MODUL PERKULIAHAN Komunikasi Massa Model-Model Komunikasi Massa Fakultas Program Studi Ilmu Komunikasi Hubungan Masyarakat Tatap Muka 10 Kode MK Disusun Oleh D2142EL Aryadillah, S.Sos.I, M.M, M.I.Kom Abstract Kompetensi Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Mahasiswa diharapkan memahami Model S-R Mahasiswa diharapkan memahami model Komstock Mahasiswa diharapkan memahami Model Katz Lazarfeld Mahasiswa diharapkan memahami Divusi Inovasi dapat dapat dapat dan dapat Pembahasan 1. Model Stimulus Respon Model Stimulus respons (S -R) adalah model komunikasi paling dasar. Model ini dipengaruhi oleh disiplin psikologi, khususnya yang beraliran behavioristik. Model Stimulus-Response (Rangsangan-Tanggapan), atau lebih populer dengan sebutan model S-R menjelaskan tentang pengaruh yang terjadi pada pihak penerima (receiver) sebagai akibat dari komunikasi. Menurut model ini, dampak atau pengaruh yang terjadi pada pihak penerima, pada dasarnya) merupakan suatu reaksi tertentu dan “stimulus” (rangsangan) tertentu. Dengan demikian, besar kecilnya pengaruh serta dalam bentuk apa pengaruh tersebut terjadi, tergantung pada isi dan penyajian stimulus. Model S-R dapat digambankan sebagai berikut. Sebagaimana terlihat dalam gambar di atas, model ini memberikan gambaran tentang tiga (3) elemen penting: Stimulus (S), yakni pesan Organisme (0), dalam hal ini pihak penerima (receiver); dan Response (yakni akibat atau pengaruh yang terjadi. Model S-R ini ada kaitannya dengan asumsi dan model “jarum suntik yang berpandangan bahwa media massa mempunyai pengaruh Iangsung kepada. khalayaknya. Isi media massa diibaratkan sebagai jarum yang disuntikkan ke tubuh khalayak sehingga menghasilkan pengaruh yang sesuai dengan isinya. Dalam dunia kedokteran kita mengetahui bahwa apabila seorang pasien disuntik obat tidur, ia akan tidur. Asumsi mengenai kekuatan pengaruh dari media massa ini didasarkan atas pemikiran bahwa masyarakat, ibarat atom-atom sosial merupakan sekumpulan individuindividu yang terpisah-pisah dan bertingkah laku sesuai keinginannya masing-masing. Dalam masyarakat yang atomatis demikian, kendala-kendala sosial jarang terjadi dan pengaruh dan ikatan-ikatan sosial sangat kecil. Model S-R ini kemudian banyak dikritik karena masyarakat dalam menerima pesan dan media massa dipandang tidak bersikap dan bertindak pasif, melainkan aktif dan selektif. Model ini menunjukkan komunikasi sebagai proses aksi reaksi yang sangat sederhana, di mana model S-R mengabaikan komunikasi sebagai suatu proses, khususnya yang berkenaan dengan factor manusia. Secara implisit ada asumsi dalam model S-R ini bahwa perilaku (respons) manusia 2016 2 dapat diramalkan. Ringkasnya, komunikasi dianggap statis, manusia Komunikasi Massa Aryadillah, S.Sos.I, M.M, M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dianggap berprilaku karena kekuatan dari luar (stimulus), bukan berdasarkan kehendak, keinginan, atau kemampuan bebasnya. Model ini lebih sesuai bila diterapkan pada sistem pengendalian suhu udara alih-alih pada prilaku manusia (Mulyana, 2005:134). Asumsi dasar dari model ini adalah media massa menimbulkan efek yang terarah, segera dan langsung terhadap komunikan. Stimulus Response Theory atau S-R theory merupakan model yang menunjukkan bahwa komunikasi merupakan proses aksireaksi. Artinya model ini mengasumsikan bahwa kata-kata verbal, isyarat non verbal, simbol-simbol tertentu akan merangsang orang lain memberikan respon dengan cara tertentu. Pola S-R ini dapat berlangsung secara positif atau negatif; misal jika orang tersenyum akan dibalas tersenyum ini merupakan reaksi positif, namun jika tersenyum dibalas dengan palingan muka maka ini merupakan reaksi negatif. Hosland, et al (1953) mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada hakekatnya sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari: a) Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif mempengaruhi perhatian individu dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif. b) Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya. c) Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap). d) Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku). Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus (rangsangan) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini, faktor reinforcement memegang peranan penting. Dalam proses perubahan sikap tampak bahwa sikap dapat berubah, hanya jika stimulus yang menerpa benar-benar melebihi semula. Mengutip pendapat Hovland, Janis dan Kelley yang menyatakan bahwa dalam menelaah sikap yang baru ada tiga variabel penting yaitu: (a) perhatian; (b) pengertian, dan; (c) penerimaan. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi akan berlangsung jika ada perhatian dari komunikan. Proses berikutnya komunikan mengerti. Kemampuan komunikan inilah yang melanjutkan 2016 3 Komunikasi Massa Aryadillah, S.Sos.I, M.M, M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id proses berikutnya. Setelah komunikan mengolahnya dan menerimanya, maka terjadilah kesediaan untuk mengubah sikap. Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Artinya kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya kredibilitas, kepemimpinan, gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok atau masyarakat. 2. Model Psikologi Comstock Model psikologi Comstock mempelajari tentang bagaimana efek tayangan televisi memberikan pengaruh terhadap tingkah laku seseorang. Di mana memang tujuan Model komunikasi ini adalah untuk memperhitungkan dan membantu memperkirakan terjadinya efek terhadap tingkah laku seseorang sebagai individu, dengan jalan menggabungkan penemuan-penemuan atau teori-teori tentang kondisi umum di mana efek selama ini dapat ditemukan. Asumsi dari model psikologi Comstock ini adalah televisi telah dianggap sebagai sesuatu yang nyata, sesuatu yang serupa dengan setiap pengalaman, tindakan atau observasi personal yang dapat menimbulkan konsekuensi terhadap pemahaman (learning) maupun tindakan (acting). Selain itu, televisi juga dianggap tidak hanya mengajarkan tingkah laku, tetapi juga bertindak sebagai stimulus untuk membangkitkan tingkah laku yang dipelajari dari sumber-sumber lain. Model Psikologi Comstock ini mempunyai anggapan bahwa, Pertunjukan aksi di media televisi akan lebih mudah membuat orang menirunya, jika pertunjukan itu lebih menyolok (salient) bagi seseorang, karena dengan begitu pertunjukan aksi tersebut akan menimbulkan getaran dan lebih menonjol. Baik kemenyolokan maupun getaran yang di timbulkan merupakan kondisi yang harus ada untuk kegiatan pemahaman (learning) Model ini juga beranggapan bahwa, semakin sedikit daftar tindakan-tindakan yang tersedia maka semakin besar kemungkinan untuk diadopsinya pertunjukan televisi tersebut. Untuk itu model ini juga menekankan bahwa agar sebuah aksi benar-benar ditiru maka haruslah ada kemiripan aksi itu dengan realita yang ada. Model yang dibuat oleh Comstock ini secara khusus mengungkapkan tentang pengaruh televisi (TV) terhadap tingkah laku seseorang menurut model ini, TV dapat disejajarkan dengan pengalaman, tindakan atau observasi perorangan yang dapat menimbulkan konsekuensi terhadap pemahaman ataupun tingkah laku. Dengan demikian, TV tidak hanya dipandang mampu mengajarkan tingkah laku, tetapi juga mampu bertindak sebagai stimulus (rangsangan) untuk membangkitkan tingkah laku yang telah dipelajari dan sumber-sumber lain. 2016 4 Komunikasi Massa Aryadillah, S.Sos.I, M.M, M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Gambaran mengenai proses pengaruh TV menurut model ini adalah sebagai berikut: Apabila seseorang menonton suatu acara TV yang menggambarkan suatu tingkah laku tertentu maka ia akan mendapatkan masukan-masukan (input) yang berkaitan dengan tingkah laku tersebut. Masukan utama adalah gambaran mengenai aksi tertentu (TV act). Masukan-masukan lainnya mencakup tingkat kesenangan, getaran yang ditimbulkan dalam diri penonton (arousal), daya tank (attractiveness), minat atau kepentingan (interest) dan motivasi (motivation) untuk bertindak sesuai dengan apa yang disajikan dalam acara TV tersebut (semuanya ini secara kolektif disebut sebagai TV arousal), serta aksi-aksi alternatif atau bentukbentuk tingkah laku iainnya yang ditayangkan TV dalam konteks yang sama. Di samping itu ada dua faktor lainnya yang menjadi masukan, yakni: persepsi mengenai akibat sebagaimana digambarkan dalam TV (TV perceived consequences), dan persepsi mengenai realitas dan apa yang digambarkan dalam TV (TV perceived reality). Proporsi utama dan model ini adalah: Suatu gambaran mengenai