Beberapa Teori Rules Dalam Studi Komunikasi

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Teori Komunikasi
Realitas Sosial, Budaya, Dan
Komunikasi
Fakultas
Program Studi
Fakultas Ilmu
Komunikasi
Bidang Studi
Advertising and
Marketing
Communication
Tatap Muka
11
Kode MK
Disusun Oleh
MK85004
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Abstract
Kompetensi
Realitas suatu budaya dicerminkan dalam bentuk ujaran yang
dihasilkan oleh para anggotan budaya tersebut. Realitas sosial
lebih sebagai suatu hal yang berkaitan dengan aturan-aturan.
Meskipun demikian, situasi sosial acapkali bersifat kompleks dan
mungkin terdapat banyak makna dan tindakan yang dapat
diasosiasikan dengan suatu peristiwa. Oleh karenanya, salah satu
persoalan penting komunikasi adalah untuk menjalin atau
mengkoordinasikan aturan-aturan dengan individu-individu lainnya
dalam berbagai situasi.
Mahasiswa mampu
memahami realitas sosial,
budaya dan komunikasi.
Realitas Sosial, Budaya, Dan Komunikasi
Budaya memiliki ukuran yang tegas mengenai apa artinya sebagai seseorang dan
individu menggolongkan dirinya sebagai seseorang sesuai dengan teori-teori diri yang
dibentuk secara sosial. Realitas suatu budaya dicerminkan dalam bentuk ujaran yang
dihasilkan oleh para anggotan budaya tersebut. Penjelasan yang diberikan oleh para
anggota budaya atas perilaku mereka menjadi sangat penting dalam mengekspresikan dan
menghasilkan kembali realitas kelompok.
Realitas sosial dibentuk melalui proses komunikasi. Realitas sosial lebih sebagai
suatu hal yang berkaitan dengan aturan-aturan. Aturan merupakan pemandu untuk
memahami peristiwa dan menanggapinya. Orang berbicara dan bertindak untuk mencapai
tujuan dan pencapaian ini dipandu oleh aturan-aturan yang ada dalam masyarakat.
Meskipun demikian, situasi sosial acapkali bersifat kompleks dan mungkin terdapat banyak
makna dan tindakan yang dapat diasosiasikan dengan suatu peristiwa. Sedangkan orang
berkomunikasi untuk mengartikan kejadian-kejadian yang ditangkap oleh inderanya dan
membagikan pengertian tersebut kepada orang lain malalui gaya dan bahasanya sendiri.
Oleh karenanya, salah satu persoalan penting komunikasi adalah untuk menjalin atau
mengkoordinasikan aturan-aturan dengan individu-individu lainnya dalam berbagai situasi.
Komunikasi Dan Konstruksi Sosial Realita
Pengertian dan pemahaman kita, pada dasarnya, timbul dari komunikasi kita dengan
orang lain. konsep tentang realitas semacam ini tertanam kuat dalam pemikiran-pemikiran
sosiologi. Beberapa tokoh utamanya adalah Peter Berger dan Thomas Luckmann yang
menulis buku “The Social Construction of Reality”. Dengan dukungan dari aliran interaksi
simbolis dan landasan yang dibuat oleh Schutz, Berger, dan Luckmann, pendekatan
konstruksi sosial realitas telah menjadi gagasan penting dan populer dalam ilmu sosial.
Menurut Kenneth Gergen, gerakan ini memusatkan perhatiannya pada proses dimana para
individu menanggapi kejadian di sekitarnya berdasarkan pengalaman mereka. Ada empat
asumsi yang mendasari pemikiran tersebut, antara lain:
1. Suatu kejadian (realitas) tidak hadir dengan sendirinya secara objektif, tetapi
diketahui atau dipahami melalui pengalaman yang dipengaruhi oleh bahasa
2. Realitas dipahami melalui kategori-kategori bahasa secara situasional yang tumbuh
dari interaksi sosial di dalam suatu kelompok pada saat dan tempat tertentu
3. Bagaimana suatu realitas dapat dipahami, ditentukan oleh konvensi-konvensi
komunikasi yang dilakukan pada saat itu. Oleh karenanya, stabil tidaknya
pengetahuan lebih tergantung pada variasi kehidupan sosial daripada realitas
objektif di luar pengalaman
4. Pemahaman-pemahaman terhadap realitas yang tersusun secara sosial membentuk
banyak aspek-aspek penting lain dari kehidupan. Bagaimana kita berpikir dan
berperilaku dalam kehidupan sehari-hari pada dasarnya merupakan persoalan
bagaimana kita memahami realitas kita
‘13
2
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Diantara berbagai aspek terpenting dari kehidupan sosial adalah definisi mengenai diri (self)
yang terkait dengan orang lain. Ada dua teori yang menekankan pada peranan komunikasi
dalam “self-definition”
1.
