I. TEORI Makanan mungkin mangandung komponene yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Komponen anti mikroba dapat secara alami di dalam bahan pangan misalnya lisosim di dalam putih telur dan asam benzoat di dalam buah tertentu (Sandjaya, 1992). Proses termal dalam suatu pengolahan pangan bertujuan untuk memperpanjang keawetan produk pangan dengan membunuh mikroba pembusuk dan patogen, memperbaiki mutu sensori, melunakkan produk, meningkatkan daya cerna protein dan karbohidrat, dan menghancurkan komponenkomponen yang tidak diperlukan. Proses termal yang berlebihan dapat merusak komponen gizi dan menurunkan mutu sensori produk. Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan pembusuk. Pengalengan secara hermetis memungkinkan makanan dapat terhindar dan kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa. Makanan kaleng adalah makanan yang diawetkan dengan pemanasan di dalam wadah yang tertutup secara hermetis. Pengepakan secara hermetis mencegah masuknya gas atau mikroorganisme ke dalam kaleng sehingga mencegah kontaminasi dari luar setelah kaleng ditutup tetap hermetis atau kaleng bocor (Fardiaz, 1992). Meskipun makanan kaleng diolah dengan menggunakan proses termal, tidak menutup kemungkinan bahwa makanan tersebut bisa terkontaminasi oleh mikroba terutama C. botulinum, karena bakteri ini dapat membentuk toksin botulin pada kondisi anaerobik didalam kemasan, terutama produk pangan dari kelompok yang berasam rendah (low acid food). Kerusakan makanan kaleng disebabkan oleh processing yang tidak sempurna (under processing), kebocoran penutupan kaleng toidak sempurna pada proses pengalengan. Kerusakan terutama disebabkan oleh mikroorganisme yang terdapat pada bahan makanan yaitu jamur, ragi dan bakteri.sel mikroorganisme tersebut dapat tumbuh pada daerah pada suhu yang bervariasi. Pada suhu dan kelembaban yang sesuai untuk pertumbuhannya maka organisme tersebut pada tumbuh sangata cepat dan menghasilkan perubahan dalam bahan makanan yang tidak disukai sebelum processing. Beberapa mikroorganisme tersebut dapat dimatikan selama procesing tetapi mikroba yang berspora tahan terhadap panas. Bila suhu prosesing tidak tercapai dan kurang tinggi maka bahan makanan kaleng tersebut masih mengandung mikroba pembusuk. Pertumbuhan mikroba tersebut menghasilkan gas dan asam atau asam saja. Semua pembusukan berasal dari mikroba yang masih hidup karena proses yang tidak sempurna. Hal ini karena adanya bakteri pembusuk yang tidak mati. Dalam bahan makanan yang berasam rendah dan sedang terdapat mikroba pembentuk spora. Dalam makanan asam terdapat khamir, cendrawan, bakteri pembentuk spora dan bakteri bukan pembentuk spora asidurik. Kerusakan makanan kaleng memiliki ciri-ciri: 1. Flat Sour, dimana isi kaleng menghasilkan bau asam atau sour flavor yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme tanpa suatu gas. 2. Swells, terjadi penggelembungan kaleng akibat terbentuknya gas dalam kemasan. 3. Hydrogen swells dan springers, penggelembungan disebabkan oleh gas hydrogen karena adanya korosi hasil reaksi dengan isi kaleng. 4. Stack Burn, kerusakan kaleng akibat penempatan kalengdan penumpukan kaleng yang pendinginannya tidak sempurna. 5. Botulinum, bakteri pembentuk spora akan tumbuh pada makanan yang termasuk non acid food yang tidak diproses secara sempurna. Suhu pertumbuhan bakteri tersebut 50o – 100oF. Suhu proses untuk membunuh spora mikroba patogen yang dapat membentuk toksin dan dapat meracuni manusia umumnya dilakukan pada 110o – 130o C selama waktu tertentu, tergantung pada kondisi dari produknya. Metoda pengalengan secara umum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu metoda pengalengan konvensional dan metoda aseptik. Pada metoda pengalengan konvensional bahan pangan berupa padatan atau caiaran yang telah disiapkan dalam kaleng atau botol ditutup rapat dan disterilisasi dalam autoklaf. Sedangkan pada metoda pengalengan aseptik bahan pangan dan kemasan dikerjakan secara terpisah. Bahan pangan diperlakukan sesuai dengan proses termalnya, sedangkan kemasan dilakukan sterilisasi terlebih dahulu. Mekanisme Pengalengan Makanan 1. Penanganan Bahan Kemasan Standar pengalengan makanan secara komersial sangat tinggi. Namun apabila terjadi kecerobohan serta kesalahan dalam penanganan kaleng atau kemasan selama pengolahan atau penyimpanan, maka akan menyebabkan kebocoran baik yang terjadi selama pemanasan atau sesudahnya. 2. Penanganan Kaleng Kosong Penanganan kemasan kaleng sebelum pengolahan meliputi penanganan kaleng kosong. Penanganan kaleng yang kasar dapat menyebabkan kebocoran kaleng. Kesempurnaan bentuk kaleng perlu mendapat perhatian, karena tonjolan bagian permukaan atau mulut kaleng yang berhubungan dengan tutup dapat mengakibatkan ketidak sempurnaan proses penutupan dan dapat mengakibatkan terjadinya kebocoran. 3. Penanganan Selama Penutupan Kaleng (double seam) Hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal penanganan kaleng adalah bahwa selalu ada kemungkinan bakteri akan masuk kembali dan mencemari produk yang telah di sterilisasi. Oleh karena itu integritas sambungan dan penutupan kaleng merupakan faktor penting. 4. Penanganan Selama Proses Termal Pemeriksaan alat pengangkutan kaleng menuju retort harus diperiksa secara periodik untuk meyakinkan kelancaran proses dan tidak merusakkan kemasan kaleng. 5. Penanganan Selama Pendinginan/Cooling Prosedur pendinginan perlu dibakukan, terutama untuk mengontrol perubahan atau perbedaan tekanan yang terjadi karena proses pendinginan yang terlalu tiba-tiba. 6. Penanganan Kaleng Setelah Pendinginan Setelah pendinginan, kaleng dalam keranjang retort dikeluarkan dari retort. Pada tahap selanjutnya, kebersihan atau sanitasi peralatan yang kontak dengan kemasan kaleng menjadi sangat penting. II. TUJUAN PRAKTIKUM 1. Mengetahui kerusakan mikrobiologis yang mungkin terjadi pada makanan kaleng 2. Mengetahui jenis-jenis kerusakan pada makanan kaleng 3. Mengetahui banyak (kuantitatif mikroorganisme pada makanan kaleng. III. ALAT DAN BAHAN Alat: 1. Cawan petri 2. Incubator 3. Gelas ukur 4. Erlenmeyer 5. Tabung reaksi 6. Bunsen 7. Spatula 8. Corong 9. Timbangan Bahan: 1. Nutrien broth sebagai medium 2. Fruit cocktail syrup (sari buah leci) 3. Kornet 4. Sarden (pada bahan masing-masing ada yang rusak da nada yang dalam keadaan baik) IV. PROSEDUR KERJA Pemeriksaan pada kaleng normal: 1. Data pada makanan kaleng pertama-tama dicatat dengan lengkap. 