DAMPAK PENDIDIKAN TERHADAP MOBILITAS SOSIAL

advertisement
ISSN 0215-8250
DAMPAK PENDIDIKAN TERHADAP MOBILITAS SOSIAL DI BALI
UTARA PADA ZAMAN KOLONIAL BELANDA AWAL ABAD XX
oleh
I Made Pageh
Jurusan Pendidikan Sejarah
Fakultas Pendidikan IPS, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dampak pendidikan terhadap
mobilitas sosial di Bali Utara zaman kolonial Belanda awal abad XX. Prosedur
penulisan menggunakan langkah-langkah penulisan sejarah, dengan pendekatan
ilmu-ilmu sosial. Pendidikan zaman kolonial bertujuan untuk menyiapkan tenaga
administrasi untuk birokrasi Belanda yang bersifat diskriminatif. Pendidikan
kolonial berdampak luas terhadap kemajuan masyarakat Bali. Banyak golongan elit
jaba dapat menduduki posisi penting dalam birokrasi Belanda. Pemahaman yang
benar terhadap catur warna adalah konsep berdasarkan swadharma agama,
sementara kasta adalah konsep berdasarkan kelahiran. Jati dalam konsep
triwangsa diartikan lahir dari rahim keluarga triwangsa. Penafsiran yang berbeda
terhadap sistem warna, memunculkan tuntutan perubahan penghargaan status
sosial dari berbasis kasta menjadi warna. Golongan elit jaba menuntut agar
golongan triwangsa menghargai status sosial bukan hanya berdasarkan
penggolongan secara tradisional, yaitu jaba dan triwanga, tetapi juga berdasarkan
prestasi (echeivement), karena sistem kasta dipandang hanya menguntungkan
golongan triwangsa. Konflik ini berkepanjangan, bahkan menjadi bom waktu di
Bali. Belajar dari fakta sejarah tersebut, perlu kehati-hatian dalam mengadakan
pembaharuan pada masyarakat tradisional.
Kata Kunci : Pendidikan- Mobilitas Sosial- di Bali Utara Awal Abad XX.
ABSTRACT
This research aimed to examine the impact of education upon social
mobility in North Bali in Ducth colonial era early twentieth century. The prosedure
of this writing used the historical steps, with socials approach. According to the
results of this study could be understood that educational system in colonial period,
aimed to prepare the administration of Duch bureaucracy had discriminative
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
character. The colonial education had a large effect to the Balinese development.
There were many elite jaba class had got important position in Ducth bureaucracy.
The great understanding of people exactly, to the warna system, rose the demand
to award movement of social status, from casta system oriented to warna system.
The jaba group claimed the concioiusness of triwangsa class, in grouping of social
status wasn’t through only the traditional system such as jaba and triwangsa, but
based of education (prestige), becouse casta system was seen to destiny the
triwangsa class only. This conflict was continuously, event rose bomb time in Bali.
Studied from those histories fact, there was neccessary to have a care in rissing the
advantages in traditional society.
Key Word: Education- Social Mobility- in North Bali Early Twenty-Century.
1. Pendahuluan
Sejarah pendidikan di Bali zaman kolonial Belanda, sangat menarik untuk
dikaji. Secara umum, pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
perubahan sosial atau mobilitas sosial pada masyarakat. Terselenggaranya sistem
pendidikan barat di Bali Utara awal abad XX, memunculkan dampak positif bagi
perkembangan masyarakat. Karya Sutherland (1983), dan Robert van Niel (1984)
berskala nasional, membahas masalah ini secara mendalam. Ada beberapa tulisan
yang menyinggung kota Singaraja, tetapi tidak mengkaji secara khusus dampak
pendidikan barat terhadap mobilitas sosial (Agung, 1974; 1993; 1996). Agung
(1996) menyoroti dampak pendidikan di Bali, tetapi kurang menukik dan meluas
sampai ke Lombok Barat (karesidenan Bali-Lombok). Antara (1996) dalam
tesisnya banyak menyebut-nyebut daerah Bali Utara sebagai pusat pendidikan
ketika itu. Dalam memori serah-terima jabatan Residen Bali Lombok, banyak
melaporkan kemajuan pendidikan di Bali Utara. Semuanya itu, dijadikan acuan
dalam tulisan ini.