Eksistensi Sosial Dan Personal
Rom Harre mengembangkan teori mengenai diri (self). Dia dan Paul Secord
memperkenalkan “ethogeny”, yaitu studi tentang bagaimana seseorang memahami tindakan
mereka di suatu peristiwa (episode) tertentu. Sebuah episode adalah suatu rangkaian
tindakan yang dapat diperkirakan dan semua pihak yang terlibat mengartikannya sebagai
suatu peristiwa yang ada permulaan dan ada akhirnya. Jamuan makan malam, argumentasi,
upacara wisuda, negosiasi merupakan contoh dari episode. Fokus dari ethogeny adalah
bagaimana arti episode bagi para partisipannya dan bagaimana mereka memahami
berbagai tindakan yang membentuk episode. Kemudian bahasa yang dipergunakan orang
untuk menggambarkan dan menjelaskan episode mencerminkan pemahaman orang-orang
tersebut terhadap episode tadi.
Kelompok sosial atau komunitas, melalui interaksi membentuk teori-teori untuk
menjelaskan pengalaman tentang realitas. Suatu teori kelompok memberikan penjelasan
tentang pengalaman yang mencakup suatu skenario mengenai apa konsekuensi logis dari
tindakan tertentu dalam sebuah episode. Harre menyebutnya sebagai “structured template”
yaitu proses tindakan yang diantisipasi dalam episode. Sebagai contoh, sepasang remaja
yang sedang jatuh cinta. Mereka akan memiliki teori mengenai definisi cinta itu dan
bagaimana seharusnya tindakan yang dilakukan oleh mereka yang saling mencintai. Teori
tersebut akan menjadi eksplisit jika mereka diminta untuk menggambarkan, menjelaskan,
atau mengartikan tindakan-tindakan mereka.
Makna yang melekat pada berbagai peristiwa dalam satu episode akan memunculkan
aturan-aturan yang mengarahkan tindakan-tindakan partisipan dalam episode tersebut.
partisipan menjadi tahu bagaimana harus bertindak karena adanya peraturan-peraturan
yang berlaku pada suatu saat tertentu. Contoh pasangan remaja yang sedang berkencan,
maka peraturan pertama yang dilakukan oleh sang kekasih adalah menjemput sang gadis di
rumahnya, kemudian membeli tiket bioskop dan menontonnya, hingga mengantarkan
kembali sang gadis pulang ke rumahnya. Episode kencan tersebut tentunya akan berbeda
bagi pasangan lainnya, yang memiliki batasan tersendiri mengenai kencan dan rangkaian
tindakannya.
Sebagaimana halnya dengan pengalaman, diri (self) juga disusun oleh suatu teori
personal, yaitu bahwa individu belajar untuk memahami dirinya sendiri melalui satu atau
sekelompok teori yang mengkonsepsikan siapakah’diri’ individu tersebut. Dengan demikian,
pemahaman seseorang mengenai ‘self’ merupakan suatu konsep teoritis yang berasal dari
pengertian tentang kepribadian yang terdapat dalam budaya dan diekspresikan melalui
komunikasi. Harre membedakan orang dari ‘self’. Orang adalah makhluk kasat mata dengan
semua atribut dan sifat-sifat seperti yang terdapat dalam suatu budaya atau kelompok sosial
tertentu. Sedangkan ‘self’ adalah pemahaman pribadi seseorang mengenai keberadaannya
sebagai seseorang. Karakteristik seseorang dijelaskan oleh teori kelompok mengenai
kepribadian, sedangkan diri dijelaskan oleh teori individu mengenai keberadaan dirinya
sebagai anggota suatu budaya. Sebagai contoh, banyak budaya tradisional
mengkonsepsikan seseorang berdasarkan perannya, seperti ayah, ibu, dll. Sementara itu,
‘13
3
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
individu memiliki sifat, perasaan, dan karakter tersendiri sebagai individu di dalam konteks
budaya tertentu.
