ISSN 0215-8250 DAMPAK PENDIDIKAN TERHADAP MOBILITAS SOSIAL DI BALI UTARA PADA ZAMAN KOLONIAL BELANDA AWAL ABAD XX oleh I Made Pageh Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan IPS, IKIP Negeri Singaraja ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dampak pendidikan terhadap mobilitas sosial di Bali Utara zaman kolonial Belanda awal abad XX. Prosedur penulisan menggunakan langkah-langkah penulisan sejarah, dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Pendidikan zaman kolonial bertujuan untuk menyiapkan tenaga administrasi untuk birokrasi Belanda yang bersifat diskriminatif. Pendidikan kolonial berdampak luas terhadap kemajuan masyarakat Bali. Banyak golongan elit jaba dapat menduduki posisi penting dalam birokrasi Belanda. Pemahaman yang benar terhadap catur warna adalah konsep berdasarkan swadharma agama, sementara kasta adalah konsep berdasarkan kelahiran. Jati dalam konsep triwangsa diartikan lahir dari rahim keluarga triwangsa. Penafsiran yang berbeda terhadap sistem warna, memunculkan tuntutan perubahan penghargaan status sosial dari berbasis kasta menjadi warna. Golongan elit jaba menuntut agar golongan triwangsa menghargai status sosial bukan hanya berdasarkan penggolongan secara tradisional, yaitu jaba dan triwanga, tetapi juga berdasarkan prestasi (echeivement), karena sistem kasta dipandang hanya menguntungkan golongan triwangsa. Konflik ini berkepanjangan, bahkan menjadi bom waktu di Bali. Belajar dari fakta sejarah tersebut, perlu kehati-hatian dalam mengadakan pembaharuan pada masyarakat tradisional. Kata Kunci : Pendidikan- Mobilitas Sosial- di Bali Utara Awal Abad XX. ABSTRACT This research aimed to examine the impact of education upon social mobility in North Bali in Ducth colonial era early twentieth century. The prosedure of this writing used the historical steps, with socials approach. According to the results of this study could be understood that educational system in colonial period, aimed to prepare the administration of Duch bureaucracy had discriminative _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003 ISSN 0215-8250 character. The colonial education had a large effect to the Balinese development. There were many elite jaba class had got important position in Ducth bureaucracy. The great understanding of people exactly, to the warna system, rose the demand to award movement of social status, from casta system oriented to warna system. The jaba group claimed the concioiusness of triwangsa class, in grouping of social status wasn’t through only the traditional system such as jaba and triwangsa, but based of education (prestige), becouse casta system was seen to destiny the triwangsa class only. This conflict was continuously, event rose bomb time in Bali. Studied from those histories fact, there was neccessary to have a care in rissing the advantages in traditional society. Key Word: Education- Social Mobility- in North Bali Early Twenty-Century. 1. Pendahuluan Sejarah pendidikan di Bali zaman kolonial Belanda, sangat menarik untuk dikaji. Secara umum, pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan sosial atau mobilitas sosial pada masyarakat. Terselenggaranya sistem pendidikan barat di Bali Utara awal abad XX, memunculkan dampak positif bagi perkembangan masyarakat. Karya Sutherland (1983), dan Robert van Niel (1984) berskala nasional, membahas masalah ini secara mendalam. Ada beberapa tulisan yang menyinggung kota Singaraja, tetapi tidak mengkaji secara khusus dampak pendidikan barat terhadap mobilitas sosial (Agung, 1974; 1993; 1996). Agung (1996) menyoroti dampak pendidikan di Bali, tetapi kurang menukik dan meluas sampai ke Lombok Barat (karesidenan Bali-Lombok). Antara (1996) dalam tesisnya banyak menyebut-nyebut daerah Bali Utara sebagai pusat pendidikan ketika itu. Dalam memori serah-terima jabatan Residen Bali Lombok, banyak melaporkan kemajuan pendidikan di Bali Utara. Semuanya itu, dijadikan acuan dalam tulisan ini. Fokus kajian tulisan ini terbatas mengenai: (1) sistem pendidikan yang berlaku zaman kolonial Belanda; (2) penerimaan