tingkah laku yang disampaikan TV akan mendorong khalayak untuk cenderung mempelajarinya. Semakin menonjol atau dianggap penting (secara psikologis) gambaran tingkah laku tersebut oleh seseorang, semakin kuat getaran-getaran yang muncul (arousal), dan semakin kuat pengaruhnya terhadap pembentukan tingkah laku dan orang tersebut) Gambar model pengaruh TV dan Comstock ini adalah sebagai berikut: Keterangan: Input yakni Masukan-masukan berupa pesan-pesan dan atribut-atribut yang menyertainya; 2016 5 Komunikasi Massa Aryadillah, S.Sos.I, M.M, M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id TV arousal yakni Getaran yang merangsang munculnya motivasi penonton untuk meniru/melakukan tingkah laku yang digambarkan dalam TV; TV perceived consequences: Persepsi mengenai akibat dan tingkah laku sebagaimana digambarkan dalam TV; TV perceived reality yakni Persepsi mengenai realitas dan tingkah laku yang digambarkan dalam TV; TV alternatives yakni Tingkah laku sosial lainnya yang digambarkan TV; Act yakni Kemungkinan ditirunya tingkah laku yang digambarkan dalam TV; Upportunity yakni Kesempatan atau peluang untuk melakukan tingkah laku yang digambarkan dalam TV dalam kehidupan sehari-hari; Display behaviour yakni Penampilan tingkah laku sosial sebagaimana digambarkan melalui TV dalam kehidupan sehari-hari. II - 0 yakni Kemungkinan tidak ada (nol); P 0 Kemungkinan ada; NO Kesempatan atau peluang tidak ada; Point of entry yakni Titik masuk (jalur masuk). 3. Model Dua Langkah Katz dan Lazarsfeld Model dari Katz dan Lazarsfeld lazim disebut dengan two step flow model of communication (model komunikasi bertahap dua), menjelaskan tentang proses pengaruh penyebaran informasi melalui media massa kepada khalayak. Menurut model ini, penyebaran dan pengaruh informasi yang disampaikan melalui media massa kepada khalayaknya tidak terjadi secara langsung (satu tahap), melainkan melalui perantara seperti misalnya “pemuka pendapat‟ (opinion leaders). Dengan demikian proses pengaruh penyebaran informasi melalui media massa terjadi dalam dua tahap: pertama, informasi inengalir dan media massa ke pana pemuka pendapat; kedua, dan pemuka pendapat ke sejumlah orang yang menjadi pengikutnya.odeI ini dapat digambarkan demikian. 2016 6 Komunikasi Massa Aryadillah, S.Sos.I, M.M, M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Keterangan gambar: 1,2,3,4 Pemuka pendapat; 0 = Para individu yang mempunyai pendapat; Asumsi-asumsi yang melatarbelakangi model komunikasi dua tahap ini adalah: 1. Warga masyarakat pada dasarnya tidak hidup secara terisolasi, melainkan aktif berinteraksi satu sama lainnya, dan menjadi anggota dari satu atau beberapa kelompok social; 2. Tanggapan dan reaksi terhadap pesan-pesan media massa tidak terjadi secara Iangsung dan segera, tetapi melalui perantara yakni hubunganhubungan social; 3. Para pemuka pendapat umumnya merupakan sekelompok orang yang aktif menggunakan media massa serta berperan sebagai sumber dan rujukan informasi yang berpengaruh. Konsep komunikasi dua tahap ini berasal dari lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet (1948) yang berdasarkan penelitiannya menyatakan bahwa idea-idea sering kali datang dari radio dan surat kabar yang ditangkap oleh pemuka pendapat (opinion leaders) dan dari mereka ini berlaku menuju penduduk yang kurang giat. Tahap pertama adalah dari sumbernya, yakni komunikator dari pemuka pendapat kepada pengikut-pengikutnya, yang juga menyangkut penyebaran pengaruh. Model dua tahap ini menyebabkan kita menaruh perhatian kepada peranan media massa dan komunikasi antarpribadi. Berlainan dengan model jarum hipodermik yang beranggapan, bahwa massa merupakan tubuh besar yang terdiri dari orang-orang yang tak berhubungan tetapi berkaitan kepada media, maka model dua tahap meliat massa sebagai perorangan yang berinteraksi. Ini menyebabkan penduduk terbawa kembali ke komunikasi massa. Model ini selain menimbulkan keuntungan, juga telah menjumpai kekurangan. Pada dasarnya model ini tidak memberikan penjelasan yang cukup. Apa yang diketahui tentang proses komunikasi massa ternyata terlalu mendetail untuk diterangkan dengan satu kalimat saja meskipun demikian, timbul dua keuntungan sebagai berikut: 1. Suatu pemusatan kegiatan terhadap kepemimpinan opini dalam komunikasi massa. 