Teori tentang ‘diri’ dipelajari melalui interaksi dengan orang lain. sepanjang hidupnya
orang yang mempelajari bahwa tiap individu memiliki pandangan yang berbeda dan diri
adalah pelaku otonom dengan kekuatan untuk melakukan sesuatu. Harre menunjukkan
bagaimana dimensi-dimensi pribadi dan personal sesungguhnya berangkat dari proses
sosial. Pemikiran, keinginan, dan emosi kita pada dasarnya dipelajari melalui interaksi
sosial. Tepatnya, pandangan yang dimiliki seseorang, sifat dari pandangan tersebut, serta
tingkat dan ciri-ciri pribadi bergantung pada teori diri orang tersebut dan sangat berbeda dari
satu budaya ke budaya lainnya.
Konsep diri terdiri dari seperangkat elemen yang dapat dipandang dalam dimensi.
Dimensi pertama ‘display’, yaitu bagaimana suatu aspek dapat dilihat oleh orang lain atau
tetap tersimpan secara pribadi. Misalnya, emosi relatif lebih bersifat pribadi, sementara
kepribadian dapat diketahui oleh orang lain. Dimensi kedua adalah realisasi atau sumber.
Dimensi ini mencakup tingkatan dimana beberapa bentuk diri dianggap muncul dari dalam
individu, disamping tumbuh dari suatu kelompok. Elemen-elemen yang dianggap muncul
dari dalam diri seseorang adalah kenyataan individual (individually realized), sementara
elemen yang tumbuh dari hubungan seseorang dengan suatu kelompok adalah kenyataan
kolektif. Contoh, tujuan (purpose) dapat digolongkan sebagai kenyataan individual karena
tujuan merupakan sesuatu yang dimiliki dan diketahui oleh seseorang. Sebaliknya kerja
sama merupakan kenyataan kolektif karena hanya dapat dilakukan oleh seseorang sebagai
anggota kelompok. Dimensi ketiga adalah ‘agency’ yaitu tingkat kekuatan aktif yang terdapat
pada diri. Elemen-elemen aktif, seperti berbicara atau mengemudikan mobil berlawanan
dengan elemen-elemen pasif seperti mendengarkan atau menumpang mobil.
Semua teori mengenai diri mempunyai tiga elemen yang sama. Pertama, semuanya
mengandung suatu kesadaran diri (self-consciousness). Kedua, ‘agency’ yaitu kekuatan
yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Ketiga, ‘autobiography’ atau
identitas seseorang yang memiliki sejarah dan masa depan.
2.
Pertanggungjawaban Sosial (Social Accountability)
John Shotter menyajikan suatu teori dengan memperluas pemikiran dengan bahasan
baru, yaitu tanggung jawab dan moralitas. Shotter yakin bahwa pengalaman manusia tidak
dapat dipisahkan dari komunikasi. Komunikasi yang kita lakukan sekaligus merelfeksikan
dan membentuk pengalaman kita mengenai realitas. Singkatnya pengertian dan
pengalaman kita tentang realitas terbentuk berdasarkan cara-cara kita berbicara dalam
usaha untuk menjelaskannya.
Hubungan antara komunikasi (berbicara dan memberi penjelasan) dan pengalaman
membentuk suatu putaran (loop). Komunikasi menentukan bagaimana realitas dipahami
(dialami) dan pengalaman (pemahaman terhadap realitas) mempengaruhi komunikasi. Oleh
karenanya, pemahaman yang menyangkut orang tidak dapat lepas dari pemahaman
terhadap hubungan antarmanusia. Lingkungan yang ada merupakan suatu ‘umwelt’ yang
pada dasarnya adalah suatu domain moral dari hak, tuas, wewenang, dan kewajiban.
Kerangka moral pengalaman manusia diekspresikan dalam dan melalui komunkasi. Untuk
‘13
4
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
melindungi otonominya, orang harus dapat menjelaskan bukan hanya atas tindakantindakannya, tetapi juga mengenai dirinya sendiri, misalnya siapa dan apa orang tersebut.
Pendekatan ‘Rules’ Dalam Studi Komunikasi
Agar komunikasi dapat berlangsung, individu-individu yang berinteraksi harus
menggunakan aturan dalam menggunakan lambang-lambang. Bukan hanya aturan
mengenai lambang itu sendiri, tetapi mereka juga harus sepakat dalam hal giliran berbicara,
bagaimana bersikap sopan, bagaimana harus menyapa, dsb. jika setiap individu
menggunakan lambang secara acak, maka yang terjadi adalah suasana kacau dan bukan
komunikasi.
Rules merupakan suatu mekanisme dimana perilaku sosial disorganisasi. Struktur
dari interaksi hanya dapat dipahami melalui aturan-aturan (rules) yang mengaturnya. Rules
mempengaruhi pilihan yang ada pada situasi tertentu dan karena sifatnya yang kontekstual,
rules menjelaskan mengapa orang berperilaku sama dalam situasi serupa dan berperilaku
lain pada situasi berbeda.
