Infrastruktur Tidak Selalu Jadi Jalan Keluar Senin, 12 April 2010 | 04:12 WIB Stockholm, Kompas - Meski infrastruktur baru terus dibangun, hal itu tak akan cukup untuk menjamin tersedianya air pada musim kemarau dan mencegah banjir pada musim hujan. Dibutuhkan manajemen pengelolaan sungai yang baik dan terintegrasi. Untuk menuntaskan persoalan sebuah sungai, menurut Danka Thalmeinerova dari Global Water Partnership dan Klas Sandstrom dari Akkadia, partisipasi masyarakat dan pengendalian kawasan lebih utama ketimbang mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk membangun infrastruktur. Pendapat itu disampaikan, pekan lalu, dalam pelatihan internasional ”Integrated Water Resources Management” di Stockholm, Swedia. Pelatihan ini dilaksanakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), lembaga konsultan Swedia Ramboll Natura, dan Stockholm International Water Institute, badan yang didirikan Swedia dan Pemerintah Kota Stockholm untuk mengurus soal air. ”Infrastruktur tak selalu merupakan sebuah jawaban terhadap pengelolaan sebuah sungai,” kata Thalmeinerova. Dia menegaskan, untuk beberapa kasus, lebih baik menata kawasan dan mencegah pembangunan di suatu lokasi daripada terus membangun infrastruktur penahan banjir. Slamet Budi Santoso, Kepala Subdirektorat Sungai, Danau, dan Waduk Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, mengakui, paradigma dunia dalam pengelolaan sungai telah berubah. ”Ketika suatu sungai dan kawasan terus saja diterjang banjir, apakah harus selalu dibangun tanggul? Anggaran negara takkan pernah cukup untuk itu. Harus ada jalan keluar,” ujar dia. Swedia, kata Budi, mengakui ada ketidaktepatan dalam pembangunan waduk dan hidropower sebab telah menghilangkan populasi ikan salmon dan mengubah pola hidup masyarakat Sami di Swedia utara, dekat dengan Artik. Sementara di Indonesia, dari penghitungan Bappenas, dibutuhkan Rp 45 triliun untuk merevitalisasi sebuah sungai di Indonesia. Citarum, misalnya, yang mempunyai tiga waduk besar butuh sekitar Rp 35 triliun. Padahal, selain Citarum, Indonesia memiliki 133 daerah aliran sungai. Kepala Subdirektorat Air Baku, Irigasi, dan Rawa Bappenas Mohammad Zainal Fatah menegaskan, tawaran solusi selain infrastruktur untuk mengelola sungai tak mudah. ”Pikiran kita sudah terarah ke infrastruktur,” ujar dia. Adapun soal pengalokasian air, menurut Sandstrom, persoalan utamanya adalah krisis manajemen. Dia mengatakan, mudah sebenarnya bagi teknisi untuk menutup kebocoran jaringan air bersih di kota-kota Asia. ”Akan tetapi, mengapa kebocorannya sampai 30-50 persen. Ini manajemen perusahaan air yang harus dibenahi,” katanya. Menurut Thalmeinerova, pengelolaan sungai, air, dan masalah lingkungan tak boleh hanya ditangani para insinyur dan aktivis lingkungan, tetapi juga oleh ahli manajemen dan keuangan. Air, kata Sandstrom, juga harus mulai diposisikan sebagai sebuah komoditas. Jadi, masalah air ditangani dengan lebih serius, termasuk dalam pengalokasiannya. ”Ini tak terkecuali pengaturan dari pembayaran air oleh para pemakai,” ujar dia. (HARYO DAMARDONO, dari Stockholm, Swedia)