Penggunaan Bahasa Bali pada Guyub Tutur Bahasa Bali

advertisement
DISERTASI
PENGGUNAAN BAHASA BALI
PADA GUYUB TUTUR BAHASA BALI
KOTA SINGARAJA
DEWA PUTU RAMENDRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
DISERTASI
PENGGUNAAN BAHASA BALI
PADA GUYUB TUTUR BAHASA BALI
KOTA SINGARAJA
DEWA PUTU RAMENDRA
NIM 0790171006
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
PENGGUNAAN BAHASA BALI
PADA GUYUB TUTUR BAHASA BALI
KOTA SINGARAJA
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor
pada Program Doktor, Program Studi Linguistik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
DEWA PUTU RAMENDRA
NIM 0790171006
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
Lembar Pengesahan
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 8 APRIL 2015
iii
Disertasi ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup
Tanggal 16 Januari 2015
Panitia Penguji Disertasi
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor: 138/UN.14.4/HK/2015
Tanggal: 7 Januari 2015
Ketua: Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A.
Anggota:
1. Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D.
2. Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A.
3. Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A.
4. Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U.
5. Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum.
6. Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S.
7. Dr. Anak Agung Putu Putra, M.Hum.
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama
: Dewa Putu Ramendra
NIM
: 0790171006
Program Studi
: Doktor Linguistik
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun
2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi Wasa
karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, disertasi ini pada akhirnya dapat
diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D.,
selaku promotor yang telah dengan penuh kesabaran dan keramahan mengarahkan
dan membimbing penulis dari penyusunan proposal hingga selesainya disertasi
ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya, juga penulis
sampaikan kepada Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., selaku kopromotor I, dan Prof.
Dr. Putu Niti Kertiasih, M.A., selaku Kopromotor II, yang telah dengan penuh
kesabaran dan keramahan memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan
koreksi atas penyelesaian disertasi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas
Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD., dan Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S (K),
Asisten Direktur I, Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II, Prof.
Made Sudiana Mahendra, Ph.D. atas kesempatan yang diberikan kepada penulis
untuk menjadi mahasiswa Program Doktor pada Program Pascasarjana
Universitas Udayana. Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan pula
kepada Prof. Dr. Aron Meko Mbete dan Dr. A.A Putu Putra, M.Hum., selaku
Ketua dan Sekretaris Program Doktor Linguistik, Program Pascasarjana
vi
Universitas Udayana, yang telah banyak memberikan arahan, masukan, dan
dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti pendidikan ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Rektor beserta
Pembantu Rektor Universitas Pendidikan Ganesha, Dekan Fakultas Bahasa dan
Seni, Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, serta rekan-rekan
dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris atas segala dukungan selama penulis
mengikuti pendidikan ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan pula kepada tim
penguji disertasi ini, yakni Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D.; Prof. Dr. Made
Budiarsa, M.A.; Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A.; Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana,
S.U.; Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A.; Prof. Dr. I Ketut Darma
Laksana, M.Hum.; Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S.; dan Dr. A.A. Putu Putra,
M.Hum., atas berbagai saran, koreksi, sanggahan, dan kritik yang konstruktif
demi kelayakan disertasi ini.
Pada kesempatan yang baik ini, penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang tinggi kepada staf pengajar pada Program Doktor Linguistik
Universitas Udayana, yakni Prof. Dr. Aron Meko Mbete; Prof. Drs. I Made
Suastra, Ph.D.; Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A.; Prof. Drs. Ketut Artawa, M.A.;
Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U.; Prof. Dr. I.G.M Sutjaja, M.A.; Prof. Dr. N.L.
Sutjiati Beratha, M.A.; Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A.; Ph.D, Prof.
Dr. I Wayan Pastika, M.S.; Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A.; Prof. Dr. I Nengah
Sudipa, M.A.; Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum.; dan Dr. Ni Made
vii
Dhanawaty, M.S. yang telah banyak memperluas wawasan penulis pada setiap
perkuliahan tentang linguistik.
Penulis menyampaikan terima kasih pula kepada para senior dan rekanrekan di Program Doktor Linguistik Universitas Udayana, khususnya Dr. Agus
Subiyanto, M.A., Dra. Ni Nyoman Sarmi, M.Hum., Drs. I Gusti Ketut Alit
Saputra, M.Hum., Drs. I Nyoman Mulyana, M.Hum., Dr. Frans I Made Brata,
M.Hum., Dr. Putu Sutama, M.Hum., Dr. Ni Made Setyawati, M.Hum., Dr. Seri
Malini, M.Hum., Dr. Ni Mas Indrawati, M.Hum., Dr. Ni Made Suryati, M.Hum.,
Dr. Sukarini, M.Hum., Dr. Majid Wadji, M.Pd., Dra. Luh
Putu Laksminy,
M.Hum., Drs. Mulyono, M.Hum., Drs. Jekmen Sinulingga, M.Hum., Maryanti
Etni Mokoagouw, S.S, M.Ed., Wawan Marhanjono Mustamar, S.S, M.Hum., Dr. I
Ketut Yudha, M.Hum. (alm), Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum., Dr. Iwan
Indrawan, M.Hum., dan seluruh rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu per
satu atas segala bantuan, saran, diskusi, dan dorongan semangat yang telah
diberikan, baik ketika menempuh perkuliahan maupun dalam penyusunan
disertasi ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pegawai/staf Program Studi
Doktor Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana, yakni Nyoman
Sadra, S.S., I Gusti Ayu Supadmini, I Ketut Ebuh, S.Sos., Nyoman Adi Triani,
S.E., Ida Bagus Suanda, S.Sos., Ni Nyoman Sukartini, dan Ni Nyoman Sumerti
atas berbagai dukungan administratif dan keramahan yang telah diberikan selama
penulis mengikuti pendidikan ini.
viii
Ucapan terima kasih yang mendalam dan tulus, penulis sampaikan kepada
ayah dan ibu kandung penulis serta ayah dan ibu mertua yang telah banyak
memberikan dukungan; isteri tercinta, Ni Putu Pramita Utami,S.Pd, yang telah
bersedia berbagi suka-duka selama ini; anak-anakku tersayang Desak Putu Ramita
Pratiwi, Desak Made Ragendra Wardani, dan I Dewa Nyoman Ramanda yang
selalu memberi dukungan moral, semangat, dan hiburan selama penulis
menyelesaikan pendidikan ini.
Tidak mungkin penulis dapat menyebutkan satu per satu orang-orang yang
telah membantu penyelesaian disertasi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima
kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian studi dan disertasi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa
memberikan limpahan rahmat-Nya kepada mereka.
Denpasar, 2 Januari 2015
Penulis
ix
ABSTRAK
PENGGUNAAN BAHASA BALI
PADA GUYUB TUTUR BAHASA BALI KOTA SINGARAJA
Penelitian ini mengkaji penggunaan bahasa Bali pada penutur bahasa Bali
guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja dengan tujuan: (1) memaparkan bentuk
tingkat tutur bahasa Bali, (2) menjelaskan hubungan antara tingkat tutur bahasa
Bali dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender, (3) menguraikan dan
menginterpretasikan faktor–faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur
bahasa Bali, dan (4) menjelaskan dan menginterpretasikan sikap penutur terhadap
tingkat tutur bahasa Bali.
Penelitian ini berlandaskan pada pendekatan pragmatisme dan secara lebih
spesifik, menerapkan metode ganda triangulasi model multilevel, yakni
penggunaan metode kualitatif dan kuantitatif secara bersama-sama untuk
mencapai tujuan atau mengkaji masalah yang berbeda pada suatu penelitian.
Sebagai sumber data, penelitian ini menggunakan 285 sampel (responden) yang
dibagi menjadi 24 kelompok dan 24 informan yang di ambil dari setiap kelompok
itu. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode survei, metode
simak, dan metode cakap semuka; sedangkan, data sekunder diperoleh dari
lembaga atau institusi tertentu seperti Biro Pusat Statistik, Lembaga Bahasa,
buku-buku tata bahasa, dan lain-lain. Dalam hal ini, metode analisis data yang
digunakan ada dua, yakni metode metode analisis data kualitatif pada data yang
berwujud nonangka dan analisis data kuantitatif pada data yang berwujud angka.
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa ada dua kaidah yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan bentuk tingkat tutur bahasa Bali, yakni kaidah
alternasi dan kaidah kookurensi khusus. Sejalan dengan hal itu, kode kasar, secara
berturut-turut dari persentase terbanyak sampai terendah, dibentuk oleh kata
biasa, kata serapan bahasa Indonesia, dan kata kasar; kode biasa oleh kata biasa,
kata serapan bahasa Indonesia, kata serapan bahasa Inggris, kata alus, dan kata
serapan bahasa Sansekerta; kode alus oleh kata alus, kata biasa, kata serapan
bahasa Indonesia, kata serapan bahasa Sansekerta, dan kata serapan bahasa
Inggris. Selain itu, hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa secara
signifikan, wangsa penutur merupakan variabel yang paling berhubungan dengan
penggunaan tingkat tutur bahasa Bali. Dalam hal ini, pada penutur triwangsa,
variabel yang berikutnya berkaitan dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Bali
adalah pekerjaan, umur, dan gender secara berurutan; sedangkan, pada penutur
jaba adalah gender, umur, dan pekerjaan secara berurutan.
Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi penggunaan kode kasar secara simetris adalah kehadiran faktor
keakraban, kesetaraan umur, dan solidaritas secara bersama-sama, atau faktor
pengungkapan kemarahan secara simetris; penggunaan kode kasar secara tidak
simetris adalah faktor keakraban menurun pada jaba kelas rendah atau faktor
pengungkapan kemarahan yang disertai kesenjangan status; penggunaan kode
biasa secara simetris adalah faktor jaba, faktor solidaritas interwangsa, faktor
x
domain penggunaan bahasa pada jaba, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa;
penggunaan kode biasa secara nonsimetris adalah faktor kesenjangan status yang
tinggi atau faktor kekuasaan (pengaruh); dan penggunaan kode alus secara
nonsimetris adalah faktor kekerabatan pada triwangsa, faktor penghormatan intradan inter-wangsa, faktor domain penggunaan bahasa pada triwangsa, faktor latar,
faktor topik tutur, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa pada triwangsa.
Dalam hubungannya dengan sikap bahasa, secara umum ditemukan bahwa sikap
terhadap kode kasar cenderung netral, sedangkan sikap terhadap kode biasa dan
kode alus positif.
Kata Kunci: Penggunaan bahasa, variasi, tingkat tutur bahasa Bali, guyub tutur,
wangsa, pekerjaan, umur, gender, dan sikap bahasa
xi
ABSTRACT
THE USE OF BALINESE IN BALINESE SPEECH
COMMUNITY IN SINGARAJA CITY
This research studied the use of Balinese in Balinese speech community of
Singaraja city and aimed at (1) describing the forms of Balinese speech levels, (2)
explaining the correlation between Balinese speech levels and wangsa,
occupation, age, and gender, (3) describing and interpreting the factors that
influence the use of Balinese speech levels, and (4) explaining and interpreting the
attitude of Balinese speakers toward Balinese speech levels.
This research was conducted based on pragmatism appproach and
specifically, applied triangulation mixed method of multilevel model, i.e., the use
of both qualitative and quantitative method together at the same time to achieve
different purposes or to study different problems in one research. As the data
source, this research used 285 samples (respondents) which were divided into 24
groups and 24 informants as representative from each of those groups. The
primary data were collected through survey, observation, and interview, whereas
the secondary data were collected from some institutions like Statistic Center
Office, Language Center, and grammar books, and others. In this sense, the data
analysis employed was of two kinds, i.e., qualitative analytic method which was
directed toward nonnumber data and quantitative analytic method which was
directed toward number data.
The results of the research showed that there were two rules that needed to
be attented in relation to the form of Balinese speech levels, that is, specific
alternation and coocurrence rule. In this sense, kasar code, from the highest to the
lowest percentage in a row, was formed by biasa words, Indonesian borrowings,
and kasar words; biasa code was formed by biasa words, Indonesian borrowings,
English borrowings, alus words, and Sanskrit borrowings; alus code is formed by
alus words, biasa words, Indonesian borrowings, Sanskrit borrowings, and
English borrowings. Besides, this research also showed that significantly,
speakers’ wangsa was the variable that was most related with the use of Balinese
speech levels. In this regards, in triwangsa speakers, the subsequent variables that
were related with the use of Balinese speech levels were occupation, age, and
gender; where as in jaba speakers were gender, age, and occupation.
Besides, the results of the research also showed that the symmetrical use of
kasar code was influenced by intimacy, equality, and solidarity factor, or
symmetrical anger exspression factor; the asymmetrical kasar code use was
influenced by descending intimacy factor, or anger expression factor in a status
asymmetry; symmetrical biasa code use was influenced by jaba factor,
interwangsa solidarity factor, language domain factor, or culture and language
socialization factor; asymmetrical biasa code use was influenced by a high status
asymmetrical factor or power factor; symmetrical alus code use was influenced by
kinship in triwangsa factor, inter-and intra-wangsa respect factor, language
domain factor, speech setting factor, speech topic factor, or culture and
xii
socialization factor in triwangsa. In relation with language attitude, the research
showed that the attitude towards kasar code tended to be neutral, whereas the
attitude towards biasa and alus code was positive.
Keywords: language use, variety, Balinese speech levels, speech community,
wangsa, occupation, age, gender, and language attitude.
xiii
RINGKASAN
PENGGUNAAN BAHASA BALI PADA GUYUB TUTUR
BAHASA BALI KOTA SINGARAJA
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Tingkat tutur bahasa Bali menyediakan sejumlah ragam pilihan kode bagi
penutur bahasa Bali untuk digunakan berdasarkan status dan kedekatan antara
penutur-mitra tutur. Ragam itu secara umum dibedakan atas kode alus, kode
biasa, dan kode kasar. Menurut norma bahasa yang berlaku, kode alus digunakan
untuk bercakap-cakap dengan atau di antara peserta tutur triwangsa; kode biasa
digunakan untuk bercakap-cakap dengan atau di antara peserta tutur jaba;
sedangkan, kode kasar digunakan untuk bercakap-cakap dengan atau di antara
peserta tutur yang sangat akrab, merujuk hewan, atau untuk mengungkapkan rasa
kesal.
Sejalan dengan perkembangan zaman, dari zaman tradisional ke zaman
modern, penentuan kelas sosial masyarakat Bali yang mulanya hanya berdasarkan
wangsa, yakni triwangsa dan jaba, mengalami dinamika. Keanggotaan kelas sosial
tidak lagi hanya bergantung pada wangsa, tetapi juga dipengaruhi oleh faktorfaktor lain, seperti pendidikan, pekerjaan, kekayaan, dan sebagainya. Berdasarkan
dinamika itu, penutur jaba, selain triwangsa, memiliki kesempatan yang sama
untuk menjadi bagian kelas atas.
Dinamika sosial masyarakat tersebut menarik untuk dikaji sehubungan
dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Bali, apalagi Suastra (1998) dan Seken
(2004) telah mengungkapkan bahwa penelitian-penelitian tentang penggunaan
bahasa Bali masih sangat perlu untuk dilakukan. Hal itu mendorong dilakukannya
pengkajian penggunaan tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur Kota Singaraja.
Guyub tutur Kota Singaraja dipilih sebagai tempat penelitian karena
beberapa keunikan sebagai berikut. Pertama, guyub tutur Kota Singaraja memiliki
stereotip negatif sebagai guyub tutur yang penggunaan bahasanya kasar (Laksana,
2009: 111; dan Wingarta, 2009: 12). Kedua, Kota Singaraja sempat menjadi kota
pelabuhan yang ramai dan juga pusat pemerintahan sehingga penggunaan bahasa
Bali di kota itu banyak mendapat pengaruh luar (Sukrata dalam Ginarsa dkk.,
1975: 28). Ketiga, berbeda dengan wilayah Bali yang lainnya, Kota Singaraja
bernuansa lebih egaliter (Wingarta, 2009 :80). Ketiga alasan itu, yang ditambah
dengan fakta bahwa bahasa Bali yang digunakan di Kota Singaraja, selain di Kota
Klungkung, diacu sebagai model bagi bahasa Bali ragam standar, menjadikan
penggunaan bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja semakin
menarik untuk dikaji.
xiv
1.2 Rumusan Masalah
Masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah
bentuk tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja?; (2)
Bagaimanakah penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dalam hubungannya dengan
wangsa, pekerjaan, umur dan gender pada guyub tutur bahasa Bali Kota
Singaraja? (3) Apakah faktor –faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur
bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja? dan (4) Bagaimanakah
sikap penutur bahasa Bali guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja terhadap tingkat
tutur bahasa Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) memaparkan bentuk tingkat tutur bahasa
Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja; (2) menjelaskan hubungan
antara penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan
gender pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja; (3) menguraikan dan
menginterpretasikan faktor–faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur
bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja; dan (4) menjelaskan
dan menginterpretasikan sikap penutur bahasa Bali terhadap tingkat tutur bahasa
Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja.
1.4 Manfaat Penelitian
Bagi peneliti lain dan ahli bahasa, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
acuan pembanding dalam melakukan penelitian sejenis, terutama pada bahasabahasa yang bertingkat tutur seperti bahasa Bali. Bagi tenaga pengajar dan
pembelajar bahasa Bali, hasil penelitian ini dapat memperluas dan memperdalam
wawasan mengenai penggunaan bahasa Bali. Bagi pengambil kebijakan pada
pelestarian dan pengembangan bahasa, hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai salah satu rujukan untuk mengetahui status dan situasi penggunaan bahasa
Bali dalam rangka melestarikan nilai-nilai budaya dan bahasa daerah, khususnya
bahasa Bali.
2. Kajian Pustaka, Konsep, dan Kerangka Teori
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka dilakukan pada hasil-hasil penelitian yang relevan dengan
penggunaan bahasa, khususnya tingkat tutur. Hasil penelitian itu di antaranya
dilakukan oleh Suastra (1998) yang mengkaji penggunaan tingkat tutur bahasa
Bali di Kota Denpasar, Bagus (1979) pada penggunaan tingkat tutur Bahasa Bali
di Kota Denpasar dan Klungkung, Mahyuni (2006) pada penggunaan tingkat tutur
bahasa Sasak, dan Suteja (2007) pada sikap bahasa mahasiswa penutur bahasa
Bali terhadap tingkat tutur bahasa Bali.
Hasil kajian Suastra (1998) menjelaskan bahwa (1) pekerjaan, wangsa, dan
jejaring sosial memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali secara
signifikan, tetapi jenis kelamin dan umur tidak memengaruhi penggunaan tingkat
tutur; (2) penggunaan tingkat tutur alus madia tidak hanya berkembang di antara
penutur triwangsa, tetapi juga pada interaksi di antara penutur jaba; dan (3)
leksem bahasa Indonesia dan bahasa asing digunakan oleh semua tipe penutur.
xv
Senada dengan hasil kajian Suastra (1998), hasil kajian Bagus (1979) berhasil
mengungkapkan bahwa penggunaan bentuk hormat berhubungan dengan wangsa
dan status pekerjaan, dan penggunaannya telah mengalami penyusutan karena
pengaruh dinamika sosial.
Hasil kajian Mahyuni (2006) menguatkan hasil kajian Suastra (1998) dan
Bagus (1979) dan mengungkapkan bahwa (1) dinamika sosial pada guyub tutur
bahasa Sasak berakibat pada perubahan penggunaan tingkat tutur alus bahasa
Sasak, yakni penggunaan tingkat tutur itu di lingkungan penutur nonmenak yang
bergelar religius untuk menandai jarak dan saling menghormati; (2) tingkat tutur
alus telah mengalami revitalisasi dan memperoleh status baru melalui afiliasinya
dengan Islam, pendidikan, dan posisi sosial; dan (3) ada suatu korelasi tidak
langsung antara kekayaan seseorang dan penggunaan bahasa pada guyub tutur
bahasa Sasak.
Hasil kajian Suteja (2007) mengenai sikap mahasiswa etnis Bali, yang
dibedakan atas variabel tempat tinggal dan wangsa, terhadap tingkat tutur bahasa
Bali, menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada sikap
mahasiswa tersebut terhadap tingkat tutur bahasa Bali. Dalam kajiannya, tingkat
tutur bahasa Bali dibedakan atas kode alus tinggi, kode alus madia, dan kode
lumrah.
2.2 Konsep
Konsep-konsep yang diacu pada penelitian ini adalah konsep penggunaan
bahasa, guyub tutur, wangsa, kelas sosial, variasi, dan tingkat tutur.
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori variasi linguistik, teori tingkat tutur, teori
etnografi komunikasi, teori analisis domain, teori desain pendengar, teori sapaan,
teori budaya dan sosialisasi bahasa, dan teori sikap bahasa. Teori variasi linguistik
dan tingkat tutur dipadukan untuk mengkaji rumusan penelitian pertama tentang
bentuk tingkat tutur bahasa Bali dan kedua tentang hubungan antara penggunaan
bahasa dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender; teori variasi linguistik, teori
tingkat tutur, teori etnografi komunikasi, teori analisis domain, teori desain
pendengar, teori sapaan, dan teori budaya dan sosialisasi bahasa dipadukan untuk
mengkaji masalah penelitian yang ketiga tentang faktor-faktor yang memengaruhi
tingkat tutur; dan teori sikap bahasa digunakan untuk mengkaji masalah penelitian
keempat tentang sikap bahasa.
Teori variasi linguistik menunjukkan bahwa variasi linguistik tidaklah
bersifat acak, tetapi mengikuti suatu pola yang sistematis (Fishman, 1972c:23;
Wardaugh, 1998:11; dan Chambers, 2003:14). Pola tersebut menjelaskan
hubungan antara variabel sosiolinguistik dan variabel linguistik. Tidak berbeda
dengan teori variasi linguistik, teori tingkat tutur bahasa Bali menunjukkan bahwa
tingkat tutur bahasa Bali digunakan untuk menandai ragam status atau jarak sosial
antara penutur-mitra tutur (Tinggen, 1986:9-11; dan Suarjana, 2008:59-61). Hal
itu diwujudkan melalui penggunaan alternasi kata yang bermakna sama secara
leksikal, tetapi berbeda menurut tingkat rasa (kehalusan).
xvi
Teori etnografi komunikasi digunakan untuk menjelaskan bahwa bahasa
tidak dapat dipisahkan dengan penggunaannya dan kajian pada penggunaannya
merupakan prasyarat bagi pengenalan dan pemahaman bentuk-bentuk linguistik
(Hymes, 1974:4). Sehubungan dengan hal itu, setidaknya ada delapan komponen
komunikasi yang perlu untuk diperhatikan, yakni setting ‘latar’, participant
‘peserta tutur’, end ‘tujuan’, act sequence ‘urutan tindakan’, key ‘kunci (nada)’,
instrumentalities ‘instrumentasi’, norm ‘norma (interaksi dan norma interpretasi)’,
dan genre ‘genre’.
Teori analisis domain memperlihatkan bahwa penggunaan (pemilihan)
bahasa yang baik dan benar berkaitan dengan domain penggunaan bahasa
(Fishman, 1972b:15). Dalam hal ini, domain merupakan suatu konstruk sosial
yang menjembatani situasi sosial dan perilaku berbahasa yang diabstraksi dari
topik tutur, hubungan antarperan penutur-mitra tutur, dan tempat komunikasi.
Teori desain pendengar didasarkan pada suatu asumsi pokok bahwa gaya
bahasa merupakan cara penutur menanggapi atau memperhatikan pendengarnya
untuk memperoleh simpatinya (Bell, 1984:145). Untuk itu penutur perlu
memahami pendengar dengan mempertimbangkan (1) ciri personal pendengar
yang meliputi suku bangsa, wilayah geografi, jenis kelamin, umur, status sosial
dan lain-lain; (2) ciri umum gaya bahasa pendengar berikut perubahanperubahannya; (3) ciri khusus gaya bahasa pendengar berikut perubahanperubahannya; dan (4) kedekatan antara penutur dan pendengar
Teori sapaan, pertama kali diperkenalkan oleh Brown dan Gilman (1960),
berdasarkan pada penggunaan pronomina T ‘tu’ untuk menandai solidaritas dan V
‘vu’ untuk menandai kekuasaan. Penyapa yang lebih berkuasa menyapa pesapa
yang kurang berkuasa dengan bentuk T. Sebaliknya, penyapa yang kurang
berkuasa menyapa pesapa yang lebih berkekuasa dengan bentuk V.
Teori budaya dan sosialisasi bahasa berkaitan dengan kompetensi budaya,
tindakan sosiobudaya, dan sosialisasi bahasa. Keesing (1981) menjelaskan bahwa
kompetensi budaya merupakan sistem pengetahuan yang dibentuk dan
dipengaruhi oleh bagaimana pikiran manusia memeroleh, menata, dan memroses
informasi; sedangkan, tindakan sosiobudaya merupakan realisasi atau perwujudan
spesifik budaya pada lingkungan hidup yang nyata. Berkaitan dengan hal itu,
sosialisasi bahasa merupakan suatu proses bagi seorang anak untuk menjadi
anggota guyub yang berbudaya melalui bahasa atau tutur (Bernstein, 1972:162).
Melalui sosialisasi bahasa, seorang anak tidak hanya menjadi kompeten dalam
berbahasa, tetapi juga dalam budaya yang terkait.
Dengan meminjam definisi Baron dan Byrne (2002) tentang sikap, sikap
bahasa dapat dimaknai sebagai evaluasi seseorang terhadap suatu bahasa yang
dapat menimbulkan perasaan suka dan tidak suka terhadap bahasa itu. Struktur
sikap bahasa mengikuti skema triadik yang terdiri atas tiga komponen yang saling
terkait, yaitu komponen kognitif atau pengetahuan, komponen afektif atau
evaluatif, dan komponen konatif atau kehendak untuk bertindak (Triandis,
1971:3). Selain itu, sikap bahasa juga memiliki tiga dimensi, yakni kesetiaan
bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran norma berbahasa (Garvin dan Mathiot,
1968:371-373).
xvii
3. Metode Penelitian
Penelitian ini berlandaskan pada pendekatan pragmatisme dan secara lebih
spesifik, menerapkan metode ganda triangulasi model multilevel, yakni
penggunaan metode kuantitatif dan kualitatif secara bersama-sama untuk
mengkaji masalah yang berbeda pada suatu penelitian. Metode kualitatif
digunakan untuk mengkaji masalah penelitian pertama tentang bentuk tingkat
tutur bahasa Bali dan masalah ketiga tentang faktor-faktor yang memengaruhi
penggunaannya. Sebaliknya, metode kuantitatif digunakan untuk mengkaji
masalah penelitian kedua tentang hubungan antara penggunaan tingkat tutur
bahasa Bali dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender; dan masalah penelitian
keempat tentang sikap penutur bahasa Bali terhadap tingkat tutur bahasa Bali.
Penelitian ini dilaksanakan pada guyub tutur Kota Singaraja dengan
populasi penutur “asli” guyub tutur Kota Singaraja yang diperkirakan berjumlah
26429 jiwa setelah dikurangi dengan jumlah populasi yang berumur di bawah 20
tahun (Buleleng dalam Angka, 2010). Jumlah itu sesungguhnya dapat dikurangi
lagi jika data tentang jumlah penduduk “pendatang” tersedia. Dari populasi itu,
sejumlah 285 sampel (responden) diambil melalui metode disproportionate
stratified purposive sampling ‘penarikan sampel nonacak berlapistakproporsional’ yang dikelompokkan menjadi 24 menurut variabel wangsa,
pekerjaan, umur, dan gender. Selain itu, satu subjek dari setiap kelompok sampel
diambil secara nonacak untuk dijadikan sebagai informan bahasa.
Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode survei, metode
simak, dan metode cakap semuka. Metode survei diterapkan dengan teknik angket
yang bertujuan untuk mengumpulkan tanggapan-tanggapan sampel (responden)
tentang penggunaan dan sikap bahasa yang selanjutnya dikonversi secara
kuantitatif. Sebaliknya, metode simak dan metode cakap semuka diterapkan
dengan bantuan teknik rekam dan teknik catat, dan bertujuan untuk
mengumpulkan data-data kualitatif yang berwujud tutur, komentar, dan alasanalasan yang diungkapkan subjek penelitian terkait dengan penggunaan tingkat
tutur bahasa Bali. Selain itu, penelitian ini juga mengumpulkan data sekunder
yang tidak diperoleh langsung dari objek penelitian, melainkan dari lembaga atau
institusi tertentu seperti Biro Pusat Statistik, Lembaga Bahasa, buku-buku tata
bahasa, dan lain-lain.
Sehubungan dengan jenis data yang dikumpulkan, metode analisis data
yang digunakan ada dua, yakni metode analisis data kuantitatif pada data yang
berwujud angka dan metode analisis data kualitatif pada data yang berwujud
nonangka. Selanjutnya, hasil analisis data disajikan dengan menggabungkan
metode formal melalui penggunaan tanda-tanda atau lambang-lambang, dan
singkatan; dan metode informal melalui penggunaan kata-kata biasa, termasuk
penggunaan terminologi teknis.
4. Hasil Penelitian
4.1 Tingkat Tutur Bahasa Bali
Ada dua kaidah yang perlu diperhatikan sehubungan dengan bentuk
tingkat tutur bahasa Bali, yakni kaidah alternasi dan kaidah kookurensi. Kaidah
alternasi menunjukkan bahwa kata dalam bahasa Bali memiliki alternasi bentuk
xviii
pada berbagai ragam tingkat tutur. Selanjutnya, tingkat kata itu dapat ditata secara
sintaksis melalui kaidah kookurensi untuk membentuk suatu kode yang bertingkat
tutur, yakni kode kasar, kode biasa, atau kode alus.
Hasil simak dan cakap semuka menunjukkan bahwa persentase kata
tertinggi yang digunakan untuk membentuk kode kasar adalah kata biasa, yakni
79,36%; diikuti oleh kata serapan bahasa Indonesia, yakni 10,76%; dan kata
kasar, yakni 9,88%. Selain itu, persentase kata tertinggi yang digunakan untuk
membentuk kode biasa adalah kata biasa, yakni 70,37%; kata serapan bahasa
Indonesia, yakni 28,6%; kata serapan bahasa Inggris, yakni 0,85%; kata alus,
yakni 0,11%; dan kata serapan bahasa Sansekerta, yakni 0,07%. Berikutnya,
persentase kata tertinggi yang digunakan untuk membentuk kode alus adalah kata
alus, yakni 48,29%; kata biasa, yakni 24,65%; kata serapan bahasa Indonesia,
yakni 22,63%; kata serapan bahasa Sansekerta, yakni 3,42%; dan kata serapan
bahasa Inggris, yakni 1,01%.
4.1 Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali dalam hubungannya dengan
Wangsa, Pekerjaan, Umur, dan Gender
Secara signifikan, wangsa penutur membagi penggunaan tingkat tutur
bahasa Bali pada guyub tutur Kota Singaraja menjadi dua. Dengan kata lain,
wangsa penutur merupakan variabel yang paling berhubungan dengan
penggunaan tingkat tutur bahasa Bali. Dalam hal ini, penggunaan kode alus
berkategori tinggi pada penutur triwangsa, sedangkan pada penutur jaba
penggunaan kode biasa-lah yang berkategori tinggi.
Pada penutur triwangsa, variabel kedua yang berperan bagi penggunaan
tingkat tutur bahasa Bali adalah pekerjaan. Penggunaan kode alus berkategori
sangat tinggi pada penutur triwangsa kelas atas, tinggi pada penutur triwangsa
kelas menengah, dan rendah pada penutur triwangsa kelas bawah. Hal itu juga
berarti bahwa penggunaan kode biasa berkategori sangat rendah pada penutur
triwangsa kelas atas, dan rendah pada penutur triwangsa kelas menengah dan
bawah.
Setelah pekerjaan, variabel ketiga yang berperan bagi penggunaan tingkat
tutur bahasa Bali pada penutur triwangsa adalah umur. Penggunaan kode alus
berkategori sangat tinggi pada penutur triwangsa dewasa, tetapi tinggi pada
penutur triwangsa muda. Hal itu juga berari bahwa penggunaan kode biasa
berkategori sangat rendah pada penutur triwangsa dewasa dan berkategori rendah
pada penutur triwangsa muda. Selanjutnya, variabel keempat yang berperan
adalah gender penutur yang menunjukkan fenomena penggunaan yang mirip
dengan umur. Penggunaan kode alus berkategori sangat tinggi pada penutur
triwangsa perempuan, tetapi tinggi pada penutur triwangsa pria. Hal itu juga
berarti bahwa penggunaan kode biasa pada penutur triwangsa perempuan
berkategori sangat rendah, tetapi rendah pada penutur triwangsa pria.
Berbeda dengan penutur triwangsa, variabel kedua yang berperan bagi
penggunaan tingkat tutur bahasa Bali pada penutur jaba adalah gender.
Penggunaan kode biasa berkategori sangat tinggi pada penutur jaba pria, tetapi
tinggi pada penutur jaba perempuan. Hal itu juga berarti bahwa penggunaan kode
xix
alus berkategori sangat rendah pada penutur jaba pria, tetapi rendah pada penutur
jaba perempuan.
Variabel ketiga yang berperan bagi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali
pada penutur jaba adalah umur. Perbedaan umur tercermin dalam variasi
penggunaan kode alus yang dalam hal ini penggunaan kode alus berkategori
rendah pada penutur jaba dewasa dan berkategori sangat rendah pada penutur
jaba muda. Selanjutnya, perbedaan status pekerjaan juga berhubungan dengan
variasi penggunaan kode alus, namun dengan perbedaan yang kurang beraturan.
Penggunaan kode alus berkategori rendah pada penutur jaba kelas atas, sangat
rendah pada penutur jaba kelas menengah, tetapi rendah pada penutur jaba kelas
bawah.
4.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa
Bali
4.2.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Kasar secara
Simetris
Ada dua faktor yang memengaruhi penggunaan kode kasar secara
simetris. Faktor pertama adalah kehadiran faktor keakraban, kesetaraan umur, dan
solidaritas secara bersama-sama. Sehubungan dengan hal itu, jika salah satu faktor
terlepas dari faktor lainnya, frekuensi kemunculan kode kasar secara simetris
menjadi rendah. Selain itu, faktor pengungkapan kemarahan secara simetris juga
dapat memengaruhi penggunaan kode kasar secara simetris.
4.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Kasar secara
Tidak Simetris
Ada dua faktor yang memengaruhi penggunaan kode kasar secara tidak
simetris, yakni faktor keakraban menurun pada jaba kelas rendah atau faktor
pengungkapan kemarahan yang disertai kesenjangan status. Faktor keakraban
menurun pada jaba kelas rendah menunjukkan keakraban yang terjadi di antara
penutur jaba kelas rendah yang memiliki perbedaan umur dalam kaitannya
dengan status/peran sosial tertentu. Sebagai contoh, seorang ayah dapat diterima
untuk menggunakan kode kasar kepada anaknya; seorang kakak kepada adiknya;
seorang suami kepada istrinya; dan seorang tetangga lebih tua kepada tetangganya
yang lebih muda.
Berkaitan dengan faktor pengungkapan kemarahan yang disertai
kesenjangan status, pada prinsipnya, penggunaan kode kasar untuk
mengungkapkan rasa marah adalah hal yang lazim. Namun, jika hal itu terjadi
pada suatu kesenjangan status yang tinggi antara penutur-mitra tutur, penggunaan
kode kasar yang terjadi dapat bersifat nonsimetris.
4.2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Biasa secara
Simetris
Ada empat faktor yang memengaruhi penggunaan kode biasa secara
simetris. Pertama, faktor jaba merupakan faktor yang paling memengaruhi
penggunaan kode biasa secara simetris. Hal itu wajar secara normatif karena kode
biasa merupakan kode pengantar bagi percakapan di antara sesama jaba, apalagi
xx
pada guyub tutur Kota Singaraja yang berbudaya egaliter. Kedua, faktor
solidaritas interwangsa juga dapat memengaruhi penggunaan kode biasa secara
simetris. Penggunaan kode biasa lazim terjadi di antara penutur jaba dan penutur
triwangsa yang berumur sebaya dan dimungkinkan karena kehadiran perasaan
solider.
Ketiga, faktor domain penggunaan bahasa pada jaba juga dapat
memengaruhi penggunaan kode biasa. Penggunaan kode biasa sangat tinggi di
domain keluarga dan tetangga, tetapi tinggi di domain masyarakat dan tempat
kerja. Terakhir, faktor budaya dan sosialisasi bahasa juga berpengaruh pada
penggunaan kode biasa secara simetris. Penutur jaba yang hidup pada budaya
egaliter cenderung untuk mempertahankan, melestarikan, dan menyosialisasikan
penggunaan kode biasa sebagai penanda keegaliteran.
4.2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Biasa secara
Nonsimetris (Kode Biasa – Kode Alus)
Ada dua faktor yang memengaruhi penggunaan kode biasa secara
nonsimetris. Faktor pertama adalah faktor kesenjangan status yang tinggi. Dalam
hal ini, perbedaan wangsa yang disertai perbedaan umur dari penutur triwangsa
yang berumur satu atau dua generasi lebih tua daripada penutur jaba, dapat
mengakibatkan kesenjangan status yang tinggi dan kerap ditandai dengan
penggunaan kode nonsimetris. Selain faktor itu, faktor kekuasaan juga dapat
memengaruhi penggunaan kode biasa secara nonsimetris. Penutur-penutur yang
dipandang berkuasa adalah penutur dengan profesi tertentu, seperti dokter,
anggota dewan perwakilan rakyat, kepala-kepala di pemerintahan daerah,
pengacara, pemuka agama, pendeta Hindu, dan sebagainya; dan para tetua
triwangsa dan kerabat puri yang tinggal di Puri Singaraja dan Puri Sukasada. Pada
penutur-penutur tersebut kerap digunakan kode alus; dan jika menanggapi dengan
kode biasa, tanggapan itu dianggap berterima.
4.2.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Alus secara
Simetris
Ada enam faktor yang memengaruhi penggunaan kode alus secara
nonsimetris. Faktor pertama adalah faktor kekerabatan pada triwangsa. Penutur
triwangsa menggunakan kode alus untuk berbicara dengan para kerabatnya, baik
kerabat triwangsa maupun kerabat jaba. Faktor kedua adalah faktor penghormatan
intra-dan inter-wangsa, yakni hubungan saling menghormati di antara penutur dari
wangsa yang sama dan wangsa yang berbeda yang lazim ditandai oleh
penggunaan kode alus.
Faktor ketiga adalah faktor domain penggunaan bahasa pada triwangsa.
Penggunaan kode alus secara simetris berkategori sangat tinggi di domain
keluarga dan tetangga, tetapi tinggi di domain masyarakat dan tempat kerja.
Faktor, keempat adalah faktor latar. Dalam hal ini, latar yang paling berpengaruh
bagi pengunaan kode alus adalah rumah triwangsa dalam artian bahwa setiap
penutur jaba, apalagi triwangsa, yang bertandang ke rumah seorang triwangsa
sangat diharapkan untuk menggunakan kode alus di rumah triwangsa tersebut.
xxi
Faktor kelima adalah faktor topik tutur karena ada topik-topik tertentu
yang lazim dituturkan dengan kode alus untuk menunjukkan rasa hormat. Topiktopik itu adalah topik-topik yang terkait dengan hal-hal yang disucikan atau
ditabukan, seperti magis, kedewaan, kesucian, tempat suci/angker, dan lain-lain.
Faktor terakhir adalah faktor budaya dan sosialisasi bahasa pada triwangsa. Dalam
hal ini, penutur triwangsa masih mempertahankan dan melestarikan budaya dan
perilaku hierarkis yang berorientasi pada wangsa sehingga menyosialisaikan kode
alus secara cukup konsisten di keluarga masing-masing.
4.3 Sikap Penutur Bahasa Bali terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali
4.3.1 Sikap Penutur Bahasa Bali terhadap Kode Kasar
Sikap penutur bahasa Bali terhadap kode kasar secara umum berkategori
netral, baik pada kelompok triwangsa maupun jaba. Secara lebih spesifik, sikap
terhadap kode kasar pada komponen kognitif menunjukkan persentase tertinggi
jika dibandingkan dengan sikap pada komponen afektif dan komponen konatif.
Dengan kata lain, sikap penutur terhadap kode kasar menunjukkan penurunan
secara bertahap dari komponen kognitif sampai komponen konatif. Penurunan itu
dari komponen kognitif ke komponen afektif cenderung rendah karena tidak
terjadi penurunan kategori, kecuali pada kelompok TTMP. Namun, penurunan
yang signifikan dari kategori netral ke kategori negatif terjadi dari komponen
afektif ke komponen konatif pada kelompok TTML, TTMP, TSDL, TSDP,
TSML, TSMP, TRDL, TRDP, TRML, TRMP, JTDL, JTDP, JSDP, dan JSMP.
4.3.2 Sikap Penutur Bahasa Bali terhadap Kode Biasa
Sikap penutur bahasa Bali terhadap kode biasa secara umum berkategori
positif, baik pada penutur triwangsa maupun jaba. Seperti pada sikap terhadap
kode kasar, sikap terhadap kode biasa juga menunjukkan kategori tertinggi pada
komponen kognitif dan mengalami penurunan bertahap dari komponen kognitif
sampai komponen konatif. Penurunan sikap dari komponen kognitif ke komponen
afektif pada penutur triwangsa cenderung lebih signifikan dan bahkan, sampai
berpindah kategori, seperti pada kelompok TTML, TTMP, TSDL, TSDP, TSML,
TSMP, TRML, dan TRMP dari kategori positif ke netral; sebaliknya, pada
penutur jaba penurunan yang terjadi cenderung kurang signifikan, kecuali pada
kelompok JTDL, JTDP, JRDL, JRDP, dan JRML dari kategori sangat positif ke
positif. Penurunan sikap yang kurang signifikan juga diamati pada penuru jaba
dari komponen afektif ke komponen konatif.
Penutur jaba cenderung untuk memiliki sikap terhadap kode biasa yang
lebih positif daripada penutur triwangsa karena penutur jaba lebih terbiasa, lebih
percaya, dan lebih bercita rasa positif terhadap kode biasa. Penutur jaba secara
umum beranggapan bahwa kode biasa merupakan bahasa biasa yang dapat
digunakan pada pergaulan sehari-hari. Selain itu, kode biasa juga mewakili
identitas jaba dan karakter egaliter guyub Singaraja yang sudah dikenal sejak
dahulu kala.
xxii
4.3.3 Sikap Penutur Bahasa Bali terhadap Kode Alus
Sikap penutur bahasa Bali terhadap kode alus secara umum positif, tetapi
sikap penutur triwangsa dan penutur jaba terhadap kode alus sesungguhnya
berbeda. Penutur triwangsa memiliki sikap yang sangat positif terhadap kode alus,
sedangkan penutur jaba memiliki sikap yang positif. Seperti sikap terhadap kode
kasar dan kode biasa, sikap terhadap kode alus juga menunjukkan persentase
tertingi pada komponen kognitif dan mengalami penurunan bertahap sampai pada
komponen konatif. Di antara kelompok triwangsa, kecuali kelompok TTMP dan
TRDP, penurunan yang terjadi dari komponen kognitif ke komponen afektif
adalah rendah dan tidak melibatkan perubahan kategori. Akan tetapi, penurunan
yang terjadi pada dimensi konatif signifikan dan berupa perubahan kategori,
yakni dari kategori sangat positif ke netral. Sebaliknya, pada kelompok jaba,
penurunan sikap yang terjadi cenderung rendah, kecuali pada kelompok JTDL,
JTDP, dan JSDP, yakni dari kategori sangat positif pada komponen afektif ke
positif pada komponen konatif.
5. Temuan Penelitian
Penelitian ini menemukan beberapa temuan baru sebagai berikut. Pertama,
karena keterbatasan kompetensi penutur jaba guyub tutur bahasa Bali Kota
Singaraja pada kode alus, penutur itu mengembangkan suatu kode yang kerap
disebut dengan basa alus metiang-nika. Kode alus metiang-nika merupakan kode
alus yang sebagian besar tersusun atas kata biasa dan diperhalus oleh kata-kata
alus yang umum dan mudah diingat karena frekuensi penggunaannya yang tinggi.
Kedua, tanpa terlalu disadari, penutur jaba Kota Singaraja cenderung untuk
mencampuradukkan penggunaan kata alus singgih dan alus sor. Hal itu terjadi
karena banyak penutur jaba yang menyamaratakan kata alus singgih, alus sor, dan
kata-kata alus yang lain.
Ketiga, penjajagan kode kerap menjadi bagian yang penting bagi interaksi
kode yang stabil. Untuk itu, penggunaan (pemilihan) kode awal menjadi sangat
penting karena hal itu berkaitan dengan cara penutur “melihat” mitra tutur. Jika
pilihan kode awal tepat, maka konvergensi akan segera terjadi; sebaliknya, jika
tidak, maka konflik kode dapat terjadi. Namun, konflik kode umumnya tidak
berlangsung lama karena penutur Kota Singaraja umumnya sangat toleran dan
adaptif sehingga dapat saling menyesuaikan diri dengan cepat.
Keempat, penggunaan istilah sapaan yang berkaitan dengan gelar
triwangsa mengalami pergeseran. Penggunaan atu, aji, atau biang, misalnya,
hanya teramati di domain keluarga dan tetangga yang melibatkan penyapa
triwangsa. Namun, ketika domain pengunaan bergeser ke domain masyarakat dan
tempat kerja, apalagi dengan penyapa jaba, bentuk sapaan itu cenderung
menghilang dan digantikan dengan sapaan egaliter pak atau bu. Selain itu, istilah
kekerabatan bli atau mbok kerap digunakan oleh penyapa jaba untuk menyapa
pesapa triwangsa, terutama di domain masyarakat dan tempat kerja. Penggunaan
bli atau mbok itu sesungguhnya kurang tepat secara normatif karena penyapa jaba
memosisikan diri seolah-olah sejajar dengan pesapa triwangsa. Berikutnya, makna
pronomina persona kedua cai ‘kamu (laki-laki)’ juga mengalami pergeseran
dalam wujud perluasan makna karena pronomina itu juga digunakan untuk
xxiii
menyapa pesapa perempuan; sedangkan, kata nyai ‘kamu (perempuan)’ jarang
digunakan karena dikesankan lebih kasar.
Kelima, walaupun di permukaan sikap penutur terhadap tingkat tutur
bahasa Bali dan penggunaan tingkat tutur bahasa Bali sepertinya tidak
berhubungan, hal yang sebaliknya ditemukan. Sikap penutur terhadap tingkat tutur
bahasa Bali menunjukkan penurunan ketika sikap itu semakin mendekati
kenyataan, dari komponen kognitif yang berupa kepercayaan sampai pada
komponen konatif yang berupa kecenderungan untuk berperilaku, dan pada
akhirnya, pada perilaku penggunaan bahasa nyata. Dalam hal ini, penurunan itu
merupakan penurunan berpola atau bersistem.
6. Simpulan dan Saran
6.1 Simpulan
Simpulan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama,
tingkat tutur bahasa Bali terwujud karena bahasa Bali terdiri atas kata-kata yang
bertingkat berdasarkan kehalusan. Suatu kata bahasa Bali memiliki alternasi atau
realisasi kata dalam tingkat tutur yang berbeda dan selanjutnya, dapat
dipilahpadukan menurut kaidah kookurensi yang khas untuk membentuk suatu
kode, baik kode kasar, kode biasa, maupun kode alus. Kedua, penggunaan tingkat
tutur bahasa Bali sangat berkaitan dengan wangsa secara signifikan sehingga
penggunaannya cenderung berbeda menurut wangsa, yakni triwangsa dan jaba.
Pada triwangsa, variabel berikutnya yang berperan bagi penggunaan tingkat tutur,
menurut tingkat urutan prioritas, adalah status pekerjaan, umur, kemudian gender;
sedangkan, pada jaba adalah gender, umur, dan kemudian pekerjaan.
Ketiga, faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa
Bali dapat dirumuskan sebagai berikut. Faktor yang memengaruhi penggunaan
kode kasar secara simetris adalah faktor keakraban, kesetaraan umur, dan
solidaritas, atau faktor pengungkapan kemarahan secara simetris; faktor yang
memengaruhi penggunaan kode kasar secara nonsimetris adalah faktor keakraban
menurun atau faktor kemarahan dan kesenjangan status; faktor yang memengaruhi
penggunaan kode biasa secara simetris adalah faktor jaba, faktor solidaritas
interwangsa, faktor domain, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa pada jaba;
faktor yang memengaruhi penggunaan kode biasa secara nonsimetris (kode
biasa–kode alus) adalah faktor kesenjangan status yang tinggi dan faktor
kekuasaan; dan faktor yang memengaruhi penggunaan kode alus secara simetris
adalah faktor kekerabatan pada triwangsa, faktor penghormatan intra-dan interwangsa, faktor domain, faktor latar, faktor topik tutur, atau faktor budaya dan
sosialisasi bahasa pada triwangsa.
Keempat, sikap penutur bahasa Bali terhadap tingkat tutur bahasa Bali
menunjukkan variasi yang berbeda. Dalam hal ini, sikap terhadap kode kasar
secara umum berkategori netral; sikap terhadap kode biasa secara umum
berkategori positif; dan sikap terhadap kode alus secara umum berkategori positif.
6.2 Saran
Penelitian ini merupakan upaya untuk menggambarkan pola penggunaan
bahasa yang berbasis kajian sosiolinguistik sehingga kajian yang dilakukan
xxiv
terbatas pada upaya mengaitkan variabel bahasa (linguistik) dengan variabel
sosial. Hal itu berarti bahwa kajian-kajian lain, khususnya yang berbasis linguistik
antropologi untuk melihat ideologi dan nilai sosial budaya dari penggunaan
tingkat tutur bahasa Bali masih sangat menarik untuk dilakukan. Hasil temuan itu
selanjutnya akan memperkaya temuan-temuan mengenai penggunaan bahasa pada
guyub tutur Kota Singaraja.
xxv
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ....................................................................................... i
PRASYARAT GELAR ................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ........................................................... iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .......................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................... x
ABSTRACT .................................................................................................. xii
RINGKASAN ............................................................................................... xiv
DAFTAR ISI ................................................................................................. xxvi
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xxxiv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xxxvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xxxvii
DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA ..................................................... xxxviii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 12
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 12
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 13
1.4.1 Manfaat Teoretis ......................................................................................... 13
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................................... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI DAN
MODEL PENELITIAN....................................................................... 16
2.1 Kajian Pustaka................................................................................................ 16
2.2 Konsep ........................................................................................................... 23
2.2.1 Penggunaan Bahasa..................................................................................... 23
xxvi
2.2.2 Variasi ......................................................................................................... 24
2.2.3 Tingkat Tutur .............................................................................................. 24
2.2.4 Guyub Tutur ................................................................................................ 25
2.2.5 Wangsa ........................................................................................................ 26
2.2.6 Kelas Sosial ................................................................................................. 27
2.2.7 Sikap............................................................................................................ 28
2.3 Landasan Teori ............................................................................................... 30
2.3.1 Variasi Linguisik ......................................................................................... 30
2.3.2 Teori Tingkat Tutur ..................................................................................... 33
2.3.2.1 Klasifikasi Tingkat Tutur ......................................................................... 33
2.3.2.2 Bentuk Tingkat Tutur ............................................................................... 35
2.3.2.3 Norma Penggunaan Tingkat Tutur ........................................................... 39
2.3.3 Etnografi Komunikasi ................................................................................. 42
2.3.4 Teori Analisis Domain ................................................................................ 46
2.3.5 Teori Desain Pendengar .............................................................................. 49
2.3.5.1 Desain Responsif...................................................................................... 50
2.3.5.2 Desain Inisiatif ......................................................................................... 52
2.3.6 Teori Sapaan................................................................................................ 54
2.3.6.1 Istilah Sapaan ........................................................................................... 55
2.3.6.2 Penggunaan Istilah Sapaan ....................................................................... 57
2.3.7 Teori Sikap Bahasa ..................................................................................... 62
2.3.7.1 Komponen Sikap Bahasa ......................................................................... 62
2.3.7.2 Komponen Objek (Dimensi) Sikap Bahasa ............................................. 64
2.3.7.3 Hubungan antara Sikap dan Perilaku ....................................................... 65
2.3.7.4 Fungsi Sikap ............................................................................................. 67
2.3.8 Budaya dan Sosialisasi Bahasa ................................................................... 69
2.3.8.1 Budaya ..................................................................................................... 69
2.3.8.2 Sosialisasi Bahasa .................................................................................... 75
2.4 Model Penelitian ........................................................................................... 78
xxvii
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 82
3.1 Pendekatan Penelitian .................................................................................... 82
3.2 Lokasi Penelitian ............................................................................................ 85
3.3 Jenis dan Sumber Data ................................................................................... 87
3.3.1 Jenis Data .................................................................................................... 87
3.3.2 Sumber Data ................................................................................................ 88
3.3.2.1 Populasi Penelitian ................................................................................... 89
3.3.2.2 Sampel (Responden) Penelitian ............................................................... 91
3.3.2.3 Informan Bahasa ...................................................................................... 93
3.4 Variabel Penelitian ......................................................................................... 93
3.5 Instrumen Penelitian....................................................................................... 96
3.5.1 Angket Penggunaan Bahasa ........................................................................ 96
3.5.2 Angket Skala Sikap ..................................................................................... 98
3.5.3 Alat Perekam dan Alat Pencatat ................................................................ 102
3.5.4 Panduan Cakap Semuka ............................................................................ 103
3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 104
3.7 Metode Analisis Data ................................................................................... 108
3.7.1 Metode Analisis Data Kuantitatif ............................................................. 109
3.7.2 Metode Analisis Data Kualitatif ............................................................... 113
3.8 Metode Penyajian Hasil Analisis Data......................................................... 116
BAB IV TINGKAT TUTUR BAHASA BALI ............................................... 117
4.1 Pengantar ...................................................................................................... 117
4.2 Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Bali ............................................................... 117
4.2.1 Kata ........................................................................................................... 118
4.2.1.1 Kata alus Singgih ................................................................................... 118
4.2.1.2 Kata alus Sor .......................................................................................... 119
4.2.1.3 Kata alus Madia ..................................................................................... 119
4.2.1.4 Kata alus Mider ...................................................................................... 120
4.2.1.5 Kata Biasa .............................................................................................. 121
4.2.1.6 Kata kasar .............................................................................................. 122
xxviii
4.2.2 Bentuk alus ............................................................................................... 122
4.2.2.1 Proses Fonologis .................................................................................... 123
4.2.2.2 Proses Morfologis .................................................................................. 124
4.2.3 Pronomina ................................................................................................. 125
4.2.3.1 Pronomina Persona................................................................................. 126
4.2.3.2 Nomina Sapaan Sebagai Pengganti Pronomina Persona ....................... 130
4.2.3.3 Pronomina Penunjuk .............................................................................. 135
4.2.4 Kalimat atau Ujaran .................................................................................. 141
4.3 Bentuk Kode ................................................................................................ 144
4.3.1 Kode Kasar ............................................................................................... 145
4.3.2 Kode Biasa ................................................................................................ 147
4.3.3 Kode Alus .................................................................................................. 150
BAB V HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR
BAHASA BALI DENGAN WANGSA, PEKERJAAN, UMUR,
DAN GENDER ................................................................................... 158
5.1 Pengantar ...................................................................................................... 158
5.2 Penggunaan Bahasa pada Kelompok Triwangsa ......................................... 158
5.2.1 Triwangsa Kelas Atas ............................................................................... 159
5.2.1.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Atas-Dewasa-Laki-Laki (TTDL) ............. 161
5.2.1.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Atas-Dewasa- Perempuan (TTDP)........... 163
5.2.1.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Atas-Muda-Laki-Laki (TTML) ................ 165
5.2.1.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Atas-Muda-Perempuan (TTMP) .............. 167
5.2.2 Triwangsa Kelas Menengah ...................................................................... 169
5.2.2.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Dewasa-Laki-Laki (TSDL) .... 171
5.2.2.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Dewasa-Perempuan (TSDP) .. 172
5.2.2.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Muda-Laki-Laki (TSML) ....... 174
5.2.2.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Muda-Perempuan (TSMP) ..... 176
5.2.3 Triwangsa Kelas Bawah ............................................................................ 178
5.2.3.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (TRDL) ........ 180
5.2.3.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (TRDP)....... 181
xxix
5.2.3.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (TRML) ........... 183
5.2.3.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (TRMP) ......... 185
5.2.4 Analisis Penggunaan Bahasa pada Kelompok Triwangsa ........................ 187
5.3 Penggunaan Bahasa pada Kelompok Jaba .................................................. 192
5.3.1 Jaba Kelas Atas......................................................................................... 193
5.3.1.1 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Laki-Laki (JTDL) .................... 195
5.3.1.2 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Perempuan (JTDP) .................. 196
5.3.1.3 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Laki-Laki (JTML) ....................... 198
5.3.1.4 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Perempuan (JTMP) ..................... 200
5.3.2 Jaba Kelas Menengah ............................................................................... 203
5.3.2.1 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Laki-Laki (JSDL) ................... 205
5.3.2.2 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Perempuan (JSDP) ................. 207
5.3.2.3 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Laki-Laki (JSML) ...................... 209
5.3.2.4 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Perempuan (JSMP) .................... 211
5.3.3 Jaba Kelas Bawah ..................................................................................... 213
5.3.3.1 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (JRDL) .................. 215
5.3.3.2 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (JRDP) ................ 216
5.3.3.3 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (JRML) ..................... 219
5.3.3.4 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (JRMP) ................... 221
5.3.4 Analisis Penggunaan Bahasa pada Kelompok Jaba ................................. 223
5.4 Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali dalam hubungannya
dengan Wangsa, Pekerjaan, Umur, dan Gender.......................................... 227
5.5 Penggunaan Istilah Sapaan ........................................................................... 233
5.5.1 Pronomina Persona Pertama ..................................................................... 233
5.5.2 Pronomina Persona Kedua ........................................................................ 234
5.5.3 Pronomina Persona Ketiga ....................................................................... 236
5.5.4 Nomina Sapaan Sebagai Pengganti Pronomina Persona .......................... 236
5.5.4.1 Domain Keluarga ................................................................................... 237
5.5.4.2 Domain Tetangga dan Masyarakat......................................................... 242
5.5.4.3 Domain Tempat Kerja ............................................................................ 247
xxx
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGGUNAAN
TINGKAT TUTUR BAHASA BALI ............................................... 250
6.1 Pengantar ...................................................................................................... 250
6.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Kasar secara
Simetris ........................................................................................................ 250
6.2.1 Faktor Keakraban, Kesetaraan, dan Solidaritas ........................................ 251
6.2.2 Faktor Pengungkapan Kemarahan secara Simetris ................................... 255
6.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Kasar secara
Nonsimetris ................................................................................................. 257
6.3.1 Faktor Keakraban Menurun ...................................................................... 258
6.3.2 Faktor Kemarahan dan Kesenjangan Status .............................................. 260
6.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Biasa secara
Simetris ........................................................................................................ 262
6.4.1 Faktor Jaba ............................................................................................... 263
6.4.2 Faktor Solidaritas Interwangsa .................................................................. 264
6.4.3 Faktor Domain .......................................................................................... 266
6.4.4 Faktor Budaya dan Sosialisasi Bahasa pada Jaba..................................... 268
6.4.4.1 Faktor Budaya ........................................................................................ 268
6.4.4.2 Faktor Sosialisasi Bahasa ....................................................................... 272
6.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Biasa secara
Nonsimetris ................................................................................................. 279
6.5.1 Faktor Kesenjangan Status yang Tinggi ................................................... 280
6.5.2 Faktor Kekuasaan ...................................................................................... 281
6.6 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode alus secara
Simetris ........................................................................................................ 285
6.6.1 Faktor Kekerabatan pada Triwangsa ......................................................... 285
6.6.2 Faktor Penghormatan Intra- dan Inter-wangsa.......................................... 287
6.6.3 Faktor Domain .......................................................................................... 291
6.6.4 Faktor Latar ............................................................................................... 294
6.6.5 Faktor Topik Tutur .................................................................................... 297
6.6.6 Faktor Budaya dan Sosialisasi Bahasa pada Triwangsa ........................... 298
xxxi
6.6.6.1 Faktor Budaya ........................................................................................ 298
6.6.6.2 Faktor Sosialisasi Bahasa ....................................................................... 299
BAB VII SIKAP PENUTUR BAHASA BALI GUYUB TUTUR KOTA
SINGARAJA TERHADAP TINGKAT TUTUR BAHASA
BALI ................................................................................................. 303
7.1 Pengantar ...................................................................................................... 303
7.2 Sikap Penutur Triwangsa terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali ................... 304
7.2.1 Triwangsa Kelas Atas ............................................................................... 304
7.2.1.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Laki-Laki (TTDL) .......... 305
7.2.1.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Perempuan (TTDP) ........ 306
7.2.1.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Laki-Laki (TTML) ............. 308
7.2.1.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Perempuan (TTMP) ........... 309
7.2.2 Triwangsa Kelas Menengah ...................................................................... 312
7.2.2.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Dewasa-Laki-Laki (TSDL) .... 313
7.2.2.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Dewasa-Perempuan (TSDP) .. 314
7.2.2.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Muda-Laki-Laki (TSML) ....... 316
7.2.2.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Menengah-Muda-Perempuan (TSMP) ..... 317
7.2.3 Triwangsa Kelas Bawah ............................................................................ 320
7.2.3.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (TRDL) ........ 321
7.2.3.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (TRDP)....... 322
7.2.3.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (TRML) ........... 324
7.2.3.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (TRMP) ......... 325
7.2.4 Analisis Sikap Bahasa pada Kelompok Triwangsa................................... 327
7.3 Sikap Bahasa pada Kelompok Jaba ............................................................. 333
7.3.1 Jaba Kelas Atas......................................................................................... 333
7.3.1.1 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Laki-Laki (JTDL) .................... 334
7.3.1.2 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Perempuan (JTDP) .................. 335
7.3.1.3 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Laki-Laki (JTML) ....................... 336
7.3.1.4 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Perempuan (JTMP) ..................... 338
7.3.2 Jaba Kelas Menengah ............................................................................... 340
xxxii
7.3.2.1 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Laki-Laki (JSDL) ................... 341
7.3.2.2 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Perempuan (JSDP) ................. 342
7.3.2.3 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Laki-Laki (JSML) ...................... 344
7.3.2.4 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Perempuan (JSMP) .................... 345
7.3.3 Jaba Kelas Bawah ..................................................................................... 347
7.3.3.1 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (JRDL) .................. 348
7.3.3.2 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (JRDP) ................ 349
7.3.3.3 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (JRML) ..................... 350
7.3.3.4 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (JRMP) ................... 352
7.3.4 Analisis Sikap Bahasa pada Kelompok Jaba ............................................ 355
7.4 Sikap Penutur Bahasa Bali Guyub Tutur Kota Singaraja terhadap
Tingkat Tutur Bahasa Bali .......................................................................... 358
7.4.1 Sikap terhadap Kode kasar ....................................................................... 360
7.4.2 Sikap terhadap Kode biasa........................................................................ 363
7.4.3 Sikap terhadap Kode alus.......................................................................... 365
BAB VIII TEMUAN PENELITIAN .............................................................. 371
8.1 Pengantar ...................................................................................................... 371
8.2 Bentuk Bahasa.............................................................................................. 371
8.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Tingkat Tutur
Bahasa Bali................................................................................................... 373
8.4 Penjajagan Bahasa........................................................................................ 379
8.5 Penggunaan Bahasa Indonesia di Ranah Keluarga ...................................... 381
8.6 Pergeseran Penggunaan Istilah sapaan ......................................................... 382
8.7 Hubungan antara Sikap Bahasa dan Penggunaan Bahasa ............................ 383
BAB IX SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 388
9.1 Simpulan ...................................................................................................... 388
9.2 Saran ............................................................................................................. 393
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 395
xxxiii
DAFTAR TABEL
TABEL
Halaman
2.1 Ragam Klasifikasi Tingkat Tutur Bahasa Bali............................................. 34
2.2 Perbandingan Jumlah Kata pada Bahasa Bali .............................................. 39
3.1 Perbedaan antara Metode Kuantitatif dan Kualitatif.................................... 83
3.2 Sampel/Responden Penelitian ...................................................................... 92
3.3 Kisi-Kisi Angket Penggunaan Bahasa ......................................................... 98
3.4 Tipe dan Kategori Respons .......................................................................... 100
3.5 Kisi-Kisi Angket Skala Sikap ...................................................................... 101
3.6 Metode, Teknik, dan Instrumen Pengumpulan Data
beserta Sumber Datanya .............................................................................. 104
3.7 Konversi Kuantitatif Angket Berdasarkan pada Sifat Pernyataannya ......... 111
4.1 Pronomina Persona Tunggal dan Plural Bahasa Bali ................................... 126
4.2 Istilah Kekerabatan pada Bahasa Bali .......................................................... 132
4.3 Nama Gelar pada Triwangsa ........................................................................ 134
4.4 Contoh Nama Lengkap Orang Bali .............................................................. 135
4.5 Pronomina Penanya dalam Bahasa Bali ....................................................... 138
4.6 Persentase Kata yang digunakan pada Kode kasar ...................................... 145
4.7 Persentase Kata yang digunakan pada Kode biasa ...................................... 147
4.8 Persentase Kata yang digunakan pada Kode alus ........................................ 150
4.9 Kata alus Sor dan alus Singgih yang Penggunaannya Kerap Tertukar/
Tidak Tepat .................................................................................................. 155
5.1 Ringkasan Penggunaan Bahasa Kelompok Triwangsa Kelas Atas
(dalam Persentase) ....................................................................................... 160
5.2 Ringkasan Penggunaan Bahasa Kelompok Triwangsa Kelas Menengah
(dalam Persentase) ....................................................................................... 170
5.3 Ringkasan Penggunaan Bahasa Kelompok Triwangsa Kelas Bawah
(dalam Persentase) ....................................................................................... 179
xxxiv
5.4 Rerata Penggunaan Bahasa pada Kelompok Triwangsa (dalam
Persentase).................................................................................................... 188
5.5 Domain Penggunaan Bahasa pada Kelompok Triwangsa ........................... 192
5.6 Ringkasan Penggunaan Bahasa Kelompok Jaba Kelas Atas (dalam
Persentase) .................................................................................................. 194
5.7 Ringkasan Penggunaan Bahasa Kelompok Jaba Kelas Menengah
(dalam Persentase) ....................................................................................... 204
5.8 Ringkasan Penggunaan Bahasa Kelompok Jaba Kelas Bawah
(dalam Persentase) ...................................................................................... 214
5.9 Rerata Penggunaan Bahasa pada Kelompok Jaba (dalam Persentase) ........ 223
5.10 Domain Penggunaan Bahasa pada Kelompok Jaba .................................. 227
5.11 Penggunaan Kode pada Kelompok Triwangsa dan Jaba.......................... 228
5.12 Penggunaan Istilah Kekerabatan pada Triwangsa...................................... 238
5.13 Penggunaan Istilah Kekerabatan pada Jaba ............................................... 241
5.14 Penggunaan Istilah Sapaan oleh Penyapa Triwangsa/Jaba kepada
Pesapa Triwangsa pada domain Tetangga ................................................. 243
5.15 Penggunaan Istilah Sapaan oleh Penyapa Jaba/Triwangsa kepada
Pesapa Jaba pada domain Tetangga .......................................................... 245
5.16 Penggunaan Istilah Sapaan oleh Penyapa Triwangsa/Jaba kepada
Pesapa Triwangsa pada domain Tempat Kerja .......................................... 247
5.17 Penggunaan Istilah Sapaan oleh Penyapa Jaba/Triwangsa kepada
Pesapa Jaba pada domain Tempat Kerja ................................................... 248
7.1 Sikap Bahasa Triwangsa Kelas Atas ............................................................ 304
7.2 Sikap Bahasa Triwangsa Kelas Menengah .................................................. 312
7.3 Sikap Bahasa Triwangsa Kelas Bawah ........................................................ 320
7.4 Sikap Bahasa pada Kelompok Triwangsa .................................................... 329
7.5 Sikap Bahasa Jaba Kelas Atas ..................................................................... 333
7.6 Sikap Bahasa Jaba Kelas Menengah ........................................................... 340
7.7 Sikap Bahasa Jaba Kelas Bawah ................................................................. 347
7.8 Sikap Bahasa pada Kelompok Jaba ............................................................. 355
7.9 Sikap Bahasa Penutur BB Guyub Tutur Kota Singaraja.............................. 359
xxxv
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR
Halaman
2.1 Teori Perilaku Terencana ............................................................................ 66
2.2 Model Penelitian ......................................................................................... 79
3.1 Prosedur Analisis Data Kualitatif ............................................................... 114
4.1 Persentase Jumlah Kata yang Digunakan pada Kode Kasar ...................... 146
4.2 Persentase Jumlah Kata yang Digunakan pada Kode Biasa ....................... 149
4.3 Persentase Jumlah Kata yang Digunakan pada Kode Alus ......................... 152
5.1 Pembagian Kelompok Triwangsa ............................................................... 159
5.2 Penggunaan Bahasa pada Kelompok Triwangsa ........................................ 190
5.3 Pembagian Kelompok Jaba ........................................................................ 193
5.4 Penggunaan Bahasa pada Kelompok Jaba ................................................. 225
5.5 Urutan Prioritas variabel yang berhubungan dengan Penggunaan
Bahasa .......................................................................................................... 231
7.1 Rerata Sikap Penutur Triwangsa terhadap Kode Kasar, Kode Biasa,
dan Kode Alus .............................................................................................. 328
7.2 Sikap Penutur Triwangsa terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan
Kode Alus pada Komponen Kognitif, Afektif, dan Konatif....................... 331
7.3 Rerata Sikap Penutur Jaba terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan
Kode Alus .................................................................................................... 354
7.4 Sikap Penutur Jaba terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode
Alus pada Komponen Kognitif, Afektif, dan Konatif ............................... 357
7.5 Sikap terhadap Kode Kasar pada Komponen Kognitif, Afektif, dan
Konatif ........................................................................................................ 361
7.6 Sikap terhadap Kode Biasa pada Komponen Kognitif, Afektif, dan
Konatif ........................................................................................................ 364
7.7 Sikap terhadap Kode Alus pada Komponen Kognitif, Afektif, dan
Konatif ........................................................................................................ 366
xxxvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Hal
1: Peta Penelitian ................................................................................................ 403
2: Angket Bahasa ............................................................................................... 404
3: Hubungan antara Penggunaan Bahasa dengan Wangsa, Pekerjaan,
Umur, dan Gender .......................................................................................... 413
4: Perbandingan antara Sikap Bahasa dan Penggunaan Bahasa ........................ 419
5: Butir dan Sifat Pernyataan pada Angket Sikap Bahasa ................................. 420
6: Sampel Transkripsi Data Percakapan ............................................................ 421
7: Surat Izin Penelitian ....................................................................................... 422
xxxvii
DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA
DAFTAR SINGKATAN
BB
: Bahasa Bali
BI
: Bahasa Indonesia
BIng
: Bahasa Inggris
BS
: Bahasa Sansekerta
KK
: Kode kasar
KB
: Kode biasa
KA
: Kode alus
GW
: Gelar wangsa
NUL
: Nama urut lahir
ND
: Nama diri
TTDL
: Triwangsa-Pekerjaan tinggi-Dewasa-Laki-laki
TTDP
: Triwangsa-Pekerjaan menengah- Dewasa-Perempuan
TTML
: Triwangsa-Pekerjaan rendah- Muda-Laki-laki
TTMP
: Triwangsa-Pekerjaan tinggi-Muda-Perempuan
TSDL
: Triwangsa-Pekerjaan menengah-Dewasa-Laki-laki
TSDP
: Triwangsa-Pekerjaan rendah- Dewasa-Perempuan
TSML
: Triwangsa-Pekerjaan tinggi- Muda-Laki-laki
TSMP
: Triwangsa-Pekerjaan menengah-Muda-Perempuan
TRDL
: Triwangsa-Pekerjaan rendah-Dewasa-Laki-laki
TRDP
: Triwangsa-Pekerjaan tinggi- Dewasa-Perempuan
TRML : Triwangsa-Pekerjaan menengah- Muda-Laki-laki
TRMP
: Triwangsa-Pekerjaan rendah-Muda-Perempuan
JTDL
: Triwangsa-Pekerjaan tinggi-Dewasa-Laki-laki
JTDP
: Jaba-Pekerjaan menengah- Dewasa-Perempuan
JTML
: Jaba-Pekerjaan rendah- Muda-Laki-laki
JTMP
: Jaba-Pekerjaan tinggi-Muda-Perempuan
JSDL
: Jaba-Pekerjaan menengah-Dewasa-Laki-laki
xxxviii
JSDP
: Jaba-Pekerjaan rendah- Dewasa-Perempuan
JSML
: Jaba-Pekerjaan tinggi- Muda-Laki-laki
JSMP
: Jaba-Pekerjaan menengah-Muda-Perempuan
JRDL
: Jaba-Pekerjaan rendah-Dewasa-Laki-laki
JRDP
: Jaba-Pekerjaan tinggi- Dewasa-Perempuan
JRML
: Jaba-Pekerjaan menengah- Muda-Laki-laki
JRMP
: Jaba-Pekerjaan rendah-Muda-Perempuan
DAFTAR TANDA
(1) Kata yang dicetak dengan huruf kapital, miring, dan tebal: kata kasar
(2) Kata yang dicetak dengan huruf miring dan bergaris bawah: kata biasa
(3) Kata yang dicetak dengan huruf kapital dan miring: kata alus
(4) Kata yang dicetak dengan huruf miring dan tebal: kata serapan bahasa Inggris
(5) Kata yang dicetak dengan huruf kapital, miring, tebal, dan bergaris bawah:
kata serapan bahasa Sansekerta
xxxix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Spolsky (2003) menyatakan bahwa orang awam cenderung hanya melihat
guyub tutur sebagai suatu kelompok masyarakat yang menggunakan bahasa
tertentu. Pernyataan tersebut dimaknai bahwa bahasa bisa digunakan sebagai
suatu identitas yang membedakan satu guyub tutur dengan guyub tutur yang
lainnya. Slogan yang terkenal dalam hubungannya dengan konsep guyub tutur itu
adalah la francophonic, yang berarti guyub tutur penutur bahasa Perancis. Slogan
tersebut mengandung makna adanya kemungkinan untuk terjadinya suatu bentuk
kerja sama antarpenutur bahasa Perancis di seluruh dunia.