masyarakat terhadap ide-ide pembaharuan elite terpelajar; (3) dampak pendidikan terhadap mobilitas sosial di Bali Utara zaman kolonial Belanda awal abad XX. Pemecahan permasalahan ini, sekaligus menjadi tujuan dalam tulisan ini. _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003 ISSN 0215-8250 Masyarakat Bali yang menerapkan sistem kasta, memiliki mobilitas sosial vertikal sangat tertutup, sedangkan mobilitas sosial horizontal masih dimungkinkan. Sistem pendidikan barat dengan mudah dapat memberikan dampak terhadap mobilitas sosial vertikal maupun horizontal, tetapi masih sangat sulit menembus dinamika sosial vertikalnya (Bouman,1982:83; Soekanto, 1982:6; 1990:333; Lloyd,1986: 179). Ketika pendidikan mau menembus mobilitas sosial vertikal, di mana masyarakat yang bersangkutan masih berpegang kepada status sosial atas kelahiran, maka secara teori dapat memunculkan konflik. Namun konflik tidak bertujuan untuk menghancurkan masyarakat, karena sikap masyarakat berkecendrungan untuk menuju keseimbangan melalui kompromi, (Sunderson, 2000:11). Secara struktural fungsional (Agung, 1974; Turner, 1978:121), sistem sosial memiliki kecenderungan untuk menuju keseimbangan, apakah itu melalui kompromi atau radikal (Amirin, 1987; Zamroni, 1988). Konflik kasta pula terjadi karena masyarakat memperebutkan sumber-sumber daya yang ada. Apabila mereka mengalami benturan kepentingan dapat menimbulkan konflik. Penyelesaian konflik jika menggunakan cara-cara kekerasan akan mendapatkan hasil yang berbeda dengan penyelesaian secara kompromi atau musyawarah dan mufakat. 2. Metode Penelitian Pencapaian tujuan-tujuan di atas dikembangkan model studi sejarah dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, yang meliputi studi dokumenter, analisis data, kemudian verifikasi untuk mendapatkan tulisan sejarah yang lebih kaya kasanah (Sartono, 1992; Kuntowijoyo, 1994; Garraghan, 1957; Widja, 1989). Prosedur penulisan dengan langkah-langkah: Penentuan topik, heuristik yaitu mengumpulkan arsip, dan kajian pustaka; kritik (ekstern dan intern) mendapatkan keabsahan sumber dan informasi; interpretasi yaitu: verifikasi fakta dan menafsirkan kemungkinan-kemungkinannya; dan historiografi sejarah sosial. Dalam membangun kerangka konseptual dan fakta dalam tulisan ini dipinjam beberapa teori sosial, seperti teori sistem, teori struktural fungsional untuk membuat bingkai tulisan, bahkan juga di sisi lain teori konflik sehingga berbau elektisisme (Sanderson,2000:22) untuk menjelaskan data menjadi fakta, sehingga _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003 ISSN 0215-8250 kebenaran faktanya dapat dipercaya (lihat pula Kartodirdjo, 1992; Kuntowijoyo, 1994; Widja, 1989). 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan 3.1 Sistem Pendidikan Kolonial Pendidikan barat zaman kolonial secara umum bertujuan untuk menyiapkan tenaga administratif birokrasi kolonial yang hanya sekadar bisa membaca, menulis, dan aritmatik sederhana. Pelaksanaan pendidikan banyak bersifat menghafal dengan sistem drill, dengan karakter guru yang menakutkan. Sedangkan peserta didiknya sangat diskriminatif, sangat memanjakan golongan feodal (raja dan bangsawan), mengutamakan prestige dibandingkan dengan prestasi. Dalam perundangan tentang penggajian guru, peluang untuk mensejahterakan guru sangat besar. Namun masih sebatas perundangan dalam kenyataannya diskriminasi penggajian sangat tampak, dari besarnya fee take home kalangan guru pribumi kalau dibandingkan dengan guru dari bangsa kulit putih. Campur tangan pemerintah kolonial dalam pendidikan sangat besar, terutama dalam menentukan mata ajar yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan saat itu. Pendidikan sangat bersifat sentralistik. Hal ini mudah dapat dipahami karena kolonial Belanda memandang investasi pendidikan dalam jangka panjang sangat menentukan mati-hidupnya kolonisasi Belanda itu sendiri, di Indonesia umumnya dan Bali Utara khususnya. Dengan demikian maka pengawasan isi mata ajar sangat ketat, terutama dalam mengajarkan tentang kekuasaan, sistem pemerintahan, dan keadilan sosial-politik yang terjadi dalam masyarakat kolonial. 