2. Penampakan luar kaleng kita catat mengenai keadaan fisiknya 3. Kaleng makanan kita cuci dengan bersih kemudian kita buka diatas Bunsen dengan menggunakan pembuka kaleng. 4. Lakukan pengenceran dengan pertama-tama menimbang makanan hingga 10 gram dan kemudian kita menambahkan aquades kemudian kita aduk dengan batang pengaduk 5. Hasil pengenceran nya kita masukan kedalam cawan petri 6. Cawan petri kemudian kita masukan medium dan kita duk hingga merata 7. Cawan petri yang telah berisi medium dan makanan yang kita uji kemudian kita inkubasi selama 2 hari dengan posisi cawan petri terbalik 8. Kemudian tahap terahir adalah MO yang ada pada medium kita hitung dan catat. Pemeriksaan MO pada kaleng rusak: 1. Data yang ada pada kaleng tersebut kita catat terlebih dahulu 2. Catat juga penampakan dan keadaan fisik dari kaleng yang akan kita uji MO nya 3. Kaleng kemudian dibersihkan dengan cara mengoleskan alcohol pada seluruh permukaan kaleng yang kemudian kita buka kaleng nya dengan pembuka kaleng sambil keadaan tetap pada atas Bunsen agar terjaga kesterilan nya 4. Kemudan bahan makanan kita timbang sebanyak 10 gram kemudian dilakukan pengenceran dengan memasukan 100ml aquades dan tidak lupa diaduk dengan menggunakan batang pengaduk. 5. Hasil campuran tadi kemudian diencerkan sebanyak 5 kali. 6. Hasil yang diambil kemudian dimasukan kedalam cawa petri dan kita masukan medium yang sudah menjadi hangat dan diaduk sampai rata. 7. Kita inkubasi medium yang sudah merata tersebut selama 3 hari dengan posisi cawan petri yang terbalik 8. Hasil dari inkubasi kita amati dan kita catat datanya. V. HASIL PENGAMATAN Tabel Pengamatan Kelompok Nama Sampel Jumlah Jumlah Koloni Koloni Rusak Normal 1 Sarden (Bagus) 23 110 2 Sarden (Rusak) 0 1 3 Kornet (Bagus) TBUD 10 4 Kornet (Rusak) 1 10 5 Sari Buah TBUD 12 Buah 8 3 (Bagus) 6 Sari (Rusak) 4.2 Nama sampel 1. Nama Pabrik Merek Tanggal expired Isi 2. Nama Pabrik Merek Tanggal expired Isi Kondisi Kaleng : PT. Gema Istaraya (Jatim Indonesia) : Pacific Queen : 24 Oktober 2014 : ikan sarden dan ditambah sayur tomat : PT. Gema Istaraya (Jatim Indonesia) : Pacific Queen : 24 Oktober 2014 : ikan sarden dan ditambah sayur tomat : Terdapat 3 sisi penyok yang ada pada badan Pada bagian atas terdapat 2 lubang Pada bagian bawah dalam keadaan baik 3. Nama Pabrik : Yeo Hiap Seng (Malaysia) Merek : Yeos Tanggal expired Isi : 15 Maret 2017 : Air , Gula, Konsetrat jus leci (1%), Perisa leci, Artivisial , Persatus Kemasan asam sitrat dan asam Malat, Pengental, Pektin, Pengatur keasaman. 4. Nama Pabrik : Yeo Hiap Seng (Malaysia) Merek : Yeos Tanggal expired Isi : 15 Maret 2017 : Air , Gula, Konsetrat jus leci (1%), Perisa leci, Artivisial , Persatus Kemasan asam sitrat dan asam Malat, Pengental, Pektin, Pengatur keasaman. 5. Nama Pabrik : PT. Surya Jaya Abadi Perkasa Probolinggo Indonesia Merek : Kornet Daging Sapi Tanggal expired 6. : 01 Januari 2018 Isi : Daging sapi yang sudah di cingcang Nama Pabrik : PT. Surya Jaya Abadi Perkasa Probolinggo Indonesia Merek : Kornet Daging Sapi Tanggal expired Isi : 01 Januari 2018 : Daging sapi yang sudah di cingcang VI. PEMBAHASAN Nama : Aulia Nuramalina NIM : 1500044 Tanggal Pratikum : 28 Maret 2016 Tanggal Laporan : 6 April 2016 Judul Pratikum : Pemeriksaan Mikroorganisme dan Makanan Kaleng Makanan mungkin mangandung komponen yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Komponen anti mikroba dapat secara alami di dalam bahan pangan misalnya lisosim di dalam putih telur dan asam benzoat di dalam buah tertentu (Sandjaya, 1992). Sebagian kecil jenis mikroba yang terdapat pada produk makanan yang bersifat pathogen, sebagian besar jenis mikroba tidak pathogen. Mikroba pathogen yang terdapat pada produk panganpun tidak selalu menjadikan racun atau penyakit jika produk itu dikonsumsi. Namun adapun mikroba pathogen yang mempunyai potensi bahaya bahwa juga dapat mematikan orang (Gibson, J.M, 1996). Banyak makanan kaleng yang dipasarkan di Indonesia diantaranya buah, daging, minuman, ikan dan lain-lain. Makanan yang sudah habis masa pemakaiannya atau kadaluarsa dapat membuat si pengkosumsimengalami keracunan. Telur banyak diperjual belikan di tempat perbelanjaan dan banyak digunakan atau diperlukan oleh manusia, telur biasanya steril tetapi dapat busuk akibat kontaminasi dengan mikroba (Suryani, 1998) Secara umum keberadaan mikroorganisme di dalam makanan kaleng memiliki arti adanya penurunan kualitas produk. Penurunan kualitas produk makanan kaleng berakibat pada nilai produk itu sendiri seperti adanya perubahan penampakan makanan misalnya menjadi hancur, keruh dan berwarna hitam. Selain itu juga adanya perubahan bau dan rasa misalnya menjadi asam dan busuk dan lain-lain. Disamping itu juga dapat berdampak pada kesehatan konsumen apabila ditemukan mikrobamikroba berbahaya atau penghasil racun. Jenis mikroba yang paling diwaspadai adalah kehadiran Clostridium botulinum dalam makanan kaleng terutama produk daging dan ikan termasuk ikan asap yang semuanya pada umumnya memiliki pH tinggi atau low acid. Bakteri ini menyebabkan seseorang keracunan (intoksikasi) yang disebut botulism. Botulism in disebabkan oleh racun yang diproduksi oleh bakteri tersebut di atas yang bersifat neurotoksin. Racun ini penyebab kematian dengan tipe neuro-paralytic toxin. Racun yang dihasilkan oleh jenis bakteri ini merupakan protein yang daya toksisitasnya sangat kuat sehingga sejumlah