilangan, penggunaan parenteral dapat memperbaiki atau mencegah kekurangan. Dx :Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( alergen,ex: makanan). Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan nyeri pasien teratasi kriteria hasil : a. Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang 30 b. Wajah tidak meringis c. Skala nyeri 0 d. Hasil pengukuran TTV dalam batas normal, TTV normal yaitu : a) Tekanan darah : 140-90/90-60 mmHg b) Nadi : 60-100 kali/menit c) Pernapasan : 16-20 kali/menit d) Suhu : 36-37oC Intervensi Rasional Ukur TTV untuk mengetahui kondisi umum pasien Kaji tingkat nyeri (PQRST) Untuk mengetahui faktor pencetus nyeri Berikan posisi yang nyaman sesuai memberikan rasa nyaman kepada dengan kebutuhan pasien Ciptakan suasana yang tenang membantu pasien lebih relaks Bantu pasien melakukan teknik membantu dalam penurunan relaksasi persepsi/respon nyeri. Memberikan kontrol situasi meningkatkan perilaku positif. 31 Observasi gejala-gejala yang tanda-tanda tersebut menunjukkan berhubungan, seperti dyspnea, mual gejala nyeri yang dialami pasien. muntah, palpitasi, keinginan berkemih. Kolaborasi dengan dokter dalam Analgesik dapat meredakan nyeri yang pemberian analgesik dirasakan oleh pasien. 2. Implementasi Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah di rencanakan. 3. Evaluasi Evaluasi yang dicapai sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan. 32 DAFTAR PUSTAKA Baughman, Diane C. & JoAnn C. Hacley. 2000. Keperawatan Medical Bedah Buku Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah volume 3. Jakarta: EGC Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis Keperawatan : Aplikasi dan Praktek Klinis. Jakarta : ECG Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi edisi 3 revisi. Jakarta: EGC Curtis, Glade B. MD, FACOG. 1999. Kehamilan Apa yang Anda Hadapi Minggu per Minggu. Jakarta: Arcan Djuanda. Adhi. 2009. Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin Ed.Kelima. Jakarta. Balai Penerbit FKUI Elsevier, Mosby.2007. Wong’s Nursing Care Of Infants and Children,Eight Edition. Hidayat, A.Aziz Alimul.2008. Pengantar kebidanan.Jakarta. Salemba Medika Ilmu Kesehatan Anak untuk Kee, Joyce Lefever. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik Edisi 2. Jakarta: EGC Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan Cara Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo Price & Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit volume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC Richard N. Mitchell, et al. 2008. Pocket Companionto Robbins & Cotran Pathologic Basic of Disease, ed. Jakarta : EGC. 33 Rubenstein, David, David Wayne, John Bradley. 2003. Lecture Notes Kedokteran Klinis Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatann Medikal Bedah. Jakarta: EGC Sullivan, Amanda, Lucy Kean & Alison Cycer. 2009. Panduan Pemeriksaan Antenala. Jakarta: EGC Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC. Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Wallace, Daniel J. 2007. The Book Lupus Yatim, Dr. Faisal DTM&H, MPH. 2006. Penyakit Tulang dan Persendian Arthritis atau Artharlgia. Jakarta: Pustaka Popular 34