DISERTASI PENGGUNAAN BAHASA BALI PADA GUYUB TUTUR BAHASA BALI KOTA SINGARAJA DEWA PUTU RAMENDRA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 DISERTASI PENGGUNAAN BAHASA BALI PADA GUYUB TUTUR BAHASA BALI KOTA SINGARAJA DEWA PUTU RAMENDRA NIM 0790171006 PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i PENGGUNAAN BAHASA BALI PADA GUYUB TUTUR BAHASA BALI KOTA SINGARAJA Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana DEWA PUTU RAMENDRA NIM 0790171006 PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii Lembar Pengesahan DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 8 APRIL 2015 iii Disertasi ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 16 Januari 2015 Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor: 138/UN.14.4/HK/2015 Tanggal: 7 Januari 2015 Ketua: Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A. Anggota: 1. Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D. 2. Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A. 3. Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A. 4. Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U. 5. Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum. 6. Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S. 7. Dr. Anak Agung Putu Putra, M.Hum. iv PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Nama : Dewa Putu Ramendra NIM : 0790171006 Program Studi : Doktor Linguistik Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi Wasa karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, disertasi ini pada akhirnya dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D., selaku promotor yang telah dengan penuh kesabaran dan keramahan mengarahkan dan membimbing penulis dari penyusunan proposal hingga selesainya disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya, juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., selaku kopromotor I, dan Prof. Dr. Putu Niti Kertiasih, M.A., selaku Kopromotor II, yang telah dengan penuh kesabaran dan keramahan memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan koreksi atas penyelesaian disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD., dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S (K), Asisten Direktur I, Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II, Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph.D. atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan pula kepada Prof. Dr. Aron Meko Mbete dan Dr. A.A Putu Putra, M.Hum., selaku Ketua dan Sekretaris Program Doktor Linguistik, Program Pascasarjana vi Universitas Udayana, yang telah banyak memberikan arahan, masukan, dan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti pendidikan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Rektor beserta Pembantu Rektor Universitas Pendidikan Ganesha, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, serta rekan-rekan dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris atas segala dukungan selama penulis mengikuti pendidikan ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan pula kepada tim penguji disertasi ini, yakni Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D.; Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A.; Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A.; Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U.; Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A.; Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum.; Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S.; dan Dr. A.A. Putu Putra, M.Hum., atas berbagai saran, koreksi, sanggahan, dan kritik yang konstruktif demi kelayakan disertasi ini. Pada kesempatan yang baik ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada staf pengajar pada Program Doktor Linguistik Universitas Udayana, yakni Prof. Dr. Aron Meko Mbete; Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D.; Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A.; Prof. Drs. Ketut Artawa, M.A.; Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U.; Prof. Dr. I.G.M Sutjaja, M.A.; Prof. Dr. N.L. Sutjiati Beratha, M.A.; Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A.; Ph.D, Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S.; Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A.; Prof. Dr. I Nengah Sudipa, M.A.; Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum.; dan Dr. Ni Made vii Dhanawaty, M.S. yang telah banyak memperluas wawasan penulis pada setiap perkuliahan tentang linguistik. Penulis menyampaikan terima kasih pula kepada para senior dan rekanrekan di Program Doktor Linguistik Universitas Udayana, khususnya Dr. Agus Subiyanto, M.A., Dra. Ni Nyoman Sarmi, M.Hum., Drs. I Gusti Ketut Alit Saputra, M.Hum., Drs. I Nyoman Mulyana, M.Hum., Dr. Frans I Made Brata, M.Hum., Dr. Putu Sutama, M.Hum., Dr. Ni Made Setyawati, M.Hum., Dr. Seri Malini, M.Hum., Dr. Ni Mas Indrawati, M.Hum., Dr. Ni Made Suryati, M.Hum., Dr. Sukarini, M.Hum., Dr. Majid Wadji, M.Pd., Dra. Luh Putu Laksminy, M.Hum., Drs. Mulyono, M.Hum., Drs. Jekmen Sinulingga, M.Hum., Maryanti Etni Mokoagouw, S.S, M.Ed., Wawan Marhanjono Mustamar, S.S, M.Hum., Dr. I Ketut Yudha, M.Hum. (alm), Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum., Dr. Iwan Indrawan, M.Hum., dan seluruh rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas segala bantuan, saran, diskusi, dan dorongan semangat yang telah diberikan, baik ketika menempuh perkuliahan maupun dalam penyusunan disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pegawai/staf Program Studi Doktor Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana, yakni Nyoman Sadra, S.S., I Gusti Ayu Supadmini, I Ketut Ebuh, S.Sos., Nyoman Adi Triani, S.E., Ida Bagus Suanda, S.Sos., Ni Nyoman Sukartini, dan Ni Nyoman Sumerti atas berbagai dukungan administratif dan keramahan yang telah diberikan selama penulis mengikuti pendidikan ini. viii Ucapan terima kasih yang mendalam dan tulus, penulis sampaikan kepada ayah dan ibu kandung penulis serta ayah dan ibu mertua yang telah banyak memberikan dukungan; isteri tercinta, Ni Putu Pramita Utami,S.Pd, yang telah bersedia berbagi suka-duka selama ini; anak-anakku tersayang Desak Putu Ramita Pratiwi, Desak Made Ragendra Wardani, dan I Dewa Nyoman Ramanda yang selalu memberi dukungan moral, semangat, dan hiburan selama penulis menyelesaikan pendidikan ini. Tidak mungkin penulis dapat menyebutkan satu per satu orang-orang yang telah membantu penyelesaian disertasi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian studi dan disertasi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan limpahan rahmat-Nya kepada mereka. Denpasar, 2 Januari 2015 Penulis ix ABSTRAK PENGGUNAAN BAHASA BALI PADA GUYUB TUTUR BAHASA BALI KOTA SINGARAJA Penelitian ini mengkaji penggunaan bahasa Bali pada penutur bahasa Bali guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja dengan tujuan: (1) memaparkan bentuk tingkat tutur bahasa Bali, (2) menjelaskan hubungan antara tingkat tutur bahasa Bali dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender, (3) menguraikan dan menginterpretasikan faktor–faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali, dan (4) menjelaskan dan menginterpretasikan sikap penutur terhadap tingkat tutur bahasa Bali. Penelitian ini berlandaskan pada pendekatan pragmatisme dan secara lebih spesifik, menerapkan metode ganda triangulasi model multilevel, yakni penggunaan metode kualitatif dan kuantitatif secara bersama-sama untuk mencapai tujuan atau mengkaji masalah yang berbeda pada suatu penelitian. Sebagai sumber data, penelitian ini menggunakan 285 sampel (responden) yang dibagi menjadi 24 kelompok dan 24 informan yang di ambil dari setiap kelompok itu. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode survei, metode simak, dan metode cakap semuka; sedangkan, data sekunder diperoleh dari lembaga atau institusi tertentu seperti Biro Pusat Statistik, Lembaga Bahasa, buku-buku tata bahasa, dan lain-lain. Dalam hal ini, metode analisis data yang digunakan ada dua, yakni metode metode analisis data kualitatif pada data yang berwujud nonangka dan analisis data kuantitatif pada data yang berwujud angka. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa ada dua kaidah yang perlu diperhatikan sehubungan dengan bentuk tingkat tutur bahasa Bali, yakni kaidah alternasi dan kaidah kookurensi khusus. Sejalan dengan hal itu, kode kasar, secara berturut-turut dari persentase terbanyak sampai terendah, dibentuk oleh kata biasa, kata serapan bahasa Indonesia, dan kata kasar; kode biasa oleh kata biasa, kata serapan bahasa Indonesia, kata serapan bahasa Inggris, kata alus, dan kata serapan bahasa Sansekerta; kode alus oleh kata alus, kata biasa, kata serapan bahasa Indonesia, kata serapan bahasa Sansekerta, dan kata serapan bahasa Inggris. Selain itu, hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa secara signifikan, wangsa penutur merupakan variabel yang paling berhubungan dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Bali. Dalam hal ini, pada penutur triwangsa, variabel yang berikutnya berkaitan dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Bali adalah pekerjaan, umur, dan gender secara berurutan; sedangkan, pada penutur jaba adalah gender, umur, dan pekerjaan secara berurutan. Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan kode kasar secara simetris adalah kehadiran faktor keakraban, kesetaraan umur, dan solidaritas secara bersama-sama, atau faktor pengungkapan kemarahan secara simetris; penggunaan kode kasar secara tidak simetris adalah faktor keakraban menurun pada jaba kelas rendah atau faktor pengungkapan kemarahan yang disertai kesenjangan status; penggunaan kode biasa secara simetris adalah faktor jaba, faktor solidaritas interwangsa, faktor x domain penggunaan bahasa pada jaba, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa; penggunaan kode biasa secara nonsimetris adalah faktor kesenjangan status yang tinggi atau faktor kekuasaan (pengaruh); dan penggunaan kode alus secara nonsimetris adalah faktor kekerabatan pada triwangsa, faktor penghormatan intradan inter-wangsa, faktor domain penggunaan bahasa pada triwangsa, faktor latar, faktor topik tutur, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa pada triwangsa. Dalam hubungannya dengan sikap bahasa, secara umum ditemukan bahwa sikap terhadap kode kasar cenderung netral, sedangkan sikap terhadap kode biasa dan kode alus positif. Kata Kunci: Penggunaan bahasa, variasi, tingkat tutur bahasa Bali, guyub tutur, wangsa, pekerjaan, umur, gender, dan sikap bahasa xi ABSTRACT THE USE OF BALINESE IN BALINESE SPEECH COMMUNITY IN SINGARAJA CITY This research studied the use of Balinese in Balinese speech community of Singaraja city and aimed at (1) describing the forms of Balinese speech levels, (2) explaining the correlation between Balinese speech levels and wangsa, occupation, age, and gender, (3) describing and interpreting the factors that influence the use of Balinese speech levels, and (4) explaining and interpreting the attitude of Balinese speakers toward Balinese speech levels. This research was conducted based on pragmatism appproach and specifically, applied triangulation mixed method of multilevel model, i.e., the use of both qualitative and quantitative method together at the same time to achieve different purposes or to study different problems in one research. As the data source, this research used 285 samples (respondents) which were divided into 24 groups and 24 informants as representative from each of those groups. The primary data were collected through survey, observation, and interview, whereas the secondary data were collected from some institutions like Statistic Center Office, Language Center, and grammar books, and others. In this sense, the data analysis employed was of two kinds, i.e., qualitative analytic method which was directed toward nonnumber data and quantitative analytic method which was directed toward number data. The results of the research showed that there were two rules that needed to be attented in relation to the form of Balinese speech levels, that is, specific alternation and coocurrence rule. In this sense, kasar code, from the highest to the lowest percentage in a row, was formed by biasa words, Indonesian borrowings, and kasar words; biasa code was formed by biasa words, Indonesian borrowings, English borrowings, alus words, and Sanskrit borrowings; alus code is formed by alus words, biasa words, Indonesian borrowings, Sanskrit borrowings, and English borrowings. Besides, this research also showed that significantly, speakers’ wangsa was the variable that was most related with the use of Balinese speech levels. In this regards, in triwangsa speakers, the subsequent variables that were related with the use of Balinese speech levels were occupation, age, and gender; where as in jaba speakers were gender, age, and occupation. Besides, the results of the research also showed that the symmetrical use of kasar code was influenced by intimacy, equality, and solidarity factor, or symmetrical anger exspression factor; the asymmetrical kasar code use was influenced by descending intimacy factor, or anger expression factor in a status asymmetry; symmetrical biasa code use was influenced by jaba factor, interwangsa solidarity factor, language domain factor, or culture and language socialization factor; asymmetrical biasa code use was influenced by a high status asymmetrical factor or power factor; symmetrical alus code use was influenced by kinship in triwangsa factor, inter-and intra-wangsa respect factor, language domain factor, speech setting factor, speech topic factor, or culture and xii socialization factor in triwangsa. In relation with language attitude, the research showed that the attitude towards kasar code tended to be neutral, whereas the attitude towards biasa and alus code was positive. Keywords: language use, variety, Balinese speech levels, speech community, wangsa, occupation, age, gender, and language attitude. xiii RINGKASAN PENGGUNAAN BAHASA BALI PADA GUYUB TUTUR BAHASA BALI KOTA SINGARAJA 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat tutur bahasa Bali menyediakan sejumlah ragam pilihan kode bagi penutur bahasa Bali untuk digunakan berdasarkan status dan kedekatan antara penutur-mitra tutur. Ragam itu secara umum dibedakan atas kode alus, kode biasa, dan kode kasar. Menurut norma bahasa yang berlaku, kode alus digunakan untuk bercakap-cakap dengan atau di antara peserta tutur triwangsa; kode biasa digunakan untuk bercakap-cakap dengan atau di antara peserta tutur jaba; sedangkan, kode kasar digunakan untuk bercakap-cakap dengan atau di antara peserta tutur yang sangat akrab, merujuk hewan, atau untuk mengungkapkan rasa kesal. Sejalan dengan perkembangan zaman, dari zaman tradisional ke zaman modern, penentuan kelas sosial masyarakat Bali yang mulanya hanya berdasarkan wangsa, yakni triwangsa dan jaba, mengalami dinamika. Keanggotaan kelas sosial tidak lagi hanya bergantung pada wangsa, tetapi juga dipengaruhi oleh faktorfaktor lain, seperti pendidikan, pekerjaan, kekayaan, dan sebagainya. Berdasarkan dinamika itu, penutur jaba, selain triwangsa, memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi bagian kelas atas. Dinamika sosial masyarakat tersebut menarik untuk dikaji sehubungan dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Bali, apalagi Suastra (1998) dan Seken (2004) telah mengungkapkan bahwa penelitian-penelitian tentang penggunaan bahasa Bali masih sangat perlu untuk dilakukan. Hal itu mendorong dilakukannya pengkajian penggunaan tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur Kota Singaraja. Guyub tutur Kota Singaraja dipilih sebagai tempat penelitian karena beberapa keunikan sebagai berikut. Pertama, guyub tutur Kota Singaraja memiliki stereotip negatif sebagai guyub tutur yang penggunaan bahasanya kasar (Laksana, 2009: 111; dan Wingarta, 2009: 12). Kedua, Kota Singaraja sempat menjadi kota pelabuhan yang ramai dan juga pusat pemerintahan sehingga penggunaan bahasa Bali di kota itu banyak mendapat pengaruh luar (Sukrata dalam Ginarsa dkk., 1975: 28). Ketiga, berbeda dengan wilayah Bali yang lainnya, Kota Singaraja bernuansa lebih egaliter (Wingarta, 2009 :80). Ketiga alasan itu, yang ditambah dengan fakta bahwa bahasa Bali yang digunakan di Kota Singaraja, selain di Kota Klungkung, diacu sebagai model bagi bahasa Bali ragam standar, menjadikan penggunaan bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja semakin menarik untuk dikaji. xiv 1.2 Rumusan Masalah Masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah bentuk tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja?; (2) Bagaimanakah penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dalam hubungannya dengan wangsa, pekerjaan, umur dan gender pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja? (3) Apakah faktor –faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja? dan (4) Bagaimanakah sikap penutur bahasa Bali guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja terhadap tingkat tutur bahasa Bali? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) memaparkan bentuk tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja; (2) menjelaskan hubungan antara penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja; (3) menguraikan dan menginterpretasikan faktor–faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja; dan (4) menjelaskan dan menginterpretasikan sikap penutur bahasa Bali terhadap tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja. 1.4 Manfaat Penelitian Bagi peneliti lain dan ahli bahasa, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan pembanding dalam melakukan penelitian sejenis, terutama pada bahasabahasa yang bertingkat tutur seperti bahasa Bali. Bagi tenaga pengajar dan pembelajar bahasa Bali, hasil penelitian ini dapat memperluas dan memperdalam wawasan mengenai penggunaan bahasa Bali. Bagi pengambil kebijakan pada pelestarian dan pengembangan bahasa, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu rujukan untuk mengetahui status dan situasi penggunaan bahasa Bali dalam rangka melestarikan nilai-nilai budaya dan bahasa daerah, khususnya bahasa Bali. 2. Kajian Pustaka, Konsep, dan Kerangka Teori 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka dilakukan pada hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penggunaan bahasa, khususnya tingkat tutur. Hasil penelitian itu di antaranya dilakukan oleh Suastra (1998) yang mengkaji penggunaan tingkat tutur bahasa Bali di Kota Denpasar, Bagus (1979) pada penggunaan tingkat tutur Bahasa Bali di Kota Denpasar dan Klungkung, Mahyuni (2006) pada penggunaan tingkat tutur bahasa Sasak, dan Suteja (2007) pada sikap bahasa mahasiswa penutur bahasa Bali terhadap tingkat tutur bahasa Bali. Hasil kajian Suastra (1998) menjelaskan bahwa (1) pekerjaan, wangsa, dan jejaring sosial memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali secara signifikan, tetapi jenis kelamin dan umur tidak memengaruhi penggunaan tingkat tutur; (2) penggunaan tingkat tutur alus madia tidak hanya berkembang di antara penutur triwangsa, tetapi juga pada interaksi di antara penutur jaba; dan (3) leksem bahasa Indonesia dan bahasa asing digunakan oleh semua tipe penutur. xv Senada dengan hasil kajian Suastra (1998), hasil kajian Bagus (1979) berhasil mengungkapkan bahwa penggunaan bentuk hormat berhubungan dengan wangsa dan status pekerjaan, dan penggunaannya telah mengalami penyusutan karena pengaruh dinamika sosial. Hasil kajian Mahyuni (2006) menguatkan hasil kajian Suastra (1998) dan Bagus (1979) dan mengungkapkan bahwa (1) dinamika sosial pada guyub tutur bahasa Sasak berakibat pada perubahan penggunaan tingkat tutur alus bahasa Sasak, yakni penggunaan tingkat tutur itu di lingkungan penutur nonmenak yang bergelar religius untuk menandai jarak dan saling menghormati; (2) tingkat tutur alus telah mengalami revitalisasi dan memperoleh status baru melalui afiliasinya dengan Islam, pendidikan, dan posisi sosial; dan (3) ada suatu korelasi tidak langsung antara kekayaan seseorang dan penggunaan bahasa pada guyub tutur bahasa Sasak. Hasil kajian Suteja (2007) mengenai sikap mahasiswa etnis Bali, yang dibedakan atas variabel tempat tinggal dan wangsa, terhadap tingkat tutur bahasa Bali, menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada sikap mahasiswa tersebut terhadap tingkat tutur bahasa Bali. Dalam kajiannya, tingkat tutur bahasa Bali dibedakan atas kode alus tinggi, kode alus madia, dan kode lumrah. 2.2 Konsep Konsep-konsep yang diacu pada penelitian ini adalah konsep penggunaan bahasa, guyub tutur, wangsa, kelas sosial, variasi, dan tingkat tutur. 2.3 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori variasi linguistik, teori tingkat tutur, teori etnografi komunikasi, teori analisis domain, teori desain pendengar, teori sapaan, teori budaya dan sosialisasi bahasa, dan teori sikap bahasa. Teori variasi linguistik dan tingkat tutur dipadukan untuk mengkaji rumusan penelitian pertama tentang bentuk tingkat tutur bahasa Bali dan kedua tentang hubungan antara penggunaan bahasa dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender; teori variasi linguistik, teori tingkat tutur, teori etnografi komunikasi, teori analisis domain, teori desain pendengar, teori sapaan, dan teori budaya dan sosialisasi bahasa dipadukan untuk mengkaji masalah penelitian yang ketiga tentang faktor-faktor yang memengaruhi tingkat tutur; dan teori sikap bahasa digunakan untuk mengkaji masalah penelitian keempat tentang sikap bahasa. Teori variasi linguistik menunjukkan bahwa variasi linguistik tidaklah bersifat acak, tetapi mengikuti suatu pola yang sistematis (Fishman, 1972c:23; Wardaugh, 1998:11; dan Chambers, 2003:14). Pola tersebut menjelaskan hubungan antara variabel sosiolinguistik dan variabel linguistik. Tidak berbeda dengan teori variasi linguistik, teori tingkat tutur bahasa Bali menunjukkan bahwa tingkat tutur bahasa Bali digunakan untuk menandai ragam status atau jarak sosial antara penutur-mitra tutur (Tinggen, 1986:9-11; dan Suarjana, 2008:59-61). Hal itu diwujudkan melalui penggunaan alternasi kata yang bermakna sama secara leksikal, tetapi berbeda menurut tingkat rasa (kehalusan). xvi Teori etnografi komunikasi digunakan untuk menjelaskan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dengan penggunaannya dan kajian pada penggunaannya merupakan prasyarat bagi pengenalan dan pemahaman bentuk-bentuk linguistik (Hymes, 1974:4). Sehubungan dengan hal itu, setidaknya ada delapan komponen komunikasi yang perlu untuk diperhatikan, yakni setting ‘latar’, participant ‘peserta tutur’, end ‘tujuan’, act sequence ‘urutan tindakan’, key ‘kunci (nada)’, instrumentalities ‘instrumentasi’, norm ‘norma (interaksi dan norma interpretasi)’, dan genre ‘genre’. Teori analisis domain memperlihatkan bahwa penggunaan (pemilihan) bahasa yang baik dan benar berkaitan dengan domain penggunaan bahasa (Fishman, 1972b:15). Dalam hal ini, domain merupakan suatu konstruk sosial yang menjembatani situasi sosial dan perilaku berbahasa yang diabstraksi dari topik tutur, hubungan antarperan penutur-mitra tutur, dan tempat komunikasi. Teori desain pendengar didasarkan pada suatu asumsi pokok bahwa gaya bahasa merupakan cara penutur menanggapi atau memperhatikan pendengarnya untuk memperoleh simpatinya (Bell, 1984:145). Untuk itu penutur perlu memahami pendengar dengan mempertimbangkan (1) ciri personal pendengar yang meliputi suku bangsa, wilayah geografi, jenis kelamin, umur, status sosial dan lain-lain; (2) ciri umum gaya bahasa pendengar berikut perubahanperubahannya; (3) ciri khusus gaya bahasa pendengar berikut perubahanperubahannya; dan (4) kedekatan antara penutur dan pendengar Teori sapaan, pertama kali diperkenalkan oleh Brown dan Gilman (1960), berdasarkan pada penggunaan pronomina T ‘tu’ untuk menandai solidaritas dan V ‘vu’ untuk menandai kekuasaan. Penyapa yang lebih berkuasa menyapa pesapa yang kurang berkuasa dengan bentuk T. Sebaliknya, penyapa yang kurang berkuasa menyapa pesapa yang lebih berkekuasa dengan bentuk V. Teori budaya dan sosialisasi bahasa berkaitan dengan kompetensi budaya, tindakan sosiobudaya, dan sosialisasi bahasa. Keesing (1981) menjelaskan bahwa kompetensi budaya merupakan sistem pengetahuan yang dibentuk dan dipengaruhi oleh bagaimana pikiran manusia memeroleh, menata, dan memroses informasi; sedangkan, tindakan sosiobudaya merupakan realisasi atau perwujudan spesifik budaya pada lingkungan hidup yang nyata. Berkaitan dengan hal itu, sosialisasi bahasa merupakan suatu proses bagi seorang anak untuk menjadi anggota guyub yang berbudaya melalui bahasa atau tutur (Bernstein, 1972:162). Melalui sosialisasi bahasa, seorang anak tidak hanya menjadi kompeten dalam berbahasa, tetapi juga dalam budaya yang terkait. Dengan meminjam definisi Baron dan Byrne (2002) tentang sikap, sikap bahasa dapat dimaknai sebagai evaluasi seseorang terhadap suatu bahasa yang dapat menimbulkan perasaan suka dan tidak suka terhadap bahasa itu. Struktur sikap bahasa mengikuti skema triadik yang terdiri atas tiga komponen yang saling terkait, yaitu komponen kognitif atau pengetahuan, komponen afektif atau evaluatif, dan komponen konatif atau kehendak untuk bertindak (Triandis, 1971:3). Selain itu, sikap bahasa juga memiliki tiga dimensi, yakni kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran norma berbahasa (Garvin dan Mathiot, 1968:371-373). xvii 3. Metode Penelitian Penelitian ini berlandaskan pada pendekatan pragmatisme dan secara lebih spesifik, menerapkan metode ganda triangulasi model multilevel, yakni penggunaan metode kuantitatif dan kualitatif secara bersama-sama untuk mengkaji masalah yang berbeda pada suatu penelitian. Metode kualitatif digunakan untuk mengkaji masalah penelitian pertama tentang bentuk tingkat tutur bahasa Bali dan masalah ketiga tentang faktor-faktor yang memengaruhi penggunaannya. Sebaliknya, metode kuantitatif digunakan untuk mengkaji masalah penelitian kedua tentang hubungan antara penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender; dan masalah penelitian keempat tentang sikap penutur bahasa Bali terhadap tingkat tutur bahasa Bali. Penelitian ini dilaksanakan pada guyub tutur Kota Singaraja dengan populasi penutur “asli” guyub tutur Kota Singaraja yang diperkirakan berjumlah 26429 jiwa setelah dikurangi dengan jumlah populasi yang berumur di bawah 20 tahun (Buleleng dalam Angka, 2010). Jumlah itu sesungguhnya dapat dikurangi lagi jika data tentang jumlah penduduk “pendatang” tersedia. Dari populasi itu, sejumlah 285 sampel (responden) diambil melalui metode disproportionate stratified purposive sampling ‘penarikan sampel nonacak berlapistakproporsional’ yang dikelompokkan menjadi 24 menurut variabel wangsa, pekerjaan, umur, dan gender. Selain itu, satu subjek dari setiap kelompok sampel diambil secara nonacak untuk dijadikan sebagai informan bahasa. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode survei, metode simak, dan metode cakap semuka. Metode survei diterapkan dengan teknik angket yang bertujuan untuk mengumpulkan tanggapan-tanggapan sampel (responden) tentang penggunaan dan sikap bahasa yang selanjutnya dikonversi secara kuantitatif. Sebaliknya, metode simak dan metode cakap semuka diterapkan dengan bantuan teknik rekam dan teknik catat, dan bertujuan untuk mengumpulkan data-data kualitatif yang berwujud tutur, komentar, dan alasanalasan yang diungkapkan subjek penelitian terkait dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Bali. Selain itu, penelitian ini juga mengumpulkan data sekunder yang tidak diperoleh langsung dari objek penelitian, melainkan dari lembaga atau institusi tertentu seperti Biro Pusat Statistik, Lembaga Bahasa, buku-buku tata bahasa, dan lain-lain. Sehubungan dengan jenis data yang dikumpulkan, metode analisis data yang digunakan ada dua, yakni metode analisis data kuantitatif pada data yang berwujud angka dan metode analisis data kualitatif pada data yang berwujud nonangka. Selanjutnya, hasil analisis data disajikan dengan menggabungkan metode formal melalui penggunaan tanda-tanda atau lambang-lambang, dan singkatan; dan metode informal melalui penggunaan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi teknis. 4. Hasil Penelitian 4.1 Tingkat Tutur Bahasa Bali Ada dua kaidah yang perlu diperhatikan sehubungan dengan bentuk tingkat tutur bahasa Bali, yakni kaidah alternasi dan kaidah kookurensi. Kaidah alternasi menunjukkan bahwa kata dalam bahasa Bali memiliki alternasi bentuk xviii pada berbagai ragam tingkat tutur. Selanjutnya, tingkat kata itu dapat ditata secara sintaksis melalui kaidah kookurensi untuk membentuk suatu kode yang bertingkat tutur, yakni kode kasar, kode biasa, atau kode alus. Hasil simak dan cakap semuka menunjukkan bahwa persentase kata tertinggi yang digunakan untuk membentuk kode kasar adalah kata biasa, yakni 79,36%; diikuti oleh kata serapan bahasa Indonesia, yakni 10,76%; dan kata kasar, yakni 9,88%. Selain itu, persentase kata tertinggi yang digunakan untuk membentuk kode biasa adalah kata biasa, yakni 70,37%; kata serapan bahasa Indonesia, yakni 28,6%; kata serapan bahasa Inggris, yakni 0,85%; kata alus, yakni 0,11%; dan kata serapan bahasa Sansekerta, yakni 0,07%. Berikutnya, persentase kata tertinggi yang digunakan untuk membentuk kode alus adalah kata alus, yakni 48,29%; kata biasa, yakni 24,65%; kata serapan bahasa Indonesia, yakni 22,63%; kata serapan bahasa Sansekerta, yakni 3,42%; dan kata serapan bahasa Inggris, yakni 1,01%. 4.1 Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali dalam hubungannya dengan Wangsa, Pekerjaan, Umur, dan Gender Secara signifikan, wangsa penutur membagi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur Kota Singaraja menjadi dua. Dengan kata lain, wangsa penutur merupakan variabel yang paling berhubungan dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Bali. Dalam hal ini, penggunaan kode alus berkategori tinggi pada penutur triwangsa, sedangkan pada penutur jaba penggunaan kode biasa-lah yang berkategori tinggi. Pada penutur triwangsa, variabel kedua yang berperan bagi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali adalah pekerjaan. Penggunaan kode alus berkategori sangat tinggi pada penutur triwangsa kelas atas, tinggi pada penutur triwangsa kelas menengah, dan rendah pada penutur triwangsa kelas bawah. Hal itu juga berarti bahwa penggunaan kode biasa berkategori sangat rendah pada penutur triwangsa kelas atas, dan rendah pada penutur triwangsa kelas menengah dan bawah. Setelah pekerjaan, variabel ketiga yang berperan bagi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali pada penutur triwangsa adalah umur. Penggunaan kode alus berkategori sangat tinggi pada penutur triwangsa dewasa, tetapi tinggi pada penutur triwangsa muda. Hal itu juga berari bahwa penggunaan kode biasa berkategori sangat rendah pada penutur triwangsa dewasa dan berkategori rendah pada penutur triwangsa muda. Selanjutnya, variabel keempat yang berperan adalah gender penutur yang menunjukkan fenomena penggunaan yang mirip dengan umur. Penggunaan kode alus berkategori sangat tinggi pada penutur triwangsa perempuan, tetapi tinggi pada penutur triwangsa pria. Hal itu juga berarti bahwa penggunaan kode biasa pada penutur triwangsa perempuan berkategori sangat rendah, tetapi rendah pada penutur triwangsa pria. Berbeda dengan penutur triwangsa, variabel kedua yang berperan bagi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali pada penutur jaba adalah gender. Penggunaan kode biasa berkategori sangat tinggi pada penutur jaba pria, tetapi tinggi pada penutur jaba perempuan. Hal itu juga berarti bahwa penggunaan kode xix alus berkategori sangat rendah pada penutur jaba pria, tetapi rendah pada penutur jaba perempuan. Variabel ketiga yang berperan bagi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali pada penutur jaba adalah umur. Perbedaan umur tercermin dalam variasi penggunaan kode alus yang dalam hal ini penggunaan kode alus berkategori rendah pada penutur jaba dewasa dan berkategori sangat rendah pada penutur jaba muda. Selanjutnya, perbedaan status pekerjaan juga berhubungan dengan variasi penggunaan kode alus, namun dengan perbedaan yang kurang beraturan. Penggunaan kode alus berkategori rendah pada penutur jaba kelas atas, sangat rendah pada penutur jaba kelas menengah, tetapi rendah pada penutur jaba kelas bawah. 4.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali 4.2.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Kasar secara Simetris Ada dua faktor yang memengaruhi penggunaan kode kasar secara simetris. Faktor pertama adalah kehadiran faktor keakraban, kesetaraan umur, dan solidaritas secara bersama-sama. Sehubungan dengan hal itu, jika salah satu faktor terlepas dari faktor lainnya, frekuensi kemunculan kode kasar secara simetris menjadi rendah. Selain itu, faktor pengungkapan kemarahan secara simetris juga dapat memengaruhi penggunaan kode kasar secara simetris. 4.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Kasar secara Tidak Simetris Ada dua faktor yang memengaruhi penggunaan kode kasar secara tidak simetris, yakni faktor keakraban menurun pada jaba kelas rendah atau faktor pengungkapan kemarahan yang disertai kesenjangan status. Faktor keakraban menurun pada jaba kelas rendah menunjukkan keakraban yang terjadi di antara penutur jaba kelas rendah yang memiliki perbedaan umur dalam kaitannya dengan status/peran sosial tertentu. Sebagai contoh, seorang ayah dapat diterima untuk menggunakan kode kasar kepada anaknya; seorang kakak kepada adiknya; seorang suami kepada istrinya; dan seorang tetangga lebih tua kepada tetangganya yang lebih muda. Berkaitan dengan faktor pengungkapan kemarahan yang disertai kesenjangan status, pada prinsipnya, penggunaan kode kasar untuk mengungkapkan rasa marah adalah hal yang lazim. Namun, jika hal itu terjadi pada suatu kesenjangan status yang tinggi antara penutur-mitra tutur, penggunaan kode kasar yang terjadi dapat bersifat nonsimetris. 4.2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Biasa secara Simetris Ada empat faktor yang memengaruhi penggunaan kode biasa secara simetris. Pertama, faktor jaba merupakan faktor yang paling memengaruhi penggunaan kode biasa secara simetris. Hal itu wajar secara normatif karena kode biasa merupakan kode pengantar bagi percakapan di antara sesama jaba, apalagi xx pada guyub tutur Kota Singaraja yang berbudaya egaliter. Kedua, faktor solidaritas interwangsa juga dapat memengaruhi penggunaan kode biasa secara simetris. Penggunaan kode biasa lazim terjadi di antara penutur jaba dan penutur triwangsa yang berumur sebaya dan dimungkinkan karena kehadiran perasaan solider. Ketiga, faktor domain penggunaan bahasa pada jaba juga dapat memengaruhi penggunaan kode biasa. Penggunaan kode biasa sangat tinggi di domain keluarga dan tetangga, tetapi tinggi di domain masyarakat dan tempat kerja. Terakhir, faktor budaya dan sosialisasi bahasa juga berpengaruh pada penggunaan kode biasa secara simetris. Penutur jaba yang hidup pada budaya egaliter cenderung untuk mempertahankan, melestarikan, dan menyosialisasikan penggunaan kode biasa sebagai penanda keegaliteran. 4.2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Biasa secara Nonsimetris (Kode Biasa – Kode Alus) Ada dua faktor yang memengaruhi penggunaan kode biasa secara nonsimetris. Faktor pertama adalah faktor kesenjangan status yang tinggi. Dalam hal ini, perbedaan wangsa yang disertai perbedaan umur dari penutur triwangsa yang berumur satu atau dua generasi lebih tua daripada penutur jaba, dapat mengakibatkan kesenjangan status yang tinggi dan kerap ditandai dengan penggunaan kode nonsimetris. Selain faktor itu, faktor kekuasaan juga dapat memengaruhi penggunaan kode biasa secara nonsimetris. Penutur-penutur yang dipandang berkuasa adalah penutur dengan profesi tertentu, seperti dokter, anggota dewan perwakilan rakyat, kepala-kepala di pemerintahan daerah, pengacara, pemuka agama, pendeta Hindu, dan sebagainya; dan para tetua triwangsa dan kerabat puri yang tinggal di Puri Singaraja dan Puri Sukasada. Pada penutur-penutur tersebut kerap digunakan kode alus; dan jika menanggapi dengan kode biasa, tanggapan itu dianggap berterima. 4.2.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Alus secara Simetris Ada enam faktor yang memengaruhi penggunaan kode alus secara nonsimetris. Faktor pertama adalah faktor kekerabatan pada triwangsa. Penutur triwangsa menggunakan kode alus untuk berbicara dengan para kerabatnya, baik kerabat triwangsa maupun kerabat jaba. Faktor kedua adalah faktor penghormatan intra-dan inter-wangsa, yakni hubungan saling menghormati di antara penutur dari wangsa yang sama dan wangsa yang berbeda yang lazim ditandai oleh penggunaan kode alus. Faktor ketiga adalah faktor domain penggunaan bahasa pada triwangsa. Penggunaan kode alus secara simetris berkategori sangat tinggi di domain keluarga dan tetangga, tetapi tinggi di domain masyarakat dan tempat kerja. Faktor, keempat adalah faktor latar. Dalam hal ini, latar yang paling berpengaruh bagi pengunaan kode alus adalah rumah triwangsa dalam artian bahwa setiap penutur jaba, apalagi triwangsa, yang bertandang ke rumah seorang triwangsa sangat diharapkan untuk menggunakan kode alus di rumah triwangsa tersebut. xxi Faktor kelima adalah faktor topik tutur karena ada topik-topik tertentu yang lazim dituturkan dengan kode alus untuk menunjukkan rasa hormat. Topiktopik itu adalah topik-topik yang terkait dengan hal-hal yang disucikan atau ditabukan, seperti magis, kedewaan, kesucian, tempat suci/angker, dan lain-lain. Faktor terakhir adalah faktor budaya dan sosialisasi bahasa pada triwangsa. Dalam hal ini, penutur triwangsa masih mempertahankan dan melestarikan budaya dan perilaku hierarkis yang berorientasi pada wangsa sehingga menyosialisaikan kode alus secara cukup konsisten di keluarga masing-masing. 4.3 Sikap Penutur Bahasa Bali terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali 4.3.1 Sikap Penutur Bahasa Bali terhadap Kode Kasar Sikap penutur bahasa Bali terhadap kode kasar secara umum berkategori netral, baik pada kelompok triwangsa maupun jaba. Secara lebih spesifik, sikap terhadap kode kasar pada komponen kognitif menunjukkan persentase tertinggi jika dibandingkan dengan sikap pada komponen afektif dan komponen konatif. Dengan kata lain, sikap penutur terhadap kode kasar menunjukkan penurunan secara bertahap dari komponen kognitif sampai komponen konatif. Penurunan itu dari komponen kognitif ke komponen afektif cenderung rendah karena tidak terjadi penurunan kategori, kecuali pada kelompok TTMP. Namun, penurunan yang signifikan dari kategori netral ke kategori negatif terjadi dari komponen afektif ke komponen konatif pada kelompok TTML, TTMP, TSDL, TSDP, TSML, TSMP, TRDL, TRDP, TRML, TRMP, JTDL, JTDP, JSDP, dan JSMP. 4.3.2 Sikap Penutur Bahasa Bali terhadap Kode Biasa Sikap penutur bahasa Bali terhadap kode biasa secara umum berkategori positif, baik pada penutur triwangsa maupun jaba. Seperti pada sikap terhadap kode kasar, sikap terhadap kode biasa juga menunjukkan kategori tertinggi pada komponen kognitif dan mengalami penurunan bertahap dari komponen kognitif sampai komponen konatif. Penurunan sikap dari komponen kognitif ke komponen afektif pada penutur triwangsa cenderung lebih signifikan dan bahkan, sampai berpindah kategori, seperti pada kelompok TTML, TTMP, TSDL, TSDP, TSML, TSMP, TRML, dan TRMP dari kategori positif ke netral; sebaliknya, pada penutur jaba penurunan yang terjadi cenderung kurang signifikan, kecuali pada kelompok JTDL, JTDP, JRDL, JRDP, dan JRML dari kategori sangat positif ke positif. Penurunan sikap yang kurang signifikan juga diamati pada penuru jaba dari komponen afektif ke komponen konatif. Penutur jaba cenderung untuk memiliki sikap terhadap kode biasa yang lebih positif daripada penutur triwangsa karena penutur jaba lebih terbiasa, lebih percaya, dan lebih bercita rasa positif terhadap kode biasa. Penutur jaba secara umum beranggapan bahwa kode biasa merupakan bahasa biasa yang dapat digunakan pada pergaulan sehari-hari. Selain itu, kode biasa juga mewakili identitas jaba dan karakter egaliter guyub Singaraja yang sudah dikenal sejak dahulu kala. xxii 4.3.3 Sikap Penutur Bahasa Bali terhadap Kode Alus Sikap penutur bahasa Bali terhadap kode alus secara umum positif, tetapi sikap penutur triwangsa dan penutur jaba terhadap kode alus sesungguhnya berbeda. Penutur triwangsa memiliki sikap yang sangat positif terhadap kode alus, sedangkan penutur jaba memiliki sikap yang positif. Seperti sikap terhadap kode kasar dan kode biasa, sikap terhadap kode alus juga menunjukkan persentase tertingi pada komponen kognitif dan mengalami penurunan bertahap sampai pada komponen konatif. Di antara kelompok triwangsa, kecuali kelompok TTMP dan TRDP, penurunan yang terjadi dari komponen kognitif ke komponen afektif adalah rendah dan tidak melibatkan perubahan kategori. Akan tetapi, penurunan yang terjadi pada dimensi konatif signifikan dan berupa perubahan kategori, yakni dari kategori sangat positif ke netral. Sebaliknya, pada kelompok jaba, penurunan sikap yang terjadi cenderung rendah, kecuali pada kelompok JTDL, JTDP, dan JSDP, yakni dari kategori sangat positif pada komponen afektif ke positif pada komponen konatif. 5. Temuan Penelitian Penelitian ini menemukan beberapa temuan baru sebagai berikut. Pertama, karena keterbatasan kompetensi penutur jaba guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja pada kode alus, penutur itu mengembangkan suatu kode yang kerap disebut dengan basa alus metiang-nika. Kode alus metiang-nika merupakan kode alus yang sebagian besar tersusun atas kata biasa dan diperhalus oleh kata-kata alus yang umum dan mudah diingat karena frekuensi penggunaannya yang tinggi. Kedua, tanpa terlalu disadari, penutur jaba Kota Singaraja cenderung untuk mencampuradukkan penggunaan kata alus singgih dan alus sor. Hal itu terjadi karena banyak penutur jaba yang menyamaratakan kata alus singgih, alus sor, dan kata-kata alus yang lain. Ketiga, penjajagan kode kerap menjadi bagian yang penting bagi interaksi kode yang stabil. Untuk itu, penggunaan (pemilihan) kode awal menjadi sangat penting karena hal itu berkaitan dengan cara penutur “melihat” mitra tutur. Jika pilihan kode awal tepat, maka konvergensi akan segera terjadi; sebaliknya, jika tidak, maka konflik kode dapat terjadi. Namun, konflik kode umumnya tidak berlangsung lama karena penutur Kota Singaraja umumnya sangat toleran dan adaptif sehingga dapat saling menyesuaikan diri dengan cepat. Keempat, penggunaan istilah sapaan yang berkaitan dengan gelar triwangsa mengalami pergeseran. Penggunaan atu, aji, atau biang, misalnya, hanya teramati di domain keluarga dan tetangga yang melibatkan penyapa triwangsa. Namun, ketika domain pengunaan bergeser ke domain masyarakat dan tempat kerja, apalagi dengan penyapa jaba, bentuk sapaan itu cenderung menghilang dan digantikan dengan sapaan egaliter pak atau bu. Selain itu, istilah kekerabatan bli atau mbok kerap digunakan oleh penyapa jaba untuk menyapa pesapa triwangsa, terutama di domain masyarakat dan tempat kerja. Penggunaan bli atau mbok itu sesungguhnya kurang tepat secara normatif karena penyapa jaba memosisikan diri seolah-olah sejajar dengan pesapa triwangsa. Berikutnya, makna pronomina persona kedua cai ‘kamu (laki-laki)’ juga mengalami pergeseran dalam wujud perluasan makna karena pronomina itu juga digunakan untuk xxiii menyapa pesapa perempuan; sedangkan, kata nyai ‘kamu (perempuan)’ jarang digunakan karena dikesankan lebih kasar. Kelima, walaupun di permukaan sikap penutur terhadap tingkat tutur bahasa Bali dan penggunaan tingkat tutur bahasa Bali sepertinya tidak berhubungan, hal yang sebaliknya ditemukan. Sikap penutur terhadap tingkat tutur bahasa Bali menunjukkan penurunan ketika sikap itu semakin mendekati kenyataan, dari komponen kognitif yang berupa kepercayaan sampai pada komponen konatif yang berupa kecenderungan untuk berperilaku, dan pada akhirnya, pada perilaku penggunaan bahasa nyata. Dalam hal ini, penurunan itu merupakan penurunan berpola atau bersistem. 6. Simpulan dan Saran 6.1 Simpulan Simpulan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama, tingkat tutur bahasa Bali terwujud karena bahasa Bali terdiri atas kata-kata yang bertingkat berdasarkan kehalusan. Suatu kata bahasa Bali memiliki alternasi atau realisasi kata dalam tingkat tutur yang berbeda dan selanjutnya, dapat dipilahpadukan menurut kaidah kookurensi yang khas untuk membentuk suatu kode, baik kode kasar, kode biasa, maupun kode alus. Kedua, penggunaan tingkat tutur bahasa Bali sangat berkaitan dengan wangsa secara signifikan sehingga penggunaannya cenderung berbeda menurut wangsa, yakni triwangsa dan jaba. Pada triwangsa, variabel berikutnya yang berperan bagi penggunaan tingkat tutur, menurut tingkat urutan prioritas, adalah status pekerjaan, umur, kemudian gender; sedangkan, pada jaba adalah gender, umur, dan kemudian pekerjaan. Ketiga, faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dapat dirumuskan sebagai berikut. Faktor yang memengaruhi penggunaan kode kasar secara simetris adalah faktor keakraban, kesetaraan umur, dan solidaritas, atau faktor pengungkapan kemarahan secara simetris; faktor yang memengaruhi penggunaan kode kasar secara nonsimetris adalah faktor keakraban menurun atau faktor kemarahan dan kesenjangan status; faktor yang memengaruhi penggunaan kode biasa secara simetris adalah faktor jaba, faktor solidaritas interwangsa, faktor domain, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa pada jaba; faktor yang memengaruhi penggunaan kode biasa secara nonsimetris (kode biasa–kode alus) adalah faktor kesenjangan status yang tinggi dan faktor kekuasaan; dan faktor yang memengaruhi penggunaan kode alus secara simetris adalah faktor kekerabatan pada triwangsa, faktor penghormatan intra-dan interwangsa, faktor domain, faktor latar, faktor topik tutur, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa pada triwangsa. Keempat, sikap penutur bahasa Bali terhadap tingkat tutur bahasa Bali menunjukkan variasi yang berbeda. Dalam hal ini, sikap terhadap kode kasar secara umum berkategori netral; sikap terhadap kode biasa secara umum berkategori positif; dan sikap terhadap kode alus secara umum berkategori positif. 6.2 Saran Penelitian ini merupakan upaya untuk menggambarkan pola penggunaan bahasa yang berbasis kajian sosiolinguistik sehingga kajian yang dilakukan xxiv terbatas pada upaya mengaitkan variabel bahasa (linguistik) dengan variabel sosial. Hal itu berarti bahwa kajian-kajian lain, khususnya yang berbasis linguistik antropologi untuk melihat ideologi dan nilai sosial budaya dari penggunaan tingkat tutur bahasa Bali masih sangat menarik untuk dilakukan. Hasil temuan itu selanjutnya akan memperkaya temuan-temuan mengenai penggunaan bahasa pada guyub tutur Kota Singaraja. xxv DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM ....................................................................................... i PRASYARAT GELAR ................................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ........................................................... iv PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .......................................................... v UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... vi ABSTRAK .................................................................................................... x ABSTRACT .................................................................................................. xii RINGKASAN ............................................................................................... xiv DAFTAR ISI ................................................................................................. xxvi DAFTAR TABEL ........................................................................................ xxxiv DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xxxvi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xxxvii DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA ..................................................... xxxviii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 12 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 12 1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 13 1.4.1 Manfaat Teoretis ......................................................................................... 13 1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................................... 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI DAN MODEL PENELITIAN....................................................................... 16 2.1 Kajian Pustaka................................................................................................ 16 2.2 Konsep ........................................................................................................... 23 2.2.1 Penggunaan Bahasa..................................................................................... 23 xxvi 2.2.2 Variasi ......................................................................................................... 24 2.2.3 Tingkat Tutur .............................................................................................. 24 2.2.4 Guyub Tutur ................................................................................................ 25 2.2.5 Wangsa ........................................................................................................ 26 2.2.6 Kelas Sosial ................................................................................................. 27 2.2.7 Sikap............................................................................................................ 28 2.3 Landasan Teori ............................................................................................... 30 2.3.1 Variasi Linguisik ......................................................................................... 30 2.3.2 Teori Tingkat Tutur ..................................................................................... 33 2.3.2.1 Klasifikasi Tingkat Tutur ......................................................................... 33 2.3.2.2 Bentuk Tingkat Tutur ............................................................................... 35 2.3.2.3 Norma Penggunaan Tingkat Tutur ........................................................... 39 2.3.3 Etnografi Komunikasi ................................................................................. 42 2.3.4 Teori Analisis Domain ................................................................................ 46 2.3.5 Teori Desain Pendengar .............................................................................. 49 2.3.5.1 Desain Responsif...................................................................................... 50 2.3.5.2 Desain Inisiatif ......................................................................................... 52 2.3.6 Teori Sapaan................................................................................................ 54 2.3.6.1 Istilah Sapaan ........................................................................................... 55 2.3.6.2 Penggunaan Istilah Sapaan ....................................................................... 57 2.3.7 Teori Sikap Bahasa ..................................................................................... 62 2.3.7.1 Komponen Sikap Bahasa ......................................................................... 62 2.3.7.2 Komponen Objek (Dimensi) Sikap Bahasa ............................................. 64 2.3.7.3 Hubungan antara Sikap dan Perilaku ....................................................... 65 2.3.7.4 Fungsi Sikap ............................................................................................. 67 2.3.8 Budaya dan Sosialisasi Bahasa ................................................................... 69 2.3.8.1 Budaya ..................................................................................................... 69 2.3.8.2 Sosialisasi Bahasa .................................................................................... 75 2.4 Model Penelitian ........................................................................................... 78 xxvii BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 82 3.1 Pendekatan Penelitian .................................................................................... 82 3.2 Lokasi Penelitian ............................................................................................ 85 3.3 Jenis dan Sumber Data ................................................................................... 87 3.3.1 Jenis Data .................................................................................................... 87 3.3.2 Sumber Data ................................................................................................ 88 3.3.2.1 Populasi Penelitian ................................................................................... 89 3.3.2.2 Sampel (Responden) Penelitian ............................................................... 91 3.3.2.3 Informan Bahasa ...................................................................................... 93 3.4 Variabel Penelitian ......................................................................................... 93 3.5 Instrumen Penelitian....................................................................................... 96 3.5.1 Angket Penggunaan Bahasa ........................................................................ 96 3.5.2 Angket Skala Sikap ..................................................................................... 98 3.5.3 Alat Perekam dan Alat Pencatat ................................................................ 102 3.5.4 Panduan Cakap Semuka ............................................................................ 103 3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 104 3.7 Metode Analisis Data ................................................................................... 108 3.7.1 Metode Analisis Data Kuantitatif ............................................................. 109 3.7.2 Metode Analisis Data Kualitatif ............................................................... 113 3.8 Metode Penyajian Hasil Analisis Data......................................................... 116 BAB IV TINGKAT TUTUR BAHASA BALI ............................................... 117 4.1 Pengantar ...................................................................................................... 117 4.2 Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Bali ............................................................... 117 4.2.1 Kata ........................................................................................................... 118 4.2.1.1 Kata alus Singgih ................................................................................... 118 4.2.1.2 Kata alus Sor .......................................................................................... 119 4.2.1.3 Kata alus Madia ..................................................................................... 119 4.2.1.4 Kata alus Mider ...................................................................................... 120 4.2.1.5 Kata Biasa .............................................................................................. 121 4.2.1.6 Kata kasar .............................................................................................. 122 xxviii 4.2.2 Bentuk alus ............................................................................................... 122 4.2.2.1 Proses Fonologis .................................................................................... 123 4.2.2.2 Proses Morfologis .................................................................................. 124 4.2.3 Pronomina ................................................................................................. 125 4.2.3.1 Pronomina Persona................................................................................. 126 4.2.3.2 Nomina Sapaan Sebagai Pengganti Pronomina Persona ....................... 130 4.2.3.3 Pronomina Penunjuk .............................................................................. 135 4.2.4 Kalimat atau Ujaran .................................................................................. 141 4.3 Bentuk Kode ................................................................................................ 144 4.3.1 Kode Kasar ............................................................................................... 145 4.3.2 Kode Biasa ................................................................................................ 147 4.3.3 Kode Alus .................................................................................................. 150 BAB V HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA BALI DENGAN WANGSA, PEKERJAAN, UMUR, DAN GENDER ................................................................................... 158 5.1 Pengantar ...................................................................................................... 158 5.2 Penggunaan Bahasa pada Kelompok Triwangsa ......................................... 158 5.2.1 Triwangsa Kelas Atas ............................................................................... 159 5.2.1.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Atas-Dewasa-Laki-Laki (TTDL) ............. 161 5.2.1.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Atas-Dewasa- Perempuan (TTDP)........... 163 5.2.1.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Atas-Muda-Laki-Laki (TTML) ................ 165 5.2.1.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Atas-Muda-Perempuan (TTMP) .............. 167 5.2.2 Triwangsa Kelas Menengah ...................................................................... 169 5.2.2.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Dewasa-Laki-Laki (TSDL) .... 171 5.2.2.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Dewasa-Perempuan (TSDP) .. 172 5.2.2.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Muda-Laki-Laki (TSML) ....... 174 5.2.2.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Muda-Perempuan (TSMP) ..... 176 5.2.3 Triwangsa Kelas Bawah ............................................................................ 178 5.2.3.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (TRDL) ........ 180 5.2.3.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (TRDP)....... 181 xxix 5.2.3.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (TRML) ........... 183 5.2.3.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (TRMP) ......... 185 5.2.4 Analisis Penggunaan Bahasa pada Kelompok Triwangsa ........................ 187 5.3 Penggunaan Bahasa pada Kelompok Jaba .................................................. 192 5.3.1 Jaba Kelas Atas......................................................................................... 193 5.3.1.1 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Laki-Laki (JTDL) .................... 195 5.3.1.2 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Perempuan (JTDP) .................. 196 5.3.1.3 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Laki-Laki (JTML) ....................... 198 5.3.1.4 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Perempuan (JTMP) ..................... 200 5.3.2 Jaba Kelas Menengah ............................................................................... 203 5.3.2.1 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Laki-Laki (JSDL) ................... 205 5.3.2.2 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Perempuan (JSDP) ................. 207 5.3.2.3 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Laki-Laki (JSML) ...................... 209 5.3.2.4 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Perempuan (JSMP) .................... 211 5.3.3 Jaba Kelas Bawah ..................................................................................... 213 5.3.3.1 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (JRDL) .................. 215 5.3.3.2 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (JRDP) ................ 216 5.3.3.3 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (JRML) ..................... 219 5.3.3.4 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (JRMP) ................... 221 5.3.4 Analisis Penggunaan Bahasa pada Kelompok Jaba ................................. 223 5.4 Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali dalam hubungannya dengan Wangsa, Pekerjaan, Umur, dan Gender.......................................... 227 5.5 Penggunaan Istilah Sapaan ........................................................................... 233 5.5.1 Pronomina Persona Pertama ..................................................................... 233 5.5.2 Pronomina Persona Kedua ........................................................................ 234 5.5.3 Pronomina Persona Ketiga ....................................................................... 236 5.5.4 Nomina Sapaan Sebagai Pengganti Pronomina Persona .......................... 236 5.5.4.1 Domain Keluarga ................................................................................... 237 5.5.4.2 Domain Tetangga dan Masyarakat......................................................... 242 5.5.4.3 Domain Tempat Kerja ............................................................................ 247 xxx BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA BALI ............................................... 250 6.1 Pengantar ...................................................................................................... 250 6.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Kasar secara Simetris ........................................................................................................ 250 6.2.1 Faktor Keakraban, Kesetaraan, dan Solidaritas ........................................ 251 6.2.2 Faktor Pengungkapan Kemarahan secara Simetris ................................... 255 6.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Kasar secara Nonsimetris ................................................................................................. 257 6.3.1 Faktor Keakraban Menurun ...................................................................... 258 6.3.2 Faktor Kemarahan dan Kesenjangan Status .............................................. 260 6.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Biasa secara Simetris ........................................................................................................ 262 6.4.1 Faktor Jaba ............................................................................................... 263 6.4.2 Faktor Solidaritas Interwangsa .................................................................. 264 6.4.3 Faktor Domain .......................................................................................... 266 6.4.4 Faktor Budaya dan Sosialisasi Bahasa pada Jaba..................................... 268 6.4.4.1 Faktor Budaya ........................................................................................ 268 6.4.4.2 Faktor Sosialisasi Bahasa ....................................................................... 272 6.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Biasa secara Nonsimetris ................................................................................................. 279 6.5.1 Faktor Kesenjangan Status yang Tinggi ................................................... 280 6.5.2 Faktor Kekuasaan ...................................................................................... 281 6.6 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode alus secara Simetris ........................................................................................................ 285 6.6.1 Faktor Kekerabatan pada Triwangsa ......................................................... 285 6.6.2 Faktor Penghormatan Intra- dan Inter-wangsa.......................................... 287 6.6.3 Faktor Domain .......................................................................................... 291 6.6.4 Faktor Latar ............................................................................................... 294 6.6.5 Faktor Topik Tutur .................................................................................... 297 6.6.6 Faktor Budaya dan Sosialisasi Bahasa pada Triwangsa ........................... 298 xxxi 6.6.6.1 Faktor Budaya ........................................................................................ 298 6.6.6.2 Faktor Sosialisasi Bahasa ....................................................................... 299 BAB VII SIKAP PENUTUR BAHASA BALI GUYUB TUTUR KOTA SINGARAJA TERHADAP TINGKAT TUTUR BAHASA BALI ................................................................................................. 303 7.1 Pengantar ...................................................................................................... 303 7.2 Sikap Penutur Triwangsa terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali ................... 304 7.2.1 Triwangsa Kelas Atas ............................................................................... 304 7.2.1.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Laki-Laki (TTDL) .......... 305 7.2.1.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Perempuan (TTDP) ........ 306 7.2.1.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Laki-Laki (TTML) ............. 308 7.2.1.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Perempuan (TTMP) ........... 309 7.2.2 Triwangsa Kelas Menengah ...................................................................... 312 7.2.2.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Dewasa-Laki-Laki (TSDL) .... 313 7.2.2.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Dewasa-Perempuan (TSDP) .. 314 7.2.2.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Muda-Laki-Laki (TSML) ....... 316 7.2.2.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Muda-Perempuan (TSMP) ..... 317 7.2.3 Triwangsa Kelas Bawah ............................................................................ 320 7.2.3.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (TRDL) ........ 321 7.2.3.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (TRDP)....... 322 7.2.3.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (TRML) ........... 324 7.2.3.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (TRMP) ......... 325 7.2.4 Analisis Sikap Bahasa pada Kelompok Triwangsa................................... 327 7.3 Sikap Bahasa pada Kelompok Jaba ............................................................. 333 7.3.1 Jaba Kelas Atas......................................................................................... 333 7.3.1.1 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Laki-Laki (JTDL) .................... 334 7.3.1.2 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Perempuan (JTDP) .................. 335 7.3.1.3 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Laki-Laki (JTML) ....................... 336 7.3.1.4 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Perempuan (JTMP) ..................... 338 7.3.2 Jaba Kelas Menengah ............................................................................... 340 xxxii 7.3.2.1 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Laki-Laki (JSDL) ................... 341 7.3.2.2 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Perempuan (JSDP) ................. 342 7.3.2.3 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Laki-Laki (JSML) ...................... 344 7.3.2.4 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Perempuan (JSMP) .................... 345 7.3.3 Jaba Kelas Bawah ..................................................................................... 347 7.3.3.1 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (JRDL) .................. 348 7.3.3.2 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (JRDP) ................ 349 7.3.3.3 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (JRML) ..................... 350 7.3.3.4 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (JRMP) ................... 352 7.3.4 Analisis Sikap Bahasa pada Kelompok Jaba ............................................ 355 7.4 Sikap Penutur Bahasa Bali Guyub Tutur Kota Singaraja terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali .......................................................................... 358 7.4.1 Sikap terhadap Kode kasar ....................................................................... 360 7.4.2 Sikap terhadap Kode biasa........................................................................ 363 7.4.3 Sikap terhadap Kode alus.......................................................................... 365 BAB VIII TEMUAN PENELITIAN .............................................................. 371 8.1 Pengantar ...................................................................................................... 371 8.2 Bentuk Bahasa.............................................................................................. 371 8.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali................................................................................................... 373 8.4 Penjajagan Bahasa........................................................................................ 379 8.5 Penggunaan Bahasa Indonesia di Ranah Keluarga ...................................... 381 8.6 Pergeseran Penggunaan Istilah sapaan ......................................................... 382 8.7 Hubungan antara Sikap Bahasa dan Penggunaan Bahasa ............................ 383 BAB IX SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 388 9.1 Simpulan ...................................................................................................... 388 9.2 Saran ............................................................................................................. 393 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 395 xxxiii DAFTAR TABEL TABEL Halaman 2.1 Ragam Klasifikasi Tingkat Tutur Bahasa Bali............................................. 34 2.2 Perbandingan Jumlah Kata pada Bahasa Bali .............................................. 39 3.1 Perbedaan antara Metode Kuantitatif dan Kualitatif.................................... 83 3.2 Sampel/Responden Penelitian ...................................................................... 92 3.3 Kisi-Kisi Angket Penggunaan Bahasa ......................................................... 98 3.4 Tipe dan Kategori Respons .......................................................................... 100 3.5 Kisi-Kisi Angket Skala Sikap ...................................................................... 101 3.6 Metode, Teknik, dan Instrumen Pengumpulan Data beserta Sumber Datanya .............................................................................. 104 3.7 Konversi Kuantitatif Angket Berdasarkan pada Sifat Pernyataannya ......... 111 4.1 Pronomina Persona Tunggal dan Plural Bahasa Bali ................................... 126 4.2 Istilah Kekerabatan pada Bahasa Bali .......................................................... 132 4.3 Nama Gelar pada Triwangsa ........................................................................ 134 4.4 Contoh Nama Lengkap Orang Bali .............................................................. 135 4.5 Pronomina Penanya dalam Bahasa Bali ....................................................... 138 4.6 Persentase Kata yang digunakan pada Kode kasar ...................................... 145 4.7 Persentase Kata yang digunakan pada Kode biasa ...................................... 147 4.8 Persentase Kata yang digunakan pada Kode alus ........................................ 150 4.9 Kata alus Sor dan alus Singgih yang Penggunaannya Kerap Tertukar/ Tidak Tepat .................................................................................................. 155 5.1 Ringkasan Penggunaan Bahasa Kelompok Triwangsa Kelas Atas (dalam Persentase) ....................................................................................... 160 5.2 Ringkasan Penggunaan Bahasa Kelompok Triwangsa Kelas Menengah (dalam Persentase) ....................................................................................... 170 5.3 Ringkasan Penggunaan Bahasa Kelompok Triwangsa Kelas Bawah (dalam Persentase) ....................................................................................... 179 xxxiv 5.4 Rerata Penggunaan Bahasa pada Kelompok Triwangsa (dalam Persentase).................................................................................................... 188 5.5 Domain Penggunaan Bahasa pada Kelompok Triwangsa ........................... 192 5.6 Ringkasan Penggunaan Bahasa Kelompok Jaba Kelas Atas (dalam Persentase) .................................................................................................. 194 5.7 Ringkasan Penggunaan Bahasa Kelompok Jaba Kelas Menengah (dalam Persentase) ....................................................................................... 204 5.8 Ringkasan Penggunaan Bahasa Kelompok Jaba Kelas Bawah (dalam Persentase) ...................................................................................... 214 5.9 Rerata Penggunaan Bahasa pada Kelompok Jaba (dalam Persentase) ........ 223 5.10 Domain Penggunaan Bahasa pada Kelompok Jaba .................................. 227 5.11 Penggunaan Kode pada Kelompok Triwangsa dan Jaba.......................... 228 5.12 Penggunaan Istilah Kekerabatan pada Triwangsa...................................... 238 5.13 Penggunaan Istilah Kekerabatan pada Jaba ............................................... 241 5.14 Penggunaan Istilah Sapaan oleh Penyapa Triwangsa/Jaba kepada Pesapa Triwangsa pada domain Tetangga ................................................. 243 5.15 Penggunaan Istilah Sapaan oleh Penyapa Jaba/Triwangsa kepada Pesapa Jaba pada domain Tetangga .......................................................... 245 5.16 Penggunaan Istilah Sapaan oleh Penyapa Triwangsa/Jaba kepada Pesapa Triwangsa pada domain Tempat Kerja .......................................... 247 5.17 Penggunaan Istilah Sapaan oleh Penyapa Jaba/Triwangsa kepada Pesapa Jaba pada domain Tempat Kerja ................................................... 248 7.1 Sikap Bahasa Triwangsa Kelas Atas ............................................................ 304 7.2 Sikap Bahasa Triwangsa Kelas Menengah .................................................. 312 7.3 Sikap Bahasa Triwangsa Kelas Bawah ........................................................ 320 7.4 Sikap Bahasa pada Kelompok Triwangsa .................................................... 329 7.5 Sikap Bahasa Jaba Kelas Atas ..................................................................... 333 7.6 Sikap Bahasa Jaba Kelas Menengah ........................................................... 340 7.7 Sikap Bahasa Jaba Kelas Bawah ................................................................. 347 7.8 Sikap Bahasa pada Kelompok Jaba ............................................................. 355 7.9 Sikap Bahasa Penutur BB Guyub Tutur Kota Singaraja.............................. 359 xxxv DAFTAR GAMBAR GAMBAR Halaman 2.1 Teori Perilaku Terencana ............................................................................ 66 2.2 Model Penelitian ......................................................................................... 79 3.1 Prosedur Analisis Data Kualitatif ............................................................... 114 4.1 Persentase Jumlah Kata yang Digunakan pada Kode Kasar ...................... 146 4.2 Persentase Jumlah Kata yang Digunakan pada Kode Biasa ....................... 149 4.3 Persentase Jumlah Kata yang Digunakan pada Kode Alus ......................... 152 5.1 Pembagian Kelompok Triwangsa ............................................................... 159 5.2 Penggunaan Bahasa pada Kelompok Triwangsa ........................................ 190 5.3 Pembagian Kelompok Jaba ........................................................................ 193 5.4 Penggunaan Bahasa pada Kelompok Jaba ................................................. 225 5.5 Urutan Prioritas variabel yang berhubungan dengan Penggunaan Bahasa .......................................................................................................... 231 7.1 Rerata Sikap Penutur Triwangsa terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode Alus .............................................................................................. 328 7.2 Sikap Penutur Triwangsa terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode Alus pada Komponen Kognitif, Afektif, dan Konatif....................... 331 7.3 Rerata Sikap Penutur Jaba terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode Alus .................................................................................................... 354 7.4 Sikap Penutur Jaba terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode Alus pada Komponen Kognitif, Afektif, dan Konatif ............................... 357 7.5 Sikap terhadap Kode Kasar pada Komponen Kognitif, Afektif, dan Konatif ........................................................................................................ 361 7.6 Sikap terhadap Kode Biasa pada Komponen Kognitif, Afektif, dan Konatif ........................................................................................................ 364 7.7 Sikap terhadap Kode Alus pada Komponen Kognitif, Afektif, dan Konatif ........................................................................................................ 366 xxxvi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Hal 1: Peta Penelitian ................................................................................................ 403 2: Angket Bahasa ............................................................................................... 404 3: Hubungan antara Penggunaan Bahasa dengan Wangsa, Pekerjaan, Umur, dan Gender .......................................................................................... 413 4: Perbandingan antara Sikap Bahasa dan Penggunaan Bahasa ........................ 419 5: Butir dan Sifat Pernyataan pada Angket Sikap Bahasa ................................. 420 6: Sampel Transkripsi Data Percakapan ............................................................ 421 7: Surat Izin Penelitian ....................................................................................... 422 xxxvii DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA DAFTAR SINGKATAN BB : Bahasa Bali BI : Bahasa Indonesia BIng : Bahasa Inggris BS : Bahasa Sansekerta KK : Kode kasar KB : Kode biasa KA : Kode alus GW : Gelar wangsa NUL : Nama urut lahir ND : Nama diri TTDL : Triwangsa-Pekerjaan tinggi-Dewasa-Laki-laki TTDP : Triwangsa-Pekerjaan menengah- Dewasa-Perempuan TTML : Triwangsa-Pekerjaan rendah- Muda-Laki-laki TTMP : Triwangsa-Pekerjaan tinggi-Muda-Perempuan TSDL : Triwangsa-Pekerjaan menengah-Dewasa-Laki-laki TSDP : Triwangsa-Pekerjaan rendah- Dewasa-Perempuan TSML : Triwangsa-Pekerjaan tinggi- Muda-Laki-laki TSMP : Triwangsa-Pekerjaan menengah-Muda-Perempuan TRDL : Triwangsa-Pekerjaan rendah-Dewasa-Laki-laki TRDP : Triwangsa-Pekerjaan tinggi- Dewasa-Perempuan TRML : Triwangsa-Pekerjaan menengah- Muda-Laki-laki TRMP : Triwangsa-Pekerjaan rendah-Muda-Perempuan JTDL : Triwangsa-Pekerjaan tinggi-Dewasa-Laki-laki JTDP : Jaba-Pekerjaan menengah- Dewasa-Perempuan JTML : Jaba-Pekerjaan rendah- Muda-Laki-laki JTMP : Jaba-Pekerjaan tinggi-Muda-Perempuan JSDL : Jaba-Pekerjaan menengah-Dewasa-Laki-laki xxxviii JSDP : Jaba-Pekerjaan rendah- Dewasa-Perempuan JSML : Jaba-Pekerjaan tinggi- Muda-Laki-laki JSMP : Jaba-Pekerjaan menengah-Muda-Perempuan JRDL : Jaba-Pekerjaan rendah-Dewasa-Laki-laki JRDP : Jaba-Pekerjaan tinggi- Dewasa-Perempuan JRML : Jaba-Pekerjaan menengah- Muda-Laki-laki JRMP : Jaba-Pekerjaan rendah-Muda-Perempuan DAFTAR TANDA (1) Kata yang dicetak dengan huruf kapital, miring, dan tebal: kata kasar (2) Kata yang dicetak dengan huruf miring dan bergaris bawah: kata biasa (3) Kata yang dicetak dengan huruf kapital dan miring: kata alus (4) Kata yang dicetak dengan huruf miring dan tebal: kata serapan bahasa Inggris (5) Kata yang dicetak dengan huruf kapital, miring, tebal, dan bergaris bawah: kata serapan bahasa Sansekerta xxxix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Spolsky (2003) menyatakan bahwa orang awam cenderung hanya melihat guyub tutur sebagai suatu kelompok masyarakat yang menggunakan bahasa tertentu. Pernyataan tersebut dimaknai bahwa bahasa bisa digunakan sebagai suatu identitas yang membedakan satu guyub tutur dengan guyub tutur yang lainnya. Slogan yang terkenal dalam hubungannya dengan konsep guyub tutur itu adalah la francophonic, yang berarti guyub tutur penutur bahasa Perancis. Slogan tersebut mengandung makna adanya kemungkinan untuk terjadinya suatu bentuk kerja sama antarpenutur bahasa Perancis di seluruh dunia. Namun, cara pandang tersebut tidak seluruhnya benar karena selain penggunaan bahasa yang sama, ada faktor lain yang juga perlu diperhatikan. Gumperz (1972) menyatakan bahwa guyub tutur mengacu pada pemahaman penuturnya akan batasan dan pilihan komunikasi yang memengaruhi situasisituasi sosial tertentu. Hal itu berarti bahwa guyub tutur merupakan suatu jejaring komunikasi yang saling terkait secara kompleks, dan anggotanya memiliki pemahaman dan sikap yang sama tentang pola penggunaan bahasa kelompoknya dan kelompok yang lain. Selain itu, Gumperz (1972) juga mengemukakan bahwa tidak ada batasan untuk lokasi dan ukuran (jumlah penutur) dari suatu guyub tutur, sehingga secara praktis, guyub tutur hanya dipersepsikan sebagai suatu 1 2 “ruang abstrak” yang berkaitan dengan setidaknya seperangkat variasi bahasa serta norma penggunaan bahasa tersebut. Salah satu guyub tutur bahasa yang besar di Indonesia adalah guyub tutur bahasa Bali dengan jumlah penutur lebih dari dua setengah juta orang (BPS Provinsi Bali, 2008). Bali merupakan sebuah pulau dan sekaligus juga salah satu provinsi di wilayah Indonesia. Pulau/Provinsi Bali terletak di bagian timur Indonesia dan berada di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Sebagai provinsi, Bali terbagi atas delapan Kabupaten dan satu kota madya, yaitu Kabupaten Badung, Gianyar, Bangli, Semarapura, Karangasem, Buleleng, Tabanan, Jembrana, dan Kota Madya Denpasar. Secara temporal bahasa Bali dibedakan atas bahasa Bali Kuno, bahasa Bali Tengahan, dan bahasa Bali Baru (Bawa, 2002a: 36-37). Bahasa Bali Kuno digunakan sebelum abad ke-14 dan banyak menyerap kosakata bahasa Sansekerta. Selain itu, bahasa itu juga tidak mengenal tingkat tutur. Berikutnya, bahasa Bali Tengahan mulai digunakan pada sekitar abad ke-14 ketika Kerajaan Majapahit berkuasa di Bali. Bahasa Bali Tengahan banyak menyerap kosakata bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa. Bahasa Bali Tengahan kerap juga disebut dengan bahasa Bali Kawi karena bahasa itu digunakan pada berbagai karya tulis tentang babad, filsafat, pengobatan dan lain-lain yang masih lestari sampai sekarang dalam berbagai karya tulis. Terakhir, bahasa Bali Baru digunakan pada awal abad ke-19. Bahasa Bali Baru menyerap kosakata bahasa Bali Tengahan, serta unsurunsur kosa kata bahasa Belanda, bahasa Melayu, dan bahasa-bahasa lainnya. Pada bahasa Bali Baru-lah, penggunaan tingkat tutur dapat ditemukan. 