Fokus kajian tulisan ini terbatas mengenai: (1) sistem pendidikan yang
berlaku zaman kolonial Belanda; (2) penerimaan masyarakat terhadap ide-ide
pembaharuan elite terpelajar; (3) dampak pendidikan terhadap mobilitas sosial di
Bali Utara zaman kolonial Belanda awal abad XX. Pemecahan permasalahan ini,
sekaligus menjadi tujuan dalam tulisan ini.
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
Masyarakat Bali yang menerapkan sistem kasta, memiliki mobilitas sosial
vertikal
sangat
tertutup,
sedangkan
mobilitas
sosial
horizontal
masih
dimungkinkan. Sistem pendidikan barat dengan mudah dapat memberikan dampak
terhadap mobilitas sosial vertikal maupun horizontal, tetapi masih sangat sulit
menembus dinamika sosial vertikalnya (Bouman,1982:83; Soekanto, 1982:6;
1990:333; Lloyd,1986: 179). Ketika pendidikan mau menembus mobilitas sosial
vertikal, di mana masyarakat yang bersangkutan masih berpegang kepada status
sosial atas kelahiran, maka secara teori dapat memunculkan konflik. Namun
konflik tidak bertujuan untuk menghancurkan masyarakat, karena sikap
masyarakat berkecendrungan untuk menuju keseimbangan melalui kompromi,
(Sunderson, 2000:11). Secara struktural fungsional (Agung, 1974; Turner,
1978:121), sistem sosial memiliki kecenderungan untuk menuju keseimbangan,
apakah itu melalui kompromi atau radikal (Amirin, 1987; Zamroni, 1988). Konflik
kasta pula terjadi karena masyarakat memperebutkan sumber-sumber daya yang
ada. Apabila mereka mengalami benturan kepentingan dapat menimbulkan
konflik. Penyelesaian konflik jika menggunakan cara-cara kekerasan akan
mendapatkan hasil yang berbeda dengan penyelesaian secara kompromi atau
musyawarah dan mufakat.
2. Metode Penelitian
Pencapaian tujuan-tujuan di atas dikembangkan model studi sejarah dengan
menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, yang meliputi studi dokumenter,
analisis data, kemudian verifikasi untuk mendapatkan tulisan sejarah yang lebih
kaya kasanah (Sartono, 1992; Kuntowijoyo, 1994; Garraghan, 1957; Widja, 1989).
Prosedur penulisan dengan langkah-langkah: Penentuan topik, heuristik yaitu
mengumpulkan arsip, dan kajian pustaka; kritik (ekstern dan intern) mendapatkan
keabsahan sumber dan informasi; interpretasi yaitu: verifikasi fakta dan
menafsirkan kemungkinan-kemungkinannya; dan historiografi sejarah sosial.
Dalam membangun kerangka konseptual dan fakta dalam tulisan ini dipinjam
beberapa teori sosial, seperti teori sistem, teori struktural fungsional untuk
membuat bingkai tulisan, bahkan juga di sisi lain teori konflik sehingga berbau
elektisisme (Sanderson,2000:22) untuk menjelaskan data menjadi fakta, sehingga
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
kebenaran faktanya dapat dipercaya (lihat pula Kartodirdjo, 1992; Kuntowijoyo,
1994; Widja, 1989).