3.2 Beberapa Ide Pembaharuan dalam Masyarakat Pembaharuan banyak muncul dari golongan elite terpelajar, terutama dari golongan keluarga di kalangan elite jaba. Bentuk pembaharuan dapat ditemukan dalam ide pembentukan organisasi formal, sekaha, bank rakyat (volk bank) sistem banjar, majalah Surya Kanta, dan sebagainya. Keanggotaan organisasi pada mulanya lebih banyak berdasarkan kepengikutan (volgelinzijn) atau pola pegustian (hubungan sisia-gusti) menjadi berdasarkan hubungan formal secara organisatoris, seperti sekolah dan kursus-kursus. Dalam sistem komunikasi organisasi dari sistem _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003 ISSN 0215-8250 kulkul ke surat-menyurat dan atau ke majalah ilmiah. Dalam majalah ilmiah Surya Kanta misalnya, banyak gagasan pembaharuan muncul, terutama dalam menciptakan masyarakat literasi yang elegan secara luas, dalam mengatasi kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural di masyarakat (lihat Waanders, 1859; Caron, 1926). Di samping itu, elite jaba terpelajar terus menuntut agar diadakan perubahan sosial vertikal, seperti demokratisasi (egalitarian), kesamaan hak dan kewajiban, dan persamaan dalam kemungkinan untuk menempati posisi penting, yaitu fungsi triwangsa di masyarakat, sesuai dengan sastra agama dan sistem catur warna. Catur warna seperti disebutkan di atas adalah konsep berdasarkan swadharma agama, sementara kasta adalah konsep berdasarkan kelahiran (jati), berbeda dengan konsep dwijati. Jati di sini diartikan lahir dari rahim keluarga triwangsa, sementara konsep dwijati pada elite terpelajar jaba, yang sesuai dengan sastra Agama Hindu adalah dalam arti seorang yang lahir dua kali, yaitu jati pertama lahir dari rahim ibu (siapa saja), dan jati kedua “lahir” dari upacara pediksaan. Ketika gagasan ini dipublikasikan dalam majalah Suryakanta oleh golongan Jaba terpelajar, konflik kasta terjadi, dan berkepanjangan. Berbagai ide pembaharuan muncul di Bali Utara itu tidak mendapat sambutan positif, karena masyarakat dari golongan triwangsa belum siap menerimanya. 3.3 Dampak Pendidikan Terhadap Mobilitas Sosial di Bali Utara Pendidikan zaman kolonial Belanda berdampak positif dalam mengantarkan masyarakat menuju pencerahan/ kemajuan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari fakta sejarah, banyaknya golongan jaba menempati posisi penting dalam birokrasi kolonial Belanda. Terutama dengan dibangunnya Sekolah-sekolah Rakyat (SR) di berbagai desa, MULO, dan sekolah kejuruan lainnya di keresidenan Bali–Lombok. Banyak pegawai dan gurunya diangkat oleh Belanda dari golongan Jaba berpendidikan guru, sesuai dengan spesialisasi atau spesifikasinya. Status sosial sebagai pegawai negeri ini oleh masyarakat luas, dikategorikan sebagai priyayi, yang beredudukan sangat terhormat. _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003 ISSN 0215-8250 Dengan demikian, pendidikan banyak memberikan peluang terjadinya mobilitas sosial masyarakat, terutama perubahan horizontal. Pertentangan kasta antara golongan Jaba dan triwangsa (elite tradisional), dalam mempertentangkan penerapan konsep warna. mudah dapat dipahami, karena sistem kasta hanya menguntungkan elite tradisional, sehingga golongan triwangsa sangat konservatif mempertahankannya. Di pihak lain, elite jaba terpelajar memandang sistem warnalah yang sesuai dengan agama Hindu, yaitu status berdasarkan pada fungsinya, atau mendasarkan diri pada kemampuan dan status yang disandang seseorang, terutama elite jaba terpelajar pada posisi birokrasi kolonial Belanda, ketika itu. Perebutan sumber daya status sosial ini, sebagai konsekuensi dari sebuah perubahan digagaskan memunculkan konflik sosial di masyarakat Bali Utara. Masing-masing golongan, yaitu jaba dan triwangsa menggunakan media komunikasinya sebagai alat bela diri, atau pembenaran diri yaitu: majalah Suryakanta bagi golongan jaba dan Bali Adnyana bagi golongan triwangsa. Tuntutan elite jaba terpelajar mendasarkan diri pada pengetahuan yang dimiliki (satra agama) terus menggebu-gebu. Mereka menuntut agar diadakan