3 Secara regional bahasa Bali dibedakan atas dialek Bali Aga (dialek pegunungan) dan dialek Bali Dataran atau dialek umum (Bawa, 2002b: 20). Dialek Bali Aga digunakan di beberapa lokasi di daerah pegunungan yang terdapat di sekitar wilayah Buleleng, Bangli, dan Tabanan. Penggunanya adalah kelompok masyarakat “asli” Bali yang menyingkir ke daerah-daerah tersebut ketika Bali dikuasai oleh kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Keunikan dialek Bali Aga adalah pada ketiadaan tingkat tutur. Sebaliknya, dialek Bali Dataran merupakan dialek yang digunakan di wilayah Bali pada umumnya dengan penutur yang jauh melebihi penutur dialek Bali Aga. Ciri khas dari dialek Bali Dataran yang juga kerap dianggap sebagai ciri bahasa Bali secara umum adalah bahwa dialek itu memiliki stratifikasi atau tingkat tutur. Tingkat tutur itulah yang menjadi fokus pada penelitian ini. Tingkat tutur menstratifikasi tuturan bahasa Bali menjadi beberapa bagian berdasarkan rasa bahasa. Menurut Geertz (1972), rasa memiliki dua makna yang saling terkait, yakni meaning ‘makna’ dan feeling ‘perasaan’ sehingga rasa yang dimaksudkan tidak hanya berkaitan dengan makna secara denotatif atau leksikal, tetapi juga cita rasa bahasa yang terentang dari halus sampai kasar. Rentangan itu sejalan dengan dikotomi tinggi-rendah yang diwujudkan pada bahasa Bali menjadi alus atau singgih ‘halus’ dan kasar, andap, atau sor ’rendah’ . Tingkat tutur secara umum dibagi menjadi dua, yakni basa andap dan basa alus (Suastra, 1998: 58). Basa andap terdiri atas basa biasa dan basa kasar. Basa biasa merupakan tingkat tutur netral karena tingkat tutur itu tidak bersifat menghormati ataupun merendahkan (tidak halus ataupun kasar). Tingkat tutur itu 4 digunakan di antara sesama jaba atau digunakan oleh penutur triwangsa kepada mitra tutur jaba. Sebaliknya, basa kasar merupakan tingkat tutur kasar yang dapat digunakan pada suatu hubungan yang sangat akrab atau untuk mengungkapkan kemarahan. Pada keakraban yang tinggi, tingkat tutur kasar digunakan untuk menandai keintiman; sedangkan pada saat marah, tingkat tutur itu digunakan dalam bentuk umpatan, sumpah serapah, dan lain-lain. Basa alus terdiri atas basa alus singgih, basa alus sor, dan basa alus madia. Basa alus singgih ‘halus atas’ digunakan untuk menghormati mitra tutur yang berwangsa lebih tinggi atau yang pantas dihormati. Basa alus sor ‘halus bawah’ digunakan untuk merendahkan diri ketika bercakap-cakap dengan mitra tutur yang berwangsa lebih tinggi. Basa alus madia ‘halus tengah’ merupakan tingkat tutur yang dari segi rasa kesopanan berada di tengah-tengah dan dapat digunakan untuk mitra tutur yang berwangsa lebih tinggi, yang sewangsa, atau yang berwangsa lebih rendah serta pantas untuk dihormati. Singkatnya, basa alus digunakan untuk menunjukkan penghormatan kepada mitra tutur. Kehadiran tingkat tutur merefleksikan pelapisan sosial tradisional masyarakat Bali yang berdasarkan wangsa (Suarjana, 2007:102). Wangsa merupakan pengelasan sosial masyarakat tradisional Bali yang bersifat tertutup karena penentu utama bagi keanggotaan kelas wangsa adalah kelahiran. Hal itu berarti bahwa kelas wangsa bersifat diwariskan. Dengan demikan, masyarakat Bali cenderung tidak dapat berpindah kelas wangsa seumur hidupnya, kecuali melalui perkawinan beda wangsa bagi pihak perempuan atau pada beberapa peristiwa khusus, atas keinginan raja. 5 Wangsa membagi masyarakat Bali menjadi dua kelas sosial umum yang terikat dengan status dan prestise. Wangsa yang berstatus dan berprestise lebih tinggi adalah triwangsa yang terdiri atas brahmana, ksatria, dan wesia; sedangkan, wangsa yang berstatus dan berprestise lebih rendah adalah jaba. Brahmana merupakan golongan pendeta atau pemimpin religius yang berperan sebagai pemimpin upacara keagamaan di masyarakat; ksatria merupakan kelompok masyarakat yang terdiri atas raja dan para bangsawan kerajaan; dan wesia merupakan golongan yang bekerja demi kepentingan pihak kerajaan dan terdiri atas para patih, para fungsionaris istana, dan abdi istana. Sebaliknya, jaba terdiri atas masyarakat kebanyakan. Perbedaan antara triwangsa dan jaba menandai perbedaan perlakuan yang tajam secara sosial-politik dan religius, khususnya pada zaman dahulu. Secara sosial-politik, raja memiliki kekuasaan absolut sebagai penjelmaan “dewa” di dunia dan kekuatan kekuasaan itu juga menyebar di kalangan triwangsa lainnya yang berhubungan sangat dekat dengan kekuasaan. Pekerjaaan-pekerjaan yang berhubungan dengan pemerintahan dan administrasi pemerintahan dimonopoli oleh golongan triwangsa, sedangkan masyarakat jaba umumnya hanya bekerja sebagai petani penggarap yang kepemilikan lahannya juga berada di tangan kalangan triwangsa. Selain itu, perbedaan antarwangsa juga dikukuhkan secara religius dengan penggunaan simbol-simbol upacara yang sudah terkategori ketat berdasarkan wangsa. Dengan kata lain, masyarakat triwangsa memiliki banyak hak istimewa yang tidak dimiliki oleh masyarakat jaba dan oleh karenanya digolongkan sebagai kelas atas. 6 Kelompok triwangsa menggunakan nama gelar wangsa di depan namanya, tetapi kelompok jaba tidak menggunakan nama gelar (Antara, 2012: 27-28; Diantha dan Wisanjaya, 2010: 60-63; dan Hobart, dkk 1996: 76-77). Wangsa brahmana menggunakan gelar ida, ida bagus atau ida ayu; wangsa ksatria menggunakan gelar dewa agung, dewa, i dewa, anak agung, cokorda, i gusti, dan lain-lain; wangsa wesia menggunakan gelar gusti; sedangkan, jaba tidak menggunakan gelar apa pun pada namanya. Sehubungan dengan peralihan zaman, dari zaman tradisional ke zaman modern, yang ditandai oleh pergaulan global dan keterbukaan informasi, penentuan kelas sosial masyarakat Bali yang berdasarkan wangsa mengalami suatu dinamika. Witterman (1967) mengungkapkan bahwa ada dua perubahan mendasar yang terjadi di Indonesia sejak masa kemerdekaan sebagai bentuk kebijakan pemerintah. Perubahan pertama berupa perubahan masyarakat yang terstruktur secara feodal ke struktur egaliter dan diwujudkan melalui pemangkasan peran, status, dan pengaruh golongan bangsawan tradisional secara sosial politik untuk mendorong semangat egalitarianisme. Perubahan kedua berupa penyatuan pluralitas regional, politik, dan budaya ke dalam pola pikir modern yang dipengaruhi oleh industrialisasi dan persamaan. Suastra (1998) berikutnya menjelaskan bahwa sejak masa kolonial sampai masa kemerdekaan, sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, kelas sosial tradisional di Bali mengalami tantangan dari dua arah. Dari dalam, tantangan itu berasal dari evolusi masyarakat Bali itu sendiri. Evolusi tersebut berupa perubahan pengelompokan kelas sosial dari sistem wangsa yang bersifat 7 tertutup ke suatu sistem kelas yang lebih terbuka. Hal itu terjadi karena kerajaankerajaan yang menjadi pusat kehidupan sosial-budaya dan religius tidak lagi diakui oleh negara setelah masa kemerdekaan sehingga kehidupan sosial-budaya dan religius masyarakat tidak lagi berpusat pada kerajaan. Sepakat dengan hal itu, Wiana (2006) mengungkapkan bahwa konsep wangsa telah mengalami tantangan dan menimbulkan kesalahpahaman atau konflik di masyarakat Bali sendiri. Tantangan atau konflik itu muncul karena angggota masyarakat Bali mulai menyadari bahwa sistem wangsa yang bersifat tertutup merupakan penerapan yang tidak tepat dari sistem varna yang bersifat terbuka. Terkait dengan tantangan dari luar, kedatangan orang barat dan penduduk Indonesia yang lain ke Bali membawa citra baru yang memengaruhi sistem sosial masyarakat Bali. Masyarakat luar tersebut menganut paham Islam atau Kristen dan mempersepsi kelas sosial sebagai sesuatu yang terkait dengan kekayaan atau moralitas, bukan kelahiran. Kedatangan mereka itu dirumuskan sebagai proses “internasionalisasi” Bali (Laksana, 2008: 2-3) yang menjadikan Bali sebagai wilayah yang banyak didatangi oleh wisatawan, baik wisatawan domestik, mancanegara, maupun masyarakat luar yang bertujuan untuk mencari pekerjaan di Bali. Dengan kata lain, Bali telah menjadi suatu kancah pergaulan internasional yang telah memengaruhi sistem sosialnya menjadi lebih terbuka. Dinamika sosial tersebut sejalan dengan pengamatan yang dilakukan oleh Suarjana (2008) dan Dwipayana (2001) yang mengungkapkan bahwa pada zaman modern, setiap anggota masyarakat dari wangsa mana pun, baik triwangsa maupun jaba memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi anggota kelas atas 8 karena penentuan kelas tidak lagi berdasarkan wangsa. Selanjutnya, Suarjana (2008) merumuskan skema berikut untuk menunjukkan perbedaan penentuan kelas sosial secara tradisional dan modern: (1) Secara tradisional: A B Golongan atas Golongan bawah : : triwangsa jaba : : triwangsa + jaba triwangsa + jaba (2) Secara modern: A B Golongan atas Golongan bawah Skema itu menunjukkan bahwa wangsa sebagai satu-satunya penentu kelas sosial secara tradisional telah mengalami dinamika pada zaman modern ini. Dalam hal ini, peran wangsa telah semakin menyusut dan digantikan oleh faktor lain yang berkaitan dengan ekonomi, yakni pekerjaan, jabatan, atau kekayaan –faktor penentu kelas sosial modern. Walaupun hubungan antara dinamika sosial dan tingkat tutur bahasa Bali merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji, penelitian-penelitian yang dilakukan untuk mengkaji hubungan antara kedua hal tersebut masih sangat terbatas sehingga perlu untuk diberikan perhatian lebih. Salah satu penelitian yang relevan dan penting adalah penelitian yang dilakukan oleh Suastra (1998). Dalam disertasinya yang berjudul Speech Levels and Social Change: a sociolinguistic study in the urban Balinese setting, Suastra (1998) mengkaji pola perubahan yang terjadi pada stratifikasi sosial masyarakat Bali dalam hubungannya dengan penggunaan penggunaan tingkat tutur bahasa Bali di wilayah perkotaan di Bali Selatan. 9 Melalui hasil kajiannya, Suastra menemukan bahwa (1) perubahan pada perilaku sosial masyarakat Bali membawa perubahan pada perilaku linguistik mereka ketika menggunakan bahasa Bali; (2) tingkat tutur tidak hanya digunakan antarwangsa yang berbeda, yaitu dari triwangsa ke nontriwangsa atau sebaliknya; tetapi juga digunakan antarsesama wangsa pada berbagai ranah yang berbeda; (3) penutur cenderung untuk mengurangi penggunaan kosakata bahasa Bali pada pertuturan bahasa Bali dan menggantinya dengan kosakata netral bahasa Indonesia dan bahasa yang lainnya; (4) penutur muda, dibandingkan dengan penutur yang lebih tua, cenderung lebih banyak menggunakan kosakata bahasa Indonesia pada pertuturan dengan bahasa Bali; (5) penutur perempuan bahasa Bali, dibandingkan dengan penutur laki-laki, cenderung lebih banyak menggunakan kosakata bahasa Indonesia pada pertuturan dengan bahasa Bali; (6) penutur cenderung untuk mencampuradukan butir-butir leksikal dari tingkat tutur yang berbeda, dan (7) perbedaan tingkat tutur yang kompleks menjadi semakin disederhanakan pada daerah Bali perkotaan. Suastra (1998) lebih lanjut menyatakan bahwa kajian mengenai tingkat tutur dalam hubungannya dengan dinamika masyarakat masih sangat penting untuk dilakukan terutama di wilayah-wilayah pedesaan di Bali. Sepakat dengan pernyataan itu, Seken (2005) juga mengungkapkan bahwa kajian tentang penggunaan bahasa Bali sebagai kendaraan sosial masih sangat jarang dilakukan. Pernyataan kedua ahli itu mendorong dilakukannya pengkajian penggunaan bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja. 10 Guyub tutur Kota Singaraja, ibu kota Kabupaten Buleleng (dahulu Den Bukit), dipilih sebagai lokasi penelitian karena guyub itu merupakan guyub tutur yang unik karena beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, guyub tutur tersebut dikenal memiliki stereotip sebagai guyub tutur yang penggunaan bahasanya kasar dan kurang mengenal sor singgih basa ‘tata krama berbahasa’ (Laksana, 2009; dan Wingarta, 2009: 12). Laksana (2009) melaporkan bahwa penutur BB daerah Bali lainnya yang baru menetap di Kota Singaraja kerap terkejut karena menerima penggunaan bahasa kasar. Senada dengan hasil pengamatan Laksana (2009), Wingarta (2009) juga menambahkan bahwa ungkapan nunasang antuk linggih ‘Mohon disebutkan tempat duduk (wangsa) anda’ yang lazim digunakan untuk menanyakan posisi wangsa seseorang kerap ditanggapi sinis oleh penutur guyub tutur Kota Singaraja dengan jawaban pelinggihan tiange motor Honda ‘tempat duduk saya sepeda motor Honda’. Selain itu, walaupun lokasinya terisolasi dari wilayah Bali yang lainnya, Kota Singaraja sempat menjadi kota pelabuhan yang ramai. Oleh sebab itu, Kota Singaraja pernah menjadi kota tempat bertemunya masyarakat antaretnis yang berbeda, seperti China, Jawa, Madura, Bugis, Makasar dan Arab dan bahkan, keturunan mereka masih menetap di Kota Singaraja (Sastrodiwiryo, 2006:77110). Selain itu, Kota Singaraja juga pernah menjadi ibu kota Negara Indonesia Timur (NIT) sebelum dipindahkan ke Denpasar. Keramaian dan percampuran etnis itu tentu saja memengaruhi penggunaan bahasa Bali di Kota Singaraja (Sukrata dalam Ginarsa dkk, 1975: 28) 11 Berbeda dengan wilayah Bali lainnya yang cenderung feodal, Kota Singaraja bernuansa lebih egaliter (Wingarta, 2009 :80). Keegaliteran itu terwujud karena pengaruh kuat dari budaya egaliter masyarakat Bali Aga yang mendiami wilayah pegunungan di sekitar wilayah Singaraja. Keegaliteran itu juga diperkuat oleh kurang mengakarnya pengaruh kerajaan yang menjadi intisari dari feodalisme di Bali. Kerajaan Buleleng hanya sempat berjaya sebentar, yakni selama masa pemerintahan Ki Gusti Panji Sakti, dan setelah itu, terjun ke dalam kemelut politik yang panjang. Kota Singaraja bahkan merupakan satu-satunya wilayah yang berada di bawah pemerintahan langsung seorang Kanselir Belanda ketika Negara Belanda menjajah Bali. Paparan tentang keunikan guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja yang berkaitan dengan stereorip guyub, pergaulan multietnis, dan budaya egaliternya menjadikan kota itu menarik untuk dikaji terutama dalam hubungannya dengan penggunaan bahasa Bali. Hal itu semakin diperkuat lagi karena bahasa Bali yang digunakan di Kota Singaraja, selain di Kota Klungkung, diacu sebagai model bagi bahasa Bali ragam standar (Suarjana, 2007: 66). Pada penelitian ini, peneliti mengkaji tentang bentuk tingkat tutur bahasa Bali yang digunakan pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja; penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dalam kaitannya dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender; faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali; dan sikap penutur terhadap tingkat tutur bahasa Bali. 12 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, ada empat masalah yang dikaji pada penelitian ini sebagai berikut. (1) Bagaimanakah bentuk tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja? (2) Bagaimanakah penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dalam hubungannya dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja? (3) Apakah faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali kota Singaraja? (4) Bagaimanakah sikap penutur bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja terhadap tingkat tutur bahasa Bali? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memaparkan, menjelaskan, menguraikan, dan menginterpretasikan bentuk dan penggunaan tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur Kota Singaraja. Secara khusus, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut. (1) Memaparkan bentuk tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur Kota Singaraja. (2) Menjelaskan hubungan antara wangsa, pekerjaan, umur dan gender dengan (a) penggunaan tingkat tutur alus, (b) penggunaan tingkat tutur biasa, dan (c) penggunaan tingkat tutur kasar pada guyub tutur kota Singaraja. 13 (3) Menguraikan dan menginterpretasikan faktor–faktor yang memengaruhi: (a) penggunaan tingkat tutur alus, (b) penggunaan tingkat tutur biasa, dan (c) penggunaan tingkat tutur kasar pada guyub tutur Kota Singaraja (4) Menjelaskan dan menginterpretasikan sikap penutur guyub tutur bahasa Bali kota Singaraja terhadap tingkat tutur bahasa Bali yang meliputi: (a) sikap terhadap tingkat tutur alus, (b) sikap terhadap tingkat tutur biasa, dan (c) sikap terhadap tingkat tutur kasar. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan manfaat bagi berbagai khalayak, baik itu secara teoritis maupun praktis. 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoritis, hasil penelitian ini terutama diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan keilmuan sosiolinguistik karena penelitian ini dilakukan pada bidang tersebut. Penelitian ini dilakukan dalam upaya untuk memaparkan bentuk tingkat tutur bahasa Bali, menjelaskan hubungan antara penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dengan variabel sosial penutur, menguraikan faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali, dan sikap terhadap tingkat tutur bahasa Bali. Untuk itu, teori-teori yang digunakan adalah teori-teori yang menghubungkan antara penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dengan variabel sosial penutur, seperti teori yaitu teori variasi linguistik, teori tingkat tutur bahasa Bali, teori etnogafi komunikasi, teori analisis domain, teori desain pendengar, teori sistem sapaan, dan teori budaya dan sosialisasi bahasa. 14 Selain itu, penelitian ini juga menerapkan teori sikap bahasa. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan untuk memberikan kontribusi yang penting sebagai berikut. (1) Sebagai sumbangan teori, yakni teori baru yang digali dan dibahas berdasarkan data penelitian yang diperoleh di tempat spesifik. Karena penelitian ini meneliti BB yang terkenal dengan tingkat tuturnya, maka teori yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pembanding untuk menganalisis bahasa-bahasa lain yang sekerabat atau yang memiliki tingkat tutur, seperti bahasa Sunda, bahasa Madura, bahasa Jawa, bahasa Sasak, bahasa Korea, dan bahasa Jepang. (2) Sebagai salah satu acuan ilmiah yang dapat menjelaskan hubungan antara struktur sosial dengan penggunaan bahasa. (3) Sebagai salah satu acuan pustaka yang dapat digunakan untuk membedah penggunaan bahasa-bahasa lain yang berstratifikasi, seperti bahasa Sunda, bahasa Madura, bahasa Jawa, bahasa Sasak, bahasa Korea, dan bahasa Jepang. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi guru, pembelajar BB, dan ahli bahasa, khususnya ahli sosiolinguistik serta pengambil kebijakan pada pelestarian dan pengembangan bahasa. (1) Guru dan pembelajar BB dapat memanfaatkan hasil penelitian ini untuk memperluas dan memperdalam wawasan mengenai penggunaan BB 15 (2) Peneliti dan ahli bahasa dapat memanfaatkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan pembanding dalam melakukan penelitian sejenis, terutama pada bahasa-bahasa yang bertingkat seperti BB. (3) Pengambil kebijakan pada pelestarian dan pengembangan bahasa dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai salah satu rujukan untuk mengetahui status dan situasi penggunaan BB dalam rangka melestarikan nilai-nilai budaya dan bahasa daerah, khususnya BB. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka penelitian ini bertujuan untuk (1) melihat model, arah, dan temuan-temuan yang telah dicapai, (2) menunjukkan signifikansi penelitian ini dalam kaitannya dengan penelitian-penelitian sejenis, dan (3) menarik manfaat dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, baik berupa data, konsep, model, metode, maupun teori. Pada bagian ini diuraikan kajian-kajian yang relevan yang telah dilakukan terkait dengan penggunaan tingkat tutur. Bagus (1979) mengkaji perubahan penggunaan bentuk hormat dalam masyarakat Bali. Pada kajiannya, Bagus (1979) membuat asumsi dasar bahwa ketika berbicara dengan mitra tutur yang berkedudukan lebih tinggi secara sosial, orang yang berkedudukan lebih rendah tersebut sepantasnya menggunakan bentuk hormat sesuai dengan norma sopan santun berbahasa. Sebaliknya, ketika orang yang berkedudukan lebih tinggi secara sosial berbicara pada orang yang berkedudukan lebih rendah, ia biasanya menggunakan bahasa lepas hormat. Berdasarkan asumsi tersebut dan berhubungan dengan situasi sosial masyarakat Bali yang semakin kompleks karena tumbuhnya kelas-kelas sosial yang menantang monopoli wangsa, dirumuskanlah dua hipotesis berikut. Hipotesis pertama adalah “bilamana masyarakat itu strukturnya menjadi lebih kompleks sebagai akibat perubahan zaman, maka penggunaan bentuk hormat pun 16 17 akan mengalami perubahan”. Hipotesis kedua adalah “apabila di dalam masyarakat terdapat perubahan-perubahan dalam mempergunakan bentuk hormat, maka pengetahuan orang pun mengenai bentuk hormat itu akan menunjukkan perbedaan yang berarti.” Bagus (1979) mengombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dan menjadikan Kota Klungkung dan Kota Denpasar sebagai lokasi penelitian. Kota Klungkung merupakan pusat politik dan budaya tradisional, sedangkan Kota Denpasar adalah Kota yang terkategori heterogen dan banyak mendapat pengaruh luar. Selain itu, Sampel diambil berdasarkan kerangka sampel yang disusun berdasarkan wangsa, yaitu triwangsa dan jaba; pekerjaan, yaitu petani, pegawai, pengusaha, dan mahasiswa; generasi, yaitu generasi tua (lebih dari 25 tahun) dan generasi muda (kurang dari 25 tahun); dan kehidupan Kota. Selanjutnya, data dikumpulkan dengan menggunakan angket, observasi partisipasi, dan wawancara tak terstruktur. Hasil penelitian sejalan dengan hipotesis yang dibuat yang berarti bahwa terdapat suatu perubahan dalam penggunaan bentuk hormat sejalan dengan perubahan struktur masyarakat yang menjadi semakin kompleks. Secara lebih spesifik, terungkap bahwa (1) terdapat suatu penyusutan dalam penggunaan bentuk hormat; dan (2) penggunaan bentuk hormat tidak hanya berhubungan dengan wangsa, tetapi juga pekerjaan yang dalam hal ini orang yang memiliki pekerjaan yang lebih baik walaupun wangsanya lebih rendah cenderung lebih menerima penggunaan bentuk hormat dibandingkan dengan yang memiliki pekerjaan yang lebih rendah. 18 Penelitian Bagus (1979) tersebut telah meletakkan fondasi yang kuat bagi penelitian-penelitian berikutnya tentang penggunaan tingkat tutur bahasa Bali karena penelitian tersebut dapat memberikan suatu gambaran ilmiah akan adanya suatu indikasi perubahan norma penggunaan bahasa pada guyub tutur bahasa Bali dalam kaitannya dengan wangsa, pekerjaan, generasi, dan kehidupan Kota yang terdeteksi melalui penggunaan bentuk hormat. Suastra (1998) mengkaji pengaruh perubahan sosial pada masyarakat Bali terhadap struktur dan bentuk tingkat tutur bahasa bali. Kajian itu dilakukan secara kuantitatif yang melibatkan variabel pengaruh dan variabel terpengaruh. Variabel terpengaruh adalah tingkat tutur bahasa Bali, sedangkan variabel terpengaruh terdiri atas pekerjaan (status sosial), wangsa, jenis kelamin, umur, dan jejaring sosial. Hasil kajian Suastra (1998) menunjukkan bahwa (1) perubahan pada perilaku sosial masyarakat Bali berpengaruh pada perilaku linguistik mereka dalam penggunaan bahasa Bali; (2) pekerjaan, wangsa, dan jejaring sosial memengaruhi penggunaan tingkat tutur secara signifikan, (3) jenis kelamin dan umur tidak memengaruhi penggunaan tingkat tutur secara signifikan; (4) penutur cenderung untuk mengurangi penggunaan kosakata bahasa Bali pada pertuturan bahasa Bali dan menggantinya dengan kosakata netral bahasa Indonesia dan bahasa yang lainnya; (4) penutur muda, dibandingkan dengan penutur yang lebih tua, cenderung lebih banyak menggunakan kosakata bahasa Indonesia pada pertuturan dengan bahasa Bali; (6) penutur perempuan bahasa Bali, dibandingkan dengan penutur laki-laki, cenderung lebih banyak menggunakan kosakata bahasa 19 Indonesia pada pertuturan dengan bahasa Bali; (7) penutur cenderung untuk mencampuradukan item-item leksikal dari tingkat tutur yang berbeda, dan (8) perbedaan tingkat tutur yang kompleks menjadi semakin disederhanakan pada daerah Bali perkotaan. Selain itu, Suastra (1998) juga meramalkan bahwa upaya untuk menggunakan kosakata bahasa Indonesia dalam pertuturan bahasa Bali dapat menjadi agen perubahan bagi kemunculan suatu kategori tingkat tutur yang baru yang melibatkan penggunaan bahasa Indonesia dalam bahasa Bali. Kalau diperhatikan secara mendalam, penelitian yang dilakukan oleh Suastra (1998) tersebut dapat memberikan gambaran yang lengkap akan situasi sosiolinguistik perkotaan di Bali, khususnya Kota Denpasar. Selain itu, penerapan pendekatan kuantitatif yang mendetail dapat menjelaskan secara akurat hubungan antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh. Oleh sebab itu, ada beberapa kontribusi yang bisa dimanfaatkan dari penelitian tersebut bagi kepentingan penelitian ini secara teori, metode, dan temuan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Suastra (1998) terletak pada objek penelitian dan aspek yang dikaji, yaitu tingkat tutur bahasa Bali yang dikaji secara sosiolinguistik. Akan tetapi, lokasi penelitian, penerapan teori, dan metode penelitian yang digunakan berbeda. Selain itu, penelitian ini juga melakukan kajian tentang sikap bahasa yang diharapkan bisa memperkaya pembahasan. Mahyuni (2006) mengkaji pengaruh perubahan sosial terhadap norma penggunaan base Sasak dengan mengeksplorasi konsep tèndèh. Konsep tèndèh berkaitan dengan kemampuan untuk memenuhi perilaku sosial, kesopanan, dan gaya bahasa yang sesuai dengan tuntutan situasi. Konsep itu menunjukkan bahwa 20 memahami adat dalam konteks budaya Sasak sangatlah penting dan seorang penutur diharapkan untuk menggunakan bahasa sopan demi terwujudnya suatu harmoni sosial dengan cara menyesuaikan pola tutur dengan tujuan-tujuan komunikasi dan interlokutornya. Karena pengaruh budaya Bali, bahasa Sasak juga memiliki tingkat tutur yang terdiri atas jamaq ‘biasa’, tengag ‘tengah-tengah’, dan utame ‘utama’. Fungsi tingkat tutur bahasa Sasak adalah untuk menandai dan memisahkan kasta pada guyub tutur bahasa Sasak, yaitu antara kelompok menak ‘bangsawan’ dan nonmenak ‘nonbangsawan’. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan zaman, kekuatan kasta itu terancam oleh nilai-nilai modernitas dan pengajaran egaliter Islam. Hasil kajian Mahyuni (2006) selanjutnya mengungkapkan hal-hal berikut ini. Pertama, perubahan sosial pada komunitas Sasak memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Sasak. Dalam hal ini, tingkat tutur utama menjadi lebih banyak digunakan di lingkungan nonmenak yang memiliki gelar religius dan penggunaan itu ditujukan untuk menjaga jarak dan saling menghormati di antara partisipan yang terlibat. Kedua, tingkat tutur utama sudah mengalami revitalisasi dan memperoleh status baru melalui afiliasinya dengan agama Islam, pendidikan, dan posisi sosial. Ketiga, walaupun tidak ada suatu korelasi langsung antara kekayaan seseorang dengan penggunaan bahasa pada komunitas Sasak, ada suatu indikasi adanya korelasi tidak langsung. Hal itu bisa dipahami karena untuk melakukan ibadah ke Mekkah dan menjadi seorang haji/hajah yang merupakan suatu pencapaian religius yang tinggi, seseorang perlu untuk berharta. 21 Penelitian yang dilakukan oleh Mahyuni (2006) tersebut dapat memberikan gambaran yang cukup lengkap dan bermakna tentang situasi kebahasaan pada guyub tutur bahasa Sasak. Pendekatan penelitiannya yang menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan penekanan pada penelitian lapangan sungguh tepat dalam mengkaji permasalahan yang didekati. Suatu ide yang menarik dan penting dapat diadopsi dari penelitian Mahyuni, yakni penggunaan konsep sapaan sebagai indikator penting dalam penentuan tingkat tutur dan sikap seseorang terhadap mitra tutur. Selanjutnya, Suteja (2007) mengkaji sikap bahasa mahasiswa etnis Bali terhadap penggunaan tingkat tutur bahasa Bali. Peneliti tersebut membagi sampel penelitian berdasarkan tempat tinggal, yakni kota dan desa, dan wangsa, yakni, triwangsa dan nontriwangsa. Data penelitian dikumpulkan melalui metode analisis konten, pengukuran langsung, pengukuran taklangsung, dan pengamatan lapangan. Hasil penelitan Suteja (2007) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sikap yang signifikan terhadap bahasa Bali alus tinggi, alus madia, dan lumrah antara mahasiswa yang tinggal di kota dan di desa, dan antara mahasiswa triwangsa dan nontriwangsa. Dalam hal ini, rerata sikap mahasiswa terhadap alus tinggi negatif, terhadap alus madia netral, dan terhadap lumrah positif. Sikap negatif terhadap alus tinggi dipengaruhi oleh kepercayaan bahwa penggunaan ragam alus tinggi tidak mencerminkan kesetaraan, rumit, dan hanya mewadahi hal-hal yang berbau tradisional. Kepercayaan itu bertolak belakang dengan masyarakat terdidik yang cenderung menghargai kesetaraan. Berbeda 22 dengan sikap terhadap alus tinggi, sikap terhadap alus madia berada pada posisi netral karena alus madia dianggap sebagai pengganti alternatif bagi alus tinggi dan sudah berterima di kelompok triwangsa. Penggunaan alus madia menunjukkan perilaku saling menghargai. Sementara itu, sikap positif terhadap BB lumrah didasari oleh kepercayaan bahwa BB lumrah telah menjadi alat komunikasi sehari-hari, mencerminkan kesetaraan sosial, dan memiliki penggunaan yang luas. Hasil penelitian Suteja (2007) dapat menggambarkan fenomena sikap mahasiswa penutur BB terhadap tingkat tutur BB secara meyakinkan. Hal itu berkaitan dengan penerapan metode-metode pengumpulan data yang tepat untuk mengumpulkan data yang sahih dan meyakinkan. Selain itu, kalkulasi statistik inferensial yang digunakan dapat pula memberikan gambaran yang diinginkan dengan cukup jelas. Hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan tersebut dapat menjadi suatu acuan pembanding yang sangat penting bagi penelitian ini. Secara metodologis, hasil-hasil penelitian tersebut membantu memperkaya dan memperdalam paparan metodologi yang diterapkan pada penelitian ini. Teori-teori yang diterapkan juga sangat bermanfaat untuk memperkaya teori-teori yang digunakan pada penelitian ini. Terakhir, temuan-temuan yang telah dibuat diperbandingkan dengan temuantemuan pada penelitian ini untuk mewujudkan suatu paparan yang kaya makna, komprehensif, dan mendalam. Dengan kata lain, hasil-hasil penelitian terdahulu dimanfaatkan secara kritis bagi penelitian ini. 23 2.2 Konsep Bagian ini menguraikan konsep dasar yang terkait dengan judul dan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep itu meliputi penggunaan bahasa, variasi, tingkat tutur BB, guyub tutur, wangsa, kelas sosial, dan sikap. 2.2.1 Penggunaan Bahasa Dengan meminjam definisi Purwoko (2008a), penggunaan bahasa dapat diartikan sebagai cara seorang penutur menggunakan potensi-potensi bahasa yang dikuasainya berhubungan dengan situasi sosiokultural penuturnya sebagai media komunikasi dalam interaksi sehari-hari. Dengan kata lain, penggunaan BB mengacu pada bagaimana BB digunakan di dalam kehidupan nyata seorang penutur BB yang mencerminkan perilaku dan fenomena sosial penuturnya. Dengan demikian, kajian yang dilakukan tentang penggunaan BB adalah lebih pada penggunaan ragam tutur BB, daripada seluk beluk tata bahasa. Penggunaan bahasa terkait dengan pilihan bahasa, konteks penggunaan bahasa, fungsi bahasa, dan alasan-alasan yang mendasari penggunaan suatu bahasa. Karena bahasa yang dikaji adalah BB yang bertingkat tutur, penggunaan bahasa yang dimaksudkan adalah penggunaan ragam tingkat tutur itu sendiri, yakni (a) penggunaan tingkat tutur (kode) alus, (b) penggunaan tingkat tutur (kode) biasa, dan (c) penggunaan tingkat tutur (kode) kasar. Untuk selanjutnya, istilah dari ragam tingkat tutur digantikan dengan kode karena istilah kode dianggap berpadanan dengan tingkat tutur dan lebih sesuai (lihat 2.2.3). 24 2.2.2 Variasi Hudson (1982) mengungkapkan bahwa variasi terkait dengan sejumlah butir linguistik yang memiliki distribusi sosial yang sama. Sepakat dengan definisi Hudson tersebut, Holmes (1992) dan Fasold (1990) menjelaskan bahwa variasi dapat diartikan sebagai sejumlah alternatif untuk mengungkapkan hal yang sama. Rentangan variasi bisa sangat luas atau sangat spesifik karena yang menjadi tolok ukur adalah distribusi sosialnya. Oleh karena itu, variasi itu dapat berupa bahasa, dialek, register, gaya bahasa, fonem, dan sebagainya. Selanjutnya, Chaer dan Agustina (2004) menyebutkan bahwa ada dua faktor sosial yang dapat mengakibatkan variasi, yaitu faktor penutur dan faktor fungsi bahasa. Ideolek, dialek geografi, dialek temporal, dan sosiolek merupakan variasi yang muncul dari faktor penutur, sedangkan variasi terkait dengan formalitas atau bidang pekerjaan muncul dari faktor fungsi bahasa. 2.2.3 Tingkat Tutur Bahasa Bali Tingkat tutur BB dikenal dengan beragam istilah, misalnya, sor singgih (Suarjana, 2008: 1; dan Tinggen, 1986: 7), anggah-ungguhing (Gautama, 2006: 26), unda usuk (Peneliti Fakultas Sastra, 1978: 1), dan tingkat-tingkat bicara (Bagus, 1997: 169). Tingkat tutur merupakan sejumlah alternatif tutur yang tergradasi dari halus sampai kasar untuk mengungkapkan makna tutur yang sama secara leksikal, namun berbeda berdasarkan tingkat rasa (kehalusan). Tingkat tutur dimungkinkan karena keberadaan kata yang bertingkat. Dasar klasifikasi tingkat tutur BB adalah rentangan atau tingkatan rasa bahasa yang terealisasi pada ragam leksikal (Gautama, 2006: 27). Kata ‘mati’, 25 misalnya, memiliki empat realisasi leksikal, yaitu bangka untuk kata kasar, mati untuk kata andap, padem untuk kata alus sor, dan seda untuk kata alus singgih. Realisasi leksikal yang berbeda itu menunjukkan bahwa BB memiliki sejumlah kata yang bermakna sama secara denotatif, tetapi berbeda secara konotatif. Makna konotatif itu disebut sebagai makna “status” (Geertz, 1972: 167). Ragam tingkat tutur bahasa Bali pada penelitian ini, untuk kepraktisan, dibedakan atas tingkat tutur kasar, tingkat tutur biasa, dan tingkat tutur alus. Selanjutnya, istilah dari ragam tingkat tutur itu diganti dengan istilah kode yang diartikan oleh Wardaugh (1988) sebagai setiap sistem yang digunakan atau diaktifkan oleh peserta tutur untuk berkomunikasi. Selain itu, Wardaugh (1988) juga menambahkan bahwa istilah kode bersifat netral bagi sistem komunikasi dan sering digunakan untuk menghindari istilah bahasa, dialek, variasi, gaya bahasa, dan sebagainya. Sepakat dengan hal itu, Purwoko (2008a) menggunakan istilah kode untuk menggantikan klasifikasi atau ragam tingkat tutur bahasa Jawa. 2.2.4 Guyub Tutur Para ahli telah membuat definisi beragam mengenai guyub tutur yang merefleksikan sifat-sifat yang khas guyub yang dikaji. Penelitian ini menerapkan konsep guyub tutur yang dikembangkan oleh Fishman (1972c) bahwa guyub tutur adalah suatu masyarakat yang anggotanya mengenal sekurang-kurangnya satu variasi bahasa beserta norma-norma penggunaannya yang tepat. Definisi itu mengungkapkan bahwa suatu guyub tutur memiliki tiga komponen, yaitu adanya 26 sekelompok orang, setidak-tidaknya menggunakan satu bahasa/variasi bersama, dan dilengkapi oleh norma penggunaannya. 2.2.5 Wangsa Para ahli, misalnya Diantha dan Wisanjaya (2010); Karepun (2007); dan Suastra (1998), sepakat bahwa wangsa merupakan suatu pengelasan vertikal masyarakat di Bali yang berdasarkan atas keturunan, perkawinan, dan keputusan politik raja. Akan tetapi, dari ketiga kritera itu faktor keturunan merupakan faktor penentu yang paling umum bagi keanggotaan dalam wangsa. Sebaliknya, perkawinan dan keputusan politik raja untuk menaikturunkan wangsa seseorang merupakan penentu yang kurang umum karena jarang terjadi. Wangsa mengelas masyarakat Bali secara tradisional menjadi empat, yakni brahmana, ksatria, wesia, dan sudra/jaba. Brahmana merupakan kelas tertinggi yang terdiri atas para pendeta Hindu-Budha, para keluarga, dan keturunan mereka; ksatria merupakan kelas kedua yang terdiri atas raja, para bangsawan, para keluarga dan keturunan mereka; wesia merupakan kelas ketiga yang awalnya terdiri atas para fungsionaris/pegawai kerajaan, para keluarga, dan keturunan mereka; sedangkan sudra/jaba merupakan kelas terakhir yang terdiri atas rakyat kebanyakan. Untuk selanjutnya, istilah sudra digantikan dengan istilah jaba yang lebih netral dan lebih berterima oleh masyarakat di Bali pada umumnya dan di Kota Singaraja pada khususnya . Tiga kelas pertama –brahmana, ksatria, dan wesia– disebut dengan triwangsa atau menak; sedangkan kelas yang keempat disebut dengan jaba. Berdasarkan tatanan sosial tradisional yang ditentukan berdasarkan wangsa, 27 triwangsa merupakan kelas menengah ke atas yang memiliki status sosial dan prestise yang lebih tinggi daripada jaba yang dianggap berada dibawah triwangsa. 2.2.6 Kelas Sosial Dworkin (2007) mengungkapkan bahwa istilah kelas pertama kali diperkenalkan oleh raja Romawi, Servius Tullius, untuk mengelompokkan masyarakat Romawi berdasarkan kekayaan dan umur. Pengelompokan itu sesungguhnya hanya berfungsi sebagai label dan bersifat horizontal, tetapi selanjutnya mengalami perubahan pada abad ke-18 setelah para ilmuwan Eropa menggunakannya untuk merujuk pada status atau kedudukan. Sebagai pengelompokan yang bersifat vertikal, faktor penentu kelas sosial adalah kekayaan dan pekerjaan. Kekayaan dan pekerjaan merupakan suatu kesatuan karena kekayaan umumnya mengikuti pekerjaan. Ada tipe-tipe pekerjaan tertentu yang berbayar tinggi, dan ada juga tipe-tipe pekerjaan yang berbayar rendah. Pekerjaan yang berbayar tinggi umumnya membutuhkan keterampilan yang tinggi, dan untuk memperolehnya dibutuhkan modal dalam jumlah tertentu, sedangkan pekerjaan yang berbayar rendah membutuhkan keterampilan yang rendah. Dengan kata lain, konsep kelas mengikuti proses modal mendatangkan modal yang menjadi esensi kapitalisme modern. Berbeda dengan wangsa yang cenderung tertutup, kelas sosial bersifat terbuka. Hal itu berarti bahwa siapa pun bisa berpindah kelas di masyarakat asal bisa memenuhi kondisi yang dibutuhkan untuk bisa berada pada suatu kelas. Selain itu, kelas sosial juga mengimplikasikan status sosial. Status sosial merupakan hak dan kewajiban seseorang di dalam suatu masyarakat. Hak dan 28 kewajiban yang melekat pada suatu kelas itulah yang mengakibatkan sifat kevertikalan kelas sosial. Penelitian ini mengikuti pengelompokan kelas secara umum yang terdiri atas kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Kelas atas terdiri atas orangorang yang berada di lapisan atas berdasarkan kekayaan dan pekerjaan; kelas menengah terdiri atas orang-orang yang berada di lapisan menengah berdasarkan kekayaan dan pekerjaan; kelas bawah terdiri atas orang-orang yang berada di lapisan paling rendah berdasarkan kekayaan dan pekerjaan. 2.2.7 Sikap Baron dan Byrne (2002) mendefinisikan sikap sebagai evaluasi seseorang terhadap sesuatu atau seseorang yang dapat menimbulkan perasaan suka dan tidak suka terhadap sesuatu atau seseorang itu. Allport (dalam Garrett, 2010) yang sepakat dengan definisi itu menambahkan bahwa sikap adalah suatu disposisi atau kecenderungan yang dipelajari untuk berpikir, merasakan, dan berperilaku terhadap orang atau objek dengan cara tertentu. Hal itu berarti bahwa sikap itu tidak muncul secara alamiah pada diri seseorang, tetapi melalui pembelajaran. Selanjutnya, Dawes (1972) menyajikan ciri-ciri sikap sebagai berikut: (1) sikap diperoleh dengan cara dipelajari, tidak turun temurun, (2) sikap diperoleh melalui pergaulan dengan orang-orang di sekeliling, baik melalui perilaku maupun komunikasi verbal, (3) sikap selalu berkaitan dengan objek sikap yang bisa berupa benda konkret atau benda abstrak, (4) sikap mengandung kesiagaan untuk bertindak dengan cara tertentu terhadap objek sikap, (5) sikap bersifat afektif yang meliputi perasaan yang dapat terungkap melalui pilihan sikap (positif, negatif, 29 atau netral), (6) sikap mengandung unsur dimensi waktu yang berarti bahwa suatu sikap dapat sesuai untuk suatu waktu tertentu tetapi tidak sesuai untuk waktu yang lain, (7) sikap mengandung unsur kelangsungan yang artinya sikap itu berlangsung lama secara taat asas, dan (8) sikap diketahui melalui penafsiran. Sikap dapat dikaji melalui satu dari kedua paradigma berikut. Paradigma pertama adalah paradigma behavior ‘perilaku’ yang mendefinisikan sikap sebagai respon yang dibuat oleh seseorang pada suatu situasi sosial. Hal itu mengindikasikan bahwa sikap hanya teramati pada tindak tanduk nyata seseorang pada situasi sosial tertentu melalui indra. Penganut paradigma perilaku menyatakan bahwa seorang peneliti hanya perlu untuk mengamati, menabulasi, dan menganalisa perilaku yang tampak untuk mengkaji sikap seseorang. Namun, sikap pada pandangan ini kurang menarik untuk dikaji karena tidak dapat digunakan untuk meramalkan perilaku seseorang pada situasi sosial yang berbeda (Fasold, 1984: 148). Dengan demikian, paradigma yang digunakan pada penelitian ini adalah paradigma yang kedua, yaitu paradigma mentalis. Paradigma mentalis mendefinisikan sikap sebagai keadaan siap siaga: suatu variabel penyela antara stimulus yang memengaruhi seseorang untuk merespons dan respon yang dimunculkan terhadap stimulus tersebut (Fasold, 1984: 146). Definisi itu menunjukkan bahwa rangsangan atau stimulus tidak serta merta melahirkan respon. Akan tetapi, di antara stimulus dan respon itu terdapat variabel penyela yang menentukan jenis respon yang bisa diambil oleh orang itu. Untuk melahirkan suatu respon tertentu, stimulus yang teramati diolah dulu pada wilayah sikap yang ada pada diri orang itu. Dengan kata lain, sikap mengandung 30 fungsi perantara antara rangsangan yang teramati, objek sosial, dan tanggapan terhadap objek sosial itu. 2.3 Landasan Teori Penelitian ini merupakan kajian sosiolinguistik. Namun, teori yang digunakan untuk menganalisis dan memaknai masalah dan data penelitian tidak hanya teori sosiolinguistik, tetapi juga teori sosiologi bahasa dan teori linguistik antropologi. Perpaduan ketiga teori itu dapat memfasilitasi terwujudnya suatu paparan yang lengkap dan mendalam tentang fenomena penggunaan bahasa yang dipelajari (Fasold, 1984: 209). Teori sosiolinguistik yang digunakan pada penelitian ini adalah teori variasi linguistik, etnografi komunikasi, desain pendengar, sistem sapaan, dan sikap bahasa; teori sosiologi bahasa yang digunakan adalah teori analisis domain; dan teori linguistik antropologi yang digunakan adalah teori budaya dan sosialisasi bahasa. Berikut adalah paparan tentang teori-teori tersebut. 2.3.1 Variasi Linguistik Variasi linguistik dimungkinkan karena penutur tidak hanya menguasai satu bahasa, tetapi beberapa bahasa, dialek atau satu bahasa beserta variasinya yang menjadi bagian dari repertoar/khazanah verbalnya. Keberadaan repertoar verbal itulah yang memungkinkan seorang penutur untuk memilih satu dari beberapa alternatif yang ada untuk mengungkapkan sesuatu secara linguistik. 31 Wardaugh (1998) melabeli khazanah verbal sebagai kompetensi komunikasi seorang penutur yang tidak hanya menunjukkan penguasaan atas suatu bahasa beserta variasinya, tetapi juga memahami norma-norma penggunaannya. Kepemilikan khazanah verbal tidak hanya mengandung makna pasif, tetapi aktif seperti terkandung dalam konsep kompetensi komunikasi itu sendiri. Hal itu tidak hanya berarti memiliki, tetapi juga mampu menggunakannya secara baik dan tepat sesuai dengan tuntutan situasi karena variasi linguistik itu umumnya bersifat fungsional dan spasial. Hal yang paling penting dalam konsep variasi linguistik adalah kaitan antara variasi linguistik itu sendiri dengan situasi sosial guyub tutur. Fishman (1972c) membuat ilustrasi berikut untuk menjelaskan kaitan antara variasi linguistik dan guyub tutur. Variasi linguistik awalnya terkait erat dengan wilayah geografis yang disebut dengan dialek atau dialek geografis. Jika sekelompok besar imigran penutur daerah A yang serba kurang secara ekonomi, kurang disukai di daerah yang didatangi dan tidak berpendidikan datang ke daerah penutur B, maka varasi (dialek) A tidak hanya bermakna sebagai asal usul (dialek geografis) bagi guyub tutur daerah B. Tetapi, dialek A juga mewakili kelas sosial yang lebih rendah jika dibandingkan dengan dialek B. Dengan cara ini, variasi yang sebelumnya dilihat sebagai variasi regional berfungsi sebagai variasi sosial (sosiolek). Jika penutur dari daerah A tidak diberi akses pada jejaring interaksi di wilayah B, menikah hanya dengan sesamanya, terikat hanya dengan tradisi asli, dan hanya menghargai pertemanan dengan sesamanya, maka mereka mungkin 32 dilihat sebagai guyub tutur yang berbeda. Guyub tutur yang memiliki tujuan, kepercayaan, dan tradisi yang berbeda. Pada gilirannya, variasi A tidak lagi dilihat sebagai variasi sosial, tetapi variasi etnis dan suatu saat dapat tumbuh berkembang menjadi bahasa yang berbeda. Dalam guyub tutur A bisa juga ada penutur yang menguasai variasi B. Kecenderungannya adalah mereka menggunakan variasi A untuk menciptakan keakraban dan solidaritas kelompok di antara mereka. Akan tetapi, mereka menggunakan variasi B untuk tujuan pekerjaan dan menunjukkan rasa hormat. Bagi penutur A, variasi A dan B merupakan variasi fungsional yang saling melengkapi dengan area yang berbeda. Dalam hal ini, fungsi variasi B yang digunakan oleh penutur A tentu saja berbeda dengan fungsi variasi B yang digunakan oleh penutur B sendiri. Ilustrasi itu menunjukkan bahwa variasi linguistik tidak terjadi begitu saja sekehendak penuturnya. Akan tetapi, variasi itu terjadi melalui suatu proses panjang yang melibatkan berbagai perbedaan atau alternatif bentuk. Perbedaan bentuk ini berkaitan dengan fungsi-fungsi atau makna-makna sosial tertentu, seperti latar geografis, latar topik tutur, latar identitas penutur-mitra tutur, dan sebagainya. Sepakat dengan paparan Fishman (1972c) itu, Wolfram dan Fasold (1974) serta Chambers (2003) menegaskan bahwa variasi linguistik tidaklah bersifat acak, melainkan sistematis karena berhubungan dengan kemunculan faktor-faktor sosial tertentu. Namun, faktor-faktor sosial yang memengaruhi variasi linguistik antara satu latar dengan latar yang lainnya dapat berbeda satu sama lain atau 33 memiliki skala perimbangan yang berbeda (Wardaugh, 1998: 143). Dalam hal ini, Fishman (1972c) mengungkapkan bahwa variasi sosial yang mengakibatkan variasi linguistik dapat bersifat regional, etnis, ketertarikan, pekerjaan, ekonomi, dan pekerjaan; sedangkan, Wolfram dan Fasold (1976) mengungkapkan variasi tersebut ditentukan oleh latar, partisipan, topik, dan fungsi. Tambahan pula, Chambers (2003) menjelaskan bahwa faktor yang paling menentukan variasi linguistik pada zaman modern ini adalah kelas sosial, jenis kelamin, dan umur. 2.3.2 Teori Tingkat Tutur Pada teori tentang tingkat tutur dibahas dua hal penting, yakni bentuk tingkat tutur bahasa Bali dan norma yang mengatur penggunaan tingkat tutur bahasa Bali. 2.3.2.1 Klasifikasi Tingkat Tutur Ahli bahasa menglasifikasikan tingkat tutur BB dengan kerincian yang beragam sesuai dengan tingkat rasa (kehalusan) bahasa, di antaranya seperti dirumuskan pada tabel 2.1. Meskipun ada sedikit perbedaan dalam pelabelan, seluruh klasifikasi itu benar dan disusun sesuai dengan situasi penelitian yang masing-masing khas. 34 Tabel 2.1 Ragam Klasifikasi Tingkat Tutur Bahasa Bali Tim Peneliti Fakultas Sastra UNUD (1978/1979) dan Beratha dkk. (1999) Kasar Madia Alus AHLI YANG BERBEDA Kersten Tinggen (1984) (1986) Suastra (1998) Gautama (2006) Kasar Biasa Kasar Biasa Kasar Madia Alus Madia Alus Sor Alus Singgih Alus Alus Alus Sor Alus Singgih Sor (Kasar dan Kesamen) Singgih (Alus Singgih Alus Sor, Alus Madia, dan Alus Mider) Tabel 2.1 menunjukkan bahwa Tim Peneliti Fakultas Sastra Universitas Udayana (1978/1979) dan Beratha, dkk. (1999) menglasifikasikan tingkat tutur BB menjadi tiga, yakni kasar, madia, dan alus; Kersten (1984) menglasifikasikan tingkat tutur BB menjadi tiga, yakni kasar, biasa, alus, alus sor, dan alus singgih; Tinggen (1984) menglasifikasikan tingkat tutur BB menjadi dua, yakni sor dan singgih; Suastra (1998) menglasifikasikan tingkat tutur BB menjadi lima, yakni kasar, biasa, alus madia, alus sor, dan alus singgih; dan Gautama (2006) menglasifikasikan tingkat tutur BB menjadi tiga, yakni kasar, madia, dan alus. Beberapa istilah tingkat tutur BB digunakan secara berbeda oleh para ahli tersebut. Sehubungan dengan hal itu, istilah kasar dan madia digunakan secara berbeda oleh beberapa ahli. Tim peneliti fakultas sastra UNUD (1978/1979) dan Beratha dkk. (1999) tidak membedakan biasa dengan kasar dan mengacu kedua hal itu dengan label kasar; sedangkan Kersten (1984), Tinggen (1986), Suastra (1998), dan Gautama (2006) membedakan kasar dengan biasa. Selain itu, istilah madia yang dimaksud oleh Tim peneliti fakultas sastra UNUD (1978/1979) dan 35 Beratha dkk. (1999) adalah alus madia, sedangkan istilah madia yang dimaksudkan oleh Gautama (2006) adalah biasa. Sebagai tambahan, istilah biasa seperti yang digunakan oleh Kersten (1984) dan Suastra (1998) juga berpadanan dengan istilah andap (Suarjana: 2008:83) dan kesamen (Tinggen, 1986:3). Berkaitan dengan ragam klasifikasi tersebut, penelitian ini menggunakan tiga klasifikasi tingkat tutur, yakni kasar, biasa, dan alus. Klasifikasi tersebut dilakukan demi alasan kepraktisan karena klasifikasi yang sangat terinci kurang menguntungkan dan terlalu kompleks bagi penelitian ini, baik secara teoretis maupun praktis. Secara spesifik, tingkat tutur kata kasar meliputi kata-kata kasar, tingkat tutur kata biasa meliputi kata-kata biasa (atau andap atau kesamen), dan tingkat tutur kata alus meliputi kata-kata alus mider, alus madia, alus sor, dan alus singgih. Tingkat tutur kata itu selanjutnya dapat digunakan untuk membentuk tiga jenis kode atau kalimat yang berbeda yakni kode kasar, kode biasa, dan kode alus. 2.3.2.2 Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Bali Dasar bagi bentuk tingkat tutur BB adalah tingkat kata. Kata itu tidak hanya berupa bentuk yang merujuk ke konsep atau makna tertentu secara denotatif, tetapi juga mengandung tingkat rasa (kehalusan) tertentu. Tingkat rasa itulah yang menjadi dasar bagi pengelompokkan tingkat tutur kata BB (Gautama, 2006: 27). Fenomena itu juga diamati oleh Geertz (1972) pada tingkat tutur BJ yang oleh Clynes (1994) dinyatakan sebagai sumber tingkat tutur BB. Pada BJ, seperti juga pada BB, terdapat sejumlah kata yang memiliki makna denotatif yang persis 36 sama, tetapi berbeda secara konotatif yang disebut dengan ‘makna status’ (Geertz, 1972 :167). Jadi, kosakata BB terdiri atas kata-kata yang bersinonim secara denotatif, tetapi berbeda bentuk dan tingkatan rasa. Untuk membentuk suatu kalimat atau ujaran atau kode BB yang baik dan benar, perlu diikuti kaidah kookuransi dan kaidah alternasi. Kedua kaidah itu diperkenalkan oleh Ervin-Tripp (1976) untuk menjelaskan bentuk-bentuk linguistik yang berkorelasi dengan fenomena sosial penggunanya. Kaidah alternasi mengatur pilihan kata secara vertikal bahwa ada sejumlah pilihan kata yang bermakna sama secara leksikal dari suatu repertoar kata untuk mengisi suatu slot yang sama di dalam suatu struktur sintaksis. Sebaliknya, Kaidah kookurensi mengatur urutan kata secara linear atau horizontal. Kaidah ini mengatur bahwa tidak sembarang kata dapat diurut secara horizontal karena kata-kata itu haruslah tepat secara sintaktik dan sosiokultural. Kaidah alternasi dan kookurensi itu mirip dengan hubungan paradigmatik dan sintagmatik. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antara satuan linguistik yang dapat menggantikan satu sama lain, sedangkan hubungan sintagmatik adalah hubungan yang menetapkan penggabungan satuan-satuan linguistik menjadi suatu urutan tertentu (Culler, 1996:35). Hubungan paradigmatik pada kata BB tidak hanya saling menggantikan yang berarti bahwa kata-kata itu memiliki distribusi sintaksis yang sama, tetapi juga memiliki makna yang sama sehingga kata-kata itu dinyatakan beralternasi. Secara sintagmatik, kata-kata yang ditata untuk membentuk suatu kalimat tidaklah mudah karena kata- 37 kata itu tidak hanya perlu untuk memiliki distribusi yang sesuai dengan slot pada kalimat, tetapi juga harus bersesuaian berdasarkan tingkat tutur yang diinginkan. Meskipun BB secara rinci memiliki enam tingkat kata (lihat 2.3.2.1), katakata BB umumnya hanya memiliki 1-3 bentuk alternasi. Kata yang memiliki tiga bentuk alternasi adalah kata alus singgih, kata alus sor, dan kata biasa; dua alternasi bentuk adalah kata alus mider dan kata biasa; dan hanya satu bentuk adalah kata biasa. Contoh kata yang memiliki tiga bentuk: kata biasa, kata alus sor, dan kata alus singgih: Kata Biasa Kata Alus Sor Kata Alus Singgih Makna ABEN LEBON ‘upacara kematian’ Aben Acep AJEP APTIANG ‘sembah’ Adan WASTA PASENGAN ‘nama’ ANTENG RAJIN ‘rajin’ Anteng Ateh IRING SARENGIN ‘hantar’ basang WADUG WETENG, GARBA ‘perut’ Beling ABOT MOBOT ‘hamil’ Budi MANAH ARSA, KAYUN ‘pikiran’ CUCU PUTU ‘cucu’ Cucu dadong NINI NIANG ‘nenek’ Demen GARGITA LEDANG ‘senang’ Ningeh PIRAGI PIRENG ‘dengar’ Dot MELED ARSA, MAKAYUN ‘ingin’ Contoh kata yang memiliki dua bentuk, yakni kata biasa dan kata alus mider: Kata Biasa Kata Alus Mider Makna Abedik AKEDIK, SAMATRA ‘sedikit’ Adeng ARENG ‘arang’ adeng-adeng ALON-ALON ‘pelan-pelan’ Adep ADOL ‘jual’ Akejep AJEBOS ‘sebentar’ Baas BERAS ‘beras’ badeng IRENG ‘hitam’ Bah RUBUH ‘rubuh’ Bareng SARENG ‘ikut’ Bates WATES ‘batas’ Cara KADI ‘bagai’ BAWI ‘babi’ Celeng 38 Cicing Ciri Cutet Depin Dong Dot Dua Dueg ASU CIHNA CENDEK BANGGEYANG TEN MELED KALIH WIKAN, PRADNYAN ‘anjing’ ‘ciri’ ‘singkat’ ‘biarkan’ ‘tak’ ‘ingin’ ‘dua’ ‘pintar’ Contoh kata yang memiliki dua bentuk, yakni kata kasar dan kata biasa: Kata Kasar Kata Biasa Makna icang ‘saya’ AKE daar ‘pakan’ AMAH nakal ‘nakal’ BELER wareg ‘kenyang’ BETEK belog ‘bodoh’ LENGEH munyi ‘bahasa’ PETE Contoh kata yang memiliki satu bentuk, yakni kata biasa: Kata Biasa Makna Aas ‘gugur’ ‘pangku’ Abin Abu ‘debu’ Abulih ‘sebiji’ Abut ‘cabut’ Bada ‘kandang’ ‘hujan lebat’ Bales bangkes ‘bersin’ Banyu ‘air cucian beras’ barong ‘barong’ Cedok ‘sendok air’ ‘cegukan’ cekutan clempung ‘jatuh ke air’ Crita ‘cerita’ cupar,demit ‘kikir’ Dacin ‘timbangan’ dagang ‘pedagang’ Daken ‘dangkal’ dampar ‘bangku’ dangsah ‘rata’ Ketidakmerataan distribusi kata BB juga dibuktikan oleh Suastra (1998) melalui kajiannya. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 2.2. 39 Tabel 2.2 Perbandingan Jumlah Kata pada Bahasa Bali (dalam Persentase) Persentase Kata dari Seluruh Leksem Bahasa Bali Tingkat Tutur N V A Adv Pr Konj Asi Aso Ama Bi K Mi Total 1,6 1 18,8 18,8 1 58,8 100 2,2 1,6 29,9 31,3 0,6 34,8 100 2,2 0,7 23,6 23,8 0 49,7 100 4,1 1,8 34,1 36,3 0,4 23,3 100 21,3 2,4 31,3 30 7,5 7,5 100 12,5 0 37,5 42,5 0 7,5 100 Prep Num Neg 3,3 0 23,1 0 0 0 40 2 23,1 40 2 38,5 0 0 0 16,7 96 15,3 100 100 100 (Sumber: Suastra, 1998) Keterangan: Asi = alus sor, Aso = alus sor, Ama = alus madia, Bi = biasa, K = kasar, dan Mi = mider, N = nomina, V = verba, A = adjektiva, Adv = adverbia, Pr = pronomina, Konj = konjungtor, Prep = preposisi, Num = numeralia, dan Neg = negator Tabel 2.2 menunjukkan bahwa level pada TTBB memiliki jumlah yang kata yang berbeda-beda. Dalam hal ini, kata mider memiliki jumlah kata terbanyak yang terdiri atas nomina 58,8%; verba 34,8%, adjektiva 49,7%; adverbia 23,3%; pronomina 7,5%; konjungtor 7,5%; preposisi 16,7%; numeralia 96%; dan negator 15,3%. Sebaliknya, kata kasar memiliki jumlah kata tersedikit, yakni nomina 1%; verba 0,6%; adverbia 0,4%; dan pronomina 7,5%. 2.3.2.3 Norma Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali Norma penggunaan tingkat tutur menyiratkan kaidah atau perilaku berbahasa yang berterima atau diharapkan pada suatu guyub tutur. Pada BB ragam (kode) tingkat tutur digunakan untuk menandai ragam hubungan status atau kelas sosial antara penutur-mitra tutur. Kode alus merupakan bentuk tinggi yang digunakan untuk menandai perbedaan status atau kelas sosial antara penutur-mitra 40 tutur . Hal itu ditunjukkan oleh konvensi atau norma penggunaan kode alus seperti diungkap oleh Tinggen (1991: 9) sebagai berikut. Basa Singgih (Alus) inggih punika basa sane kanggen nyungjungan (=menghormati) ri kala matur-matur majeng ring (1) i triwangsa (2) sang ngamong jagat/mapangkat (3) atiti (= tamiu) sane durung wauh (=belum kenal baik) Suarjana (2008: 76) juga sepakat dengan paparan Tinggen tersebut melalui uraian berikut: Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, yang diajak bicara atau orang kedua (O2) dan yang dibicarakan atau orang ketiga (O3) yang sama-sama dari golongan atas, maka bahasa yang digunakan oleh O1 kepada O2 dan bahasa yang digunakan mengenai O3 adalah Basa Bali Alus Singgih…sedangkan untuk O1 yang mengenai dirinya sendiri atau orang ketiga lainnya dari golongan bawah menggunakan Basa Bali Alus sor. Kedua paparan tersebut mengungkapkan bahwa kode alus digunakan untuk bercakap-cakap dengan mitra tutur atau membicarakan orang ketiga triwangsa, yang memegang kekuasaan, atau yang tidak dikenal. Ketika berhadapan dengan ketiga tipe orang tersebut, penutur dari golongan bawah seharusnya menggunakan bahasa yang meninggikan orang tersebut, yakni kode alus singgih dan merendahkan dirinya, yakni kode alus sor. Selain itu, kode alus juga digunakan oleh sesama triwangsa pada percakapan untuk menunjukkan rasa hormat mereka satu sama lain. Pada penggunaan kode biasa, Suarjana (2008: 74) menyatakan sebagai berikut. Menurut konvensi penggunaan kode biasa terjadi dengan kondisi sebagai berikut: “Jika pembicara atau orang pertama (O1), yang diajak bicara atau orang kedua (O2), dan yang dibicarakan atau orang ketiga (O3) semuanya sebagai golongan bawah. Maka bahasa Bali yang digunakan oleh O1 kepada O2 dan yang mengenai O3 adalah Basa Bali Andap” 41 Konvensi tersebut jelas mengungkapkan bahwa kode biasa digunakan pada percakapan yang melibatkan partisipan golongan bawah. Suarjana sepertinya agak berhati-hati untuk menjelaskan golongan jaba sebagai golongan bawah, karena ia sudah memahami pergeseran pada penentuan golongan masyarakat di Bali yang juga dipengaruhi oleh kelas sosial. Penglasifikasian ulang ini tentu saja mengakibatkan pendekatan ulang terhadap tingkat tutur yang dibarengi dengan perubahan norma penggunaannya. Akan tetapi, jika referensi tradisional yang digunakan, maka jelas yang dimaksud dengan golongan bawah adalah golongan jaba, seperti tersirat pada pernyataan Tinggen (1986: 11): basa Kesamen artinipun basa sor sane dados anggen sareng sami saha wirasanipun tan ja nyinggihang maliha tan ja ngandapang, upami: Cening mara teka? (1) Sesamen jaba: Rikala mabebaosan marep ring paturu jaba sajeroning pagubugan I Bapa ngomong, ‘Cening mara teka?’ I Cening masaut, ‘Icang mara teka Bapa.’ (2) I Triwangsa: Ri kala mabebaosan marep ring Jaba Ida Pedanda ngandika, ‘Cening mara teka?’ I cening matur, ‘Titiang wau Ratu Pranda.” Lengkara: “Cening mara teka” ring Buleleng lumbrah kawastanin basas kapara, sane wirasanipun karasayang tan ja alus maliha tan ja kasar. Saantukan wenten sane tan cumpu (?) ring istilah kapara, punika awinan gentosin titiang antuk istilah kasamen. Tinggen (1986) dengan gamblang menjelaskan bahwa basa kesamen (kode biasa), atau kepara merupakan basa sor yang memiliki rasa netral, tidak meninggikan atau merendahkan. Basa kesamen digunakan untuk berbicara di antara sesama partisipan jaba atau oleh partisipan triwangsa kepada partisipan jaba. 42 Untuk menjelaskan norma penggunaan kode kasar, Tinggen (1991: 12) mengungkapkan bahwa: Basa kasar puniki taler marupa basa sor, sane katibakang marep ring pasawitraan sane luket utawi rikala maiyegan. Ungkapan itu menunjukkan bahwa kode kasar digunakan pada percakapan di antara partisipan yang akrab atau pada saat marah atau bertengkar. Singkatnya, ragam tingkat tutur digunakan untuk menandai baik itu hubungan vertikal maupun horizontal. Hubungan vertikal mencirikan hubungan ke atas (menghormati) yang ditandai dengan penggunaan kode alus, mendatar (solider) yang ditandai oleh penggunaan kode biasa, ke bawah (nonhormat) yang ditandai oleh penggunaan kode biasa.Sebaliknya, hubungan horizontal mencirikan hubungan yang akrab dan ditandai oleh penggunaan kode kasar atau kode biasa; atau hubungan yang berjarak dan ditandai oleh penggunaan kode alus. 2.3.3 Etnografi Komunikasi Spolsky (2006) mengungkapkan bahwa suatu kajian mengenai real text merupakan suatu kajian yang menghubungkan antara komunikasi dan situasi sosial tempat teks itu terjadi. Hal inilah yang dimaksudkan dengan komunikasi etnografi (Hymes, 1974: 36). Melalui konsep ini, Hymes menawarkan suatu bidang kajian yang berfokus pada pola-pola perilaku komunikasi yang merupakan bagian sistem budaya. Kajian etnografi komunikasi berhubungan dengan pertanyaan, “Apakah yang perlu diketahui seorang penutur untuk bisa berkomunikasi dengan tepat pada suatu guyub tutur tertentu dan bagaimana ia belajar melakukannya?” Pengetahuan yang diperlukan tidak hanya aturan-aturan 43 komunikasi dan interaksi, tetapi juga pengetahuan budaya dan pengetahuan lain yang menjadi dasar bagi konteks dan isi peristiwa komuniksi dan proses interaksi. Pengetahuan itu dan keterampilan-keterampilan lain yang diperlukan agar berfungsi dengan baik pada suatu guyub tutur disebut dengan kompetensi komunikasi. Hymes (1974) menekankan bahwa bahasa tidak bisa dipisahkan dari bagaimana dan mengapa itu digunakan dan kajian pada penggunaannya merupakan prasyarat bagi pengenalan dan pemahaman bentuk-bentuk linguistik. Memahami pentingnya suatu analisis tentang kode bahasa dan proses kognitif yang terjadi antara penutur dan pendengar, etnografi komunikasi memersepsi bahasa sebagai bentuk-bentuk sosiobudaya yang sesungguhnya merupakan bagian terpenting budaya. Untuk menjelaskan teori etnografi komunikasi, Hymes (1974) mengonsepkan suatu hierarki yang terdiri atas speech situation ‘situasi tutur’, speech event ‘peristiwa tutur’ dan speech act ‘tindak tutur’. Situasi tutur adalah suatu situasi yang dapat (atau tidak) dimarkahi oleh tuturan. Situasi itu dapat berupa upacara, perburuan, atau pertarungan. Sementara itu, peristiwa tutur adalah aktivitas atau aspek aktivitas yang diatur oleh suatu kaidah atau norma tutur tertentu. Dengan kata lain, peristiwa tutur memiliki elemen komunikatif dan sekaligus juga diatur oleh kaidah penggunaan tutur. Peristiwa tutur yang terjadi pada suatu situasi tutur disusun oleh beberapa tindak tutur. Lelucon (tindak tutur), misalnya, dapat menjadi bagian suatu percakapan (peristiwa tutur) yang terjadi pada suatu pesta (situasi tutur). 44 Berbeda dengan situasi dan peristiwa tutur, tindak tutur merupakan ungkapan bahasa nyata yang digunakan. Tindak tutur memeroleh makna melalui konteks sosial yang berkaitan dengan bentuk gramatika dan intonasi. Misalnya, ‘masuk’ merupakan suatu perintah (tindak tutur) agar orang yang dimaksud masuk ke dalam. Hymes selanjutnya menjelaskan bahwa ada enam belas komponen yang perlu diperhatikan pada peristiwa tutur; keenam belas komponen tersebut diringkas menjadi delapan dan disingkat dengan SPEAKING. Setting ‘latar’ terdiri atas dua komponen, yaitu latar fisik dan latar nonfisik atau suasana. Latar fisik merupakan tempat dan waktu terjadinya peristiwa tutur. Sedangkan, latar nonfisik atau suasana merupakan latar psikologi atau batas budaya suatu peristiwa tutur. Suatu tutur dapat menjadi lazim atau tidak lazim untuk digunakan pada latar fisik dan nonfisik tertentu sehingga penutur acap kali perlu untuk beralih dari satu tutur ke tutur lainnya dengan mengikuti perubahan tingkat formalitas atau latar tutur. Participant ‘peserta tutur’ adalah individu-individu atau peserta yang terlibat pada suatu peristiwa tutur. Peserta tutur terdiri atas penutur-mitra tutur pada suatu percakapan, atau pengirim-penerima pesan pada percakapan melalui telepon, atau pengalamat-teralamat pada pidato atau presentasi publik. End ‘tujuan’ merupakan hasil yang diinginkan pada suatu peristiwa tutur. End itu bisa berupa outcome atau goal. Outcome merupakan hasil atau tujuan suatu peristiwa tutur berdasarkan perspektif budaya, sedangkan goal merupakan hasil atau tujuan yang diinginkan oleh partisipan tutur sebagai individu. Pada suatu transaksi jual beli, misalnya, outcome yang diinginkan tentu saja pertukaran 45 barang berharga yang sesuai antara penjual dan pembeli dengan harga yang pantas. Walaupun begitu, goal penjual adalah memaksimalkan harga pertukaran, sedangkan goal pembeli adalah meminimalkan harga itu. Act Sequence ‘urutan tindakan’ dibedakan atas bentuk dan isi pesan. Salah satu cara untuk membedakan bentuk dengan isi pesan adalah sebagai berikut: “Dia berkata; ’Aku akan datang lagi besok’.” Ungkapan yang berada pada tanda petik satu merupakan kutipan bentuk pesan. Pada ungkapan “Ia mengatakan akan datang lagi” merupakan pelaporan isi pesan tersebut. Terkait dengan bentuk dan isi pesan, partisipan tutur perlu untuk memahami bagaimana cara merumuskan peristiwa dan tindak tutur dengan cara-cara yang berterima secara budaya, dan juga mengenali apa yang dibicarakan, kapan suatu topik berubah, dan bagaimana menata perubahan-perubahan topik. Key ‘kunci (nada)’ terkait dengan nada, cara, atau semangat yang ditunjukkan pada suatu peristiwa tutur. Penutur dapat menunjukkan emosi-emosi atau perasaan-perasaan tertentu secara verbal melalui nada bicara tertentu, seperti, serius, sungguh-sungguh, mengejek, acuh tak acuh. Selain itu, ada juga cara-cara nonverbal untuk menunjukkan key, seperti kedipan mata, isyarat tubuh, gaya berpakaian, dan sebagainya. Instrumentalities ‘instrumentasi’ meliputi saluran dan bentuk tutur yang digunakan. Saluran tutur adalah medium yang digunakan untuk menyalurkan tutur dan medium itu dapat berupa oral, tulisan, atau telegraf; sedangkan yang dimaksud dengan bentuk tutur adalah bahasa, dialek, variasi, register, atau kode. 46 Norm ‘norma’ terdiri atas norma interaksi dan norma interpretasi. Norma interaksi mengacu pada semua aturan normatif yang digunakan untuk menentukan perilaku-perilaku yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan pada suatu peristiwa tutur. Sebaliknya, norma interpretasi mengacu pada cara-cara bagaimana suatu perilaku seharusnya diinterpretasikan. Terakhir, genre merupakan kategori tutur yang digunakan untuk menandai suatu peristiwa tutur. Kategori itu bisa berupa puisi, mitos, lelucon, doa, kuliah, pidato, kutukan, dan lain-lain. Pada prinsipnya, semua komponen etnografi komunikasi itu harus diperhatikan pada setiap analisis percakapan, tetapi Hymes (1974) mengungkapkan bahwa komponen yang sungguh-sungguh memengaruhi suatu peristiwa tutur dapat berbeda antara satu situasi dengan situasi yang lain. Sehubungan dengan itu, peneliti dapat berfokus pada dua atau lebih komponen saja, dengan tidak mengabaikan komponen-komponen yang lainnya, asalkan satu dari kedua komponen tersebut adalah komponen bentuk pesan. 2.3.4 Analisis Domain Fishman (1972b) menjelaskan bahwa manusia menggunakan bahasa secara konstan dan terhubung dengan yang lainnya melalui norma perilaku kolektif. Dengan kata lain, bahasa dan perilaku sosial berkaitan satu sama lain. Sejalan dengan itu, ia juga mengungkapkan bahwa perilaku menggunakan suatu variasi, apalagi pada latar multilingual tidaklah bersifat acak. Penggunaan bahasa yang baik dan benar mengatur bahwa hanya satu bahasa atau variasi yang dapat dipilih oleh suatu kelompok penutur terkait dengan domain penggunaan bahasa. 47 Pemahaman akan domain penggunaan bahasa berfungsi untuk membantu penutur memilih suatu bahasa yang dianggap tepat sesuai dengan acara dan topik tutur. Fishman (1972b) mendefinisikan domain sebagai konstruk sosial yang berupaya untuk menjembatani situasi sosial dan perilaku bahasa yang diabstraksi dari topik tutur, hubungan antarperan penutur-mitra tutur, dan tempat komunikasi. Abstraksi itu dilakukan dengan cara tertentu supaya perilaku individu dan pola sosial dapat dibedakan satu sama lain, tetapi pada saat bersamaan saling terkait. Konstruk sosial yang diabstraksi itu juga terkait dengan pelembagaan masyarakat tutur dan gugus aktivitas. Topik atau isi tutur penting bagi domain karena penutur memiliki kecenderungan untuk menyesuaikan pilihan variasi dengan topik tutur. Topik merupakan pengatur bahasa yang mencerminkan keteraturan terkait dengan pelembagaan gugus aktivitas pada suatu masyarakat. Suatu topik bisa dibahas dengan lebih baik atau lebih tepat dengan suatu variasi tertentu, sedangkan topik yang lain lebih tepat dibahas dengan variasi yang lainnya. Hal itu bisa terjadi karena seseorang telah terlatih dan tersosialisasi untuk menggunakan variasi berbeda dalam membahas topik beragam sejak masa kanak-kanak di keluarga. Hubungan antarperan mengisyaratkan adanya penerapan sejumlah hak dan kewajiban antaranggota suatu masyarakat sosiokultural secara resiprokal atau timbal balik. Setiap anggota suatu masyarakat dengan segera bisa mengenali dan memerankan peran yang diharapkan bagi dirinya dan orang lain serta berlaku secara baik dan benar berdasarkan peran-peran itu. 48 Hubungan antarperan menunjukkan ciri diadik suatu komunikasi yang berarti bahwa seorang penutur adalah sekaligus juga mitra tutur dan seorang mitra tutur adalah sekaligus juga penutur. Penutur-mitra tutur merupakan pelaku aktif suatu percakapan. Selain itu, hubungan antarperan juga menunjukkan bahwa pada suatu masyarakat, perilaku tertentu termasuk juga perilaku berbahasa saling diharapkan antarindividu tertentu satu sama lain. Pada domain keluarga, misalnya, terdapat percakapan diadik antara ayah-ibu, kakek-ayah, nenek-ibu, ayah-anak, kakak-adik, dan sebagainya yang mana satu sama lain diharapkan untuk memerankan perannya dengan baik secara linguistik. Locale ‘lokasi’ merupakan tempat terjadinya komunikasi. Jika seorang guru bertemu dengan temannya di pasar, pengaruh lokasi pada topik dan hubungan peran akan terlihat pada pilihan penggunaan variasi. Hal yang sama juga dapat terjadi apabila mereka bertemu di sekolah. Domain penggunaan bahasa dikonstruksi secara beragam oleh para ahli berdasarkan latar penelitian mereka. Konstruksi itu berkaitan dengan pemahaman akan dinamika sosiobudaya suatu masyarakat tutur pada kurun waktu tertentu (Fishman, 1972b: 19). Greenfield (1972), misalnya, merumuskan lima domain penggunaan bahasa pada masyarakat tutur bilingual Puerto Riko di wilayah Kota New York, yakni domain keluarga, domain pertemanan, domain keagamaan, domain pendidikan, dan domain pekerjaan. Berbeda dengan rumusan Greenfield (1972) tersebut, Barker (1947) yang mengkaji masyarakat tutur bilingual bahasa Spanyol–Inggris di Amerika memformulasikan domain secara berbeda berdasarkan analisis sosial-psikologi yang terdiri atas intimasi, informal, formal, 49 dan intrakelompok. Sebaliknya, Purwoko (2008a) pada kajiannya di masyarakat tutur bahasa Jawa menyebutkan bahwa domain tempat bermain, domain jalanan, dan domain tempat kerja merupakan domain penggunaan bahasa terpenting. Domain tempat bermain dan jalanan merupakan ruang publik bagi penutur Jawa untuk bergaul dengan kenalan, kawan sejawat, dan tetangganya; sedangkan, domain tempat kerja merupakan tempat bergaul bagi rekan-rekan sekerja. Domain yang berbeda umumnya dicirikan oleh penggunaan ragam bahasa yang berbeda. Misalnya, pada masyarakat dwibahasawan domain sekolah, gereja, tempat kerja profesional, dan kedinasan umumnya ditandai dengan penggunaan bahasa atau ragam high ‘tinggi’. Akan tetapi, domain rumah tangga, tetangga, dan tempat bermain umumnya ditandai oleh penggunaan bahasa atau ragam low ‘rendah’. 2.3.5 Teori Desain Pendengar Teori yang sering dikutip terkait dengan penggunaan ragam bahasa adalah teori Labov attention to speech ‘perhatian pada tutur’ (Labov, 1972: 180-181). Teori tersebut mengungkapkan bahwa gaya bahasa yang berbeda muncul sebagai karena penutur yang memberikan perhatian yang berbeda pada tuturnya. Pada situasi formal, penutur cenderung untuk memberikan perhatian lebih pada tuturnya yang membuatnya mengadopsi gaya bahasa formal. Sebaliknya, gaya bahasa nonformal muncul karena penutur kurang memerhatikan tuturnya. Singkatnya, Labov melihat gaya bahasa sebagai suatu linieritas dari formal ke nonformal yang merupakan hasil dari perhatian yang berbeda terhadap tutur. 50 Teori desain pendengar yang diusulkan oleh Bell (1984) juga menerima teori Labov tersebut, tetapi secara berbeda. Teori tersebut mengungkapkan bahwa perhatian berbeda pada tutur bisa memengaruhi gaya bahasa, tetapi perhatian itu bukan penyebab variasi gaya bahasa. Perhatian pada tutur merupakan variabel penyela yang menjembatani variasi gaya bahasa. Sementara itu, faktor yang menyebabkan terjadinya variasi gaya bahasa adalah faktor pendengar itu sendiri. Karena faktor pendengar itulah, kemudian Bell menyebut teorinya dengan desain pendengar. Teori desain pendengar bisa digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena bahasa, seperti alih kode atau alih bahasa pada situasi bilingual, penggunaan bentuk-bentuk tindak tutur tertentu, pemilihan pronomina, penggunaan honorifiks, dan perubahan gaya bahasa. Selain itu, teori tersebut juga bisa digunakan untuk menjelaskan kecepatan bicara, aksen, isi tutur, dan pause. Desain pendengar selanjutnya dikelompokkan menjadi dua subdesain, yaitu desain responsif dan desain inisiatif yang dipaparkan sebagai berikut. 2.3.5.1 Desain Responsif Secara umum teori desain pendengar bersifat responsif dan didasarkan pada suatu asumsi pokok bahwa gaya bahasa merupakan cara penutur menanggapi atau memerhatikan pendengarnya. Teori itu mengungkapkan bahwa penutur merancang dan memolakan gaya bahasanya agar bersesuaian dengan gaya bahasa mitra tutur atau pendengar. Dengan menggunakan gaya bahasa tertentu, seorang penutur menyesuaikan perilaku linguistiknya dengan situasi linguistik dan 51 ekstralinguistik pendengar. Tujuan pemolaan tutur berdasarkan desain pendengar adalah untuk memeroleh simpati pendengar. Giles (1980) menggunakan istilah yang berbeda untuk menjelaskan fenomena yang dalam hal ini penutur memerhatikan atau menanggapi pendengarnya, yaitu konvergen. Konvergen ialah cara penutur agar gaya bahasanya mendekat atau menyatu dengan gaya bahasa pendengar. Teori konvergen muncul berdasarkan pengamatan bahwa gaya bahasa penutur bisa menyatu dengan pendengar pada level kecepatan bicara, aksen, isi tutur, dan pause. Desain responsif juga berasosiasi dengan alih kode situasional yang menyatakan bahwa terdapat hubungan alamiah antara bahasa dan situasi sosial (Blom dan Gumperz, 1972: 424). Masuknya orang luar ke dalam suatu guyub, misalnya, dapat memicu peralihan kode dari kode dialek ke standar. Pergeseran dari percakapan bisnis ke percakapan personal juga dapat mengakibatkan peralihan dari kode standar ke dialek. Alih kode situasional mencerminkan penggunaan norma tutur atau pilihan topik yang sesuai bagi pendengar. Supaya pola tutur yang digunakan sesuai dengan pola tutur pendengar, penutur perlu memiliki kemampuan untuk memahami pendengar dengan mempertimbangkan hal-hal berikut. (1) Ciri personal pendengar yang meliputi suku bangsa, wilayah geografi, jenis kelamin, umur, status sosial, dan lain lain. (2) Ciri umum gaya bahasa pendengar berikut perubahan-perubahannya (3) Ciri khusus gaya bahasa pendengar berikut perubahan-perubahannya. 52 (4) Kedekatan antara penutur dan pendengar. Melalui pemahaman penutur akan karakteristik pendengar dan kedekatan hubungan di antara mereka, penutur bisa membuat kesimpulan mengenai pola gaya bahasa pendengar dan memolakan gaya bahasa dirinya supaya bersesuaian. 2.3.5.2 Desain Inisiatif Tidak semua perubahan gaya bahasa bisa dijelaskan secara responsif. Perubahan gaya bahasa yang terkadang dibuat oleh penutur untuk mendefinisi atau merekonstruksi ulang sifat interaksi; bukan untuk menanggapi situasi-situasi tutur yang ada. Perubahan itu ditujukan untuk menandai perubahan sikap penutur pada hal yang dikatakan pada mitra tutur. Dengan kata lain, gaya bahasa juga merupakan suatu teknik yang bisa digunakan untuk memanipulasi konteks atau menciptakan suatu situasi tertentu. Desain inisiatif sebagai cara lain penutur untuk menanggapi pendengar merupakan turunan desain responsif. Penutur yang mengambil inisiatif dan mendefinisi ulang situasi melalui tutur masih juga merespon pendengar, tetapi dengan cara yang berbeda. Gaya bahasa inisiatif digunakan pada pendengar tertentu dan cenderung untuk divergen. Inti gaya bahasa inisiatif adalah menyapa seseorang yang dikenal seolaholah ia orang lain, atau yang tidak dikenal seolah-olah sudah dikenal. Penutur bisa beralih ke gaya bahasa yang biasa digunakan untuk menyapa orang yang kurang dikenal ketika berinteraksi dengan kawan dekat untuk membujuknya melakukan sesuatu. Atau, beralih ke gaya bahasa yang biasa digunakan dengan kawan dekat untuk berinteraksi dengan orang yang kurang dikenal untuk mengakrabkan diri. 53 Desain inisiatif juga terkait dengan alih kode metaforikal yang memanfaatkan hubungan alamiah antara bahasa dan situasi dengan menyuntikkan “rasa” dari satu latar ke latar yang lainnya (Blom dan Gumperz, 1972: 425). Pada suatu situasi tutur, penutur bisa memasukkan unsur-unsur kode standar untuk menunjukkan intelektualitas. Pada situasi lain, seorang penutur bisa menggunakan bentuk “formal” V untuk menjauhkan suatu hubungannya yang sesungguhnya dekat atau bentuk “intim” T untuk mendekatkan orang yang sesungguhnya jauh. Hal yang paling umum terjadi pada desain inisiatif adalah ketika gaya bahasa penutur menjauh dari gaya bahasa pendengar dan berkonvergensi dengan gaya bahasa suatu kelompok lain yang diacu sebagai kelompok ‘referensi’ kelompok ‘referensi’ itu merupakan kelompok yang tidak hadir pada interaksi, tetapi memiliki pengaruh yang kuat pada gaya bahasa penutur. Walaupun tidak hadir, kelompok itu diacu sebagai standar bagi evaluasi dan penggunaan norma bahasa oleh penutur. Ada dua tipe desain ‘referensi’: ingroup ‘di dalam kelompok’ dan outgroup ‘di luar kelompok’. Pada ingroup, penutur berbicara dengan pendengar dari luar guyubnya dan mengubah gaya bahasanya mengikuti gaya bahasa guyub tuturnya sendiri. Penutur mengambil inisiatif untuk tidak mengidentifikasikan diri dengan pendengar yang ada, tetapi dengan guyubnya sendiri. Biasanya disain ini tidak berumur panjang karena tujuan penggunaan desain ini adalah untuk memperbesar perbedaan antarpeserta tutur. Pada desain outgroup, penutur yang berasal dari guyub yang sama dengan pendengar tidak menggunakan tutur dan identitas guyubnya, tetapi gaya bahasa 54 guyub lain yang lebih berprestise. Hal itu dilakukan karena penutur ingin mengklaim identitas yang berbeda dengan identitas guyubnya sendiri. Desain outgroup lazim digunakan untuk tujuan-tujuan sesaat, misalnya, memenangkan perdebatan. Dengan menggunakan gaya bahasa kelompok yang diakui, penutur, misalnya, dapat mengklaim kecerdasan atau keterdidikan yang menjadi ciri yang diakui dari bahasa tersebut. 2.3.6 Teori Sapaan Istilah atau bentuk sapaan merupakan istilah yang digunakan oleh penutur untuk menunjuk kepada mitra tutur pada suatu percakapan (Fasold, 1990: 1). Istilah sapaan mencerminkan sikap penyapa terhadap sifat hubungan antara penyapa-pesapa dan menjadi bagian yang sangat penting untuk dibahas terkait dengan penggunaan bahasa. Selain itu, istilah sapaan juga perlu dibedakan dengan panggilan: istilah sapaan digunakan setelah pesapa menunjukkan perhatiannya kepada penyapa; sedangkan, panggilan digunakan untuk menarik perhatian pesapa. Orang Amerika, misalnya, lazim memanggil laki-laki dewasa manapun dengan panggilan sir ‘tuan’ untuk mendapatkan perhatian pesapa dan kemudian, beralih ke bentuk lain setelah mendapatkan perhatiannya. Secara umum bentuk sapaan diklasifikasikan menjadi dua, yakni pronomina persona kedua dan nama atau nomina sapaan (Fasold, 1990: 2). Berikut adalah paparan mengenai kedua bentuk sapaan itu berikut teori-teori yang terkait dengan penggunaannya. 55 2.3.6.1 Istilah Sapaan Braun (1988) menjelaskan bahwa istilah sapaan yang paling umum yang dimiliki oleh hampir semua bahasa adalah pronomina kedua yang jumlah dan bentuknya beragam pada bahasa yang berbeda. Akan tetapi, pada bahasa-bahasa Eropa terdapat dua bentuk pronomina kedua yang berkembang dari perbedaan bentuk pronomina kedua tunggal tu dan bentuk pronomina kedua plural vos yang merupakan bahasa Latin (Brown dan Gilman, 1960: 254). Pada bahasa Inggris bentuk itu adalah thou dan you, tetapi yang selanjutnya berkembang hanyalah bentuk you saja; pada bahasa Italia bentuk itu adalah tu dan vei (vei merupakan singkatan dari la vostra Signoria ‘tuanku’); pada bahasa Spanyol bentuk itu adalah tu dan vos, bentuk vos selanjutnya berubah menjadi usted (usted merupakan singkatan dari vuestra merced ‘yang mulia’); pada bahasa Perancis bentuk itu adalah tu dan vos; pada bahasa Jerman bentuk itu adalah du dan ihr, ihr selanjutnya berubah menjadi er, dan kemudian menjadi sie. Selain pronomina kedua, istilah sapaan umum lainnya adalah nama atau nomina sapaan. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2008) mendefinisikan nama sebagai kata, gelar, atau sebutan yang digunakan untuk menyebut, menyapa, atau memanggil orang, tempat, barang, dan sebagainya. Menurut Braun (1988), nama itu terdiri atas berikut ini. (1) Nama diri yang berupa nama orang. (2) Istilah kekerabatan, yaitu istilah sapaan yang digunakan kepada pesapa yang memiliki hubungan darah atau keluarga dengan penyapa, seperti bapak, ibu, dan paman. 56 (3) Bentuk yang berkorespondensi dengan mr/mrs ‘pak/bu’. (4) Nama gelar, yaitu istilah sapaan yang diberikan kepada pesapa terkait dengan pencapaiannya di bidang sosial, militer, akademik, atau kebangsawanan, seperti kapten, professor, duke, dan sebagainya. (5) Nomina abstrak, seperti (your) excellency, (your) honor atau (your) grace ’paduka’. (6) Istilah pekerjaan, yaitu istilah sapaan yang menggunakan pekerjaan pesapa, seperti guru, dokter, pelayan, dan sebagainya. (7) Isilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan tertentu antara penyapa-sapaan dan digunakan untuk menyapa, seperti tetangga, teman, orang asing, dan sebagainya. (8) Istilah sayang, yaitu istilah sapaan yang digunakan untuk mengungkapkan kedekatan atau rasa kasih antara penyapa-pesapa, seperti sayang, kekasih, cinta, dan sebagainya. (9) Teknonim, yaitu istilah sapaan yang digunakan untuk menyapa seseorang karena kaitannya dengan orang lain, seperti ayah adi ‘ayah dari adi’, ahmad bin abdullah ‘ahmad anak abdullah’, dan sebagainya. (Braun, 1988: 9-10) Kridalaksana (1985) juga menambahkan bentuk sapaan yang lainnya yang digunakan pada bahasa Indonesia sebagai berikut. (1) Bentuk pe + V (erbal) atau kata pelaku, seperti pembaca, pendengar, penonton, penumpang, dan sebagainya. 57 (2) Bentuk N(ominal) + ku, seperti Tuhanku, Kekasihku, Miraku dan sebagainya. (3) Kata-kata deiksis atau penunjuk, yaitu sini, situ, ini, dan sebagainya. (4) Ciri zero atau nol Ø), yang dalam hal ini penutur tidak menggunakan istilah sapaan, tetapi pesapa bisa mengerti bahwa dialah yang dimaksud. Misalnya, ‘mau kemana?’ kata sapaan saudara tidak disebut, tetapi dimengerti. 2.3.6.2 Penggunaan Istilah Sapaan Teori sapaan yang komprehensif diawali oleh Brown dan Gilman (1960) melalui pronomina persona kedua plural V ‘vos’ dan pronomina persona kedua singular T ‘tu’ yang berarti kamu. Penggunaan bentuk vos muncul pertama kali pada abad keempat yang digunakan untuk merujuk kepada kedua kaisar di Eropa yang berkuasa, tetapi bersatu secara administratif, yakni kaisar yang bertahta di kerajaan Konstatinopel dan kaisar yang bertahta di kerajaan Roma. Bentuk vos menyiratkan bahwa sapaan yang diberikan pada salah satu kaisar tersebut berarti menyapa keduanya. Selain itu, seorang kaisar adalah juga plural karena merupakan rangkuman dari rakyatnya dan dapat berbicara mewakili mereka sehingga mereka lazim disapa dengan vos. Tambahan pula, bentuk vos paralel dengan bentuk ‘kami/kita’: seorang bangsawan pada zaman itu kerap menyapa dirinya dengan we ‘kami/kita’, sedangkan orang biasa menggunakan I ‘saya’. Berdasarkan fenomena itu, Brown dan Gilman menyimpulkan bahwa kepluralan berasosiasi dengan kekuasaan. 58 Penggunaan vos pada zaman itu sangatlah terbatas karena hanya orangorang kalangan atas tertentu yang memeroleh kesempatan untuk menyapa sang Kaisar dan menggunakan V. Bentuk itu selanjutnya menyebar secara perlahan ke istana-istana bangsawan yang lainnya dan kemudian ke bawah di masyarakat luas. Istilah V yang awalnya merupakan pronomina kedua plural berevolusi menjadi bentuk tunggal dan digunakan untuk merujuk kepada figur yang berkuasa lainnya. Berbeda dengan bentuk V, bentuk T merupakan bentuk awal bagi pronomina kedua tunggal. T digunakan di antara masyarakat awam secara umum dan bersifat netral. Selanjutnya, T tidak hanya digunakan untuk menyapa di antara masyarakat umum, tetapi oleh penyapa yang lebih berkuasa kepada pesapa yang kurang berkuasa. Berdasarkan fenomena tersebut, Brown dan Gilman (1960) berteori bahwa penggunaan T dan V dipengaruhi oleh “kekuasaan dan solidaritas”. Kekuasaan diartikan sebagai kekuatan yang memungkinkan seseorang untuk mengendalikan perilaku orang lain. Kekuasaan itu umumnya melibatkan sedikitnya dua orang dan bersifat nonresiprokal. Sebaliknya, solidaritas ditunjukkan oleh perasaan setia kawan karena penyapa-pesapa mempunyai perasaan bersatu atau senasib. Perasaan solidaritas dapat muncul karena keanggotaan yang sama pada organisasi politik, keluarga, keagamaan, pekerjaan, jenis kelamin, dan lain-lain. Dengan kata lain, perasan solidaritas bersifat resiprokal. Hal yang berlaku adalah penyapa yang tidak berkuasa menggunakan V kepada pesapa yang berkuasa; sebaliknya, penyapa yang berkuasa menggunakan T kepada pesapa yang tidak berkuasa. Di antara penyapa yang berkuasa 59 menggunakan V untuk menyapa satu sama lain; sebaliknya, di antara penyapa yang tidak berkuasa menggunakan T untuk menyapa satu sama lain. Dengan demikian, bentuk V berkaitan dengan kekuasaan, sedangkan bentuk T berkaitan dengan solidaritas: penggunaan V-V atau T-T disebut dengan penggunaan simetris atau resiprokal, sedangkan penggunaan V-T atau T-V disebut dengan penggunaan nonsimetris atau nonresiprokal. Agar bentuk V dan T dapat digunakan dengan tepat, penyapa perlu untuk memahami makna kekuasaan dan pada saat yang bersamaan, makna solidaritas karena makna kedua konsep itu bervariasi berdasarkan situasi sosiobudaya suatu tempat. Makna kekuasaan itu dapat ditunjukkan oleh hubungan lebih tua dari, ayah dari, atasan dari, lebih kaya dari, lebih kuat dari, dan lebih bangsawan dari; sedangkan, makna solidaritas dapat ditunjukkan oleh hubungan seumuran, seayah, seprofesi, sekaya, sekuat, dan sebangsawan. Akan tetapi, hubunganhubungan itu bervariasi: pada satu tempat, misalnya, perbedaan umur dapat mengindikasikan perbedaan yang signifikan pada kekuasaan dan ditandai dengan bentuk V; sebaliknya, pada tempat lain perbedaan umur tidak mengindikasikan perbedaan pada kekuasaan dan cukup ditandai dengan T. Oleh karena itu, penggunaan V dan T beragam berdasarkan situasi sosiobudaya suatu tempat sesuai dengan cara penuturnya menerjemahkan konsep kekuasaan dan solidaritas. Brown dan Gilman (1960) juga mengungkapkan bahwa pada abad pertengahan kedua puluh, bentuk sapaan yang simetris lebih berterima daripada bentuk sapaan yang menunjukkan kekuasaan. Pemilik restoran dan pelayannya, misalnya, saling menyapa dengan sapaan nonsolider V. Sedangkan, orang tua dan 60 anaknya, walaupun berbeda umur (usia), saling menyapa dengan sapaan solider T. Jadi, ketika solidaritas antara dua orang semakin tinggi, karena mereka semakin saling mengenal, sapaan simetris T kerap kali muncul. Dengan demikian, sapaan simetris V-V atau T-T sangat umum terjadi pada masa itu. Teori T dan V diperluas oleh Brown dan Ford (1961) dan Ervin-Trip (1976) berdasarkan hasil penelitian mereka tentang bentuk sapaan pada bahasa Inggris Amerika. Pada bahasa Inggris Amerika yang hanya mengenal satu bentuk pronomina kedua, yakni, you ‘kamu’, pilihan bentuk pokok sapaan adalah antara first name ‘nama pertama’ (FN) dan title with last name ‘gelar dan nama akhir’ (TLN) yang beranalogi dengan T dan V secara berurutan. Dalam hal ini, penggunaan bentuk sapaan memiliki tiga variasi: penggunaan simetris FN-FN, penggunaan simetris TLN-TLN, dan penggunaan asimetris FN-TLN. Faktor yang berpengaruh pada penggunaan istilah sapaan nonsimetris pada guyub tutur bahasa Inggris di Amerika adalah faktor kekuasaan yang dirumuskan pada perbedaan umur dan status pekerjaan (Fasold, 1990: 9). Penyapa yang berstatus kerja lebih rendah atau berumur lebih muda (dengan perbedaan umur 15 tahun) menyapa pesapa yang berstatus kerja lebih tinggi atau lebih tua dengan TLN dan sebaliknya, disapa dengan FN. Namun, faktor yang berpengaruh pada penggunaan istilah sapaan simetris adalah jarak hubungan antara penutur-mitra tutur. Jika hubungan itu ‘dekat’, maka penggunaan FN hadir; sebaliknya jika hubungan itu hanya sekedar kenalan, maka penggunaan simetris TLN hadir. Perlu juga diketahui bahwa di Amerika, obrolan lima menit cukup untuk menggeser penggunaan TLN ke FN. 61 Ervin-Tripp (1976) secara lebih spesifik mengembangkan teori sapaan dengan memperkenalkan kaidah alternasi dan kaidah co-occurrence ‘kesertaan’. Kaidah alternasi mengendalikan pilihan bentuk sapaan yang layak digunakan dari repertoar bentuk sapaan yang dimiliki oleh penyapa. Kaidah alternasi bersifat paradigmatik atau vertikal karena menentukan hubungan antara satu bentuk sapaan dengan bentuk sapaan yang lain dalam satu level struktur. Sebalikyan, kaidah kesertaan berhubungan dengan aturan pengurutan linier yang menata pilihan konsisten antara bentuk-bentuk sapaan. Kaidah kesertaan mengatur urutan istilah sapaan secara horizontal atau sintagmatik. Kaidah kesertaan yang mengatur urutan horizontal bentuk sapaan, misalnya, menentukan bahwa gelar seharusnya diikuti oleh LN, bukan FN. Pada contoh yang lain, adalah biasa bagi seorang Amerika untuk memanggil ayahnya father + Ø ‘Bapak’, tetapi tidak Mr/Mrs + Ø ‘Tuan/Nyonya’ karena kaidah kesertaan mengatur bahwa Mr/Mrs diikuti oleh nama orang. Untuk lebih memperjelas maksudnya, Ervin-Tripp menyajikan sistem sapaan sebagai suatu urutan pilihan dengan menggunakan diagram alir komputer. Jadi, pola V dan T merupakan fenomena yang bersifat universal yang mana perbedaan dalam merumuskan konsep kekuasaan dan solidaritas menjadi sumber bagi variasi pada penggunaan bentuk sapaan pada berbagai budaya yang berbeda. Braun (1980: 35) selanjutnya memperluas rumusan T dan V dengan mengungkapkan bahwa: Setiap kali varian yang mengungkapkan keintiman, kejunioran, status sosial yang rendah atau inferioritas digunakan, varian itu menandai –jika bukan untuk saling kedekatan– kejunioran, status sosial yang rendah atau ‘kerendahan’ penyapa atau pesapa (atau keduanya). 62 Sebagai pelengkap rumusan itu, Braun menambahkan: Setiap kali varian yang mengungkapkan jarak, senioritas, status sosial yang tinggi atau superioritas digunakan, varian itu menandai –jika bukan jarak- senioritas, status sosial yang tinggi atau superioritas penyapa atau pesapa (atau keduanya). Rumusan tersebut memperluas konsep T dan V lebih jauh dari hanya sekedar sebagai penanda kekuasaan dan solidaritas . 2.3.7 Teori Sikap Bahasa Pada topik tentang teori sikap bahasa ini dibahas empat subtopik yang dianggap penting, yakni sikap bahasa, komponen objek sikap bahasa, hubungan antara sikap dan perilaku, dan fungsi sikap. 2.3.7.1 Komponen Sikap Bahasa Sikap bahasa merupakan suatu sikap yang objeknya adalah bahasa. Struktur sikap bahasa, seperti juga sikap-sikap yang objeknya lain, mengikuti skema triadik yang diungkapkan pertama kali oleh Triandis (Triandis, 1971: 3). Skema itu terdiri atas tiga komponen yang saling terkait, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Komponen triadik itu mengindikasikan bahwa sebelum seseorang dapat memberikan respon secara ajeg terhadap suatu objek sikap, ia terlebih dahulu harus mengetahui objek itu secara kognitif. Setelah ia memiliki pengetahuan mengenai objek sikap, barulah ia dapat memberikan penilaian suka/ tidak suka secara afektif. Selanjutnya, pengetahuan dan rasa itu diikuti oleh kehendak untuk bertindak secara konatif. 63 Komponen kognitif atau pengetahuan meliputi semua jenis pengetahuan seseorang tentang objek sikap. Kepercayaan itu meliputi kepercayaan atau pengetahuan mengenai benar atau salah, baik atau buruk, dan diinginkan atau tidak diinginkan. Dengan kata lain, komponen kognitif itu terdiri atas komponen kepercayaan yang berupa penilaian subjektif seseorang tentang aspek-aspek tertentu dari objek sikap. Selain itu, kepercayaan dibedakan atas tiga jenis, yaitu: (a) kepercayaan deskriptif, yaitu kepercayaan yang didasarkan pada pengamatan atau pengalaman langsung terhadap objek itu, (b) kepercayaan inferensial, yaitu kepercayaan yang dipengaruhi oleh kepercayaan yang sudah mapan, dan (c) kepercayaan informasi, yaitu kepercayaan yang didasarkan pada hal yang dikatakan oleh para ahli mengenai objek sikap. Sekali suatu kepercayaan terbentuk, hal itu menjadi dasar bagi pengetahuan seseorang tentang hal yang bisa diharapkan dari objek tertentu. Hal itu berarti bahwa kepercayaan itu membantu seseorang untuk memprediksi pengalaman-pengalaman yang dapat dialami pada masa mendatang dan membantu menciptakan keteraturan. Dengan kata lain, kepercayaan membantu seseorang menyederhanakan dan mengatur hal yang dilihat dan ditemui. Komponen afektif atau evaluatif dapat diartikan sebagai penilaian atau nilai-nilai emosi yang terkait dengan kepercayaan. Seseorang dapat merasa senang atau tidak senang terhadap suatu objek sikap melalui rasa yang ditimbulkan oleh kepercayaan-kepercayaan mengenai objek sikap tersebut. Reaksi emosional yang muncul terhadap suatu objek sikap biasanya dipengaruhi oleh hal yang dipercayai 64 sebagai benar atau berlaku bagi objek tertentu. Hal itu berarti bahwa komponen afektif dipengaruhi oleh komponen kognitif. Selanjutnya, komponen konatif atau perilaku bisa diartikan sebagai kecenderungan untuk bertindak. Komponen konatif itu dipengaruhi oleh komponen kognitif dan afektif. Dengan rumusan lain dapat diungkapkan bahwa kepercayaan yang sesuai dan nilai-nilai emosi (rasa) yang menyertainya diwujudkan menjadi kehendak-kehendak perilaku. 2.3.7.2 Komponen Objek (Dimensi) Sikap Bahasa Garvin dan Mathiot (1968) mengungkapkan bahwa komponen objek sikap bahasa bisa terdiri atas (1) kesetiaan bahasa, (2) kebanggaan bahasa, dan (3) kesadaran akan norma. kesetiaan merupakan keteguhan, ketaatan, atau kepatuhan terhadap janji, prinsip, pendirian, dan lain-lain (Tim penyusun kamus pusat bahasa, 2008: 1437). Kesetiaan bahasa mengisyaratkan keteguhan atau ketaatan untuk menggunakan, menjaga, dan mempertahankan suatu bahasa. Hal itu juga termasuk mencegah masuknya pengaruh lain ke dalam bahasa tersebut. Kebanggaan diartikan sebagai kebesaran hati atau atau kegagahan yang dirasakan karena memiliki keunggulan (Tim penyusun kamus pusat bahasa, 2008: 130). Kebanggaan bahasa biasanya terwujud pada sikap menghargai suatu bahasa. Rasa menghargai itu mendorong suatu masyarakat pengguna bahasa untuk mengembangkan bahasanya dan menjadikannya sebagai lambang identitas dan kesatuan. Selanjutnya, kesadaran diartikan sebagai keinsafan atau keadaan mengerti (Tim penyusun kamus pusat bahasa, 2008:1337). Kesadaran akan norma menyuratkan pemahaman tentang penggunaan bahasa secara baik dan benar. 65 Pemahaman tersebut selanjutnya membuat seseorang dapat menggunakan bahasa secara cermat dan santun. Ketiga ciri-ciri sikap bahasa yang diungkapkan tersebut berperan penting bagi keberadaan dan kebertahanan suatu bahasa. Jika ketiganya hadir bersamaan dengan intensitas yang tinggi pada suatu masyarakat pengguna bahasa, hal itu berarti bahwa sikap bahasa masyarakat tersebut positif. Bahasa itu memiliki tingkat kemandirian, penggunaan, dan kebertahanan yang tinggi karena digunakan dengan setia, bangga, dan taat azas. Sebaliknya, jika ketiga ciri itu melemah, sikap bahasa masyarakat juga menjadi negatif. Oleh karena itu, kemandirian, penggunaan, dan kebertahanan bahasa pun menjadi melemah. 2.3.7.3 Hubungan antara Sikap dan Perilaku Konsistensi antara komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan perilaku itulah yang menjadi landasan bagi usaha penyimpulan sikap yang dicerminkan oleh jawaban pada skala sikap. Walaupun demikian, sikap dan perilaku nyata tidak memiliki hubungan secara langsung atau sikap tidak berekuivalen dengan perilaku karena sikap bukan merupakan satu-satunya penentu bagi perilaku. Jadi, sikap tidak dapat digunakan untuk memprediksi perilaku dengan akurasi yang tinggi (Garret, 2010: 23; Jendra, 2007: 231; Chaer dan Agustina, 2004: 151; dan Azwar, 1995: 11). Hal itu terungkap melalui teori perilaku terencana yang diajukan oleh Ajzen (dalam Azwar, 1995) seperti terlihat pada gambar 2.1. 66 Gambar 2.1 Teori Perilaku Terencana Gambar 2.1 memperlihatkan bahwa suatu perilaku secara mendasar dipengaruhi oleh tiga keyakinan, yakni (1) keyakinan terhadap perilaku dan evaluasi terhadap hasil perilaku, (2) keyakinan normatif dan motivasi untuk patuh terhadap norma, dan (3) keyakinan untuk mampu melakukan perilaku yang diinginkan terkait dengan tingkat kesulitan perilaku. Keyakinan terhadap perilaku dan evaluasi terhadap hasil perilaku melahirkan sikap terhadap perilaku itu sendiri; keyakinan normatif dan motivasi untuk patuh terhadap norma itu melahirkan norma subjektif; dan keyakinan pada kemampuan untuk melakukan perilaku yang diinginkan dalam hubungannya dengan tingkat kesulitan perilaku melahirkan kontrol atas perilaku yang dihayati. Ketiga hal itu selanjutnya berinteraksi dan mewujudkan intensi perilaku. Intensi perilakulah yang kemudian berkembang menjadi perilaku. Azwar (1995) juga mengungkapkan bahwa perilaku tidak bisa hanya ditinjau dalam kaitannya dengan sikap manusia, tetapi perlu juga ditinjau melalui faktor-faktor lain. Faktor-faktor itu, misalnya, sifat stimulus, pengalaman masa lalu seseorang, motivasi, kepribadian, dan lingkungan juga ikut membentuk 67 perilaku seseorang. Selanjutnya, Sugar (dalam Chaer dan Agustina, 2004) menyebutkan bahwa perilaku ditentukan oleh empat faktor penting, yakni sikap, norma sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh perilaku itu sendiri. Hal itu berarti bahwa perilaku dibentuk oleh berbagai faktor yang berinteraksi secara kompleks, bukan hanya oleh sikap. Walaupun sikap tidak menentukan perilaku secara langsung, sikap tetap mendasari bentuk-bentuk perilaku konsisten yang diperlihatkan seseorang pada jangka waktu tertentu. Hal itu terkait dengan kecenderungan pikiran manusia untuk selalu konsisten atau menjaga keseimbangan antara sikap dan perilaku. Sebagai contoh, apabila seseorang tidak menyukai sesuatu, ia cenderung untuk menilai jelek segala hal tentang sesuatu itu dan secara prasadar, ia akan mengabaikan ciri-ciri yang baik dari sesuatu itu. Contoh lain, jika seseorang memiliki kebiasaan untuk berprasangka buruk, terhadap siapa saja ia akan berprasangka buruk. 2.3.7.4 Fungsi Sikap Katz (dalam Azwar, 1995) mengungkapkan bahwa sikap memiliki empat fungsi, yakni fungsi instrumental, pertahanan ego, pernyataan nilai, dan pengetahuan. Fungsi instrumental menyebutkan bahwa seseorang selalu berusaha untuk memaksimalkan hal-hal yang diinginkan dan meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkannya. Oleh karena itu, seseorang akan membentuk sikap positif terhadap hal-hal yang dirasakan akan membawa keuntungan dan membentuk sikap negatif terhadap hal-hal yang dirasakan akan merugikan. 68 Sebagai pertahanan ego, sikap dapat digunakan untuk melindungi seseorang dari fakta atau kebenaran yang tidak menyenangkan. Sikap membantunya untuk melindungi diri dari kepahitan kenyataan. Sebagai contoh, orang yang biasa ditolak cenderung untuk mengembangkan sikap “jual mahal” untuk menimbulkan kesan bahwa dialah yang sesungguhnya menolak. Sebagai fungsi pernyataan nilai, sikap digunakan sebagai cara untuk mengungkapkan nilai-nilai yang dianut seseorang. Nilai adalah hal yang dipandang sebagai baik dan diinginkan. Dalam hal ini, sikap membantu seseorang untuk bisa mengungkapkan dirinya dan memeroleh kepuasan dari pengungkapan itu. Selain itu, fungsi pengetahuan sikap juga mendorong seseorang untuk ingin tahu, untuk menalar, dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Dengan kata lain, Sikap berfungsi seperti skema yang membantu seseorang untuk menstruktur dunia di sekitarnya agar terlihat logis dan masuk akal. Berbagai unsur pengalaman yang tidak konsisten disusun dan ditata sedemikian rupa untuk mewujudkan konsistensi. Baker (1992) menyebutkan bahwa penelitian mengenai sikap bahasa berguna bagi pengumpulan informasi tentang ukuran kesehatan bahasa dalam hubungannya dengan isu kebertahanan bahasa. Hal itu juga menjadi indikator pikiran, kepercayaan, dan keinginan masyarakat terkait dengan bahasa mereka. Selain itu, juga menjadi indikator keberhasilan bagi keberhasilan implementasi kebijakan bahasa. Selain itu, Fasold (1984) menambahkan bahwa arah perubahan bunyi dipengaruhi oleh sikap bahasa guyub tutur itu sendiri, dalam artian apakah mereka 69 menyukai arah perubahan itu atau tidak memengaruhi perubahan itu sendiri. Sikap bahasa juga dapat digunakan untuk menentukan suatu guyub tutur karena definisi guyub tutur bergantung pada sikap bahasa kolektif guyub tutur itu sendiri, seperti diungkapkan oleh Labov. Hal lain yang tidak dapat diabaikan adalah bahwa sikap bahasa dapat mencerminkan sikap terhadap kelompok pengguna bahasa yang lain. Dengan demikian, positif tidaknya sikap terhadap suatu bahasa mencerminkan penilaian terhadap masyarakat pengguna bahasa itu. Sebagai tambahan, sikap bahasa di dunia pendidikan memengaruhi cara guru untuk berhubungan dengan siswa dan keberhasilan siswa dalam mempelajari suatu bahasa, khususnya bahasa kedua atau bahasa asing. 2.3.8 Budaya dan Sosialisasi Bahasa Budaya dan sosialisasi bahasa sesungguhnya merupakan dua hal yang terkait erat karena budaya dan bahasa itu sendiri merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. 2.3.8.1 Budaya Pembahasan mengenai budaya mengingatkan akan dua teori utama budaya, yakni teori kognitif dan teori simbolis. Teori kognitif yang diprakarsai oleh Goodenough (1964) memaknai budaya sebagai sistem pengetahuan atau sistem ide yang terletak dalam hati dan pikiran individu; sedangkan, teori simbolis yang diprakarsai oleh Geertz (1973) memaknai budaya sebagai sistem simbol. Berikut paparan singkat kedua teori tersebut. 70 A. Budaya sebagai Sistem Kognitif Untuk menjelaskan pengertian budaya, Goodenough (1964) sesungguhnya terinspirasi oleh sistem bahasa, khususnya sistem morfologi dan sintaksis yang menata bunyi menjadi bentuk-bentuk bermakna; perpaduan bentuk-bentuk bermakna itu menjadi kata; perpaduan kata menjadi frasa; selanjutnya, perpaduan frasa menjadi klausa; dan kemudian, perpaduan klausa menjadi kalimat. Dengan cara yang sama, individu di masyarakat harus belajar bagaimana berperilaku secara berterima di masyarakat. Individu tersebut mengungkapkan apa yang dipelajari secara bawah sadar dalam bentuk aturan berperilaku dan rincian tentang “apa yang bisa (tidak bisa) untuk dilakukan”. Singkatnya, budaya ialah fenomena mental yang berada di balik perilaku sosial nyata. Budaya terdiri atas hal yang dipelajari seseorang sebagai anggota guyub, khususnya dalam kaitannya dengan harapan-harapan anggota guyub lainnya di dalam konteks hidup dan bekerja sama. Sebagai sesuatu yang dipelajari, budaya itu bukan merupakan hal yang dikatakan oleh penuturnya, tetapi hal yang perlu diketahui oleh penuturnya agar bisa berkomunikasi secara berterima satu sama lain, termasuk mengonstruksi ujaran yang belum pernah dibuat sebelumnya, tetapi dipahami oleh yang lain dengan segera. Budaya dipelajari dengan cara yang sama dan tujuan antropologi kognitif adalah untuk menuliskan “gramatika budaya”. Goodenough (2004) selanjutnya mengungkapkan bahwa budaya terdiri atas: (a) kriteria untuk mengategorikan fenomena sebagai stimulus yang bermakna, (b) kriteria untuk menentukan hal yang dimungkinkan, (c) kriteria untuk memutuskan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu (kesukaan dan 71 nilai), (d) kriteria untuk menentukan apa yang dilakukan dengan sesuatu, (c) kritera untuk menentukan bagaimana melakukan sesuatu, dan (f) keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan sesuatu secara berterima. Kriteria-kriteria itu mengungkap bahwa budaya bukanlah fenomena material karena tidak terdiri atas benda-benda, manusia, perilaku, atau emosi. Akan tetapi, budaya adalah organisasi (penataan) hal-hal tersebut, yakni suatu sistem mental atau pengetahuan yang membangkitkan hanya perilaku-perilaku budaya yang tepat. B. Budaya sebagai Sistem Simbolis Berbeda dengan teori Goodenough, Geertz (1973) menjelaskan bahwa meskipun budaya itu juga mengandung aspek ideasional, tetapi hal itu tidak berada di kepala seseorang; dan meskipun bersifat nonfisik, hal itu bersifat nyata. Berpikir bukanlah terdiri atas "sesuatu yang terjadi di kepala", tetapi merupakan lalu lintas simbol, seperti kata, bahasa tubuh, gambar, dan lain lain yang digunakan untuk memberi makna pada pengalaman. Oleh karena itu, budaya seharusnya dimaknai sebagai sebagai sistem simbolis. Dalam hal ini, simbol adalah segala sesuatu yang merujuk pada atau berarti sesuatu yang lain. Sebagai contoh, awan hitam merupakan simbol yang mengawali hujan. Sistem simbolis yang dipelopori Geertz (1973) ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia merupakan hewan yang tergantung pada jejaring makna yang dirajutnya sendiri. Jaring itu adalah budaya dan analisis mengenai budaya bukanlah suatu kajian ilmiah untuk mencari hukum-hukum budaya, tetapi bersifat interpretatif di dalam upaya untuk mencari makna. Pemaknaan itu dilakukan dengan cara mengisolasi elemen-elemen budaya, menentukan hubungan internal 72 antara elemen tersebut, dan kemudian menjelaskan sistem keseluruhan secara umum –berdasarkan simbol inti yang menata sistem keseluruhan. Begitu perilaku manusia dilihat sebagai perilaku simbolis, pertanyaan apakah budaya merupakan perilaku terpola atau kerangka berpikir atau keduanya akan kehilangan maknanya. Budaya adalah sesuatu dari dunia ini. Hal yang perlu ditanyakan adalah apa maknanya: apakah itu –ejekan atau tantangan, ironi atau kemarahan, keangkuhan atau harga diri –yang diungkapkan melalui kehadiran dan kepelakuannya. Simbol dan makna budaya tersebut terbentuk dan dibuat bersama secara sosial sehingga keduanya bersifat publik. Tidak hanya simbol dan makna, pikiran manusia pun pada dasarnya bersifat sosial dan publik –habitat alamiahnya berada di dunia luar, yakni di halaman rumah, di pasar, di pusat kota, dan sebagainya. Tindakan “mengedip dengan sengaja”, misalnya, merupakan tindakan simbolis yang bersifat publik. Ketika seseorang mengedip dengan sengaja, ia sesungguhnya berkomunikasi melalui cara berikut, yakni (1) dengan sengaja, (2) kepada seseorang tertentu, (3) untuk menyampaikan pesan tertentu, (4) melalui cara yang telah mapan secara sosial, dan (5) tanpa sepengetahuan yang lainnya, kecuali yang dituju. “Mengedip dengan sengaja” yang dilakukan ketika ada makna publik yang menjelaskan bahwa melakukan hal tersebut dihitung sebagai simbol konspirasi dimaknai sebagai konspirasi. Meskipun simbol-simbol budaya dibuat bersama secara sosial, simbolsimbol itu berada mandiri atau terpisah dari pikiran sehingga dapat digunakan secara bebas dan tepat oleh individu. Simbol-simbol itu akan tetap ada selama 73 bergenerasi-generasi, baik itu tanpa perubahan maupun dengan perubahan. Dengan kata lain, keberadaan simbol-simbol itu lestari dan diwariskan selama bergenerasi-generasi di dalam suatu masyarakat. Geertz (1973) selanjutnya mengungkapkan bahwa analisis budaya yang menukik terlalu dalam seperti yang dilakukan oleh anthropologi kognitif akan kehilangan sentuhan dengan permukaan hidup yang diwarnai oleh realitas politik, ekonomi, dan stratifikasi, dan oleh kebutuhan biologis dan fisik tempat permukaan hidup itu bersandar. Dalam hal ini, tugas seorang anthropolog bukanlah untuk mengabstraksi rumus-rumus/ kaidah-kaidah budaya yang sering disebut sebagai penyusunan “deskripsi tipis”, tetapi untuk membuat suatu interpretasi, “deskripsi tebal”. Perilaku budaya harus diamati secara saksama dan akurat karena melalui aliran perilaku sosial itulah bentuk-bentuk budaya diwujudkan. Selanjutnya, suatu interpretasi dilakukan. Kajian tentang budaya yang dilakukan dengan cara ini tidak bertujuan untuk mencari budaya universal. Geertz (1973) juga menambahkan bahwa budaya berfungsi sebagai "mekanisme kontrol” yang mengatur kehidupan manusia. Tanpa bimbingan pola budaya, perilaku manusia tidak akan terarah, kacau, dan pengalamannya menjadi tidak berwujud. Manusia mampu mengendalikan perilakunya melalui tuntunan sistem simbol. Dengan demikian, simbol bukanlah sekadar ungkapan atau pelengkap eksistensi biologi, psikologi, dan sosial manusia, tetapi merupakan dasar dan kondisi terpenting bagi keberadaannya. 74 C. Kompetensi Budaya dan Tindakan Sosiobudaya Kedua teori budaya yang dikemukakan oleh Goodenough dan Geertz (1973) tersebut sesungguhnya cukup komprehensif, tetapi masing-masing memiliki kelemahan. Menurut Keesing (1981) dan Foley (1997), teori budaya kognitif tidak dapat menjelaskan secara meyakinkan bagaimana makna privat budaya bisa menjadi publik; sebaliknya, teori budaya simbolik tidak menjelaskan aspek-aspek privat simbol dan makna. Untuk menyelesaikan dilema itu, Keesing (1981:57) menggambungkan kedua pendekatan itu dengan memperkenalkan konsep kompetensi budaya dan tindakan budaya. Kompetensi budaya didefinisikan sebagai sistem pengetahuan yang dibentuk dan dipengaruhi oleh bagaimana pikiran manusia memeroleh, menata, memroses informasi dan membuat “model realitas internal”. Kompetensi budaya bersifat bawah sadar sehingga individu mengikuti aturan-aturan budaya secara bawah sadar. Selain itu, tidak setiap orang tahu setiap sektor budaya yang menjadikan deskripsi budaya selalu berupa gabungan abstraksi. Kompetensi budaya digunakan untuk membangkitkan, menuntun, dan menginterpretasikan tindakan sosiobudaya. Budaya harus dapat membangkitkan pola hidup yang aktif di dalam ekosistem. Pola hidup yang aktif itulah yang disebut dengan tindakan sosiobudaya. Dalam hal ini, tindakan sosiobudaya menautkan kompetensi budaya dengan sistem sosial dan lingkungan hidup nyata. Tindakan sosiobudaya adalah manifestasi tampak dari kompetensi budaya di dunia fisik. Tindakan sosiobudaya merupakan realisasi sosial desain ideasional untuk hidup di suatu lingkungan tertentu. 75 2.3.8.2 Sosialisasi Bahasa Mengetahui pengertian budaya membuat pernyataan mengenai posisi bahasa dalam kaitannya dengan budaya penting untuk diketahui. Bahasa sering dipersepsi sebagai subsistem di dalam sistem budaya. Sebagai subsistem, bahasa memiliki peran yang sangat penting bagi pemahaman budaya. Duranti (1997) menyatakan bahwa kajian tentang bahasa merupakan sumber bagi pemahaman akan budaya dan berbicara adalah suatu bentuk praktik budaya. Selain itu, berbicara merupakan cara bagaimana suatu budaya dilestarikan dan diwariskan. Oleh karena itu, bagaimana bahasa disosialisasikan pada suatu masyarakat menjadi topik yang penting untuk dibahas. Para ahli mendefinisikan sosialisasi tidak hanya berhubungan dengan pemerolehan bahasa, tetapi juga pemerolehan pengetahuan tentang norma penggunaan bahasa. Purwoko (2008b) dan Mahyuni (2006), misalnya, mendefinisikan sosialisasi bahasa sebagai proses pemerolehan bahasa dan juga pewarisan budaya masyarakat bagi generasi muda. Sejalan dengan definisi tersebut, Foley (1997) memaknai sosialisasi bahasa sebagai proses belajar untuk menghidupkan peran sosial yang dimiliki oleh penutur. Selanjutnya, Hudson (1980) mengungkapkan bahwa sosialisasi bahasa merupakan suatu proses yang dalam hal ini seorang anak menjadi anggota masyarakat yang kompeten. Sebagai tambahan, Pride dan Holmes (1972) juga mengungkapkan bahwa sosialisasi bahasa berhubungan dengan pemerolehan bahasa beserta nilai sosiobudaya suatu masyarakat. 76 Penjelasan di atas dengan jelas mengungkap bahwa sosialisasi berbahasa tidak hanya berkaitan dengan kompetensi berbicara, tetapi juga kompetensi komunikasi. Kompetensi komunikasi oleh Bonvillain (2003) diartikan sebagai kemampuan untuk berfungsi menurut model budaya untuk perilaku komunikasi atau pengetahuan tentang aturan-aturan budaya tentang penggunaan bahasa yang tepat pada interaksi sosial. Bernstein (1972) mengungkapkan bahwa keluarga merupakan tempat pertama terjadinya proses sosialisasi bahasa yang akan memengaruhi perilaku berbahasa anak pada tahun-tahun berikutnya. Dalam hal ini, ada dua tipe keluarga, yakni keluarga yang berorientasi pada posisi dan keluarga yang berorientasi pada manusianya. Pada keluarga yang berorientasi pada posisi, interaksi dan pembuatan keputusan tertutup dan sangat bergantung pada status formal anggota keluarga, misalnya, kakek, nenek, ayah, ibu, umur, dan jenis kelamin. Hal itu menunjukkan adanya pemisahan peran yang jelas dan orang tua cenderung untuk mendorong anak agar lebih banyak bergaul atau bersosialisasi dengan teman sebaya. Sebaliknya, pada keluarga yang berorientasi pada manusia, perbedaan status antara anggota keluarga kurang diperhatikan yang menyebabkan terbentuknya kedekatan antara orang tua dan anak. Sosialisasi anak tidak diserahkan pada pergaulan teman sebaya, melainkan tetap di tangan orang tua, dan komunikasi yang terjadi bersifat terbuka dan kuat. Bernstein selanjutnya menyimpulkan bahwa anak yang besar di keluarga yang berorientasi pada posisi cenderung untuk mengembangkan restricted code ‘kode terbatas’; sedangkan, anak yang besar di 77 keluarga yang berorientasi pada manusianya cenderung untuk mengembangkan elaborated code ‘kode lengkap’. Hudson (1980) berikutnya menjelaskan bahwa bahasa merupakan instrumen bagi sosialisasi. Bahasa digunakan untuk menyosialisasikan bahasa dan sekaligus juga budaya setempat tempat bahasa tersebut digunakan. Namun, sosialisasi bahasa yang diterima oleh seorang anak tidak hanya berbeda berdasarkan budaya, tetapi juga kelas sosial, jenis kelamin, dan sebagainya. Oleh karena itu, seorang anak mempelajari pola tutur yang berbeda berdasarkan posisinya masing-masing. Untuk mencontohkan sosialisasi bahasa, Foley (1997) mengutip hasil penelitian Clancy tentang bagaimana norma komunikasi dipelajari oleh seorang anak di Jepang. Pada fase pertama, seorang anak diajarkan untuk memerhatikan dan menanggapi dengan sungguh-sungguh tuturan orang lain. Jika anak itu tidak memerhatikan, ia akan dipaksa untuk lebih memerhatikan. Kedua, anak itu diajarkan untuk menanggapi secara positif setiap permintaan walau bagaimanapun perasaannya. Hal itu terkait dengan pandangan orang Jepang tentang pentingnya berempati terhadap orang lain untuk menciptakan harmoni sosial. Oleh karena itu, anak diajarkan untuk selalu mengikuti perilaku sosial yang berkonformitas dengan orang lain dan akan dicela jika tidak. Terakhir, karena menciptakan harmoni sosial dengan memerhatikan kebutuhan orang lain sangat penting, penolakan langsung terhadap permintaan orang lain akan memeroleh sangsi yang berat sehingga seorang anak diajarkan untuk tidak menggunakan kata “tidak” secara langsung. 78 2.4 Model Penelitian Penelitian ini pada dasarnya merupakan suatu penelitian sosiolinguistik yang bertujuan untuk meneliti penggunaan bahasa Bali pada guyub tutur Kota Singaraja dan secara khusus, mengkaji empat rumusan masalah, yakni (1) Bagaimanakah bentuk tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur Kota Singaraja; (2) Bagaimanakah penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dalam kaitannya dengan wangsa, pekerjaan, umur dan gender pada guyub tutur Kota Singaraja?; (3) Apakah faktor –faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur Kota Singaraja?; dan (4) Bagaimanakah sikap tingkat tutur bahasa Bali guyub tutur Kota Singaraja? Secara spesifik, model yang dikembangkan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 79 Gambar 2.2 Model Penelitian Gambar 2.2 menunjukkan bahwa penelitian ini bertujuan untuk (1) memaparkan bentuk-bentuk tingkat tutur bahasa Bali; (2) menjelaskan hubungan antara penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender; (3) menguraikan dan menginterpretasikan faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali; dan (4) menjelaskan dan 80 menginterpretasikan sikap penutur terhadap tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja. Untuk mencapai tujuan itu, penelitian ini memadukan delapan teori yang mana tujuh di antaranya adalah teori sosiolinguistik, sedangkan salah satunya adalah teori antropologi linguistik. Ketujuh teori sosiolinguistik itu adalah teori variasi linguistik, teori tingkat tutur, teori etnogafi komunikasi, teori analisis domain, teori desain pendengar, teori sapaan, dan teori sikap bahasa; sedangkan teori antropologi linguistik yang digunakan adalah teori budaya dan sosialisasi bahasa. Tujuan pertama dan kedua diwujudkan dengan memadukan dua teori, yakni teori variasi linguistik dan teori tingkat tutur. Teori variasi linguistik dan teori tingkat tutur digunakan untuk membedah hubungan antara variasi linguistik dengan struktur masyarakat yang berkaitan dengan wangsa, pekerjaan, umur. Selain itu, kedua teori itu juga digunakan untuk memaparkan bentuk-bentuk tingkat tutur bahasa Bali. Tujuan ketiga diwujudkan dengan memadukan tujuh teori, yaitu teori variasi linguistik, teori tingkat tutur, teori etnogafi komunikasi, teori analisis domain, teori desain pendengar, teori sapaan, dan teori budaya dan sosialisasi bahasa. Pemaduan teori-teori itu digunakan untuk menggali faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur BB. Sebagai tambahan, teori sikap bahasa digunakan untuk mencapai tujuan keempat yang terkait dengan sikap bahasa penutur BB terhadap tingkat tutur BB. Selanjutnya, data-data yang digali, dihimpun, dan dimaknai melalui penggabungan dua metode, yakni metode kuantitatif dan metode kualitatif. 81 Metode kuantitatif terutama digunakan untuk mencapai tujuan kedua dan ketiga penelitian, sedangkan metode kualitatif digunakan untuk mencapai tujuan penelitian yang pertama dan keempat. Data yang telah diperoleh diinteraksikan dengan teori-teori yang digunakan untuk memeroleh suatu temuan. Temuan itu dijelaskan dalam kaitannya dengan tujuan penelitian ini. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini berlandaskan pada pendekatan pragmatisme. Pendekatan tersebut memandang bahwa realitas tunggal, tetapi dapat diinterpretasikan atau didekati secara multiperspektif (Teddlie dan Tashakkori, 2009: 7; dan Creswell dan Clark, 2007:23). Pragmatisme juga mengabaikan hubungan antara penelitiobjek kajian dan berpatokan pada aspek kepraktisan. Hal itu berarti bahwa penekanan terkuat berada pada pertanyaan penelitian dan berorientasi pada pengumpulan data yang sesuai dengan hal yang dibutuhkan secara pragmatis. Dengan demikan, pertanyaan penelitian berfungsi sebagai penuntun pokok bagi penelitian itu, baik itu bagi metode dan teknik pengumpulan data, instrumen pengumpulan pengumpulan data, dan analisis data. Pendekatan pragmatisme memadukan pendekatan deduktif-induktif yang mengisyaratkan perpaduan pola pikir top-down (deduktif) dan bottom-up (induktif) pada proses penelitian. Pada top-down, peneliti mulai dengan mengkaji teori, merumuskan hipotesis, dan mengumpulkan data untuk membuktikan hipotesis; pada bottom-up, peneliti mulai dengan mengumpulkan data, merumuskan ‘hipotesis’, kemudian membangun suatu teori. Dengan demikian, pada pola pikir deduktif-induktif, peneliti dapat bergerak dari top-down ke bottom-up atau sebaliknya secara kontinu untuk memperoleh gambaran yang bersifat multiperspektif dan komprehensif. 82 83 Metode penelitian yang paling sesuai bagi paradigma pragmatisme adalah mixed method ‘metode ganda’ yang memadukan metode kuantitatif dan kualitatif secara bersama-sama dalam sebuah penelitian (Teddli dan Tashakkori, 2009: 88; Creswell, 2007: 554; Creswell dan Clark, 2007: 24; dan Thomas, 2003:7). Kedua metode tersebut sesungguhnya berbeda secara mendasar seperti ditunjukkan pada tabel 3.1 di bawah ini. Tabel 3.1 Perbedaan antara Metode Kualitatif dan Kuantitatif Proses Penelitian Metode Kualitatif Tujuan penelitian − Memahami suatu fenomena secara induktif Peran Bahan Pustaka − Berperan minor − Merasionalisasi masalah Pengumpulan data − Menggunakan pertanyaan terbuka − Memahami kompleksitas suatu ide tunggal Jenis dan sumber Data Analisis Data Peran Peneliti Validasi Data − Kata-kata dan imaji atau bentuk − Beberapa partisipan pada tempat penelitian yang terbatas − Mempelajari partisipan pada lokasinya − Analisis teks atau bentuk − Tema − Pola atau generalisasi yang lebih luas − Mengidentifikasi posisi seseorang − Laporan yang bias − Menggunakan prosedur validasi yang bertumpu pada partisipan, peneliti, atau pembaca. − − − − − − − − − Metode Kuantitatif Menguji teori secara deduktif guna mendukung atau menyangkalnya Berperan penting Merasionalisasi masalah Mengidentifikasi pertanyaan dan hipotesis Menggunakan pertanyaan tertutup Menguji variabel yang membentuk hipotesis atau pertanyaan Angka Banyak partisipan pada banyak lokasi penelitian Mengirimkan atau mengedarkan instrumen untuk diisi oleh partisipan − Analisis statistik − Menolak hipotesis atau menentukan effect size − Berada di latar belakang − Berupaya untuk menghilangkan bias − Menggunakan prosedur validasi eksternal dengan menggunakan penilai, penelitian sebelumnya dan statistik (Sumber: Creswell dan Clark, 2007: 29) 84 Walaupun kedua metode tersebut berbeda, keduanya dipadukan sesuai dengan kebutuhan rumusan masalah penelitian. Jenis metode ganda yang digunakan adalah metode ganda triangulasi (Cresswell dan Clark, 2007: 62) yang bertujuan untuk mengumpulkan data yang berbeda, tetapi saling melengkapi pada suatu topik penelitian. Melalui desain itu peneliti menerapkan metode kuantitatif dan kualitatif pada kerangka waktu yang cenderung sama dan dengan bobot kepentingan yang sama. Secara lebih spesifik, desain triangulasi yang digunakan adalah model multilevel, yakni penggunaan metode kuantitatif dan kualitatif untuk mengkaji masalah penelitian yang berbeda pada suatu penelitian. Hal itu juga berarti bahwa data dikumpulkan dan dianalisis secara terpisah. Jadi, secara lebih spesifik, metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode ganda triangulasi model multilevel. Metode kualitatif digunakan untuk mengkaji masalah penelitian pertama tentang bentuk tingkat tutur BB dan masalah ketiga tentang faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan BB. Data yang dikumpulkan dan dianalisis dengan penerapan metode kualitatif itu berupa kata, kalimat, ujaran, percakapan, dan komentar yang dihasilkan oleh informan sesuai dengan sifat masalah itu sendiri. Sebaliknya, metode kuantitatif digunakan untuk mengkaji masalah penelitian kedua tentang hubungan antara penggunaan BB dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender; dan masalah penelitian keempat tentang sikap bahasa. Data yang dikumpulkan pada penerapan metode kuantitatif ini berupa angka-angka yang dianalisis melalui statistik deskriptif. 85 Selain kegunaannya dalam menjawab rumusan masalah penelitian ini, perpaduan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif juga berguna untuk mengurangi bias penelitian dan untuk tujuan triangulasi. Pada gilirannya, hasil penelitian menjadi lebih sahih dan memiliki keterandalan yang tinggi. Hal itu bisa terjadi karena kedua pendekatan tersebut bersifat saling melengkapi dan menutupi kelemahan satu sama lain (Creswell, 2007: 552; dan Bungin, 2003: 86-87). Bidang kajian penelitian ini termasuk dalam bidang kajian sosiolinguistik yang diterapkan dengan menggunakan metode survei, metode simak, dan metode cakap semuka yang dalam hal ini penerapan ketiga metode pengumpulan data itu disarankan untuk dilakukan demi kedalaman dan kelengkapan data (Pride dan Holmes, 1972:7). Untuk melakukan survei, peneliti terlebih dulu mengembangkan angket dengan mengikuti langkah-langkah prosedur pengembangan yang sesuai. Angket tersebut digunakan untuk mengkaji penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender; dan juga untuk menjaring data terkait dengan sikap bahasa. Data yang didapatkan melalui angket adalah data kuantitatif, sedangkan melalui metode simak dan cakap semuka, peneliti mengumpulkan data kualitatif terkait bentuk-bentuk tingkat tutur dan alasan-alasan penggunaannya. 3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Singaraja. Kota Singaraja merupakan ibu kota Kecamatan Buleleng dan sekaligus juga ibu kota Kabupaten Buleleng yang terletak di provinsi Bali. Letak Kabupaten Buleleng adalah di antara 80 03’ 86 40” – 80 23’ 00” lintang selatan dan 1140 25’ 55” – 1150 27’ 28” bujur timur dan berada sekitar 100 kilometer sebelah utara Kota Denpasar, ibu kota Provinsi Bali. Di bagian barat, Kabupaten Buleleng berbatasan dengan Kabupaten Jembrana, di bagian utara dengan laut Bali, di bagian timur dengan Kabupaten Karangasem, dan di bagian selatan dengan Kabupaten Jembrana, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Bangli (Kabupaten Buleleng dalam angka, 2010: 3). Letak Kabupaten Buleleng agak terisolasi dari wilayah Bali yang lainnya. Sebagian besar wilayahnya di bagian selatan adalah daerah berbukit, sedangkan di bagian utara merupakan daerah dataran rendah yang dibatasi oleh pantai. Di antara perbukitan di bagian selatan terdapat gunung yang tidak termasuk dalam kategori gunung berapi. Gunung yang tertinggi adalah gunung Tapak (1903 meter) yang berada di Kecamatan Sukasada dan yang terendah adalah gunung Jae (222 meter) yang terletak di Kecamatan Gerokgak. Luas wilayah Kabupaten Buleleng adalah 136.588 hektar atau setara dengan 24,25% luas Provinsi Bali secara keseluruhan dan terdiri atas sembilan kecamatan, yakni Gerokgak, Seririt, Busungbiu, Banjar Buleleng, Sawan, Kubutambahan dan Tejakula. Walaupun demikian, Kecamatan Buleleng merupakan kecamatan tersempit dengan luas tanah hanya sekitar 3,44%. Sebagai ibu kota Buleleng, Kota Singaraja secara administratif terdiri atas 19 kelurahan, yaitu Bhaktiseraga, Banyuasri, Banjar Tegal, Paket Agung, Beratan, Liligundi, Kampung Singaraja, Kendran, Astina, Banjar Jawa, Banjar Bali, Kampung Kajanan, Kaliuntu, Kampung Anyar, Kampung Bugis, Kampung Baru, 87 Banyuning, Penarukan dan Sukasada. Satu dari kesembilan belas tempat itu, yakni Kelurahan Sukasada, berada di wilayah Kecamatan Sukasada, sedangkan semua lainnya berada di wilayah Kecamatan Buleleng. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kelurahan Sukasada, Kelurahan Liligundi, Kelurahan Banjar Tegal, Kelurahan Paket Agung, Kelurahan Banyuasri, Kelurahan Banyuning, dan Kelurahan Penarukan. Kelurahan Sukasada, Kelurahan Liligundi, kelurahan Paket Agung dan Kelurahan Penarukan dipilih, karena keempat kelurahan itu memiliki beberapa konsentrasi masyarakat triwangsa. Sementara itu, ketiga kelurahan yang lainnya dipilih karena dianggap mewakili tipe umum kelurahan di Kota Singaraja yang hampir seluruhnya dihuni oleh penduduk jaba. 3.3 Jenis dan Sumber Data 3.3.1 Jenis Data Dalam penelitian ini, jenis BB yang diteliti adalah BB yang digunakan di Kota Singaraja. Suarjana (2008) mengungkapkan bahwa BB yang digunakan di Kota Singaraja, selain di Kota Klungkung, dirujuk sebagai acuan bagi BB baku baik secara intrinsik –melalui kriteria fonologis, morfologis, dan semantik– maupun ekstrinsik. Ginarsa dkk. (1975) mengungkapkan bahwa secara fonologis BB baku menggunakan pelafalan [ǝ] pada kata yang diakhiri oleh vowel [a] dan tetap dilafalkan [a] jika vowel itu berada di tengah. Kata [apa], misalnya, diucapkan [apǝ], bukan [apa]; dan kata [jaan] dilafalkan [jaan], bukan [jǝǝn]. Selain itu, secara morfologis, kata yang dibakukan adalah yang berakhiran –ang 88 seperti pada jemakang, bukan jemaka atau jemakin atau jemaka. Selanjutnya, secara semantik, misalnya, kata nglangi dibakukan untuk berenang, bukan ngonong. Sebagai tambahan, secara ekstrinsik, BB di Kota Singaraja dan Kota Klungkung dijadikan sebagai acuan bagi BB baku disebabkan karena kedua kota itu telah cukup lama menjadi pusat kekuasaan, politik, ekonomi, dan kebudayaan Bali (Suarjana, 2008: 67) Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif tersebut berwujud tanggapan-tanggapan sampel terhadap pernyataan-pernyataan pada angket penggunaan bahasa dan angket sikap bahasa yang dikonversikan menjadi skor persentase. Sebaliknya, data kualitatif yang dikumpulkan berbentuk kalimat, ujaran, komentar, dan alasan-alasan yang diberikan oleh informan bahasa dalam hubungannya dengan penggunaan bahasa dan sikap bahasa. 3.3.2 Sumber Data Sumber data merupakan subjek tempat data diperoleh (Arikunto, 2006: 129) dan berdasarkan sumbernya, data dibedakan atas data sekunder dan data primer (Sudarso, 2007: 55). Data sekunder merupakan data yang tidak diperoleh langsung dari subjek yang diteliti, melainkan dari lembaga atau institusi tertentu seperti Biro Pusat Statistik, Lembaga Bahasa, dan lain-lain. Sebaliknya, data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari subjek yang diteliti. Data yang digunakan sebagai data sekunder pada penelitian ini adalah data-data atau statistik mengenai wilayah dan kependudukan di Kota Singaraja 89 yang dapat ditemukan di buku “Buleleng dalam Angka 2010”. Selain data wilayah dan kependudukan, data sekunder lainnya adalah data-data mengenai bentukbentuk dan contoh-contoh ragam tingkat tutur yang dapat ditemukan pada bukubuku gramatika bahasa Bali dan data-data penulis lainnya yang sudah diakui kebenarannya. Sebaliknya, sumber data primer dibedakan atas populasi penelitan, sampel (responden) penelitian, dan informan bahasa. Berikut adalah paparan mengenai ketiga sumber data primer tersebut. 3.3.2.1 Populasi Penelitian Populasi merupakan keseluruhan individu yang menjadi anggota masyarakat tutur bahasa yang akan diteliti dan menjadi sasaran penarikan generalisasi tentang seluk beluk bahasa tersebut (Mahsun, 2011: 28). Populasi penelitian ini adalah guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja. Populasi tersebut dibatasi pada anggota primer guyub tutur Kota Singaraja. Hal itu berarti bahwa populasi tersebut terdiri atas anggota-anggota penduduk “asli” Kota Singaraja yang ditentukan dan dipilih melalui kriteria sebagai berikut. (1) Memiliki sanggah gede ‘pura bagi keluarga besar’ yang dirawat dan dipuja bersama pada keluarga besar sebagai indikasi bahwa anggota guyub itu telah berada di kota singaraja secara turun temurun sejak nenek moyang; atau (2) Setidaknya dua generasi di atas ayah sudah tinggal menetap di kota singaraja; (3) Merasakan diri sebagai anggota “asli” masyarakat kota singaraja; 90 (4) Lahir dan tinggal di kota singaraja; (5) Berumur antara 20-60 tahun; (6) Sehat jasmani dan rohani; (7) Memiliki kecakapan berbahasa Bali; (8) Dapat diajak berkomunikasi; (9) Bersedia untuk menjadi sampel/informan; (10) Bersedia memberikan informasi kebahasaan secara jujur. (bdk. Mahsun, 2005:141) Jumlah populasi guyub tutur Singaraja berdasarkan sensus penduduk tahun 2009 adalah 85.532 jiwa, yang tersebar di sembilan belas kelurahan, yaitu Bhaktiseraga 4.122 jiwa, Banyuasri 6.247 jiwa, Banjar Tegal 3.792 jiwa, Paket Agung 1.954 jiwa, Beratan 658 jiwa, Liligundi 1.481 jiwa, Kampung Singaraja 1.006 jiwa, Kendran 2.307 jiwa, Astina 2.057 jiwa, Banjar Jawa 3.619 jiwa, Banjar Bali 2.074 jiwa, Kampung Kajanan 4.634 jiwa, Kaliuntu 5.392 jiwa, Kampung Anyar 5.474 jiwa, Kampung Bugis 3.322 jiwa, Kampung Baru 7.983 jiwa, Banyuning 12.922 jiwa, Penarukan 10.254 jiwa dan Sukasada 6.234 jiwa (Kabupaten Buleleng dalam angka, 2010: 99-100). Jumlah populasi itu dikurangi sejumlah 30,9% yang merupakan populasi yang berumur di bawah 20 tahun, yaitu sejumlah 26429 jiwa dan menjadi 59.103 jiwa. Jumlah itu seharusnya akan berkurang lebih jauh lagi jika jumlah penduduk pendatang bisa terdeteksi, tetapi hal itu sayangnya tidak dapat dilakukan karena kurangnya informasi. Selain itu, populasi penduduk “asli” Kota Singaraja seharusnya dibedakan lebih lanjut berdasarkan variabel wangsa, pekerjaan, umur, 91 dan gender. Namun, informasi mengenai komposisi perbedaan jumlah penduduk berdasarkan variabel-variabel itu juga tidak tersedia sehingga proporsi jumlah populasi tidak diketahui. 3.3.2.2 Sampel (Responden) Penelitian Sampel penelitian dipilah berdasarkan variabel wangsa, pekerjaan, umur, dan gender pada saat yang bersamaan sehingga sampel tersebut berlapis menurut variabel-variabel tersebut. Selain itu, proporsi sampel berdasarkan variabelvariabel tersebut juga tidak dipertimbangkan dalam pengambilan sampel karena ketiadaan informasi yang akurat mengenai proporsi penduduk berdasarkan wangsa, status pekerjaan, umur, dan gender. Oleh karena itu, jumlah sampel yang dipilih diupayakan sama untuk setiap kelompok sampel (nonproporsional), meskipun pada realisasinya sedikit berbeda. Selanjutnya, sampel itu dipilih secara nonacak karena sampel dipilih berdasarkan kesediaannya dan terutama yang telah dikenal. Dengan demikian, teknik penarikan sampel yang digunakan adalah disproportionate stratified purposive sampling ‘penarikan sampel nonacak berlapis-takproporsional’. Sebelum sampel ditentukan, populasi dikelompokan berdasarkan variabel wangsa, yakni triwangsa dan jaba; pekerjaan, yakni tinggi, sedang, dan rendah; umur, yakni 20-39 tahun dan 40 tahun ke atas; dan gender, yakni laki-laki dan perempuan. Setelah itu, sampel dipilih secara nonacak menurut kriteria yang telah ditentukan (lihat 3.3.1). Penentuan jumlah sampel dilakukan melalui tabel Fowler (lihat Creswell, 2008) dengan menggunakan parameter kepercayaan 95%. Melalui parameter itu 92 ditemukan bahwa jumlah sampel minimal yang diperlukan adalah 305 dan direncanakan 336 (24 X 14) supaya jumlah sampel perkelompok sama. Namun, komposisi jumlah itu tidak tercapai karena kesulitan untuk menemukan jumlah sampel yang tergolong memiliki pekerjaan kelas atas. Meskipun demikian, kekurangan itu tidak menjadi masalah dan tetap dianggap memadai karena populasi secara teoretis diasumsikan homogen. Dalam hal ini, jumlah sampel nyata yang diperoleh adalah 285 orang (lihat tabel 3.2) Tabel 3.2 Sampel (Responden) Penelitian Wangsa Status pekerjaan Tinggi (T) Sedang (S) Triwangsa (T) Rendah (R) Tinggi (T) Sedang (S) Jaba (J) Rendah (R) Umur Gender Dewasa (D) Laki-laki (L) Perempuan (P) Muda (M) Laki-laki (L) Perempuan (P) Dewasa (D) Laki-laki (L) Perempuan (P) Muda (M) Laki-laki (L) Perempuan (P) Dewasa (D) Laki-laki (L) Perempuan (P) Muda (M) Laki-laki (L) Perempuan (P) Dewasa (D) Laki-laki (L) Perempuan (P) Muda (M) Laki-laki (L) Perempuan (P) Dewasa (D) Laki-laki (L) Perempuan (P) Muda (M) Laki-laki (L) Perempuan (P) Dewasa (D) Laki-laki (L) Perempuan (P) Muda (M) Laki-laki (L) Perempuan (P) Singkatan TTDL TTDP TTML TTMP TSDL TSDP TSML TSMP TRDL TRDP TRML TRMP JTDL JTDP JTML JTMP JSDL JSDP JSML JSMP JRDL JRDP JRML JRMP Jumlah sampel 11 9 7 6 14 14 14 14 14 14 14 14 10 8 6 4 14 14 14 14 14 14 14 14 93 Tabel 3.2 memperlihatkan tabel 2X3X2X2 jalur yang berarti bahwa penelitian ini dilakukan pada 24 kelompok sampel. Secara umum sampel dibedakan atas dua kelompok, yakni triwangsa dan jaba; selanjutnya, masingmasing kelompok wangsa itu dibagi tiga subkelompok berdasarkan pekerjaan, yakni tinggi, sedang, dan rendah; kemudian, dibagi lagi dua berdasarkan umur, yakni muda dan dewasa; dan terakhir, dibagi dua berdasarkan gender, yakni lakilaki dan perempuan. 3.3.2.3 Informan Bahasa Untuk tujuan pengumpulan data kualitatif, penelitian ini juga mengambil satu subjek dari setiap kelompok sampel secara purposive untuk dijadikan sebagai informan bahasa sehingga ada dua puluh empat informan pendamping. Keduapuluh empat orang itu telah diminta kesediaannya untuk diwawancarai dan direkam tutur bahasanya selama beberapa waktu. 3.4 Variabel Penelitian Variabel adalah suatu konsep yang dapat diwujudkan menjadi lebih dari satu variasi atau karakteristik yang bisa diukur (diamati) atau “dihitung” oleh peneliti (Creswell, 200: 51-528; dan Wirawan, 2007: 46-47). Dalam penelitian ini, ada dua jenis variabel yang teridentifikasi, yaitu variabel terpengaruh atau variabel bahasa, yaitu tingkat tutur dan variabel pengaruh atau variabel sosiolinguistik: wangsa, pekerjaan, umur, gender, dan sikap bahasa. 94 1) Tingkat tutur bahasa Bali Tingkat tutur pada penelitian ini diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kode alus, kode biasa, dan kode kasar. 2) Wangsa Wangsa sebagai variabel penelitian ini dibedakan atas triwangsa (brahmana, ksatria, dan wesia) dan jaba. 3) Pekerjaan Menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2008), pekerjaan secara bebas dapat diartikan sebagai mata pencaharian, aktivitas atau kegiatan yang dilakukan secara tetap, teratur dan berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan finansial. Perbedaan pekerjaan membawa penghasilan yang bervariasi, dan memberikan status dan prestise yang berbeda-beda kepada seseorang di masyarakat. Bahkan, dalam penentuan kelas sosial modern, pekerjaan merupakan indikator utama sehingga kelas sosial dan status pekerjaan kerap bersinonim. Pekerjaan pada masyarakat Bali di Kota Singaraja dikelompokan menjadi tiga kelas sebagai berikut. (a) Kelas atas (pekerjaan kelas tinggi), terdiri atas orang-orang yang memegang posisi tinggi, baik di sektor pemerintahan maupun swasta yang terdiri atas manajer, pengusaha, direktur, wakil manajer, wakil direktur, rektor, dekan, pengacara, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dokter, dosen pegawai negeri sipil, kepala dinas, kepala subdinas, kepala bagian, kepala subbagian, kepala bidang, kepala subbidang, dan lain-lain. 95 (b) Kelas menengah (pekerjaan kelas menengah), terdiri atas pegawai negeri sipil yang tidak menjabat dan tenaga terampil yang terdiri atas guru, pegawai negeri sipil “biasa” di kantor pemerintahan daerah dan kantor instansi pemerintah yang lainnya, pegawai hotel, pegawai bank, pegawai perusahan asuransi, pegawai perusahaan finance, pemilik tokotoko kelas menengah, dan lain-lain. (c) Kelas bawah (pekerjaan kelas rendah), terdiri atas tenaga kurang terampil, seperti pekerja bengkel kecil, sopir, buruh, pedagang kecil, petani, pegawai toko, tukang ojek, penjaga malam, dan lain-lain 4) Umur Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2008) mendefinisikan umur sebagai lama waktu hidup atau ada; atau usia. kelompok umur yang yang dijadikan variabel pada penelitian ini dibedakan menjadi dua, yakni 20-39 tahun dan 40 tahun ke atas. 5) Gender Dasar bagi pemahaman konsep gender adalah jenis kelamin yang merupakan suatu organ reproduksi yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup. Menurut jenis kelamin, manusia dibedakan atas laki-laki dan perempuan, sedangkan gender merupakan perluasan dari konsep jenis kelamin tersebut (Eckert dan McConnell-Ginet, 2003: 10). Berdasarkan atas jenis kelaminnya, seseorang bisa membangun identitas dirinya secara sosial-budaya dengan menjadi dan berperan, baik itu sebagai seorang laki-laki atau perempuan di dunia sosial- 96 masyarakat. Pada penelitian ini, gender dibedakan atas laki-laki dan perempuan. 6) Sikap bahasa Sikap bahasa sebagai variabel penelitian ini dibedakan atas sangat positif, positif, cukup positif, negatif, dan sangat negatif. 3.5 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah angket penggunaan bahasa, tes skala sikap, pedoman wawancara, alat perekam, dan catatan lapangan. 3.5.1 Angket Penggunaan Bahasa Angket merupakan daftar pertanyaan atau pernyataan terstruktur dengan alternatif jawaban atau respon yang telah tersedia sehingga sampel tinggal memilih jawaban atau respon yang sesuai dengan kondisinya (Suyanto dan Karnaji, 2007: 60). Alternatif jawaban atau respon pada angket digunakan untuk membatasi jawaban yang dianggap relevan tanpa maksud untuk menggiring sampel ke arah yang diinginkan oleh peneliti. Dalam hal ini, pembatasan itu sangat berguna bagi pengolahan dan analisis data. Angket penggunaan bahasa yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas daftar pernyataan yang disebarkan kepada sampel untuk diisi. Daftar itu terdiri atas pernyataan-pernyataan untuk mengetahui ragam tutur/kode yang dipilih atau digunakan oleh penutur pada percakapan dengan mitra tutur terkait dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender mitra tutur. 97 Angket penggunaan bahasa yang digunakan bersifat tertutup karena jawaban sampel dibatasi oleh rangkaian pilihan yang telah ditetapkan. Respons itu terdiri atas kode Kasar (KK), kode Biasa (KB), kode Alus (KA), bahasa Indonesia (BI), dan bahasa lain (BL). Akan tetapi, pada angket istilah kode diganti dengan istilah basa/bahasa, karena sampel lebih akrab dengan istilah itu dan untuk menghindari kesalahpahaman. Angket itu diujicobakan pada beberapa sampel untuk mengecek kemungkinan pertanyaan yang dapat menimbulkan kesalahpahaman dan selanjutnya diperbaiki sehingga menghasilkan 116 pertanyaan. Pertanyaan itu dikelompokkan berdasarkan domain penggunaan bahasa sebagai berikut. (1) Domain keluarga, yang meliputi interaksi dengan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, kakak, adik dan saudara sepupu. Variasi sosial yang membedakan di domain keluarga adalah umur dan peran. (2) Domain tetangga, yang meliputi interaksi dengan peserta tutur yang tinggal berdekatan satu sama lain, dan beragam berdasarkan wangsa, umur, dan gender. (3) Domain tempat kerja, yang meliputi interaksi dengan peserta tutur atasan, rekan sejabatan, dan rekan bawahan. Peserta tutur itu diidentifikasi lebih lanjut berdasarkan wangsa, umur, dan gender. (4) Domain masyarakat, yang meliputi interaksi dengan mitra tutur triwangsa, jaba, atau yang tidak dikenal. Mitra tutur di domain masyarakat itu diidentifikasi lebih lanjut berdasarkan pekerjaan, umur, dan gender. 98 Untuk lebih jelasnya, kisi-kisi angket penggunaan bahasa dapat dilihat pada tabel 3.3. Tabel 3.3 Kisi-Kisi Angket Penggunaan Bahasa NO DOMAIN A B C D E F Keluarga Tetangga Tempat Kerja (Interaksi dengan Atasan) Tempat Kerja (Interaksi dengan Rekan Sejabatan) Tempat Kerja (Interaksi dengan Rekan Bawahan) Masyarakat (Interaksi dengan Mitra Tutur Triwangsa) Masyarakat (Interaksi dengan Mitra Tutur Jaba) Masyarakat (Interaksi dengan Mitra Tutur yang Tidak Dikenal) G H PERNYATAAN 1-14 15-26 27-38 39-50 51-62 63-80 81-98 99-116 Pada angket itu, terlihat bahwa jumlah pernyataan yang perlu direspon oleh sampel adalah 116 pernyataan. Semua pernyataan itu dikelompokkan dalam empat domain yang dalam hal ini domain ketiga dan keempat diperluas lagi masing-masing menjadi tiga domain berdasarkan identitas mitra tutur, yakni domain tempat kerja terdiri atas interaksi dengan atasan, rekan kerja sejabatan, dan rekan kerja bawahan; sedangkan domain masyarakat terdiri atas interaksi dengan mitra tutur triwangsa, mitra tutur jaba, dan mitra tutur yang tidak dikenal. Untuk lebih jelasnya, lihat lampiran 2. 3.5.2 Angket Skala Sikap Angket skala sikap digunakan untuk menjaring data mengenai sikap sampel terhadap tingkat tutur bahasa Bali yang dibedakan atas kode kasar, kode biasa, dan kode alus, sehingga sikap yang dimaksud adalah sikap terhadap kode kasar, sikap terhadap kode biasa, dan sikap terhadap kode alus. Angket skala 99 sikap itu terdiri atas pernyataan sikap, yakni rangkaian kalimat yang menyatakan sesuatu mengenai objek sikap yang akan diungkap (Azwar, 2003:106). Selanjutnya, melalui respon pada setiap pernyataan itu sikap sampel dapat ditentukan. Pendekatan yang digunakan pada angket skala sikap adalah pendekatan respon, yakni “metode pengembangan skala sikap yang tujuannya adalah meletakkan kategori respons pada titik-titik di sepanjang suatu kontinum psikologis yang telah ditetapkan” (Azwar, 2003: 125). Skala yang digunakan pada angket itu adalah skala Likert. Skala Likert yang digunakan adalah skala menyediakan variasi jawaban atau respon yang berjenjang berdasarkan tingkat kesetujuan, yakni sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), netral (N), setuju (S) dan sangat setuju (SS). Pernyataan-pernyataan sikap pada angket skala sikap tersebut diklasifikasi berdasarkan komponen sikap yang terdiri atas komponen kognitif, afektif, dan konatif. Pernyataan-pernyataan pada komponen kognitif mengandung nuansa makna percaya; pernyataan-pernyataan pada komponen afektif mengandung nuansa makna merasa; dan pernyataan-pernyataan pada komponen konatif mengandung nuansa makna kecenderungan untuk bertindak. Lihat tabel 3.4 berikut untuk lebih jelasnya. 100 Tabel 3.4 Tipe dan Kategori Respon Tipe Respon Kategori Respon Kognitif Afektif Konatif Verbal Pernyataan keyakinan mengenai objek sikap Pernyataan perasaan terhadap objek sikap Pernyataan intensi perilaku Nonverbal Reaksi perseptual terhadap objek sikap Reaksi fisiologis terhadap objek sikap Perilaku tampak sehubungan dengan objek sikap Tabel 3.4 menunjukkan bahwa ada dua tipe respon yang dapat dikumpulkan dari sampel, yakni verbal dan nonverbal. Tipe respon verbal diperoleh melalui pernyataan-pernyataan sikap yang dapat ditanggapi baik secara tertulis maupun lisan oleh sampel, sedangkan tipe respon nonverbal diperoleh melalui pengamatan terhadap sampel itu sendiri. Namun, angket skala sikap yang digunakan pada penelitian ini hanya menggunakan tipe respon verbal. Angket skala sikap yang digunakan juga terdiri atas pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan dimensi sikap bahasa itu sendiri yang terdiri atas kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Dimensi kesetiaan bahasa dicirikan oleh pernyataan-pernyataan tentang pertahanan dan kemurnian bahasa; dimensi kebanggaan bahasa dicirikan oleh pernyataan-pernyataan tentang pengembangan bahasa dan penggunaan bahasa sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat; dan dimensi kesadaran adanya norma bahasa dicirikan oleh pernyataan-pernyataan tentang penggunaan bahasa yang baik dan benar. Untuk lebih jelasnya, tabel 3.5 di bawah 101 menunjukkan kisi-kisi angket skala sikap yang dapat dilihat dengan lebih detail pada lampiran 2. Tabel 3.5 Kisi-Kisi Angket Skala Sikap Komponen Sikap Kesetiaan Bahasa KK 3,9, 12, 21 KB 2,8, 11, 20 KA 1,7, 10, 19 Afektif 52, 53 44 37 Konatif 60, 72 59, 71 58, 70 Kognitif Komponen Objek Sikap Kebanggaan Kesadaran akan Bahasa Norma KK KB KA KK KB KA 6, 5,14, 4, 29, 25, 22, 15, 17 13, 30 26, 23, 18 16 27, 24 28 49, 42, 31, 50, 43, 34, 51 45 32, 54, 46, 36, 33, 55, 47, 38, 35 56, 48 39, 57 40, 41 68, 67,7 65, 63, 61, 69, 74, 3,76 66 64 62 75, 78 77 Tabel 3.5 menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan yang terkait dengan komponen sikap, komponen objek sikap, dan ragam tingkat tutur BB diupayakan untuk seimbang atau proporsional, walaupun ada yang tidak. Pada komponen sikap kognitif pada komponen objek sikap atau dimensi kesetiaan bahasa, misalnya, terdapat empat pernyataan, yakni no. 3, 9, 12, dan 21 tentang KK; empat pernyataan, yakni no. 2,8,11, dan 20 tentang KB; dan empat pernyataan, yakni no. 1,7,10, dan 19 tentang KA. Selain itu, angket skala sikap yang disusun terdiri atas pernyataan sikap positif dan pernyataan sikap negatif. Pernyataan sikap positif merupakan pernyataan yang mendukung atau memihak objek sikap, sedangkan pernyataan sikap negatif merupakan pernyataan yang tidak mendukung atau tidak memihak 102 objek sikap. Pemaduan pernyataan sikap positif dan negatif dilakukan untuk tidak menimbulkan kesan seolah-olah isi skala seluruhnya memihak atau tidak memihak objek sikap. Selain untuk menghindari kesan itu, pemaduan pernyataan itu dapat membuat sampel untuk lebih berhati-hati dalam memberikan respon (lihat lampiran 5). 3.5.3 Alat Perekam dan Alat Pencatat Alat perekam digunakan untuk merekam percakapan yang terjadi antara informan-mitra tutur. Percakapan yang direkam itu terjadi pada peristiwa tutur yang alamiah dan dilakukan secara nonpartisipatif. Pada setiap percakapan yang direkam, peneliti tidak terlibat pada proses percakapan dan hanya berperan sebagai pengamat. Alat perekam juga digunakan pada saat terjadinya kontak langsung yang berupa cakap semuka antara peneliti-informan. Penggunaan alat perekam pada saat itu membantu peneliti untuk berfokus pada isi percakapan supaya percakapan dapat mengalir lancar. Alat perekam itu juga membantu proses transkripsi karena sangat sulit untuk mengingat suatu isi percakapan yang berlangsung lama dan mengenai topik yang spesifik. Selain alat perekam, alat pencatat juga digunakan. Alat pencatat digunakan untuk mencatat bentuk-bentuk tingkat tutur BB yang relevan melalui sumber data sekunder. Sumber data sekunder itu adalah sumber data pustaka yang menyediakan data tentang bentuk-bentuk tingkat tutur BB. Selain itu, alat pencatat juga digunakan sebagai pelengkap bagi alat perekam karena bermanfaat untuk mendokumentasikan hal-hal yang tidak dapat direkam, seperti perilaku nonverbal, 103 tanggal penyimakan, topik pembicaraan, lokasi tempat penyimakan, peserta tutur, dan nama penyimak. Selanjutnya, jika informan atau mitra tutur merasa tidak nyaman dengan keberadaan alat perekam, pencatatan lebih dipilih untuk diterapkan. Pencatatan dilakukan dengan segera tanpa kehadiran informan-mitra tutur dengan menghilangkan ungkapan-ungkapan/topik-topik tutur yang dianggap sensitif, tidak diinginkan informan, atau dapat menimbulkan kesalahpahaman. 3.5.4 Panduan Cakap Semuka Panduan cakap semuka umumnya berisi daftar pertanyaan yang sifatnya terbuka untuk memancing jawaban bebas dan selanjutnya, mendalami jawaban tersebut. Panduan cakap semuka yang diterapkan pada penelitian ini terdiri atas sejumlah pertanyaan yang berguna untuk menggali berbagai infomasi terkait dengan: (1) bentuk-bentuk BB; (2) norma penggunaan bahasa, (3) penggunaan bahasa nyata pada berbagai situasi percakapan, (4) pengunaan istilah sapaan, dan (5) Alasan-alasan pemilihan suatu kode/bahasa. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut bemanfaat bagi peneliti sebagai pembanding dan untuk memperluas temuan-temuan yang diperoleh melalui angket dan penyimakan. 104 3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menerapkan beberapa metode yang berbeda untuk mengumpulkan data terkait dengan jenis data yang dijaring, yakni metode survei, metode simak, dan metode cakap semuka. Penerapan metode yang berbeda berguna untuk mengumpulkan data yang kaya dan beragam. Pada gilirannya, itu semua bermanfaat bagi triangulasi yang berupa triangulasi metode dan data. Untuk lebih jelasnya, metode, teknik, instrumen pengumpulan data, dan sumber datanya diringkas pada tabel 3.6. Tabel 3.6 Metode, Teknik, Instrumen Pengumpulan Data, Objek dan Sumber Datanya Metode Pengumpulan Data Metode Survei Metode Simak (pengamatan) Metode Cakap Semuka (wawancara) Teknik Pengumpulan Data Teknik Angket Teknik Simak Bebas Libat Cakap Teknik Pancing Instrumen Pengumpulan Data Angket Pemakaian Bahasa Tes Skala Sikap Alat Perekam dan Catatan Lapangan Alat perekam, Catatan Lapangan dan Panduan Wawancara Objek Data Informasi atau pengakuan diri tentang penggunaan bahasa Sikap bahasa Bentuk bahasa dan Perilaku berbahasa Informasi mengenai bentuk bahasa, norma penggunaan bahasa, pilihan bahasa, alasan penggunaan bahasa, dan penggunaan istilah sapaan pada guyub tutur kota Singaraja Sumber Data Responden Responden Informan Informan Metode survei merupakan metode yang digunakan untuk menjaring informasi atau data pengakuan diri yang menyangkut sampel melalui angket. Angket yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas sejumlah pertanyaan 105 tertutup yang berarti bahwa kemungkinan jawaban (respons) yang sesuai bagi pernyataan tinggal dipilih oleh sampel dengan jalan menyentang atau menyilang. Ada dua jenis angket yang digunakan pada penelitian ini, yakni angket penggunaan bahasa dan angket skala sikap. Angket penggunaan bahasa bermanfaat untuk menjaring data tentang pilihan-pilihan kode sampel pada percakapan dengan mitra tutur yang beragam pada domain penggunaan bahasa yang beragam. Tanggapan sampel dibatasi pada pilihan-pilihan, seperti kode kasar (KK), kode biasa (KB), kode alus (KA), bahasa Indonesia (BI) dan bahasa lain (BL); dan domain penggunaan bahasa yang digunakan adalah domain keluarga atau rumah tangga; domain tetangga; domain tempat kerja yang terdiri atas interaksi dengan atasan, rekan kerja sejabatan, dan rekan kerja bawahan; dan domain masyarakat yang terdiri atas interaksi dengan mitra tutur triwangsa, mitra tutur jaba, dan mitra tutur yang tidak dikenal. Semua kelompok sampel, kecuali kelompok sampel yang berstatus pekerjaan rendah, diminta untuk menanggapi seluruh pernyataan itu berdasarkan batasan respon yang disediakan. Kelompok sampel yang berstatus pekerjaan rendah, baik triwangsa ataupun jaba, baik tua ataupun muda, baik laki-laki ataupun perempuan, secara nyata tidak memiliki bawahan sehingga mereka tidak perlu untuk merespon pernyataan pada domain tempat kerja dengan mitra tutur bawahan. Berbeda dengan angket penggunaan bahasa, angket skala sikap digunakan untuk menjaring data mengenai sikap sampel terhadap tingkat tutur bahasa Bali yang dibedakan atas kode kasar, kode biasa, dan kode alus, sehingga sikap yang 106 dimaksud adalah sikap terhadap kode kasar, sikap terhadap kode biasa, dan sikap terhadap kode alus. Selain itu, angket yang digunakan juga bersifat tertutup karena respon yang diharapkan dari sampel sudah ditentukan atau dibatasi, yakni sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), netral (N), setuju (S), dan sangat setuju (SS). Oleh sebab itu, tanggapan sampel terhadap angket didasarkan pada kemungkinan respon yang disediakan. Angket ditanggapi dan diisi oleh sampel melalui satu dari dua cara berikut. Bagi sampel yang bisa memahami isi daftar pertanyaan pada angket diberikan kesempatan untuk menjawab sendiri tanpa intervensi. Akan tetapi, bagi sampel yang tidak bisa memahami isi daftar pertanyaan, pertanyaan-pertanyaan angket itu dibacakan, dijelaskan, dan dibantu untuk mencentangkan. Cara itu disebut dengan wawancara langsung. Setelah metode survei selesai, peneliti menerapkan metode simak dengan teknik simak bebas libat cakap untuk mengumpulkan data percakapan pada guyub tutur Kota Singaraja. Metode simak dengan teknik simak bebas libat cakap diterapkan dengan dasar pemikiran bahwa perilaku berbahasa terjadi pada situasi yang sebenarnya atau pada latar alamiah dengan konteks tutur yang lengkap. Metode itu berguna untuk menjaring data tentang bentuk bahasa dan perilaku berbahasa melalui percakapan antara penutur-mitra tutur tanpa intervensi (nonpartisipasi) peneliti. Peneliti sengaja hanya berperan sebagai pengamat untuk menjaga kealamiahan data. Metode simak dengan teknik simak bebas libat cakap itu dibantu dengan teknik lanjutan yang berupa teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam yang 107 diterapkan dengan bantuan alat perekam bermanfaat untuk merekam tutur bahasa ketika informan-mitra tutur bercakap-cakap pada situasi yang sebenarnya. Sementara itu, teknik catat bermanfaat untuk merekam perilaku-perilaku berbahasa yang tidak bisa terekam dan untuk mengisi lembar penyimakan (lihat 3.5.3). Selain itu, pada situasi ketika teknik rekam tidak memungkinkan, misalnya, salah satu peserta tutur tidak mau atau tidak merasa nyaman untuk direkam, maka peneliti hanya menerapkan teknik catat. Pencatatan dilakukan segera setelah suatu percakapan berakhir di luar kehadiran informan-mitra tutur dan dengan menghilangkan ungkapan-ungkapan atau pokok-pokok pembicaraan yang dianggap sensitif dan tidak diinginkan oleh informan-mitra tutur. Setelah metode simak selesai, peneliti selanjutnya menerapkan metode cakap semuka dengan teknik dasar pancing. Penerapan metode itu menyaratkan terjadinya kontak langsung, baik berupa percakapan ataupun tanya jawab antara peneliti-informan. Percakapan atau tanya jawab yang dilakukan dipandu oleh sejumlah pertanyaan yang disusun oleh peneliti (lihat 3.5.4) dan disebut dengan teknik dasar pancing. Selain itu, percakapan atau tanya jawab tersebut dilakukan dengan menggunakan bahasa sasaran, yakni bahasa Bali. Hal itu dimungkinkan karena peneliti juga bisa menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pertama. Karena metode cakap semuka dengan teknik dasar pancing ini diharapkan untuk dapat mengumpulkan dua jenis data, yakni data kebahasaan dan data sosiolinguistik, maka dua teknik berbeda diterapkan. Untuk mengumpulkan data kebahasaan teknik lanjutan bawahan perluas digunakan. Teknik lanjutan bawahan ini digunakan untuk mengkaji perbedaan-perbedaan bentuk kode antara kode 108 kasar, kode biasa, dan kode alus. Dengan teknik lanjutan bawahan perluas, peneliti meminta informan untuk menemukan bentuk lain yang menjadi sandingan bagi bentuk awal yang telah diperoleh melalui teknik pancing. Bentuk sandingan itu memiliki makna atau informasi yang sama dengan bentuk awalnya, walaupun jumlah unsur lingualnya dapat saja lebih. Konsep perluas itu sendiri bermakna bertambahnya jumlah data (bentuk) yang makna atau informasinya sama dengan data awal. Untuk mengumpulkan data sosiolinguistik metode cakap semuka dengan teknik dasar pancing yang diterapkan adalah berupa in depth interview ‘percakapan mendalam’. Metode yang diterapkan ini bersifat deskriptif dan eksplanatoris karena selain menggali informasi tentang fakta atau fenomena sosiolinguistik, peneliti juga berupaya untuk menggali informasi yang kiranya dapat menjelaskan munculnya fakta atau fenomena tersebut. Selain itu, peneliti juga melengkapi penerapan metode cakap semuka dengan teknik rekam dan teknik catat. Itu berarti selama percakapan, peneliti melakukan rekaman terhadap penggunaan bahasa dan mencatat perilaku-perilaku berbahasa yang tidak terekam. Sebagai tambahan, peneliti juga menerapkan metode dokumentasi atau metode pustaka yang dilakukan untuk memeriksa dan mengkaji tentang bentuk-bentuk tingkat tutur BB dalam berbagai sumber tulis. 3.7 Metode Analisis Data Metode analisis data merupakan cara yang digunakan untuk menyederhanakan data menjadi bentuk yang mudah dibaca dan dimaknai. Metode 109 analisis data yang diterapkan pada penelitian ini adalah metode analisis kuantitatif dan kualitatif. Metode analisis kuantitatif diterapkan pada data yang berwujud angka yang diperoleh melalui penerapan metode survei, sedangkan metode analisis kualitatif diterapkan pada data yang berwujud nonangka, yakni tutur bahasa, kalimat, atau percakapan yang diperoleh melalui penerapan metode simak dan metode cakap. 3.7.1 Metode Analisis Data Kuantitatif Sebelum kalkulasi statistik deskriptif diberlakukan pada data yang diperoleh melalui angket, peneliti terlebih dahulu mengerjakan langkah-langkah persiapan yang meliputi (1) pemeriksaan data, (2) pembuatan kode, (3) penyederhanaan data, dan (4) mengode data. Pada tahap pemeriksaan data, angket yang telah dikumpulkan diperiksa terkait dengan lengkap-tidaknya pengisian jawaban, kejelasan tulisan (jawaban), relevansi jawaban, dan konsistensi kesesuaian antarjawaban. Apabila hal-hal itu belum dipenuhi, peneliti melakukan pengecekan ulang terhadap sampel agar jawaban yang diberikan memuaskan untuk dianalisis. Pada tahap pembuatan kode, peneliti diharapkan membuat semacam kode atau penomeran terkait dengan pertanyaan, dan jawaban pada angket dengan jalan mengklasifikasi pertanyaan-pertanyaan, jawaban-jawaban, kelompok sampel, dan selanjutnya mempersiapkan kode yang sesuai. Akan tetapi, itu semua sesungguhnya sudah dilakukan sejak awal karena angketnya bersifat tertutup atau terstruktur. Penggunaan angket yang terstruktur juga mempermudah pelaksanaan 110 tahap penyederhanaan dan pengodean data karena data yang diperoleh sesungguhnya sudah sederhana dan terkode sejak awal. Setelah persiapan selesai, langkah-langkah analisis dilakukan. Pada hasil angket penggunaan bahasa, langkah pertama yang diambil adalah mentabulasi tiap pilihan kode/bahasa sampel secara perorangan, perkelompok, dan selanjutnya, perwangsa. Kemudian, data direkap melalui tabel frekuensi. Setelah tabel frekuensi dibuat, nilai frekuensi itu dikonversi menjadi persentase dengan perhitungan berikut. Jumlahsampelyangmemilihsuatukode × 100% Jumlahsampelyangmemilih Terakhir, persentase yang diperoleh diberikan interpretasi untuk mempermudah pemaparan dan sekaligus juga untuk mengetahui tingkat kekuatan persentase itu. Interpresi itu diberikan berdasarkan kategori kontinum dari sangat tinggi ke sangat rendah sebagai berikut: 81 -100 Sangat tinggi 61 – 80 Tinggi 41 – 60 Cukup tinggi 21 – 40 Rendah 0 – 20 Sangat rendah Pada perbandingan antara persentase penggunaan kode, ditetapkan kriteria sebagai berikut: (1) Jika dua atau lebih persentase yang diperbandingkan tidak menunjukkan perbedaan persentase, perbedaan itu dianggap tidak signifikan. 111 (2) Jika dua atau lebih persentase yang diperbandingkan hanya menunjukkan perbedaan persentase, tetapi tidak menunjukkan perbedaan kategori, perbedaan itu dianggap kurang signifikan. (3) Jika dua atau lebih persentase yang diperbandingkan menunjukkan perbedaan kategori, perbedaan itu dianggap signifikan. Berbeda dengan langkah analisis data hasil angket penggunaan bahasa, pada data hasil tes skala sikap peneliti terlebih dahulu menentukan arah atau sifat pernyataan sikap untuk menentukan skor sikap secara kuantitatif. Pada pernyataan positif, jawaban sangat setuju diskor 5, setuju 4, netral 3, tidak setuju 2, dan sangat tidak setuju 1. Sebaliknya, pada pernyataan negatif, jawaban sangat tidak setuju diskor 5, tidak setuju 4, netral 3, setuju 2, dan sangat setuju 1. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel 3.7. Tabel 3.7 Konversi Kuantitatif Angket berdasarkan Sifat Pernyataannya Pernyataan Positif Sangat Setuju Setuju Netral Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju Pernyataan Negatif = = = = = 5 4 3 2 1 Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Netral Setuju Sangat Setuju = = = = = 5 4 3 2 1 Data hasil tes skala sikap itu selanjutnya direkap dengan memerhatikan komponen sikap dan objek sikap bahasa melalui penerapan langkah-langkah berikut: 112 (1) Misalnya, dari 100 sampel yang merespon ditemukan distribusi sebagai berikut. Menjawab Menjawab Menjawab Menjawab Menjawab 5 4 3 2 1 = = = = = 20 30 10 40 10 (2) Maka, akan dihitung sebagai berikut. jumlah skor untuk 20 sampel menjawab 5 jumlah skor untuk 30 sampel menjawab 4 jumlah skor untuk 10 sampel menjawab 3 jumlah skor untuk 40 sampel menjawab 2 jumlah skor untuk 10 sampel menjawab 1 jumlah skor jumlah ideal untuk item tersebut = 5 x 100 jumlah skor terendah = 1 x 100 = = = = = = = = 10 12 30 80 10 34 50 10 (3) Skor diposisikan dalam respon angket dan ditemukan bahwa skor tersebut terletak diantara netral dan setuju. (4) Skor tersebut dikonversikan ke dalam bentuk persentase melalui cara berikut. 