Beberapa pendekatan ‘rules’ dikemukakan oleh Barnett Pearce sebagai berikut:
pendekatan ‘rule-following’; pendekatan ‘rule-governed’; dan pendekatan ‘rule-using’.
pendekatan ‘rule-following’, disini rule dipandang sebagai pengatur perilaku dimana polapola pengulangan terjadi sebagai suatu aturan. Perace menyebutnya sebagai hukum-hukum
yang lunak karena diterapkan dalam bentuk pernyataan mengenai apa yang diharapkan
terjadi dalam suatu situasi tertentu. Pendekatan ini hanya bertujuan untuk menyusun
berbagai perkiraan perilaku.
Pendekatan ‘rule-governed’, disini rule dipandang sebagai apa yang seharusnya dan
tidak seharusnya dilakukan untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu situasi tertentu.
Pendekatan ini berusaha mengungkapkan tujuan seseorang dan merumuskan cara-cara
mencapai tujuan yang dapat diterima oleh masyarakat. Contoh: ketika A sedang ingin
berbicara dengan B, namun B sedang berbicara dengan C. Maka, A akan menghampiri
keduanya dan tidak menyela pembicaraan mereka hingga mereka menyadari kehadirannya.
Jika menyela, maka itu akan menyalahi aturan atau dianggap tidak sopan dan mengganggu
tujuan A untuk berbicara dengan B. Pendekatan ini menganggap bahwa orang memahami
aturan tersebut dan memiliki kekuatan untuk menaati atau melanggarnya. ‘Rule-governed’
juga berasumsi bahwa seorang bertindak secara sadar, memiliki tujuan, dan rasional.
Pendekatan ‘rule-following’, disini rule dianggap seperti pada ‘rule-governed’ hanya
saja situasi sosial yang dihadapi lebih kompleks. Seseorang biasanya dihadapkan pada
berbagai aturan untuk mencapai berbagai tujuan. Orang tersebut akan memilih aturan yang
mana yang akan ia pakai untuk mencapai tujuannya, yaitu dengan memakai sejumlah
aturan yang sesuai dan mengesampingkan sejumlah aturan lainnya. Jadi aturan ini
memberikan suatu dasar untuk mengevaluasi pilihan yang diambil oleh seseorang dalam
suatu situasi sosial atau memungkinkannya untuk membuat pilihan baru. Rule-using’ juga
memberi kita peluang untuk mengkaji kompetensi komunikai dengan mengamati sejauh
mana seseorang dapat dengan baik memilih tujuan dan aturan yang sesuai untuk
mempersiapkan suatu interaksi (komunikasi). Pendekatan ini bersifat lebih luas dan sesuai
untuk mengkaji persiapan pidato, pengorganisasian suatu pertemuan, penulisan surat, dsb.
‘13
5
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Beberapa kajian spesifik tentang ‘rules’ adalah sebagai berikut. Filsafat bahasa
sehari-hari (Ordinary language philosophy) dicetuskan oleh filsuf Jerman, Ludwig
Wittgenstein. Teorinya bahwa makna dari bahasa tergantung dari konteks penggunaannya
dan satu kata yang berdiri sendiri jarang memiliki makna. Bahasa sehari-hari menunjukkan
suatu permainan bahasa (language game). Dengan kata lain, orang mengikuti aturan
tertentu untuk bertindak verbal (bercaka-cakap). Menetapkan dan menaati aturan, bertanya
dan menjawab pertanyaan, menceritakan suatu peristiwa adalah contoh-contoh dari
penggunaan bahasa yang mengikuti aturan sehingga dikatakan sebagai permainan bahasa.
Selanjutnya adalah Teori Tindak Ujaran (Speech Act).
Berawal dari karya
Wittgenstein dan Austin, John Searle mengembangkan teori ini. Tindak ujaran merupakan
satuan terkecil dari bahasa untuk mengekspresikan makna, suatu perkataan yang
mengekspresikan suatu tujuan. Teori ini dapat berupa kalimat, kata, atau anak kalimat,
sejauh mengikuti aturan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Karakteristik tindak ujaran
adalah komunikan memahami apa yang menjadi tujuan komunikator. Teori ini
mementingkan tujuan dari suatu tindakan.
