Fenomena Politik Uang dalam Demokrasi Indonesia Tahun 1998 menjadi awal dimulainya era Reformasi di Indonesia. Akhir dari cerita panjang rezim Orde Baru pun berakhir dan Indonesia memulai babak baru demokrasi. Pengertian umum mengenai demokrasi yaitu pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi dapat dikatakan sebagai suatu sistem pemerintahan yang merujuk pada pengambilan keputusan yang tidak lagi diambil oleh satu atau dua orang penguasa, tetapi setiap orang memiliki hak yang sama untuk memberikan suaranya sehingga didapatlah suatu keputusan bersama. Indonesia sebagai negara demokrasi yang masih muda, tentu masih sangat rentan dengan permasalahan politik uang (Money Politik). Secara prosedural Indonesia telah melaksanakan demokrasi dengan baik seiring dengan telah dilaksanakannya pemilu legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden, dan ratusan pemilukada. Namun fakta di lapangan menunjukan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia telah terhambat oleh berbagai bentuk politik uang. Perubahan pemilu langsung yang dilakukan dengan pertimbangan agar meminimalisir praktik uang pun pada akhirnya menunjukan bahwa dalam pemilu langsung tetap terjadi kasus politik uang walaupun dengan ongkos yang semakin mahal karena melibatkan pemilih dalam suatu wilayah pemilihan. Tulisan ini membahas mengenai apa sebenarnya politik uang dan bagaimana fenomena politik uang dalam perkembangan demokrasi Indonesia. “Politik” dan “uang” merupakan dua hal yang berbeda namun selalu berkaitan. Politik membutuhkan modal yaitu uang, dan dengan uang orang dapat berpolitik. Uang merupakan alat untuk mempengaruhi seseorang dalam menentukan keputusan. Dalam kondisi ini, dapat dipastikan kondisi yang diambil tidak lagi berdasarkan baik tidaknya keputusan tersebut bagi orang lain, tetapi keuntungan yang didapat dari keputusan tersebut.1 Johny Lomulus menganggap politik uang merupakan kebijaksanaan dan atau tindakan memberi sejumlah uang kepada pemilih atau pimpinan partai politik agar masuk sebagai calon kepala daerah yang definitif dan atau masyarakat pemilih memberikan suaranya kepada calon yang bersangkutan pemberi bayaran atau bantuan tersebut.2 Selanjutnya Gary Goodpaster menulis bahwa politik uang itu bagian dari korupsi yang terjadi dalam proses Pemilu. Politik uang pada dasarnya merupakan transaksi suap-menyuap yang dilakukan oleh seorang calon dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan suara dalam pemilihan.3 Praktik politik uang dalam pemilu merupakan suatu permasalahan rumit, dapat dilihat dalam laporan Pemantauan Transparancy Internasional Indonesia (TII) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa Pemilu 2014 sebagai bukti praktik haram tersebut dilakukan. Dalam laporan ini, TII dan ICW menyimpulkan modus operasi politik uang dengan pola-pola tertentu dan beragam. Dalam praktikya ada yang dilakukan dengan cara yang sangat halus sehingga para penerima uang tidak menyadari telah menerima uang sogokan, namun ada juga dengan cara yang sangat mencolok (terang-terangan) di depan ribuan orang. Kondisi ini menurut laporan TII dan ICW seolah menunjukan negara ini berdiri tanpa ada aturan hukum yang harus ditaati oleh setiap warganya.4 Mantan presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan bahwa politik uang merupakan tantangan terbesar dalam perkembangan demokrasi di tanah air. Pada saat ini Indonesia dihadapkan pada situasi bagaimana mengurangi dan 1 Ebin Danius, “Politik Uang dan Uang Rakyat”, 1999. Johny Lomulus, “Sikap Pemilih terhadap Pasangan Calon Menjelang Pilkada Langsung di Kota Bitung dalam Demokrasi Mati Suri”, Jurnal Penelitian Politik, Vol. 4, No. 1, 2007, LIPI, hlm 35. 3 Gary Goodpaster, 2001, Refleksi tentang Korupsi di Indonesia, Jakarta, USAID, hlm 14. 4 Ahsan Jamet Hamidi et al.,Pemilu 2014 Tidak Bebas Politik Uang, Jakarta:Transpancy Internasional Indonesia. 2008, hal 49. 2 meghilangkan berbagai praktik politik uang.5 Sebab politik uang ini telah menciderai sistem demokrasi. Tujuan awal demokrasi yang awalnya mulia yaitu melibatkan semua orang dalam pengambilan keputusan tetapi dengan adanya politik uang maka suara yang seharusnya bebas memilih tersebut akan berubah tidak netral karena selembar uang yang pemilih dapat. Banyak politisi dan calon kepala daerah yang menjadikan kalangan menengah ke bawah sebagai target operasi jual beli politik. Faktor sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan dan pendapatan memang sangat mempengaruhi praktik jual beli suara ini terjadi. Pendidikan politik bagi masyarakat yang masih sangat kurang pun mengakibatkan praktik politik uang masih terjadi sampai sekarang. Seolah ada stereotipe pada masyarakat bahwa politik hanya untuk kalangan atas, politik hanya panggung bagi para pejabat berduit sehingga memaklumi dan seolah menyimpulkan bahwa pemilu merupakan ajang bagi mereka untuk mendapatkan uang dari para pejabat tersebut. Padahal lebih dari pada itu, hak suara yang ada pada setiap orang jauh lebih berharga dibanding berapa besarpun uang yang mereka dapat. Pemilu sebagai sarana perwujudan suatu sistem demokrasi. Dalam pemilu memang sudah seharusnya terjadi suatu transaksi. Namun bukan transaksi uang dan jual beli suara masyarakat. Traksaksi berupa ide, pemikiran, gagasan tentang pemecahan suatu permasalahan dan program apa yang pejabat tersebut miliki untuk di jual kepada masyarakat sehingga masyarakat nantinya dapat menentukan pilihannya secara netral. Lebih jauh mengenai fenomena politik uang di Indonesia ini, serumit apapun harus segera diselesaikan oleh setiap kalangan. Semua orang harus segera menyadari bahwa politik uang merupakan faktor perusak suatu demokrasi. Sehingga apabila politik uang terus-terusan terjadi, hal ini bukan hanya menjadi penghambat perkembangan demokrasi tetapi akan menjadi faktor penyebab 5 Edi Nasution, “Perselingkuhan antara Politik dan Uang (Money Politics) Menciderai Sistem Demokrasi.” demokrasi kita jalan di tempat atau lebih parah dari pada itu adalah terjadinya kemunduran pada sistem demokrasi Indonesia.