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Sistem Pendidikan Kolonial
Pendidikan barat zaman kolonial secara umum bertujuan untuk menyiapkan tenaga
administratif birokrasi kolonial yang hanya sekadar bisa membaca, menulis, dan
aritmatik sederhana. Pelaksanaan pendidikan banyak bersifat menghafal dengan
sistem drill, dengan karakter guru yang menakutkan. Sedangkan peserta didiknya
sangat diskriminatif, sangat memanjakan golongan feodal (raja dan bangsawan),
mengutamakan prestige dibandingkan dengan prestasi. Dalam perundangan
tentang penggajian guru, peluang untuk mensejahterakan guru sangat besar.
Namun masih sebatas perundangan dalam kenyataannya diskriminasi penggajian
sangat tampak, dari besarnya fee take home kalangan guru pribumi kalau
dibandingkan dengan guru dari bangsa kulit putih.
Campur tangan pemerintah kolonial dalam pendidikan sangat besar,
terutama dalam menentukan mata ajar yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan
saat itu. Pendidikan sangat bersifat sentralistik. Hal ini mudah dapat dipahami
karena kolonial Belanda memandang investasi pendidikan dalam jangka panjang
sangat menentukan mati-hidupnya kolonisasi Belanda itu sendiri, di Indonesia
umumnya dan Bali Utara khususnya. Dengan demikian maka pengawasan isi mata
ajar sangat ketat, terutama dalam mengajarkan tentang kekuasaan, sistem
pemerintahan, dan keadilan sosial-politik yang terjadi dalam masyarakat kolonial.
3.2 Beberapa Ide Pembaharuan dalam Masyarakat
Pembaharuan banyak muncul dari golongan elite terpelajar, terutama dari
golongan keluarga di kalangan elite jaba. Bentuk pembaharuan dapat ditemukan
dalam ide pembentukan organisasi formal, sekaha, bank rakyat (volk bank) sistem
banjar, majalah Surya Kanta, dan sebagainya. Keanggotaan organisasi pada
mulanya lebih banyak berdasarkan kepengikutan (volgelinzijn) atau pola pegustian
(hubungan sisia-gusti) menjadi berdasarkan hubungan formal secara organisatoris,
seperti sekolah dan kursus-kursus. Dalam sistem komunikasi organisasi dari sistem
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
kulkul ke surat-menyurat dan atau ke majalah ilmiah. Dalam majalah ilmiah Surya
Kanta misalnya, banyak gagasan pembaharuan muncul, terutama dalam
menciptakan masyarakat literasi yang elegan secara luas, dalam mengatasi
kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural di masyarakat (lihat Waanders,
1859; Caron, 1926).
Di samping itu, elite jaba
terpelajar terus menuntut agar diadakan
perubahan sosial vertikal, seperti demokratisasi (egalitarian), kesamaan hak dan
kewajiban, dan persamaan dalam kemungkinan untuk menempati posisi penting,
yaitu fungsi triwangsa di masyarakat, sesuai dengan sastra agama dan sistem catur
warna.
Catur warna seperti disebutkan di atas adalah konsep berdasarkan
swadharma agama, sementara kasta adalah konsep berdasarkan kelahiran (jati),
berbeda dengan konsep dwijati. Jati di sini diartikan lahir dari rahim keluarga
triwangsa, sementara konsep dwijati pada elite terpelajar jaba, yang sesuai dengan
sastra Agama Hindu adalah dalam arti seorang yang lahir dua kali, yaitu jati
pertama lahir dari rahim ibu (siapa saja), dan jati kedua “lahir” dari upacara
pediksaan. Ketika gagasan ini dipublikasikan dalam majalah Suryakanta oleh
golongan Jaba terpelajar, konflik kasta terjadi, dan berkepanjangan. Berbagai ide
pembaharuan muncul di Bali Utara itu tidak mendapat sambutan positif, karena
masyarakat dari golongan triwangsa belum siap menerimanya.