kecil dari toksin ini sudah cukup menyebabkan kematian. Berdasarkan pengamatan setiap sampel, masing-masing sampel berasal dari PT yang berbeda-beda. Dimana masing-masing perusahaan tersebut dapat berbeda pula tingkatan sterilisasinya. Hal ini karena masing-masing perusahaan standar kualitas makanan olahannya yang berbeda. Batas aman konsumsi setiap produk, rata-rata berkisar 2 tahun dari mulai pembuatan produk. Pada semua sampel dicantumkan batas tanggal aman konsumsi tetapi sayangnya tidak semua sampel yang mencantumkan tanggal produksi. Namun karena ada beberapa kemasan yang rusak mengakibatkan ketentuan batas kadaluarsa yang tercantum tidak berlaku lagi. Komposisi bahan yang tercantum pada sampel menerangkan bahan-bahan apa saja yang dipakai untuk pembuatan produk tersebut, sehingga kita dapat mengetahui kelansungan gizi dan kemanannya. Terdapat kaleng yang penyok dan lubang seperti pada Sarden Pacific Queen, kornet dan Sari Buah, tetapi ada juga kemasan yang masih bagus, tidak penyok dan tertutup rapat. Setelah mengindetifikasi komposisi serta keadaan kaleng selanjutnya adalah isolasi mikroorganisme dimana perlakuan dilakukan inkubasi selama 3 hari pada suhu 300C (mengetahui ada tidaknya bakteri mesofilik) dan 3 hari juga pada suhu 500C (mengetahui ada tidaknya bakteri termifilik). Produk Yeos Minuman Cingcau. Pada sampel minumam ini tidak dilakukan pengenceran karena minuman tersebut bahan dasarnya sudah encer serta sampel tidak mengalami kerusakan apapun, maka dalam langkah uji sampel mikroba ini kami langsung memasukkan 1 ml sampel kedalam 2 cawan petri yang berisi NA dan masing-masing diinkubasi pada suhu 30°C dan 50°C. Setelah diinkubasi dengan suhu yang berbeda, ternyata tidak ditemukannya koloni bakteri mesofilik maupun termofilik. Atau dengan kata lain, tidak ada bakteri koloni yg tumbuh. Ada beberapa hal yang memungkinkan tidak tumbuhnya koloni bakteri. Seperti proses sterilisasi yang baik dan benar saat pengemasan, serta pada minuman sari jeruk ini juga memiliki nilai pH yang tinggi, dimana pH ini bukan pH yang nyaman untuk pertumbuhan mikroba. Dapat dilihat pula pada komposisi produk, terdapat zat adiktif asam sitrat sebagai peninggi kadar pH yang membuat produk menjadi berasa asam, penambahan asam sitrat ini juga turut mempengaruhi pencegahan pertumbuhan mikroorganisme. Seperti diawal yang telah saya sebutkan bahwa, beberapa sampel makanan kaleng mengalami kebusukan kaleng, kebusukan ini dapat disebabkan oleh kapang, khamir dan bakteri. Yoes Minuman Cingcau telah dilakukan pengenceran 10-5 pada cawan petri yang diinkubasi 30°C terdapat koloni yang tumbuh TBUD, mendandakan terdapat bakteri mesofilik yang banyak sedangkan ketika diinkubasi pada suhu 50°C terdapat 8 koloni besar dan 3 koloni kecil yang tumbuh, menandakan terdapat bakteri termofilik. Pada Sarden Pacific Queen. Diinkubasi pada suhu 30°C dan 500C dengan pengenceran 10-5 . Pada Sarden yang diinkubasi pada suhu 300C . Sedangkan pada suhu 500C tidak terdapat koloni pada kondisi normal tetapi pada kondisi tidak normal (rusak) 1 koloni. Keberadaan data ini menandakan terdapat bakteri mesofilik pada kedua sampel, namun jumlahnya lebih kecil dari pada Yoes Minuman Cingcau. Keberadaan bakteri pada minuman rusak ini memungkinkan bakteri Clostridium botulinum (mesofilik) dan bakteri Bacillus stearothermophilus (termofilik). Sedangkan pada Sarden Gaga bakteri yang memungkinkan untuk tumbuh adalah C. sporogenes, C. putrefaciens dan C. botulinum jika bakteri-bakteri ini kandungannya banyak maka akan mengakibatkan sarden berbau sedikit busuk dan bumbu menjadi cair Corned Beef Proma "Kornetku". Pada Corned Beef Proma "Kornetku" yang diinkubasi suhu 30°C terdapat TBUD pada kondisi normal dan 87 koloni pada kondisi rusak, pada suhu 50°C terdapat 1 koloni pada kondisi normal dan 10 koloni pada kondisi rusak. Stearothermophilus kemungkinan tumbuh, dan apabila telah melebih masa kadaluarnyanya akan mengakibatkan kerusakan dengan tingkat kandungan bakteri yang berkelanjutan. Dari semua sampel yang telah diamati meskipun batas kadaluarsa masih lama, namun ketika kaleng telah rusak dianjurkan untuk tidak dikonsumsi. Sebab, bisa jadi bakteri C. botulinum dapat tetap tumbuh dan dapat menghasikn toksin yang kemudian bila tertelan akan mengakibatkan keracunan dengan tanda-tanda berupa : Tenggorokan menjadi kaku, mata berkunang-kunang, kejang-kejang dan bisa menyebabkan kematian. Perlu diketahui bahwa dosis letal yang baik untuk manusia adalah 1 mg/kg berat badan. Dari 3 sampel yang kami gunakan dalam penelitian, semuanya mengandung Bahan Tambahan Pangan seperti penguat rasa, pewarna, dan lain-lain yang tercnatum pada komposisinya. Keberadaan bahan tambahan makanan ini turut menjadi faktor keamanan makanan dan minuman kaleng tersebut, sebab apabila melebihi dosis yang telah ditentukan akan menjadi racun bagi yang mengkonsumsinya. Ada 3 hal penyebab kerusakan makanan oleh mikroba pada makanan kaleng, yakni : 1). Suhu yang tidak cukup dingin setelah proses sterilisasi atau disimpam pada temperature tinggi sehingga memberikan kesempatan spora bakteri thermofilik berkecambah dan tumbuh 2). Suhu pemanasan tidak cukup tinggi sehingga memberikan kesempatan pada bakteri yang tergolong mesofilik bertahan dan selanjutnya dapat tumbuh 3). Ada kebocoran kaleng yang memungkinkan mikroba yang ada dilingkungan, masuk ke dalam kaleng (Ray, 2004) Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh lingkungannya. Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme adalah air, oksigen, suhu dan nilai pH (keasaman). Pada makanan ada bakteri yang sangat berbahaya beberapa diantaranya yang pertama adalah Bacillus, jenis ini bersifat aerobik sampai anaerobik fakultatif, katalase positif dan kebanyakan bersifat gram positif. Bakteri ini sering menyebabkan kerusakan pada makanan kaleng dengan memproduksi asam tanpa gas, sehingga kerusaknnya disebut “flat sour” (busuk asam tanpa gas). Dan yang kedua adalah Clostridium, bakteri ini bersifat anaerobik sampai mikroaerofilik dan bersifat katalase negatif. Bakteri ini sering mnyebabkan kerusakan disertai pembentukan gas pada produk buah-buahan dalam kaleng. Dan dapat mempermentasikan asam amino menghasilkan produk-produk yang menyebabkan bau busuk, dan beberapa spesies clostridium bersifat patogen dan dapat menyebabkan keracunan makanan. C. perfringens memproduksi enterotoksin yang dapat menyerang saluran pencernaan dan menimbulkan gejala gastrointestinal. Jika tumbuh pada susu, spesies ini dapat membentuk asam dan gas sehingga mengumpalkan susu yang disebut “stormy fermentation”, sedangkan C. botulinum memproduksi neurotoksin yang menyerang syaraf dan menyebabkan kelumpuhan (Fardiaz,S. 1992). KESIMPULAN Kebusukan makanan kaleng dapat disebabkan oleh kapang, khamir dan bakteri, kapang pada makanan kaleng disebabkan oleh kurangnya pemanasan.Makanan atau minuman yang kadaluarsa dapat menimbulkan berbagai penyakit bagi manusia karena setelah masa kadaluarsa mikroba yang ada pada produk tersebut akan aktif dan berkembang kembali. Metode yang digunakan pada pengujian mikroba pada produk kaleng dengan cara penghitungan cawan. DAFTAR PUSTAKA Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pengolahan Pangan. IPB Press : Bogor. Gibson.J.M. (1996). Mikrobiologi dan Patologi Modern. EGC : Jakarta. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 13, No. 1, 2008, Akreditasi DIKTI Depdiknas RI No. 49/DIKTI/Kep/2003 Suryani. (1998). Mikrobiologi. Aneka Ilmu : Jakarta. Sandjaya, B. (1992). Isolasi dan Identifikasi Mikrobakteri. Widyia Medika : Jakarta. Nama : Diah Nuraeni NIM : 1500888 Tanggal Praktikum : 28 Maret 2016 Tanggal Laporan : 06 April 2016 Judul Pratikum : Pemeriksaan Mikroorganisme dan Makanan Kaleng PA (putrefactive Anaerob) No. 3679 adalah Clostridium sporogenus, yang biasanya terdapat dalam tanah. Yang terakhir ini lebih resisten dari pertama yang digunakan untuk mengevaluasi banyak proses pemanassan. Bila pemanasan cukup mematikan spora PA. No 3679, maka proses itu dijamin dapat mematikan juga Clostridium botulinum. Norman W. Desrosier (2008, hlm. 243) Disamping bakteri mesofil pembentuk spora juga terdapat organisme termofil pembentuk spora yang sangan resisten. Sebenanya bakteri tersebut lebih resiten daripada bakteri mesofil. Oleh karena itu mikroorganisme ini perlu dikendalikan melalu sanitasi dan pengendalian yang ketat terhadap bahan penyusun yang mengalami kontaminasi berat. Norman W. Desrosier (2008, hlm. 239) Beberapa jenis bakteri air dan tanah tumbuh baik pada rentangan suhu antara 120OF sampai 170OF disebut termofil. Perlu dibedakan antara organisme yang dapat tumbuh pada suhu yang sedang tingginya (150OF), yaitu golongan termofil dengan organisme yang mampu bertahan terhadap pengaruh suhu yangyang tinggi, ialah golongan termodurik. Organisme mesofilik dapat menjadi termodurik iyalah karena spora-sporanya, seperti halnya spora-spora bakteri termofilik. Norman W. Desrosier (2008, hlm. 239) Mikrobia dalam bahan pangan asam. Dalam golongan bahan pangan asam, organisme yang menyulitkan adalah baklteri asidurik yang tidak memiliki kualitas resistensi khusus terhadap panas. Bakteri, khamir, dan cendawan dapat membusukan bahan pangan ini. Sedikitnya pertumbuhan bakteri clostidium botulinum dalam bahan pangan asam tercermin pada rendahnya kebutuahan proses pemanasan. Hanya sedikit organisme mesofil anaerob pembentuk spora (Cl. pasteurianum) yang dapat menyebabkan pembusukan pada bahan pangan asam . organisme tersebut memiliki resistensi terhadap pemanasan relatif rendah, keculai bakteri Bacillus thermoacidurans. Bakteri ini merupakan organisme pembusuk penyebab keasaaman sari buah tomat. Norman W. Desrosier (2008, hlm. 243) Botulisem, karena Clostridium botulinum memiliki arti yang penting bagi kesehatan masyarakat, maka perlu organisme ini dibicarakan lebih mendalam. Organisme ini dalah suatu bakteri gram positif, anaerob, membentuk spora dan sapat tumbuh hanya dalam keadaan tanpa oksigen atau dalam lingkungan twkanan oksigen rendah. Organisme ini memiliki kemampuan proteolitis dan sakarolitis. Media diamana suatu kultur sedang tumbuh dengan aktif memiliki bau yang lebih menyerupai daging yang busuk bercampur dengan asam butirat. Akan tetapi mungkin didalam bahan pangan terdapat organisme ini dengan tosin yang dihasilkannya sebagai tidak berkeberatan (aman) untuk dicicipi dan di baui. Sehingga orang yang akan makan makanan tersebut penyebab keracunan. Clostridium botulinum memiliki resitensi terhadap panas pada suhu 250OF selam 2,8 menit untuk 10.000 per ml dalam larutan bufer fosfat netral. Toksin botulina yang dihasilkan adalah larutan dalam air, dan sangat mematikan terhadap manusia. Sekarang sifat kimiawinya sudah di temukan oleh para peneliti di Amerika Serikat. Norman W. Desrosier (2008, hlm. 246). Faktor-faktor yang mempengaruhi resistensi spora terhadap pemanasan: 1. Konsentrasi Resistensi sppora terhadap panas dari suatu suspense bakteri berhubungan dengan jumlah organisme yang ada, makin besar jumlah spora per ml suspense makin tinggi resitensinya terhadap panas. 