Namun, cara pandang tersebut tidak seluruhnya benar karena selain
penggunaan bahasa yang sama, ada faktor lain yang juga perlu diperhatikan.
Gumperz (1972) menyatakan bahwa guyub tutur mengacu pada pemahaman
penuturnya akan batasan dan pilihan komunikasi yang memengaruhi situasisituasi sosial tertentu. Hal itu berarti bahwa guyub tutur merupakan suatu jejaring
komunikasi yang saling terkait secara kompleks, dan anggotanya memiliki
pemahaman dan sikap yang sama tentang pola penggunaan bahasa kelompoknya
dan kelompok yang lain. Selain itu, Gumperz (1972) juga mengemukakan bahwa
tidak ada batasan untuk lokasi dan ukuran (jumlah penutur) dari suatu guyub
tutur, sehingga secara praktis, guyub tutur hanya dipersepsikan sebagai suatu
1
2
“ruang abstrak” yang berkaitan dengan setidaknya seperangkat variasi bahasa
serta norma penggunaan bahasa tersebut.
Salah satu guyub tutur bahasa yang besar di Indonesia adalah guyub tutur
bahasa Bali dengan jumlah penutur lebih dari dua setengah juta orang (BPS
Provinsi Bali, 2008). Bali merupakan sebuah pulau dan sekaligus juga salah satu
provinsi di wilayah Indonesia. Pulau/Provinsi Bali terletak di bagian timur
Indonesia dan berada di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Sebagai provinsi,
Bali terbagi atas delapan Kabupaten dan satu kota madya, yaitu Kabupaten
Badung, Gianyar, Bangli, Semarapura, Karangasem, Buleleng, Tabanan,
Jembrana, dan Kota Madya Denpasar.
Secara temporal bahasa Bali dibedakan atas bahasa Bali Kuno, bahasa Bali
Tengahan, dan bahasa Bali Baru (Bawa, 2002a: 36-37). Bahasa Bali Kuno
digunakan sebelum abad ke-14 dan banyak menyerap kosakata bahasa Sansekerta.
Selain itu, bahasa itu juga tidak mengenal tingkat tutur. Berikutnya, bahasa Bali
Tengahan mulai digunakan pada sekitar abad ke-14 ketika Kerajaan Majapahit
berkuasa di Bali. Bahasa Bali Tengahan banyak menyerap kosakata bahasa
Sansekerta dan bahasa Jawa. Bahasa Bali Tengahan kerap juga disebut dengan
bahasa Bali Kawi karena bahasa itu digunakan pada berbagai karya tulis tentang
babad, filsafat, pengobatan dan lain-lain yang masih lestari sampai sekarang
dalam berbagai karya tulis. Terakhir, bahasa Bali Baru digunakan pada awal abad
ke-19. Bahasa Bali Baru menyerap kosakata bahasa Bali Tengahan, serta unsurunsur kosa kata bahasa Belanda, bahasa Melayu, dan bahasa-bahasa lainnya. Pada
bahasa Bali Baru-lah, penggunaan tingkat tutur dapat ditemukan.
3
Secara regional bahasa Bali dibedakan atas dialek Bali Aga (dialek
pegunungan) dan dialek Bali Dataran atau dialek umum (Bawa, 2002b: 20).
Dialek Bali Aga digunakan di beberapa lokasi di daerah pegunungan yang
terdapat di sekitar wilayah Buleleng, Bangli, dan Tabanan. Penggunanya adalah
kelompok masyarakat “asli” Bali yang menyingkir ke daerah-daerah tersebut
ketika Bali dikuasai oleh kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Keunikan dialek
Bali Aga adalah pada ketiadaan tingkat tutur. Sebaliknya, dialek Bali Dataran
merupakan dialek yang digunakan di wilayah Bali pada umumnya dengan penutur
yang jauh melebihi penutur dialek Bali Aga. Ciri khas dari dialek Bali Dataran
yang juga kerap dianggap sebagai ciri bahasa Bali secara umum adalah bahwa
dialek itu memiliki stratifikasi atau tingkat tutur. Tingkat tutur itulah yang
menjadi fokus pada penelitian ini.
Tingkat tutur menstratifikasi tuturan bahasa Bali menjadi beberapa bagian
berdasarkan rasa bahasa. Menurut Geertz (1972), rasa memiliki dua makna yang
saling terkait, yakni meaning ‘makna’ dan feeling ‘perasaan’ sehingga rasa yang
dimaksudkan tidak hanya berkaitan dengan makna secara denotatif atau leksikal,
tetapi juga cita rasa bahasa yang terentang dari halus sampai kasar. Rentangan itu
sejalan dengan dikotomi tinggi-rendah yang diwujudkan pada bahasa Bali menjadi
alus atau singgih ‘halus’ dan kasar, andap, atau sor ’rendah’ .
Tingkat tutur secara umum dibagi menjadi dua, yakni basa andap dan
basa alus (Suastra, 1998: 58). Basa andap terdiri atas basa biasa dan basa kasar.
Basa biasa merupakan tingkat tutur netral karena tingkat tutur itu tidak bersifat
menghormati ataupun merendahkan (tidak halus ataupun kasar). Tingkat tutur itu
4
digunakan di antara sesama jaba atau digunakan oleh penutur triwangsa kepada
mitra tutur jaba. Sebaliknya, basa kasar merupakan tingkat tutur kasar yang dapat
digunakan pada suatu hubungan yang sangat akrab atau untuk mengungkapkan
kemarahan. Pada keakraban yang tinggi, tingkat tutur kasar digunakan untuk
menandai keintiman; sedangkan pada saat marah, tingkat tutur itu digunakan
dalam bentuk umpatan, sumpah serapah, dan lain-lain.
Basa alus terdiri atas basa alus singgih, basa alus sor, dan basa alus
madia. Basa alus singgih ‘halus atas’ digunakan untuk menghormati mitra tutur
yang berwangsa lebih tinggi atau yang pantas dihormati. Basa alus sor ‘halus
bawah’ digunakan untuk merendahkan diri ketika bercakap-cakap dengan mitra
tutur yang berwangsa lebih tinggi. Basa alus madia ‘halus tengah’ merupakan
tingkat tutur yang dari segi rasa kesopanan berada di tengah-tengah dan dapat
digunakan untuk mitra tutur yang berwangsa lebih tinggi, yang sewangsa, atau
yang berwangsa lebih rendah serta pantas untuk dihormati. Singkatnya, basa alus
digunakan untuk menunjukkan penghormatan kepada mitra tutur.
Kehadiran tingkat tutur merefleksikan pelapisan sosial tradisional
masyarakat Bali yang berdasarkan wangsa (Suarjana, 2007:102). Wangsa
merupakan pengelasan sosial masyarakat tradisional Bali yang bersifat tertutup
karena penentu utama bagi keanggotaan kelas wangsa adalah kelahiran. Hal itu
berarti bahwa kelas wangsa bersifat diwariskan. Dengan demikan, masyarakat
Bali cenderung tidak dapat berpindah kelas wangsa seumur hidupnya, kecuali
melalui perkawinan beda wangsa bagi pihak perempuan atau pada beberapa
peristiwa khusus, atas keinginan raja.
5
Wangsa membagi masyarakat Bali menjadi dua kelas sosial umum yang
terikat dengan status dan prestise. Wangsa yang berstatus dan berprestise lebih
tinggi adalah triwangsa yang terdiri atas brahmana, ksatria, dan wesia; sedangkan,
wangsa yang berstatus dan berprestise lebih rendah adalah jaba. Brahmana
merupakan golongan pendeta atau pemimpin religius yang berperan sebagai
pemimpin upacara keagamaan di masyarakat; ksatria merupakan kelompok
masyarakat yang terdiri
atas raja dan para bangsawan kerajaan; dan wesia
merupakan golongan yang bekerja demi kepentingan pihak kerajaan dan terdiri
atas para patih, para fungsionaris istana, dan abdi istana. Sebaliknya, jaba terdiri
atas masyarakat kebanyakan.
Perbedaan antara triwangsa dan jaba menandai perbedaan perlakuan yang
tajam secara sosial-politik dan religius, khususnya pada zaman dahulu. Secara
sosial-politik, raja memiliki kekuasaan absolut sebagai penjelmaan “dewa” di
dunia dan kekuatan kekuasaan itu juga menyebar di kalangan triwangsa lainnya
yang berhubungan sangat dekat dengan kekuasaan. Pekerjaaan-pekerjaan yang
berhubungan dengan pemerintahan dan administrasi pemerintahan dimonopoli
oleh golongan triwangsa, sedangkan masyarakat jaba umumnya hanya bekerja
sebagai petani penggarap yang kepemilikan lahannya juga berada di tangan
kalangan triwangsa. Selain itu, perbedaan antarwangsa juga dikukuhkan secara
religius dengan penggunaan simbol-simbol upacara yang sudah terkategori ketat
berdasarkan wangsa. Dengan kata lain, masyarakat triwangsa memiliki banyak
hak istimewa yang tidak dimiliki oleh masyarakat jaba dan oleh karenanya
digolongkan sebagai kelas atas.
6
Kelompok triwangsa menggunakan nama gelar wangsa di depan namanya,
tetapi kelompok jaba tidak menggunakan nama gelar (Antara, 2012: 27-28;
Diantha dan Wisanjaya, 2010: 60-63; dan Hobart, dkk 1996: 76-77). Wangsa
brahmana menggunakan gelar ida, ida bagus atau ida ayu; wangsa ksatria
menggunakan gelar dewa agung, dewa, i dewa, anak agung, cokorda, i gusti, dan
lain-lain; wangsa wesia menggunakan gelar gusti; sedangkan, jaba tidak
menggunakan gelar apa pun pada namanya.
Sehubungan dengan peralihan zaman, dari zaman tradisional ke zaman
modern, yang ditandai oleh pergaulan global dan keterbukaan informasi,
penentuan kelas sosial masyarakat Bali yang berdasarkan wangsa mengalami
suatu dinamika. Witterman (1967) mengungkapkan bahwa ada dua perubahan
mendasar yang terjadi di Indonesia sejak masa kemerdekaan sebagai bentuk
kebijakan pemerintah. Perubahan pertama berupa perubahan masyarakat yang
terstruktur secara feodal ke struktur egaliter dan diwujudkan melalui pemangkasan
peran, status, dan pengaruh golongan bangsawan tradisional secara sosial politik
untuk mendorong semangat egalitarianisme. Perubahan kedua berupa penyatuan
pluralitas regional, politik, dan budaya ke dalam pola pikir modern yang
dipengaruhi oleh industrialisasi dan persamaan.
Suastra (1998) berikutnya menjelaskan bahwa sejak masa kolonial sampai
masa kemerdekaan, sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,
kelas sosial tradisional di Bali mengalami tantangan dari dua arah. Dari dalam,
tantangan itu berasal dari evolusi masyarakat Bali itu sendiri. Evolusi tersebut
berupa perubahan pengelompokan kelas sosial dari sistem wangsa yang bersifat
7
tertutup ke suatu sistem kelas yang lebih terbuka. Hal itu terjadi karena kerajaankerajaan yang menjadi pusat kehidupan sosial-budaya dan religius tidak lagi
diakui oleh negara setelah masa kemerdekaan sehingga kehidupan sosial-budaya
dan religius masyarakat tidak lagi berpusat pada kerajaan. Sepakat dengan hal itu,
Wiana (2006) mengungkapkan bahwa konsep wangsa telah mengalami tantangan
dan menimbulkan kesalahpahaman atau konflik di masyarakat Bali sendiri.
Tantangan atau konflik itu muncul karena angggota masyarakat Bali mulai
menyadari bahwa sistem wangsa yang bersifat tertutup merupakan penerapan
yang tidak tepat dari sistem varna yang bersifat terbuka.
Terkait dengan tantangan dari luar, kedatangan orang barat dan penduduk
Indonesia yang lain ke Bali membawa citra baru yang memengaruhi sistem sosial
masyarakat Bali. Masyarakat luar tersebut menganut paham Islam atau Kristen
dan mempersepsi kelas sosial sebagai sesuatu yang terkait dengan kekayaan atau
moralitas, bukan kelahiran. Kedatangan mereka itu dirumuskan sebagai proses
“internasionalisasi” Bali (Laksana, 2008: 2-3) yang menjadikan Bali sebagai
wilayah yang banyak didatangi oleh wisatawan, baik wisatawan domestik,
mancanegara, maupun masyarakat luar yang bertujuan untuk mencari pekerjaan di
Bali. Dengan kata lain, Bali telah menjadi suatu kancah pergaulan internasional
yang telah memengaruhi sistem sosialnya menjadi lebih terbuka.
Dinamika sosial tersebut sejalan dengan pengamatan yang dilakukan oleh
Suarjana (2008) dan Dwipayana (2001) yang mengungkapkan bahwa pada zaman
modern, setiap anggota masyarakat dari wangsa mana pun, baik triwangsa
maupun jaba memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi anggota kelas atas
8
karena penentuan kelas tidak lagi berdasarkan wangsa. Selanjutnya, Suarjana
(2008) merumuskan skema berikut untuk menunjukkan perbedaan penentuan
kelas sosial secara tradisional dan modern:
(1) Secara tradisional:
A
B
Golongan atas
Golongan bawah
:
:
triwangsa
jaba
:
:
triwangsa + jaba
triwangsa + jaba
(2) Secara modern:
A
B
Golongan atas
Golongan bawah
Skema itu menunjukkan bahwa wangsa sebagai satu-satunya penentu kelas sosial
secara tradisional telah mengalami dinamika pada zaman modern ini. Dalam hal
ini, peran wangsa telah semakin menyusut dan digantikan oleh faktor lain yang
berkaitan dengan ekonomi, yakni pekerjaan, jabatan, atau kekayaan –faktor
penentu kelas sosial modern.
Walaupun hubungan antara dinamika sosial dan tingkat tutur bahasa Bali
merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji, penelitian-penelitian yang
dilakukan untuk mengkaji hubungan antara kedua hal tersebut masih sangat
terbatas sehingga perlu untuk diberikan perhatian lebih. Salah satu penelitian yang
relevan dan penting adalah penelitian yang dilakukan oleh Suastra (1998). Dalam
disertasinya yang berjudul
Speech Levels and Social Change: a sociolinguistic
study in the urban Balinese setting, Suastra (1998) mengkaji pola perubahan yang
terjadi pada stratifikasi sosial masyarakat Bali dalam hubungannya dengan
penggunaan penggunaan tingkat tutur bahasa Bali di wilayah perkotaan di Bali
Selatan.
9
Melalui hasil kajiannya, Suastra menemukan bahwa (1) perubahan pada
perilaku sosial masyarakat Bali membawa perubahan pada perilaku linguistik
mereka ketika menggunakan bahasa Bali; (2) tingkat tutur tidak hanya digunakan
antarwangsa yang berbeda, yaitu dari triwangsa ke nontriwangsa atau sebaliknya;
tetapi juga digunakan antarsesama wangsa pada berbagai ranah yang berbeda; (3)
penutur cenderung untuk mengurangi penggunaan kosakata bahasa Bali pada
pertuturan bahasa Bali dan menggantinya dengan kosakata netral bahasa
Indonesia dan bahasa yang lainnya; (4) penutur muda, dibandingkan dengan
penutur yang lebih tua, cenderung lebih banyak menggunakan kosakata bahasa
Indonesia pada pertuturan dengan bahasa Bali; (5) penutur perempuan bahasa
Bali,
dibandingkan
dengan
penutur
laki-laki,
cenderung
lebih
banyak
menggunakan kosakata bahasa Indonesia pada pertuturan dengan bahasa Bali; (6)
penutur cenderung untuk mencampuradukan butir-butir leksikal dari tingkat tutur
yang berbeda, dan (7) perbedaan tingkat tutur yang kompleks menjadi semakin
disederhanakan pada daerah Bali perkotaan.
Suastra (1998) lebih lanjut menyatakan bahwa kajian mengenai tingkat
tutur dalam hubungannya dengan dinamika masyarakat masih sangat penting
untuk dilakukan terutama di wilayah-wilayah pedesaan di Bali. Sepakat dengan
pernyataan itu,
Seken (2005) juga mengungkapkan bahwa kajian tentang
penggunaan bahasa Bali sebagai kendaraan sosial masih sangat jarang dilakukan.
Pernyataan kedua ahli itu mendorong dilakukannya pengkajian penggunaan
bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja.
10
Guyub tutur Kota Singaraja, ibu kota Kabupaten Buleleng (dahulu Den
Bukit), dipilih sebagai lokasi penelitian karena guyub itu merupakan guyub tutur
yang unik karena beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, guyub tutur tersebut
dikenal memiliki stereotip sebagai guyub tutur yang penggunaan bahasanya kasar
dan kurang mengenal sor singgih basa ‘tata krama berbahasa’ (Laksana, 2009;
dan Wingarta, 2009: 12). Laksana (2009) melaporkan bahwa penutur BB daerah
Bali lainnya yang baru menetap di Kota Singaraja kerap terkejut karena menerima
penggunaan bahasa kasar. Senada dengan hasil pengamatan Laksana (2009),
Wingarta (2009) juga menambahkan bahwa ungkapan nunasang antuk linggih
‘Mohon disebutkan tempat duduk (wangsa) anda’ yang lazim digunakan untuk
menanyakan posisi wangsa seseorang kerap ditanggapi sinis oleh penutur guyub
tutur Kota Singaraja dengan jawaban pelinggihan tiange motor Honda ‘tempat
duduk saya sepeda motor Honda’.
Selain itu, walaupun lokasinya terisolasi dari wilayah Bali yang lainnya,
Kota Singaraja sempat menjadi kota pelabuhan yang ramai. Oleh sebab itu, Kota
Singaraja pernah menjadi kota tempat bertemunya masyarakat antaretnis yang
berbeda, seperti China, Jawa, Madura, Bugis, Makasar dan Arab dan bahkan,
keturunan mereka masih menetap di Kota Singaraja (Sastrodiwiryo, 2006:77110). Selain itu, Kota Singaraja juga pernah menjadi ibu kota Negara Indonesia
Timur (NIT) sebelum dipindahkan ke Denpasar. Keramaian dan percampuran
etnis itu tentu saja memengaruhi penggunaan bahasa Bali di Kota Singaraja
(Sukrata dalam Ginarsa dkk, 1975: 28)
11
Berbeda dengan wilayah Bali lainnya yang cenderung feodal, Kota
Singaraja bernuansa lebih egaliter (Wingarta, 2009 :80). Keegaliteran itu terwujud
karena pengaruh kuat dari budaya egaliter masyarakat Bali Aga yang mendiami
wilayah pegunungan di sekitar wilayah Singaraja. Keegaliteran itu juga diperkuat
oleh kurang mengakarnya pengaruh kerajaan yang menjadi intisari dari
feodalisme di Bali. Kerajaan Buleleng hanya sempat berjaya sebentar, yakni
selama masa pemerintahan Ki Gusti Panji Sakti, dan setelah itu, terjun ke dalam
kemelut politik yang panjang. Kota Singaraja bahkan merupakan satu-satunya
wilayah yang berada di bawah pemerintahan langsung seorang Kanselir Belanda
ketika Negara Belanda menjajah Bali.
Paparan tentang keunikan guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja yang
berkaitan dengan stereorip guyub, pergaulan multietnis, dan budaya egaliternya
menjadikan kota itu menarik untuk dikaji terutama dalam hubungannya dengan
penggunaan bahasa Bali. Hal itu semakin diperkuat lagi karena bahasa Bali yang
digunakan di Kota Singaraja, selain di Kota Klungkung, diacu sebagai model bagi
bahasa Bali ragam standar (Suarjana, 2007: 66).
Pada penelitian ini, peneliti mengkaji tentang bentuk tingkat tutur bahasa
Bali yang digunakan pada guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja; penggunaan
tingkat tutur bahasa Bali dalam kaitannya dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan
gender; faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali;
dan sikap penutur terhadap tingkat tutur bahasa Bali.
12
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, ada empat masalah yang dikaji pada
penelitian ini sebagai berikut.
(1) Bagaimanakah bentuk tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur bahasa
Bali Kota Singaraja?
(2) Bagaimanakah penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dalam hubungannya
dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender pada guyub tutur bahasa
Bali Kota Singaraja?
(3) Apakah faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa
Bali pada guyub tutur bahasa Bali kota Singaraja?
(4) Bagaimanakah sikap penutur bahasa Bali pada guyub tutur bahasa Bali
Kota Singaraja terhadap tingkat tutur bahasa Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memaparkan, menjelaskan,
menguraikan, dan menginterpretasikan bentuk dan penggunaan tingkat tutur
bahasa Bali pada guyub tutur Kota Singaraja. Secara khusus, penelitian ini
dilakukan dengan tujuan sebagai berikut.
(1) Memaparkan bentuk tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur Kota
Singaraja.
(2) Menjelaskan hubungan antara wangsa, pekerjaan, umur dan gender dengan
(a) penggunaan tingkat tutur alus, (b) penggunaan tingkat tutur biasa, dan
(c) penggunaan tingkat tutur kasar pada guyub tutur kota Singaraja.
13
(3) Menguraikan dan menginterpretasikan faktor–faktor yang memengaruhi:
(a) penggunaan tingkat tutur alus, (b) penggunaan tingkat tutur biasa, dan
(c) penggunaan tingkat tutur kasar pada guyub tutur Kota Singaraja
(4) Menjelaskan dan menginterpretasikan sikap penutur guyub tutur bahasa
Bali kota Singaraja terhadap tingkat tutur bahasa Bali yang meliputi: (a)
sikap terhadap tingkat tutur alus, (b) sikap terhadap tingkat tutur biasa,
dan (c) sikap terhadap tingkat tutur kasar.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan manfaat bagi berbagai
khalayak, baik itu secara teoritis maupun praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoritis, hasil penelitian ini terutama diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap perkembangan keilmuan sosiolinguistik karena penelitian ini
dilakukan pada bidang tersebut. Penelitian ini dilakukan dalam upaya untuk
memaparkan bentuk tingkat tutur bahasa Bali, menjelaskan hubungan antara
penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dengan variabel sosial penutur, menguraikan
faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali, dan sikap
terhadap tingkat tutur bahasa Bali. Untuk itu, teori-teori yang digunakan adalah
teori-teori yang menghubungkan antara penggunaan tingkat tutur bahasa Bali
dengan variabel sosial penutur, seperti teori yaitu teori variasi linguistik, teori
tingkat tutur bahasa Bali, teori etnogafi komunikasi, teori analisis domain, teori
desain pendengar, teori sistem sapaan, dan teori budaya dan sosialisasi bahasa.
14
Selain itu, penelitian ini juga menerapkan teori sikap bahasa. Oleh karena itu,
hasil penelitian ini diharapkan untuk memberikan kontribusi yang penting sebagai
berikut.
(1) Sebagai sumbangan teori, yakni teori baru yang digali dan dibahas
berdasarkan data penelitian yang diperoleh di tempat spesifik. Karena
penelitian ini meneliti BB yang terkenal dengan tingkat tuturnya, maka
teori yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pembanding untuk
menganalisis bahasa-bahasa lain yang sekerabat atau yang memiliki
tingkat tutur, seperti bahasa Sunda, bahasa Madura, bahasa Jawa, bahasa
Sasak, bahasa Korea, dan bahasa Jepang.
(2) Sebagai salah satu acuan ilmiah yang dapat menjelaskan hubungan antara
struktur sosial dengan penggunaan bahasa.
(3) Sebagai salah satu acuan pustaka yang dapat digunakan untuk membedah
penggunaan bahasa-bahasa lain yang berstratifikasi, seperti bahasa Sunda,
bahasa Madura, bahasa Jawa, bahasa Sasak, bahasa Korea, dan bahasa
Jepang.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi guru, pembelajar BB, dan ahli bahasa, khususnya ahli sosiolinguistik serta
pengambil kebijakan pada pelestarian dan pengembangan bahasa.
(1) Guru dan pembelajar BB dapat memanfaatkan hasil penelitian ini untuk
memperluas dan memperdalam wawasan mengenai penggunaan BB
15
(2) Peneliti dan ahli bahasa dapat memanfaatkan hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai acuan pembanding dalam melakukan penelitian sejenis,
terutama pada bahasa-bahasa yang bertingkat seperti BB.
(3) Pengambil kebijakan pada pelestarian dan pengembangan bahasa dapat
memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai salah satu rujukan untuk
mengetahui status dan situasi penggunaan BB dalam rangka melestarikan
nilai-nilai budaya dan bahasa daerah, khususnya BB.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA
TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka penelitian ini bertujuan untuk (1) melihat model, arah, dan
temuan-temuan yang telah dicapai, (2) menunjukkan signifikansi penelitian ini
dalam kaitannya dengan penelitian-penelitian sejenis, dan (3) menarik manfaat
dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, baik berupa data, konsep, model, metode,
maupun teori. Pada bagian ini diuraikan kajian-kajian yang relevan yang telah
dilakukan terkait dengan penggunaan tingkat tutur.
Bagus (1979) mengkaji perubahan penggunaan bentuk hormat dalam
masyarakat Bali. Pada kajiannya, Bagus (1979) membuat asumsi dasar bahwa
ketika berbicara dengan mitra tutur yang berkedudukan lebih tinggi secara sosial,
orang yang berkedudukan lebih rendah tersebut sepantasnya menggunakan bentuk
hormat sesuai dengan norma sopan santun berbahasa. Sebaliknya, ketika orang
yang berkedudukan lebih tinggi secara sosial berbicara pada orang yang
berkedudukan lebih rendah, ia biasanya menggunakan bahasa lepas hormat.
Berdasarkan asumsi tersebut dan berhubungan dengan situasi sosial
masyarakat Bali yang semakin kompleks karena tumbuhnya kelas-kelas sosial
yang menantang monopoli wangsa, dirumuskanlah dua hipotesis berikut.
Hipotesis pertama adalah “bilamana masyarakat itu strukturnya menjadi lebih
kompleks sebagai akibat perubahan zaman, maka penggunaan bentuk hormat pun
16
17
akan mengalami perubahan”. Hipotesis kedua adalah “apabila di dalam
masyarakat terdapat perubahan-perubahan dalam mempergunakan bentuk hormat,
maka pengetahuan orang pun mengenai bentuk hormat itu akan menunjukkan
perbedaan yang berarti.”
Bagus (1979) mengombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dan
menjadikan Kota Klungkung dan Kota Denpasar sebagai lokasi penelitian. Kota
Klungkung merupakan pusat politik dan budaya tradisional, sedangkan Kota
Denpasar adalah Kota yang terkategori heterogen dan banyak mendapat pengaruh
luar. Selain itu, Sampel diambil berdasarkan kerangka sampel yang disusun
berdasarkan wangsa, yaitu triwangsa dan jaba; pekerjaan, yaitu petani, pegawai,
pengusaha, dan mahasiswa; generasi, yaitu generasi tua (lebih dari 25 tahun) dan
generasi muda (kurang dari 25 tahun); dan kehidupan Kota. Selanjutnya, data
dikumpulkan dengan menggunakan angket, observasi partisipasi, dan wawancara
tak terstruktur.
Hasil penelitian sejalan dengan hipotesis yang dibuat yang berarti bahwa
terdapat suatu perubahan dalam penggunaan bentuk hormat sejalan dengan
perubahan struktur masyarakat yang menjadi semakin kompleks. Secara lebih
spesifik, terungkap bahwa (1) terdapat suatu penyusutan dalam penggunaan
bentuk hormat; dan (2) penggunaan bentuk hormat tidak hanya berhubungan
dengan wangsa, tetapi juga pekerjaan yang dalam hal ini orang yang memiliki
pekerjaan yang lebih baik walaupun wangsanya lebih rendah cenderung lebih
menerima penggunaan bentuk hormat dibandingkan dengan yang memiliki
pekerjaan yang lebih rendah.
18
Penelitian Bagus (1979) tersebut telah meletakkan fondasi yang kuat bagi
penelitian-penelitian berikutnya tentang penggunaan tingkat tutur bahasa Bali
karena penelitian tersebut dapat memberikan suatu gambaran ilmiah akan adanya
suatu indikasi perubahan norma penggunaan bahasa pada guyub tutur bahasa Bali
dalam kaitannya dengan wangsa, pekerjaan, generasi, dan kehidupan Kota yang
terdeteksi melalui penggunaan bentuk hormat.
Suastra (1998) mengkaji pengaruh perubahan sosial pada masyarakat Bali
terhadap struktur dan bentuk tingkat tutur bahasa bali. Kajian itu dilakukan secara
kuantitatif yang melibatkan variabel pengaruh dan variabel terpengaruh. Variabel
terpengaruh adalah tingkat tutur bahasa Bali, sedangkan variabel terpengaruh
terdiri atas pekerjaan (status sosial), wangsa, jenis kelamin, umur, dan jejaring
sosial.
Hasil kajian Suastra (1998) menunjukkan bahwa (1) perubahan pada
perilaku sosial masyarakat Bali berpengaruh pada perilaku linguistik mereka
dalam penggunaan bahasa Bali; (2) pekerjaan, wangsa, dan jejaring sosial
memengaruhi penggunaan tingkat tutur secara signifikan, (3) jenis kelamin dan
umur tidak memengaruhi penggunaan tingkat tutur secara signifikan; (4) penutur
cenderung untuk mengurangi penggunaan kosakata bahasa Bali pada pertuturan
bahasa Bali dan menggantinya dengan kosakata netral bahasa Indonesia dan
bahasa yang lainnya; (4) penutur muda, dibandingkan dengan penutur yang lebih
tua, cenderung lebih banyak menggunakan kosakata bahasa Indonesia pada
pertuturan dengan bahasa Bali; (6) penutur perempuan bahasa Bali, dibandingkan
dengan penutur laki-laki, cenderung lebih banyak menggunakan kosakata bahasa
19
Indonesia pada pertuturan dengan bahasa Bali; (7) penutur cenderung untuk
mencampuradukan item-item leksikal dari tingkat tutur yang berbeda, dan (8)
perbedaan tingkat tutur yang kompleks menjadi semakin disederhanakan pada
daerah Bali perkotaan. Selain itu, Suastra (1998) juga meramalkan bahwa upaya
untuk menggunakan kosakata bahasa Indonesia dalam pertuturan bahasa Bali
dapat menjadi agen perubahan bagi kemunculan suatu kategori tingkat tutur yang
baru yang melibatkan penggunaan bahasa Indonesia dalam bahasa Bali.
Kalau diperhatikan secara mendalam, penelitian yang dilakukan oleh
Suastra (1998) tersebut dapat memberikan gambaran yang lengkap akan situasi
sosiolinguistik perkotaan di Bali, khususnya Kota Denpasar. Selain itu, penerapan
pendekatan kuantitatif yang mendetail dapat menjelaskan secara akurat hubungan
antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh. Oleh sebab itu, ada beberapa
kontribusi yang bisa dimanfaatkan dari penelitian tersebut bagi kepentingan
penelitian ini secara teori, metode, dan temuan.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Suastra (1998) terletak pada
objek penelitian dan aspek yang dikaji, yaitu tingkat tutur bahasa Bali yang dikaji
secara sosiolinguistik. Akan tetapi, lokasi penelitian, penerapan teori, dan metode
penelitian yang digunakan berbeda. Selain itu, penelitian ini juga melakukan
kajian tentang sikap bahasa yang diharapkan bisa memperkaya pembahasan.
Mahyuni (2006) mengkaji pengaruh perubahan sosial terhadap norma
penggunaan base Sasak dengan mengeksplorasi konsep tèndèh. Konsep tèndèh
berkaitan dengan kemampuan untuk memenuhi perilaku sosial, kesopanan, dan
gaya bahasa yang sesuai dengan tuntutan situasi. Konsep itu menunjukkan bahwa
20
memahami adat dalam konteks budaya Sasak sangatlah penting dan seorang
penutur diharapkan untuk menggunakan bahasa sopan demi terwujudnya suatu
harmoni sosial dengan
cara menyesuaikan pola tutur dengan tujuan-tujuan
komunikasi dan interlokutornya.
Karena pengaruh budaya Bali, bahasa Sasak juga memiliki tingkat tutur
yang terdiri atas jamaq ‘biasa’, tengag ‘tengah-tengah’, dan utame ‘utama’.
Fungsi tingkat tutur bahasa Sasak adalah untuk menandai dan memisahkan kasta
pada guyub tutur bahasa Sasak, yaitu antara kelompok menak ‘bangsawan’ dan
nonmenak ‘nonbangsawan’. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan zaman,
kekuatan kasta itu terancam oleh nilai-nilai modernitas dan pengajaran egaliter
Islam.
Hasil kajian Mahyuni (2006) selanjutnya mengungkapkan hal-hal berikut
ini. Pertama, perubahan sosial pada komunitas Sasak memengaruhi penggunaan
tingkat tutur bahasa Sasak. Dalam hal ini, tingkat tutur utama menjadi lebih
banyak digunakan di lingkungan nonmenak yang memiliki gelar religius dan
penggunaan itu ditujukan untuk menjaga jarak dan saling menghormati di antara
partisipan yang terlibat. Kedua, tingkat tutur utama sudah mengalami revitalisasi
dan memperoleh status baru melalui afiliasinya dengan agama Islam, pendidikan,
dan posisi sosial. Ketiga, walaupun tidak ada suatu korelasi langsung antara
kekayaan seseorang dengan penggunaan bahasa pada komunitas Sasak, ada suatu
indikasi adanya korelasi tidak langsung. Hal itu bisa dipahami karena untuk
melakukan ibadah ke Mekkah dan menjadi seorang haji/hajah yang merupakan
suatu pencapaian religius yang tinggi, seseorang perlu untuk berharta.
21
Penelitian yang dilakukan oleh Mahyuni (2006) tersebut dapat
memberikan gambaran yang cukup lengkap dan bermakna tentang situasi
kebahasaan pada guyub tutur bahasa Sasak. Pendekatan penelitiannya yang
menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan penekanan pada
penelitian lapangan sungguh tepat dalam mengkaji permasalahan yang didekati.
Suatu ide yang menarik dan penting dapat diadopsi dari penelitian Mahyuni, yakni
penggunaan konsep sapaan sebagai indikator penting dalam penentuan tingkat
tutur dan sikap seseorang terhadap mitra tutur.
Selanjutnya, Suteja (2007) mengkaji sikap bahasa mahasiswa etnis Bali
terhadap penggunaan tingkat tutur bahasa Bali. Peneliti tersebut membagi sampel
penelitian berdasarkan tempat tinggal, yakni kota dan desa, dan wangsa, yakni,
triwangsa dan nontriwangsa. Data penelitian dikumpulkan melalui metode analisis
konten, pengukuran langsung, pengukuran taklangsung, dan pengamatan
lapangan.
Hasil penelitan Suteja (2007) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
sikap yang signifikan terhadap bahasa Bali alus tinggi, alus madia, dan lumrah
antara mahasiswa yang tinggal di kota dan di desa, dan antara mahasiswa
triwangsa dan nontriwangsa. Dalam hal ini, rerata sikap mahasiswa terhadap alus
tinggi negatif, terhadap alus madia netral, dan terhadap lumrah positif.
Sikap negatif terhadap alus tinggi dipengaruhi oleh kepercayaan bahwa
penggunaan ragam alus tinggi tidak mencerminkan kesetaraan, rumit, dan hanya
mewadahi hal-hal yang berbau tradisional. Kepercayaan itu bertolak belakang
dengan masyarakat terdidik yang cenderung menghargai kesetaraan. Berbeda
22
dengan sikap terhadap alus tinggi, sikap terhadap alus madia berada pada posisi
netral karena alus madia dianggap sebagai pengganti alternatif bagi alus tinggi
dan sudah berterima di kelompok triwangsa. Penggunaan alus madia
menunjukkan perilaku saling menghargai. Sementara itu, sikap positif terhadap
BB lumrah didasari oleh kepercayaan bahwa BB lumrah telah menjadi alat
komunikasi
sehari-hari,
mencerminkan
kesetaraan
sosial,
dan
memiliki
penggunaan yang luas.
Hasil penelitian Suteja (2007) dapat menggambarkan fenomena sikap
mahasiswa penutur BB terhadap tingkat tutur BB secara meyakinkan. Hal itu
berkaitan dengan penerapan metode-metode pengumpulan data yang tepat untuk
mengumpulkan data yang sahih dan meyakinkan. Selain itu, kalkulasi statistik
inferensial yang digunakan dapat pula memberikan gambaran yang diinginkan
dengan cukup jelas.
Hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan tersebut dapat menjadi suatu
acuan pembanding yang sangat penting bagi penelitian ini. Secara metodologis,
hasil-hasil penelitian tersebut membantu memperkaya dan memperdalam paparan
metodologi yang diterapkan pada penelitian ini. Teori-teori yang diterapkan juga
sangat bermanfaat untuk memperkaya teori-teori yang digunakan pada penelitian
ini. Terakhir, temuan-temuan yang telah dibuat diperbandingkan dengan temuantemuan pada penelitian ini untuk mewujudkan suatu paparan yang kaya makna,
komprehensif, dan mendalam. Dengan kata lain, hasil-hasil penelitian terdahulu
dimanfaatkan secara kritis bagi penelitian ini.
23
2.2 Konsep
Bagian ini menguraikan konsep dasar yang terkait dengan judul dan teori
yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep itu meliputi penggunaan
bahasa, variasi, tingkat tutur BB, guyub tutur, wangsa, kelas sosial, dan sikap.
2.2.1 Penggunaan Bahasa
Dengan meminjam definisi Purwoko (2008a), penggunaan bahasa dapat
diartikan sebagai cara seorang penutur menggunakan potensi-potensi bahasa yang
dikuasainya berhubungan dengan situasi sosiokultural penuturnya sebagai media
komunikasi dalam interaksi sehari-hari. Dengan kata lain, penggunaan BB
mengacu pada bagaimana BB digunakan di dalam kehidupan nyata seorang
penutur BB yang mencerminkan perilaku dan fenomena sosial penuturnya.
Dengan demikian, kajian yang dilakukan tentang penggunaan BB adalah lebih
pada penggunaan ragam tutur BB, daripada seluk beluk tata bahasa.
Penggunaan bahasa terkait dengan pilihan bahasa, konteks penggunaan
bahasa, fungsi bahasa, dan alasan-alasan yang mendasari penggunaan suatu
bahasa. Karena bahasa yang dikaji adalah BB yang bertingkat tutur, penggunaan
bahasa yang dimaksudkan adalah penggunaan ragam tingkat tutur itu sendiri,
yakni (a) penggunaan tingkat tutur (kode) alus, (b) penggunaan tingkat tutur
(kode) biasa, dan (c) penggunaan tingkat tutur (kode) kasar. Untuk selanjutnya,
istilah dari ragam tingkat tutur digantikan dengan kode karena istilah kode
dianggap berpadanan dengan tingkat tutur dan lebih sesuai (lihat 2.2.3).
24
2.2.2 Variasi
Hudson (1982) mengungkapkan bahwa variasi terkait dengan sejumlah
butir linguistik yang memiliki distribusi sosial yang sama. Sepakat dengan definisi
Hudson tersebut, Holmes (1992) dan Fasold (1990) menjelaskan bahwa variasi
dapat diartikan sebagai sejumlah alternatif untuk mengungkapkan hal yang sama.
Rentangan variasi bisa sangat luas atau sangat spesifik karena yang menjadi tolok
ukur adalah distribusi sosialnya. Oleh karena itu, variasi itu dapat berupa bahasa,
dialek, register, gaya bahasa, fonem, dan sebagainya.
Selanjutnya, Chaer dan Agustina (2004) menyebutkan bahwa ada dua
faktor sosial yang dapat mengakibatkan variasi, yaitu faktor penutur dan faktor
fungsi bahasa. Ideolek, dialek geografi, dialek temporal, dan sosiolek merupakan
variasi yang muncul dari faktor penutur, sedangkan variasi terkait dengan
formalitas atau bidang pekerjaan muncul dari faktor fungsi bahasa.
2.2.3 Tingkat Tutur Bahasa Bali
Tingkat tutur BB dikenal dengan beragam istilah, misalnya, sor singgih
(Suarjana, 2008: 1; dan Tinggen, 1986: 7), anggah-ungguhing (Gautama, 2006:
26), unda usuk (Peneliti Fakultas Sastra, 1978: 1), dan tingkat-tingkat bicara
(Bagus, 1997: 169). Tingkat tutur merupakan sejumlah alternatif tutur yang
tergradasi dari halus sampai kasar untuk mengungkapkan makna tutur yang sama
secara leksikal, namun berbeda berdasarkan tingkat rasa (kehalusan). Tingkat
tutur dimungkinkan karena keberadaan kata yang bertingkat.
Dasar klasifikasi tingkat tutur BB adalah rentangan atau tingkatan rasa
bahasa yang terealisasi pada ragam leksikal (Gautama, 2006: 27). Kata ‘mati’,
25
misalnya, memiliki empat realisasi leksikal, yaitu bangka untuk kata kasar, mati
untuk kata andap, padem untuk kata alus sor, dan seda untuk kata alus singgih.
Realisasi leksikal yang berbeda itu menunjukkan bahwa BB memiliki sejumlah
kata yang bermakna sama secara denotatif, tetapi berbeda secara konotatif. Makna
konotatif itu disebut sebagai makna “status” (Geertz, 1972: 167).
Ragam tingkat tutur bahasa Bali pada penelitian ini, untuk kepraktisan,
dibedakan atas tingkat tutur kasar, tingkat tutur biasa, dan tingkat tutur alus.
Selanjutnya, istilah dari ragam tingkat tutur itu diganti dengan istilah kode yang
diartikan oleh Wardaugh (1988) sebagai setiap sistem yang digunakan atau
diaktifkan oleh peserta tutur untuk berkomunikasi. Selain itu, Wardaugh (1988)
juga menambahkan bahwa istilah kode bersifat netral bagi sistem komunikasi dan
sering digunakan untuk menghindari istilah bahasa, dialek, variasi, gaya bahasa,
dan sebagainya. Sepakat dengan hal itu, Purwoko (2008a) menggunakan istilah
kode untuk menggantikan klasifikasi atau ragam tingkat tutur bahasa Jawa.
2.2.4 Guyub Tutur
Para ahli telah membuat definisi beragam mengenai guyub tutur yang
merefleksikan sifat-sifat yang khas guyub yang dikaji. Penelitian ini menerapkan
konsep guyub tutur yang dikembangkan oleh Fishman (1972c) bahwa guyub tutur
adalah suatu masyarakat yang anggotanya mengenal sekurang-kurangnya satu
variasi bahasa beserta norma-norma penggunaannya yang tepat. Definisi itu
mengungkapkan bahwa suatu guyub tutur memiliki tiga komponen, yaitu adanya
26
sekelompok orang, setidak-tidaknya menggunakan satu bahasa/variasi bersama,
dan dilengkapi oleh norma penggunaannya.
2.2.5 Wangsa
Para ahli, misalnya Diantha dan Wisanjaya (2010); Karepun (2007); dan
Suastra (1998), sepakat bahwa wangsa merupakan suatu pengelasan vertikal
masyarakat di Bali yang berdasarkan atas keturunan, perkawinan, dan keputusan
politik raja. Akan tetapi, dari ketiga kritera itu faktor keturunan merupakan faktor
penentu yang paling umum bagi keanggotaan dalam wangsa. Sebaliknya,
perkawinan dan keputusan politik raja untuk menaikturunkan wangsa seseorang
merupakan penentu yang kurang umum karena jarang terjadi.
Wangsa mengelas masyarakat Bali
secara tradisional menjadi empat,
yakni brahmana, ksatria, wesia, dan sudra/jaba. Brahmana merupakan kelas
tertinggi yang terdiri atas para pendeta Hindu-Budha, para keluarga, dan
keturunan mereka; ksatria merupakan kelas kedua yang terdiri atas raja, para
bangsawan, para keluarga dan keturunan mereka; wesia merupakan kelas ketiga
yang awalnya terdiri atas para fungsionaris/pegawai kerajaan, para keluarga, dan
keturunan mereka; sedangkan sudra/jaba merupakan kelas terakhir yang terdiri
atas rakyat kebanyakan. Untuk selanjutnya, istilah sudra digantikan dengan istilah
jaba yang lebih netral dan lebih berterima oleh masyarakat di Bali pada umumnya
dan di Kota Singaraja pada khususnya .
Tiga kelas pertama –brahmana, ksatria, dan wesia– disebut dengan
triwangsa atau menak; sedangkan kelas yang keempat disebut dengan jaba.
Berdasarkan tatanan sosial tradisional yang ditentukan berdasarkan wangsa,
27
triwangsa merupakan kelas menengah ke atas yang memiliki status sosial dan
prestise yang lebih tinggi daripada jaba yang dianggap berada dibawah triwangsa.
2.2.6 Kelas Sosial
Dworkin (2007) mengungkapkan bahwa istilah kelas pertama kali
diperkenalkan oleh raja Romawi, Servius Tullius, untuk mengelompokkan
masyarakat Romawi berdasarkan kekayaan dan umur. Pengelompokan itu
sesungguhnya hanya berfungsi sebagai label dan bersifat horizontal, tetapi
selanjutnya mengalami perubahan pada abad ke-18 setelah para ilmuwan Eropa
menggunakannya untuk merujuk pada status atau kedudukan.
Sebagai pengelompokan yang bersifat vertikal, faktor penentu kelas sosial
adalah kekayaan dan pekerjaan. Kekayaan dan pekerjaan merupakan suatu
kesatuan karena kekayaan umumnya mengikuti pekerjaan. Ada tipe-tipe pekerjaan
tertentu yang berbayar tinggi, dan ada juga tipe-tipe pekerjaan yang berbayar
rendah. Pekerjaan yang berbayar tinggi umumnya membutuhkan keterampilan
yang tinggi, dan untuk memperolehnya dibutuhkan modal dalam jumlah tertentu,
sedangkan pekerjaan yang berbayar rendah membutuhkan keterampilan yang
rendah. Dengan kata lain, konsep kelas mengikuti proses modal mendatangkan
modal yang menjadi esensi kapitalisme modern.
Berbeda dengan wangsa yang cenderung tertutup, kelas sosial bersifat
terbuka. Hal itu berarti bahwa siapa pun bisa berpindah kelas di masyarakat asal
bisa memenuhi kondisi yang dibutuhkan untuk bisa berada pada suatu kelas.
Selain itu, kelas sosial juga mengimplikasikan status sosial. Status sosial
merupakan hak dan kewajiban seseorang di dalam suatu masyarakat. Hak dan
28
kewajiban yang melekat pada suatu kelas itulah yang mengakibatkan sifat
kevertikalan kelas sosial.
Penelitian ini mengikuti pengelompokan kelas secara umum yang terdiri
atas kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Kelas atas terdiri atas orangorang yang berada di lapisan atas berdasarkan kekayaan dan pekerjaan; kelas
menengah terdiri atas orang-orang yang berada di lapisan menengah berdasarkan
kekayaan dan pekerjaan; kelas bawah terdiri atas orang-orang yang berada di
lapisan paling rendah berdasarkan kekayaan dan pekerjaan.
2.2.7 Sikap
Baron dan Byrne (2002) mendefinisikan sikap sebagai evaluasi seseorang
terhadap sesuatu atau seseorang yang dapat menimbulkan perasaan suka dan tidak
suka terhadap sesuatu atau seseorang itu. Allport (dalam Garrett, 2010) yang
sepakat dengan definisi itu menambahkan bahwa sikap adalah suatu disposisi atau
kecenderungan yang dipelajari untuk berpikir, merasakan, dan berperilaku
terhadap orang atau objek dengan cara tertentu. Hal itu berarti bahwa sikap itu
tidak muncul secara alamiah pada diri seseorang, tetapi melalui pembelajaran.
Selanjutnya, Dawes (1972) menyajikan ciri-ciri sikap sebagai berikut: (1) sikap
diperoleh dengan cara dipelajari, tidak turun temurun, (2) sikap diperoleh melalui
pergaulan dengan orang-orang di sekeliling, baik melalui perilaku maupun
komunikasi verbal, (3) sikap selalu berkaitan dengan objek sikap yang bisa berupa
benda konkret atau benda abstrak, (4) sikap mengandung kesiagaan untuk
bertindak dengan cara tertentu terhadap objek sikap, (5) sikap bersifat afektif yang
meliputi perasaan yang dapat terungkap melalui pilihan sikap (positif, negatif,
29
atau netral), (6) sikap mengandung unsur dimensi waktu yang berarti bahwa suatu
sikap dapat sesuai untuk suatu waktu tertentu tetapi tidak sesuai untuk waktu yang
lain, (7) sikap mengandung unsur kelangsungan yang artinya sikap itu
berlangsung lama secara taat asas, dan (8) sikap diketahui melalui penafsiran.
Sikap dapat dikaji melalui satu dari kedua paradigma berikut. Paradigma
pertama adalah paradigma behavior ‘perilaku’ yang mendefinisikan sikap sebagai
respon yang dibuat oleh seseorang pada suatu situasi sosial. Hal
itu
mengindikasikan bahwa sikap hanya teramati pada tindak tanduk nyata seseorang
pada situasi sosial tertentu melalui indra. Penganut paradigma perilaku
menyatakan bahwa seorang peneliti hanya perlu untuk mengamati, menabulasi,
dan menganalisa perilaku yang tampak untuk mengkaji sikap seseorang. Namun,
sikap pada pandangan ini kurang menarik untuk dikaji karena tidak dapat
digunakan untuk meramalkan perilaku seseorang pada situasi sosial yang berbeda
(Fasold, 1984: 148). Dengan demikian, paradigma yang digunakan pada
penelitian ini adalah paradigma yang kedua, yaitu paradigma mentalis.
Paradigma mentalis mendefinisikan sikap sebagai keadaan siap siaga:
suatu variabel penyela antara stimulus yang memengaruhi seseorang untuk
merespons dan respon yang dimunculkan terhadap stimulus tersebut (Fasold,
1984: 146). Definisi itu menunjukkan bahwa rangsangan atau stimulus tidak serta
merta melahirkan respon. Akan tetapi, di antara stimulus dan respon itu terdapat
variabel penyela yang menentukan jenis respon yang bisa diambil oleh orang itu.
Untuk melahirkan suatu respon tertentu, stimulus yang teramati diolah dulu pada
wilayah sikap yang ada pada diri orang itu. Dengan kata lain, sikap mengandung
30
fungsi perantara antara rangsangan yang teramati, objek sosial, dan tanggapan
terhadap objek sosial itu.
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini merupakan kajian sosiolinguistik. Namun, teori yang
digunakan untuk menganalisis dan memaknai masalah dan data penelitian tidak
hanya teori sosiolinguistik, tetapi juga teori sosiologi bahasa dan teori linguistik
antropologi. Perpaduan ketiga teori itu dapat memfasilitasi terwujudnya suatu
paparan yang lengkap dan mendalam tentang fenomena penggunaan bahasa yang
dipelajari (Fasold, 1984: 209). Teori sosiolinguistik yang digunakan pada
penelitian ini adalah teori variasi linguistik, etnografi komunikasi, desain
pendengar, sistem sapaan, dan sikap bahasa; teori sosiologi bahasa yang
digunakan adalah teori analisis domain; dan teori linguistik antropologi yang
digunakan adalah teori budaya dan sosialisasi bahasa. Berikut adalah paparan
tentang teori-teori tersebut.
2.3.1 Variasi Linguistik
Variasi linguistik dimungkinkan karena penutur tidak hanya menguasai
satu bahasa, tetapi beberapa bahasa, dialek atau satu bahasa beserta variasinya
yang menjadi bagian dari repertoar/khazanah verbalnya. Keberadaan repertoar
verbal itulah yang memungkinkan seorang penutur untuk memilih satu dari
beberapa alternatif yang ada untuk mengungkapkan sesuatu secara linguistik.
31
Wardaugh (1998) melabeli khazanah verbal sebagai kompetensi
komunikasi seorang penutur yang tidak hanya menunjukkan penguasaan atas
suatu
bahasa
beserta
variasinya,
tetapi
juga
memahami
norma-norma
penggunaannya. Kepemilikan khazanah verbal tidak hanya mengandung makna
pasif, tetapi aktif seperti terkandung dalam konsep kompetensi komunikasi itu
sendiri. Hal itu tidak hanya berarti memiliki, tetapi juga mampu menggunakannya
secara baik dan tepat sesuai dengan tuntutan situasi karena variasi linguistik itu
umumnya bersifat fungsional dan spasial.
Hal yang paling penting dalam konsep variasi linguistik adalah kaitan
antara variasi linguistik itu sendiri dengan situasi sosial guyub tutur. Fishman
(1972c) membuat ilustrasi berikut untuk menjelaskan kaitan antara variasi
linguistik dan guyub tutur. Variasi linguistik awalnya terkait erat dengan wilayah
geografis yang disebut dengan dialek atau dialek geografis. Jika sekelompok besar
imigran penutur daerah A yang serba kurang secara ekonomi, kurang disukai di
daerah yang didatangi dan tidak berpendidikan datang ke daerah penutur B, maka
varasi (dialek) A tidak hanya bermakna sebagai asal usul (dialek geografis) bagi
guyub tutur daerah B. Tetapi, dialek A juga mewakili kelas sosial yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan dialek B. Dengan cara ini, variasi yang
sebelumnya dilihat sebagai variasi regional berfungsi sebagai variasi sosial
(sosiolek).
Jika penutur dari daerah A tidak diberi akses pada jejaring interaksi di
wilayah B, menikah hanya dengan sesamanya, terikat hanya dengan tradisi asli,
dan hanya menghargai pertemanan dengan sesamanya, maka mereka mungkin
32
dilihat sebagai guyub tutur yang berbeda. Guyub tutur yang memiliki tujuan,
kepercayaan, dan tradisi yang berbeda. Pada gilirannya, variasi A tidak lagi dilihat
sebagai variasi sosial, tetapi variasi etnis dan suatu saat dapat tumbuh berkembang
menjadi bahasa yang berbeda.
Dalam guyub tutur A bisa juga ada penutur yang menguasai variasi B.
Kecenderungannya adalah mereka menggunakan variasi A untuk menciptakan
keakraban dan solidaritas kelompok di antara mereka. Akan tetapi, mereka
menggunakan variasi B untuk tujuan pekerjaan dan menunjukkan rasa hormat.
Bagi penutur A, variasi A dan B merupakan variasi fungsional yang saling
melengkapi dengan area yang berbeda. Dalam hal ini, fungsi variasi B yang
digunakan oleh penutur A tentu saja berbeda dengan fungsi variasi B yang
digunakan oleh penutur B sendiri.
Ilustrasi itu menunjukkan bahwa variasi linguistik tidak terjadi begitu saja
sekehendak penuturnya. Akan tetapi, variasi itu terjadi melalui suatu proses
panjang yang melibatkan berbagai perbedaan atau alternatif bentuk. Perbedaan
bentuk ini berkaitan dengan fungsi-fungsi atau makna-makna sosial tertentu,
seperti latar geografis, latar topik tutur, latar identitas penutur-mitra tutur, dan
sebagainya.
Sepakat dengan paparan Fishman (1972c) itu, Wolfram dan Fasold (1974)
serta Chambers (2003) menegaskan bahwa variasi linguistik tidaklah bersifat
acak, melainkan sistematis karena berhubungan dengan kemunculan faktor-faktor
sosial tertentu. Namun, faktor-faktor sosial yang memengaruhi variasi linguistik
antara satu latar dengan latar yang lainnya dapat berbeda satu sama lain atau
33
memiliki skala perimbangan yang berbeda (Wardaugh, 1998: 143). Dalam hal ini,
Fishman (1972c) mengungkapkan bahwa variasi sosial yang mengakibatkan
variasi linguistik dapat bersifat regional, etnis, ketertarikan, pekerjaan, ekonomi,
dan pekerjaan; sedangkan, Wolfram dan Fasold (1976) mengungkapkan variasi
tersebut ditentukan oleh latar, partisipan, topik, dan fungsi. Tambahan pula,
Chambers (2003) menjelaskan bahwa faktor yang paling menentukan variasi
linguistik pada zaman modern ini adalah kelas sosial, jenis kelamin, dan umur.
2.3.2 Teori Tingkat Tutur
Pada teori tentang tingkat tutur dibahas dua hal penting, yakni bentuk
tingkat tutur bahasa Bali dan norma yang mengatur penggunaan tingkat tutur
bahasa Bali.
2.3.2.1 Klasifikasi Tingkat Tutur
Ahli bahasa menglasifikasikan tingkat tutur BB dengan kerincian yang
beragam sesuai dengan tingkat rasa (kehalusan) bahasa, di antaranya seperti
dirumuskan pada tabel 2.1. Meskipun ada sedikit perbedaan dalam pelabelan,
seluruh klasifikasi itu benar dan disusun sesuai dengan situasi penelitian yang
masing-masing khas.
34
Tabel 2.1
Ragam Klasifikasi Tingkat Tutur Bahasa Bali
Tim Peneliti Fakultas
Sastra UNUD
(1978/1979) dan
Beratha dkk. (1999)
Kasar
Madia
Alus
AHLI YANG BERBEDA
Kersten
Tinggen
(1984)
(1986)
Suastra
(1998)
Gautama
(2006)
Kasar
Biasa
Kasar
Biasa
Kasar
Madia
Alus Madia
Alus Sor
Alus Singgih
Alus
Alus
Alus Sor
Alus Singgih
Sor
(Kasar dan
Kesamen)
Singgih
(Alus Singgih
Alus Sor,
Alus Madia, dan
Alus Mider)
Tabel 2.1 menunjukkan bahwa Tim Peneliti Fakultas Sastra Universitas
Udayana (1978/1979) dan Beratha, dkk. (1999) menglasifikasikan tingkat tutur
BB menjadi tiga, yakni kasar, madia, dan alus; Kersten (1984) menglasifikasikan
tingkat tutur BB menjadi tiga, yakni kasar, biasa, alus, alus sor, dan alus singgih;
Tinggen (1984) menglasifikasikan tingkat tutur BB menjadi dua, yakni sor dan
singgih; Suastra (1998) menglasifikasikan tingkat tutur BB menjadi lima, yakni
kasar, biasa, alus madia, alus sor, dan alus singgih; dan Gautama (2006)
menglasifikasikan tingkat tutur BB menjadi tiga, yakni kasar, madia, dan alus.
Beberapa istilah tingkat tutur BB digunakan secara berbeda oleh para ahli
tersebut. Sehubungan dengan hal itu, istilah kasar dan madia digunakan secara
berbeda oleh beberapa ahli. Tim peneliti fakultas sastra UNUD (1978/1979) dan
Beratha dkk. (1999) tidak membedakan biasa dengan kasar dan mengacu kedua
hal itu dengan label kasar; sedangkan Kersten (1984), Tinggen (1986), Suastra
(1998), dan Gautama (2006) membedakan kasar dengan biasa. Selain itu, istilah
madia yang dimaksud oleh Tim peneliti fakultas sastra UNUD (1978/1979) dan
35
Beratha dkk. (1999) adalah alus madia, sedangkan istilah madia yang
dimaksudkan oleh Gautama (2006) adalah biasa. Sebagai tambahan, istilah biasa
seperti yang digunakan oleh Kersten (1984) dan Suastra (1998) juga berpadanan
dengan istilah andap (Suarjana: 2008:83) dan kesamen (Tinggen, 1986:3).
Berkaitan dengan ragam klasifikasi tersebut, penelitian ini menggunakan
tiga klasifikasi tingkat tutur, yakni kasar, biasa, dan alus. Klasifikasi tersebut
dilakukan demi alasan kepraktisan karena klasifikasi yang sangat terinci kurang
menguntungkan dan terlalu kompleks bagi penelitian ini, baik secara teoretis
maupun praktis. Secara spesifik, tingkat tutur kata kasar meliputi kata-kata kasar,
tingkat tutur kata biasa meliputi kata-kata biasa (atau andap atau kesamen), dan
tingkat tutur kata alus meliputi kata-kata alus mider, alus madia, alus sor, dan
alus singgih. Tingkat tutur kata itu selanjutnya dapat digunakan untuk membentuk
tiga jenis kode atau kalimat yang berbeda yakni kode kasar, kode biasa, dan kode
alus.
2.3.2.2 Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Bali
Dasar bagi bentuk tingkat tutur BB adalah tingkat kata. Kata itu tidak
hanya berupa bentuk yang merujuk ke konsep atau makna tertentu
secara
denotatif, tetapi juga mengandung tingkat rasa (kehalusan) tertentu. Tingkat rasa
itulah yang menjadi dasar bagi pengelompokkan tingkat tutur kata BB (Gautama,
2006: 27).
Fenomena itu juga diamati oleh Geertz (1972) pada tingkat tutur BJ yang
oleh Clynes (1994) dinyatakan sebagai sumber tingkat tutur BB. Pada BJ, seperti
juga pada BB, terdapat sejumlah kata yang memiliki makna denotatif yang persis
36
sama, tetapi berbeda secara konotatif yang disebut dengan ‘makna status’ (Geertz,
1972 :167). Jadi, kosakata BB terdiri atas kata-kata yang bersinonim secara
denotatif, tetapi berbeda bentuk dan tingkatan rasa.
Untuk membentuk suatu kalimat atau ujaran atau kode BB yang baik dan
benar, perlu diikuti kaidah kookuransi dan kaidah alternasi. Kedua kaidah itu
diperkenalkan oleh Ervin-Tripp (1976) untuk menjelaskan bentuk-bentuk
linguistik yang berkorelasi dengan fenomena sosial penggunanya. Kaidah
alternasi mengatur pilihan kata secara vertikal bahwa ada sejumlah pilihan kata
yang bermakna sama secara leksikal dari suatu repertoar kata untuk mengisi suatu
slot yang sama di dalam suatu struktur sintaksis. Sebaliknya, Kaidah kookurensi
mengatur urutan kata secara linear atau horizontal. Kaidah ini mengatur bahwa
tidak sembarang kata dapat diurut secara horizontal karena kata-kata itu haruslah
tepat secara sintaktik dan sosiokultural.
Kaidah alternasi dan kookurensi itu mirip dengan hubungan paradigmatik
dan sintagmatik. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antara satuan
linguistik yang dapat menggantikan satu sama lain, sedangkan hubungan
sintagmatik adalah hubungan yang menetapkan penggabungan satuan-satuan
linguistik
menjadi
suatu
urutan
tertentu
(Culler,
1996:35).