3.3 Dampak Pendidikan Terhadap Mobilitas Sosial di Bali Utara
Pendidikan
zaman
kolonial
Belanda
berdampak
positif
dalam
mengantarkan masyarakat menuju pencerahan/ kemajuan masyarakat. Hal ini dapat
dilihat dari fakta sejarah, banyaknya golongan jaba menempati posisi penting
dalam birokrasi kolonial Belanda. Terutama dengan dibangunnya Sekolah-sekolah
Rakyat (SR) di berbagai desa, MULO, dan sekolah kejuruan lainnya di keresidenan
Bali–Lombok. Banyak pegawai dan gurunya diangkat oleh Belanda dari golongan
Jaba berpendidikan guru, sesuai dengan spesialisasi atau spesifikasinya. Status
sosial sebagai pegawai negeri ini oleh masyarakat luas, dikategorikan sebagai
priyayi, yang beredudukan sangat terhormat.
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
Dengan demikian, pendidikan banyak memberikan peluang terjadinya
mobilitas sosial masyarakat, terutama perubahan horizontal. Pertentangan kasta
antara golongan Jaba dan triwangsa (elite tradisional), dalam mempertentangkan
penerapan konsep warna. mudah dapat dipahami, karena sistem kasta hanya
menguntungkan elite tradisional, sehingga golongan triwangsa sangat konservatif
mempertahankannya. Di pihak lain, elite jaba
terpelajar memandang sistem
warnalah yang sesuai dengan agama Hindu, yaitu status berdasarkan pada
fungsinya, atau mendasarkan diri pada kemampuan dan status yang disandang
seseorang, terutama elite jaba terpelajar pada posisi birokrasi kolonial Belanda,
ketika itu. Perebutan sumber daya status sosial ini, sebagai konsekuensi dari
sebuah perubahan digagaskan memunculkan konflik sosial di masyarakat Bali
Utara. Masing-masing golongan, yaitu jaba dan triwangsa menggunakan media
komunikasinya sebagai alat bela diri, atau pembenaran diri yaitu: majalah
Suryakanta bagi golongan jaba dan Bali Adnyana bagi golongan triwangsa.
Tuntutan elite jaba terpelajar mendasarkan diri pada pengetahuan yang
dimiliki (satra agama) terus menggebu-gebu. Mereka menuntut agar diadakan
perubahan sosial vertikal, seperti demokratisasi (egalitarian), kesamaan hak dan
kewajiban, dan persamaan dalam berbagai kesempatan dan kemungkinan
menempati status sosial yang ada di masyarakat, terutama untuk menempati posisi
penting yang selama ini fungsi itu dimonopoli oleh golongan triwangsa,
berdasarkan tradisi yang ada di Bali umumnya. Hal itu dipandang tidak benar dan
tidak adil, karena tidak sesuai dengan sastra agama (catur warna). Dijelaskan oleh
golongan jaba terpelajar, catur warna yang berdasarkan swadharma agama atau
fungsi-fungsi dalam pembagian pekerjaan dalam masyarakat Hindu, telah
dilencengkan menjadi konsep kasta yang berdasarkan kelahiran natural dari rahim
ibu atau keturunan (lihat pula Wiana dan Raka Santri, 1997). Yang sangat berbeda
dengan konsep dwijati, yaitu pertama dari rahim ibu, kedua “lahir” dari upacara
pediksaan. Dengan demikian disimpulkan, siapun juga sebenarnya berhak menjadi
brahmana, asal mampu melaksanakan fungsi dan swadharmanya sebagai
pemimpin upacara keagamaan di masyarakat, dengan catatan mereka telah di
dwijati/didiksa (lihat Agung,1983; Atmadja, 1987).
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
Protes golongan elit jaba terutama di daerah basis elite terpelajar seperti
daerah Banjar Jawa, Banjar Tegal, Banyumala, dan Bubunan, mengembangkan
bahasa ‘prokem’ (ngoko) yang berusaha melawan bahasa sor-singgih (bahasa
halus) seperti kata “nani, cicing nani, ake, oke, hanya menyebut gus, gung, ti bagi
golongan triwangsa Ida Bagus, Anak Agung dan Gusti, dan sebagainya.