Searle membagi tindak ujaran kedalam empat bentuk. Pertama, pengucapan yang
merupakan pengucapan kata-kata termasuk intonasinya. Tujuannya tidak lebih dari sekedar
mengucapkan. Kedua, proposisi yang mengacu pada gaya bicara, yaitu pengucapan suatu
kalimat dengan tujuan untuk mengekspresikan suatu maksud. Ketiga, yaitu ‘illocutionary act’
yang ditujukan untuk memenuhi tujuan dengan menggunakan tindakan ujaran untuk menarik
atau menciptakan respon. Keempat, ‘perlocutionary act’ yang ditujukan untuk menghasilkan
efek atau konsekuensi pada perilaku orang lain.
‘Illocution’ (ilokusi) adalah suatu tindakan dimana maksud utama komunikator adalah
supaya komunikan memahami tujuan komunikator tersebut. ‘Perlocution’ adalah suatu
tindakan dimana komunikator menginginkan komunikan bertindak sesuai dengan tujuan
yang telah dipahami tersebut. Proposisi dapat diartikan sebagai suatu aspek dari isi
illocution. Proposisi menunjukkan kualitas dari suatu objek, situasi, atau peristiwa. Proposisi
yang diucapkan oleh komunikator adalah tindak ujaran dan bagaimana proposisi tersebut
dapat diterima oleh komunikan adalah kekuatan illocution. Sebagai contoh, kita
mengungkapkan proposisi “Roti ini enak rasanya” dengan nada sinis, sehingga makna yang
terkandung adalah sebaliknya: roti ini tidak enak rasanya.
Searle menekankan bahwa “Berbahasa adalah terlibat dalam suatu bentuk perilaku
yang diarahkan oleh aturan-aturan (rule-governed).” Terdapat dua bentuk aturan penting.
Pertama adalah ‘Constitutive Rules’. Dalam tindak ujaran, tujuan seseorang dapat dipahami
oleh orang lain dengan aturan-aturan yang sudah dinyatakan secara jelas (constitutive rules)
karena aturan-aturan ini menyatakan pada yang lain apa arti suatu tindakan tertentu. Kedua,
‘Regulative Rules’. Memberikan petunjuk untuk bertindak sesuai dengan perilaku umum.
Perilaku ini sudah dikenal dan sudah ada sebelum digunakan dalam tindakan. Aturan
regulative menunjukkan bagaimana menggunakan perilaku tersebut untuk mecapai tujuan
tertentu. Misalnya, tuan tumah yang membukakan pintu bagi tamunya ketika akan pulang.
Meskipun ada banyak tindakan ujaran yang bersifat langsung, namun ada juga
tindak ujaran yang bersifat tidak langsung. Sebagai contoh, ayah mengajak anak-anaknya
untuk datang ke meja makan dengan berkata: “Apakah kalian tidak lapar?”. Secara eksplisit
pernyataan tersebut berupa pertanyaan, namun sebenarnya adalah sebuah permintaan.
‘13
6
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Searle juga mengemukakan lima jenis tindakan illocutionary. Pertama, ‘assertives’,
yaitu pernyataan mengenai suatu proposisi yang mengikat komunikator untuk
mengemukakan kebenaran dari proposisinya dalam bentuk tindak ujaran yang bersifat
langsung, seperti menyimpulkan, meyakini, dsb. Kedua, ‘directives’, yaitu berusaha
membuat komunikan melakukan sesuatu. Ini dapat berarti permintaan, perintah, himbauan,
dsb. Ketiga, ‘commissives’, yaitu mengikat komunikator pada tindakan di kemudian hari,
meliputi janji, sumpah, jaminan, dsb. Keempat, ‘expressives’, yaitu tindakan yang
mengkomunikasikan beberapa aspek dari keadaan psikologi komunikator, seperti ucapan
selamat, terima kasih, bersimpati, dsb. Kelima, ‘declaration’, yaitu penegasan yang diikuti
oleh tindakan, seperti menugasi, menikahi, mengundurkan diri, dsb.
Beberapa Teori Rules Dalam Studi
Komunikasi
Setelah kita membahas mengenai pendekatan ‘rules’ secara sekilas sebelumnya,
sekarang kita akan membahas teori-teori ‘rules’. Ada 3 teori penting yang akan dibahas,
yakni teori rule-governing dari Schimanoff, teori contingency rules, dan coordinated
management of meaning.
1.