2. Faktor lingkungan Resisitensi spora bakteri bukan suatu sifat yang tetap, tetapi ,merupakan salah satu sifat yang dalam keadaan biasa relatif konstan. Sebagian besar perubahan resistensi ditentukan oleh kekuatan-kekuatan fisis dan kimia yang bekerja dari luar spora sel. Norman W. Desrosier (2008, hlm. 253). Keruskan pangan merupakan roses metabolik yang menyebabkan pangan menjadi tidak diingkinan atau tidak dapat di konsumsi karena perubahan karakteristik sensori. Kerusakan pangan oleh mikroba terjadi sebagai konsekuensi dari adanya pertumbuhan mikroba dalam pangana atau pengeluran enzim ektra dan intraseluler setalah lisis sel dalam pangan. Perubahan warna, bau, tekstur, pembentukan lendir, akuamulasi agas, dan akumulaso cairan merupakan beberapa indicator yang dapat di deteksi berkaitan dengan kerusakan beberapa jenis pangan. Kerusakan pangan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba, terjadi lebih cepat dibandingkan kerusakan pangan yang disebabkan oleh enzim ekstrak atau intran seluler tanpa sel mikroba hidup. Tatang Sopandi, Wardah (2014, hlm. 335). Hanya sepicies dari beberapa genus mikroorganisme yang berimpikasi terhadap kerusakan pangan. Secara umum, terdapat tiga jenis mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan pangan, yaitu mikroba psikofillik, termofillik, dan asudurik, Gill, kraft, Sinel, Ray (dalam Tatang Sopandi, Wardah, 2014, hlm. 341). Bakteri termodurik dapat menyebkan kerusakan pada pangan yang diberi perlakuan panas rendah dan tidak terkontaminasi setelah pemanasan. Tatang Sopandi, Wardah (2014, hlm. 342). Spora mampu bertahan hidup pada perlakuan panas yang rendah, setelah bergeminasi, sel akan tumbuh pada suhu rendah. ketika suhu penyimpan pangan naik di atas 5O C seperti selama transportasi dan penjajan, beberpa mikroba mesofillik (kisaran suhu pertumbuhan 15-45oc, dengan suhu optimum 25-40OC) dapat tumbuh. Tatang Sopandi, Wardah (2014, hlm. 342). Mikroba termofilik termasuk bakteri yang tumbuh pada kisaran suhu 40-90OC, dengan suhu optimum pertumbuhan 55-65OC. Spora dari beberpa bakteri termofillik, seperti bacillus dan colstidium spp. Dapat hidup, bergeminasi, tumbuh, dan menyebabkan kerusakan pada beberapa pangan yang diolah pada suhu panas tinggi serta di simpan pada suhu hangat (50-60OC) untuk waktu yang sangat lama. Selain itu beberpa bakteri termodurik dalam bentuk vegetative dapat bertahan hidup pada pengolahan pangan , dengan panas rendah seprti pasteurisasi atau termofil yang mengkontaminasi setelah pemanasan juga dapat tumbuh pada pangan yang mempuyai suhu hangat , khususnya pada suhu 50OC. Kelompok bakteri tersebut termasuk beberapa bakteri asam laktat, seperti pedicoccus acidilatici dan streptococcus thermophiles, serta beberapa Bacillus dan Clostiridum spp. Bakteri tersebut juga dpat bertahan hidup dan menyebabkan kerusakan pada pangan, seperti beberapa daging olahan yang di panaska pada suhu 60-65OC atau disimpan pada suhu hangat untuk waktu yang sangat lama. Gill, Kraft, Sinell, Ray (dalam Tatang Sopandi, Wardah, 2014, hlm. 343). Pangan kalengan merupakan pangan yang dipanaskan untuk mematikan mikroorganisme, tetapi perlakuan panas terhadap mikroorganisme bergantung pada pH pangan. Pangan yang mempunyai pH 4,6 dan dipanaskan dapat mematikan spora bakteri patogen. Namun, spora beberpa bakteri yang mempunyai daya tahan panas lebih tinggi dari C.bottolinum dapat bertahan hidup jika pemansan tidak tepat. Pangan kalengan di sebut steril secara komersial karena bebas dari organisme hidup. Spora bakteri asidurik termofillik dapat bergerminasi dan tumbuh ketika produk di simpan pada suhu yang hangat. Tatang Sopandi, Wardah (2014, hlm. 373) Terdapat 3 kerusakan pangan kaleng oleh mikroba, yaitu: 1. Pendinginan yang tidak cukup baik setelah pemansan atau penyimpanan suhu tinggi menyebabkan germinasi dan pertumbuhan spora bakteeri termofillik. 2. Pemansan yang tidak cukup baik sehingga mikrooorganisme mesofillik baik dalam bentuk vegetative maupun spora dapat bertahan hidup dan tumbuh 3. Kebuocoran kaleng pengemas yang menyebabkan mikroba kontaminan masuk kedalam pangan setelah pemanasan dan melakukan pertumbuhan. Tatang Sopandi, Wardah (2014, hlm. 373). Bakteri termofillik pembentuk spora dapat menyebabkan 3 jenis kerusakan pangan kalengan ketika kaleng disimpan [ada suu 43OC atau lebih tinggi, yaitu rasa asam pada pangan kalengan, kerusakan pangan kalengan akibak bakteri termofillik dan kerusakan pangan akibat sulfida. Tatang Sopandi , Wardah (2014, hlm. 373). Kemasan kalengan pada kerusakan rasa pangan kalengan tidak menggembung, tetapi prouk pangan menjadi asam karena germinasi dan pertumbuhan bakteri fakultatif anerobik B.stearothermophillus. Germinasi bakteri ini terjadi pada suhu 43OC atau lebih tinggi, tetapi pertumbuhan dilakukan pada suhu 30 OC. Organisme dapat mempermentasi karbohidrat dan menghasilkan asam tanpa gas dengan flavor yang idak menyenangkan dan keruh. Tatang Sopandi , Wardah (2014, hlm. 373). Keruskan pangan kelengan yang disebabkan oleh pertumbuhan baktei anaerob termofillik seperti C.thermosaccharolyticum terjadi karena produksi gas H2 dan CO2 yang tinnggi, sel baktei tumbuh pada 30OC. Tatang Sopandi , Wardah (2014, hlm. 374). Kerusan pangan kalengan karena sulfide disebabkan oleh bakteri anaerob gram negative pembentuk spora seperti Desulfotomaculum nigrificans karena produksi aroma H2S dari asama amino yang mengandung sulfur terlarut dalam cairan dan bereaksi dengan besi membentuk warna hitam FeSO4. Tatang Sopandi , Wardah (2014, hlm. 374). Ikan termasuk pangan perishable, kaya protein dengan kadar asam amino bebas yang tinggi. Mikroba metabolism asam amino tersebut dan mengahasilkan NH3 , amina biogenik sepeti puteresin, histamine, dan kadverin, asam organic, keton dan komponen bersulfur. Baixas-Nogueras, et al, Dalgaraad, et al, Olafsodottir, et al. (dalam Tatang Sopandi, Wardah, 2014 hlm. 357) Kondisi penyimpanan dan pengolahan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba. Ikan yang dikemas dengankondisi karbon dioksida (CO2) dan penambahan natrrium klorida dengan kondisi rendah, cocok untuk pertumbuhan bakteri asam laktat dan photobacterium phosphoreum. Elin (dalam Tatang Sopandi, Wardah, 2014 hlm. 358) Tetapi spora Clostridium dan bacillus dapat bertahan hidup dan dapat tumbuh. Gram dan Dalgaard (dalam Tatang Sopandi, Wardah, 2014 hlm. 358). Pengalengan ikan (tuna, salmon, dan sarden) yang dipanaskan untuk menghasilkan produk steril komersial dapat rusak karena pertumbuhan bakteri termofillik pembentuk spora. Tatang Sopandi, Wardah (2014, hlm. 360). Mikroorganisme dapat menyebabkan kerusakan pangan melalui 2 cara yaitu : 1. Melalui pertumbuhan dan aktivitas metabolisme sel hidup terhadap pangan. 