Hubungan
paradigmatik pada kata BB tidak hanya saling menggantikan yang berarti bahwa
kata-kata itu memiliki distribusi sintaksis yang sama, tetapi juga memiliki makna
yang sama sehingga kata-kata itu dinyatakan beralternasi. Secara sintagmatik,
kata-kata yang ditata untuk membentuk suatu kalimat tidaklah mudah karena kata-
37
kata itu tidak hanya perlu untuk memiliki distribusi yang sesuai dengan slot pada
kalimat, tetapi juga harus bersesuaian berdasarkan tingkat tutur yang diinginkan.
Meskipun BB secara rinci memiliki enam tingkat kata (lihat 2.3.2.1), katakata BB umumnya hanya memiliki 1-3 bentuk alternasi. Kata yang memiliki tiga
bentuk alternasi adalah kata alus singgih, kata alus sor, dan kata biasa; dua
alternasi bentuk adalah kata alus mider dan kata biasa; dan hanya satu bentuk
adalah kata biasa.
Contoh kata yang memiliki tiga bentuk: kata biasa, kata alus sor, dan kata alus
singgih:
Kata Biasa
Kata Alus Sor Kata Alus Singgih
Makna
ABEN
LEBON
‘upacara kematian’
Aben
Acep
AJEP
APTIANG
‘sembah’
Adan
WASTA
PASENGAN
‘nama’
ANTENG
RAJIN
‘rajin’
Anteng
Ateh
IRING
SARENGIN
‘hantar’
basang
WADUG
WETENG, GARBA
‘perut’
Beling
ABOT
MOBOT
‘hamil’
Budi
MANAH
ARSA, KAYUN
‘pikiran’
CUCU
PUTU
‘cucu’
Cucu
dadong
NINI
NIANG
‘nenek’
Demen
GARGITA
LEDANG
‘senang’
Ningeh
PIRAGI
PIRENG
‘dengar’
Dot
MELED
ARSA, MAKAYUN
‘ingin’
Contoh kata yang memiliki dua bentuk, yakni kata biasa dan kata alus mider:
Kata Biasa
Kata Alus Mider
Makna
Abedik
AKEDIK, SAMATRA
‘sedikit’
Adeng
ARENG
‘arang’
adeng-adeng
ALON-ALON
‘pelan-pelan’
Adep
ADOL
‘jual’
Akejep
AJEBOS
‘sebentar’
Baas
BERAS
‘beras’
badeng
IRENG
‘hitam’
Bah
RUBUH
‘rubuh’
Bareng
SARENG
‘ikut’
Bates
WATES
‘batas’
Cara
KADI
‘bagai’
BAWI
‘babi’
Celeng
38
Cicing
Ciri
Cutet
Depin
Dong
Dot
Dua
Dueg
ASU
CIHNA
CENDEK
BANGGEYANG
TEN
MELED
KALIH
WIKAN, PRADNYAN
‘anjing’
‘ciri’
‘singkat’
‘biarkan’
‘tak’
‘ingin’
‘dua’
‘pintar’
Contoh kata yang memiliki dua bentuk, yakni kata kasar dan kata biasa:
Kata Kasar
Kata Biasa
Makna
icang
‘saya’
AKE
daar
‘pakan’
AMAH
nakal
‘nakal’
BELER
wareg
‘kenyang’
BETEK
belog
‘bodoh’
LENGEH
munyi
‘bahasa’
PETE
Contoh kata yang memiliki satu bentuk, yakni kata biasa:
Kata Biasa
Makna
Aas
‘gugur’
‘pangku’
Abin
Abu
‘debu’
Abulih
‘sebiji’
Abut
‘cabut’
Bada
‘kandang’
‘hujan lebat’
Bales
bangkes
‘bersin’
Banyu
‘air cucian beras’
barong
‘barong’
Cedok
‘sendok air’
‘cegukan’
cekutan
clempung
‘jatuh ke air’
Crita
‘cerita’
cupar,demit
‘kikir’
Dacin
‘timbangan’
dagang
‘pedagang’
Daken
‘dangkal’
dampar
‘bangku’
dangsah
‘rata’
Ketidakmerataan distribusi kata BB juga dibuktikan oleh Suastra (1998)
melalui kajiannya. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 2.2.
39
Tabel 2.2
Perbandingan Jumlah Kata pada Bahasa Bali (dalam Persentase)
Persentase Kata dari Seluruh Leksem Bahasa Bali
Tingkat
Tutur
N
V
A
Adv
Pr
Konj
Asi
Aso
Ama
Bi
K
Mi
Total
1,6
1
18,8
18,8
1
58,8
100
2,2
1,6
29,9
31,3
0,6
34,8
100
2,2
0,7
23,6
23,8
0
49,7
100
4,1
1,8
34,1
36,3
0,4
23,3
100
21,3
2,4
31,3
30
7,5
7,5
100
12,5
0
37,5
42,5
0
7,5
100
Prep
Num
Neg
3,3
0
23,1
0
0
0
40
2
23,1
40
2
38,5
0
0
0
16,7
96
15,3
100
100
100
(Sumber: Suastra, 1998)
Keterangan: Asi = alus sor, Aso = alus sor, Ama = alus madia, Bi = biasa, K =
kasar, dan Mi = mider, N = nomina, V = verba, A = adjektiva, Adv
= adverbia, Pr = pronomina, Konj = konjungtor, Prep = preposisi,
Num = numeralia, dan Neg = negator
Tabel 2.2 menunjukkan bahwa level pada TTBB memiliki jumlah yang
kata yang berbeda-beda. Dalam hal ini, kata mider memiliki jumlah kata
terbanyak yang terdiri atas nomina 58,8%; verba 34,8%, adjektiva 49,7%;
adverbia 23,3%; pronomina 7,5%; konjungtor 7,5%; preposisi 16,7%; numeralia
96%; dan negator 15,3%. Sebaliknya, kata kasar memiliki jumlah kata tersedikit,
yakni nomina 1%; verba 0,6%; adverbia 0,4%; dan pronomina 7,5%.
2.3.2.3 Norma Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali
Norma penggunaan tingkat tutur menyiratkan kaidah atau perilaku
berbahasa yang berterima atau diharapkan pada suatu guyub tutur. Pada BB ragam
(kode) tingkat tutur digunakan untuk menandai ragam hubungan status atau kelas
sosial antara penutur-mitra tutur. Kode alus merupakan bentuk tinggi yang
digunakan untuk menandai perbedaan status atau kelas sosial antara penutur-mitra
40
tutur . Hal itu ditunjukkan oleh konvensi atau norma penggunaan kode alus
seperti diungkap oleh Tinggen (1991: 9) sebagai berikut.
Basa Singgih (Alus) inggih punika basa sane kanggen nyungjungan
(=menghormati) ri kala matur-matur majeng ring
(1) i triwangsa
(2) sang ngamong jagat/mapangkat
(3) atiti (= tamiu) sane durung wauh (=belum kenal baik)
Suarjana (2008: 76) juga sepakat dengan paparan Tinggen tersebut melalui uraian
berikut:
Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, yang diajak
bicara atau orang kedua (O2) dan yang dibicarakan atau orang ketiga (O3) yang
sama-sama dari golongan atas, maka bahasa yang digunakan oleh O1 kepada O2
dan bahasa yang digunakan mengenai O3 adalah Basa Bali Alus
Singgih…sedangkan untuk O1 yang mengenai dirinya sendiri atau orang ketiga
lainnya dari golongan bawah menggunakan Basa Bali Alus sor.
Kedua paparan tersebut mengungkapkan bahwa kode alus digunakan untuk
bercakap-cakap dengan mitra tutur atau membicarakan orang ketiga triwangsa,
yang memegang kekuasaan, atau yang tidak dikenal. Ketika berhadapan dengan
ketiga tipe orang tersebut, penutur dari golongan bawah seharusnya menggunakan
bahasa yang meninggikan orang tersebut, yakni kode alus singgih dan
merendahkan dirinya, yakni kode alus sor. Selain itu, kode alus juga digunakan
oleh sesama triwangsa pada percakapan untuk menunjukkan rasa hormat mereka
satu sama lain.
Pada penggunaan kode biasa, Suarjana (2008: 74) menyatakan sebagai
berikut.
Menurut konvensi penggunaan kode biasa terjadi dengan kondisi sebagai
berikut: “Jika pembicara atau orang pertama (O1), yang diajak bicara atau
orang kedua (O2), dan yang dibicarakan atau orang ketiga (O3) semuanya
sebagai golongan bawah. Maka bahasa Bali yang digunakan oleh O1
kepada O2 dan yang mengenai O3 adalah Basa Bali Andap”
41
Konvensi tersebut jelas mengungkapkan bahwa kode biasa digunakan pada
percakapan yang melibatkan partisipan golongan bawah. Suarjana sepertinya agak
berhati-hati untuk menjelaskan golongan jaba sebagai golongan bawah, karena ia
sudah memahami pergeseran pada penentuan golongan masyarakat di Bali yang
juga dipengaruhi oleh kelas sosial. Penglasifikasian ulang ini tentu saja
mengakibatkan pendekatan ulang terhadap tingkat tutur yang dibarengi dengan
perubahan norma penggunaannya.
Akan tetapi, jika referensi tradisional yang digunakan, maka jelas yang
dimaksud dengan golongan bawah adalah golongan jaba, seperti tersirat pada
pernyataan Tinggen (1986: 11):
basa Kesamen artinipun basa sor sane dados anggen sareng sami saha
wirasanipun tan ja nyinggihang maliha tan ja ngandapang, upami: Cening
mara teka?
(1) Sesamen jaba:
Rikala mabebaosan marep ring paturu jaba sajeroning pagubugan
I Bapa ngomong, ‘Cening mara teka?’
I Cening masaut, ‘Icang mara teka Bapa.’
(2) I Triwangsa:
Ri kala mabebaosan marep ring Jaba
Ida Pedanda ngandika, ‘Cening mara teka?’
I cening matur, ‘Titiang wau Ratu Pranda.”
Lengkara: “Cening mara teka” ring Buleleng lumbrah kawastanin basas
kapara, sane wirasanipun karasayang tan ja alus maliha tan ja kasar.
Saantukan wenten sane tan cumpu (?) ring istilah kapara, punika awinan
gentosin titiang antuk istilah kasamen.
Tinggen (1986) dengan gamblang menjelaskan bahwa basa kesamen (kode biasa),
atau kepara merupakan basa sor yang memiliki rasa netral, tidak meninggikan
atau merendahkan. Basa kesamen digunakan untuk berbicara di antara sesama
partisipan jaba atau oleh partisipan triwangsa kepada partisipan jaba.
42
Untuk menjelaskan norma penggunaan kode kasar, Tinggen (1991: 12)
mengungkapkan bahwa:
Basa kasar puniki taler marupa basa sor, sane katibakang marep ring pasawitraan
sane luket utawi rikala maiyegan.
Ungkapan itu menunjukkan bahwa kode kasar digunakan pada percakapan di
antara partisipan yang akrab atau pada saat marah atau bertengkar.
Singkatnya, ragam tingkat tutur digunakan untuk menandai baik itu
hubungan vertikal maupun horizontal. Hubungan vertikal mencirikan hubungan
ke atas (menghormati) yang ditandai dengan penggunaan kode alus, mendatar
(solider) yang ditandai oleh penggunaan kode biasa, ke bawah (nonhormat) yang
ditandai oleh penggunaan kode biasa.Sebaliknya, hubungan horizontal mencirikan
hubungan yang akrab dan ditandai oleh penggunaan kode kasar atau kode biasa;
atau hubungan yang berjarak dan ditandai oleh penggunaan kode alus.
2.3.3 Etnografi Komunikasi
Spolsky (2006) mengungkapkan bahwa suatu kajian mengenai real text
merupakan suatu kajian yang menghubungkan antara komunikasi dan situasi
sosial tempat teks itu terjadi. Hal inilah yang dimaksudkan dengan komunikasi
etnografi (Hymes, 1974: 36). Melalui konsep ini, Hymes menawarkan suatu
bidang kajian yang berfokus pada pola-pola perilaku komunikasi yang merupakan
bagian sistem budaya. Kajian etnografi komunikasi berhubungan dengan
pertanyaan, “Apakah yang perlu diketahui seorang penutur untuk bisa
berkomunikasi dengan tepat pada suatu guyub tutur tertentu dan bagaimana ia
belajar melakukannya?” Pengetahuan yang diperlukan tidak hanya aturan-aturan
43
komunikasi dan interaksi, tetapi juga pengetahuan budaya dan pengetahuan lain
yang menjadi dasar bagi konteks dan isi peristiwa komuniksi dan proses interaksi.
Pengetahuan itu dan keterampilan-keterampilan lain yang diperlukan agar
berfungsi dengan baik pada suatu guyub tutur disebut dengan kompetensi
komunikasi.
Hymes (1974) menekankan bahwa bahasa tidak bisa dipisahkan dari
bagaimana dan mengapa itu digunakan dan kajian pada penggunaannya
merupakan prasyarat bagi pengenalan dan pemahaman bentuk-bentuk linguistik.
Memahami pentingnya suatu analisis tentang kode bahasa dan proses kognitif
yang terjadi antara penutur dan pendengar, etnografi komunikasi memersepsi
bahasa sebagai bentuk-bentuk sosiobudaya yang sesungguhnya merupakan bagian
terpenting budaya.
Untuk
menjelaskan
teori
etnografi
komunikasi,
Hymes
(1974)
mengonsepkan suatu hierarki yang terdiri atas speech situation ‘situasi tutur’,
speech event ‘peristiwa tutur’ dan speech act ‘tindak tutur’. Situasi tutur adalah
suatu situasi yang dapat (atau tidak) dimarkahi oleh tuturan. Situasi itu dapat
berupa upacara, perburuan, atau pertarungan. Sementara itu, peristiwa tutur adalah
aktivitas atau aspek aktivitas yang diatur oleh suatu kaidah atau norma tutur
tertentu. Dengan kata lain, peristiwa tutur memiliki elemen komunikatif dan
sekaligus juga diatur oleh kaidah penggunaan tutur. Peristiwa tutur yang terjadi
pada suatu situasi tutur disusun oleh beberapa tindak tutur. Lelucon (tindak tutur),
misalnya, dapat menjadi bagian suatu percakapan (peristiwa tutur) yang terjadi
pada suatu pesta (situasi tutur).
44
Berbeda dengan situasi dan peristiwa tutur, tindak tutur merupakan
ungkapan bahasa nyata yang digunakan. Tindak tutur memeroleh makna melalui
konteks sosial yang berkaitan dengan bentuk gramatika dan intonasi. Misalnya,
‘masuk’ merupakan suatu perintah (tindak tutur) agar orang yang dimaksud
masuk ke dalam.
Hymes selanjutnya menjelaskan bahwa ada enam belas
komponen yang perlu diperhatikan pada peristiwa tutur; keenam belas komponen
tersebut diringkas menjadi delapan dan disingkat dengan SPEAKING.
Setting ‘latar’ terdiri atas dua komponen, yaitu latar fisik dan latar nonfisik
atau suasana. Latar fisik merupakan tempat dan waktu terjadinya peristiwa tutur.
Sedangkan, latar nonfisik atau suasana merupakan latar psikologi atau batas
budaya suatu peristiwa tutur. Suatu tutur dapat menjadi lazim atau tidak lazim
untuk digunakan pada latar fisik dan nonfisik tertentu sehingga penutur acap kali
perlu untuk beralih dari satu tutur ke tutur lainnya dengan mengikuti perubahan
tingkat formalitas atau latar tutur.
Participant ‘peserta tutur’ adalah individu-individu atau peserta yang
terlibat pada suatu peristiwa tutur. Peserta tutur terdiri atas penutur-mitra tutur
pada suatu percakapan, atau pengirim-penerima pesan pada percakapan melalui
telepon, atau pengalamat-teralamat pada pidato atau presentasi publik.
End ‘tujuan’ merupakan hasil yang diinginkan pada suatu peristiwa tutur.
End itu bisa berupa outcome atau goal. Outcome merupakan hasil atau tujuan
suatu peristiwa tutur berdasarkan perspektif budaya, sedangkan goal merupakan
hasil atau tujuan yang diinginkan oleh partisipan tutur sebagai individu. Pada
suatu transaksi jual beli, misalnya, outcome yang diinginkan tentu saja pertukaran
45
barang berharga yang sesuai antara penjual dan pembeli dengan harga yang
pantas. Walaupun begitu, goal penjual adalah memaksimalkan harga pertukaran,
sedangkan goal pembeli adalah meminimalkan harga itu.
Act Sequence ‘urutan tindakan’ dibedakan atas bentuk dan isi pesan. Salah
satu cara untuk membedakan bentuk dengan isi pesan adalah sebagai berikut: “Dia
berkata; ’Aku akan datang lagi besok’.” Ungkapan yang berada pada tanda petik
satu merupakan kutipan bentuk pesan. Pada ungkapan “Ia mengatakan akan
datang lagi” merupakan pelaporan isi pesan tersebut. Terkait dengan bentuk dan
isi pesan, partisipan tutur perlu untuk memahami bagaimana cara merumuskan
peristiwa dan tindak tutur dengan cara-cara yang berterima secara budaya, dan
juga mengenali apa yang dibicarakan, kapan suatu topik berubah, dan bagaimana
menata perubahan-perubahan topik.
Key ‘kunci (nada)’ terkait dengan nada, cara, atau semangat yang
ditunjukkan pada suatu peristiwa tutur. Penutur dapat menunjukkan emosi-emosi
atau perasaan-perasaan tertentu secara verbal melalui nada bicara tertentu, seperti,
serius, sungguh-sungguh, mengejek, acuh tak acuh. Selain itu, ada juga cara-cara
nonverbal untuk menunjukkan key, seperti kedipan mata, isyarat tubuh, gaya
berpakaian, dan sebagainya.
Instrumentalities ‘instrumentasi’ meliputi saluran dan bentuk tutur yang
digunakan. Saluran tutur adalah medium yang digunakan untuk menyalurkan tutur
dan medium itu dapat berupa oral, tulisan, atau telegraf; sedangkan yang
dimaksud dengan bentuk tutur adalah bahasa, dialek, variasi, register, atau kode.
46
Norm ‘norma’ terdiri atas norma interaksi dan norma interpretasi. Norma
interaksi mengacu pada semua aturan normatif yang digunakan untuk menentukan
perilaku-perilaku yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan
pada suatu peristiwa tutur. Sebaliknya, norma interpretasi mengacu pada cara-cara
bagaimana suatu
perilaku
seharusnya diinterpretasikan.
Terakhir,
genre
merupakan kategori tutur yang digunakan untuk menandai suatu peristiwa tutur.
Kategori itu bisa berupa puisi, mitos, lelucon, doa, kuliah, pidato, kutukan, dan
lain-lain.
Pada prinsipnya, semua komponen etnografi komunikasi itu harus
diperhatikan
pada
setiap
analisis
percakapan,
tetapi
Hymes
(1974)
mengungkapkan bahwa komponen yang sungguh-sungguh memengaruhi suatu
peristiwa tutur dapat berbeda antara satu situasi dengan situasi yang lain.
Sehubungan dengan itu, peneliti dapat berfokus pada dua atau lebih komponen
saja, dengan tidak mengabaikan komponen-komponen yang lainnya, asalkan satu
dari kedua komponen tersebut adalah komponen bentuk pesan.
2.3.4 Analisis Domain
Fishman (1972b) menjelaskan bahwa manusia menggunakan bahasa
secara konstan dan terhubung dengan yang lainnya melalui norma perilaku
kolektif. Dengan kata lain, bahasa dan perilaku sosial berkaitan satu sama lain.
Sejalan dengan itu, ia juga mengungkapkan bahwa perilaku menggunakan suatu
variasi, apalagi pada latar multilingual tidaklah bersifat acak. Penggunaan bahasa
yang baik dan benar mengatur bahwa hanya satu bahasa atau variasi yang dapat
dipilih oleh suatu kelompok penutur terkait dengan domain penggunaan bahasa.
47
Pemahaman akan domain penggunaan bahasa berfungsi untuk membantu penutur
memilih suatu bahasa yang dianggap tepat sesuai dengan acara dan topik tutur.
Fishman (1972b) mendefinisikan domain sebagai konstruk sosial yang
berupaya untuk menjembatani situasi sosial dan perilaku bahasa yang diabstraksi
dari topik tutur, hubungan antarperan penutur-mitra tutur, dan tempat komunikasi.
Abstraksi itu dilakukan dengan cara tertentu supaya perilaku individu dan pola
sosial dapat dibedakan satu sama lain, tetapi pada saat bersamaan saling terkait.
Konstruk sosial yang diabstraksi itu juga terkait dengan pelembagaan masyarakat
tutur dan gugus aktivitas.
Topik atau isi tutur penting bagi domain karena penutur memiliki
kecenderungan untuk menyesuaikan pilihan variasi dengan topik tutur. Topik
merupakan pengatur bahasa yang mencerminkan keteraturan terkait dengan
pelembagaan gugus aktivitas pada suatu masyarakat. Suatu topik bisa dibahas
dengan lebih baik atau lebih tepat dengan suatu variasi tertentu, sedangkan topik
yang lain lebih tepat dibahas dengan variasi yang lainnya. Hal itu bisa terjadi
karena seseorang telah terlatih dan tersosialisasi untuk menggunakan variasi
berbeda dalam membahas topik beragam sejak masa kanak-kanak di keluarga.
Hubungan antarperan mengisyaratkan adanya penerapan sejumlah hak dan
kewajiban antaranggota suatu masyarakat sosiokultural secara resiprokal atau
timbal balik. Setiap anggota suatu masyarakat dengan segera bisa mengenali dan
memerankan peran yang diharapkan bagi dirinya dan orang lain serta berlaku
secara baik dan benar berdasarkan peran-peran itu.
48
Hubungan antarperan menunjukkan ciri diadik suatu komunikasi yang
berarti bahwa seorang penutur adalah sekaligus juga mitra tutur dan seorang mitra
tutur adalah sekaligus juga penutur. Penutur-mitra tutur merupakan pelaku aktif
suatu percakapan. Selain itu, hubungan antarperan juga menunjukkan bahwa pada
suatu masyarakat, perilaku tertentu termasuk juga perilaku berbahasa saling
diharapkan antarindividu tertentu satu sama lain. Pada domain keluarga, misalnya,
terdapat percakapan diadik antara ayah-ibu, kakek-ayah, nenek-ibu, ayah-anak,
kakak-adik, dan sebagainya yang mana satu sama lain diharapkan untuk
memerankan perannya dengan baik secara linguistik.
Locale ‘lokasi’ merupakan tempat terjadinya komunikasi. Jika seorang
guru bertemu dengan temannya di pasar, pengaruh lokasi pada topik dan
hubungan peran akan terlihat pada pilihan penggunaan variasi. Hal yang sama
juga dapat terjadi apabila mereka bertemu di sekolah.
Domain penggunaan bahasa dikonstruksi secara beragam oleh para ahli
berdasarkan latar penelitian mereka. Konstruksi itu berkaitan dengan pemahaman
akan dinamika sosiobudaya suatu masyarakat tutur pada kurun waktu tertentu
(Fishman, 1972b: 19). Greenfield (1972), misalnya, merumuskan lima domain
penggunaan bahasa pada masyarakat tutur bilingual Puerto Riko di wilayah Kota
New York, yakni domain keluarga, domain pertemanan, domain keagamaan,
domain pendidikan, dan domain pekerjaan. Berbeda dengan rumusan Greenfield
(1972) tersebut, Barker (1947) yang mengkaji masyarakat tutur bilingual bahasa
Spanyol–Inggris
di
Amerika
memformulasikan
domain
secara
berbeda
berdasarkan analisis sosial-psikologi yang terdiri atas intimasi, informal, formal,
49
dan intrakelompok. Sebaliknya, Purwoko (2008a) pada kajiannya di masyarakat
tutur bahasa Jawa menyebutkan bahwa domain tempat bermain, domain jalanan,
dan domain tempat kerja merupakan domain penggunaan bahasa terpenting.
Domain tempat bermain dan jalanan merupakan ruang publik bagi penutur Jawa
untuk bergaul dengan kenalan,
kawan sejawat, dan tetangganya; sedangkan,
domain tempat kerja merupakan tempat bergaul bagi rekan-rekan sekerja.
Domain yang berbeda umumnya dicirikan oleh penggunaan ragam bahasa
yang berbeda. Misalnya, pada masyarakat dwibahasawan domain sekolah, gereja,
tempat kerja profesional, dan kedinasan umumnya ditandai dengan penggunaan
bahasa atau ragam high ‘tinggi’. Akan tetapi, domain rumah tangga, tetangga, dan
tempat bermain umumnya ditandai oleh penggunaan bahasa atau ragam low
‘rendah’.
2.3.5 Teori Desain Pendengar
Teori yang sering dikutip terkait dengan penggunaan ragam bahasa adalah
teori Labov attention to speech ‘perhatian pada tutur’ (Labov, 1972: 180-181).
Teori tersebut mengungkapkan bahwa gaya bahasa yang berbeda muncul sebagai
karena penutur yang memberikan perhatian yang berbeda pada tuturnya. Pada
situasi formal, penutur cenderung untuk memberikan perhatian lebih pada
tuturnya yang membuatnya mengadopsi gaya bahasa formal. Sebaliknya, gaya
bahasa nonformal muncul karena penutur kurang memerhatikan tuturnya.
Singkatnya, Labov melihat gaya bahasa sebagai suatu linieritas dari formal ke
nonformal yang merupakan hasil dari perhatian yang berbeda terhadap tutur.
50
Teori desain pendengar yang diusulkan oleh Bell (1984) juga menerima
teori Labov tersebut, tetapi secara berbeda. Teori tersebut mengungkapkan bahwa
perhatian berbeda pada tutur bisa memengaruhi gaya bahasa, tetapi perhatian itu
bukan penyebab variasi gaya bahasa. Perhatian pada tutur merupakan variabel
penyela yang menjembatani variasi gaya bahasa. Sementara itu, faktor yang
menyebabkan terjadinya variasi gaya bahasa adalah faktor pendengar itu sendiri.
Karena faktor pendengar itulah, kemudian Bell menyebut teorinya dengan desain
pendengar.
Teori desain pendengar bisa digunakan untuk menjelaskan berbagai
fenomena bahasa, seperti alih kode atau alih bahasa pada situasi bilingual,
penggunaan
bentuk-bentuk
tindak
tutur
tertentu,
pemilihan
pronomina,
penggunaan honorifiks, dan perubahan gaya bahasa. Selain itu, teori tersebut juga
bisa digunakan untuk menjelaskan kecepatan bicara, aksen, isi tutur, dan pause.
Desain pendengar selanjutnya dikelompokkan menjadi dua subdesain, yaitu
desain responsif dan desain inisiatif yang dipaparkan sebagai berikut.
2.3.5.1 Desain Responsif
Secara umum teori desain pendengar bersifat responsif dan didasarkan
pada suatu asumsi pokok bahwa gaya bahasa merupakan cara penutur menanggapi
atau memerhatikan pendengarnya. Teori itu mengungkapkan bahwa penutur
merancang dan memolakan gaya bahasanya agar bersesuaian dengan gaya bahasa
mitra tutur atau pendengar. Dengan menggunakan gaya bahasa tertentu, seorang
penutur menyesuaikan perilaku linguistiknya dengan situasi linguistik dan
51
ekstralinguistik pendengar. Tujuan pemolaan tutur berdasarkan desain pendengar
adalah untuk memeroleh simpati pendengar.
Giles (1980) menggunakan istilah yang berbeda untuk menjelaskan
fenomena yang dalam hal ini penutur memerhatikan atau menanggapi
pendengarnya, yaitu konvergen. Konvergen ialah cara penutur agar gaya
bahasanya mendekat atau menyatu dengan gaya bahasa pendengar. Teori
konvergen muncul berdasarkan pengamatan bahwa gaya bahasa penutur bisa
menyatu dengan pendengar pada level kecepatan bicara, aksen, isi tutur, dan
pause.
Desain responsif juga berasosiasi dengan alih kode situasional yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan alamiah antara bahasa dan situasi sosial
(Blom dan Gumperz, 1972: 424). Masuknya orang luar ke dalam suatu guyub,
misalnya, dapat memicu peralihan kode dari kode dialek ke standar. Pergeseran
dari percakapan bisnis ke percakapan personal juga dapat mengakibatkan
peralihan dari kode standar ke dialek. Alih kode situasional mencerminkan
penggunaan norma tutur atau pilihan topik yang sesuai bagi pendengar.
Supaya pola tutur yang digunakan sesuai dengan pola tutur pendengar, penutur
perlu
memiliki
kemampuan
untuk
memahami
pendengar
dengan
mempertimbangkan hal-hal berikut.
(1) Ciri personal pendengar yang meliputi suku bangsa, wilayah geografi,
jenis kelamin, umur, status sosial, dan lain lain.
(2) Ciri umum gaya bahasa pendengar berikut perubahan-perubahannya
(3) Ciri khusus gaya bahasa pendengar berikut perubahan-perubahannya.
52
(4) Kedekatan antara penutur dan pendengar.
Melalui pemahaman penutur akan karakteristik pendengar dan kedekatan
hubungan di antara mereka, penutur bisa membuat kesimpulan mengenai pola
gaya bahasa pendengar dan memolakan gaya bahasa dirinya supaya bersesuaian.
2.3.5.2 Desain Inisiatif
Tidak semua perubahan gaya bahasa bisa dijelaskan secara responsif.
Perubahan gaya bahasa yang terkadang dibuat oleh penutur untuk mendefinisi
atau merekonstruksi ulang sifat interaksi; bukan untuk menanggapi situasi-situasi
tutur yang ada. Perubahan itu ditujukan untuk menandai perubahan sikap penutur
pada hal yang dikatakan pada mitra tutur. Dengan kata lain, gaya bahasa juga
merupakan suatu teknik yang bisa digunakan untuk memanipulasi konteks atau
menciptakan suatu situasi tertentu.
Desain inisiatif sebagai cara lain penutur untuk menanggapi pendengar
merupakan turunan desain responsif. Penutur yang mengambil inisiatif dan
mendefinisi ulang situasi melalui tutur masih juga merespon pendengar, tetapi
dengan cara yang berbeda. Gaya bahasa inisiatif digunakan pada pendengar
tertentu dan cenderung untuk divergen.
Inti gaya bahasa inisiatif adalah menyapa seseorang yang dikenal seolaholah ia orang lain, atau yang tidak dikenal seolah-olah sudah dikenal. Penutur bisa
beralih ke gaya bahasa yang biasa digunakan untuk menyapa orang yang kurang
dikenal ketika berinteraksi dengan kawan dekat untuk membujuknya melakukan
sesuatu. Atau, beralih ke gaya bahasa yang biasa digunakan dengan kawan dekat
untuk berinteraksi dengan orang yang kurang dikenal untuk mengakrabkan diri.
53
Desain inisiatif juga terkait dengan alih kode metaforikal yang
memanfaatkan hubungan alamiah antara bahasa dan situasi dengan menyuntikkan
“rasa” dari satu latar ke latar yang lainnya (Blom dan Gumperz, 1972: 425). Pada
suatu situasi tutur, penutur bisa memasukkan unsur-unsur kode standar untuk
menunjukkan intelektualitas. Pada situasi lain, seorang penutur bisa menggunakan
bentuk “formal” V untuk menjauhkan suatu hubungannya yang sesungguhnya
dekat atau bentuk “intim” T untuk mendekatkan orang yang sesungguhnya jauh.
Hal yang paling umum terjadi pada desain inisiatif adalah ketika gaya
bahasa penutur menjauh dari gaya bahasa pendengar dan berkonvergensi dengan
gaya bahasa suatu kelompok lain yang diacu sebagai kelompok ‘referensi’
kelompok ‘referensi’ itu merupakan kelompok yang tidak hadir pada interaksi,
tetapi memiliki pengaruh yang kuat pada gaya bahasa penutur. Walaupun tidak
hadir, kelompok itu diacu sebagai standar bagi evaluasi dan penggunaan norma
bahasa oleh penutur.
Ada dua tipe desain ‘referensi’: ingroup ‘di dalam kelompok’ dan
outgroup ‘di luar kelompok’. Pada ingroup, penutur berbicara dengan pendengar
dari luar guyubnya dan mengubah gaya bahasanya mengikuti gaya bahasa guyub
tuturnya sendiri. Penutur mengambil inisiatif untuk tidak mengidentifikasikan diri
dengan pendengar yang ada, tetapi dengan guyubnya sendiri. Biasanya disain ini
tidak berumur panjang karena tujuan penggunaan desain ini adalah untuk
memperbesar perbedaan antarpeserta tutur.
Pada desain outgroup, penutur yang berasal dari guyub yang sama dengan
pendengar tidak menggunakan tutur dan identitas guyubnya, tetapi gaya bahasa
54
guyub lain yang lebih berprestise. Hal itu dilakukan karena penutur ingin
mengklaim identitas yang berbeda dengan identitas guyubnya sendiri. Desain
outgroup lazim digunakan untuk tujuan-tujuan sesaat, misalnya, memenangkan
perdebatan. Dengan menggunakan gaya bahasa kelompok yang diakui, penutur,
misalnya, dapat mengklaim kecerdasan atau keterdidikan yang menjadi ciri yang
diakui dari bahasa tersebut.
2.3.6 Teori Sapaan
Istilah atau bentuk sapaan merupakan istilah yang digunakan oleh penutur
untuk menunjuk kepada mitra tutur pada suatu percakapan (Fasold, 1990: 1).
Istilah sapaan mencerminkan sikap penyapa terhadap sifat hubungan antara
penyapa-pesapa dan menjadi bagian yang sangat penting untuk dibahas terkait
dengan penggunaan bahasa. Selain itu, istilah sapaan juga perlu dibedakan
dengan panggilan: istilah sapaan digunakan setelah pesapa menunjukkan
perhatiannya kepada penyapa; sedangkan, panggilan digunakan untuk menarik
perhatian pesapa. Orang Amerika, misalnya, lazim memanggil laki-laki dewasa
manapun dengan panggilan sir ‘tuan’ untuk mendapatkan perhatian pesapa dan
kemudian, beralih ke bentuk lain setelah mendapatkan perhatiannya.
Secara umum bentuk sapaan diklasifikasikan menjadi dua, yakni
pronomina persona kedua dan nama atau nomina sapaan (Fasold, 1990: 2).
Berikut adalah paparan mengenai kedua bentuk sapaan itu berikut teori-teori yang
terkait dengan penggunaannya.
55
2.3.6.1 Istilah Sapaan
Braun (1988) menjelaskan bahwa istilah sapaan yang paling umum yang
dimiliki oleh hampir semua bahasa adalah pronomina kedua yang jumlah dan
bentuknya beragam pada bahasa yang berbeda. Akan tetapi, pada bahasa-bahasa
Eropa terdapat dua bentuk pronomina kedua yang berkembang dari perbedaan
bentuk pronomina kedua tunggal tu dan bentuk pronomina kedua plural vos yang
merupakan bahasa Latin (Brown dan Gilman, 1960: 254). Pada bahasa Inggris
bentuk itu adalah thou dan you, tetapi yang selanjutnya berkembang hanyalah
bentuk you saja; pada bahasa Italia bentuk itu adalah tu dan vei (vei merupakan
singkatan dari la vostra Signoria ‘tuanku’); pada bahasa Spanyol bentuk itu
adalah tu dan vos, bentuk vos selanjutnya berubah menjadi usted (usted
merupakan singkatan dari vuestra merced ‘yang mulia’); pada bahasa Perancis
bentuk itu adalah tu dan vos; pada bahasa Jerman bentuk itu adalah du dan ihr, ihr
selanjutnya berubah menjadi er, dan kemudian menjadi sie.
Selain pronomina kedua, istilah sapaan umum lainnya adalah nama atau
nomina sapaan. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2008) mendefinisikan nama
sebagai kata, gelar, atau sebutan yang digunakan untuk menyebut, menyapa, atau
memanggil orang, tempat, barang, dan sebagainya. Menurut Braun (1988), nama
itu terdiri atas berikut ini.
(1) Nama diri yang berupa nama orang.
(2) Istilah kekerabatan, yaitu istilah sapaan yang digunakan kepada pesapa
yang memiliki hubungan darah atau keluarga dengan penyapa, seperti
bapak, ibu, dan paman.
56
(3) Bentuk yang berkorespondensi dengan mr/mrs ‘pak/bu’.
(4) Nama gelar, yaitu istilah sapaan yang diberikan kepada pesapa terkait
dengan pencapaiannya di bidang sosial, militer, akademik, atau
kebangsawanan, seperti kapten, professor, duke, dan sebagainya.
(5) Nomina abstrak, seperti (your) excellency, (your) honor atau (your) grace
’paduka’.
(6) Istilah pekerjaan, yaitu istilah sapaan yang menggunakan pekerjaan
pesapa, seperti guru, dokter, pelayan, dan sebagainya.
(7) Isilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan tertentu antara
penyapa-sapaan dan digunakan untuk menyapa, seperti tetangga, teman,
orang asing, dan sebagainya.
(8) Istilah sayang, yaitu istilah sapaan yang digunakan untuk mengungkapkan
kedekatan atau rasa kasih antara penyapa-pesapa, seperti sayang, kekasih,
cinta, dan sebagainya.
(9) Teknonim, yaitu istilah sapaan yang digunakan untuk menyapa seseorang
karena kaitannya dengan orang lain, seperti ayah adi ‘ayah dari adi’,
ahmad bin abdullah ‘ahmad anak abdullah’, dan sebagainya.
(Braun, 1988: 9-10)
Kridalaksana (1985) juga menambahkan bentuk sapaan yang lainnya yang
digunakan pada bahasa Indonesia sebagai berikut.
(1) Bentuk pe + V (erbal) atau kata pelaku, seperti pembaca, pendengar,
penonton, penumpang, dan sebagainya.
57
(2) Bentuk N(ominal) + ku, seperti Tuhanku, Kekasihku, Miraku dan
sebagainya.
(3) Kata-kata deiksis atau penunjuk, yaitu sini, situ, ini, dan sebagainya.
(4) Ciri zero atau nol Ø), yang dalam hal ini penutur tidak menggunakan
istilah sapaan, tetapi pesapa bisa mengerti bahwa dialah yang dimaksud.
Misalnya, ‘mau kemana?’ kata sapaan saudara tidak disebut, tetapi
dimengerti.
2.3.6.2 Penggunaan Istilah Sapaan
Teori sapaan yang komprehensif diawali oleh Brown dan Gilman (1960)
melalui pronomina persona kedua plural V ‘vos’ dan pronomina persona kedua
singular T ‘tu’ yang berarti kamu. Penggunaan bentuk vos muncul pertama kali
pada abad keempat yang digunakan untuk merujuk kepada kedua kaisar di Eropa
yang berkuasa, tetapi bersatu secara administratif, yakni kaisar yang bertahta di
kerajaan Konstatinopel dan kaisar yang bertahta di kerajaan Roma. Bentuk vos
menyiratkan bahwa sapaan yang diberikan pada salah satu kaisar tersebut berarti
menyapa keduanya. Selain itu, seorang kaisar adalah juga plural karena
merupakan rangkuman dari rakyatnya dan dapat berbicara mewakili mereka
sehingga mereka lazim disapa dengan vos. Tambahan pula, bentuk vos paralel
dengan bentuk ‘kami/kita’: seorang bangsawan pada zaman itu kerap menyapa
dirinya dengan we ‘kami/kita’, sedangkan orang biasa menggunakan I ‘saya’.
Berdasarkan fenomena itu, Brown dan Gilman menyimpulkan bahwa kepluralan
berasosiasi dengan kekuasaan.
58
Penggunaan vos pada zaman itu sangatlah terbatas karena hanya orangorang kalangan atas tertentu yang memeroleh kesempatan untuk menyapa sang
Kaisar dan menggunakan V. Bentuk itu selanjutnya menyebar secara perlahan ke
istana-istana bangsawan yang lainnya dan kemudian ke bawah di masyarakat luas.
Istilah V yang awalnya merupakan pronomina kedua plural berevolusi menjadi
bentuk tunggal dan digunakan untuk merujuk kepada figur yang berkuasa lainnya.
Berbeda dengan bentuk V, bentuk T merupakan bentuk awal bagi
pronomina kedua tunggal. T digunakan di antara masyarakat awam secara umum
dan bersifat netral. Selanjutnya, T tidak hanya digunakan untuk menyapa di antara
masyarakat umum, tetapi oleh penyapa yang lebih berkuasa kepada pesapa yang
kurang berkuasa.
Berdasarkan fenomena tersebut, Brown dan Gilman (1960) berteori bahwa
penggunaan T dan V dipengaruhi oleh “kekuasaan dan solidaritas”. Kekuasaan
diartikan sebagai kekuatan yang memungkinkan seseorang untuk mengendalikan
perilaku orang lain. Kekuasaan itu umumnya melibatkan sedikitnya dua orang dan
bersifat nonresiprokal. Sebaliknya, solidaritas ditunjukkan oleh perasaan setia
kawan karena penyapa-pesapa mempunyai perasaan bersatu atau senasib.
Perasaan solidaritas dapat muncul karena keanggotaan yang sama pada organisasi
politik, keluarga, keagamaan, pekerjaan, jenis kelamin, dan lain-lain. Dengan kata
lain, perasan solidaritas bersifat resiprokal.
Hal yang berlaku adalah penyapa yang tidak berkuasa menggunakan V
kepada pesapa yang berkuasa; sebaliknya, penyapa yang berkuasa menggunakan
T kepada pesapa yang tidak berkuasa. Di antara penyapa yang berkuasa
59
menggunakan V untuk menyapa satu sama lain; sebaliknya, di antara penyapa
yang tidak berkuasa menggunakan T untuk menyapa satu sama lain. Dengan
demikian, bentuk V berkaitan dengan kekuasaan, sedangkan bentuk T berkaitan
dengan solidaritas: penggunaan V-V atau T-T disebut dengan penggunaan
simetris atau resiprokal, sedangkan penggunaan V-T atau T-V disebut dengan
penggunaan nonsimetris atau nonresiprokal.
Agar bentuk V dan T dapat digunakan dengan tepat, penyapa perlu untuk
memahami makna kekuasaan dan pada saat yang bersamaan, makna solidaritas
karena makna kedua konsep itu bervariasi berdasarkan situasi sosiobudaya suatu
tempat. Makna kekuasaan itu dapat ditunjukkan oleh hubungan lebih tua dari,
ayah dari, atasan dari, lebih kaya dari, lebih kuat dari, dan lebih bangsawan
dari; sedangkan, makna solidaritas dapat ditunjukkan oleh hubungan seumuran,
seayah, seprofesi, sekaya, sekuat, dan sebangsawan. Akan tetapi, hubunganhubungan itu bervariasi: pada satu tempat, misalnya, perbedaan umur dapat
mengindikasikan perbedaan yang signifikan pada kekuasaan dan ditandai dengan
bentuk V; sebaliknya, pada tempat lain perbedaan umur tidak mengindikasikan
perbedaan pada kekuasaan dan cukup ditandai dengan T. Oleh karena itu,
penggunaan V dan T beragam berdasarkan situasi sosiobudaya suatu tempat
sesuai dengan cara penuturnya menerjemahkan konsep kekuasaan dan solidaritas.
Brown dan Gilman (1960) juga mengungkapkan bahwa pada abad
pertengahan kedua puluh, bentuk sapaan yang simetris lebih berterima daripada
bentuk sapaan yang menunjukkan kekuasaan. Pemilik restoran dan pelayannya,
misalnya, saling menyapa dengan sapaan nonsolider V. Sedangkan, orang tua dan
60
anaknya, walaupun berbeda umur (usia), saling menyapa dengan sapaan solider T.
Jadi, ketika solidaritas antara dua orang semakin tinggi, karena mereka semakin
saling mengenal, sapaan simetris T kerap kali muncul. Dengan demikian, sapaan
simetris V-V atau T-T sangat umum terjadi pada masa itu.
Teori T dan V diperluas oleh Brown dan Ford (1961) dan Ervin-Trip
(1976) berdasarkan hasil penelitian mereka tentang bentuk sapaan pada bahasa
Inggris Amerika. Pada bahasa Inggris Amerika yang hanya mengenal satu bentuk
pronomina kedua, yakni, you ‘kamu’, pilihan bentuk pokok sapaan adalah antara
first name ‘nama pertama’ (FN) dan title with last name ‘gelar dan nama akhir’
(TLN) yang beranalogi dengan T dan V secara berurutan. Dalam hal ini,
penggunaan bentuk sapaan memiliki tiga variasi: penggunaan simetris FN-FN,
penggunaan simetris TLN-TLN, dan penggunaan asimetris FN-TLN.
Faktor yang berpengaruh pada penggunaan istilah sapaan nonsimetris pada
guyub tutur bahasa Inggris di Amerika adalah faktor kekuasaan yang dirumuskan
pada perbedaan umur dan status pekerjaan (Fasold, 1990: 9). Penyapa yang
berstatus kerja lebih rendah atau berumur lebih muda (dengan perbedaan umur 15
tahun) menyapa pesapa yang berstatus kerja lebih tinggi atau lebih tua dengan
TLN dan sebaliknya, disapa dengan FN. Namun, faktor yang berpengaruh pada
penggunaan istilah sapaan simetris adalah jarak hubungan antara penutur-mitra
tutur. Jika hubungan itu ‘dekat’, maka penggunaan FN hadir; sebaliknya jika
hubungan itu hanya sekedar kenalan, maka penggunaan simetris TLN hadir. Perlu
juga diketahui bahwa di Amerika, obrolan lima menit cukup untuk menggeser
penggunaan TLN ke FN.
61
Ervin-Tripp (1976) secara lebih spesifik mengembangkan teori sapaan
dengan memperkenalkan kaidah alternasi dan kaidah co-occurrence ‘kesertaan’.
Kaidah alternasi mengendalikan pilihan bentuk sapaan yang layak digunakan dari
repertoar bentuk sapaan yang dimiliki oleh penyapa. Kaidah alternasi bersifat
paradigmatik atau vertikal karena menentukan hubungan antara satu bentuk
sapaan dengan bentuk sapaan yang lain dalam satu level struktur. Sebalikyan,
kaidah kesertaan berhubungan dengan aturan pengurutan linier yang menata
pilihan konsisten antara bentuk-bentuk sapaan. Kaidah kesertaan mengatur urutan
istilah sapaan secara horizontal atau sintagmatik.
Kaidah kesertaan yang mengatur urutan horizontal bentuk sapaan,
misalnya, menentukan bahwa gelar seharusnya diikuti oleh LN, bukan FN. Pada
contoh yang lain, adalah biasa bagi seorang Amerika untuk memanggil ayahnya
father + Ø ‘Bapak’, tetapi tidak Mr/Mrs + Ø ‘Tuan/Nyonya’ karena kaidah
kesertaan mengatur bahwa Mr/Mrs diikuti oleh nama orang. Untuk lebih
memperjelas maksudnya, Ervin-Tripp menyajikan sistem sapaan sebagai suatu
urutan pilihan dengan menggunakan diagram alir komputer.
Jadi, pola V dan T merupakan fenomena yang bersifat universal yang
mana perbedaan dalam merumuskan konsep kekuasaan dan solidaritas menjadi
sumber bagi variasi pada penggunaan bentuk sapaan pada berbagai budaya yang
berbeda. Braun (1980: 35) selanjutnya memperluas rumusan T dan V dengan
mengungkapkan bahwa:
Setiap kali varian yang mengungkapkan keintiman, kejunioran, status
sosial yang rendah atau inferioritas digunakan, varian itu menandai –jika
bukan untuk saling kedekatan– kejunioran, status sosial yang rendah atau
‘kerendahan’ penyapa atau pesapa (atau keduanya).
62
Sebagai pelengkap rumusan itu, Braun menambahkan:
Setiap kali varian yang mengungkapkan jarak, senioritas, status sosial
yang tinggi atau superioritas digunakan, varian itu menandai –jika bukan
jarak- senioritas, status sosial yang tinggi atau superioritas penyapa atau
pesapa (atau keduanya).
Rumusan tersebut memperluas konsep T dan V lebih jauh dari hanya sekedar
sebagai penanda kekuasaan dan solidaritas .
2.3.7 Teori Sikap Bahasa
Pada topik tentang teori sikap bahasa ini dibahas empat subtopik yang
dianggap penting, yakni sikap bahasa, komponen objek sikap bahasa, hubungan
antara sikap dan perilaku, dan fungsi sikap.
2.3.7.1 Komponen Sikap Bahasa
Sikap bahasa merupakan suatu sikap yang objeknya adalah bahasa.
Struktur sikap bahasa, seperti juga sikap-sikap yang objeknya lain, mengikuti
skema triadik yang diungkapkan pertama kali oleh Triandis (Triandis, 1971: 3).
Skema itu terdiri atas tiga komponen yang saling terkait, yaitu komponen kognitif,
komponen afektif, dan komponen konatif.
Komponen triadik itu mengindikasikan bahwa sebelum seseorang dapat
memberikan respon secara ajeg terhadap suatu objek sikap, ia terlebih dahulu
harus mengetahui objek itu secara kognitif. Setelah ia memiliki pengetahuan
mengenai objek sikap, barulah ia dapat memberikan penilaian suka/ tidak suka
secara afektif. Selanjutnya, pengetahuan dan rasa itu diikuti oleh kehendak untuk
bertindak secara konatif.
63
Komponen kognitif atau pengetahuan meliputi semua jenis pengetahuan
seseorang tentang objek sikap. Kepercayaan itu meliputi
kepercayaan atau
pengetahuan mengenai benar atau salah, baik atau buruk, dan diinginkan atau
tidak diinginkan. Dengan kata lain, komponen kognitif itu terdiri atas komponen
kepercayaan yang berupa penilaian subjektif seseorang tentang aspek-aspek
tertentu dari objek sikap. Selain itu, kepercayaan dibedakan atas tiga jenis, yaitu:
(a) kepercayaan deskriptif, yaitu kepercayaan yang didasarkan pada pengamatan
atau pengalaman langsung terhadap objek itu, (b) kepercayaan inferensial, yaitu
kepercayaan yang dipengaruhi oleh kepercayaan yang sudah mapan, dan (c)
kepercayaan informasi, yaitu kepercayaan yang didasarkan pada hal yang
dikatakan oleh para ahli mengenai objek sikap.
Sekali suatu kepercayaan terbentuk, hal itu menjadi dasar bagi
pengetahuan seseorang tentang hal yang bisa diharapkan dari objek tertentu. Hal
itu berarti bahwa kepercayaan itu membantu seseorang untuk memprediksi
pengalaman-pengalaman yang dapat dialami pada masa mendatang dan
membantu menciptakan keteraturan. Dengan kata lain, kepercayaan membantu
seseorang menyederhanakan dan mengatur hal yang dilihat dan ditemui.
Komponen afektif atau evaluatif dapat diartikan sebagai penilaian atau
nilai-nilai emosi yang terkait dengan kepercayaan. Seseorang dapat merasa senang
atau tidak senang terhadap suatu objek sikap melalui rasa yang ditimbulkan oleh
kepercayaan-kepercayaan mengenai objek sikap tersebut. Reaksi emosional yang
muncul terhadap suatu objek sikap biasanya dipengaruhi oleh hal yang dipercayai
64
sebagai benar atau berlaku bagi objek tertentu. Hal itu berarti bahwa komponen
afektif dipengaruhi oleh komponen kognitif.
Selanjutnya, komponen konatif atau perilaku bisa diartikan sebagai
kecenderungan untuk bertindak. Komponen konatif itu dipengaruhi oleh
komponen kognitif dan afektif. Dengan rumusan lain dapat diungkapkan bahwa
kepercayaan yang sesuai dan nilai-nilai emosi (rasa) yang menyertainya
diwujudkan menjadi kehendak-kehendak perilaku.
2.3.7.2 Komponen Objek (Dimensi) Sikap Bahasa
Garvin dan Mathiot (1968) mengungkapkan bahwa komponen objek sikap
bahasa bisa terdiri atas (1) kesetiaan bahasa, (2) kebanggaan bahasa, dan (3)
kesadaran akan norma. kesetiaan merupakan keteguhan, ketaatan, atau kepatuhan
terhadap janji, prinsip, pendirian, dan lain-lain (Tim penyusun kamus pusat
bahasa, 2008: 1437). Kesetiaan bahasa mengisyaratkan keteguhan atau ketaatan
untuk menggunakan, menjaga, dan mempertahankan suatu bahasa. Hal itu juga
termasuk mencegah masuknya pengaruh lain ke dalam bahasa tersebut.
Kebanggaan diartikan sebagai kebesaran hati atau atau kegagahan yang
dirasakan karena memiliki keunggulan (Tim penyusun kamus pusat bahasa, 2008:
130). Kebanggaan bahasa biasanya terwujud pada sikap menghargai suatu bahasa.
Rasa menghargai itu mendorong suatu masyarakat pengguna bahasa untuk
mengembangkan bahasanya dan menjadikannya sebagai lambang identitas dan
kesatuan. Selanjutnya, kesadaran diartikan sebagai keinsafan atau keadaan
mengerti (Tim penyusun kamus pusat bahasa, 2008:1337). Kesadaran akan norma
menyuratkan pemahaman tentang penggunaan bahasa secara baik dan benar.
65
Pemahaman tersebut selanjutnya membuat seseorang dapat menggunakan bahasa
secara cermat dan santun.
Ketiga ciri-ciri sikap bahasa yang diungkapkan tersebut berperan penting
bagi keberadaan dan kebertahanan suatu bahasa. Jika ketiganya hadir bersamaan
dengan intensitas yang tinggi pada suatu masyarakat pengguna bahasa, hal itu
berarti bahwa sikap bahasa masyarakat tersebut positif. Bahasa itu memiliki
tingkat kemandirian, penggunaan, dan
kebertahanan yang tinggi karena
digunakan dengan setia, bangga, dan taat azas. Sebaliknya, jika ketiga ciri itu
melemah, sikap bahasa masyarakat juga menjadi negatif.
Oleh karena itu,
kemandirian, penggunaan, dan kebertahanan bahasa pun menjadi melemah.
2.3.7.3 Hubungan antara Sikap dan Perilaku
Konsistensi antara komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan
perilaku itulah yang menjadi landasan bagi usaha penyimpulan sikap yang
dicerminkan oleh jawaban pada skala sikap. Walaupun demikian, sikap dan
perilaku nyata tidak memiliki hubungan secara langsung atau sikap tidak
berekuivalen dengan perilaku karena sikap bukan merupakan satu-satunya
penentu bagi perilaku. Jadi, sikap tidak dapat digunakan untuk memprediksi
perilaku dengan akurasi yang tinggi (Garret, 2010: 23; Jendra, 2007: 231; Chaer
dan Agustina, 2004: 151; dan Azwar, 1995: 11). Hal itu terungkap melalui teori
perilaku terencana yang diajukan oleh Ajzen (dalam Azwar, 1995) seperti terlihat
pada gambar 2.1.
66
Gambar 2.1
Teori Perilaku Terencana
Gambar 2.1 memperlihatkan bahwa suatu perilaku secara mendasar
dipengaruhi oleh tiga keyakinan, yakni (1) keyakinan terhadap perilaku dan
evaluasi terhadap hasil perilaku, (2) keyakinan normatif dan motivasi untuk patuh
terhadap norma, dan (3) keyakinan untuk mampu melakukan perilaku yang
diinginkan terkait dengan tingkat kesulitan perilaku. Keyakinan terhadap perilaku
dan evaluasi terhadap hasil perilaku melahirkan sikap terhadap perilaku itu
sendiri; keyakinan normatif dan motivasi untuk patuh terhadap norma itu
melahirkan norma subjektif; dan keyakinan pada kemampuan untuk melakukan
perilaku yang diinginkan dalam hubungannya dengan tingkat kesulitan perilaku
melahirkan kontrol atas perilaku yang dihayati. Ketiga hal itu selanjutnya
berinteraksi dan mewujudkan intensi perilaku. Intensi perilakulah yang kemudian
berkembang menjadi perilaku.
Azwar (1995) juga mengungkapkan bahwa perilaku tidak bisa hanya
ditinjau dalam kaitannya dengan sikap manusia, tetapi perlu juga ditinjau melalui
faktor-faktor lain. Faktor-faktor itu, misalnya, sifat stimulus, pengalaman masa
lalu seseorang, motivasi, kepribadian, dan lingkungan juga ikut membentuk
67
perilaku seseorang. Selanjutnya, Sugar (dalam Chaer dan Agustina, 2004)
menyebutkan bahwa perilaku ditentukan oleh empat faktor penting, yakni sikap,
norma sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh perilaku itu
sendiri. Hal itu berarti bahwa perilaku dibentuk oleh berbagai faktor yang
berinteraksi secara kompleks, bukan hanya oleh sikap.
Walaupun sikap tidak menentukan perilaku secara langsung, sikap tetap
mendasari bentuk-bentuk perilaku konsisten yang diperlihatkan seseorang pada
jangka waktu tertentu. Hal itu terkait dengan kecenderungan pikiran manusia
untuk selalu konsisten atau menjaga keseimbangan antara sikap dan perilaku.
Sebagai contoh, apabila seseorang tidak menyukai sesuatu, ia cenderung untuk
menilai jelek segala hal tentang sesuatu itu dan secara prasadar, ia akan
mengabaikan ciri-ciri yang baik dari sesuatu itu. Contoh lain, jika seseorang
memiliki kebiasaan untuk berprasangka buruk, terhadap siapa saja ia akan
berprasangka buruk.
2.3.7.4 Fungsi Sikap
Katz (dalam Azwar, 1995) mengungkapkan bahwa sikap memiliki empat
fungsi, yakni fungsi instrumental, pertahanan ego, pernyataan nilai, dan
pengetahuan. Fungsi instrumental menyebutkan bahwa seseorang selalu berusaha
untuk memaksimalkan hal-hal yang diinginkan dan meminimalkan hal-hal yang
tidak diinginkannya. Oleh karena itu, seseorang akan membentuk sikap positif
terhadap hal-hal yang dirasakan akan membawa keuntungan dan membentuk
sikap negatif terhadap hal-hal yang dirasakan akan merugikan.
68
Sebagai pertahanan ego, sikap dapat digunakan untuk melindungi
seseorang dari fakta atau kebenaran yang tidak menyenangkan. Sikap
membantunya untuk melindungi diri dari kepahitan kenyataan. Sebagai contoh,
orang yang biasa ditolak cenderung untuk mengembangkan sikap “jual mahal”
untuk menimbulkan kesan bahwa dialah yang sesungguhnya menolak.
Sebagai fungsi pernyataan nilai, sikap digunakan sebagai cara untuk
mengungkapkan nilai-nilai yang dianut seseorang. Nilai adalah hal yang
dipandang sebagai baik dan diinginkan. Dalam hal ini, sikap membantu seseorang
untuk bisa mengungkapkan dirinya dan memeroleh kepuasan dari pengungkapan
itu. Selain itu, fungsi pengetahuan sikap juga mendorong seseorang untuk ingin
tahu, untuk menalar, dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Dengan kata
lain, Sikap berfungsi seperti skema yang membantu seseorang untuk menstruktur
dunia di sekitarnya agar terlihat logis dan masuk akal. Berbagai unsur pengalaman
yang tidak konsisten disusun dan ditata sedemikian rupa untuk mewujudkan
konsistensi.
Baker (1992) menyebutkan bahwa penelitian mengenai sikap bahasa
berguna bagi pengumpulan informasi tentang ukuran kesehatan bahasa dalam
hubungannya dengan isu kebertahanan bahasa. Hal itu juga menjadi indikator
pikiran, kepercayaan, dan keinginan masyarakat terkait dengan bahasa mereka.
Selain itu, juga menjadi indikator keberhasilan bagi keberhasilan implementasi
kebijakan bahasa.
Selain itu, Fasold (1984) menambahkan bahwa arah perubahan bunyi
dipengaruhi oleh sikap bahasa guyub tutur itu sendiri, dalam artian apakah mereka
69
menyukai arah perubahan itu atau tidak memengaruhi perubahan itu sendiri. Sikap
bahasa juga dapat digunakan untuk menentukan suatu guyub tutur karena definisi
guyub tutur bergantung pada sikap bahasa kolektif guyub tutur itu sendiri, seperti
diungkapkan oleh Labov. Hal lain yang tidak dapat diabaikan adalah bahwa sikap
bahasa dapat mencerminkan sikap terhadap kelompok pengguna bahasa yang lain.
Dengan demikian, positif tidaknya sikap terhadap suatu bahasa mencerminkan
penilaian terhadap masyarakat pengguna bahasa itu. Sebagai tambahan, sikap
bahasa di dunia pendidikan memengaruhi cara guru untuk berhubungan dengan
siswa dan keberhasilan siswa dalam mempelajari suatu bahasa, khususnya bahasa
kedua atau bahasa asing.
2.3.8 Budaya dan Sosialisasi Bahasa
Budaya dan sosialisasi bahasa sesungguhnya merupakan dua hal yang
terkait erat karena budaya dan bahasa itu sendiri merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan.
2.3.8.1 Budaya
Pembahasan mengenai budaya mengingatkan akan dua teori utama
budaya, yakni teori kognitif dan teori simbolis. Teori kognitif yang diprakarsai
oleh Goodenough (1964) memaknai budaya sebagai sistem pengetahuan atau
sistem ide yang terletak dalam hati dan pikiran individu; sedangkan, teori simbolis
yang diprakarsai oleh Geertz (1973) memaknai budaya sebagai sistem simbol.
Berikut paparan singkat kedua teori tersebut.
70
A. Budaya sebagai Sistem Kognitif
Untuk menjelaskan pengertian budaya, Goodenough (1964) sesungguhnya
terinspirasi oleh sistem bahasa, khususnya sistem morfologi dan sintaksis yang
menata bunyi menjadi bentuk-bentuk bermakna; perpaduan bentuk-bentuk
bermakna itu menjadi kata; perpaduan kata menjadi frasa; selanjutnya, perpaduan
frasa menjadi klausa; dan kemudian, perpaduan klausa menjadi kalimat. Dengan
cara yang sama, individu di masyarakat harus belajar bagaimana berperilaku
secara berterima di masyarakat. Individu tersebut mengungkapkan apa yang
dipelajari secara bawah sadar dalam bentuk aturan berperilaku dan rincian tentang
“apa yang bisa (tidak bisa) untuk dilakukan”. Singkatnya, budaya ialah fenomena
mental yang berada di balik perilaku sosial nyata.
Budaya terdiri atas hal yang dipelajari seseorang sebagai anggota guyub,
khususnya dalam kaitannya dengan harapan-harapan anggota guyub lainnya di
dalam konteks hidup dan bekerja sama. Sebagai sesuatu yang dipelajari, budaya
itu bukan merupakan hal yang dikatakan oleh penuturnya, tetapi hal yang perlu
diketahui oleh penuturnya agar bisa berkomunikasi secara berterima satu sama
lain, termasuk mengonstruksi ujaran yang belum pernah dibuat sebelumnya, tetapi
dipahami oleh yang lain dengan segera. Budaya dipelajari dengan cara yang sama
dan tujuan antropologi kognitif adalah untuk menuliskan “gramatika budaya”.
Goodenough (2004) selanjutnya mengungkapkan bahwa budaya terdiri
atas: (a) kriteria untuk mengategorikan fenomena sebagai stimulus yang
bermakna, (b) kriteria untuk menentukan hal yang dimungkinkan, (c) kriteria
untuk memutuskan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu (kesukaan dan
71
nilai), (d) kriteria untuk menentukan apa yang dilakukan dengan sesuatu, (c)
kritera untuk menentukan bagaimana melakukan sesuatu, dan (f) keterampilan
yang dibutuhkan untuk melakukan sesuatu secara berterima. Kriteria-kriteria itu
mengungkap bahwa budaya bukanlah fenomena material karena tidak terdiri atas
benda-benda, manusia, perilaku, atau emosi. Akan tetapi, budaya adalah
organisasi (penataan) hal-hal tersebut, yakni suatu sistem mental atau pengetahuan
yang membangkitkan hanya perilaku-perilaku budaya yang tepat.
B. Budaya sebagai Sistem Simbolis
Berbeda dengan teori Goodenough, Geertz (1973) menjelaskan bahwa
meskipun budaya itu juga mengandung aspek ideasional, tetapi hal itu tidak
berada di kepala seseorang; dan meskipun bersifat nonfisik, hal itu bersifat nyata.
Berpikir bukanlah terdiri atas "sesuatu yang terjadi di kepala", tetapi merupakan
lalu lintas simbol, seperti kata, bahasa tubuh, gambar, dan lain lain yang
digunakan untuk memberi makna pada pengalaman. Oleh karena itu, budaya
seharusnya dimaknai sebagai sebagai sistem simbolis. Dalam hal ini, simbol
adalah segala sesuatu yang merujuk pada atau berarti sesuatu yang lain. Sebagai
contoh, awan hitam merupakan simbol yang mengawali hujan.
Sistem simbolis yang dipelopori Geertz (1973) ini didasarkan pada asumsi
bahwa manusia merupakan hewan yang tergantung pada jejaring makna yang
dirajutnya sendiri. Jaring itu adalah budaya dan analisis mengenai budaya
bukanlah suatu kajian ilmiah untuk mencari hukum-hukum budaya, tetapi bersifat
interpretatif di dalam upaya untuk mencari makna. Pemaknaan itu dilakukan
dengan cara mengisolasi elemen-elemen budaya, menentukan hubungan internal
72
antara elemen tersebut, dan kemudian menjelaskan sistem keseluruhan secara
umum –berdasarkan simbol inti yang menata sistem keseluruhan.
Begitu perilaku manusia dilihat sebagai perilaku simbolis, pertanyaan
apakah budaya merupakan perilaku terpola atau kerangka berpikir atau keduanya
akan kehilangan maknanya. Budaya adalah sesuatu dari dunia ini. Hal yang perlu
ditanyakan adalah apa maknanya: apakah itu –ejekan atau tantangan, ironi atau
kemarahan, keangkuhan atau harga diri –yang diungkapkan melalui kehadiran dan
kepelakuannya.
Simbol dan makna budaya tersebut terbentuk dan dibuat bersama secara
sosial sehingga keduanya bersifat publik. Tidak hanya simbol dan makna, pikiran
manusia pun pada dasarnya bersifat sosial dan publik –habitat alamiahnya berada
di dunia luar, yakni di halaman rumah, di pasar, di pusat kota, dan sebagainya.
Tindakan “mengedip dengan sengaja”, misalnya, merupakan tindakan simbolis
yang bersifat publik. Ketika seseorang mengedip dengan sengaja, ia sesungguhnya
berkomunikasi melalui cara berikut, yakni (1) dengan sengaja, (2) kepada
seseorang tertentu, (3) untuk menyampaikan pesan tertentu, (4) melalui cara yang
telah mapan secara sosial, dan (5) tanpa sepengetahuan yang lainnya, kecuali yang
dituju. “Mengedip dengan sengaja” yang dilakukan ketika ada makna publik yang
menjelaskan bahwa melakukan hal tersebut dihitung sebagai simbol konspirasi
dimaknai sebagai konspirasi.
Meskipun simbol-simbol budaya dibuat bersama secara sosial, simbolsimbol itu berada mandiri atau terpisah dari pikiran sehingga dapat digunakan
secara bebas dan tepat oleh individu. Simbol-simbol itu akan tetap ada selama
73
bergenerasi-generasi, baik itu tanpa perubahan maupun dengan perubahan.
Dengan kata lain, keberadaan simbol-simbol itu lestari dan diwariskan selama
bergenerasi-generasi di dalam suatu masyarakat.
Geertz (1973) selanjutnya mengungkapkan bahwa analisis budaya yang
menukik terlalu dalam seperti yang dilakukan oleh anthropologi kognitif akan
kehilangan sentuhan dengan permukaan hidup yang diwarnai oleh realitas politik,
ekonomi, dan stratifikasi, dan oleh kebutuhan biologis dan fisik tempat
permukaan hidup itu bersandar. Dalam hal ini, tugas seorang anthropolog
bukanlah untuk mengabstraksi rumus-rumus/ kaidah-kaidah budaya yang sering
disebut sebagai penyusunan “deskripsi tipis”, tetapi untuk membuat suatu
interpretasi, “deskripsi tebal”. Perilaku budaya harus diamati secara saksama dan
akurat karena melalui aliran perilaku sosial itulah bentuk-bentuk budaya
diwujudkan. Selanjutnya, suatu interpretasi dilakukan. Kajian tentang budaya
yang dilakukan dengan cara ini tidak bertujuan untuk mencari budaya universal.