340 500 100% 68% (5) Persentase tersebut diposisikan pada rentang persentase melalui cara berikut. (6) Selanjutnya, berdasarkan posisi tersebut dan dengan memperhatikan kategori interpretasi skor berikut disimpulkan bahwa persentase itu berada 113 pada kategori cukup positif. Kategori interpretasi skor yang digunakan adalah sebagai berikut: 81-100 Sangat positif 61- 80 Positif 41- 60 Netral (cukup positif) 21- 40 Negatif 20 Sangat negatif (7) Terakhir, perbandingan antara persentase sikap, baik antarkode maupun antarkomponen, dilakukan dengan menerapkan kriteria yang sama seperti pada penggunaan kode. 3.7.2 Metode Analisis Data Kualitatif Data kualitatif pada penelitian ini diperoleh melalui metode pustaka, selain metode simak dan metode cakap semuka. Metode pustaka digunakan untuk menjaring data tentang bentuk-bentuk tingkat tutur BB; metode simak menjaring data yang berwujud percakapan antara informan-mitra tutur; dan metode cakap semuka menjaring data mengenai fakta, data, dan opini kebahasaan informan terkait dengan penggunaan bahasa pada guyub tutur Kota Singaraja. Analisis data kualitatif diterapkan dengan mengikuti langkah-langkah yang telah dikembangkan oleh Huberman dan Miles (dalam Faisal, 2003:69) yang ditunjukkan pada gambar 3.1 berikut. 114 Gambar 3.1 Prosedur Analisis Data Kualitatif Gambar 3.1 menunjukkan bahwa data yang telah dikumpulkan direduksi terlebih dahulu. Kegiatan reduksi melibatkan langkah-langkah memilah, dan mengelompokkan data menjadi pola-pola, tema-tema, atau kategori-kategori tertentu. Hasil reduksi data tersebut selanjutnya diorganisasikan untuk ditayangkan menjadi suatu bentuk yang utuh. Tayangan data tersebut berguna bagi upaya penarikan dan verifikasi kesimpulan. Proses itu yang memadukan proses pengumpulan dan analisis data tidak berlangsung secara linear, tetapi melingkar dan bersiklus. Data percakapan antara informan-mitra tutur dianalisis melalui metode padan intralingual dengan menghubung-bandingkan satuan-satuan lingual/katakata yang digunakan pada percakapan secara sintagmatik dan paradigmatik. Metode itu dilengkapi dengan penerapan teknik hubung banding menyamakan (HBS), dan hubung banding membedakan (HBB) seperti tercermin pada istilah padan itu sendiri. Selanjutnya, teknik hubung banding menyamakan hal pokok (HBSP) diterapkan untuk mencari kesamaan pokok dari hasil HBS dan HBB yang merupakan tujuan akhir proses menghubung-bandingkan. 115 Metode padan intralingual diterapkan dengan memperhatikan klasifikasi tingkat tutur bahasa Bali. Klasifikasi itu adalah kode kasar, kode biasa, kode alus, dan bahasa Indonesia. Pertimbangan pertama yang digunakan untuk menentukan kode penggunaan bahasa adalah dengan membandingkan jumlah level kata/kruna pada setiap kalimat/ucapan. Suatu kalimat yang memiliki walaupun hanya satu kata berlevel alus dianggap berkode alus. Dalam hal ini, semakin banyak kruna alus pada suatu kalimat/kode, semakin alus-lah kalimat/kode itu. Jika suatu kalimat/kode hanya terdiri atas kata biasa, maka kalimat/kode itu dianggap berkode biasa. Akan tetapi, keberadaan satu saja kata kasar pada kalimat yang mayoritas katanya berlevel alus atau biasa membuat kalimat itu dianggap berkode kasar. Hasil cakap semuka atau wawancara juga dikelompokkan menjadi polapola, kategori-kategori, atau tema-tema berdasarkan respons yang dibuat informan terkait dengan pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Respons beragam terkait dengan pertanyaan mengenai norma penggunaan kode alus, misalnya, diklasifikasikan, dan dikategorikan berdasarkan respons yang diberikan. Respons yang sama dikelompokkan pada klasifikasi yang sama dan respons yang berbeda dikelompokkan pada klasifikasi yang berbeda. Hal yang sama juga diterapkan pada respons-respons lain yang dianggap relevan dengan pertanyaan yang diberikan. Respons-respons itu selanjutnya dikaitkan dengan kode tutur yang digunakan selama percakapan dan juga data angket melalui metode padan ekstralingual. Metode padan ekstralingual bermanfaat untuk menghubung- 116 bandingkan unsur-unsur lingual dengan unsur-unsur ekstralingual, seperti konteks tuturan, identitas penutur-mitra tutur dan sebagainya. Teknik yang diterapkan pada metode itu sama dengan teknik pada metode padan intralingual, yakni HBS, HBB dan HBSP, hanya saja teknik itu diterapkan secara ekstralingual. 3.8 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan menggabungkan metode formal dan metode informal. Metode formal dilakukan dengan penggunaan tandatanda atau lambang-lambang, misalnya tanda asteris (*) yang digunakan untuk menyatakan bahwa bentuk lingual itu tidak gramatikal atau tidak berterima, atau tanda anak panah datar ( ) yang digunakan untuk menunjukkan perubahan dari satu bentuk lingual ke bentuk yang lain. Selain itu, lambang-lambang yang berupa singkatan juga digunakan pada penelitian ini seperti berikut: BB : Bahasa Bali BI : Bahasa Indonesia BJ : Bahasa Jawa BL : Bahasa Lain KK : Kode Kasar KB : Kode Biasa KA : Kode Alus Selanjutnya, metode informal diterapkan dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis. BAB IV TINGKAT TUTUR BAHASA BALI 4.1 Pengantar Bab ini membahas hal-hal yang dianggap penting terkait dengan tingkat tutur BB. Pada subbab 4.2 dibahas tentang bentuk tingkat tutur BB yang meliputi tata bentuk kata dan kalimat dan selanjutnya, pada subbab 4.3 dibahas tentang bentuk kode BB yang digunakan pada guyub tutur Kota Singaraja. 4.2 Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Bali Unsur pembentuk tingkat tutur BB adalah kata BB yang pada prinsipnya sudah memiliki tingkatan atau oleh Geertz (1979) disebut sebagai bermakna ‘status’. Hal itu berarti bahwa kosakata BB dicirikan oleh bentuk-bentuk leksikal yang bermakna sama, tetapi memiliki tingkatan yang berbeda. Fakta itu menunjukkan bahwa pada BB, terdapat alternasi leksikal atau hubungan paradigmatik atau substitusional yang unik, yakni hubungan antara seperangkat unsur kata yang bermakna sama dan berdistribusi sama secara sintagmatik, tetapi berbeda level, sehingga tidak dapat saling dipertukarkan secara sembarang dalam kalimat. Selain itu, kata-kata BB juga bisa dijalin satu sama lain di dalam suatu hubungan kookuransi atau sintagmatik khusus karena hubungan itu bersifat intralevel dependency. Hal itu berarti bahwa kata-kata yang dapat dipadukan atau dijalin secara kookuransi adalah kata-kata yang berada pada tingkat tutur yang 117 118 sama atau konsisten satu sama lain menurut norma yang berlaku. Selanjutnya, bentuk tingkat tutur bahasa Bali dipaparkan berikut ini. 4.2.1 Kata Kata merupakan satuan bahasa yang terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem, dan yang dapat berdiri sendiri (Kridalaksana, 1993). Dalam hal ini, tingkat tutur kata BB secara rinci dibedakan atas enam tingkat, yakni (1) kata alus singgih, (2) kata alus sor, (3) kata alus madia, (4) kata alus mider, (5) kata biasa, dan (6) kata kasar (lihat 2.3.2.1). Berikut adalah paparan mengenai tingkattingkat kata itu. 4.2.1.1 Kata Alus Singgih Kata alus singgih adalah kata alus yang memiliki nilai rasa yang sangat tinggi. Kata itu digunakan pada percakapan dengan mitra tutur yang berwangsa lebih tinggi atau pantas untuk dihormati. Kata alus singgih digunakan untuk merujuk sifat, perilaku, milik, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan mitra tutur dengan tujuan untuk meninggikannya. Contoh: SEDA BAKTA SAMETON MANTUK PUSER MOBOT MAKAYUN PRABU RAMBUT PUTRA ‘wafat’ ‘bawa’ ‘keluarga’ ‘pulang’ ‘pusar’ ‘hamil’ ‘ingin’ ‘kepala’ ‘rambut’ ‘anak’ 119 PARAB GERIA, PURI, JERO IDA WIKAN NGRAYUNANG ‘nama’ ‘rumah’ ‘beliau’ ‘pandai’ ‘makan’ 4.2.1.2 Kata Alus Sor Kata alus sor adalah kata alus yang digunakan untuk merendahkan diri pada percakapan dengan mitra tutur yang berwangsa lebih tinggi atau pantas untuk dihormati. Kata itu ditujukan untuk merujuk sifat, perilaku, milik, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan penutur itu sendiri. Jumlah kata alus sor BB cukup banyak. Contoh: PADEM BUAT BUDAL WASTA AJENGAN URIP MANAH PEDIH MATUR MIRAGI TAMBET MAKEBOTAN MASOMAH NGLUNGSUR SIREP TUNAS NDEWEK IPUN ‘mati’ ‘bawa’ ‘pulang’ ‘nama’ ‘makanan’ ‘hidup’ ‘pikiran’ ‘marah’ ‘berkata’ ‘mendengar’ ‘belog’ ‘buang air besar’ ‘bersuami/beristri’ ‘makan’ ‘tidur’ ‘minta’ ‘sendiri’ ‘dia’ 4.2.1.3 Kata Alus Madia Kata alus madia merupakan kata alus yang memiliki nilai rasa alus di tengah-tengah atau sedang. Kata itu terdiri atas kata alus madia asli dan sejumlah 120 kata lain yang merupakan bentuk pendek dari kata alus singgih atau alus sor. Jumlah kata alus madia sangatlah terbatas. Contoh kata alus madia: DERENG DERIKA DERIKI MANGKIN ENGGIH AJENG SIREP MERIKI MERIKA SIRAH, DUUR KENAPI ‘belum’ ‘di sana’ ‘di sini’ ‘sekarang’ ‘ya’ ‘makan’ ‘berangkat’ ‘kemari’ ‘kesana’ ‘kepala’ ‘kenapa’ Contoh kata alus madia yang berupa bentuk pendek dari kata alus singgih atau alus sor: TIANG dari TITIANG NIKI dari PUNIKI NIKA dari PUNIKA AMPUN dari SAMPUN NAPI dari PUNAPI SIRA dari SAPASIRA TEN dari NENTEN ‘saya’ ‘ini’ ‘itu’ ‘sudah’ ‘apa’ ‘siapa’ ‘tidak’ 4.2.1.4 Kata Alus Mider Kata alus mider ialah satu-satunya kata alus yang ada untuk menggambarkan suatu konsep tertentu dan hadir untuk melengkapi kekurangan kata alus. Dengan kata lain, kata alus mider tidak memiliki alternasi leksikal alus pada tingkat tutur kata alus yang lainnya. Istilah alus mider yang berarti ‘berputar’ dipergunakan karena kata-katanya dapat digunakan pada kalimat alus mana pun, baik pada kalimat alus singgih, alus sor, maupun alus madia. Selain itu, kata alus mider BB mempunyai jumlah kata yang cukup banyak. 121 Contoh: RAUH ELING PATUT TAMBET AYAM GELIS PUPUT CENDEK RARIS WANGUN AGENG ALIT LALI JINAH ‘datang’ ‘ingat’ ‘benar’ ‘belog’ ‘ayam’ ‘lekas’ ‘selesai’ ‘bawak’ ‘lalu’ ‘bentuk’ ‘besar’ ‘kecil’ ‘lupa’ ‘uang’ 4.2.1.5 Kata Biasa Menurut Suarjana (2008), Suwija (2005), dan Tinggen (1991), kata biasa memiliki rasa netral karena kata itu tidak memiliki nilai rasa alus maupun kasar, tetapi di antaranya. Mungkin karena rasa netral itulah yang membuat tingkat tutur itu kerap dilabeli sebagai tingkat tutur biasa, meskipun ada juga ahli yang tidak sepakat. Selain itu, kata-kata biasa dapat digunakan pada pembentukan kalimat alus, biasa, ataupun kasar. Contoh: aampin aba abulih agem alap beling braya cening cunguh embok repot canggah kenyih ‘seikat’ ‘bawa’ ‘sebiji’ ‘gaya, penampilan’ ‘petik’ ‘hamil’ ‘keluarga’ ‘nak’ ‘hidung’ ‘kakak perempuan’ ‘sibuk’ ‘cabang kayu’ ‘tidak tahan’ 122 guyu mendep aji desa jegjeg kepung keris, kadutan miik teken pelih tatu polo pesu uwa ‘olok-olok’ ‘diam’ ‘ilmu’ ‘desa’ ‘tegak lurus’ ‘kejar’ ‘keris’ ‘harum’ ‘oleh’ ‘salah’ ‘luka’ ‘otak’ ‘keluar’ ‘paman/bibi’ 4.2.1.6 Kata Kasar Kata kasar merupakan kata yang memiliki rasa kasar. Kata kasar umumnya digunakan untuk meluapkan rasa kesal, marah, atau jengkel terhadap seseorang atau sesuatu. Selain itu, kata kasar juga terkadang digunakan pada percakapan akrab atau intim di antara sesama jaba. Contoh: TENDAS KELENG LEKLEK, TIDIK BANGKA LENGEH NANI SIGA MEMELUD POLONNE BELER CICING IBA ‘kepala’ ‘kurang ajar’ ‘makan’ ‘mati’ ‘bodoh’ ‘kamu laki-laki’ ‘kamu perempuan’ ‘tidur’ ‘otak’ ‘kurang ajar’ ‘anjing’ ‘kau’ 4.2.2 Bentuk Alus Bentuk alus perlu dibedakan dengan kata alus (Fernandez, dkk, 1993: 85) karena bentuk alus diperoleh atau diturunkan dari kata yang lain –baik kata biasa 123 maupun kata alus— melalui proses fonologis atau morfologis. Bentuk alus ARI ‘adik’, misalnya, dibentuk dari kata biasa adi melalui proses fonologis. Secara fonologis, terdapat sekelompok bentuk alus yang dapat diperoleh melalui proses penggantian, penghilangan, atau penambahan fonem. Sebaliknya, secara morfologis terdapat sekelompok bentuk alus yang dapat diperoleh melalui penggantian, penghilangan, atau penambahan suku kata. 4.2.2.1 Proses Fonologis Proses fonologis yang terjadi adalah berupa penggantian, pengurangan atau penambahan salah satu fonem, baik konsonan maupun vokal, dari kata asal. Melalui cara tersebut, selanjutnya, diperoleh tingkat kata yang berbeda dengan kata asal. Berikut adalah contoh kata-kata yang diperoleh melalui proses fonologis. A. Proses fonologis yang menghasilkan kata biasa dan kata alus madia Biasa babi abu bangunan bani bates batu balik adi padi idung don di pedanda medem ruruh rungu - Alus madia Makna BAWI AWU WANGUNAN WANI WATES WATU WALI ARI PARI IRUNG RON RI PERANDA MEREM REREH RENGA ‘babi’ ‘abu’ ‘bangunan’ ‘berani’ ‘batas’ ‘batu’ ‘kembali’ ‘adik’ ‘padi’ ‘hidung’ ‘daun’ ‘di’ ‘pendeta’ ‘tidur’ ‘mencari’ ‘peduli’ 124 musuh patuh anggo takon reko konkon penganggo paum tuun siam jawa lama marga kuna orta negara upama - MESEH PATEH ANGGE TAKEN REKE KENKEN PENGANGGE PARUM TURUN SIRAM JAWI LAMI MARGI KUNI ORTI NEGARI UPAMI ‘musuh’ ‘sama’ ‘pakai’ ‘tanya’ ‘konon’ ‘suruh’ ‘pakaian’ ‘rapat’ ‘turun’ ‘siram’ ‘jawa’ ‘lama’ ‘jalan’ ‘kuno’ ‘kabar’ ‘negara ‘contoh’ B. Proses fonologis yang menghasilkan kata alus madia dan alus singgih Alus madia AKAH PAGEH TIKEH KAHANG NATAH PASIH SUNGGUH LUNGGUH DĒRĒNG CĒLĒNG - Alus singgih Makna AKAR PAGAR TIKER KARANG NATAR PASIR SINGGIH LINGGIH DURUNG CULUNG ‘akar’ ‘pagar’ ‘tikar’ ‘karang’ ‘pekarangan’ ‘pasir’ ‘hormat’ ‘tempat duduk’ ‘belum’ ‘celeng’ 4.2.2.2 Proses Morfologis Proses morfologis yang terjadi adalah berupa penggantian silabel atau penambahan silabel. Cara ini juga dapat menghasilkan suatu kata lain yang berbeda level dengan kata asalnya. Berikut adalah kata-kata yang dihasilkan melalui proses morfologis. 125 A. Proses morfologis yang menghasilkan kata biasa dan kata alus madia Biasa sandikala sengkala kalan - Alus madia SANDIKAON SENGKALA KAON Makna ‘senja’ ‘celaka’ ‘kalah’ B. Proses morfologis yang menghasilkan kata alus madia dan kata alus singgih Alus madia KARI SESARI AYU MAJU DERIKA DERIKI NIKI NIKA NAPI - Alus singgih KANTUN SESANTUN AJENG MAJENG IRIKA IRIKI PUNIKI PUNIKA PUNAPI Makna ‘sedang’ ‘inti’ ‘cantik’ ‘maju’ ‘di sana’ ‘di sini’ ‘ini’ ‘itu’ ‘apa’ 4.2.3 Pronomina Bagus (1979) mengungkapkan pronomina merupakan bagian yang sangat penting bagi penentuan tingkat tutur BB. Shadeq (1977) bahkan menggunakan acuan pronomina persona ketiga sebagai dasar bagi klasifikasi TTBB, yaitu; ia, ipun, dan ida. Pronomina ialah kata yang menggantikan nomina atau frase nomina (Kridalaksana, 1993). Pronomina berfungsi sebagai penyapa, atau pengacu. Nomina meme ‘ibu’, bapa ‘bapak’, pekak ‘kakek’ atau dadong ‘nenek’ dapat disapa, atau diacu dengan pronomina ia ‘dia’ untuk kata biasa, IPUN untuk kata alus madia, dan IDA untuk kata alus. Karena pronomina menggantikan posisi nomina, pronomina memiliki fungsi yang sama dengan posisi nomina yang digantikan, yakni subjek atau objek. BB memiliki tiga jenis pronomina, yaitu: pronomina persona, pronomina penunjuk, dan pronomina penanya. 126 4.2.3.1 Pronomina Persona Pronomina persona merupakan pronomina yang digunakan untuk menggantikan nomina orang. Pronomina persona bisa mengacu kepada orang yang berbicara atau diri sendiri/pronomina persona pertama, mitra tutur/pronomina persona kedua atau orang yang dibicarakan/pronomina persona ketiga. Pronomina itu bisa juga tunggal atau plural mengikuti nomina yang digantikan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel 4.1 berikut uraian yang mengikutinya. Tabel 4.1 Pronomina Persona Tunggal dan Plural Bahasa Bali Persona Pertama Kedua Ketiga Alus TITIANG TIANG JERONE RAGANE IDA IPUN DANE Tunggal Biasa icang I dewek Kasar Alus AKE AWAKE IRAGA cai nyai - - ia - IDA SARENG SAMI Plural Biasa Kasar - - - CAI PADA NYAI PADA - - A. Pronomina Persona Pertama Pronomina persona pertama merupakan pronomina persona yang paling detail jika dibandingkan dengan pronomina persona kedua dan ketiga. Kata aku bisa diwujudkan menjadi TITIANG, TIANG, I cang, I dewek, manira, AKE, dan AWAKE. TITIANG merupakan bentuk yang paling halus dan digunakan penutur untuk menyatakan hormat yang setinggi-tinggi kepada mitra tutur dengan jalan merendahkan diri serendah-rendahnya. Kata TITIANG umumnya hanya digunakan bersama dengan kata-kata alus saja, tetapi jika selanjutnya diikuti oleh kata-kata 127 yang kurang halus entah karena kurangnya perbendaharaan kata atau karena terbawa perasaan ramah tamah, penutur tetap bisa dianggap sangat hormat. (1) TITIANG AKEH NUNAS lungsuran. ‘Saya banyak meminta hasil persembahan’ Kalimat (1) merupakan kalimat alus sor yang dibentuk oleh pronomina pertama TITIANG dan kata NUNAS yang merupakan kata alus sor; kata alus mider AKEH; dan kata biasa lungsuran. TIANG merupakan bentuk pendek pronomina persona kedua TITIANG. Pemendekan seperti itu lazim terjadi pada BB untuk sedikit menurunkan rasa halus kata asal sehingga bentuk TIANG kurang alus daripada kata TITIANG. (2) TIANG MANGKIN NGAJENG. ‘Saya sekarang makan’ Kalimat (2) merupakan kalimat alus madia yang semua katanya berasal dari kata alus madia. Pronomina icang dan I dewek merupakan pronomina persona biasa dan lazim digunakan bersama-sama dengan kata-kata biasa. Sebaliknya, AKE atau AWAKE merupakan pronomina persona kasar dan lazim digunakan bersamasama dengan kata-kata biasa/kata-kata kasar. (3a) (3b) (3c) Icang medaar malu. AKE medaar malu. AWAKE medaar malu. ‘Saya makan dulu’ Kalimat (3a-c) pada pokoknya menggunakan kata yang sama, kecuali pada pronominana. Penggunaan pronomina icang pada (3a) menjadikan kalimat itu sebagai kalimat biasa. Sebaliknya, penggunaan pronomina AKE dan AWAKE pada (3b) menjadikan kalimat itu sebagai kalimat kasar. 128 Selain itu, terdapat juga pronomina persona pertama yang lainnya, seperti gelahe, manira, atau nira. Gelahe lazim digunakan oleh seorang raja pada zaman dahulu untuk mengacu pada dirinya. Sebaliknya, Manira atau nira lazim digunakan oleh raja, dewa, atau pesuruh dewa untuk mengacu pada dirinya. Untuk pronomina persona pertama plural, kata yang umum digunakan adalah IRAGA ‘kita/kami’. Pronomina ini dapat bersifat inklusif meliputi penutur, mitra tutur, dan pihak lain yang sepihak, atau ekslusif yang meliputi penutur dan pihak lain yang sepihak, kecuali mitra tutur. Contoh (4) menunjukkan penggunaan IRAGA. (4) IRAGE lakar mancing be di tukade bareng-bareng Kalimat (4) dapat diartikan sebagai: (4a) (4b) Kita akan memancing ikan di sungai bersama-sama Kami akan memancing ikan di sungai bersama-sama Meskipun demikian, IRAGA tidak dapat dipergunakan untuk berbicara kepada orang yang sangat dimuliakan karena penggunaan itu menyiratkan bahwa penutur memosisikan diri sejajar dengan orang yang dimuliakan tersebut. Umumnya, ia akan menggunakan bentuk lain, yaitu I GUSTI SARENG TITIANG ‘Si Gusti dengan saya’ atau DAYU SARENG TITIANG ‘Si Dayu dengan saya’. B. Pronomina Persona Kedua Bentuk pronomina persona kedua JERONE dan RAGANE ‘kamu’ merupakan bentuk yang alus singgih yang digunakan untuk menyapa mitra tutur. JERONE atau RAGANE lazimnya digunakan bersama-sama dengan kata alus singgih, kata alus madia, dan kata alus mider. 129 (5) JERONE (RAGANE) SAKING NAPI NIKA? ‘Anda dari mana ya?’ Kalimat (5) dibentuk oleh kata alus singgih JERONE/ RAGANE; kata alus mider SAKING, dan NAPI; serta kata alus madia NIKA. Namun, kata CAI dan NYAI merupakan bentuk pronomina persona kedua kasar. Kata CAI ditujukan untuk mitra tutur laki-laki, sedangkan kata NYAI untuk mitra tutur perempuan. Bentuk itu lazim digunakan bersama dengan kata-kata biasa/kata-kata kasar. Selain itu, kedua pronomina itu dapat digunakan oleh orang yang berkedudukan sosial lebih tinggi (lebih tua) kepada yang berkedudukan lebih rendah (lebih muda). (6) Cai (nyai) be medaar? ‘Kamu sudah makan?’ Kalimat (6) merupakan kalimat kasar yang dibentuk oleh kata kasar CAI, dan kata biasa be serta medaar. Sebagai tambahan, pronomina persona kedua jamak tidak ada di dalam Bahasa Bali. Akan tetapi, untuk mengacu kepada keadaan tersebut numeralia biasanya ditambahkan di belakang bentuk tersebut yang menjadikan frasa pronominal, misalnya, JERONE SAMI, RAGANE SAMI, CAI PADA, dan NYAI PADA ‘kamu semua’ C. Pronomina Persona Ketiga IDA dan DANE merupakan bentuk pronomina persona ketiga yang tergolong kata alus singgih, IPUN tergolong kata alus sor, sedangkan ia tergolong kata biasa. IDA dan DANE lazimnya digunakan untuk mengacu kepada orang ketiga triwangsa dan pantas untuk dihormati, baik oleh penutur triwangsa ataupun jaba. IPUN digunakan oleh penutur untuk mengacu kepada orang ketiga yang 130 berwangsa atau berposisi lebih rendah daripada mitra tutur. Sementara itu, ia digunakan untuk saling mengacu kepada orang ketiga di antara penutur jaba. (7a) (7b) (7c) IDA DURUNG METANGI IPUN DURUNG BANGUN Ia konden bangun ‘Beliau (dia) belum bangun’ Pada (7a) pronomina ketiga IDA diikuti oleh kata alus singgih METANGI; dan kata alus mider DURUNG. Pada (7b) ipun diikuri oleh kata alus mider DURUNG dan kata biasa bangun. Sementara itu, pada (7c) ia diikuti oleh kata biasa konden dan bangun. Tidak berbeda dengan pronomina persona kedua, pronomina persona ketiga juga tidak memiliki bentuk plural sehingga numerelia lazim ditambahkan untuk mengacu kepada orang ketiga plural. Misalnya, IDA SARENG KALIH ‘beliau berdua’ atau IDA SARENG SAMI ‘mereka semua’. 4.2.3.2 Nomina Sapaan Sebagai Pengganti Pronomina Persona Pronomina persona kedua dan ketiga tidak cukup untuk mengungkapkan perbedaan hierarkis social dan identitas sosial penutur BB secara tepat karena kerumitan sistem wangsa dan gelar di Bali. Oleh karena itu, perangkat nomina sapaan yang lain juga berkembang dan disebut dengan nomina sapaan sebagai pengganti pronomina persona. Geertz (1973) mengungkapkan bahwa ada enam label yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi seorang anggota masyarakat di Bali, yakni (1) nama diri, (2) nama urut lahir, (3) istilah kekerabatan, (4) teknonim, (5) gelar status/wangsa, dan (6) gelar publik. Berikut adalah uraian dari keenam label tersebut . 131 Nama diri pada masyarakat Bali merupakan nama pemberian orang tua dan umumnya bersifat unik. Keunikan itu terjadi karena nama diri seseorang pada suatu banjar atau desa diusahakan untuk tidak sama dengan nama diri orang lain pada banjar atau desa itu. Selain itu, berbeda dengan nama diri yang digunakan di kalangan triwangsa, nama diri orang kebanyakan pada zaman dahulu hanya berupa kumpulan silabel yang tidak bermakna ‘hebat’, seperti Srondo, Bontoan, Pecit, Klenuk, Plintir, Nyatnyat, Loling, Sioh, Nyanya, Kempling, dan sebagainya. Namun, dewasa ini nama diri telah menjadi semakin halus dan selanjutnya, berkembang menjadi nama administrasi (Antara, 2012: 65-68). Nama-nama itu berasal dari istilah-istilah tertentu yang bermakna khusus dan ‘hebat’, seperti Arjuna, Aryani, Krisna, Susila, Satya, Indra Putra, dan sebagainya. Oleh karena itu, penutur asli BB kini memiliki dua nama, yakni nama kecil atau nama jelek yang merupakan pelestarian nama diri orang awam pada zaman dahulu dan nama resmi yang berupa nama administrasi. Nama kecil lazim digunakan di ranah-ranah yang dicirikan oleh keakraban, sedangkan nama administrasi lazim digunakan di ranah-ranah resmi. Nama urut lahir diberikan sesuai dengan nomor urutan lahir. Anak yang lahir pertama dapat diberi nama Wayan, Gede, atau Putu. Wayan berasal dari kata wayahan ‘lebih tua’, Gede ‘besar’ , sedangkan, Putu berarti ‘cucu’. Anak yang lahir kedua dapat diberi nama Made, Nengah, atau Kadek. Made berasal dari kata madia ‘tengah’, Nengah berasal dari kata tengah yang mengalami perubahan bunyi (t n), sedangkan, Kadek berasal dari kata serapan adik yang kemudian mengalami proses morfologis menjadi kadek. Anak yang lahir ketiga dapat diberi 132 nama Komang atau Nyoman. Kata komang atau nyoman berasal dari kata anom ‘muda’ yang mengalami proses suplisi menjadi nyoman atau komang. Anak yang lahir keempat umumnya diberi nama Ketut yang berasal dari kata kitut ‘ekor’. Selanjutnya, jika ada lagi anak yang lahir setelah anak keempat, nama urut itu berulang kembali dengan tambahan tagel pada pengulangan pertama kali, dan tagel pindo pada pengulangan yang kedua kali. Istilah kekerabatan lazim digunakan untuk menyapa anggota keluarga. Melalui istilah kekerabatan perbedaan generasi dan gender pada BB dirumuskan dengan baik. Lihat tabel 4.2 untuk penggunaan istilah kekerabatan terkait dengan kata alus dan biasa. Tabel 4.2 Istilah Kekerabatan pada Bahasa Bali Kata Biasa Kumpi kaki, pekak, wayah Dadong Bapa Meme Beli Mbok Adi Cucu Kata Alus (Bentuk Honorifik) KOMPIANG TU PEKAK NIANG, PRAPITA AJI, AJUNG BIANG, IBU RAKA, KAKANG RAKA ARI PUTU, PUTRAKA Makna ‘moyang’ ‘kakek’ ‘nenek’ ‘ayah’ ‘ibu’ ‘kakak laki-laki’ ‘kakak perempuan’ ‘adik’ ‘cucu’ Sumber: Tinggen (1986:7) Teknonim, atau nama pungkusan (Antara, 2012: 69; dan Geertz, 1973: 373) merupakan istilah sapaan kepada orang tua yang didasarkan pada nama anak pertama. Setelah pasangan suami-istri memiliki anak pertama, mereka disapa menurut nama anak pertama itu. Jika anak itu diberi nama I Selem, ayahnya akan diberi nama Pan atau Pak Selem ‘Ayah dari si Selem’ dan ibunya akan diberi 133 nama Men atau Bu Selem ‘Ibu dari si Selem’. Jika I Selem kemudian menikah dan memiliki anak yang bernama Indra, maka ayah si selem akan disapa dengan Kak Indra ‘kakek dari si Indra’ dan ibunya si selem akan disapa Mbah Indra ‘nenek dari si Indra’. Geertz (1973)mengungkapkan bahwa secara teori setiap orang Bali memiliki gelar dan menempati suatu posisi tertentu pada tangga gelar status. Gelar itu oleh orang Bali dianggap berasal dari para dewa dan diwariskan dari orang tua ke anak dari generasi ke generasi sehingga gelar itu dapat dikatakan mencerminkan posisi seseorang dari para dewa secara turun temurun. Gelar yang disandang itu bisa berupa ida bagus, anak agung, I gusti, I dewa, dan lain-lain. Secara keseluruhan gelar status itu sangat rumit tertata pada suatu hierarki. Pada jaba, nama gelar status tidak secara langsung disandang. Seorang pande, pasek, atau bendesa tidak serta merta menggunakan gelar itu sebagai bagian dari namanya dan hal itu tentu saja berbeda dengan gelar triwangsa. Gelar wangsa yang dapat digunakan pada triwangsa ditunjukkan pada tabel 4.3. 134 Tabel 4.3 Nama Gelar pada Triwangsa Triwangsa Brahmana Ksatria Wesia Nama Gelar Ida Bagus Ida Ayu I Gusti Anak Agung Cokorda Cokorda Istri I Dewa Dewa Ayu Dewa Desak Ngakan Sang Ayu Bagus Ayu Pande Si Luh Makna ‘gelar bagi brahmana laki-laki’ ‘gelar bagi brahmana perempuan’ ‘gelar bagi ksatria laki-laki/perempuan’ ‘gelar bagi ksatria laki-laki/perempuan’ ‘gelar bagi ksatria laki-laki’ ‘gelar bagi ksatria perempuan’ ‘gelar bagi ksatria laki-laki’ ‘gelar bagi ksatria perempuan’ ‘gelar bagi wesia laki-laki’ ‘gelar bagi wesia perempuan’ ‘gelar bagi wesia laki-laki’ ‘gelar bagi wesia perempuan’ ‘gelar bagi wesia laki-laki’ ‘gelar bagi wesia perempuan’ ‘gelar bagi wesia laki-laki/perempuan’ ‘gelar bagi wesia perempuan’ (Sumber: Antara, 2012: 27-28) Label terakhir yang dijelaskan oleh Geertz (1973) adalah gelar publik. Berbeda dengan gelar status yang diperoleh karena kelahiran, gelar publik diperoleh seseorang karena posisinya di ranah publik. Pada zaman dahulu, gelar publik sangatlah terbatas keberadaannya, seperti klian, perbekel, pekaseh, pemangku, anak agung (gelar bagi kepala pengadilan Raad Kerta di Buleleng dan pejabat di wilayah Bangli), cokorde (gelar untuk jabatan Sedahan Agung di Badung), dewa agung (gelar bagi pejabat raja di Klungkung), peranda, dan lainlain. Namun, gelar publik itu kini lebih tepat diistilahkan dengan gelar pekerjaan, jabatan, atau pangkat. Mengikuti perkembangan zaman, nama jabatan dan pangkat kini sudah jauh lebih banyak dan digunakan oleh siapa saja yang menduduki 135 posisi itu. Nama jabatan itu, misalnya, adalah lurah, bupati, gubernur, menteri, anggota dewan, professor, dokter, guru, dosen, dan lain-lain. Terkait dengan keenam label itu, nama atau identitas diri terkini seorang anggota guyub tutur bahasa Bali di Bali dapat tersusun atas gelar pekerjaan atau gelar jabatan atau gelar pangkat, penanda gender, gelar wangsa, nama urut lahir, dan nama diri atau nama administrasi, seperti terlihat pada tabel 4.4 berikut. Tabel 4.4 Contoh Nama Lengkap Orang Bali Profesor Dokter I Kapten Gelar Jabatan/ pekerjaan/ Pangkat Ida Bagus Anak Agung Istri Gusti Dewa Desak I Ni Penanda Gender Gelar Wangsa Putu Nyoman Made Kadek Ketut Nama Urut Lahir Arnyana Parwati Antara Bayu Antara Juli Asiani Subagia Shanti Nama Diri 4.2.3.3 Pronomina Penunjuk Bahasa Bali memiliki tiga jenis pronomina penunjuk. Pronomina yang dimaksud meliputi (1) pronomina penunjuk umum, (2) pronomina penunjuk tempat, dan (3) pronomina penunjuk ihwal. Pronomina penunjuk umum terdiri atas ene, ento, dan anu. Kata ene digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang dekat dengan penutur, ke masa yang akan datang, atau ke informasi yang akan disampaikan. Kata ento digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang jauh dari penutur, ke masa lampau, atau ke informasi yang sudah disampaikan. 136 Kata ene dan ento bisa mandiri sepenuhnya sebagai nomina. Hal itu berarti kedua kata itu bisa menduduki posisi subjek atau objek dalam suatu kalimat. Selain itu, kata ene atau ento juga bisa berfungsi sebagai atribut yang diposisikan setelah nomina. Sebagai tambahan, kedua pronomina itu pun bisa diletakkan setelah pronomina persona yang diwatasinya untuk memberikan penegasan. (8a) (8b) (8c) (8d) bukune ‘bukunya’ umahnto ‘rumahnya’ TIANG ene ‘saya ini’ ia ento ‘dia itu’ Frasa (8a-b) memperlihatkan penggunaan –ne dan –nto sebagai atribut yang melekat pada nomina yang diwatasi, sedangkan pada (8c-d) memperlihatkan penggunaan ene dan ento setelah pronomina yang diwatasi. Kata anu berfungsi untuk mengisi kekosongan pada ujaran yang dimulai, karena penutur lupa, tidak mengetahui, atau tidak secara eksplisit mengatakan apa yang ia maksud. (9a) (9b) (9c) Anu, I Gede ibi mai. ‘Anu, Gede kemarin datang’ Ia meli anu-tambah-ibi. ‘Ia membeli anu-cangkul-kemarin’ Beli, anune ngenah.. ‘Kak, anunya kelihatan’ Kalimat (9a) menunjukkan penggunaan anu sebagai pengisi kekosongan pada ujaran yang akan dimulai; kalimat (9b), menunjukkan penggunaan anu karena penutur lupa dengan hal yang dibeli; dan, pada (9c), menunjukkan penggunaan anu karena penutur tidak secara tersurat dimaksud. ingin mengungkapkan hal yang 137 Pronomina penunjuk tempat dalam bahasa Bali adalah dini ‘di sini’ dan ditu ‘di situ’. Selain itu, ada juga kata kemu yang bermakna sama dengan ditu. Kata dini dan ditu dibedakan berdasarkan lokasi penutur: dini mengacu pada tempat dekat dengan penutur, sedangkan ditu mengacu pada tempat yang jauh dari penutur. Kalimat (10a-b) menunjukkan penggunaan dini dan ditu sebagai penunjuk tempat. (10a) Cang ngoyong dini. ‘Saya tinggal disini’ (10b) Bapa sai gati kemu. ‘Ayah sering kali kesana’ Pronomina penunjuk ihwal dalam bahasa Bali adalah kene dan keto. Titik pangkal perbedaannya sama dengan pronomina penunjuk tempat, yaitu lokasi penutur. Kalau perbedaan antara dini-ditu bersifat fisik, perbedaan antara kene dan keto bersifat psikologis. Kalimat (10a-b) menunjukkan penggunaan dini dan ditu sebagai penunjuk ihwal. (11a) Kene ia ngorta. ‘Begini ia berbicara’ (11b) De ngae gae keto. ‘Jangan berbuat begitu’ Pronomina penanya merupakan pronomina yang digunakan untuk memarkahi pertanyaan. Berdasarkan jawaban yang diinginkan, pronomina penanya bisa berwujud nyen ‘siapa’, apa ‘apa’, dan lain-lain. Tabel 4.5 memperlihatkan pronomina penanya dalam bentuk biasa dan alus. 138 Tabel 4.5 Pronomina Penanya dalam Bahasa Bali No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Pronomina penanya Kata Biasa Kata Alus Nyen SIRA Apa NAPI Cen CEN NIKA Kenapa KENAPI Pidan PIDAN NIKA Dija DIJA NIKA Kenken KENKEN NIKA Kuda KUDA NIKA Makna ‘siapa’ ‘apa’ ‘mana’ ‘kenapa’ ‘kapan’ ‘dimana’ ‘bagaimana’ ‘berapa’ Pronomina penanya yang berbentuk biasa atau alus memiliki penggunaan yang sama sehingga berikut ini hanya dibahas mengenai pronomina penanya bentuk biasa. Pronomina penanya apa memiliki dua fungsi yang berbeda. Kata itu pertama berfungsi untuk mengubah kalimat berita menjadi kalimat tanya yang mengharapkan respon ya/tidak. Selain itu, kata apa juga bisa menggantikan barang atau hal yang ditanyakan. (12a) Apa ia melali ke pasihe? ‘Apa dia bermain ke pantai?’ (12b) Meme nyemak apa di paon? ‘Ibu mengambil apa di dapur?’ (12c) Apa ane jemake teken Meme di paon? ‘Apa yang diambil oleh Ibu di dapur?’ Pertanyaan (12a) mengharapkan jawaban ya/tidak, sedangkan pertanyaan (12b-c) mengharapkan jawaban barang atau hal yang ditanyakan. Pronomina penanya nyen mengikuti pola sintaksis pronomina penanya apa. Perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut. Apa mengacu pada benda, binatang, atau hal dan semata-mata berfungsi sebagai pemarkah kalimat 139 tanya. Nyen mengacu kepada manusia dan menggantikan nomina di dalam kalimat. (13a) I Bapa nengokin nyen? ‘Kakek menenggok siapa?’ (13b) Nyen ane dengokina teken I Bapa? ‘Siapa yang ditengok oleh Ayah? (13c) Nyen ane mesuang motore? ‘Siapa yang mengeluarkan motornya?’ I Bapa nengokin I Meme. ‘Kakek menengok nenek.’ I Meme ane dengokine teken I Bapa ‘Ibu yang ditengok oleh Ayah’ I Bapa mesuang motore ‘Ayah mengeluarkan motornya’ Kalimat (13a-c) memperlihatkan bentuk pertanyaan nyen dan sekaligus, bagaimana pertanyaan itu dijawab. Pronomina penanya cen digunakan untuk menanyakan pilihan tentang orang, barang, atau hal. (14a) Kabake ane cen? ‘Pacarnya yang mana?’ (14b) Cen kabake? ‘Pacarnya mana?’ Kalimat (14a) dan (14b) menunjukkan bahwa cen bisa diletakkan di awal atau di akhir kalimat tanya untuk menanyakan pilihan. Pronomina penanya kenapa menanyakan sebab terjadinya sesuatu. Pronomina itu umumnya diletakkan di awal kalimat. Kemudian, kata-kata yang lainnya mengikuti urutan seperti pada kalimat berita. (15) Kenapa ia kedek? ‘Kenapa dia tertawa?’ Ia kedek, mapan jailine ken adine. ‘Ia tertawa, karena diganggu oleh adiknya.’ Kalimat (15) menunjukkan penggunaan kenapa untuk menanyakan alasan suatu kejadian Pronomina penanya pidan menanyakan waktu terjadinya suatu peristiwa. Pronomina itu umumnya diletakkan di awal kalimat. 140 (16) Pidan Nyoman lakar mulih? ‘Kapan Nyoman akan pulang?’ Nyoman lakar mulih buin a minggu. ‘Nyoman akan pulang lagi seminggu.’ Kalimat (16) memperlihatkan penggunaan pidan di awal kalimat tanya untuk menanyakan kapan seseorang akan datang. Pronomina penanya kenken lazim digunakan untuk menanyakan keadaan sesuatu atau cara untuk melakukan perbuatan. (17a) Kenken bapane, be seger? ‘Bagaimana ayahnya, sudah sembuh?’ (17b) Kenken carane ngidupang kipase? ‘Bagaimana caranya menghidupkan kipas itu?’ Kenken pada (17a) digunakan untuk bertanya tentang kondisi seseorang, sedangkan pada (17b) kenken digunakan untuk bertanya tentang cara mengoperasikan suatu barang elektronik. Sebagai tambahan, BB juga mengenal kata anak yang digunakan untuk mengacu kepada orang, benda, atau hal (Kersten, 1984: 79). Kata itu bisa berfungsi sebagai pronomina persona kedua (18a-b), pronomina persona ketiga (18c-d), pronomina penunjuk benda (18e), dan pronomina penunjuk ihwal (18f). (18a) (18b) (18c) (18d) (18e) (18f) Sing alihang anake TIANG nasi? ‘Tidak kau carikan saya nasi?’ Keneang anake ‘Begini hendaknya (kau buat)’ Anak ngorahang ka uma metengin jagung ‘Ia mengatakan akan ke sawah untuk mengairi jagung’ Anak pada meboros ke alase ‘Mereka semua berburu ke hutan’ Biun memene anak masekeb, anak tonden masak ‘Pisang ibu diperam, (pisang itu) belum masak’ Sangkal cai korain mai, anak Bapa iseng gati. ‘Sebabnya engkau kusuruh kemari, itu karena Bapak kangen’ 141 4.2.4 Kalimat atau Ujaran Kalimat atau ujaran merupakan satuan bahasa terkecil, dalam wujud tulisan atau lisan, yang mengungkapkan suatu pikiran yang utuh (Alwi, dkk, 2000:311). Kalimat secara tertulis diawali oleh huruf kapital dan diakhiri oleh tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru. Di dalam kalimat itu bisa terdapat tanda koma, titik dua, atau tanda pisah yang beranalogi dengan jeda pada bahasa lisan. Sementara itu, ujaran ditunjukkan oleh intonasi naik-turun atau keras-lembut yang diselingi jeda dan diakhiri oleh intonasi akhir yang diiringi oleh kesenyapan. ` Kalimat atau ujaran BB dibentuk oleh kata-kata BB. Karena kata BB menyifatkan hierarki, kalimat atau ujaran BB juga mencerminkan sifat hierarki itu. Sehubungan dengan hal itu, kalimat dapat diklasifikasiakan menjadi tiga, yakni (1) kalimat alus yang terdiri atas: (a) kalimat alus singgih, (b) kalimat alus madia, (c) kalimat alus sor; (2) kalimat biasa; dan (3) kalimat kasar (lihat 2.3.2.1). Paparan tentang bentuk-bentuk kalimat tersebut adalah sebagai berikut. Kalimat alus singgih dapat dibentuk oleh kata alus singgih, kata alus madia, kata alus mider, dan kata biasa. Prioritas pilihan kata adalah penggunaan kata alus singgih. Jika kata yang dibutuhkan tidak ada pada kata alus singgih, penggunaan kata alus madia atau alus mider dipertimbangkan. Jika kata yang dibutuhkan tidak ada pada tingkat alus, kata biasa selanjutnya dipertimbangkan. Namun, kata alus sor tidak boleh digunakan pada kalimat alus singgih karena penggunaan kata itu –meskipun halus—bermakna merendahkan mitra tutur. Contoh (19) menunjukkan bentuk kalimat alus singgih. (19a) IDA SAMPUN METANGI. ‘Beliau sudah bangun’ 142 (19b) RATU KAYUN NGAJENG DRIKI? (19c) *RATU NUNAS AJENGAN DRIKI? ‘Tuan mau makan disini?’ Kalimat (19a-b) menunjukkan kalimat alus singgih yang dibentuk oleh kata alus singgih IDA, RATU, METANGI, KAYUN, dan NGAJENG; dan kata alus mider SAMPUN dan DRIKI. Akan tetapi, kalimat (19c) menunjukkan kalimat alus singgih yang tidak tepat karena penggunaan kata alus sor NUNAS yang dimaknai sebagai merendahkan mitra tutur yang seharusnya ditinggikan. Kalimat alus madia dibentuk oleh kata alus madia, alus mider, dan kata biasa. Prioritas pilihan kata ada pada penggunaan kata alus madia dan kata alus mider. Jika tidak ada sama sekali kata yang dimaksudkan pada kedua level itu, kata biasa selanjutnya dapat diakses. Contoh (20) menunjukkan bentuk kalimat alus madia. (20a) TIANG NUMBAS katik malu. ‘Saya membeli tusuk sate dulu’ (20b) DAWEG NIKA TIANG SIREP leplep gati ‘Waktu itu saya tidur lelap sekali’ Kalimat (20a-b) memperlihatkan kalimat alus madia yang dibentuk oleh kata alus madia TIANG dan SIREP; kata alus mider NUMBAS dan NIKA; dan kata biasa katik, malu, leplep ,dan gati. Kalimat alus sor dibentuk oleh kata alus sor, kata alus mider, dan kata biasa. Prioritas kata adalah kata alus sor. Jika kata yang dibutuhkan tidak ada pada kata alus sor, digunakanlah kata alus mider. Jika kata yang dibutuhkan masih tidak ditemukan pada kedua level itu, digunakanlah kata biasa. Namun, kata alus singgih tidak boleh digunakan pada kalimat alus sor yang ditujukan 143 untuk merendahkan diri sendiri karena kata alus singgih bermakna meninggikan diri, bukan merendahkan diri. Contoh (21) menunjukkan bentuk kalimat alus sor. (21a) IPUN KANTUN nembok RING peken. ‘Beliau sedang menembok di pasar’ (21b) IPUN SAMPUN MUPUT UPAKARANE ‘Beliau sudah menyelesaikan upacaranya’ Kalimat (21a-b) memperlihatkan kalimat alus sor yang dibentuk oleh kata alus sor IPUN, kata alus mider KANTUN, SAMPUN, MUPUT, UPAKARANE, dan RING; dan kata biasa nembok dan peken. Kalimat biasa dibentuk oleh kata-kata biasa, seperti ditunjukkan pada contoh (22) berikut. (22a) Ia mara majalan lakar ngebah tiing tali. ‘Dia baru berangkat untuk memotong bambu tali’ (22b) I Gede tumben gati ngenah di dagang tipate. ‘Si Gede tumben sekali terlihat di warung tipat’ (22c) I Ayu ajake kabakne sing mereren melali dogen gaene ‘Si Ayu besera pacarnya tidak pernah berhenti keluar saja kerjanya’ Kalimat (22) dibentuk oleh kata biasa ia, mara, majalan, lakar ngebah, tiing, tumben, gati, ngenah, di , dagang, tipate, ajake, kabakne, sing, mereren, melali, dogen, gaene, dan tali. Kalimat kasar dibentuk oleh kata biasa dan kata kasar. Sehubungan dengan hal itu, kehadiran paling sedikit satu kata kasar saja yang berpadu dengan kata-kata biasa (atau, bahkan kata-kata alus) sudah dianggap cukup untuk membentuk kalimat kasar. Hal itu sesuai dengan penjelasan Bagus (1979) bahwa suatu kalimat yang, walaupun tersusun hampir seluruhnya oleh kata-kata alus, dapat menjadi kasar karena kehadiran satu kata kasar. Contoh (23a-c) merupakan bentuk kalimat kasar. 144 (23a) Yen ia suba NGAMAH, kenyir-kenyir dogen BUNGUTNE. ‘Kalau dia sudah makan, tertawa-tawa saja mulutnya’ (23b) NASKELENG CAI, adi ketoang dogen sih AWAKE? ‘Umpatan (alat kelamin laki-laki) kamu, kenapa saya dibegitukan saja?’ (23c) Ngelah mata cara endian, apa CAI KENOT? ‘Punya mata seperti sinar (besar), apa kamu lihat?’ Kalimat (23a-c) dibentuk oleh kata biasa yen, ia, suba, kenyar-kenyir, adi, ketoang, dogen, sih, ngelah, mata, endian, apa, cai; dan kata kasar NGAMAH, BUNGUTNE, NASKELENG, CAI, AWAKE, dan KENOT. Meskipun ada banyak ragam tingkat tutur, penelitian ini hanya menggunakan tiga tingkat tutur, yakni kode alus, kode biasa, dan kode kasar. Kode alus meliputi alus singgih, alus sor, alus madia, dan alus mider; sedangkan kode biasa meliputi tingkat tutur biasa; dan kode kasar hanya membawahi tingkat tutur kasar. 4.3 Bentuk Kode Istilah kode digunakan untuk menggantikan ragam tingkat tutur BB karena istilah itu bersifat netral dan sering digunakan untuk mengganti, baik itu istilah bahasa ataupun variasi. Selain itu, kode juga diartikan sebagai sistem yang digunakan atau diaktifkan dalam percakapan (Wardaugh, 1998:86). Dalam hal ini, ragam tingkat tutur BB dibedakan atas kode kasar, kode biasa, dan kode kasar. Berdasarkan atas analisis percakapan yang diperoleh melalui informan bahasa pada guyub tutur Kota Singaraja ditemukan penggunaan ketiga kode tersebut. Dalam hal ini, hasil analisis yang dibuat juga telah dikonfirmasikan dengan informan pada penerapan metode cakap semuka. Masing-masing kode itu tersusun atas tingkat kata yang bervariasi dan dapat uraikan sebagai berikut. 145 4.3.1 Kode Kasar Kode Kasar dapat terdiri atas kata BB apapun, asalkan terdapat satu atau lebih kata kasar. Kata kasar sebenarnya merupakan kata yang diperuntukkan untuk menggambarkan binatang dan perilakunya. Kata NGAMAH, NIDIK, dan NGLEKLEK ‘makan’ merupakan kata yang sepantasnya digunakan untuk menggambarkan perilaku binatang. Akan tetapi, ketika kata itu digunakan untuk menggambarkan perilaku manusia, hal itu dianggap tidak tepat dan berasa kasar. Tabel 4.6 menunjukkan persentase penggunaan kata pada KK yang diperoleh melalui proses penyimakan. Tabel 4.6 Persentase Kata yang Digunakan pada Kode Kasar DOMAIN BAHASA Kata Kasar Kata Biasa Kata Alus 0 Kata Serapan BI 4,09 Kata Serapan BS 0 Kata serapan BIng 0 Keluarga 12,2 83,72 Tetangga 5,95 71,43 0 22,62 0 0 Masyarakat 9,09 78,41 0 12,5 0 0 Total 9,88 79,36 0 10,76 0 0 Tabel 4.6 menunjukkan bahwa persentase penggunaan kata kasar hanya teridentifikasi pada tiga domain bahasa yang dalam hal ini persentase kemunculan kata biasa-lah yang sesungguhnya terbanyak. Selain kata biasa, penggunaan kata serapan BI juga terlihat dan tentu saja juga sedikit kata kasar yang menjadikan kode yang dirasukinya berubah kasar. Secara lebih detail, persentase kata biasa yang ditemukan pada percakapan-percakapan di domain keluarga adalah 83,72%; dan diikuti oleh kata kasar, yakni 12,2%; dan kata serapan BI, yakni 4,09% secara berurutan. Selanjutnya, persentase kata biasa 146 yang ditemukan pada percakapan-percakapan di ranah tetangga adalah 71,43%; diikuti oleh kata serapan BI, yakni 22,62%; dan kata kasar, yakni 5,95%. Terakhir, persentase kata biasa yang ditemukan pada percakapan-percakapan di ranah masyarakat adalah 78,41%; diikuti oleh kata serapan BI, yakni 12,5%; dan kata kasar, yakni 9,09%.. Tabel 4.6 dapat dinyatakan pada gambar 4.1. 100 80 60 40 20 0 KK KB Kata Serapan BI Gambar 4.1 Persentase Jumlah Kata yang Digunakan pada Kode Kasar Gambar 4.1 menunjukkan bahwa persentase kata biasa terbanyak pada ketiga domain tersebut. Selain kata biasa, terdapat juga kata serapan BI, dan tentu saja kata kasar dengan persentase yang sangat kecil. (24a) Dija montor NANINE kejang? ‘Dimana motormu ditaruh?’ (24b) Becatin teh, de NIDIK dogen gaene! ‘Cepatin dong, jangan makan saja kerjanya’ 147 Kalimat (24a-b) memang didominasi oleh kata biasa, yakni dija, kejang, becatin, teh, de, gen dan gaene, dan disertai oleh satu kata serapan BI, yakni montor. Meskpun demikian, kehadiran pronomina persona kedua kasar NANI, dan NIDIK menjadikan kedua kalimat tersebut kasar. 4.3.2 Kode Biasa Kode Biasa dibentuk oleh kata-kata biasa, kata serapan BI, kata serapan BS, dan kata serapan BIng. Kata serapan BI dan BIng yang diserap pada percakapan BB umumnya dikategorikan sebagai kata biasa, kecuali kata-kata tertentu yang memang telah diakui sebagai kata alus seperti RAMBUT, TIKAR, dan sebagainya. Selain itu, kata serapan BS yang umum digunakan adalah OM, SWASTIASTU dan SUKSMA, ketiganya tergolong alus. Tabel 4.7 berikut menunjukkan persentase penggunaan kata pada percakapan-percakapan yang menggunakan KB. Tabel 4.7 Persentase Kata yang Digunakan pada Kode Biasa DOMAIN BAHASA Kata Kasar Kata Biasa Kata Alus 0,1 Kata Serapan BI 25,15 Kata Serapan BS 0,89 Kata serapan BIng 1,07 Keluarga 0 73,5 Tetangga 0 70,82 0 28,99 0 0,19 Masyarakat 0 73,04 0,36 25,89 0 0,71 Tempat Kerja 0 62,32 0 36,54 0 1,14 Total 0 70,37 0,11 28,6 0,07 0,85 148 Tabel 4.7 menunjukkan bahwa penggunaan KB terdeteksi pada semua domain bahasa yang dikaji dengan persentase tertinggi pada penggunaan kata biasa. Persentase penggunaan kata biasa tertinggi ditunjukkan pada domain keluarga, masyarakat, tetangga, dan tempat kerja secara berurutan. Sedangkan, persentase kedua terbanyak adalah kata serapan BI. Secara lebih detail, pada domain keluarga, penggunaan kata biasa menunjukkan persentase 73,5%; dan diikuti oleh kata serapan BI, yakni 25,25%; kata serapan BIng, yakni 1,07%; kata serapan BS, yakni 0,89%; dan kata alus, yakni 0,1%. Selanjutnya, pada domain tetangga, penggunaan kata biasa menunjukkan persentase 70,82%; dan diikuti oleh kata serapan BI, yakni 28,99%; dan kata serapan BIng, yakni 0,19. Kemudian, pada domain masyarakat penggunaan kata biasa memiliki persentase 73,04%; dan diikuti oleh kata serapan BIng, yakni 25,89%; kata alus, yakni 0,36%; dan kata serapan BIng, yakni 0,71%. Terakhir, pada domain tempat kerja penggunaan kata biasa menunjukkan persentase 62,32%; dan diikuti oleh kata serapan BI, yakni 36,54; dan kata serapan BIng, yakni 1,14%. Penggunaan kata alus memang terkadang terlihat pada KB. Akan tetapi, kode percakapan tetap dirasakan sebagai KB karena kemunculan kata alus itu sangat rendah dalam artian hanya satu atau dua pada satu percakapan. Hal itu akan sedikit berbeda jika kata itu muncul pada suatu kalimat, bukan percakapan. Pada kalimat, kehadiran satu saja kata alus dapat menjadikan rasa keseluruhan kalimat menjadi alus. Selanjutnya, tabel 6.2 ditayangkan secara visual pada gambar 6.2 berikut. 149 80 60 40 20 0 KB KA Kata Serapan BI Kata Serapan BS Kata serapan BIng Gambar 4.2 Persentase Jumlah Kata yang Digunakan pada Kode Biasa Gambar 6.2 menunjukkan bahwa kata dominan yang membentuk KB adalah kata biasa dan kata serapan BI, dan persentase tertinggi ditunjukkan oleh penggunaan kata biasa. Selain itu, penggunaan kata alus, kata serapan BS dan BIng juga muncul, tetapi dengan persentase yang sangat rendah. (25a) YANG melali ke umah kabake tiap malam minggu. ‘Saya berkunjung ke rumah pacar saya setiap malam minggu’ (25b) Ibu(?) YANGE megae di kantor bupati ‘Ibu saya bekerja di kantor bupati’ (25c) Apa to ketingalin ditu? ‘Apakah itu yang dilihat disana?’ (25d) SWASTIASTU Beli Bagus, ne ongkana ada omongan bedik, ngelah waktu ne? ‘Swastiastu (salam) Kakak yang ganteng, ini akan ada dibicarakan sedikit, punya waktu?’ 150 Kalimat (25a-d) didominasi oleh kata biasa, yakni yang, melali, umah, kabake, ibu(?), megae, apa, to ketingalin, ditu,beli, bagus, ne ongkana, ada, bedik, ngelah, dan sing, dan disertai oleh kata serapan BI, yakni tiap, malam, minggu, di, kantor, omongang, dan bupati, dan kata serapan BS SWASTIASTU. 4.3.3 Kode Alus Kode alus merupakan kode yang tersusun atas kata alus, kata biasa, dan kata serapan. Suatu kode alus boleh saja tidak didominasi oleh kata alus asalkan jumlah kata alus tidak terlalu rendah sehingga dapat menjadikan kode yang disertainya alus. Dalam hal ini, kehadiran satu kata alus pada suatu kalimat dapat menjadikan kode kalimat itu lebih alus, apalagi jika kata itu berupa pronomina persona yang menandai bentuk hormat. Akan tetapi, pada percakapan perlu lebih dari hanya sekedar satu kata alus untuk menjadikan kode percakapan itu alus. Dari sini dapat dipahami bahwa kode alus merupakan istilah luas yang mengandung gradasi halus dari sangat halus sampai kurang halus. Tabel 4.8 menunjukkan komposisi persentase penggunaan kata pada percakapan yang menggunakan KA. Tabel 4.8 Persentase Kata yang Digunakan pada Kode Alus DOMAIN BAHASA Kata Kata Biasa Kata Alus Keluarga 0 17,05 59,54 Kata Serapan BI 23,41 Kata Kata Serapan Serapan BS BIng 0 0 Tetangga 0 25,94 51,39 12,09 10,08 0,5 Masyarakat 0 28,26 3,6 32,88 1,09 2,17 Tempat Kerja 0 29,14 45,71 23,43 0 1,71 Total 0 24,65 48,29 22,63 3,42 1,01 151 Tabel 4.8 menunjukkan bahwa komposisi persentase penggunaan kata alus beragam menurut domain bahasa. Persentase kata alus terbanyak ditunjukkan di domain keluarga dan selanjutnya, tetangga, tempat kerja, dan masyarakat. Setelah kata alus, kata yang berada di posisi kedua terbanyak adalah kata biasa, sedangkan yang ketiga adalah kata serapan BI dengan perbedaan persentase yang sangat tipis dengan kata biasa. Sebaliknya, kata serapan BS dan BIng muncul dengan persentase yang sangat rendah. Secara detail, di domain keluarga penggunaan kata alus menunjukkan persentase 59,54%; diikuti oleh kata serapan BI, yakni 23,41%; dan kata biasa, yakni 17,05%. Di domain tetangga, kata alus menunjukkan persentase 51,39%; dan diikuti oleh kata biasa, yakni 25,94%; kata serapan BI, yakni 12,08%; kata serapan BS, yakni 10,08%; dan kata serapan BIng, yakni 0,5% secara. Di domain masyarakat penggunaan kata serapan BI-lah yang menunjukkan persentase tertinggi, yakni 32,88%; dan diikuti oleh kata biasa yakni 28,26%; kata alus, yakni 3,6%; kata serapan BIng, yakni 2,17; dan kata serapan BS, yakni 1,09%. Terakhir, penggunaan kata alus menunjukkan persentase tertinggi, yakni 45,71%; dan diikuti oleh kata biasa, yakni 29,14; kata serapan BI, yakni 22,63%; kata serapan BS, yakni 3,42%; dan kata serapan BIng, yakni 1,01%. Selanjutnya, tabel 4.8 dapat ditayangkan secara visual pada gambar 4.3 berikut. 152 70 60 50 40 30 20 10 0 KB KA Kata Serapan BI Kata Serapan BS Kata Serapan BIng Gambar 4.3 Persentase Jumlah Kata yang Digunakan pada Kode Alus Gambar 4.3 menunjukkan bahwa persentase kata alus tertinggi daripada persentase kata-kata yang lainnya pada semua domain penggunaan bahasa. Penggunaan KA tertinggi terjadi di domain keluarga, dan terendah di domain masyarakat. Persentase kedua terbanyak adalah kata biasa yang diikuti oleh kata serapan BI. Penggunaan kata serapan BS, dan BIng juga terlihat, tetapi dengan persentase yang sangat rendah. Sebagai tambahan, kehadiran kata kasar sama sekali tidak terlihat. Kode alus yang umum digunakan pada guyub tutur Kota Singaraja adalah kode alus madia yang berarti bahwa kata-kata yang digunakan untuk membentuk kode alus berada pada tingkat tutur alus madia. Selain itu, ada suatu tipe KA yang lain yang muncul yang dirujuk dengan istilah basa metiang-nika. Istilah itu dibuat 153 sendiri oleh penutur kota Singaraja sendiri dan muncul karena keterbatasan penguasaan kosakata alus penutur jaba kota Singaraja. Istilah itu digunakan untuk menggambarkan KA yang didominasi oleh kata biasa dan minim kata alus yang dalam hal ini kata alus yang digunakan adalah kata alus mider atau kata alus madia. Penutur jaba paham bahwa KA memiliki banyak tingkat, yakni alus singgih, alus sor, alus madia, dan alus mider, tetapi banyak yang kurang tahu apa dan dimana posisi kata-kata alus berada dalam kaitannya dengan tingkatan tersebut. Banyak hanya sekedar bisa membedakan alus, biasa, dan kasar sehingga mereka mengalami kesulitan jika diharapkan untuk mengungkapkan diri melalui KA. Dengan demikian, KA yang digunakan didominasi oleh kata biasa, tetapi diperhalus oleh kata-kata alus yang umum dan mudah untuk diingat karena frekuensi penggunaannya yang tinggi. Istilah basa metiang-nika digunakan karena kata alus tiang-nika-lah yang paling sering digunakan, selain kata-kata alus yang lain, seperti NIKI, KENTEN, NGGIH, SAMPUN, TEN, DURUNG, NAPI, MALIH, MALIH PIDAN, RAHINA, MANGKIN, BENJANG, NGAJENG, MANTUK, SARENG, SIRA, MELANCARAN, NUNAS, DADOS, USAN, dan sebagainya. (26a) TIANG ane nyilih tambahe NIKA ‘Saya yang meminjam cangkulnya itu’ (26b) MALIH PIDAN lakar jemak tambahe NIKA? ‘Kapan cangkulnya akan diambil?’ (26c) AJIK, TIANG ngidih rokone! ‘Bapak, saya minta rokoknya!’ 154 Kalimat (26a-c) merupakan kalimat alus metiang-nika yang didominasi oleh kata biasa, yakni ane, nyilih, tambahe, lakar, jemak, ngidih, dan rokone, dan sedikit kata alus, yakni TIANG, NIKA, MALIH PIDAN, dan AJI. Fenomena penggunaan basa metiang-nika pada guyub tutur Kota Singaraja tidak jauh berbeda dengan fenomena penggunaan BJ pada guyub tutur Kota Semarang (Purwoko, 2008a:23). Dalam hal ini, Purwoko (2008a) mengungkapkan bahwa penutur BJ di Kota Semarang cenderung untuk asal memilih kosakata dari tingkat basa ‘halus’ karena keterbatasan repertoar kosakata mereka untuk berbicara pada tingkat tutur basa. Pada prinsipnya, penguasaan kosakata yang terbatas itu dianggap cukup sebagai indikator bagi keinginan untuk berbicara santun. Selain itu, penutur jaba guyub kota Singaraja juga mendapat kesulitan untuk menentukan perbedaan antara kata alus singgih dan alus sor karena kerap menukarkan penggunaan kedua tingkat kata itu. Pada suatu percakapan yang membutuhkan kata alus singgih, misalnya, digunakan kata alus sor; sebaliknya, pada saat kata alus sor dibutuhkan, malah kata alus singgih yang digunakan. Pertukaran antara kata alus singgih dengan alus sor atau sebaliknya dapat berarti meninggikan atau merendahkan diri sendiri atau orang lain tidak pada tempatnya. Secara normatif, kode seperti itu kerap dinyatakan sebagai kasar jabag. Akan tetapi, pada percakapan di antara penutur Kota Singaraja, penggunaan kata alus singgih atau alus sor yang tidak tepat itu tidak dilihat secara ekstrem sebagai kasar jabag, melainkan tetap alus, karena intensi atau alasan 155 ketidaktepatan itu dipahami sebagai sesuatu yang manusiawi. Hal itu terjadi berkaitan dengan penguasaan kosakata alus yang kurang. Kata-kata alus sor, dan alus singgih lain yang penggunaannya sering tertukar, atau tidak tepat dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut. Tabel 4.9 Kata Alus Sor dan Alus Singgih yang Penggunaannya Kerap Tertukar Kata Biasa adan aben baan bajang belog bok demen dingeh idih konkon liang mendep meten mulih nasi ngeling ngentut ningeh pelih pules papag ukudan Kata Alus Sor WASTA Kata Alus Singgih PESENGAN, PARAB aben LEBON OLIH ANTUK BAJANG ANOM TAMBET AWIDIA BOK RAMBUT GARGITA SENENG, LEDANG PIRAGI PIRENG TUNAS,LUNGSUR ARSANG KENKEN NDIKAIN GARGITA LEDANG MENDEP MENENG METEN SAREN BUDAL MANTUK AJENGAN RAYUNAN NGELING NANGIS NGENTUT NGRAMPU MIRAGI MIRENG SISIP IWANG SIREP MAKOLEM PAPAG PENDAK DEWEK ANGGAN, RAGA Makna nama oleh bujang bodoh rambut senang dengar minta suruh gembira diam kamar pulang makanan menangis kentut mendengar salah tidur jemput diri Terkait dengan tabel 4.9, kalimat (27a-g) berikut sering teramati digunakan oleh penutur jaba kepada mitra tutur triwangsa. (27a) Pak, NUNAS LUNGSURAN, NIKI pohne ngalap di kebun sendiri! ‘Pak, minta lungsuran, ini mangganya dipetik dari kebun sendiri.’ (27b) Ia MAWASTA ANAK AGUNG ISTRI Pradnyaparamita. ‘Dia bernama Anak Agung Istri Pradnyaparamita.’ (27c) Okane RATU PERANDA anak ANTENG gati. ‘Anaknya Ratu Peranda rajin sekali.’ 156 (27d) MANGKIN ATU BUDAL? ‘Sekarang kamu pulang?’ (27e) TIANG MARABIAN RING Denpasar ‘Saya menikah ke Denpasar’ (27f) Panak TIANGE KARI MASIRAM ‘Anak saya sedang mandi’ (27g) DUUR TIANGE SUNGKAN uli ibi. ‘Kepala saya sakit sejak kemarin’ (27h) TIANG PENDAKINA ken I RATU ibi ‘Saya dijemput oleh dia kemarin’ Kalimat (27a-d) menunjukkan penggunaan kata alus sor yang kurang tepat oleh penutur jaba untuk merujuk keadaan dan perilaku mitra tutur triwangsa. Kata alus sor itu adalah NUNAS, MAWASTA, ANTENG, dan BUDAL. Sebagai kata alus sor, kata itu lazim digunakan untuk merendahkan diri atau orang ketiga, bukan mitra tutur, jika berbicara dengan mitra tutur yang berstatus lebih tinggi. Oleh karena itu, penggunaan pada (27a-d) bisa diartikan sebagai merendahkan mitra tutur dan kurang tepat. Kata NUNAS seharusnya diganti dengan NGARSAYANG; MAWASTA dengan MAPESENGAN, ANTENG dengan RAJIN, dan BUDAL dengan MANTUK yang dalam hal ini kata pengganti itu adalah kata alus singgih. Sebaliknya, kalimat (27e-3h) menunjukkan penggunaan kata alus singgih yang tidak pada tempatnya oleh penutur jaba untuk merujuk dirinya dan orang ketiga jaba di hadapan mitra tutur triwangsa. Kata alus singgih itu adalah MARABIAN, MESIRAM, DUUR, SUNGKAN, dan PENDAKINA. Sebagai kata alus singgih, kata itu seharusnya digunakan untuk merujuk kepada keadaan dan perilaku mitra tutur triwangsa dengan tujuan untuk meninggikan atau menghormati mitra tutur tersebut. Jadi, penggunaan kata alus singgih oleh penutur jaba untuk merujuk dirinya bisa diartikan secara literal meninggikan atau 157 menghormati diri sendiri, walaupun sesungguhnya tidak dimaksudkan demikian. Dalam hal ini, kata MARABIAN seharusnya diganti dengan kata alus sor MASOMAH/MAKURENAN; MASIRAM dengan kata alus sor KAYEH; DUUR dengan kata alus sor SIRAH, SUNGKAN dengan kata biasa sakit (tidak ada alternasi kata sakit pada tingkat tutur alus sor), dan PENDAKINA dengan kata alus sor PAPAGINA. BAB V PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA BALI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN WANGSA, PEKERJAAN, UMUR DAN GENDER 5.1 Pengantar Berdasarkan klasifikasi kelompok sampel yang ditunjukkan pada tabel 3.2, pembahasan mengenai penggunaan tingkat tutur (kode) bahasa Bali pada subbab ini dibedakan berdasarkan poros wangsa-pekerjaan. Dengan demikian, paparan tentang penggunaan tingkat tutur BB diklasifikasikan pertama berdasarkan triwangsa dan jaba; selanjutnya, pekerjaan (kelas sosial), yakni tinggi, sedang, dan rendah; umur, yakni tua dan dewasa; dan gender, yakni laki-laki dan perempuan. Bab ini membahas tiga subpokok bahasan. Pada subbab 5.2 dibahas tentang penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok triwangsa; pada subbab 5.3 dibahas tentang penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok jaba; dan pada subbab 5.4 penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok triwangsa dan jaba diperbandingkan; dan pada subbab 5.5 dibahas tentang penggunaan istilah sapaan. 5.2 Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Triwangsa Kelompok triwangsa mula-mula dibagi tiga berdasarkan pekerjaan, selanjutnya umur, dan kemudian gender sebagai berikut. 158 159 Gambar 5.1 Klasifikasi Kelompok Triwangsa 5.2.1 Triwangsa Kelas Atas Triwangsa kelompok atas terdiri atas responden-responden triwangsa yang berposisi kerja tinggi dan dinyatakan sebagai kelompok triwangsa kelas atas. Subkelompok itu adalah TTDL, TTDP, TTML, dan TTMP. Penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok tersebut ditunjukkan pada tabel 5.1 berikut. 160 Tabel 5.1 Ringkasan Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Triwangsa Kelas Atas DOMAIN TTDL TTDP TTML TTMP KK KB KA BI BL KK KB KA BI BL KK KB KA BI BL KK KB KA BI BL A 0 0 100 0 0 0 0 100 0 0 0 0 91,1 8,9 0 0 0 89,3 10,7 0 B 0 4,5 95,5 0 0 0 0 100 0 0 0 6 94 0 0 0 0 100 0 0 C 0 16,7 83,3 0 0 0 0 100 0 0 0 19 81 0 0 0 0 87,1 12,9 0 D 0 31,8 68,2 0 0 0 7,4 92,6 0 0 0 23,8 76,2 0 0 0 38,9 61,1 0 0 E 0 50 50 0 0 0 7,4 92,6 0 0 0 33,3 66,7 0 0 0 41,7 58,3 0 0 F 0 0 100 0 0 0 0 100 0 0 0 0 100 0 0 0 0 100 0 0 G 0 42,4 57,6 0 0 0 17,3 82,7 0 0 0 46,0 54,0 0 0 0 29,6 70,4 0 0 H 0 41,4 58,6 0 0 0 18,5 81,5 0 0 0 28,6 42,9 28,6 0 0 0 55,6 44,4 0 RERATA 0 24,0 76,0 0 0 0 7 93 0 0 0 20,3 74,3 5,5 0 0 13,1 77,4 9,5 0 Keterangan: Domain penggunaan bahasa A: domain keluarga, B: domain tetangga, C: domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan, D: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, E: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, F: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa, G: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan jaba dan H: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan tidak dikenal. Kode bahasa KK: Kode Kasar KB: Kode Biasa KA: Kode Alus BI: Bahasa Indonesia BL: Bahasa Lain 161 5.2.1.1 Triwangsa-Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Laki-Laki (TTDL) Data pada TTDL menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan kode tertinggi ialah KA, yakni 76% dan selanjutnya KB, yakni 24%. Rerata persentase tersebut menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi, sedangkan KB rendah. Data yang diperoleh pada TTDL diuraikan secara rinci di bawah ini. Di domain keluarga, penggunaan KA menunjukkan rerata 100% yang berarti sangat tinggi pada percakapan dengan setiap anggota keluarga, seperti kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara sepupu, saudara kandung, dan anak kandung. Di domain tetangga, 95,5% (sangat tinggi) responden menggunakan KA, sedangkan 4,5% (sangat rendah) responden menggunakan KB. Penggunaan KA sangat tinggi pada percakapan dengan semua tipe tetangga dan mencapai 100% pada percakapan dengan tetangga triwangsa. Sementara itu, penggunaan KB hanya pada percakapan dengan tetangga jaba dengan persentase sangat rendah. Di domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan, 83,3% (sangat tinggi) responden menggunakan KA, sedangkan 16,70% (sangat rendah) menggunakan KB. Penggunaan KA sangat tinggi pada percakapan dengan semua tipe atasan dan mencapai 100% pada percakapan dengan atasan triwangsa. Sementara itu, KB digunakan pada percakapan dengan atasan jaba, lebih tua, dan pria/perempuan dengan persentase cukup tinggi dan atasan jaba, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dengan persentase rendah. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 68,2% (tinggi) menggunakan KA, sedangkan menggunakan KB. Penggunaan KA berkategori sangat tinggi 31,8 % (rendah) pada percakapan 162 dengan rekan sejabatan triwangsa, cukup tinggi pada percakapan dengan rekan sejabatan jaba yang berumur lebih tua, dan rendah pada percakapan dengan rekan sejabatan jaba yang berumur sebaya atau lebih muda. Sementara itu, KB digunakan dengan persentase cukup tinggi pada interaksi dengan rekan sejabatan jaba yang berumur lebih tua dan tinggi pada interaksi dengan rekan sejabatan jaba yang berumur sebaya atau lebih muda. Pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, penggunaan KA dan KB berimbang dengan persentase 50%:50%. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe rekan kerja bawahan dan penggunaan KA lebih tinggi daripada KB pada interaksi dengan rekan kerja bawahan triwangsa. Sebaliknya, penggunaan KB lebih tinggi daripada KA pada interaksi dengan rekan kerja bawahan jaba. Di domain masyarakat pada interaksi dengan triwangsa, 100% (sangat tinggi) responden menggunakan KA yang berarti bahwa penggunaan KA berkategori sangat tinggi pada interaksi dengan semua tipe partisipan triwangsa. Sementara itu, pada interaksi dengan partisipan jaba, 57,6% (cukup tinggi) menggunakan KA, sedangkan 42,4% (cukup tinggi) menggunakan KB. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan masyarakat jaba yang dalam hal ini penggunaan KA lebih tinggi daripada penggunaan KB pada interaksi dengan semua partisipan yang berstatus pekerjaan tinggi atau menengah. Selain itu, penggunaan KA juga lebih tinggi daripada KB pada interaksi dengan partisipan yang berstatus kerja rendah dan berumur lebih tua. Sementara itu, pada interaksi dengan partisipan yang berstatus 163 kerja rendah dan berumur sebaya/lebih muda penggunaan KB lebih tinggi daripada KA. Di domain masyarakat pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, 58,6% (cukup tinggi) responden menggunakan KA, sedangkan 41,4% (cukup tinggi) menggunakan KB. Penggunaan KA lebih tinggi pada setiap interaksi dengan semua tipe orang yang tidak dikenal. 5.2.1.2 Triwangsa-Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Perempuan (TTDP) Data pada TTDP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KA, yakni 93%, selanjutnya diikuti oleh diikuti KB, yakni 7%. Rerata tersebut menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori sangat tinggi, sedangkan KB sangat rendah. Data yang diperoleh pada TTDP diuraikan secara lebih rinci di bawah ini. Di domain keluarga, 100% (sangat tinggi) responden menggunakan KA untuk bercakap-cakap dengan anggota keluarga, seperti kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara kandung, saudara sepupu, dan anak kandung. Selain itu, penggunaan kode di domain tetangga juga menunjukkan penggunaan KA sebanyak 100% (sangat tinggi). Hal itu memperlihatkan bahwa di domain keluarga dan tetangga, penggunaan KA berkategori sangat tinggi. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 100% (sangat tinggi) menggunakan KA untuk bercakap-cakap yang berarti bahwa KA digunakan dengan persentase sangat tinggi dengan semua tipe atasan. Sebaliknya, interaksi pada 164 rekan sejabatan dan juga rekan kerja bawahan menunjukkan persentase yang sama, yakni 92,6% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 7,4% (sangat rendah) menggunakan KB. Penggunaan KA menunjukkan persentase yang lebih tinggi daripada KB pada semua interaksi, yakni sangat tinggi pada interaksi dengan semua rekan kerja bawahan triwangsa dan rekan kerja bawahan jaba, sebaya/lebih tua, dan pria/perempuan. Sementara itu, penggunaan KB hanya pada interaksi dengan rekan jaba dengan persentase yang berkisar antara rendah-sangat rendah. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100% (sangat tinggi) menggunakan KA yang menunjukkan persentase sangat tinggi pada interaksi dengan seluruh tipe partisipan triwangsa. Selain itu, untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 82,7% (sangat tinggi) menggunakan KA, 14,2% (sangat rendah) menggunakan KB, dan 3,1% (sangat rendah) menggunakan BI. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan jaba dengan persentase tertinggi; KA digunakan pada interaksi dengan tipe partisipan jaba berstatus pekerjaan menengah/rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dengan persentase berkisar antara rendah-sangat rendah; sedangkan BI hanya digunakan pada interaksi dengan tipe partisipan jaba yang berstatus kerja tinggi, lebih muda, dan pria/perempuan dengan persentase rendah. Pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, 81,5% (sangat tinggi) menggunakan KA, sedangkan 18,5% (sangat rendah) menggunakan KB. Penggunaan KA cenderung sangat tinggi pada hampir semua interaksi, kecuali pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, lebih muda, dan sepertinya berstatus kerja rendah. 165 Sebaliknya, KB juga digunakan pada semua interaksi dengan persentase di antara rendah-sangat rendah. 5.2.1.3 Triwangsa-Pekerjaan Tinggi-Muda-Laki-Laki (TTML) Data pada TTML menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan tertinggi ialah KA, yakni 74,3%; selanjutnya diikuti oleh KB, yakni 20,3%; dan BI, yakni 5,5%. Rerata persentase tersebut menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi, KB rendah, dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada TTML secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 91,11% (sangat tinggi) menggunakan KA, sedangkan 8,89% (sangat rendah) menggunakan BI. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan keluarga dengan persentase sangat tinggi; bahkan, mencapai persentase 100% pada interaksi dengan partisipan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara sepupu, dan saudara kandung. Sementara itu, penggunaan BI hanya terlihat pada interaksi dengan partisipan anak kandung dengan persentase tinggi. Selanjutnya, di domain tetangga, 94% (sangat tinggi) menggunakan KA, sedangkan 6% (sangat rendah) menggunakan KB. Berbeda dengan penggunaan BI yang hanya terlihat pada interaksi dengan tetangga jaba dengan persentase sangat rendah, KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe tetangga dengan persentase sangat tinggi. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 81% (sangat tinggi) responden menggunakan KA dan 19% (sangat rendah) menggunakan KB. 166 Penggunaan KA terlihat pada semua interaksi dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan semua atasan triwangsa. Persentase yang sama juga ditunjukkan pada interaksi dengan atasan jaba, lebih tua, dan pria/perempuan. Sementara itu, penggunaan KB hanya terlihat pada interaksi dengan atasan jaba, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dengan persentase cukup tinggi. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 76,2% (tinggi) menggunakan KA dan 23,8% (rendah) menggunakan KB. Pengunaan KA terlihat pada semua interaksi dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan semua atasan triwangsa, selain dengan atasan jaba, lebih tua, dan pria/perempuan. Sementara itu, penggunaan KB hanya terlihat pada interaksi dengan atasan jaba, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dengan persentase tinggi. Pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, 66,7% (tinggi) menggunakan KA dan 33,3% (rendah) menggunakan KB. Pengunaan KA terlihat pada semua interaksi dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan semua atasan triwangsa. Sementara itu, penggunaan KB hanya terlihat pada interaksi dengan semua atasan jaba dengan persentase yang berada di antara tinggicukup tinggi Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100% (sangat tinggi) menggunakan KA yang menunjukkan persentase sangat tinggi untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan triwangsa. Pada interaksi dengan partisipan jaba, 54% (cukup tinggi) menggunakan KA dan 46% (cukup tinggi) menggunakan KB. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan dan penggunaan KA lebih tinggi pada setiap interaksi. 167 Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan yang tidak dikenal, 42,9% (cukup tinggi) menggunakan KA, selanjutnya 28,6% (rendah) menggunakan KB, dan 28,6% (rendah) menggunakan BI. KA, KB, dan BI digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan yang tidak dikenal. Dalam hal ini, KA menunjukkan persentase tertinggi pada interaksi dengan partisipan yang sebaya/lebih tua, laki-laki/perempuan dan sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, sementara itu BI pada partisipan lebih muda, pria/perempuan dan sepertinya berstatus kerja rendah. 5.2.1.4 Triwangsa-Pekerjaan Tinggi-Muda-Perempuan (TTMP) Data pada TTMP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KA, yakni 77,4%; selanjutnya KB, yakni 13,1%; dan BI, yakni 9,5% . Rerata persentase tersebut menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi, sedangkan KB dan BI berkategori sangat rendah. Data yang diperoleh pada TTMP secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 89,3% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 10,6% (sangat rendah) menggunakan BI. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua partisipan keluarga dengan persentase sangat tinggi; bahkan, penggunaannya mencapai persentase 100% pada interaksi dengan partisipan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara sepupu, dan saudara kandung. Sementara itu, penggunaan BI hanya terlihat pada interaksi dengan anak kandung dengan persentase yang berkisar antara sangat tinggi-tinggi. Sementara itu, di domain tetangga, 100% (sangat tinggi) 168 menggunakan KA yang berarti bahwa KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe tetangga dengan persentase sangat tinggi. Di domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan 87,1% (tinggi) menggunakan KA dan 12,9% (sangat rendah) menggunakan BI. KA digunakan pada interaksi dengan semua tipe atasan dengan persentase yang lebih tinggi daripada BI; bahkan, menunjukkan persentase sangat tinggi pada interaksi dengan semua atasan triwangsa. Sementara itu, BI hanya digunakan dengan kataegori yang berkisar di antara rendah-sangat rendah pada interaksi dengan semua tipe atasan jaba. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 61,1% (tinggi) menggunakan KA dan 38,9% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe rekan kerja sejabatan dan menunjukkan persentase sangat tinggi, yakni 100% pada interaksi dengan semua rekan sejabatan triwangsa. Sementara itu, penggunaan KB hanya terlihat pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan jaba dengan persentase yang berkisar di antara sangat tinggi-tinggi. Pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, 58,3% (cukup tinggi) menggunakan KA dan 41,7% (cukup tinggi). KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe rekan sejabatan dan menunjukkan persentase sangat tinggi, yakni 100% pada interaksi dengan semua rekan kerja sejabatan triwangsa. Sementara itu, penggunaan KB hanya terlihat pada interaksi dengan rekan sejabatan jaba dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA dengan persentase berkisar di antara sangat tinggi-tinggi. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100% (sangat tinggi) menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi 169 pada interaksi dengan semua tipe partisipan. Pada interaksi dengan partisipan jaba, 70,4% (tinggi) menggunakan KA dan 29,6% (rendah) menggunakan KB. KA dan KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe partisipan dan penggunaan KA lebih tinggi daripada KB pada setiap interaksi. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal, 55,6% (cukup tinggi) menggunakan KA dan 44,4% (cukup tinggi) menggunakan KB. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe orang yang tidak dikenal dan penggunaan KA lebih tinggi daripada KB pada pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi, lebih tua/sebaya dan pria/perempuan; atau bestatus kerja menengah, lebih tua, dan pria/perempuan. Sementara itu, pada interaksi-interaksi yang lainnya penggunaan KA dan KB cenderung seimbang. 5.2.2 Triwangsa Kelas Menengah Triwangsa kelas menengah terdiri atas responden-responden triwangsa yang berposisi kerja sedang dan dinyatakan sebagai kelompok triwangsa kelas menengah. Kelompok ini juga terbagi atas umur dan gender yang menjadikannya tersusun atas empat subkelompok, yakni TSDL, TSDP, TSML, dan TSMP. Penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok ini dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut. 170 Tabel 5.2 Ringkasan Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Triwangsa Kelas Menengah DOMAIN TSDL TSDP TSML TSMP KK KB KA BI BL KK KB KA BI BL KK KB KA BI BL KK KB KA BI BL A 0 0 100 0 0 0 0 100 0 0 0 0 93,8 6,2 0 0 0 92 8 0 B 0 15,5 84,5 0 0 0 0 100 0 0 0 10 90 0 0 0 7,1 92,9 0 0 C 0 17,9 82,1 0 0 0 0 100 0 0 0 34,5 65,5 0 0 0 0 85,7 14,3 0 D 0 22,6 77,4 0 0 0 19 81 0 0 0 42,9 57,1 0 0 0 31,0 69,0 0 0 E 0 28,6 71,4 0 0 0 19 81 0 0 0 42,9 57,1 0 0 0 30,4 69,6 0 0 F 0 0 100 0 0 0 0 100 0 0 0 0 100 0 0 0 0 100 0 0 G 0 44,4 55,6 0 0 0 14,3 85,7 0 0 0 67,5 32,5 0 0 0 63,1 36,9 0 0 H 0 35,7 64,3 0 0 0 14,3 85,7 0 0 0 70,6 29,4 0 0 0 35,7 50 14,3 0 RERATA 0 21,8 78,2 0 0 0 8,5 91,5 0 0 0 35,6 63,7 0,6 0 0 22,7 72,7 4,6 0 Keterangan: Domain penggunaan bahasa A: domain keluarga, B: domain tetangga, C: domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan, D: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, E: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, F: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa, G: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan jaba dan H: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan tidak dikenal. Kode bahasa KK : Kode Kasar KB : Kode Biasa KA : Kode Alus BI : Bahasa Indonesia BL : Bahasa Lain 171 5.2.2.1 Triwangsa-Pekerjaan Sedang-Dewasa-Laki-Laki (TSDL) Data pada TSDL menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KA, yakni 78,2%, selanjutnya KB, yakni 21,8%. Rerata persentase tersebut menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi, sedangkan KB rendah. Data yang diperoleh pada TSDL secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 100% (sangat tinggi) responden menggunakan KA untuk bercakap-cakap dengan anggota keluarga, seperti kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara kandung, saudara sepupu, dan anak kandung. Di domain tetangga, 84,5% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 15,5% (sangat rendah) menggunakan KB. KA digunakan pada interaksi dengan persentase yang lebih tinggi daripada KB; bahkan, menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan semua tetangga triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba dengan persentase rendah. Di domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan, 82,1% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 17,9% (sangat rendah) menggunakan KB. KA digunakan pada semua interaksi dengan persentase yang lebih tinggi daripada KB dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan semua atasan triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba dengan persentase yang berkisar di antara cukup tinggi-rendah. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 77,4% (tinggi) menggunakan KA dan 22,6% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan dengan persentase yang lebih tinggi daripada KB pada interaksi dengan rekan sejabatan triwangsa, selain dengan rekan sejabatan jaba, lebih tua, dan 172 pria/perempuan. Sementara itu, KB hanya digunakan dengan persentase yang setara dengan KA pada interaksi dengan rekan sejabatan jaba, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, 71,4% (tinggi) menggunakan KA dan 28,6% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua rekan bawahan dan mencapai 100% pada percakapan dengan rekan bawahan triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada percakapan dengan rekan bawahan jaba dan menunjukkan persentase setara dengan KA pada percakapan dengan rekan bawahan jaba, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100% (sangat tinggi) menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi pada interaksi dengan semua tipe partisipan. Pada interaksi dengan partisipan jaba, 55,6% (cukup tinggi) menggunakan KA dan 44,4% (cukup tinggi) menggunakan KB. KA dan KB digunakan secara berimbang pada semua interaksi. Pada interaksi dengan partisipan yang tidak dikenal, 64,3% (tinggi) menggunakan KA, sedangkan 35,7% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan dengan penggunaan yang tinggi; demikian juga dengan BI, tetapi dengan penggunaan yang rendah. 5.2.2.2 Triwangsa-Pekerjaan Sedang-Dewasa-Perempuan (TSDP) Data pada TSDP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KA, yakni 91,5%, selanjutnya KB, yakni 8,5%. Persentase itu 173 menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori sangat tinggi, sedangkan penggunaan KB berkategori sangat rendah. Data yang diperoleh pada TSDP secara rinci diuraikan di bawah ini. Di domain keluarga, 100% (sangat tinggi) responden menggunakan KA untuk bercakap-cakap dengan anggota keluarga, seperti kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara kandung, saudara sepupu, dan anak kandung. Persentase yang sama juga ditunjukkan pada interaksi di domain tetangga yang dalam hal ini persentase 100% digunakan pada percakapan dengan semua tipe tetangga. Di domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan, 100% (sangat tinggi) responden menggunakan KA pada interaksi dengan semua tipe atasan. Sementara itu, pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan dan rekan kerja bawahan, 81% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 19% (sangat rrendah) menggunakan KB. KA digunakan pada interaksi dengan semua tipe rekan kerja sejabatan dengan persentase yang lebih tinggi daripada KB dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan/bawahan triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan/bawahan jaba dengan persentase yang berkisar di antara cukup tinggi-rendah. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100% (sangat tinggi) menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi pada interaksi dengan semua tipe partisipan. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba dan partisipan tidak dikenal, 85,7% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 14,3% (sangat rendah) menggunakan BI. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan 174 semua tipe partisipan yang dalam hal ini penggunaan KA lebih tinggi daripada KB pada setiap interaksi. 5.2.2.3 Triwangsa-Pekerjaan Sedang-Muda-Laki-Laki (TSML) Data pada TSML menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KA, yakni 63,7%; selanjutnya, KB, yakni 35,6%; dan BI, yakni 0,6% . Rerata persentase tersebut menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi, KB rendah, dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada TSML secara lebih rinci diuraikan di bawah ini. Di domain keluarga, 93,8% (sangat tinggi) responden menggunakan KA, sedangkan 6,2% (sangat rendah) menggunakan BI. Penggunaan KA sangat tinggi pada hampir semua interaksi; bahkan, menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara kandung, dan saudara sepupu. Sementara itu, BI hanya digunakan pada interaksi dengan anak dengan persentase tinggi. Sementara itu, di domain tetangga, 90% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 10% (sangat rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua tetangga dengan persentase sangat tinggi dan bahkan mencapai 100% pada interaksi dengan semua tipe tetangga triwangsa. Kemudian, KB hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba dengan persentase yang berada di antara cukup tinggi-rendah. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 65,5% (tinggi) responden menggunakan KA dan 34,5% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan 175 untuk bercakap-cakap dengan semua tipe atasan dan menunjukkan persentase 100% pada percakapan dengan semua atasan triwangsa. Selanjutnya, KB digunakan hanya untuk berinteraksi dengan atasan jaba dan berkategori seimbang dengan penggunaan KA pada interaksi dengan atasan jaba dan lebih tua, tetapi lebih tinggi dengan atasan jaba yang sebaya/lebih muda. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan dan bawahan, kategori persentase yang sama terlihat, yakni 57,1% (cukup tinggi) responden menggunakan KA dan 42,9% (cukup tinggi) mengunakan KB. KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua tipe rekan kerja sejabatan/bawahan dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan rekan kerja triwangsa yang sejabatan/bawahan. Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja jaba yang sejabatan/bawahan dengan persentase sangat tinggi. Di domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa, 100% (sangat tinggi) responden menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi pada interaksi dengan semua tipe partisipan itu. Pada interaksi dengan partisipan jaba, 67,5% (cukup tinggi) menggunakan KB dan 32,5% (rendah) menggunakan KA. KA dan KB digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua tipe partisipan jaba dan penggunaan KA cenderung untuk lebih tinggi pada setiap interaksi, kecuali pada interaksi dengan partisipan jaba, lebih tua, dan pria/perempuan. Di domain masyarakat pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, 70,6% (tinggi) responden menggunakan KB dan 29,4% (rendah) menggunakan KA. KB dan 176 KA digunakan pada percakapan dengan semua tipe partisipan dan penggunaan KB menunjukkan persentase yang lebih tinggi daripada KA pada setiap interaksi. 5.2.2.4 Triwangsa-Pekerjaan Sedang-Muda-Perempuan (TSMP) Data pada TSMP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KA, yakni 72,7%; selanjutnya KB, yakni 22,7%; dan BI, yakni 4,6% . Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi, KB rendah, dan BI sangat rendah. Secara lebih rinci, data yang diperoleh pada TSMP diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 92% (sangat tinggi) responden menggunakan KA dan 8% (sangat rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe anggota keluarga dengan persentase sangat tinggi; bahkan, penggunaannya menunjukkan 100% pada interaksi dengan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara sepupu, dan saudara kandung. Sebaliknya, penggunaan BI hanya terlihat pada interaksi dengan anak kandung dengan persentase tinggi. Selanjutnya, di domain tetangga, 92,9% (sangat tinggi) responden menggunakan KA dan 7,1% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua tipe tetangga dengan persentase sangat tinggi dan bahkan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan tetangga triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba dengan persentase sangat rendah. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 85,7% (sangat tinggi) responden menggunakan KA dan 14,3% (sangat rendah) menggunakan BI. 177 KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua tipe atasan dengan persentase sangat tinggi; bahkan, persentase 100% ditunjukkan pada interaksi dengan atasan triwangsa. Persentase yang sama terlihat pada penggunaan kode untuk berinteraksi dengan rekan kerja sejabatan dan bawahan, yakni 69% (tinggi) menggunakan KA dan 31% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua rekan kerja sejabatan/bawahan dan menunjukkan persentase 100% dengan semua tipe rekan kerja triwangsa sejabatan/bawahan. Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja jaba sejabatan/bawahan dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100% (sangat tinggi) responden menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi pada interaksi dengan semua tipe partisipan itu. Pada interaksi dengan partisipan jaba, 63,1% (tinggi) menggunakan KB dan 36,9% (rendah) menggunakan KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan jaba dan penggunaan KB terlihat lebih tinggi pada setiap interaksi. Pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, 50% (cukup tinggi) menggunakan KA; 35,7% (rendah) menggunakan KB; dan 14,3% (sangat rendah) menggunakan BI. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan dan penggunaan KA lebih tinggi daripada KB dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, dan pria/perempuan. Sementara itu, penggunaan KB lebih tinggi daripada KA pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja rendah, dan pria/perempuan. Sebaliknya, penggunaan BI digunakan pada 178 interaksi dengan persentase sangat rendah pada interaksi dengan semua tipe orang yang tidak dikenal, kecuali yang berstatus kerja rendah, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. 5.2.3 Triwangsa Kelas Bawah Triwangsa kelas bawah terdiri atas responden-responden triwangsa yang berposisi kerja rendah dan dinyatakan sebagai kelompok triwangsa kelas bawah. Kelompok itu terdiri atas TRDL, TRDP, TRML, dan TRMP. Sebagai tambahan, domain interaksi di tempat kerja dengan bawahan tidak ditanggapi oleh kelompok triwangsa kelas bawah karena kelompok itu tidak memiliki bawahan, melainkan hanya atasan dan rekan kerja sejabatan. Penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok ini dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut. 179 Tabel 5.3 Ringkasan Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Triwangsa Kelas Bawah DOMAIN TRDL TRDP KK KB KA KB KA A 0 0 100 0 0 0 0 100 0 0 B 0 23,8 76,2 0 0 0 7,1 92,9 0 C 0 33,3 66,7 0 0 0 8,3 91,7 D 0 41,1 58,9 0 0 0 16,7 E 0 0 0 0 0 0 F 0 0 100 0 0 G 0 56,7 43,3 0 H 0 73 27 RERATA 0 34,4 65,6 Keterangan: Domain penggunaan bahasa A: domain keluarga, B: domain tetangga, C: domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan, BI BL KK TRML BI BL KK TRMP KB KA BI KB KA BI BL 0 0 91,5 8,5 0 0 0 93 7 0 0 0 18,5 81,5 0 0 0 11,9 88,1 0 0 0 0 0 29,8 70,2 0 0 0 23,2 64,3 12,5 0 83,3 0 0 0 37,5 62,5 0 0 0 12,5 84,5 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0 100 0 0 0 0 100 0 0 0 0 31 69 0 0 0 63,5 36,5 0 0 0 52,8 47,2 0 0 0 0 0 19 81 0 0 0 66,1 33,9 0 0 0 39,7 38,1 22,2 0 0 0 0 12,7 87,3 0 0 0 32,6 66,4 1 0 0 22,1 71,4 6,6 0 D: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, E: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, F: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa, G: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan jaba dan H: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan tidak dikenal. BL KK Kode bahasa KK : Kode Kasar KB : Kode Biasa KA : Kode Alus BI : Bahasa Indonesia BL : Bahasa Lain 180 5.2.3.1 Triwangsa-Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (TRDL) Data pada TRDL menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KA, yakni 65,6%, selanjutnya, KB, yakni 34,4%. Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori cukup tinggi, sedangkan KB rendah. Data yang diperoleh pada TRDL secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 100% responden menggunakan KA untuk bercakapcakap dengan anggota keluarga, seperti kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, kakak laki-laki, adik laki-laki dan anak kandung. Sementara itu, di domain tetangga, 76,2% (tinggi) responden menggunakan KA dan 23,8% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan pada interaksi dengan semua tipe tetangga, menunjukkan persentase 100% dengan tetangga triwangsa, dan cukup tinggi dengan tetangga jaba, lebih tua, dan pria/perempuan. Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba dan menunjukkan penggunaan yang sama dengan KA pada tetangga jaba, sebaya, dan pria/perempuan; dan lebih tinggi dengan tetangga jaba, lebih muda, dan pria/perempuan. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 66,7% (tinggi) responden menggunakan KA dan 33,3% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan pada interaksi dengan seluruh tipe atasan dan menunjukkan 100% pada interaksi dengan semua tipe atasan triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi dengan semua tipe atasan jaba dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 58,9% (cukup tinggi) menggunakan KA dan 41,1% (cukup tinggi) menggunakan KB. KA digunakan pada semua interaksi 181 dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan triwangsa. Selanjutnya, KB hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan jaba dengan persentase yang berkisar di antara sangat tinggi-tinggi. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100% responden menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi pada interaksi dengan semua tipe partisipan itu. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 56,7% (cukup tinggi) menggunakan KB dan 43,3% (cukup tinggi) menggunakan KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan jaba dan penggunaan KB cenderung untuk lebih tinggi daripada KA, kecuali pada interaksi dengan partisipan jaba yang berstatus kerja tinggi/sedang. Untuk berinteraksi dengan partisipan yang tidak dikenal, 73% (cukup tinggi) menggunakan KB dan 27% (rendah) menggunakan KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan dan persentase KB cenderung lebih tinggi pada setiap interaksi, kecuali dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah/rendah, lebih tua, dan pria/perempuan. 5.2.3.2 Triwangsa-Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (TRDP) Data pada TRDP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KA, yakni 87,3%, selanjutnya, diikuti oleh KB, yakni 12,7%. Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KA berada pada persentase sangat tinggi, sedangkan KB sangat rendah. Data yang diperoleh pada TRDP secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. 182 Di domain keluarga, 100% responden menggunakan KA untuk bercakapcakap dengan anggota keluarga, seperti kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara kandung, saudara sepupu, dan anak kandung. Sementara itu, di domain tetangga, 92,9% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 7,1% (sangat rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe tetangga dengan persentase sangat tinggi, sedangkan KB hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba dengan persentase sangat rendah. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 91,7% (sangat tinggi) responden menggunakan KA dan 8,3% (sangat rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua tipe atasan dengan persentase sangat tinggi; bahkan, menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan atasan triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada percakapan dengan atasan jaba dengan persentase sangat rendah. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 83,3% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 16,7% (sangat rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua tipe atasan dengan persentase sangat tinggi; bahkan, menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada percakapan dengan rekan kerja sejabatan jaba dengan persentase rendah. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100% responden menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi pada interaksi dengan semua tipe partisipan. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 69% (tinggi) menggunakan KA dan 31% (rendah) menggunakan KB. KA dan KB 183 digunakan pada interaksi dengan semua tipe partisipan jaba yang dalam hal ini penggunaan KA lebih tinggi daripada KB pada semua interaksi, kecuali dengan partisipan yang sepertinya berstatus kerja rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Pada interaksi dengan partisipan yang tidak dikenal, 81% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 19% (sangat rendah) menggunakan KB. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan dan penggunaan KA menunjukkan persentase sangat tinggi pada setiap interaksi. 5.2.3.3 Triwangsa-Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (TRML) Data pada TRML menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KA, yakni 66,4%; selanjutnya, KB, yakni 32,6%; dan BI, yakni 1%. Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi, KB rendah, dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada TRML secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 91,5% (sangat tinggi) responden menggunakan KA, sedangkan 8,5% (sangat rendah) menggunakan BI. Berbeda dengan BI yang hanya digunakan untuk berinteraksi dengan partisipan anak dengan persentase tinggi, KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan; bahkan, menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan partisipan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara kandung, dan saudara sepupu. Sementara itu, di domain tetangga, 81,5% (sangat tinggi) menggunakan KA, dan 18,5% (sangat rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan seluruh tipe tetangga dengan persentase 184 yang lebih tinggi daripada KB dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan tetangga triwangsa. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 70,2% (tinggi) responden menggunakan KA dan 29,8% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe atasan dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan atasan triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi dengan atasan jaba dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 62,5% (tinggi) menggunakan KA dan 37,5% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe rekan sejabatan dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan rekan sejabatan triwangsa. Akan tetapi, KB hanya digunakan pada interaksi dengan atasan jaba dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100% responden menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi pada interaksi dengan semua tipe partisipan. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 63,5% (cukup tinggi) menggunakan KB dan 36,5% (rendah) menggunakan KA. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan jaba yang dalam hal ini penggunaan KB cenderung lebih tinggi pada setiap interaksi, kecuali dengan partisipan jaba, berstatus kerja tinggi/sedang/rendah, lebih tua, dan pria/perempuan. Untuk berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal, 66,1% (tinggi) menggunakan KA dan 33,9% (rendah) menggunakan KB. KA dan KB digunakan untuk 185 berinteraksi dengan semua tipe partisipan yang dalam hal ini penggunaan KB relatif lebih tinggi daripada KA pada semua interaksi. 5.2.3.4 Triwangsa-Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (TRMP) Data pada TRMP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KA, yakni 71,4%; selanjutnya, KB, yakni 22,1%; dan BI, yakni 6,6%. Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi, KB rendah, dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada TRMP secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 93% (sangat tinggi) responden menggunakan KA dan 7% (sangat rendah) menggunakan BI. Berbeda dengan BI yang hanya digunakan untuk berinteraksi dengan partisipan anak dengan persentase tinggi, KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan dan bahkan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan partisipan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara kandung, dan saudara sepupu. Sementara itu, di domain ketetanggaan, 88,1% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 11,9% (sangat rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe tetangga dengan persentase yang lebih tinggi daripada KB dan bahkan mencapai 100% pada interaksi dengan partisipan triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba dengan persentase yang berkisar di antara rendah-sangat rendah. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 64,3% (tinggi) menggunakan KA, 23,2% (rendah) responden menggunakan KB dan 12,5% (sangat 186 rendah) menggunakan BI. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe atasan dan menunjukkan persentase 100% dengan atasan jaba. Sementara itu, KB dan BI hanya digunakan pada interaksi dengan atasan jaba yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi daripada BI. Untuk berinteraksi dengan rekan kerja sejabatan, 84,5% (sangat tinggi) menggunakan KA, 12,5% (sangat rendah) menggunakan KB, dan 3% (sangat rendah) menggunakan BI. KA digunakan pada interaksi dengan seluruh rekan kerja sejabatan dan menunjukkan persentase 100% dengan rekan jaba yang sejabatan. Sementara itu, KB dan BI hanya digunakan pada interaksi dengan atasan jaba yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100% responden menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi pada interaksi dengan semua tipe partisipan triwangsa. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 52,8% (cukup tinggi) menggunakan KB dan 47,2% (cukup tinggi) menggunakan KA. KB dan KA digunakan pada interaksi dengan semua tipe partisipan jaba yang dalam hal ini penggunaan KA lebih tinggi pada interaksi dengan partisipan jaba yang berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Untuk berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal, 39,7% (rendah) menggunakan KB, 38,1% (rendah) menggunakan KA, dan 22,2% (rendah) menggunakan BI. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe orang yang tidak dikenal yang dalam hal ini penggunaan KA lebih tinggi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua, dan 187 pria/perempuan; penggunaan KB lebih tinggi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, sebaya dan pria/perempuan. Sebaliknya, BI digunakan pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tinggi/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dan menunjukkan persentase yang lebih tinggi daripada KA dan KB dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih muda, dan pria/perempuan 5.2.4 Analisis Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Triwangsa Untuk dapat memperbandingkan penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok triwangsa, lihat pada tabel 5.4 berikut ini. 188 Tabel 5.4 Rerata Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Triwangsa NO KELOMPOK TRIWANGSA TINGKAT TUTUR BAHASA BALI KK KB KA BI BL 1 TTDL 0 24 76 0 0 2 TTDP 0 7 93 0 0 3 TTML 0 20,3 74,3 5,5 0 4 TTMP 0 13,1 77,4 9,5 0 5 TSDL 0 21,8 78,2 0 0 6 TSDP 0 8,5 91,5 0 0 7 TSML 0 35,6 63,7 0,6 0 8 TSMP 0 22,7 72,7 4,6 0 9 TRDL 0 34,4 65,6 0 0 10 TRDP 0 12,7 87,3 0 0 11 TRML 0 32,6 66,4 1,0 0 12 TRMP 0 22,1 71,4 6,6 0 RERATA 0 21,9 76,1 2,1 0 Perbandingan penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok-kelompok penutur triwangsa menunjukkan bahwa penggunan KA mendominasi dengan persentase yang berada pada rentang sangat tinggi dan tinggi. Penggunaan yang sangat tinggi ditunjukkan oleh subkelompok TTDP, TSDP, dan TRDP; sedangkan, penggunaan yang tinggi ditunjukkan oleh subkelompok TTDL, TSDL, TRDL, TTML, TSML, TRML, TTMP, TSMP, dan TRMP. Perbedaan kategori itu menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam penggunaan KA yang dalam hal ini, penggunaan 189 KA yang sangat tinggi ditandai oleh kehadiran variabel perempuan dewasa dan triwangsa. Selain itu, penggunaan KB juga menunjukkan perbedaan kategori antara rendah dan sangat rendah. Kategori yang rendah ditunjukkan oleh subkelompok TTDL, TSDL, TRDL, TSML, TRML, TSMP, dan TRMP; sedangkan, kategori yang sangat rendah ditunjukkan oleh sub kelompok TTDP, TSDP, TRDP, TTML, dan TTMP. Penggunaan KB yang berkategori rendah berkaitan dengan kehadiran variabel pria dewasa dan triwangsa; atau status kerja menengah/rendah dan umur muda. Sementara itu, penggunaan KB yang berkategori sangat rendah berkaitan dengan kehadiran variabel perempuan dewasa dan triwangsa; atau kelas atas dan umur muda. Penggunaan BI hanya terlihat pada subkelompok TTML, TSML, TRML, TTMP, TSMP, dan TRMP, tetapi dengan kategori yang sangat rendah. Hal itu cenderung untuk menunjukkan bahwa penggunaan BI hanya ditemukan pada subkelompok yang ditandai oleh variabel umur muda. Untuk memperoleh gambaran yang lebih detail tabel 5.4 dapat dinyatakan pada gambar 5.2 di bawah ini. 190 100 80 60 40 20 0 KK KB KA BI Gambar 5.2 Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Triwangsa Gambar 5.2 menunjukkan tiga pola penggunaan tingkat tutur BB. Pola pertama adalah perbedaan kategori penggunaan KA antara sangat tinggi dan tinggi. Penggunaan KA yang sangat tinggi berkaitan dengan kehadiran variabel triwangsa dan perempuan dewasa, sedangkan penggunaan KA yang tinggi berkaitan dengan kehadiran variabel triwangsa dan laki-laki atau triwangsa, perempuan, dan umur muda. Pola kedua adalah perbedaan penggunaan KB, yakni antara rendah dan sangat rendah. Pengunaan KB yang rendah berkaitan dengan kehadiran variabel triwangsa, dewasa, dan laki-laki; atau status kerja menengah/rendah dan umur muda; sedangkan, 191 penggunaan KB yang sangat rendah berkaitan dengan kehadiran variabel triwangsa, dewasa, dan perempuan; atau kelas atas yang dilengkapi oleh umur muda. Pola terakhir adalah penggunaan BI yang sangat rendah yang berkaitan dengan kehadiran variabel umur muda. Analisis data yang dilakukan dalam kaitannya dengan domain penggunaan bahasa menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori sangat tinggi di domain keluarga, tetangga, dengan atasan di tempat kerja, dan dengan mitra tutur triwangsa di masyarakat; sedangkan, penggunaan KA berkategori tinggi dengan rekan kerja sejabatan dan bawahan di domain tempat kerja, dengan mitra tutur jaba di domain masyarakat, dan dengan orang yang tidak dikenal di domain masyarakat. Penggunaan KB berkategori cukup tinggi pada interaksi dengan mitra tutur jaba di domain masyarakat; rendah dengan rekan kerja sejabatan, dan rekan kerja bawahan di domain tempat kerja; dan sangat rendah di domain tetangga dan dengan atasan di domain tempat kerja. Sebaliknya, penggunaan BI berkategori sangat rendah di domain keluarga, dengan atasan dan rekan kerja sejabatan di domain tempat kerja, dan dengan orang yang tidak dikenal di domain masyarakat. Untuk lebih jelasnya, domain penggunaan bahasa pada triwangsa ditunjukkan pada tabel 5.5 berikut ini. 192 Tabel 5.5 Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Triwangsa di Domain Penggunaan Bahasa (dalam Persentase) NO DOMAIN TRIWANGSA KK KB KA BI BL 1 Keluarga 0 0 96,3 3,7 0 2 Tetangga 0 9,7 90,3 0 0 3 Tempat Kerja (Atasan) 0 16,4 80,5 3,1 0 4 Tempat Kerja (Sejabatan) 0 27,2 72,5 0,3 0 5 Tempat Kerja (Bawahan) 0 31,4 68,6 0 0 6 Masyarakat (Triwangsa) 0 0 100 0 0 7 Masyarakat (Jaba) 0 45,7 54,3 0 0 8 Masyarakat (Orang Yang Tidak Dikenal) 0 39,7 53,5 6,8 0 RERATA 0 22,0 76,1 1,9 0 Tabel 5.5 menunjukkan persentase penggunaan tingkat tutur BB yang berbeda berdasarkan domain penggunaannya. Dalam hal ini, penggunaan KA berada pada kategori tertinggi, selanjutnya diikuti oleh KB, KK, dan BI. 5.3 Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Jaba Seperti pada kelompok triwangsa, kelompok jaba juga dibagi menjadi tiga subkelompok berdasarkan poros wangsa-pekerjaan seperti berikut: 193 Gambar 5.3 Subkelompok pada Kelompok Jaba 5.3.1 Jaba Kelas Atas Jaba kelas atas terdiri atas responden-responden jaba yang berposisi kerja tinggi dan dinyatakan sebagai kelompok jaba kelas atas. Kelompok ini selanjutnya juga terbagi atas umur dan gender dan terdiri atas JTTL, JTTP, JTML, dan JTMP. Penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok ini ditunjukkan pada tabel 5.6 berikut ini. 194 Tabel 5.6 Ringkasan Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Jaba Kelas Atas RANAH JTDL JTDP JTML JTMP KK KB KA BI BL KK KB KA BI BL KK KB KA BI BL KK KB KA BI BL A 0 100 0 0 0 0 100 0 0 0 0 93,5 0 6,5 0 0 90,6 0 9,4 0 B 0 66,7 33,3 0 0 0 52,6 47,4 0 0 0 61,1 38,9 0 0 0 79,2 20,8 0 0 C 0 55 45 0 0 0 37,5 54,2 8,3 0 0 66,7 33,3 0 0 0 29,2 50 20,8 0 D 0 83,3 16,7 0 0 0 81,2 18,8 0 0 0 97,2 2,8 0 0 0 83,3 16,7 0 0 E 0 96,7 3,3 0 0 0 93,75 6,25 0 0 0 97,2 2,8 0 0 0 95,8 4,2 0 0 F 0 66,7 33,3 0 0 0 16,7 83,3 0 0 0 85,2 14,8 0 0 0 47,2 52,8 0 0 G 0 100 0 0 0 0 100 0 0 0 0 100 0 0 0 0 100 0 0 0 H 0 82,2 17,8 0 0 0 25 75 0 0 0 83,3 16,7 0 0 0 47,2 22,2 30,6 0 RERATA 0 81,6 18,4 0 0 0 61,4 37,7 0,9 0 0 86,2 13,1 0,7 0 0 70,7 213 8 0 Keterangan: Domain penggunaan bahasa A: domain keluarga, B: domain tetangga, C: domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan, D: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, E: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, F: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa, G: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan jaba dan H: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan tidak dikenal. Kode bahasa KK: Kode Kasar KB: Kode Biasa KA: Kode Alus BI: Bahasa Indonesia BL: Bahasa Lain 195 5.3.1.1 Jaba-Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Laki-Laki (JTDL) Data pada JTDL menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KB, yakni 81,6%, selanjutnya, KA, yakni 18,4%. Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori sangat tinggi, sedangkan KA sangat rendah. Data yang diperoleh pada JTDL secara rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 100% responden menggunakan KB untuk berinteraksi dengan semua tipe anggota keluarga yang memperlihatkan penggunaan yang sangat tinggi. Sementara itu, di domain tetangga, 66,7% (tinggi) menggunakan KB dan 33,3% (rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe tetangga dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan sesama tetangga jaba. Sebaliknya, KA hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga triwangsa dengan persentase yang lebih tinggi daripada KB. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 55% (cukup tinggi) responden menggunakan KB dan 45% (cukup tinggi) menggunakan KA. KA dan KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe atasan dan penggunaan KA lebih tinggi daripada KB pada interaksi dengan atasan triwangsa. Namun, penggunaan KB lebih tinggi daripada KA pada interaksi dengan atasan jaba. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 83,3% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 16,7% (sangat rendah) menggunakan KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe rekan kerja sejabatan dan penggunaan KB lebih tinggi pada setiap interaksi. Bahkan, penggunaan KB menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan rekan kerja jaba yang sejabatan. Pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, 96,7% (sangat 196 tinggi) menggunakan KB dan 3,3% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada semua interaksi dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA dan bahkan menunjukkan persentase 100% pada semua interaksi, kecuali dengan rekan kerja bawahan triwangsa, lebih tua, dan pria/perempuan. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 66,7% (cukup tinggi) responden menggunakan KB dan 33,3% (rendah) menggunakan KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi daripada KA pada hampir semua interaksi, kecuali dengan partisipan triwangsa, status kerja tinggi, lebih tua, dan pria/perempuan. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 100 % (sangat tinggi) menggunakan KB yang berarti bahwa KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan dengan persentase sangat tinggi. Untuk berinteraksi dengan partisipan yang tidak dikenal, 82,2% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 17,8% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan seluruh tipe orang tidak dikenal dengan persentase tinggi dan bahkan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan orang tidak dikenal yang sepertinya berposisi kerja rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. 5.3.1.2 Jaba-Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Perempuan (JTDP) Data pada JTDP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KB, yakni 61,4%; selanjutnya, KA, yakni 37,7%; dan BI, yakni 0,9% . Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori tinggi, KA rendah, 197 dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada JTDP diuraikan secara lebih rinci sebagai berikut. Di domain keluarga, 100% responden menggunakan KB untuk berinteraksi yang menunjukkan penggunaan sangat tinggi pada interaksi dengan semua tipe anggota keluarga. Sementara itu, di domain tetangga, 52,6% (cukup tinggi) menggunakan KB dan 47,4% (cukup tinggi) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba, selain dengan tetangga triwangsa yang berumur lebih muda dan pria/perempuan, dan mencapai 100% pada interaksi dengan tetangga jaba. Sementara itu, KA hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga triwangsa dengan persentase yang lebih tinggi daripada KB dan bahkan mencapai 100% pada interaksi dengan tetangga triwangsa, lebih tua/sebaya, dan pria/perempuan. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 54,2% (cukup tinggi) responden menggunakan KA, 37,5% (rendah) menggunakan KB, dan 8,3% (sangat rendah) menggunakan BI. KA digunakan pada interaksi dengan semua tipe atasan dan menunjukkan persentase tertinggi pada interaksi dengan atasan triwangsa; KB hanya digunakan pada interaksi dengan semua atasan jaba dengan persentase tertinggi; Selanjutnya, BI hanya digunakan pada interaksi dengan atasan triwangsa dengan persentase yang berkisar di antara rendah-sangat rendah. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 81,2% menggunakan KB dan 18,8% menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe rekan kerja sejabatan dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan rekan kerja jaba yang sejabatan. Sementara itu, penggunaan KA hanya terlihat pada interaksi dengan rekan 198 kerja triwangsa yang sejabatan. Pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, 93,8% menggunakan KB dan 6,2% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe rekan kerja bawahan dengan persentase masing-masing yang sangat tinggi, sedangkan KA hanya digunakan pada interaksi dengan tipe rekan kerja bawahan triwangsa dengan persentase masing-masing yang sangat rendah. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 83,3% (sangat tinggi) responden menggunakan KA dan 33,3% (rendah) menggunakan KA. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan triwangsa yang dalam hal ini penggunaan KA menunjukkan persentase yang lebih tinggi daripada KB pada setiap interaksi. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 100 % (sangat tinggi) menggunakan KB yang berarti bahwa KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan jaba dengan persentase sangat tinggi. Pada interaksi dengan partisipan yang tidak dikenal, 75% (tinggi) menggunakan KA dan 25% menggunakan KB. KA dan KB digunakan pada interaksi dengan seluruh tipe partisipan yang dalam hal ini penggunaan KA menunjukkan penggunaan yang lebih tinggi, kecuali dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja rendah, lebih muda, dan pria/perempuan. 5.3.1.3 Jaba-Pekerjaan Tinggi-Muda-Laki-Laki (JTML) Data pada JTML menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KB, yakni 86,2%; selanjutnya KA, yakni 13,1%; dan BI, yakni 0,7% . Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori sangat tinggi, 199 sedangkan KA dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada JTML secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 93,5% (sangat tinggi) responden menggunakan KB, sedangkan 6,5% (sangat rendah) menggunakan BI. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan, kecuali anak kandung, dengan persentase mencapai 100%; BI hanya digunakan pada interaksi dengan partisipan anak kandung dengan persentase mencapai 100%. Sementara itu, di domain tetangga, 61,1% (tinggi) menggunakan KB dan 38,9% (rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan hampir semua tetangga, kecuali tetangga triwangsa yang berumur lebih tua, dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan tetangga jaba. Sebaliknya, KA hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga triwangsa dengan persentase yang lebih tinggi daripada KB dan bahkan mencapai persentase 100% pada interaksi dengan tetangga triwangsa, lebih tua, dan pria/perempuan. Di domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan, 66,7% (sangat rendah) responden menggunakan KB dan 33,3% (rendah) menggunakan KA. KB dan KA digunakan pada interaksi dengan semua tipe atasan dan penggunaan KB cenderung untuk lebih tinggi pada setiap interaksi. Interaksi dengan rekan kerja sejabatan dan bawahan menunjukkan persentase yang sama, yakni 97,2% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 2,8% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe rekan sejabatan/bawahan dengan persentase sangat tinggi, sedangkan KA hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan/bawahan triwangsa, lebih tua, dan pria/perempuan. 200 Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 85,2% (sangat tinggi) responden menggunakan KB dan 14,8% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe partisipan triwangsa dengan persentase yang lebih tinggi dan bahkan mencapai 100% dengan partisipan triwangsa, status kerja rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. sementara itu, KA hanya digunakan pada interaksi dengan partisipan triwangsa, status kerja tinggi/sedang, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dengan persentase yang berkisar di antara rendah-sangat rendah. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 100% (sangat tinggi) menggunakan KB yang berarti bahwa KB digunakan pada interaksi dengan seluruh tipe partisipan jaba dengan persentase sangat tinggi. Untuk berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal, 83,3% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 16,7% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe orang yang tidak dikenal dan menunjukkan penggunaan yang cenderung lebih tinggi daripada KA pada setiap interaksi. Sementara itu, penggunaan KB hanya terlihat pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua/sebaya, dan pria/perempuan. 5.3.1.4 Jaba-Pekerjaan Tinggi-Muda-Perempuan (JTMP) Data pada JTMP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KB, yakni 70,7%; selanjutnya, KA, yakni 21,3%; dan BI, yakni 8%. 201 Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori tinggi, KA rendah, dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada JTMP secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 90,6% (sangat tinggi) responden menggunakan KB dan 9,4% (sangat rendah) menggunakan BI. KB dipilih untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan, kecuali anak kandung, dengan persentase mencapai 100%; sedangkan, BI hanya terlihat pada interaksi dengan anak kandung dengan persentase mencapai 100%. Sementara itu, di domain ketetanggaan, 79,2% (tinggi) menggunakan KB dan 20,8% (rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe tetangga dan menunjukkan persentase 100% dengan tetangga jaba. Sebaliknya, KA hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba, lebih tua, dan pria/perempuan. Di domain tempat kerja di dalam interaksi dengan atasan, 50% (cukup tinggi) responden menggunakan KA, sedangkan 29,2% (rendah) menggunakan KB dan 20,8% (rendah) menggunakan BI. KA digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe atasan dengan persentase yang lebih tinggi daripada KB, kecuali dengan atasan jaba, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. KB hanya digunakan pada interaksi dengan atasan jaba dan menunjukkan persentase yang lebih tinggi daripada KA pada interaksi dengan atasan triwangsa, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan; dan atasan jaba, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi dengan atasan triwangsa, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dengan persentase yang sama dengan KA. Untuk berinteraksi dengan rekan kerja sejabatan, 83,3% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 16, 7% (sangat 202 rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe rekan kerja kerja sejabatan dengan persentase masing-masing lebih tinggi daripada KA.Sebaliknya, KA hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan triwangsa. Untuk berinteraksi dengan rekan kerja bawahan, 95,8% (sangat tinggi) responden menggunakan KB dan 4,2% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe rekan kerja bawahan dengan persentase sangat tinggi pada masing-masing interaksi, sedangkan KA hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, lebih tua, dan pria/perempuan. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 52,8% (cukup tinggi) responden menggunakan KA dan 47,2% (cukup tinggi) menggunakan KB. KA dan KB digunakan pada interaksi dengan seluruh tipe partisipan triwangsa dengan penggunaan yang relatif berimbang, kecuali pada interaksi dengan partisipan triwangsa, status kerja tinggi, lebih tua, dan pria/perempuan. Pada interaksi dengan partisipan jaba, 100% (sangat tinggi) menggunakan KB yang berarti bahwa KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan dengan persentase masing-masing sangat tinggi. Untuk berinteraksi dengan orsang yang tidak dikenal, 47,2% (cukup tinggi) responden menggunakan KB, 22,2% (rendah) menggunakan KA dan 30,6% (rendah) menggunakan BI. KB dan BI digunakan pada interaksi dengan semua tipe orang yang tidak dikenal yang dalam hal ini penggunaan KA lebih tinggi dengan orang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan 203 pria/perempuan. Sementara itu, KA hanya digunakan pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah dan pria/perempuan. 5.3.2 Jaba Kelas Menengah Jaba kelas menengah terdiri atas responden-responden jaba yang berposisi kerja menengah dan dinyatakan sebagai kelompok jaba kelas menengah. Kelompok ini selanjutnya juga terbagi atas umur dan gender dan terdiri atas JSDL, JSDP, JSML, dan JSMP. Penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok ini dapat dilihat pada tabel 5.7 berikut. 204 Tabel 5.7 Ringkasan Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Jaba Kelas Menengah RANAH JSDL JSDP KK KB KA BI BL KK KB A 0 100 0 0 0 0 100 B 0 76,2 23,8 0 0 0 C 0 83,8 16,2 0 0 D 0 92,9 7,1 0 E 0 92,9 7,1 F 0 74,6 G 0 H RERATA JSMP BI BL KK KB KA BI BL KK KB KA 0 0 0 0 91,2 0 8,8 0 0 92 0 8 0 54,8 45,2 0 0 0 79,8 20,2 0 0 0 66,7 33,3 0 0 0 41,7 53,6 4,8 0 0 75,6 24,4 0 0 0 61,9 32,1 6 0 0 0 81 19 0 0 0 92,9 7,1 0 0 0 81 19 0 0 0 0 0 95,2 4,8 0 0 0 92,9 7,1 0 0 0 81 19 0 0 25,4 0 0 0 47,6 52,4 0 0 0 73,8 26,2 0 0 0 59,5 40,5 0 0 96,8 3,2 0 0 0 93,7 6,3 0 0 0 100 0 0 0 0 96,8 3,2 0 0 0 93,7 6,3 0 0 0 50 50 0 0 0 92,9 7,1 0 0 0 57,1 31,7 11,1 0 0 88,8 11,2 0 0 0 69,4 30,1 0,5 0 0 87,6 11,5 0,9 0 0 73,9 22,9 3,2 0 Keterangan: Domain penggunaan bahasa A: domain keluarga, B: domain tetangga, C: domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan, KA JSML D: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, E: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, F: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa, G: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan jaba dan H: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan tidak dikenal. Kode bahasa KK: Kode Kasar KB: Kode Biasa KA: Kode Alus BI BL BI: Bahasa Indonesia BL: Bahasa Lain 205 5.3.2.1 Jaba-Pekerjaan Sedang-Dewasa-Laki-Laki (JSDL) Data pada JSDL menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KB, yakni 88,8%, selanjutnya, KA, yakni 11,2%. Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori sangat tinggi, sedangkan KA sangat rendah. Data yang diperoleh pada JSDL secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 100% responden menggunakan KB untuk berinteraksi dengan setiap anggota keluarga dan itu memperlihatkan penggunaan yang sangat tinggi. Sementara itu, di domain tetangga, 76,2% (tinggi) menggunakan KB dan 23,8% (rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe tetangga dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA, kecuali dengan tetangga triwangsa, lebih tua, dan pria/perempuan, dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan semua tetangga jaba. Sementara itu, KA hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga triwangsa dengan persentase cenderung lebih rendah daripada KB pada setiap interaksi. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 83,8% (sangat tinggi) responden menggunakan KA dan 16,2% (sangat rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua atasan dengan persentase sangat tinggi, kecuali dengan atasan triwangsa, lebih tua/sebaya dan pria/perempuan. Sementara itu, KA digunakan pada interaksi dengan semua atasan triwangsa, selain dengan atasan jaba, lebih tua/sebaya, dan pria/perempuan, dengan persentase yang berkisar di antara rendah-sangat rendah. Persentase yang ditunjukkan pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan dan bawahan adalah sama, yakni 92,9% (sangat tinggi) 206 menggunakan KB dan 7,1% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe rekan sejabatan/bawahan dengan persentase sangat tinggi, sedangkan KA hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan/bawahan triwangsa dengan persentase sangat rendah. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 74,6% (tinggi) responden menggunakan KB dan 25,4% (rendah) menggunakan BI. KB dan BI digunakan pada interaksi dengan seluruh partisipan triwangsa yang dalam hal ini penggunaan KB menunjukkan persentase yang lebih tinggi pada setiap interaksi. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 96,8% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 3,2% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan jaba dengan persentase sangat tinggi, sedangkan KA hanya digunakan untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, status kerja tinggi, lebih tua, dan pria/perempuan. Untuk berinteraksi dengan partisipan yang tidak dikenal, 93,7% (sangat tinggi) responden menggunakan KB dan 6,3% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada semua interaksi dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA dan mencapai 100% pada interaksi dengan orang tidak dikenal, sepertinya berpekerjaan sedang/rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Sementara itu, KA hanya digunakan pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, status kerja tinggi, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. 207 5.3.2.2 Jaba-Pekerjaan Sedang-Dewasa-Perempuan (JSDP) Data pada JSDP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KB, yakni 69,4%; selanjutnya, KA, yakni 30,1%; dan BI, yakni 0,5% . Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori tinggi, KA rendah, dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada JSDP secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 100% responden menggunakan KB untuk berinteraksi dengan setiap anggota keluarga dan itu memperlihatkan penggunaan yang sangat tinggi. Sementara itu, di domain tetangga, 54,8% (cukup tinggi) menggunakan KB dan 45,2% (cukup tinggi) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe tetangga, kecuali triwangsa-lebih tua, dan menunjukkan persentase yang lebih tinggi daripada KA pada interaksi dengan tetangga jaba. Sebaliknya, KA digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan tetangga, kecuali jaba, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan, dan menunjukkan persentase sangat tinggi pada interaksi dengan tetangga triwangsa. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 53,6% (cukup tinggi) responden menggunakan KA, 41,7% (cukup tinggi) menggunakan KB, dan 4,8% menggunakan BI. KA dan BI digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe atasan yang dalam hal ini penggunaan KA lebih tinggi pada interaksi dengan atasan triwangsa dan KB lebih tinggi dengan atasan jaba. Sementara itu, BI hanya digunakan pada interaksi dengan atasan triwangsa, lebih tua/sebaya dan pria/perempuan. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 81% (sangat tinggi) 208 menggunakan KB dan 19% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan rekan kerja sejabatan dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan rekan sejabatan jaba, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Sementara itu, KA hanya digunakan pada interaksi dengan rekan sejabatan triwangsa dengan persentase lebih rendah daripada KB yang berkisar di antara cukup tinggi-rendah. Untuk berinteraksi dengan rekan kerja bawahan, 95,2% (sangat tinggi) responden menggunakan KB dan 4,8% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe rekan kerja bawahan dengan persentase masing-masing sangat tinggi, sedangkan KA hanya digunakan untuk berinteraksi dengan rekan kerja bawahan triwangsa, lebih tua/sebaya dan pria/erempuan dengan persentase masing-masing sangat rendah. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 52,4% (cukup tinggi) responden menggunakan KA dan 47,6% (cukup tinggi) menggunakan KB. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan triwangsa yang dalam hal ini penggunaan KA lebih tinggi daripada KB dengan partisipan triwangsa, status kerja tinggi/menengah, lebih tua/sebaya, dan pria/perempuan. Sebaliknya, penggunaan KB lebih tinggi daripada KA pada interaksi dengan partisipan triwangsa, status kerja tinggi/menengah, lebih muda, dan pria/perempuan; dan partisipan triwangsa, status kerja rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan 209 Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 93,7% (sangat tinggi) responden menggunakan KB dan 6,3% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan seluruh tipe partisipan jaba dengan persentase sangat tinggi, sedangkan KA hanya terdapat pada interaksi dengan partisipan jaba, status kerja tinggi, lebih tua, dan pria/perempuan dengan persentase sangat rendah. Pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, penggunaan KA dan KB sama, yakni 50%:50%. Keduanya digunakan secara berimbang untuk berinteraksi dengan semua tipe orang yang tidak dikenal. 5.3.2.3 Jaba-Pekerjaan Sedang-Muda-Laki-Laki (JSML) Data pada JSML menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KB, yakni 87,6%; selanjutnya, KA, yakni 11,5%; dan BI, yakni 0,9% . Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori sangat tinggi, sedangkan KA dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada JSML secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 91,2% (sangat tinggi) responden menggunakan KB, sedangkan 8,8% (sangat rendah) menggunakan BI. Berbeda dengan BI yang hanya digunakan pada interaksi dengan anak kandung dengan persentase yang berkisar di antara sangat tinggi-tinggi, KB digunakan untuk berinteraksi dengan hampir semua tipe anggota keluarga dengan persentase sangat tinggi, kecuali dengan anak kandung, dan bahkan mencapai 100% pada interaksi dengan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara kandung, dan saudara sepupu. Sementara itu, di domain tetangga, 79,8% 210 (tinggi) menggunakan KB dan 20,2% (rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi pada seluruh tipe tetangga dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA, kecuali dengan tetangga triwangsa, lebih tua, dan pria/perempuan, dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan tetangga jaba. Sementara itu, KA hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga triwangsa. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 75,6% (tinggi) responden menggunakan KB dan 24,4% (rendah) menggunakan KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe atasan yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi. Interaksi dengan rekan kerja sejabatan menunjukkan persentase yang sama dengan rekan kerja bawahan, yakni 92,9% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 7,1% (sangat rendah) menggunakan BI. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe rekan sejabatan/bawahan dengan persentase sangat tinggi, sedangkan KA hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan/bawahan triwangsa dengan persentase sangat rendah. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 73,8% (tinggi) responden menggunakan KB dan 26,2% (rendah) menggunakan KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan triwangsa yang dalam hal ini penggunaan KB cenderung lebih tinggi pada setiap interaksi. Pada interaksi dengan partisipan jaba, 100% (sangat tinggi) menggunakan KB yang berarti bahwa KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan jaba dengan persentase sangat tinggi. Pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, 92,9% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 7,1% (sangat rendah) menggunakan KA. KB 211 digunakan pada interaksi dengan semua tipe orang yang tidak dikenal dengan persentase sangat tinggi; sedangkan, penggunaan KB hanya terlihat dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua/sebaya, dan pria/perempuan. 5.3.2.4 Jaba-Pekerjaan Sedang-Muda-Perempuan (JSMP) Data pada JSMP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KB, yakni 73,9%; selanjutnya, KA, yakni 22,6%; dan BI, yakni 3,2%. Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori tinggi, KA rendah, dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada JSMP secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 92% (sangat tinggi) responden menggunakan KB, sedangkan 8% (sangat rendah) menggunakan BI. Berbeda dengan BI yang hanya digunakan pada interaksi dengan partisipan anak kandung dengan persentase di antara tinggi-sangat tinggi, KB digunakan untuk berinteraksi dengan hampir semua tipe partisipan dengan persentase sangat tinggi dan bahkan mencapai 100% pada interaksi dengan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara kandung, dan saudara sepupu. Sementara itu, di domain tetangga, 66,7% (tinggi) menggunakan KB dan 33,3% (rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe tetangga dan menunjukkan persentase yang lebih tinggi dengan tetangga jaba; sedangkan, KA hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga triwangsa dengan persentase yang lebih tinggi daripada KB. 212 Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 61,9% (tinggi) responden menggunakan KB dan 32,1% (rendah) menggunakan KB. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi dengan atasan jaba, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. sementara itu, KA menunjukkan persentase yang lebih tinggi dengan atasan triwangsa, lebih tua, dan pria/perempuan. Interaksi dengan rekan kerja sejabatan menunjukkan persentase yang sama dengan interaksi dengan rekan kerja bawahan, yakni KB 81% (sangat tinggi) dan KA 19% (sangat rendah). KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua rekan kerja sejabatan/bawahan dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA dan menunjukkan persentase 100% dengan rekan kerja sejabatan/bawahan jaba, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Di domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa, 59,5% (cukup tinggi) responden menggunakan KB dan 40,5% (cukup tinggi) menggunakan KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan triwangsa yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi pada setiap interaksi. Pada interaksi dengan partisipan jaba, 96,8% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 3,2% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua partisipan jaba dengan persentase sangat tinggi, sedangkan KA hanya digunakan dengan partisipan jaba, status kerja tinggi, lebih tua, dan pria/perempuan. Pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, 57,1% (cukup tinggi) responden menggunakan KB, 31,7% (rendah) menggunakan KA dan 11,1% (sangat 213 rendah) menggunakan BI. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe orang yang tidak dikenal yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih muda, dan pria/perempuan; dan yang berstatus kerja rendah, lebih tua/menengah/lebih muda, dan pria/perempuan. Sebaliknya, penggunaan KA lebih tinggi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua, dan pria/perempuan. Sementara itu, penggunaan BI hanya terlihat pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua, dan pria/perempuan. 5.3.3 Jaba Kelas Bawah Jaba kelas bawah terdiri atas responden-responden jaba yang berposisi kerja rendah dan dinyatakan sebagai kelompok jaba kelas bawah. Dari kedelapan domain bahasa, domain interaksi di tempat kerja dengan bawahan tidak ditanggapi oleh kelompok jaba kelas bawah karena kelompok itu tidak memiliki bawahan; melainkan, hanya atasan dan rekan kerja sejabatan. Penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok ini bisa dilihat pada tabel 5.8 berikut. 214 Tabel 5.8 Ringkasan Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Jaba Kelas Bawah RANAH JRDL JRDP JRML KK KB KA BI BL KK KB KA BI A 5,9 94,1 0 0 0 0 100 0 0 0 B 11,3 55,4 33,3 0 0 0 52,4 47,6 0 C 0 82,1 17,9 0 0 0 53,6 46,4 D 0 81,0 19,0 0 0 0 82,1 E 0 0 0 0 0 0 F 0 71,4 28,6 0 0 G 7,1 92,9 0 0 H 0 88,9 11,1 RERATA 2 77,7 20,3 Keterangan: Domain penggunaan bahasa A: domain keluarga, B: domain tetangga, C: domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan, BL KK JRMP KB KA BI KB KA BI BL 8,6 82,8 0 8,6 0 0 92 0 8 0 0 8 81,7 10,3 0 0 4,8 63,1 32,1 0 0 0 0 0 84,5 15,5 0 0 0 59,5 27,4 13,1 0 17,9 0 0 0 88,1 11,9 0 0 0 73,8 26,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 47,6 52,4 0 0 0 62,7 37,3 0 0 0 69,8 30,2 0 0 0 0 81 19 0 0 0 96,8 3,2 0 0 0 100 0 0 0 0 0 0 55,6 44,4 0 0 0 93,7 6,3 0 0 0 68,3 11,1 20,6 0 0 0 0 60,4 39,6 0 0 2 78,3 18,6 1,1 0 0,6 70,9 22,4 6,1 0 D: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, E: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, F: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa, G: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan jaba dan H: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan tidak dikenal. BL KK Kode bahasa KK: Kode Kasar KB: Kode Biasa KA: Kode Alus BI: Bahasa Indonesia BL: Bahasa Lain 215 5.3.3.1 Jaba-Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (JRDL) Data pada JRDL menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KB, yakni 77,7%; selanjutnya, KA, yakni 20,3%; dan KK, yakni 2%. Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori tinggi, sedangkan KA dan KK sangat rendah. Data yang diperoleh pada JRDL secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 94,1% (sangat tinggi) responden menggunakan KB dan 5,9% (sangat rendah) menggunakan KK. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh anggota keluarga dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, kakak, dan saudara sepupu. Sementara itu, KK hanya digunakan pada interaksi dengan adik dan anak kandung. Pada interaksi dengan tetangga, 55,4% (cukup tinggi) menggunakan KB, 33,3% (rendah) menggunakan KA, dan 11,3% (sangat rendah) menggunakan KK. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe tetangga dan menunjukkan persentase tertinggi pada interaksi dengan tetangga jaba; KA hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga triwangsa dengan persentase tertinggi; KK hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba dengan persentase rendah. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 82,1% (sangat tinggi) responden menggunakan KB dan 17,9% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe atasan dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA dan bahkan menunjukkan 100% dengan atasan jaba, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 81% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 19% 216 (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe rekan sejabatan dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA dan bahkan, menunjukkan 100% dengan rekan kerja sejabatan jaba, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 71,4% (tinggi) responden menggunakan KB dan 28,6% (rendah) menggunakan KA. KB dan KA digunakan pada percakapan dengan semua tipe partisipan triwangsa yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi, kecuali dengan partisipan triwangsa, status kerja tinggi lebih tua, dan pria/perempuan. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 92,9 % (sangat tinggi) menggunakan KB dan 7,1% (sangat rendah) menggunakan KK. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan dengan persentase yang lebih tinggi daripada KK. Sebaliknya, KK hanya digunakan pada interaksi dengan partisipan jaba, status kerja rendah, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Untuk berinteraksi dengan partisipan yang tidak dikenal, 88,9% (sangat tinggi) menggunakan KB, sedangkan 11,1% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan tidak dikenal dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA, sedangkan KA hanya digunakan untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua/sebaya dan pria/perempuan. 5.3.3.2 Jaba-Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (JRDP) Data pada JRDP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KB, yakni 60,4%, selanjutnya, KA, yakni 39,6%. 217 Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori cukup tinggi, sedangkan KA rendah. Data yang diperoleh pada JRDP secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 100% responden menggunakan KB yang berarti penggunaan sangat tinggi untuk berinteraksi dengan setiap anggota keluarga: kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara sepupu, dan saudara kandung. Sementara itu, untuk berinteraksi di domain tetangga, 52,4% (cukup tinggi) menggunakan KB dan 47,6% (cukup tinggi) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan hampir seluruh tipe tetangga, kecuali tetangga triwangsa, lebih tua, dan pria/perempuan, dan lebih tinggi pada interaksi dengan semua tipe tetangga jaba. Sebaliknya, KA digunakan untuk berinteraksi dengan hampir seluruh tipe tetangga, kecuali tetangga jaba, lebih muda, dan pria/perempuan, dan menunjukkan penggunaan lebih tinggi daripada KB pada interaksi dengan semua tetangga triwangsa. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 53,6% (cukup tinggi) responden menggunakan KB dan 46,4% (cukup tinggi) menggunakan KA. KB dan KA digunakan pada interaksi dengan semua tipe atasan yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi daripada KA pada atasan jaba. Sebaliknya, penggunaan KA lebih tinggi daripada KA pada interaksi dengan atasan triwangsa. Untuk berinteraksi dengan rekan kerja sejabatan, 82,1% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 17,9% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe rekan kerja sejabatan dengan persentase 218 yang lebih tinggi daripada KA dan menunjukkan 100% dengan rekan sejabatan jaba. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 52,4% (cukup tinggi) responden menggunakan KA dan 47,6% (cukup tinggi) menggunakan KB. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan yang dalam hal ini KB menunjukkan persentase yang lebih tinggi pada interaksi dengan partisipan triwangsa, status kerja tinggi/menengah, lebih muda, dan pria/perempuan; dan partisipan triwangsa, status kerja rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Pada interaksi dengan partisipan jaba, 81% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 19% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi denga semua tipe partisipan jaba dengan persentase yang lebih tinggi dan bahkan, mencapai 100% dengan partisipan jaba, status kerja rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Sementara itu, KA hanya digunakan pada interaksi dengan partisipan jaba, status kerja tinggi/menengah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dengan persentase rendah. Untuk berinteraksi dengan partisipan yang tidak dikenal, 55, 6% (cukup tinggi) responden menggunakan KB dan 44,4% (cukup tinggi) menggunakan KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe orang yang tidak dikenal yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Sebaliknya penggunaan KA lebih tinggi daripada KB 219 pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, pria/perempuan. 5.3.3.3 Jaba-Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (JRML) Data pada JRML menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KB, yakni 78,3%; selanjutnya KA, yakni 18,6%; KK, yakni, 2%; dan BI, yakni 1,1%. Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori tinggi, sedangkan, KA, KK, dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada JRML secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 82,8% (sangat tinggi) responden menggunakan KB, 8,6% (sangat rendah) responden menggunakan KK, dan 8,6% (sangat rendah) menggunakan BI. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe anggota keluarga dengan penggunaan tertinggi, kecuali pada anak kandung; KK hanya digunakan untuk berinteraksi dengan saudara sepupu dan saudara kandung dengan persentase di antara rendah-sangat rendah; BI hanya digunakan untuk berinteraksi dengan anak kandung dengan persentase tertinggi. Sementara itu, untuk berinteraksi dengan tetangga, 84,5% (sangat tinggi) menggunakan KB, 10,3% (cukup tinggi) menggunakan KA, dan 8% (sangat rendah) menggunakan KK. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe tetangga dan menunjukkan persentase tertinggi pada interaksi dengan tetangga jaba, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan; KA digunakan dengan tetangga triwangsa dan tetangga jaba, lebih tua, dan pria/perempuan dengan persentase tertinggi; KK hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba, sebaya/lebih muda dengan persentase sangat rendah 220 Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 84,5% (sangat tinggi) responden menggunakan KB dan 15,5% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe atasan dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA dan menunjukkan 100% pada atasan jaba. Sebaliknya, KA hanya digunakan pada interaksi dengan atasan triwangsa, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dengan persentase rendah. Untuk berinteraksi dengan rekan kerja sejabatan, 88,1% (tinggi) menggunakan KB dan 11,9% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe atasan dengan persentase yang lebih tinggi dan menunjukkan 100% pada atasan jaba. Sebaliknya, KA hanya digunakan pada interaksi dengan atasan triwangsa, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dengan persentase rendah. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 62,7% (tinggi) responden menggunakan KB dan 37,3% (rendah) menggunakan KA. KB dan KA digunakan pada interaksi dengan semua tipe partisipan triwangsa yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi daripada KA, kecuali pada partisipan triwangsa, status kerja tinggi/menengah/rendah, lebih tua, dan pria/perempuan. Pada interaksi dengan partisipan jaba, 96,8% menggunakan KB dan 3,2% menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan jaba dengan persentase masing-masing sangat tinggi, sedangkan KA hanya digunakan pada interaksi dengan partisipan jaba, status kerja tinggi/menengah, lebih tua, dan pria/perempuan dengan persentase sangat rendah. Pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, 93,7% (sangat tinggi) 221 menggunakan KB dan 6,3% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe orang tidak dikenal dengan persentase sangat tinggi pada masing-masing interaksi, sedangkan KA hanya digunakan pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua/sebaya dan pria/perempuan dengan persentase sangat rendah. 5.3.3.4 Jaba- Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (JRMP) Data pada JRMP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas tertinggi ialah KB, yakni 70,9%; selanjutnya, KA, yakni 22,4%; dan BI, yakni 6,1%; dan KK, yakni 0,6%. Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori tinggi, KA rendah, sedangkan BI dan KK sangat rendah. Data yang diperoleh pada JRMP secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut. Di domain keluarga, 92% (sangat tinggi) responden menggunakan KB dan 8% (sangat rendah) menggunakan BI. KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe anggota keluarga dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan kakek nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara sepupu, dan saudara kandung. Sebaliknya, penggunaan BI hanya digunakan pada interaksi dengan anak kandung dengan persentase tinggi. Sementara itu, di domain tetangga, 63,1% (tinggi) menggunakan KB, 32,1 % (rendah) menggunakan KA, dan 4,8% (sangat rendah) menggunakan KK. KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe tetangga dan menunjukkan persentase tertinggi pada kategori sangat tinggi dengan tetangga jaba; KA digunakan dengan persentase tertinggi pada interaksi dengan tetangga triwangsa; KK hanya digunakan pada interaksi dengan 222 tetangga jaba, berumur sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dengan persentase sangat rendah. Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 59,5% (cukup tinggi) responden menggunakan KB, 27,4% (rendah) menggunakan KA, dan 13,1% (sangat rendah) menggunakan BI. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe atasan dan penggunaan KB menunjukkan 100% dengan atasan jaba. sementara itu, BI hanya digunakan pada interaksi dengan atasan triwangsa dengan persentase rendah. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 73,8% (tinggi) menggunakan KB dan 26,2% (rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe rekan sejabatan dan penggunaan KB menunjukkan 100% dengan rekan sejabatan jaba, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 69,8% (tinggi) responden menggunakan KB dan 30,2% (rendah) menggunakan KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan triwangsa dan penggunaan KB lebih tinggi pada setiap interaksi. Pada interaksi dengan partisipan jaba, 100% (sangat tinggi) menggunakan KB yang berarti bahwa KB digunakan pada setiap interaksi dengan persentase sangat tinggi. Pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, 68,3% (tinggi) menggunakan KB, 20,6% (sangat rendah) menggunakan KA, dan 11,1% (sangat rendah) menggunakan BI. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe orang yang tidak dikenal dengan persentase masing-masing lebih tinggi daripada KA dan BI. Sementara itu, KA dan BI hanya digunakan pada interaksi dengan orang yang 223 tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. 5.3.4 Analisis Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Jaba Untuk dapat membandingkan penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok penutur jaba, perhatikan tabel 5.9 berikut. Tabel 5.9 Rerata Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Jaba NO KELOMPOK PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BB JABA KK KB KA BI BL 1 JTDL 0 81,6 18,4 0 0 2 JTDP 0 61,4 37,7 0,9 0 3 JTML 0 86,2 13,1 0,7 0 4 JTMP 0 70,7 21,3 8,0 0 5 JSDL 0 88,8 11,2 0 0 6 JSDP 0 69,4 30,1 0,5 0 7 JSML 0 87,6 11,5 0,9 0 8 JSMP 0 73,9 22,9 3,2 0 9 JRDL 2 77,7 20,3 0 0 10 JRDP 0 60,4 39,6 0 0 11 JRML 2 78,3 18,6 1 0 12 JRMP 0,6 70,9 22,4 6,1 0 RERATA 0,4 75,9 22,2 1,5 0 Tabel 5.9 menunjukkan bahwa penggunaan KB mendominasi dan terentang dari sangat tinggi sampai dengan cukup tinggi. Kategori sangat tinggi ditunjukkan oleh subkelompok JTDL, JSDL, JTML dan JSML; kategori tinggi ditunjukkan oleh subkelompok JTDP, JSDP, JTMP, JSMP, JRDL, JRML dan JRMP; sedangkan, kategori yang cukup tinggi ditunjukkan oleh subkelompok 224 JRDP. Perbedaan itu menunjukkan bahwa penggunaan KB yang sangat tinggi berkaitan dengan variabel pria, status kerja tinggi/menengah, dan jaba; penggunaan KB yang tinggi berkaitan dengan variabel pria, status kerja rendah, dan jaba; atau, perempuan atau status kerja tinggi/menengah dan jaba; sedangkan, penggunaan KB yang cukup tinggi berkaitan dengan variabel perempuan dewasa (tua) dan status kerja rendah. Penggunaan KA berada pada kategori rendah-sangat rendah. Kategori rendah ditunjukkan oleh subkelompok JTDP, JSDP, JRDP, JTMP, JSMP, dan JRMP; sedangkan kategori yang sangat rendah ditunjukkan oleh subkelompok JTML, JSML, JRML dan JRDL. Variabel yang paling berkaitan dengan penggunaan KA rendah adalah perempuan, sedangkan bagi penggunaan KA yang berkategori sangat rendah adalah pria. Sebaliknya, penggunaan BI berkategori sangat rendah dan hanya teramati pada subkelompok JTDP, JSDP, JTML, JSML, JRML, JTMP, JSMP, dan JRMP. Hal itu menunjukkan bahwa ada dua kelompok variabel berbeda yang berkaitan dengan penggunaan BI, yakni perempuan, dewasa, status kerja tinggi/menengah; atau umur muda. Selain itu, KK juga digunakan dengan kategori yang sangat rendah pada subkelompok JRDL, JRML, dan JRMP. Untuk memperoleh paparan yang lebih ringkas, tabel 5.9 digambarkan pada gambar 5.4 berikut ini. 225 100 80 60 40 20 0 KK KB KA BI Gambar 5.4 Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Jaba Gambar 5.4 menunjukkan empat pola penggunaan tingkat tutur BB. Pola pertama adalah penggunaan KA yang terentang di antara sangat tinggi dan tinggi. Penggunaan KA yang sangat tinggi berkaitan dengan kehadiran variabel perempuan dewasa dan jaba, sedangkan yang tinggi berkaitan dengan kehadiran variabel laki-laki/umur muda dan jaba. Pola kedua adalah penggunaan KB di antara rendah dan sangat rendah. Penggunaan KB yang rendah berkaitan dengan kehadiran variabel perempuan, sedangkan yang sangat rendah berkaitan dengan kehadiran variabel pria. Pola ketiga adalah penggunaan BI yang sangat rendah dan berkaitan dengan kehadiran variabel perempuan, dewasa, dan status kerja tinggi/menengah; atau umur muda. Pola terakhir adalah penggunaan KK yang 226 sangat rendah dan berkaitan dengan variabel status kerja rendah, kecuali perempuan dewasa. Selanjutnya, analisis yang dilakukan pada penggunaan tingkat tutur BB dalam kaitannya dengan domain penggunaan bahasa menunjukkan bahwa penggunaan KB yang sangat tinggi ditemukan di domain keluarga, dengan rekan sejabatan dan bawahan di domain tempat kerja, dan dengan mitra tutur jaba di domain masyarakat. Sementara itu, penggunaan yang tinggi ditemukan di domain tetangga, dengan atasan di tempat kerja, mitra tutur triwangsa, dan orang yang tidak dikenal di domain masyarakat. Penggunaan KA terentang di antara kategori rendah dan sangat rendah. Penggunaan KA yang rendah ditemukan di domain tetangga, dengan atasan di tempat kerja, dengan mitra tutur triwangsa, dan orang yang tidak dikenal di domain masyarakat. Sebaliknya, penggunaan KA yang sangat rendah ditemukan pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan dan bawahan di domain tempat kerja dan mitra tutur jaba di domain masyarakat. Penggunaan BI hanya terdapat di domain keluarga, dengan atasan di domain tempat kerja, dan dengan orang tidak dikenal di domain masyarakat dengan kategori yang sangat rendah. Terakhir, penggunaan KK hanya ditemukan dengan kategori yang sangat rendah di domain keluarga, tetangga, dan dengan mitra tutur jaba di domain masyarakat. 227 Tabel 5.10 Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Jaba di Domain Penggunaan Bahasa (dalam Persentase) NO DOMAIN JABA KK KB KA BI BL 1 Keluarga 1,5 94,6 0 3,9 0 2 Tetangga 2,4 65,7 31,9 0 0 3 Tempat Kerja (Atasan) 0 64,0 32,5 3,5 0 4 Tempat Kerja (Sejabatan) 0 84,4 15,6 0 0 5 Tempat Kerja (Bawahan) 0 92,3 7,7 0 0 6 Masyarakat (Triwangsa) 0 61,4 38,6 0 0 7 Masyarakat (Jaba) 0,7 95,8 3,5 0 0 8 Masyarakat (Orang Yang Tidak Dikenal) 0 72,2 23,7 4,0 0 0,5 77,9 20,1 1,5 0 RERATA Tabel 5.10 menunjukkan persentase penggunaan tingkat tutur BB yang berbeda berdasarkan domain penggunaannya. Dalam hal ini, penggunaan KB berada pada kategori tertinggi, selanjutnya diikuti oleh KA, BI, dan KK. 5.4 Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali dalam hubungannya dengan Wangsa, Pekerjaan, Umur dan Gender Meskipun penggunaan tingkat tutur BB pada guyub tutur Kota Singaraja sepertinya memperlihatkan variasi yang cukup tinggi, suatu pola umum tetap dapat dikenali. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel 5.11 berikut yang merangkum rerata persentase penggunaan tingkat tutur BB pada triwangsa dan jaba. 228 Tabel 5.11 Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Triwangsa dan Jaba NO KELOMPOK TINGKAT TUTUR BAHASA BALI KK KB KA BI BL 1 TTDL 0 24 76 0 0 2 TTDP 0 7 93 0 0 3 TTML 0 20,3 74,3 5,5 0 4 TTMP 0 13,1 77,4 9,5 0 5 TSDL 0 21,8 78,2 0 0 6 TSDP 0 8,5 91,5 0 0 7 TSML 0 35,6 63,7 0,6 0 8 TSMP 0 22,7 72,7 4,6 0 9 TRDL 0 34,4 65,6 0 0 10 TRDP 0 12,7 87,3 0 0 11 TRML 0 32,6 66,4 1,0 0 12 TRMP 0 22,1 71,4 6,6 0 13 JTDL 0 81,6 18,4 0 0 14 JTDP 0 61,4 37,7 0,9 0 15 JTML 0 86,2 13,1 0,7 0 16 JTMP 0 70,7 21,3 8,0 0 17 JSDL 0 88,8 11,2 0 0 18 JSDP 0 69,4 30,1 0,5 0 19 JSML 0 87,6 11,5 0,9 0 20 JSMP 0 73,9 22,9 3,2 0 21 JRDL 2 77,7 20,3 0 0 22 JRDP 0 60,4 39,6 0 0 23 JRML 2 78,3 18,6 1 0 24 JRMP 0,6 70,9 22,4 6,1 0 RERATA 0,2 48,5 49,6 1,7 0 Secara signifikan, wangsa penutur membagi penggunaan tingkat tutur BB pada guyub tutur Kota Singaraja menjadi dua. Dengan kata lain, wangsa penutur 229 merupakan variabel yang paling berkaitan dengan penggunaan tingka tutur BB. Penutur triwangsa menggunakan KA dengan kategori yang tinggi; sedangkan, penutur jaba menggunakan KB dengan kategori yang tinggi. Pada penutur triwangsa, variabel sosial kedua yang berperan bagi penggunaan tingkat tutur BB adalah pekerjaan (lihat lampiran 3.2.1). Kalau diperhatikan dengan seksama, penggunaan KA menunjukkan penurunan kategori dari sangat tinggi pada kelas atas ke tinggi pada kelas menengah dan selanjutnya, penurunan yang rendah pada kelas bawah. Hal yang sebaliknya terjadi pada penggunaan KB dan penggunaannya naik dari sangat rendah pada kelas atas menjadi rendah pada kelas menengah dan naik lagi meskipun tidak banyak pada kelas bawah Setelah status pekerjaan, faktor sosial ketiga yang berperan bagi penggunaan tingkat tutur BB adalah umur atau usia (lihat lampiran 3.3.1). Penggunaan KA berkategori sangat tinggi pada penutur triwangsa dewasa; namun, tinggi pada penutur triwangsa muda. Hal itu juga berkaitan dengan penggunaan KB yang dalam hal ini penggunaannya pada penutur triwangsa dewasa berkategori sangat rendah; namun, rendah pada penutur triwangsa muda. Faktor keempat yang berperan adalah gender penutur yang menunjukkan fenomena yang mirip dengan umur (lihat lampiran 3.4.1). Penggunaan KA berkategori sangat tinggi pada penutur triwangsa perempuan; sebaliknya, tinggi pada penutur triwangsa pria. Hal itu juga berkaitan dengan penggunaan KB yang dalam hal ini berkategori sangat rendah pada penutur triwangsa perempuan; namun, rendah pada penutur triwangsa pria. Dengan demikian, pada penutur 230 triwangsa, variabel pekerjaan, umur, dan gender secara berurutan berperan bagi penggunaan tingkat tutur BB. Sebagai tambahan, berbeda dengan penggunaan KA dan KB, penggunaan KK hampir tidak terlihat pada penutur triwangsa, sedangkan penggunaan BI hanya terlihat pada penutur triwangsa muda. Berbeda dengan penutur triwangsa, variabel sosial kedua yang paling berkaitan dengan penggunaan tingkat tutur BB pada penutur jaba adalah gender (lihat lampiran 3.4.2). Penggunaan KB menunjukkan kategori sangat tinggi pada penutur jaba pria; namun, berkategori tinggi pada penutur jaba perempuan. Hal itu juga berkaitan dengan penggunaan KA yang dalam hal ini penggunaannya pada penutur jaba pria berkategori sangat rendah; namun, berkategori rendah pada penutur jaba perempuan. Variabel sosial ketiga yang berperan bagi penggunaan tingkat tutur BB pada penutur jaba adalah umur (lihat lampiran 3.3.2). Penggunaan tingkat tutur BB yang paling berkaitan dengan perbedaan umur pada penutur jaba adalah KA. Penutur dewasa menggunakannya pada kategori rendah, sedangkan penutur muda pada kategori sangat rendah. Faktor pekerjaan pada penutur jaba (lihat lampiran 3.2.2) sepertinya kurang berperan bagi penggunaan tingkat tutur BB. Walaupun penggunaan KB antarkelas sosial menunjukkan sedikit perbedaan, perbedaan itu tidaklah berarti karena tidak pada tataran kategori. Selain itu, penggunaan KA memang menunjukkan perbedaan yang cukup berarti, dari kategori rendah pada kelas atas, ke sangat rendah pada kelas menengah dan balik lagi ke rendah pada kelas bawah. 231 Akan tetapi, perbedaan itu sepertinya tidak beraturan sehingga sulit untuk dirumuskan. Untuk lebih jelasnya, lihat gambar 5.5 berikut. Gambar 5.5 Hubungan antara Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali dengan Wangsa, Pekerjaan, Umur, dan Gender. Secara singkat, gambar 5.5 menunjukkan bahwa wangsa merupakan variabel yang paling berkaitan dengan penggunaan atau pemilihan kode. Pada triwangsa, urutan prioritas variabel dari yang paling berkaitan ke kurang berkaitan adalah pekerjaan, umur, dan gender; sedangkan, pada jaba adalah gender, umur, dan pekerjaan. Meskipun demikian, variabel wangsa, pekerjaan, umur, dan gender tidak boleh dilihat sebagai terlepas satu sama lain dalam hubungannya dengan penggunaan tingkat tutur BB. Keempat variabel itu saling berinteraksi atau berpadu satu sama lain dan dapat bersifat saling menguatkan atau melemahkan satu sama lain. Interaksi itu juga membantu untuk meramalkan bahasa (kode) yang kira-kira dipilih oleh seorang penutur pada suatu percakapan. Sebagai contoh, seorang penutur triwangsa, kelas atas, dewasa, dan lagi perempuan memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk menggunakan KA. Penutur 232 dengan karakteristik sosial yang sama, tetapi dari kelas bawah, tetap memiliki kecenderungan yang sangat tinggi, tetapi sedikit lebih rendah, untuk menggunakan KA. Sebaliknya, jika penutur itu adalah pria atau perempuan jaba, apalagi dari kelas sosial bawah, tingkat tutur BB yang diharapkan muncul dengan penggunaan yang tinggi adalah KB. Hasil penelitian ini menambah wawasan tentang penggunaan tingkat tutur BB dalam hubungannya dengan struktur sosial berdasarkan situasi sosiobudaya yang bersifat spesifik. Sehubungan dengan hal itu, Penelitian ini mengungkapkan bahwa umur dan gender juga merupakan bagian yang penting bagi penggunaan tingkat tutur dan hal itu agak berbeda dengan temuan Suastra (lihat Suastra, 1998: 207) yang mengungkapkan bahwa umur dan jenis kelamin (gender) tidak berperan penting bagi penggunaan tingkat tutur BB. Selain itu, variabel pekerjaan terutama pada penutur jaba sepertinya tidak terlalu berkaitan dengan penggunaan tingkat tutur BB. Selain itu, penggunaan KK dalam kaitannya dengan variabel identitas sosial pada guyub tutur Kota Singaraja sangat rendah dan hanya teramati pada penutur jaba kelas bawah. Dalam hal ini, hasil simak dan cakap semuka semakin mengungkapkan bahwa penggunaan KK hampir tidak berkaitan dengan variabel identitas sosial, melainkan dengan variabel jarak sosial untuk menandai hubungan yang sangat intim atau variabel emosi untuk pengungkapan rasa marah (lihat 6.2 dan 6.3). Penggunaan KK untuk menandai jarak sosial atau rasa marah cukup lazim di antara penutur jaba terutama yang berkelas rendah, tetapi kurang lazim pada penutur jaba yang berkelas sosial menengah-tinggi dan penutur triwangsa. 233 Sebagai tambahan, penggunaan BI untuk berinteraksi di antara penutur BB muda dan dewasa guyub tutur Kota Singaraja sangatlah rendah. Meskipun demikian, penggunaan BI menunjukkan persentase yang sangat tinggi pada interaksi antara penutur muda dengan penutur anak kandung yang berarti bahwa bahasa pengantar yang digunakan pada interaksi antara ayah-anak pada keluarga penutur muda adalah BI. Hal itu tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Subroto dkk. (2007) yang mengungkapkan bahwa penutur BJ Surakarta yang berusia muda cenderung sudah tidak mempelajari BJ lagi sebagai bahasa pertama, melainkan sebagai bahasa kedua. 5.5 Penggunaan Istilah Sapaan Istilah sapaan merupakan bentuk yang digunakan oleh penyapa untuk menunjuk pesapa/mitra tutur dalam suatu percakapan. Bentuk sapaan beragam jenisnya dan di antaranya yang paling umum digunakan pada guyub tutur Kota Singaraja adalah pronomina persona pertama, pronomina persona kedua, pronomina persona ketiga, dan istilah atau nomina sapaan sebagai pengganti pronomina persona. 5.5.1 Pronomina Persona Pertama Pronomina persona pertama BB meliputi bentuk alus TITIANG, TIANG, YANG dan RAGA; bentuk biasa icang; dan bentuk kasar AKE dan AWAKE. Bentuk TITIANG merupakan bentuk alus sor yang berfungsi untuk merendahkan diri dan meninggikan mitra tutur, tetapi sangat jarang digunakan oleh penutur 234 pada guyub tutur Kota Singaraja. Oleh sebab itu, bentuk TITIANG cenderung digunakan secara nonsimetris. Bentuk TIANG, YANG, dan RAGA merupakan bentuk alus madia dan ketiganya lazim digunakan pada guyub tutur Kota Singaraja. Dari ketiga bentuk itu, TIANG adalah yang paling halus, sedangkan YANG dan RAGA cenderung sedikit di bawah TIANG berdasarkan kehalusan. Bentuk YANG diderivasi dari TIANG ‘saya’, sedangkan bentuk RAGA diderivasi dari IRAGA ‘kami’ yang merupakan pronomina persona plural. Bentuk TIANG biasanya digunakan bersama-sama dengan KA; sedangkan, bentuk YANG dan RAGANE umumnya digunakan bersama-sama dengan KB. Bentuk AKE dan AWAKE juga digunakan, tetapi kurang populer. Kedua bentuk itu digunakan bersama-sama dengan KK, tetapi AWAKE digunakan dengan muatan emosi negatif tertentu. Selain bentuk-bentuk itu, terdapat juga bentuk ana ‘saya’ yang diserap dari bahasa Arab dan populer di antara penutur muda dengan penggunaan yang simetris. 5.5.2 Pronomina Persona Kedua Pronomina persona kedua yang lazim digunakan di guyub tutur Kota Singaraja adalah bentuk biasa ia. Bentuk biasa lain yang juga digunakan, tetapi kurang lazim karena pada guyub tutur Kota Singaraja dianggap kasar adalah cai untuk laki-laki dan nyai untuk perempuan. Sementara itu, bentuk ragane yang sesungguhnya merupakan bentuk pronomina persona kedua alus tidak digunakan sebagaimana mestinya sebagai bentuk pronomina persona kedua, melainkan digunakan sebagai pronomina persona pertama. 