CAT CASN VS PEMILU Baru kali saya mencoba untuk mengikuti ujian ASN yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Pada momen-momen sebelumnya, tidak ada kesempatan bahkan mungkin niat untuk mengikuti seleksi CPNS dikarenakan banyaknya info mengenai besaran biaya untuk menjadi PNS. Tidak tanggung-tanggung besaran biaya untuk menjadi ASN kisaran 100 juta ke atas. Andai saya mempunyai uang sebanyak itu, tentu saya tak akan memilih tes CASN, lebih saya gunakan uang tersebut untuk keperluan pendidikan S2 bahkan mungkin S3. Pada tes kali ini, saya mencoba mempersiapkan segala sesuatu, termasuk belajar. Ya, meskipun belajarnya 2 minggu sebelum hari pelaksanaan. Namun nilainya yang didapatkan tidak terlalu rendah. Alhamdulillah. Meskipun tidak masuk passing grade, setidaknya saya tidak terlalu malu bahwa nilai yang saya peroleh masih masuk dalam kategori “wajar” menurut versi pemerintah. Saya sangat apresiatif terhadap pemerintah dalam mereformasi berbagai bidang. Perlahan namun pasti, berbagai agenda reformasi telah mulai nampak dan membawa hasil yang cukup menggembirakan, termasuk sistem perekrutan ASN yang notabene sebelumnya berbasis kertas dan cenderrung tidak transparan, kini telah menggunakan CAT dan sangat transparan. Sehingga hasil yang diperolehpun lebih akuntabel. Tidak hanya sampai disitu, kebijakan juga dikeluarkan untuk mengangkat pegawai honor daerah yang telah melewati batas usia 35 tahun dengan menjadi Pegawai Kontrak Kerja Pemerintah dengan skema penggajian dan model penyetaraan hampir sama dengan PNS minus dana pensiun. Tentunya pengangkatan pegawai kontrak tersebut melalui sistem CAT, bukan lantas langsung diangkat. Saya sangat memahami alur pemikiran pemerintah, mengapa menetapkan dan mengangkat ASN melalui sistem CAT, tidak melalui sistem yang lain?. Karena pemerintah mengharapkan output dari CASN tadi dapat bekerja dengan cepat, tanggap, menguasai dasar teknologi, tepercaya, berkarakter mandiri dan mumpuni di bidangnya. Di samping itu, pemerintah mengharapkan output CASN tadi dapat mengakselerasi di berbagai bidang yang digelutinya sehingga mampu memajukan bangsa Indonesia lebih cepat dan bersaing dengan negaranegara maju. Suasana reformasi tersebut tidak diimbangi dengan agenda reformasi pada bidang politik (baca:partai). Pola dan model yang digunakan dari tahun ke tahun cenderung sama dan tidak berkualitas. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya “kader” opportunis yang masuk partai saat menjelang pemilu. Sesudah pemilu selesai, mereka hilang entah kemana. Jika pola dan model ini yang digunakan, maka tidak dapat dipungkiri bahwa partai adalah kumpulan orang-orang “opportunis” yang mencoba peruntungan untuk meraup suara. Sehingga banyak di antara para ‘kader” ketika mereka merasa posisi di partai kalah pamor, mereka tidak segan dan malu untuk pindah partai bahkan kalau perlu membuat partai yang baru. Di samping itu, saya melihat bahwa ada kecenderungan partai hanya mementingkan sisi elektabilitas, tanpa memedulikan sisi-sisi yang lain seperti wawasan kebangsaan, integritas, kemampuan dalam merespon persoalan, aspirasi dan intelektualitas yang mumpuni. Pun belum termasuk persoalan dana kampanye yang luar biasa. Sehingga partai tidak mempunyai pilihan lain, selain menjatuhkan pada calon yang mempunyai sisi elektabilitas tinggi dan mempunyai kemampuan finansial yang cukup. Persoalan intelektualitas dan wawasan kebangsaan bisa jadi merupakan standardisasi no sekian untuk merekrut calon. Selama ini yang lebih banyak disoroti oleh berbagai partai dan khalayak adalah suksesnya pelaksanaan PEMILU. Namun, yang sangat jarang disorot atau bahkan tidak pernah sama sekali adalah anggota-anggota legislatif yang lolos dalam PEMILU tersebut berkualitas atau tidak, kapabel atau menguasai berbagai persoalan kedaerah atau kebangsaan, responsif terhadap persoalan yang ada di daerah atau pusat, dan tidak kalah pentingnya menguasai dinamika hukum yang berlaku dan mampu membuat regulasi yang sesuai dengan tuntutan aspirasi dan kemajuan daerah atau pusat. Bisa dibayangkan, apabila yang terpilih tidak mempunyai kompetensi itu semua atau hanya ala kadarnya. Produk hukum seperti apa yang dapat dihasilkan oleh mereka?. Memang, cara kerja bidang legislatif lebih pada kolektif-kolegial, bukan kerja Individual atau tim yang ada komandonya. Sehingga ada beberapa saja yang aktif mengkritisi, mengecek dan menginisiasi berbagai produk hukum seolah dianggap representasi secara keseluruhan. Justru disitulah muncul persoalan. Dinamika yang akan berjalan dalam kelegislatifan akan cenderung monoton dan tidak berimbang. Kelegislatifan “meskipun cara kerjanya kolektif-kolegial” akan cenderung dimonopoli oleh orangorang yang “menguasai” persoalan di lapangan, karena yang lain hanya jadi tukang stempel alias SAY YES an sich terhadap berbagai produk yang dihasilkan. Mestinya, dalam kelegislatifan ada suasana dan dinamika intelektual yang mengalir deras dalam menelorkan produk hukum. Dikarenakan Hal ini tentunya melibatkan banyak pikiran-pikiran cerdas, kritis, antisipatif, konstruktif, dan futuristik dalam menghasilkan produk hukum. Tawaran solusi Tentunya PEMILU ini merupakan hajatan besar, baik bagi pusat maupun daerah. Hajatan yang tidak hanya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit baik dari calon ataupun penyelenggara yang dalam hal ini adalah KPU. Betapa ruginya, jika biaya yang dikeluarkan sangat banyak, namun menghasilkan output yang kurang kompeten. Untuk meminimalisir persoalan tersebut, saya menawarkan beberapa solusi: 1. Setiap partai boleh merekrut sebanyak-banyaknya bakal calon legislatif yang akan bertarung di PEMILU 2. Bakal calon tersebut sebelum masuk daftar calon terlebih dahulu di TES dengan menggunakan CAT yang bisa disediakan oleh KPU. Semua bakal calon dari pertai yang akan berkompetisi wajib ikut CAT tersebut. Untuk materi CATnya samakan saja dengan CAT CASN dengan standardisasi minimal harus lolos passing grade. Jika mereka lolos passing grade, maka partai yang bersangkutan bisa memilih dan menentukan calon dengan memberikan TES SKB sesuai dengan mekanisme yang berjalan di partai. 3. Calon yang lolos, mereka berhak untuk ikut berkontestasi dalam PEMILU(bersambung)... Jika mekanisme ini yang dijalani, Kita tidak akan lagi memilih orang, yang hanya faktor kedekatan emosional, kekeluargaan, kekayaan, kecaperan dan faktor emosional lainnya, namun kita akan meilih mereka karena kita mengetahui kapasitas dan kapabilitas calon yang akan kita dukung. Salam bahagia menyambut PEMILU