Geertz (1973) juga menambahkan bahwa budaya berfungsi sebagai
"mekanisme kontrol” yang mengatur kehidupan manusia. Tanpa bimbingan pola
budaya, perilaku manusia tidak akan terarah, kacau, dan pengalamannya menjadi
tidak berwujud. Manusia mampu mengendalikan perilakunya melalui tuntunan
sistem simbol. Dengan demikian, simbol bukanlah sekadar ungkapan atau
pelengkap eksistensi biologi, psikologi, dan sosial manusia, tetapi merupakan
dasar dan kondisi terpenting bagi keberadaannya.
74
C. Kompetensi Budaya dan Tindakan Sosiobudaya
Kedua teori budaya yang dikemukakan oleh Goodenough dan Geertz
(1973) tersebut sesungguhnya cukup komprehensif, tetapi masing-masing
memiliki kelemahan. Menurut Keesing (1981) dan Foley (1997), teori budaya
kognitif tidak dapat menjelaskan secara meyakinkan bagaimana makna privat
budaya bisa menjadi publik; sebaliknya, teori budaya simbolik tidak menjelaskan
aspek-aspek privat simbol dan makna.
Untuk menyelesaikan dilema itu, Keesing (1981:57) menggambungkan
kedua pendekatan itu dengan memperkenalkan konsep kompetensi budaya dan
tindakan budaya. Kompetensi budaya didefinisikan sebagai sistem pengetahuan
yang dibentuk dan dipengaruhi oleh bagaimana pikiran manusia memeroleh,
menata, memroses informasi dan membuat “model realitas internal”. Kompetensi
budaya bersifat bawah sadar sehingga individu mengikuti aturan-aturan budaya
secara bawah sadar. Selain itu, tidak setiap orang tahu setiap sektor budaya yang
menjadikan deskripsi budaya selalu berupa gabungan abstraksi.
Kompetensi budaya digunakan untuk membangkitkan, menuntun, dan
menginterpretasikan tindakan sosiobudaya. Budaya harus dapat membangkitkan
pola hidup yang aktif di dalam ekosistem. Pola hidup yang aktif itulah yang
disebut dengan tindakan sosiobudaya. Dalam hal ini, tindakan sosiobudaya
menautkan kompetensi budaya dengan sistem sosial dan lingkungan hidup nyata.
Tindakan sosiobudaya adalah manifestasi tampak dari kompetensi budaya di
dunia fisik. Tindakan sosiobudaya merupakan realisasi sosial desain ideasional
untuk hidup di suatu lingkungan tertentu.
75
2.3.8.2 Sosialisasi Bahasa
Mengetahui pengertian budaya membuat pernyataan mengenai posisi
bahasa dalam kaitannya dengan budaya penting untuk diketahui. Bahasa sering
dipersepsi sebagai subsistem di dalam sistem budaya. Sebagai subsistem, bahasa
memiliki peran yang sangat penting bagi pemahaman budaya. Duranti (1997)
menyatakan bahwa kajian tentang bahasa merupakan sumber bagi pemahaman
akan budaya dan berbicara adalah suatu bentuk praktik budaya. Selain itu,
berbicara merupakan cara bagaimana suatu budaya dilestarikan dan diwariskan.
Oleh karena itu, bagaimana bahasa disosialisasikan pada suatu masyarakat
menjadi topik yang penting untuk dibahas.
Para ahli mendefinisikan sosialisasi tidak hanya berhubungan dengan
pemerolehan bahasa, tetapi juga pemerolehan pengetahuan tentang norma
penggunaan bahasa. Purwoko (2008b) dan Mahyuni (2006), misalnya,
mendefinisikan sosialisasi bahasa sebagai proses pemerolehan bahasa dan juga
pewarisan budaya masyarakat bagi generasi muda.
Sejalan dengan definisi
tersebut, Foley (1997) memaknai sosialisasi bahasa sebagai proses belajar untuk
menghidupkan peran sosial yang dimiliki oleh penutur. Selanjutnya, Hudson
(1980) mengungkapkan bahwa sosialisasi bahasa merupakan suatu proses yang
dalam hal ini seorang anak menjadi anggota masyarakat yang kompeten. Sebagai
tambahan, Pride dan Holmes (1972) juga mengungkapkan bahwa sosialisasi
bahasa berhubungan dengan pemerolehan bahasa beserta nilai sosiobudaya suatu
masyarakat.
76
Penjelasan di atas dengan jelas mengungkap bahwa sosialisasi berbahasa
tidak hanya berkaitan dengan kompetensi berbicara, tetapi juga kompetensi
komunikasi. Kompetensi komunikasi oleh Bonvillain (2003) diartikan sebagai
kemampuan untuk berfungsi menurut model budaya untuk perilaku komunikasi
atau pengetahuan tentang aturan-aturan budaya tentang penggunaan bahasa yang
tepat pada interaksi sosial.
Bernstein (1972) mengungkapkan bahwa keluarga merupakan tempat
pertama terjadinya proses sosialisasi bahasa yang akan memengaruhi perilaku
berbahasa anak pada tahun-tahun berikutnya. Dalam hal ini, ada dua tipe keluarga,
yakni keluarga yang berorientasi pada posisi dan keluarga yang berorientasi pada
manusianya. Pada keluarga yang berorientasi pada posisi, interaksi dan pembuatan
keputusan tertutup dan sangat bergantung pada status formal anggota keluarga,
misalnya, kakek, nenek, ayah, ibu, umur, dan jenis kelamin. Hal itu menunjukkan
adanya pemisahan peran yang jelas dan orang tua cenderung untuk mendorong
anak agar lebih banyak bergaul atau bersosialisasi dengan teman sebaya.
Sebaliknya, pada keluarga yang berorientasi pada manusia, perbedaan status
antara anggota keluarga kurang diperhatikan yang menyebabkan terbentuknya
kedekatan antara orang tua dan anak. Sosialisasi anak tidak diserahkan pada
pergaulan teman sebaya, melainkan tetap di tangan orang tua, dan komunikasi
yang terjadi bersifat terbuka dan kuat. Bernstein selanjutnya menyimpulkan
bahwa anak yang besar di keluarga yang berorientasi pada posisi cenderung untuk
mengembangkan restricted code ‘kode terbatas’; sedangkan, anak yang besar di
77
keluarga yang berorientasi pada manusianya cenderung untuk mengembangkan
elaborated code ‘kode lengkap’.
Hudson (1980) berikutnya menjelaskan bahwa
bahasa merupakan
instrumen bagi sosialisasi. Bahasa digunakan untuk menyosialisasikan bahasa dan
sekaligus juga budaya setempat tempat bahasa tersebut digunakan. Namun,
sosialisasi bahasa yang diterima oleh seorang anak tidak hanya berbeda
berdasarkan budaya, tetapi juga kelas sosial, jenis kelamin, dan sebagainya. Oleh
karena itu, seorang anak mempelajari pola tutur yang berbeda berdasarkan
posisinya masing-masing.
Untuk mencontohkan sosialisasi bahasa, Foley (1997) mengutip hasil
penelitian Clancy tentang bagaimana norma komunikasi dipelajari oleh seorang
anak di Jepang. Pada fase pertama, seorang anak diajarkan untuk memerhatikan
dan menanggapi dengan sungguh-sungguh tuturan orang lain. Jika anak itu tidak
memerhatikan, ia akan dipaksa untuk lebih memerhatikan. Kedua, anak itu
diajarkan untuk menanggapi secara positif setiap permintaan walau bagaimanapun
perasaannya. Hal itu terkait dengan pandangan orang Jepang tentang pentingnya
berempati terhadap orang lain untuk menciptakan harmoni sosial. Oleh karena itu,
anak diajarkan untuk selalu mengikuti perilaku sosial yang berkonformitas dengan
orang lain dan akan dicela jika tidak. Terakhir, karena menciptakan harmoni sosial
dengan memerhatikan kebutuhan orang lain sangat penting, penolakan langsung
terhadap permintaan orang lain akan memeroleh sangsi yang berat sehingga
seorang anak diajarkan untuk tidak menggunakan kata “tidak” secara langsung.
78
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya merupakan suatu penelitian sosiolinguistik
yang bertujuan untuk meneliti penggunaan bahasa Bali pada guyub tutur Kota
Singaraja dan secara khusus, mengkaji empat rumusan masalah, yakni
(1)
Bagaimanakah bentuk tingkat tutur bahasa Bali pada guyub tutur Kota Singaraja;
(2) Bagaimanakah penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dalam kaitannya dengan
wangsa, pekerjaan, umur dan gender pada guyub tutur Kota Singaraja?; (3)
Apakah faktor –faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali
pada guyub tutur Kota Singaraja?; dan (4) Bagaimanakah sikap tingkat tutur
bahasa Bali guyub tutur Kota Singaraja?
Secara spesifik, model yang dikembangkan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut.
79
Gambar 2.2
Model Penelitian
Gambar 2.2 menunjukkan bahwa penelitian ini bertujuan untuk (1) memaparkan
bentuk-bentuk tingkat tutur bahasa Bali; (2) menjelaskan hubungan antara
penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan
gender;
(3)
menguraikan
dan
menginterpretasikan
faktor-faktor
yang
memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali; dan (4) menjelaskan dan
80
menginterpretasikan sikap penutur terhadap tingkat tutur bahasa Bali pada guyub
tutur bahasa Bali Kota Singaraja. Untuk mencapai tujuan itu, penelitian ini
memadukan delapan teori yang mana tujuh di antaranya adalah teori
sosiolinguistik, sedangkan salah satunya adalah teori antropologi linguistik.
Ketujuh teori sosiolinguistik itu adalah teori variasi linguistik, teori tingkat tutur,
teori etnogafi komunikasi, teori analisis domain, teori desain pendengar, teori
sapaan, dan teori sikap bahasa; sedangkan teori antropologi linguistik yang
digunakan adalah teori budaya dan sosialisasi bahasa.
Tujuan pertama dan kedua diwujudkan dengan memadukan dua teori,
yakni teori variasi linguistik dan teori tingkat tutur. Teori variasi linguistik dan
teori tingkat tutur digunakan untuk membedah hubungan antara variasi linguistik
dengan struktur masyarakat yang berkaitan dengan wangsa, pekerjaan, umur.
Selain itu, kedua teori itu juga digunakan untuk memaparkan bentuk-bentuk
tingkat tutur bahasa Bali.
Tujuan ketiga diwujudkan dengan memadukan tujuh teori, yaitu teori
variasi linguistik, teori tingkat tutur, teori etnogafi komunikasi, teori analisis
domain, teori desain pendengar, teori sapaan, dan teori budaya dan sosialisasi
bahasa. Pemaduan teori-teori itu digunakan untuk menggali faktor-faktor yang
memengaruhi penggunaan tingkat tutur BB. Sebagai tambahan, teori sikap bahasa
digunakan untuk mencapai tujuan keempat yang terkait dengan sikap bahasa
penutur BB terhadap tingkat tutur BB.
Selanjutnya, data-data yang digali, dihimpun, dan dimaknai melalui
penggabungan dua metode, yakni metode kuantitatif dan metode kualitatif.
81
Metode kuantitatif terutama digunakan untuk mencapai tujuan kedua dan ketiga
penelitian, sedangkan metode kualitatif digunakan untuk mencapai tujuan
penelitian yang pertama dan keempat. Data yang telah diperoleh diinteraksikan
dengan teori-teori yang digunakan untuk memeroleh suatu temuan. Temuan itu
dijelaskan dalam kaitannya dengan tujuan penelitian ini.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini berlandaskan pada pendekatan pragmatisme. Pendekatan
tersebut memandang bahwa realitas tunggal, tetapi dapat diinterpretasikan atau
didekati secara multiperspektif (Teddlie dan Tashakkori, 2009: 7; dan Creswell
dan Clark, 2007:23). Pragmatisme juga mengabaikan hubungan antara penelitiobjek kajian dan berpatokan pada aspek kepraktisan. Hal itu berarti bahwa
penekanan terkuat berada pada pertanyaan penelitian dan berorientasi pada
pengumpulan data yang sesuai dengan hal yang dibutuhkan secara pragmatis.
Dengan demikan, pertanyaan penelitian berfungsi sebagai penuntun pokok bagi
penelitian itu, baik itu bagi metode dan teknik pengumpulan data, instrumen
pengumpulan pengumpulan data, dan analisis data.
Pendekatan pragmatisme memadukan pendekatan deduktif-induktif yang
mengisyaratkan perpaduan pola pikir top-down (deduktif) dan bottom-up
(induktif) pada proses penelitian. Pada top-down, peneliti mulai dengan mengkaji
teori, merumuskan hipotesis, dan mengumpulkan data untuk membuktikan
hipotesis; pada bottom-up, peneliti mulai dengan mengumpulkan data,
merumuskan ‘hipotesis’, kemudian membangun suatu teori. Dengan demikian,
pada pola pikir deduktif-induktif, peneliti dapat bergerak dari top-down ke
bottom-up atau sebaliknya secara kontinu untuk memperoleh gambaran yang
bersifat multiperspektif dan komprehensif.
82
83
Metode penelitian yang paling sesuai bagi paradigma pragmatisme adalah
mixed method ‘metode ganda’ yang memadukan metode kuantitatif dan kualitatif
secara bersama-sama dalam sebuah penelitian (Teddli dan Tashakkori, 2009: 88;
Creswell, 2007: 554; Creswell dan Clark, 2007: 24; dan Thomas, 2003:7). Kedua
metode tersebut sesungguhnya berbeda secara mendasar seperti ditunjukkan pada
tabel 3.1 di bawah ini.
Tabel 3.1
Perbedaan antara Metode Kualitatif dan Kuantitatif
Proses Penelitian
Metode Kualitatif
Tujuan penelitian − Memahami suatu
fenomena secara induktif
Peran Bahan
Pustaka
− Berperan minor
− Merasionalisasi masalah
Pengumpulan data − Menggunakan pertanyaan
terbuka
− Memahami kompleksitas
suatu ide tunggal
Jenis dan sumber
Data
Analisis Data
Peran Peneliti
Validasi Data
− Kata-kata dan imaji atau
bentuk
− Beberapa partisipan pada
tempat penelitian yang
terbatas
− Mempelajari partisipan
pada lokasinya
− Analisis teks atau bentuk
− Tema
− Pola atau generalisasi
yang lebih luas
− Mengidentifikasi posisi
seseorang
− Laporan yang bias
− Menggunakan prosedur
validasi yang bertumpu
pada partisipan, peneliti,
atau pembaca.
−
−
−
−
−
−
−
−
−
Metode Kuantitatif
Menguji teori secara deduktif
guna mendukung atau
menyangkalnya
Berperan penting
Merasionalisasi masalah
Mengidentifikasi pertanyaan
dan hipotesis
Menggunakan pertanyaan
tertutup
Menguji variabel yang
membentuk hipotesis atau
pertanyaan
Angka
Banyak partisipan pada
banyak lokasi penelitian
Mengirimkan atau
mengedarkan instrumen untuk
diisi oleh partisipan
− Analisis statistik
− Menolak hipotesis atau
menentukan effect size
− Berada di latar belakang
− Berupaya untuk
menghilangkan bias
− Menggunakan prosedur
validasi eksternal dengan
menggunakan penilai,
penelitian sebelumnya dan
statistik
(Sumber: Creswell dan Clark, 2007: 29)
84
Walaupun kedua metode tersebut berbeda, keduanya dipadukan sesuai
dengan kebutuhan rumusan masalah penelitian. Jenis metode ganda yang
digunakan adalah metode ganda triangulasi (Cresswell dan Clark, 2007: 62) yang
bertujuan untuk mengumpulkan data yang berbeda, tetapi saling melengkapi pada
suatu topik penelitian. Melalui desain itu peneliti menerapkan metode kuantitatif
dan kualitatif pada kerangka waktu yang cenderung sama dan dengan bobot
kepentingan yang sama. Secara lebih spesifik, desain triangulasi yang digunakan
adalah model multilevel, yakni penggunaan metode kuantitatif dan kualitatif
untuk mengkaji masalah penelitian yang berbeda pada suatu penelitian. Hal itu
juga berarti bahwa data dikumpulkan dan dianalisis secara terpisah. Jadi, secara
lebih spesifik, metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode ganda
triangulasi model multilevel.
Metode kualitatif digunakan untuk mengkaji masalah penelitian pertama
tentang bentuk tingkat tutur BB dan masalah ketiga tentang faktor-faktor yang
memengaruhi penggunaan BB. Data yang dikumpulkan dan dianalisis dengan
penerapan metode kualitatif itu berupa kata, kalimat, ujaran, percakapan, dan
komentar yang dihasilkan oleh informan sesuai dengan sifat masalah itu sendiri.
Sebaliknya, metode kuantitatif digunakan untuk mengkaji masalah penelitian
kedua tentang hubungan antara penggunaan BB dengan wangsa, pekerjaan, umur,
dan gender; dan masalah penelitian keempat tentang sikap bahasa. Data yang
dikumpulkan pada penerapan metode kuantitatif ini berupa angka-angka yang
dianalisis melalui statistik deskriptif.
85
Selain kegunaannya dalam menjawab rumusan masalah penelitian ini,
perpaduan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif juga berguna untuk
mengurangi bias penelitian dan untuk tujuan triangulasi. Pada gilirannya, hasil
penelitian menjadi lebih sahih dan memiliki keterandalan yang tinggi. Hal itu bisa
terjadi karena kedua pendekatan tersebut bersifat saling melengkapi dan menutupi
kelemahan satu sama lain (Creswell, 2007: 552; dan Bungin, 2003: 86-87).
Bidang kajian penelitian ini termasuk dalam bidang kajian sosiolinguistik
yang diterapkan dengan menggunakan metode survei, metode simak, dan metode
cakap semuka yang dalam hal ini penerapan ketiga metode pengumpulan data itu
disarankan untuk dilakukan demi kedalaman dan kelengkapan data (Pride dan
Holmes, 1972:7). Untuk melakukan survei, peneliti terlebih dulu mengembangkan
angket dengan mengikuti langkah-langkah prosedur pengembangan yang sesuai.
Angket tersebut digunakan untuk mengkaji penggunaan bahasa dalam
hubungannya dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender; dan juga untuk
menjaring data terkait dengan sikap bahasa. Data yang didapatkan melalui angket
adalah data kuantitatif, sedangkan melalui metode simak dan cakap semuka,
peneliti mengumpulkan data kualitatif terkait bentuk-bentuk tingkat tutur dan
alasan-alasan penggunaannya.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Singaraja. Kota Singaraja merupakan
ibu kota Kecamatan Buleleng dan sekaligus juga ibu kota Kabupaten Buleleng
yang terletak di provinsi Bali. Letak Kabupaten Buleleng adalah di antara 80 03’
86
40” – 80 23’ 00” lintang selatan dan 1140 25’ 55” – 1150 27’ 28” bujur timur dan
berada sekitar 100 kilometer sebelah utara Kota Denpasar, ibu kota Provinsi Bali.
Di bagian barat, Kabupaten Buleleng berbatasan dengan Kabupaten Jembrana, di
bagian utara dengan laut Bali, di bagian timur dengan Kabupaten Karangasem,
dan di bagian selatan dengan Kabupaten Jembrana, Kabupaten Tabanan,
Kabupaten Badung, dan Kabupaten Bangli (Kabupaten Buleleng dalam angka,
2010: 3).
Letak Kabupaten Buleleng agak terisolasi dari wilayah Bali yang lainnya.
Sebagian besar wilayahnya di bagian selatan adalah daerah berbukit, sedangkan di
bagian utara merupakan daerah dataran rendah yang dibatasi oleh pantai. Di
antara perbukitan di bagian selatan terdapat gunung yang tidak termasuk dalam
kategori gunung berapi. Gunung yang tertinggi adalah gunung Tapak (1903
meter) yang berada di Kecamatan Sukasada dan yang terendah adalah gunung Jae
(222 meter) yang terletak di Kecamatan Gerokgak.
Luas wilayah Kabupaten Buleleng adalah 136.588 hektar atau setara
dengan 24,25% luas Provinsi Bali secara keseluruhan dan terdiri atas sembilan
kecamatan, yakni Gerokgak, Seririt, Busungbiu, Banjar Buleleng, Sawan,
Kubutambahan dan Tejakula. Walaupun demikian, Kecamatan Buleleng
merupakan kecamatan tersempit dengan luas tanah hanya sekitar 3,44%.
Sebagai ibu kota Buleleng, Kota Singaraja secara administratif terdiri atas
19 kelurahan, yaitu Bhaktiseraga, Banyuasri, Banjar Tegal, Paket Agung, Beratan,
Liligundi, Kampung Singaraja, Kendran, Astina, Banjar Jawa, Banjar Bali,
Kampung Kajanan, Kaliuntu, Kampung Anyar, Kampung Bugis, Kampung Baru,
87
Banyuning, Penarukan dan Sukasada. Satu dari kesembilan belas tempat itu,
yakni Kelurahan Sukasada, berada di wilayah Kecamatan Sukasada, sedangkan
semua lainnya berada di wilayah Kecamatan Buleleng.
Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kelurahan Sukasada, Kelurahan
Liligundi, Kelurahan Banjar Tegal, Kelurahan Paket Agung, Kelurahan
Banyuasri, Kelurahan Banyuning, dan Kelurahan Penarukan. Kelurahan
Sukasada, Kelurahan Liligundi, kelurahan Paket Agung dan Kelurahan Penarukan
dipilih, karena keempat kelurahan itu memiliki beberapa konsentrasi masyarakat
triwangsa. Sementara itu, ketiga kelurahan yang lainnya dipilih karena dianggap
mewakili tipe umum kelurahan di Kota Singaraja yang hampir seluruhnya dihuni
oleh penduduk jaba.
3.3 Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis Data
Dalam penelitian ini, jenis BB yang diteliti adalah BB yang digunakan di
Kota Singaraja. Suarjana (2008) mengungkapkan bahwa BB yang digunakan di
Kota Singaraja, selain di Kota Klungkung, dirujuk sebagai acuan bagi BB baku
baik secara intrinsik –melalui kriteria fonologis, morfologis, dan semantik–
maupun ekstrinsik. Ginarsa dkk. (1975) mengungkapkan bahwa secara fonologis
BB baku menggunakan pelafalan [ǝ] pada kata yang diakhiri oleh vowel [a] dan
tetap dilafalkan [a] jika vowel itu berada di tengah. Kata [apa], misalnya,
diucapkan [apǝ], bukan [apa]; dan kata [jaan] dilafalkan [jaan], bukan [jǝǝn].
Selain itu, secara morfologis, kata yang dibakukan adalah yang berakhiran –ang
88
seperti pada jemakang, bukan jemaka atau jemakin atau jemaka. Selanjutnya,
secara semantik, misalnya, kata nglangi dibakukan untuk berenang, bukan
ngonong. Sebagai tambahan, secara ekstrinsik, BB di Kota Singaraja dan Kota
Klungkung dijadikan sebagai acuan bagi BB baku disebabkan karena kedua kota
itu telah cukup lama menjadi pusat kekuasaan, politik, ekonomi, dan kebudayaan
Bali (Suarjana, 2008: 67)
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian adalah data kuantitatif dan
data kualitatif. Data kuantitatif tersebut berwujud tanggapan-tanggapan sampel
terhadap pernyataan-pernyataan pada angket penggunaan bahasa dan angket sikap
bahasa yang dikonversikan menjadi skor persentase. Sebaliknya, data kualitatif
yang dikumpulkan berbentuk kalimat, ujaran, komentar, dan alasan-alasan yang
diberikan oleh informan bahasa dalam hubungannya dengan penggunaan bahasa
dan sikap bahasa.
3.3.2 Sumber Data
Sumber data merupakan subjek tempat data diperoleh (Arikunto, 2006:
129) dan berdasarkan sumbernya, data dibedakan atas data sekunder dan data
primer (Sudarso, 2007: 55). Data sekunder merupakan data yang tidak diperoleh
langsung dari subjek yang diteliti, melainkan dari lembaga atau institusi tertentu
seperti Biro Pusat Statistik, Lembaga Bahasa, dan lain-lain. Sebaliknya, data
primer merupakan data yang diperoleh langsung dari subjek yang diteliti.
Data yang digunakan sebagai data sekunder pada penelitian ini adalah
data-data atau statistik mengenai wilayah dan kependudukan di Kota Singaraja
89
yang dapat ditemukan di buku “Buleleng dalam Angka 2010”. Selain data wilayah
dan kependudukan, data sekunder lainnya adalah data-data mengenai bentukbentuk dan contoh-contoh ragam tingkat tutur yang dapat ditemukan pada bukubuku gramatika bahasa Bali dan data-data penulis lainnya yang sudah diakui
kebenarannya.
Sebaliknya, sumber data primer dibedakan atas populasi penelitan, sampel
(responden) penelitian, dan informan bahasa. Berikut adalah paparan mengenai
ketiga sumber data primer tersebut.
3.3.2.1 Populasi Penelitian
Populasi merupakan keseluruhan individu yang menjadi anggota
masyarakat tutur bahasa yang akan diteliti dan menjadi sasaran penarikan
generalisasi tentang seluk beluk bahasa tersebut (Mahsun, 2011: 28). Populasi
penelitian ini adalah guyub tutur bahasa Bali Kota Singaraja. Populasi tersebut
dibatasi pada anggota primer guyub tutur Kota Singaraja. Hal itu berarti bahwa
populasi tersebut terdiri atas anggota-anggota penduduk “asli” Kota Singaraja
yang ditentukan dan dipilih melalui kriteria sebagai berikut.
(1) Memiliki sanggah gede ‘pura bagi keluarga besar’ yang dirawat dan
dipuja bersama pada keluarga besar sebagai indikasi bahwa anggota
guyub itu telah berada di kota singaraja secara turun temurun sejak nenek
moyang; atau
(2) Setidaknya dua generasi di atas ayah sudah tinggal menetap di kota
singaraja;
(3) Merasakan diri sebagai anggota “asli” masyarakat kota singaraja;
90
(4) Lahir dan tinggal di kota singaraja;
(5) Berumur antara 20-60 tahun;
(6) Sehat jasmani dan rohani;
(7) Memiliki kecakapan berbahasa Bali;
(8) Dapat diajak berkomunikasi;
(9) Bersedia untuk menjadi sampel/informan;
(10) Bersedia memberikan informasi kebahasaan secara jujur.
(bdk. Mahsun, 2005:141)
Jumlah populasi guyub tutur Singaraja berdasarkan sensus penduduk tahun
2009 adalah 85.532 jiwa, yang tersebar di sembilan belas kelurahan, yaitu
Bhaktiseraga 4.122 jiwa, Banyuasri 6.247 jiwa, Banjar Tegal 3.792 jiwa, Paket
Agung 1.954 jiwa, Beratan 658 jiwa, Liligundi 1.481 jiwa, Kampung Singaraja
1.006 jiwa, Kendran 2.307 jiwa, Astina 2.057 jiwa, Banjar Jawa 3.619 jiwa,
Banjar Bali 2.074 jiwa, Kampung Kajanan 4.634 jiwa, Kaliuntu 5.392 jiwa,
Kampung Anyar 5.474 jiwa, Kampung Bugis 3.322 jiwa, Kampung Baru 7.983
jiwa, Banyuning 12.922 jiwa, Penarukan 10.254 jiwa dan Sukasada 6.234 jiwa
(Kabupaten Buleleng dalam angka, 2010: 99-100).
Jumlah populasi itu dikurangi sejumlah 30,9% yang merupakan populasi
yang berumur di bawah 20 tahun, yaitu sejumlah 26429 jiwa dan menjadi 59.103
jiwa. Jumlah itu seharusnya akan berkurang lebih jauh lagi jika jumlah penduduk
pendatang bisa terdeteksi, tetapi hal itu sayangnya tidak dapat dilakukan karena
kurangnya informasi. Selain itu, populasi penduduk “asli” Kota Singaraja
seharusnya dibedakan lebih lanjut berdasarkan variabel wangsa, pekerjaan, umur,
91
dan gender. Namun, informasi mengenai komposisi perbedaan jumlah penduduk
berdasarkan variabel-variabel itu juga tidak tersedia sehingga proporsi jumlah
populasi tidak diketahui.
3.3.2.2 Sampel (Responden) Penelitian
Sampel penelitian dipilah berdasarkan variabel wangsa, pekerjaan, umur,
dan gender pada saat yang bersamaan sehingga sampel tersebut berlapis menurut
variabel-variabel tersebut. Selain itu, proporsi sampel berdasarkan variabelvariabel tersebut juga tidak dipertimbangkan dalam pengambilan sampel karena
ketiadaan informasi yang akurat mengenai proporsi penduduk berdasarkan
wangsa, status pekerjaan, umur, dan gender. Oleh karena itu, jumlah sampel yang
dipilih diupayakan sama untuk setiap kelompok sampel (nonproporsional),
meskipun pada realisasinya sedikit berbeda. Selanjutnya, sampel itu dipilih secara
nonacak karena sampel dipilih berdasarkan kesediaannya dan terutama yang telah
dikenal. Dengan demikian, teknik penarikan sampel yang digunakan adalah
disproportionate stratified purposive sampling ‘penarikan sampel nonacak
berlapis-takproporsional’.
Sebelum sampel ditentukan, populasi dikelompokan berdasarkan variabel
wangsa, yakni triwangsa dan jaba; pekerjaan, yakni tinggi, sedang, dan rendah;
umur, yakni 20-39 tahun dan 40 tahun ke atas; dan gender, yakni laki-laki dan
perempuan. Setelah itu, sampel dipilih secara nonacak menurut kriteria yang telah
ditentukan (lihat 3.3.1).
Penentuan jumlah sampel dilakukan melalui tabel Fowler (lihat Creswell,
2008) dengan menggunakan parameter kepercayaan 95%. Melalui parameter itu
92
ditemukan bahwa jumlah sampel minimal yang diperlukan adalah 305 dan
direncanakan 336 (24 X 14) supaya jumlah sampel perkelompok sama. Namun,
komposisi jumlah itu tidak tercapai karena kesulitan untuk menemukan jumlah
sampel yang tergolong memiliki pekerjaan kelas atas. Meskipun demikian,
kekurangan itu tidak menjadi masalah dan tetap dianggap memadai karena
populasi secara teoretis diasumsikan homogen. Dalam hal ini, jumlah sampel
nyata yang diperoleh adalah 285 orang (lihat tabel 3.2)
Tabel 3.2
Sampel (Responden) Penelitian
Wangsa
Status
pekerjaan
Tinggi (T)
Sedang (S)
Triwangsa
(T)
Rendah (R)
Tinggi (T)
Sedang (S)
Jaba
(J)
Rendah (R)
Umur
Gender
Dewasa (D) Laki-laki (L)
Perempuan (P)
Muda (M)
Laki-laki (L)
Perempuan (P)
Dewasa (D) Laki-laki (L)
Perempuan (P)
Muda (M)
Laki-laki (L)
Perempuan (P)
Dewasa (D) Laki-laki (L)
Perempuan (P)
Muda (M)
Laki-laki (L)
Perempuan (P)
Dewasa (D) Laki-laki (L)
Perempuan (P)
Muda (M)
Laki-laki (L)
Perempuan (P)
Dewasa (D) Laki-laki (L)
Perempuan (P)
Muda (M)
Laki-laki (L)
Perempuan (P)
Dewasa (D) Laki-laki (L)
Perempuan (P)
Muda (M)
Laki-laki (L)
Perempuan (P)
Singkatan
TTDL
TTDP
TTML
TTMP
TSDL
TSDP
TSML
TSMP
TRDL
TRDP
TRML
TRMP
JTDL
JTDP
JTML
JTMP
JSDL
JSDP
JSML
JSMP
JRDL
JRDP
JRML
JRMP
Jumlah
sampel
11
9
7
6
14
14
14
14
14
14
14
14
10
8
6
4
14
14
14
14
14
14
14
14
93
Tabel 3.2 memperlihatkan tabel 2X3X2X2 jalur yang berarti bahwa
penelitian ini dilakukan pada 24 kelompok sampel. Secara umum sampel
dibedakan atas dua kelompok, yakni triwangsa dan jaba; selanjutnya, masingmasing kelompok wangsa itu dibagi tiga subkelompok berdasarkan pekerjaan,
yakni tinggi, sedang, dan rendah; kemudian, dibagi lagi dua berdasarkan umur,
yakni muda dan dewasa; dan terakhir, dibagi dua berdasarkan gender, yakni lakilaki dan perempuan.
3.3.2.3 Informan Bahasa
Untuk tujuan pengumpulan data kualitatif, penelitian ini juga mengambil
satu subjek dari setiap kelompok sampel secara purposive untuk dijadikan sebagai
informan bahasa sehingga ada dua puluh empat informan pendamping.
Keduapuluh empat orang itu telah diminta kesediaannya untuk diwawancarai dan
direkam tutur bahasanya selama beberapa waktu.
3.4 Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu konsep yang dapat diwujudkan menjadi lebih dari
satu variasi atau karakteristik yang bisa diukur (diamati) atau “dihitung” oleh
peneliti (Creswell, 200: 51-528; dan Wirawan, 2007: 46-47). Dalam penelitian
ini, ada dua jenis variabel yang teridentifikasi, yaitu variabel terpengaruh atau
variabel bahasa, yaitu tingkat tutur dan variabel pengaruh atau variabel
sosiolinguistik: wangsa, pekerjaan, umur, gender, dan sikap bahasa.
94
1) Tingkat tutur bahasa Bali
Tingkat tutur pada penelitian ini diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kode
alus, kode biasa, dan kode kasar.
2) Wangsa
Wangsa sebagai variabel penelitian ini dibedakan atas triwangsa (brahmana,
ksatria, dan wesia) dan jaba.
3) Pekerjaan
Menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2008), pekerjaan secara bebas
dapat diartikan sebagai mata pencaharian, aktivitas atau kegiatan yang
dilakukan secara tetap, teratur dan berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan
finansial. Perbedaan pekerjaan membawa penghasilan yang bervariasi, dan
memberikan status dan prestise yang berbeda-beda kepada seseorang di
masyarakat. Bahkan, dalam penentuan kelas sosial modern, pekerjaan
merupakan indikator utama sehingga kelas sosial dan status pekerjaan kerap
bersinonim. Pekerjaan pada masyarakat Bali di Kota Singaraja dikelompokan
menjadi tiga kelas sebagai berikut.
(a) Kelas atas (pekerjaan kelas tinggi),
terdiri atas orang-orang yang
memegang posisi tinggi, baik di sektor pemerintahan maupun swasta
yang terdiri atas manajer, pengusaha, direktur, wakil manajer, wakil
direktur, rektor, dekan, pengacara, anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
dokter, dosen pegawai negeri sipil, kepala dinas, kepala subdinas,
kepala bagian, kepala subbagian, kepala bidang, kepala subbidang, dan
lain-lain.
95
(b) Kelas menengah (pekerjaan kelas menengah), terdiri atas pegawai
negeri sipil yang tidak menjabat dan tenaga terampil yang terdiri atas
guru, pegawai negeri sipil “biasa” di kantor pemerintahan daerah dan
kantor instansi pemerintah yang lainnya, pegawai hotel, pegawai bank,
pegawai perusahan asuransi, pegawai perusahaan finance, pemilik tokotoko kelas menengah, dan lain-lain.
(c) Kelas bawah (pekerjaan kelas rendah), terdiri atas tenaga kurang
terampil, seperti pekerja bengkel kecil, sopir, buruh, pedagang kecil,
petani, pegawai toko, tukang ojek, penjaga malam, dan lain-lain
4) Umur
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2008) mendefinisikan umur sebagai
lama waktu hidup atau ada; atau usia. kelompok umur yang yang dijadikan
variabel pada penelitian ini dibedakan menjadi dua, yakni 20-39 tahun dan 40
tahun ke atas.
5) Gender
Dasar bagi pemahaman konsep gender adalah jenis kelamin yang merupakan
suatu organ reproduksi yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup. Menurut
jenis kelamin, manusia dibedakan atas laki-laki dan perempuan, sedangkan
gender merupakan perluasan dari konsep jenis kelamin tersebut (Eckert dan
McConnell-Ginet, 2003: 10). Berdasarkan atas jenis kelaminnya, seseorang
bisa membangun identitas dirinya secara sosial-budaya dengan menjadi dan
berperan, baik itu sebagai seorang laki-laki atau perempuan di dunia sosial-
96
masyarakat. Pada penelitian ini, gender dibedakan atas laki-laki dan
perempuan.
6) Sikap bahasa
Sikap bahasa sebagai variabel penelitian ini dibedakan atas sangat positif,
positif, cukup positif, negatif, dan sangat negatif.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah angket
penggunaan bahasa, tes skala sikap, pedoman wawancara, alat perekam, dan
catatan lapangan.
3.5.1 Angket Penggunaan Bahasa
Angket merupakan daftar pertanyaan atau pernyataan terstruktur dengan
alternatif jawaban atau respon yang telah tersedia sehingga sampel tinggal
memilih jawaban atau respon yang sesuai dengan kondisinya (Suyanto dan
Karnaji, 2007: 60). Alternatif jawaban atau respon pada angket digunakan untuk
membatasi jawaban yang dianggap relevan tanpa maksud untuk menggiring
sampel ke arah yang diinginkan oleh peneliti. Dalam hal ini, pembatasan itu
sangat berguna bagi pengolahan dan analisis data.
Angket penggunaan bahasa yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
atas daftar pernyataan yang disebarkan kepada sampel untuk diisi. Daftar itu
terdiri atas
pernyataan-pernyataan untuk mengetahui ragam tutur/kode yang
dipilih atau digunakan oleh penutur pada percakapan dengan mitra tutur terkait
dengan wangsa, pekerjaan, umur, dan gender mitra tutur.
97
Angket penggunaan bahasa yang digunakan bersifat tertutup karena
jawaban sampel dibatasi oleh rangkaian pilihan yang telah ditetapkan. Respons itu
terdiri atas kode Kasar (KK), kode Biasa (KB), kode Alus (KA), bahasa Indonesia
(BI), dan bahasa lain (BL). Akan tetapi, pada angket istilah kode diganti dengan
istilah basa/bahasa, karena sampel lebih akrab dengan istilah itu dan untuk
menghindari kesalahpahaman.
Angket itu diujicobakan pada beberapa sampel untuk mengecek
kemungkinan pertanyaan yang dapat menimbulkan kesalahpahaman dan
selanjutnya diperbaiki sehingga menghasilkan 116 pertanyaan. Pertanyaan itu
dikelompokkan berdasarkan domain penggunaan bahasa sebagai berikut.
(1) Domain keluarga, yang meliputi interaksi dengan kakek, nenek, ayah,
ibu, paman, bibi, kakak, adik dan saudara sepupu. Variasi sosial yang
membedakan di domain keluarga adalah umur dan peran.
(2) Domain tetangga, yang meliputi interaksi dengan peserta tutur yang
tinggal berdekatan satu sama lain, dan beragam berdasarkan wangsa,
umur, dan gender.
(3) Domain tempat kerja, yang meliputi interaksi dengan peserta tutur atasan,
rekan sejabatan, dan rekan bawahan. Peserta tutur itu diidentifikasi lebih
lanjut berdasarkan wangsa, umur, dan gender.
(4) Domain masyarakat, yang meliputi interaksi dengan mitra tutur
triwangsa, jaba, atau yang tidak dikenal.
Mitra tutur di domain
masyarakat itu diidentifikasi lebih lanjut berdasarkan pekerjaan, umur,
dan gender.
98
Untuk lebih jelasnya, kisi-kisi angket penggunaan bahasa dapat dilihat pada tabel
3.3.
Tabel 3.3
Kisi-Kisi Angket Penggunaan Bahasa
NO
DOMAIN
A
B
C
D
E
F
Keluarga
Tetangga
Tempat Kerja (Interaksi dengan Atasan)
Tempat Kerja (Interaksi dengan Rekan Sejabatan)
Tempat Kerja (Interaksi dengan Rekan Bawahan)
Masyarakat (Interaksi dengan Mitra Tutur
Triwangsa)
Masyarakat (Interaksi dengan Mitra Tutur Jaba)
Masyarakat (Interaksi dengan Mitra Tutur yang
Tidak Dikenal)
G
H
PERNYATAAN
1-14
15-26
27-38
39-50
51-62
63-80
81-98
99-116
Pada angket itu, terlihat bahwa jumlah pernyataan yang perlu direspon
oleh sampel adalah 116 pernyataan. Semua pernyataan itu dikelompokkan dalam
empat domain yang dalam hal ini domain ketiga dan keempat diperluas lagi
masing-masing menjadi tiga domain berdasarkan identitas mitra tutur, yakni
domain tempat kerja terdiri atas interaksi dengan atasan, rekan kerja sejabatan,
dan rekan kerja bawahan; sedangkan domain masyarakat terdiri atas interaksi
dengan mitra tutur triwangsa, mitra tutur jaba, dan mitra tutur yang tidak dikenal.
Untuk lebih jelasnya, lihat lampiran 2.
3.5.2 Angket Skala Sikap
Angket skala sikap digunakan untuk menjaring data mengenai sikap
sampel terhadap tingkat tutur bahasa Bali yang dibedakan atas kode kasar, kode
biasa, dan kode alus, sehingga sikap yang dimaksud adalah sikap terhadap kode
kasar, sikap terhadap kode biasa, dan sikap terhadap kode alus. Angket skala
99
sikap itu terdiri atas pernyataan sikap, yakni rangkaian kalimat yang menyatakan
sesuatu mengenai objek sikap yang akan diungkap (Azwar, 2003:106).
Selanjutnya, melalui respon pada setiap pernyataan itu sikap sampel dapat
ditentukan.
Pendekatan yang digunakan pada angket skala sikap adalah pendekatan
respon, yakni “metode pengembangan skala sikap yang tujuannya adalah
meletakkan kategori respons pada titik-titik di sepanjang suatu kontinum
psikologis yang telah ditetapkan” (Azwar, 2003: 125). Skala yang digunakan pada
angket itu adalah skala Likert. Skala Likert yang digunakan adalah skala
menyediakan variasi jawaban atau respon yang berjenjang berdasarkan tingkat
kesetujuan, yakni sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), netral (N), setuju
(S) dan sangat setuju (SS).
Pernyataan-pernyataan sikap pada angket skala sikap tersebut diklasifikasi
berdasarkan komponen sikap yang terdiri atas komponen kognitif, afektif, dan
konatif. Pernyataan-pernyataan pada komponen kognitif mengandung nuansa
makna percaya; pernyataan-pernyataan pada komponen afektif mengandung
nuansa makna merasa; dan pernyataan-pernyataan pada komponen konatif
mengandung nuansa makna kecenderungan untuk bertindak. Lihat tabel 3.4
berikut untuk lebih jelasnya.
100
Tabel 3.4
Tipe dan Kategori Respon
Tipe Respon
Kategori Respon
Kognitif
Afektif
Konatif
Verbal
Pernyataan
keyakinan
mengenai objek
sikap
Pernyataan
perasaan terhadap
objek sikap
Pernyataan
intensi perilaku
Nonverbal
Reaksi perseptual
terhadap objek
sikap
Reaksi fisiologis
terhadap objek
sikap
Perilaku tampak
sehubungan
dengan objek
sikap
Tabel 3.4 menunjukkan bahwa ada dua tipe respon yang dapat dikumpulkan dari
sampel, yakni verbal dan nonverbal. Tipe respon verbal diperoleh melalui
pernyataan-pernyataan sikap yang dapat ditanggapi baik secara tertulis maupun
lisan oleh sampel, sedangkan tipe respon nonverbal diperoleh melalui pengamatan
terhadap sampel itu sendiri. Namun, angket skala sikap yang digunakan pada
penelitian ini hanya menggunakan tipe respon verbal.
Angket skala sikap yang digunakan juga terdiri atas pernyataan-pernyataan
yang berkaitan dengan dimensi sikap bahasa itu sendiri yang terdiri atas kesetiaan
bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Dimensi kesetiaan bahasa dicirikan oleh pernyataan-pernyataan tentang
pertahanan dan kemurnian bahasa; dimensi kebanggaan bahasa dicirikan oleh
pernyataan-pernyataan tentang pengembangan bahasa dan penggunaan bahasa
sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat; dan dimensi kesadaran
adanya norma bahasa dicirikan oleh pernyataan-pernyataan tentang penggunaan
bahasa yang baik dan benar. Untuk lebih jelasnya, tabel 3.5 di bawah
101
menunjukkan kisi-kisi angket skala sikap yang dapat dilihat dengan lebih detail
pada lampiran 2.
Tabel 3.5
Kisi-Kisi Angket Skala Sikap
Komponen
Sikap
Kesetiaan Bahasa
KK
3,9,
12,
21
KB
2,8,
11,
20
KA
1,7,
10,
19
Afektif
52,
53
44
37
Konatif
60,
72
59,
71
58,
70
Kognitif
Komponen Objek Sikap
Kebanggaan
Kesadaran akan
Bahasa
Norma
KK
KB
KA
KK
KB
KA
6,
5,14, 4,
29,
25,
22,
15,
17
13,
30
26,
23,
18
16
27,
24
28
49,
42,
31,
50,
43,
34,
51
45
32,
54,
46,
36,
33,
55,
47,
38,
35
56,
48
39,
57
40,
41
68,
67,7 65,
63,
61,
69,
74,
3,76 66
64
62
75,
78
77
Tabel 3.5 menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan yang terkait dengan
komponen sikap, komponen objek sikap, dan ragam tingkat tutur BB diupayakan
untuk seimbang atau proporsional, walaupun ada yang tidak. Pada komponen
sikap kognitif pada komponen objek sikap atau dimensi kesetiaan bahasa,
misalnya, terdapat empat pernyataan, yakni no. 3, 9, 12, dan 21 tentang KK;
empat pernyataan, yakni no. 2,8,11, dan 20 tentang KB; dan empat pernyataan,
yakni no. 1,7,10, dan 19 tentang KA.
Selain itu, angket skala sikap yang disusun terdiri atas pernyataan sikap
positif dan pernyataan sikap negatif. Pernyataan sikap positif merupakan
pernyataan yang mendukung atau memihak objek sikap, sedangkan pernyataan
sikap negatif merupakan pernyataan yang tidak mendukung atau tidak memihak
102
objek sikap. Pemaduan pernyataan sikap positif dan negatif dilakukan untuk tidak
menimbulkan kesan seolah-olah isi skala seluruhnya memihak atau tidak
memihak objek sikap. Selain untuk menghindari kesan itu, pemaduan pernyataan
itu dapat membuat sampel untuk lebih berhati-hati dalam memberikan respon
(lihat lampiran 5).
3.5.3 Alat Perekam dan Alat Pencatat
Alat perekam digunakan untuk merekam percakapan yang terjadi antara
informan-mitra tutur. Percakapan yang direkam itu terjadi pada peristiwa tutur
yang alamiah dan dilakukan secara nonpartisipatif. Pada setiap percakapan yang
direkam, peneliti tidak terlibat pada proses percakapan dan hanya berperan
sebagai pengamat.
Alat perekam juga digunakan pada saat terjadinya kontak langsung yang
berupa cakap semuka antara peneliti-informan. Penggunaan alat perekam pada
saat itu membantu peneliti untuk berfokus pada isi percakapan supaya percakapan
dapat mengalir lancar. Alat perekam itu juga membantu proses transkripsi karena
sangat sulit untuk mengingat suatu isi percakapan yang berlangsung lama dan
mengenai topik yang spesifik.
Selain alat perekam, alat pencatat juga digunakan. Alat pencatat digunakan
untuk mencatat bentuk-bentuk tingkat tutur BB yang relevan melalui sumber data
sekunder. Sumber data sekunder itu adalah sumber data pustaka yang
menyediakan data tentang bentuk-bentuk tingkat tutur BB. Selain itu, alat pencatat
juga digunakan sebagai pelengkap bagi alat perekam karena bermanfaat untuk
mendokumentasikan hal-hal yang tidak dapat direkam, seperti perilaku nonverbal,
103
tanggal penyimakan, topik pembicaraan, lokasi tempat penyimakan, peserta tutur,
dan nama penyimak. Selanjutnya, jika informan atau mitra tutur merasa tidak
nyaman dengan keberadaan alat perekam, pencatatan lebih dipilih untuk
diterapkan. Pencatatan dilakukan dengan segera tanpa kehadiran informan-mitra
tutur dengan menghilangkan ungkapan-ungkapan/topik-topik tutur yang dianggap
sensitif, tidak diinginkan informan, atau dapat menimbulkan kesalahpahaman.
3.5.4 Panduan Cakap Semuka
Panduan cakap semuka umumnya berisi daftar pertanyaan yang sifatnya
terbuka untuk memancing jawaban bebas dan selanjutnya, mendalami jawaban
tersebut. Panduan cakap semuka yang diterapkan pada penelitian ini terdiri atas
sejumlah pertanyaan yang berguna untuk menggali berbagai infomasi terkait
dengan:
(1) bentuk-bentuk BB;
(2) norma penggunaan bahasa,
(3) penggunaan bahasa nyata pada berbagai situasi percakapan,
(4) pengunaan istilah sapaan, dan
(5) Alasan-alasan pemilihan suatu kode/bahasa.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut bemanfaat bagi peneliti sebagai
pembanding dan untuk memperluas temuan-temuan yang diperoleh melalui
angket dan penyimakan.
104
3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menerapkan beberapa metode yang berbeda untuk
mengumpulkan data terkait dengan jenis data yang dijaring, yakni metode survei,
metode simak, dan metode cakap semuka. Penerapan metode yang berbeda
berguna untuk mengumpulkan data yang kaya dan beragam. Pada gilirannya, itu
semua bermanfaat bagi triangulasi yang berupa triangulasi metode dan data.
Untuk lebih jelasnya, metode, teknik, instrumen pengumpulan data, dan sumber
datanya diringkas pada tabel 3.6.
Tabel 3.6
Metode, Teknik, Instrumen Pengumpulan Data, Objek dan Sumber Datanya
Metode
Pengumpulan Data
Metode
Survei
Metode
Simak
(pengamatan)
Metode
Cakap
Semuka
(wawancara)
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik
Angket
Teknik
Simak Bebas
Libat Cakap
Teknik
Pancing
Instrumen
Pengumpulan
Data
Angket
Pemakaian
Bahasa
Tes Skala
Sikap
Alat Perekam
dan Catatan
Lapangan
Alat
perekam,
Catatan
Lapangan
dan Panduan
Wawancara
Objek Data
Informasi atau pengakuan
diri tentang penggunaan
bahasa
Sikap bahasa
Bentuk bahasa dan Perilaku
berbahasa
Informasi mengenai bentuk
bahasa, norma penggunaan
bahasa, pilihan bahasa,
alasan penggunaan bahasa,
dan penggunaan istilah
sapaan pada guyub tutur
kota Singaraja
Sumber
Data
Responden
Responden
Informan
Informan
Metode survei merupakan metode yang digunakan untuk menjaring
informasi atau data pengakuan diri yang menyangkut sampel melalui angket.
Angket yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas sejumlah pertanyaan
105
tertutup yang berarti bahwa kemungkinan jawaban (respons) yang sesuai bagi
pernyataan tinggal dipilih oleh sampel dengan jalan menyentang atau menyilang.
Ada dua jenis angket yang digunakan pada penelitian ini, yakni angket
penggunaan bahasa dan angket skala sikap. Angket penggunaan bahasa
bermanfaat untuk menjaring data tentang pilihan-pilihan kode sampel pada
percakapan dengan mitra tutur yang beragam pada domain penggunaan bahasa
yang beragam. Tanggapan sampel dibatasi pada pilihan-pilihan, seperti kode
kasar (KK), kode biasa (KB), kode alus (KA), bahasa Indonesia (BI) dan bahasa
lain (BL); dan domain penggunaan bahasa yang digunakan adalah domain
keluarga atau rumah tangga; domain tetangga; domain tempat kerja yang terdiri
atas interaksi dengan atasan, rekan kerja sejabatan, dan rekan kerja bawahan; dan
domain masyarakat yang terdiri atas interaksi dengan mitra tutur triwangsa, mitra
tutur jaba, dan mitra tutur yang tidak dikenal.
Semua kelompok sampel, kecuali kelompok sampel yang berstatus
pekerjaan rendah, diminta untuk menanggapi seluruh pernyataan itu berdasarkan
batasan respon yang disediakan. Kelompok sampel yang berstatus pekerjaan
rendah, baik triwangsa ataupun jaba, baik tua ataupun muda, baik laki-laki
ataupun perempuan, secara nyata tidak memiliki bawahan sehingga mereka tidak
perlu untuk merespon pernyataan pada domain tempat kerja dengan mitra tutur
bawahan.
Berbeda dengan angket penggunaan bahasa, angket skala sikap digunakan
untuk menjaring data mengenai sikap sampel terhadap tingkat tutur bahasa Bali
yang dibedakan atas kode kasar, kode biasa, dan kode alus, sehingga sikap yang
106
dimaksud adalah sikap terhadap kode kasar, sikap terhadap kode biasa, dan sikap
terhadap kode alus. Selain itu, angket yang digunakan juga bersifat tertutup
karena respon yang diharapkan dari sampel sudah ditentukan atau dibatasi, yakni
sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), netral (N), setuju (S), dan sangat
setuju (SS). Oleh sebab itu, tanggapan sampel terhadap angket didasarkan pada
kemungkinan respon yang disediakan.
Angket ditanggapi dan diisi oleh sampel melalui satu dari dua cara berikut.
Bagi sampel yang bisa memahami isi daftar pertanyaan pada angket diberikan
kesempatan untuk menjawab sendiri tanpa intervensi. Akan tetapi, bagi sampel
yang tidak bisa memahami isi daftar pertanyaan, pertanyaan-pertanyaan angket itu
dibacakan, dijelaskan, dan dibantu untuk mencentangkan. Cara itu disebut dengan
wawancara langsung.
Setelah metode survei selesai, peneliti menerapkan metode simak dengan
teknik simak bebas libat cakap untuk mengumpulkan data percakapan pada guyub
tutur Kota Singaraja. Metode simak dengan teknik simak bebas libat cakap
diterapkan dengan dasar pemikiran bahwa perilaku berbahasa terjadi pada situasi
yang sebenarnya atau pada latar alamiah dengan konteks tutur yang lengkap.
Metode itu berguna untuk menjaring data tentang bentuk bahasa dan perilaku
berbahasa melalui percakapan antara penutur-mitra tutur tanpa intervensi
(nonpartisipasi) peneliti. Peneliti sengaja hanya berperan sebagai pengamat untuk
menjaga kealamiahan data.
Metode simak dengan teknik simak bebas libat cakap itu dibantu dengan
teknik lanjutan yang berupa teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam yang
107
diterapkan dengan bantuan alat perekam bermanfaat untuk merekam tutur bahasa
ketika informan-mitra tutur bercakap-cakap pada situasi yang sebenarnya.
Sementara itu, teknik catat bermanfaat untuk merekam perilaku-perilaku
berbahasa yang tidak bisa terekam dan untuk mengisi lembar penyimakan (lihat
3.5.3). Selain itu, pada situasi ketika teknik rekam tidak memungkinkan,
misalnya, salah satu peserta tutur tidak mau atau tidak merasa nyaman untuk
direkam, maka peneliti hanya menerapkan teknik catat. Pencatatan dilakukan
segera setelah suatu percakapan berakhir di luar kehadiran informan-mitra tutur
dan dengan menghilangkan ungkapan-ungkapan atau pokok-pokok pembicaraan
yang dianggap sensitif dan tidak diinginkan oleh informan-mitra tutur.
Setelah metode simak selesai, peneliti selanjutnya menerapkan metode
cakap semuka dengan teknik dasar pancing. Penerapan metode itu menyaratkan
terjadinya kontak langsung, baik berupa percakapan ataupun tanya jawab antara
peneliti-informan. Percakapan atau tanya jawab yang dilakukan dipandu oleh
sejumlah pertanyaan yang disusun oleh peneliti (lihat 3.5.4) dan disebut dengan
teknik dasar pancing. Selain itu, percakapan atau tanya jawab tersebut dilakukan
dengan menggunakan bahasa sasaran, yakni bahasa Bali. Hal itu dimungkinkan
karena peneliti juga bisa menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pertama.
Karena metode cakap semuka dengan teknik dasar pancing ini diharapkan
untuk dapat mengumpulkan dua jenis data, yakni data kebahasaan dan data
sosiolinguistik, maka dua teknik berbeda diterapkan. Untuk mengumpulkan data
kebahasaan teknik lanjutan bawahan perluas digunakan. Teknik lanjutan bawahan
ini digunakan untuk mengkaji perbedaan-perbedaan bentuk kode antara kode
108
kasar, kode biasa, dan kode alus. Dengan teknik lanjutan bawahan perluas,
peneliti meminta informan untuk menemukan bentuk lain yang menjadi sandingan
bagi bentuk awal yang telah diperoleh melalui teknik pancing. Bentuk sandingan
itu memiliki makna atau informasi yang sama dengan bentuk awalnya, walaupun
jumlah unsur lingualnya dapat saja lebih. Konsep perluas itu sendiri bermakna
bertambahnya jumlah data (bentuk) yang makna atau informasinya sama dengan
data awal.
Untuk mengumpulkan data sosiolinguistik metode cakap semuka dengan
teknik dasar pancing yang diterapkan adalah berupa in depth interview
‘percakapan mendalam’. Metode yang diterapkan ini bersifat deskriptif dan
eksplanatoris karena selain menggali informasi tentang fakta atau fenomena
sosiolinguistik, peneliti juga berupaya untuk menggali informasi yang kiranya
dapat menjelaskan munculnya fakta atau fenomena tersebut.
Selain itu, peneliti juga melengkapi penerapan metode cakap semuka
dengan teknik rekam dan teknik catat. Itu berarti selama percakapan, peneliti
melakukan rekaman terhadap penggunaan bahasa dan mencatat perilaku-perilaku
berbahasa yang tidak terekam. Sebagai tambahan,
peneliti juga menerapkan
metode dokumentasi atau metode pustaka yang dilakukan untuk memeriksa dan
mengkaji tentang bentuk-bentuk tingkat tutur BB dalam berbagai sumber tulis.
3.7 Metode Analisis Data
Metode
analisis
data
merupakan
cara
yang
digunakan
untuk
menyederhanakan data menjadi bentuk yang mudah dibaca dan dimaknai. Metode
109
analisis data yang diterapkan pada penelitian ini adalah metode analisis kuantitatif
dan kualitatif. Metode analisis kuantitatif diterapkan pada data yang berwujud
angka yang diperoleh melalui penerapan metode survei, sedangkan metode
analisis kualitatif diterapkan pada data yang berwujud nonangka, yakni tutur
bahasa, kalimat, atau percakapan yang diperoleh melalui penerapan metode simak
dan metode cakap.
3.7.1 Metode Analisis Data Kuantitatif
Sebelum kalkulasi statistik deskriptif diberlakukan pada data yang
diperoleh melalui angket, peneliti terlebih dahulu mengerjakan langkah-langkah
persiapan yang meliputi (1) pemeriksaan data, (2) pembuatan kode, (3)
penyederhanaan data, dan (4) mengode data. Pada tahap pemeriksaan data, angket
yang telah dikumpulkan diperiksa terkait dengan lengkap-tidaknya pengisian
jawaban, kejelasan tulisan (jawaban), relevansi jawaban, dan konsistensi
kesesuaian antarjawaban. Apabila hal-hal itu belum dipenuhi, peneliti melakukan
pengecekan ulang terhadap sampel agar jawaban yang diberikan memuaskan
untuk dianalisis.
Pada tahap pembuatan kode, peneliti diharapkan membuat semacam kode
atau penomeran terkait dengan pertanyaan, dan jawaban pada angket dengan jalan
mengklasifikasi pertanyaan-pertanyaan, jawaban-jawaban, kelompok sampel, dan
selanjutnya mempersiapkan kode yang sesuai.
Akan tetapi, itu semua
sesungguhnya sudah dilakukan sejak awal karena angketnya bersifat tertutup atau
terstruktur. Penggunaan angket yang terstruktur juga mempermudah pelaksanaan
110
tahap
penyederhanaan dan pengodean data karena data yang diperoleh
sesungguhnya sudah sederhana dan terkode sejak awal.
Setelah persiapan selesai, langkah-langkah analisis dilakukan. Pada hasil
angket penggunaan bahasa, langkah pertama yang diambil adalah mentabulasi tiap
pilihan kode/bahasa sampel secara perorangan, perkelompok, dan selanjutnya,
perwangsa. Kemudian, data direkap melalui tabel frekuensi.
Setelah tabel frekuensi dibuat, nilai frekuensi itu dikonversi menjadi
persentase dengan perhitungan berikut.
Jumlahsampelyangmemilihsuatukode
× 100%
Jumlahsampelyangmemilih
Terakhir, persentase yang diperoleh diberikan interpretasi untuk mempermudah
pemaparan dan sekaligus juga untuk mengetahui tingkat kekuatan persentase itu.
Interpresi itu diberikan berdasarkan kategori kontinum dari sangat tinggi ke sangat
rendah sebagai berikut:
81 -100
Sangat tinggi
61 – 80
Tinggi
41 – 60
Cukup tinggi
21 – 40
Rendah
0 – 20
Sangat rendah
Pada perbandingan antara persentase penggunaan kode, ditetapkan kriteria sebagai
berikut:
(1) Jika dua atau lebih persentase yang diperbandingkan tidak menunjukkan
perbedaan persentase, perbedaan itu dianggap tidak signifikan.
111
(2) Jika dua atau lebih persentase yang diperbandingkan hanya menunjukkan
perbedaan persentase, tetapi tidak menunjukkan perbedaan kategori,
perbedaan itu dianggap kurang signifikan.
(3) Jika dua atau lebih persentase yang diperbandingkan menunjukkan
perbedaan kategori, perbedaan itu dianggap signifikan.
Berbeda dengan langkah analisis data hasil angket penggunaan bahasa,
pada data hasil tes skala sikap peneliti terlebih dahulu menentukan arah atau sifat
pernyataan sikap untuk menentukan skor sikap secara kuantitatif. Pada pernyataan
positif, jawaban sangat setuju diskor 5, setuju 4, netral 3, tidak setuju 2, dan
sangat tidak setuju 1. Sebaliknya, pada pernyataan negatif, jawaban sangat tidak
setuju diskor 5, tidak setuju 4, netral 3, setuju 2, dan sangat setuju 1. Untuk lebih
jelasnya, lihat tabel 3.7.
Tabel 3.7
Konversi Kuantitatif Angket berdasarkan Sifat Pernyataannya
Pernyataan Positif
Sangat Setuju
Setuju
Netral
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Pernyataan Negatif
=
=
=
=
=
5
4
3
2
1
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Netral
Setuju
Sangat Setuju
=
=
=
=
=
5
4
3
2
1
Data hasil tes skala sikap itu selanjutnya direkap dengan memerhatikan
komponen sikap dan objek sikap bahasa melalui penerapan langkah-langkah
berikut:
112
(1) Misalnya, dari 100 sampel yang merespon ditemukan distribusi sebagai
berikut.
Menjawab
Menjawab
Menjawab
Menjawab
Menjawab
5
4
3
2
1
=
=
=
=
=
20
30
10
40
10
(2) Maka, akan dihitung sebagai berikut.
jumlah skor untuk 20 sampel menjawab 5
jumlah skor untuk 30 sampel menjawab 4
jumlah skor untuk 10 sampel menjawab 3
jumlah skor untuk 40 sampel menjawab 2
jumlah skor untuk 10 sampel menjawab 1
jumlah skor
jumlah ideal untuk item tersebut = 5 x 100
jumlah skor terendah
= 1 x 100
=
=
=
=
=
=
=
=
10
12
30
80
10
34
50
10
(3) Skor diposisikan dalam respon angket dan ditemukan bahwa skor tersebut
terletak diantara netral dan setuju.
(4) Skor tersebut dikonversikan ke dalam bentuk persentase melalui cara
berikut.
340
500
100%
68%
(5) Persentase tersebut diposisikan pada rentang persentase melalui cara
berikut.
(6) Selanjutnya, berdasarkan posisi tersebut dan dengan memperhatikan
kategori interpretasi skor berikut disimpulkan bahwa persentase itu berada
113
pada kategori cukup positif. Kategori interpretasi skor yang digunakan
adalah sebagai berikut:
81-100
Sangat positif
61- 80
Positif
41- 60
Netral (cukup positif)
21- 40
Negatif
20
Sangat negatif
(7) Terakhir, perbandingan antara persentase sikap, baik antarkode maupun
antarkomponen, dilakukan dengan menerapkan kriteria yang sama seperti
pada penggunaan kode.
3.7.2 Metode Analisis Data Kualitatif
Data kualitatif pada penelitian ini diperoleh melalui metode pustaka, selain
metode simak dan metode cakap semuka. Metode pustaka digunakan untuk
menjaring data tentang bentuk-bentuk tingkat tutur BB; metode simak menjaring
data yang berwujud percakapan antara informan-mitra tutur; dan metode cakap
semuka menjaring data mengenai fakta, data, dan opini kebahasaan informan
terkait dengan penggunaan bahasa pada guyub tutur Kota Singaraja.
Analisis data kualitatif diterapkan dengan mengikuti langkah-langkah yang
telah dikembangkan oleh Huberman dan Miles (dalam Faisal, 2003:69) yang
ditunjukkan pada gambar 3.1 berikut.
114
Gambar 3.1
Prosedur Analisis Data Kualitatif
Gambar 3.1 menunjukkan bahwa data yang telah dikumpulkan direduksi
terlebih dahulu. Kegiatan reduksi melibatkan langkah-langkah memilah, dan
mengelompokkan data menjadi pola-pola, tema-tema, atau kategori-kategori
tertentu. Hasil reduksi data tersebut selanjutnya diorganisasikan untuk
ditayangkan menjadi suatu bentuk yang utuh. Tayangan data tersebut berguna
bagi upaya penarikan dan verifikasi kesimpulan. Proses itu yang memadukan
proses pengumpulan dan analisis data tidak berlangsung secara linear, tetapi
melingkar dan bersiklus.
Data percakapan antara informan-mitra tutur dianalisis melalui metode
padan intralingual dengan menghubung-bandingkan satuan-satuan lingual/katakata yang digunakan pada percakapan secara sintagmatik dan paradigmatik.
Metode itu dilengkapi dengan penerapan teknik hubung banding menyamakan
(HBS), dan hubung banding membedakan (HBB) seperti tercermin pada istilah
padan itu sendiri. Selanjutnya, teknik hubung banding menyamakan hal pokok
(HBSP) diterapkan untuk mencari kesamaan pokok dari hasil HBS dan HBB yang
merupakan tujuan akhir proses menghubung-bandingkan.
115
Metode padan intralingual diterapkan dengan memperhatikan klasifikasi
tingkat tutur bahasa Bali. Klasifikasi itu adalah kode kasar, kode biasa, kode alus,
dan bahasa Indonesia. Pertimbangan pertama yang digunakan untuk menentukan
kode penggunaan bahasa adalah dengan membandingkan jumlah level kata/kruna
pada setiap kalimat/ucapan. Suatu kalimat yang memiliki walaupun hanya satu
kata berlevel alus dianggap berkode alus. Dalam hal ini, semakin banyak kruna
alus pada suatu kalimat/kode, semakin alus-lah kalimat/kode itu. Jika suatu
kalimat/kode hanya terdiri atas kata biasa, maka kalimat/kode itu dianggap
berkode biasa. Akan tetapi, keberadaan satu saja kata kasar pada kalimat yang
mayoritas katanya berlevel alus atau biasa membuat kalimat itu dianggap berkode
kasar.
Hasil cakap semuka atau wawancara juga dikelompokkan menjadi polapola, kategori-kategori, atau tema-tema berdasarkan respons yang dibuat informan
terkait dengan pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Respons beragam terkait
dengan pertanyaan mengenai norma penggunaan kode alus, misalnya,
diklasifikasikan, dan dikategorikan berdasarkan respons yang diberikan. Respons
yang sama dikelompokkan pada klasifikasi yang sama dan respons yang berbeda
dikelompokkan pada klasifikasi yang berbeda. Hal yang sama juga diterapkan
pada respons-respons lain yang dianggap relevan dengan pertanyaan yang
diberikan.
Respons-respons itu selanjutnya dikaitkan dengan kode tutur yang
digunakan selama percakapan dan juga data angket melalui metode padan
ekstralingual. Metode padan ekstralingual bermanfaat untuk menghubung-
116
bandingkan unsur-unsur lingual dengan unsur-unsur ekstralingual, seperti konteks
tuturan, identitas penutur-mitra tutur dan sebagainya. Teknik yang diterapkan
pada metode itu sama dengan teknik pada metode padan intralingual, yakni HBS,
HBB dan HBSP, hanya saja teknik itu diterapkan secara ekstralingual.