235 Walaupun bentuk cai dan nyai berfungsi untuk menandai perbedaan gender, cai lebih populer daripada nyai. Bahkan, cai juga digunakan untuk menyapa pesapa perempuan. Pergeseran itu merupakan pergeseran “rasa bahasa” terkait gender yang dalam hal ini cai dikesankan lebih halus daripada nyai. Sebaliknya, nyai cenderung dianggap merendahkan dan hanya digunakan untuk mengungkapkan emosi negatif terhadap pesapa, baik perempuan ataupun lakilaki. Bentuk pronomia persona kedua yang lain yang sering digunakan adalah bentuk netral kamu dan ente. Bentuk kamu diserap dari bahasa Indonesia dan digunakan secara simetris di antara penutur muda, sedangkan bentuk ente diserap dari bahasa Arab dan digunakan secara simetris di antara penutur muda. Keterbatasan jumlah bentuk pronomina kedua BB menunjukkan bahwa BB miskin bentuk pronomina kedua yang merupakan inti teori sistem sapaan. Keterbatasan ragam bentuk pronomina persona kedua pada BB, apalagi sebagai bentuk yang bisa digunakan untuk menunjuk kepada partisipan triwangsa, mengindikasikan bahwa bentuk itu kurang berterima. Bentuk pronomina persona kedua mengindikasikan perilaku “menunjuk” kepada seseorang dan perilaku ini dianggap perilaku yang tidak sopan pada kebudayaan Bali. Keterbatasan itu juga menimbulkan pertanyaan akan bagaimanakah BB digunakan untuk menyapa pesapa yang berwangsa triwangsa atau yang dihormati. Disinilah peranan nomina sapaan sebagai pengganti pronomina persona menjadi penting untuk menutupi kekurangan bentuk pronomina kedua itu. 236 5.5.3 Pronomina Persona Ketiga Diantara bentuk pronomina persona ketiga IDA, IPUN, DANE, dan ia ‘dia’, bentuk ia-lah yang paling sering digunakan untuk mengacu pesapa ketiga yang dibicarakan. Bentuk ia merupakan bentuk biasa, tetapi lazim digunakan untuk membicarakan pesapa ketiga, baik itu yang berstatus lebih tinggi, sejajar, maupun lebih rendah dari penutur. Selain ia, bentuk IDA juga terkadang digunakan, tetapi hanya untuk merujuk kepada seorang pendeta brahmana, tetua puri, gria, atau jero, dan anggota keluarga keturunan raja langsung yang tinggal di puri. 5.5.4 Nomina Sapaan Sebagai Pengganti Pronomina Persona Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penanda gelar wangsa (GW) merupakan cara yang digunakan untuk membedakan mitra tutur triwangsa dan jaba. Wangsa Brahmana laki-laki bergelar ida bagus, sedangkan Wangsa Brahmana perempuan ida ayu. Wangsa Ksatria laki-laki dapat bergelar anak agung, cokorde, i gusti agung, i gusti, i dewa, dewa bagus, dan sebagainya; sedangkan Wangsa Ksatria perempuan dapat bergelar anak agung istri, cokorde istri, i gusti agung, gusti ayu, dewa ayu, dan sebagainya. Wangsa Wesia laki-laki dapat bergelar gusti, dewa, dan sebagainya; sedangkan Wangsa Wesia perempuan dapat bergelar gusti (ayu), desak, dan sebagainya. Untuk memudahkan penyapaan, GW lazim untuk disingkat, baik berupa penggalan suku kata pertama atau terakhir. Pemenggalan GW pada triwangsa lakilaki dilakukan sebagai berikut: GUS dari ida bagus atau i gusti; GUNG dari anak agung atau gusti agung, dan COK dari cokorda. Sementara itu, pada triwangsa 237 perempuan dilakukan sebagai berikut DAYU dari ida ayu; GUNG ISTRI dari anak agung istri; GUNG dari anak agung atau i gusti agung, COK ISTRI dari cokorda istri, COK dari cokorda, AYU dari i gusti ayu, dan SAK dari desak. Selain itu, GUS yang merupakan penggalan dari bagus ‘ganteng’ lazim juga digunakan pada anak laki-laki jaba; sedangkan, ayu/gek hanya lazim digunakan untuk menyapa perempuan triwangsa yang berumur lebih muda atau sebaya. Selain menurut wangsa, istilah sapaan juga berbeda menurut umur. Pesapa yang berumur dua generasi lebih tua disapa secara berbeda dengan pesapa yang berumur satu generasi lebih tua, beberapa tahun lebih tua, sebaya, atau lebih muda. Selain itu, gender pesapa juga mengakibatkan penggunaan istilah sapaan yang berbeda. Sebagai tambahan, tradisi penggunaan nama urut lahir (NUL) tidak selalu berlaku pada kelompok triwangsa karena ada yang menggunakannya dan ada yang tidak menggunakannya. Hal itu tergantung pada tradisi masing-masing keluarga triwangsa. Namun, bagi yang tidak menggunakan NUL, setelah GW lazim diikuti oleh nama diri (ND). 5.5.4.1 Domain Keluarga Istilah sapaan yang digunakan di domain keluarga juga disebut dengan istilah kekerabatan. Istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan hubungan antaranggota keluarga, yakni antara kakek-nenek, kakek-cucu, nenek-cucu, ayahibu, ayah-anak, ibu-anak, paman-keponakan, bibi-keponakan, kakak-adik, dan sebagainya. 238 A. Domain keluarga triwangsa Istilah kekerabatan yang digunakan di domain keluarga triwangsa masih mempertahankan istilah yang telah mentradisi dengan cukup ketat. Ragam istilah tersebut masih bervariasi dan digunakan sehari-hari. Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel 5.12 mengenai penggunaan istilah kekerabatan pada domain keluarga triwangsa dan jaba. Tabel 5.12 Penggunaan Istilah Kekerabatan pada Keluarga Triwangsa No. Umur 1 Dua generasi lebih tua 2 3 4 Satu generasi lebih tua Gender Pria Istilah Kekerabatan (ATU) KAKIANG ATU PEKAK Perempuan (ATU) NIANG (ATU) NINIK Pria (ATU) AJI ATU (ATU) Bapak (ATU) paman DEWAJI AA? ATUA? (ATU) AJI Perempuan (ATU) IBU (ATU) BIANG Ibu/Meme? BIANG + NUL + ND ATU BIANG ATUA? Beberapa tahun Pria (TU) beli lebih tua WAH Beli + GW + (NUL/ND) (I) WI Kakak Perempuan Mbok + GW Mbok GUNG AYU Mbok + (NUL/ND) Seumuran/lebih Pria GW + (NUL/ND) muda Nama Diri atau NUL Perempuan GEK + (NUL/ND) GW + (NUL/ND) NUL/ND Makna Kakek idem Nenek idem Ayah idem idem Paman Paman dari GW dewa Paman (lebih tua dari ayah) Idem Paman ( lebih muda dari ayah Ibu idem Ibu (dari jaba) Bibi Bibi (lebih muda dari ibu) Bibi (lebih tua dari ibu) Kakak kandung idem Kakak kandung (misan) idem idem Kakak kandung (misan) idem idem Saudara seusia/lebih muda idem idem idem idem 239 Tabel 5.12 menunjukkan bahwa istilah kekerabatan yang digunakan pada domain keluarga triwangsa sangat beragam tergantung pada kebiasaan di dalam keluarga itu sendiri secara turun temurun. Selain itu, penambahan kata atu sebagai bentuk hormat di depan istilah kekerabatan hanya umum di keluarga Ksatria yang bergelar anak agung atau i gusti atau pada seorang pendeta, tetapi tidak pada keluarga triwangsa yang lainnya. Istilah sapan yang digunakan pada domain keluarga adalah sebagai berikut. Pertama, untuk menyapa kakek atau nenek, seorang cucu dapat menggunakan (ATU) + istilah kekeraban penanda kakek/nenek, yakni (ATU) KAKIANG atau (ATU) PEKAK ‘kakek’, sedangkan (ATU) NIANG atau (ATU) ninik digunakan untuk ‘nenek’. Kedua, untuk menyapa ayah atau ibu, seorang anak dapat menggunakan (ATU) + istilah kekerabatan penanda ayah/ibu, yakni ATU, (ATU) AJI, atau (ATU) bapak ‘ayah’, sedangkan (ATU) IBU atau (ATU) BIANG digunakan untuk ‘ibu’. Ketiga, untuk menyapa paman atau bibi, seorang keponakan dapat menggunakan (ATU) + istilah kekerabatan yang menandai paman/bibi, yakni ATU, (ATU) AJI, (ATU) paman, ATUA?, atau AJI, sedangkan (ATU) BIANG, (ATU) ibu, atau ATUA? digunakan untuk ‘bibi’. Umur saudara ayah atau ibu juga berperan penting pada penggunaan istilah sapaan. Istilah sapaan ATUA digunakan jika paman atau bibi tersebut lebih tua dari ayah atau ibu; istilah sapaan (ATU) AJI/BIANG digunakan jika dia lebih muda dari ayah/ibu. Untuk triwangsa yang bergelar dewa, paman biasanya disapa dengan (DEWA) AJI; sedangkan bibi dengan (DESAK) BIANG. 240 Keempat, untuk menyapa kakak, baik kakak kandung maupun kakak misan, seorang adik dapat menggunakan (TU) + istilah kekerabatan penanda kakak lak-laki/perempuan, yakni (TU) beli untuk ‘kakak laki-laki’; sedangkan mbok ayu, mbok GEK, mbok GUNG, mbok GUNG AYU, mbok SAK, atau mbok untuk ‘kakak perempuan’. Istilah WAH juga digunakan seorang kakak laki-laki pada keluarga triwangsa yang bergelar anak agung dan ida bagus. Terakhir, penggalan GW+(NUL)/(ND) digunakan untuk menyapa saudara kandung/sepupu yang seumuran/ lebih muda. Bentuk terkadang GEK ditambahkan di depan GW untuk menyapa saudara perempuan. Sebagai tambahan, bentuk JUNG dapat juga digunakan sebagai sapaan sayang (intim) kepada adik yang lebih muda atau anak di keluarga yang bergelar anak agung. Selain bentuk-bentuk tersebut, istilah sapaan bapak atau ibu yang diserap dari BI juga digunakan pada keluarga triwangsa. Kedua bentuk itu lazim digunakan pada keluarga-keluarga yang orang tuanya bekerja di domain publik/kedinasan, misalnya, sebagai guru, pegawai negeri sipil, dokter, pegawai bank, dan lain sebagainya. Dengan demikian, penggunaan kedua bentuk itu berhubungan dengan pekerjaan orang tua. Sebagai tambahan, bentuk ibu juga terkadang digunakan untuk menandai ibu yang tidak berasal-usul triwangsa. B. Domain keluarga jaba Penggunaan istilah kekerabatan yang digunakan pada keluarga partisipan jaba tidaklah serumit seperti pada keluarga triwangsa. Faktor yang membedakan istilah kekerabatan di keluarga jaba adalah peran, umur, dan gender. Tabel 5.13 memperlihatkan penggunaan istilah kekerabatan pada keluarga partisipan jaba. 241 Tabel 5.13 Penggunaan Istilah Kekerabatan pada Keluarga Jaba No. Umur 1. 2. 3. 4. Gender Istilah Kekerabatan Dua generasi Pria Pekak lebih tua Wayah Kaki Kakek Perempuan Ninik Dadong Nenek Satu generasi Pria Bapa (Ba)pak lebih tua Maman Om Paman Perempuan Meme? Ibu? Bibi Beberapa tahun Pria Beli+(NUL)+(ND) lebih tua Perempuan Mbok+(NUL)+ (ND) NUL/ND Seumuran/lebih Pria muda Perempuan (Luh) NUL/ND Makna Kakek idem idem idem Nenek idem idem Bapak/Paman idem idem idem idem Ibu/Bibi Idem idem Kakak idem Saudara sebaya (lebih muda) idem Tabel 5.13 menunjukkan bahwa istilah kekerabatan yang digunakan di keluarga jaba cukup sederhana dan penggunaannya bergantung pada kebiasaan atau tradisi di keluarga. Pertama, untuk menyapa kakek, seorang cucu dapat menggunakan pekak, wayah, kaki, atau kakek; sedangkan ninik, nenek, atau dadong dapat digunakan untuk ‘nenek’. Dari semua bentuk itu, bentuk kaki dan dadong sudah jarang digunakan karena kedua bentuk itu dianggap menandai status sosial rendah dan ketinggalan zaman. Kedua, untuk menyapa ayah, seorang anak dapat menggunakan bapa atau bapak, sedangkan meme? atau ibu? digunakan untuk ibu. Berbeda dengan bentuk bapak/ibu, bentuk bapa dan meme 242 telah jarang digunakan karena dianggap menandai status sosial rendah dan ketinggalan zaman. Ketiga, untuk menyapa paman, seorang keponakan dapat menggunakan maman, om, atau paman, sedangkan bibi adalah bibi. Keempat, untuk menyapa kakak kandung atau kakak sepupu, seorang adik dapat menggunakan bentuk beli + NUL/ ND untuk kakak laki-laki atau bentuk mbok + NUL/ND untuk kakak perempuan. Kelima, untuk menyapa adik kandung atau adik sepupu, bentuk NUL+(ND) digunakan dan terkadang dengan tambahan kata adik sebelum NUL. Cucu perempuan, anak perempuan, atau saudara perempuan juga lazim disapa dengan luh ‘perempuan’, walaupun namanya bukanlah itu. Bentuk luh digunakan untuk menandai keperempuanan dan kerap digunakan sebagai ungkapan sayang bagi perempuan yang lebih muda. Selain itu, bentuk biasa ibu yang digunakan oleh keluarga jaba kerap diakhiri oleh glotal stop /?/ yang merupakan penanda bentuk biasa yang dalam hal ini berbeda dengan bentuk alus IBU tanpa glotal stop /?/ yang merupakan bentuk hormat/alus. Tambahan pula, istilah kekerabatan pada jaba kerap ditambah dengan NUL atau ND apabila ada lebih dari satu kategori pesapa yang diacu. Jika penyapa, misalnya, memiliki lebih dari satu kakak laki-laki, ia dapat menambahkan NUL/ND setelah istilah kekerabatan agar jelas kakak yang dirujuk 5.5.4.2 Domain Tetangga dan Masyarakat Pada bagian berikut diuraikan mengenai penggunaan istilah sapaan di domain tetangga dan masyarakat pada pesapa triwangsa dan jaba. 243 A. Domain tetangga dan masyarakat pada pesapa triwangsa Istilah sapaan yang digunakan pada domain tetangga dan masyarakat berkorelasi dengan wangsa, umur, dan gender. Berikut diperlihatkan istilah yang digunakan untuk menyapa terkait dengan wangsa, umur, dan gender penyapapesapa. Tabel 5.14 Penggunaan Istilah sapaan oleh Penyapa Triwangsa atau Jaba kepada Pesapa Triwangsa pada Domain Tetangga dan Masyarakat Penyapa Triwangsa/ Pesapa TriDua generasi wangsa lebih tua Jaba Gender Istilah sapaan Pria ATU (AJI) Ba(pak) + GW + (NUL/ND) (ATU) IBU (ATU) BIANG GUNG/DAYU/DESAK BIANG Ibu (TU) AJI Bapak Pak (TU) BIANG (TU) IBU Bu (Beli) + GW + (NUL/ND) perempuan Satu generasi lebih tua Pria perempuan Beberapa tahun lebih tua Pria perempuan Seumuran/lebih Pria muda perempuan (Mbok) + GW + (NUL/ND) GW + (NUL/ND) (GEK) GW + (NUL/ND) Tabel 5.14 menunjukkan bahwa pesapa triwangsa disapa sesuai dengan umur dan gendernya. Selain itu, kebiasaan setempat juga berperan penting bagi bentuk sapaan. Pertama, untuk menyapa pesapa yang lebih tua satu atau dua generasi, misalnya, bentuk (ATU) AJI atau (ba)pak dapat digunakan untuk laki- 244 laki, sedangkan bentuk (ATU)IBU, (ATU) BIANG, atau GUNG/DAYU/DESAK BIANG dapat digunakan untuk perempuan. Namun, istilah sapaan yang paling lazim digunakan oleh penyapa triwangsa adalah istilah yang tidak menggunakan kata (ATU) karena kata (ATU) kerap dianggap terlalu berlebihan untuk digunakan, kecuali pada tetua puri atau pada pendeta brahmana. Sebaliknya, penyapa jaba cenderung hanya menggunakan pak/bu+GW+(NUL/ND). Kedua, untuk menyapa pesapa triwangsa pria yang beberapa tahun lebih tua, bentuk beli + GW + (NUL)/(ND) dan bentuk mbok + GW + (NUL)/(ND) cukup lazim digunakan untuk pesapa triwangsa, baik oleh penyapa triwangsa maupun jaba. Terakhir, GW+(NUL/ND) lazim digunakan untuk menyapa pesapa triwangsa laki-laki seusia atau lebih muda dan bentuk itu terkadang ditambahi dengan GEK di depannya bagi pesapa triwangsa perempuan seusia atau lebih muda. B. Domain tetangga dan masyarakat pada pesapa jaba Sama halnya dengan istilah sapaan yang digunakan pada partisipan triwangsa, variabel yang juga memengaruhi istilah sapaan pada partisipan jaba adalah juga wangsa, umur, dan gender. Hanya saja, variasi yang ditimbulkan tidaklah serumit pada partisipan triwangsa. Tabel 5.15 memperlihatkan penggunaan istilah sapaan pada partisipan jaba. 245 Tabel 5.15 Penggunaan Istilah sapaan oleh Penyapa Jaba atau Triwangsa kepada Pesapa Jaba pada Domain Tetangga dan Masyarakat Penyapa Pesapa Triwangsa/ Jaba Jaba Dua generasi lebih tua Gender Istilah sapaan Pria Pria Pekak + (NUL) + (ND) Wayah + (NUL) + (ND) Kaki + (NUL) + (ND) (Ba)pak Ninik + (NUL) + (ND) Dadong + (NUL) + (ND) Bu + (NUL) + (ND) Bapa+ (NUL) + (ND) (Ba)pak + (NUL) + (ND) Om + (NUL) + (ND) Paman + (NUL) + (ND) Maman Bu + (NUL) + (ND) Bibi + (NUL) + (ND) Beli + (NUL) + (ND) Perempuan Mbok + (NUL/ND) Perempuan Satu generasi lebih tua Pria Perempuan Beberapa tahun lebih tua Seumuran/lebih Pria muda Perempuan NUL + (ND) NUL + (ND) Tabel 5.15 menunjukan adanya persamaan yang tinggi antara istilah sapaan yang digunakan di domain tetangga dan masyarakat dengan domain keluarga. Di domain tetangga, penyapa yang merasa dekat dengan pesapa jaba dapat menggunakan istilah yang sama dengan istilah kekerabatan dan ditambah dengan NUL/(ND) untuk mengkhususkan pesapa yang dirujuk. Akan tetapi, jika hubungan tidak dirasakan dekat atau untuk menghormati, bentuk pak/bu lazim digunakan, baik untuk yang satu atau dua generasi lebih tua maupun berumur tua. Nama diri (ND) dalam bentuk nama kecil yang domain tetangga dan domain masyarakat adalah lazim digunakan di pengggalan nama 246 resmi/administrasi. Seseorang yang bernama Made Suarjana dapat dipanggil dengan Pak Made Su. Selain nama kecil, nama lain yang dirujuk sebagai nama “jelek” juga digunakan, tetapi itu hanya ditujukan pada pesapa kelas bawah tertentu pada suasana keakraban. Dalam hal ini, seorang pesapa dapat disapa dengan bentuk bermakna “sedikit melecehkan” seperti I Kojek ‘si Gundul’ karena dulu dia pernah gundul, I Delem ‘si Delem’ karena memiliki karakter seperti Delem yang merupakan abdi setia tokoh antagonis yang suka mengadu domba dalam pewayangan, I Beru ‘si Kelabu’ karena kulitnya berwarna kusam dan sebagainya. Selain itu, untuk menyapa pesapa yang belum dikenal dan satu atau dua generasi lebih tua atau berumur tua, bentuk pak/bu adalah bentuk yang paling lazim digunakan. Jika di dekat rumah ada seseorang yang tidak dikenal sedang kebingungan, biasanya akan ditanyai NGEREREH SIRA (Pak/Bu)? atau Ngalih nyen (Pak/Bu)? ‘Cari siapa (Pak/Bu)?’. Selain bentuk pak/bu, bentuk (∅) juga kerap digunakan untuk menghindari salah sapa. Selanjutnya, bentuk beli/mbok juga lazim digunakan di antara penyapapesapa muda untuk menandai kedekatan. Akan tetapi, jika penyapa satu atau dua generasi lebih tua dari pesapa, istilah gus, luh, atau gek juga kerap digunakan. Bentuk gus lazim digunakan untuk menyapa pesapa laki-laki dan luh atau gek untuk pesapa perempuan yang satu atau dua generasi lebih muda. Sebagai tambahan, terdapat juga bentuk e yang merupakan variasi dari (∅), tetapi bentuk itu dianggap tidak sopan. 247 5.5.4.3 Domain Tempat Kerja Istilah sapaan bagi pesapa triwangsa di domain tempat kerja jauh lebih disederhanakan lagi daripada di domain keluarga, dan tetangga dan masyarakat. Istilah sapaan yang bernuansa kental triwangsa, seperti atu aji atau atu biang menghilang dan digantikan oleh istilah sapaan yang lebih egaliter dan formal, yaitu bapak dan ibu. Variabel yang berperan penting pada perbedaan penggunaan istilah sapaan di domain tempat kerja adalah umur, wangsa, dan gender. Tabel 5.16 memperlihatkan istilah sapaan yang digunakan pada domain tempat kerja bagi pesapa triwangsa. Tabel 5.16 Penggunaan Istilah sapaan oleh Penyapa Triwangsa atau Jaba kepada Pesapa Triwangsa di Domain Tempat Kerja Wangsa Penyapa Pesapa TriTriwangsa/ Wangsa Jaba Umur Gender Istilah Sapaan Dua generasi Lebih tua Pria Pak + GW + (NUL) + (ND) Perempuan Bu + GW + (NUL) + (ND) Satu generasi Pria Lebih tua Perempuan (Ba)pak + GW + (NUL) + (ND) Beberapa tahun Lebih tua (Ba)Pak + GW + (NUL) + (ND) Beli + GW + (NUL) + (ND) GW + (NUL) + (ND) Bu + GW + (NUL) + (ND) Mbok + GW + (NUL) + (ND) GW + (NUL) + (ND) Pak + GW + (NUL) + (ND) GW + (NUL) + (ND Bu + GW + (NUL) + (ND) GW + (NUL) + (ND) Pria Perempuan Seumuran/le bih muda Pria Perempuan (I)bu + GW + (NUL) + (ND) Tabel 5.16 menunjukkan bahwa bentuk yang paling umum digunakan pada pesapa rekan kerja triwangsa, apalagi yang satu atau dua generasi lebih tua, 248 adalah pak/bu+GW+(NUL)+(ND). Istilah sapaan yang lengkap kerap diperlukan karena rekan kerja umumnya banyak sehingga perlu untuk dirujuk secara sangat spesifik. Bentuk yang sama juga digunakan pada pesapa yang lebih tua, sebaya, atau lebih muda jika dia berposisi sebagai atasan atau jika hubungan di antara penyapa-pesapa jauh. Dalam hal ini, penggunaan pak/bu dapat menandai perbedaan umur, formalitas, atau jarak sosial. Sebaliknya, istilah sapaan yang digunakan untuk pesapa jaba lebih sederhana lagi daripada istilah sapaan untuk pesapa triwangsa karena tidak digunakannya GW. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel 5.17. Tabel 5.17 Penggunaan Istilah sapaan oleh Penyapa Triwangsa/Jaba kepada Pesapa Jaba di Domain Tempat Kerja Wangsa Penyapa Pesapa TriJaba wangsa/ Jaba Umur Gender Istilah Sapaan Dua generasi lebih tua Pria (Ba)pak + NUL + (ND) Perempuan (I)bu + NUL + (ND) Satu generasi Lebih tua Pria (Ba)pak + NUL + (ND) Perempuan (I)bu + NUL + (ND) Beberapa tahun Lebih tua Pria Ba(pak) + NUL + (ND) Beli + NUL + (ND) NUL + (ND) (I)bu + NUL + (ND) Mbok + NUL + (ND) NUL + (ND) Pak + NUL + (ND) NUL + (ND) Bu + NUL + (ND) NUL + (ND) Perempuan Seumuran/ lebih muda Pria Perempuan Tabel 5.17 menunjukkan bahwa istilah sapaan (ba)pak atau (i)bu dapat digunakan untuk menyapa partisipan jaba mana pun. Pada partisipan yang lebih tua satu atau dua generasi, istilah itu lazim digunakan dan kerap ditambah dengan 249 NUL+(ND) agar jelas siapa yang dimaksud. Istilah pak/bu + (NUL)/(ND) juga dapat digunakan pada pesapa jaba sebaya atau lebih muda untuk menandai perbedaan umur, jarak sosial, atau formalitas. Akan tetapi, di antara penyapapesapa sejabatan atau yang memiliki hubungan yang cukup dekat, bentuk (beli) atau (mbok) +NUL +(ND) atau NUL+(ND) lebih lazim digunakan. BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA BALI 6.1 Pengantar Bab ini membahas lima subpokok bahasan. Pada subbab 6.2 dibahas tentang faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan KK secara simetris; pada subbab 6.3 dibahas tentang faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan KK secara nonsimetris; pada subbab 6.4 dibahas tentang faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan KB secara simetris; pada 6.5 dibahas tentang faktorfaktor yang memengaruhi penggunaan KB secara nonsimetris; dan pada subbab 6.6 dibahas tentang penggunaan KA secara simetris. 6.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Kasar secara Simetris Penggunaan KK secara simetris pada guyub tutur Kota Singaraja hanya umum pada penutur laki-laki kelas bawah untuk menggambarkan situasi-situasi kebahasan tertentu. Pada kategori penutur yang lain penggunaan itu dapat juga muncul, tetapi jarang dan untuk mengungkapkan kemarahan. Dalam hal ini, penggunaan KK secara simetris dipengaruhi oleh perpaduan dari faktor keakraban, kesetaraan, dan solidaritas; atau faktor kemarahan. Berikut penjelasan tentang faktor-faktor tersebut. 250 251 6.2.1 Faktor Keakraban, Kesetaraan, dan Solidaritas Penggunaan KK secara simetris pada percakapan dipengaruhi oleh kehadiran faktor keakraban, kesetaraan, dan solidaritas secara bersama-sama di antara penutur-mitra tutur. Hal itu berarti bahwa faktor keakraban, kesetaraan, atau faktor solidaritas saja tidak cukup untuk memunculkan KK. Faktor keakraban mengindikasikan adanya jarak sosial yang rendah atau rapat yang muncul karena pengguna KK itu kerap berjumpa dan berbicara di dalam suasana keakraban. Karena sering berjumpa, dua penutur dapat menjadi saling memahami atau saling mengerti satu sama lain dengan baik. Jurang pemisah dalam bentuk perbedaan identitas menjadi tidak penting dan sopan santun formal atau seremonial tidak dibutuhkan lagi. Kesalingpengertian itu selanjutnya dapat membuat penggunaan bentuk tinggi KA dianggap menjelimet dan menyulitkan karena tidak mampu menandai dan memfasilitasi keakraban yang telah terbentuk. Oleh karena itu, penggunaan bahasa yang sederhana, praktis, dan dapat menggambarkan kedekatan, seperti KB atau KK diperlukan. Sekadar keakraban saja tidak cukup untuk menghadirkan kode kasar karena keakraban yang terjadi di antara sesama penutur triwangsa atau penutur triwangsa-penutur jaba atau penutur laki-laki-penutur perempuan atau penutur tua-penutur muda tidak laim untuk ditandai dengan penggunaan KK. Terkait dengan umur, misalnya, penutur BB di Bali yang sejak kecil diajari untuk selalu menghormati orang yang tua akan mengalami kesulitan untuk dapat akrab dengan orang yang lebih tua. Sebagai salah satu buktinya, orang yang satu generasi lebih 252 tua disapa dengan (ba)pak yang memosisikan orang itu setara dengan orang tua yang harus dihormati. Keakraban itu perlu untuk diperkuat, khususnya, dengan kesetaraan umur dan gender. Keakraban di antara yang seumuran dibangun di antara pergaulan teman sebaya, baik itu di sekolah, di masyarakat, atau di tempat kerja. Selain itu, persamaan gender juga penting bagi keakraban, apalagi di Bali yang memisahkan pergaulan antara pria dan perempuan dengan cukup ketat. Pemisahan antara pria dan perempuan diungkapkan oleh penutur BB di Singaraja bahwa pria dan perempuan diajari untuk tidak terlalu dekat satu sama lain sejak anak-anak. Jika ada pria remaja yang memiliki banyak teman dekat perempuan, dia dapat dengan segera diberi julukan “mata keranjang” –suatu julukan yang dianggap cukup mengganggu. Sebaliknya, jika ada perempuan yang memiliki banyak teman dekat pria, dia akan dianggap “nakal”. Bahkan, mereka kerap malu jika diketahui oleh orang lain, terutama oleh orang dewasa jika sudah punya pacar. Kemunculan keakraban setara itu perlu untuk dipertegas oleh adanya solidaritas. Solidaritas secara umum merupakan perasaan senasib atau setia kawan yang tumbuh karena persamaan pada hal-hal tertentu yang dianggap signifikan, seperti asal-usul kelahiran, keanggotaan di dalam kelompok, ikatan kekeluargaan dan sebagainya (Brown dan Gilman, 1960: 258). Perasaan solidaritas yang tumbuh pada penutur guyub tutur Kota Singaraja umumnya muncul sebagai kelanjutan dari perasaan sebagai teman sepermainan sejak kanak-kanak, teman sekolah, atau teman berbagi aktivitas yang sama, seperti sambung ayam, olah raga, tajen, dan sebagainya. 253 Kemunculan ketiga hal itu, yakni keakraban, kesetaraan, dan solidaritas – walaupun tidak selalu—dapat memicu penggunaan KK. Dalam hal ini, jika penutur-mitra tutur saling bertukar penggunaan KK, hal itu menunjukkan hadirnya ketiga faktor itu secara bersama-sama. Hal itu terlihat pada percakapan (1) berikut ini. (1) Situasi: Percakapan terjadi di depan bangunan kantor Pemerintahan Daerah antara seorang Anak Agung (AGSWBT) dan Gede (GDPRN). AGSWBT masih bekerja sebagai pegawai biasa di Pemerintah Daerah, sedangkan GDPRN bekerja sebagai pegawai biasa di perusahan asuransi. Keduanya laki-laki dan memiliki kategori umur tua. (1): AGSWBT (2): GDPRN (3): AGSWBT (4): GDPRN (5): AGSWBT (6): GDPRN (7): AGSWBT (8): GDPRN (9): AGSWBT De, tumben CICINGENE tepuk nok, mara ngelah kurnan baru? ‘De, tumben kamu kelihatan, baru punya istri baru?’ Beh NANI GUSTINE ne tawah-tawah dogen omongange, jeg KEBANGKAANG dini nah? ‘Beh Gusti ini yang aneh-aneh saja diomongkan, nanti (saya) bunuh disini ya?’ Ha, men nyen ibi to ke gandeng? Mesrabutan gati nok, AKE sampe’ nggang-ngep nepukin. ‘Ha, terus siapa yang kemarin dibonceng? Aduh mesranya, saya sampai bengong melihatnya.’ To be kurnan AKENE ane paling jegege ‘Itulah istri saya yang paling cantik.’ Paling jegege? kan liu artine ngelah kurnan o? ‘Paling cantik? bukannya (itu) berarti banyak punya istri ya?’ Badah, kalah be AKE nok. Men apa kagae ne jam kantor be diwangan? Lenan ken ngalih AMAH o? ‘Waduh, kalah dah saya. Terus, apa yang dikerjakan sekarang masih jam kantor sudah di luar? Pasti cari makan ya?’ Bih, dueg masi Pak Gede nok he... Mai milu ajake ngalih sate pasih di Pemaron ‘Oh, pintar juga Pak Gede ya he. Mari ikut (saya) ajak mencari (makan) sate ikan laut di Pemaron.’ Bayaine ne o? lamun keto milu. ‘Ditraktir ya? Kalau begitu ikut.’ Oke, mai nake. ‘Ayo, mari sini.’ 254 Percakapan (1) terjadi melalui penggunaan KK secara simetri walaupun komposisi kata kasar yang menyusun percakapan itu hanya sedikit dan berada pada peringkat tiga dengan persentase 5,62%. Sebaliknya, jumlah kata terbanyak yang menyusun percakapan itu adalah kata biasa, yakni 74,16%; dan selanjutnya kata serapan BI, yakni 17,98%; kata alus, yakni 1,12%; dan terakhir, kata serapan BIng, yakni 1,12%. Dalam hal ini, yang menjadikan penggunaan KK secara simetris adalah penggunaan kata-kata yang digunakan secara resiprokal, baik oleh AGSWBT maupun GDPRN yang meliputi pronomina persona kasar NANI, dan AKE dan kata kasar, seperti CICINGENE, KEBANGKAAN, dan AMAH. Uniknya, penggunaan KK secara simetris itu terjadi di antara penutur triwangsa dan jaba, yang dipengaruhi oleh keakraban dan solidaritas yang berkembang di antara mereka. Mereka dekat sejak SMA sebagai teman sekelas, dan terbiasa beraktivitas bersama setelah itu dan mengembangkan solidaritas yang tinggi di antara mereka. Walaupun kemudian sempat berpisah karena bersekolah di universitas berbeda, mereka tetap merasa dekat dan terbiasa dengan penggunaan KK. Penggunaan KK untuk menandai faktor kedekatan, faktor kesetaraan, dan sekaligus faktor solidaritas tidak dirasakan sebagai kasar, tetapi biasa-biasa saja. Banyak penggunanya yang mengungkapkan bahwa kalau tidak menggunakan kode itu, tidak terasa dekat. Semboyan yang sering digunakan untuk menggambarkan kedekatan yang dimunculkan dengan penggunaan KK secara simetris adalah yen sing kasar sing akrab ‘kalau tidak kasar, tidak akrab’. Akan tetapi, hal itu tidak dimaknai bahwa setiap kedekatan perlu untuk ditandai dengan 255 KK. Selain itu, dua penutur yang terbiasa menggunakan KK satu sama lain tidak selalu menggunakannya pada setiap pertemuan mereka. KK hanya mereka gunakan pada suasana keakraban dan percandaan pada situasi perkawanan informal. Pada suasana serius atau di hadapan orang yang dihormati atau tidak mereka kenal, kedua penutur itu cenderung untuk tidak menggunakan KK karena khawatir disalahpahami. 6.2.2 Faktor Pengungkapan Kemarahan Secara Simetris Setiap orang yang marah akan menggunakan kata-kata kasar yang berupa umpatan atau makian yang ditujukan kepada orang yang menimbulkan kemarahan itu. Pada bahasa Indonesia, misalnya, ungkapan yang lazim digunakan adalah kurang ajar, kurang asem, anjing, bedebah, dan lain-lain. Kata-kata itu bermakna denotatif seperti yang ditunjukkan oleh kata-kata itu sendiri. Bahasa Bali juga memiliki tingkat yang berasa kasar dan dapat digunakan untuk mengungkapkan kemarahan atau kekesalan. Misalnya, kata NGERAYUNANG, NGAJENG, atau medaar ‘makan’ dapat digantikan dengan kata kasar NGAMAH atau NIDIK jika penutur ingin mengungkapkan perasaan marah atau kesal kepada mitra tuturnya. Kata-kata kasar sesungguhnya dimaksudkan untuk menggambarkan binatang dan perilakunya. Kata-kata itu menjadi kasar ketika digunakan untuk merujuk kepada manusia dan perilakunya karena kata-kata itu menyamakan manusia dengan binatang. Dengan kata lain, KK merupakan kode yang lepas kendali karena orang yang marah tidak dapat mengontrol emosinya. KK secara norma berbahasa digunakan untuk melepaskan atau meluapkan emosi kemarahan. KK terdiri atas 256 kata-kata yang secara sosial sangat menyinggung dan merendahkan. Bilamana seorang mitra tutur menerima KK dari penutur yang tidak dianggap dekat dengannya, penutur itu akan dianggap melakukan penghinaan dan merendahkan. Selanjutnya, hal itu tentu saja akan menimbulkan ketersinggungan dan memicu perang kata-kata kasar. KK yang digunakan untuk meluapkan kekesalan berbeda dengan KK yang digunakan untuk menandai kedekatan, kesetaraan, dan solidaritas. KK yang digunakan untuk meluapkan kekesalan dirasakan sebagai kasar dalam arti yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, penggunaan KK secara simetris pada suatu pertengkaran merupakan penggunaan dengan tujuan untuk melukai perasaan satu sama lain. Lihat percakapan (2) untuk lebih jelasnya. (2) Situasi: Percakapan terjadi di depan rumah antara dua orang ibu muda yang bertengkar, yakni antara Komang (KMARI) dan Dayu (DYNG). KMARI adalah seorang perempuan jaba yang berumur muda dan bekerja sebagai pegawai lepas di sebuah koperasi, sedangkan DYNG adalah seorang perempuan triwangsa yang berumur muda dan bekerja sebagai pegawai honorer di instansi pemerintah. (1): DYNG (2): KMARI (3): DYNG (4): KMARI (5): DYNG Mang, apa CAI omongang ken ibu AKENE? Adi galak gati ibu AKENE, nyanan kejait pone BUNGUTNE cepok nah? ‘Mang, apa yang kamu bicarakan dengan Ibu saya? Kenapa marah sekali Ibu saya, nanti (saya) jarit mulutmu sekali ya?’ Adengin bedik, yen sing nyai maluan nyaduin kurnan AKENE, AKE sing je lakar keto. Madakang POLONE, pang ngenah belangne. ‘Pelan sedikit, kalau bukan kamu yang duluan mengadu ke suami saya, saya tidak akan begitu. Mudah-mudahan, supaya kelihatan belangnya ’ Apa to NYAI PETAANG, MAPETE buin cepok? ‘Apa itu yang kamu katakan? Katakan lagi sekali?’ Men, apa NYAI PETAANG ibi ken kurnan akene ‘Terus, apa (yang) kamu katakan kemarin ke suami saya.’ Ento kan saja, sangkale NYAI dadi anak luh de bes, buang cara KAUNG 257 (6): KMARI ‘Itu kan benar, makanya kamu menjadi perempuan jangan terlalu genit seperti babi perempuan dewasa (untuk anakan)’ Memangne NYAI sing patuh, sok paling sucine dogen. ‘Memangnya kamu tidak sama, sok paling suci saja’ … Percakapan (2) terjadi melalui pertukaran KK secara simetris, tetapi didominasi oleh penggunaan kata-kata biasa. Dalam hal ini, percakapan itu mengandung 67,1% kata biasa, 20,6% kata kasar, dan 12,3% kata serapan BI. Kara-kata kasar yang digunakan pada percakapan itu adalah AKE, CAI, BUNGUTNE, POLONE, NYAI, MAPETE, dan KAUNG. Penggunaan kata-kata kasar itu menunjukkan emosi marah atau kesal yang diungkapkan secara vulgar tanpa memerhatikan posisi sosial satu sama lain sebagai orang dewasa. Walaupun DYNG dan KMARI memiliki identitas wangsa yang berbeda antara triwangsa-jaba yang seharusnya menghalangi KMARI untuk menggunakan KK, tetapi KMARI tetap melakukannya. Hal itu akan berbeda jika mereka memiliki perbedaan-perbedaan yang lain, seperti umur yang tinggi (satu atau dua generasi), pekerjaan, dan gender. Kesetaraan umur, gender, dan status pekerjaan, meskipun berbeda wangsa, mendorong DYNG dan KMARI untuk mengungkapkan perasaan secara terbuka dengan KK. 6.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Kasar secara Nonsimetris Seperti pada penggunaan KK secara simetris, penggunaan KK secara nonsimetris juga hanya terdapat pada penutur laki-laki kelas bawah untuk menggambarkan situasi-situasi kebahasan tertentu dengan intensitas kemunculan yang rendah. Pada tipe penutur yang lain, penggunaan KK cenderung hanya 258 muncul sebagai bentuk ungkapan kemarahan. Dalam hal ini, penggunaan KK secara nonsimetris dipengaruhi oleh faktor keakraban menurun atau faktor kemarahan yang disertai oleh kesenjangan status. 6.3.1 Faktor Keakraban Menurun Penggunaan KK secara nonsimetris dipengaruhi oleh faktor keakraban menurun. Istilah menurun itu merupakan bagian dari konsep hubungan vertikal yang terdiri atas atas atau naik (hormat) dan bawah atau turun (nonhormat). Keakraban menurun menunjukkan hubungan akrab yang terjadi antara penuturmitra tutur yang dalam hal ini salah satunya mempersepsi diri lebih tinggi secara sosial dan yang lainnya sebagai lebih rendah. Keakraban itu terbina dari sejarah asal-usul yang sama yang menciptakan kedekatan dan cenderung hanya terlihat pada kelas sosial bawah jaba. Hubungan itu adalah antara ayah-anak, suami-istri, kakak-adik, dan pertemanan yang berbeda umur (satu-dua generasi). Peserta tutur pertama yang dipersepsi lebih tinggi pada kelas bawah menggunakan KK kepada peserta tutur kedua yang dipersepsi lebih rendah; sedangkan, peserta tutur kedua yang lebih rendah membalas dengan KB. KK yang digunakan tidak dimaksudkan untuk menandai “kekasaran”, melainkan keakraban dan kekuasaan; sedangkan, KB untuk menandai “kehormatan”. Selain itu, keakraban menurun yang ditandai oleh KK itu hadir dalam kerangka jaba atau terkadang triwangsa-jaba pada kelas sosial rendah karena penggunaan KK secara nonsimetris hampir tidak terlihat pada kerangka identitas 259 jaba atau triwangsa dengan kelas sosial atas ataupun menengah. Berikut adalah percakapan yang menunjukkan penggunaan KK secara nonsimetris. (3) Situasi: percakapan terjadi antara Gede (GDSCM) dan Wayan (WYPTCM) di rumah WYPTCM di pagi hari. GDSCM bekerja sebagai tenaga kebersihan di sebuah Kantor Pemerintah, sedangkan WYPTCM bekerja sebagai pegawai toko di sebuah toko bangunan. GDSCM dan WYPTCM, keduanya adalah laki-laki, berumur muda, dan berasal dari golongan jaba. (1): WYPTCM De, ngalih nyen NANI mai? ‘De, cari siapa kamu kemari?’ (2): GDSCM Beh, Beli, I Kadek ada? ‘Beh, Beli, Si Kadek ada?’ (3): WYPTCM Ada di tengah, nu MEDEM. Ibi kija dogen adi peteng gati mara teka? ‘Ada di dalam, masih tidur. Kemarin kemana saja kok malam sekali baru datang?’ (4): GDSCM Sek timpale Bli, ajakine minum, trus mebalih VCD. Ada apa seh? Adi gawat gati? ‘Ke rumah teman Bli, diajak teman minum, terus menonton VCD. Ada apa sih? Kok gawat sekali?’ (5): WYPTCM Apa gawat? To nganteg jani nu MEMELUD, be telat ye megae. ‘Apa gawat? Itu sampai sekarang belum bangun, sudah telat dia bekerja.’ O? Yang ne kar nyemput ye be. (6): GDSCM ‘O? Saya ini akan menjemput dia.’ (7): WYPTCM Nah, bangunang be LEAKE to! MEDEM gen gaene. ‘Iya, bangunkan dah orang itu! Tidur saja kerjanya.’ Nah Bli, yang ke kamarne jani. (8): GDSCM ‘Iya Bli, saya ke kamarnya sekarang.’ (9): WYPTCM Nah, nah, kemu nake. ‘Iya, ya, kesana dong.’ Pada percakapan (3) WYPTCM menggunakan KK, sedangkan GDSCM menanggapinya dengan KB. Kata-kata kasar yang digunakan adalah NANI, MEDEM, MEMELUD, dan LEAKE yang mana penggunaan kata kasar berada pada peringkat kedua, yakni 6,67%. Sebaliknya, kata biasa menempati jumlah 260 kata terbanyak, yakni 71,62%; selanjutnya, kata serapan BI, yakni 20,27%; dan terakhir, kata serapan BIng, yakni 1,35%. Penggunaan KK oleh WYPTCM yang diterima oleh GDSCM dan ditanggapi dengan KB menunjukkan bahwa terdapat keakraban di antara keduanya. Keakraban itu bersifat menurun dan tercipta karena WYPTCM berumur lebih tua dan berperan sebagai kakak sehingga ia dianggap pantas untuk dihormati oleh GDSCM. Dengan begitu, penggunaan KK menjadi pantas dan tidak seharusnya ditanggapi balik dengan KK, tetapi dengan kode yang lebih netral, yakni KB. 6.3.2 Faktor Pengungkapan Kemarahan dan Kesenjangan Status Seperti pada penggunaan KK secara simetris, penggunaan KK secara nonsimetris pada penutur-mitra tutur dapat juga terjadi karena dipengaruhi oleh kemarahan, tetapi pada kerangka identitas sosial yang tidak setara. Kemarahan yang dimaksud sudah dibahas dengan cukup detail pada 6.2.2 yang dalam hal ini ditandai dengan kesenjangan identitas dipersepsi tinggi terutama menurut umur (satu atau dua generasi) atau status pekerjaan. Ungkapan yang umum digunakan jika KK digunakan pada orang tua adalah sing dadi cara keto ajak anak tua ‘tidak boleh seperti itu dengan orang tua’. Ungkapan itu menunjukkan bahwa norma berbahasa yang santun diberlakukan kepada orang tua. Jika penutur yang berumur lebih tua atau berstatus sosial lebih tinggi itu, apalagi ditambah dengan wangsa yang lebih tinggi, merasa kesal kepada mitra tutur dan mengungkapkannya dengan KK. Sebaliknya, mitra tutur yang merasa lebih rendah menurut variabel umur, status sosial, atau wangsa menerima 261 ungkapan emosional penutur itu dengan pasrah. Hal itu selanjutnya direalisasikan dengan penggunan KK secara tidak simetris. Penutur menggunakan KK untuk meluapkan kekesalannya, sedangkan mitra tutur dapat menggunakan KA atau KB untuk menanggapi tergantung pada siapa penuturnya yang tentu saja memiliki hierarki sosial yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika penutur yang marah itu memiliki hierarki status sosial lebih rendah dari mitra tutur yang ingin dimarahi, biasanya ia tidak akan meluapkan kekesalannya secara terbuka dengan KK. Dia akan merasa malu, takut, dan sungkan, dan pada gilirannya mengeluarkan kekesalannya di tempat lain. Jika penuturnya berumur lebih tua (satu atau dua generasi) atau berstatus sosial lebih tinggi, dan berwangsa triwangsa, mitra tutur cenderung untuk menanggapi dengan KA. Penggunaan KA memarkahi penghormatan dan juga dimaksudkan untuk menyabarkan penutur. Sementara itu, jika penuturnya jaba, mitra tutur cenderung untuk menanggapi dengan KB. Penggunaan KB menandai penghormatan yang bercampur dengan rasa akrab dan solidaritas. (4) Situasi: Percakapan terjadi di jalan antara Anak Agung (AGSWBT) dan Kadek (KDSRND). AGSWBT berumur tua dan bekerja sebagai pegawai biasa di Pemerintah Daerah, sedangkan KDSRND berumur muda dan bekerja sebagai pegawai toko. (1): AGSWBT (2): GDPRN (3): AGSWBT (4): GDPRN KELENG NYAI maen srempet dogen? Dija kejang matane? ‘Sialan, main serempet saja? Dimana ditaruh matanya?’ AMPURA Pak AGUNG, TIANG sing sengaja, TIANG lakar megae ‘Maaf Pak Agung, saya tidak sengaja, saya akan bekerja’ TIDIK sing sengaja. Yen ake kena, kenken terus pertanggungjawaban CAINE? ‘Dasar tidak sengaja. Kalau saya kena, bagaimana selanjutnya pertanggungjawabannya.’ NGGIH, TIANG ngidih pelih MANTEN. TEN ada maksud 262 (5): AGSWBT (6): KDSRND KENTEN ‘Ya, saya hanya minta maaf. Tidak ada maksud begitu’ Ne anak jalan gang adane, awas buin mani tepuk buin ngebut? ‘Ini namanya jalanan gang, awas kalau besok terlihat ngebut lagi.’ TEN ngebut, TIANG kapok ‘Tidak ngebut, saya kapok.’ Pada percakapan (4), AGSWBT meluapkan kekesalannya dengan menggunakan KK dan KDSRND meminta maaf dengan KA. Untuk itu, AGSWBT menggunakan pronomina persona nyai secara tidak simetris, dan kata keleng, dan tidik. Bentuk nyai sesungguhnya diperuntukkan bagi perempuan, tetapi jika digunakan untuk merujuk kepada pria, rasa kasarnya semakin menjadi. Selain itu, komposisi kata pembentuk KK dari yang tebanyak ke terendah adalah kata biasa, yakni 48%; kata serapan BI, yakni 24%; kata alus, yakni 22%; dan kata kasar, yakni 6%. KDSRND menggunakan KA karena ia dapat melihat kesenjangan sosial di antara mereka menurut wangsa, status pekerjaan, dan umur. Selain itu, dengan menggunakan KA sebagai penanda hormat, kekesalan AGSWBT dapat berkurang dan dapat memaafkannya dengan segera. 6.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Biasa secara Simetris Penggunaan KB secara simetris dipengaruhi oleh faktor jaba, faktor solidaritas interwangsa, faktor domain, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa. 263 6.4.1 Faktor Jaba Faktor identitas jaba merupakan faktor utama yang paling berperanan bagi penggunaan KB. Hal itu wajar secara normatif karena KB merupakan kode pengantar bagi percakapan di antara sesama jaba, apalagi di Kota Singaraja yang berbudaya egaliter. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa penutur jaba lazim untuk menggunakan KB untuk bercakap-cakap dengan mitra tutur jaba dengan mengabaikan variabel-variabel identitas yang lainnya. KB digunakan secara bebas antara tua-muda, laki-perempuan, dan kelas sosial tinggi-kelas sosial menengahkelas sosial rendah . Dalam hal ini, KB bagi penutur jaba merupakan kode netral yang tidak dimaksudkan untuk meninggikan ataupun menurunkan. (5) Situasi: percakapan terjadi antara Ketut (KTPTR) dan Kadek (KDBGA) di kantor pemerintah tempat mereka bekerja KTPTR adalah seorang laki-laki jaba, berumur tua, dan atasan dari KDBGA; sedangkan KDBGIA adalah seorang laki-laki, berumur muda, dan berprofesi sebagai staf PNS biasa di kantor pemerintah daerah. (1): (2): (3): (4): (5): KDBGA Pak, yang dadi ngidih honor baang timpal-timpale untuk acara bersih-bersih ibi? ‘Pak, saya boleh meminta honor (untuk) diberikan kepada teman-teman untuk acara bersih-bersih kemarin?’ KTPRT Nah, dadi. Ajak kuda megae? Mai aba daftar namane malu apang jelas kuda pengeluarane ‘Ya, bisa. Berapa orang bekerja? Kemari bawa daftar namanya dulu supaya jelas berapa pengeluarannya’ KDBGA Nah, Pak. Ajak enem, tapi Pak Kadek ye cuma setengah hari ‘Iya, Pak. Berenam, tetapi Pak Kadek dia cuma setengah hari’ KTPRT Nah, gaenang anake form honorne?Nyanan bapak tanda tanganin, terus stor buin ke Bu Kadek. ‘Iya, buatkan dong format honornya? Nanti Bapak tanda tangan, terus serahkan lagi ke Bu Kadek’ KDBGA Nah, Pak. Mani semengan be kepragatang. ‘Iya, Pak. Besok pagi diselesaikan’ 264 (6): KTPRT Oke, Dek. Bapak pesu malu. ‘Ya, Dek. Bapak keluar dulu.’ Percakapan (5) terjadi dengan penggunaan KB secara simetris di antara peserta tutur jaba, walaupun ada kesenjangan umur (tua-muda) dan status pekerjaan (atasan-bawahan). Penggunaan KB yang simetris itu dibuktikan oleh penggunaan kata biasa dengan persentase tertinggi, yakni 59,7%; diikuti oleh kata serapan BI, yakni 37,1% dan kata serapan BIng, yakni 3,2%. Dalam hal ini, penekanan pada faktor identitas jaba-lah yang menjadikan penggunaan itu. 6.4.2 Faktor Solidaritas Interwangsa Selain digunakan di antara jaba, KB juga lazim digunakan oleh peserta tutur yang berbeda wangsa, yakni antara jaba dan triwangsa, tetapi berumur sebaya. Namun, penggunaan KB di antara mereka itu dimungkinkan karena adanya solidaritas yang muncul. Sehubungan dengan itu, solidaritas yang ditandai oleh penggunaan KB tidak harus solidaritas yang mendalam karena KB sendiri sering dirujuk sebagai corak atau cita rasa berbahasa penutur Kota Singaraja. Singkatnya, Solidaritas sederhana yang muncul karena persamaan-persamaan sebagai teman sedesa, teman sehobi, teman sekolah atau bersekolah di tempat yang sama, teman sepermainan, teman sekerja atau sekantor, dan lain-lain sudah cukup untuk ditandai dengan KB. (6) Situasi: percakapan terjadi antara seorang anak agung (AGAT) dan temannya, Kadek (KDBGA) di depan pusat perbelanjaan di Kota Singaraja. AGAT adalah seorang perempuan, berumur muda, dan berprofesi sebagai Kepala Subbagian di Sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Singaraja, sedangkan KDBGIA adalah seorang laki-laki, berumur muda, dan berprofesi sebagai guru honorer. 265 (1): AGAT (2): KDBGA (3): AGAT (4): KDBGA (5): AGAT (6): KDBGA (7): AGAT (8): KDBGA (9): AGAT (10): KDBGA (11) AGAT (12) KDBGA Hai, Kadek o? tumben tepuk, kija dogen? Be kawin? ‘Hai, Kadek ya? Tumben ketemu, dari mana saja? Apakah sudah menikah?’ AGUNG ne? keliang-kelieng dini dogen. Suba, be dua ngelah. Men AGUNG kenken? Suba? ‘Agung ya? Kesana-kemari saja. Sudah, sudah dua punya (anak). Terus Agung bagaimana? Apakah sudah?’ Encol gati o, be kuda umurne? Yang konden, aliang nah? ‘Cepat sekali ya, sudah berapa umurnya? Saya belum, carikan ya?’ O nok, ane pertama be kelas dua SD, ane kedua nu bayi. Gaya gen Agung he..., men yen yang sing ke kanggoang? ‘Iya, yang pertama sudah kelas dua SD, yang kedua masih bayi. Ada-ada saja Agung in he.., terus kalau dengan saya mau?’ Waduh, nu dogen ganjen cara pidan, men ane jumah dija kejang? ‘Waduh, masih saja genit seperti dulu, terus yang di rumah dibawa kemana?)’ Nah, dija men pantesne he. Nu megae di Kampus? ‘Ya, dimana pantasnya saja he. Apakah masih bekerja di Kampus?’ Nu, kenken? Men Kadek dija jani? ‘Ya, bagaimana? Terus Kadek dimana sekarang (bekerja)?’ Nu, di tongose pidan, kara kanggoang nu ngonor, sing angkatangkate. Yen Agung mara ja? ‘Masih di tempat dulu, cuma masih honor, tidak diangkat – angkat (menjadi PNS). Kalau Agung baru sudah?’ Beh, patuh dogen masi, Dek. Ne anak lakar kija ne? Istirahat o? ‘Beh, sama saja juga, Dek. Ini mau kemana? Istirahat ya?’ O, ne sambil ngalihang panake baju sekolah, ane maluan be daki. ‘Iya, ini sambil membelikan anak saya baju sekolah, baju yang lama sudah kotor.’ Nah, lamun keto ke kalain malu Dek. Yang be pragat ne. ‘Iya, kalau begitu (saya) tinggal dulu Dek. Saya sudah selesai (berbelanja)’ Nah, selamat gen. ‘Iya, selamat.’ Pada percakapan (6), penggunaan KB secara simetris terjadi antara dua penutur sebaya yang senjang menurut wangsa, gender, dan status pekerjaan. Kata- 266 kata yang digunakan hampir semuanya berlevel biasa dengan sedikit ditambahi oleh penggunaan kata serapan BI. Dalam hal ini, kata biasa digunakan sebanyak 83,97%, sedangkan kata serapan BI sebanyak 16,03%. Selain itu, penggunaan bentuk pronomina pertama yang secara resiprokal dan istilah sapaan Agung-kadek juga memperkuat penggunaan KB secara simetris. Meskipun kesebayaan solider merupakan faktor penentu penggunaan KB secara simetris, penutur jaba terkadang juga menggunakan KB untuk berbicara dengan penutur triwangsa yang lebih tua (satu atau dua generasi) tanpa mengindahkan kesenjangan lain seperti status pekerjaan atau gender, apalagi jika penutur triwangsa tersebut berstatus kerja rendah. Hal itu juga terjadi dalam hubungannya dengan faktor solidaritas interwangsa. 6.4.3 Faktor Domain Domain penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan wangsa penutur juga berpengaruh bagi penggunaan bahasa. Di domain keluarga, penutur jaba menggunakan KB untuk berbicara di antara sesama anggota keluarga. KB digunakan tanpa memperhatikan kesenjangan umur, gender, dan juga peran sosial. Antara orang tua-anak berbicara satu sama lain dengan menggunakan KB; antara suami-istri dengan KB; begitu juga antara paman-keponakan. KB menandai kedekatan di antara anggota keluarga. Di domain tetangga, penutur-mitra tutur jaba juga menggunakan KB secara simetris tanpa mengindahkan kesenjangan umur, gender, dan juga status pekerjaan. Penggunaan KB di domain tetangga berfungsi untuk menandai solidaritas interjaba. Hal yang sama juga ditunjukkan pada penggunaan KB secara 267 simetris di domain masyarakat dan tempat kerja tidak hanya antara peserta tutur antarjaba, bahkan antara peserta tutur jaba-triwangsa. Hal itu mengindikasikan bahwa KB sudah dirasakan sebagai kode umum yang bersifat netral dan dapat digunakan tanpa menimbulkan perasaan tidak dihargai di antara penutur pada guyub tutur Kota Singaraja. Percakapan (7) menunjukkan interaksi dengan KB yang terjadi di domain tetangga. (7) Situasi: Percakapan terjadi antara Wayan (WYAT) dan Kadek (KDBM) pada suatu sore di domain tetangga. WYAT merupakan seorang perempuan, tua, dan bekerja sebagai Kepala SubBagian di Kantor Pemerintahan Daerah. Sementara itu, KDBM merupakan seorang perempuan, muda, dan bekerja sebagai pegawai kantoran biasa di sebuah perusahan Finance di Singaraja. (1): WYAT Luh, mai jep melali mulih? Anak lakar kija ne? Adi tergesa-gesa gati. ‘Luh, kemari dulu main ke rumah sebentar? Mau kemana ini? Kenapa tergesa-gesa sekali.’ (2): KDBM Sing Bu, ne yang lakar kumah timpale. Be Mejanji di depan. ‘Tidak ada apa-apa Bu, ini saya akan ke rumah teman. [Dia] berjanji menunggu di depan.’ (3): WYAT O keto? memangne lakar ke kantor, adi sanje? ‘O begitu? memangnya akan ke kantor, kenapa sore?’ (4): KDBM Ne timpale ada ngelah gae, kawin. Jani, rencana resepsine. Uli semengan je sebenarne, tapi khusus untuk timpal-timpale di kantor sanjaan. Yen sing keto, sing ada teka. (Ini teman ada punya ‘acara’, menikah. Sekarang rencananya resepsinya. Dari pagi sebenarnya, tetapi khusus untuk temanteman di kantor sorean. Kalau tidak begitu, tidak ada yang datang’ (5): WYAT Melaang men, sing timpal cowok ane nongosin? nyanan I RATU jealous. ‘Hati-hati ya, nggak teman cowok yang menunggu? Nanti Si Ratu cemburu.’ (6): KDBM Buih, sing bani Bu, ane ngantiang anak timpal luh. ‘Buih, tidak berani Bu, yang menunggu teman perempuan.’ (7): WYAT Nah, adeng-adeng gen mejalan Luh. ‘Ya, pelan-pelan saja jalannya Luh.’ (8): KDBM Nah, Bu. Makasi. ‘Ya, Bu. Makasi.’ 268 Pada percakapan (7), kedua penutur menggunakan KB secara simetris yang ditunjukkan oleh penggunaan kata biasa yang tinggi, dan selanjutnya diikuti oleh sedikit penggunaan kata serapan BI, kata alus, serta BIng. Penggunaan KB itu dimungkinkan karena pertalian antara faktor domain dan faktor jaba. Sebagai tambahan, persentase kata biasa yang digunakan adalah 76,19%; kata serapan BI adalah 21,43%; kata alus adalah 1,19%; dan kata serapan BIng adalah 1,19%. 6.4.4 Faktor Budaya dan Sosialisasi Bahasa 6.4.4.1 Faktor Budaya Istilah budaya berhubungan dengan dua konsep khusus, yakni kompetensi budaya dan tindakan sosiobudaya. Kompetensi budaya merupakan sistem pengetahuan yang dibentuk dan dipengaruhi oleh bagaimana pikiran manusia memeroleh, menata, memroses informasi dan membuat “model realitas internal” sehingga bersifat internal; sedangkan, tindakan sosiobudaya merupakan wujud penerapan pengetahuan itu di lingkungan fisik sehingga bersifat eksternal. Budaya itu bersifat spesifik dan unik tergantung pada guyub tutur itu sendiri. Untuk mengetahui proses terbentuknya pola perilaku budaya pada suatu guyub, kilas balik dan kajian sejarah sosial budaya guyub itu perlu untuk dilakukan. Pertanyaan mengenai bagaimanakah guyub itu terbentuk, siapa-siapa sajakah yang menjadi anggota guyub itu, bagaimanakah karakter fisik-sosial anggota guyub itu, bagaimanakah pola pikir dan perilaku anggota guyub itu, dan sebagainya perlu untuk diajukan guna memeroleh pemahaman yang komprehensif tentang budaya suatu guyub. 269 Beberapa ahli, seperti Sastrodiwiryo (2011), Suryawan (2010), dan Wingarta (2009) mengungkapkan bahwa budaya guyub tutur Kota Singaraja (Buleleng) adalah budaya masyarakat pesisir yang berorientasi pada nilai-nilai kebebasan, persamaan, dan keakraban. Dengan kata lain, guyub tutur Kota Singaraja adalah guyub yang berbudaya egaliter. Budaya egaliter mengedepankan persamaan antarsesama manusia dan melihat bahwa manusia satu dan lainnya adalah sama. Budaya egaliter itu telah ada sejak zaman dulu yang didasari oleh beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, masyarakat Buleleng juga terdiri atas unsur-unsur masyarakat Bali Aga, seperti Tigawasa, Sidatapa, Cempaga, Pedawa, dan lain-lain yang memiliki pengaruh kuat pada budaya di Buleleng. Komunitas Bali Aga merupakan penduduk Bali pertama sebelum gelombang pendudukan dari Kerajaan Majapahit yang menggeser mereka ke sekitar wilayah pegunungan di Buleleng. Komunitas itu bersifat egaliter dan memengaruhi budaya Buleleng menjadi egaliter. Kedua, masyarakat Buleleng sangat terbuka dan telah banyak menerima pengaruh asing. Sebagai buktinya, pada abad kesepuluh ada jemaah-jemaah Budha Mahayana yang telah datang untuk bermukim di Buleleng dan menyebarkan agama Budha Mahayana. Kedatangan mereka ditunjukkan oleh peninggalan beberapa prasasti dan adanya nama-nama daerah yang bernuansa kebudhaan, seperti Padangkeling, Kaliuntu, Kalibukbuk, Kaliasem, dan Kalianget. Selain itu, Keterbukaan itu juga berhubungan dengan peran Kota Singaraja 270 sebagai pelabuhan persinggahan yang ramai dikunjungi oleh pedagang asing untuk keperluan berdagang. Ketiga, Kota Singaraja juga banyak didatangi oleh “imigran” dari kerajaan Gelgel yang tidak puas dengan kondisi kerajaan Gelgel. Para “imigran” itu dikatakan sebagai orang-orang yang berpikiran terbuka dan keras sehingga bermasalah dengan raja. Ketika mereka (banyak di antaranya adalah triwangsa) datang untuk menetap, mereka diminta untuk melepaskan wangsa mereka dan mengikuti adat atau aturan yang berlaku di wilayah yang ditempati. Keempat,Raja Buleleng pertama, yakni Ki Gusti Panji Sakti juga dikenal dengan karakter egaliternya dan wawasannya yang luas. Beliau tidak menilai orang berdasarkan keturunan atau wangsa, melainkan berdasarkan kemampuan. Karakter beliau itu dibuktikan dari komposisi inti pasukan beliau yang tidak hanya terdiri atas orang-orang Bali, tetapi juga orang-orang dari etnis Bugis, Makasar, dan Madura. Bahkan, syahbandar yang ditunjuk beliau untuk mengelola pelabuhan bukanlah orang etnis Bali, tetapi orang Eropa yang bernama Mossel dan Michiels. Kelima, setelah kekuasaan Ki Gusti Panji Sakti berakhir, Buleleng selalu berada pada kondisi bergejolak karena perebutan kekuasaan, baik antarsaudara maupun dengan kerajaan Karangasem. Selain itu, pada masa kekuasaan Belanda, Buleleng berada di bawah perintah langsung seorang kanselir Belanda dan tidak di bawah kekuasaan seorang raja Bali, seperti kerajaan Bali yang lain. Kedua hal itu berakibat pada pudarnya pengaruh puri dan mendorong munculnya budaya maboya (Wingarta, 2009:2-3), yakni suatu pola perilaku meremehkan atau antipati 271 terhadap hal-hal yang dianggap tidak praktis dan kurang bermanfaat secara nyata. Budaya maboya itulah yang mengakibatkan pengabaian dari guyub tutur Kota Singaraja terhadap hal-hal yang berbau tradisi, budaya, dan politik. Keberadaan budaya egaliter mendorong penggunaan suatu bahasa umum yang mencirikan solidaritas yakni KB. KB merupakan bentuk bahasa yang menandai kenetrala, kesolideran, dan keakraban. KB menandai kenetralan karena kode itu tidak meninggikan atau merendahkan, tetapi biasa-biasa saja. Selain itu, KB muncul dari golongan mayoritas, yakni penutur jaba dan menjadi bagian dari identitas kejabaan. Dengan demikian, KB telah berkembang menjadi semacam kode umum, terutama pada penutur jaba yang merupakan penutur mayoritas. Meskipun budaya guyub Kota Singaraja berciri umum egaliter, tetapi guyub itu juga memiliki anggota guyub triwangsa yang terdiri atas wangsa ksatria yang merupakan keturunan langsung dari Ki Gusti Panji Sakti serta ksatria yang lainnya, brahmana, dan wesia. Anggota guyub triwangsa itu masih mempertahankan pola perilaku yang berbeda dengan pola perilaku anggota guyub mayoritas. Anggota guyub itu dibesarkan di balik tembok puri, gria, atau jero; mempertahankan pola pikir hierarkis berbasis keturunan; dan berorientasi pada nilai-nilai tradisional wangsa. Penutur triwangsa itu, karena latar belakang pola pikir budaya yang berbeda, mengembangkan cita rasa bahasa yang berbeda dengan penutur jaba. Mereka merasa bahwa kehormatan merupakan bagian yang sangat penting bagi pergaulan di masyarakat dan setiap orang perlu untuk dihormati, apalagi orang- 272 orang dengan asal-usul tertentu. Oleh karena itu, mereka merasakan pentingnya KA dan KB sebagai penanda bagi kesenjangan status sosial. Namun, karena tekanan yang tinggi dari keegaliteran guyub tutur Kota Singaraja penutur triwangsa kurang dapat menerapkan pola penggunaan bahasa tradisional. Mereka mengubah perilaku berbahasa mereka menjadi lebih lunak atau fleksibel. Pada berbagai kesempatan, mereka kerap terlibat pada percakapan dengan penutur jaba yang tidak memiliki kesenjangan identitas yang tinggi dengan menggunakan KB secara resiprokal. 6.4.4.2 Faktor Sosialisasi Bahasa Hudson (1982) mengungkapkan bahwa keunikan sosiolinguistik masa lalu individu merupakan sumber penting bagi perbedaan antarpenutur. Seorang anak ketika dilahirkan dan dibesarkan pada suatu kelompok tertentu akan tersosialisasi di dalam kelompok itu dan untuk itu, bahasa menjadi instrumen penting. Bahasa membantu seorang anak untuk mempelajari bagaimana cara kerja kelompoknya, yakni apa yang boleh (tidak boleh), apa yang dianggap penting (tidak penting), dan bagaimana cara menjadi anggota kelompok yang kompeten. Hudson (1982) juga menambahkan bahwa untuk berbicara dan menjadi anggota kelompok yang kompeten, seorang anak membutuhkan model untuk ditiru. Dari umur nol sampai dengan tiga atau empat tahun, model itu adalah orang tua; dari umur tiga atau empat tahun sampai dengan tiga belas tahun adalah teman sebaya; dan dari umur tiga belas tahun sampai seterusnya adalah orang dewasa lainnya. 273 Bahasa awal yang disosialisasikan pada keluarga jaba adalah KB. KB diperkenalkan kepada seorang anak jaba sejak lahir dan menjadi bahasa pengantar di dalam keluarga. Model pertama anak tersebut adalah keluarga; selanjutnya, anggota keluarga terdekat yang lain; kemudian, tetangga dan teman bermain; dan terakhir, anggota masyarakat yang lain. Dalam hal ini, KB disosialisasikan melalui pemodelan dan penjelasan secara eksplisit. Kode biasa menjadi bahasa pertama yang dikuasai oleh penutur jaba yang mewarnai pola pikir dan cita rasa berbahasa mereka. Kode itu telah mendapat dukungan masyarakat luas dan mendapat predikat sebagai kode umum sehingga seorang anak jaba di Kota Singaraja dapat memperoleh eksposur KB yang luas. Dengan demikian, seorang anak jaba dapat menguasai KB dengan cepat dan menggunakannya secara fasih. Namun, secara tradisional KB dianggap sebagai bahasa rendah dan bahkan beberapa ahli bahasa mengklasifikasikan KB sebagai TT kasar (lihat Sutjiati, 1999:73). Dengan demikian , KB seharusnya digunakan secara nonsimetri oleh penutur triwangsa kepada mitra tutur jaba atau secara simetri di antara sesama penutur jaba. Akan tetapi, bagi penutur guyub tutur Kota Singaraja yang berciri heterogen, egaliter, dan memiliki budaya maboya yang tinggi, KB bukanlah bahasa rendah; melainkan, basic language ‘bahasa dasar’ yang bersifat umum. Walaupun bukan merupakan kesepakatan umum di Bali, KB oleh guyub tutur Kota Singaraja dinyatakan berasa netral. Oleh karena itu, KB dianggap dapat digunakan secara simetris pada pergaulan intra- dan interwangsa. Selain itu, KB adalah bahasa solidaritas. Bahasa yang digunakan sesama teman dan bahasa yang 274 digunakan oleh sesama manusia yang sejajar. Hal ini mencerminkan ciri umum penutur guyub tutur Kota Singaraja yang bisa bergaul dan dapat akrab dengan cepat dengan mitra tutur yang baru dikenal. Sikap solidaritas itu ditunjukkan melalui berbagai moto yang didasarkan pada pola pikir egaliternya. Di antaranya, yang paling populer adalah “Buldog” yang merupakan akronim yang sangat populer dari Buleleng dogen ‘Buleleng saja’. Motto itu pertama berfungsi untuk menyatukan rasa di antara orang-orang Buleleng dan untuk berbicara sebagaimana orang Buleleng berbicara. Di samping untuk menyatukan rasa, motto itu juga mengindikasikan bahwa guyub tutur Buleleng memiliki ciri khas yang berbeda dengan guyub tutur lainnya. Salah satu ciri khas yang terkenal itu adalah penggunaan bahasanya yang khas. Moto yang lainnya adalah de bes aeng ‘jangan terlalu serius’; masi lakar alih uled ‘juga akan dimakan ulat’, atau masi pada lakar ngalih tanahe duang meter ento ‘juga sama akan mencari tanah yang dua meter itu’. Moto itu semua adalah untuk mengungkapkan bahwa semua orang sama, hanya terdiri atas darah dan daging saja dan pada akhirnya akan mati. Ungkapan itu bermakna keras dan memperlihatkan bagaimana solidaritas dan keegaliteran dijunjung tinggi oleh guyub tutur Kota Singaraja. Percakapan (8) menunjukkan penggunaan kode yang terjadi pada domain keluarga antara suami-istri. Mereka merupakan partisipan yang berada pada kategori umur tua, dan memiliki status pekerjaan tinggi. (8) Situasi: percakapan terjadi antara seorang suami, Pak Kadek (KDAD) dan istrinya, Bu Wayan (WYAD) di rumah. Keduanya berumur tua, dan berwangsa jaba. Selain itu, KDAD berprofesi sebagai kepala bagian di 275 kantor Pemerintah Daerah, sedangkan sang istri adalah seorang kepala Sekolah. 1: WYAD 2: KDAD 3: WYAD 4: KDAD 5: WYAD 6: KDBD 7: 8: WYAD 9: KDBD Pak, Pak Komang tuni ngoraang lakar mai sanjane jani? ‘Pak, Pak Komang tadi mengatakan akan kemari sore ini?’ Nyen ajake? Ponakane milu kone? ‘Siapa diajak? Ponakannya ikut katanya?’ Oo Pak, nak lakar ngengken sebenarne, adi tuni waktu tepuk di peken sing kodak ramahne? Uli joh mara parkir, be nyagjag misi ngoraang OM SWASTIASTU. Beh, bes tumben gati. ‘Ya Pak, akan ada apa sebenarnya, kenapa tadi sewaktu bertemu di pasar kok sangat ramah? Dari jauh baru parkir, langsung menghampiri menyebutkan ‘Om Swastiastu’. Ai, tumben sekali.’ Memangne sebelumne ye sing taen nyak mecapatan, berarti ngagu gati anak ne o? ‘memangnya sebelumnya dia tidak pernah mau menyapa, berarti “tidak perhatian” sekali orangnya ya?’ Sing je keto, mecapatan-mecapatan je ye, tapi sing cara keto. Paling mekenyem dogen, sing taen ngomong. ‘Tidak juga begitu, menyapa sih menyapa dia, tetapi tidak seperti itu. Paling banter hanya senyum saja, tidak pernah ngomong.’ Oo? berarti ia bermaksud berakrab-akrab to, nah pantes ja masi… ‘Oo, berarti dia itu bermaksud berakrab-akrab, ya pantas juga.’ Ye mai nak lakar ngidihang ponakane gae di kantor, dadi apa gen kone sing kenken, asal megae gen. Tuni maan ngobrolngobrol bedik ajak timpale. Kemungkinan kone di cleaning service ngidaang nerima. Ongkane sih ditu ke idiang gae. Tapi, bos cleaning service sing maan tepuk, semengan be ulesneye mulih. ‘Dia kemari untuk memintakan keponakannya pekerjaan di kantor, dengan demikian apa saja katanya tidak apa-apa, asal kerja saja. Tadi dapat mengobrol sedikit dengan teman. Kemungkinan di cleaning service bisa menerima. Maunya disana dimintakan pekerjaan. Tetapi, bos cleaning servicenya belum ketemu, mungkin pagi sudah pulang.’ Juari Pak ngejang anake ditu? Cara sing ada tongos len. ‘Tidak malukah Bapak menaruh dia disana? Seperti tidak ada tempat lain.’ Ah, sing je masalah, kebetulan ye masi anak cuma tamatan SMP gen, men gae apa baang? Yen sing cleaning service, berarti tukang ngae teh atau jongos? To kan patuh gen. Kan luungan di cleaning service, masuk jam setengah nem, jam dasa be mulih. Mekeneh masak, manting, melali kan ngidaang, 276 10: WYAD 11: KDBD 12: WYAD 13: KDBD 14: WYAD 15: KDBD 16: WYAD jeg liu ngelah waktu sisa. ‘Ah, tidak masalah, kebetulan dia juga cuma tamatan SMP saja, terus pekerjaan apa diberikan? Kalau bukan cleaning service, berarti tukang buat teh atau jongos? Itu kan sama saja. Tentu saja lebih bagus di cleaning service, masuk jam setengah enam, jam sepuluh sudah pulang. Mau masak, nyuci, keluar kan bisa, banyak punya waktu luang’ Nah be je keto, ane lekin kan ye nyanan sing juari ditu. ‘Ya sudah kalau begitu, yang nanti buat malu kan kalau dia malu disana.’ Sing je ade keto Yan. Jaman jani aget be maan gae, yen ye seken buin nasibne luung, nyen nawang mangkat dadi PNS he, buktine di kantor bupati kan liu cleaning service mangkat dadi PNS. ‘tidak begitu Yan. Jaman sekarang sudah syukur dapat kerja, kalau dia tekun dan nasibnya baik, siapa tahu bisa diangkat dengan demikian PNS he, buktinya di kantor bupati kan banyak cleaning service diangkat menjadi PNS.’ To kan ipidan Pak, yen jani kenkenange je ye mangkat? (Itu kan dulu Pak, kalau sekarang bagaimana caranya dia diangkat?) Nah, care anake ngoraang, terkabul tidaknya kan sing IRAGA nentuang, to Ne Beduur ngelah urusane. Yen sing jodo lakar sing ada apa, tapi yen jodo dadine cara Wayan jak Beli. ‘Ya, seperti kata orang, terkabul tidaknya bukan kita yang menentukan, itu Yang Diatas yang punya urusan. Kalau tidak jodoh tidak akan ada apa-apa, tetapi kalau jodoh jadinya seperti Wayan dan Kakak.’ Beh, cara Wayan ajak Beli. Keto ipidan sing kodak getapne, mara ketebine gen bedik ken Bapak langsung Pak melaib ambil langkah seribu. Be keto, nitip pesen be jak cerik-cerike dini nagih metepuk, nyen sing nawang Pak? ‘Beh, seperti Wayan dan Kakak. Begitu pengecutnya dulu, baru digertak sedikit saja oleh Bapak langsung Pak lari ambil langkah seribu. Sudah begitu, menitip pesan kepada anak-anak disini minta ketemu, siapa yang tidak tahu bapak?’ Bu, to kan masa lalu, buinan, keto serem tampang matuane, asane jeg nagih goroke dogenan. Di kantor gen, sampe jani sing ada bani ken Bapak. ‘Bu, itu kan masa lalu, selain itu, begitu seram tampang mertua, rasanya mau digorok saja. Di kantor saja, sampai sekarang tidak ada yang berani pada bapak.’ To sing serem sing adane, to adane berwibawa, sing cara pak kenyar-kenyir gen, apalagi yen nepukin I Luh di kantor, meh sing kodak manis kenyem Bapa’e. Mara ye ngomong “Selamat pagi, Pak”, sing kodak berdebar-debar jantunge be o? Sampe’ 277 17: KDBD 18: WYAD 19: KDBD 20: WYAD 21: KDBD ane di samping sing ingetange. ‘Itu tidak seram namanya, itu berwibawa, tidak seperti Bapak cengar-cengir, apalagi kalau bertemu Si Luh di kantor, waduh manisnya senyum bapak. Baru dia ngomong “Selamat pagi, Pak”, kencang sekali debaran jantungnya ya? Sampai-sampai yang di sebelah tidak diingat.’ Buih, adi keto Ibu ngomong, sing ade keto, ajak anak buah kan memang harus ramah, berusaha pang ye nyaman. Buin pidan kan aluh tunden, yen serem ken anak buah, nyen lakar korain ngerunguang. Ane waktu to, yang to mendep karena ngenehang ngae perencanaane ane konden pragat to. De anake macem-macem Yan, nyanan ke diman pone, pang tawange asane. ‘Buih, kok Ibu bicara begitu, tidak ada seperti itu, dengan anak buah kan memang harus ramah, berusaha membuat dia nyaman. Nanti biar gampang disuruh, kalau keras dengan anak buah, siapa yang akan perduli. Yang waktu itu, saya diam karena berpikir untuk membuat perencanaan yang belum selesai. Jangan macam-macam Bu, nanti saya cium baru tahu rasa.’ O keto he, lamun mekeneh niman, dadi gen, tapi inget bayarannya mahal lo? ‘O begitu he, kalau memang mau cium boleh saja, tapi ingat bayarannya mahal lo?’ Bih, sing inget, kaden pidan be keidih. Be terus bapak-ibu’e ngemaang ngidih, berarti kan Luh be yang ngelaang. Terserah saya dong mau diapakan he. ‘Bih, tidak ingat, dulu kan sudah diminta. Sudah kemudian bapak- ibu memberikan, berarti kan Luh sudah saya yang punya. Terserah saya dong mau diapakan he.’ Beh, Bapak keto gen omongange sing med-med, yang ke paon malu ngoreng tempe. Panake nagih tempe manis, tulungin nake yang di paon. ‘Beh, Bapak tidak bosan-bosan ngomong begitu saja, saya ke dapur dulu untuk mengoreng tempe. Anak kita minta tempe manis, tolong dong saya di dapur.’ Nah, bensepan. Jani lakar ngetep bonsaine di muka malu, samah gati done. ‘Ya, sebentar. Ini akan memotong bonsai di depan dulu, banyak sekali daunnya.’ Percakapan (8) menunjukkan penggunaan KB yang intens di antara suamiistri jaba di domain keluarga. Penggunaan kata biasa mendominasi dengan 278 persentase 72,08%; selanjutnya, diikuti oleh kata serapan BI, yakni 25,62%; kata serapan BIng 2,1%; dan kata serapan BS 0,38%. Sebagai penutur jaba, mereka dibesarkan di dalam keluarga masingmasing melalui KB. Selanjutnya, ketika mereka bersatu membangun keluarga sendiri, KB juga mereka jadikan sebagai bahasa pengantar di dalam keluarga. Hal itu berarti bahwa KB telah digunakan secara turun temurun di dalam keluarga. Selain KB, anggota guyub juga mempelajari KK, KA, dan BI. KK umumnya diperoleh secara bersamaan dengan KB. Penutur-penutur yang dekat dengan KB umumnya tidak segan untuk terkadang mengungkapkan emosi negatif dengan KK sehingga anak-anak mereka dengan cepat bisa memperoleh atau menguasai KK. Pemerolehan KK itu semakin difasilitasi karena KK hanya terdiri atas beberapa kosakata kasar saja. Berbeda dengan KK, kebanyakan anggota guyub jaba menjelaskan bahwa mereka memperoleh KA untuk pertama kali di Sekolah Dasar. Dahulu ketika mereka SD ketika mereka kelas satu atau dua, bahasa pengantar yang digunakan pada mereka masih BB, sedangkan BI diajarkan secara perlahan sebelum akhirnya mendominasi. BB yang digunakan di sekolah adalah KB dan KA, walaupun KA yang digunakan bukan KA yang sangat alus, yakni alus madia. Selain itu, pelajaran bahasa Bali pada Sekolah-Sekolah Dasar dahulu juga memberikan penggunaan KA, meskipun seadanya. Sayangnya, eksposur KA yang diberikan di Sekolah Dasar tidak dilanjutkan di rumah dan di keluarga karena KA cenderung hanya muncul di keluarga-keluarga triwangsa dan pada interaksi dengan peserta tutur triwangsa 279 saja. Oleh karena itu, penutur jaba Kota Singaraja memiliki kecenderungan untuk tidak fasih menggunakan KA. Mereka cenderung hanya menguasai kosakata alus madia dengan jumlah yang terbatas dan tidak yakin dengan kemampuan berbahasa alus mereka. Sebagai salah satu buktinya, jika seorang penutur jaba diminta untuk menghadap ke gria kepada seorang pendeta brahmana untuk meminta nasehat spiritual, tanggapan pertama yang sering diberikan adalah sing juari nok soalne yang sing bisa basa alus ‘malu karena saya tidak bisa berbahasa halus’. Selanjutnya, mereka meminta orang lain yang memiliki kemampuan yang baik pada KA untuk menyertai. BI juga dipelajari pertama kali di sekolah dasar pada zaman dahulu, tetapi dengan sangat intensif. Secara perlahan, BI menggantikan BB dan menjadi bahasa pengantar di sekolah. Intensitas praktik penggunaan dan komunikasi dalam BI, terutama antara guru dan siswa tinggi sehingga anak-anak dapat dengan cepat fasih berbahasa Indonesia. 6.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Biasa secara Nonsimetris Penggunaan KB secara nonsimetris yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah penggunaan antara KB-KA. Dalam hal ini, KA dilihat sebagai bentuk tinggi yang digunakan untuk menandai bentuk hormat, sedangkan KB dilihat sebagai bentuk rendah yang menandai bentuk tidak hormat. Namun, penggunaan KB dan KA secara nonsimetris kurang umum pada guyub tutur Kota Singaraja. 280 Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan KB secara nonsimetris adalah faktor kesenjangan status yang tinggi atau faktor kekuasaan. 6.5.1 Faktor Kesenjangan Status yang Tinggi Perbedaan status normatif yang umumnya dapat mewujudkan terjadinya penggunaan KB secara nonsimetris adalah perbedaan wangsa antara penutur-mitra tutur. Secara umum, penutur jaba diharapkan untuk menggunakan KA ketika bertutur dengan penutur triwangsa; sebaliknya, penutur triwangsa dapat menggunakan KB ketika bertutur dengan penutur jaba. Akan tetapi, hal seperti itu tidak terlalu berterima pada guyub Kota Singaraja yang tidak membiasakan pertanyaan nunasang antuk linggih untuk bertanya tentang wangsa seseorang agar dapat menyesuaikan pilihan kode tutur. Oleh karena itu, perbedaan wangsa itu umumnya perlu untuk diperkuat oleh perbedaan umur yang tinggi sekitar satu atau dua generasi untuk memastikan terjadinya penggunaan KB secara nonsimetris. Bila penutur triwangsa tersebut berumur satu atau dua generasi lebih tua dari penutur jaba, maka penutur jaba memiliki kecenderungan untuk menggunakan KA. Akan tetapi, penutur triwangsa tersebut tidak selalu menanggapi dengan KB (lihat percakapan 12 dan 13), apalagi jika percakapan itu terjadi di rumah penutur triwangsa tersebut. Penutur triwangsa umumnya merasa sangat dihormati dan cenderung sungkan untuk membalas dengan KA jika diajak bercakap-cakap dengan KA di rumahnya. Oleh karena itu, terciptalah penggunaan KA secara simetris. 281 Justru yang lebih sering terjadi adalah hal yang sebaliknya. Penutur triwangsa terutama yang berumur muda dan yang terdidik baik di keluarga menggunakan KA untuk bercakap-cakap dengan penutur jaba yang satu atau dua generasi lebih tua, apalagi berstatus sosial lebih tinggi. Penutur jaba tersebut terkadang tidak sungguh-sungguh menyadari bahwa dia diajak bertutur dengan KA –karena sudah terbiasa dengan KB –tetap menggunakan KB. Akan tetapi, jika dia menyadari hal itu, dia dengan segera memperhalus penggunaan bahasanya dengan KA. 6.5.2 Faktor Kekuasaan Brown dan Gilman (1960) mengartikan kekuasaan sebagai kekuatan yang memungkinkan seseorang untuk dapat mengendalikan, atau memengaruhi perilaku orang lain. Kekuasaan bersifat mengukuhkan hubungan nonsimetris di antara penutur berdasarkan parameter-parameter yang telah disahkan bersama, seperti status ekonomi, status politik, dan sebagainya. Berdasarkan perbedaan kekuasaan, selanjutnya dapat ‘disepakati’ siapa yang berkuasa, dan siapa yang di bawah kuasa yang berimplikasi pada penggunaan sapaan yang tidak simetris. Kesenjangan wangsa sebagai penentu perbedaan kekuasaan di guyub Kota Singaraja kurang cukup bagi penggunaan kode secara nonsimetris. Hal itu terlihat dari tingginya interaksi pada penutur antarwangsa dengan menggunakan KB. Malah, ketika penutur jaba ditanya apakah tidak akan menimbulkan ketersinggungan kepada penutur triwangsa jika penutur jaba menggunakan KB, jawaban yang diberikan adalah sing kenken ‘tidak apa-apa’, atau sing perlu ngae ngon ‘Tidak perlu membuat orang lain kagum’. Terkadang jawaban itu 282 dilanjutkan masih lakar sing ngasilang apa ‘juga tidak akan menghasilkan apaapa’. Jawaban-jawaban itu menunjukkan sikap yang kurang kondusif terhadap penggunaan KA. Tipe penutur jaba tertentu juga lazim menggunakan KA kepada penutur triwangsa, tetapi harapan penutur jaba itu adalah ditanggapi dengan kode yang sama (KA), apalagi jika penutur jaba itu memiliki status pekerjaan yang lebih tinggi atau lebih tua. Dengan kata lain, penggunaan KA secara simetrislah yang diharapkan. Ungkapan yang sering digunakan untuk melegitimasi penggunaan simetris ini adalah Ngudiang yang oraine ngormatin ia, lamun ia sing menghormati yang? ‘Kenapa saya disuruh menghormati dia, kalau dia tidak menghormati saya’. Sebagai akibatnya, jika penggunaan KA penutur jaba ditanggapi dengan KB oleh penutur triwangsa, maka penggunaan KB secara simetris cenderung segera terjadi. Sehubungan dengan hal itu, faktor kekuasaan yang dimaksudkan terkait dengan pertanyaan “Sejauh mana penutur itu memengaruhi kehidupan orang lain/masyarakat sekitar secara pribadi?” Jawabannya terkait dengan pola pikir egaliter yang telah merasuki guyub Kota Singaraja. Pola pikir egaliter tidak membandingkan orang berdasarkan kelahiran, tetapi berdasarkan prestasi kerja dan sumbangan nyata terhadap masyarakat umum. Penutur yang dipandang berkuasa adalah penutur dengan profesi tertentu, seperti pendeta brahmana, pemangku ‘pemimpin upacara di pura’ senior, dokter, anggota dewan perwakilan rakyat, kepala-kepala di pemerintahan daerah, pengacara, pemuka agama, dan sebagainya. Selain itu, para tetua triwangsa dan 283 kerabat langsung puri yang tinggal di Puri Singaraja dan Puri Sukasada juga dianggap berkuasa. Mereka itu adalah orang-orang yang terkemuka, dan telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi kemaslahatan hidup orang banyak di Kota Singaraja. Pada penutur-penutur yang dianggap berkuasa itu, penggunaan KA diberlakukan, dan jika ditanggapi dengan KB, tanggapan itu dianggap berterima. Pada gilirannya, penggunaan KB-KA secara tidak simetris dimungkinkan (lihat Percakapan 9). (9) Situasi: percakapan terjadi antara Jero Pasek (JRPK) dan Putu (PTAT) di rumah JRPK. Keduanya berumur tua dan berwangsa jaba. Selain itu, JRPK berprofesi sebagai pemangku ‘pemimpin upacara di pura’, sedangkan PTAT berprofesi sebagai petani dan sekaligus pedagang kecil di pasar. 1: PTAT 2: JRPK 3: PTAT 4: JRPK 5: PTAT SWASTIASTU JERO, AMPURA NIKI mengganggu? Sibuk NIKA? ‘Swastiastu [salam] Jero, maaf mengganggu? Apakah sibuk?’ Ye Pak Putu, amonean dogen. Negak malu? Ada apa mai? ‘O, Pak Putu, begini-begini saja. Duduk dulu? Ada apa kemari?’ KENTEN TIANG mastiang lakar payu NUNAS KARYA buin petang dina, SAMPUNANG LALI JERO? ‘Begini, saya memastikan akan dengan demikian ‘meminta’ upacara empat hari lagi, jangan lupa Jero?’ Beh, ada-ada gen Pak Putu. Semengan gati, JERO pasti be ada ditu. Siapang men makejang, apang tinggal nganteb dogen! ‘Beh, ada-ada saja Pak Putu. Pagi sekali Jero pasti sudah ada disana. Siapkan semuanya agar tinggal melaksanakan saja?’ NGGIH, TIANG ngingetang KENTEN dogen, LAMUN KENTEN, TIANG MANGKIN PAMIT. ‘Iya, saya mengingatkan itu saja, kalau begitu saya permisi sekarang.’ Pada percakapan (9), PTAT menggunakan KA yang ditanggapi oleh JRPK dengan KB sehingga penggunaan kode secara tidak simetris terjadi. Komposisi kata yang menyusun percakapan itu adalah kata biasa, yakni 53,13%; kata alus, yakni 26,56%; kata serapan BI, yakni 18,75%; dan kata serapan BS, yakni 1,56% 284 secara berurutan. Dalam hal ini, kata-kata alus itu hanya digunakan oleh PTAT kepada JRPK; sedangkan, JRPK menggunakan KB. Penggunaan KB-KA secara tidak simetris dimungkinkan, karena mereka memiliki perbedaan kekuasaan yang telah disepakati oleh mereka dan masyarakat. JRPK adalah seorang ‘pendeta’ di pura yang bertugas untuk menangani upacara keagamaan, sedangkan PTAT adalah seorang anggota masyarakat biasa. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, PTAT menggunakan KA untuk bertutur dengan JRPK, sedangkan JRPK dapat menanggapi dengan KB/KA. Kata biasa yang digunakan adalah amonean, dogen, negak, malu, mai, buin, etang, dina, ada-ada, gen, semengan, gati, ditu, apang, dan nganteb; sedangkan kata alus yang digunakan adalah AMPURA, NIKI, NIKA, KENTEN, NUNAS, KARYA, SAMPUNANG, LALU, NGGIH, MANGKIN, dan PAMIT. Selain itu, PTAT juga menggunakan pronomina persona alus madia ‘TIANG’ untuk merujuk ke dirinya dengan tujuan untuk merendahkan diri dan menggunakan bentuk honorifik JERO untuk merujuk kepada JRPK. Selain itu, penutur triwangsa terutama yang berumur lebih muda di ranah pekerjaan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menggunakan KA kepada atasannya yang berumur lebih tua. Bagi mereka, atasan seperti itu layak untuk memperoleh penghormatan dengan menggunakan KA. Hanya saja, atasan yang berwangsa jaba kerap tidak menanggapi dengan kode yang sama. Hal itu tentu saja mendorong penggunaan KB-KA secara tidak simetris. 285 6.6 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Alus secara Simetris Penggunaan KA secara simetris dipengaruhi oleh faktor kekerabatan pada triwangsa, faktor saling menghormati, faktor domain, faktor latar, faktor topik tutur, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa pada triwangsa. 6.6.1 Faktor Kekerabatan pada Triwangsa Faktor kekerabatan menunjukkan adanya pertalian darah di antara sekelompok orang tertentu, yang menjadikan mereka sebagai suatu keluarga. Keluarga itu dapat berupa keluarga kecil yang terdiri atas orang tua dan anakanak, atau keluarga besar sampai meliputi paman jauh, bibi jauh, saudara sepupu jauh, mertua, dan ipar. Penutur triwangsa menggunakan KA untuk bertutur dengan para kerabatnya, baik kerabat triwangsa maupun kerabat jaba. Ketika bertemu dengan seorang kerabat seorang penutur triwangsa akan dengan segera menggunakan KA tanpa menghiraukan tempat, ranah, ataupun topik tutur. Sementara itu, kerabat yang diajak bertutur tentu saja menanggapi dengan KA dan selanjutnya penggunaan KA secara simetris terwujud. Untuk lebih jelasnya, lihat percakapan (10) yang terjadi di antara kerabat triwangsa. (10) Situasi: percakapan terjadi antara seorang suami (IBSTBT) dan istrinya (DYSNB), keduanya berasal dari kalangan Ida Bagus (Brahmana), di rumah tangga. IBSTBT berprofesi sebagai pegawai negeri biasa di sebuah lembaga pendidikan tinggi negeri di Kota Singaraja, sedangkan DYSNB bertugas untuk mengelola toko milik keluarga. Umur keduanya berada 286 pada kategori tua. Selain itu, sebelum menikah mereka adalah saudara sepupu. (1): (2): (3): (4): (5): DYSNBT JI, LUNGA kija MANGKIN? ADOS PUN encol? Kan WAU PISAN nganteg di GRIA. (Ayah, mau kemana sekarang? Kenapa sudah cepat? Kan baru saja sampai di rumah.) IBSTBT Jeg curiga gen RABIN TIANGE nok, Aji kar mebalih sepak bola DUMUN di ruang tamu. WAU RAUH uli kantor, peluan, makane MESIRAM DUMUN pang seger. MANGKIN, MEKARYA kopi sambil mebalih sepak bola, TEN keto ne BECIK Bu he.. (Kenapa curiga saja istriku ini, Ayah akan menonton sepak bola dulu di ruang tamu. Baru datang dari kantor, keringatan, makanya mandi dulu supaya segar. Sekarang, buat kopi sambil nonton sepak bola, kan begitu yang bagus Bu he..) DYSNBT NGGIH, kaden TIANG lakar kija, biasane BUDAL uli kantor langsung megelebug SIREP, NIKI ADOS tumben AMPUN bersih gati, curiga DADOSNE. (Iya, saya pikir mau kemana, biasanya pulang dari kantor langsung jatuh tertidur, ini kenapa tumben sudah bersih sekali, curiga jadinya.) IBSTBT Ibu NIKI, WENTEN gen. Men MANGKIN KARYANANG nake AJI kopi pang BECIK tegake mebalih siaran ulang, NIKAINE seru gati ken timpal-timpale di kantor, AJI penasaran. Men DAYU GEK dija NIKE? NIKAIN jep MRIKI, orahin ke indomaret NUMBAS pia. (Ibu ini, ada-ada saja. Terus sekarang buatkan Ayah kopi supaya enak duduknya menonton siaran ulang, dibilang seru sekali oleh teman-teman di kantor, Ayah penasaran. Terus Dayu Gek dimana? Panggilkan sebentar, suruh [dia] ke indomaret (untuk) beli pia.) DYSNBT NGGIH JI, MANGKIN KARYANANGE men kopi, kopi luwak ABC top markotop he. DAYU GEK SAMPUN mejalan les, WENTEN GUS ADI MANTEN, KARI ngetik di kamar uli semengan. (Iya Ayah, sekarang dibuatkan kopi, kopi luwak ABC top markotop he. DAyu Gek sudak berangkat les, ada Gus Adi saja, sedang ngetik di kamar dari pagi.) … Percakapan (10) menunjukkan percakapan yang terjadi dengan menggunakan kode alus secara simetris di antara suami-istri yang juga adalah sepupu satu sama lain. Dalam hal ini, kode alus digunakan untuk menandai 287 hubungan kekerabatan pada triwangsa. Kosakata terbanyak yang digunakan pada percakapan itu adalah kata serapan BI, yakni 39,7%; diikuti oleh kata alus, yakni 36%; dan kata biasa, yakni 24,3%. Kata-kata alus yang digunakan adalah JI, LUNGA MANGKIN, ADOS, PUN, WAU, PISAN, GRIA, RABIN, TIANG, DUMUN, WAU, RAUH, MESIRAM, MAKARYA, TEN, BECIK, NGGIH, BUDAL, SIREP, NIKI, WENTEN, NIKA, NIKAIN, MRIKI, SAMPUN, DAYU GEK, GUS ADI, SAMPUN, dan KARI 6.6.2 Faktor Penghormatan Intra- dan Inter-Wangsa Faktor penghormatan interwangsa yang berperan pada penggunaan KA adalah faktor riwangsa. Triwangsa merupakan golongan menengah ke atas menurut penggolongan masyarakat Bali tradisional. Mereka berasal dari masyarakat yang berkuasa pada jaman dahulu. Oleh sebab itu, bahasa yang digunakan untuk saling menghormati di antara mereka adalah bahasa tinggi, yakni KA. Penggunaan KA digunakan secara umum pada percakapan yang terjadi di antara penutur triwangsa. Namun, jika salah satu penutur yang terlibat pada suatu percakapan adalah penutur jaba, sedangkan yang lainnya adalah triwangsa, maka kehadiran KA juga dapat terjadi. Dalam hal ini, KA digunakan untuk menandai penghormatan. Lihat percakapan (11) (11) Situasi: Percakapan terjadi di dalam sebuah gang antara seorang Ida Bagus (IDBMRAT) dan Anak Agung (AGSWBT). IDBMRAT merupakan pensiunan yang sebelumnya bekerja sebagai seorang manajer hotel, sedangkan AGSWBT masih berstatus sebagai pegawai biasa di Pemerintah Daerah. Keduanya laki-laki dan memiliki kategori umur tua. 288 (1): (2): (3): (4): (5): (6): (7): (8): (9): IDBMRAT Swastiastu Beli BAGUS, PUNAPI GATRA? ‘Swatiastu Kakak ganteng, bagaimana kabarnya?’ AGSWBT Beh TU AJI, tumben tepuk DRIKI, baik-baik MANTEN. Men PUNAPI GATRA? BECIK? ‘Beh Tu Aji, tumben ketemu disini, baik-baik saja. Terus Tu Aji bagaimana? Sehat?’ IDBMRAT NGGIH, beli, BECIK RING GRIA masi BECIK. LUNGA kija NIKI, DADOS tumben lewat jalan-jalan? ‘Iya, Kak, sehat di gria juga sehat. Mau kemana ini, kok tumben lewat jalan-jalan.’ AGSWBT TEN kija-kija, TIANG PACANG melali RING I RATU. DADOS rapi gati penampilane, LUNGA kija NIKA? pasti LUNGA nengokin demenane NGGIH? He. ‘Tidak kemana-mana, saya maunya bermain ke tempat Ratu. Kenapa rapi sekali kelihatannya, mau kemana ini? Pasti mau menenggok pacarnya ya? He.’ IDBMRAT Beh, beli NIKI WENTEN dogen. TIANG PACANG ke toko, ngatoin YU GEK ke toko meli NAPI kaden adane NIKA, manik-manik, ANGGENE prakarya di sekolahne. ‘Bah, Beli ini ada-ada saja. Saya akan ke toko, mengantar Yu Gek ke toko beli apa itu namanya, manik-manik, digunakan prakarya di sekolahnya.’ AGSWBT Yeh, makelo TEN taen NYINGAKIN AYU GEK, saget SAMPUN masuk, kelas kuda AYU GEK MANGKIN? ‘Ye, lama tidak pernah melihat Ayu Gek, tahu-tahu sudah sekolah, kelas berapa Ayu Gek sekarang?’ IDBMRAT SAMPUN kelas lima di SD tiga. SDne MANGKIN TEN cara pidan, AKEH PISAN urusane. Drumband, les sekolah, les di luar, TEN ngoyong – ngoyong. ‘Sudah kelas 5 di SD 3. SD sekarang tidak seperti dulu, banyak sekali urusannya. Drum band, les sekolah, les di luar, tidak diam-diam’ AGSWBT Ha, KENTEN SAMPUN anake MADUE OKA masuk, konden MALIH isin kantonge TELAS kedas ANGGEN meli buku SARENG mayah kene keto. Tapi, TEN perlu bes sangetange, ane penting kan beres. Lamun ngelah sedeng luwunge, lamun TEN ngelah KANGGEANG NYELANG. ‘Ha, begitulah punya anak sekolah, belum lagi isi kantong habis dikuras digunakan (untuk) beli buku dan bayar uang ini itu. Tetapi, tidak perlu terlalu dipikirkan, yang penting kan beres. Kalau punya, alangkah baiknya; kalau tidak punya pinjam..’ IDBMRAT NGGIH lamun WENTEN silihin, yen TEN WENTEN KANGGEANG ngepah he. ‘Ya kalau ada yang dipinjami, kalau tidak ada maklumi saja he.’ 289 (10): AGSWBT NGGIH, anak makejang PATEH kangin kauhe. MANGKIN TIANG ke RATUNE DUMUN, MALIH duang minggu rencanane WENTEN KARYA RING PURI. TIANG PAMIT DUMUN. ‘Iya, semua sama di timur dan di barat. Sekarang saya mau ke tempat Ratu dulu, lagi dua minggu rencananya ada kerjaan di Puri. Saya permisi dulu.’ (11): IDBMRAT O ngabene NIKE? NGGIH Beli, lanjut SAMPUN, ALONALON. ‘O ngaben yang itu, iya Kak, lanjut dah, pelan-pelan.’ Komposisi penggunaaan kata alus pada percakapan (11) terbanyak jika dibandingkan dengan penggunaan kata-kata yang lain, yang mana persentase penggunaan kata alus adalah 53,4%; dan selanjutnya, diikuti oleh kata serapan BI, yakni 25,13%; kata biasa, yakni 20,42%; dan kata serapan BS, yakni 0,52% secara berurutan. Kata-kata alus tersebut ditujukkan kepada satu sama lain sehingga penggunaan KA secara simetris terjadi. Dalam hal ini, kata alus yang digunakan adalah PUNAPI, GATRA, BECIK, DRIKI, MANTEN, NGGIH, RING, GRIA, LUNGA, DADOS, TEN, PACANG,WENTEN, NAPI, ANGGENE, NYINGAKIN, SAMPUN, MANGKIN, AKEH, PISAN, MADUE,OKA, ANGGEN, KANGGEANG, NYELANG, NGGIH, PATEH, TIANG, DUMUN, MALIH, WENTEN, KARYA, PURI, PAMIT, DUMUN, NIKA, dan ALON-ALON. Penggunaan KA secara simetris pada percakapan (8) terjadi karena kedua penutur tersebut berwangsa triwangsa. Dengan kata lain, KA digunakan karena kedua penutur itu menghormati ketriwangsaan mereka satu sama lain secara horizontal. Fenomena itu mirip dengan penggunaan bentuk sapaan sopan vos secara simetris di antara penutur kelas atas (lihat Brown dan Gilman, 1960), yang mana penggunaan KA adalah untuk menghormati status triwangsa satu sama lain. 290 Sebaliknya, faktor penghormatan interwangsa secara resiprokal berkaitan dengan penggunaan KA secara simetris yang terjadi di antara penutur jabatriwangsa. Berdasarkan wangsa, hubungan antara kedua tipe penutur itu mengindikasikan hubungan vertikal dan secara normatif, hubungan seperti itu seharusnya ditandai oleh penggunaan KA-KB secara tidak simetris. Akan tetapi, hal seperti itu tidak berlaku. Pada penghormatan vertikal secara resiprokal, baik penutur triwangsa maupun penutur jaba menggunakan KA secara berbalasan. Ketika penutur jaba menggunakan KA untuk bertutur dengan penutur triwangsa, penutur triwangsa menanggapi dengan KA. Bagi penutur triwangsa, penggunaan KA oleh penutur jaba merupakan suatu pengakuan bagi ketriwangsaan dan sekaligus juga penghormatan. Oleh karena itu, penutur triwangsa akan menanggapi dengan KA. Jika yang memulai percakapan adalah penutur triwangsa, biasanya percakapan itu terkadang diawali dengan KA. Penggunaan KA itu tidak hanya bermakna menghormati mitra tutur, tetapi juga menghormati diri sendiri. Hal itu berarti bahwa penutur jaba akan berharap penutur triwangsa untuk menggunakan KA jika ingin ditanggapi dengan KA. Ungkapan yang populer digunakan untuk merujuk hal itu adalah Yen ia sing bisa menghargai yang, ngujang yang menghargai ia ‘Kalau dia tidak bisa menghargai saya, buat apa saya menghargai dia’. Sebaliknya, penutur jaba akan cenderung untuk menanggapi dengan KB jika diajak bertutur dengan KB. Apalagi, bagi penutur jaba penggunaan KB tidak mengindikasikan ketidakhormatan, melainkan kedekatan dan solidaritas. 291 6.6.3 Faktor Domain Seperti pada domain bahasa yang melibatkan penutur jaba, domain bahasa bagi penutur triwangsa juga berpengaruh pada penggunaan KA secara simetris. Di ranah keluarga, penutur triwangsa menggunakan KA untuk berbicara di antara sesama anggota keluarga. KA digunakan tanpa memerhatikan perbedaan umur, gender, dan juga peran sosial. Antara orang tua-anak berbicara satu sama lain dengan menggunakan KA; antara suami-istri dengan KA; begitu juga antara paman-keponakan. KA digunakan untuk menandai penghormatan terhadap ketriwangsaan mereka. Di domain tetangga, penggunaan KA juga terbilang tinggi. Hal itu mungkin terkait dengan lokasi perumahan yang mana keluarga-keluarga triwangsa cenderung untuk mengelompok pada suatu wilayah tertentu sebagai tetangga. Keluarga-keluarga anak agung dan i gusti yang merupakan keturunan langsung Raja-Raja Buleleng dan keluarga-keluarga ida bagus yang merupakan keturunan Brahmana Danghyang Nirartha, misalnya, bermukim secara berdampingan di sekitar wilayah Kelurahan Liligundi dan Kelurahan Sukasada. Sementara itu, keluarga-keluarga yang bergelar dewa bermukim secara berdampingan di kelurahan Penarukan. Pemukiman yang berdekatan itu bersifat kondusif bagi penggunaan KA sehingga bisa direka bahwa mereka terbiasa menggunakan KA. Pengaruh kelompok triwangsa itu juga cenderung untuk menjangkau keluarga-keluarga jaba yang kebetulan tinggal berdekatan sebagai tetangga atau sebagai masyarakat sekitar. Bahkan, banyak dari keluarga-keluarga jaba itu dulunya adalah panjak ‘pelayan’ dari keluarga-keluarga triwangsa tersebut. 292 Sebagai akibatnya, penggunaan KA juga tinggi di domain tetangga antara penutur triwangsa-jaba, tetapi penggunaan itu cenderung terjadi secara simetris. Percakapan (12) terjadi di antara penutur triwangsa-jaba di ranah tetangga. (12) Situasi: Percakapan terjadi di depan rumah Dayu (DYPRBT) yang terjadi antara DYPRBT sendiri dan tetangganya Wayan (WYNBM). DYPRBT berprofesi sebagai pegawai biasa di sebuah koperasi, sedangkan WYNBM bekerja sebagai pegawai biasa di sebuah perusahan finance. DYPRBT memiliki umur yang berkategori tua, sedangkan umur WYNBM berkategori muda. (1): (2): (3): (4): (5): (6): WYNBM Bu DAYU, maaf ngerepotin, DADOS TIANG NYELANG montore NIKA? JEBOS MANTEN. NIKI panak TIANGE lakar masuk, Bapakne sampe MANGKIN TEN teka-teka. ‘Bu Dayu, maaf merepotkan, boleh saya pinjam motornya? Sebentar saja. Ini anak saya akan sekolah, Bapaknya sampai sekarang belum datang.’ DYPRBT Beh, misi ngoraang ngerepotin, cara ngajak nyen dogen. ANTOSANG DUMUN, GUSDE, GUSDE, pesuang JEBOS montor supra barake RING garase. ‘Beh, berisi bilang merepotkan, seperti sama siapa saja. Tunggu dulu, Gusde, Gusde, keluarkan sebentar motor supra merahnya di garasi.’ WYNBM NAPI KEKARYANANG NIKI, ADOS sibuk gati NIKA ngenahne? Manting NGGIH? ‘Apa yang dikerjakan ini, kenapa kelihatan sibuk sekali? Mencuci ya?’ DYPRBT NGGIH Bu Wayan, NIKI pantingan ALIT-ALITE AKEH PISAN. Mesin cucine usak uli minggu lalu. ‘Iya Bu Wayan, ini cucian anak-anak banyak sekali. Mesin cucinya rusak dari minggu lalu.’ WYNBM ADOS TEN ngalih pembantu MANTEN? Kan WENTEN DADOSNE ane nulungin Bu DAYU? ‘Kenapa tidak mencari pembantu saja? Kan ada jadinya yang menolong Bu Dayu?’ DYPRBT Jaman jani memang sukeh ngalih pembantu, lebian PUN ke denpasar ngalih gae. DUMUN taen MEDUE, luwung gati NIKA anakne, nak uli Banyuatis. Makejang bakat peragatange, uli masak, ngepel, bersih-bersih, sampe’ ngempu masi bisaine. Tapi, MANGKIN sukeh PESAN NGEREREH ane care KENTEN. ‘Jaman sekarang memang sulit sekali mencari pembantu, kebanyakan ke Denpasar cari pekerjaan. Dulu pernah punya, 293 (7): WYNBM (8): DYPRBT (9): WYNBM (10): DYPRBT baik sekali orangnya, orang dari Banyuatis. Semua bisa diselesaikannya, dari masak, ngepel, bersih-bersih, sampai momong pintar. Tetapi, sekarang sulit sekali mencari yang seperti itu.’ DIJA MANGKIN pembantune NIKA? DADOS USAN DRIKI? ‘Dimana sekarang pembantu itu? Kenapa selesai disini?’ Oo ye SAMPUN nganten ajake kabakne, be medemenan uling pidan gati, NGGIH anak SAMPUN umur WASTANE. Bes SAMPUN SUE PESAN kajak DRIKI, MANGKIN ye SARENG kurnane ke Denpasar. Apa kaden gaene DRIKA? Tapi, kurnane kone megae di perusahan gede. ‘Oo dia sudah menikah dengan pacarnya, sudah berpacaran lama, ya sudah umur namanya. Sudah sangat lama saya ajak disini, sekarang dia bersama suaminya ke Denpasar. Tidak tahu apa kerjanya di sana? Tapi, suaminya katanya bekerja di perusahan besar.’ O KENTEN, tapi anake care MANGKIN TEN perlu NGEREREH pembantu nginep, apalagi OKANE Bu Dayu SAMPUN DUUR-DUUR, SANE perluang kan pang WENTEN ngepelang SARENG mantingang. DADOSNE Bu DAYU sibuk, cara MANGKIN PACANG masuk, misi manting DURUNG MALIH masak. ‘O begitu, tetapi sekarang ini tidak perlu mencari pembantu menginap, apalagi anaknya Bu Dayu sudah dewasa, yang diperlukan kan supaya ada yang mengepelkan dan mencucikan. Jadinya Bu Dayu sibuk, seperti sekarang akan masuk kerja, (bukan hanya) mencuci, belum juga masak.’ He, KENTEN SAMPUN MANGKIN, tugas DADOS IBU karier di GRIYA he. ‘He, begitulah sekarang tugas menjadi Ibu karir di rumah he..’ Pada percakapan (12), penggunaan KA secara simetris terjadi. WYNBM, walaupun seorang penutur jaba, sudah lama tinggal bertetangga dengan banyak penutur triwangsa di lingkungan tersebut. Para penutur triwangsa tersebut dari kecil sampai tua selalu menggunakan KA tidak hanya kepada dirinya, tetapi juga kepada para penutur jaba yang lainnya. Oleh karena itu, dia juga menjadi terbiasa untuk menanggapi dan melakukan percakapan dengan KA. Dalam hal ini, komposisi kata penyusun percakapan itu adalah kata alus, yakni 38,94%; dan 294 selanjutnya, kata biasa, yakni 36,06%; kata serapan BI, yakni 24,52%; dan kata serapan BS, yakni 0,48% secara berurutan. Penggunaan KA di ranah tetangga antara penutur jaba-triwangsa menunjukkan perilaku penghormatan interwangsa secara resiprokal. Penutur jaba menghormati penutur triwangsa yang berstatus wangsa lebih tinggi, penutur triwangsa sebaliknya menghormati penutur jaba, yang meskipun berstatus wangsa lebih rendah. Selain itu, di domain masyarakat dan tempat kerja penggunaan KA secara simetris dapat juga tinggi, asalkan kedua penutur yang terlibat berwangsa triwangsa. Akan tetapi, jika salah satu dari kedua penutur itu berwangsa jaba, penggunaan KA secara simetris tidak bisa dijamin. Hal yang sama juga berlaku di domain tempat kerja. 6.6.4 Faktor Latar Bagi Hymes, latar merupakan tempat atau lokasi percakapan yang terkait dengan suasana psikologis yang melatari suatu pertuturan. Atau dengan kata lain, latar adalah tempat dan suasana dimana suatu pertuturan terjadi. Latar pada taraf tertentu juga berperan pada penggunaan bahasa. Hal itu terjadi, karena ada harapan-harapan penggunaan kode yang dibuat oleh peserta tutur terkait dengan tempat. Konsep yang dapat menggambarkan hal ini adalah desa kala patra ‘tempat waktu situasi’, suatu ungkapan yang menyiratkan bahwa seorang peserta tutur seharusnya seharusnya menyesuaikan perilaku berbahasanya menurut tempat, waktu, dan situasi. 295 Setiap penutur jaba yang bertandang ke rumah triwangsa sangat diharapkan untuk bertutur kata dengan KA. Penggunaan KA menunjukkan rasa hormat pada tuan rumah sehingga dia dapat diterima dengan baik. Akan tetapi, jika dia tidak menggunakan KA, melainkan KB apalagi KK, dia akan dianggap tidak menghormati tuan rumah. Penggunaan KB atau KK di rumah seorang triwangsa dapat menimbulkan perasaan tidak enak pada diri tuan rumah. Umumnya salah satu anggota tuan rumah akan mengingatkan pengguna KB atau KK tersebut untuk menggunakan KA, dan jika tidak diindahkan, ia akan segera ditegur atau diusir. Perilaku berbahasa dengan KA, walaupun tidak sempurna, umumnya sangat dihargai oleh tuan rumah triwangsa, apalagi jika penutur tersebut mengawali dengan permintaan maaf bahwa kemampuan KA mereka kurang. Tuan rumah triwangsa menyadari bahwa mereka tinggal di Kota Singaraja, dan bahwa penggunaan KA kurang memperoleh dukungan secara umum. Mereka bahkan terkadang di-boyain ‘diremehkan’ ketika menggunakan KA di tempat-tempat publik sehingga penggunaan KA yang ditujukan kepada mereka, walaupun tidak sempurna, bisa diterima. (13) Situasi: Percakapan terjadi antara Gede (GDSCM), dan Ida Bagus (IDBSUAT). GDSCM bekerja sebagai tenaga honorer di kantor Pemerintah Daerah, sedangkan IDBSUAT bekerja sebagai dosen di suatu perguruan tinggi di Singaraja. GDSCM berumur muda, sedangkan IDBSUAT berumur tua. Interaksi terjadi di rumah IDBSUAT. (1): (2): GDSCM SWASTIASTU Pak BAGUS, GUSTUT WENTEN NGGIH? ‘Salam Pak Bagus, Gustut ada ya?’ IDBSUAT WENTEN, NIKA di ruang tamu. ‘Ada, itu di ruang tamu.’ 296 (3): (4): (5): (6): (7): (8): GDSCM NIKI SIRA? ‘Siapa ini?’ IDBSUAT TIANG Gede, timpalne GUSTUT, AMPURANYANG TIANG TEN bisa ngomong ALUS Pak BAGUS? ‘Saya Gede, temannya Gustut, mohon maaf saya tidak bisa bicara dengan bahasa halus Pak’ GDSCM TEN KENAPI, timpalne GUSTUTE megae NGGIH? ‘Tidak apa, rekan kerja Gustut ya?.’ IDBSUAT NGGIH, Pak BAGUS, TIANG lakar nyemak surat, oraine nyebarang NIKA. ‘Iya, Pak Bagus, saya akan mengambil surat, disuruh menyebarkan?’ GDSCM O KENTEN, MRIKI masuk DUMUN? ‘O begitu, masi masuk dulu?’ IDBSUAT NGGIH. ‘Ya.’ Pada percakapan (13), GDSCM yang merupakan seorang penutur jaba, dan berkunjung ke griya seorang ida bagus telah memahami bagaimana dia harus memolakan tuturnya agar bisa diterima baik oleh pihak tuan rumah. Untuk itu, GDSM menggunakan KA, dan berusaha bertahan dengan penggunaan itu walaupun kemampuannya pada KA bisa dikatakan kurang. Sebaliknya, pihak tuan rumah dapat memahami kekurangan itu, lagi pula maksud GDSM adalah baik. Oleh karena itu, terjadilah penggunaan KA secara simetris. Dalam hal ini, kata alus digunakan dengan persentase terbanyak, yakni 56,82%; dan diikuti oleh kata biasa dan kata serapan BI dengan persentase yang sama, yakni 20,45%; dan selanjutnya, kata serapan BS dengan persentase terendah, yakni 2,27%. Kata alus yang digunakan pada percakapan (10) adalah WENTEN, NGGIH, NIKA, TEN, NIKI, SIRA, KENAPI, TIANG, AMPURAYANG, KENTEN, MRIKI, dan NGGIH. Selain itu, GDSM juga menggunakan pronomina persona kedua hormat ‘Pak Bagus’, dan ‘Gustut’ untuk menyapa tuan rumah dan merujuk pada orang yang dicari. Akan tetapi, tuan rumah tidak memberlakukan 297 bentuk sapaan sama sekali. Meskipun demikian, penggunaan KA secara simetris merupakan suatu bentuk penghormatan yang terjadi yang berkaitan dengan dengan latar percakapan. 6.6.5 Faktor Topik Tutur Topik tutur berpengaruh juga dengan penggunaan KA secara simetris, karena ada topik-topik tertentu yang seharusnya dituturkan dengan KA. Topiktopik itu adalah topik-topik yang terkait dengan hal-hal yang disucikan, seperti topik-topik spiritual, magis, dan kepemangkuan/kependetaan. Dalam hal ini, KA digunakan sebagai penghormatan terhadap hal-hal yang disucikan tersebut. Tingkat penggunaan KA secara simetris yang berkaitan dengan topik tutur juga dipengaruhi oleh wangsa penutur. Jika penutur triwangsa yang berbicara tentang topik tersebut, penggunaan kata alus akan banyak; sebaliknya, jika yang menuturkan adalah penutur jaba, penggunaan kata alus akan semakin berkurang. Percakapan (14) menunjukkan penggunaan KA yang dipengaruhi oleh topik tutur kesucian/magis. (14) Situasi: Percakapan terjadi antara Gede (GDSCM), dan ibunya (NGHSNTR). GDSCM berumur muda dan bekerja sebagai staf hotel, sedangkan NGHSNTR berumur tua dan berprofesi sebagai pedagang makanan kecil di kantin sekolah. GDSCM berumur muda, sedangkan IDBSUAT berumur tua. Interaksi terjadi di rumah. (1): (2): GDSCM Mek, payu NGATURANG BAKTI ibi ke Dalem? ‘Bu, dengan demikian bersembahyang kemarin ke pura dalem?’ IDBSUAT Badah, ngipi ne panake, sing tepuk memek ibi mapakaian adat? ‘Waduh, mimpi ini anak saya, apa tidak melihat ibu berpakaian adat kemarin?’ 298 (3): (4): GDSCM Be NUNAS TIRTA? ‘Sudah meminta tirta?’ IDBSUAT Be, Gede lakar jani NUNAS TIRTA? anak macem TIGA TIRTANE, Memek NUNASANG makejang apang IDA BETARA ICA ken IRAGA. Ngoyong malu dini. ‘Sudah, apa Gede akan meminta tirtanya sekarang? Ada tiga macam tirta, ibu memintakan semua supaya para Dewa memberkati kita semua. Tunggu dulu disini.’ Pada percakapan (14), kata yang terbanyak digunakan adalah kata biasa, yakni 76,1%, dan selanjutnya, kata alus, yakni 23,81%. Kata alus yang digunakan adalah NGATURANG, BAKTI, TIRTA, TIGA, NUNASANG, IDA, BETARA, ICA, dan IRAGA. Selanjutnya, KB digunakan secara berpadu dengan KA. Penggunaan KB adalah untuk memarkahi keakraban di antara penutur yang sama-sama adalah berwangsa jaba, sedangkan KA digunakan untuk mengacu kepada hal-hal yang terkait dengan pura yang menjadi lambang bagi kesucian. Penggunaan KA diberlakukan untuk penghormatan bagi kesucian pura. 6.6.6 Faktor Budaya dan Sosialisasi Bahasa pada Triwangsa 6.6.6.1 Faktor Budaya Triwangsa Meskipun budaya guyub Kota Singaraja berciri umum egaliter, tetapi guyub ini juga memiliki anggota guyub triwangsa yang terdiri dari wangsa ksatria yang merupakan keturunan langsung Ki Gusti Panji Sakti, brahmana, wesia, dan ksatria lainnya. Anggota guyub itu masih mempertahankan pola perilaku yang berbeda dari pola perilaku anggota guyub mayoritas. Anggota guyub itu dibesarkan di balik tembok puri, gria, atau jero yang masih berorientasi pada tradisi dan mempertahankan pola pikir hierarkis yang berorientasi pada nilai-nilai wangsa. 299 Para triwangsa ini mengembangkan cita rasa bahasa yang berbeda dan merasakan pentingnya KA untuk mempertahankan tradisi dan menandai perbedaan rasa hormat. Oleh karena itu, pola perilaku berbahasa yang dikembangkan oleh anggota guyub triwangsa adalah pola perilaku berbahasa yang berlapis seperti yang tercermin pada tingkat tutur BB. 6.6.6.2 Sosialisasi Bahasa pada Penutur Triwangsa KA bagi penutur triwangsa merupakan kode yang sangat penting bagi pelestarian identitas dan citra diri ketriwangsaan. Bagi mereka, KA adalah kode tinggi yang digunakan di dalam konteks saling menghormati dan sopan santun yang merupakan suatu cara bagi masyarakat beradab untuk berinteraksi. Selain itu, KA juga menunjukkan penghormatan pada tradisi. Mereka adalah keturunan dari triwangsa dan hal itu harus dihormati. Salah satu cara yang paling mudah adalah melalui penggunaan KA. Dengan demikian, mereka harus berupaya untuk mempertahankan dan mengembangkan penggunaan KA khususnya di Kota Singaraja. Hasil penyimakan mengungkap bahwa penutur-penutur dari keluarga triwangsa tumbuh kembang di dalam keluarga melalui KA. Mereka diperkenalkan dengan KA sejak lahir karena bahasa yang digunakan di dalam keluarga adalah KA. KA disosialisasikan di dalam keluarga melalui pemodelan oleh anggota keluarga yang lebih tua. Hal itu dilakukan dengan menggunakan KA yang sesuai dengan konteks penggunaannya. Selain pemodelan, KA juga diajarkan melalui penjelasan kaidah-kaidah penggunaannya, baik itu secara linguistik maupun 300 sosiolinguistik. Dengan demikian, mereka memahami bentuk-bentuk KA berikut norma-norma penggunaannya dengan baik. Sosialisasi KA pada keluarga triwangsa menjadi lebih mudah dilakukan karena pemukiman keluarga-keluarga triwangsa terkonsentrasi pada suatu wilayah. Mereka menjadi tetangga satu sama lain dan umumnya mereka juga memiliki pertalian darah satu sama lain. Misalnya, keluarga-keluarga ksatria yang merupakan keturunan Ki Gusti Anglurah Panji Sakti dan keluarga-keluarga brahmana bermukim secara berdampingan di sekitar wilayah kelurahan Liligundi dan Sukasada. Sementara itu, keluarga-keluarga yang bergelar dewa bermukim secara berdampingan di kelurahan Penarukan. Pemukiman yang berdekatan itu bersifat kondusif bagi penggunaan KA sehingga bisa direka bahwa mereka terbiasa menggunakan KA. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa KA merupakan kode atau bahasa pertama (ibu) bagi penutur triwangsa. KA digunakan secara simetris di dalam keluarga dengan mengabaikan perbedaan status pekerjaan, umur, dan gender. Sebagai ilustrasi, perhatikan percakapan (15) berikut yang terjadi di antara kakek mertua-cucu menantu pada domain keluarga. Mereka merupakan partisipan yang berada pada kategori umur tua-muda dan memiliki status pekerjaan yang tinggi. (15) Situasi: percakapan terjadi antara kakek mertua, seorang Anak Agung (AGAT) dan cucu menantu, juga Anak Agung (AGAYAM), keduanya berasal dari wangsa Ksatria. Sang kakek merupakan pensiunan yang sebelumnya mengepalai suatu dinas di Pemerintahan Daerah, sedangkan sang cucu menantu adalah seorang Kepala Subbagian di Sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Singaraja. Umur AGAT berada pada kategori tua, sedangkan cucu menantu berada pada kategori umur muda dan mereka berbincangbincang pada pagi hari. 301 1: 2: 3: 4: 5: 6: 7: 8: 9: AGAYAM ATU KAK, MANGKIN NGEYUNAN? SAMPUN SIAP NIKA. ‘Atu Kak, sekarang makan? Sudah siap.’ AGAT NGGIH DADOS, MANGKIN SAMPUN? NAPI KEKARYANIN? Payu MEKARYA lawar kebo? ‘Iya boleh, sekarang dah Atu Kak makan? Apa yang dibuat? Dengan demikian buat lawar daging kerbau?’ AGAYAM NGGIH, ATU KAK, tuni semangan gati ATU NUMBAS di paakan Lovina SARENG GUNG NIK. AKEH NIKA NUMBAS, DADOS ANGGON BENJANG MALIH. MRIKI ATU KAK. TIANG NGAMBILANG MANGKIN. ‘Iya Atu Kak, tadi pagi sekali Atu membeli di dekat Lovina bersama Gus Nik. Banyak belinya, bisa digunakan besok juga. Saya ambilkan sekarang.’ AGAT AMPUN NGEJOT GUNG GEK, NIKA anak penting gati, TEN DADOS LALI. ‘Sudah ngejot Gung Gek, itu penting sekali, tidak boleh lupa’ AGAYAM SAMPUN ATU KAK. DRIKI SAMPUN MELINGGIH, TIANG MANGKIN NGAMBILANG. DAGINGIN sayur sup ne NIKA? ‘Sudah Atu Kak. Disini dah duduk, saya sekarang ambilkan. Isi sayur supnya?’ AGAT NGGIH, lebiin kuahne pang belekan nasine, kene gigin ATU KAK SAMPUN pawah. ‘Iya, banyakin kuahnya supaya nasinya belek, gigi Atu Kak sudah ompong.’ AGAYAM NIKI nasine SAMPUN cara bubuh, SAMPUN belek gati. AKEDIK MANTEN kuahne NGGIH, lamun kuangan kan DADOS MALIH tambah. ‘Ini nasinya sudah seperti bubur, sudah lembek sekali. Sedikit saja kuahnya ya, kalau kurang kan bisa lagi tambah’ AGAT NGGIH, kenken ja luungne, NGAJENG GUNG GEK. ‘Iya, gimana baiknya, makan Gung Gek.’ AGAYAM NGGIH, NGGIH ATU KAK, RARISANG SAMPUN. ‘Iya, iya Atu, silahkan dulu.’ Percakapan (15) terjadi dengan menggunakan KA secara simetris yang mana kata alus digunakan dengan komposisi persentase terbanyak, yakni 84,82%; dan selanjutnya, kata biasa, yakni 10,71; dan kata serapan BI, yakni 4,46%. Katakata alus itu digunakan untuk merujuk kepada satu sama lain, dan digunakan karena mereka memiliki hubungan kekerabatan, selain karena dengan KA lah mereka tersosialisasi di dalam keluarga. Selanjutnya, bentuk pronomina kedua 302 yang digunakan adalah bentuk sapaan hormat ATU KAK dan GUNG GEK yang merupakan gelar wangsa. Selain KA, anggota guyub juga mempelajari KB, KK, dan BI yang melengkapi kompetensi berbahasa mereka sebagai anggota guyub tutur BB. KB dan KK dipelajari di masyarakat yang lebih luas dan juga di sekolah di antara pergaulan anak sebaya. Kedua kode itu diperoleh secara prasadar dengan jalan mengamati dan sekaligus mempraktekannya pada komunikasi dengan anak-anak lain (jaba) yang sebaya. Sebagai tambahan, kedua kode ini, karena dipelajari di pergaulan di masyarakat, diperoleh belakangan dari KA. BI juga diperoleh secara sambil lalu di masyarakat dengan jalan mendengar dan mempraktekannya dengan anak-anak lain yang berbahasa Indonesia. Akan tetapi, kompetensi BI yang tinggi umumnya diperoleh setelah anak itu mulai bersekolah melalui interaksi yang intensif dengan guru dan anakanak lain. Hal itu mengindikasikan bahwa BI diperoleh lebih belakangan lagi dari KB dan KK. BAB VII SIKAP PENUTUR BAHASA BALI PADA GUYUB TUTUR BAHASA BALI KOTA SINGARAJA TERHADAP TINGKAT TUTUR BAHASA BALI 7.1 Pengantar Berdasarkan paparan 3.5.2, angket sikap disusun berdasarkan komponen sikap, yakni komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Komponen kognitif terdiri atas sejumlah pernyataan untuk menggali kepercayaan kelompok sampel terhadap tingkat tutur bahasa Bali; komponen afektif terdiri atas sejumlah pernyataan untuk menggali evaluasi “rasa” terhadap tingkat tutur; dan komponen konatif sikap terdiri atas sejumlah pernyataan untuk menggali kecenderungan perilaku yang dimunculkan. Selain terbagi atas komponen sikap, angket sikap juga dibagi berdasarkan dimensi sikap bahasa yang meliputi dimensi kesetiaan bahasa, dimensi kebanggaan bahasa, dan dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Dengan demikian, pernyataan tentang tingkat tutur juga disusun dengan memerhatikan dimensi sikap bahasa yang selanjutnya disematkan secara merata ke dalam komponen sikap sehingga setiap komponen sikap mengandung pernyataan yang terkait dengan ketiga dimensi sikap bahasa tersebut. 303 304 7.2 Sikap Penutur Triwangsa terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali 7.2.1 Triwangsa Kelas Atas Tabel 7.1 Sikap Penutur Triwangsa Kelas Atas terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali DIMENSI KOMPONEN SIKAP BAHASA KOGNITIF Kesetiaan Bahasa TTDL TTDP TTML KK KB KA 40,9 58,6 94,5 64,7 43,3 57,2 95,6 65,4 40,0 55,0 89,3 61,4 37,5 50,8 78,3 55,6 62,5 54,5 63,6 88,5 68,9 50,4 59,3 85,9 65,2 49,5 54,3 75,2 59,7 52,2 54,4 84,4 63,7 65,0 60,0 80,0 79,4 75,4 54,4 77,2 84,4 74,6 71,4 78,6 82,9 78,4 63,3 76,7 85,6 76,7 76,0 Rerata Kognitif 49,7 67,8 88,2 69,2 48,1 65,1 89,3 68,1 50,2 63,4 83,1 66,0 48,1 61,2 82,3 64,3 67,3 AFEKTIF 35,5 54,5 81,8 51,8 36,7 42,2 95,6 52,8 35,7 45,7 91,4 50,7 33,3 40,0 80,0 46,7 50,9 28,2 60,0 75,5 59,8 28,9 63,3 73,9 60,0 35,7 50,0 72,9 57,9 21,7 46,7 71,7 52,9 58,2 60,4 73,6 85,8 74,1 55,6 70,0 84,8 71,1 53,7 66,4 83,8 69,1 47,3 63,3 66,7 59,3 69,5 Rerata Afektif 47,7 67,0 81,7 66,5 45,4 64,1 81,8 65,1 45,7 58,8 80,5 63,3 38,5 55,2 83,3 61,1 63,4 KONATIF 41,8 56,4 80,9 59,7 34,4 45,6 81,1 54,4 30,0 44,3 85,7 53,3 25,0 45,0 86,7 56,1 56,3 40,0 50,9 65,5 52,1 44,4 51,1 65,9 53,8 36,2 47,6 69,5 51,1 30,0 46,7 71,1 49,3 51,9 57,3 53,6 80,0 63,6 46,7 54,4 80,0 60,4 51,4 57,1 82,9 63,8 28,3 78,3 86,7 64,4 62,9 Rerata Konatif 45,5 53,2 74,0 57,6 42,2 50,5 74,3 55,9 38,8 49,4 78,0 55,4 28,1 55,2 80,0 55,6 56,3 Rerata 47,8 63,5 82,1 65,1 45,5 60,7 82,6 63,8 45,4 58,2 80,8 62,2 39,1 57,9 82,1 60,9 63,0 Kebanggaan Bahasa Kesadaran Norma Kesetiaan Bahasa Kebanggaan Bahasa Kesadaran Norma Kesetiaan Bahasa Kebanggaan Bahasa Kesadaran Norma Keterangan: KK: Kode Kasar; KB: Kode Biasa; KA: Kode Alus KK KB KA Rerata KK KB TTMP Rerata KA Rerata KK KB KA Rerata Rerata 305 7.2.1.1 Triwangsa-status pekerjaan tinggi-dewasa-laki-laki (TTDL) Tabel 7.1 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur terhadap tingkat tutur BB pada TTDL berkategori positif, yakni 65,1%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 82,1%; sikap terhadap KB positif, yakni 63,5%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 47,8%. Secara lebih rinci data pada TTDL dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 88,2%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 67,8%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 49,7%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi positif pada kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK menunjukkan persentase yang merata cukup tinggi pada ketiga komponen sikap terhadap bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 81,7%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 67%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 47,7%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori positif pada ketiga komponen bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK 306 berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi positif pada kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 74%; selanjutnya, sikap terhadap KB dan KK dengan kategori netral, yakni 53,2% dan 45,5%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada komponen kesetiaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB dan KK berkategori netral pada ketiga dimensi sikap bahasa. 7.2.1.2 Triwangsa-status pekerjaan tinggi-dewasa-perempuan (TTDP) Tabel 7.1 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur terhadap tingkat tutur BB pada TTDP berkategori positif, yakni 63,8%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 82,6%; sedangkan, sikap terhadap KB positif, yakni 60,7%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 45,5%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA men unjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 89,3%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 65,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 48,1%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap 307 terhadap KK menunjukkan persentase yang berkategori netral pada ketiga dimensi sikap bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 81,8%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 64,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 45,4%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 74,3%; selanjutnya, sikap terhadap KB dan KK berkategori netral, yakni 50,5% dan 42,2%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi negatif pada dimensi kesetiaan bahasa. 308 7.2.1.3 Triwangsa-status pekerjaan tinggi-muda-laki-laki (TTML) Tabel 7.1 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur terhadap tingkat tutur BB pada TTML berkategori positif, yakni 62,2%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 80,8%; sedangkan, sikap terhadap KB dan KK netral, yakni 58,2% dan 45,4%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 83,1%; selanjutnya, sikap terhadap KB dan KK dengan kategori positif, yakni 63,4% dan 50,2%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK menunjukkan kategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 80,5%; selanjutnya, sikap terhadap KB dan KK dengan kategori netral, yakni 58,8% dan 45,7%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesadaran akan 309 norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 78%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori netral, yakni 49,4%; dan sikap terhadap KK dengan kategori negatif, yakni 38,8%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. 7.2.1.4 Triwangsa-status pekerjaan tinggi-muda-perempuan (TTMP) Tabel 7.1 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur terhadap tingkat tutur BB pada TTMP berkategori positif, yakni 60,9%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 82,1%; sedangkan, KB netral, yakni 57,9%; dan sikap terhadap KK negatif, yakni 39,1%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 82,3%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 61,2%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 48,1%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif 310 pada dimensi kesetiaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK menunjukkan kategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 83,3%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori netral, yakni 55,2%; dan sikap terhadap KK dengan kategori negatif, yakni 38,1%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 80%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori netral, yakni 55,2%; dan sikap terhadap KK dengan kategori negatif, yakni 28,1%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan 311 bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada ketiga dimensi sikap bahasa. 312 7.2.2 Triwangsa Kelas Menengah Tabel 7.2 Sikap Penutur Triwangsa Kelas Menengah terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali DIMENSI KOMPONEN SIKAP BAHASA KOGNITIF Kesetiaan Bahasa Kebanggaan Bahasa Kesadaran Norma TSDL KK KB KA Rerata TSDP KK KB KA Rerata TSML KK KB KA Rerata TSMP KK KB KA Rerata Rerata 49,3 68,2 93,6 70,4 43,2 71,8 95,0 70,0 45,0 69,3 93,2 69,2 42,9 74,6 93,2 70,2 69,9 35,2 72,4 87,1 64,9 37,1 63,3 88,1 61,1 33,8 59,0 81,0 57,9 37,6 63,3 76,7 57,8 60,4 68,6 79,6 85,7 79,2 66,4 79,6 84,3 78,3 60,7 78,6 82,9 76,0 64,3 78,2 86,2 77,8 77,8 Rerata Kognitif 48,9 73,5 89,3 71,4 46,3 72,3 89,7 70,3 44,8 69,9 86,4 67,9 45,9 72,9 86,1 69,2 69,7 AFEKTIF 35,0 44,3 91,4 51,4 37,1 38,6 92,9 51,4 31,4 47,1 91,4 50,4 34,3 37,1 97,1 50,7 51,0 Kesetiaan Bahasa Kebanggaan Bahasa Kesadaran Norma 28,6 56,4 77,9 60,2 30,7 50,7 79,3 60,0 28,6 49,3 81,1 60,0 29,3 45,0 75,0 56,1 59,1 61,7 66,1 88,8 73,7 53,1 61,8 90,2 70,3 53,1 58,6 87,1 68,2 52,0 55,7 91,0 68,6 70,2 Rerata Afektif 48,4 60,2 85,1 66,4 44,6 55,3 86,5 64,4 42,9 54,3 85,3 63,1 43,0 50,0 85,7 62,2 64,0 KONATIF 36,4 63,6 82,1 60,7 29,3 64,3 85,0 59,5 26,4 60,7 78,6 55,2 32,9 52,1 78,6 54,5 57,5 Kesetiaan Bahasa Kebanggaan Bahasa Kesadaran Norma 32,4 66,7 66,7 55,2 31,0 60,0 69,0 53,3 31,0 50,0 63,8 48,3 30,0 43,3 61,9 45,1 50,5 45,7 50,0 71,4 55,7 46,4 53,6 84,3 61,4 45,0 60,7 80,0 61,9 49,3 55,0 97,1 67,1 61,5 Rerata Konatif 37,3 61,0 72,4 56,9 34,9 59,4 78,0 57,4 33,7 56,1 72,7 54,1 36,3 49,2 76,7 54,1 55,6 Rerata 45,5 66,3 83,4 65,8 42,5 63,9 85,5 64,8 41,0 61,7 82,6 62,5 42,2 59,8 83,6 62,7 64,0 Keterangan: KK: Kode Kasar; KB: Kode Biasa; KA: Kode Alus 313 7.2.2.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Laki-Laki (TSDL) Tabel 7.2 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB terhadap tingkat tutur BB pada TSDL berkategori positif, yakni 65,8%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 83,4%; sikap terhadap KB positif, yakni 66,3%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 45,5%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 89,3%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 73,5%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 48,9%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada ketiga dimensi sikap bahasa, sedangkan sikap terhadap KB berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sementara itu, sikap terhadap KK menunjukkan kategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, netral pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 85,1%; selanjutnya, sikap terhadap KB dan KK dengan kategori netral, yakni 60,2% dan 48,4%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan 314 dan kebanggaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 72,4%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 61%; dan sikap terhadap KK dengan kategori negatif, yakni 37,3%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. 7.2.2.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Perempuan (TSDP) Tabel 7.2 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB terhadap tingkat tutur BB pada TSDP berkategori positif, yakni 64,8%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA menunjukkan persentase yang berkategori sangat positif, yakni 85,5%; sikap terhadap KB positif, yakni 63,9%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 42,5%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 89,7%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 72,3%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 46,3%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada 315 ketiga dimensi sikap bahasa, sedangkan sikap terhadap KB berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sementara itu, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, netral pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 86,5%; selanjutnya, sikap terhadap KB dan KK dengan kategori netral, yakni 55,3% dan 44,6%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 78%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori netral, yakni 59,4%; dan sikap terhadap KK dengan kategori negatif, yakni 34,9%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan bahasa. Sebaliknya, sikap 316 terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa 7.2.2.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Laki-Laki (TSML) Tabel 7.2 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB terhadap tingkat tutur BB pada TSML berkategori positif, yakni 62,5%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 82,6%; sikap terhadap KB berkategori positif, yakni 61,7%; dan sikap terhadap KK berkategori netral, yakni 41%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 86,4%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 69,9%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 44,8%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori positif pada kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, netral pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 85,3%; selanjutnya, sikap terhadap KB dan KK dengan kategori netral, yakni 54,3% dan 42,9%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada ketiga dimensi sikap bahasa, sedangkan sikap 317 terhadap KB berkategori netral pada ketiga komponen tersebut. Sementara itu, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 72,7%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori netral, yakni 56,1% dan sikap terhadap KK dengan kategori negatif, yakni 33,7%. Sikap terhadap KA berkategori positif pada ketiga komponen bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. 7.2.2.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Perempuan (TSMP) Tabel 7.2 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB terhadap tingkat tutur BB pada TSMP berkategori positif, yakni 62,7%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 83,6%; selanjutnya, sikap terhadap KB dan KK berkategori netral, yakni 59,8% dan 42,5%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 86,1%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 72,9%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 45,9%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif 318 pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK menunjukkan kategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 85,7%; selanjutnya, sikap terhadap KB dan KK dengan kategori netral, yakni 50% dan 43%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 76,7%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori netral, yakni 49,2%; dan sikap terhadap KK dengan kategori negatif, yakni 36,3%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap 319 KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa 320 7.2.3 Triwangsa Kelas Bawah Tabel 7.3 Sikap Penutur Bahasa Bali Triwangsa Kelas Bawah terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali DIMENSI KOMPONEN SIKAP BAHASA KOGNITIF Kesetiaan Bahasa Kebanggaan Bahasa Kesadaran Norma TRDL KK KB KA Rerata TRDP KK KB KA Rerata TRML KK KB KA Rerata TRMP KK KB KA Rerata Rerata 49,3 75,0 91,4 71,9 45,0 72,9 90,7 69,5 50,0 70,7 84,6 68,5 51,4 66,4 85,7 67,9 69,4 33,8 64,8 82,9 60,5 33,3 62,9 79,5 58,6 33,8 52,9 75,7 54,1 29,5 51,4 74,3 51,7 56,2 61,4 77,5 86,2 76,8 60,0 76,8 85,7 76,0 57,9 79,6 82,4 75,7 57,1 82,1 83,8 77,1 76,4 Rerata Kognitif 46,8 73,1 87,3 70,0 44,4 71,6 85,9 68,2 46,3 69,1 81,3 66,3 45,4 68,1 81,7 65,8 67,6 AFEKTIF 34,3 45,7 91,4 51,4 30,7 44,3 92,9 49,6 33,6 57,1 88,6 53,2 30,7 60,0 87,1 52,1 51,6 Kesetiaan Bahasa Kebanggaan Bahasa Kesadaran Norma 32,1 57,1 80,4 62,5 30,7 50,7 80,7 60,7 30,0 43,6 75,0 55,9 29,3 55,0 75,0 58,6 59,4 56,6 70,7 84,3 71,4 53,1 69,6 89,0 71,9 56,9 68,6 84,0 70,9 54,6 71,1 84,0 70,8 71,2 Rerata Afektif 46,2 63,3 83,5 65,8 43,2 60,6 86,4 65,3 45,7 59,8 81,2 63,8 43,7 64,9 81,0 64,4 64,8 KONATIF 30,0 65,7 82,9 59,5 30,0 66,4 83,6 60,0 30,7 62,9 81,4 58,3 28,6 62,1 80,7 57,1 58,8 Kesetiaan Bahasa Kebanggaan Bahasa Kesadaran Norma 33,3 52,9 61,9 49,4 31,0 52,9 65,7 49,8 32,9 52,9 63,3 49,7 30,5 50,5 60,0 47,0 49,0 52,9 74,3 82,9 70,0 52,9 75,0 83,6 70,5 52,9 72,1 72,9 66,0 51,4 67,9 82,9 67,4 68,5 Rerata Konatif 38,0 62,7 73,9 58,2 36,9 63,1 75,9 58,6 38,0 61,2 71,2 56,8 35,9 58,8 72,4 55,7 57,3 Rerata 44,1 67,4 82,4 65,3 41,9 66,1 83,6 64,6 43,8 64,3 78,7 62,9 42,1 64,6 79,1 62,6 63,9 Keterangan: KK: Kode Kasar; KB: Kode Biasa; KA: Kode Alus 321 7.2.3.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (TRDL) Tabel 7.3 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB terhadap tingkat tutur BB pada TRDL berkategori positif, yakni 65,3%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 82,4%; sikap terhadap KB positif, yakni 67,4%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 44,1%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 87,3%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 73,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 46,8%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada ketiga dimensi sikap bahasa, sedangkan sikap terhadap KB berkategori positif pada ketiga dimensi tersebut. Sementara itu, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, netral pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 83,5%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 63,3%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 46,2%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif 322 pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 73,9%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 62,7%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 38%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. 7.2.3.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (TRDP) Tabel 7.3 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB terhadap tingkat tutur BB pada TRDP berkategori positif, yakni 64,6%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 83,6%; sikap terhadap KB positif, yakni 66,1%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 41,9%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 85,9%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 71,6%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, 323 yakni 44,4%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK menunjukkan kategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 86,4%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 60,6%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 43,2%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 75,9%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 63,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori negatif, yakni 36,9%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi 324 kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. 7.2.3.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (TRML) Tabel 7.3 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB terhadap tingkat tutur BB pada TRML berkategori positif, yakni 62,9%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA berkategori positif, yakni 78,7%; sikap terhadap KB positif, yakni 64,3%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 43,8%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 81,3%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 69,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 46,3%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 81,2%; selanjutnya, sikap terhadap KB 325 dan KK dengan kategori netral, yakni 59,8% dan 45,7%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 75,7%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 61,2%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 42,4%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa 7.2.3.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (TRMP) Tabel 7.3 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB terhadap tingkat tutur BB pada TRMP berkategori positif, yakni 62,6%. Dalam hal ini, 326 persentase rerata sikap terhadap KA berkategori positif, yakni 79,1%; sikap terhadap KB positif, yakni 64,6%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 42,1%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 81,7%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 68,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 45,4%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kebanggaan bahasa, positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan sangat positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 81%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 64,9%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 43,7%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif 327 pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 72,4%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 58,8%; dan sikap terhadap KK dengan kategori negatif, yakni 35,9%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. 7.2.4 Analisis Sikap Penutur Triwangsa terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali Sikap penutur BB triwangsa guyub tutur Kota Singaraja terhadap KK, KB, dan KA menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dalam hal ini, rerata persentase sikap tertinggi ditunjukkan oleh sikap terhadap KA, yakni 86,1% pada komponen kognitif, 83,7% pada komponen afektif, dan 74,6% pada komponen konatif. Sebaliknya, sikap terhadap KB berada pada posisi kedua, yakni 69,8% pada komponen kognitif, 59,4% pada komponen afektif, dan 57,4% pada komponen konatif; dan sikap terhadap KK berada pada posisi terendah, yakni 46,8% pada 328 komponen kognitif; 44,8% pada komponen afektif; dan 37,2% pada komponen konatif. Perbedaan persentase rerata sikap itu dirumuskan pada gambar 7.1. 100 80 60 40 20 0 Kognitif Afektif Konatif Gambar 7.1 Sikap Penutur Triwangsa terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode Alus Gambar 7.1 menunjukkan bahwa sikap terhadap KA menunjukkan persentase tertinggi, diikuti oleh sikap terhadap KB, dan berikutnya sikap terhadap KK. Selain itu, persentase tersebut menunjukkan penurunan bertahap dari komponen kognitif sampai komponen konatif. Sikap terhadap KA, misalnya, mengalami penurunan yang kurang signifikan—penurunan yang tidak berbeda kategori—dari komponen kognitif ke komponen afektif dan mengalami penurunan yang signifikan, yakni dari kategori sangat positif pada komponen afektif ke kategori positif pada komponen konatif. Selain itu, sikap terhadap KB menunjukkan penurunan yang signifikan dari kategori positif pada komponen kognitif ke kategori netral pada komponen afektif, tetapi 329 kurang signifikan dari komponen afektif ke komponen konatif. Sementara itu, sikap terhadap KK menunjukkan penurunan yang kurang signifikan dari komponen kognitif ke komponen afektif, tetapi menunjukkan penurunan yang signifikan, yakni dari kategori netral pada komponen afektif ke negatif pada komponen konatif. Untuk paparan yang lebih mendetail tentang sikap penutur triwangsa terhadap tingkat tutur BB, perhatikan tabel 7.4 berikut ini. Tabel 7.4 Sikap Penutur Triwangsa terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 SUBKELOMPOK TTDL TTDP TTML TTMP TSDL TSDP TSML TSMP TRDL TRDP TRML TRMP KOGNITIF AFEKTIF KONATIF KK KB KA KK KB KA KK KB KA 49,7 48,1 50,2 48,1 48,9 46,3 44,8 45,9 46,8 44,4 46,3 45,4 67,8 65,1 63,4 61,2 73,5 72,3 69,9 72,9 73,1 71,6 69,1 68,1 88,2 89,3 83,1 82,3 89,3 89,7 86,4 86,1 87,3 85,9 81,3 81,7 47,7 45,4 45,7 38,5 48,4 44,6 42,9 43 46,2 43,2 45,7 43,7 67 64,1 58,8 55,2 60,2 55,3 54,3 50 63,3 60,6 59,8 64,9 81,7 81,8 80,5 83,3 85,1 86,5 85,3 85,7 83,5 86,4 81,2 81 45,5 42,2 38,8 28,1 37,3 34,9 33,7 36,3 38 36,9 38 35,9 53,2 50,5 49,4 55,2 60 59,4 56,1 49,2 62,7 60,1 59 58,8 74 74,3 78 80 72,4 78 72,7 76,7 73,9 75,9 71,2 72,4 Tabel 7.4 menunjukkan suatu kecenderungan umum, yaitu penurunan rerata persentase sikap dalam kaitannya dengan komponen sikap. Penurunan sikap terhadap KK cenderung kurang signifikan dari komponen kognitif ke komponen afektif, tetapi signifikan pada komponen konatif yang ditunjukkan oleh pergeseran kategori dari 330 netral ke negatif. Penurunan yang signifikan itu terjadi pada semua kelompok triwangsa, kecuali kelompok TTDL dan TTDP. Sikap terhadap KB juga menunjukkan penurunan berdasarkan komponen sikap, tetapi penurunan yang signifikan terjadi dari komponen kognitif ke komponen afektif, yakni dari kategori positif ke netral. Penurunan yang signifikan itu terjadi pada hampir semua kelompok triwangsa, kecuali kelompok TTDL, TTDP, TRDL, dan TRDP. Selanjutnya, penurunan sikap terhadap KB dari komponen afektif ke komponen konatif cenderung kurang signifikan, kecuali sikap pada kelompok TTDL dan TTDP yang turun dari kategori netral ke negatif. Penurunan sikap yang berkaitan dengan komponen sikap juga terjadi pada sikap terhadap KA. Dalam hal ini, penurunan persentase sikap yang kurang signifikan terjadi dari komponen kognitif ke komponen afektif. Sebaliknya, penurunan yang signifikan terjadi pada sikap terhadap KA dari komponen afektif ke komponen konatif, yakni dari sangat positif ke positif. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar 7.2 berikut. 331 100 80 60 40 20 0 TTDL TTDP TTML KK1 TTMP KB1 TSDL KA1 TSDP KK2 TSML KB2 TSMP KA2 KK3 TRDL KB3 TRDP TRML TRMP KA3 Keterangan: KK1: KK kognitif; KK2: KK afektif; KK3: KK konatif; KB1: KB kognitif; KB2: KB afektif; KB3: KB konatif; KA1: KA kognitif; KA2: KA afektif; KA3: KA konatif Gambar 7.2 Sikap Penutur Triwangsa terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode Alus pada Komponen Kognitif (tiga di kiri), Afektif (tiga di tengah), dan Konatif (tiga di kanan) 332 Gambar 7.2 menunjukkan tiga pola sikap penutur triwangsa terhadap tingkat tutur BB. Pola pertama adalah bahwa persentase rerata sikap terhadap KA menunjukkan persentase tertinggi, diikuti oleh sikap terhadap KB dan KK. Sehubungan dengan hal itu, sikap terhadap KA pada komponen kognitif dan komponen afektif berkategori sangat positif, yakni di atas 80%; sedangkan, pada komponen konatif turun secara signifikan ke kategori positif dengan persentase di antara 60%-80%. Pola kedua berkaitan dengan penurunan persentase sikap terhadap KB yang cenderung turun secara signifikan dari kategori positif pada komponen kognitif ke netral pada komponen afektif, sedangkan penurunan yang terjadi pada komponen konatif cenderung kurang signifikan. Pola ketiga berkaitan dengan sikap terhadap KK yang pada komponen kognitif dan afektif cenderung berkategori netral, dan turun secara signifikan ke kategori negatif pada komponen konatif. 333 7.3 Sikap Penutur Jaba terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali 7.3.1 Jaba Kelas Atas Tabel 7.5 Sikap Penutur Jaba Kelas Atas terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali KOMPONEN SIKAP BAHASA Kesetiaan Bahasa Kebanggaan KOGNITIF Bahasa Kesadaran Norma Rerata Kognitif Kesetiaan Bahasa Kebanggaan AFEKTIF Bahasa Kesadaran Norma Rerata Afektif Kesetiaan Bahasa Kebanggaan KONATIF Bahasa Kesadaran Norma Rerata Konatif Rerata DIMENSI JTDL JTDP JTML JTMP ReReReKK KB KA rata KK KB KA rata KK KB KA rata KK KB KA 46,5 89 96,5 77,3 43,1 84,4 86,9 71,5 45,8 86,7 85,8 72,8 48,8 81,3 82,5 Re- Rerata rata 70,8 73,8 46,0 70,7 76,7 64,4 39,2 69,2 72,5 60,3 43,3 70,0 72,2 61,9 41,7 68,3 71,7 60,6 62,1 78,3 78 80 73,3 78,6 68,5 71,7 57,5 57,0 72 52 32 36 79,5 86 80 61,3 85,0 87,5 80,6 71,7 78,3 78,9 77,0 55,0 78,8 80,5 87,4 74,3 45,8 80,5 82,8 70,8 50,7 79,1 79,7 70,8 47,8 76,8 86 80 57,5 25,0 87,5 85,0 55,6 31,7 80,0 86,7 57,5 30,0 90,0 64 67 58,5 35,0 62,5 63,1 55,9 36,7 63,3 61,7 55,8 40,0 62,5 61,25 56,3 56,9 54 74,5 76 68,3 53,5 77,5 79,2 70,2 58,0 74,2 74,4 68,9 54,0 75,0 45,1 73,1 73,1 63,8 43,1 74,6 73,9 63,8 47,4 71,9 70,9 63,3 45,6 73,6 26 84 78 62,7 30,0 82,5 76,3 62,9 30,0 86,7 76,7 64,4 30,0 82,5 77,5 71,8 80 69,0 69,0 63,5 63,7 64,2 63,3 40,7 55,3 65,3 53,8 36,7 52,5 64,2 51,1 54,4 46,7 61,1 54,1 51,7 43,3 58,3 51,1 52,7 41 78 67 62 37,5 75,0 72,5 61,7 41,7 80,0 63,3 61,7 55,0 80,0 36,6 70 69,4 59 35,0 67,5 70,0 57,5 43,8 67,6 66,2 59,2 46,4 65,0 45,2 75,5 77,3 66,4 41,8 75,2 76,1 64,8 47,6 73,9 72,9 65,1 46,6 72,6 62,5 65,7 72,5 65,8 62,4 59,0 58,5 64,2 65,4 Keterangan: KK: Kode Kasar; KB: Kode Biasa; KA: Kode Alus 334 7.3.1.1 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Laki-Laki (JTDL) Tabel 7.5 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat tutur BB pada JTDL berkategori positif, yakni 66,4%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 77,3% dan 75,5%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 45,2%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 87,4%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori yang sama, yakni 80,5%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 52%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif dengan persentase yang sama, yakni 73,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 53,8%. Sikap terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran 335 akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 70% dan 69,4%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori negatif, yakni 36,6%. Sikap terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan bahasa dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. 7.3.1.2 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Perempuan (JTDP) Tabel 7.5 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat tutur BB pada JTDP berkategori positif, yakni 64,8%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 76,1% dan 75,2% secara berurutan; dan sikap terhadap KK netral, yakni 41,8%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 82,8%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 80,5%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 45,8%. Sikap terhadap KA dan KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada 336 dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 73,9% dan 74,6%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 43,1%. Sikap terhadap KA dan KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 70% dan 67,5%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori negatif, yakni 35%. Sikap terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada ketiga dimensi sikap bahasa. 7.3.1.3 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Laki-Laki (JTML) Tabel 7.5 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat tutur BB pada JTML berkategori positif, yakni 65,1%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 72,9% dan 73,9%; dan 337 sikap terhadap KK netral, yakni 47,6%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 79,7% dan 79,1%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 50,7%. Sikap terhadap KA dan KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 70,9% dan 71,9%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 47,4%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 66,2% dan 67,6%; selanjutnya, KK dengan kategori netral, yakni 43,8%. Sikap terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap 338 terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. 7.3.1.4 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Perempuan (JTMP) Tabel 7.5 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat tutur BB pada JTMP berkategori positif, yakni 64,2%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 72,5% dan 72,6%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 46,6%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan rerata persentase tertinggi dengan kategori positif, yakni 78% dan 76,8%; selanjutnya KK dengan kategori netral, yakni 47,8%. Sikap terhadap KA dan KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori netral pada ketiga dimensi sikap bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 71,8% dan 73,6%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 45,6%. Sikap terhadap KA menunjukkan kategori yang positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan 339 kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 65,7% dan 65%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 46,4%. Sikap terhadap KA berkategori positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. 340 7.3.2 Jaba Kelas Menengah Tabel 7.6 Sikap Penutur Jaba Kelas Menengah terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali DIMENSI KOMPONEN SIKAP BAHASA JSDL KK KB KA Rerata JSDP KK KB KA Rerata JSML KK KB KA Rerata JSMP KK KB KA Rerata Rerata Kesetiaan Bahasa Kebanggaan KOGNITIF Bahasa Kesadaran Norma 51,4 79,6 80,0 70,4 48,2 82,5 87,9 72,9 53,9 85,0 81,8 73,6 50,0 80,0 84,6 71,5 72,1 49,0 71,4 76,2 65,6 44,8 72,9 80,5 66,0 48,6 60,5 63,8 57,6 40,5 60,5 70,0 57,0 61,5 64,3 84,6 79,0 78,3 60,7 80,0 75,7 74,3 69,3 82,5 75,2 77,1 61,4 79,6 68,6 71,9 75,4 Rerata Kognitif 53,5 79,2 78,6 71,3 49,8 79,0 82,0 71,2 55,6 77,4 74,4 69,9 49,4 74,5 75,4 67,3 69,9 40,0 82,9 71,4 58,6 36,4 85,7 75,7 58,6 42,9 88,6 75,7 62,5 34,3 80,0 77,1 56,4 59,0 35,7 67,1 72,1 61,8 33,6 66,4 76,1 63,0 37,1 60,0 62,5 55,5 31,4 60,0 59,6 52,7 58,3 57,7 73,6 81,2 71,3 54,0 75,7 81,7 70,9 58,9 76,8 80,5 72,3 52,9 76,4 79,8 69,9 71,1 48,9 73,1 77,0 66,6 45,6 74,5 79,1 66,7 50,5 73,7 73,5 65,9 44,0 72,2 72,2 62,8 65,5 34,3 86,4 77,1 66,0 25,7 84,3 82,9 64,3 45,7 83,6 76,4 68,6 30,0 84,3 79,3 64,5 65,8 36,2 54,8 58,6 49,8 33,3 48,1 59,5 47,0 34,3 48,6 59,0 47,3 31,9 44,8 55,2 44,0 47,0 64,3 80,0 60,7 68,3 60,7 79,3 85,7 75,2 57,1 67,1 54,3 59,5 62,1 61,4 61,4 61,7 66,2 Rerata Konatif 43,7 71,0 64,5 59,7 39,0 67,3 73,7 60,0 44,1 63,9 62,7 56,9 40,0 60,8 63,9 54,9 57,9 Rerata 49,1 75,2 74,4 66,6 45,3 74,5 78,8 66,6 50,5 72,6 71,1 65,0 44,8 70,1 71,3 62,4 65,1 AFEKTIF Kesetiaan Bahasa Kebanggaan Bahasa Kesadaran Norma Rerata Afektif KONATIF Kesetiaan Bahasa Kebanggaan Bahasa Kesadaran Norma Keterangan: KK: Kode Kasar; KB: Kode Biasa; KA: Kode Alus 341 7.3.2.1 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Laki-Laki (JSDL) Tabel 7.6 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat tutur BB pada JSDL berkategori positif, yakni 66,6%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 74,4% dan 75,2%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 49,1%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 78,6% dan 79,2%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 53,5%. Sikap terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori netral pada kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 77% dan 73,1%; selanjutnya, KK dengan kategori netral, yakni 48,9%. Sikap terhadap KA berkategori yang sangat positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori 342 negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan rerata persentase tertinggi dengan kategori positif, yakni 64,5% dan 71%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 43,7%. Sikap terhadap KA berkategori positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. 7.3.2.2 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Perempuan (JSDP) Tabel 7.6 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat tutur BB pada JSDP berkategori positif, yakni 66,6%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 78,8% dan 74,5%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 45,3%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 82%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 79%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 49,8%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan 343 sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 79,1% dan 74,5%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 45,6%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 73,7% dan 67,3%; selanjutnya, KK netral, yakni 39%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada 344 dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. 7.3.2.3 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Laki-Laki (JSML) Tabel 7.6 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat tutur BB pada JSML berkategori positif, yakni 65%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 71,1% dan 72,6%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 44,1%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 74,4% dan 77,4%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 73,5% dan 73,7%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 50,5%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif 345 pada dimensi kesetiaan bahasa, positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 62,7% dan 63,9%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 44,1%. Sikap terhadap KA berkategori positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. 7.3.2.4 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Perempuan (JSMP) Tabel 7.6 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat tutur BB pada JSMP berkategori positif, yakni 62,4%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 71,3% dan 70,1%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 44,8%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 75,4% dan 74,5%; selanjutnya, sikap terhadap KK berkategori netral, yakni 49,4%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan 346 bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan bahasa dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 72,2% secara bersamaan; dan sikap terhadap KK netral, yakni 44%. Sikap terhadap KA dan KB berkategori positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 63,9% dan 60,8%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 40%. Sikap terhadap KA berkategori positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada komponen kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada komponen kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. 347 7.3.3 Jaba kelas bawah Tabel 7.7 Sikap Penutur Jaba Kelas Bawah terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali DIMENSI KOMPONEN SIKAP BAHASA KOGNITIF Kesetiaan Bahasa Kebanggaan Bahasa Kesadaran Norma JRDL KK KB KA Rerata JRDP KK KB KA Rerata JRML KK KB KA Rerata JRMP KK KB KA Rerata Rerata 58,9 84,3 75,7 73,0 54,3 82,5 76,8 71,2 58,2 83,6 74,6 72,1 55,4 78,6 72,5 68,8 71,3 47,6 83,8 73,3 68,3 44,8 81,0 70,5 65,4 47,6 83,8 68,6 66,7 40,0 77,1 68,6 61,9 65,6 66,4 82,5 83,8 79,4 63,6 82,1 72,4 74,8 65,0 81,1 77,1 76,2 58,6 77,9 75,7 72,9 75,8 Rerata Kognitif 56,8 83,5 77,4 73,5 53,2 81,9 73,6 70,5 56,2 82,7 73,6 71,7 51,0 77,9 72,3 68,0 70,9 AFEKTIF 52,1 82,9 80,0 66,8 45,7 78,6 80,0 62,5 51,4 84,3 74,3 65,4 43,6 80,0 77,1 61,1 63,9 Kesetiaan Bahasa Kebanggaan Bahasa Kesadaran Norma 47,1 82,9 70,0 67,5 38,6 76,4 67,5 62,5 49,3 82,9 64,6 65,4 38,6 76,4 65,7 61,6 64,2 62,6 77,5 74,0 71,1 62,0 76,1 74,5 70,8 62,0 77,9 73,1 70,7 60,6 73,2 72,6 68,8 70,3 Rerata Afektif 56,8 79,8 73,1 69,4 53,2 76,5 72,5 67,1 56,8 80,2 70,1 68,3 51,9 75,1 70,5 65,5 67,6 KONATIF 40,7 82,9 75,0 66,2 34,3 80,0 75,7 63,3 42,9 87,1 67,9 66,0 34,3 78,6 69,3 60,7 64,0 Kesetiaan Bahasa Kebanggaan Bahasa Kesadaran Norma 48,1 54,3 65,2 55,9 44,3 53,8 67,1 55,1 42,4 53,3 58,6 51,4 40,5 48,6 59,0 49,4 52,9 66,4 82,9 71,4 73,6 65,7 81,4 73,6 73,6 66,4 79,3 67,1 71,0 58,6 76,4 70,7 68,6 71,7 Rerata Konatif 51,2 70,6 69,8 63,9 47,6 69,2 71,4 62,7 49,4 70,4 63,7 61,2 43,9 65,1 65,3 58,1 61,5 Rerata 55,3 78,9 73,8 69,5 51,6 76,9 72,6 67,2 54,5 78,6 69,7 67,7 49,3 73,5 69,8 64,5 67,2 Keterangan: KK: Kode Kasar; KB: Kode Biasa; KA: Kode Alus 348 7.3.3.1 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (JRDL) Tabel 7.7 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat tutur BB pada JRDL berkategori positif, yakni 69,5%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KB dan KA berkategori positif, yakni 78,9% dan 73,8%; dan sikap terhadap KK berkategori netral, yakni 55,3%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 83,5%; selanjutnya, sikap terhadap KA dengan kategori positif, yakni 77,4%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 56,8%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KB, sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 79,8%; selanjutnya, sikap terhadap KA dengan kategori positif, yakni 73,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 56,8%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KB, sikap terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap 349 terhadap KK berkategori positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KB dan KA menunjukkan persentase rerata tertinggi, yang cenderung sama, dengan kategori positif, yakni 70,6% dan 69,8%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 51,2%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KB, sikap terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. 7.3.3.2 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (JRDP) Tabel 7.7 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat tutur BB pada JRDP berkategori positif, yakni 67,2%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KB dan KA berkategori positif, yakni 76,9% dan 72,6%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 51,6%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 81,9%; selanjutnya, sikap terhadap KA dengan kategori positif, yakni 73,6%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 53,2%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada ketiga dimensi sikap bahasa, sedangkan sikap terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi tersebut. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori positif 350 pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Pada komponen afektif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 76,5%; dan sikap terhadap KA dengan kategori positif, yakni 72,5%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 53,2%. Sikap terhadap KB dan KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan persentase rerata tertinggi, yang cenderung sama, dengan kategori positif, yakni 71,4% dan 69,2%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 47,6%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KB, sikap terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. 7.3.3.3 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (JRML) Tabel 7.7 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat tutur BB pada JRML berkategori positif, yakni 67,7%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KB dan KA berkategori positif, yakni 78,6% dan 69,7%; 351 sedangkan, sikap terhadap KK berkategori netral, yakni 54,5%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 82,7%; selanjutnya, sikap terhadap KA dengan kategori positif, yakni 73,6%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 56,2%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada ketiga dimensi sikap bahasa, sedangkan sikap terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap tersebut. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa.. Pada komponen afektif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 80,2%; selanjutnya, KA dengan kategori positif, yakni 70,1%, dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 56,8%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KB, sikap terhadap KA menunjukkan kategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 70,4%; Selanjutnya, sikap terhadap KA dengan kategori positif, yakni 63,7%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 49,4%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi 352 kesetiaan bahasa, positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KB, sikap terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. 7.3.3.4 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (JRMP) Tabel 7.7 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat tutur BB pada JRMP berkategori positif, yakni 64,5%. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 73,5% dan 69,8%; dan sikap terhadap KK berkategori netral, yakni 49,3%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase tertinggi dengan kategori positif, yakni 77,9% ; selanjutnya, KA dengan kategori positif, yakni 72,3%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 51%. Sikap terhadap KB dan KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa, sedangkan sikap terhadap KK berkategori netral pada ketiga dimensi itu. Pada komponen afektif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase tertinggi dengan kategori positif, yakni 75,1%; selanjutnya, sikap terhadap KA dengan kategori positif, yakni 70,5%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 51,9%. Sikap terhadap KB dan KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori positif pada 353 dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan rerata persentase tertinggi yang cenderung sama dengan kategori positif, yakni 65,3% dan 65,1%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 43,9%. Sikap terhadap KB dan KA berkategori positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. 7.3.4 Analisis Sikap Penutur Jaba terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali Sikap penutur jaba BB guyub tutur Kota Singaraja terhadap KK, KB, dan KA hanya menunjukkan sedikit perbedaan. Persentase rerata sikap terhadap KB dan KA cenderung sama, sedangkan persentase rerata sikap terhadap KK lebih rendah secara signifikan daripada persentase rerata sikap terhadap KB dan KA. Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KK pada komponen kognitif, afektif, dan konatif secara berturut-turut adalah 56,8%; 52,6%; dan 46,7%; persentase rerata sikap terhadap KB secara berturut-turut adalah 76,2%; 71,4% dan 66,1%; dan, persentase rerata sikap terhadap KA secara berturut-turut adalah 73,7%; 72,4%; dan 66,2%. Persentase rerata sikap itu dirumuskan pada gambar 7.3 sebagai berikut. 354 80 60 40 20 0 Kognitif Afektif Konatif Gambar 7.3 Sikap Penutur Jaba terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode Alus Gambar 7.3 menunjukkan bahwa sikap terhadap KB dan KA menunjukkan persentase yang cenderung sama pada ketiga komponen sikap bahasa, yakni di antara 60%-80%, dan hal itu menunjukkan sikap yang berkategori positif. Tetapi, sikap terhadap KK menunjukkan persentase sikap yang lebih rendah, yakni di antara 40%-60%, dan hal itu menunjukkan sikap yang berkategori netral. Selain itu, sikap terhadap KK, KB, dan KA juga menunjukkan penurunan dari komponen kognitif sampai konatif. Persentase rerata sikap terhadap KA dan KB, misalnya, turun secara kurang signifikan dari komponen kognitif sampai konatif dan hal yang sama juga ditunjukkan pada sikap terhadap KK dari komponen kognitif sampai konatif. 355 Untuk paparan yang lebih mendetail tentang sikap penutur jaba terhadap tingkat tutur BB, perhatikan tabel 7.8 berikut ini. Tabel 7.8 Sikap Penutur Jaba terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali (dalam Persentase) NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 SUBKELOMPOK JTDL JTDP JTML JTMP JSDL JSDP JSML JSMP JRDL JRMP JRML JRMP KOGNITIF KK KB KA 52 80,5 87,4 45,8 80,5 82,8 50,7 79,1 79,7 47,8 76,8 78 53,5 79,2 78,6 49,8 79 82 55,6 77,4 74,4 49,4 74,5 75,4 56,8 83,5 77,4 53,2 81,9 73,6 56,2 82,7 73,6 51 77,9 72,3 AFEKTIF KK KB KA 45,1 73,1 73,1 43,1 74,6 73,9 47,4 71,9 70,9 45,6 73,6 71,8 48,9 73,1 77 45,6 74,5 79,1 50,5 73,7 73,5 44 72,2 72,2 56,8 79,8 73,1 53,2 76,5 72,5 56,8 80,2 70,1 51,9 75,1 70,5 KONATIF KK KB KA 36,6 70 69,4 35 67,5 70 43,8 67,6 66,2 46,4 65 65,7 43,7 71 64,5 39 67,3 73,7 44,1 63,9 62,7 40 60,8 63,9 51,2 70,6 69,8 47,6 69,2 71,4 49,4 70,4 63,7 43,9 65,1 65,3 Tabel 7.8 menunjukkan suatu kecenderungan umum, yakni penurunan rerata persentase sikap dari komponen kognitif sampai konatif. Dalam hal ini, penurunan sikap terhadap KK cenderung kurang signifikan dari komponen kognitif ke komponen afektif dan hal yang sama juga ditunjukkan pada komponen konatif, kecuali pada kelompok JTDL, JTDP, JSMP, dan JRMP. Sikap terhadap KB juga menunjukkan penurunan yang dalam hal ini cenderung kurang signifikan dari komponen kognitif ke komponen afektif, kecuali pada kelompok JTDL, JTDP, JRDL, JRDP, dan JRML. Selanjutnya, penurunan 356 sikap terhadap KB juga cenderung kurang signifikan dari komponen afektif ke konatif. Sikap terhadap KA juga menunjukkan pola penurunan yang mirip dengan sikap terhadap KB. Dalam hal ini, penurunan sikap terhadap KA cenderung kurang signifikan dari komponen kognitif ke afektif, kecuali pada kelompok JTDL, JTDP, dan JSDP. Berikutnya, penurunan persentase yang kurang signifikan juga terjadi pada komponen konatif. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar 7.4 berikut. 357 100 80 60 40 20 0 KK1 KB1 KA1 KK2 KB2 KA2 KK3 KB3 KA3 Keterangan: KK1: KK kognitif; KK2: KK afektif; KK3: KK konatif; KB1: KB kognitif; KB2: KB afektif; KB3: KB konatif; KA1: KA kognitif; KA2: KA afektif; KA3: KA konatif Gambar 7.4 Sikap Penutur Jaba terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode Alus pada Komponen Kognitif (tiga di kiri), Afektif (tiga di tengah), dan Konatif (tiga di kanan) 358 Gambar 7.4 menunjukkan dengan jelas adanya dua pola penurunan sikap yang terjadi pada sikap bahasa penutur jaba guyub tutur Kota Singaraja. Pola pertama adalah penurunan sikap terhadap KK yang kurang signifikan dari komponen kognitif sampai komponen konatif, kecuali sikap pada kelompok JTDL, JTDP, JSMP, dan JRMP yang menunjukkan penurunan dari kategori netral ke negatif. Pola kedua adalah penurunan sikap terhadap KB dan KA yang cenderung kurang signifikan. Dalam hal ini, penurunan sikap terhadap KB dari komponen kognitif sampai komponen konatif cenderung rendah, kecuali penurunan sikap dari komponen kognitif ke komponen afektif pada kelompok JTDL, JTDP, JRDL, JRDP, dan JRML. Selanjutya, sikap terhadap KA juga cenderung menunjukkan penurunan yang kurang signifikan dari komponen kognitif sampai komponen konatif, kecuali penurunan sikap kelompok JTDL, JTDP, dan JSDP pada komponen afektif. 7.4 Sikap Penutur Bahasa Bali pada Guyub Tutur Bahasa Bali Kota Singaraja terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali Untuk paparan yang lebih mendetai tentang sikap penutur BB guyub tutur Kota Singaraja terhadap tingkat tutur BB dapat dipahami secara lebih baik, perhatikan tabel 7.9 berikut ini. 359 Tabel 7.9 Sikap Penutur Bahasa Bali Guyub Tutur Kota Singaraja terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode Alus NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 SUBKELOMPOK TTDL TTDP TTML TTMP TSDL TSDP TSML TSMP TRDL TRDP TRML TRMP JTDL JTDP JTML JTMP JSDL JSDP JSML JSMP JRDL JRMP JRML JRMP Rerata KK 1 KK 2 KK 3 KK 4 KB 1 KB 2 KB 3 KB 4 KA 1 KA 2 KA 3 KA 4 49,7 47,7 45,5 47,8 67,8 67 53,2 63,5 88,2 81,7 74 82,1 48,1 45,4 42,2 45,5 65,1 64,1 50,5 60,7 89,3 81,8 74,3 82,6 50,2 45,7 38,8 45,4 63,4 58,8 49,4 58,2 83,1 80,5 78 80,8 48,1 38,5 28,1 39,1 61,2 55,2 55,2 57,9 82,3 83,3 80 82,1 48,9 48,4 37,3 45,5 73,5 60,2 60 65,8 89,3 85,1 72,4 83,4 46,3 44,6 34,9 42,5 72,3 55,3 59,4 63,9 89,7 86,5 78 85,5 44,8 42,9 33,7 41 69,9 54,3 56,1 61,7 86,4 85,3 72,7 82,6 45,9 43 36,3 42,2 72,9 50 49,2 59,8 86,1 85,7 76,7 83,6 46,8 46,2 38 44,1 73,1 63,3 62,7 67,4 87,3 83,5 73,9 82,4 44,4 43,2 36,9 41,9 71,6 60,6 60,1 65,8 85,9 86,4 75,9 83,6 46,3 45,7 38 43,8 69,1 59,8 59 64,2 81,3 81,2 71,2 78,7 45,4 43,7 35,9 42,1 68,1 64,9 58,8 64,6 81,7 81 72,4 79,1 52 45,1 36,6 45,2 80,5 73,1 70 75,5 87,4 73,1 69,4 77,3 45,8 43,1 35 41,8 80,5 74,6 67,5 75,2 82,8 73,9 70 76,1 50,7 47,4 43,8 47,6 79,1 71,9 67,6 73,9 79,7 70,9 66,2 72,9 47,8 45,6 46,4 46,6 76,8 73,6 65 72,6 78 71,8 65,7 72,5 53,5 48,9 43,7 49,1 79,2 73,1 71 75,2 78,6 77 64,5 74,4 49,8 45,6 39 45,3 79 74,5 67,3 74,5 82 79,1 73,7 78,8 55,6 50,5 44,1 50,5 77,4 73,7 63,9 72,6 74,4 73,5 62,7 71,1 49,4 44 40 44,8 74,5 72,2 60,8 70,1 75,4 72,2 63,9 71,3 56,8 56,8 51,2 55,3 83,5 79,8 70,6 78,9 77,4 73,1 69,8 73,8 53,2 53,2 47,6 51,6 81,9 76,5 69,2 76,9 73,6 72,5 71,4 72,6 56,2 56,8 49,4 54,5 82,7 80,2 70,4 78,6 73,6 70,1 63,7 69,7 51 49,4 51,9 46,8 43,9 40,3 49,3 45,9 77,9 74,2 75,1 67,2 65,1 61,8 73,5 68,8 72,3 81,9 70,5 78,3 65,3 71,1 69,8 77,8 Keterangan: 1: dimensi kognitif; 2: dimensi afektif; 3: dimensi konatif; 4: rerata Tabel 7.9 menunjukkan perbedaan sikap terhadap KK, KB, dan KA yang terentang dari kategori sangat positif sampai kategori negatif. Selain itu, tabel itu juga menunjukkan suatu pola umum yang berupa penurunan persentase sikap, 360 baik penurunan yang kurang signifikan maupun signifikan, dari komponen kognitif ke afektif dan selanjutnya ke konatif. Dalam hal ini, suatu penurunan dinyatakan kurang signifikan apabila penurunan itu tidak berubah dari kategori asal (sebelumnya); sebaliknya, penurunan itu dinyatakan signifikan apabila berkaitan dengan perubahan dari kategori asal (sebelumnya). Sikap penutur BB terhadap tingkat tutur BB yang dirangkum pada tabel 7.9 selanjutnya dipaparkan sebagai berikut. 7.4.1 Sikap Penutur Bahasa Bali terhadap Kode Kasar Sikap penutur BB guyub tutur Kota Singaraja terhadap KK secara umum berkategori netral dengan rerata persentase 45,9%. Dari rerata persentase itu, sikap penutur jaba terhadap KK menunjukkan persentase yang sedikit lebih tinggi, yakni 48,5%, daripada penutur triwangsa, yakni 43,4%. Selain itu, sikap terhadap KK menunjukkan penurunan dari komponen kognitif sampai komponen konatif. Penurunan sikap penutur BB terhadap KK kurang signifikan pada komponen afektif, kecuali pada kelompok TTMP. Tetapi, penurunan sikap yang signifikan terjadi pada komponen konatif, yakni dari kategori netral pada komponen afektif ke kategori negatif, khususnya pada kelompok TTML, TTMP, TSDL, TSDP, TSML, TSMP, TRDL, TRDP, TRML, TRMP, JTDL, JTDP, JSDP, dan JSMP. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar 7.5 berikut. 361 60 40 20 KK1 KK2 JRMP JRML JRMP JRDL JSMP JSML JSDP JSDL JTMP JTDP JTML JTDL TRMP TRML TRDP TRDL TSMP TSML TSDP TSDL TTMP TTML TTDP TTDL 0 KK3 Keterangan: KK1: KK kognitif; KK2: KK afektif; KK3: KK Konatif Gambar 7.5 Sikap terhadap Kode Kasar pada Komponen Kognitif, Afektif, dan Konatif Kalau diperhatikan secara mendalam, dimensi sikap bahasa yang berkontribusi positif terhadap sikap terhadap KK adalah kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Kontibusi positif itu disebabkan karena penutur guyub tutur Kota Singaraja secara umum paham dengan baik kapan, bagaimana, mengapa, dan di mana KK dapat (tidak dapat) digunakan sehingga persentase sikap terhadap KK dalam hubungannya dengan dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa cenderung (cukup) tinggi. Sebaliknya, mayoritas penutur, khususnya penutur triwangsa, dan jaba kelas atas dan kelas menengah guyub tutur BB Kota Singaraja cenderung memberikan tanggapan negatif pada pernyataan tentang kesetiaan dan kebanggaan 362 terhadap KK. Tanggapan negatif ditujukan pada pernyataan tentang kesetujuan apabila KK digunakan secara luas atau apabila KK tidak perlu dicampur dengan kosakata BI. Tanggapan negatif juga ditunjukkan pada pernyataan yang mencari kesetujuan apabila pembinaan KK perlu dilakukan. Bahkan, penutur BB tersebut berasumsi bahwa KK tidak perlu diajarkan karena KK bisa dipelajari sendiri. Selain itu, mereka juga mengungkapkan bahwa KK kurang bermanfaat dengan penggunaan yang terbatas karena hanya dapat digunakan pada saat marah atau dengan binatang tertentu saja. Berbeda dengan penutur triwangsa, dan jaba kelas atas dan kelas menengah guyub tutur BB Kota Singaraja, penutur jaba kelas bawah cenderung menanggapi secara netral ketika pernyataan yang sama diajukan. Penutur tersebut beranggapan bahwa KK adalah juga bagian dari BB yang perlu dilestarikan. Penutur tersebut menambahkan bahwa KK dapat digunakan pada orang yang tepat, seperti teman atau anggota keluarga untuk menciptakan suasana keakraban. Hal itu sesuai dengan semboyan yang sering mereka dengung-dengungkan Yen sing kasar, sing akrab ‘Kalau tidak kasar, tidak akrab’. Hal menarik lainnya yang perlu dibahas adalah penurunan persentase rerata umum KK pada komponen konatif yang signifikan, yakni pada kategori negatif. Penjelasan yang digunakan untuk menjelaskan hal tersebut adalah karena para penutur BB pada guyub tutur Kota Singaraja secara umum tidak terbiasa, menghindari, dan jarang mendengarkan KK yang menyebabkan kurang dihargainya KK secara konatif. Selain itu, KK juga telah memperoleh penilaian negatif dari guyub tutur BB di Bali secara umum dan hal itu, sedikit banyak 363 memengaruhi penilaian penutur BB guyub tutur Kota Singaraja terhadap KK secara negatif. Tambahan pula, persaingan antara KK dengan KB dan KA juga berkontribusi terhadap kurang setia dan bangganya terhadap KK. 7.4.2 Sikap Penutur Bahasa Bali terhadap Kode Biasa Sikap penutur BB guyub tutur Kota Singaraja terhadap KB secara umum berkategori netral dengan persentase 68,8%. Dari persentase tersebut, sikap penutur jaba terhadap KB sedikit lebih tinggi dengan persentase 74,8% daripada sikap penutur triwangsa terhadap dengan persentase 62,8%. Selain itu, sikap penutur BB terhadap KB juga menunjukkan penurunan persentase dari komponen kognitif sampai komponen konatif. Pada komponen kognitif, sikap terhadap KB berkategori positif, kecuali pada kelompok JTDL, JTDP, JRDL, JRDP, dan JRML. Pada komponen afektif, pada penutur triwangsa, penurunannya yang cenderung kurang signifkan terjadi, kecuali pada kelompok TTML, TTMP, TSDL, TSDP, TSML, TSMP, TRML, dan TRMP dan hal yang sama juga terjadi pada penutur jaba, kecuali pada kelompok JTDL, JTDP, JRDL, JRDP, dan JRML. Pada komponen konatif, penurunan sikap yang juga kurang signifikan juga terjadi pada semua kelompok penutur BB. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar 7.6 berikut ini. 364 100 80 60 40 20 KB1 KB2 JRMP JRML JRMP JRDL JSMP JSML JSDP JSDL JTMP JTML JTDP JTDL TRMP TRML TRDP TRDL TSMP TSML TSDP TSDL TTMP TTML TTDP TTDL 0 KB3 Keterangan: KB1: KB kognitif; KB2: KB afektif; KB3: KB Konatif Gambar 7.6 Sikap terhadap Kode Biasa pada Komponen Kognitif, Afektif, dan Konatif Gambar 7.6 menunjukkan bahwa sikap penutur jaba terhadap KB cenderung lebih tinggi daripada sikap penutur triwangsa pada ketiga komponen sikap. Selain itu, penurunan persentase terjadi pada semua kelompok dari komponen kognitif sampai komponen konatif. Penutur jaba cenderung memiliki sikap yang lebih positif terhadap KB daripada penutur triwangsa karena penutur jaba sudah terbiasa, dan telah mengembangkan kepercayaan dan citarasa positif terhadap KB. Penutur jaba secara umum beranggapan bahwa KB merupakan bahasa biasa atau bahasa netral 365 yang dapat digunakan pada pergaulan sehari-hari di Kota Singaraja. Selain itu, KB juga mewakili identitas jaba dan karakter egaliter guyub Singaraja yang menjadi ciri khas guyub tutur Kota Singaraja. Penurunan sikap terhadap KB pada komponen konatif dapat terjadi karena adanya variasi pilihan penggunaan bahasa (kode) yang berujung pada terjadinya persaingan antarkode. Kehadiran pilihan itu mengurangi dan membatasi fungsi, dan nilai KB sehingga sikap terhadap KB menurun, terutama pada komponen konatif. Faktor itu, khususnya pada penutur triwangsa, diakibatkan oleh “keengganan” untuk menggunakan KB pada percakapan sehari-hari karena KB dianggap kurang mewakili identitas triwangsa. 7.4.3 Sikap Penutur Bahasa Bali terhadap Kode Alus Sikap penutur BB guyub tutur Kota Singaraja terhadap KA secara umum berkategori netral dengan persentase 77,8%. Dari persentase tersebut, sikap penutur triwangsa terhadap KA lebih tinggi secara signifikan dengan persentase 82,2% daripada sikap penutur jaba yang menunjukkan persentase 73,4%. Jika rerata persentase sikap terhadap KA pada setiap komponen diperbandingkan, penurunan persentase sikap juga teramati. Di antara kelompok triwangsa, kecuali pada kelompok TTMP dan TRDP, penurunan yang terjadi dari komponen kognitif ke afektif cenderung kurang signifikan karena masih dalam kategori sangat positif. Namun, penurunan yang terjadi dari komponen afektif ke konatif secara umum signifikan, yakni dari kategori sangat positif ke positif. Penurunan sikap penutur jaba terhadap KA cenderung menunjukkan penurunan yang kurang signifikan dari komponen kognitif ke afektif karena masih 366 dalam kategori positif, kecuali pada kelompok JTDL, JTDP, dan JSDP; dan penurunan yang kurang signifikan juga terjadi pada komponen konatif. Dengan demikian, sikap penutur jaba terhadap KB dari komponen kognitif sampai konatif cenderung sama, yakni berkategori positif. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar 7.7. 100 80 60 40 20 KA1 KA2 JRMP JRML JRDL JRMP JSMP JSML JSDP JSDL JTMP JTML JTDP JTDL TRMP TRML TRDP TRDL TSMP TSML TSDP TSDL TTMP TTML TTDP TTDL 0 KA3 Keterangan: KA1: KA kognitif; KA2: KA afektif; KA3: KA Konatif Gambar 7.7 Sikap terhadap Kode Alus pada Komponen Kognitif, Afektif, dan Konatif 367 Gambar 7.7 menunjukkan penurunan sikap terhadap KA yang kurang signifikan dari komponen kognitif ke afektif pada penutur triwangsa dan penurunan signifikan, yakni dari kategori sangat positif ke positif pada komponen konatif. Gambar itu juga menunjukkan penurunan yang kurang signifikan pada penutur jaba dari komponen kognitif sampai konatif. Hasil simak dan cakap semuka yang dilakukan menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang memengaruhi sikap yang sangat positif terhadap KA pada penutur triwangsa, khususnya pada komponen kognitif dan afektif. Faktor pertama berkaitan dengan identitas triwangsa. Ketriwangsaan merupakan identitas yang berasosiasi dengan kesopanan, kehalusan budi, dan tradisi leluhur yang dalam hal ini ditandai oleh KA. Selain faktor identitas triwangsa, faktor sosialisasi bahasa juga berpengaruh pada sikap terhadap KA. Hal itu terjadi karena penutur triwangsa dibesarkan dengan menggunakan KA sejak masa kanak-kanak sehingga menjadi fasih dalam kode itu. Dengan demikian, mereka mengembangkan sikap dan citarasa yang mendukung penggunaan KA. Meskipun demikian, penutur triwangsa menyadari bahwa penggunaan KA telah ditantang oleh pola pikir dan pola perilaku berbahasa guyub tutur Kota Singaraja yang kurang mendukung, dan ditambah lagi oleh kemajuan zaman. Akan tetapi, penutur itu juga menyadari bahwa kalau bukan mereka, siapa lagi yang dapat diharapkan untuk memperhatikan dan melestarikan penggunaan KA. Oleh sebab itu, mereka berupaya untuk mengembangkan dan mempertahankan penggunaan KA terutama di dalam keluarga dan bilamana memungkinkan, di masyarakat. 368 Upaya penutur triwangsa untuk mengembangkan dan melestarikan KA pada khususnya memperoleh dukungan yang positif melalui penyosialisasian program “ajeg Bali”. Program “ajeg Bali” adalah suatu upaya untuk menghidupkan dan melestarikan kebudayaan Bali melalui pelaksanaan tradisi dan kebiasaan yang dianggap luhur dan merupakan kerja bersama antara pemerintah dan masyarakat. Upaya itu sepertinya membuahkan hasil positif berupa peningkatan kebanggaan akan identitas kebalian dan KA sebagai salah satu bagian identitas itu memperoleh dukungan yang cukup baik. Dalam hal ini, Ungkapan “Om Swastiastu”, ungkapan halus-sopan yang merupakan salam-doa mulai menjadi lazim, bahkan di antara sesama jaba, dan bersama salam itu, ungkapanungkapan singkat KA, seperti NGAJENG yuk, MRIKI SIMPANG, WENTEN NAPI NIKI, AMPURA, SUKSMA, BECIK, NIKA, TIANG, NAPI GATRA dan sebagainya. Selain kontribusi program “ajeg Bali”, penutur jaba sendiri, meskipun tidak menunjukkan kecenderungan sikap yang sangat positif terhadap KA, sesungguhnya menunjukkan sikap yang mendukung. Hal itu berarti bahwa mereka tidak antipati terhadap KA dan sebaliknya, menyukai KA yang mewakili perilaku sopan dan saling menghormati. Tumbuhnya sikap yang positif terhadap KA juga dipengaruhi oleh kedatangan para pendatang dari luar kabupaten Buleleng untuk bekerja di Kota Singaraja. Para pendatang itu umumnya berprofesi sebagai guru, PNS, dan menduduki posisi-posisi penting di kantor-kantor pemerintah dan di perusahanperusahaan swasta sehingga berada di kelas sosial menengah ke atas. Para 369 pendatang itu umumnya tinggal berkumpul di kompleks-kompleks perumahan yang cukup luas dan menggunakan KA terhadap satu sama lain secara simeris. Hal itu secara langsung dan tidak langsung memengaruhi penutur jaba yang tinggal di sekitar untuk menggunakan KA. Pada gilirannya, hal itu berkontribusi pada pertumbuhan sikap yang positif terhadap KA. Dengan kata lain, perilaku berbahasa para pendatang tersebut berkontribusi positif pada sikap terhadap KA, khususnya pada penutur jaba guyub tutur Kota Singaraja. Sikap terhadap KA yang sangat positif pada komponen kognitif berpengaruh kuat terhadap sikap terhadap KA pada komponen afektif karena kedua komponen itu sesungguhnya sulit dipisahkan. Sebagai ilustrasi, jika kita tahu bahwa rokok itu berbahaya (komponen kognitif), kita tidak akan suka (komponen afektif) dengan rokok. Begitu juga dengan KA, kepercayaankepercayaan yang bersifat sangat positif tentang KA akan menimbulkan kesukaan yang sangat tinggi pada kode itu. Penurunan sikap yang signifikan terhadap KA pada komponen konatif berkaitan dengan fakta lapangan bahwa penggunaan KA pada guyub tutur Kota Singaraja tidaklah sangat tinggi, selain pada domain rumah tangga, tetangga, atau pada pertemuan-pertemuan antarsesama partisipan triwangsa. Dengan demikian, ketika bertemu dengan partisipan nontriwangsa yang merupakan penduduk mayoritas di kota Singaraja, maka seorang penutur triwangsa cenderung memertimbangkan ulang pilihan KA dan pada berbagai situasi, lebih memilih penggunaan non-KA. 370 Faktor lain yang memengaruhi penurunan sikap terhadap KA pada komponen konatif adalah pengaruh kode-kode yang lain, khususnya BI, yang mengakibatkan terjadinya persaingan penggunaan bahasa (kode). Dalam hal ini, hasil simak dan cakap semuka mengungkapkan perilaku penutur BB guyub tutur Kota Singaraja yang sangat konvergensif terhadap penggunaan BI. Setiap ajakan atau undangan untuk berbicara dengan BI cenderung disambut positif. Hal itu terjadi karena BI dianggap bersifat netral dan demokratis, dan pengguna BI tidak perlu khawatir dikatakan tidak menghormati kawan tutur, asalkan mereka menggunakan istilah sapaan yang sesuai, entah itu bapak, ibu, mbak, dan sebagainya. Penggunaan BI juga menumbuhkan rasa percaya diri dan identitas modernitas penggunanya karena BI dianggap sebagai bahasa modern dan cocok digunakan untuk membicarakan topik-topik modern (terkini) dan pekerjaan kedinasan tanpa perlu untuk merasa canggung. Siaran TV, surat kabar, dan bahkan wawancara kerja pun mensyaratkan kemampuan BI yang mengakibatkan kebutuhan akan penggunaan BI. Selain itu, pada pergaulan antaretnis atau antaragama di Kota Singaraja, penggunaan BI cenderung lebih diprioritaskan karena BB kerap dilihat sebagai penanda etnis dan agama bagi penutur beragama Hindu di Bali. BAB VIII TEMUAN PENELITIAN 8.1 Pengantar Bab ini memaparkan hasil-hasil penelitian yang dianggap baru, yang meliputi bentuk tingkat tutur bahasa Bali, faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali, penjajagan kode, dan pergeseran penggunaan istilah sapaan. 8.2 Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Bali Tingkat tutur BB memiliki tiga bentuk kode berdasarkan atas tingkat kata pembentuknya, yakni kode kasar, kode biasa, dan kode alus. Kode kasar dapat tersusun oleh level kata manapun, asalkan di antara kata tersebut terdapat kata kasar. Kehadiran kata kasar itulah yang menjadikan rasa kode kasar. Sebaliknya, kode biasa tersusun dari kata-kata biasa, tanpa kehadiran kata alus atau kata kasar. Berbeda dengan kode kasar atau kode biasa, kode alus dapat disusun oleh kata alus yang bervariasi dan kerap berpadu dengan kata biasa, sehingga rasa alus kode alus berbeda-beda. Dalam hal ini, kode alus yang lazim digunakan pada guyub tutur Kota Singaraja adalah kode alus madia yakni kode alus yang memadukan penggunaan kata alus madia dan kata biasa. Selain itu, tipe kode alus lain juga berkembang pada guyub tutur Kota Singaraja yang disebut dengan basa alus metiang-nika. Kode itu terutama digunakan oleh penutur jaba karena keterbatasan penguasaan akan kata-kata alus. 371 372 Dalam hal ini, penutur jaba mengerti bahwa kata alus memiliki banyak tingkat, yakni alus singgih, alus sor, alus madia, dan alus mider, tetapi mereka tidak tahu dengan jelas posisi kata-kata alus pada tingkat-tingkat tersebut. Mereka hanya bisa membedakan alus, biasa, dan kasar, dan perbendaharaan kosakata alus mereka pun terbatas. Oleh sebab itu, ketika mereka berbicara dengan KA, KA yang digunakan sebagian besar tersusun atas kata biasa dan “diperhalus” oleh kata-kata alus yang umum dan mudah untuk diingat karena frekuensi penggunaannya yang tinggi. Istilah metiang-nika digunakan karena kata alus tiang-nika-lah yang paling sering digunakan. Selain kata itu, kata lain yang juga digunakan adalah: NIKI, KENTEN, NGGIH, SAMPUN, TEN, DURUNG, NAPI, MALIH, MALIH PIDAN, RAHINA, MANGKIN, BENJANG, NGAJENG, MANTUK, SARENG, SIRA, MELANCARAN, NUNAS, DADOS, USAN, SIMPANG, dan sebagainya Penggunaan kode alus metiang-nika sangat dimaklumi oleh kalangan penutur triwangsa. Penutur triwangsa memahami bahwa bagi masyarakat jaba tuntutan penggunaan KA yang ketat sering kali agak berlebihan karena mereka tidak terbiasa menggunakan kode itu. Selain itu, penutur jaba guyub tutur Kota Singaraja juga memiliki budaya maboya dan egaliter yang tinggi. Budaya itu dirumuskan melalui beberapa ungkapan yang sedikit “menyinggung” bagi penggunaan KA, seperti De ngae ngon atau De bes aeng ‘tidak (perlu) membuat (orang lain) kagum’ dan lain-lain. Tambahan pula, penutur jaba itu juga sangat tidak terbiasa bergaul dengan kalangan penutur triwangsa yang berjumlah sangat 373 terbatas. Oleh sebab itu, penggunaan kode alus metiang-nika sudah cukup berterima sebagai penanda saling menghormati. Selanjutnya, hasil penelitian ini juga menemukan bahwa penutur jaba guyub tutur Kota Singaraja cenderung mencampuradukkan penggunaan kata alus singgih dan alus sor. Ketika mereka menggunakan KA, mereka kerap menyamaratakan kata alus singgih dan alus sor dan kesulitan untuk membedakan kata-kata dari kedua tingkat tutur itu. Sebagai akibatnya, mereka kerap menggunakan kata alus singgih untuk merujuk pada dirinya dan menggunakan kata alus sor untuk merujuk orang lain yang merupakan penggunaan KA yang tidak tepat. 8.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali Penggunaan tingkat tutur BB yang cenderung terjadi pada guyub tutur Kota Singaraja adalah penggunaan yang simetris, baik antara KA-KA maupun KB-KB. Meskipun demikian, penggunaan kode simetris KK-KK dan nonsimetris antara KA-KB atau KB-KK juga terjadi, tetapi dengan frekuensi yang rendah. Faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur Kota Singaraja adalah sebagai berikut. Pertama, faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan KK secara simetris adalah faktor keakraban, kesetaraan, dan solidaritas; atau faktor kemarahan. Satu faktor saja, yakni keakraban, tidak cukup untuk memengaruhi hadirnya penggunaan KK secara simetris sehingga ada faktor lain yang diharapkan untuk hadir bersama agar penggunaan KK secara simetris dapat terjadi. Faktor itu adalah 374 kesetaraan, khususnya pada usia dan gender, dan solidaritas. KK yang digunakan terkait dengan perpaduan faktor-faktor itu dirasakan biasa, tidak kasar. Selain itu, faktor pengungkapan kemarahan secara simetris juga dapat memengaruhi penggunaan KK secara simetris. Hal itu dapat terjadi karena KK juga merupakan kode yang lazim digunakan untuk mengungkapkan kemarahan atau kekesalan. KK yang digunakan untuk mengungkapkan kemarahan dirasakan kasar dan dapat menyinggung hati mitra tutur. Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan KK secara tidak simetris adalah faktor keakraban menurun, atau faktor pengungkapan kemarahan yang disertai oleh kesenjangan status. Faktor keakraban menurun yang memengaruhi penggunaan KK cenderung hanya terjadi pada kelas bawah dan antara dua peserta tutur yang akrab tetapi memiliki peran yang berbeda, misalnya ayah-anak, suami-istri, kakak-adik, atau umur yang berbeda secara signifikan. Penutur yang berperan “lebih tinggi” atau lebih tua dapat menggunakan KK, tetapi dibalas atau ditanggapi dengan KB. Dalam hal ini, KK menandai keakraban dan sekaligus kekuasaan, sedangkan KB menandai “kehormatan”. Selain itu, faktor pengungkapan kemarahan yang terjadi antara penutur-mitra tutur yang memiliki kesenjangan status tinggi dapat juga memengaruhi penggunaan KK secara tidak simetris. Sehubungan dengan hal itu, salah satu penutur yang dianggap berstatus lebih tinggi dapat menggunakan KK untuk mengungkapkan kemarahannya tersebut, namun tidak dibalas dengan KK oleh penutur yang berstatus lebih rendah. 375 Ketiga, penggunaan KB-KA secara tidak simetris dapat terwujud karena pengaruh faktor kesenjangan status yang tinggi atau faktor kekuasaan. Pada masyarakat yang egaliter, kesenjangan status dan faktor kekuasaan yang dimaksudkan tidak hanya sekedar perbedaan sosial saja. Akan tetapi, hal itu terkait dengan sejauh mana hal-hal itu berpengaruh secara nyata untuk menimbulkan rasa hormat di hati seseorang. Faktor kesenjangan status yang tinggi umumnya berkaitan dengan perbedaan wangsa yang disertai oleh perbedaan umur antara satu sampai dua generasi. Sementara itu, penutur yang dipandang berkuasa adalah penutur dengan profesi tertentu, seperti dokter, anggota dewan perwakilan rakyat, kepala-kepala di pemerintahan daerah, pengacara, pemuka agama, dan sebagainya. Selain itu, para tetua triwangsa, dan kerabat langsung puri yang tinggal di Puri Singaraja dan Puri Sukasada juga dianggap berkuasa. Mereka itu adalah orang-orang yang terkemuka dan telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi kemaslahatan hidup orang banyak. Pada penutur-penutur yang memiliki kesenjangan tinggi atau dianggap berkuasa, penggunaan KA diberlakukan dan jika ditanggapi dengan KB, tanggapan itu dianggap berterima. Keempat, faktor-faktor yang dapat memengaruhi penggunaan kode biasa secara simetris adalah faktor jaba, faktor solidaritas interwangsa, faktor domain, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa. Faktor jaba dan faktor solidaritas interwangsa menunjukkan bahwa penggunaan KB menyatukan baik sesama penutur jaba maupun penutur triwangsa-jaba. Selain itu, faktor domain menunjukkan bahwa pada domain tertentu, yakni domain keluarga dan tetangga 376 penutur jaba, penggunaan KB cenderung sangat tinggi dan selanjutnya semakin menyusut ketika domain itu bergeser ke domain masyarakat dan tempat kerja. Faktor budaya dan sosialisasi bahasa juga berperan bagi penggunaan KB secara simetris karena guyub tutur Kota Singaraja cenderung berbudaya egaliter dan para penutur jaba-nya tersosialisasi di masyarakat dengan menggunakan KB, dan cenderung menjadikannya sebagai bahasa umum. Pola penggunaan KB yang bersifat umum itu dari perspektif guyub tutur BB non-Kota Singaraja dianggap jabag ‘tidak sopan’ sehingga penutur BB guyub tutur Kota Singaraja atau Buleleng pada umumnya dianggap kasar dan tidak kenal sopan santun. Dengan kata lain, penutur BB guyub tutur Kota Singaraja dianggap tidak menghormati perbedaan wangsa atau status yang merupakan tradisi yang diturunkan dari nenek moyang. Informasi yang terungkap dari para pendatang, khususnya dari Bali Selatan, yang berdomisili di Kota Singaraja, misalnya, menunjukkan bahwa mereka kerap merasa segan dan canggung untuk beradaptasi dengan lingkungan pergaulan di Kota Singaraja ketika mereka tiba untuk pertama kalinya. Mereka mengungkapkan bahwa penutur Kota Singaraja secara tak acuh mengajak mereka bercakap-cakap dengan KB, tanpa menanyakan identitas kewangsaan mereka dan tanpa menghiraukan bahwa mereka baru saja saling mengenal. Keluhan-keluhan yang sama juga muncul dari penutur triwangsa, seperti terbetik pada hasil wawancara. Hampir semua informan triwangsa, ketika ditanya apakah mereka bisa menerima penggunaan KB secara simetris pada percakapan dengan penutur jaba, menjawab Anak ngoyong di Singaraja. Anak mula keto, 377 iraga ane harus berusaha beradaptasi ‘Namanya tinggal di (Kota) Singaraja, memang seperti itu adanya, kita yang harus berusaha beradaptasi’. Ungkapan itu menggambarkan suasana keterpaksaan penutur triwangsa untuk membiasakan diri dengan pola penggunaan KB secara simetris karena memang begitulah suasana tutur di Kota Singaraja. Selain itu, jika mereka berkeras untuk memasyarakatkan penggunaan KA/KB secara nonsimetris, mereka akan memperoleh tantangan keras dari budaya egaliter dan sikap maboya guyub tutur Kota Singaraja yang sudah mendarah daging. Namun, masyarakat Bali pendatang dan partisipan triwangsa tersebut umumnya menyadari bahwa penggunaan KB oleh penutur BB Kota Singaraja tidak berkorelasi dengan ketidakhormatan atau penyimpangan ekstrem dari norma sopan santun secara umum. Hal itu terkait dengan latar belakang sejarah guyub tutur Kota Singaraja yang khas. Dahulu sebelum pemerintahan Raja Panji Sakti, Kota Singaraja/Buleleng yang lebih dikenal dengan sebutan Den Bukit, merupakan tempat bagi pelarian, pemberontak, dan perompak. Tipe orang seperti itu tentu saja memiliki karakter yang berbeda dengan orang kebanyakan karena mereka pada umumnya keras, tegas, pemberani, dan cenderung untuk tidak hirau dengan norma kesopanan. Selain itu, sejak pemerintahan Raja Panji Sakti sampai sekarang, Kota Singaraja merupakan tempat berkumpul dan menetap bagi masyarakat dari berbagai etnis, seperti Tionghoa, Madura, Arab, Jawa, Bugis, dan sebagainya. Etnis-etnis tersebut terutama yang berpaham islam berpijak pada egaliterisme dan telah mewarnai budaya pada guyub tutur Kota Singaraja yang pada dasarnya juga egaliter. 378 Sesungguhnya, orang yang paling berperan bagi tumbuhnya pola pikir egaliter pada guyub tutur Kota Singaraja itu sendiri adalah Raja Buleleng pertama, yakni Ki Gusti Panji Sakti sendiri (Sastrodiwiryo, 2011:107). Hal itu terbukti dari perekrutan prajurit beliau yang terdiri atas orang-orang dari berbagai etnis dan kebangsaan. Beliau juga tidak membatasi diri pada interaksi dengan hanya masyarakat etnis tertentu dalam melakukan hubungan atau perdagangan. Selama saling menguntungkan dan dengan tidak mengabaikan sikap saling menghormati, beliau mengadakan hubungan dengan orang dari berbagai etnis dan kebangsaan. Keempat, faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan kode alus secara seimetris adalah faktor kekerabatan pada triwangsa, faktor penghormatan interdan antar-wangsa, faktor domain, faktor latar, faktor topik tutur, atau faktor budaya triwangsa dan sosialisasi bahasa. Faktor kekerabatan berperan penting bagi penggunan KA di antara penutur triwangsa atau triwangsa-jaba yang memiliki hubungan kekerabatan. Dalam hal ini, KA menjadi bahasa pengantar yang menghubungkan mereka satu sama lain. Selain itu, faktor penghormatan inter-dan antar-wangsa juga berperan bagi penggunaan KA. Percakapan di antara penutur triwangsa lazim dilakukan dengan KA dan hal yang sama juga dapat terjadi antara penutur triwangsa dan jaba dalam konteks saling menghormati. Faktor domain dan latar juga berperan penting bagi penggunaan kode alus secara simetris. Dalam hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan KA tertinggi terjadi di domain keluarga dan tetangga triwangsa, namun semakin menyusut di domain masyarakat dan di domain tempat kerja. Selain itu, ada latar 379 khusus tertentu, seperti gria atau jero atau puri ’rumah bagi triwangsa’, yang menjadikan penggunaan KA sebagai suatu keharusan. Faktor budaya triwangsa dan sosialisasi bahasa juga memengaruhi penggunaan bahasa. Penutur triwangsa yang dibesarkan pada budaya triwangsa mengembangkan cita rasa yang kuat terhadap KA. Hal itu terjadi karena KA menandai ketriwangsaan mereka. Selain itu, mereka berkeinginan kuat untuk mempertahankan tradisi nenek moyang yang dalam hal ini KA merupakan bagian dari tradisi tersebut. 8.4 Penjajagan Bahasa (Kode) Gejala bahasa khas yang lain juga terjadi pada guyub tutur Kota Singaraja, yakni penjajagan kode. Penjajagan kode merupakan suatu upaya untuk memfasilitasi terjadinya suatu interaksi yang berhasil melalui penggunaan kode yang stabil. Dalam hal ini, kode awal menjadi sangat penting karena itu merupakan peletak dasar bagi interaksi kode yang terjadi berikutnya. Jika penutur yang mengawali percakapan adalah penutur triwangsa, penutur itu cenderung lebih menghadapi dilema (keraguan) untuk memutuskan penggunaan kode awal daripada penutur jaba. Penutur triwangsa itu harus dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan mitra tutur dalam hubungannya dengan wangsa, umur, pekerjaan, dan gender. Selain itu, ia juga perlu untuk mempertimbangkan balasan kode yang kira-kira akan diberikan sebagai balikan. Hal itu akan sangat mudah jika mitra tutur adalah juga triwangsa atau berumur lebih tua satu atau dua generasi. Untuk mitra tutur seperti itu penutur 380 triwangsa cenderung untuk memulai dengan KA dan mengharapkan balasan KA. Akan tetapi, jika tidak, ia perlu untuk mempertimbangkan pekerjaan, gender, dan balikan yang mungkin diberikan oleh mitra tutur. Umpan balik atau tanggapan mitra tutur itu penting karena berkaitan dengan etika berbahasa. Jika penggunaan KA oleh penutur triwangsa ditanggapi dengan KB oleh penutur jaba, hal itu dapat berakibat pada konflik kode dan sekaligus juga menimbulkan rasa jengkel pada penutur triwangsa karena niat “baiknya” untuk saling menghormati tidak dihargai. Pemrakarsaan KA pada guyub tutur Kota Singaraja kerap menimbulkan sedikit “gangguan” pada penutur jaba karena hal itu membuatnya mencermati siapa penuturnya menurut asal-usul wangsa dan tempat tinggal. Jika pemrakarsaan KA itu diikuti dengan penggunaan KA yang konsisten, mitra tutur jaba cenderung akan berkonvergensi dengan penggunaan KA itu. Namun, jika penggunaan KA itu tidak konsisten, misalnya, beralih ke KB karena ditanggapi dengan KB, maka penggunaan KB yang simetrislah yang dapat diharapkan terjadi. Namun, Jika kode awal yang digunakan adalah KB, mitra tutur jaba dengan segera bisa menarik kesimpulan bahwa yang diajak bertutur kemungkinan penutur jaba dan segera dapat menanggapi dengan KB. Selanjutnya, KB menjadi kode yang stabil untuk digunakan untuk mendorong kedekatan/keakraban yang berkembang di antara mereka. dan menandai 381 8.5 Penggunaan Bahasa Indonesia di Ranah Keluarga Penutur Muda Hasil angket penggunaan bahasa yang salah satu pertanyaannya menggali data tentang bahasa yang digunakan pada percakapan antara orang tua - anak di ranah keluarga menunjukkan temuan data yang perlu diperhatikan secara khusus pada penutur BB usia muda. Pada keluarga penutur BB muda, penggunaan BI antara orang tua - anak menunjukkan persentase sangat tinggi dan hal itu berarti bahwa percakapan yang terjadi didominasi oleh penggunaan BI. Hasil simak dan cakap semuka bahkan menunjukkan bahwa anak-anak di keluarga itu belajar BI sebagai bahasa pertama. Beberapa di antaranya belum bisa BB, tetapi sudah menguasai BI dengan baik. Ketika hal tersebut digali lebih lanjut, terungkap fakta bahwa penutur muda itu tidak mempermasalahkan jika anak-anak mereka belum bisa BB dan pada saatnya nanti, anak-anak mereka dapat belajar BB di lingkungan sekitar, terutama dari kakek-neneknya. Penggunaan BI lebih diutamakan karena pertimbangan bahwa anak-anak lebih membutuhkan BI untuk keperluan sekolah. Sekolah tidak lagi seperti dulu yang pada tahap awal tetap memfasilitasi penggunaan BB dan bahkan, BI sudah digunakan sebagai bahasa pengantar di institusi pendidikan yang paling rendah, yakni PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Dengan kata lain, pengenalan dan penggunaan BI sejak dini kepada anak-anak di keluarga dimaksudkan untuk mempersiapkan anak-anak di sekolah. Selain itu, siaran televisi yang berbasis BI, dan permainan-permainan online dan offline juga mempercepat pemerolehan BI karena televisi dan berbagai hiburan tersebut telah menjadi hiburan yang paling sering ditonton/dilakukan 382 oleh anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktu mereka di rumah. Oleh sebab itu, eksposur BI menjadi sangat padat dan kaya. Fenomena itu cukup memprihatinkan bagi pengembangan sikap terhadap tingkat tutur BB dan bagi kebertahanan BB. Jika satu generasi tidak mempelajari BB sebagai bahasa pertama, status BB sebagai bahasa ibu akan mulai terancam. Selanjutnya, jika hal itu terus berlanjut sampai tiga (atau lebih) generasi, generasigenerasi berikutnya dapat kehilangan BB secara keseluruhan (Lihat Romaine, 2000:49). 8.6 Pergeseran Penggunaan Istilah Sapaan Istilah Sapaan mengalami pergeseran yang cukup signifikan pada guyub tutur Kota Singaraja. Istilah gelar triwangsa yang bernuansa tradisi semakin menghilang berhubungan dengan perubahan domain penggunaan bahasa. Istilah sapaan atu, aji atau ibu, misalnya, cenderung hanya digunakan di domain keluarga dan tetangga, tetapi tidak di domain masyarakat dan tempat kerja, apalagi yang melibatkan penyapa jaba. Istilah yang lazim digunakan untuk menyapa, baik pesapa triwangsa maupun jaba, adalah pak/bu untuk pesapa triwangsa/jaba yang berusia tua, atau GW+(ND) untuk pesapa triwangsa muda oleh penyapa triwangsa/jaba yang sebaya atau lebih tua. Selain itu, istilah kekerabatan bli atau mbok untuk menyapa pesapa triwangsa yang lebih tua, selain digunakan oleh penyapa triwangsa, juga digunakan oleh penyapa jaba di domain masyarakat dan tempat kerja. Bentuk bli atau mbok lazim digunakan sebelum singkatan GW+(ND) dan kerap digunakan 383 oleh penyapa jaba pada guyub tutur Kota Singaraja, meskipun dianggap tidak sopan menurut konvensi umum yang berlaku karena istilah itu mengesankan bahwa penyapa jaba memposisikan diri sejajar dengan pesapa triwangsa. Hal itu jika terjadi pada wilayah Bali lainnya akan dianggap sebagai kekurangajaran. Pronomina persona pertama TIANG cenderung jarang digunakan dan digantikan dengan istilah yang “lebih kasar” YANG dan RAGA, baik pada percakapan interwangsa maupun intrawangsa. Istilah YANG dan RAGA digunakan secara simetris walaupun pada hubungan yang bersifat nonsimetris. Terakhir, nilai makna pronomina persona kedua CAI ‘kamu laki-laki’ juga mengalami pergeseran. Pronomina itu, meskipun adalah kata biasa, dianggap sebagai kata kasar dan lazim digunakan untuk menandai hubungan yang dekat di antara penutur jaba laki-laki. Namun, pada perkembangan selanjutnya kata itu juga digunakan sebagai pronomina persona kedua perempuan, sedangkan kata nyai yang seharusnya digunakan untuk itu tidak digunakan. Dalam hal ini, kata nyai dikesankan lebih kasar dibandingkan cai dan hanya digunakan pada saat mengejek atau marah. 8.7 Hubungan antara Sikap terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali dan Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali Perhatikan gambar 8.1 berikut yang menunjukkan hubungan antara sikap terhadap tingkat tutur BB dan penggunaan tingkat tutur BB pada guyub tutur Kota Singaraja (lihat juga lampiran 6). 384 100 80 60 40 20 0 Sikap Penggunaan Sikap Triwangsa Penggunaan Jaba KK KB KA Gambar 8.1 Hubungan antara Sikap terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali dan Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali Walaupun secara kasat mata sikap terhadap tingkat tutur BB sepertinya tidak berkaitan dengan penggunaan tingkat tutur BB, tetapi analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa sikap terhadap tingkat tutur BB sesungguhnya berkontribusi pada penggunaan tingkat tutur BB. Sikap KK secara umum, misalnya, berkategori netral, sedangkan penggunaan KK sangat rendah. Secara kasat mata, sikap KK yang cenderung netral seolah-olah tidak berkontribusi pada penggunaan KK; tetapi, jika dilihat secara lebih mendalam, dimensi kesetiaan dan kebanggaan KK yang merupakan esensi sikap bahasa berkategori negatif. Jika 385 sikap bahasa pada kedua dimensi itu rendah, maka sulit diharapkan untuk terjadi suatu penggunaan yang berarti. Dengan demikian, penggunaan KK yang sangat rendah sesungguhnya telah diprediksi oleh sikap terhadap KK. Berbeda dengan sikap terhadap KK, sikap terhadap KB dan KA berbeda menurut wangsa penutur. Sikap penutur triwangsa terhadap KB berkategori positif dan sikap itu tidak disertai oleh penggunaan KB yang tinggi, melainkan rendah. Hal itu merefleksikan bahwa kategori penggunaan KB pada penutur triwangsa lebih rendah dari kategori sikap penutur tersebut terhadap KB. Sebaliknya, sikap penutur jaba terhadap KB berkaitan erat dengan penggunaan KB yang dalam hal ini sikap yang positif dibarengi dengan penggunaan KB yang tinggi. Sikap penutur triwangsa terhadap KA cenderung berkategori sangat positif dan hal itu tidak disertai oleh penggunaan KA yang tinggi, melainkan tinggi. Hal itu menunjukkan bahwa kategori persentase penggunaan KA berada di bawah kategori persentase sikap terhadap KA. Sebaliknya, sikap penutur jaba yang positif terhadap KA tidak dibarengi oleh kategori penggunaan KA yang tinggi, melainkan rendah. Pada prinsipnya, hubungan antara sikap dan penggunaan tingkat tutur BB mencerminkan perilaku yang sama dengan hubungan antara komponen sikap bahasa, yakni dari komponen kognitif sampai konatif. Secara umum, sikap terhadap tingkat tutur BB turun bertahap dari komponen kognitif yang berupa kepercayaan, ke komponen afektif yang berupa kesukaan, sampai komponen konatif yang berupa kecenderungan untuk berperilaku. Hal itu berarti bahwa ketika sikap itu menjadi semakin nyata, dari komponen pengetahuan ke 386 kecenderungan berperilaku, penurunan terus terjadi. Sehubungan dengan hal itu, penurunan yang terjadi pada aspek penggunaan tingkat tutur BB secara nyata dapat diramalkan terjadi. Dengan kata lain, perbedaan yang terpola antara sikap dan penggunaan tingkat tutur BB bukannya tidak berkaitan dan sikap terhadap tingkat tutur BB berkontribusi terhadap penggunaan tingkat tutur BB. Selain itu, penggunaan KA sepertinya mulai memperoleh tempat yang lebih baik dibandingkan dengan KK ataupun KB pada penutur BB guyub tutur Kota Singaraja. Hal itu, pertama, berkaitan dengan sikap penutur triwangsa yang sangat positif terhadap KA dan sikap penutur jaba yang positif terhadap KA. Dengan demikian, penyebaran dan pemasyarakatan KA kemungkinan dapat dengan mudah diwujudkan tanpa halangan yang berarti, khususnya dari pihak penutur jaba. Selain itu, faktor kedua yang berkontribusi positif pada sikap terhadap KA dan selanjutnya, pada peningkatan penggunaan KA adalah program “ajeg Bali” yang juga telah berimbas pada penutur guyub tutur Kota Singaraja sebagai bagian dari masyarakat Bali secara umum. Program itu telah berhasil menghidupkan rasa bangga dan setia terhadap Bali serta KA karena KA merupakan bagian terpenting dalam membudayakan masyarakat Bali yang terkenal sopan dan berbudi. Faktor ketiga berkaitan dengan kedatangan para pendatang dari daerah Bali selatan yang cenderung mendukung penggunaan KA. Banyak dari para pendatang itu menduduki profesi menengah ke atas, misalnya sebagai pegawai negeri sipil di kantor pemerintah daerah, dosen, guru, dokter, dan lain-lain, dan memiliki pengaruh yang dapat menimbulkan rasa hormat di masyarakat. Dalam 387 hal ini, para pendatang itu cenderung menggunakan KA secara simetris dan mendorong, khususnya penutur jaba, untuk ikut menggunakan KA secara simetris ketika berbicara dengan mereka. BAB IX SIMPULAN DAN SARAN 9.1 Simpulan Berdasarkan uraian sebelumnya, hasil kajian penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, tingkat tutur BB terwujud karena kehadiran kata-kata BB yang terstratifikasi menurut tingkatan rasa. Hal itu berarti bahwa suatu kata dapat memiliki alternasi atau realisasi kata dalam tingkat tutur yang berbeda. Untuk membentuk suatu kode, kata-kata itu ditata menurut kaidah kookuransi yang terbatas karena kata-kata itu tidak hanya saling membatasi berdasarkan kategori kata, tetapi juga berdasarkan tingkat kata. Dalam hal ini, hasil simak dan cakap semuka menunjukkan bahwa persentase kata terbanyak yang digunakan untuk membentuk kode kasar adalah kata biasa dan diikuti oleh kata serapan bahasa Indonesia; persentase kata terbanyak yang digunakan untuk membentuk kode biasa adalah kata biasa, dan diikuti oleh kata serapan bahasa Indonesia, kata serapan bahasa Inggris, kata alus, dan kata serapan bahasa Sansekerta; persentase kata terbanyak yang digunakan untuk membentuk kode alus adalah kata alus, kata biasa, kata serapan bahasa Indonesia, kata serapan bahasa Sansekerta, dan kata serapan bahasa Inggris. Kedua, tingkat tutur (kode) alus yang paling umum digunakan pada guyub kota Singaraja adalah kode alus madia. Kode itu menggunakan kosakata alus yang lebih sederhana daripada kosakata alus singgih dan alus sor yang kompleks sehingga lebih mudah untuk diingat. Selain itu, jenis kode alus yang lain juga 388 389 muncul dan disebut dengan basa alus metiang-nika, yang sebagian besar tersusun atas kata biasa dan diperhalus oleh kata-kata alus yang umum. Istilah metiangnika digunakan karena kata alus tiang-nika-lah yang paling sering digunakan. Selain dua bentuk kata itu, digunakan juga kata-kata alus yang umum dengan jumlah terbatas, misalnya, TIANG, NIKA, NIKI, KENTEN, NGGIH, SAMPUN, TEN, DURUNG, NAPI, MALIH, MALIH PIDAN, RAHINA, MANGKIN, BENJANG, NGAJENG, MANTUK, SARENG, SIRA, MELANCARAN, NUNAS, DADOS, USAN, dan sebagainya Ketiga, variabel sosial yang paling berkaitan dengan penggunaan tingkat tutur BB adalah wangsa. Secara umum, tingkat tutur BB yang paling dipilih untuk bercakap-cakap oleh penutur triwangsa adalah KA dan KB oleh penutur jaba. Pada triwangsa, variabel yang selanjutnya berperan adalah status pekerjaan, umur, dan kemudian gender; sedangkan, pada jaba adalah gender, umur, dan kemudian pekerjaan. Hubungan antarvariabel sosial itu sesungguhnya bersifat saling menguatkan atau saling melemahkan pada penggunaan kode. Sebagai contoh, kehadiran variabel triwangsa bersama-sama dengan status pekerjaan tinggi, umur tua, dan gender perempuan dapat mempertinggi kemungkinan penggunaan KA dan sebaliknya, mengurangi kemungkinan penggunaan KB. Namun, kehadiran variabel jaba bersama-sama dengan status pekerjaan rendah, umur muda, dan gender pria dapat mengurangi kemungkinan penggunaan KA dan sebaliknya, memperkuat kemungkinan penggunaan KB. 390 Keempat, domain penggunaan bahasa juga berperan bagi penggunaan tingkat tutur BB. Pada penutur triwangsa, penggunaan KA yang sangat tinggi terlihat pada domain keluarga, tetangga, tempat kerja dengan atasan, dan masyarakat dengan mitra tutur triwangsa; penggunaan KA yang tinggi ditunjukkan pada domain tempat kerja dengan rekan kerja sejabatan dan bawahan; dan sebaliknya, penggunaan KA yang cukup tinggi ditunjukkan pada domain masyarakat dengan mitra tutur jaba dan orang yang tidak dikenal. Pada penutur jaba, penggunaan KB yang sangat tinggi terlihat pada domain keluarga, pada tempat kerja dengan rekan kerja sejabatan dan bawahan, dan masyarakat dengan mitra tutur jaba; sebaliknya, penggunaan KB yang tinggi ditunjukkan pada domain tetangga, tempat kerja dengan atasan, dan masyarakat dengan orang tidak dikenal. Kelima, hasil simak dan cakap semuka menunjukkan bahwa tingkat tutur BB yang paling umum digunakan adalah penggunaan KA atau KB secara simetris. Selain itu, percakapan yang terjadi di domain masyarakat dan tempat kerja cenderung diwarnai oleh penggunaan kode yang lebih beragam dengan masuknya BI. Meskipun demikian, penggunaan KB/KA secara simetris tetap lebih mendominasi dibandingkan dengan penggunaan kode-kode yang lain. Keenam, faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur BB dapat dirumuskan sebagai berikut. Faktor yang memengaruhi penggunaan KK secara simetris adalah kehadiran faktor keakraban, kesetaraan usia, dan solidaritas secara bersama-sama; atau faktor pengungkapan kemarahan secara simetris. Faktor yang memengaruhi penggunaan KK secara nonsimetris adalah faktor 391 keakraban menurun dalam kerangka penutur jaba kelas bawah atau faktor kemarahan yang disertai oleh kesenjangan status. Faktor yang memengaruhi penggunaan KB secara simetris adalah faktor jaba, faktor solidaritas interwangsa, Faktor domain, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa pada jaba. Faktor yang memengaruhi penggunaan KB secara nonsimetris (KB-KA) adalah faktor kesenjangan status yang tinggi atau faktor kekuasaan. Sebaliknya, faktor yang memengaruhi penggunaan KA secara simetris adalah faktor kekerabatan pada triwangsa, faktor penghormatan inter-dan antar-wangsa, faktor domain pada penutur triwangsa, faktor latar, faktor topik tutur, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa pada triwangsa. Ketujuh, penggunaan istilah sapaan menunjukkan keragaman menurut wangsa, pekerjaan, umur, dan gender dan berkaitan dengan domain penggunaan bahasa. Pada triwangsa, istilah sapaan di domain keluarga cenderung untuk kental dengan nuansa wangsa dan tradisi. Di keluarga-lah, istilah sapaan triwangsa masih tetap dipertahankan.Tetapi, Istilah sapaan triwangsa itu bergeser menjadi semakin egaliter, ketika domain sapaan berpindah ke domain yang lain, seperti tetangga, masyarakat, dan tempat kerja. Seorang pesapa triwangsa yang sudah menikah atau berumur tua, misalnya, cenderung hanya menerima sapaan pak atau bu dengan tambahan gelar wangsa, nama urut lahir, dan/atau nama diri, seperti di masyarakat atau di tempat kerja. Selain itu, bentuk sapaan pak atau bu itu juga merupakan bentuk sapaan umum bagi pesapa jaba. Kedelapan, kelompok triwangsa dan jaba secara umum menunjukkan sikap yang cenderung netral terhadap KK, sikap yang positif terhadap KB, dan 392 sikap yang sangat positif terhadap KA pada kelompok triwangsa dan positif pada kelompok jaba. Berbeda dengan KB dan KA yang lebih disukai oleh penutur guyub tutur Kota Singaraja, KK kurang disukai oleh penutur tersebut. Hal itu ditunjukkan pada sikap terhadap KK yang cenderung negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa dan hanya pada dimensi kesadaran akan norma penggunaannya-lah, sikap terhadap KK cenderung positif. Selanjutnya, seluruh sikap bahasa, baik terhadap KK, KB, ataupun KA, menunjukkan fenomena penurunan dari komponen kognitif sampai komponen konatif. Hal itu secara umum dikarenakan oleh dua hal, yakni persaingan di antara ketiga kode itu yang menyediakan ragam pilihan penggunaan kode bagi penuturnya; dan kehadiran BI yang dianggap lebih netral, lebih modern, lebih akademis, dan lebih demokratis. Terkait dengan BI, penutur guyub Singaraja menunjukkan perilaku yang konvergensif terhadap setiap ajakan atau undangan untuk bercakap-cakap dengan BI. Walaupun secara kasat mata, sikap dan penggunaan bahasa tidak menunjukkan kategori persentase skor yang sama, sesungguhnya kedua hal itu terhubung erat satu sama lain. Sikap dan penggunaan tingkat tutur BB mencerminkan perilaku yang sama dengan hubungan antarkomponen sikap, yakni kognitif, afektif, dan konatif. Sikap terhadap tingkat tutur BB antarkomponen menunjukkan penurunan ketika sikap itu mendekati kenyataan, dari aspek kognitif yang berupa kepercayaan sampai pada aspek konatif yang berupa kecenderungan untuk berperilaku. Oleh karena itu, penurunan yang terjadi pada aspek penggunaan tingkat tutur BB secara nyata dapat diramalkan untuk terjadi. Dengan 393 kata lain, perbedaan yang terpola antara sikap dan penggunaan tingkat tutur BB bukannya tidak berkaitan, dalam hal ini variasi sikap terhadap tingkat tutur BB berkontribusi terhadap penggunaan tingkat tutur BB. 9.2 Saran Penelitian ini merupakan upaya untuk menggambarkan pola perilaku berbahasa guyub tutur kota Singaraja yang berbasis kajian sosiolinguistik. Oleh karena itu, penelitian ini terbatas pada pengamatan-pengamatan yang berupaya untuk menghubungkan kemunculan variabel bahasa dalam kaitannya dengan variabel sosial. Hal itu berarti kajian-kajian lain yang mendalam masih bisa dilakukan terkait topik dan subjek penelitian ini. Jika suatu kajian yang berbasis antropologi atau linguistik antropologi bisa dilakukan, terutama yang terkait dengan ideologi bahasa, hal itu akan memungkinkan untuk melihat lebih dalam ke struktur batin/pikiran para pelaku bahasa. Jika hasil kajian itu selanjutnya dipadukan dengan hasil kajian ini, suatu pembahasan yang sangat detail dan komprehensif dapat dilakukan. Hal lain yang menarik untuk dikaji terkait dengan guyub tutur Kota Singaraja adalah mengenai penggunaan kode kasar. Penggunaan kode kasar sepertinya tidak berkaitan erat dengan variabel identitas sosial, melainkan dengan variabel sosial yang lainnya. Untuk itu, suatu deskripsi yang mendalam mengenai apa, bagaimana, dan mengapa KK digunakan, sekaligus juga nilai-nilai sosial KK, terkait dengan variabel-variabel sosial yang hadir akan dapat lebih memuaskan keingintahuan kita mengenai fenomena itu. Sebagai tambahan, persepsi penutur 394 guyub tutur BB nonKota Singaraja juga perlu untuk diteliti terkait dengan asalusul munculnya stereotip bahwa penutur guyub tutur Kota Singaraja menggunakan bahasa yang kasar-kasar. Selain itu, kesepakatan bersama mengenai basic code ‘kode dasar’ atau kode inti BB perlu juga dilakukan agar arah-arah kajian tentang tingkat tutur BB menjadi lebih jelas. Sehubungan dengan hal itu, Purwoko (2008a) menjelaskan bahwa kode dasar adalah kode linguistik yang digunakan untuk menyatakan curahan perasaan penuturnya (“bahasa hati”) pada berbagai kesempatan, baik pada saat berpikir, berdoa, berbicara dengan teman akrab, mengungkapkan kekesalan, dan lain-lain. Dalam hal ini, kode yang diacu sebagai kode dasar dalam BJ, misalnya, adalah kode ngoko. 395 DAFTAR PUSTAKA Afful, J.B.A. 2006. Address Terms among University Students in Ghana: a Case Study. Language and Intercultural Communication, 27 (4): 275-289. Allport, G.W.1973. Attitude in the History of Social Psychology. Dalam: Warren, N. dan Jahoda, M., editors. Attitude. New York: Penguin. p. 15-21. Alwasilah, C. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Penerbit Angkasa Bandung. Alwi, H., Dardjowidjojo, S., Lapoliwa, H., dan Moeliono, A. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Anandakusuma, S. R. 1986. Kamus Bahasa Bali: Bali-Indonesia, Indonesia-Bali. Denpasar: CV Kayumas Agung. Antara, I G.P. 2012. Tatanama Orang Bali. Denpasar: Penerbit Buku Arti. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Azwar, S. 2003a. Sikap Manusia: teori dan Pengukurannya. Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. 2003b. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Propinsi Bali. 2006. Tata Basa Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. Bagus, I G.N. 1979. “Perubahan Pemakaian Bentuk Hormat dalam Masyarakat Bali: Sebuah Pendekatan Etnografi Berbahasa”. (Disertasi). Jakarta: Universitas Indonesia. Baker, Colin. 1992. Attitudes and Language. Adelaide: Multilingual Matters Ltd. Baron, R.A. dan Byrne, D. 2002. Psikologi Sosial: Jilid 1. Edisi Kesepuluh. (Djuwita, R. dkk., Pentj). Jakarta: Penerbit Erlangga. Barker, G.C. 1947. Social Function of Language in A Mexican-American Community. Acta Americana 5, 185-202. Bawa, I W. 2002a. Sejarah Perkembangan Bahasa Bali. Denpasar: Universitas Udayana. Bawa, I W. 2002b. Dialek- Dialek Bahasa Bali di Bali: Sebuah Analisis Geografi Dialek. Denpasar: Universitas Udayana. Bell, A.1984. Language Style as Audience Design. Language Society. 13, 145204. Bell, R.T. 1976. Sociolinguistics: Goals, Approaches and Problems. London: B.T. Batsford Ltd. Beratha, N.L.S. 1992. “Evolution of Verbal Morphology in Balinese” (Disertasi). Australia: the Australian National University. 396 Beratha, N.L.S., Tantra, D.K., Artawa, I K., dan Antara, I G.N. 1999. “Buku Pelajaran Bahasa Bali untuk Siswa Sekolah Dasar”. (Laporan Penelitian). Denpasar: Universitas Udayana. Bernstein, B. 1972. Social Class, Language, and Socialization. Dalam: Giglioli, P., editor. Language and Social Context. London: Cox & Wyman Ltd. P. 157-178. Blom, J.P., dan Gumperz, J.J. 1972. Social Meaning in Linguistic Structures: Code-Switching in Norway. Dalam: Gumperz, J.J. dan Hymes, D., editors. Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication. New York: Holt, Rinehart & Winston. p. 407-434. Bonvillain, N. 2003. Language, Culture, and Communication: The Meaning of Messages. Edisi Keempat. New Jersey: Pearson Edducation, Inc. BPS Kabupaten Buleleng. 2010. Kabupaten Buleleng dalam Angka. Buleleng: BPS Kabupaten Buleleng. Braun, F. 1988. Terms of Address: Problems of Patterns and Usage in Various Languages and Cultures. Amsterdam: Mouton de Gruyter. Brown, R. and Gilman, A. (1960). The Pronouns of Power and Solidarity. Dalam: Sebeok, T. A., editor. Style in Language. New York: John Wiley. p. 253276. Brown, R. W. dan Ford, M. 1961. Address in American English. Journal of Abnormal and Social Psychology, 62: 375-385. Bungin, B. 2003. Metode Triangulasi. Dalam: Bungin, B., editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Penguasaan Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. p. 198206. Cahyono, B.Y. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press. Casson, R.W. 1981. Language, Culture and Cognition: Anthropological Perspectives. New York: Macmillan Publishing Co, Inc. Chaer, A. dan Agustina, L. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta Chambers, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. Edisi Kedua. Oxford: Blackwell Publishing Clynes, A. 1994. Old javanese Influence in Balinese: Balinese Speech Style. Dalam: Dutto, T. dan Tyran, D.T., editors. Language Contact and Change in the Austronesian World. Berlin: Mouton de Gruyter. p. 141179. Cole, M. dan Scribner, S. 1974. Culture and Thought: a Psychological Introduction. Canada: John Wiley & Sons, Inc. 397 Coulmas, F. 2005. Sociolinguistics: The Study of Speakers’ Choice. Cambridge: Cambridge University Press Creswell, J.W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson Education, Inc. Creswell, J. W. dan Clark, P.L.V. 2007. Designing and Conducting Mixed Methods Research. Callifornia: Sage Publication, Inc. Crystal, D. 2006. How Language Works. Australia: Penguin Group. Downes, W. 1984. Language and Society. Suffolk: Richard Clay. Culler, J. 1996. Saussure. (Rochayah dan Siti Suhayati, Pentj) Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dawes, R. 1972. Fundamental of Attitude Measurement. New York: John Wiley & Sons, Inc. Diantha, M.P. dan Wisanjaya, I G.P.E. 2010. Kasta: dalam Perspektif Hukum dan HAM. Denpasar: Udayana University Press. Djajasudarma, F. 2006. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Refika Aditama. Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Dwipayana, A.A.G.N.A. 2001. Kelas Kasta: Pergulatan Kelas Menengah Bali. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Eckert, P. dan McConnell-Ginet, S. 2003. Language and Gender. Cambridge: Cambridge University Press. Ervin-Tripp, S.M. 1976. Sociolinguistics. Dalam: Fishman, J.A., editor. Advances in the Sociology of Language, Vol 1. Edisi Kedua. The Hague: Mouton. p.7-91. Faisal, S. 2003.Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian Kualitatif. Dalam: Bungin, B, editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. p. 3-17. Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. New York: Basil Blackwell Inc. Fasold, R. 1990. Sociolinguistics of Language. Cambridge: Basil Blackwell, Inc. Fernandez, I.Y. 1993. “Bahasa Jawa Blora: Kajian Sinkronis, Diakronis, dan Sociolinguistics” (Laporan Penelitian). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. 398 Fishman, J. A. 1972a. The Sociology of Language: An Interdisciplinary approach to Language in Society. Dalam: Fishman, J.A., editor. Advances in the Sociology of Language, Vol 1. Edisi Kedua. The Hague: Mouton. p. 217404. Fishman, J.A. 1972b. The Relationship between Micro-and MacroSociolinguistics in the Study of Who Speaks What Language to Whom and When. Dalam: Pride, J.B. dan Holmes, J., editor. Sociolinguistics. New York: Penguin Books Ltd. p. 15-32. Fishman, J.A.1972c. Sociolinguistics: A Brief Introduction. Rowley: Newbury House Publisher. Foley, W.A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Publisher Ltd. Garvin, P. dan Mathiot, M. 1968. The Urbanization of the Guarani Language:a Problem in Language and Culture. Dalam: Fishman, J.A., editor. Readings in the Sociology of Language. Edisi ke-2. The Hague-Paris Mouton. p. 365-374 Gautama, W.B. 2006. Tata Sukerta Basa Bali. Denpasar: CV Kayumas Agung. Garrett, P. 2010. Attitudes to Language. Cambridge: Cambridge University Press. Geertz, C.1972. Linguistic Etiquette. Dalam: Pride, J.B. dan Holmes, J., editor. Sociolinguistics. New York: Penguin Books Ltd. p. 167-179. Geertz, C. 1973. The Interpretation of Culture: Selected Essays. New York: basic Book, Inc. Geriya, I W. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Surabaya: Penerbit Paramita. Ginarsa, I K., Tinggen I N., dan Narayana, IB U. 1974. Penetapan Salah Satu Dialek untuk Acuan Bahasa Bali Baku. Dalam: Bagus, I G.N., editor. Masalah Pembakuan Bahasa Bali: Hasil Kongres Basa Bali/Pasamuhan Agung Basa Bali yang Diadakan pada Tanggal 28 sd 29 Oktober 1974 untuk Memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-46 di Singaraja. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa. p. 25-35. Goddard, C. 2005. The Languages of East and Southeast Asia. Oxford: Oxford University Press. Goodenough, W. 1964. Cultural anthropology and Linguistics. Dalam: Hymes, D., editor. Language in Culture and society: a reader in linguistic anthropology. New York: Harper & Row. p. 36-39. Goodenough, W. H. 2003. In Persuit of Culture. Annu. Rev. Anthropolog, 32: 112. Goodenough, W.H. 2004. Evolution of Human Capacity for Beliefs. American Anthropologist 92,3: 597-612. 399 Greenfield, L. 1972. Spanish and English Usage Self-Rating in Various Situational Contexts. Dalam: Fishman, J. A., editor. Advances in the Sociology of Language, Vol.2. The Hogue: Mouton & Co. p. 20-34. Gudykunst, W.B. dan Scmidt, K.L. 1987. Language and ethnic Identity: an Overview and Prologue. Journal of Language and Social Psychology, 6: 157-170. Gumperz, J. 1972. The Speech Community. Dalam: Giglioli, P.P., editor. Language and Social Context. London: Cox & Wyman Ltd. p. 219-231. Gumperz, J., editor. 1982. Language and Social Identity. Cambridge: Cambridge University Press. Hardjoprawiro, K. 2000. “Ragam dan Sikap Bahasa Lurah: Penelitian Naturalistik di Kelurahan Karangasem, Kotamadia Surakarta (1997)” (Hasil Penelitian). Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Hobart, A., Urs, R, dan Albert, L. 1996. The Peoples of Bali. USA: Blackwell Publishers, Inc. Holmes, J. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman Publishing. Hudson, R.A. 1982. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Hymes, D. 1974. Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. USA: University of Pennsylvania Press, Inc. Jendra, I W. 2007. Sosiolinguistik: Teori dan Penerapannya. Surabaya: Paramita. Karepun, M.K. 2007. Mengurai Benang Kusut Kasta: Membedah Kiat Pengajegan Kasta di Bali. Denpasar: PT Empat Warna Komunikasi. Katubi. 2010. Sikap Bahasa Penutur Jati Bahasa Lampung. Linguistik Indonesia, 28 (1): 41-45. Keesing, R.M. 1981. Theories of Culture. Dalam: Casson, R.W., editor. Language, Culture, and Cognition. New York: Macmillan Publishing Co., Inc. p. 42-68. Kridalaksana, H. 1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende-Flores: Penerbit Nusa Indah. Kridalaksana, H. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Labov, W. 1972. On the Mechanism of Linguistic Change. Dalam: Gumperz, J.J. dan Hymes, D., editors. Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication. New York: Holt, Rinehart & Winston. p. 512-547. Laksana, I K.D. 2009. Tabu Bahasa: Salah Satu Cara Memahami Kebudayaan Bali. Denpasar: Udayana University Press. Mahsun. 2011. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali Pers. 400 Mahyuni. 2006. Speech Styles and Cultural Consciousness in Sasak Community. Lombok: Yayasan Cerdas. Meyerhoff, M. 2006. Introducing Sociolinguistics. New York: Routledge Milroy, J. 1992. Linguistic Variation and Change. Oxford: Basil Blackwell Ltd Murray, T.R. 2003. Blending Qualitative and Quantitative Research Methods in Theses and Dissertations. California: Corwin Press, Inc. O’Rourke, B. 2011. Galician and Irish in the European Context: Attitudes towards Weak and Strong Minority Languages. London: Palgrave Macmillan Pastika, I W. 2005 Fonologi Bahasa Bali: Suatu Pendekatan Generatif Transformasi. Kuta: Pustaka Larasan. Pelly, U dan Menanti, A. 1994. Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pride, J.B. dan Holmes, J, editors. 1972. Sociolinguistics: Selected Readings. New York: Penguin Books Ltd. Purwoko, H. 2008a. Jawa Ngoko: Ekspresi Komunikasi Arus Bawah. Jakarta: Penerbit Indeks. Purwoko, H. 2008b. Wacana Komunikasi: Etiket dan Norma Wong-Cilik Abangan di Jawa. Jakarta: Penerbit Indeks. Richard, J., Platt, J., dan Weber, H. 1995. Longman Dictionary of Applied Linguistics. Essex: Longman Group Limited. Riduwan. 2010. Metode dan Teknik Menyusun Thesis. Bandung: Alfabeta. Romaine, S. 2000. Language in Society: An Introduction to Sociolinguistics. Edisi Kedua. Oxford: Oxford University Press. Sapir, E.1949. Culture, Language and Personality. California: University of California Press. Sastrodiwiryo, S. 2011. I Gusti Anglurah Panji Sakti: Raja Buleleng 1599-1680. Denpasar: Pustaka Bali Post. Saville-Troike, M. 2003. The Ethnography of Communication: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Scollon, R. dan Scollon, S.W. 2001. Blackwell Publishers Ltd. Intercultural Communication. Oxford: Seken, I K. 2004. “Being Polite in Balinese: An Analysis of Balinese Adat Leaders’ Spoken Discourse” (Disertasi). Malang: Universitas Negeri Malang. Spolsky, B. 2003. Sociolinguistics. Oxford: Oxford University Press. 401 Subroto, E. H.D. Prof. Dr.; Dwiraharjo, M. Prof. Dr. S.U.; dan Setiawan, B. Dr. 2007. “Model Pelestarian dan Pengembangan Kemampuan Berbahasa Jawa Krama di Kalangan Generasi Muda Wilayah Surakarta dan Sekitarnya”. (Laporan Hasil Penelitian). Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Suarjana, I N.P. 2008. Sor-Singgih Basa Bali: Ke-Bali-an Manusia Bali dalam Dharma Papadikan, Pidarta Sambrama Wacana dan Dharma Wacana. Denpasar: Tohpati Grafika Utama. Suastra, I M. 1998. “Speech Levels and Social Change: A Sociolinguistic Study in the Urban Balinese Setting” (Disertasi). Australia: La Trobe University. Sudarso. 2007. Prosedur Penelitian. Dalam: Suyanto, B. dan Sutinah, editors. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana. p. 53-57. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Suhardi, B. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Kelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta. Depok: Fakultas Sastra Indonesia. Suhardi, B. 2009. Pedoman Penelitian Sosiolinguistik. Jakarta: Pusat Bahasa. Sulaga, I.N., Teguh I W., Partami, N.L. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. Suryawan, I N. Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di Bali Utara. Jakarta: Prenada. Suteja, I N. 2007. “Sikap Bahasa Kelompok Mahasiswa Etnis Bali terhadap Pemakaian Bahasa Bali”. (Disertasi). Denpasar: Universitas Udayana. Suwija, I N. 2005. Kamus Anggah-Ungguhing Basa Bali. Denpasar: Sanggar Ayu Suara. Suyanto, B. dan Karnaji. 2007. Penyusunan Instrumen Penelitian. Dalam: Suyanto, B. dan Sutinah, editor. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana. p.59-68. Tanner, N. 1972. Speech and Society among the Indonesian Elite. A Case Study of a Multilingual Community. Dalam: Pride, J.B. dan Holmes, J., editors. Sociolinguistics. New York: Penguin Books Ltd. p. 125-141. Teddli, C. dan Tashakkori, A. 2009. Foundations of Mixed Methods Research: Integrating Quantitative and Qualitative Approaches in the Social and Behavioral Science.California: Sage Publication, Inc. Tim Peneliti Fakultas Sastra Universitas Udayana. 1978/1979. Unda Usuk Bahasa Bali. (Laporan Penelitian). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 402 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Tinggen, I N. 1986. Sor Singgih Basa Bali. Singaraja: Penerbit Rhika Singaraja. Triandis, H.C. 1971. Attitude and Attitude Change. New York: John Wiley & Son, Inc. Vickers, A. 1989. Bali: A Paradise Created. Australia: Penguin Books. Wallace, A. F.C. 1981. Culture and Cognition. Dalam: Casson, R.W., editor. Language, Culture, and Cognition. New York: Macmillan Publishing Co., Inc. p. 69-91. Wardhaugh, R. 1998. An Introduction to Sociolingustics. Edisi Ketiga. Oxford: Blackwell Publisher Ltd. Weber, M.1978. Economy and Society: An Outline of Interpretive Society. California: University of California Press. Whorf, B.L. 1964. Language, Thought and Reality. Cambridge: MIT Press. Wiana, I K. 2006. Memahami Perbedaan Catur Varna, Kasta, dan Wangsa. Surabaya: Penerbit Paramita. Winford, D. 2003. An Introduction to Contact Linguistics. Oxford: Blackwell Publishing. Wingarta, P.S. 2009. Meboya: Kearifan Lokal Buleleng dan Restorasi Nilainya. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Wirawan, I.B. 2007. Unsur-Unsur Penelitian Survey. Dalam: Suyanto, B. dan Sutinah, editors. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana. p. 41-52. Witterman, E.P. 1967. Indonesian Terms of Address in A Situation of Rapid Social Change. Social Force, 46 (1): 48-5. Wolfram, W. dan Fasold, R.W. 1974. The Study of Social Dialects in American English. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Zahn, C.J. dan Hopper, R. 1985. Measuring Language Attitudes: The Speech Evaluation Instrument. Journal of Language and Social Psychology, Vol. 4 (2): 113-123. 403 LAMPIRAN 1: PETA PENELITIAN Lokasi Penelitian 404 LAMPIRAN 2: ANGKET BAHASA ANGKET BAHASA I. IDENTITAS RESPONDEN ISILAH INFORMASI BERIKUT MENGENAI IDENTITAS BAPAK/IBU/ SAUDARA DENGAN SELENGKAP-LENGKAPNYA! NO IDENTITAS PRIBADI 1. NAMA : ______________________________ 2. TEMPAT/TANGGAL LAHIR : ______________________________ 3. DAERAH ASAL : ______________________________ 4. ETNIS : ______________________________ 5. UMUR : ______________________________ 6. ALAMAT : ______________________________ 7. PENDIDIKAN TERAKHIR : ______________________________ 8. PEKERJAAN/ JABATAN : ______________________________ 9. ALAMAT KANTOR (jika ada) : ______________________________ 10. Bagaimanakah frekuensi anda ke luar kota : ☐ Tidak pernah ☐ Sangat jarang ☐ Jarang ☐ Sering ☐ Sangat sering 11. Apakah anda bisa berbahasa Bali Alus dengan baik? : ☐ Ya ☐ Tidak 12. Apakah anda bisa berbahasa Bali Biasa dengan baik? : ☐ Ya ☐ Tidak 13. Apakah anda bisa berbahasa bali Kasar dengan baik? : ☐ Ya ☐ Tidak 14. Selain bahasa Bali, bahasa apalagi yang anda kuasai? : 405 II. PENGGUNAAN BAHASA BAHASA BALI Silangilah (X) respon yang sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu/Saudara pada pernyataan berikut! Keterangan: 1. Bahasa: BA = Basa Alus BB = Basa Biasa BK = Basa kasar BL = Bahasa lain BI = Bahasa Indonesia 2. Pekerjaan: Pekerjaan A, terdiri atas manajer, pengusaha, direktur, rektor, kepala biro, dekan, dokter dan kepala bagian. Pekerjaan B, terdiri atas staf PNS biasa (pegawai pemda, guru, satpam), pegawai hotel, dan pemilik toko. Pekerjaan C, terdiri atas supir, buruh, petani, pedagang kecil-kecilan, tenaga serabutan, dan penjaga malam (A) Di rumah, bahasa yang saya gunakan untuk bercakap-cakap dengan …. 001. Kakek 002. Nenek 003. Ayah 004. Ibu 005. Paman 006. Bibi 007. sepupu laki-laki 008. sepupu perempuan 009. kakak laki-laki 010. kakak perempuan 011. adik laki-laki 012. adik perempuan 013. anak laki-laki 014. anak perempuan (B) Di sekitar rumah, bahasa yang biasa saya gunakan untuk bercakap-cakap dengan tetangga …. 015. laki-laki, tri wangsa, dan lebih tua 016. laki-laki, tri wangsa, dan sebaya 017. laki-laki, tri wangsa, dan lebih muda 018. laki-laki, jaba, dan lebih tua [BA] [BB] [BK] [BI] [BL] ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ [BA] [BB] [BK] [BI] [BL] ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ 406 019. 020. 021. 022. 023. 024. 025. 026. laki-laki, jaba, dan sebaya laki-laki, jaba, dan lebih muda perempuan, tri wangsa, dan lebih tua perempuan, tri wangsa, dan sebaya perempuan, tri wangsa, dan lebih muda perempuan, jaba, dan lebih tua perempuan, jaba, dan sebaya perempuan, jaba, dan lebih muda (C) Di tempat kerja, bahasa yang saya gunakan untuk bercakap-cakap dengan atasan …. 027. laki-laki, tri wangsa, dan lebih tua 028. laki-laki, tri wangsa, dan sebaya 029. laki-laki, tri wangsa, dan lebih muda 030. laki-laki, jaba, dan lebih tua 031. laki-laki, jaba, dan sebaya 032. laki-laki, jaba, dan lebih muda 033. perempuan, tri wangsa, dan lebih tua 034. perempuan, tri wangsa, dan sebaya 035. perempuan, tri wangsa, dan lebih muda 036. perempuan, jaba, dan lebih tua 037. perempuan, jaba, dan sebaya 038. perempuan, jaba, dan lebih muda (D) Di tempat kerja, bahasa yang saya gunakan untuk bercakap-cakap dengan rekan kerja sejabatan …. 039. laki-laki, tri wangsa, dan lebih tua 040. laki-laki, tri wangsa, dan sebaya 041. laki-laki, tri wangsa, dan lebih muda 042. laki-laki, jaba, dan lebih tua 043. laki-laki, jaba, dan sebaya 044. laki-laki, jaba, dan lebih muda 045. perempuan, tri wangsa, dan lebih tua 046. perempuan, tri wangsa, dan sebaya 047. perempuan, tri wangsa, dan lebih muda 048. perempuan, jaba, dan lebih tua 049. perempuan, jaba, dan sebaya 050. perempuan, jaba, dan lebih muda ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ [BA] [BB] [BK] [BI] [BL] ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ [BA] [BB] [BK] [BI] [BL] ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ 407 (E) Di tempat kerja, bahasa yang saya gunakan untuk bercakap-cakap dengan rekan kerja berjabatan lebih rendah …. 051. laki-laki, tri wangsa, dan lebih tua 052. laki-laki, tri wangsa, dan sebaya 053. laki-laki, tri wangsa, dan lebih muda 054. laki-laki, jaba, dan lebih tua 055. laki-laki, jaba, dan sebaya 056. laki-laki, jaba, dan lebih muda 057. perempuan, tri wangsa, dan lebih tua 058. perempuan, tri wangsa, dan sebaya 059. perempuan, tri wangsa, dan lebih muda 060. perempuan, jaba, dan lebih tua 061. perempuan, jaba, dan sebaya 062. perempuan, jaba, dan lebih muda (F) Dalam pertemanan di masyarakat, bahasa yang saya gunakan untuk bercakap-cakap dengan peserta tutur tri wangsa ... 063. laki-laki, lebih tua, dan pekerjaan A 064. laki-laki, sebaya, dan pekerjaan A 065. laki-laki, lebih muda, dan pekerjaan A 066. laki-laki, lebih tua, dan pekerjaan B 067. laki-laki, sebaya, dan pekerjaan B 068. laki-laki, lebih muda, dan pekerjaan B 069. laki-laki, lebih tua, dan pekerjaan C 070. laki-laki, sebaya, dan pekerjaan C 071. laki-laki, lebih muda, dan pekerjaan C 072. perempuan, lebih tua, dan pekerjaan A 073. perempuan, sebaya, dan pekerjaan A 074. perempuan, lebih muda, dan pekerjaan A 075. perempuan, lebih tua, dan pekerjaan B 076. perempuan, sebaya, dan pekerjaan B 077. perempuan, lebih muda, dan pekerjaan B 078. perempuan, lebih tua, dan pekerjaan C 079. perempuan, sebaya, dan pekerjaan C 080 perempuan, lebih muda, dan pekerjaan C (G) Dalam pertemanan di masyarakat, bahasa yang saya gunakan untuk bercakap-cakap dengan peserta tutur jaba ….. 081. laki-laki, lebih tua, dan pekerjaan A [BA] [BB] [BK] [BI] [BL] ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ [BA] [BB] [BK] [BI] [BL] ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ [BA] [BB] [BK] [BI] [BL] ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ 408 082. 083. 084. 085. 086. 087. 088. 089. 090. 091. 092. 093. 094. 095. 096. 097. 098. laki-laki, sebaya, dan pekerjaan A laki-laki, lebih muda, dan pekerjaan A laki-laki, lebih tua, dan pekerjaan B laki-laki, sebaya, dan pekerjaan B laki-laki, lebih muda, dan pekerjaan B laki-laki, lebih tua, dan pekerjaan C laki-laki, sebaya, dan pekerjaan C laki-laki, lebih muda, dan pekerjaan C perempuan, lebih tua, dan pekerjaan A perempuan, sebaya, dan pekerjaan A perempuan, lebih muda, dan pekerjaan A perempuan, lebih tua, dan pekerjaan B perempuan, sebaya, dan pekerjaan B perempuan, lebih muda, dan pekerjaan B perempuan, lebih tua, dan pekerjaan C perempuan, sebaya, dan pekerjaan C perempuan, lebih muda, dan pekerjaan C (H) Bahasa yang saya gunakan untuk bercakap-cakap dengan orang yang tidak dikenal…. 099. laki-laki, lebih tua, dan sepertinya berpekerjaan A 100. laki-laki, lebih tua, dan sepertinya berpekerjaan B 101. laki-laki, lebih tua, dan sepertinya berpekerjaan C 102. laki-laki, sebaya, dan sepertinya berpekerjaan A 103. laki-laki, sebaya, dan sepertinya berpekerjaan B 104. laki-laki, sebaya, dan sepertinya berpekerjaan C 105. laki-laki, lebih muda, dan sepertinya berpekerjaan A 106. laki-laki, lebih muda, dan sepertinya berpekerjaan B 107. laki-laki, lebih muda, dan sepertinya berpekerjaan C 108. perempuan, lebih tua, dan sepertinya berpekerjaan A 109. perempuan, lebih tua, dan sepertinya berpekerjaan B ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ [BA] [BB] [BK] [BI] [BL] ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ 409 110. perempuan, lebih tua, dan sepertinya berpekerjaan C 111. perempuan, sebaya, dan sepertinya berpekerjaan A 112. perempuan, sebaya, dan sepertinya berpekerjaan B 113. perempuan, sebaya, dan sepertinya berpekerjaan C 114. perempuan, lebih muda, dan sepertinya berpekerjaan A 115. perempuan, lebih muda, dan sepertinya berpekerjaan B 116. perempuan, lebih muda, dan sepertinya berpekerjaan C III. SIKAP BAHASA (A) Saya percaya bahwa .… 01. BA suatu hari akan punah 02. BB suatu hari akan punah 03. BK suatu hari akan punah 04. BA merupakan ciri orang Bali 05. BB merupakan ciri orang Bali 06. BK merupakan ciri orang Bali 07. Orang Bali tidak harus bisa BA 08. Orang Bali tidak harus bisa BB 09. Orang Bali tidak harus bisa BK 10. Setiap orang Bali tidak perlu menggunakan BA dalam komunikasi sehari-hari 11. Setiap orang Bali tidak perlu menggunakan BB dalam komunikasi sehari-hari 12. Setiap orang Bali tidak perlu menggunakan BK dalam komunikasi sehari-hari 13. Penggunaan BA sebaiknya dicampur dengan bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia) untuk memberi kesan modern 14. Penggunaan BB sebaiknya dicampur dengan bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia) untuk memberi kesan modern 15. Penggunaan BK sebaiknya dicampur dengan bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia) untuk memberi kesan modern 16. Pembinaan BA tidak perlu dilakukan 17. Pembinaan BB tidak perlu dilakukan 18. Pembinaan BK tidak perlu dilakukan ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ [STS] [TS] [N] [S] [SS] ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ 410 19. BA perlu diberikan tempat di media elektronik dan media cetak, seperti: televisi, radio, internet, surat kabar dan majalah 20. BB perlu diberikan tempat di media elektronik dan media cetak, seperti: televisi, radio, internet, surat kabar dan majalah 21. BK perlu diberikan tempat di media elektronik dan media cetak, seperti: televisi, radio, internet, surat kabar dan majalah 22. BA seharusnya digunakan di antara sesama tri wangsa 23. BA seharusnya digunakan oleh seorang jaba untuk berbicara (atau berbicara tentang) seorang tri wangsa 24. BA seharusnya digunakan untuk berbicara dengan atasan 25. BB seharusnya digunakan oleh sesama jaba 26. BB seharusnya digunakan oleh seorang tri wangsa untuk berbicara dengan seorang jaba 27. BB seharusnya digunakan oleh atasan kepada bawahan 28. BB seharusnya digunakan oleh sesama bawahan 29. BK seharusnya digunakan untuk berbicara dengan binatang 30. BK seharusnya digunakan pada saat marah (B) Dibandingkan basa Biasa (BB) dan basa Kasar (BK), saya rasa basa Alus (BA) .… 31. lebih enak didengar 32. terkesan feudal 33. terkesan ketinggalan zaman 34. terkesan santun 35. terkesan lebih modern jika dicampurkan dengan bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia) di dalam penggunaannya 36. tidak perlu digunakan untuk menunjukkan rasa hormat 37. perlu dihindari penggunaannya dalam interaksi sehari-hari 38. terasa tidak pantas digunakan oleh jaba kepada tri wangsa 39. terasa tidak pantas digunakan di antara ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ [STS] [TS] [N] [S] [SS] ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ 411 sesama tri wangsa 40. terasa tidak pantas digunakan untuk berbicara atasan 41. terasa tidak pantas digunakan untuk berbicara dengan orang yang tidak dikenal C) Dibandingkan basa Alus (BA) dan basa Kasar (BK), saya rasa basa Biasa (BB) …. 42. terkesan netral di dengar 43. terkesan mengedepankan keakraban 44. nyaman digunakan dalam pergaulan seharihari 45. terkesan lebih modern jika dicampurkan dengan bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia) di dalam penggunaannya 46. terasa pantas digunakan oleh seorang jaba kepada tri wangsa 47. terasa pantas digunakan di dalam pergaulan sesama jaba 48. terasa pantas digunakan oleh sesama bawahan (D) Dibandingkan basa Alus (BA) dan basa Biasa (BB), saya rasa basa Kasar (BK) …. 49. terkesan enak didengar 50. menimbulkan kesan sopan 51. menimbulkan kesan berwibawa 52. terkesan lebih modern jika dicampurkan dengan bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia) dalam penggunaannya 53. sebaiknya dilarang penggunaannya pada percakapan sehari-hari 54. terasa pantas digunakan untuk untuk bercakap-cakap dengan triwangsa 55. terasa pantas digunakan pada saat marah 56. terasa pantas digunakan di antara sesama jaba 57. terasa pantas digunakan untuk menyapa hewan (E) Saya cenderung untuk sebisa-bisanya …… 58. menggunakan BA dalam pergaulan seharihari ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ [STS] [TS] [N] [S] [SS] ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ [STS] [TS] [N] [S] [SS] ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ [STS] [TS] [N] [S] [SS] ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ 412 59. menggunakan BB dalam pergaulan seharihari 60. menggunakan BK dalam pergaulan seharihari 61. menggunakan BA untuk menyapa seorang triwangsa 62. menggunakan BA untuk menyapa atasan 63. menggunakan BB untuk menyapa seorang jabawangsa 64. menggunakan BB pada sesama bawahan 65. menggunakan BK untuk menyapa hewan 66. menggunakan BK pada saat marah 67. mencampurkan BA dengan bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia) 68. mencampurkan BB dengan bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia) 69. mencampurkan BK dengan bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia) (F) Jika saya orang yang berwenang, saya cenderung untuk sebisa-bisanya …. 70. memasyarakatkan penggunaan BA di luar ranah resmi di Bali 71. memasyarakatkan penggunaan BB di luar ranah resmi di Bali 72. memasyarakatkan penggunaan BK di luar ranah resmi di Bali 73. mengintensifkan pembinaan BA baik secara formal maupun informal 74. mengintensifkan pembinaan BB baik secara formal maupun informal 75. mengintensifkan pembinaan BK baik secara formal maupun informal 76. menegur orang yang tidak menggunakan BA pada tempatnya 77. menegur orang yang tidak menggunakan BB pada tempatnya 78. menegur orang yang tidak menggunakan BK pada tempatnya ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ [STS] [TS] [N] [S] [SS] ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ ☐ 413 LAMPIRAN 3: HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN TUTUR BAHASA BALI DENGAN WANGSA, PEKERJAAN, UMUR, DAN GENDER 3.1 Wangsa 3.1.1 Triwangsa DOMAIN A B C D E F G H Rerata Kategori TRIWANGSA KK KB KA BI BL 0 0 96,3 3,7 0 0 9,7 90,3 0 0 0 16,4 80,5 3,1 0 0 27,2 72,5 0,3 0 0 31,4 68,6 0 0 0 0 100 0 0 0 45,7 54,3 0 0 0 39,7 53,5 6,8 0 0 22,0 76,1 1,9 0 Sangat Rendah Tinggi Sangat Sangat rendah rendah rendah 3.1.2 Jaba DOMAIN A B C D E F G H Rerata Kategori KK 1,5 2,4 0 0 0 0 0,7 0 0,5 Sangat rendah KB 94,6 65,7 64,0 84,4 92,3 61,4 95,8 72,2 77,9 Tinggi JABA KA 0 31,9 32,5 15,6 7,7 38,6 3,5 23,7 20,1 Sangat rendah TINGKAT BI 3,9 0 3,5 0 0 0 0 4,0 1,5 Sangat rendah BL 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Sangat rendah 414 3.2 Status Pekerjaan 3.2.1 Triwangsa 3.2.1.1 Kelas atas NO Triwangsa-Kelas Atas 1 2 3 4 TADL TADP TAML TAMP Rerata Kategori KK KB KA BI BL 0 0 0 0 0 Sangat rendah 24 7 20,3 13,1 16,6 76 93 74,3 77,4 80,6 Sangat tinggi 0 0 5,5 9,5 2,9 Sangat rendah 0 0 0 0 0 Sangat rendah rendah 3.2.1.2 Kelas menengah NO 1 2 3 4 Triwangsa - Kelas Menengah TBDL TBDP TBML TBMP Rerata Kategori KK KB KA BI BL 0 0 0 0 0 21,8 8,5 35,6 22,7 22,2 78,2 91,5 63,7 72,7 76,5 0,0 0,0 0,6 4,6 1,3 0 0 0 0 0 Sangat rendah rendah tinggi Sangat rendah Sangat rendah KK KB KA BI BL 0 0 0 0 0 34,4 12,7 32,6 22,1 25,5 65,6 87,3 66,4 71,4 72,7 0,0 0,0 1,0 6,6 1,9 0 0 0 0 0 Sangat rendah rendah tinggi Sangat rendah Sangat rendah 3.2.1.3 Kelas bawah NO 1 2 3 4 Triwangsa-Kelas Bawah TCDL TCDP TCML TCMP Rerata Kategori 415 3.2.2 Jaba 3.2.2.1 Kelas atas KK KB KA BI BL JADL JADP JAML JAMP Rerata 0 0 0 0 0 81,6 61,4 86,2 70,7 75,2 18,4 37,7 13,1 21,3 23,2 0 0,9 0,7 8,0 1,6 0 0 0 0 0 Kategori Sangat rendah tinggi rendah Sangat rendah Sangat rendah KK KB KA BI BL 0 0 0 0 0 88,8 69,4 87,6 73,9 79,9 11,2 30,1 11,5 22,9 18,9 0 0,5 0,9 3,2 1,1 0 0 0 0 0 Sangat rendah tinggi rendah Sangat rendah Sangat rendah NO Jaba-Kelas Atas 1 2 3 4 3.2.2.2 Kelas Menengah NO 1 2 3 4 Jaba - Kelas Menengah JBDL JBDP JBML JBMP Rerata Kategori 3.2.2.2 Kelas Bawah NO Jaba-Kelas Bawah KK KB KA BI BL 1 2 3 4 TCDL TCDP TCML TCMP Rerata 2,0 0 2,0 0,6 1,1 77,7 60,4 78,3 70,9 71,9 20,3 39,6 18,6 22,4 25,2 0 0 1,0 6,1 1,8 0 0 0 0 0 Kategori Sangat rendah tinggi rendah Sangat rendah Sangat rendah 416 3.3 Umur 3.3.1 Triwangsa 3.3.1.1 Dewasa (Tua) NO 1 2 3 4 5 6 Triwangsa-Dewasa TADL TADP TBDL TBDP TCDL TCDP Rerata KK 0 0 0 0 0 0 0 KB 24,0 7,0 21,8 8,5 34,4 12,7 18,3 KA 76,0 93,0 78,2 91,5 65,6 87,3 81,7 BI 0 0 0 0 0 0 0 BL 0 0 0 0 0 0 0 Kategori Sangat rendah Sangat rendah Sangat tinggi Sangat rendah Sangat rendah Triwangsa-Muda TAML TAMP TBML TBMP TCDL TCDP Rerata KK 0 0 0 0 0 0 0 KB 20,3 13,1 35,6 22,7 32,6 22,1 26,1 KA 74,3 77,4 63,7 72,7 66,4 71,4 69,9 BI 5,5 9,5 0,6 4,6 1 6,6 4 BL 0 0 0 0 0 0 0 Kategori Sangat rendah rendah tinggi Sangat rendah Sangat rendah Jaba-Dewasa JADL JADP JBDL JBDP JCDL JCDP Rerata KK 0 0 0 0 2 0 0,4 KB 81,6 61,4 88,8 69,4 77,7 60,4 73,9 KA 18,4 37,7 11,2 30,1 20,3 39,6 25,5 BI 0,0 0,9 0,0 0,5 0,0 0,0 0,2 BL 0 0 0 0 0 0 0 Kategori Sangat rendah tinggi rendah Sangat rendah Sangat rendah 3.3.1.2 Muda NO 1 2 3 4 5 6 3.3.2 Jaba 5.3.2.1 Dewasa (Tua) NO 1 2 3 4 5 6 417 3.3.2.2 Muda NO 1 2 3 4 5 6 Jaba-Muda JAML JAMP JBML JBMP JCDL JCDP Rerata KK 0 0 0 0 2 0,6 0,5 KB 86,2 70,7 87,6 73,9 78,3 70,9 78,2 KA 13,1 21,3 11,5 22,9 18,6 22,4 18,4 BI 0,7 8,0 0,9 3,2 1,0 6,1 2,9 BL 0 0 0 0 0 0 0 Kategori Sangat rendah tinggi Sangat rendah Sangat rendah Sangat rendah 3.4 Gender 3.4.1 Triwangsa 3.4.1.1 Pria NO 1 2 3 4 5 6 Triwangsa-Pria TADL TAML TBDL TBML TCDL TCML Rerata KK 0 0 0 0 0 0 0 KB 24,0 20,3 21,8 35,6 34,4 32,6 28,8 KA 76,0 74,3 78,2 63,7 65,6 66,4 70,3 BI 0 5,5 0 0,6 0 1 0,8 BL 0 0 0 0 0 0 0 Kategori Sangat rendah rendah tinggi Sangat rendah Sangat rendah 3.4.1.2 Perempuan NO TriwangsaPerempuan KK KB KA BI BL 1 2 3 TADP TAMP TBDP 0 0 0 7,0 13,1 8,5 93,0 77,4 91,5 0 9,5 0 0 0 0 4 5 TBMP TCDP 0 0 22,7 12,7 72,7 87,3 4,6 0 0 0 6 TCMP Rerata 0 0 Sangat rendah 22,1 14,9 Sangat rendah 71,4 82,1 Sangat tinggi 6,6 3,0 Sangat rendah 0 0 Sangat rendah Kategori 418 3.4.2 Jaba 3.4.2.1 Pria NO 1 2 3 4 5 6 Jaba-Pria JADL JAML JBDL JBML JCDL JCML Rerata KK 0 0 0 0 2,0 2,0 0,7 KB 81,6 86,2 88,8 87,6 77,7 78,3 83,4 KA 18,4 13,1 11,2 11,5 20,3 18,6 15,5 BI 0 0,7 0 0,9 0 1,0 0,4 BL 0 0 0 0 0 0 0 Kategori Sangat rendah Sangat tinggi Sangat rendah Sangat rendah Sangat rendah 3.4.2.2 Perempuan NO Jaba-Perempuan KK KB KA BI BL 1 2 3 4 5 6 JADP JAMP JBDP JBMP JCDP JCMP Rerata 0 0 0 0 0 0,6 0,1 61,4 70,7 69,4 73,9 60,4 70,9 68,0 37,7 21,3 30,1 22,9 39,6 22,4 29,3 0,9 8,0 0,5 3,2 0 6,1 2,6 0 0 0 0 0 0 0 Kategori Sangat rendah tinggi rendah Sangat rendah Sangat rendah 419 LAMPIRAN 4: PERBANDINGAN ANTARA SIKAP DAN PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA BALI NO Kelompok Penutur 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 TADL TADP TAML TAMP TBDL TBDP TBML TBMP TCDL TCDP TCML TCMP Rerata triwangsa JADL JADP JAML JAMP JBDL JBDP JBML JBMP JCDL JCDP JCML JCMP Rerata jabawangsa Rerata 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Sikap Bahasa KK KB KA 47,8 63,5 82,1 45,5 60,7 82,6 45,4 58,2 80,8 39,1 57,9 82,1 45,5 66,3 83,4 42,5 63,9 85,5 41 61,7 82,6 42,2 59,8 83,6 44,1 67,4 82,4 41,9 66,1 83,6 43,8 64,3 78,7 42,1 64,6 79,1 43,4 63,4 82,3 45,2 75,5 77,3 41,8 75,2 76,1 47,6 73,9 72,9 46,6 72,6 72,5 49,1 75,2 74,4 45,3 74,5 78,8 50,5 72,6 71,1 44,8 70,1 71,3 55,3 78,9 73,8 51,6 76,9 72,6 54,5 78,6 69,7 49,3 73,5 69,8 52,5 72 71,3 47,8 67,7 76,9 Penggunaan Bahasa KK KB KA 0 24 76 0 7 93 0 20,3 74,3 0 13,1 77,4 0 21,8 78,2 0 8,5 91,5 0 35,6 63,7 0 22,7 72,7 0 34,4 65,6 0 12,7 87,3 0 32,6 66,4 0 22,1 71,4 0 21,9 76,1 0 81,6 18,4 0 61,4 37,7 0 86,2 13,1 0 70,7 21,3 0 88,8 11,2 0 69,4 30,1 0 87,6 11,5 0 73,9 22,9 2 77,7 20,3 0 60,4 39,6 2 78,3 18,6 0,6 70,9 22,4 0,4 75,9 22,2 0,2 48,5 49,6 420 LAMPIRAN 5: BUTIR DAN SIFAT PERNYATAAN PADA ANGKET SIKAP BAHASA Butir Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 Sifat Pernyataan Negatif Negatif Negatif Positif Positif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Butir Pernyataan 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 Sifat Pernyataan Negatif Negatif Positif Positif Positif Negatif Negatif Positif Positif Positif Positif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif 421 LAMPIRAN 6: SAMPEL TRANSKRIP PERCAKAPAN Situasi: Percakapan terjadi di rumah keluarga triwangsa di pagi hari antara AGBM, dan AGST yang mana mereka bergelar Anak Agung. AGBM bekerja sebagai PNS di kantor Pemerintah Daerah, sedangkan AGST bekerja sebagai guru les yang juga sedang menyelesaikan S2 di sebuah universitas di Singaraja. Keduanya adalah pria, dan memiliki umur yang berkategori muda. (1): AGBM JUNG, AMBILANG DUMUN TU beli kertas nyang dadua? Cepetin NGGIH. (2): AGST JUNG males TU Bli, nu ngecek laptope, uli tuni TEN ngidaang idup. TU bli je ngambil pedidi, kenken ja? (3): AGBM Aduh, kejep gen, soalne tugas kantore numpuk gati. Kejep MANTEN pang encol pragat NIKI. Nyanan, ajake melali pesu ke pelabuhan. (4): AGST Bih, NGGIH ANTOSANG kejep MANGKIN keambilang, cukup dadua MANTEN? sing liu nyanan perlu? TU Bli kan biasa keto. (5): AGBM Beh, JUNG lamun NIKA gen tersinggung. Ibi NIKA sajaan ngengsap gati TU Bli ngorain MAKTAANG flashdise. JUNG bolak balik dadine, tapi, upahne kan SAMPUN gede gati he. (6): AGST Apa? Kuang NIKA TU Bli, tambah nake buin. Mani kan malam minggu, JUNG telah gati gajihe KANGGEN meli ban motore minggu lalu. (7): AGBM NGGIH, tapi KANGGEANG krecek-krecekan gen NGGIH he. (8): AGST Beh, TEN nyak TU Bli, NIKI kertasne. NAPI MALIH? (9): AGBM Untuk sementara cukup dan tunggu instruksi lebih lanjut. (10): AGST Instruksi apa? Instruksi puyung? He. 422 LAMPIRAN 7: SURAT IZIN PENELITIAN