Teori rule-governing
Teori ini dicetuskan oleh Susan Schimanoff setelah ia meneliti berbagai literatur
mengenai aturan-aturan (rules). Dialah yang pertama kali mengembangkan ‘rules theory’ di
bidang komunikasi. Schimanoff mendefinisikan suatu aturan atau rules sebagai “ketentuan
yang dapat diikuti yang memberikan indikasi mengenai perilaku mana yang di wajibkan,
lebih disukai, atau dilarang dalam konteks tertentu”. Dari definisi ini terdapat 4 elemen
cakupan meliputi:
a. Rules harus dapat ditaati, kriteria ini menyatakan bahwa suatu aturan dapat ditaati
atau dilanggar, namun hanya jika tidak punya opsi untuk bertindak.
b. Rules bersifat menentukan, aturan memiliki batas-batas terhadap hal-hal yang
seharusnya dilakukan, lebih disukai, atau dilarang. Dan kegagalan dalam
pelaksanaannya dapat menimbulkan efek negatif seperti celaan atau kritikan.
c. Rules bersifat kontekstual, Schimanoff menyatakan bahwa setiap aturan memiliki
kontekstualitas yang berbeda, beberapa menyatakan bahwa aturan bersifat
idiosyncratic (tiap situasi memiliki seperangkat aturan sendiri). Sementara yang
lainnya lebih melihat aturan secara universal dan hampir berlaku disetiap situasi.
Namun Schimanoff menengahi keduanya, karena aturan adalah sarana untuk
memahami perilaku yang terorganisasidan terjadi berulangkali, maka minimal
harus dapat diterapkan pada 2 kejadian yang berbeda sebagai bukti potensi yang
cukup luas untuk bisa diterapkan di berbagai kondisi.
d. Rules merinci perilaku yang sesuai, yakni dengan mencantumkan apa yang wajib
dan haram dilakukan, namun tidak membatasi bagaimana kita harus berfikir,
merasa, atau mengartikan sesuatu.
Untuk mengetahui suatu aturan dengan tepat, kita harus mengetahui konteks dan
konten-kontennya, Schimanoff menyatakan bahwa format “jika-maka” akan membantu kita
mengidentifikasi elemen suatu aturan/rules.namun hal ini tidak bertujuan untuk menunjukkan
hubungan sebab-akibat. Selain itu, Schimanoff juga mengemukakan model mengenai aturan
‘13
7
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
perilaku yang menjelaskan delapan hubungan bentuk hubungan antara perilaku dan aturan,
dan terbagi atas 2 bagian sama rata dan saling berhubungan dimana satu bagian perilaku
menyimpang dan satu lainnya adalah perilaku yang sesuai aturan, Untuk memudahkan, kita
bisa menggambarkannya kedalam tabel berikut:
N Perilaku yang sesuai
1
Perilaku Menyimpang
Perilaku
menaati peraturan (rule-following)
2
Perilaku melanggar peraturan (ruleviolation)
3
Perilaku yang sesuai peraturan
(conforming)
4
Perilaku yang menyalahi peraturan (error)
Perilaku yang memenuhi aturan (rulefulfilling)
Tidak menghiraukan aturan (rule-ignorant),
termasuk bila tidak mengetahui adanya
aturan yang berlaku.
Perilaku reflek positif (positive reflection)
Perilaku reflek negatif (negative reflection)
2.
Teori Contingency Rules (Aturan Kontingensi)
Teori aturan kontingensi dikemukakan oleh Mary John Smith dengan penerapan
pendekatan penggunaan aturan terhadap situasi-situasi persuasif. Dalam teori ini ada 3
asumsi: (1) Orang bertindak karena memiliki tujuan tertentu dan tindakannya dipengaruhi
perkiraan akan hasil yang didapat. (2) Persuasi dikendalikan lebih pada pilihan-pilihan
pribadi seseorang daripada pengaruh orang lain. (3) Ganjaran dari orang lain hanya berarti
dalam konteks tujuan-tujuan dan ukuran pribadi seseorang.
Aturan yang memandu tindakan seseorang terdiri atas 2 jenis, yakni self-evaluative
dan adaptive. Adapun aturan self-evaluative berhubungan erat dengan konsep diri dan
mencakup identitas diri (self identity) dan memelihara citra (image maintaining). Sedangkan
aturan adaptive menunjukkan apakah sesuatu tindakan akan bernilai efektif dan
menguntungkan dalam suatu situasi tertentu. Aturan adaptive meliputi environmental
contingency rules yang membantu kita untuk memilih tindakan yang bernilai positif bagi kita
maupun orang lain yang bersangkutan. Dan interpersonal relationship rules (aturan
hubungan antar pribadi) yang diciptakan untuk membantu seseorang untuk mengnai caracara memlihara hubungan antar pribadi, namun dapat juga berbentuk norma sosial (social
normative) yang mengajarkan kita apa yang dianggap sesuai oleh norma sosial yang
berlaku.