3.8 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan menggabungkan metode
formal dan metode informal. Metode formal dilakukan dengan penggunaan tandatanda atau lambang-lambang, misalnya tanda asteris (*) yang digunakan untuk
menyatakan bahwa bentuk lingual itu tidak gramatikal atau tidak berterima, atau
tanda anak panah datar ( ) yang digunakan untuk menunjukkan perubahan dari
satu bentuk lingual ke bentuk yang lain. Selain itu, lambang-lambang yang berupa
singkatan juga digunakan pada penelitian ini seperti berikut:
BB
: Bahasa Bali
BI
: Bahasa Indonesia
BJ
: Bahasa Jawa
BL
: Bahasa Lain
KK
: Kode Kasar
KB
: Kode Biasa
KA
: Kode Alus
Selanjutnya, metode informal diterapkan dengan menggunakan kata-kata biasa,
termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis.
BAB IV
TINGKAT TUTUR BAHASA BALI
4.1 Pengantar
Bab ini membahas hal-hal yang dianggap penting terkait dengan tingkat
tutur BB. Pada subbab 4.2 dibahas tentang bentuk tingkat tutur BB yang meliputi
tata bentuk kata dan kalimat dan selanjutnya, pada subbab 4.3 dibahas tentang
bentuk kode BB yang digunakan pada guyub tutur Kota Singaraja.
4.2 Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Bali
Unsur pembentuk tingkat tutur BB adalah kata BB yang pada prinsipnya
sudah memiliki tingkatan atau oleh Geertz (1979) disebut sebagai bermakna
‘status’. Hal itu berarti bahwa kosakata BB dicirikan oleh bentuk-bentuk leksikal
yang bermakna sama, tetapi memiliki tingkatan yang berbeda. Fakta itu
menunjukkan bahwa pada BB, terdapat alternasi leksikal atau hubungan
paradigmatik atau substitusional yang unik, yakni hubungan antara seperangkat
unsur kata yang bermakna sama dan berdistribusi sama secara sintagmatik, tetapi
berbeda level, sehingga tidak dapat saling dipertukarkan secara sembarang dalam
kalimat.
Selain itu, kata-kata BB juga bisa dijalin satu sama lain di dalam suatu
hubungan kookuransi atau sintagmatik khusus karena hubungan itu bersifat
intralevel dependency. Hal itu berarti bahwa kata-kata yang dapat dipadukan atau
dijalin secara kookuransi adalah kata-kata yang berada pada tingkat tutur yang
117
118
sama atau konsisten satu sama lain menurut norma yang berlaku. Selanjutnya,
bentuk tingkat tutur bahasa Bali dipaparkan berikut ini.
4.2.1 Kata
Kata merupakan satuan bahasa yang terjadi dari morfem tunggal atau
gabungan morfem, dan yang dapat berdiri sendiri (Kridalaksana, 1993). Dalam hal
ini, tingkat tutur kata BB secara rinci dibedakan atas enam tingkat, yakni (1) kata
alus singgih, (2) kata alus sor, (3) kata alus madia, (4) kata alus mider, (5) kata
biasa, dan (6) kata kasar (lihat 2.3.2.1). Berikut adalah paparan mengenai tingkattingkat kata itu.
4.2.1.1 Kata Alus Singgih
Kata alus singgih adalah kata alus yang memiliki nilai rasa yang sangat
tinggi. Kata itu digunakan pada percakapan dengan mitra tutur yang berwangsa
lebih tinggi atau pantas untuk dihormati. Kata alus singgih digunakan untuk
merujuk sifat, perilaku, milik, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan
mitra tutur dengan tujuan untuk meninggikannya.
Contoh:
SEDA
BAKTA
SAMETON
MANTUK
PUSER
MOBOT
MAKAYUN
PRABU
RAMBUT
PUTRA
‘wafat’
‘bawa’
‘keluarga’
‘pulang’
‘pusar’
‘hamil’
‘ingin’
‘kepala’
‘rambut’
‘anak’
119
PARAB
GERIA, PURI, JERO
IDA
WIKAN
NGRAYUNANG
‘nama’
‘rumah’
‘beliau’
‘pandai’
‘makan’
4.2.1.2 Kata Alus Sor
Kata alus sor adalah kata alus yang digunakan untuk merendahkan diri
pada percakapan dengan mitra tutur yang berwangsa lebih tinggi atau pantas
untuk dihormati. Kata itu ditujukan untuk merujuk sifat, perilaku, milik, dan
berbagai hal lain yang berhubungan dengan penutur itu sendiri. Jumlah kata alus
sor BB cukup banyak.
Contoh:
PADEM
BUAT
BUDAL
WASTA
AJENGAN
URIP
MANAH
PEDIH
MATUR
MIRAGI
TAMBET
MAKEBOTAN
MASOMAH
NGLUNGSUR
SIREP
TUNAS
NDEWEK
IPUN
‘mati’
‘bawa’
‘pulang’
‘nama’
‘makanan’
‘hidup’
‘pikiran’
‘marah’
‘berkata’
‘mendengar’
‘belog’
‘buang air besar’
‘bersuami/beristri’
‘makan’
‘tidur’
‘minta’
‘sendiri’
‘dia’
4.2.1.3 Kata Alus Madia
Kata alus madia merupakan kata alus yang memiliki nilai rasa alus di
tengah-tengah atau sedang. Kata itu terdiri atas kata alus madia asli dan sejumlah
120
kata lain yang merupakan bentuk pendek dari kata alus singgih atau alus sor.
Jumlah kata alus madia sangatlah terbatas.
Contoh kata alus madia:
DERENG
DERIKA
DERIKI
MANGKIN
ENGGIH
AJENG
SIREP
MERIKI
MERIKA
SIRAH, DUUR
KENAPI
‘belum’
‘di sana’
‘di sini’
‘sekarang’
‘ya’
‘makan’
‘berangkat’
‘kemari’
‘kesana’
‘kepala’
‘kenapa’
Contoh kata alus madia yang berupa bentuk pendek dari kata alus singgih atau
alus sor:
TIANG dari TITIANG
NIKI dari PUNIKI
NIKA dari PUNIKA
AMPUN dari SAMPUN
NAPI dari PUNAPI
SIRA dari SAPASIRA
TEN dari NENTEN
‘saya’
‘ini’
‘itu’
‘sudah’
‘apa’
‘siapa’
‘tidak’
4.2.1.4 Kata Alus Mider
Kata alus mider ialah satu-satunya kata alus yang ada untuk
menggambarkan suatu konsep tertentu dan hadir untuk melengkapi kekurangan
kata alus. Dengan kata lain, kata alus mider tidak memiliki alternasi leksikal alus
pada tingkat tutur kata alus yang lainnya. Istilah alus mider yang berarti ‘berputar’
dipergunakan karena kata-katanya dapat digunakan pada kalimat alus mana pun,
baik pada kalimat alus singgih, alus sor, maupun alus madia. Selain itu, kata alus
mider BB mempunyai jumlah kata yang cukup banyak.
121
Contoh:
RAUH
ELING
PATUT
TAMBET
AYAM
GELIS
PUPUT
CENDEK
RARIS
WANGUN
AGENG
ALIT
LALI
JINAH
‘datang’
‘ingat’
‘benar’
‘belog’
‘ayam’
‘lekas’
‘selesai’
‘bawak’
‘lalu’
‘bentuk’
‘besar’
‘kecil’
‘lupa’
‘uang’
4.2.1.5 Kata Biasa
Menurut Suarjana (2008), Suwija (2005), dan Tinggen (1991), kata biasa
memiliki rasa netral karena kata itu tidak memiliki nilai rasa alus maupun kasar,
tetapi di antaranya. Mungkin karena rasa netral itulah yang membuat tingkat tutur
itu kerap dilabeli sebagai tingkat tutur biasa, meskipun ada juga ahli yang tidak
sepakat. Selain itu, kata-kata biasa dapat digunakan pada pembentukan kalimat
alus, biasa, ataupun kasar.
Contoh:
aampin
aba
abulih
agem
alap
beling
braya
cening
cunguh
embok
repot
canggah
kenyih
‘seikat’
‘bawa’
‘sebiji’
‘gaya, penampilan’
‘petik’
‘hamil’
‘keluarga’
‘nak’
‘hidung’
‘kakak perempuan’
‘sibuk’
‘cabang kayu’
‘tidak tahan’
122
guyu
mendep
aji
desa
jegjeg
kepung
keris, kadutan
miik
teken
pelih
tatu
polo
pesu
uwa
‘olok-olok’
‘diam’
‘ilmu’
‘desa’
‘tegak lurus’
‘kejar’
‘keris’
‘harum’
‘oleh’
‘salah’
‘luka’
‘otak’
‘keluar’
‘paman/bibi’
4.2.1.6 Kata Kasar
Kata kasar merupakan kata yang memiliki rasa kasar. Kata kasar
umumnya digunakan untuk meluapkan rasa kesal, marah, atau jengkel terhadap
seseorang atau sesuatu. Selain itu, kata kasar juga terkadang digunakan pada
percakapan akrab atau intim di antara sesama jaba.
Contoh:
TENDAS
KELENG
LEKLEK, TIDIK
BANGKA
LENGEH
NANI
SIGA
MEMELUD
POLONNE
BELER
CICING
IBA
‘kepala’
‘kurang ajar’
‘makan’
‘mati’
‘bodoh’
‘kamu laki-laki’
‘kamu perempuan’
‘tidur’
‘otak’
‘kurang ajar’
‘anjing’
‘kau’
4.2.2 Bentuk Alus
Bentuk alus perlu dibedakan dengan kata alus (Fernandez, dkk, 1993: 85)
karena bentuk alus diperoleh atau diturunkan dari kata yang lain –baik kata biasa
123
maupun kata alus— melalui proses fonologis atau morfologis. Bentuk alus ARI
‘adik’, misalnya, dibentuk dari kata biasa adi melalui proses fonologis. Secara
fonologis, terdapat sekelompok bentuk alus yang dapat diperoleh melalui proses
penggantian, penghilangan, atau penambahan fonem. Sebaliknya, secara
morfologis terdapat sekelompok bentuk alus yang dapat diperoleh melalui
penggantian, penghilangan, atau penambahan suku kata.
4.2.2.1 Proses Fonologis
Proses fonologis yang terjadi adalah berupa penggantian, pengurangan
atau penambahan salah satu fonem, baik konsonan maupun vokal, dari kata asal.
Melalui cara tersebut, selanjutnya, diperoleh tingkat kata yang berbeda dengan
kata asal. Berikut adalah contoh kata-kata yang diperoleh melalui proses
fonologis.
A. Proses fonologis yang menghasilkan kata biasa dan kata alus madia
Biasa
babi
abu
bangunan
bani
bates
batu
balik
adi
padi
idung
don
di
pedanda
medem
ruruh
rungu
-
Alus madia
Makna
BAWI
AWU
WANGUNAN
WANI
WATES
WATU
WALI
ARI
PARI
IRUNG
RON
RI
PERANDA
MEREM
REREH
RENGA
‘babi’
‘abu’
‘bangunan’
‘berani’
‘batas’
‘batu’
‘kembali’
‘adik’
‘padi’
‘hidung’
‘daun’
‘di’
‘pendeta’
‘tidur’
‘mencari’
‘peduli’
124
musuh
patuh
anggo
takon
reko
konkon
penganggo
paum
tuun
siam
jawa
lama
marga
kuna
orta
negara
upama
-
MESEH
PATEH
ANGGE
TAKEN
REKE
KENKEN
PENGANGGE
PARUM
TURUN
SIRAM
JAWI
LAMI
MARGI
KUNI
ORTI
NEGARI
UPAMI
‘musuh’
‘sama’
‘pakai’
‘tanya’
‘konon’
‘suruh’
‘pakaian’
‘rapat’
‘turun’
‘siram’
‘jawa’
‘lama’
‘jalan’
‘kuno’
‘kabar’
‘negara
‘contoh’
B. Proses fonologis yang menghasilkan kata alus madia dan alus singgih
Alus madia
AKAH
PAGEH
TIKEH
KAHANG
NATAH
PASIH
SUNGGUH
LUNGGUH
DĒRĒNG
CĒLĒNG
-
Alus singgih
Makna
AKAR
PAGAR
TIKER
KARANG
NATAR
PASIR
SINGGIH
LINGGIH
DURUNG
CULUNG
‘akar’
‘pagar’
‘tikar’
‘karang’
‘pekarangan’
‘pasir’
‘hormat’
‘tempat duduk’
‘belum’
‘celeng’
4.2.2.2 Proses Morfologis
Proses morfologis yang terjadi adalah berupa penggantian silabel atau
penambahan silabel. Cara ini juga dapat menghasilkan suatu kata lain yang
berbeda level dengan kata asalnya. Berikut adalah kata-kata yang dihasilkan
melalui proses morfologis.
125
A. Proses morfologis yang menghasilkan kata biasa dan kata alus madia
Biasa
sandikala
sengkala
kalan
-
Alus madia
SANDIKAON
SENGKALA
KAON
Makna
‘senja’
‘celaka’
‘kalah’
B. Proses morfologis yang menghasilkan kata alus madia dan kata alus singgih
Alus madia
KARI
SESARI
AYU
MAJU
DERIKA
DERIKI
NIKI
NIKA
NAPI
-
Alus singgih
KANTUN
SESANTUN
AJENG
MAJENG
IRIKA
IRIKI
PUNIKI
PUNIKA
PUNAPI
Makna
‘sedang’
‘inti’
‘cantik’
‘maju’
‘di sana’
‘di sini’
‘ini’
‘itu’
‘apa’
4.2.3 Pronomina
Bagus (1979) mengungkapkan pronomina merupakan bagian yang sangat
penting bagi penentuan tingkat tutur BB. Shadeq (1977) bahkan menggunakan
acuan pronomina persona ketiga sebagai dasar bagi klasifikasi TTBB, yaitu; ia,
ipun, dan ida.
Pronomina ialah kata yang menggantikan nomina atau frase nomina
(Kridalaksana, 1993). Pronomina berfungsi sebagai penyapa, atau pengacu.
Nomina meme ‘ibu’, bapa ‘bapak’, pekak ‘kakek’ atau dadong ‘nenek’ dapat
disapa, atau diacu dengan pronomina ia ‘dia’ untuk kata biasa, IPUN untuk kata
alus madia, dan IDA untuk kata alus. Karena pronomina menggantikan posisi
nomina, pronomina memiliki fungsi yang sama dengan posisi nomina yang
digantikan, yakni subjek atau objek. BB memiliki tiga jenis pronomina, yaitu:
pronomina persona, pronomina penunjuk, dan pronomina penanya.
126
4.2.3.1 Pronomina Persona
Pronomina persona merupakan pronomina yang digunakan untuk
menggantikan nomina orang. Pronomina persona bisa mengacu kepada orang
yang
berbicara
atau
diri
sendiri/pronomina
persona
pertama,
mitra
tutur/pronomina persona kedua atau orang yang dibicarakan/pronomina persona
ketiga. Pronomina itu bisa juga tunggal atau plural mengikuti nomina yang
digantikan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel 4.1 berikut uraian yang
mengikutinya.
Tabel 4.1
Pronomina Persona Tunggal dan Plural Bahasa Bali
Persona
Pertama
Kedua
Ketiga
Alus
TITIANG
TIANG
JERONE
RAGANE
IDA
IPUN
DANE
Tunggal
Biasa
icang
I dewek
Kasar
Alus
AKE
AWAKE
IRAGA
cai
nyai
-
-
ia
-
IDA
SARENG
SAMI
Plural
Biasa
Kasar
-
-
-
CAI PADA
NYAI PADA
-
-
A. Pronomina Persona Pertama
Pronomina persona pertama merupakan pronomina persona yang paling
detail jika dibandingkan dengan pronomina persona kedua dan ketiga. Kata aku
bisa diwujudkan menjadi TITIANG, TIANG, I cang, I dewek, manira, AKE, dan
AWAKE. TITIANG merupakan bentuk yang paling halus dan digunakan penutur
untuk menyatakan hormat yang setinggi-tinggi kepada mitra tutur dengan jalan
merendahkan diri serendah-rendahnya. Kata TITIANG umumnya hanya digunakan
bersama dengan kata-kata alus saja, tetapi jika selanjutnya diikuti oleh kata-kata
127
yang kurang halus entah karena kurangnya perbendaharaan kata atau karena
terbawa perasaan ramah tamah, penutur tetap bisa dianggap sangat hormat.
(1) TITIANG AKEH NUNAS lungsuran.
‘Saya banyak meminta hasil persembahan’
Kalimat (1) merupakan kalimat alus sor yang dibentuk oleh pronomina pertama
TITIANG dan kata NUNAS yang merupakan kata alus sor;
kata alus mider
AKEH; dan kata biasa lungsuran.
TIANG merupakan bentuk pendek pronomina persona kedua TITIANG.
Pemendekan seperti itu lazim terjadi pada BB untuk sedikit menurunkan rasa
halus kata asal sehingga bentuk TIANG kurang alus daripada kata TITIANG.
(2)
TIANG MANGKIN NGAJENG.
‘Saya sekarang makan’
Kalimat (2) merupakan kalimat alus madia yang semua katanya berasal dari kata
alus madia.
Pronomina icang dan I dewek merupakan pronomina persona biasa dan
lazim digunakan bersama-sama dengan kata-kata biasa. Sebaliknya, AKE atau
AWAKE merupakan pronomina persona kasar dan lazim digunakan bersamasama dengan kata-kata biasa/kata-kata kasar.
(3a)
(3b)
(3c)
Icang medaar malu.
AKE medaar malu.
AWAKE medaar malu.
‘Saya makan dulu’
Kalimat (3a-c) pada pokoknya menggunakan kata yang sama, kecuali pada
pronominana. Penggunaan pronomina icang pada (3a) menjadikan kalimat itu
sebagai kalimat biasa. Sebaliknya, penggunaan pronomina AKE dan AWAKE
pada (3b) menjadikan kalimat itu sebagai kalimat kasar.
128
Selain itu, terdapat juga pronomina persona pertama yang lainnya, seperti
gelahe, manira, atau nira. Gelahe lazim digunakan oleh seorang raja pada zaman
dahulu untuk mengacu pada dirinya. Sebaliknya, Manira atau nira lazim
digunakan oleh raja, dewa, atau pesuruh dewa untuk mengacu pada dirinya.
Untuk pronomina persona pertama plural, kata yang umum digunakan
adalah IRAGA ‘kita/kami’. Pronomina ini dapat bersifat inklusif meliputi penutur,
mitra tutur, dan pihak lain yang sepihak, atau ekslusif yang meliputi penutur dan
pihak lain yang sepihak, kecuali mitra tutur. Contoh (4) menunjukkan penggunaan
IRAGA.
(4)
IRAGE lakar mancing be di tukade bareng-bareng
Kalimat (4) dapat diartikan sebagai:
(4a)
(4b)
Kita akan memancing ikan di sungai bersama-sama
Kami akan memancing ikan di sungai bersama-sama
Meskipun demikian, IRAGA tidak dapat dipergunakan untuk berbicara kepada
orang yang sangat dimuliakan karena penggunaan itu menyiratkan bahwa penutur
memosisikan diri sejajar dengan orang yang dimuliakan tersebut. Umumnya, ia
akan menggunakan bentuk lain, yaitu I GUSTI SARENG TITIANG ‘Si Gusti
dengan saya’ atau DAYU SARENG TITIANG ‘Si Dayu dengan saya’.
B. Pronomina Persona Kedua
Bentuk pronomina persona kedua JERONE dan RAGANE ‘kamu’
merupakan bentuk yang alus singgih yang digunakan untuk menyapa mitra tutur.
JERONE atau RAGANE lazimnya digunakan bersama-sama dengan kata alus
singgih, kata alus madia, dan kata alus mider.
129
(5)
JERONE (RAGANE) SAKING NAPI NIKA?
‘Anda dari mana ya?’
Kalimat (5) dibentuk oleh kata alus singgih JERONE/ RAGANE; kata alus mider
SAKING, dan NAPI; serta kata alus madia NIKA.
Namun, kata CAI dan NYAI merupakan bentuk pronomina persona kedua
kasar. Kata CAI ditujukan untuk mitra tutur laki-laki, sedangkan kata NYAI untuk
mitra tutur perempuan. Bentuk itu lazim digunakan bersama dengan kata-kata
biasa/kata-kata kasar. Selain itu, kedua pronomina itu dapat digunakan oleh orang
yang berkedudukan sosial lebih tinggi (lebih tua) kepada yang berkedudukan lebih
rendah (lebih muda).
(6)
Cai (nyai) be medaar?
‘Kamu sudah makan?’
Kalimat (6) merupakan kalimat kasar yang dibentuk oleh kata kasar CAI, dan
kata biasa be serta medaar. Sebagai tambahan, pronomina persona kedua jamak
tidak ada di dalam Bahasa Bali. Akan tetapi, untuk mengacu kepada keadaan
tersebut numeralia biasanya ditambahkan di belakang bentuk tersebut yang
menjadikan frasa pronominal, misalnya, JERONE SAMI, RAGANE SAMI, CAI
PADA, dan NYAI PADA ‘kamu semua’
C. Pronomina Persona Ketiga
IDA dan DANE merupakan bentuk pronomina persona ketiga yang
tergolong kata alus singgih, IPUN tergolong kata alus sor, sedangkan ia tergolong
kata biasa. IDA dan DANE lazimnya digunakan untuk mengacu kepada orang
ketiga triwangsa dan pantas untuk dihormati, baik oleh penutur triwangsa ataupun
jaba. IPUN digunakan oleh penutur untuk mengacu kepada orang ketiga yang
130
berwangsa atau berposisi lebih rendah daripada mitra tutur. Sementara itu, ia
digunakan untuk saling mengacu kepada orang ketiga di antara penutur jaba.
(7a)
(7b)
(7c)
IDA DURUNG METANGI
IPUN DURUNG BANGUN
Ia konden bangun
‘Beliau (dia) belum bangun’
Pada (7a) pronomina ketiga IDA diikuti oleh kata alus singgih METANGI; dan
kata alus mider DURUNG. Pada (7b) ipun diikuri oleh kata alus mider DURUNG
dan kata biasa bangun. Sementara itu, pada (7c) ia diikuti oleh kata biasa konden
dan bangun.
Tidak berbeda dengan pronomina persona kedua, pronomina
persona ketiga juga tidak memiliki bentuk plural sehingga numerelia lazim
ditambahkan untuk mengacu kepada orang ketiga plural. Misalnya, IDA SARENG
KALIH ‘beliau berdua’ atau IDA SARENG SAMI ‘mereka semua’.
4.2.3.2 Nomina Sapaan Sebagai Pengganti Pronomina Persona
Pronomina persona kedua dan ketiga tidak cukup untuk mengungkapkan
perbedaan hierarkis social dan identitas sosial penutur BB secara tepat karena
kerumitan sistem wangsa dan gelar di Bali. Oleh karena itu, perangkat nomina
sapaan yang lain juga berkembang dan disebut dengan nomina sapaan sebagai
pengganti pronomina persona.
Geertz (1973) mengungkapkan bahwa ada enam label yang bisa
digunakan untuk mengidentifikasi seorang anggota masyarakat di Bali, yakni (1)
nama diri, (2) nama urut lahir, (3) istilah kekerabatan, (4) teknonim, (5) gelar
status/wangsa, dan (6) gelar publik. Berikut adalah uraian dari keenam label
tersebut .
131
Nama diri pada masyarakat Bali merupakan nama pemberian orang tua
dan umumnya bersifat unik. Keunikan itu terjadi karena nama diri seseorang pada
suatu banjar atau desa diusahakan untuk tidak sama dengan nama diri orang lain
pada banjar atau desa itu. Selain itu, berbeda dengan nama diri yang digunakan di
kalangan triwangsa, nama diri orang kebanyakan pada zaman dahulu hanya
berupa kumpulan silabel yang tidak bermakna ‘hebat’, seperti Srondo, Bontoan,
Pecit, Klenuk, Plintir, Nyatnyat, Loling, Sioh, Nyanya, Kempling, dan sebagainya.
Namun, dewasa ini nama diri telah menjadi semakin halus dan
selanjutnya, berkembang menjadi nama administrasi (Antara, 2012: 65-68).
Nama-nama itu berasal dari istilah-istilah tertentu yang bermakna khusus dan
‘hebat’, seperti Arjuna, Aryani, Krisna, Susila, Satya, Indra Putra, dan
sebagainya. Oleh karena itu, penutur asli BB kini memiliki dua nama, yakni nama
kecil atau nama jelek yang merupakan pelestarian nama diri orang awam pada
zaman dahulu dan nama resmi yang berupa nama administrasi. Nama kecil lazim
digunakan di ranah-ranah yang dicirikan oleh keakraban, sedangkan nama
administrasi lazim digunakan di ranah-ranah resmi.
Nama urut lahir diberikan sesuai dengan nomor urutan lahir. Anak yang
lahir pertama dapat diberi nama Wayan, Gede, atau Putu. Wayan berasal dari kata
wayahan ‘lebih tua’, Gede ‘besar’ , sedangkan, Putu berarti ‘cucu’. Anak yang
lahir kedua dapat diberi nama Made, Nengah, atau Kadek. Made berasal dari kata
madia ‘tengah’, Nengah berasal dari kata tengah yang mengalami perubahan
bunyi (t n), sedangkan, Kadek berasal dari kata serapan adik yang kemudian
mengalami proses morfologis menjadi kadek. Anak yang lahir ketiga dapat diberi
132
nama Komang atau Nyoman. Kata komang atau nyoman berasal dari kata anom
‘muda’ yang mengalami proses suplisi menjadi nyoman atau komang. Anak yang
lahir keempat umumnya diberi nama Ketut yang berasal dari kata kitut ‘ekor’.
Selanjutnya, jika ada lagi anak yang lahir setelah anak keempat, nama urut itu
berulang kembali dengan tambahan tagel pada pengulangan pertama kali, dan
tagel pindo pada pengulangan yang kedua kali.
Istilah kekerabatan lazim digunakan untuk menyapa anggota keluarga.
Melalui istilah kekerabatan perbedaan generasi dan gender pada BB dirumuskan
dengan baik. Lihat tabel 4.2 untuk penggunaan istilah kekerabatan terkait dengan
kata alus dan biasa.
Tabel 4.2
Istilah Kekerabatan pada Bahasa Bali
Kata Biasa
Kumpi
kaki, pekak, wayah
Dadong
Bapa
Meme
Beli
Mbok
Adi
Cucu
Kata Alus
(Bentuk Honorifik)
KOMPIANG
TU PEKAK
NIANG, PRAPITA
AJI, AJUNG
BIANG, IBU
RAKA, KAKANG
RAKA
ARI
PUTU, PUTRAKA
Makna
‘moyang’
‘kakek’
‘nenek’
‘ayah’
‘ibu’
‘kakak laki-laki’
‘kakak perempuan’
‘adik’
‘cucu’
Sumber: Tinggen (1986:7)
Teknonim, atau nama pungkusan (Antara, 2012: 69; dan Geertz, 1973:
373) merupakan istilah sapaan kepada orang tua yang didasarkan pada nama anak
pertama. Setelah pasangan suami-istri memiliki anak pertama, mereka disapa
menurut nama anak pertama itu. Jika anak itu diberi nama I Selem, ayahnya akan
diberi nama Pan atau Pak Selem ‘Ayah dari si Selem’ dan ibunya akan diberi
133
nama Men atau Bu Selem ‘Ibu dari si Selem’. Jika I Selem kemudian menikah dan
memiliki anak yang bernama Indra, maka ayah si selem akan disapa dengan Kak
Indra ‘kakek dari si Indra’ dan ibunya si selem akan disapa Mbah Indra ‘nenek
dari si Indra’.
Geertz (1973)mengungkapkan bahwa secara teori setiap orang Bali
memiliki gelar dan menempati suatu posisi tertentu pada tangga gelar status. Gelar
itu oleh orang Bali dianggap berasal dari para dewa dan diwariskan dari orang tua
ke anak dari generasi ke generasi sehingga gelar itu dapat dikatakan
mencerminkan posisi seseorang dari para dewa secara turun temurun. Gelar yang
disandang itu bisa berupa ida bagus, anak agung, I gusti, I dewa, dan lain-lain.
Secara keseluruhan gelar status itu sangat rumit tertata pada suatu hierarki.
Pada jaba, nama gelar status tidak secara langsung disandang. Seorang
pande, pasek, atau bendesa tidak serta merta menggunakan gelar itu sebagai
bagian dari namanya dan hal itu tentu saja berbeda dengan gelar triwangsa. Gelar
wangsa yang dapat digunakan pada triwangsa ditunjukkan pada tabel 4.3.
134
Tabel 4.3
Nama Gelar pada Triwangsa
Triwangsa
Brahmana
Ksatria
Wesia
Nama Gelar
Ida Bagus
Ida Ayu
I Gusti
Anak Agung
Cokorda
Cokorda Istri
I Dewa
Dewa Ayu
Dewa
Desak
Ngakan
Sang Ayu
Bagus
Ayu
Pande
Si Luh
Makna
‘gelar bagi brahmana laki-laki’
‘gelar bagi brahmana perempuan’
‘gelar bagi ksatria laki-laki/perempuan’
‘gelar bagi ksatria laki-laki/perempuan’
‘gelar bagi ksatria laki-laki’
‘gelar bagi ksatria perempuan’
‘gelar bagi ksatria laki-laki’
‘gelar bagi ksatria perempuan’
‘gelar bagi wesia laki-laki’
‘gelar bagi wesia perempuan’
‘gelar bagi wesia laki-laki’
‘gelar bagi wesia perempuan’
‘gelar bagi wesia laki-laki’
‘gelar bagi wesia perempuan’
‘gelar bagi wesia laki-laki/perempuan’
‘gelar bagi wesia perempuan’
(Sumber: Antara, 2012: 27-28)
Label terakhir yang dijelaskan oleh Geertz (1973) adalah gelar publik.
Berbeda dengan gelar status yang diperoleh karena kelahiran, gelar publik
diperoleh seseorang karena posisinya di ranah publik. Pada zaman dahulu, gelar
publik sangatlah terbatas keberadaannya, seperti klian, perbekel, pekaseh,
pemangku, anak agung (gelar bagi kepala pengadilan Raad Kerta di Buleleng dan
pejabat di wilayah Bangli), cokorde (gelar untuk jabatan Sedahan Agung di
Badung), dewa agung (gelar bagi pejabat raja di Klungkung), peranda, dan lainlain. Namun, gelar publik itu kini lebih tepat diistilahkan dengan gelar pekerjaan,
jabatan, atau pangkat. Mengikuti perkembangan zaman, nama jabatan dan pangkat
kini sudah jauh lebih banyak dan digunakan oleh siapa saja yang menduduki
135
posisi itu. Nama jabatan itu, misalnya, adalah lurah, bupati, gubernur, menteri,
anggota dewan, professor, dokter, guru, dosen, dan lain-lain.
Terkait dengan keenam label itu, nama atau identitas diri terkini seorang
anggota guyub tutur bahasa Bali di Bali dapat tersusun atas gelar pekerjaan atau
gelar jabatan atau gelar pangkat, penanda gender, gelar wangsa, nama urut lahir,
dan nama diri atau nama administrasi, seperti terlihat pada tabel 4.4 berikut.
Tabel 4.4
Contoh Nama Lengkap Orang Bali
Profesor
Dokter
I
Kapten
Gelar Jabatan/
pekerjaan/ Pangkat
Ida Bagus
Anak Agung Istri
Gusti
Dewa
Desak
I
Ni
Penanda
Gender
Gelar Wangsa
Putu
Nyoman
Made
Kadek
Ketut
Nama Urut
Lahir
Arnyana
Parwati
Antara
Bayu Antara
Juli Asiani
Subagia
Shanti
Nama Diri
4.2.3.3 Pronomina Penunjuk
Bahasa Bali memiliki tiga jenis pronomina penunjuk. Pronomina yang
dimaksud meliputi (1) pronomina penunjuk umum, (2) pronomina penunjuk
tempat, dan (3) pronomina penunjuk ihwal.
Pronomina penunjuk umum terdiri atas ene, ento, dan anu. Kata ene
digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang dekat dengan penutur, ke masa
yang akan datang, atau ke informasi yang akan disampaikan. Kata ento digunakan
untuk menunjuk kepada sesuatu yang jauh dari penutur, ke masa lampau, atau ke
informasi yang sudah disampaikan.
136
Kata ene dan ento bisa mandiri sepenuhnya sebagai nomina. Hal itu berarti
kedua kata itu bisa menduduki posisi subjek atau objek dalam suatu kalimat.
Selain itu, kata ene atau ento juga bisa berfungsi sebagai atribut yang diposisikan
setelah nomina. Sebagai tambahan, kedua pronomina itu pun bisa diletakkan
setelah pronomina persona yang diwatasinya untuk memberikan penegasan.
(8a)
(8b)
(8c)
(8d)
bukune ‘bukunya’
umahnto ‘rumahnya’
TIANG ene ‘saya ini’
ia ento ‘dia itu’
Frasa (8a-b) memperlihatkan penggunaan –ne dan –nto sebagai atribut yang
melekat pada nomina yang diwatasi, sedangkan pada (8c-d) memperlihatkan
penggunaan ene dan ento setelah pronomina yang diwatasi.
Kata anu berfungsi untuk mengisi kekosongan pada ujaran yang dimulai,
karena penutur lupa, tidak mengetahui, atau tidak secara eksplisit mengatakan apa
yang ia maksud.
(9a)
(9b)
(9c)
Anu, I Gede ibi mai.
‘Anu, Gede kemarin datang’
Ia meli anu-tambah-ibi.
‘Ia membeli anu-cangkul-kemarin’
Beli, anune ngenah..
‘Kak, anunya kelihatan’
Kalimat (9a) menunjukkan penggunaan anu sebagai pengisi kekosongan pada
ujaran yang akan dimulai; kalimat (9b), menunjukkan penggunaan anu karena
penutur lupa dengan hal yang dibeli; dan, pada (9c), menunjukkan penggunaan
anu karena penutur tidak secara tersurat
dimaksud.
ingin mengungkapkan hal yang
137
Pronomina penunjuk tempat dalam bahasa Bali adalah dini ‘di sini’ dan
ditu ‘di situ’. Selain itu, ada juga kata kemu yang bermakna sama dengan ditu.
Kata dini dan ditu dibedakan berdasarkan lokasi penutur: dini mengacu pada
tempat dekat dengan penutur, sedangkan ditu mengacu pada tempat yang jauh dari
penutur. Kalimat (10a-b) menunjukkan penggunaan dini dan ditu sebagai
penunjuk tempat.
(10a) Cang ngoyong dini.
‘Saya tinggal disini’
(10b) Bapa sai gati kemu.
‘Ayah sering kali kesana’
Pronomina penunjuk ihwal dalam bahasa Bali adalah kene dan keto. Titik
pangkal perbedaannya sama dengan pronomina penunjuk tempat, yaitu lokasi
penutur. Kalau perbedaan antara dini-ditu bersifat fisik, perbedaan antara kene dan
keto bersifat psikologis. Kalimat (10a-b) menunjukkan penggunaan dini dan ditu
sebagai penunjuk ihwal.
(11a) Kene ia ngorta.
‘Begini ia berbicara’
(11b) De ngae gae keto.
‘Jangan berbuat begitu’
Pronomina penanya merupakan pronomina yang digunakan untuk
memarkahi pertanyaan. Berdasarkan jawaban yang diinginkan, pronomina
penanya bisa berwujud nyen ‘siapa’, apa ‘apa’, dan lain-lain. Tabel 4.5
memperlihatkan pronomina penanya dalam bentuk biasa dan alus.
138
Tabel 4.5
Pronomina Penanya dalam Bahasa Bali
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pronomina penanya
Kata Biasa
Kata Alus
Nyen
SIRA
Apa
NAPI
Cen
CEN NIKA
Kenapa
KENAPI
Pidan
PIDAN NIKA
Dija
DIJA NIKA
Kenken
KENKEN NIKA
Kuda
KUDA NIKA
Makna
‘siapa’
‘apa’
‘mana’
‘kenapa’
‘kapan’
‘dimana’
‘bagaimana’
‘berapa’
Pronomina penanya yang berbentuk biasa atau alus memiliki penggunaan
yang sama sehingga berikut ini hanya dibahas mengenai pronomina penanya
bentuk biasa. Pronomina penanya apa memiliki dua fungsi yang berbeda. Kata itu
pertama berfungsi untuk mengubah kalimat berita menjadi kalimat tanya yang
mengharapkan respon ya/tidak. Selain itu, kata apa juga bisa menggantikan
barang atau hal yang ditanyakan.
(12a) Apa ia melali ke pasihe?
‘Apa dia bermain ke pantai?’
(12b) Meme nyemak apa di paon?
‘Ibu mengambil apa di dapur?’
(12c) Apa ane jemake teken Meme di paon?
‘Apa yang diambil oleh Ibu di dapur?’
Pertanyaan (12a) mengharapkan jawaban ya/tidak, sedangkan pertanyaan (12b-c)
mengharapkan jawaban barang atau hal yang ditanyakan.
Pronomina penanya nyen mengikuti pola sintaksis pronomina penanya
apa. Perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut. Apa mengacu pada
benda, binatang, atau hal dan semata-mata berfungsi sebagai pemarkah kalimat
139
tanya. Nyen mengacu kepada manusia dan menggantikan nomina di dalam
kalimat.
(13a) I Bapa nengokin nyen?
‘Kakek menenggok siapa?’
(13b) Nyen ane dengokina teken I Bapa?
‘Siapa yang ditengok oleh Ayah?
(13c) Nyen ane mesuang motore?
‘Siapa yang mengeluarkan motornya?’
I Bapa nengokin I Meme.
‘Kakek menengok nenek.’
I Meme ane dengokine teken I Bapa
‘Ibu yang ditengok oleh Ayah’
I Bapa mesuang motore
‘Ayah mengeluarkan motornya’
Kalimat (13a-c) memperlihatkan bentuk pertanyaan nyen dan sekaligus,
bagaimana pertanyaan itu dijawab.
Pronomina penanya cen digunakan untuk menanyakan pilihan tentang
orang, barang, atau hal.
(14a) Kabake ane cen?
‘Pacarnya yang mana?’
(14b) Cen kabake?
‘Pacarnya mana?’
Kalimat (14a) dan (14b) menunjukkan bahwa cen bisa diletakkan di awal atau di
akhir kalimat tanya untuk menanyakan pilihan.
Pronomina penanya kenapa menanyakan sebab terjadinya sesuatu.
Pronomina itu umumnya diletakkan di awal kalimat. Kemudian, kata-kata yang
lainnya mengikuti urutan seperti pada kalimat berita.
(15)
Kenapa ia kedek?
‘Kenapa dia tertawa?’
Ia kedek, mapan jailine ken adine.
‘Ia tertawa, karena diganggu oleh adiknya.’
Kalimat (15) menunjukkan penggunaan kenapa untuk menanyakan alasan suatu
kejadian
Pronomina penanya pidan menanyakan waktu terjadinya suatu peristiwa.
Pronomina itu umumnya diletakkan di awal kalimat.
140
(16)
Pidan Nyoman lakar mulih?
‘Kapan Nyoman akan pulang?’
Nyoman lakar mulih buin a minggu.
‘Nyoman akan pulang lagi seminggu.’
Kalimat (16) memperlihatkan penggunaan pidan di awal kalimat tanya untuk
menanyakan kapan seseorang akan datang.
Pronomina penanya kenken lazim digunakan untuk menanyakan keadaan
sesuatu atau cara untuk melakukan perbuatan.
(17a) Kenken bapane, be seger?
‘Bagaimana ayahnya, sudah sembuh?’
(17b) Kenken carane ngidupang kipase?
‘Bagaimana caranya menghidupkan kipas itu?’
Kenken pada (17a) digunakan untuk bertanya tentang kondisi seseorang,
sedangkan pada (17b) kenken digunakan untuk bertanya tentang cara
mengoperasikan suatu barang elektronik.
Sebagai tambahan, BB juga mengenal kata anak yang digunakan untuk
mengacu kepada orang, benda, atau hal (Kersten, 1984: 79). Kata itu bisa
berfungsi sebagai pronomina persona kedua (18a-b), pronomina persona ketiga
(18c-d), pronomina penunjuk benda (18e), dan pronomina penunjuk ihwal (18f).
(18a)
(18b)
(18c)
(18d)
(18e)
(18f)
Sing alihang anake TIANG nasi?
‘Tidak kau carikan saya nasi?’
Keneang anake
‘Begini hendaknya (kau buat)’
Anak ngorahang ka uma metengin jagung
‘Ia mengatakan akan ke sawah untuk mengairi jagung’
Anak pada meboros ke alase
‘Mereka semua berburu ke hutan’
Biun memene anak masekeb, anak tonden masak
‘Pisang ibu diperam, (pisang itu) belum masak’
Sangkal cai korain mai, anak Bapa iseng gati.
‘Sebabnya engkau kusuruh kemari, itu karena Bapak kangen’
141
4.2.4 Kalimat atau Ujaran
Kalimat atau ujaran merupakan satuan bahasa terkecil, dalam wujud
tulisan atau lisan, yang mengungkapkan suatu pikiran yang utuh (Alwi, dkk,
2000:311). Kalimat secara tertulis diawali oleh huruf kapital dan diakhiri oleh
tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru. Di dalam kalimat itu bisa terdapat tanda
koma, titik dua, atau tanda pisah yang beranalogi dengan jeda pada bahasa lisan.
Sementara itu, ujaran ditunjukkan oleh intonasi naik-turun atau keras-lembut yang
diselingi jeda dan diakhiri oleh intonasi akhir yang diiringi oleh kesenyapan.
`
Kalimat atau ujaran BB dibentuk oleh kata-kata BB. Karena kata BB
menyifatkan hierarki, kalimat atau ujaran BB juga mencerminkan sifat hierarki
itu. Sehubungan dengan hal itu, kalimat dapat diklasifikasiakan menjadi tiga,
yakni (1) kalimat alus yang terdiri atas: (a) kalimat alus singgih, (b) kalimat alus
madia, (c) kalimat alus sor; (2) kalimat biasa; dan (3) kalimat kasar (lihat
2.3.2.1). Paparan tentang bentuk-bentuk kalimat tersebut adalah sebagai berikut.
Kalimat alus singgih dapat dibentuk oleh kata alus singgih, kata alus
madia, kata alus mider, dan kata biasa. Prioritas pilihan kata adalah penggunaan
kata alus singgih. Jika kata yang dibutuhkan tidak ada pada kata alus singgih,
penggunaan kata alus madia atau alus mider dipertimbangkan. Jika kata yang
dibutuhkan tidak ada pada tingkat alus, kata biasa selanjutnya dipertimbangkan.
Namun, kata alus sor tidak boleh digunakan pada kalimat alus singgih karena
penggunaan kata itu –meskipun halus—bermakna merendahkan mitra tutur.
Contoh (19) menunjukkan bentuk kalimat alus singgih.
(19a) IDA SAMPUN METANGI.
‘Beliau sudah bangun’
142
(19b) RATU KAYUN NGAJENG DRIKI?
(19c) *RATU NUNAS AJENGAN DRIKI?
‘Tuan mau makan disini?’
Kalimat (19a-b) menunjukkan kalimat alus singgih yang dibentuk oleh kata alus
singgih IDA, RATU, METANGI, KAYUN, dan NGAJENG; dan kata alus mider
SAMPUN dan DRIKI. Akan tetapi, kalimat (19c) menunjukkan kalimat alus
singgih yang tidak tepat karena penggunaan kata alus sor NUNAS yang dimaknai
sebagai merendahkan mitra tutur yang seharusnya ditinggikan.
Kalimat alus madia dibentuk oleh kata alus madia, alus mider, dan kata
biasa. Prioritas pilihan kata ada pada penggunaan kata alus madia dan kata alus
mider. Jika tidak ada sama sekali kata yang dimaksudkan pada kedua level itu,
kata biasa selanjutnya dapat diakses. Contoh (20) menunjukkan bentuk kalimat
alus madia.
(20a) TIANG NUMBAS katik malu.
‘Saya membeli tusuk sate dulu’
(20b) DAWEG NIKA TIANG SIREP leplep gati
‘Waktu itu saya tidur lelap sekali’
Kalimat (20a-b) memperlihatkan kalimat alus madia yang dibentuk oleh kata alus
madia TIANG dan SIREP; kata alus mider NUMBAS dan NIKA; dan kata biasa
katik, malu, leplep ,dan gati.
Kalimat alus sor dibentuk oleh kata alus sor, kata alus mider, dan kata
biasa. Prioritas kata adalah kata alus sor. Jika kata yang dibutuhkan tidak ada
pada kata alus sor, digunakanlah kata alus mider. Jika kata yang dibutuhkan
masih tidak ditemukan pada kedua level itu, digunakanlah kata biasa. Namun,
kata alus singgih tidak boleh digunakan pada kalimat alus sor yang ditujukan
143
untuk merendahkan diri sendiri karena kata alus singgih bermakna meninggikan
diri, bukan merendahkan diri. Contoh (21) menunjukkan bentuk kalimat alus sor.
(21a) IPUN KANTUN nembok RING peken.
‘Beliau sedang menembok di pasar’
(21b) IPUN SAMPUN MUPUT UPAKARANE
‘Beliau sudah menyelesaikan upacaranya’
Kalimat (21a-b) memperlihatkan kalimat alus sor yang dibentuk oleh kata alus sor
IPUN, kata alus mider KANTUN, SAMPUN, MUPUT, UPAKARANE, dan RING;
dan kata biasa nembok dan peken.
Kalimat biasa dibentuk oleh kata-kata biasa, seperti ditunjukkan pada
contoh (22) berikut.
(22a)
Ia mara majalan lakar ngebah tiing tali.
‘Dia baru berangkat untuk memotong bambu tali’
(22b) I Gede tumben gati ngenah di dagang tipate.
‘Si Gede tumben sekali terlihat di warung tipat’
(22c) I Ayu ajake kabakne sing mereren melali dogen gaene
‘Si Ayu besera pacarnya tidak pernah berhenti keluar saja kerjanya’
Kalimat (22) dibentuk oleh kata biasa ia, mara, majalan, lakar ngebah, tiing,
tumben, gati, ngenah, di , dagang, tipate, ajake, kabakne, sing, mereren, melali,
dogen, gaene, dan tali.
Kalimat kasar dibentuk oleh kata biasa dan kata kasar. Sehubungan
dengan hal itu, kehadiran paling sedikit satu kata kasar saja yang berpadu dengan
kata-kata biasa (atau, bahkan kata-kata alus) sudah dianggap cukup untuk
membentuk kalimat kasar. Hal itu sesuai dengan penjelasan Bagus (1979) bahwa
suatu kalimat yang, walaupun tersusun hampir seluruhnya oleh kata-kata alus,
dapat menjadi kasar karena kehadiran satu kata kasar. Contoh (23a-c) merupakan
bentuk kalimat kasar.
144
(23a) Yen ia suba NGAMAH, kenyir-kenyir dogen BUNGUTNE.
‘Kalau dia sudah makan, tertawa-tawa saja mulutnya’
(23b) NASKELENG CAI, adi ketoang dogen sih AWAKE?
‘Umpatan (alat kelamin laki-laki) kamu, kenapa saya dibegitukan saja?’
(23c) Ngelah mata cara endian, apa CAI KENOT?
‘Punya mata seperti sinar (besar), apa kamu lihat?’
Kalimat (23a-c) dibentuk oleh kata biasa yen, ia, suba, kenyar-kenyir, adi,
ketoang, dogen, sih, ngelah, mata, endian, apa, cai; dan kata kasar NGAMAH,
BUNGUTNE, NASKELENG, CAI, AWAKE, dan KENOT.
Meskipun ada banyak ragam tingkat tutur, penelitian ini hanya
menggunakan tiga tingkat tutur, yakni kode alus, kode biasa, dan kode kasar.
Kode alus meliputi alus singgih, alus sor, alus madia, dan alus mider; sedangkan
kode biasa meliputi tingkat tutur biasa; dan kode kasar hanya membawahi tingkat
tutur kasar.
4.3 Bentuk Kode
Istilah kode digunakan untuk menggantikan ragam tingkat tutur BB karena
istilah itu bersifat netral dan sering digunakan untuk mengganti, baik itu istilah
bahasa ataupun variasi. Selain itu, kode juga diartikan sebagai sistem yang
digunakan atau diaktifkan dalam percakapan (Wardaugh, 1998:86). Dalam hal ini,
ragam tingkat tutur BB dibedakan atas kode kasar, kode biasa, dan kode kasar.
Berdasarkan atas analisis percakapan yang diperoleh melalui informan
bahasa pada guyub tutur Kota Singaraja ditemukan penggunaan ketiga kode
tersebut. Dalam hal ini, hasil analisis yang dibuat juga telah dikonfirmasikan
dengan informan pada penerapan metode cakap semuka. Masing-masing kode itu
tersusun atas tingkat kata yang bervariasi dan dapat uraikan sebagai berikut.
145
4.3.1 Kode Kasar
Kode Kasar dapat terdiri atas kata BB apapun, asalkan terdapat satu atau
lebih kata kasar. Kata kasar sebenarnya merupakan kata yang diperuntukkan
untuk menggambarkan binatang dan perilakunya. Kata NGAMAH, NIDIK, dan
NGLEKLEK
‘makan’ merupakan kata yang sepantasnya digunakan untuk
menggambarkan perilaku binatang. Akan tetapi, ketika kata itu digunakan untuk
menggambarkan perilaku manusia, hal itu dianggap tidak tepat dan berasa kasar.
Tabel 4.6 menunjukkan persentase penggunaan kata pada KK yang diperoleh
melalui proses penyimakan.
Tabel 4.6
Persentase Kata yang Digunakan pada Kode Kasar
DOMAIN
BAHASA
Kata
Kasar
Kata
Biasa
Kata
Alus
0
Kata
Serapan
BI
4,09
Kata
Serapan
BS
0
Kata
serapan
BIng
0
Keluarga
12,2
83,72
Tetangga
5,95
71,43
0
22,62
0
0
Masyarakat
9,09
78,41
0
12,5
0
0
Total
9,88
79,36
0
10,76
0
0
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa persentase penggunaan kata kasar hanya
teridentifikasi
pada tiga domain bahasa yang dalam hal ini persentase
kemunculan kata biasa-lah yang sesungguhnya terbanyak. Selain kata biasa,
penggunaan kata serapan BI juga terlihat dan tentu saja juga sedikit kata kasar
yang menjadikan kode yang dirasukinya berubah kasar. Secara lebih detail,
persentase kata biasa yang ditemukan pada percakapan-percakapan di domain
keluarga adalah 83,72%; dan diikuti oleh kata kasar, yakni 12,2%; dan kata
serapan BI, yakni 4,09% secara berurutan. Selanjutnya, persentase kata biasa
146
yang ditemukan pada percakapan-percakapan di ranah tetangga adalah 71,43%;
diikuti oleh kata serapan BI, yakni 22,62%; dan kata kasar, yakni 5,95%.
Terakhir, persentase kata biasa yang ditemukan pada percakapan-percakapan di
ranah masyarakat adalah 78,41%; diikuti oleh kata serapan BI, yakni 12,5%; dan
kata kasar, yakni 9,09%.. Tabel 4.6 dapat dinyatakan pada gambar 4.1.
100
80
60
40
20
0
KK
KB
Kata Serapan BI
Gambar 4.1
Persentase Jumlah Kata yang Digunakan pada Kode Kasar
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa persentase kata biasa terbanyak pada
ketiga domain tersebut. Selain kata biasa, terdapat juga kata serapan BI, dan tentu
saja kata kasar dengan persentase yang sangat kecil.
(24a) Dija montor NANINE kejang?
‘Dimana motormu ditaruh?’
(24b) Becatin teh, de NIDIK dogen gaene!
‘Cepatin dong, jangan makan saja kerjanya’
147
Kalimat (24a-b) memang didominasi oleh kata biasa, yakni dija, kejang, becatin,
teh, de, gen dan gaene, dan disertai oleh satu kata serapan BI, yakni montor.
Meskpun demikian, kehadiran pronomina persona kedua kasar NANI, dan NIDIK
menjadikan kedua kalimat tersebut kasar.
4.3.2 Kode Biasa
Kode Biasa dibentuk oleh kata-kata biasa, kata serapan BI, kata serapan
BS, dan kata serapan BIng. Kata serapan BI
dan BIng yang diserap pada
percakapan BB umumnya dikategorikan sebagai kata biasa, kecuali kata-kata
tertentu yang memang telah diakui sebagai kata alus seperti RAMBUT, TIKAR,
dan sebagainya. Selain itu, kata serapan BS yang umum digunakan adalah OM,
SWASTIASTU dan SUKSMA,
ketiganya tergolong alus. Tabel 4.7 berikut
menunjukkan persentase penggunaan kata pada percakapan-percakapan yang
menggunakan KB.
Tabel 4.7
Persentase Kata yang Digunakan pada Kode Biasa
DOMAIN
BAHASA
Kata
Kasar
Kata
Biasa
Kata
Alus
0,1
Kata
Serapan
BI
25,15
Kata
Serapan
BS
0,89
Kata
serapan
BIng
1,07
Keluarga
0
73,5
Tetangga
0
70,82
0
28,99
0
0,19
Masyarakat
0
73,04
0,36
25,89
0
0,71
Tempat Kerja
0
62,32
0
36,54
0
1,14
Total
0
70,37
0,11
28,6
0,07
0,85
148
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa penggunaan KB terdeteksi pada semua
domain bahasa yang dikaji dengan persentase tertinggi pada penggunaan kata
biasa. Persentase penggunaan kata biasa tertinggi ditunjukkan pada domain
keluarga, masyarakat, tetangga, dan tempat kerja secara berurutan. Sedangkan,
persentase kedua terbanyak adalah kata serapan BI. Secara lebih detail, pada
domain keluarga, penggunaan kata biasa menunjukkan persentase 73,5%; dan
diikuti oleh kata serapan BI, yakni 25,25%; kata serapan BIng, yakni 1,07%; kata
serapan BS, yakni 0,89%; dan kata alus, yakni 0,1%. Selanjutnya, pada domain
tetangga, penggunaan kata biasa menunjukkan persentase 70,82%; dan diikuti
oleh kata serapan BI, yakni 28,99%; dan kata serapan BIng, yakni 0,19.
Kemudian, pada domain masyarakat penggunaan kata biasa memiliki persentase
73,04%; dan diikuti oleh kata serapan BIng, yakni 25,89%; kata alus, yakni
0,36%; dan kata serapan BIng, yakni 0,71%. Terakhir, pada domain tempat kerja
penggunaan kata biasa menunjukkan persentase 62,32%; dan diikuti oleh kata
serapan BI, yakni 36,54; dan kata serapan BIng, yakni 1,14%.
Penggunaan kata alus memang terkadang terlihat pada KB. Akan tetapi,
kode percakapan tetap dirasakan sebagai KB karena kemunculan kata alus itu
sangat rendah dalam artian hanya satu atau dua pada satu percakapan. Hal itu akan
sedikit berbeda jika kata itu muncul pada suatu kalimat, bukan percakapan. Pada
kalimat, kehadiran satu saja kata alus dapat menjadikan rasa keseluruhan kalimat
menjadi alus. Selanjutnya, tabel 6.2 ditayangkan secara visual pada gambar 6.2
berikut.
149
80
60
40
20
0
KB
KA
Kata Serapan BI
Kata Serapan BS
Kata serapan BIng
Gambar 4.2
Persentase Jumlah Kata yang Digunakan pada Kode Biasa
Gambar 6.2 menunjukkan bahwa kata dominan yang membentuk KB adalah kata
biasa dan kata serapan BI, dan persentase tertinggi ditunjukkan oleh penggunaan
kata biasa. Selain itu, penggunaan kata alus, kata serapan BS dan BIng juga
muncul, tetapi dengan persentase yang sangat rendah.
(25a) YANG melali ke umah kabake tiap malam minggu.
‘Saya berkunjung ke rumah pacar saya setiap malam minggu’
(25b) Ibu(?) YANGE megae di kantor bupati
‘Ibu saya bekerja di kantor bupati’
(25c) Apa to ketingalin ditu?
‘Apakah itu yang dilihat disana?’
(25d) SWASTIASTU Beli Bagus, ne ongkana ada omongan bedik, ngelah
waktu ne?
‘Swastiastu (salam) Kakak yang ganteng, ini akan ada dibicarakan
sedikit, punya waktu?’
150
Kalimat (25a-d) didominasi oleh kata biasa, yakni yang, melali, umah, kabake,
ibu(?), megae, apa, to ketingalin, ditu,beli, bagus, ne ongkana, ada, bedik, ngelah,
dan sing, dan disertai oleh kata serapan BI, yakni tiap, malam, minggu, di, kantor,
omongang, dan bupati, dan kata serapan BS SWASTIASTU.
4.3.3 Kode Alus
Kode alus merupakan kode yang tersusun atas kata alus, kata biasa, dan
kata serapan. Suatu kode alus boleh saja tidak didominasi oleh kata alus asalkan
jumlah kata alus tidak terlalu rendah sehingga dapat menjadikan kode yang
disertainya alus. Dalam hal ini, kehadiran satu kata alus pada suatu kalimat dapat
menjadikan kode kalimat itu lebih alus, apalagi jika kata itu berupa pronomina
persona yang menandai bentuk hormat. Akan tetapi, pada percakapan perlu lebih
dari hanya sekedar satu kata alus untuk menjadikan kode percakapan itu alus.
Dari sini dapat dipahami bahwa kode alus merupakan istilah luas yang
mengandung gradasi halus dari sangat halus sampai kurang halus. Tabel 4.8
menunjukkan komposisi persentase penggunaan kata pada percakapan yang
menggunakan KA.
Tabel 4.8
Persentase Kata yang Digunakan pada Kode Alus
DOMAIN
BAHASA
Kata
Kata
Biasa
Kata
Alus
Keluarga
0
17,05
59,54
Kata
Serapan
BI
23,41
Kata
Kata
Serapan Serapan
BS
BIng
0
0
Tetangga
0
25,94
51,39
12,09
10,08
0,5
Masyarakat
0
28,26
3,6
32,88
1,09
2,17
Tempat Kerja
0
29,14
45,71
23,43
0
1,71
Total
0
24,65
48,29
22,63
3,42
1,01
151
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa komposisi persentase penggunaan kata alus
beragam menurut domain bahasa. Persentase kata alus terbanyak ditunjukkan di
domain keluarga dan selanjutnya, tetangga, tempat kerja, dan masyarakat. Setelah
kata alus, kata yang berada di posisi kedua terbanyak adalah kata biasa,
sedangkan yang ketiga adalah kata serapan BI dengan perbedaan persentase yang
sangat tipis dengan kata biasa. Sebaliknya, kata serapan BS dan BIng muncul
dengan persentase yang sangat rendah.
Secara detail, di domain keluarga penggunaan kata alus menunjukkan
persentase 59,54%; diikuti oleh kata serapan BI, yakni 23,41%; dan kata biasa,
yakni 17,05%. Di domain tetangga, kata alus menunjukkan persentase 51,39%;
dan diikuti oleh kata biasa, yakni 25,94%; kata serapan BI, yakni 12,08%; kata
serapan BS, yakni 10,08%; dan kata serapan BIng, yakni 0,5% secara. Di domain
masyarakat penggunaan kata serapan BI-lah yang menunjukkan persentase
tertinggi, yakni 32,88%; dan diikuti oleh kata biasa yakni 28,26%; kata alus,
yakni 3,6%; kata serapan BIng, yakni 2,17; dan kata serapan BS, yakni 1,09%.
Terakhir, penggunaan kata alus menunjukkan persentase tertinggi, yakni 45,71%;
dan diikuti oleh kata biasa, yakni 29,14; kata serapan BI, yakni 22,63%; kata
serapan BS, yakni 3,42%; dan kata serapan BIng, yakni 1,01%. Selanjutnya, tabel
4.8 dapat ditayangkan secara visual pada gambar 4.3 berikut.
152
70
60
50
40
30
20
10
0
KB
KA
Kata Serapan BI
Kata Serapan BS
Kata Serapan BIng
Gambar 4.3
Persentase Jumlah Kata yang Digunakan pada Kode Alus
Gambar 4.3 menunjukkan bahwa persentase kata alus tertinggi daripada
persentase kata-kata yang lainnya pada semua domain penggunaan bahasa.
Penggunaan KA tertinggi terjadi di domain keluarga, dan terendah di domain
masyarakat. Persentase kedua terbanyak adalah kata biasa yang diikuti oleh kata
serapan BI. Penggunaan kata serapan BS, dan BIng juga terlihat, tetapi dengan
persentase yang sangat rendah. Sebagai tambahan, kehadiran kata kasar sama
sekali tidak terlihat.
Kode alus yang umum digunakan pada guyub tutur Kota Singaraja adalah
kode alus madia yang berarti bahwa kata-kata yang digunakan untuk membentuk
kode alus berada pada tingkat tutur alus madia. Selain itu, ada suatu tipe KA yang
lain yang muncul yang dirujuk dengan istilah basa metiang-nika. Istilah itu dibuat
153
sendiri oleh penutur kota Singaraja sendiri dan muncul karena keterbatasan
penguasaan kosakata alus penutur jaba kota Singaraja. Istilah itu digunakan untuk
menggambarkan KA yang didominasi oleh kata biasa dan minim kata alus yang
dalam hal ini kata alus yang digunakan adalah kata alus mider atau kata alus
madia.
Penutur jaba paham bahwa KA memiliki banyak tingkat, yakni alus
singgih, alus sor, alus madia, dan alus mider, tetapi banyak yang kurang tahu apa
dan dimana posisi kata-kata alus berada dalam kaitannya dengan tingkatan
tersebut. Banyak hanya sekedar bisa membedakan alus, biasa, dan kasar sehingga
mereka mengalami kesulitan jika diharapkan untuk mengungkapkan diri melalui
KA. Dengan demikian, KA yang digunakan didominasi oleh kata biasa, tetapi
diperhalus oleh kata-kata alus yang umum dan mudah untuk diingat karena
frekuensi penggunaannya yang tinggi.
Istilah basa metiang-nika digunakan karena kata alus tiang-nika-lah yang
paling sering digunakan, selain kata-kata alus yang lain, seperti NIKI, KENTEN,
NGGIH, SAMPUN, TEN, DURUNG, NAPI, MALIH, MALIH PIDAN, RAHINA,
MANGKIN, BENJANG, NGAJENG, MANTUK, SARENG, SIRA, MELANCARAN,
NUNAS, DADOS, USAN, dan sebagainya.
(26a) TIANG ane nyilih tambahe NIKA
‘Saya yang meminjam cangkulnya itu’
(26b) MALIH PIDAN lakar jemak tambahe NIKA?
‘Kapan cangkulnya akan diambil?’
(26c) AJIK, TIANG ngidih rokone!
‘Bapak, saya minta rokoknya!’
154
Kalimat (26a-c) merupakan kalimat alus metiang-nika yang didominasi oleh kata
biasa, yakni ane, nyilih, tambahe, lakar, jemak, ngidih, dan rokone, dan sedikit
kata alus, yakni TIANG, NIKA, MALIH PIDAN, dan AJI.
Fenomena penggunaan basa metiang-nika pada guyub tutur Kota
Singaraja tidak jauh berbeda dengan fenomena penggunaan BJ pada guyub tutur
Kota Semarang (Purwoko, 2008a:23). Dalam hal ini, Purwoko (2008a)
mengungkapkan bahwa penutur BJ di Kota Semarang cenderung untuk asal
memilih kosakata dari tingkat basa ‘halus’ karena keterbatasan repertoar kosakata
mereka untuk berbicara pada tingkat tutur basa. Pada prinsipnya, penguasaan
kosakata yang terbatas itu dianggap cukup sebagai indikator bagi keinginan untuk
berbicara santun.
Selain itu, penutur jaba guyub kota Singaraja juga mendapat kesulitan
untuk menentukan perbedaan antara kata alus singgih dan alus sor karena kerap
menukarkan penggunaan kedua tingkat kata itu. Pada suatu percakapan yang
membutuhkan kata alus singgih, misalnya, digunakan kata alus sor; sebaliknya,
pada saat kata alus sor dibutuhkan, malah kata alus singgih yang digunakan.
Pertukaran antara kata alus singgih dengan alus sor atau sebaliknya dapat berarti
meninggikan atau merendahkan diri sendiri atau orang lain tidak pada tempatnya.
Secara normatif, kode seperti itu kerap dinyatakan sebagai kasar jabag.
Akan tetapi, pada percakapan di antara penutur Kota Singaraja,
penggunaan kata alus singgih atau alus sor yang tidak tepat itu tidak dilihat secara
ekstrem sebagai kasar jabag, melainkan tetap alus, karena intensi atau alasan
155
ketidaktepatan itu dipahami sebagai sesuatu yang manusiawi. Hal itu terjadi
berkaitan dengan penguasaan kosakata alus yang kurang.
Kata-kata alus sor, dan alus singgih lain yang penggunaannya sering
tertukar, atau tidak tepat dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut.
Tabel 4.9
Kata Alus Sor dan Alus Singgih yang Penggunaannya Kerap Tertukar
Kata Biasa
adan
aben
baan
bajang
belog
bok
demen
dingeh
idih
konkon
liang
mendep
meten
mulih
nasi
ngeling
ngentut
ningeh
pelih
pules
papag
ukudan
Kata Alus Sor
WASTA
Kata Alus Singgih
PESENGAN,
PARAB
aben
LEBON
OLIH
ANTUK
BAJANG
ANOM
TAMBET
AWIDIA
BOK
RAMBUT
GARGITA
SENENG, LEDANG
PIRAGI
PIRENG
TUNAS,LUNGSUR ARSANG
KENKEN
NDIKAIN
GARGITA
LEDANG
MENDEP
MENENG
METEN
SAREN
BUDAL
MANTUK
AJENGAN
RAYUNAN
NGELING
NANGIS
NGENTUT
NGRAMPU
MIRAGI
MIRENG
SISIP
IWANG
SIREP
MAKOLEM
PAPAG
PENDAK
DEWEK
ANGGAN, RAGA
Makna
nama
oleh
bujang
bodoh
rambut
senang
dengar
minta
suruh
gembira
diam
kamar
pulang
makanan
menangis
kentut
mendengar
salah
tidur
jemput
diri
Terkait dengan tabel 4.9, kalimat (27a-g) berikut sering teramati
digunakan oleh penutur jaba kepada mitra tutur triwangsa.
(27a) Pak, NUNAS LUNGSURAN, NIKI pohne ngalap di kebun sendiri!
‘Pak, minta lungsuran, ini mangganya dipetik dari kebun sendiri.’
(27b) Ia MAWASTA ANAK AGUNG ISTRI Pradnyaparamita.
‘Dia bernama Anak Agung Istri Pradnyaparamita.’
(27c) Okane RATU PERANDA anak ANTENG gati.
‘Anaknya Ratu Peranda rajin sekali.’
156
(27d) MANGKIN ATU BUDAL?
‘Sekarang kamu pulang?’
(27e) TIANG MARABIAN RING Denpasar
‘Saya menikah ke Denpasar’
(27f) Panak TIANGE KARI MASIRAM
‘Anak saya sedang mandi’
(27g) DUUR TIANGE SUNGKAN uli ibi.
‘Kepala saya sakit sejak kemarin’
(27h) TIANG PENDAKINA ken I RATU ibi
‘Saya dijemput oleh dia kemarin’
Kalimat (27a-d) menunjukkan penggunaan kata alus sor yang kurang tepat
oleh penutur jaba untuk merujuk keadaan dan perilaku mitra tutur triwangsa. Kata
alus sor itu adalah NUNAS, MAWASTA, ANTENG, dan BUDAL. Sebagai kata
alus sor, kata itu lazim digunakan untuk merendahkan diri atau orang ketiga,
bukan mitra tutur, jika berbicara dengan mitra tutur yang berstatus lebih tinggi.
Oleh karena itu, penggunaan pada (27a-d) bisa diartikan sebagai merendahkan
mitra tutur dan kurang tepat. Kata NUNAS seharusnya diganti dengan
NGARSAYANG; MAWASTA dengan MAPESENGAN, ANTENG dengan RAJIN,
dan BUDAL dengan MANTUK yang dalam hal ini kata pengganti itu adalah kata
alus singgih.