2. Aktivasi enzim ekstraseluler dan intraseluler sel mikroorganisme yang telah mati bereaksi dengankomponen pangan, sehingga menyebabkan perubahan sifat fungsional dan menuntun kerusakan pangan. Kerusakan pangan oleh mikrobia tidak hanya dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi, tetapi juga dapat mengurangi ketersedian pangan untuk masyarakat, terutama dengan peningkatan populasi penduduk. Tatang Sopandi, Wardah (2014, hlm. 375). KESIMPULAN 1. Spora dari beberpa bakteri termofillik, seperti bacillus dan colstidium spp. Kelompok bakteri tersebut termasuk beberapa bakteri asam laktat, seperti pedicoccus acidilatici dan streptococcus thermophiles, serta beberapa Bacillus dan Clostiridum spp. Keruskan pangan kelengan yang disebabkan oleh pertumbuhan baktei anaerob termofillik seperti C.thermosaccharolyticum terjadi karena produksi gas H2 dan CO2 yang tinnggi. 2. Mikroorganisme dapat menyebabkan kerusakan pangan melalui 2 cara yaitu : (1) Melalui pertumbuhan dan aktivitas metabolisme sel hidup terhadap pangan. (2) Aktivasi enzim ekstraseluler dan intraseluler sel mikroorganisme yang telah mati bereaksi dengankomponen pangan, sehingga menyebabkan perubahan sifat fungsional dan menuntun kerusakan pangan. SARAN 1. Medium yang digunakan ditentukan dari bahan panagan apa yang akan di kalengkannya. 2. Bila melakukan canning pada saat penutupan pada jar/kaleng di lakukan secara hermetis, untuk mengarungi mikroba yang ada dan menidakan bakteri aerob. 3. Jika melakukan sterilisasi di lakukan dengan tekanan 1 atm. Untuk bahan makanan yang pH di bawah 4,5 biasanya dikalengkan dengan waktu pengemasan yang relative lebih lama danbsuhu bagian tengah 200OF atau lebih pada kondisi tersebut mikroba pathogen dapat dimatikan. 4. Sebagai konsumen tidak menerima barang yang keadaan pengemas yang rusak atau penyok dan sebagainya kareana kemungkinan sudah terkontaminasi mikroorganisme. DAFTAR PUSTAKA Desrosier, Norman W, (2008) Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia (UI-Press): Jakarta Sopandi, Tatang Wardah, (2014) Mikrobiologi Pangan. C.V ANDI OFFSET: Yogyakarta Nama :Saskiya Khairani NIM : 1504067 Tanggal Pratikum : 28 Maret 2016 Tanggal Laporan : 6 April 2016 Judul Pratikum : Pemeriksaan Mikroorganisme dan Makanan Kaleng Pada pengkonsumsian makanan sehari-hari kita banyak mengenal makanan kaleng pada pengemasan banyak sekali jenis makanan, bisa itu makanan yang mengandung banyak buah-buahan segar,daging yang sudah diolah maupun acar dan asinan yang dapat kita konsumsi kapan saja. Pada keseharian kita memang banyak sekali makanan yang menggunakan pengalengan sebagai salah satu upaya yang dilakukan agar makanan terlindung dari mikroorganisme sehingga waktu penyimpanan nya menjadi lebih lama dan lebih awet. Kaleng memang dipilih beberapa perusahaan untuk pengemasan makanan, karena sifat dari kaleng adalah kedap udara, mudah dibentuk, dan tidak mudah oecah (seperti kaca), dengan ini sejak abad XVIII kaleng memang selalu digunakan sebagai pengemas pada produk makanan. Kelebihan nya memang terdapat dari kemasan, dimana dengan pengalengan kita dapat melakukan sterilisasi sehingga makanan yang disimpan oleh kita dapat benarbenar tahan untuk waktu yang sangat lama, kemudian dengan pengalengan kita dapat melakukan sterilisasi sehingga makanan yang ada didalam nya bisa menjadi steril. Pada dasarnya memang tidak selamanya, makanan kaleng menjadmin makanan kita akan terbebas dari mikroorganisme yang dapat menyerang makanan kita, ada berbagai kerusakan fisik yang dapat terjadi pada makanan kaleng seperti kerusakan fisik yng contohnya kaleng menjadi berkarat atau penyok yang dikarenakan benturan, kemudian ada kerusakan kimia misalnya terdapat kerusakan zat-zat gizi atau penggunaan wadah kaleng yang tiadk sesuai sehingga adanya reaksi kimia yang terjadi kemudian ada juga kerusakan mikrobiologis dimana adanya pembentukan gas karena adanya kerja metabolism mikroorganisme pada makanan kaleng yang akan kita konsumsi. Ketiganya memang tentu saja akan menyebabkan keracunan jika tetap kita konsumi. Pada umunya ada beberapa bakteri yang sangat serig ditemukan pada makanan kaleng, yaitu Clostiridium botulinum, C.pasteurianum, C.thermosaccharolyticum (banyak memproduksi gas hidrogen dan CO2), Bacillus stearothermophillius (mempengaruhi pH makanan kaleng), B.coagulans , dan Byssochlamys fulva. Pada praktikum kali ini, pertama-tama kita awali dengan melakukan sterilisasi pada alat-alat lab yang akan kita gunakan sambil menunggu alat yang kita gunakan selesai di sterilisasi maka kita dapat melakukan pendataan pada makanan yang akan kita uji mikroorganisme nya. Kita catat seluruh data yang dapat kita lihat di permukaan kaleng dimana nama produk, jenis produk, tanggal pembuatan, tanggal kadaluarsa, nama pabrik serta ukuran kaleng (lebar dan tinggi nya ). Kemudian kami cuci kaleng hingga bersih untuk memastikan tidak ada kotoran di permukaan kaleng. Kemudian kita buka bagian atas kaleng sambil didekatkan diatas api menggunakan alat pembuka makanan kaleng, kemudian kita ambil bagian pada makanan kaleng tesebut sebanyaka 10 gram saja. Untuk makanan padat seperti sarden, ada beberapa perbedaan dalam pengujian nya dimana pada makanan yang kaleng nya masih baik, kita melakukan pengenceran hingga 5 kali karena memang dipastikan akn banyak sekali mikroorganisme yang tumbuh didalam nya, berbdea dengan makanan kaleng yang kaleng nya masih dalam keadaan yang baik. Pengenceran hanya dilakukan sekali. Kemudian setelah kita melakukan pengeceran, masukan medium yang masih hangat kemudian kita ratakan. Kelompok kami mendapatkan sarden pada kaleng yang sudah rusak, dimana terdapat rompal-rompal pada bagian atas dikarenakan sudah terbentur di bagian atasnya, tetapi memang pada bagian liarnya tidak terdapat karatan, walaupun memang diatasnya ada seperti lubang kecil yang disebabkan oleh benturan. Setelah melakukan penegnceran dan memasukan medium hingga agak membeku, kami melakukan inkubasi elama 2 hari pada suhu 30 derajat dengan sudah memastikan bahwa cawan petri dalam keadaan terbalik. Hasil yang kami dapatkan adalah pada medium kami terdapat satu koloni (sarden pada kaleng rusak), berbdea denga sarden pada kaleng yang masih baik, hasilnya memang tidak terdapat satupun mikroorganisme. Karena itu memang kita dapat memastikan bahwa memang pengalengan dapat menjaga makanan yang kita simpan didalamnya dari mikroorganisme. Karena memang pada makanan kaleng makanan didalamnya akan terjaga dari udara maupun mikroorganisme, hal itu memang dikarenakan dari pengalengan yang menyebabkan makanan menjadi benar-benar kedap akan udara dan juga menjadi sangat bersih karena sangat steril (setelah proses sterilisasi) KESIMPULAN 1. Pengalengan dilakukan untuk memperpanjang waktu penyimpanan pada makanan dikarenakan dengan pengalengan kita dapat mempertahan kan keadaan makanan yang ada didalam nya terlebih karena dengan pengalengan makanan akan menjadi kedap akan udara diluar. 2. Makanan yang disimpan pada kaleng yang baik akan menjadi sangat sterils ehingga tidak mengandung MO sama sekali, berbeda dengan makanan yang disimpan pada kaleng yang sudah rusak dimana keadaan didalamnya sudah tidak terjaga lagi. 3. Ada 3 kerusakan yang bisa terjadi pada pengalengan yaitu kerusakan fisik, kerusakan kimia dan kerusakan mikrobiologis. SARAN 1. Konsumsilah makanan kaleng yang memang keadaan fisiknya benar-benar dalam keadaan baik dimana tidak terdapat benturan dan tidak terdapat lubang maupun karat. 2. Jangan terima makanan kaleng yang sudah dalam keadaan yang kurang baik 3. Jika sudah dibuka makanan kaleng hanya dapat dikonsumsi sekali karena jika sudah terbuka maka aka nada MO yang dapat masuk kedalamnya. DAFTAR PUSTAKA Elida, Mutia. (2013) Buku Kerja Praktek Mahasiswa (BKPM) Mikrobiologi Pngan II (Revisi). Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Payakumbuh Nasyifa,bin. Bakteri pembusuk pada makanan kaleng [online] diakses dari http://www.binasyifa.com/009/31/27/bakteri-pembusuk-pada-makanankaleng.htm Anonim, laporan praktiku pemeriksaan microorganism pada makanan dan minuman aleng.[Online] diakses dari http://dokumen.tips/documents/laporan-praktikumpemeriksaan-mikroorganisme-pada-makanan-dan-minuman-kaleng.html. Nama : Siti Sharah NIM : 1501573 Tanggal Praktikum : 28 Maret 2016 Tanggal Laporan : 6 April 2016 Judul praktikum : Pemeriksaan Mikroorganisme pada Makanan Kaleng. Praktikum kali ini yang berjudul pemeriksaan mikrooorganisme dari makanan kaleng, yang bertujuan untuk mengetahui kerusakan mikrobiologis yang mungkin terjadi pada makanan kaleng. Praktikum ini mencari tahu apakah terdapat bakteri thermofilik yaitu bakteri yang tahan panas, dan juga bakteri mesofilik. Makanan kaleng yang digunakan dalam praktikum ini yaitu kornet, sarden dan juga buah kaleng. Setiap bahan tersebut ada yang dalam kaleng utuh (normal) dan kaleng rusak. Kaleng adalah salah satu jenis kemasan makanan yang sudah dikenal sejak perang dunia kedua. Mengemas makanan dalam kaleng merupakan salah satu teknologi pengawetan makanan dengan cara sterilisasi dengan suhu tinggi. Itulah salah satu kelebihan dari kemasan kaleng. Proses sterilisasi dengan suhu tinggi dilakukan selama 20-40 menit sehingga makanan didalam nya menjadi steril, tidak mudah rusak dan awet. Kerusakan utama yang terjadi pada bahan makanan yang dikemas dalam kaleng adalah kerusakan yang diakibatkan oleh mikroba yang menyebabkan makanan menjadi berbau busuk, asam dan bahkan beracun (Shaffiyah, 2008). Menurut Winarno (1995), kerusakan makanan kaleng dibagi menjadi 4 bagian yaitu: 1. Flat Sour. Apabila permukaan kaleng tetap datar dan tidak mengalami kerusakan apapun, tetapi produk di dalam kaleng tersebut sudah rusak dan berbau asam. 2. Flipper. Apabila dilihat sekilas, bentuk kaleng terlihat normal tanpa kerusakan. Tetapi bila salah satu ujung kaleng ditekan, maka ujung yang lainnya akan terlihat cembung. 3. Springer. Apabila salah satu ujung kaleng tampak rata dan normal, sedangkan ujung yang lain tampak cembung permanen. 4. Swell (cembung). Apabila kedua ujung kaleng sudah terlihat cembung akibat adanya bakteri pembentuk gas. Swell (cembung) dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu soft swell dan hard swell. Soft swel yaitu kedua ujung kaleng yang sudah cembung tetapi belum begitu keras sehingga masih bisa ditekan sedikit ke dalam. Sedangkan hard swell yaitu kedua ujung permukaan kaleng sudah cembung dan begitu keras sehingga tidak bisa lagi ditekan ke dalam (Shaffiyah, 2008). Proses termal dalam suatu pengolahan pangan bertujuan untuk memperpanjang keawetan produk pangan dengan membunuh mikroba pembusuk dan patogen, memperbaiki mutu sensori, melunakkan produk, meningkatkan daya cerna protein dan karbohidrat, dan menghancurkan komponen-komponen yang tidak diperlukan. Salah satu proses termal yang umum digunakan dalam pengalengan makanan adalah sterilisasi. Proses sterilisasi merupakan tahap yang paling penting dan kritis dalam proses pengalengan yang menentukan sukses tidaknya proses sterilisasi secara keseluruhan. Proses ini dilakukan setelah kaleng ditutup dan dimasukkan ke dalam ketel uap atau retort. Suhu sterilisasi standar yang digunakan adalah 121,1oC (250oF ), (Kusnandar, 2006). Meskipun makanan kaleng diolah dengan menggunakan proses termal, tidak menutup kemungkinan bahwa makanan tersebut bisa terkontaminasi oleh mikroba terutama C. botulinum, karena bakteri ini dapat membentuk toksin botulin pada kondisi an-aerobik didalam kemasan, terutama produk pangan dari kelompok yang berasam rendah (low acid food). Proses sterilisasi yang optimal umumnya dilakukan dengan memastikan C. Botulinum dapat mati. Dengan demikian, mikroba lain yang kurang tahan panas akan otomatis mati apabila C. Botulinum berhasil dibunuh. C. botulinum dapat hidup di dalam makanan kaleng karena kondisi makanan di dalam kaleng yang an-aerobik, dan bakteri ini hidup secara an-aerobik (tidak membutuhkan oksigen). Bakteri ini termasuk bakteri gram positif berbentuk batang, mempunyai dinding sel yang sebagian besar tersusun dari peptidoglikan (murein). Peptidoglikan pada dinding sel bakteri bersifat kaku dan bertanggungjawab untuk menjaga integritas sel serta menentukan bentuknya. Menurut Kusnandar (2006) suhu untuk mereduksi jumlah C. botulinum dalam makanan kaleng adalah 121,1oC selama 3 menit. Semakin tinggi suhu maka akan semakin pendek waktu yag diperlukan untuk dapat membunuh mikroba tersebut. C. botulinum yang ada pada produk pangan terutama makanan kaleng harus dibunuh, karena bakteri ini dapat menyebabkan keracunan tipe intoksikasi pada manusia. Racun yang dikeluarkan oleh C. Botulinum disebut “neurotoksin” karena racun tersebut menyerang sistem susunan syaraf. Gejala keracunannya bersifat neuroparalitik, yaitu menyebabkan kelumpuhan bagian tubuh tertentu karena susunan syaraf yang terganggu. Racun botulinum adalah suatu protein yang sangat beracun, sehingga walaupun tertelan dalam jumlah sedikit sudah dapat menyebabkan keracunan. Racun botulinum diproduksi oleh sel C. botulinum dalam bentuk toksin progenitor. Toksin ini kemudian dapat diaktifkan oleh enzim-enzim tertentu di dalam tubuh menjadi komponen yang beracun. Praktikum ini diharapkan bisa menghitung jumlah koloni yang terdapat pada media yang telah ditanami dengan sampel, yang telah di inkubasi selama 2 hari pada suhu 30oC untuk bakteri mesofilik dan 50oC untuk thermofilik masing-masing menyimpan baik kaleng normal maupun kaleng rusak. Dari hasil pengamatan, setelah diamati pada kaleng sarden yang normal dan disimpan di suhu 50oC tidak terdapat koloni yang tumbuh sedangkan untuk kaleng yang rusak terdapat satu koloni. Koloni tersebut kemungkinan merupakan bakteri C.botulinum yang ada pada kaleng sarden tersebut. Kerusakan kaleng disebabkan kesengajaan yaitu dengan menjatuh-jatuhkan kaleng sarden tersebut dari ketinggian, sampai samping-samping kaleng rusak dan juga atasnya atau tutupnya dibuka. Hal tersebut dilakukan supaya mikroorganisme tumbuh didalam makanan kaleng tersebut. Jadi bakteri yang tumbuh dimungkinkan bakteri C.botulinum dan mungkin juga tidak, karena kerusakan disengaja bukan karena kerusakan akibat waktu dan juga proses awal pada saat sterilisasi. Akan tetapi kemungkinan kuat adalah C.botulinum karena media disimpan ditempat 50oC dimana bakteri thermofilik masih bisa tumbuh dalam keadaan panas tersebut, dan bakteri thermofilik tersebut diantaranya adalah C.botulinum. menurut Pelczar (1988) Bakteri termofilik mampu hidup pada suhu diatas 45˚C dan hidup optimal pada kisaran 55ºC - 65ºC. Selanjutnya adalah kornet kaleng, kornet merupakan daging yang diawetkan dalam kaleng ( Depdikbud, 1990). Seperti yang kita ketahui kaleng terlebih dahulu harus dibersihkan atau disterilisasi supaya makanan yang terdapat didalam nantinya aman dan tidak terkontaminasi. Dalam praktikum kali ini kornet yang akan diperiksa adalah kornet yang masih utuh (normal) tidak ada cacat sedikitpun dalam pada kaleng dan juga kaleng rusak seperti pada sarden yaitu kerusakan kaleng disengaja. Dari hasil pengamatan, setelah diamati pada kaleng normal terdapat hanya satu koloni yang tumbuh, bisa disimpulkan meskipun kornet kaleng dalam keadaan utuh akan tetapi setelah dilakukan pemeriksaan mikroorganisme masih terdapat mikroorganisme yang hidup dan juga bakteri tersebut adalah bakteri themofilik yang tahan akan panas, karena media disimpan di suhu 50oC kemungkinan bakteri yang hidup diantaranya Clostridium nigrificans, C.botulinum, Bacillus betanigrificans, semua bakteri tersebut merupakan bakteri anaerobik. Bakteri yang tumbuh dalam kornet kaleng tersebut bisa disebabkan pengolahan daging atau kornet yang kurang bersih dan terkontaminasi dan juga bisa dari kaleng pada saat sterilisasi terkontaminasi lagi. Sedangkan untuk kaleng rusak terdapat 10 koloni yang hidup, sebanyak 10 koloni yang hidup masih bisa dikatakan wajar karena sampel diambil dari kaleng yang rusak. Akan tetapi hal ini juga bisa disebut wajar karena pada kaleng normal tidak dilakukan pengenceran samapi 10-5, sedangkan kaleng rusak diencerkan sampai 10-5. Setelah kornet, yang dipakai untuk sampel selanjutnya yaitu sari buah dengan satu kaleng normal dan juga yang satu lagi merupakan kaleng yang sudah rusak. Kerusakan kaleng adalah sari buah yang terdapat dalam kaleng diminum terlebih dahulu dan membiarkan kaleng masih terbuka. Dari hasil pengamatan yang dilakukan terdapat 8 koloni pada kaleng normal sedangkan pada kalengrusak terdapat 3 koloni yang hidup dalam media. Setelah diamati terdapat kejanggalan yang terjadi yaitu koloni yang hidup lebih banyak pada kaleng normal daripada kaleng rusak. Hal ini terjadi karena pada kaleng normal tidak diencerkan terlebih dahulu sedangkan pada kaleng rusak sampel diencerkan sebanyak 10-5. Jadi pada saribuah kaleng normal masih banyak mikroorganisme yang tumbuh apalagi pada kaleng yang sudah rusaK KESIMPULAN 1. Dari hasil pengamatan dan pembahasan yang telah dipaparkan mikroba yang biasa tumbuh pada kaleng adalah mikroba yang bersifat halofilik, yaitu mikroba yang tahan akan panas dan juga merupakan mikroba anaerob. Diantara mikroba yang tumbuh bisa dari jenis Clostridium botulinum, Clostridium nigrificans, dan Bacillus betanigrificans. 2. Kerusakan yang terjadi pada kaleng bisa berupa Flat sour (kerusakan dalamnya seperti: bau, asam dll), Flipper, Springer dan Swell (cembung). DAFTAR PUSTAKA Depdikbud. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Kusnandar, Feri, et. al.,. (2006). Prinsip Teknik Pangan. IPB. Pelczar, M..J. Chan, E.S. (1988). Element of Microbiology. Terjemahan Hardiutomo, S.R, Shaffiyah. (2008). Seputar Makanan Kaleng, http://shaffiyah.wordpress.com Winarno, F.G., (1995). Enzim Pangan. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.