Aturan bersifat kontingensi, yaitu aturan yang tergantung pada situasi dimana
persuasi akan berlangsung. Banyak aspek dari konteks yang berada diluar kontrol partisipan
komunikasi, namun banyak juga aspek yang tercipta karena tindakan para partisipan itu
sendiri, tergantung pada sifat hubungan antarpartisipannya, tujuan mereka, tingkat
kesepakatan atau ketidaksepakatn terhadap subyek yang sedang dibahas. Karena
hubungan yang berbeda akan memilik aturan yang berbeda pula, jika tujuan partisipan
berubah maka aturannya juga berubah.
‘13
8
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
3.
Makna)
Teori Coordinated Management Of Meaning (Koordinasi Pengelolaan
Teori yang dikembangkan W. Barnett Pearce dan Vernon Cronen ini
mengintegrasikan atau menghubungkan beberapa teori komunikasi terdahulu, yakni teori
simbolic interactionism, ethogeny, system theory, speech act, dan relational communication
sebagai suatu teori komunikasi yang komperhensif. Teori ini memiliki penerapan yang luas
pada berbagai situasi komunikasi.
Pearce dan Cronen meminjam konsep aturan constitutuve dan regulative serta teori
tindak ujaran, dan menempatkannya sebagai pusat kajian mereka. Pada dasarnya aturan
constitutive ini adalah aturan-aturan makna (rules of meaning) yang digunakan partisipan
untuk mengartikan atau memahami suatu peristwa. Sedangkan aturan regulative pada
dasarnya adalah aturan tindakan (rules of action) yang digunakan untuk menentukan
bagaimana memberi respon atau perilaku.
Pearce dan Cronen memandang konteks sebagai sebuah hierarki yang terdiri atas 4
jenis dimana tiap jenis adalah bagian dari konteks selanjutnya. 4 konteks tersebut adalah
konteks relationship meliputi harapan dari anggota yang berinteraksi. Konteks episode
(didasarkan pada analisis episode mili Harre dan Secord) menjelaskan suatu kejadian.
Konteks Self-Concept, yang merupakan pemahaman seseorang tentang dirinya sendiri. Dan
konteks archetype adalah suatu citra mengenai kebenaran umum.
Namun perlu diketahui, susunan konteks diatas tidak berlaku secara universal, alias
akan berubah terus-menerus susunannya, dan ada kemungkinan akan hadirnya konteks lain
yang menentukan interpretasi dan tindakan-tindakan. Karena orang memiliki kecenderungan
untuk menciptakan konteks baru dalam rangka mencapai perubahan dalam pemahaman
dan tindakan mereka.
Sistem aturan menunjukkan adanya suatu kekuatan logika untuk melakukan
tindakan, dan orang akan bertindak sesuai dengan aturan tersebut. Ada 2 logical force yang
terjadi dalam komunikasi. Yaitu kekuatan logika Prefiguration, yang merupakan pertalian
antara anteseden dan tindakan dimana seseorang dipaksa untuk berperilaku tertentu karena
kondisi-kondisi sebelumnya. Dan kekuatan logika Practical, adalah pertalian antara tindakan
dan konsekuensi dimana orang berperilaku tertentu dalam rangka mencapai kondisi
berikutnya/mendatang.
Persoalan mendasar dalam komunikasi adalah ketika seseorang hendak
berinteraksi, dia tidak mengetahui secara persis model aturan yang akan dipakai lawannya.
Oleh karena itu, tugas utama dalam setiap komunikasi adalah untuk mencapai dan
mempertahankan beberapa bentuk koordinasi. Koordinasi adalah menjalin tindakan
seseorang dengan orang lainnya sampai pada suatu titik perasaan dimana suatu rangkaian
tindakan dianggap logis. Pokok persoalan bagi koordinasi adalah tiap individu harus
menggunakan aturan-aturan untuk menginterpretasikan dan menanggapi tindakan orang
lainnya.
Teori-Teori Komunikasi Tentang Bahasa Dan
Budaya
Secara umum studi mengenai bahasa dan budaya dikenal dengan sebutan Sociolinguistics.
Yang merupakan suatu pengertian yang sangat luas yang mencakup studi tentang bahasa
‘13
9
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
yang menggunakan data sosial ataupun sebaliknya yaitu studi tentang kehidupan sosial
yang menggunakan bahasa sebagai salah satu data.
Ada dua konstribusi teoretis dalam pembahasan bahasa dan budaya yaitu :
1.