Sebaliknya, kalimat (27e-3h) menunjukkan penggunaan kata alus singgih
yang tidak pada tempatnya oleh penutur jaba untuk merujuk dirinya dan orang
ketiga jaba di hadapan mitra tutur triwangsa. Kata alus singgih itu adalah
MARABIAN, MESIRAM, DUUR, SUNGKAN, dan PENDAKINA. Sebagai kata
alus singgih, kata itu seharusnya digunakan untuk merujuk kepada keadaan dan
perilaku mitra tutur triwangsa dengan tujuan untuk meninggikan atau
menghormati mitra tutur tersebut. Jadi, penggunaan kata alus singgih oleh penutur
jaba untuk merujuk dirinya bisa diartikan secara literal meninggikan atau
157
menghormati diri sendiri, walaupun sesungguhnya tidak dimaksudkan demikian.
Dalam hal ini, kata MARABIAN seharusnya diganti dengan kata alus sor
MASOMAH/MAKURENAN; MASIRAM dengan kata alus sor KAYEH; DUUR
dengan kata alus sor SIRAH, SUNGKAN dengan kata biasa sakit (tidak ada
alternasi kata sakit pada tingkat tutur alus sor), dan PENDAKINA dengan kata
alus sor PAPAGINA.
BAB V
PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA BALI DALAM
HUBUNGANNYA DENGAN WANGSA, PEKERJAAN,
UMUR DAN GENDER
5.1 Pengantar
Berdasarkan klasifikasi kelompok sampel yang ditunjukkan pada tabel 3.2,
pembahasan mengenai penggunaan tingkat tutur (kode) bahasa Bali pada subbab
ini dibedakan berdasarkan poros wangsa-pekerjaan. Dengan demikian, paparan
tentang penggunaan tingkat tutur BB diklasifikasikan pertama berdasarkan
triwangsa dan jaba; selanjutnya, pekerjaan (kelas sosial), yakni tinggi, sedang,
dan rendah; umur, yakni tua dan dewasa; dan gender, yakni laki-laki dan
perempuan.
Bab ini membahas tiga subpokok bahasan. Pada subbab 5.2 dibahas
tentang penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok triwangsa; pada subbab 5.3
dibahas tentang penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok jaba; dan pada
subbab 5.4 penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok triwangsa dan jaba
diperbandingkan; dan pada subbab 5.5 dibahas tentang penggunaan istilah sapaan.
5.2 Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Triwangsa
Kelompok triwangsa mula-mula dibagi tiga berdasarkan pekerjaan,
selanjutnya umur, dan kemudian gender sebagai berikut.
158
159
Gambar 5.1 Klasifikasi Kelompok Triwangsa
5.2.1 Triwangsa Kelas Atas
Triwangsa kelompok atas terdiri atas responden-responden triwangsa yang
berposisi kerja tinggi dan dinyatakan sebagai kelompok triwangsa kelas atas.
Subkelompok itu adalah TTDL, TTDP, TTML, dan TTMP. Penggunaan tingkat
tutur BB pada kelompok tersebut ditunjukkan pada tabel 5.1 berikut.
160
Tabel 5.1
Ringkasan Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Triwangsa Kelas Atas
DOMAIN
TTDL
TTDP
TTML
TTMP
KK
KB
KA
BI
BL
KK
KB
KA
BI
BL
KK
KB
KA
BI
BL
KK
KB
KA
BI
BL
A
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
91,1
8,9
0
0
0
89,3
10,7
0
B
0
4,5
95,5
0
0
0
0
100
0
0
0
6
94
0
0
0
0
100
0
0
C
0
16,7
83,3
0
0
0
0
100
0
0
0
19
81
0
0
0
0
87,1
12,9
0
D
0
31,8
68,2
0
0
0
7,4
92,6
0
0
0
23,8
76,2
0
0
0
38,9
61,1
0
0
E
0
50
50
0
0
0
7,4
92,6
0
0
0
33,3
66,7
0
0
0
41,7
58,3
0
0
F
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
G
0
42,4
57,6
0
0
0
17,3
82,7
0
0
0
46,0
54,0
0
0
0
29,6
70,4
0
0
H
0
41,4
58,6
0
0
0
18,5
81,5
0
0
0
28,6
42,9
28,6
0
0
0
55,6
44,4
0
RERATA
0
24,0
76,0
0
0
0
7
93
0
0
0
20,3
74,3
5,5
0
0
13,1
77,4
9,5
0
Keterangan:
Domain penggunaan bahasa
A: domain keluarga,
B: domain tetangga,
C: domain tempat kerja pada
interaksi dengan atasan,
D: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja
sejabatan,
E: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja
bawahan,
F: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan
triwangsa,
G: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan jaba dan
H: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan tidak
dikenal.
Kode bahasa
KK: Kode Kasar
KB: Kode Biasa
KA: Kode Alus
BI: Bahasa Indonesia
BL: Bahasa Lain
161
5.2.1.1 Triwangsa-Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Laki-Laki (TTDL)
Data pada TTDL menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan kode
tertinggi ialah KA, yakni 76% dan selanjutnya KB, yakni 24%. Rerata persentase
tersebut menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi, sedangkan KB
rendah. Data yang diperoleh pada TTDL diuraikan secara rinci di bawah ini.
Di domain keluarga, penggunaan KA menunjukkan rerata 100% yang berarti
sangat tinggi pada percakapan dengan setiap anggota keluarga, seperti kakek, nenek,
ayah, ibu, paman, bibi, saudara sepupu, saudara kandung, dan anak kandung. Di
domain tetangga, 95,5% (sangat tinggi) responden menggunakan KA, sedangkan
4,5% (sangat rendah) responden menggunakan KB. Penggunaan KA sangat tinggi
pada percakapan dengan semua tipe tetangga dan mencapai 100% pada percakapan
dengan tetangga triwangsa. Sementara itu, penggunaan KB hanya pada percakapan
dengan tetangga jaba dengan persentase sangat rendah.
Di domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan, 83,3% (sangat tinggi)
responden menggunakan KA, sedangkan 16,70% (sangat rendah) menggunakan KB.
Penggunaan KA sangat tinggi pada percakapan dengan semua tipe atasan dan
mencapai 100%
pada percakapan dengan atasan triwangsa. Sementara itu, KB
digunakan pada percakapan dengan atasan jaba, lebih tua, dan pria/perempuan
dengan persentase cukup tinggi dan atasan jaba, sebaya/lebih muda, dan
pria/perempuan dengan persentase rendah. Pada interaksi dengan rekan kerja
sejabatan, 68,2% (tinggi) menggunakan KA, sedangkan
menggunakan KB. Penggunaan KA berkategori sangat tinggi
31,8 % (rendah)
pada percakapan
162
dengan rekan sejabatan triwangsa, cukup tinggi pada percakapan dengan rekan
sejabatan jaba yang berumur lebih tua, dan rendah pada percakapan dengan rekan
sejabatan jaba yang berumur sebaya atau lebih muda. Sementara itu, KB digunakan
dengan persentase cukup tinggi pada interaksi dengan rekan sejabatan jaba yang
berumur lebih tua dan tinggi pada interaksi dengan rekan sejabatan jaba yang
berumur sebaya atau lebih muda.
Pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, penggunaan KA dan KB
berimbang dengan persentase 50%:50%. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi
dengan semua tipe rekan kerja bawahan dan penggunaan KA lebih tinggi daripada
KB pada interaksi dengan rekan kerja bawahan triwangsa. Sebaliknya, penggunaan
KB lebih tinggi daripada KA pada interaksi dengan rekan kerja bawahan jaba.
Di domain masyarakat pada interaksi dengan triwangsa, 100% (sangat tinggi)
responden menggunakan KA yang berarti bahwa penggunaan KA berkategori sangat
tinggi pada interaksi dengan semua tipe partisipan triwangsa. Sementara itu, pada
interaksi dengan partisipan jaba, 57,6% (cukup tinggi) menggunakan KA, sedangkan
42,4% (cukup tinggi) menggunakan KB. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi
dengan semua tipe partisipan masyarakat jaba yang dalam hal ini penggunaan KA
lebih tinggi daripada penggunaan KB pada interaksi dengan semua partisipan yang
berstatus pekerjaan tinggi atau menengah. Selain itu, penggunaan KA juga lebih
tinggi daripada KB pada interaksi dengan partisipan yang berstatus kerja rendah dan
berumur lebih tua. Sementara itu, pada interaksi dengan partisipan yang berstatus
163
kerja rendah dan berumur sebaya/lebih muda penggunaan KB lebih tinggi daripada
KA.
Di domain masyarakat pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, 58,6%
(cukup tinggi) responden menggunakan KA, sedangkan 41,4% (cukup tinggi)
menggunakan KB. Penggunaan KA lebih tinggi pada setiap interaksi dengan semua
tipe orang yang tidak dikenal.
5.2.1.2 Triwangsa-Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Perempuan (TTDP)
Data pada TTDP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KA, yakni 93%, selanjutnya diikuti oleh diikuti KB, yakni 7%. Rerata
tersebut menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori sangat tinggi, sedangkan
KB sangat rendah. Data yang diperoleh pada TTDP diuraikan secara lebih rinci di
bawah ini.
Di domain keluarga, 100% (sangat tinggi) responden menggunakan KA
untuk bercakap-cakap dengan anggota keluarga, seperti kakek, nenek, ayah, ibu,
paman, bibi, saudara kandung, saudara sepupu, dan anak kandung. Selain itu,
penggunaan kode di domain tetangga juga menunjukkan penggunaan KA sebanyak
100% (sangat tinggi). Hal itu memperlihatkan bahwa di domain keluarga dan
tetangga, penggunaan KA berkategori sangat tinggi.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 100% (sangat
tinggi) menggunakan KA untuk bercakap-cakap yang berarti bahwa KA digunakan
dengan persentase sangat tinggi dengan semua tipe atasan. Sebaliknya, interaksi pada
164
rekan sejabatan dan juga rekan kerja bawahan menunjukkan persentase yang sama,
yakni 92,6% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 7,4% (sangat rendah)
menggunakan KB. Penggunaan KA menunjukkan persentase yang lebih tinggi
daripada KB pada semua interaksi, yakni sangat tinggi pada interaksi dengan semua
rekan kerja bawahan triwangsa dan rekan kerja bawahan jaba, sebaya/lebih tua, dan
pria/perempuan. Sementara itu, penggunaan KB hanya pada interaksi dengan rekan
jaba dengan persentase yang berkisar antara rendah-sangat rendah.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100%
(sangat tinggi) menggunakan KA yang menunjukkan persentase sangat tinggi pada
interaksi dengan seluruh tipe partisipan triwangsa. Selain itu, untuk berinteraksi
dengan partisipan jaba, 82,7% (sangat tinggi) menggunakan KA, 14,2% (sangat
rendah) menggunakan KB, dan 3,1% (sangat rendah) menggunakan BI. KA
digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan jaba dengan persentase
tertinggi; KA digunakan pada interaksi dengan tipe partisipan jaba berstatus
pekerjaan menengah/rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan
dengan persentase berkisar antara rendah-sangat rendah; sedangkan BI hanya
digunakan pada interaksi dengan tipe partisipan jaba yang berstatus kerja tinggi, lebih
muda, dan pria/perempuan dengan persentase rendah.
Pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, 81,5% (sangat tinggi)
menggunakan KA, sedangkan 18,5% (sangat rendah) menggunakan KB. Penggunaan
KA cenderung sangat tinggi pada hampir semua interaksi, kecuali pada interaksi
dengan orang yang tidak dikenal, lebih muda, dan sepertinya berstatus kerja rendah.
165
Sebaliknya, KB juga digunakan pada semua interaksi dengan persentase di antara
rendah-sangat rendah.
5.2.1.3 Triwangsa-Pekerjaan Tinggi-Muda-Laki-Laki (TTML)
Data pada TTML menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan tertinggi
ialah KA, yakni 74,3%; selanjutnya diikuti oleh KB, yakni 20,3%; dan BI, yakni
5,5%. Rerata persentase tersebut menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori
tinggi, KB rendah, dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada TTML secara
lebih rinci diuraikan sebagai berikut.
Di domain keluarga, 91,11% (sangat tinggi) menggunakan KA, sedangkan
8,89% (sangat rendah) menggunakan BI. KA digunakan untuk berinteraksi dengan
semua tipe partisipan keluarga dengan persentase sangat tinggi; bahkan, mencapai
persentase 100% pada interaksi dengan partisipan kakek, nenek, ayah, ibu, paman,
bibi, saudara sepupu, dan saudara kandung. Sementara itu, penggunaan BI hanya
terlihat pada interaksi dengan partisipan anak kandung dengan persentase tinggi.
Selanjutnya, di domain tetangga, 94% (sangat tinggi) menggunakan KA, sedangkan
6% (sangat rendah) menggunakan KB. Berbeda dengan penggunaan BI yang hanya
terlihat pada interaksi dengan tetangga jaba dengan persentase sangat rendah, KA
digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe tetangga dengan persentase sangat
tinggi.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 81% (sangat
tinggi) responden menggunakan KA dan 19% (sangat rendah) menggunakan KB.
166
Penggunaan KA terlihat pada semua interaksi dan menunjukkan persentase 100%
pada interaksi dengan semua atasan triwangsa. Persentase yang sama juga
ditunjukkan pada interaksi dengan atasan jaba, lebih tua, dan pria/perempuan.
Sementara itu, penggunaan KB hanya terlihat pada interaksi dengan atasan jaba,
sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dengan persentase cukup tinggi. Pada
interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 76,2% (tinggi) menggunakan KA dan 23,8%
(rendah) menggunakan KB. Pengunaan KA terlihat pada semua interaksi dan
menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan semua atasan triwangsa, selain
dengan atasan jaba, lebih tua, dan pria/perempuan. Sementara itu, penggunaan KB
hanya terlihat pada interaksi dengan atasan jaba, sebaya/lebih muda, dan
pria/perempuan dengan persentase tinggi. Pada interaksi dengan rekan kerja bawahan,
66,7% (tinggi) menggunakan KA dan 33,3% (rendah) menggunakan KB. Pengunaan
KA terlihat pada semua interaksi dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi
dengan semua atasan triwangsa. Sementara itu, penggunaan KB hanya terlihat pada
interaksi dengan semua atasan jaba dengan persentase yang berada di antara tinggicukup tinggi
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100%
(sangat tinggi) menggunakan KA yang menunjukkan persentase sangat tinggi untuk
berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan triwangsa.
Pada interaksi dengan
partisipan jaba, 54% (cukup tinggi) menggunakan KA dan 46% (cukup tinggi)
menggunakan KB. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe
partisipan dan penggunaan KA lebih tinggi pada setiap interaksi.
167
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan yang tidak
dikenal, 42,9% (cukup tinggi) menggunakan KA, selanjutnya 28,6% (rendah)
menggunakan KB, dan 28,6% (rendah) menggunakan BI. KA, KB, dan BI digunakan
untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan yang tidak dikenal. Dalam hal ini,
KA menunjukkan persentase tertinggi pada interaksi dengan partisipan yang
sebaya/lebih tua, laki-laki/perempuan dan sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah,
sementara itu BI pada partisipan lebih muda, pria/perempuan dan sepertinya berstatus
kerja rendah.
5.2.1.4 Triwangsa-Pekerjaan Tinggi-Muda-Perempuan (TTMP)
Data pada TTMP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KA, yakni 77,4%; selanjutnya KB, yakni 13,1%; dan BI, yakni 9,5% .
Rerata persentase tersebut menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi,
sedangkan KB dan BI berkategori sangat rendah. Data yang diperoleh pada TTMP
secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut.
Di domain keluarga, 89,3% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 10,6%
(sangat rendah) menggunakan BI. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua
partisipan keluarga dengan persentase sangat tinggi; bahkan, penggunaannya
mencapai persentase 100% pada interaksi dengan partisipan kakek, nenek, ayah, ibu,
paman, bibi, saudara sepupu, dan saudara kandung. Sementara itu, penggunaan BI
hanya terlihat pada interaksi dengan anak kandung dengan persentase yang berkisar
antara sangat tinggi-tinggi. Sementara itu, di domain tetangga, 100% (sangat tinggi)
168
menggunakan KA yang berarti bahwa KA digunakan untuk berinteraksi dengan
semua tipe tetangga dengan persentase sangat tinggi.
Di domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan 87,1% (tinggi)
menggunakan KA dan 12,9% (sangat rendah) menggunakan BI. KA digunakan pada
interaksi dengan semua tipe atasan dengan persentase yang lebih tinggi daripada BI;
bahkan, menunjukkan persentase sangat tinggi pada interaksi dengan semua atasan
triwangsa. Sementara itu, BI hanya digunakan dengan kataegori yang berkisar di
antara rendah-sangat rendah pada interaksi dengan semua tipe atasan jaba. Pada
interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 61,1% (tinggi) menggunakan KA dan 38,9%
(rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe
rekan kerja sejabatan dan menunjukkan persentase sangat tinggi, yakni 100% pada
interaksi dengan semua rekan sejabatan triwangsa. Sementara itu, penggunaan KB
hanya terlihat pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan jaba dengan persentase
yang berkisar di antara sangat tinggi-tinggi. Pada interaksi dengan rekan kerja
bawahan, 58,3% (cukup tinggi) menggunakan KA dan 41,7% (cukup tinggi). KA
digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe rekan sejabatan dan menunjukkan
persentase sangat tinggi, yakni 100% pada interaksi dengan semua rekan kerja
sejabatan triwangsa. Sementara itu, penggunaan KB hanya terlihat pada interaksi
dengan rekan sejabatan jaba dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA dengan
persentase berkisar di antara sangat tinggi-tinggi.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100%
(sangat tinggi) menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi
169
pada interaksi dengan semua tipe partisipan. Pada interaksi dengan partisipan jaba,
70,4% (tinggi) menggunakan KA dan 29,6% (rendah) menggunakan KB. KA dan
KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe partisipan dan penggunaan KA
lebih tinggi daripada KB pada setiap interaksi.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal,
55,6% (cukup tinggi) menggunakan KA dan 44,4% (cukup tinggi) menggunakan KB.
KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe orang yang tidak
dikenal dan penggunaan KA lebih tinggi daripada KB pada pada interaksi dengan
orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi, lebih tua/sebaya dan
pria/perempuan; atau bestatus kerja menengah, lebih tua, dan pria/perempuan.
Sementara itu, pada interaksi-interaksi yang lainnya penggunaan KA dan KB
cenderung seimbang.
5.2.2 Triwangsa Kelas Menengah
Triwangsa kelas menengah terdiri atas responden-responden triwangsa yang
berposisi kerja sedang dan dinyatakan sebagai kelompok triwangsa kelas menengah.
Kelompok ini juga terbagi atas umur dan gender yang menjadikannya tersusun atas
empat subkelompok, yakni TSDL, TSDP, TSML, dan TSMP. Penggunaan tingkat
tutur BB pada kelompok ini dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut.
170
Tabel 5.2
Ringkasan Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Triwangsa Kelas Menengah
DOMAIN
TSDL
TSDP
TSML
TSMP
KK
KB
KA
BI
BL
KK
KB
KA
BI
BL
KK
KB
KA
BI
BL
KK
KB
KA
BI
BL
A
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
93,8
6,2
0
0
0
92
8
0
B
0
15,5
84,5
0
0
0
0
100
0
0
0
10
90
0
0
0
7,1
92,9
0
0
C
0
17,9
82,1
0
0
0
0
100
0
0
0
34,5
65,5
0
0
0
0
85,7
14,3
0
D
0
22,6
77,4
0
0
0
19
81
0
0
0
42,9
57,1
0
0
0
31,0
69,0
0
0
E
0
28,6
71,4
0
0
0
19
81
0
0
0
42,9
57,1
0
0
0
30,4
69,6
0
0
F
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
G
0
44,4
55,6
0
0
0
14,3
85,7
0
0
0
67,5
32,5
0
0
0
63,1
36,9
0
0
H
0
35,7
64,3
0
0
0
14,3
85,7
0
0
0
70,6
29,4
0
0
0
35,7
50
14,3
0
RERATA
0
21,8
78,2
0
0
0
8,5
91,5
0
0
0
35,6
63,7
0,6
0
0
22,7
72,7
4,6
0
Keterangan:
Domain penggunaan bahasa
A: domain keluarga,
B: domain tetangga,
C: domain tempat kerja
pada interaksi dengan
atasan,
D: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja
sejabatan,
E: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja
bawahan,
F: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa,
G: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan jaba dan
H: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan tidak
dikenal.
Kode bahasa
KK : Kode Kasar
KB : Kode Biasa
KA : Kode Alus
BI : Bahasa Indonesia
BL : Bahasa Lain
171
5.2.2.1 Triwangsa-Pekerjaan Sedang-Dewasa-Laki-Laki (TSDL)
Data pada TSDL menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KA, yakni 78,2%, selanjutnya KB, yakni 21,8%. Rerata persentase
tersebut menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi, sedangkan KB
rendah. Data yang diperoleh pada TSDL secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut.
Di domain keluarga, 100% (sangat tinggi) responden menggunakan KA
untuk bercakap-cakap dengan anggota keluarga, seperti kakek, nenek, ayah, ibu,
paman, bibi, saudara kandung, saudara sepupu, dan anak kandung. Di domain
tetangga, 84,5% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 15,5% (sangat rendah)
menggunakan KB. KA digunakan pada interaksi dengan persentase yang lebih tinggi
daripada KB; bahkan, menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan semua
tetangga triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi dengan
tetangga jaba dengan persentase rendah.
Di domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan, 82,1% (sangat tinggi)
menggunakan KA dan 17,9% (sangat rendah) menggunakan KB. KA digunakan pada
semua interaksi dengan persentase yang lebih tinggi daripada KB dan menunjukkan
persentase 100% pada interaksi dengan semua atasan triwangsa. Sementara itu, KB
hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba dengan persentase yang
berkisar di antara cukup tinggi-rendah. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan,
77,4% (tinggi) menggunakan KA dan 22,6% (rendah) menggunakan KB. KA
digunakan dengan persentase yang lebih tinggi daripada KB pada interaksi dengan
rekan sejabatan triwangsa, selain dengan rekan sejabatan jaba, lebih tua, dan
172
pria/perempuan. Sementara itu, KB hanya digunakan dengan persentase yang setara
dengan KA pada interaksi dengan rekan sejabatan jaba, sebaya/lebih muda, dan
pria/perempuan. Pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, 71,4% (tinggi)
menggunakan KA dan 28,6% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk
bercakap-cakap dengan semua rekan bawahan dan mencapai 100% pada percakapan
dengan rekan bawahan triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada
percakapan dengan rekan bawahan jaba dan menunjukkan persentase setara dengan
KA pada percakapan dengan rekan bawahan jaba, sebaya/lebih muda, dan
pria/perempuan.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100%
(sangat tinggi) menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi
pada interaksi dengan semua tipe partisipan. Pada interaksi dengan partisipan jaba,
55,6% (cukup tinggi) menggunakan KA dan 44,4% (cukup tinggi) menggunakan KB.
KA dan KB digunakan secara berimbang pada semua interaksi. Pada interaksi dengan
partisipan yang tidak dikenal, 64,3% (tinggi) menggunakan KA, sedangkan 35,7%
(rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe
partisipan dengan penggunaan yang tinggi; demikian juga dengan BI, tetapi dengan
penggunaan yang rendah.
5.2.2.2 Triwangsa-Pekerjaan Sedang-Dewasa-Perempuan (TSDP)
Data pada TSDP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KA, yakni 91,5%, selanjutnya KB, yakni 8,5%. Persentase itu
173
menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori sangat tinggi, sedangkan
penggunaan KB berkategori sangat rendah. Data yang diperoleh pada TSDP secara
rinci diuraikan di bawah ini.
Di domain keluarga, 100% (sangat tinggi) responden menggunakan KA
untuk bercakap-cakap dengan anggota keluarga, seperti kakek, nenek, ayah, ibu,
paman, bibi, saudara kandung, saudara sepupu, dan anak kandung. Persentase yang
sama juga ditunjukkan pada interaksi di domain tetangga yang dalam hal ini
persentase 100% digunakan pada percakapan dengan semua tipe tetangga.
Di domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan, 100% (sangat tinggi)
responden menggunakan KA pada interaksi dengan semua tipe atasan. Sementara itu,
pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan dan rekan kerja bawahan, 81% (sangat
tinggi) menggunakan KA dan 19% (sangat rrendah) menggunakan KB. KA
digunakan pada interaksi dengan semua tipe rekan kerja sejabatan dengan persentase
yang lebih tinggi daripada KB dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi
dengan rekan kerja sejabatan/bawahan triwangsa. Sementara itu, KB hanya
digunakan pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan/bawahan jaba dengan
persentase yang berkisar di antara cukup tinggi-rendah.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100%
(sangat tinggi) menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi
pada interaksi dengan semua tipe partisipan. Untuk berinteraksi dengan partisipan
jaba dan partisipan tidak dikenal, 85,7% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 14,3%
(sangat rendah) menggunakan BI. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan
174
semua tipe partisipan yang dalam hal ini penggunaan KA lebih tinggi daripada KB
pada setiap interaksi.
5.2.2.3 Triwangsa-Pekerjaan Sedang-Muda-Laki-Laki (TSML)
Data pada TSML menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KA, yakni 63,7%; selanjutnya, KB, yakni 35,6%; dan BI, yakni 0,6% .
Rerata persentase tersebut menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi,
KB rendah, dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada TSML secara lebih rinci
diuraikan di bawah ini.
Di domain keluarga, 93,8% (sangat tinggi) responden menggunakan KA,
sedangkan 6,2% (sangat rendah) menggunakan BI. Penggunaan KA sangat tinggi
pada hampir semua interaksi; bahkan, menunjukkan persentase 100% pada interaksi
dengan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara kandung, dan saudara sepupu.
Sementara itu, BI hanya digunakan pada interaksi dengan anak dengan persentase
tinggi. Sementara itu, di domain tetangga, 90% (sangat tinggi) menggunakan KA dan
10% (sangat rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan
semua tetangga dengan persentase sangat tinggi dan bahkan mencapai 100% pada
interaksi dengan semua tipe tetangga triwangsa. Kemudian, KB hanya digunakan
pada interaksi dengan tetangga jaba dengan persentase yang berada di antara cukup
tinggi-rendah.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 65,5% (tinggi)
responden menggunakan KA dan 34,5% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan
175
untuk bercakap-cakap dengan semua tipe atasan dan menunjukkan persentase 100%
pada percakapan dengan semua atasan triwangsa. Selanjutnya, KB digunakan hanya
untuk berinteraksi dengan atasan jaba dan berkategori seimbang dengan penggunaan
KA pada interaksi dengan atasan jaba dan lebih tua, tetapi lebih tinggi dengan atasan
jaba yang sebaya/lebih muda.
Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan dan bawahan, kategori persentase
yang sama terlihat, yakni 57,1% (cukup tinggi) responden menggunakan KA dan
42,9% (cukup tinggi) mengunakan KB. KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan
semua tipe rekan kerja sejabatan/bawahan dan menunjukkan persentase 100% pada
interaksi dengan rekan kerja triwangsa yang sejabatan/bawahan. Sementara itu, KB
hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja jaba yang sejabatan/bawahan
dengan persentase sangat tinggi.
Di domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa, 100%
(sangat tinggi) responden menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang
sangat tinggi pada interaksi dengan semua tipe partisipan itu. Pada interaksi dengan
partisipan jaba, 67,5%
(cukup tinggi) menggunakan KB dan 32,5% (rendah)
menggunakan KA. KA dan KB digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua tipe
partisipan jaba dan penggunaan KA cenderung untuk lebih tinggi pada setiap
interaksi, kecuali pada interaksi dengan partisipan jaba, lebih tua, dan
pria/perempuan.
Di domain masyarakat pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, 70,6%
(tinggi) responden menggunakan KB dan 29,4% (rendah) menggunakan KA. KB dan
176
KA digunakan pada percakapan dengan semua tipe partisipan dan penggunaan KB
menunjukkan persentase yang lebih tinggi daripada KA pada setiap interaksi.
5.2.2.4 Triwangsa-Pekerjaan Sedang-Muda-Perempuan (TSMP)
Data pada TSMP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KA, yakni 72,7%; selanjutnya KB, yakni 22,7%; dan BI, yakni 4,6% .
Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi, KB rendah,
dan BI sangat rendah. Secara lebih rinci, data yang diperoleh pada TSMP diuraikan
sebagai berikut.
Di domain keluarga, 92% (sangat tinggi) responden menggunakan KA dan
8% (sangat rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk berinteraksi dengan
semua
tipe
anggota
keluarga
dengan
persentase
sangat
tinggi;
bahkan,
penggunaannya menunjukkan 100% pada interaksi dengan kakek, nenek, ayah, ibu,
paman, bibi, saudara sepupu, dan saudara kandung. Sebaliknya, penggunaan BI hanya
terlihat pada interaksi dengan anak kandung dengan persentase tinggi. Selanjutnya, di
domain tetangga, 92,9% (sangat tinggi) responden menggunakan KA dan 7,1%
(rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua tipe
tetangga dengan persentase sangat tinggi dan bahkan menunjukkan persentase 100%
pada interaksi dengan tetangga triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada
interaksi dengan tetangga jaba dengan persentase sangat rendah.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 85,7% (sangat
tinggi) responden menggunakan KA dan 14,3% (sangat rendah) menggunakan BI.
177
KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua tipe atasan dengan persentase
sangat tinggi; bahkan, persentase 100% ditunjukkan pada interaksi dengan atasan
triwangsa. Persentase yang sama terlihat pada penggunaan kode untuk berinteraksi
dengan rekan kerja sejabatan dan bawahan, yakni 69% (tinggi) menggunakan KA
dan 31% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan
semua rekan kerja sejabatan/bawahan dan menunjukkan persentase 100% dengan
semua tipe rekan kerja triwangsa sejabatan/bawahan. Sementara itu, KB hanya
digunakan pada interaksi dengan rekan kerja jaba sejabatan/bawahan dengan
persentase yang lebih tinggi daripada KA.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100%
(sangat tinggi) responden menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang
sangat tinggi pada interaksi dengan semua tipe partisipan itu. Pada interaksi dengan
partisipan jaba, 63,1% (tinggi) menggunakan KB dan 36,9% (rendah) menggunakan
KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan jaba dan
penggunaan KB terlihat lebih tinggi pada setiap interaksi. Pada interaksi dengan
orang yang tidak dikenal, 50% (cukup tinggi) menggunakan KA; 35,7% (rendah)
menggunakan KB; dan 14,3% (sangat rendah) menggunakan BI. KA dan KB
digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan dan penggunaan KA lebih
tinggi daripada KB dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja
tinggi/menengah, dan pria/perempuan. Sementara itu, penggunaan KB lebih tinggi
daripada KA pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus
kerja rendah, dan pria/perempuan. Sebaliknya, penggunaan BI digunakan pada
178
interaksi dengan persentase sangat rendah pada interaksi dengan semua tipe orang
yang tidak dikenal, kecuali yang berstatus kerja rendah, sebaya/lebih muda, dan
pria/perempuan.
5.2.3 Triwangsa Kelas Bawah
Triwangsa kelas bawah terdiri atas responden-responden triwangsa yang
berposisi kerja rendah dan dinyatakan sebagai kelompok triwangsa kelas bawah.
Kelompok itu terdiri atas TRDL, TRDP, TRML, dan TRMP. Sebagai tambahan,
domain interaksi di tempat kerja dengan bawahan tidak ditanggapi oleh kelompok
triwangsa kelas bawah karena kelompok itu tidak memiliki bawahan, melainkan
hanya atasan dan rekan kerja sejabatan. Penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok
ini dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut.
179
Tabel 5.3
Ringkasan Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Triwangsa Kelas Bawah
DOMAIN
TRDL
TRDP
KK
KB
KA
KB
KA
A
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
B
0
23,8
76,2
0
0
0
7,1
92,9
0
C
0
33,3
66,7
0
0
0
8,3
91,7
D
0
41,1
58,9
0
0
0
16,7
E
0
0
0
0
0
0
F
0
0
100
0
0
G
0
56,7
43,3
0
H
0
73
27
RERATA
0
34,4
65,6
Keterangan:
Domain penggunaan bahasa
A: domain keluarga,
B: domain tetangga,
C: domain tempat kerja
pada interaksi dengan
atasan,
BI BL KK
TRML
BI BL KK
TRMP
KB
KA
BI
KB
KA
BI
BL
0
0
91,5
8,5
0
0
0
93
7
0
0
0
18,5
81,5
0
0
0
11,9
88,1
0
0
0
0
0
29,8
70,2
0
0
0
23,2
64,3
12,5
0
83,3
0
0
0
37,5
62,5
0
0
0
12,5
84,5
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
31
69
0
0
0
63,5
36,5
0
0
0
52,8
47,2
0
0
0
0
0
19
81
0
0
0
66,1
33,9
0
0
0
39,7
38,1
22,2
0
0
0
0
12,7
87,3
0
0
0
32,6
66,4
1
0
0
22,1
71,4
6,6
0
D: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja
sejabatan,
E: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja
bawahan,
F: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa,
G: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan jaba dan
H: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan tidak
dikenal.
BL KK
Kode bahasa
KK : Kode Kasar
KB : Kode Biasa
KA : Kode Alus
BI : Bahasa Indonesia
BL : Bahasa Lain
180
5.2.3.1 Triwangsa-Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (TRDL)
Data pada TRDL menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KA, yakni 65,6%, selanjutnya, KB, yakni 34,4%.
Persentase itu
menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori cukup tinggi, sedangkan KB
rendah. Data yang diperoleh pada TRDL secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut.
Di domain keluarga, 100% responden menggunakan KA untuk bercakapcakap dengan anggota keluarga, seperti kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, kakak
laki-laki, adik laki-laki dan anak kandung. Sementara itu, di domain tetangga, 76,2%
(tinggi) responden menggunakan KA dan 23,8% (rendah) menggunakan KB. KA
digunakan pada interaksi dengan semua tipe tetangga, menunjukkan persentase 100%
dengan tetangga triwangsa, dan cukup tinggi dengan tetangga jaba, lebih tua, dan
pria/perempuan. Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga
jaba dan menunjukkan penggunaan yang sama dengan KA pada tetangga jaba,
sebaya, dan pria/perempuan; dan lebih tinggi dengan tetangga jaba, lebih muda, dan
pria/perempuan.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 66,7% (tinggi)
responden menggunakan KA dan 33,3% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan
pada interaksi dengan seluruh tipe atasan dan menunjukkan 100% pada interaksi
dengan semua tipe atasan triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada
interaksi dengan semua tipe atasan jaba dengan persentase yang lebih tinggi daripada
KA. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 58,9% (cukup tinggi) menggunakan
KA dan 41,1% (cukup tinggi) menggunakan KB. KA digunakan pada semua interaksi
181
dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan
triwangsa. Selanjutnya, KB hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja
sejabatan jaba dengan persentase yang berkisar di antara sangat tinggi-tinggi.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100%
responden menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi pada
interaksi dengan semua tipe partisipan itu. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba,
56,7% (cukup tinggi) menggunakan KB dan 43,3% (cukup tinggi) menggunakan KA.
KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan jaba dan
penggunaan KB cenderung untuk lebih tinggi daripada KA, kecuali pada interaksi
dengan partisipan jaba yang berstatus kerja tinggi/sedang. Untuk berinteraksi dengan
partisipan yang tidak dikenal, 73% (cukup tinggi) menggunakan KB dan 27%
(rendah) menggunakan KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua
tipe partisipan dan persentase KB cenderung lebih tinggi pada setiap interaksi,
kecuali
dengan
orang
yang
tidak
dikenal,
sepertinya
berstatus
kerja
tinggi/menengah/rendah, lebih tua, dan pria/perempuan.
5.2.3.2 Triwangsa-Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (TRDP)
Data pada TRDP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KA, yakni
87,3%, selanjutnya, diikuti oleh KB, yakni 12,7%.
Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KA berada pada persentase sangat
tinggi, sedangkan KB sangat rendah. Data yang diperoleh pada TRDP secara lebih
rinci diuraikan sebagai berikut.
182
Di domain keluarga, 100% responden menggunakan KA untuk bercakapcakap dengan anggota keluarga, seperti kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara
kandung, saudara sepupu, dan anak kandung. Sementara itu, di domain tetangga,
92,9% (sangat tinggi) menggunakan KA dan 7,1% (sangat rendah) menggunakan
KB. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe tetangga dengan persentase
sangat tinggi, sedangkan KB hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba
dengan persentase sangat rendah.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 91,7% (sangat
tinggi) responden menggunakan KA dan 8,3% (sangat rendah) menggunakan KB.
KA digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua tipe atasan dengan persentase
sangat tinggi; bahkan, menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan atasan
triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada percakapan dengan atasan jaba
dengan persentase sangat rendah. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 83,3%
(sangat tinggi) menggunakan KA dan 16,7% (sangat rendah) menggunakan KB. KA
digunakan untuk bercakap-cakap dengan semua tipe atasan dengan persentase sangat
tinggi; bahkan, menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan rekan kerja
sejabatan triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada percakapan dengan
rekan kerja sejabatan jaba dengan persentase rendah.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100%
responden menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi pada
interaksi dengan semua tipe partisipan. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba,
69% (tinggi) menggunakan KA dan 31% (rendah) menggunakan KB. KA dan KB
183
digunakan pada interaksi dengan semua tipe partisipan jaba yang dalam hal ini
penggunaan KA lebih tinggi daripada KB pada semua interaksi, kecuali dengan
partisipan yang sepertinya berstatus kerja rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan
pria/perempuan. Pada interaksi dengan partisipan yang tidak dikenal, 81% (sangat
tinggi) menggunakan KA dan 19% (sangat rendah) menggunakan KB. KA dan KB
digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan dan penggunaan KA
menunjukkan persentase sangat tinggi pada setiap interaksi.
5.2.3.3 Triwangsa-Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (TRML)
Data pada TRML menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KA, yakni 66,4%; selanjutnya, KB, yakni 32,6%; dan BI, yakni 1%.
Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi, KB rendah,
dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada TRML secara lebih rinci diuraikan
sebagai berikut.
Di domain keluarga, 91,5% (sangat tinggi) responden menggunakan KA,
sedangkan 8,5% (sangat rendah) menggunakan BI. Berbeda dengan BI yang hanya
digunakan untuk berinteraksi dengan partisipan anak dengan persentase tinggi, KA
digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan; bahkan, menunjukkan
persentase 100% pada interaksi dengan partisipan kakek, nenek, ayah, ibu, paman,
bibi, saudara kandung, dan saudara sepupu. Sementara itu, di domain tetangga, 81,5%
(sangat tinggi) menggunakan KA, dan 18,5% (sangat rendah) menggunakan KB. KA
digunakan untuk bercakap-cakap dengan seluruh tipe tetangga dengan persentase
184
yang lebih tinggi daripada KB dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi
dengan tetangga triwangsa.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 70,2% (tinggi)
responden menggunakan KA dan 29,8% (rendah) menggunakan KB. KA digunakan
untuk berinteraksi dengan semua tipe atasan dan menunjukkan persentase 100% pada
interaksi dengan atasan triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi
dengan atasan jaba dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA. Pada interaksi
dengan rekan kerja sejabatan, 62,5% (tinggi) menggunakan KA dan 37,5% (rendah)
menggunakan KB. KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe rekan
sejabatan dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan rekan sejabatan
triwangsa. Akan tetapi, KB hanya digunakan pada interaksi dengan atasan jaba
dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100%
responden menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi pada
interaksi dengan semua tipe partisipan. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba,
63,5% (cukup tinggi) menggunakan KB dan 36,5% (rendah) menggunakan KA. KA
dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan jaba yang dalam
hal ini penggunaan KB cenderung lebih tinggi pada setiap interaksi, kecuali dengan
partisipan jaba, berstatus kerja tinggi/sedang/rendah, lebih tua, dan pria/perempuan.
Untuk berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal, 66,1% (tinggi) menggunakan
KA
dan
33,9% (rendah) menggunakan KB. KA dan KB digunakan untuk
185
berinteraksi dengan semua tipe partisipan yang dalam hal ini penggunaan KB relatif
lebih tinggi daripada KA pada semua interaksi.
5.2.3.4 Triwangsa-Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (TRMP)
Data pada TRMP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KA, yakni 71,4%; selanjutnya, KB, yakni 22,1%; dan BI, yakni 6,6%.
Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori tinggi, KB rendah,
dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada TRMP secara lebih rinci diuraikan
sebagai berikut.
Di domain keluarga, 93% (sangat tinggi) responden menggunakan KA dan
7% (sangat rendah) menggunakan BI. Berbeda dengan BI yang hanya digunakan
untuk berinteraksi dengan partisipan anak dengan persentase tinggi, KA digunakan
untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan dan bahkan menunjukkan persentase
100% pada interaksi dengan partisipan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara
kandung, dan saudara sepupu. Sementara itu, di domain ketetanggaan, 88,1% (sangat
tinggi) menggunakan KA dan 11,9% (sangat rendah) menggunakan KB. KA
digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe tetangga dengan persentase yang
lebih tinggi daripada KB dan bahkan mencapai 100% pada interaksi dengan
partisipan triwangsa. Sementara itu, KB hanya digunakan pada interaksi dengan
tetangga jaba dengan persentase yang berkisar di antara rendah-sangat rendah.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 64,3% (tinggi)
menggunakan KA, 23,2% (rendah) responden menggunakan KB dan 12,5% (sangat
186
rendah) menggunakan BI.
KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe
atasan dan menunjukkan persentase 100% dengan atasan jaba. Sementara itu, KB dan
BI hanya digunakan pada interaksi dengan atasan jaba yang dalam hal ini
penggunaan KB lebih tinggi daripada BI. Untuk berinteraksi dengan rekan kerja
sejabatan, 84,5% (sangat tinggi) menggunakan KA, 12,5% (sangat rendah)
menggunakan KB, dan 3% (sangat rendah) menggunakan BI. KA digunakan pada
interaksi dengan seluruh rekan kerja sejabatan dan menunjukkan persentase 100%
dengan rekan jaba yang sejabatan. Sementara itu, KB dan BI hanya digunakan pada
interaksi dengan atasan jaba yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 100%
responden menggunakan KA yang menunjukkan penggunaan yang sangat tinggi pada
interaksi dengan semua tipe partisipan triwangsa. Untuk berinteraksi dengan
partisipan jaba, 52,8% (cukup tinggi) menggunakan KB dan 47,2% (cukup tinggi)
menggunakan KA. KB dan KA digunakan pada interaksi dengan semua tipe
partisipan jaba yang dalam hal ini penggunaan KA lebih tinggi pada interaksi dengan
partisipan jaba yang berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua/sebaya/lebih muda,
dan pria/perempuan.
Untuk berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal, 39,7% (rendah)
menggunakan KB,
38,1% (rendah) menggunakan KA, dan 22,2% (rendah)
menggunakan BI. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe orang
yang tidak dikenal yang dalam hal ini penggunaan KA lebih tinggi dengan orang
yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua, dan
187
pria/perempuan; penggunaan KB lebih tinggi dengan orang yang tidak dikenal,
sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, sebaya dan pria/perempuan. Sebaliknya,
BI digunakan pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus
kerja tinggi/menengah, lebih tinggi/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dan
menunjukkan persentase yang lebih tinggi daripada KA dan KB dengan orang yang
tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih muda, dan
pria/perempuan
5.2.4 Analisis Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Triwangsa
Untuk dapat memperbandingkan penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok
triwangsa, lihat pada tabel 5.4 berikut ini.
188
Tabel 5.4
Rerata Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Triwangsa
NO
KELOMPOK
TRIWANGSA
TINGKAT TUTUR BAHASA BALI
KK
KB
KA
BI
BL
1
TTDL
0
24
76
0
0
2
TTDP
0
7
93
0
0
3
TTML
0
20,3
74,3
5,5
0
4
TTMP
0
13,1
77,4
9,5
0
5
TSDL
0
21,8
78,2
0
0
6
TSDP
0
8,5
91,5
0
0
7
TSML
0
35,6
63,7
0,6
0
8
TSMP
0
22,7
72,7
4,6
0
9
TRDL
0
34,4
65,6
0
0
10
TRDP
0
12,7
87,3
0
0
11
TRML
0
32,6
66,4
1,0
0
12
TRMP
0
22,1
71,4
6,6
0
RERATA
0
21,9
76,1
2,1
0
Perbandingan penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok-kelompok penutur
triwangsa menunjukkan bahwa penggunan KA mendominasi dengan persentase yang
berada pada rentang sangat tinggi dan tinggi. Penggunaan yang sangat tinggi
ditunjukkan oleh subkelompok TTDP, TSDP, dan TRDP; sedangkan, penggunaan
yang tinggi ditunjukkan oleh subkelompok TTDL, TSDL, TRDL, TTML, TSML,
TRML, TTMP, TSMP, dan TRMP. Perbedaan kategori itu menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan dalam penggunaan KA yang dalam hal ini, penggunaan
189
KA yang sangat tinggi ditandai oleh kehadiran variabel perempuan dewasa dan
triwangsa.
Selain itu, penggunaan KB juga menunjukkan perbedaan kategori antara
rendah dan sangat rendah. Kategori yang rendah ditunjukkan oleh subkelompok
TTDL, TSDL, TRDL, TSML, TRML, TSMP, dan TRMP; sedangkan, kategori yang
sangat rendah ditunjukkan oleh sub kelompok TTDP, TSDP, TRDP, TTML, dan
TTMP. Penggunaan KB yang berkategori rendah berkaitan dengan kehadiran variabel
pria dewasa dan triwangsa; atau status kerja menengah/rendah dan umur muda.
Sementara itu, penggunaan KB yang berkategori sangat rendah berkaitan dengan
kehadiran variabel perempuan dewasa dan triwangsa; atau kelas atas dan umur muda.
Penggunaan BI hanya terlihat pada subkelompok TTML, TSML, TRML,
TTMP, TSMP, dan TRMP, tetapi dengan kategori yang sangat rendah. Hal itu
cenderung untuk menunjukkan bahwa penggunaan BI hanya ditemukan pada
subkelompok yang ditandai oleh variabel umur muda. Untuk memperoleh gambaran
yang lebih detail tabel 5.4 dapat dinyatakan pada gambar 5.2 di bawah ini.
190
100
80
60
40
20
0
KK
KB
KA
BI
Gambar 5.2
Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Triwangsa
Gambar 5.2 menunjukkan tiga pola penggunaan tingkat tutur BB. Pola
pertama adalah perbedaan kategori penggunaan KA antara sangat tinggi dan tinggi.
Penggunaan KA yang sangat tinggi berkaitan dengan kehadiran variabel triwangsa
dan perempuan dewasa, sedangkan penggunaan KA yang tinggi berkaitan dengan
kehadiran variabel triwangsa dan laki-laki atau triwangsa, perempuan, dan umur
muda. Pola kedua adalah perbedaan penggunaan KB, yakni antara rendah dan sangat
rendah. Pengunaan KB yang rendah berkaitan dengan kehadiran variabel triwangsa,
dewasa, dan laki-laki; atau status kerja menengah/rendah dan umur muda; sedangkan,
191
penggunaan KB yang sangat rendah berkaitan dengan kehadiran variabel triwangsa,
dewasa, dan perempuan; atau kelas atas yang dilengkapi oleh umur muda. Pola
terakhir adalah penggunaan BI yang sangat rendah yang berkaitan dengan kehadiran
variabel umur muda.
Analisis data yang dilakukan dalam kaitannya dengan domain penggunaan
bahasa menunjukkan bahwa penggunaan KA berkategori sangat tinggi di domain
keluarga, tetangga, dengan atasan di tempat kerja, dan dengan mitra tutur triwangsa di
masyarakat; sedangkan, penggunaan KA berkategori tinggi dengan rekan kerja
sejabatan dan bawahan di domain tempat kerja, dengan mitra tutur jaba di domain
masyarakat, dan dengan orang yang tidak dikenal di domain masyarakat.
Penggunaan KB berkategori cukup tinggi pada interaksi dengan mitra tutur
jaba di domain masyarakat; rendah dengan rekan kerja sejabatan, dan rekan kerja
bawahan di domain tempat kerja; dan sangat rendah di domain tetangga dan dengan
atasan di domain tempat kerja. Sebaliknya, penggunaan BI berkategori sangat rendah
di domain keluarga, dengan atasan dan rekan kerja sejabatan di domain tempat kerja,
dan dengan orang yang tidak dikenal di domain masyarakat. Untuk lebih jelasnya,
domain penggunaan bahasa pada triwangsa ditunjukkan pada tabel 5.5 berikut ini.
192
Tabel 5.5
Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Triwangsa di Domain
Penggunaan Bahasa (dalam Persentase)
NO
DOMAIN
TRIWANGSA
KK
KB
KA
BI
BL
1
Keluarga
0
0
96,3
3,7
0
2
Tetangga
0
9,7
90,3
0
0
3
Tempat Kerja (Atasan)
0
16,4
80,5
3,1
0
4
Tempat Kerja (Sejabatan)
0
27,2
72,5
0,3
0
5
Tempat Kerja (Bawahan)
0
31,4
68,6
0
0
6
Masyarakat (Triwangsa)
0
0
100
0
0
7
Masyarakat (Jaba)
0
45,7
54,3
0
0
8
Masyarakat (Orang Yang Tidak Dikenal)
0
39,7
53,5
6,8
0
RERATA
0
22,0
76,1
1,9
0
Tabel 5.5 menunjukkan persentase penggunaan tingkat tutur BB yang berbeda
berdasarkan domain penggunaannya. Dalam hal ini, penggunaan KA berada pada
kategori tertinggi, selanjutnya diikuti oleh KB, KK, dan BI.
5.3 Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Jaba
Seperti pada kelompok triwangsa, kelompok jaba juga dibagi menjadi tiga
subkelompok berdasarkan poros wangsa-pekerjaan seperti berikut:
193
Gambar 5.3
Subkelompok pada Kelompok Jaba
5.3.1 Jaba Kelas Atas
Jaba kelas atas terdiri atas responden-responden jaba yang berposisi kerja
tinggi dan dinyatakan sebagai kelompok jaba kelas atas. Kelompok ini selanjutnya
juga terbagi atas umur dan gender dan terdiri atas JTTL, JTTP, JTML, dan JTMP.
Penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok ini ditunjukkan pada tabel 5.6 berikut
ini.
194
Tabel 5.6
Ringkasan Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Jaba Kelas Atas
RANAH
JTDL
JTDP
JTML
JTMP
KK
KB
KA
BI
BL
KK
KB
KA
BI
BL
KK
KB
KA
BI
BL
KK
KB
KA
BI
BL
A
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
93,5
0
6,5
0
0
90,6
0
9,4
0
B
0
66,7
33,3
0
0
0
52,6
47,4
0
0
0
61,1
38,9
0
0
0
79,2
20,8
0
0
C
0
55
45
0
0
0
37,5
54,2
8,3
0
0
66,7
33,3
0
0
0
29,2
50
20,8
0
D
0
83,3
16,7
0
0
0
81,2
18,8
0
0
0
97,2
2,8
0
0
0
83,3
16,7
0
0
E
0
96,7
3,3
0
0
0
93,75
6,25
0
0
0
97,2
2,8
0
0
0
95,8
4,2
0
0
F
0
66,7
33,3
0
0
0
16,7
83,3
0
0
0
85,2
14,8
0
0
0
47,2
52,8
0
0
G
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
H
0
82,2
17,8
0
0
0
25
75
0
0
0
83,3
16,7
0
0
0
47,2
22,2
30,6
0
RERATA
0
81,6
18,4
0
0
0
61,4
37,7
0,9
0
0
86,2
13,1
0,7
0
0
70,7
213
8
0
Keterangan:
Domain penggunaan bahasa
A: domain keluarga,
B: domain tetangga,
C: domain tempat kerja pada
interaksi dengan atasan,
D: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan,
E: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja bawahan,
F: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa,
G: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan jaba dan
H: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan tidak dikenal.
Kode bahasa
KK: Kode Kasar
KB: Kode Biasa
KA: Kode Alus
BI: Bahasa Indonesia
BL: Bahasa Lain
195
5.3.1.1 Jaba-Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Laki-Laki (JTDL)
Data pada JTDL menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KB, yakni 81,6%, selanjutnya, KA, yakni 18,4%. Persentase itu
menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori sangat tinggi, sedangkan KA sangat
rendah. Data yang diperoleh pada JTDL secara rinci diuraikan sebagai berikut.
Di domain keluarga, 100% responden menggunakan KB untuk berinteraksi
dengan semua tipe anggota keluarga yang memperlihatkan penggunaan yang sangat
tinggi. Sementara itu, di domain tetangga, 66,7% (tinggi) menggunakan KB dan
33,3% (rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh
tipe tetangga dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan sesama
tetangga jaba. Sebaliknya, KA hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga
triwangsa dengan persentase yang lebih tinggi daripada KB.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 55% (cukup tinggi)
responden menggunakan KB dan 45% (cukup tinggi) menggunakan KA. KA dan KB
digunakan pada interaksi dengan semua tipe atasan dan penggunaan KA lebih tinggi
daripada KB pada interaksi dengan atasan triwangsa. Namun, penggunaan KB lebih
tinggi daripada KA pada interaksi dengan atasan jaba. Pada interaksi dengan rekan
kerja sejabatan, 83,3% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 16,7% (sangat rendah)
menggunakan KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe
rekan kerja sejabatan dan penggunaan KB lebih tinggi pada setiap interaksi. Bahkan,
penggunaan KB menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan rekan kerja
jaba yang sejabatan. Pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, 96,7% (sangat
196
tinggi) menggunakan KB dan 3,3% (sangat rendah) menggunakan KA. KB
digunakan pada semua interaksi dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA dan
bahkan menunjukkan persentase 100% pada semua interaksi, kecuali dengan rekan
kerja bawahan triwangsa, lebih tua, dan pria/perempuan.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 66,7%
(cukup tinggi) responden menggunakan KB dan 33,3% (rendah) menggunakan KA.
KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan yang dalam
hal ini penggunaan KB lebih tinggi daripada KA pada hampir semua interaksi,
kecuali dengan partisipan triwangsa, status kerja tinggi, lebih tua, dan
pria/perempuan. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 100 % (sangat tinggi)
menggunakan KB yang berarti bahwa KB digunakan untuk berinteraksi dengan
seluruh tipe partisipan dengan persentase sangat tinggi. Untuk berinteraksi dengan
partisipan yang tidak dikenal, 82,2% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 17,8%
(sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan seluruh tipe
orang tidak dikenal dengan persentase tinggi dan bahkan menunjukkan persentase
100% pada interaksi dengan orang tidak dikenal yang sepertinya berposisi kerja
rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan.
5.3.1.2 Jaba-Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Perempuan (JTDP)
Data pada JTDP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KB, yakni 61,4%; selanjutnya, KA, yakni 37,7%; dan BI, yakni 0,9% .
Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori tinggi, KA rendah,
197
dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada JTDP diuraikan secara lebih rinci
sebagai berikut.
Di domain keluarga, 100% responden menggunakan KB untuk berinteraksi
yang menunjukkan penggunaan sangat tinggi pada interaksi dengan semua tipe
anggota keluarga. Sementara itu, di domain tetangga, 52,6% (cukup tinggi)
menggunakan KB dan 47,4% (cukup tinggi) menggunakan KA. KB digunakan pada
interaksi dengan tetangga jaba, selain dengan tetangga triwangsa yang berumur lebih
muda dan pria/perempuan, dan mencapai 100% pada interaksi dengan tetangga jaba.
Sementara itu, KA hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga triwangsa dengan
persentase yang lebih tinggi daripada KB dan bahkan mencapai 100% pada interaksi
dengan tetangga triwangsa, lebih tua/sebaya, dan pria/perempuan.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 54,2% (cukup
tinggi) responden menggunakan KA, 37,5% (rendah) menggunakan KB, dan 8,3%
(sangat rendah) menggunakan BI. KA digunakan pada interaksi dengan semua tipe
atasan dan menunjukkan persentase tertinggi pada interaksi dengan atasan triwangsa;
KB hanya digunakan pada interaksi dengan semua atasan jaba dengan persentase
tertinggi; Selanjutnya, BI hanya digunakan pada interaksi dengan atasan triwangsa
dengan persentase yang berkisar di antara rendah-sangat rendah. Pada interaksi
dengan rekan kerja sejabatan, 81,2% menggunakan KB dan 18,8% menggunakan
KA. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe rekan kerja sejabatan dan
menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan rekan kerja jaba yang
sejabatan. Sementara itu, penggunaan KA hanya terlihat pada interaksi dengan rekan
198
kerja triwangsa yang sejabatan. Pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, 93,8%
menggunakan KB dan 6,2% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada
interaksi dengan semua tipe rekan kerja bawahan dengan persentase masing-masing
yang sangat tinggi, sedangkan KA hanya digunakan pada interaksi dengan tipe rekan
kerja bawahan triwangsa dengan persentase masing-masing yang sangat rendah.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 83,3%
(sangat tinggi) responden menggunakan KA dan 33,3% (rendah) menggunakan KA.
KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan triwangsa
yang dalam hal ini penggunaan KA menunjukkan persentase yang lebih tinggi
daripada KB pada setiap interaksi. Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 100 %
(sangat tinggi) menggunakan KB yang berarti bahwa KB digunakan untuk
berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan jaba dengan persentase sangat tinggi. Pada
interaksi dengan partisipan yang tidak dikenal, 75% (tinggi) menggunakan KA dan
25% menggunakan KB. KA dan KB digunakan pada interaksi dengan seluruh tipe
partisipan yang dalam hal ini penggunaan KA menunjukkan penggunaan yang lebih
tinggi, kecuali dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja rendah,
lebih muda, dan pria/perempuan.
5.3.1.3 Jaba-Pekerjaan Tinggi-Muda-Laki-Laki (JTML)
Data pada JTML menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KB, yakni 86,2%; selanjutnya KA, yakni 13,1%; dan BI, yakni 0,7% .
Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori sangat tinggi,
199
sedangkan KA dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada JTML secara lebih
rinci diuraikan sebagai berikut.
Di domain keluarga, 93,5% (sangat tinggi) responden menggunakan KB,
sedangkan 6,5% (sangat rendah) menggunakan BI. KB digunakan untuk berinteraksi
dengan seluruh tipe partisipan, kecuali anak kandung, dengan persentase mencapai
100%; BI hanya digunakan pada interaksi dengan partisipan anak kandung dengan
persentase mencapai 100%. Sementara itu, di domain tetangga, 61,1% (tinggi)
menggunakan KB dan 38,9% (rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada
interaksi dengan hampir semua tetangga, kecuali tetangga triwangsa yang berumur
lebih tua, dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan tetangga jaba.
Sebaliknya, KA hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga triwangsa dengan
persentase yang lebih tinggi daripada KB dan bahkan mencapai persentase 100%
pada interaksi dengan tetangga triwangsa, lebih tua, dan pria/perempuan.
Di domain tempat kerja pada interaksi dengan atasan, 66,7% (sangat rendah)
responden menggunakan KB dan 33,3% (rendah) menggunakan KA. KB dan KA
digunakan pada interaksi dengan semua tipe atasan dan penggunaan KB cenderung
untuk lebih tinggi pada setiap interaksi. Interaksi dengan rekan kerja sejabatan dan
bawahan menunjukkan persentase yang sama, yakni
97,2% (sangat tinggi)
menggunakan KB dan 2,8% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada
interaksi dengan semua tipe rekan sejabatan/bawahan dengan persentase sangat
tinggi, sedangkan KA hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja
sejabatan/bawahan triwangsa, lebih tua, dan pria/perempuan.
200
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 85,2%
(sangat tinggi) responden menggunakan KB dan 14,8% (sangat rendah)
menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe partisipan
triwangsa dengan persentase yang lebih tinggi dan bahkan mencapai 100% dengan
partisipan triwangsa, status kerja rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan
pria/perempuan. sementara itu, KA hanya digunakan pada interaksi dengan partisipan
triwangsa,
status
kerja
tinggi/sedang,
lebih
tua/sebaya/lebih
muda,
dan
pria/perempuan dengan persentase yang berkisar di antara rendah-sangat rendah.
Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 100% (sangat tinggi) menggunakan KB
yang berarti bahwa KB digunakan pada interaksi dengan seluruh tipe partisipan jaba
dengan persentase sangat tinggi.
Untuk berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal, 83,3% (sangat tinggi)
menggunakan KB dan 16,7% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan
untuk berinteraksi dengan seluruh tipe orang yang tidak dikenal dan menunjukkan
penggunaan yang cenderung lebih tinggi daripada KA pada setiap interaksi.
Sementara itu, penggunaan KB hanya terlihat pada interaksi dengan orang yang tidak
dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua/sebaya, dan
pria/perempuan.
5.3.1.4 Jaba-Pekerjaan Tinggi-Muda-Perempuan (JTMP)
Data pada JTMP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KB, yakni 70,7%; selanjutnya, KA, yakni 21,3%; dan BI, yakni 8%.
201
Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori tinggi, KA rendah,
dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada JTMP secara lebih rinci diuraikan
sebagai berikut.
Di domain keluarga, 90,6% (sangat tinggi) responden menggunakan KB dan
9,4% (sangat rendah) menggunakan BI. KB dipilih untuk berinteraksi dengan seluruh
tipe partisipan, kecuali anak kandung, dengan persentase mencapai 100%; sedangkan,
BI hanya terlihat pada interaksi dengan anak kandung dengan persentase mencapai
100%. Sementara itu, di domain ketetanggaan, 79,2% (tinggi) menggunakan KB dan
20,8% (rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe
tetangga dan menunjukkan persentase 100% dengan tetangga jaba. Sebaliknya, KA
hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba, lebih tua, dan pria/perempuan.
Di domain tempat kerja di dalam interaksi dengan atasan, 50%
(cukup
tinggi) responden menggunakan KA, sedangkan 29,2% (rendah) menggunakan KB
dan 20,8% (rendah) menggunakan BI. KA digunakan untuk berinteraksi dengan
seluruh tipe atasan dengan persentase yang lebih tinggi daripada KB, kecuali dengan
atasan jaba, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. KB hanya digunakan pada
interaksi dengan atasan jaba dan menunjukkan persentase yang lebih tinggi daripada
KA pada interaksi dengan atasan triwangsa, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan;
dan atasan jaba, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan Sementara itu, KB hanya
digunakan pada interaksi dengan atasan triwangsa, sebaya/lebih muda, dan
pria/perempuan dengan persentase yang sama dengan KA. Untuk berinteraksi dengan
rekan kerja sejabatan, 83,3% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 16, 7% (sangat
202
rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe
rekan kerja kerja sejabatan dengan persentase masing-masing lebih tinggi daripada
KA.Sebaliknya, KA hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan
triwangsa.
Untuk berinteraksi dengan rekan kerja bawahan, 95,8% (sangat tinggi)
responden menggunakan KB dan 4,2% (sangat rendah) menggunakan KA. KB
digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe rekan kerja bawahan dengan
persentase sangat tinggi pada masing-masing interaksi, sedangkan KA hanya
digunakan pada interaksi dengan rekan kerja bawahan, lebih tua, dan pria/perempuan.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 52,8%
(cukup tinggi) responden menggunakan KA dan 47,2% (cukup tinggi) menggunakan
KB. KA dan KB digunakan pada interaksi dengan seluruh tipe partisipan triwangsa
dengan penggunaan yang relatif berimbang, kecuali pada interaksi dengan partisipan
triwangsa, status kerja tinggi, lebih tua, dan pria/perempuan. Pada interaksi dengan
partisipan jaba, 100% (sangat tinggi) menggunakan KB yang berarti bahwa KB
digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan dengan persentase
masing-masing sangat tinggi.
Untuk berinteraksi dengan orsang yang tidak dikenal, 47,2% (cukup tinggi)
responden menggunakan KB, 22,2% (rendah) menggunakan KA dan 30,6% (rendah)
menggunakan BI. KB dan BI digunakan pada interaksi dengan semua tipe orang yang
tidak dikenal yang dalam hal ini penggunaan KA lebih tinggi dengan orang tidak
dikenal, sepertinya berstatus kerja rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan
203
pria/perempuan. Sementara itu, KA hanya digunakan pada interaksi dengan orang
yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah dan pria/perempuan.
5.3.2 Jaba Kelas Menengah
Jaba kelas menengah terdiri atas responden-responden jaba yang berposisi
kerja menengah dan dinyatakan sebagai kelompok jaba kelas menengah. Kelompok
ini selanjutnya juga terbagi atas umur dan gender dan terdiri atas JSDL, JSDP, JSML,
dan JSMP. Penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok ini dapat dilihat pada tabel
5.7 berikut.
204
Tabel 5.7
Ringkasan Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Jaba Kelas Menengah
RANAH
JSDL
JSDP
KK
KB
KA
BI
BL
KK
KB
A
0
100
0
0
0
0
100
B
0
76,2
23,8
0
0
0
C
0
83,8
16,2
0
0
D
0
92,9
7,1
0
E
0
92,9
7,1
F
0
74,6
G
0
H
RERATA
JSMP
BI
BL
KK
KB
KA
BI
BL
KK
KB
KA
0
0
0
0
91,2
0
8,8
0
0
92
0
8
0
54,8
45,2
0
0
0
79,8
20,2
0
0
0
66,7
33,3
0
0
0
41,7
53,6
4,8
0
0
75,6
24,4
0
0
0
61,9
32,1
6
0
0
0
81
19
0
0
0
92,9
7,1
0
0
0
81
19
0
0
0
0
0
95,2
4,8
0
0
0
92,9
7,1
0
0
0
81
19
0
0
25,4
0
0
0
47,6
52,4
0
0
0
73,8
26,2
0
0
0
59,5
40,5
0
0
96,8
3,2
0
0
0
93,7
6,3
0
0
0
100
0
0
0
0
96,8
3,2
0
0
0
93,7
6,3
0
0
0
50
50
0
0
0
92,9
7,1
0
0
0
57,1
31,7
11,1
0
0
88,8
11,2
0
0
0
69,4
30,1
0,5
0
0
87,6
11,5
0,9
0
0
73,9
22,9
3,2
0
Keterangan:
Domain penggunaan bahasa
A: domain keluarga,
B: domain tetangga,
C: domain tempat kerja
pada interaksi dengan
atasan,
KA
JSML
D: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja
sejabatan,
E: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja
bawahan,
F: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa,
G: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan jaba dan
H: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan tidak
dikenal.
Kode bahasa
KK: Kode Kasar
KB: Kode Biasa
KA: Kode Alus
BI
BL
BI: Bahasa Indonesia
BL: Bahasa Lain
205
5.3.2.1 Jaba-Pekerjaan Sedang-Dewasa-Laki-Laki (JSDL)
Data pada JSDL menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KB, yakni 88,8%, selanjutnya, KA, yakni 11,2%. Persentase itu
menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori sangat tinggi, sedangkan KA sangat
rendah. Data yang diperoleh pada JSDL secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut.
Di domain keluarga, 100% responden menggunakan KB untuk berinteraksi
dengan setiap anggota keluarga dan itu memperlihatkan penggunaan yang sangat
tinggi. Sementara itu, di domain tetangga, 76,2% (tinggi) menggunakan KB dan
23,8% (rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua
tipe tetangga dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA, kecuali dengan
tetangga triwangsa, lebih tua, dan pria/perempuan, dan menunjukkan persentase
100% pada interaksi dengan semua tetangga jaba. Sementara itu, KA hanya
digunakan pada interaksi dengan tetangga triwangsa dengan persentase cenderung
lebih rendah daripada KB pada setiap interaksi.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 83,8% (sangat
tinggi) responden menggunakan KA dan 16,2% (sangat rendah) menggunakan KB.
KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua atasan dengan persentase sangat
tinggi, kecuali dengan atasan triwangsa, lebih tua/sebaya dan pria/perempuan.
Sementara itu, KA digunakan pada interaksi dengan semua atasan triwangsa, selain
dengan atasan jaba, lebih tua/sebaya, dan pria/perempuan, dengan persentase yang
berkisar di antara rendah-sangat rendah. Persentase yang ditunjukkan pada interaksi
dengan rekan kerja sejabatan dan bawahan adalah sama, yakni 92,9% (sangat tinggi)
206
menggunakan KB dan 7,1% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada
interaksi dengan semua tipe rekan sejabatan/bawahan dengan persentase sangat
tinggi, sedangkan KA hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja
sejabatan/bawahan triwangsa dengan persentase sangat rendah.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 74,6%
(tinggi) responden menggunakan KB dan 25,4% (rendah) menggunakan BI. KB dan
BI digunakan pada interaksi dengan seluruh partisipan triwangsa yang dalam hal ini
penggunaan KB menunjukkan persentase yang lebih tinggi pada setiap interaksi.
Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 96,8% (sangat tinggi) menggunakan KB
dan 3,2% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi
dengan semua tipe partisipan jaba dengan persentase sangat tinggi, sedangkan KA
hanya digunakan untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, status kerja tinggi, lebih
tua, dan pria/perempuan.
Untuk berinteraksi dengan partisipan yang tidak dikenal, 93,7% (sangat
tinggi) responden menggunakan KB dan 6,3% (sangat rendah) menggunakan KA. KB
digunakan pada semua interaksi dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA dan
mencapai 100% pada interaksi dengan orang tidak dikenal, sepertinya berpekerjaan
sedang/rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Sementara itu, KA
hanya digunakan pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, status kerja tinggi,
lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan.
207
5.3.2.2 Jaba-Pekerjaan Sedang-Dewasa-Perempuan (JSDP)
Data pada JSDP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KB, yakni 69,4%; selanjutnya, KA, yakni 30,1%; dan BI, yakni 0,5% .
Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori tinggi, KA rendah,
dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada JSDP secara lebih rinci diuraikan
sebagai berikut.
Di domain keluarga, 100% responden menggunakan KB untuk berinteraksi
dengan setiap anggota keluarga dan itu memperlihatkan penggunaan yang sangat
tinggi. Sementara itu, di domain tetangga, 54,8% (cukup tinggi) menggunakan KB
dan 45,2% (cukup tinggi) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi
dengan seluruh tipe tetangga, kecuali triwangsa-lebih tua, dan menunjukkan
persentase yang lebih tinggi daripada KA pada interaksi dengan tetangga jaba.
Sebaliknya, KA digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan
tetangga, kecuali jaba, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan, dan
menunjukkan persentase sangat tinggi pada interaksi dengan tetangga triwangsa.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 53,6% (cukup
tinggi) responden menggunakan KA, 41,7% (cukup tinggi) menggunakan KB, dan
4,8% menggunakan BI. KA dan BI digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe
atasan yang dalam hal ini penggunaan KA lebih tinggi pada interaksi dengan atasan
triwangsa dan KB lebih tinggi dengan atasan jaba. Sementara itu, BI hanya
digunakan pada interaksi dengan atasan triwangsa, lebih tua/sebaya dan
pria/perempuan. Pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan, 81% (sangat tinggi)
208
menggunakan KB dan 19% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk
berinteraksi dengan rekan kerja sejabatan dengan persentase yang lebih tinggi
daripada KA dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan rekan
sejabatan jaba, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Sementara itu, KA
hanya digunakan pada interaksi dengan rekan sejabatan triwangsa dengan persentase
lebih rendah daripada KB yang berkisar di antara cukup tinggi-rendah.
Untuk berinteraksi dengan rekan kerja bawahan, 95,2% (sangat tinggi)
responden menggunakan KB dan 4,8% (sangat rendah) menggunakan KA. KB
digunakan pada interaksi dengan semua tipe rekan kerja bawahan dengan persentase
masing-masing sangat tinggi, sedangkan KA hanya digunakan untuk berinteraksi
dengan rekan kerja bawahan triwangsa, lebih tua/sebaya dan pria/erempuan dengan
persentase masing-masing sangat rendah.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa, 52,4%
(cukup tinggi) responden menggunakan KA dan 47,6% (cukup tinggi) menggunakan
KB. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan
triwangsa yang dalam hal ini penggunaan KA lebih tinggi daripada KB dengan
partisipan
triwangsa,
status
kerja
tinggi/menengah,
lebih
tua/sebaya,
dan
pria/perempuan. Sebaliknya, penggunaan KB lebih tinggi daripada KA pada interaksi
dengan partisipan triwangsa, status kerja tinggi/menengah, lebih muda, dan
pria/perempuan; dan partisipan triwangsa, status kerja rendah, lebih tua/sebaya/lebih
muda, dan pria/perempuan
209
Untuk berinteraksi dengan partisipan jaba, 93,7% (sangat tinggi) responden
menggunakan KB dan 6,3% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada
interaksi dengan seluruh tipe partisipan jaba dengan persentase sangat tinggi,
sedangkan KA hanya terdapat pada interaksi dengan partisipan jaba, status kerja
tinggi, lebih tua, dan pria/perempuan dengan persentase sangat rendah. Pada interaksi
dengan orang yang tidak dikenal, penggunaan KA dan KB sama, yakni 50%:50%.
Keduanya digunakan secara berimbang untuk berinteraksi dengan semua tipe orang
yang tidak dikenal.
5.3.2.3 Jaba-Pekerjaan Sedang-Muda-Laki-Laki (JSML)
Data pada JSML menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KB, yakni 87,6%; selanjutnya, KA, yakni 11,5%; dan BI, yakni 0,9% .
Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori sangat tinggi,
sedangkan KA dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada JSML secara lebih
rinci diuraikan sebagai berikut.
Di domain keluarga, 91,2% (sangat tinggi) responden menggunakan KB,
sedangkan 8,8% (sangat rendah) menggunakan BI. Berbeda dengan BI yang hanya
digunakan pada interaksi dengan anak kandung dengan persentase yang berkisar di
antara sangat tinggi-tinggi, KB digunakan untuk berinteraksi dengan hampir semua
tipe anggota keluarga dengan persentase sangat tinggi, kecuali dengan anak kandung,
dan bahkan mencapai 100% pada interaksi dengan kakek, nenek, ayah, ibu, paman,
bibi, saudara kandung, dan saudara sepupu. Sementara itu, di domain tetangga, 79,8%
210
(tinggi) menggunakan KB dan 20,2% (rendah) menggunakan KA. KB digunakan
untuk berinteraksi pada seluruh tipe tetangga dengan persentase yang lebih tinggi
daripada KA, kecuali dengan tetangga triwangsa, lebih tua, dan pria/perempuan, dan
menunjukkan persentase 100% pada interaksi dengan tetangga jaba. Sementara itu,
KA hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga triwangsa.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 75,6% (tinggi)
responden menggunakan KB dan 24,4% (rendah) menggunakan KA. KB dan KA
digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe atasan yang dalam hal ini
penggunaan KB lebih tinggi. Interaksi dengan rekan kerja sejabatan menunjukkan
persentase yang sama dengan rekan kerja bawahan, yakni 92,9% (sangat tinggi)
menggunakan KB dan 7,1% (sangat rendah) menggunakan BI. KB digunakan untuk
berinteraksi dengan seluruh tipe rekan sejabatan/bawahan dengan persentase sangat
tinggi, sedangkan KA hanya digunakan pada interaksi dengan rekan kerja
sejabatan/bawahan triwangsa dengan persentase sangat rendah.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan
triwangsa,
73,8% (tinggi) responden menggunakan KB dan 26,2% (rendah) menggunakan KA.
KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan triwangsa
yang dalam hal ini penggunaan KB cenderung lebih tinggi pada setiap interaksi. Pada
interaksi dengan partisipan jaba, 100% (sangat tinggi) menggunakan KB yang berarti
bahwa KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan jaba dengan
persentase sangat tinggi. Pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, 92,9%
(sangat tinggi) menggunakan KB dan 7,1% (sangat rendah) menggunakan KA. KB
211
digunakan pada interaksi dengan semua tipe orang yang tidak dikenal dengan
persentase sangat tinggi; sedangkan, penggunaan KB hanya terlihat dengan orang
yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua/sebaya, dan
pria/perempuan.
5.3.2.4 Jaba-Pekerjaan Sedang-Muda-Perempuan (JSMP)
Data pada JSMP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan varietas
tertinggi ialah KB, yakni 73,9%; selanjutnya, KA, yakni 22,6%; dan BI, yakni 3,2%.
Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori tinggi, KA rendah,
dan BI sangat rendah. Data yang diperoleh pada JSMP secara lebih rinci diuraikan
sebagai berikut.
Di domain keluarga, 92% (sangat tinggi) responden menggunakan KB,
sedangkan 8% (sangat rendah) menggunakan BI. Berbeda dengan BI yang hanya
digunakan pada interaksi dengan partisipan anak kandung dengan persentase di antara
tinggi-sangat tinggi, KB digunakan untuk berinteraksi dengan hampir semua tipe
partisipan dengan persentase sangat tinggi dan bahkan mencapai 100% pada interaksi
dengan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara kandung, dan saudara sepupu.
Sementara itu, di domain tetangga, 66,7% (tinggi) menggunakan KB dan 33,3%
(rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe
tetangga dan menunjukkan persentase yang lebih tinggi dengan tetangga jaba;
sedangkan, KA hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga triwangsa dengan
persentase yang lebih tinggi daripada KB.
212
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 61,9% (tinggi)
responden menggunakan KB dan 32,1% (rendah) menggunakan KB. KB dan KA
digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan yang dalam hal ini
penggunaan KB lebih tinggi dengan atasan jaba, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan
pria/perempuan. sementara itu, KA menunjukkan persentase yang lebih tinggi dengan
atasan triwangsa, lebih tua, dan pria/perempuan. Interaksi dengan rekan kerja
sejabatan menunjukkan persentase yang sama dengan interaksi dengan rekan kerja
bawahan, yakni KB
81% (sangat tinggi) dan KA 19% (sangat rendah). KB
digunakan untuk berinteraksi dengan semua rekan kerja sejabatan/bawahan dengan
persentase yang lebih tinggi daripada KA dan menunjukkan persentase 100% dengan
rekan
kerja
sejabatan/bawahan
jaba,
lebih
tua/sebaya/lebih
muda,
dan
pria/perempuan.
Di domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa, 59,5%
(cukup tinggi) responden menggunakan KB dan 40,5% (cukup tinggi) menggunakan
KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe partisipan
triwangsa yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi pada setiap interaksi. Pada
interaksi dengan partisipan jaba, 96,8% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 3,2%
(sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk bercakap-cakap dengan
semua partisipan jaba dengan persentase sangat tinggi, sedangkan KA hanya
digunakan dengan partisipan jaba, status kerja tinggi, lebih tua, dan pria/perempuan.
Pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, 57,1% (cukup tinggi)
responden menggunakan KB, 31,7% (rendah) menggunakan KA dan 11,1% (sangat
213
rendah) menggunakan BI. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh
tipe orang yang tidak dikenal yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi dengan
orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih muda, dan
pria/perempuan; dan yang berstatus kerja rendah, lebih tua/menengah/lebih muda,
dan pria/perempuan. Sebaliknya, penggunaan KA lebih tinggi dengan orang yang
tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua, dan
pria/perempuan. Sementara itu, penggunaan BI hanya terlihat pada interaksi dengan
orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua, dan
pria/perempuan.
5.3.3 Jaba Kelas Bawah
Jaba kelas bawah terdiri atas responden-responden jaba yang berposisi kerja
rendah dan dinyatakan sebagai kelompok jaba kelas bawah. Dari kedelapan domain
bahasa, domain interaksi di tempat kerja dengan bawahan tidak ditanggapi oleh
kelompok jaba kelas bawah karena kelompok itu tidak memiliki bawahan;
melainkan, hanya atasan dan rekan kerja sejabatan. Penggunaan tingkat tutur BB pada
kelompok ini bisa dilihat pada tabel 5.8 berikut.
214
Tabel 5.8
Ringkasan Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Jaba Kelas Bawah
RANAH
JRDL
JRDP
JRML
KK
KB
KA
BI
BL
KK
KB
KA
BI
A
5,9
94,1
0
0
0
0
100
0
0
0
B
11,3
55,4
33,3
0
0
0
52,4
47,6
0
C
0
82,1
17,9
0
0
0
53,6
46,4
D
0
81,0
19,0
0
0
0
82,1
E
0
0
0
0
0
0
F
0
71,4
28,6
0
0
G
7,1
92,9
0
0
H
0
88,9
11,1
RERATA
2
77,7
20,3
Keterangan:
Domain penggunaan bahasa
A: domain keluarga,
B: domain tetangga,
C: domain tempat kerja
pada interaksi dengan
atasan,
BL KK
JRMP
KB
KA
BI
KB
KA
BI
BL
8,6
82,8
0
8,6
0
0
92
0
8
0
0
8
81,7
10,3
0
0
4,8
63,1
32,1
0
0
0
0
0
84,5
15,5
0
0
0
59,5
27,4
13,1
0
17,9
0
0
0
88,1
11,9
0
0
0
73,8
26,2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
47,6
52,4
0
0
0
62,7
37,3
0
0
0
69,8
30,2
0
0
0
0
81
19
0
0
0
96,8
3,2
0
0
0
100
0
0
0
0
0
0
55,6
44,4
0
0
0
93,7
6,3
0
0
0
68,3
11,1
20,6
0
0
0
0
60,4
39,6
0
0
2
78,3
18,6
1,1
0
0,6
70,9
22,4
6,1
0
D: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja
sejabatan,
E: domain tempat kerja pada interaksi dengan rekan kerja
bawahan,
F: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan triwangsa,
G: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan jaba dan
H: domain masyarakat pada interaksi dengan partisipan tidak
dikenal.
BL KK
Kode bahasa
KK: Kode Kasar
KB: Kode Biasa
KA: Kode Alus
BI: Bahasa Indonesia
BL: Bahasa Lain
215
5.3.3.1 Jaba-Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (JRDL)
Data pada JRDL menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan
varietas tertinggi ialah KB, yakni 77,7%; selanjutnya, KA, yakni 20,3%; dan
KK, yakni 2%. Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori
tinggi, sedangkan KA dan KK sangat rendah. Data yang diperoleh pada JRDL
secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut.
Di domain keluarga, 94,1% (sangat tinggi) responden menggunakan KB
dan 5,9% (sangat rendah) menggunakan KK. KB digunakan untuk berinteraksi
dengan seluruh anggota keluarga dan menunjukkan persentase 100% pada
interaksi dengan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, kakak, dan saudara sepupu.
Sementara itu, KK hanya digunakan pada interaksi dengan adik dan anak
kandung. Pada interaksi dengan tetangga, 55,4% (cukup tinggi) menggunakan
KB, 33,3% (rendah) menggunakan KA, dan 11,3% (sangat rendah) menggunakan
KK. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe tetangga dan menunjukkan
persentase tertinggi pada interaksi dengan tetangga jaba; KA hanya digunakan
pada interaksi dengan tetangga triwangsa dengan persentase tertinggi; KK hanya
digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba dengan persentase rendah.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 82,1% (sangat
tinggi) responden menggunakan KB dan 17,9% (sangat rendah) menggunakan
KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe atasan dengan
persentase yang lebih tinggi daripada KA dan bahkan menunjukkan 100% dengan
atasan jaba, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Pada interaksi
dengan rekan kerja sejabatan, 81% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 19%
216
(sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi dengan semua
tipe rekan sejabatan dengan persentase yang lebih tinggi daripada KA dan bahkan,
menunjukkan 100% dengan rekan kerja sejabatan jaba, lebih tua/sebaya/lebih
muda, dan pria/perempuan.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa,
71,4% (tinggi) responden menggunakan KB dan 28,6% (rendah) menggunakan
KA. KB dan KA digunakan pada percakapan dengan semua tipe partisipan
triwangsa yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi, kecuali dengan
partisipan triwangsa, status kerja tinggi lebih tua, dan pria/perempuan. Untuk
berinteraksi dengan partisipan jaba, 92,9 % (sangat tinggi) menggunakan KB dan
7,1% (sangat rendah) menggunakan KK. KB digunakan untuk berinteraksi dengan
seluruh tipe partisipan dengan persentase yang lebih tinggi daripada KK.
Sebaliknya, KK hanya digunakan pada interaksi dengan partisipan jaba, status
kerja rendah, sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Untuk berinteraksi dengan
partisipan yang tidak dikenal, 88,9% (sangat tinggi) menggunakan KB, sedangkan
11,1%
(sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi
dengan seluruh tipe partisipan tidak dikenal dengan persentase yang lebih tinggi
daripada KA, sedangkan KA hanya digunakan untuk berinteraksi dengan
partisipan jaba, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua/sebaya dan
pria/perempuan.
5.3.3.2 Jaba-Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (JRDP)
Data pada JRDP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan
varietas tertinggi ialah KB, yakni 60,4%, selanjutnya, KA, yakni 39,6%.
217
Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan KB berkategori cukup tinggi,
sedangkan KA rendah. Data yang diperoleh pada JRDP secara lebih rinci
diuraikan sebagai berikut.
Di domain keluarga, 100% responden menggunakan KB yang berarti
penggunaan sangat tinggi untuk berinteraksi dengan setiap anggota keluarga:
kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara sepupu, dan saudara kandung.
Sementara itu, untuk berinteraksi di domain tetangga, 52,4% (cukup tinggi)
menggunakan KB dan 47,6% (cukup tinggi) menggunakan KA. KB digunakan
untuk berinteraksi dengan hampir seluruh tipe tetangga, kecuali tetangga
triwangsa, lebih tua, dan pria/perempuan, dan lebih tinggi pada interaksi dengan
semua tipe tetangga jaba. Sebaliknya, KA digunakan untuk berinteraksi dengan
hampir seluruh tipe tetangga, kecuali tetangga jaba, lebih muda, dan
pria/perempuan, dan menunjukkan penggunaan lebih tinggi daripada KB pada
interaksi dengan semua tetangga triwangsa.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 53,6% (cukup
tinggi) responden menggunakan KB dan 46,4% (cukup tinggi) menggunakan KA.
KB dan KA digunakan pada interaksi dengan semua tipe atasan yang dalam hal
ini penggunaan KB lebih tinggi daripada KA pada atasan
jaba. Sebaliknya,
penggunaan KA lebih tinggi daripada KA pada interaksi dengan atasan triwangsa.
Untuk berinteraksi dengan rekan kerja sejabatan,
82,1% (sangat tinggi)
menggunakan KB dan 17,9% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan
untuk berinteraksi dengan semua tipe rekan kerja sejabatan dengan persentase
218
yang lebih tinggi daripada KA dan menunjukkan 100% dengan rekan sejabatan
jaba.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa,
52,4% (cukup tinggi) responden menggunakan KA dan 47,6% (cukup tinggi)
menggunakan KB. KA dan KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe
partisipan yang dalam hal ini KB menunjukkan persentase yang lebih tinggi pada
interaksi dengan partisipan triwangsa, status kerja tinggi/menengah, lebih muda,
dan pria/perempuan; dan partisipan triwangsa, status kerja rendah, lebih
tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan. Pada interaksi dengan partisipan
jaba, 81% (sangat tinggi) menggunakan KB dan 19% (sangat rendah)
menggunakan KA. KB digunakan pada interaksi denga semua tipe partisipan jaba
dengan persentase yang lebih tinggi dan bahkan, mencapai 100% dengan
partisipan jaba, status kerja rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan
pria/perempuan. Sementara itu, KA hanya digunakan pada interaksi dengan
partisipan jaba, status kerja tinggi/menengah, lebih tua/sebaya/lebih muda, dan
pria/perempuan dengan persentase rendah.
Untuk berinteraksi dengan partisipan yang tidak dikenal, 55, 6% (cukup
tinggi) responden menggunakan KB dan 44,4% (cukup tinggi) menggunakan KA.
KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe orang yang tidak
dikenal yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi pada interaksi dengan
orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja rendah, lebih tua/sebaya/lebih
muda, dan pria/perempuan. Sebaliknya penggunaan KA lebih tinggi daripada KB
219
pada interaksi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja
tinggi/rendah, lebih tua/sebaya/lebih muda, pria/perempuan.
5.3.3.3 Jaba-Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (JRML)
Data pada JRML menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan
varietas tertinggi ialah KB, yakni 78,3%; selanjutnya KA, yakni 18,6%; KK,
yakni, 2%; dan BI, yakni 1,1%. Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan
KB berkategori tinggi, sedangkan, KA, KK, dan BI sangat rendah. Data yang
diperoleh pada JRML secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut.
Di domain keluarga, 82,8% (sangat tinggi) responden menggunakan KB,
8,6% (sangat rendah) responden menggunakan KK, dan 8,6% (sangat rendah)
menggunakan BI. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe anggota
keluarga dengan penggunaan tertinggi, kecuali pada anak kandung; KK hanya
digunakan untuk berinteraksi dengan saudara sepupu dan saudara kandung dengan
persentase di antara rendah-sangat rendah; BI hanya digunakan untuk berinteraksi
dengan anak kandung dengan persentase tertinggi. Sementara itu, untuk
berinteraksi dengan tetangga, 84,5% (sangat tinggi) menggunakan KB, 10,3%
(cukup tinggi) menggunakan KA, dan 8% (sangat rendah) menggunakan KK. KB
digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe tetangga dan menunjukkan
persentase tertinggi pada interaksi dengan tetangga jaba, lebih tua/sebaya/lebih
muda, dan pria/perempuan; KA digunakan dengan tetangga triwangsa dan
tetangga jaba, lebih tua, dan pria/perempuan dengan persentase tertinggi; KK
hanya digunakan pada interaksi dengan tetangga jaba, sebaya/lebih muda dengan
persentase sangat rendah
220
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 84,5% (sangat
tinggi) responden menggunakan KB dan 15,5% (sangat rendah) menggunakan
KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe atasan dengan
persentase yang lebih tinggi daripada KA dan menunjukkan 100% pada atasan
jaba. Sebaliknya, KA hanya digunakan pada interaksi dengan atasan triwangsa,
lebih tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dengan persentase rendah.
Untuk berinteraksi dengan rekan kerja sejabatan, 88,1% (tinggi) menggunakan
KB dan 11,9% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan untuk
berinteraksi dengan seluruh tipe atasan dengan persentase yang lebih tinggi dan
menunjukkan 100% pada atasan jaba. Sebaliknya, KA hanya digunakan pada
interaksi
dengan
atasan
triwangsa,
lebih
tua/sebaya/lebih
muda,
dan
pria/perempuan dengan persentase rendah.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa,
62,7% (tinggi) responden menggunakan KB dan 37,3% (rendah) menggunakan
KA. KB dan KA digunakan pada interaksi dengan semua tipe partisipan triwangsa
yang dalam hal ini penggunaan KB lebih tinggi daripada KA, kecuali pada
partisipan triwangsa, status kerja tinggi/menengah/rendah, lebih tua, dan
pria/perempuan. Pada interaksi dengan partisipan jaba, 96,8% menggunakan KB
dan 3,2% menggunakan KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe
partisipan jaba dengan persentase masing-masing sangat tinggi, sedangkan KA
hanya
digunakan
pada
interaksi
dengan
partisipan
jaba,
status
kerja
tinggi/menengah, lebih tua, dan pria/perempuan dengan persentase sangat rendah.
Pada interaksi dengan orang
yang tidak dikenal, 93,7% (sangat tinggi)
221
menggunakan KB dan 6,3% (sangat rendah) menggunakan KA. KB digunakan
untuk berinteraksi dengan seluruh tipe orang tidak dikenal dengan persentase
sangat tinggi pada masing-masing interaksi, sedangkan KA hanya digunakan pada
interaksi dengan orang yang tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja
tinggi/menengah, lebih tua/sebaya dan pria/perempuan dengan persentase sangat
rendah.
5.3.3.4 Jaba- Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (JRMP)
Data pada JRMP menunjukkan bahwa rerata persentase penggunaan
varietas tertinggi ialah KB, yakni 70,9%; selanjutnya, KA, yakni 22,4%; dan BI,
yakni 6,1%; dan KK, yakni 0,6%. Persentase itu menunjukkan bahwa penggunaan
KB berkategori tinggi, KA rendah, sedangkan BI dan KK sangat rendah. Data
yang diperoleh pada JRMP secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut.
Di domain keluarga, 92% (sangat tinggi) responden menggunakan KB dan
8% (sangat rendah) menggunakan BI. KB digunakan untuk berinteraksi dengan
semua tipe anggota keluarga dan menunjukkan persentase 100% pada interaksi
dengan kakek nenek, ayah, ibu, paman, bibi, saudara sepupu, dan saudara
kandung. Sebaliknya, penggunaan BI hanya digunakan pada interaksi dengan
anak kandung dengan persentase
tinggi. Sementara itu, di domain tetangga,
63,1% (tinggi) menggunakan KB, 32,1 % (rendah) menggunakan KA, dan 4,8%
(sangat rendah) menggunakan KK. KB digunakan untuk berinteraksi dengan
semua tipe tetangga dan menunjukkan persentase tertinggi pada kategori sangat
tinggi dengan tetangga jaba; KA digunakan dengan persentase tertinggi pada
interaksi dengan tetangga triwangsa; KK hanya digunakan pada interaksi dengan
222
tetangga jaba, berumur sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan dengan persentase
sangat rendah.
Di domain tempat kerja untuk berinteraksi dengan atasan, 59,5% (cukup
tinggi) responden menggunakan KB, 27,4% (rendah) menggunakan KA, dan
13,1% (sangat rendah) menggunakan BI. KB dan KA digunakan untuk
berinteraksi dengan semua tipe atasan dan penggunaan KB menunjukkan 100%
dengan atasan jaba. sementara itu, BI hanya digunakan pada interaksi dengan
atasan triwangsa dengan persentase rendah. Pada interaksi dengan rekan kerja
sejabatan, 73,8% (tinggi) menggunakan KB dan 26,2% (rendah) menggunakan
KA. KB digunakan untuk berinteraksi dengan seluruh tipe rekan sejabatan dan
penggunaan KB menunjukkan 100% dengan rekan sejabatan jaba, lebih
tua/sebaya/lebih muda, dan pria/perempuan.
Di domain masyarakat untuk berinteraksi dengan partisipan triwangsa,
69,8% (tinggi) responden menggunakan KB dan 30,2% (rendah) menggunakan
KA. KB dan KA digunakan untuk berinteraksi dengan semua tipe partisipan
triwangsa dan penggunaan KB lebih tinggi pada setiap interaksi. Pada interaksi
dengan partisipan jaba, 100% (sangat tinggi) menggunakan KB yang berarti
bahwa KB digunakan pada setiap interaksi dengan persentase sangat tinggi. Pada
interaksi dengan orang yang tidak dikenal, 68,3% (tinggi) menggunakan KB,
20,6% (sangat rendah) menggunakan KA, dan 11,1% (sangat rendah)
menggunakan BI. KB digunakan pada interaksi dengan semua tipe orang yang
tidak dikenal dengan persentase masing-masing lebih tinggi daripada KA dan BI.
Sementara itu, KA dan BI hanya digunakan pada interaksi dengan orang yang
223
tidak dikenal, sepertinya berstatus kerja tinggi/menengah, lebih tua/sebaya/lebih
muda, dan pria/perempuan.
5.3.4 Analisis Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Kelompok Jaba
Untuk dapat membandingkan penggunaan tingkat tutur BB pada kelompok
penutur jaba, perhatikan tabel 5.9 berikut.
Tabel 5.9
Rerata Persentase Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Jaba
NO
KELOMPOK
PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BB
JABA
KK
KB
KA
BI
BL
1
JTDL
0
81,6
18,4
0
0
2
JTDP
0
61,4
37,7
0,9
0
3
JTML
0
86,2
13,1
0,7
0
4
JTMP
0
70,7
21,3
8,0
0
5
JSDL
0
88,8
11,2
0
0
6
JSDP
0
69,4
30,1
0,5
0
7
JSML
0
87,6
11,5
0,9
0
8
JSMP
0
73,9
22,9
3,2
0
9
JRDL
2
77,7
20,3
0
0
10
JRDP
0
60,4
39,6
0
0
11
JRML
2
78,3
18,6
1
0
12
JRMP
0,6
70,9
22,4
6,1
0
RERATA
0,4
75,9
22,2
1,5
0
Tabel 5.9 menunjukkan bahwa penggunaan KB mendominasi dan
terentang dari sangat tinggi sampai dengan cukup tinggi. Kategori sangat tinggi
ditunjukkan oleh subkelompok JTDL, JSDL, JTML dan JSML; kategori tinggi
ditunjukkan oleh subkelompok JTDP, JSDP, JTMP, JSMP, JRDL, JRML dan
JRMP; sedangkan, kategori yang cukup tinggi ditunjukkan oleh subkelompok
224
JRDP. Perbedaan itu menunjukkan bahwa penggunaan KB yang sangat tinggi
berkaitan dengan variabel pria, status kerja tinggi/menengah, dan jaba;
penggunaan KB yang tinggi berkaitan dengan variabel pria, status kerja rendah,
dan jaba; atau, perempuan atau status kerja tinggi/menengah dan jaba; sedangkan,
penggunaan KB yang cukup tinggi berkaitan dengan variabel perempuan dewasa
(tua) dan status kerja rendah.
Penggunaan KA berada pada kategori rendah-sangat rendah. Kategori
rendah ditunjukkan oleh subkelompok JTDP, JSDP, JRDP, JTMP, JSMP, dan
JRMP; sedangkan kategori yang sangat rendah ditunjukkan oleh subkelompok
JTML, JSML, JRML dan JRDL. Variabel yang paling berkaitan dengan
penggunaan KA rendah adalah perempuan, sedangkan bagi penggunaan KA yang
berkategori sangat rendah adalah pria.
Sebaliknya, penggunaan BI berkategori sangat rendah dan hanya teramati
pada subkelompok JTDP, JSDP, JTML, JSML, JRML, JTMP, JSMP, dan JRMP.
Hal itu menunjukkan bahwa ada dua kelompok variabel berbeda yang berkaitan
dengan penggunaan BI, yakni perempuan, dewasa, status kerja tinggi/menengah;
atau umur muda. Selain itu, KK juga digunakan dengan kategori yang sangat
rendah pada subkelompok JRDL, JRML, dan JRMP. Untuk memperoleh paparan
yang lebih ringkas, tabel 5.9 digambarkan pada gambar 5.4 berikut ini.
225
100
80
60
40
20
0
KK
KB
KA
BI
Gambar 5.4
Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Jaba
Gambar 5.4 menunjukkan empat pola penggunaan tingkat tutur BB. Pola
pertama adalah penggunaan KA yang terentang di antara sangat tinggi dan tinggi.
Penggunaan KA yang sangat tinggi berkaitan dengan kehadiran variabel
perempuan dewasa dan jaba, sedangkan yang tinggi berkaitan dengan kehadiran
variabel laki-laki/umur muda dan jaba. Pola kedua adalah penggunaan KB di
antara rendah dan sangat rendah. Penggunaan KB yang rendah berkaitan dengan
kehadiran variabel perempuan, sedangkan yang sangat rendah berkaitan dengan
kehadiran variabel pria. Pola ketiga adalah penggunaan BI yang sangat rendah dan
berkaitan dengan kehadiran variabel perempuan, dewasa, dan status kerja
tinggi/menengah; atau umur muda. Pola terakhir adalah penggunaan KK yang
226
sangat rendah dan berkaitan dengan variabel status kerja rendah, kecuali
perempuan dewasa.
Selanjutnya, analisis yang dilakukan pada penggunaan tingkat tutur BB
dalam kaitannya dengan domain penggunaan bahasa menunjukkan bahwa
penggunaan KB yang sangat tinggi ditemukan di domain keluarga, dengan rekan
sejabatan dan bawahan di domain tempat kerja, dan dengan mitra tutur jaba di
domain masyarakat. Sementara itu, penggunaan yang tinggi ditemukan di domain
tetangga, dengan atasan di tempat kerja, mitra tutur triwangsa, dan orang yang
tidak dikenal di domain masyarakat.
Penggunaan KA terentang di antara kategori rendah dan sangat rendah.
Penggunaan KA yang rendah ditemukan di domain tetangga, dengan atasan di
tempat kerja, dengan mitra tutur triwangsa, dan orang yang tidak dikenal di
domain masyarakat. Sebaliknya, penggunaan KA yang sangat rendah ditemukan
pada interaksi dengan rekan kerja sejabatan dan bawahan di domain tempat kerja
dan mitra tutur jaba di domain masyarakat.
Penggunaan BI hanya terdapat di domain keluarga, dengan atasan di
domain tempat kerja, dan dengan orang tidak dikenal di domain masyarakat
dengan kategori yang sangat rendah. Terakhir, penggunaan KK hanya ditemukan
dengan kategori yang sangat rendah di domain keluarga, tetangga, dan dengan
mitra tutur jaba di domain masyarakat.
227
Tabel 5.10
Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Jaba di Domain
Penggunaan Bahasa (dalam Persentase)
NO
DOMAIN
JABA
KK
KB
KA
BI
BL
1
Keluarga
1,5
94,6
0
3,9
0
2
Tetangga
2,4
65,7
31,9
0
0
3
Tempat Kerja (Atasan)
0
64,0
32,5
3,5
0
4
Tempat Kerja (Sejabatan)
0
84,4
15,6
0
0
5
Tempat Kerja (Bawahan)
0
92,3
7,7
0
0
6
Masyarakat (Triwangsa)
0
61,4
38,6
0
0
7
Masyarakat (Jaba)
0,7
95,8
3,5
0
0
8
Masyarakat (Orang Yang Tidak Dikenal)
0
72,2
23,7
4,0
0
0,5
77,9
20,1
1,5
0
RERATA
Tabel 5.10 menunjukkan persentase penggunaan tingkat tutur BB yang berbeda
berdasarkan domain penggunaannya. Dalam hal ini, penggunaan KB berada pada
kategori tertinggi, selanjutnya diikuti oleh KA, BI, dan KK.
5.4 Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali dalam hubungannya dengan
Wangsa, Pekerjaan, Umur dan Gender
Meskipun penggunaan tingkat tutur BB pada guyub tutur Kota Singaraja
sepertinya memperlihatkan variasi yang cukup tinggi, suatu pola umum tetap
dapat dikenali. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel 5.11 berikut yang merangkum
rerata persentase penggunaan tingkat tutur BB pada triwangsa dan jaba.
228
Tabel 5.11
Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali pada Triwangsa dan Jaba
NO
KELOMPOK
TINGKAT TUTUR BAHASA BALI
KK
KB
KA
BI
BL
1
TTDL
0
24
76
0
0
2
TTDP
0
7
93
0
0
3
TTML
0
20,3
74,3
5,5
0
4
TTMP
0
13,1
77,4
9,5
0
5
TSDL
0
21,8
78,2
0
0
6
TSDP
0
8,5
91,5
0
0
7
TSML
0
35,6
63,7
0,6
0
8
TSMP
0
22,7
72,7
4,6
0
9
TRDL
0
34,4
65,6
0
0
10
TRDP
0
12,7
87,3
0
0
11
TRML
0
32,6
66,4
1,0
0
12
TRMP
0
22,1
71,4
6,6
0
13
JTDL
0
81,6
18,4
0
0
14
JTDP
0
61,4
37,7
0,9
0
15
JTML
0
86,2
13,1
0,7
0
16
JTMP
0
70,7
21,3
8,0
0
17
JSDL
0
88,8
11,2
0
0
18
JSDP
0
69,4
30,1
0,5
0
19
JSML
0
87,6
11,5
0,9
0
20
JSMP
0
73,9
22,9
3,2
0
21
JRDL
2
77,7
20,3
0
0
22
JRDP
0
60,4
39,6
0
0
23
JRML
2
78,3
18,6
1
0
24
JRMP
0,6
70,9
22,4
6,1
0
RERATA
0,2
48,5
49,6
1,7
0
Secara signifikan, wangsa penutur membagi penggunaan tingkat tutur BB
pada guyub tutur Kota Singaraja menjadi dua. Dengan kata lain, wangsa penutur
229
merupakan variabel yang paling berkaitan dengan penggunaan tingka tutur BB.
Penutur triwangsa menggunakan KA dengan kategori yang tinggi; sedangkan,
penutur jaba menggunakan KB dengan kategori yang tinggi.
Pada penutur triwangsa, variabel sosial kedua yang berperan bagi
penggunaan tingkat tutur BB adalah pekerjaan (lihat lampiran 3.2.1). Kalau
diperhatikan dengan seksama, penggunaan KA menunjukkan penurunan kategori
dari sangat tinggi pada kelas atas ke tinggi pada kelas menengah dan selanjutnya,
penurunan yang rendah pada kelas bawah. Hal yang sebaliknya terjadi pada
penggunaan KB dan penggunaannya naik dari sangat rendah pada kelas atas
menjadi rendah pada kelas menengah dan naik lagi meskipun tidak banyak pada
kelas bawah
Setelah status pekerjaan, faktor sosial ketiga yang berperan bagi
penggunaan tingkat tutur BB adalah umur atau usia (lihat lampiran 3.3.1).
Penggunaan KA berkategori sangat tinggi pada penutur triwangsa dewasa; namun,
tinggi pada penutur triwangsa muda. Hal itu juga berkaitan dengan penggunaan
KB yang dalam hal ini penggunaannya pada penutur triwangsa dewasa
berkategori sangat rendah; namun, rendah pada penutur triwangsa muda.
Faktor keempat yang berperan adalah gender penutur yang menunjukkan
fenomena yang mirip dengan umur (lihat lampiran 3.4.1). Penggunaan KA
berkategori sangat tinggi pada penutur triwangsa perempuan; sebaliknya, tinggi
pada penutur triwangsa pria. Hal itu juga berkaitan dengan penggunaan KB yang
dalam hal ini berkategori sangat rendah pada penutur triwangsa perempuan;
namun, rendah pada penutur triwangsa pria. Dengan demikian, pada penutur
230
triwangsa, variabel pekerjaan, umur, dan gender secara berurutan berperan bagi
penggunaan tingkat tutur BB. Sebagai tambahan, berbeda dengan penggunaan KA
dan KB, penggunaan KK hampir tidak terlihat pada penutur triwangsa, sedangkan
penggunaan BI hanya terlihat pada penutur triwangsa muda.
Berbeda dengan penutur triwangsa, variabel sosial kedua yang paling
berkaitan dengan penggunaan tingkat tutur BB pada penutur jaba adalah gender
(lihat lampiran 3.4.2). Penggunaan KB menunjukkan kategori sangat tinggi pada
penutur jaba pria; namun, berkategori tinggi pada penutur jaba perempuan. Hal
itu juga berkaitan dengan penggunaan KA yang dalam hal ini penggunaannya
pada penutur jaba pria berkategori sangat rendah; namun, berkategori rendah pada
penutur jaba perempuan.
Variabel sosial ketiga yang berperan bagi penggunaan tingkat tutur BB
pada penutur jaba adalah umur (lihat lampiran 3.3.2). Penggunaan tingkat tutur
BB yang paling berkaitan dengan perbedaan umur pada penutur jaba adalah KA.
Penutur dewasa menggunakannya pada kategori rendah, sedangkan penutur muda
pada kategori sangat rendah.
Faktor pekerjaan pada penutur jaba (lihat lampiran 3.2.2) sepertinya
kurang berperan bagi penggunaan tingkat tutur BB. Walaupun penggunaan KB
antarkelas sosial menunjukkan sedikit perbedaan, perbedaan itu tidaklah berarti
karena tidak pada tataran kategori. Selain itu, penggunaan KA memang
menunjukkan perbedaan yang cukup berarti, dari kategori rendah pada kelas atas,
ke sangat rendah pada kelas menengah dan balik lagi ke rendah pada kelas bawah.
231
Akan tetapi, perbedaan itu sepertinya tidak beraturan sehingga sulit untuk
dirumuskan. Untuk lebih jelasnya, lihat gambar 5.5 berikut.
Gambar 5.5
Hubungan antara Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali
dengan Wangsa, Pekerjaan, Umur, dan Gender.
Secara singkat, gambar 5.5 menunjukkan bahwa wangsa merupakan
variabel yang paling berkaitan dengan penggunaan atau pemilihan kode. Pada
triwangsa, urutan prioritas variabel dari yang paling berkaitan ke kurang berkaitan
adalah pekerjaan, umur, dan gender; sedangkan, pada jaba adalah gender, umur,
dan pekerjaan. Meskipun demikian, variabel wangsa, pekerjaan, umur, dan gender
tidak boleh dilihat sebagai terlepas satu sama lain dalam hubungannya dengan
penggunaan tingkat tutur BB. Keempat variabel itu saling berinteraksi atau
berpadu satu sama lain dan dapat bersifat saling menguatkan atau melemahkan
satu sama lain. Interaksi itu juga membantu untuk meramalkan bahasa (kode)
yang kira-kira dipilih oleh seorang penutur pada suatu percakapan. Sebagai
contoh, seorang penutur triwangsa, kelas atas, dewasa, dan lagi
perempuan
memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk menggunakan KA. Penutur
232
dengan karakteristik sosial yang sama, tetapi dari kelas bawah, tetap memiliki
kecenderungan
yang sangat tinggi, tetapi sedikit lebih rendah, untuk
menggunakan KA. Sebaliknya, jika penutur itu adalah pria atau perempuan jaba,
apalagi dari kelas sosial bawah, tingkat tutur BB yang diharapkan muncul dengan
penggunaan yang tinggi adalah KB.
Hasil penelitian ini menambah wawasan tentang penggunaan tingkat tutur
BB dalam hubungannya dengan struktur sosial berdasarkan situasi sosiobudaya
yang bersifat spesifik. Sehubungan dengan hal itu, Penelitian ini mengungkapkan
bahwa umur dan gender juga merupakan bagian yang penting bagi penggunaan
tingkat tutur dan hal itu agak berbeda dengan temuan Suastra (lihat Suastra, 1998:
207) yang mengungkapkan bahwa umur dan jenis kelamin (gender) tidak berperan
penting bagi penggunaan tingkat tutur BB. Selain itu, variabel pekerjaan terutama
pada penutur jaba sepertinya tidak terlalu berkaitan dengan penggunaan tingkat
tutur BB.
Selain itu, penggunaan KK dalam kaitannya dengan variabel identitas
sosial pada guyub tutur Kota Singaraja sangat rendah dan hanya teramati pada
penutur jaba kelas bawah. Dalam hal ini, hasil simak dan cakap semuka semakin
mengungkapkan bahwa penggunaan KK hampir tidak berkaitan dengan variabel
identitas sosial, melainkan dengan variabel jarak sosial untuk menandai hubungan
yang sangat intim atau variabel emosi untuk pengungkapan rasa marah (lihat 6.2
dan 6.3). Penggunaan KK untuk menandai jarak sosial atau rasa marah cukup
lazim di antara penutur jaba terutama yang berkelas rendah, tetapi kurang lazim
pada penutur jaba yang berkelas sosial menengah-tinggi dan penutur triwangsa.
233
Sebagai tambahan, penggunaan BI untuk berinteraksi di antara penutur BB
muda dan dewasa guyub tutur Kota Singaraja sangatlah rendah. Meskipun
demikian, penggunaan BI menunjukkan persentase yang sangat tinggi pada
interaksi antara penutur muda dengan penutur anak kandung yang berarti bahwa
bahasa pengantar yang digunakan pada interaksi antara ayah-anak pada keluarga
penutur muda adalah BI. Hal itu tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian
Subroto dkk. (2007) yang mengungkapkan bahwa penutur BJ Surakarta yang
berusia muda cenderung sudah tidak mempelajari BJ lagi sebagai bahasa pertama,
melainkan sebagai bahasa kedua.
5.5 Penggunaan Istilah Sapaan
Istilah sapaan merupakan bentuk yang digunakan oleh penyapa untuk
menunjuk pesapa/mitra tutur dalam suatu percakapan. Bentuk sapaan beragam
jenisnya dan di antaranya yang paling umum digunakan pada guyub tutur Kota
Singaraja adalah pronomina persona pertama, pronomina persona kedua,
pronomina persona ketiga, dan istilah atau nomina sapaan sebagai pengganti
pronomina persona.
5.5.1 Pronomina Persona Pertama
Pronomina persona pertama BB meliputi bentuk alus TITIANG, TIANG,
YANG dan RAGA; bentuk biasa icang; dan bentuk kasar AKE dan AWAKE.
Bentuk TITIANG merupakan bentuk alus sor yang berfungsi untuk merendahkan
diri dan meninggikan mitra tutur, tetapi sangat jarang digunakan oleh penutur
234
pada guyub tutur Kota Singaraja. Oleh sebab itu, bentuk TITIANG cenderung
digunakan secara nonsimetris.
Bentuk TIANG, YANG, dan RAGA merupakan bentuk alus madia dan
ketiganya lazim digunakan pada guyub tutur Kota Singaraja. Dari ketiga bentuk
itu, TIANG adalah yang paling halus, sedangkan YANG dan RAGA cenderung
sedikit di bawah TIANG berdasarkan kehalusan. Bentuk YANG diderivasi dari
TIANG ‘saya’, sedangkan bentuk RAGA diderivasi dari IRAGA ‘kami’ yang
merupakan pronomina persona plural. Bentuk TIANG biasanya digunakan
bersama-sama dengan KA; sedangkan, bentuk YANG dan RAGANE umumnya
digunakan bersama-sama dengan KB.
Bentuk AKE dan AWAKE juga digunakan, tetapi kurang populer. Kedua
bentuk itu digunakan bersama-sama dengan KK, tetapi
AWAKE digunakan
dengan muatan emosi negatif tertentu. Selain bentuk-bentuk itu, terdapat juga
bentuk ana ‘saya’ yang diserap dari bahasa Arab dan populer di antara penutur
muda dengan penggunaan yang simetris.
5.5.2 Pronomina Persona Kedua
Pronomina persona kedua yang lazim digunakan di guyub tutur Kota
Singaraja adalah bentuk biasa ia. Bentuk biasa lain yang juga digunakan, tetapi
kurang lazim karena pada guyub tutur Kota Singaraja dianggap kasar adalah cai
untuk laki-laki dan nyai untuk perempuan. Sementara itu, bentuk ragane yang
sesungguhnya merupakan bentuk pronomina persona kedua alus tidak digunakan
sebagaimana mestinya sebagai bentuk pronomina persona kedua, melainkan
digunakan sebagai pronomina persona pertama.
235
Walaupun bentuk cai dan nyai berfungsi untuk menandai perbedaan
gender, cai lebih populer daripada nyai. Bahkan, cai juga digunakan untuk
menyapa pesapa perempuan. Pergeseran itu merupakan pergeseran “rasa bahasa”
terkait gender yang dalam hal ini cai dikesankan lebih halus daripada nyai.
Sebaliknya, nyai cenderung dianggap merendahkan dan hanya digunakan untuk
mengungkapkan emosi negatif terhadap pesapa, baik perempuan ataupun lakilaki.
Bentuk pronomia persona kedua yang lain yang sering digunakan adalah
bentuk netral kamu dan ente. Bentuk kamu diserap dari bahasa Indonesia dan
digunakan secara simetris di antara penutur muda, sedangkan bentuk ente diserap
dari bahasa Arab dan digunakan secara simetris di antara penutur muda.
Keterbatasan jumlah bentuk pronomina kedua BB menunjukkan bahwa
BB miskin bentuk pronomina kedua yang merupakan inti teori sistem sapaan.
Keterbatasan ragam bentuk pronomina persona kedua pada BB, apalagi sebagai
bentuk yang bisa digunakan untuk menunjuk kepada partisipan triwangsa,
mengindikasikan bahwa bentuk itu kurang berterima. Bentuk pronomina persona
kedua mengindikasikan perilaku “menunjuk” kepada seseorang dan perilaku ini
dianggap perilaku yang tidak sopan pada kebudayaan Bali. Keterbatasan itu juga
menimbulkan pertanyaan akan bagaimanakah BB digunakan untuk menyapa
pesapa yang berwangsa triwangsa atau yang dihormati. Disinilah peranan nomina
sapaan sebagai pengganti pronomina persona menjadi penting untuk menutupi
kekurangan bentuk pronomina kedua itu.
236
5.5.3 Pronomina Persona Ketiga
Diantara bentuk pronomina persona ketiga IDA, IPUN, DANE, dan ia
‘dia’, bentuk ia-lah yang paling sering digunakan untuk mengacu pesapa ketiga
yang dibicarakan. Bentuk ia merupakan bentuk biasa, tetapi lazim digunakan
untuk membicarakan pesapa ketiga, baik itu yang berstatus lebih tinggi, sejajar,
maupun lebih rendah dari penutur. Selain ia, bentuk IDA juga terkadang
digunakan, tetapi hanya untuk merujuk kepada seorang pendeta brahmana, tetua
puri, gria, atau jero, dan anggota keluarga keturunan raja langsung yang tinggal di
puri.
5.5.4 Nomina Sapaan Sebagai Pengganti Pronomina Persona
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penanda gelar wangsa (GW)
merupakan cara yang digunakan untuk membedakan mitra tutur triwangsa dan
jaba. Wangsa Brahmana laki-laki bergelar ida bagus, sedangkan Wangsa
Brahmana perempuan ida ayu. Wangsa Ksatria laki-laki dapat bergelar anak
agung, cokorde, i gusti agung, i gusti, i dewa, dewa bagus, dan sebagainya;
sedangkan Wangsa Ksatria perempuan dapat bergelar anak agung istri, cokorde
istri, i gusti agung, gusti ayu, dewa ayu, dan sebagainya. Wangsa Wesia laki-laki
dapat bergelar gusti, dewa, dan sebagainya; sedangkan Wangsa Wesia perempuan
dapat bergelar gusti (ayu), desak, dan sebagainya.
Untuk memudahkan penyapaan, GW lazim untuk disingkat, baik berupa
penggalan suku kata pertama atau terakhir. Pemenggalan GW pada triwangsa lakilaki dilakukan sebagai berikut: GUS dari ida bagus atau i gusti; GUNG dari anak
agung atau gusti agung, dan COK dari cokorda. Sementara itu, pada triwangsa
237
perempuan dilakukan sebagai berikut DAYU dari ida ayu; GUNG ISTRI dari anak
agung istri; GUNG dari anak agung atau i gusti agung, COK ISTRI dari cokorda
istri, COK dari cokorda, AYU dari i gusti ayu, dan SAK dari desak. Selain itu,
GUS yang merupakan penggalan dari bagus ‘ganteng’ lazim juga digunakan pada
anak laki-laki jaba; sedangkan, ayu/gek hanya lazim digunakan untuk menyapa
perempuan triwangsa yang berumur lebih muda atau sebaya.
Selain menurut wangsa, istilah sapaan juga berbeda menurut umur. Pesapa
yang berumur dua generasi lebih tua disapa secara berbeda dengan pesapa yang
berumur satu generasi lebih tua, beberapa tahun lebih tua, sebaya, atau lebih
muda. Selain itu, gender pesapa juga mengakibatkan penggunaan istilah sapaan
yang berbeda.
Sebagai tambahan, tradisi penggunaan nama urut lahir (NUL) tidak selalu
berlaku pada kelompok triwangsa karena ada yang menggunakannya dan ada
yang tidak menggunakannya. Hal itu tergantung pada tradisi masing-masing
keluarga triwangsa. Namun, bagi yang tidak menggunakan NUL, setelah GW
lazim diikuti oleh nama diri (ND).
5.5.4.1 Domain Keluarga
Istilah sapaan yang digunakan di domain keluarga juga disebut dengan
istilah kekerabatan. Istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan hubungan
antaranggota keluarga, yakni antara kakek-nenek, kakek-cucu, nenek-cucu, ayahibu, ayah-anak, ibu-anak, paman-keponakan, bibi-keponakan, kakak-adik, dan
sebagainya.
238
A. Domain keluarga triwangsa
Istilah kekerabatan yang digunakan di domain keluarga triwangsa masih
mempertahankan istilah yang telah mentradisi dengan cukup ketat. Ragam istilah
tersebut masih bervariasi dan digunakan sehari-hari. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan tabel 5.12 mengenai penggunaan istilah kekerabatan pada domain
keluarga triwangsa dan jaba.
Tabel 5.12
Penggunaan Istilah Kekerabatan pada Keluarga Triwangsa
No. Umur
1
Dua generasi
lebih tua
2
3
4
Satu generasi
lebih tua
Gender
Pria
Istilah Kekerabatan
(ATU) KAKIANG
ATU PEKAK
Perempuan (ATU) NIANG
(ATU) NINIK
Pria
(ATU) AJI
ATU
(ATU) Bapak
(ATU) paman
DEWAJI
AA?
ATUA?
(ATU) AJI
Perempuan (ATU) IBU
(ATU) BIANG
Ibu/Meme?
BIANG + NUL + ND
ATU BIANG
ATUA?
Beberapa tahun Pria
(TU) beli
lebih tua
WAH
Beli + GW +
(NUL/ND)
(I) WI
Kakak
Perempuan Mbok + GW
Mbok GUNG AYU
Mbok + (NUL/ND)
Seumuran/lebih Pria
GW + (NUL/ND)
muda
Nama Diri atau NUL
Perempuan GEK + (NUL/ND)
GW + (NUL/ND)
NUL/ND
Makna
Kakek
idem
Nenek
idem
Ayah
idem
idem
Paman
Paman dari GW dewa
Paman (lebih tua dari ayah)
Idem
Paman ( lebih muda dari
ayah
Ibu
idem
Ibu (dari jaba)
Bibi
Bibi (lebih muda dari ibu)
Bibi (lebih tua dari ibu)
Kakak kandung
idem
Kakak kandung (misan)
idem
idem
Kakak kandung (misan)
idem
idem
Saudara seusia/lebih muda
idem
idem
idem
idem
239
Tabel 5.12 menunjukkan bahwa istilah kekerabatan yang digunakan pada
domain keluarga triwangsa sangat beragam tergantung pada kebiasaan di dalam
keluarga itu sendiri secara turun temurun. Selain itu, penambahan kata atu sebagai
bentuk hormat di depan istilah kekerabatan hanya umum di keluarga Ksatria yang
bergelar anak agung atau i gusti atau pada seorang pendeta, tetapi tidak pada
keluarga triwangsa yang lainnya.
Istilah sapan yang digunakan pada domain keluarga adalah sebagai
berikut. Pertama, untuk menyapa kakek atau nenek, seorang cucu dapat
menggunakan (ATU) + istilah kekeraban penanda kakek/nenek, yakni (ATU)
KAKIANG atau (ATU) PEKAK ‘kakek’, sedangkan (ATU) NIANG atau (ATU)
ninik digunakan untuk ‘nenek’. Kedua, untuk menyapa ayah atau ibu, seorang
anak dapat menggunakan (ATU) + istilah kekerabatan penanda ayah/ibu, yakni
ATU, (ATU) AJI, atau (ATU) bapak ‘ayah’, sedangkan (ATU) IBU atau (ATU)
BIANG digunakan untuk ‘ibu’.
Ketiga, untuk menyapa paman atau bibi, seorang keponakan dapat
menggunakan (ATU) + istilah kekerabatan yang menandai paman/bibi, yakni
ATU, (ATU) AJI, (ATU) paman, ATUA?, atau AJI, sedangkan (ATU) BIANG,
(ATU) ibu, atau ATUA? digunakan untuk ‘bibi’. Umur saudara ayah atau ibu juga
berperan penting pada penggunaan istilah sapaan. Istilah sapaan ATUA digunakan
jika paman atau bibi tersebut lebih tua dari ayah atau ibu; istilah sapaan (ATU)
AJI/BIANG digunakan jika dia lebih muda dari ayah/ibu. Untuk triwangsa yang
bergelar dewa, paman biasanya disapa dengan (DEWA) AJI; sedangkan bibi
dengan (DESAK) BIANG.
240
Keempat, untuk menyapa kakak, baik kakak kandung maupun kakak
misan, seorang adik dapat menggunakan (TU) + istilah kekerabatan penanda
kakak lak-laki/perempuan, yakni (TU) beli untuk ‘kakak laki-laki’; sedangkan
mbok ayu, mbok GEK, mbok GUNG, mbok GUNG AYU, mbok SAK, atau mbok
untuk ‘kakak perempuan’. Istilah WAH juga digunakan seorang kakak laki-laki
pada keluarga triwangsa yang bergelar anak agung dan ida bagus. Terakhir,
penggalan GW+(NUL)/(ND) digunakan untuk menyapa saudara kandung/sepupu
yang seumuran/ lebih muda. Bentuk terkadang GEK ditambahkan di depan GW
untuk menyapa saudara perempuan. Sebagai tambahan, bentuk JUNG dapat juga
digunakan sebagai sapaan sayang (intim) kepada adik yang lebih muda atau anak
di keluarga yang bergelar anak agung.
Selain bentuk-bentuk tersebut, istilah sapaan bapak atau ibu yang diserap
dari BI juga digunakan pada keluarga triwangsa. Kedua bentuk itu lazim
digunakan pada keluarga-keluarga yang orang tuanya bekerja di domain
publik/kedinasan, misalnya, sebagai guru, pegawai negeri sipil, dokter, pegawai
bank, dan lain sebagainya. Dengan demikian, penggunaan kedua bentuk itu
berhubungan dengan pekerjaan orang tua. Sebagai tambahan, bentuk ibu juga
terkadang digunakan untuk menandai ibu yang tidak berasal-usul triwangsa.
B. Domain keluarga jaba
Penggunaan istilah kekerabatan yang digunakan pada keluarga partisipan
jaba tidaklah serumit seperti pada keluarga triwangsa. Faktor yang membedakan
istilah kekerabatan di keluarga jaba adalah peran, umur, dan gender. Tabel 5.13
memperlihatkan penggunaan istilah kekerabatan pada keluarga partisipan jaba.
241
Tabel 5.13
Penggunaan Istilah Kekerabatan pada Keluarga Jaba
No. Umur
1.
2.
3.
4.
Gender
Istilah
Kekerabatan
Dua generasi
Pria
Pekak
lebih tua
Wayah
Kaki
Kakek
Perempuan Ninik
Dadong
Nenek
Satu generasi
Pria
Bapa
(Ba)pak
lebih tua
Maman
Om
Paman
Perempuan Meme?
Ibu?
Bibi
Beberapa tahun Pria
Beli+(NUL)+(ND)
lebih tua
Perempuan Mbok+(NUL)+
(ND)
NUL/ND
Seumuran/lebih Pria
muda
Perempuan (Luh) NUL/ND
Makna
Kakek
idem
idem
idem
Nenek
idem
idem
Bapak/Paman
idem
idem
idem
idem
Ibu/Bibi
Idem
idem
Kakak
idem
Saudara sebaya
(lebih muda)
idem
Tabel 5.13 menunjukkan bahwa istilah kekerabatan yang digunakan di
keluarga jaba cukup sederhana dan penggunaannya bergantung pada kebiasaan
atau tradisi di keluarga. Pertama, untuk menyapa kakek, seorang cucu dapat
menggunakan pekak, wayah, kaki, atau kakek; sedangkan ninik, nenek, atau
dadong dapat digunakan untuk ‘nenek’. Dari semua bentuk itu, bentuk kaki dan
dadong sudah jarang digunakan karena kedua bentuk itu dianggap menandai
status sosial rendah dan ketinggalan zaman. Kedua, untuk menyapa ayah, seorang
anak dapat menggunakan bapa atau bapak, sedangkan meme? atau ibu?
digunakan untuk ibu. Berbeda dengan bentuk bapak/ibu, bentuk bapa dan meme
242
telah jarang digunakan karena dianggap menandai status sosial rendah dan
ketinggalan zaman. Ketiga, untuk menyapa paman, seorang keponakan dapat
menggunakan maman, om, atau paman, sedangkan bibi adalah bibi. Keempat,
untuk menyapa kakak kandung atau kakak sepupu, seorang adik dapat
menggunakan bentuk beli + NUL/ ND untuk kakak laki-laki atau bentuk mbok +
NUL/ND untuk kakak perempuan. Kelima, untuk menyapa adik kandung atau
adik sepupu, bentuk NUL+(ND) digunakan dan terkadang dengan tambahan kata
adik sebelum NUL.
Cucu perempuan, anak perempuan, atau saudara perempuan juga lazim
disapa dengan luh ‘perempuan’, walaupun namanya bukanlah itu. Bentuk luh
digunakan untuk menandai keperempuanan dan kerap digunakan sebagai
ungkapan sayang bagi perempuan yang lebih muda. Selain itu, bentuk biasa ibu
yang digunakan oleh keluarga jaba kerap diakhiri oleh glotal stop /?/ yang
merupakan penanda bentuk biasa yang dalam hal ini berbeda dengan bentuk alus
IBU tanpa glotal stop /?/ yang merupakan bentuk hormat/alus. Tambahan pula,
istilah kekerabatan pada jaba kerap ditambah dengan NUL atau ND apabila ada
lebih dari satu kategori pesapa yang diacu. Jika penyapa, misalnya, memiliki lebih
dari satu kakak laki-laki, ia dapat menambahkan NUL/ND setelah istilah
kekerabatan agar jelas kakak yang dirujuk
5.5.4.2 Domain Tetangga dan Masyarakat
Pada bagian berikut diuraikan mengenai penggunaan istilah sapaan di
domain tetangga dan masyarakat pada pesapa triwangsa dan jaba.
243
A. Domain tetangga dan masyarakat pada pesapa triwangsa
Istilah sapaan yang digunakan pada domain tetangga dan masyarakat
berkorelasi dengan wangsa, umur, dan gender. Berikut diperlihatkan istilah yang
digunakan untuk menyapa terkait dengan wangsa, umur, dan gender penyapapesapa.
Tabel 5.14
Penggunaan Istilah sapaan oleh Penyapa Triwangsa atau Jaba kepada
Pesapa Triwangsa pada Domain Tetangga dan Masyarakat
Penyapa
Triwangsa/
Pesapa
TriDua generasi
wangsa lebih tua
Jaba
Gender
Istilah sapaan
Pria
ATU (AJI)
Ba(pak) + GW +
(NUL/ND)
(ATU) IBU
(ATU) BIANG
GUNG/DAYU/DESAK
BIANG
Ibu
(TU) AJI
Bapak
Pak
(TU) BIANG
(TU) IBU
Bu
(Beli) + GW +
(NUL/ND)
perempuan
Satu generasi
lebih tua
Pria
perempuan
Beberapa tahun
lebih tua
Pria
perempuan
Seumuran/lebih Pria
muda
perempuan
(Mbok) + GW +
(NUL/ND)
GW + (NUL/ND)
(GEK) GW + (NUL/ND)
Tabel 5.14 menunjukkan bahwa pesapa triwangsa disapa sesuai dengan
umur dan gendernya. Selain itu, kebiasaan setempat juga berperan penting bagi
bentuk sapaan. Pertama, untuk menyapa pesapa yang lebih tua satu atau dua
generasi, misalnya, bentuk (ATU) AJI atau (ba)pak dapat digunakan untuk laki-
244
laki, sedangkan bentuk (ATU)IBU, (ATU) BIANG, atau GUNG/DAYU/DESAK
BIANG dapat digunakan untuk perempuan. Namun, istilah sapaan yang paling
lazim digunakan oleh penyapa triwangsa adalah istilah yang tidak menggunakan
kata (ATU) karena kata (ATU) kerap dianggap terlalu berlebihan untuk digunakan,
kecuali pada tetua puri atau pada pendeta brahmana. Sebaliknya, penyapa jaba
cenderung hanya menggunakan pak/bu+GW+(NUL/ND).
Kedua, untuk menyapa pesapa triwangsa pria yang beberapa tahun lebih
tua, bentuk beli + GW + (NUL)/(ND) dan bentuk mbok + GW + (NUL)/(ND)
cukup lazim digunakan untuk pesapa triwangsa, baik oleh penyapa triwangsa
maupun jaba. Terakhir, GW+(NUL/ND) lazim digunakan untuk menyapa pesapa
triwangsa laki-laki seusia atau lebih muda dan bentuk itu terkadang ditambahi
dengan GEK di depannya bagi pesapa triwangsa perempuan seusia atau lebih
muda.
B. Domain tetangga dan masyarakat pada pesapa jaba
Sama halnya dengan istilah sapaan yang digunakan pada partisipan
triwangsa, variabel yang juga memengaruhi istilah sapaan pada partisipan jaba
adalah juga wangsa, umur, dan gender. Hanya saja, variasi yang ditimbulkan
tidaklah serumit pada partisipan triwangsa. Tabel 5.15 memperlihatkan
penggunaan istilah sapaan pada partisipan jaba.
245
Tabel 5.15
Penggunaan Istilah sapaan oleh Penyapa Jaba atau Triwangsa kepada
Pesapa Jaba pada Domain Tetangga dan Masyarakat
Penyapa
Pesapa
Triwangsa/
Jaba
Jaba Dua generasi
lebih tua
Gender
Istilah sapaan
Pria
Pria
Pekak + (NUL) + (ND)
Wayah + (NUL) + (ND)
Kaki + (NUL) + (ND)
(Ba)pak
Ninik + (NUL) + (ND)
Dadong + (NUL) + (ND)
Bu + (NUL) + (ND)
Bapa+ (NUL) + (ND)
(Ba)pak + (NUL) + (ND)
Om + (NUL) + (ND)
Paman + (NUL) + (ND)
Maman
Bu + (NUL) + (ND)
Bibi + (NUL) + (ND)
Beli + (NUL) + (ND)
Perempuan
Mbok + (NUL/ND)
Perempuan
Satu generasi
lebih tua
Pria
Perempuan
Beberapa tahun
lebih tua
Seumuran/lebih Pria
muda
Perempuan
NUL + (ND)
NUL + (ND)
Tabel 5.15 menunjukan adanya persamaan yang tinggi antara istilah
sapaan yang digunakan di domain tetangga dan masyarakat dengan domain
keluarga. Di domain tetangga, penyapa yang merasa dekat dengan pesapa jaba
dapat menggunakan istilah yang sama dengan istilah kekerabatan dan ditambah
dengan NUL/(ND) untuk mengkhususkan pesapa yang dirujuk. Akan tetapi, jika
hubungan tidak dirasakan dekat atau untuk menghormati, bentuk pak/bu lazim
digunakan, baik untuk yang satu atau dua generasi lebih tua maupun berumur tua.
Nama diri (ND) dalam bentuk nama kecil yang
domain
tetangga
dan
domain
masyarakat
adalah
lazim digunakan di
pengggalan
nama
246
resmi/administrasi. Seseorang yang bernama Made Suarjana dapat dipanggil
dengan Pak Made Su. Selain nama kecil, nama lain yang dirujuk sebagai nama
“jelek” juga digunakan, tetapi itu hanya ditujukan pada pesapa kelas bawah
tertentu pada suasana keakraban. Dalam hal ini, seorang pesapa dapat disapa
dengan bentuk bermakna “sedikit melecehkan” seperti I Kojek ‘si Gundul’ karena
dulu dia pernah gundul, I Delem ‘si Delem’ karena memiliki karakter seperti
Delem yang merupakan abdi setia tokoh antagonis yang suka mengadu domba
dalam pewayangan, I Beru ‘si Kelabu’ karena kulitnya berwarna kusam dan
sebagainya.
Selain itu, untuk menyapa pesapa yang belum dikenal dan satu atau dua
generasi lebih tua atau berumur tua, bentuk pak/bu adalah bentuk yang paling
lazim digunakan. Jika di dekat rumah ada seseorang yang tidak dikenal sedang
kebingungan, biasanya akan ditanyai NGEREREH SIRA (Pak/Bu)? atau Ngalih
nyen (Pak/Bu)? ‘Cari siapa (Pak/Bu)?’. Selain bentuk pak/bu, bentuk (∅) juga
kerap digunakan untuk menghindari salah sapa.
Selanjutnya, bentuk beli/mbok juga lazim digunakan di antara penyapapesapa muda untuk menandai kedekatan. Akan tetapi, jika penyapa satu atau dua
generasi lebih tua dari pesapa, istilah gus, luh, atau gek juga kerap digunakan.
Bentuk gus lazim digunakan untuk menyapa pesapa laki-laki dan luh atau gek
untuk pesapa perempuan yang satu atau dua generasi lebih muda. Sebagai
tambahan, terdapat juga bentuk e yang merupakan variasi dari (∅), tetapi bentuk
itu dianggap tidak sopan.
247
5.5.4.3 Domain Tempat Kerja
Istilah sapaan bagi pesapa triwangsa di domain tempat kerja jauh lebih
disederhanakan lagi daripada di domain keluarga, dan tetangga dan masyarakat.
Istilah sapaan yang bernuansa kental triwangsa, seperti atu aji atau atu biang
menghilang dan digantikan oleh istilah sapaan yang lebih egaliter dan formal,
yaitu bapak dan ibu. Variabel yang berperan penting pada perbedaan penggunaan
istilah sapaan di domain tempat kerja adalah umur, wangsa, dan gender. Tabel
5.16 memperlihatkan istilah sapaan yang digunakan pada domain tempat kerja
bagi pesapa triwangsa.