Sejak zaman Orde Baru ada kenyataan klan dalam masyarakat membentuk
Sri Empu dari golongan jaba (luar triwangsa). Warga pande memang telah
mewarisi tradisi Bali menggunakan pemuput sendiri dari warga pande, disebut Sri
Empu Pande, karena ada bisama bahwa golongan brahmana dan golongan pande
dalam melaksanakan perupacaraan boleh mandiri, tetapi bukan untuk seluruh umat
hindu di Bali. Sedangkan fungsi kolosal warga pande dari sejak zaman kerajaan
adalah sebagai pemasupati berbagai peralatan upacara dan upakara seperti:
pretima, keris, patung, senjata, perlengkapan pakaian raja, cincin; wadah,
petulangan, termasuk bangunan raja, menggunakan dharma kepandean. Sebagai
tradisi memang harus diartikan dalam konteks desa, kala, dan tatwa (tempat,
waktu, dan ajaran leluhur).
Terjadilah reaksi yang sangat konservatif bagi golongan triwangsa terhadap
gagasan pembaharuan konsep kasta menjadi warna itu, dialog pertentangan bathin
antara dua golongan ini dapat dibaca dalam dua majalah yang menjadi media
komunikasi massa masing-masing golongan tahun 1927-an, yaitu: Surya Kanta dan
Bali Adnyana. Dalam dua majalah itu, dapat ditemukan tokoh triwangsa yang aktif
berdialog saat itu adalah I Gusti Putu Cakratanaya tokoh dari Puri Sukasada, I
Gusti Ketut Putra; Ida Bagus Gelgel, Ida Pedanda Putu Geria, dan lain-lain. Sedang
golongan terpelajar jaba dimotori oleh Ketut Sandi, Ketut Nasa, Nengah Metra,
Ketut Purna, Wayan Ruma, Made Kaler, Nyoman Kajeng, dan sebagainya. Namun
tidak terdapat fakta sampai terjadi korban jiwa.
Pertentangan kasta di Bali Utara, tidak terselesaikan dengan bijak karena
penyelesaiannya
dengan
menggunakan
streotif
ideologi
komunis
(Suryakanta,1927) sehingga masalah ini menjadi bom waktu sampai sekarang.
Terbukti dari pertentangan kepengurusan Parisada Pusat dengan Parisada Daerah
Bali, yaitu adanya dua keinginan di satu sisi ingin mengadakan pembaharuanpembaharuan terhadap tradisi Bali terutama bebantenan disesuaikan dengan tatwa
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
yang didapat dari India, sementara di lain pihak ingin Agama Hindu di Indonesia
itu mendekati perkembangan Hindu di Bali terakhir.
4. Penutup
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan, Pendidikan dapat
mengantarkan orang Bali memasuki birokrasi pemerintah kolonial, bahkan ada
yang dapat menduduki posisi penting di mata masyarakat, seperti pegawai, guru,
dan ajudan pemerintah kolonial. Kondisi ini memberikan peluang bagi elit jaba
untuk mengadakan pembaharuan sistem kasta menjadi sistem warna. Hal ini
mendapat tantangan dari golongan triwangsa, sehingga terjadi pertentangan kasta
di Bali Utara awal abad XX. Protes golongan elit jaba masih berlanjut hingga
sekarang di Bali Utara, bahkan idenya merembes ke daerah lain. Sehingga bom
waktu pertentangan kasta (konflik) di Bali Utara dapat dilihat dalam konteks ini.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan saran
sebagai berikut: pertentangan kasta di Bali Utara, dapat dijadikan pelajaran bagi
masyarakat hindu di manapun berada, karena ide cemerlang, tujuan mulia, dan
bahkan dengan landasan tatwa dan sastra untuk mengubah kebiasaan masyarakat,
ternyata belum cukup dapat mengantar masyarakat menjadikan Agama Hindu yang
besar terbebas dari konflik. Suksesnya sebuah pembaharuan sangat ditentukan oleh
good will, kebijakan bersama, dengan metode yang tepat, terutama dalam
mengubah tradisi yang sangat sensitif dan berpotensi memunculkan konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Anak Agung Gde Putra. 1974. “Perubahan Sosial dan Pertentangan Kasta
di Bali Utara, 1924-1928”. Tesis S-1. Yogyakarta, UGM Unpublish.