perubahan sosial vertikal, seperti demokratisasi (egalitarian), kesamaan hak dan kewajiban, dan persamaan dalam berbagai kesempatan dan kemungkinan menempati status sosial yang ada di masyarakat, terutama untuk menempati posisi penting yang selama ini fungsi itu dimonopoli oleh golongan triwangsa, berdasarkan tradisi yang ada di Bali umumnya. Hal itu dipandang tidak benar dan tidak adil, karena tidak sesuai dengan sastra agama (catur warna). Dijelaskan oleh golongan jaba terpelajar, catur warna yang berdasarkan swadharma agama atau fungsi-fungsi dalam pembagian pekerjaan dalam masyarakat Hindu, telah dilencengkan menjadi konsep kasta yang berdasarkan kelahiran natural dari rahim ibu atau keturunan (lihat pula Wiana dan Raka Santri, 1997). Yang sangat berbeda dengan konsep dwijati, yaitu pertama dari rahim ibu, kedua “lahir” dari upacara pediksaan. Dengan demikian disimpulkan, siapun juga sebenarnya berhak menjadi brahmana, asal mampu melaksanakan fungsi dan swadharmanya sebagai pemimpin upacara keagamaan di masyarakat, dengan catatan mereka telah di dwijati/didiksa (lihat Agung,1983; Atmadja, 1987). _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003 ISSN 0215-8250 Protes golongan elit jaba terutama di daerah basis elite terpelajar seperti daerah Banjar Jawa, Banjar Tegal, Banyumala, dan Bubunan, mengembangkan bahasa ‘prokem’ (ngoko) yang berusaha melawan bahasa sor-singgih (bahasa halus) seperti kata “nani, cicing nani, ake, oke, hanya menyebut gus, gung, ti bagi golongan triwangsa Ida Bagus, Anak Agung dan Gusti, dan sebagainya. Sejak zaman Orde Baru ada kenyataan klan dalam masyarakat membentuk Sri Empu dari golongan jaba (luar triwangsa). Warga pande memang telah mewarisi tradisi Bali menggunakan pemuput sendiri dari warga pande, disebut Sri Empu Pande, karena ada bisama bahwa golongan brahmana dan golongan pande dalam melaksanakan perupacaraan boleh mandiri, tetapi bukan untuk seluruh umat hindu di Bali. Sedangkan fungsi kolosal warga pande dari sejak zaman kerajaan adalah sebagai pemasupati berbagai peralatan upacara dan upakara seperti: pretima, keris, patung, senjata, perlengkapan pakaian raja, cincin; wadah, petulangan, termasuk bangunan raja, menggunakan dharma kepandean. Sebagai tradisi memang harus diartikan dalam konteks desa, kala, dan tatwa (tempat, waktu, dan ajaran leluhur). Terjadilah reaksi yang sangat konservatif bagi golongan triwangsa terhadap gagasan pembaharuan konsep kasta menjadi warna itu, dialog pertentangan bathin antara dua golongan ini dapat dibaca dalam dua majalah yang menjadi media komunikasi massa masing-masing golongan tahun 1927-an, yaitu: Surya Kanta dan Bali Adnyana. Dalam dua majalah itu, dapat ditemukan tokoh triwangsa yang aktif berdialog saat itu adalah I Gusti Putu Cakratanaya tokoh dari Puri Sukasada, I Gusti Ketut Putra; Ida Bagus Gelgel, Ida Pedanda Putu Geria, dan lain-lain. Sedang golongan terpelajar jaba dimotori oleh Ketut Sandi, Ketut Nasa, Nengah Metra, Ketut Purna, Wayan Ruma, Made Kaler, Nyoman Kajeng, dan sebagainya. Namun tidak terdapat fakta sampai terjadi korban jiwa. Pertentangan kasta di Bali Utara, tidak terselesaikan dengan bijak karena penyelesaiannya dengan menggunakan streotif ideologi komunis (Suryakanta,1927) sehingga masalah ini menjadi bom waktu sampai sekarang. Terbukti dari pertentangan kepengurusan Parisada Pusat dengan Parisada Daerah Bali, yaitu adanya dua keinginan di satu sisi ingin mengadakan pembaharuanpembaharuan terhadap tradisi Bali terutama bebantenan disesuaikan dengan tatwa _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003 ISSN 0215-8250 yang didapat dari India, sementara di lain pihak ingin Agama Hindu di Indonesia itu mendekati perkembangan Hindu di Bali terakhir. 4. Penutup Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan, Pendidikan dapat mengantarkan orang Bali memasuki birokrasi pemerintah kolonial, bahkan ada yang dapat menduduki posisi penting di mata masyarakat, seperti pegawai, guru, dan ajudan pemerintah kolonial. Kondisi ini memberikan peluang bagi elit jaba untuk mengadakan pembaharuan sistem kasta menjadi sistem warna. Hal ini mendapat tantangan dari golongan triwangsa, sehingga terjadi pertentangan kasta di Bali Utara awal abad XX. Protes golongan elit jaba masih berlanjut hingga sekarang di Bali Utara, bahkan idenya merembes ke daerah lain. Sehingga bom waktu pertentangan kasta (konflik) di Bali Utara dapat dilihat dalam konteks ini. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan saran sebagai berikut: pertentangan kasta di Bali Utara, dapat dijadikan pelajaran bagi masyarakat hindu di manapun berada, karena ide cemerlang, tujuan mulia, dan bahkan dengan landasan tatwa dan sastra untuk mengubah kebiasaan masyarakat, ternyata belum cukup dapat mengantar masyarakat menjadikan Agama Hindu yang besar terbebas dari konflik. Suksesnya sebuah pembaharuan sangat ditentukan oleh good will, kebijakan bersama, dengan metode yang tepat, terutama dalam mengubah tradisi yang sangat sensitif dan berpotensi memunculkan konflik. DAFTAR PUSTAKA Agung, Anak Agung Gde Putra. 1974. “Perubahan Sosial dan Pertentangan Kasta di Bali Utara, 1924-1928”. Tesis S-1. Yogyakarta, UGM Unpublish. _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003 ISSN 0215-8250 ___________________. 1993. “Dampak Pendidikan Terhadap Perubahan Sosial di Bali”. Tesis . Yogyakarta UGM: Unpublish. ___________________. 1996. “Peralihan Sistem Birokrasi Kerajaan Karangasem, 1890-1930”. Disertasi. Yogyakarta: UGM, Unpublish. Antara, I Wayan Wesna. 1996. Perkembangan Pendidikan di Lombok Masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Yogyakarta: UGM, Tesis. Unpublish. Arsip Nasional oleh G.F. de Bruyn Kops. Memorie van Overgave van den Resident Bali en Lombok. Singaraja: 1 April 1909. Arsip Nasional oleh Heekstra. Nota van Toelichtingen Betreffende het in Stellen Zelfbestuurnde Landschap Tabanan.Singaraja: tt. dan Idem, Badung, 1939. Arsip Nasional oleh P.E. Moolenburgh. Memorie van Overgave van den Resident Bali en Lombok. Singaraja: September 1926. Atmadja, Nengah Bawa. 1987. “Surya Kanta Sebagai Perkumpulan Sempalan dan Gagasannya dalam Mewujudkan Kemajuan dan Kesempurnaan Masyarakat Bali (1925-1927)”. Laporan Peneliteian. FKIP Unud Singaraja. Bouman, P.J. 1992. Sosiologi Fundamental. Ratmoko (pen.). Jakarta: Djambatan. Garraghan, Gilbert J., S.J.1957. A Guide to Historical Method. New York: Fordham University Press. Grader, C.J. 1937-an. Nota Penjelasan Mengenai Swapraja Buleleng. (Terjemahan: Koleksi Pribadi). _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003 ISSN 0215-8250 _________________. 1992. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia. _________________. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia. Kumpulan Majalah Surya Kanta, dari tahun 1925-1929; Djatajoe; Bali Adnyana, tahun 1924-1929 (Koleksi Gedong Kirtya Singaraja). Kuntowijoyo. 1994. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lloyd. Christopher. Explanation in History. 1986. New York: Basil Blacwell, Ltd. Niel, Robert van. Munculnya Elite Modern Indonesia. YIIS (pen.). Jakarta: Pustaka Jaya. Sanderson, Stephen K. 2000. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas SosialJakarta: Rajawali Press. Edisi II. Soekanto, Soerjono. 1970. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan UI. Surjomihardjo, Abdurrachman. 1986. Kihadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Sinar Harapan. Turner, Jonathan H.1978. The Structure of Sociological Theory. Ontario: The Dorsey Press. Waanders, Bloemen,PL.v. 1859. Aanteekeningen Omtrent de Zedem en Gebruiken der Balinezen in Zonderheid die van Boeleleng. TBG. VIII. Batavia: Lange en Co. _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003 ISSN 0215-8250 ____________________. 1856. “Aanteekeningen Omtrent Bali”, dalam TBG. VII 1856. Wiana, Ketut dan Raka Santri, 1997. Kasta dalan Hindu: Kesalahpahaman Berabad-abad. Denpasar: Yayasan Dharna Narada. Widja, I Gde. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta: Dirjen Dikti. Zamroni.1988. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Jakarta: Dirjen Dikti. _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003