Relativitas Linguistik (Relativitas Bahasa)
Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf membuat hipotesis mengenai teori Relativitas
Bahasa. Sapir mengungkapkan bahwa “struktur bahasa suatu budaya menentukan perilaku
dan pola pikir dalam budaya tersebut“ artinya bahwa suatu kebudayaan yang berkembang di
masyarakat tidak mungkin bisa terlepas dari bahasa yang digunakan dalam masyarakat
yang berada di lingkungan tersebut karena bahasa digunakan sebagai sarana dalam
berlangsunya interaksi budaya.
Menurut hipotesis Sapir-Whorf hubungan antara bahasa dan budaya yang pertama
mengenai struktur bahasa yang menentukan cara-cara penutur bahasa tersebut
memandang dunianya dan yang kedua mengenai budaya masyarakat tercermin dalam
bahasa yang mereka pakai, karena mereka memiliki segala sesuatu dan melakukannya
dengan cara tertentu yang mencerminkan apa yang mereka nilai dan apa yang mereka
lakukan.
Pernagkat-perangkat budaya tidak menentukan struktur bahasa, tetapi perangkat-perangkat
budaya tersebut jelas mempengaruhi bagaimana bahasa digunakan dan mungkin
menentukan mengapa butiran-butiran budaya tersebut merupakan cara berbahasa.
2.
Etnografi Komunikasi
Etnografi adalah studi budaya dimana pengamat (etnografer) dari luar budaya tersebut
berusaha untuk mengartikan perilaku kelompok yang dipelajari. Hal ini dilakukan agar orang
dari berbagai budaya saling memahami satu dengan lainnya.
Dalam hal ini yang dijelaskan oleh etnografer tidak hanya penjabaran tentang perilaku dari
suatu kelompok melainkan penyusunan suatu model interpretasi yang memungkinkan
seseorang dapat memahami perilaku tersebut. Etnografi berusaha mencapai kejelasan
dengan memahami praktik-praktik yang masih dianggapnya asing dengan melakukan
pengamatan, pengkajian dan pengalaman yang cermat, untuk menciptakan penjelasan yang
dapat membuat tindakan tersebut dipahami.
Proses etnografis adalah suatu tahapan bolak-balik antara konsep-konsep orang yang
berada dalam budaya (experience-near) dan konsep-konsep pengamat yang disebut
(experience-distant) dan akhirnya terbentuk konseptualisasi yang memungkinkan pengamat
untuk mengartikan suatu fenomena yang mendekati konsep dari budaya tersebut sehingga
konseptualisasi dari etnografer dapat dipahami pula oleh orang-orang luar lainnya.
Jadi etnografi adalah suatu proses dimana pemahaman seseorang menjadi lebih meningkat
dan akurat. Sedangkan etnografi komunikasi adalah penerapan metode-metode etnografi
pada pola komunikasi suatu kelompok. Tujuannya adalah pengamat berusaha untuk
menginterpretasikan bentuk komunikasi yang digunakan oleh para anggota kelompok atau
budaya.
Etnografi dicetuskan oleh seorang antropolog yaitu Dell Hymes, yang mengungkapkan
bahwa peristiwa komunikasi adalah metafora atau prespektif sebagai dasar untuk
menerjemahkan pengalaman agar dapat dipahami merupakan kenyataan yang mendasari
peran penting bahasa dalam kehidupan budaya. Tiap budaya memiliki praktik komunikasi
yang berbeda akan tetapi pasti ada “pesan” yang mensyaratkan kesamaan lambang,
‘13
10
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
partisipan yang menggunakannya, saluran, setting, bentuk pesan, topik serta peristiwa yang
diciptakan oleh penyampaian pesan. Jadi skema pertama yang dilakukan oleh etnografer
adalah dengan model “pesan” ini, namun hal ini masih belum cukup. Oleh karena itu Hymes
mengusulkan sembilan konsepsi dasar yang dapat dimasukkan dalam suatu teori.Yakni
cara-cara berbicara, gambaran ideal tentang pembicara yang cakap, komunitas ujaran,
situasi ujaran, peristiwa ujaran, tindak ujaran, komponen tindak ujaran, aturan-aturan
berbiacara di dalam komunitas, fungsi-fungsi ujaran dalam komunitas.
Daftar Pustaka
S. Djuarsa Sendjaja, Ph.D., Tandiyo Pradekso, MA. Realitas Sosial, Budaya, Dan
Komunikasi. Teori Komunikasi. Modul 8. Universitas Terbuka
Akmal Al-Jabeer. Realitas Sosial, Budaya, Dan Komunikasi. Como Un Burro
‘13
11
Teori Komunikasi
Martina Shalaty Putri, S.Sos, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download