2. Beberapa perbaikan dari komunikasi dua tahap, seperti komunikasi dua tahap dan komunikasi tahap ganda. 2016 7 Komunikasi Massa Aryadillah, S.Sos.I, M.M, M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Studi-studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa di kebanyakan negara berkembang (termasuk Indonesia), proses penyebaran informasi melalui media massa ke khalayak luas memang cenderung mengikuti pola “komunikasi dua tahap”. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, para ahli menemukan bahwa terdapat variasi dalam proses penyebaran informasi. Pola penyebaran informasi tidak selamanya berjalan secara dua tahap, tetapi dapat juga hanya satu tahap, atau lebih dan dua tahap, tergantung dan kondisi individu khalayaknya. Model ini kemudian disebut sebagai multi step flow communications atau komunikasi banyak tahap (Schramm, 1973). Bagi kebanyakan orang di kota-kota besar dan berlatar belakang sosial dan ekonomi relatif tinggi, penyebaran informasi dan media massa kepada mereka umumnya berjalan secara langsung (satu tahap). Sementara bagi orang-orang yang berada di daerah pedesaan dengan latar belakang sosial dan ekonomi yang relatif rendah, proses penyebaran informasi dan media massa tidak berjalan secara langsung, tetapi mengalami beberapa tahap. Misalnya dari media massa, kepada teman dan tetangga yang punya akses terhadap media, baru kepada dirinya, kemudian dikonfirmasikan kepada pemuka pendapat. Atau, dan media massa, ke pemuka pendapat, kepada teman atau tetangga, baru ke dirinya. Dengan demikian, dalam hal pengaruh penyebaran informasi melalui media massa banyak faktor yang menjadi “perantara” (intervening variables). 4. Model Difusi Inovasi Roger Shoemaker Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu. Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana dapat menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Rogers (1983) mengatakan, Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitianpenelitian sosiologi. Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross, mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di 2016 8 Komunikasi Massa Aryadillah, S.Sos.I, M.M, M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan tentang difusi inovasimodel kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over time.” Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Di sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M. Rogers dengan karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F. Floyd Shoemaker yang bersama Rogers menulis Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang menulis Innovation Diffusion: A New Perpective (1981). Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut sejalan dengan pengertian difusi dari Rogers (1961), yaitu “as the process by which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system” Lebih jauh dijelaskan bahwa difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers (1961) difusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.” Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu: (1) Inovasi; gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali. (2) Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidakperlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal. (3) Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap 2016 9 Komunikasi Massa Aryadillah, S.Sos.I, M.M, M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalammenerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial. (4) Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi dan argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change agents). Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi mencakup: a. Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi b. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik c. Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi. d. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi. e. Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya. Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujuakan adalah pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961). Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat dilihat sebagai berikut: 2016 10 Komunikasi Massa Aryadillah, S.Sos.I, M.M, M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 1. Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi 2. Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi 3. Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi. 4. Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati. 5. Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas. Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya, teori Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat. Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention), (2) difusi (diffusion), dan (3) konsekuensi (consequences). Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau dikembangkan. Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru dikomunikasikan kepada anggota sistem sosial, sedangkan konsekuensi adalah suatu perubahan dalam sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan inovasi. Sejak tahun 1960-an, teori difusi inovasi berkembang lebih jauh di mana fokus kajian tidak hanya dikaitkan dengan proses perubahan sosial dalam pengertian sempit. Topik studi atau penelitian difusi inovasi mulai dikaitkan dengan berbagai fenomena kontemporer yang berkembang di masyarakat. Berbagai perpektif pun menjadi dasar dalam pengkajian proses difusi inovasi,seperti perspektif ekonomi, perspektif ’market and infrastructure’ (Brown, 1981). Salah satu definisi difusi inovasi dalam taraf perkembangan ini antara lain dikemukakan Parker (1974), yang mendefinisikan difusi sebagai suatu proses yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi. 2016 11 Komunikasi Massa Aryadillah, S.Sos.I, M.M, M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dia juga menyebutkan bahwa difusi merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari kegiatan produktif. Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National Center for the Dissemination of Disability Research (NCDDR), 1996, menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu 1. Dimensi Sumber (SOURCE) diseminasi, yaitu insitusi, organisasi, atau individu yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru. 2. Dimensi Isi (CONTENT) yang didiseminasikan, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya. 3. Dimensi Media (MEDIUM) Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan. 4. Dimensi Pengguna (USER), yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk dimaksud. 2016 12 Komunikasi Massa Aryadillah, S.Sos.I, M.M, M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Ardianto, Komala dan Karlinah. Komunikasi Massa. Simbiosa 2007 A. Devito. Komunikasi Antar Manusia. Edisi Kelima. Alih Bahasa: Agus Maulana. Tangerang: Karisma. Biagi. Media/Impact An Introduction To Massa Media, Terj. Irfan dan Mahendra. Jakarta: Salemba Humanika. 200 Blake, Reed H., and Haroldsen, Edwin O. Taksonomi Konsep Komunikasi. Cetakan Ke-1. Terj. Hasan Bahanan. Surabaya: Papyrus, 2003 Brown, Lawrence A., Innovation Diffusion: A New Perpevtive. New York: Methuen and Co. Hanafi, Abdillah. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Cetakan Ke-12. Bandung: Rosdakarya, 2008 Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Rineka Cipta: Jakarta. Pawito, dan C Sardjono. Teori-Teori Komunikasi. Buku Pegangan Kuliah Fisipol Komunikasi Massa S1 Semester IV. Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 1994. Purwasito, Andrik. Komunikasi Multikultural. Cetakan Ke-1. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003. Rogers, E.M. dan Shoemaker, F.F., 1971, Communication of Innovations, London: The Free Press. Rogers, Everett M, 1995, Diffusions of Innovations, Forth Edition. New York: Tree Press. Sumartono. 2002. Terperangkap dalam Iklan (Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi). Alfabeta: Bandung. Suprapto, Tommy. Pengantar Teori Komunikasi. Cetakan Ke-1. Yogyakarta: Media Pressindo, 2006. Uchjana. Effendy, Onong. 2003. Ilmu,Teori dan Filisafat Komunikasi. Cet. Ke-3. Citra Aditya Bakti: Bandung. Vardiansyah, Dani. Pengantar Ilmu Komunikasi. Cetakan Ke-1. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004. West and Turner. Pengantar Teori Komunikasi. Terj. Maria Natalia. Jakarta: Salemba Humanika, 2010. Werner and Tankard. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa. Edisi Kelima. Jakarta: Kencana, 2008. 2016 13 Komunikasi Massa Aryadillah, S.Sos.I, M.M, M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id