Tabel 5.16
Penggunaan Istilah sapaan oleh Penyapa Triwangsa atau Jaba kepada
Pesapa Triwangsa di Domain Tempat Kerja
Wangsa
Penyapa Pesapa
TriTriwangsa/
Wangsa
Jaba
Umur
Gender
Istilah Sapaan
Dua generasi
Lebih tua
Pria
Pak + GW + (NUL) + (ND)
Perempuan
Bu + GW + (NUL) + (ND)
Satu generasi Pria
Lebih tua
Perempuan
(Ba)pak + GW + (NUL) + (ND)
Beberapa
tahun Lebih
tua
(Ba)Pak + GW + (NUL) + (ND)
Beli + GW + (NUL) + (ND)
GW + (NUL) + (ND)
Bu + GW + (NUL) + (ND)
Mbok + GW + (NUL) + (ND)
GW + (NUL) + (ND)
Pak + GW + (NUL) + (ND)
GW + (NUL) + (ND
Bu + GW + (NUL) + (ND)
GW + (NUL) + (ND)
Pria
Perempuan
Seumuran/le
bih muda
Pria
Perempuan
(I)bu + GW + (NUL) + (ND)
Tabel 5.16 menunjukkan bahwa bentuk yang paling umum digunakan
pada pesapa rekan kerja triwangsa, apalagi yang satu atau dua generasi lebih tua,
248
adalah pak/bu+GW+(NUL)+(ND). Istilah sapaan yang lengkap kerap diperlukan
karena rekan kerja umumnya banyak sehingga perlu untuk dirujuk secara sangat
spesifik. Bentuk yang sama juga digunakan pada pesapa yang lebih tua, sebaya,
atau lebih muda jika dia berposisi sebagai atasan atau jika hubungan di antara
penyapa-pesapa jauh. Dalam hal ini, penggunaan pak/bu dapat menandai
perbedaan umur, formalitas, atau jarak sosial.
Sebaliknya, istilah sapaan yang digunakan untuk pesapa jaba lebih
sederhana lagi daripada istilah sapaan untuk pesapa triwangsa karena tidak
digunakannya GW. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel 5.17.
Tabel 5.17
Penggunaan Istilah sapaan oleh Penyapa Triwangsa/Jaba kepada
Pesapa Jaba di Domain Tempat Kerja
Wangsa
Penyapa Pesapa
TriJaba
wangsa/
Jaba
Umur
Gender
Istilah Sapaan
Dua generasi
lebih tua
Pria
(Ba)pak + NUL + (ND)
Perempuan
(I)bu + NUL + (ND)
Satu generasi
Lebih tua
Pria
(Ba)pak + NUL + (ND)
Perempuan
(I)bu + NUL + (ND)
Beberapa
tahun Lebih
tua
Pria
Ba(pak) + NUL + (ND)
Beli + NUL + (ND)
NUL + (ND)
(I)bu + NUL + (ND)
Mbok + NUL + (ND)
NUL + (ND)
Pak + NUL + (ND)
NUL + (ND)
Bu + NUL + (ND)
NUL + (ND)
Perempuan
Seumuran/
lebih muda
Pria
Perempuan
Tabel 5.17 menunjukkan bahwa istilah sapaan (ba)pak atau (i)bu dapat
digunakan untuk menyapa partisipan jaba mana pun. Pada partisipan yang lebih
tua satu atau dua generasi, istilah itu lazim digunakan dan kerap ditambah dengan
249
NUL+(ND) agar jelas siapa yang dimaksud. Istilah pak/bu + (NUL)/(ND) juga
dapat digunakan pada pesapa jaba sebaya atau lebih muda untuk menandai
perbedaan umur, jarak sosial, atau formalitas. Akan tetapi, di antara penyapapesapa sejabatan atau yang memiliki hubungan yang cukup dekat, bentuk (beli)
atau (mbok) +NUL +(ND) atau NUL+(ND) lebih lazim digunakan.
BAB VI
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA BALI
6.1 Pengantar
Bab ini membahas lima subpokok bahasan. Pada subbab 6.2 dibahas
tentang faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan KK secara simetris; pada
subbab 6.3 dibahas tentang faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan KK
secara nonsimetris; pada subbab 6.4 dibahas tentang faktor-faktor yang
memengaruhi penggunaan KB secara simetris; pada 6.5 dibahas tentang faktorfaktor yang memengaruhi penggunaan KB secara nonsimetris; dan pada subbab
6.6 dibahas tentang penggunaan KA secara simetris.
6.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Kasar secara
Simetris
Penggunaan KK secara simetris pada guyub tutur Kota Singaraja hanya
umum pada penutur laki-laki kelas bawah untuk menggambarkan situasi-situasi
kebahasan tertentu. Pada kategori penutur yang lain penggunaan itu dapat juga
muncul, tetapi jarang dan untuk mengungkapkan kemarahan. Dalam hal ini,
penggunaan KK secara simetris dipengaruhi oleh perpaduan dari faktor
keakraban, kesetaraan, dan solidaritas; atau faktor kemarahan. Berikut penjelasan
tentang faktor-faktor tersebut.
250
251
6.2.1 Faktor Keakraban, Kesetaraan, dan Solidaritas
Penggunaan KK secara simetris pada percakapan dipengaruhi oleh
kehadiran faktor keakraban, kesetaraan, dan solidaritas secara bersama-sama di
antara penutur-mitra tutur. Hal itu berarti bahwa faktor keakraban, kesetaraan,
atau faktor solidaritas saja tidak cukup untuk memunculkan KK.
Faktor keakraban mengindikasikan adanya jarak sosial yang rendah atau
rapat yang muncul karena pengguna KK itu kerap berjumpa dan berbicara di
dalam suasana keakraban. Karena sering berjumpa, dua penutur dapat menjadi
saling memahami atau saling mengerti satu sama lain dengan baik. Jurang
pemisah dalam bentuk perbedaan identitas menjadi tidak penting dan sopan
santun formal atau seremonial tidak dibutuhkan lagi. Kesalingpengertian itu
selanjutnya dapat membuat penggunaan bentuk tinggi KA dianggap menjelimet
dan menyulitkan karena tidak mampu menandai dan memfasilitasi keakraban
yang telah terbentuk. Oleh karena itu, penggunaan bahasa yang sederhana, praktis,
dan dapat menggambarkan kedekatan, seperti KB atau KK diperlukan.
Sekadar keakraban saja tidak cukup untuk menghadirkan kode kasar
karena keakraban yang terjadi di antara sesama penutur triwangsa atau penutur
triwangsa-penutur jaba atau penutur laki-laki-penutur perempuan atau penutur
tua-penutur muda tidak laim untuk ditandai dengan penggunaan KK. Terkait
dengan umur, misalnya, penutur BB di Bali yang sejak kecil diajari untuk selalu
menghormati orang yang tua akan mengalami kesulitan untuk dapat akrab dengan
orang yang lebih tua. Sebagai salah satu buktinya, orang yang satu generasi lebih
252
tua disapa dengan (ba)pak yang memosisikan orang itu setara dengan orang tua
yang harus dihormati.
Keakraban itu perlu untuk diperkuat, khususnya, dengan kesetaraan umur
dan gender. Keakraban di antara yang seumuran dibangun di antara pergaulan
teman sebaya, baik itu di sekolah, di masyarakat, atau di tempat kerja. Selain itu,
persamaan gender juga penting bagi keakraban, apalagi di Bali yang memisahkan
pergaulan antara pria dan perempuan dengan cukup ketat. Pemisahan antara pria
dan perempuan diungkapkan oleh penutur BB di Singaraja bahwa pria dan
perempuan diajari untuk tidak terlalu dekat satu sama lain sejak anak-anak. Jika
ada pria remaja yang memiliki banyak teman dekat perempuan, dia dapat dengan
segera diberi julukan “mata keranjang” –suatu julukan yang dianggap cukup
mengganggu. Sebaliknya, jika ada perempuan yang memiliki banyak teman dekat
pria, dia akan dianggap “nakal”. Bahkan, mereka kerap malu jika diketahui oleh
orang lain, terutama oleh orang dewasa jika sudah punya pacar.
Kemunculan keakraban setara itu perlu untuk dipertegas oleh adanya
solidaritas. Solidaritas secara umum merupakan perasaan senasib atau setia kawan
yang tumbuh karena persamaan pada hal-hal tertentu yang dianggap signifikan,
seperti asal-usul kelahiran, keanggotaan di dalam kelompok, ikatan kekeluargaan
dan sebagainya (Brown dan Gilman, 1960: 258). Perasaan solidaritas yang
tumbuh pada penutur guyub tutur Kota Singaraja umumnya muncul sebagai
kelanjutan dari perasaan sebagai teman sepermainan sejak kanak-kanak, teman
sekolah, atau teman berbagi aktivitas yang sama, seperti sambung ayam, olah
raga, tajen, dan sebagainya.
253
Kemunculan ketiga hal itu, yakni keakraban, kesetaraan, dan solidaritas –
walaupun tidak selalu—dapat memicu penggunaan KK. Dalam hal ini, jika
penutur-mitra tutur saling bertukar penggunaan KK, hal itu menunjukkan
hadirnya ketiga faktor itu secara bersama-sama. Hal itu terlihat pada percakapan
(1) berikut ini.
(1)
Situasi: Percakapan terjadi di depan bangunan kantor Pemerintahan Daerah
antara seorang Anak Agung (AGSWBT) dan Gede (GDPRN). AGSWBT
masih bekerja sebagai pegawai biasa di Pemerintah Daerah, sedangkan
GDPRN bekerja sebagai pegawai biasa di perusahan asuransi. Keduanya
laki-laki dan memiliki kategori umur tua.
(1):
AGSWBT
(2):
GDPRN
(3):
AGSWBT
(4):
GDPRN
(5):
AGSWBT
(6):
GDPRN
(7):
AGSWBT
(8):
GDPRN
(9):
AGSWBT
De, tumben CICINGENE tepuk nok, mara ngelah kurnan
baru?
‘De, tumben kamu kelihatan, baru punya istri baru?’
Beh NANI GUSTINE ne tawah-tawah dogen omongange, jeg
KEBANGKAANG dini nah?
‘Beh Gusti ini yang aneh-aneh saja diomongkan, nanti (saya)
bunuh disini ya?’
Ha, men nyen ibi to ke gandeng? Mesrabutan gati nok, AKE
sampe’ nggang-ngep nepukin.
‘Ha, terus siapa yang kemarin dibonceng? Aduh mesranya,
saya sampai bengong melihatnya.’
To be kurnan AKENE ane paling jegege
‘Itulah istri saya yang paling cantik.’
Paling jegege? kan liu artine ngelah kurnan o?
‘Paling cantik? bukannya (itu) berarti banyak punya istri ya?’
Badah, kalah be AKE nok. Men apa kagae ne jam kantor be
diwangan? Lenan ken ngalih AMAH o?
‘Waduh, kalah dah saya. Terus, apa yang dikerjakan
sekarang masih jam kantor sudah di luar? Pasti cari makan
ya?’
Bih, dueg masi Pak Gede nok he... Mai milu ajake ngalih
sate pasih di Pemaron
‘Oh, pintar juga Pak Gede ya he. Mari ikut (saya) ajak
mencari (makan) sate ikan laut di Pemaron.’
Bayaine ne o? lamun keto milu.
‘Ditraktir ya? Kalau begitu ikut.’
Oke, mai nake.
‘Ayo, mari sini.’
254
Percakapan (1) terjadi melalui penggunaan KK secara simetri walaupun
komposisi kata kasar yang menyusun percakapan itu hanya sedikit dan berada
pada peringkat tiga dengan persentase 5,62%. Sebaliknya, jumlah kata terbanyak
yang menyusun percakapan itu adalah kata biasa, yakni 74,16%; dan selanjutnya
kata serapan BI, yakni 17,98%; kata alus, yakni 1,12%; dan terakhir, kata serapan
BIng, yakni 1,12%. Dalam hal ini, yang menjadikan penggunaan KK secara
simetris adalah penggunaan kata-kata yang digunakan secara resiprokal, baik oleh
AGSWBT maupun GDPRN yang meliputi pronomina persona kasar NANI, dan
AKE dan kata kasar, seperti CICINGENE, KEBANGKAAN, dan AMAH.
Uniknya, penggunaan KK secara simetris itu terjadi di antara penutur
triwangsa dan jaba, yang dipengaruhi oleh keakraban dan solidaritas yang
berkembang di antara mereka. Mereka dekat sejak SMA sebagai teman sekelas,
dan terbiasa beraktivitas bersama setelah itu dan mengembangkan solidaritas yang
tinggi di antara mereka. Walaupun kemudian sempat berpisah karena bersekolah
di universitas berbeda, mereka tetap merasa dekat dan terbiasa dengan
penggunaan KK.
Penggunaan KK untuk menandai faktor kedekatan, faktor kesetaraan, dan
sekaligus faktor solidaritas tidak dirasakan sebagai kasar, tetapi biasa-biasa saja.
Banyak penggunanya yang mengungkapkan bahwa kalau tidak menggunakan
kode itu, tidak terasa dekat. Semboyan yang sering digunakan untuk
menggambarkan kedekatan yang dimunculkan dengan penggunaan KK secara
simetris adalah yen sing kasar sing akrab ‘kalau tidak kasar, tidak akrab’. Akan
tetapi, hal itu tidak dimaknai bahwa setiap kedekatan perlu untuk ditandai dengan
255
KK. Selain itu, dua penutur yang terbiasa menggunakan KK satu sama lain tidak
selalu menggunakannya pada setiap pertemuan mereka. KK hanya mereka
gunakan pada suasana keakraban dan percandaan pada situasi perkawanan
informal. Pada suasana serius atau di hadapan orang yang dihormati atau tidak
mereka kenal, kedua penutur itu cenderung untuk tidak menggunakan KK karena
khawatir disalahpahami.
6.2.2 Faktor Pengungkapan Kemarahan Secara Simetris
Setiap orang yang marah akan menggunakan kata-kata kasar yang berupa
umpatan atau makian yang ditujukan kepada orang yang menimbulkan kemarahan
itu. Pada bahasa Indonesia, misalnya, ungkapan yang lazim digunakan adalah
kurang ajar, kurang asem, anjing, bedebah, dan lain-lain. Kata-kata itu bermakna
denotatif seperti yang ditunjukkan oleh kata-kata itu sendiri.
Bahasa Bali juga memiliki tingkat yang berasa kasar dan dapat digunakan
untuk
mengungkapkan
kemarahan
atau
kekesalan.
Misalnya,
kata
NGERAYUNANG, NGAJENG, atau medaar ‘makan’ dapat digantikan dengan
kata kasar NGAMAH atau NIDIK jika penutur ingin mengungkapkan perasaan
marah atau kesal kepada mitra tuturnya. Kata-kata kasar sesungguhnya
dimaksudkan untuk menggambarkan binatang dan perilakunya. Kata-kata itu
menjadi kasar ketika digunakan untuk merujuk kepada manusia dan perilakunya
karena kata-kata itu menyamakan manusia dengan binatang.
Dengan kata lain, KK merupakan kode yang lepas kendali karena orang
yang marah tidak dapat mengontrol emosinya. KK secara norma berbahasa
digunakan untuk melepaskan atau meluapkan emosi kemarahan. KK terdiri atas
256
kata-kata yang secara sosial sangat menyinggung dan merendahkan. Bilamana
seorang mitra tutur menerima KK dari penutur yang tidak dianggap dekat
dengannya, penutur itu akan dianggap melakukan penghinaan dan merendahkan.
Selanjutnya, hal itu tentu saja akan menimbulkan ketersinggungan dan memicu
perang kata-kata kasar.
KK yang digunakan untuk meluapkan kekesalan berbeda dengan KK yang
digunakan untuk menandai kedekatan, kesetaraan, dan solidaritas. KK yang
digunakan untuk meluapkan kekesalan dirasakan sebagai kasar dalam arti yang
sesungguhnya. Oleh sebab itu, penggunaan KK secara simetris pada suatu
pertengkaran merupakan penggunaan dengan tujuan untuk melukai perasaan satu
sama lain. Lihat percakapan (2) untuk lebih jelasnya.
(2)
Situasi: Percakapan terjadi di depan rumah antara dua orang ibu muda yang
bertengkar, yakni antara Komang (KMARI) dan Dayu (DYNG). KMARI
adalah seorang perempuan jaba yang berumur muda dan bekerja sebagai
pegawai lepas di sebuah koperasi, sedangkan DYNG adalah seorang
perempuan triwangsa yang berumur muda dan bekerja sebagai pegawai
honorer di instansi pemerintah.
(1):
DYNG
(2):
KMARI
(3):
DYNG
(4):
KMARI
(5):
DYNG
Mang, apa CAI omongang ken ibu AKENE? Adi galak gati
ibu AKENE, nyanan kejait pone BUNGUTNE cepok nah?
‘Mang, apa yang kamu bicarakan dengan Ibu saya? Kenapa
marah sekali Ibu saya, nanti (saya) jarit mulutmu sekali ya?’
Adengin bedik, yen sing nyai maluan nyaduin kurnan
AKENE, AKE sing je lakar keto. Madakang POLONE, pang
ngenah belangne.
‘Pelan sedikit, kalau bukan kamu yang duluan mengadu ke
suami saya, saya tidak akan begitu. Mudah-mudahan, supaya
kelihatan belangnya ’
Apa to NYAI PETAANG, MAPETE buin cepok?
‘Apa itu yang kamu katakan? Katakan lagi sekali?’
Men, apa NYAI PETAANG ibi ken kurnan akene
‘Terus, apa (yang) kamu katakan kemarin ke suami saya.’
Ento kan saja, sangkale NYAI dadi anak luh de bes, buang
cara KAUNG
257
(6):
KMARI
‘Itu kan benar, makanya kamu menjadi perempuan jangan
terlalu genit seperti babi perempuan dewasa (untuk anakan)’
Memangne NYAI sing patuh, sok paling sucine dogen.
‘Memangnya kamu tidak sama, sok paling suci saja’
…
Percakapan (2) terjadi melalui pertukaran KK secara simetris, tetapi
didominasi oleh penggunaan kata-kata biasa. Dalam hal ini, percakapan itu
mengandung 67,1% kata biasa, 20,6% kata kasar, dan 12,3% kata serapan BI.
Kara-kata kasar yang digunakan pada percakapan itu adalah AKE, CAI,
BUNGUTNE, POLONE, NYAI, MAPETE, dan KAUNG.
Penggunaan kata-kata kasar itu menunjukkan emosi marah atau kesal yang
diungkapkan secara vulgar tanpa memerhatikan posisi sosial satu sama lain
sebagai orang dewasa. Walaupun DYNG dan KMARI memiliki identitas wangsa
yang berbeda antara triwangsa-jaba yang seharusnya menghalangi KMARI untuk
menggunakan KK, tetapi KMARI tetap melakukannya. Hal itu akan berbeda jika
mereka memiliki perbedaan-perbedaan yang lain, seperti umur yang tinggi (satu
atau dua generasi), pekerjaan, dan gender. Kesetaraan umur, gender, dan status
pekerjaan, meskipun berbeda wangsa, mendorong DYNG dan KMARI untuk
mengungkapkan perasaan secara terbuka dengan KK.
6.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Kasar secara
Nonsimetris
Seperti pada penggunaan KK secara simetris, penggunaan KK secara
nonsimetris juga hanya terdapat pada penutur laki-laki kelas bawah untuk
menggambarkan situasi-situasi kebahasan tertentu dengan intensitas kemunculan
yang rendah. Pada tipe penutur yang lain, penggunaan KK cenderung hanya
258
muncul sebagai bentuk ungkapan kemarahan. Dalam hal ini, penggunaan KK
secara nonsimetris dipengaruhi oleh faktor keakraban menurun atau faktor
kemarahan yang disertai oleh kesenjangan status.
6.3.1 Faktor Keakraban Menurun
Penggunaan KK secara nonsimetris dipengaruhi oleh faktor keakraban
menurun. Istilah menurun itu merupakan bagian dari konsep hubungan vertikal
yang terdiri atas atas atau naik (hormat) dan bawah atau turun (nonhormat).
Keakraban menurun menunjukkan hubungan akrab yang terjadi antara penuturmitra tutur yang dalam hal ini salah satunya mempersepsi diri lebih tinggi secara
sosial dan yang lainnya sebagai lebih rendah.
Keakraban itu terbina dari sejarah asal-usul yang sama yang menciptakan
kedekatan dan cenderung hanya terlihat pada kelas sosial bawah jaba. Hubungan
itu adalah antara ayah-anak, suami-istri, kakak-adik, dan pertemanan yang
berbeda umur (satu-dua generasi). Peserta tutur pertama yang dipersepsi lebih
tinggi pada kelas bawah menggunakan KK kepada peserta tutur kedua yang
dipersepsi lebih rendah; sedangkan, peserta tutur kedua yang lebih rendah
membalas dengan KB. KK yang digunakan tidak dimaksudkan untuk menandai
“kekasaran”, melainkan keakraban dan kekuasaan; sedangkan, KB untuk
menandai “kehormatan”.
Selain itu, keakraban menurun yang ditandai oleh KK itu hadir dalam
kerangka jaba atau terkadang triwangsa-jaba pada kelas sosial rendah karena
penggunaan KK secara nonsimetris hampir tidak terlihat pada kerangka identitas
259
jaba atau triwangsa dengan kelas sosial atas ataupun menengah. Berikut adalah
percakapan yang menunjukkan penggunaan KK secara nonsimetris.
(3)
Situasi: percakapan terjadi antara Gede (GDSCM) dan Wayan (WYPTCM) di
rumah WYPTCM di pagi hari. GDSCM bekerja sebagai tenaga kebersihan
di sebuah Kantor Pemerintah, sedangkan WYPTCM bekerja sebagai
pegawai toko di sebuah toko bangunan. GDSCM dan WYPTCM,
keduanya adalah laki-laki, berumur muda, dan berasal dari golongan jaba.
(1): WYPTCM De, ngalih nyen NANI mai?
‘De, cari siapa kamu kemari?’
(2): GDSCM
Beh, Beli, I Kadek ada?
‘Beh, Beli, Si Kadek ada?’
(3): WYPTCM Ada di tengah, nu MEDEM. Ibi kija dogen adi peteng gati
mara teka?
‘Ada di dalam, masih tidur. Kemarin kemana saja kok malam
sekali baru datang?’
(4): GDSCM
Sek timpale Bli, ajakine minum, trus mebalih VCD. Ada apa
seh? Adi gawat gati?
‘Ke rumah teman Bli, diajak teman minum, terus menonton
VCD. Ada apa sih? Kok gawat sekali?’
(5): WYPTCM Apa gawat? To nganteg jani nu MEMELUD, be telat ye
megae.
‘Apa gawat? Itu sampai sekarang belum bangun, sudah telat
dia bekerja.’
O? Yang ne kar nyemput ye be.
(6): GDSCM
‘O? Saya ini akan menjemput dia.’
(7): WYPTCM Nah, bangunang be LEAKE to! MEDEM gen gaene.
‘Iya, bangunkan dah orang itu! Tidur saja kerjanya.’
Nah Bli, yang ke kamarne jani.
(8): GDSCM
‘Iya Bli, saya ke kamarnya sekarang.’
(9): WYPTCM Nah, nah, kemu nake.
‘Iya, ya, kesana dong.’
Pada percakapan (3) WYPTCM menggunakan KK, sedangkan GDSCM
menanggapinya dengan KB. Kata-kata kasar yang digunakan adalah NANI,
MEDEM, MEMELUD, dan LEAKE yang mana penggunaan kata kasar berada
pada peringkat kedua, yakni 6,67%. Sebaliknya, kata biasa menempati jumlah
260
kata terbanyak, yakni 71,62%; selanjutnya, kata serapan BI, yakni 20,27%; dan
terakhir, kata serapan BIng, yakni 1,35%.
Penggunaan KK oleh WYPTCM yang diterima oleh GDSCM dan
ditanggapi dengan KB menunjukkan bahwa terdapat keakraban di antara
keduanya. Keakraban itu bersifat menurun dan tercipta karena WYPTCM
berumur lebih tua dan berperan sebagai kakak sehingga ia dianggap pantas untuk
dihormati oleh GDSCM. Dengan begitu, penggunaan KK menjadi pantas dan
tidak seharusnya ditanggapi balik dengan KK, tetapi dengan kode yang lebih
netral, yakni KB.
6.3.2 Faktor Pengungkapan Kemarahan dan Kesenjangan Status
Seperti pada penggunaan KK secara simetris, penggunaan KK secara
nonsimetris pada penutur-mitra tutur dapat juga terjadi karena dipengaruhi oleh
kemarahan, tetapi pada kerangka identitas sosial yang tidak setara. Kemarahan
yang dimaksud sudah dibahas dengan cukup detail pada 6.2.2 yang dalam hal ini
ditandai dengan kesenjangan identitas dipersepsi tinggi terutama menurut umur
(satu atau dua generasi) atau status pekerjaan. Ungkapan yang umum digunakan
jika KK digunakan pada orang tua adalah sing dadi cara keto ajak anak tua ‘tidak
boleh seperti itu dengan orang tua’. Ungkapan itu menunjukkan bahwa norma
berbahasa yang santun diberlakukan kepada orang tua.
Jika penutur yang berumur lebih tua atau berstatus sosial lebih tinggi itu,
apalagi ditambah dengan wangsa yang lebih tinggi, merasa kesal kepada mitra
tutur dan mengungkapkannya dengan KK. Sebaliknya, mitra tutur yang merasa
lebih rendah menurut variabel umur, status sosial, atau wangsa menerima
261
ungkapan emosional penutur itu dengan pasrah. Hal itu selanjutnya direalisasikan
dengan penggunan KK secara tidak simetris.
Penutur menggunakan KK untuk meluapkan kekesalannya, sedangkan
mitra tutur dapat menggunakan KA atau KB untuk menanggapi tergantung pada
siapa penuturnya yang tentu saja memiliki hierarki sosial yang lebih tinggi.
Sebaliknya, jika penutur yang marah itu memiliki hierarki status sosial lebih
rendah dari mitra tutur yang ingin dimarahi, biasanya ia tidak akan meluapkan
kekesalannya secara terbuka dengan KK. Dia akan merasa malu, takut, dan
sungkan, dan pada gilirannya mengeluarkan kekesalannya di tempat lain.
Jika penuturnya berumur lebih tua (satu atau dua generasi) atau berstatus
sosial lebih tinggi, dan berwangsa triwangsa, mitra tutur cenderung untuk
menanggapi dengan KA. Penggunaan KA memarkahi penghormatan dan juga
dimaksudkan untuk menyabarkan penutur. Sementara itu, jika penuturnya jaba,
mitra tutur cenderung untuk menanggapi dengan KB. Penggunaan KB menandai
penghormatan yang bercampur dengan rasa akrab dan solidaritas.
(4)
Situasi: Percakapan terjadi di jalan antara Anak Agung (AGSWBT) dan Kadek
(KDSRND). AGSWBT berumur tua dan bekerja sebagai pegawai biasa di
Pemerintah Daerah, sedangkan KDSRND berumur muda dan bekerja
sebagai pegawai toko.
(1):
AGSWBT
(2):
GDPRN
(3):
AGSWBT
(4):
GDPRN
KELENG NYAI maen srempet dogen? Dija kejang matane?
‘Sialan, main serempet saja? Dimana ditaruh matanya?’
AMPURA Pak AGUNG, TIANG sing sengaja, TIANG lakar
megae
‘Maaf Pak Agung, saya tidak sengaja, saya akan bekerja’
TIDIK sing sengaja. Yen ake kena, kenken terus
pertanggungjawaban CAINE?
‘Dasar tidak sengaja. Kalau saya kena, bagaimana
selanjutnya pertanggungjawabannya.’
NGGIH, TIANG ngidih pelih MANTEN. TEN ada maksud
262
(5):
AGSWBT
(6):
KDSRND
KENTEN
‘Ya, saya hanya minta maaf. Tidak ada maksud begitu’
Ne anak jalan gang adane, awas buin mani tepuk buin
ngebut?
‘Ini namanya jalanan gang, awas kalau besok terlihat ngebut
lagi.’
TEN ngebut, TIANG kapok
‘Tidak ngebut, saya kapok.’
Pada percakapan (4), AGSWBT meluapkan kekesalannya dengan
menggunakan KK dan KDSRND meminta maaf dengan KA. Untuk itu,
AGSWBT menggunakan pronomina persona nyai secara tidak simetris, dan kata
keleng, dan tidik. Bentuk nyai sesungguhnya diperuntukkan bagi perempuan,
tetapi jika digunakan untuk merujuk kepada pria, rasa kasarnya semakin menjadi.
Selain itu, komposisi kata pembentuk KK dari yang tebanyak ke terendah adalah
kata biasa, yakni 48%; kata serapan BI, yakni 24%; kata alus, yakni 22%; dan
kata kasar, yakni 6%.
KDSRND menggunakan KA karena ia dapat melihat kesenjangan sosial di
antara mereka menurut wangsa, status pekerjaan, dan umur. Selain itu, dengan
menggunakan KA sebagai penanda hormat, kekesalan AGSWBT dapat berkurang
dan dapat memaafkannya dengan segera.
6.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Biasa secara
Simetris
Penggunaan KB secara simetris dipengaruhi oleh faktor jaba, faktor
solidaritas interwangsa, faktor domain, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa.
263
6.4.1 Faktor Jaba
Faktor identitas jaba merupakan faktor utama yang paling berperanan bagi
penggunaan KB. Hal itu wajar secara normatif karena KB merupakan kode
pengantar bagi percakapan di antara sesama jaba, apalagi di Kota Singaraja yang
berbudaya egaliter.
Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa penutur jaba lazim untuk
menggunakan KB untuk bercakap-cakap dengan mitra tutur jaba dengan
mengabaikan variabel-variabel identitas yang lainnya. KB digunakan secara bebas
antara tua-muda, laki-perempuan, dan kelas sosial tinggi-kelas sosial menengahkelas sosial rendah . Dalam hal ini, KB bagi penutur jaba merupakan kode netral
yang tidak dimaksudkan untuk meninggikan ataupun menurunkan.
(5)
Situasi: percakapan terjadi antara Ketut (KTPTR) dan Kadek (KDBGA) di kantor
pemerintah tempat mereka bekerja KTPTR adalah seorang laki-laki jaba,
berumur tua, dan atasan dari KDBGA; sedangkan KDBGIA adalah
seorang laki-laki, berumur muda, dan berprofesi sebagai staf PNS biasa di
kantor pemerintah daerah.
(1):
(2):
(3):
(4):
(5):
KDBGA Pak, yang dadi ngidih honor baang timpal-timpale untuk acara
bersih-bersih ibi?
‘Pak, saya boleh meminta honor (untuk) diberikan kepada
teman-teman untuk acara bersih-bersih kemarin?’
KTPRT Nah, dadi. Ajak kuda megae? Mai aba daftar namane malu
apang jelas kuda pengeluarane
‘Ya, bisa. Berapa orang bekerja? Kemari bawa daftar namanya
dulu supaya jelas berapa pengeluarannya’
KDBGA Nah, Pak. Ajak enem, tapi Pak Kadek ye cuma setengah hari
‘Iya, Pak. Berenam, tetapi Pak Kadek dia cuma setengah hari’
KTPRT Nah, gaenang anake form honorne?Nyanan bapak tanda
tanganin, terus stor buin ke Bu Kadek.
‘Iya, buatkan dong format honornya? Nanti Bapak tanda
tangan, terus serahkan lagi ke Bu Kadek’
KDBGA Nah, Pak. Mani semengan be kepragatang.
‘Iya, Pak. Besok pagi diselesaikan’
264
(6):
KTPRT
Oke, Dek. Bapak pesu malu.
‘Ya, Dek. Bapak keluar dulu.’
Percakapan (5) terjadi dengan penggunaan KB secara simetris di antara
peserta tutur jaba, walaupun ada kesenjangan umur (tua-muda) dan status
pekerjaan (atasan-bawahan). Penggunaan KB yang simetris itu dibuktikan oleh
penggunaan kata biasa dengan persentase tertinggi, yakni 59,7%; diikuti oleh kata
serapan BI, yakni 37,1% dan kata serapan BIng, yakni 3,2%. Dalam hal ini,
penekanan pada faktor identitas jaba-lah yang menjadikan penggunaan itu.
6.4.2 Faktor Solidaritas Interwangsa
Selain digunakan di antara jaba, KB juga lazim digunakan oleh peserta
tutur yang berbeda wangsa, yakni antara jaba dan triwangsa, tetapi berumur
sebaya. Namun, penggunaan KB di antara mereka itu dimungkinkan karena
adanya solidaritas yang muncul. Sehubungan dengan itu, solidaritas yang ditandai
oleh penggunaan KB tidak harus solidaritas yang mendalam karena KB sendiri
sering dirujuk sebagai corak atau cita rasa berbahasa penutur Kota Singaraja.
Singkatnya, Solidaritas sederhana yang muncul karena persamaan-persamaan
sebagai teman sedesa, teman sehobi, teman sekolah atau bersekolah di tempat
yang sama, teman sepermainan, teman sekerja atau sekantor, dan lain-lain sudah
cukup untuk ditandai dengan KB.
(6)
Situasi: percakapan terjadi antara seorang anak agung (AGAT) dan temannya,
Kadek (KDBGA) di depan pusat perbelanjaan di Kota Singaraja. AGAT
adalah seorang perempuan, berumur muda, dan berprofesi sebagai Kepala
Subbagian di Sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Singaraja, sedangkan
KDBGIA adalah seorang laki-laki, berumur muda, dan berprofesi sebagai
guru honorer.
265
(1):
AGAT
(2):
KDBGA
(3):
AGAT
(4):
KDBGA
(5):
AGAT
(6):
KDBGA
(7):
AGAT
(8):
KDBGA
(9):
AGAT
(10): KDBGA
(11)
AGAT
(12)
KDBGA
Hai, Kadek o? tumben tepuk, kija dogen? Be kawin?
‘Hai, Kadek ya? Tumben ketemu, dari mana saja? Apakah
sudah menikah?’
AGUNG ne? keliang-kelieng dini dogen. Suba, be dua ngelah.
Men AGUNG kenken? Suba?
‘Agung ya? Kesana-kemari saja. Sudah, sudah dua punya
(anak). Terus Agung bagaimana? Apakah sudah?’
Encol gati o, be kuda umurne? Yang konden, aliang nah?
‘Cepat sekali ya, sudah berapa umurnya? Saya belum, carikan
ya?’
O nok, ane pertama be kelas dua SD, ane kedua nu bayi. Gaya
gen Agung he..., men yen yang sing ke kanggoang?
‘Iya, yang pertama sudah kelas dua SD, yang kedua masih
bayi. Ada-ada saja Agung in he.., terus kalau dengan saya
mau?’
Waduh, nu dogen ganjen cara pidan, men ane jumah dija
kejang?
‘Waduh, masih saja genit seperti dulu, terus yang di rumah
dibawa kemana?)’
Nah, dija men pantesne he. Nu megae di Kampus?
‘Ya, dimana pantasnya saja he. Apakah masih bekerja di
Kampus?’
Nu, kenken? Men Kadek dija jani?
‘Ya, bagaimana? Terus Kadek dimana sekarang (bekerja)?’
Nu, di tongose pidan, kara kanggoang nu ngonor, sing angkatangkate. Yen Agung mara ja?
‘Masih di tempat dulu, cuma masih honor, tidak diangkat –
angkat (menjadi PNS). Kalau Agung baru sudah?’
Beh, patuh dogen masi, Dek. Ne anak lakar kija ne? Istirahat
o?
‘Beh, sama saja juga, Dek. Ini mau kemana? Istirahat ya?’
O, ne sambil ngalihang panake baju sekolah, ane maluan be
daki.
‘Iya, ini sambil membelikan anak saya baju sekolah, baju yang
lama sudah kotor.’
Nah, lamun keto ke kalain malu Dek. Yang be pragat ne.
‘Iya, kalau begitu (saya) tinggal dulu Dek. Saya sudah selesai
(berbelanja)’
Nah, selamat gen.
‘Iya, selamat.’
Pada percakapan (6), penggunaan KB secara simetris terjadi antara dua
penutur sebaya yang senjang menurut wangsa, gender, dan status pekerjaan. Kata-
266
kata yang digunakan hampir semuanya berlevel biasa dengan sedikit ditambahi
oleh penggunaan kata serapan BI. Dalam hal ini, kata biasa digunakan sebanyak
83,97%, sedangkan kata serapan BI sebanyak 16,03%. Selain itu, penggunaan
bentuk pronomina pertama yang secara resiprokal dan istilah sapaan Agung-kadek
juga memperkuat penggunaan KB secara simetris.
Meskipun kesebayaan solider merupakan faktor penentu penggunaan KB
secara simetris, penutur jaba terkadang juga menggunakan KB untuk berbicara
dengan penutur triwangsa yang lebih tua (satu atau dua generasi) tanpa
mengindahkan kesenjangan lain seperti status pekerjaan atau gender, apalagi jika
penutur triwangsa tersebut berstatus kerja rendah. Hal itu juga terjadi dalam
hubungannya dengan faktor solidaritas interwangsa.
6.4.3 Faktor Domain
Domain penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan wangsa penutur juga
berpengaruh bagi penggunaan bahasa. Di domain keluarga, penutur jaba
menggunakan KB untuk berbicara di antara sesama anggota keluarga. KB
digunakan tanpa memperhatikan kesenjangan umur, gender, dan juga peran sosial.
Antara orang tua-anak berbicara satu sama lain dengan menggunakan KB; antara
suami-istri dengan KB; begitu juga antara paman-keponakan. KB menandai
kedekatan di antara anggota keluarga.
Di domain tetangga, penutur-mitra tutur jaba juga menggunakan KB
secara simetris tanpa mengindahkan kesenjangan umur, gender, dan juga status
pekerjaan. Penggunaan KB di domain tetangga berfungsi untuk menandai
solidaritas interjaba. Hal yang sama juga ditunjukkan pada penggunaan KB secara
267
simetris di domain masyarakat dan tempat kerja tidak hanya antara peserta tutur
antarjaba, bahkan antara peserta tutur jaba-triwangsa. Hal itu mengindikasikan
bahwa KB sudah dirasakan sebagai kode umum yang bersifat netral dan dapat
digunakan tanpa menimbulkan perasaan tidak dihargai di antara penutur pada
guyub tutur Kota Singaraja. Percakapan (7) menunjukkan interaksi dengan KB
yang terjadi di domain tetangga.
(7)
Situasi: Percakapan terjadi antara Wayan (WYAT) dan Kadek (KDBM) pada
suatu sore di domain tetangga. WYAT merupakan seorang perempuan,
tua, dan bekerja sebagai Kepala SubBagian di Kantor Pemerintahan
Daerah. Sementara itu, KDBM merupakan seorang perempuan, muda, dan
bekerja sebagai pegawai kantoran biasa di sebuah perusahan Finance di
Singaraja.
(1): WYAT Luh, mai jep melali mulih? Anak lakar kija ne? Adi tergesa-gesa
gati.
‘Luh, kemari dulu main ke rumah sebentar? Mau kemana ini?
Kenapa tergesa-gesa sekali.’
(2): KDBM Sing Bu, ne yang lakar kumah timpale. Be Mejanji di depan.
‘Tidak ada apa-apa Bu, ini saya akan ke rumah teman. [Dia]
berjanji menunggu di depan.’
(3): WYAT O keto? memangne lakar ke kantor, adi sanje?
‘O begitu? memangnya akan ke kantor, kenapa sore?’
(4): KDBM Ne timpale ada ngelah gae, kawin. Jani, rencana resepsine. Uli
semengan je sebenarne, tapi khusus untuk timpal-timpale di
kantor sanjaan. Yen sing keto, sing ada teka.
(Ini teman ada punya ‘acara’, menikah. Sekarang rencananya
resepsinya. Dari pagi sebenarnya, tetapi khusus untuk temanteman di kantor sorean. Kalau tidak begitu, tidak ada yang
datang’
(5): WYAT Melaang men, sing timpal cowok ane nongosin? nyanan I RATU
jealous.
‘Hati-hati ya, nggak teman cowok yang menunggu? Nanti Si
Ratu cemburu.’
(6): KDBM Buih, sing bani Bu, ane ngantiang anak timpal luh.
‘Buih, tidak berani Bu, yang menunggu teman perempuan.’
(7): WYAT Nah, adeng-adeng gen mejalan Luh.
‘Ya, pelan-pelan saja jalannya Luh.’
(8): KDBM Nah, Bu. Makasi.
‘Ya, Bu. Makasi.’
268
Pada percakapan (7), kedua penutur menggunakan KB secara simetris
yang ditunjukkan oleh penggunaan kata biasa yang tinggi, dan selanjutnya diikuti
oleh sedikit penggunaan kata serapan BI, kata alus, serta BIng. Penggunaan KB
itu dimungkinkan karena pertalian antara faktor domain dan faktor jaba. Sebagai
tambahan, persentase kata biasa yang digunakan adalah 76,19%; kata serapan BI
adalah 21,43%; kata alus adalah 1,19%; dan kata serapan BIng adalah 1,19%.
6.4.4 Faktor Budaya dan Sosialisasi Bahasa
6.4.4.1 Faktor Budaya
Istilah budaya berhubungan dengan dua konsep khusus, yakni kompetensi
budaya dan tindakan sosiobudaya. Kompetensi budaya merupakan sistem
pengetahuan yang dibentuk dan dipengaruhi oleh bagaimana pikiran manusia
memeroleh, menata, memroses informasi dan membuat “model realitas internal”
sehingga bersifat internal; sedangkan, tindakan sosiobudaya merupakan wujud
penerapan pengetahuan itu di lingkungan fisik sehingga bersifat eksternal. Budaya
itu bersifat spesifik dan unik tergantung pada guyub tutur itu sendiri.
Untuk mengetahui proses terbentuknya pola perilaku budaya pada suatu
guyub, kilas balik dan kajian sejarah sosial budaya guyub itu perlu untuk
dilakukan. Pertanyaan mengenai bagaimanakah guyub itu terbentuk, siapa-siapa
sajakah yang menjadi anggota guyub itu, bagaimanakah karakter fisik-sosial
anggota guyub itu, bagaimanakah pola pikir dan perilaku anggota guyub itu, dan
sebagainya perlu untuk diajukan guna memeroleh pemahaman yang komprehensif
tentang budaya suatu guyub.
269
Beberapa ahli, seperti Sastrodiwiryo (2011), Suryawan (2010), dan
Wingarta (2009) mengungkapkan bahwa budaya guyub tutur Kota Singaraja
(Buleleng) adalah budaya masyarakat pesisir yang berorientasi pada nilai-nilai
kebebasan, persamaan, dan keakraban. Dengan kata lain,
guyub tutur Kota
Singaraja adalah guyub yang berbudaya egaliter. Budaya egaliter mengedepankan
persamaan antarsesama manusia dan melihat bahwa manusia satu dan lainnya
adalah sama.
Budaya egaliter itu telah ada sejak zaman dulu yang didasari oleh beberapa
alasan sebagai berikut. Pertama, masyarakat Buleleng juga terdiri atas unsur-unsur
masyarakat Bali Aga, seperti Tigawasa, Sidatapa, Cempaga, Pedawa, dan lain-lain
yang memiliki pengaruh kuat pada budaya di Buleleng. Komunitas Bali Aga
merupakan penduduk Bali pertama sebelum gelombang pendudukan dari
Kerajaan Majapahit yang menggeser mereka ke sekitar wilayah pegunungan di
Buleleng. Komunitas itu bersifat egaliter dan memengaruhi budaya Buleleng
menjadi egaliter.
Kedua, masyarakat Buleleng sangat terbuka dan telah banyak menerima
pengaruh asing. Sebagai buktinya, pada abad kesepuluh ada jemaah-jemaah
Budha Mahayana yang telah datang untuk bermukim di Buleleng dan
menyebarkan agama Budha Mahayana. Kedatangan mereka ditunjukkan oleh
peninggalan beberapa prasasti dan adanya nama-nama daerah yang bernuansa
kebudhaan, seperti Padangkeling, Kaliuntu, Kalibukbuk, Kaliasem, dan Kalianget.
Selain itu, Keterbukaan itu juga berhubungan dengan peran Kota Singaraja
270
sebagai pelabuhan persinggahan yang ramai dikunjungi oleh pedagang asing
untuk keperluan berdagang.
Ketiga, Kota Singaraja juga banyak didatangi oleh “imigran” dari kerajaan
Gelgel yang tidak puas dengan kondisi kerajaan Gelgel. Para “imigran” itu
dikatakan sebagai orang-orang yang berpikiran terbuka dan keras sehingga
bermasalah dengan raja. Ketika mereka (banyak di antaranya adalah triwangsa)
datang untuk menetap, mereka diminta untuk melepaskan wangsa mereka dan
mengikuti adat atau aturan yang berlaku di wilayah yang ditempati.
Keempat,Raja Buleleng pertama, yakni Ki Gusti Panji Sakti juga dikenal
dengan karakter egaliternya dan wawasannya yang luas. Beliau tidak menilai
orang berdasarkan keturunan atau wangsa, melainkan berdasarkan kemampuan.
Karakter beliau itu dibuktikan dari komposisi inti pasukan beliau yang tidak
hanya terdiri atas orang-orang Bali, tetapi juga orang-orang dari etnis Bugis,
Makasar, dan Madura. Bahkan, syahbandar yang ditunjuk beliau untuk mengelola
pelabuhan bukanlah orang etnis Bali, tetapi orang Eropa yang bernama Mossel
dan Michiels.
Kelima, setelah kekuasaan Ki Gusti Panji Sakti berakhir, Buleleng selalu
berada pada kondisi bergejolak karena perebutan kekuasaan, baik antarsaudara
maupun dengan kerajaan Karangasem. Selain itu, pada masa kekuasaan Belanda,
Buleleng berada di bawah perintah langsung seorang kanselir Belanda dan tidak
di bawah kekuasaan seorang raja Bali, seperti kerajaan Bali yang lain. Kedua hal
itu berakibat pada pudarnya pengaruh puri dan mendorong munculnya budaya
maboya (Wingarta, 2009:2-3), yakni suatu pola perilaku meremehkan atau antipati
271
terhadap hal-hal yang dianggap tidak praktis dan kurang bermanfaat secara nyata.
Budaya maboya itulah yang mengakibatkan pengabaian dari guyub tutur Kota
Singaraja terhadap hal-hal yang berbau tradisi, budaya, dan politik.
Keberadaan budaya egaliter mendorong penggunaan suatu bahasa umum
yang mencirikan solidaritas yakni KB. KB merupakan bentuk bahasa yang
menandai kenetrala, kesolideran, dan keakraban. KB menandai kenetralan karena
kode itu tidak meninggikan atau merendahkan, tetapi biasa-biasa saja. Selain itu,
KB muncul dari golongan mayoritas, yakni penutur jaba dan menjadi bagian dari
identitas kejabaan. Dengan demikian, KB telah berkembang menjadi semacam
kode umum, terutama pada penutur jaba yang merupakan penutur mayoritas.
Meskipun budaya guyub Kota Singaraja berciri umum egaliter, tetapi
guyub itu juga memiliki anggota guyub triwangsa yang terdiri atas wangsa ksatria
yang merupakan keturunan langsung dari Ki Gusti Panji Sakti serta ksatria yang
lainnya,
brahmana,
dan
wesia.
Anggota
guyub
triwangsa
itu
masih
mempertahankan pola perilaku yang berbeda dengan pola perilaku anggota guyub
mayoritas. Anggota guyub itu dibesarkan di balik tembok puri, gria, atau jero;
mempertahankan pola pikir hierarkis berbasis keturunan; dan berorientasi pada
nilai-nilai tradisional wangsa.
Penutur triwangsa itu, karena latar belakang pola pikir budaya yang
berbeda, mengembangkan cita rasa bahasa yang berbeda dengan penutur jaba.
Mereka merasa bahwa kehormatan merupakan bagian yang sangat penting bagi
pergaulan di masyarakat dan setiap orang perlu untuk dihormati, apalagi orang-
272
orang dengan asal-usul tertentu. Oleh karena itu, mereka merasakan pentingnya
KA dan KB sebagai penanda bagi kesenjangan status sosial.
Namun, karena tekanan yang tinggi dari keegaliteran guyub tutur Kota
Singaraja penutur triwangsa kurang dapat menerapkan pola penggunaan bahasa
tradisional. Mereka mengubah perilaku berbahasa mereka menjadi lebih lunak
atau fleksibel. Pada berbagai kesempatan, mereka kerap terlibat pada percakapan
dengan penutur jaba yang tidak memiliki kesenjangan identitas yang tinggi
dengan menggunakan KB secara resiprokal.
6.4.4.2 Faktor Sosialisasi Bahasa
Hudson (1982) mengungkapkan bahwa keunikan sosiolinguistik masa lalu
individu merupakan sumber penting bagi perbedaan antarpenutur. Seorang anak
ketika dilahirkan dan dibesarkan pada suatu kelompok tertentu akan tersosialisasi
di dalam kelompok itu dan untuk itu, bahasa menjadi instrumen penting. Bahasa
membantu seorang anak untuk mempelajari bagaimana cara kerja kelompoknya,
yakni apa yang boleh (tidak boleh), apa yang dianggap penting (tidak penting),
dan bagaimana cara menjadi anggota kelompok yang kompeten.
Hudson (1982) juga menambahkan bahwa untuk berbicara dan menjadi
anggota kelompok yang kompeten, seorang anak membutuhkan model untuk
ditiru. Dari umur nol sampai dengan tiga atau empat tahun, model itu adalah orang
tua; dari umur tiga atau empat tahun sampai dengan tiga belas tahun adalah teman
sebaya; dan dari umur tiga belas tahun sampai seterusnya adalah orang dewasa
lainnya.
273
Bahasa awal yang disosialisasikan pada keluarga jaba adalah KB. KB
diperkenalkan kepada seorang anak jaba sejak lahir dan menjadi bahasa pengantar
di dalam keluarga. Model pertama anak tersebut adalah keluarga; selanjutnya,
anggota keluarga terdekat yang lain; kemudian, tetangga dan teman bermain; dan
terakhir, anggota masyarakat yang lain. Dalam hal ini, KB disosialisasikan
melalui pemodelan dan penjelasan secara eksplisit.
Kode biasa menjadi bahasa pertama yang dikuasai oleh penutur jaba yang
mewarnai pola pikir dan cita rasa berbahasa mereka. Kode itu telah mendapat
dukungan masyarakat luas dan mendapat predikat sebagai kode umum sehingga
seorang anak jaba di Kota Singaraja dapat memperoleh eksposur KB yang luas.
Dengan demikian, seorang anak jaba dapat menguasai KB dengan cepat dan
menggunakannya secara fasih.
Namun, secara tradisional KB dianggap sebagai bahasa rendah dan bahkan
beberapa ahli bahasa mengklasifikasikan KB sebagai TT kasar (lihat Sutjiati,
1999:73). Dengan demikian , KB seharusnya digunakan secara nonsimetri oleh
penutur triwangsa kepada mitra tutur jaba atau secara simetri di antara sesama
penutur jaba. Akan tetapi, bagi penutur guyub tutur Kota Singaraja yang berciri
heterogen, egaliter, dan memiliki budaya maboya yang tinggi, KB bukanlah
bahasa rendah; melainkan, basic language ‘bahasa dasar’ yang bersifat umum.
Walaupun bukan merupakan kesepakatan umum di Bali, KB oleh guyub
tutur Kota Singaraja dinyatakan berasa netral. Oleh karena itu, KB dianggap dapat
digunakan secara simetris pada pergaulan intra- dan interwangsa. Selain itu, KB
adalah bahasa solidaritas. Bahasa yang digunakan sesama teman dan bahasa yang
274
digunakan oleh sesama manusia yang sejajar. Hal ini mencerminkan ciri umum
penutur guyub tutur Kota Singaraja yang bisa bergaul dan dapat akrab dengan
cepat dengan mitra tutur yang baru dikenal.
Sikap solidaritas itu ditunjukkan melalui berbagai moto yang didasarkan
pada pola pikir egaliternya. Di antaranya, yang paling populer adalah “Buldog”
yang merupakan akronim yang sangat populer dari Buleleng dogen ‘Buleleng
saja’. Motto itu pertama berfungsi untuk menyatukan rasa di antara orang-orang
Buleleng dan untuk berbicara sebagaimana orang Buleleng berbicara. Di samping
untuk menyatukan rasa, motto itu juga mengindikasikan bahwa guyub tutur
Buleleng memiliki ciri khas yang berbeda dengan guyub tutur lainnya. Salah satu
ciri khas yang terkenal itu adalah penggunaan bahasanya yang khas.
Moto yang lainnya adalah de bes aeng ‘jangan terlalu serius’; masi lakar
alih uled ‘juga akan dimakan ulat’, atau masi pada lakar ngalih tanahe duang
meter ento ‘juga sama akan mencari tanah yang dua meter itu’. Moto itu semua
adalah untuk mengungkapkan bahwa semua orang sama, hanya terdiri atas darah
dan daging saja dan pada akhirnya akan mati. Ungkapan itu bermakna keras dan
memperlihatkan bagaimana solidaritas dan keegaliteran dijunjung tinggi oleh
guyub tutur Kota Singaraja.
Percakapan (8) menunjukkan penggunaan kode yang terjadi pada domain
keluarga antara suami-istri. Mereka merupakan partisipan yang berada pada
kategori umur tua, dan memiliki status pekerjaan tinggi.
(8)
Situasi: percakapan terjadi antara seorang suami, Pak Kadek (KDAD) dan
istrinya, Bu Wayan (WYAD) di rumah. Keduanya berumur tua, dan
berwangsa jaba. Selain itu, KDAD berprofesi sebagai kepala bagian di
275
kantor Pemerintah Daerah, sedangkan sang istri adalah seorang kepala
Sekolah.
1:
WYAD
2:
KDAD
3:
WYAD
4:
KDAD
5:
WYAD
6:
KDBD
7:
8:
WYAD
9:
KDBD
Pak, Pak Komang tuni ngoraang lakar mai sanjane jani?
‘Pak, Pak Komang tadi mengatakan akan kemari sore ini?’
Nyen ajake? Ponakane milu kone?
‘Siapa diajak? Ponakannya ikut katanya?’
Oo Pak, nak lakar ngengken sebenarne, adi tuni waktu tepuk di
peken sing kodak ramahne? Uli joh mara parkir, be nyagjag
misi ngoraang OM SWASTIASTU. Beh, bes tumben gati.
‘Ya Pak, akan ada apa sebenarnya, kenapa tadi sewaktu
bertemu di pasar kok sangat ramah? Dari jauh baru parkir,
langsung menghampiri menyebutkan ‘Om Swastiastu’. Ai,
tumben sekali.’
Memangne sebelumne ye sing taen nyak mecapatan, berarti
ngagu gati anak ne o?
‘memangnya sebelumnya dia tidak pernah mau menyapa,
berarti “tidak perhatian” sekali orangnya ya?’
Sing je keto, mecapatan-mecapatan je ye, tapi sing cara keto.
Paling mekenyem dogen, sing taen ngomong.
‘Tidak juga begitu, menyapa sih menyapa dia, tetapi tidak
seperti itu. Paling banter hanya senyum saja, tidak pernah
ngomong.’
Oo? berarti ia bermaksud berakrab-akrab to, nah pantes ja
masi…
‘Oo, berarti dia itu bermaksud berakrab-akrab, ya pantas juga.’
Ye mai nak lakar ngidihang ponakane gae di kantor, dadi apa
gen kone sing kenken, asal megae gen. Tuni maan ngobrolngobrol bedik ajak timpale. Kemungkinan kone di cleaning
service ngidaang nerima. Ongkane sih ditu ke idiang gae. Tapi,
bos cleaning service sing maan tepuk, semengan be ulesneye
mulih.
‘Dia kemari untuk memintakan keponakannya pekerjaan di
kantor, dengan demikian apa saja katanya tidak apa-apa, asal
kerja saja. Tadi dapat mengobrol sedikit dengan teman.
Kemungkinan di cleaning service bisa menerima. Maunya
disana dimintakan pekerjaan. Tetapi, bos cleaning servicenya
belum ketemu, mungkin pagi sudah pulang.’
Juari Pak ngejang anake ditu? Cara sing ada tongos len.
‘Tidak malukah Bapak menaruh dia disana? Seperti tidak ada
tempat lain.’
Ah, sing je masalah, kebetulan ye masi anak cuma tamatan
SMP gen, men gae apa baang? Yen sing cleaning service,
berarti tukang ngae teh atau jongos? To kan patuh gen. Kan
luungan di cleaning service, masuk jam setengah nem, jam
dasa be mulih. Mekeneh masak, manting, melali kan ngidaang,
276
10:
WYAD
11:
KDBD
12:
WYAD
13:
KDBD
14:
WYAD
15:
KDBD
16:
WYAD
jeg liu ngelah waktu sisa.
‘Ah, tidak masalah, kebetulan dia juga cuma tamatan SMP saja,
terus pekerjaan apa diberikan? Kalau bukan cleaning service,
berarti tukang buat teh atau jongos? Itu kan sama saja. Tentu
saja lebih bagus di cleaning service, masuk jam setengah enam,
jam sepuluh sudah pulang. Mau masak, nyuci, keluar kan bisa,
banyak punya waktu luang’
Nah be je keto, ane lekin kan ye nyanan sing juari ditu.
‘Ya sudah kalau begitu, yang nanti buat malu kan kalau dia
malu disana.’
Sing je ade keto Yan. Jaman jani aget be maan gae, yen ye
seken buin nasibne luung, nyen nawang mangkat dadi PNS he,
buktine di kantor bupati kan liu cleaning service mangkat dadi
PNS.
‘tidak begitu Yan. Jaman sekarang sudah syukur dapat kerja,
kalau dia tekun dan nasibnya baik, siapa tahu bisa diangkat
dengan demikian PNS he, buktinya di kantor bupati kan banyak
cleaning service diangkat menjadi PNS.’
To kan ipidan Pak, yen jani kenkenange je ye mangkat?
(Itu kan dulu Pak, kalau sekarang bagaimana caranya dia
diangkat?)
Nah, care anake ngoraang, terkabul tidaknya kan sing IRAGA
nentuang, to Ne Beduur ngelah urusane. Yen sing jodo lakar
sing ada apa, tapi yen jodo dadine cara Wayan jak Beli.
‘Ya, seperti kata orang, terkabul tidaknya bukan kita yang
menentukan, itu Yang Diatas yang punya urusan. Kalau tidak
jodoh tidak akan ada apa-apa, tetapi kalau jodoh jadinya seperti
Wayan dan Kakak.’
Beh, cara Wayan ajak Beli. Keto ipidan sing kodak getapne,
mara ketebine gen bedik ken Bapak langsung Pak melaib ambil
langkah seribu. Be keto, nitip pesen be jak cerik-cerike dini
nagih metepuk, nyen sing nawang Pak?
‘Beh, seperti Wayan dan Kakak. Begitu pengecutnya dulu, baru
digertak sedikit saja oleh Bapak langsung Pak lari ambil
langkah seribu. Sudah begitu, menitip pesan kepada anak-anak
disini minta ketemu, siapa yang tidak tahu bapak?’
Bu, to kan masa lalu, buinan, keto serem tampang matuane,
asane jeg nagih goroke dogenan. Di kantor gen, sampe jani
sing ada bani ken Bapak.
‘Bu, itu kan masa lalu, selain itu, begitu seram tampang mertua,
rasanya mau digorok saja. Di kantor saja, sampai sekarang
tidak ada yang berani pada bapak.’
To sing serem sing adane, to adane berwibawa, sing cara pak
kenyar-kenyir gen, apalagi yen nepukin I Luh di kantor, meh
sing kodak manis kenyem Bapa’e. Mara ye ngomong “Selamat
pagi, Pak”, sing kodak berdebar-debar jantunge be o? Sampe’
277
17:
KDBD
18:
WYAD
19:
KDBD
20:
WYAD
21:
KDBD
ane di samping sing ingetange.
‘Itu tidak seram namanya, itu berwibawa, tidak seperti Bapak
cengar-cengir, apalagi kalau bertemu Si Luh di kantor, waduh
manisnya senyum bapak. Baru dia ngomong “Selamat pagi,
Pak”, kencang sekali debaran jantungnya ya? Sampai-sampai
yang di sebelah tidak diingat.’
Buih, adi keto Ibu ngomong, sing ade keto, ajak anak buah kan
memang harus ramah, berusaha pang ye nyaman. Buin pidan
kan aluh tunden, yen serem ken anak buah, nyen lakar korain
ngerunguang.
Ane waktu to, yang to mendep karena
ngenehang ngae perencanaane ane konden pragat to. De anake
macem-macem Yan, nyanan ke diman pone, pang tawange
asane.
‘Buih, kok Ibu bicara begitu, tidak ada seperti itu, dengan anak
buah kan memang harus ramah, berusaha membuat dia nyaman.
Nanti biar gampang disuruh, kalau keras dengan anak buah,
siapa yang akan perduli. Yang waktu itu, saya diam karena
berpikir untuk membuat perencanaan yang belum selesai.
Jangan macam-macam Bu, nanti saya cium baru tahu rasa.’
O keto he, lamun mekeneh niman, dadi gen, tapi inget
bayarannya mahal lo?
‘O begitu he, kalau memang mau cium boleh saja, tapi ingat
bayarannya mahal lo?’
Bih, sing inget, kaden pidan be keidih. Be terus bapak-ibu’e
ngemaang ngidih, berarti kan Luh be yang ngelaang. Terserah
saya dong mau diapakan he.
‘Bih, tidak ingat, dulu kan sudah diminta. Sudah kemudian
bapak- ibu memberikan, berarti kan Luh sudah saya yang
punya. Terserah saya dong mau diapakan he.’
Beh, Bapak keto gen omongange sing med-med, yang ke paon
malu ngoreng tempe. Panake nagih tempe manis, tulungin nake
yang di paon.
‘Beh, Bapak tidak bosan-bosan ngomong begitu saja, saya ke
dapur dulu untuk mengoreng tempe. Anak kita minta tempe
manis, tolong dong saya di dapur.’
Nah, bensepan. Jani lakar ngetep bonsaine di muka malu,
samah gati done.
‘Ya, sebentar. Ini akan memotong bonsai di depan dulu, banyak
sekali daunnya.’
Percakapan (8) menunjukkan penggunaan KB yang intens di antara suamiistri jaba di domain keluarga. Penggunaan kata biasa mendominasi dengan
278
persentase 72,08%; selanjutnya, diikuti oleh kata serapan BI, yakni 25,62%; kata
serapan BIng 2,1%; dan kata serapan BS 0,38%.
Sebagai penutur jaba, mereka dibesarkan di dalam keluarga masingmasing melalui KB. Selanjutnya, ketika mereka bersatu membangun keluarga
sendiri, KB juga mereka jadikan sebagai bahasa pengantar di dalam keluarga. Hal
itu berarti bahwa KB telah digunakan secara turun temurun di dalam keluarga.
Selain KB, anggota guyub juga mempelajari KK, KA, dan BI. KK
umumnya diperoleh secara bersamaan dengan KB. Penutur-penutur yang dekat
dengan KB umumnya tidak segan untuk terkadang mengungkapkan emosi negatif
dengan KK sehingga anak-anak mereka dengan cepat bisa memperoleh atau
menguasai KK. Pemerolehan KK itu semakin difasilitasi karena KK hanya terdiri
atas beberapa kosakata kasar saja.
Berbeda dengan KK, kebanyakan anggota guyub jaba menjelaskan bahwa
mereka memperoleh KA untuk pertama kali di Sekolah Dasar. Dahulu ketika
mereka SD ketika mereka kelas satu atau dua, bahasa pengantar yang digunakan
pada mereka masih BB, sedangkan BI diajarkan secara perlahan sebelum akhirnya
mendominasi. BB yang digunakan di sekolah adalah KB dan KA, walaupun KA
yang digunakan bukan KA yang sangat alus, yakni alus madia. Selain itu,
pelajaran bahasa Bali pada Sekolah-Sekolah Dasar dahulu juga memberikan
penggunaan KA, meskipun seadanya.
Sayangnya, eksposur KA yang diberikan di Sekolah Dasar tidak
dilanjutkan di rumah dan di keluarga karena KA cenderung hanya muncul di
keluarga-keluarga triwangsa dan pada interaksi dengan peserta tutur triwangsa
279
saja. Oleh karena itu, penutur jaba Kota Singaraja memiliki kecenderungan untuk
tidak fasih menggunakan KA. Mereka cenderung hanya menguasai kosakata alus
madia dengan jumlah yang terbatas dan tidak yakin dengan kemampuan
berbahasa alus mereka. Sebagai salah satu buktinya, jika seorang penutur jaba
diminta untuk menghadap ke gria kepada seorang pendeta brahmana untuk
meminta nasehat spiritual, tanggapan pertama yang sering diberikan adalah sing
juari nok soalne yang sing bisa basa alus ‘malu karena saya tidak bisa berbahasa
halus’. Selanjutnya, mereka meminta orang lain yang memiliki kemampuan yang
baik pada KA untuk menyertai.
BI juga dipelajari pertama kali di sekolah dasar pada zaman dahulu, tetapi
dengan sangat intensif. Secara perlahan, BI menggantikan BB dan menjadi bahasa
pengantar di sekolah. Intensitas praktik penggunaan dan komunikasi dalam BI,
terutama antara guru dan siswa tinggi sehingga anak-anak dapat dengan cepat
fasih berbahasa Indonesia.
6.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Biasa secara
Nonsimetris
Penggunaan KB secara nonsimetris yang dimaksudkan pada penelitian ini
adalah penggunaan antara KB-KA. Dalam hal ini, KA dilihat sebagai bentuk
tinggi yang digunakan untuk menandai bentuk hormat, sedangkan KB dilihat
sebagai bentuk rendah yang menandai bentuk tidak hormat. Namun, penggunaan
KB dan KA secara nonsimetris kurang umum pada guyub tutur Kota Singaraja.
280
Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan KB secara
nonsimetris adalah faktor kesenjangan status yang tinggi atau faktor kekuasaan.
6.5.1 Faktor Kesenjangan Status yang Tinggi
Perbedaan status normatif yang umumnya dapat mewujudkan terjadinya
penggunaan KB secara nonsimetris adalah perbedaan wangsa antara penutur-mitra
tutur. Secara umum, penutur jaba diharapkan untuk menggunakan KA ketika
bertutur dengan penutur triwangsa; sebaliknya, penutur triwangsa dapat
menggunakan KB ketika bertutur dengan penutur jaba.
Akan
tetapi,
hal
seperti itu tidak terlalu berterima pada guyub Kota Singaraja yang tidak
membiasakan pertanyaan nunasang antuk linggih untuk bertanya tentang wangsa
seseorang agar dapat menyesuaikan pilihan kode tutur. Oleh karena itu, perbedaan
wangsa itu umumnya perlu untuk diperkuat oleh perbedaan umur yang tinggi
sekitar satu atau dua generasi untuk memastikan terjadinya penggunaan KB secara
nonsimetris.
Bila penutur triwangsa tersebut berumur satu atau dua generasi lebih tua
dari penutur jaba, maka penutur jaba memiliki kecenderungan untuk
menggunakan KA. Akan tetapi, penutur triwangsa tersebut tidak selalu
menanggapi dengan KB (lihat percakapan 12 dan 13), apalagi jika percakapan itu
terjadi di rumah penutur triwangsa tersebut. Penutur triwangsa umumnya merasa
sangat dihormati dan cenderung sungkan untuk membalas dengan KA jika diajak
bercakap-cakap dengan KA di rumahnya. Oleh karena itu, terciptalah penggunaan
KA secara simetris.
281
Justru yang lebih sering terjadi adalah hal yang sebaliknya. Penutur
triwangsa terutama yang berumur muda dan yang terdidik baik di keluarga
menggunakan KA untuk bercakap-cakap dengan penutur jaba yang satu atau dua
generasi lebih tua, apalagi berstatus sosial lebih tinggi. Penutur jaba tersebut
terkadang tidak sungguh-sungguh menyadari bahwa dia diajak bertutur dengan
KA –karena sudah terbiasa dengan KB –tetap menggunakan KB. Akan tetapi,
jika dia menyadari hal itu, dia dengan segera memperhalus penggunaan bahasanya
dengan KA.
6.5.2 Faktor Kekuasaan
Brown dan Gilman (1960) mengartikan kekuasaan sebagai kekuatan yang
memungkinkan seseorang untuk dapat mengendalikan, atau memengaruhi
perilaku orang lain. