eklesiologi gksbs final

advertisement
EKLESIOLOGI GKSBS
RUMAH BERSAMA
Disusun Oleh:
PANITIA ADHOC AMANDEMEN TATA GEREJA GKSBS
DAFTAR ISI
Daftar Isi ...................................................................................................................
1
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................
2
BAB II LANDASAN TEORI ...........................................................................................
2
A. Analisis semiotika terhadap metafor Rumah Bersama ....................................
2
B. Analisis Sosial Terhadap Konteks GKSBS .........................................................
4
C. Analisa Data ...................................................................................................
5
1. Pengalaman Interpersonal: Pengalaman perjumpaan individu dalam
persaudaraan – kekeluargaan .........................................................................
6
2. Pengalaman Institusional: Pengalaman berorganisasi (Pengalaman
bergereja) ........................................................................................................
6
3. Pengalaman Sosial: Pengalaman menjalankan Misi demi keadilan,
perdamaian, dan keutuhan ciptaan. ...............................................................
7
BAB III MISIOLOGI DAN EKLESIOLOGI ......................................................................
10
A. MISIOLOGI .....................................................................................................
10
B. EKLESIOLOGI ..................................................................................................
12
BAB IV PENUTUP .....................................................................................................
13
Daftar Referensi ........................................................................................................
14
1
BAB I
PENDAHULUAN
Warga GKSBS pada umumnya adalah para pendatang (transmigran) yang berasal dari berbagai
latar belakang daerah, suku dan gereja asal. Sebagian besar dari mereka berasal dari Pulau
Jawa, yaitu: Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam perkembangannya, di beberapa daerah mulai
berdatangan juga orang-orang dari Sumatera Utara dan dari Indonesia Timur. Perjumpaan
dengan warga masyarakat dari pelbagai daerah, suku, agama, ras dan antar golongan serta asal
gereja ini melahirkan sebuah dinamika tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat di Sumatera
Bagian Selatan, termasuk di dalamnya, dinamika bergereja.
Berdasarkan konteks tersebut di atas, dalam Sidang X (Kontrakta) Sinode GKSBS di Jambi tahun
2012, GKSBS merumuskan tugas dan panggilan Gereja adalah untuk memimpin,
mempersatukan dan memberdayakan anggotanya untuk melaksanakan misinya di tengah
masyarakat dan dunia. GKSBS telah menyepakati bahwa eklesiologi yang sesuai dengan konteks
GKSBS adalah Gereja sebagai Rumah Bersama. Metafor Rumah Bersama ini telah mulai
diwacanakan sejak Sidang VIII Sinode GKSBS di Bengkulu tahun 2005. Sekalipun demikian,
GKSBS masih harus mengkaji dan merumuskan bersama makna dan isi dari eklesiologi RUMAH
BERSAMA ini melalui studi-studi ilmiah dan empiris berdasarkan pengalaman individual maupun
sosial dari seluruh warga GKSBS.
Identitas dan misi Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan (GKSBS) tersebut terjadi melalui
proses dialektis secara terus menerus dalam perjumpaannya dengan semua orang dan melalui
karya-karya nyata dalam melaksanakan tugas dan panggilan-Nya. Latar belakang tradisi, sejarah
dan pengalaman iman yang terus berkembang hingga saat ini, melahirkan kesadaran bahwa
identitas GKSBS adalah Gereja kaum transmigran yang menjalankan misinya untuk berbagi
kepada sesama. 1
BAB II
LANDASAN TEORI
Rumusan eklesiologi Rumah Bersama ini disusun berdasarkan analisa sosial, proses perjumpaan
tradisi, sejarah dan perkembangan iman dalam konteks GKSBS.
A. Analisa semiotika terhadap metafor Rumah Bersama2
Untuk dapat memahami metafor Rumah Bersama kita menggunakan pendekatan analisis
semiotika. Dalam studi semiotika, bahasa mempunyai peranan yang sangat penting. Alasan
kenapa bahasa menjadi pusat dalam studi semiotika: “Tidak ada di dunia, dimana manusia
hidup tanpa bahasa”. Kehidupan manusia tidak terpisah dengan bahasa. Melalui bahasa,
manusia mengenali dunianya. Melalui bahasa, manusia membangun relasi satu dengan yang
lain, saling memahami dan menggambarkan dunianya masing-masing. Fungsi-fungsi ini
dapat kita pahami sebagai fungsi sosial bahasa.
1
Nilai Berbagi merupakan hasil dari Lokakarya Nasional mengenai Panggilan Diakonia (Diaconia Calling), MetroLampung, 2009. Diaconia Calling menjadi landasan dalam penyusunan Renstra dan PPHP Sinode GKSBS 20102015.
2
Lih, makalah ST. Sunardi tentang Metafor dalam Lokakarya Eklesiologi 2012.
2
Berbicara mengenai fungsi bahasa, ada tiga fungsi yang dapat kita lihat sebagai fungsi sosial
semiotik3 yaitu: fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi
ideasional adalah fungsi untuk menyampaikan gagasan. Ketika kita mendengar metafor
“Rumah Bersama” dan atau mengucapkannya, maka ini soal bagaimana kita menjawab
pertanyaan pengalaman seperti apakah yang menunjukan gambaran “Rumah Bersama”.
Fungsi interpersonal adalah fungsi untuk memberikan respon, jawaban, penilaian maupun
sikap. Sedangkan yang terakhir adalah fungsi tekstual. Fungsi tekstual adalah fungsi bahasa
dalam keseluruhan yang membuat orang dapat mengerti apa yang digambarkan atau apa
responnya.
Adapun tiga alasan mengapa kita menggunakan metafor Rumah Bersama, yaitu:

Metafor tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Metafor membantu orang
untuk menamai sesuatu. Sesuatu yang orang alami, bisa jadi merupakan pengalaman
yang sangat berarti dan penting, tetapi sangatlah dangkal jika diungkapkan dengan
ungkapan-ungkapan yang biasa. Jadi, jika gereja diungkapkan sebagai rumah bersama,
artinya adalah ada suatu pengalaman tertentu dalam ruang dan waktu yang
sedemikian luar biasanya sehingga dirasakan perlu diungkapkan dengan cara yang
berbeda pada umumnya.

Dengan metafor membantu kita untuk lebih mudah memahami dan mempercepat
mengalami Rumah Bersama sebagai simbol. Artinya adalah, bahwa ada suatu
peristiwa-peristiwa tertentu yang perlu untuk dialami lagi secara baru dalam ruang dan
waktu yang berbeda.

Dengan metafor kita juga dapat dengan mudah mengaktualisasikan nilai kebebasan,
kesetaraan dan untuk menghindari konflik social di masyarakat. Kekuatan metafor
salah satunya adalah memberikan peluang bagi banyak pihak untuk memberi makna.
Ruang bagi banyak pihak untuk berpartisipasi dalam pemaknaan ini membuka pada
ruang komunikasi, dalam artian, berbagi perspektif atau sudut pandang. Tidak ada
sudut pandang yang dimatikan atau dibungkam. Tidak perlu ada yang ditindas.
Metafor Gereja Sebagai Rumah Bersama : Ungkapan Teologis
1) Rumah bersama sebagai gairah untuk beriman
Metafor rumah bersama ini mau menjelaskan pengalaman kebersamaan dalam
perjumpaannya dengan yang lain. Tidak hanya sekedar bersama-sama. Kebersamaan
yang dimaksud adalah pengalaman yang membawa pada gairah untuk hidup. Gairah
yang muncul dalam perjumpaan dengan yang lain merupakan gairah untuk berjumpa
dengan Kristus. Kristus ada dalam perjumpaan dengan yang lain. Kristus ada dalam
kebersamaan jemaat.
2) Rumah bersama sebagai panggilan
Pengalaman lain yang berbeda di tempat yang berbeda membawa orang untuk
membuat pengalaman yang berbeda itu menjadi seperti di rumahnya sendiri. Dari
kesadaran inilah muncul gairah untuk membuat sebuah pengalaman rumah. Persoalan
yang harus dijawab sebagai gairah siapa saya, bagaimana saya akan hidup dan ada
bersama dengan yang lain.
3
Kris Budiman, Analisis Wacana-Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi, (Yogyakarta : Buku Baik, 2002), p.8-10.
3
3) Rumah bersama sebagai jawaban
Pengalaman perjumpaan dengan Kristus dalam perjumpaan dengan yang lain yang tentu
saja membawa pada konsekuensi-konsekuensi yang berbeda. Perjumpaan dengan yang
lain sebagai yang berbeda diikuti dengan, dan perlu, semangat penghargaan akan yang
lain sebagai “Liyan”. Ya sama, sekaligus Ya berbeda. Dari sanalah ada proses
transformasi yang terjadi secara berkelanjutan.
B. Analisa Sosial Terhadap Konteks GKSBS
Bangunan sosial (social construction) merupakan teori sosiologi terkini yang dicetuskan oleh
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann.4 Menurut kedua ahli sosiologi tersebut, teori ini
dimaksudkan sebagai satu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan
(penalaran teoritis yang sistematis), dan bukan sebagai suatu tinjauan historis mengenai
perkembangan disiplin ilmu. Oleh karena itu, teori ini tidak terpusat pada tinjauan tokoh,
pengaruh dan sejenisnya, tetapi lebih menekankan pada tindakan manusia sebagai pelaku
yang kreatif dalam realitas sosialnya.
Penggunakan teori analisis sosial ini dinilai cocok dalam menganalisa konteks GKSBS dan
masyarakat di Sumatera Bagian Selatan, dimana pengalaman komunitas begitu ditekankan
sebagai sumber penghayatan iman dan prilaku sosialnya. Dengan kata lain, teori analisa
sosial ini dapat dijadikan pijakan teori dalam merumuskan eklesiologi RUMAH BERSAMA
yang berbasis pengalaman, dengan alasan:
a. Pijakan teorinya didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat dikonstruksi secara
terus menerus (unlimited) melalui pengalaman intersubyektif. Oleh karena itu, pusat
perhatian seharusnya tertuju pada bentuk-bentuk penghayatan (erlebniss) kehidupan
masyarakat dan pengalaman individu secara menyeluruh dengan segala aspeknya
(kognitif, afektif, konatif).
b. Metodologi atau cara meneliti pengalaman antar pribadi sebagai pelaku sosial adalah
dengan menemukan “hakekat masyarakat” melalui gejala-gejala sosial yang ada. Dalam
hal ini ditemukan kesadaran bahwa apa yang dinamakan masyarakat itu pasti terbangun
dari “dimensi obyektif” sekaligus “dimensi subyektif”, karena masyarakat sesungguhnya
adalah buatan budaya dari masyarakat dan manusia adalah sekaligus pencipta dunianya
sendiri.
Jika, konteks masyarakat dan warga GKSBS dianalasis dengan menggunakan teori tersebut di
atas, dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Perjumpaan antar individu warga GKSBS memiliki pengalaman dan pemahaman
mengenai dunia dan menciptakan realitas baru melalui perjumpaannya dengan individuindividu yang berbeda dan kemudian menciptakan komunitas di luar dirinya sendiri.
2. Persekutuan / komunitas yang terbentuk itu, dalam proses dan dinamikanya,
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan, peraturan-peraturan, hukum-hukum, perananperanan dan fungsi-fungsi gereja yang hendak mereka jalankan di tengah masyarakat.
Semua itu dibuat dan ditaati bersama dalam rangka memelihara ketertiban sosial. Pada
tahap ini, organisasi gereja dibentuk. Aturan dan hukum yang disepakati menjadi
4
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, A Treatise in The Sociology of
Knowledge, Pinguin Books, 1991.
4
pedoman bagi institusi atau organisasi gereja. Setiap individu memiliki pengetahuan dan
identitas sosial sesuai dengan peran institusional yang terbentuk dan yang
diperankannya.
Keseluruhan pengalaman manusia tersimpan dalam kesadaran, mengendap dan
akhirnya dapat memahami dirinya dan tindakannya didalam konteks sosial
kehidupannya dan melalui proses pentradisian. Akhirnya pengalaman yang terendap
dalam tradisi diwariskan kepada generasi penerusnya. Proses transformasi pengalaman
ini salah satu medianya adalah menggunakan bahasa dan simbol-simbol.
3. Dalam proses internalisasi, individu dan komunitasnya belajar memahami dan
menerima dunia di sekitarnya dengan segala perbedaannya dan belajar memahami
bagaimana prilaku mereka dianggap sesuai dengan harapan masyarakatnya. Dalam
internalisasi inilah “proses dialektis” terjadi terus menerus diantara mereka; masingmasing berpartisipasi dalam keberadaan pihak lain. Pada tahap ini, Gereja mulai
memikirkan dan perumuskan misi dan tugas panggilannya di tengah masyarakat dan
dunia.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: Eklesiologi RUMAH BERSAMA lahir dan
dibangun melalui perjumpaan tradisi, sejarah dan pengalaman iman orang-orang percaya
yang terpanggil untuk menemukan dan membangun persekutuan dan yang menjalankan
misi Kristus di tengah masyarakat dan dunia.
Lahirnya Persekutuan atau Gereja yang menamakan dirinya sebagai Gereja Kristen Sumatera
Bagian Selatan (GKSBS) merupakan hasil akhir dari seluruh proses yang terjadi terus
menerus dalam tradisi, sejarah dan pengalaman iman (eksternalisasi, obyektifikasi dan
internalisasi). Gereja yang sudah mencapai “proses sedimentasi”, di mana pengalaman dan
gambaran/simbol-simbol telah mengendap dan masuk ke dalam ingatan individu, komunitas
(baca: warga GKSBS) dan masyarakat di Sumatera bagian Selatan melalui proses berbagi
(proses intersubyektif) dengan individu-individu yang berbeda satu dengan yang lain.
Agar proses berbagi (intersubyektif) ini dapat terjadi terus menerus, maka dibutuhkan
media atau alat yang berfungsi sebagai legitimasi atau alat kontrol atas interpretasi
pengalaman dan gambaran-gambaran / simbol-simbol yang saling berbeda. Media atau alat
itu yang sekarang kita kenal sebagai “tata gereja”. Sebagai intepretator, tata-gereja GKSBS
memiliki dua fungsi, yaitu: mengintepretasikan realitas pengalaman individu dan masyarakat
dan membantu membuat intepretasi yang dapat diterima secara luas. Sederhananya, Tata
Gereja menjadi alat untuk mengkomunikasikan tradisi-tradisi gereja, sejarah gereja dan
pengalaman iman anggota gereja dalam menjalankan misi Kristus di tengah masyarakat dan
dunia.
C. Analisa Data5
Melalui analisa data dan hasil penelitian, baik dari sudut budaya, tradisi, agama, ekonomi
dan politik maupun dari hasil diskusi-diskusi yang telah dilakukan di GKSBS, dapat ditemukan
tiga tema besar mengenai konteks di GKSBS:
5
Data dikumpulkan dari Hasil Konven Pendeta 2011, Makalah-makalah yang disampaikan oleh para narasumber
dalam studi dan seminar: Konven 2007&2012, Lokakarya Diakonia (2010), Studi Eklesiologi (2012), studi Metafor
(2012), Lokakarya Eklesiologi (2013). Buku-buku: Institutio-Calvin, Dokumen WCC-BEM, Buku Putih GKSBS, Makalah
“Rumah Bersama”. Analisa data dilakukan dengan menggunakan Pendekatan kualitatif Grounded Approach ; hasil
penelitian di dapat secara langsung dari sumber / subyek data.
5
1.
Pengalaman Interpersonal: Pengalaman perjumpaan individu dalam persaudaraan
– kekeluargaan
Pengalaman interpersonal ini dimulai dari sejarah kedatangan penduduk dari Pulau
Jawa ke Pulau Sumatera melalui program transmigrasi. Pada tataran lokal yang
terpencar di seluruh Sumatera bagian Selatan menurut “Buku Putih GKSBS” benihbenih yang tumbuh menjadi cikal bakal lahirnya GKSBS sejak tahun 1938. Dan terus
berkembang hingga sekarang.6
Pengalaman individual ini dimulai dari perjumpaan dua atau tiga orang yang saling
menemukan dan ditemukan sebagai saudara seiman (sederek patunggilan) dalam
situasi yang serba tidak nyaman, serba darurat di areal pemukiman para transmigran
yang serba kekurangan dan keterbatasan akses, didorong oleh perasaan senasibsepenanggungan, menjadi pengalaman yang paling berharga untuk melanjutkan
kehidupan di tanah rantau.
Perjumpaan dengan saudara-saudara seiman itu kemudian menjadi alasan kuat
untuk membangun sebuah persekutuan sebagai satu keluarga yang ditandai dengan
simbol “makan bersama”. Simbol ini mengandung nilai kekeluargaan, persaudaraan,
saling berbagi yang mengalir membentuk “patembayan” – “sangkul sinangkul ing bot
repot”.
Sejarah perjumpaan sebagai pendatang di tanah seberang ini melahirkan
pengalaman yang membuat orang merasa betah menjadi anggota GKSBS, yang
menurut banyak orang merupakan pengalaman yang muncul dari perasaan diterima
dan perasaan dihargai.7
Jika dianalisa dengan menggunakan teori Berger, maka pengalaman perjumpaan
dengan saudara-saudara seperantauan yang melahirkan perasaan-perasaan
“diterima dan dihargai sebagai keluarga” ini merupakan “proses eksternalisasi”, di
mana masing-masing individu mengekspresikan dirinya memasuki dunia yang baru
dan menghadapi pelbagai perbedaan satu dengan yang lainnya. Ekspresi diri ini
semakin menguatkan keberadaan dan kemengadaan (eksistensi) mereka sebagai
individu dan anggota masyarakat. Lalu dari proses inilah, masyarakat atau komunitas
yang baru dibentuk. Wujudnya adalah persekutuan – patembayan – paseduluran,
dan sebagainya. Artinya, mereka sendirilah yang membentuk masyarakat baru yang
didalamnya para transmigran tinggal dan hidup bersama sebagai satu keluarga.
2.
Pengalaman Institusional: Pengalaman berorganisasi (Pengalaman bergereja)
Pengalaman perjumpaan sebagai saudara (sedulur) yang menjadi wujud dari
masyarakat baru di Sumatera bagian Selatan itu lambat laun terlembaga dalam
gambaran atau simbol KELUARGA. Proses eksternalisasi tersebut sampai “proses
obyektifitas” masyarakat, di mana setiap individu secara berkesinambungan menjadi
agen sosial yang mengeksternalisasi realitas sosial. Masing-masing individu mulai
6
Lih. Makalah “Membangun Eklesiologi GKSBS yang Kontekstual dan Aseptabel (Sebuah “telling story)”, Pdt. Dwi
Janarto, 2011.
7
Lih. Data diambil dari Hasil diskusi Eklesiologi, dalam Makalah “GKSBS Rumah Bersama: Studi Eklesiologi Berbasis
Pengalaman”, Pdt. Surahmat Hadi, 2013.
6
memiliki pemahaman akan realitas yang terbentuk. Sehingga dapat dikatakan, tiap
individu memiliki pengetahuan dan identitas sosial sesuai dengan peran institusional
yang terbentuk atau yang diperankannya.
Mereka menyadari bahwa hidup dalam sebuah keluarga dengan berbagai macam
perbedaan didalamnya membutuhkan kesepakatan-kesepakatan, aturan-aturan dan
hukum-hukum yang diciptakan dan ditaati bersama untuk melanjutkan
keseimbangan sosial. Pada tahap inilah, anggota gereja mulai belajar berorganisasi.
Pertambahan anggota gereja semakin lama semakin meningkat. Mulai dari sejak
lahirnya Sinode GKSBS jumlah anggota gereja sudah mencapai 32.000 jiwa.8 Hingga
saat ini penambahan jumlah warga jemaat semakin pesat.9
Dengan pertambahan jumlah anggota gereja tersebut tentu membutuhkan sistem
dan mekanisme untuk menjaga keteraturan hidup bersama. Institusionalisasi ini
muncul bersamaan dengan ciri khas dari masing-masing kelompok dan peranan
sosialnya. Kelompok-kelompok ini yang keludian disebut sebagai institusi. Tiap
institusi ini memilih mekanisme kontrolnya masing-masing. Mekanisme kontrol ini
sering dilengkapi dengan sanksi. Tiap anggota wajib untuk meraih penghargaan
sosial bila menaati realitas dalam institusinya atau menanggung resiko mendapat
konsekuensi hukuman bila menyimpang dari kontrol yang ada.10
Dalam sejarah institusionalisasi Gereja ini, GKSBS merujuk pada pandangan Calvin
mengenai Gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Gereja sebagai alat yang
hidup untuk melaksanakan misi Allah bagi dunia. Maka dalam gereja yang kelihatan
itu dibutuhkan aktor-aktor dan aturan-aturan tertentu yang berfungsi sebagai
mekanisme kontrol terhadap kehidupan organisasi gereja dengan tetap
memperhatikan proses kontekstualisasi.11
3.
Pengalaman Sosial: Pengalaman menjalankan Misi demi keadilan, perdamaian, dan
keutuhan ciptaan.12
Dan akhirnya, Gereja melakukan misi Kristus di tengah masyarakat dan dunia
melalui pelayanan sosial / diakonia dengan nmengarusutamakan nilai berbagi kepada
sesama. Setiap orang mulai memahami dunia sekitarnya, menerima keberadaan dan
perbedaan, serta mengatur prilaku yang dianggap sesuai dengan harapan
masyarakatnya. Maka mulailah mereka memasuki “proses dialektis” yang terjadi
terus menerus diantara mereka. Selain itu, mereka mulai menyadari bahwa mereka
tidak hanya hidup dalam dunia yang sama, tetapi juga memiliki perannya masingmasing melalui proses berpartisipasi, saling menerima dan menghargai, menjaga
keutuhan dan kerukunan, membangun kebersamaan, saling menolong dan berbagi,
8
Akta Sidang XVIII Sinode GKSBS tahun 1987. Artikel 119. Pertambahan jumlah anggota gereja yang pesat
menjadikan Sinode GKSBS disahkan menjadi Sinode Mandiri pada tanggal 6 Agustus 1987 di Yogyakarta.
9
Lih. Makalah “Berbagi Cerita dan Pengalaman Sejarah Bergereja di GKSBS”, Pdt. Bambang Sumarsono, 2012.
10
scn. 4.
11
Lih. Makalah “Eklesiologi GKSBS:GKSBS sebagai Rumah Bersama”, Pdt. Prasetyanto Aji, 2013 dan Institutio-Calvin.
12
Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan merupakan tema Misi dan Evangelisasi Dewan Gereja-gereja Dunia.
Lih. Dokumen WCC: WCC Porto Alegre Assembly in 2006.
7
saling membina dan memberdayakan, serta bersama-sama merayakan kehidupan
melalui tindakan-tindakan liturgis.13
Pengalaman perjumpaan dengan berbagai pelbedaan telah membentuk masyarakat
Sumatera bagian Selatan dan warga GKSBS untuk berproses secara terus menerus
untuk hidup bertoleransi satu dengan yang lainnya. Mereka belajar menerima,
membangun dan memperjuangkan kesetaraan (gender, ras, suku, agama, golongan,
status sosial, partai politik, orientasi seks) dan Hak-hak Manusia (HAM).
Perjuangan menegakkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan ini juga
termaktub dalam uraian misi dan penginjilan gereja-gereja se-dunia:
a. Mengakui bahwa Allah Tritunggal adalah pencipta, penebus dan pemelihara
seluruh kehidupan. Semua ciptaan Allah sesungguhnya oikoumene didalam
gambar Allah dan berkarya secara terus menerus di dalam dunia untuk
menguatkan dan melindungi kehidupan. Kami percaya bahwa Yesus Kristus, Sang
Kehidupan dunia, adalah inkarnasi dari kasih Allah kepada dunia (Yoh. 3:16).
Penegasan kehidupan menjadi pusat perhatian dan misi Yesus Kristus (Yoh.
10:10). Kami percaya bahwa Roh Kudus, Sang Pemberi Kehidupan, yang
memelihara dan menguatkan serta memperbaharui seluruh ciptaan (Kej. 2:7; Yoh
3:8). Penolakan terhadap kehidupan adalah penolakan terhadap Allah yang
hidup. Allah mengundang kita untuk masuk ke dalam misi Allah: memberi
kehidupan dan menguatkan kesaksian mengenai hidup yang berkelimpahan di
bumi yang baru dan langit yang baru. Bagaimana dan di mana kita dapat
melakukan pekerjaan Allah yang telah mengijinkan kita untuk berpartisipasi
dalam misi Allah saat ini?
b. Misi dimulai dari hati dan kasih Allah yang menjadi satu dalam Tritunggal yang
Kudus dan yang mengalir di dalam kehidupan manusia dan segala ciptaan.
Misionaris Allah adalah Dia, Sang Anak, yang diutus kepada semua manusia (Yoh.
20:21) dan menegaskan mereka sebagai komunitas pengharapan. Gereja adalah
persekutuan yang merayakan kehidupan, dan yang menolak dan mengubah
semua bentuk kekuatan yang menghancurkan kehidupan. Seberapa pentingkah
“menerima Roh Kudus” (Yoh. 20:22) menjadi kesaksian yang hidup bagi
datangnya kerajaan Allah! Dari penghargaan akan misi Roh Kudus yang
diperbaharui, bagaimana kita dapat mencita-citakan kembali misi Allah didalam
perubahan dan keberagaman dunia saat ini?
c. Hidup di dalam Roh Kudus adalah hakekat dan inti dari misi; mengapa kita
melakukan apa dan bagaimana kita menjalani kehidupan kita. Spriritualitas
memberi makna yang terdalam mengenai kehidupan dan motivasi dari tindakantindakan kita. Allah memberikan karunia kepada kita sebuah energy untuk
menguatkan dan memelihara kehidupan. Misi spiritualitas merupakan sebuah
semangat pembaharuan yang mampu mengubah dunia di dalam anugerah Allah.
Bagaimana kita dapat menyatakan kembali misi spiritualitas transformative di
mana kehidupan semakin dikuatkan?
13
scn. 7.
8
d. Allah tidak mengutus Anak-Nya untuk menyelamatkan manusia sendirian atau
memberikan kepada kita sebagian dari keselamatan. Injil adalah berita suka cita
bagi setiap semua ciptaan dan bagi setiap aspek kehidupan kita dan masyarakat.
Maka, sangatlah penting untuk mengenal misi Allah dan untuk menegaskan
kehidupan, dalam oikoumene, sebagai makhluk yang saling terhubung di dalam
jaringan kehidupan Allah. Laksana ancaman bagi masa depan planet kita yang
nyata, apa implikasinya bagi kita untuk berpartisipasi dalam misi Allah?
e. Sejarah misi Kekristenan telah terbentuk oleh konsep ekspansi secara geografis
dari pusat Kekristenan kepada “wilayah yang belum terjamah”, sampai akhir
dunia. Tetapi hari ini, kita menghadapi perubahan radikal dari tatanan eklesiologi
yang digambarkan sebagai “dunia Kekristenan” dimana orang-orang Kristen
tinggal atau di belahan Selatan dan Utara secara global. Perpindahan penduduk
menjadi bagian dunia, yang menjadi fenomena multi-direksional yang dibentuk
dengan cara pandang Kekristenan. Munculnya gerakan Pentakostal and
Kharismatik dari wilayah yang berbeda merupakan wajah dari dunia Kekristenan
saat ini. Apa wawasan untuk misi dan penginjilan - teologi, agenda dan praktek dari "pergeseran pusat gravitasi dari Kekristenan"?
f. Misi dipahami sebagai gerakan yang dibawa dari pusat ke wilayah pinggiran,
dari kelas borjuis dengan hak-hak istimewa ke masyarakat marginal yang
memproklamirkan diri mereka sebagai agen misi dan menegaskan misi sebagai
sebuah perubahan. Karena Allah memilih orang-orang miskin, bodoh dan lemah (I
Kor. 1:18-31) untuk menjalankan misi perdamaian dan keadilan bahwa hidup ini
indah. Jika bagian dari konsep misi adalah dari “misi kepada orang-orang
terpinggirkan” ke “misi dari orang-orang yang terpinggirkan”, maka kontribusi
seperti apakah yang dapat diberikan dari orang-orang terpinggirkan? Dan
mengapa pengalaman dan visi mereka sangat penting bagi penggambaran
kembali misi dan evangelisasi saat ini?
g. Kita hidup di sebuah dunia di mana iman mamon mengancam kredibilitas Injil.
Ideologi Pasar menyebarkan propaganda bahwa pasar global akan
menyelamatkan dunia melalui pertumbuhan yang tak terbatas. Mitos ini adalah
ancaman yang bukan saja meliputi aspek ekonomi tetapi juga aspek kehidupan
spiritual masyarakat, bukan saja manusia tetapi juga seluruh ciptaan. Bagaimana
kita bisa memberitakan kabar baik dan nilai-nilai kerajaan Allah di pasar global,
atau unggul atas semangat pasar? Apa tindakan missional gereja yang dilakukan
ditengah-tengah ketidakadilan ekonomi dan ekologi dan krisis dalam skala
global?
h. Semua orang Kristen, gereja-gereja dan jemaat dipanggil untuk menjadi utusan
hidup dari Injil Yesus Kristus, yang merupakan injil keselamatan. Penginjilan
adalah berbagi keyakinan tapi rendah hati dalam membagikan pengalaman iman
dan keyakinan kita dengan orang lain. Berbagi adalah anugerah untuk orang lain
yang memproklamasikan cinta, kasih dan kemurahan Allah di dalam Kristus. Ini
adalah buah dari iman yang sejati yang tak terbantahkan. Oleh karena itu, dalam
setiap generasi, gereja harus memperbaharui komitmennya untuk penginjilan
sebagai bagian penting dari cara kita menyampaikan kasih Allah kepada dunia.
Bagaimana kita bisa menyatakan kasih dan keadilan Allah kepada generasi yang
tinggal di dunia individual, sekuler dan materialistis?
9
i.
Gereja berada dalam konteks yang multi-agama dan multi-budaya serta
teknologi komunikasi baru, juga membawa masyarakat dunia ke dalam
kesadaran yang lebih besar dari identitas diri dan cita-cita seseorang. Secara lokal
dan global orang-orang Kristen terlibat dengan orang-orang dari agama dan
budaya dalam membangun masyarakat bersama orang-oramg lain yang cinta,
perdamaian dan keadilan. Pluralitas merupakan tantangan kepada gereja-gereja
dan menjadi komitmen serius dari masyarakat lintas agama untuk wajib
melakukan dialog lintas iman dan komunikasi lintas budaya. Apa keyakinan
ekumenis tentang bersaksi dan mempraktekkan misi memberi kehidupan di
dunia dengan keragaman agama dan budaya?
j. Gereja adalah karunia Allah bagi dunia untuk bertransformasi menjadi Kerajaan
Allah. Misinya adalah untuk membawa kehidupan baru dan mengumumkan
kehadiran kasih Allah di dunia ini. Kita harus berpartisipasi dalam misi Allah
dalam kesatuan, mengatasi perpecahan dan ketegangan yang ada di antara kita,
supaya dunia percaya, dan semua menjadi satu (Yohanes 17:21). Gereja, sebagai
persekutuan murid-murid Kristus, harus menjadi komunitas inklusif yang
keberadaanya sebagai pembawa kesembuhan dan rekonsiliasi kepada dunia.
Bagaimana gereja memperbaharui dirinya menjadi misioner dan bergerak maju
bersama menuju kehidupan seutuhnya?
k. Pernyataan-pernyataan di bawah ini menyoroti beberapa perkembangan penting
dalam memahami misi Roh Kudus dalam misi Allah Tritunggal (Missio Dei) melalui
karya CWME. Semangat ini mewujud empat hal:
• Semangat Misi: Nafas Kehidupan
• Semangat Pembebasan: Misi dari mereka yang terpinggirkan
• Semangat Komunitas: Gereja yang sedang berkarya
• Semangat Pentakosta: Kabar baik bagi semua orang
Berdasarkan refleksi terhadap misi universal gereja yang terangkum dalam rumusan
misi universal Dewan Gereja-gereja se-Dunia (WCC) di atas, memungkinkan kita
untuk merangkul dinamika keadilan, keberagaman dan transformasi sebagai konsepkonsep kunci dari misi gereja dalam mengubah perwajahan dunia saat ini.
BAB III
MISIOLOGI DAN EKLESIOLOGI
A. MISIOLOGI
Dari proses analisis sebagaimana disebutkan dalam poin-poin tersebut di atas, maka secara
rinci Misi GKSBS adalah melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Penegasan kehidupan. Allah mengundang kita untuk masuk ke dalam misi Allah, yaitu:
memberi kehidupan dan menguatkan kesaksian mengenai hidup yang berkelimpahan di
bumi yang baru dan langit yang baru melalui tindakan yang penuh dengan penghargaan,
penerimaan dan pemberdayaan kepada semua orang.
10
2. Membangun komunitas pengharapan. Gereja adalah persekutuan yang merayakan
kehidupan, dan yang menolak dan mengubah semua bentuk kekuatan yang
menghancurkan kehidupan. Gereja adalah komunitas pengharapan bagi semua orang.
3. Memelihara spiritualitas transformative. Gereja melaksanakan tugas dan fungsi sebagai
pemelihara kehidupan spriritualitas anggotanya, memberi makna yang terdalam
mengenai kehidupan dan memotivasi anggotanya untuk menerapkannya melalui
tindakan-tindakan nyata. Misi spiritualitas merupakan sebuah semangat pembaharuan
yang mampu mengubah dunia di dalam anugerah Allah.
4. Terlibat dalam gerakan oikumene. Dalam gerakan oikoumene, semua makhluk saling
terhubung di dalam jaringan kehidupan Allah. Semua orang memiliki kesempatan yang
sama dalam berpartisipasi mewujudkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
5. Melakukan pelayanan transformative yang dibawa dari pusat ke wilayah pinggiran.
Gereja bertanggungjawab melakukan perubahan pelayanannya dari kelas elit dengan
hak-hak istimewa ke masyarakat marginal dengan memproklamirkan diri sebagai agen
misi dan menegaskan misi sebagai sebuah perubahan.
6. Membangun ekonomi yang berkeadilan. Menguatkan perekonomian dan ketahanan
pangan yang berdampak pada kehidupan spiritual masyarakat dan keutuhan ciptaan.
7. Penginjilan dari bawah. Misi penginjilan adalah berbagi keyakinan dengan kerendahan
hati dalam membagikan pengalaman iman dan keyakinan kita dengan orang lain. Berbagi
adalah anugerah untuk orang lain yang memproklamasikan cinta, kasih dan kemurahan
Allah di dalam Kristus. Oleh karena itu, dalam setiap generasi, gereja harus
memperbaharui komitmennya untuk penginjilan sebagai bagian penting dari cara kita
menyampaikan kasih Allah kepada dunia.
8. Dialog lintas-agama, lintas-budaya dan teknologi komunikasi. Secara lokal dan global,
orang-orang Kristen terlibat dengan orang-orang dari agama dan budaya dalam
membangun masyarakat bersama orang-oramg lain yang cinta, perdamaian dan
keadilan. Pluralitas merupakan tantangan kepada gereja-gereja dan menjadi komitmen
serius dari masyarakat lintas agama untuk wajib melakukan dialog lintas iman dan
komunikasi lintas budaya.
9. Membangun ruang partisipasi. Gereja memberi ruang seluas-luasnyakepada semua
orang untuk berpartisipasi dalam menjalankan tugas dan fungsi gereja di tengah
masyarakat. Misi ini dilakukan berdasarkan pemahaman bahwa setiap orang berharga
dan berhak untuk melakukan perubahan.
10. Gerakan diakonia transformative. Berbagi karunia dan kepedulian terhadap sesama
merupakan misi gereja dalam menghadirkan anugerah Allah kepada semua pihak
melalui pelayanan diakonia personal maupun sosial.
Sepuluh poin misi GKSBS di atas terangkum dalam tindakan-tindakan praksis gereja:
memberi ruang partisipasi, saling menerima dan menghargai, menjaga keutuhan dan
kerukunan, membangun kebersamaan, saling menolong dan berbagi, saling membina dan
memberdayakan, serta bersama-sama merayakan kehidupan melalui tindakan-tindakan
liturgis.
Kesemuanya ini berangkat dari dokumen-dokumen dan proses / dinamika pergumulan
jemaat-jemaat GKSBS. Dengan demikian, misi gereja tersebut menjadi landasan untuk
merumuskan wujud GKSBS sebagai proses kehidupan bersama dalam persekutuan dan
melakukan perubahan-perubahan.
11
Misi GKSBS diatas telah terangkum dalam empat tema besar PPHP GKSBS: Pengurangan
Kemiskinan, Identitas dalam Pluralitas, Peningkatan Kapasitas dan Fund Rising.14
Pengalaman GKSBS dalam melakukan misi menandakan bahwa GKSBS telah memasuki
“proses internalisasi”, dimana seluruh aspek dalam kehidupan bermasyarakat tercerap
menjadi kesadaran baru, melahirkan identitas baru, melahirkan semangat kehidupan di
tengah komunitas dan semangat berbagi kepada sesama. 15
B. EKLESIOLOGI
Dari semua dokumen, data dan hasil penelitian terhadap seluruh proses perjumpaan
pengalaman, pelembagaan hidup bergereja di tengah masyarakat dan misi yang dilakukan
GKSBS di Sumatera Bagian Selatan, nampak dalam TIGA LANDASAN EKLESIOLOGI RUMAH
BERSAMA: 16
1. Sebagian besar warga GKSBS menjadikan PENGALAMAN individu sebagai titik pijak
dalam menciptakan komunitas / masyarakat di Sumatera Bagian Selatan dan sebagai
acuan dalam menjalani kehidupan sosial dan keimanannya yang diwujudkan dalam
tindakan-tindakan liturgis.
2. Perjumpaan pengalaman individu dan sosial itu terbangun untuk menjalankan MISI
GKSBS di tengah dunia dengan semangat berbagi kepada sesama.
3. Dalam menjalankan misi tersebut, maka diperlukan proses INSTITUSIONALISASI untuk
melanjutkan keteraturan sosial sesuai dengan kepentingan dan peranannya masingmasing. Institusionalisasi ini membantu gereja menentukan arah menggerejanya,
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bersama mengenai peraturan-peraturan, nilainilai atau upaya-upaya penyelarasan yang hendak dijalankan bersama.
14
Lih. Makalah “Paradigma Menggereja di GKSBS”, Pdt. Christya Prihanto Poetro dalam Seminar Sehari “Mengagas
Arah Menggereja GKSBS”, GKSBS Belitang, 30 Nopember 2011.
15
Lih. Laporan Tahunan MPS GKSBS 2007.
16
Tiga Pijakan Eklesiologi Rumah Bersama ini merupakan Instrumental Values atau nilai-nilai yang menjadi landasan
dari keseluruhan proses perumusan eklesiologi GKSBS. Terminal Values atau hasil dari proses tersebut tertuang
dalam bentuk rumusan Eklesiologi “Rumah Bersama” GKSBS. Eklesiologi ini yang membentuk “Budaya Organisasi”
(Organization Culture) GKSBS secara terus menerus.
12
Berdasarkan rumusan di atas, maka eklesiologi GKSBS Rumah Bersama adalah proses
perjumpaan pengalaman komunitas secara terus menerus yang dibangun di atas nilai-nilai:
penerimaan, penghargaan dan pemberdayaan dalam menjalankan misi Allah di tengah
dunia.
BAB IV
PENUTUP
Rumusan eklesiologi GKSBS sebagai Rumah Bersama lahir dari proses perjumpaan individuindividu yang terpanggil untuk menjalankan misi Kristus di tengah dunia. Perjumpaan
pengalaman individu-individu itu melahirkan persekutuan orang-orang percaya yang disebut
dengan Gereja. Di dalam persekutuan orang-orang percaya (Gereja), Firman Allah diwartakan
dan Perjamuan Kudus dilayankan. Gereja senantiasa memperlengkapi dirinya secara terus
menerus melalui organisasi gereja dalam menjalankan misi Kristus demi terwujudnya keadilan,
perdamaian dan keutuhan ciptaan.
Melalui proses perjumpaan tradisi, sejarah dan pergumulan iman jemaat yang senantiasa
berkembang, maka GKSBS harus terus menerus melakukan perubahan-perubahan dalam
membangun identitas dan memperbaharui tindakan-tindakannya dalam menjalankan misi
Kristus. Berdasarkan kesadaran tersebut, maka dalam merumuskan eklesiologi GKSBS Rumah
Bersama, pengalaman jemaat GKSBS yang beragam dipilih sebagai pijakannya.
13
DAFTAR REFERENSI:
1. Kris Budiman, Analisis Wacana-Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi, (Yogyakarta : Buku
Baik, 2002).
2. Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, A Treatise in
The Sociology of Knowledge, Pinguin Books, 1991.
3. Hasil Konven Pendeta 2011, Makalah-makalah yang disampaikan oleh para narasumber
dalam studi dan seminar: Konven 2007&2012, Lokakarya Diakonia (2010), Studi
Eklesiologi (2012), studi Metafor (2012), Lokakarya Eklesiologi (2013). Buku-buku:
Institutio-Calvin, Dokumen WCC-BEM, Buku Putih GKSBS, Makalah “Rumah Bersama”.
Analisa data dilakukan dengan menggunakan Pendekatan kualitatif Grounded Approach ;
hasil penelitian di dapat secara langsung dari sumber / subyek data.
4. Makalah “Membangun Eklesiologi GKSBS yang Kontekstual dan Aseptabel (Sebuah
“telling story)”, Pdt. Dwi Janarto, 2011.
5. Data diambil dari Hasil diskusi Eklesiologi, dalam Makalah “GKSBS Rumah Bersama. Studi
Eklesiologi Berbasis Pengalaman”, Pdt. Surahmat Hadi, 2013.
6. Akta Sidang XVIII Sinode GKSBS tahun 1987, Artikel 119 : Pertambahan jumlah anggota
gereja yang pesat menjadikan Sinode GKSBS disahkan menjadi Sinode Mandiri pada
tanggal 6 Agustus 1987 di Yogyakarta.
7. Makalah “Berbagi Cerita dan Pengalaman Sejarah Bergereja di GKSBS”, Pdt. Bambang
Sumarsono, 2012.
8. Makalah “Eklesiologi GKSBS:GKSBS sebagai Rumah Bersama”, Pdt. Prasetyanto Aji, 2013
dan Institutio-Calvin.
9. Hasil diskusi kelompok dalam Diskusi Eklesiologi 2013.
10. Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan merupakan tema Misi dan Evangelisasi
Dewan Gereja-gereja Dunia. Lih. Dokumen WCC: WCC Porto Alegre Assembly in 2006.
11. Nilai Berbagi merupakan hasil dari Lokakarya Nasional mengenai Panggilan Diakonia
(Diaconia Calling), Metro-Lampung, 2009.
12. Makalah “Paradigma Menggereja di GKSBS” tulisan Pdt. Christya Prihanto Poetro dalam
Seminar Sehari “Mengagas Arah Menggereja GKSBS”, GKSBS Belitang, 30 Nopember
2011.
13. RENSTRA GKSBS 2005 dan Lokakarya Diakonia 2009.
14. Laporan Tahunan MPS GKSBS 2007.
15. Tiga Pijakan Eklesiologi Rumah Bersama ini merupakan Instrumental Values atau nilainilai yang menjadi landasan dari keseluruhan proses perumusan eklesiologi GKSBS.
Terminal Values atau hasil dari proses tersebut tertuang dalam bentuk rumusan
Eklesiologi “Rumah Bersama” GKSBS. Eklesiologi ini yang membentuk “Budaya
Organisasi” (Organization Culture) GKSBS secara terus menerus.
16. Chr. De Jonge dan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja?: Pengantar Sejarah
Eklesiologi, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009.
14
Download