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
___________________. 1993. “Dampak Pendidikan Terhadap Perubahan Sosial
di Bali”. Tesis . Yogyakarta UGM: Unpublish.
___________________. 1996. “Peralihan Sistem Birokrasi Kerajaan
Karangasem, 1890-1930”. Disertasi. Yogyakarta: UGM, Unpublish.
Antara, I Wayan Wesna. 1996. Perkembangan Pendidikan di Lombok Masa
Pemerintahan Kolonial Belanda. Yogyakarta: UGM, Tesis. Unpublish.
Arsip Nasional oleh G.F. de Bruyn Kops. Memorie van Overgave van den
Resident Bali en Lombok. Singaraja: 1 April 1909.
Arsip Nasional oleh Heekstra. Nota van Toelichtingen Betreffende het in Stellen
Zelfbestuurnde Landschap Tabanan.Singaraja: tt. dan Idem, Badung,
1939.
Arsip Nasional oleh P.E. Moolenburgh. Memorie van Overgave van den Resident
Bali en Lombok. Singaraja: September 1926.
Atmadja, Nengah Bawa. 1987. “Surya Kanta Sebagai Perkumpulan Sempalan
dan Gagasannya dalam Mewujudkan Kemajuan dan Kesempurnaan
Masyarakat Bali (1925-1927)”. Laporan Peneliteian. FKIP Unud
Singaraja.
Bouman, P.J. 1992. Sosiologi Fundamental. Ratmoko (pen.). Jakarta:
Djambatan.
Garraghan, Gilbert J., S.J.1957. A Guide to Historical Method. New York:
Fordham University Press.
Grader, C.J. 1937-an. Nota Penjelasan Mengenai Swapraja Buleleng.
(Terjemahan: Koleksi Pribadi).
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
_________________. 1992. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta: Gramedia.
_________________. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi
Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia.
Kumpulan Majalah Surya Kanta, dari tahun 1925-1929; Djatajoe; Bali Adnyana,
tahun 1924-1929 (Koleksi Gedong Kirtya Singaraja).
Kuntowijoyo. 1994. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lloyd. Christopher. Explanation in History. 1986. New York: Basil Blacwell,
Ltd.
Niel, Robert van. Munculnya Elite Modern Indonesia. YIIS (pen.). Jakarta:
Pustaka Jaya.
Sanderson, Stephen K. 2000. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas SosialJakarta: Rajawali Press. Edisi II.
Soekanto, Soerjono. 1970. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan UI.
Surjomihardjo, Abdurrachman. 1986. Kihadjar Dewantara dan Taman Siswa
dalam Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Sinar Harapan.
Turner, Jonathan H.1978. The Structure of Sociological Theory. Ontario: The
Dorsey Press.
Waanders, Bloemen,PL.v. 1859. Aanteekeningen Omtrent de Zedem en
Gebruiken der Balinezen in Zonderheid die van Boeleleng. TBG. VIII.
Batavia: Lange en Co.
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
____________________. 1856. “Aanteekeningen Omtrent Bali”, dalam TBG.
VII 1856.
Wiana, Ketut dan Raka Santri, 1997. Kasta dalan Hindu: Kesalahpahaman
Berabad-abad. Denpasar: Yayasan Dharna Narada.
Widja, I Gde. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah.
Jakarta: Dirjen Dikti.
Zamroni.1988. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Jakarta: Dirjen Dikti.
_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
Download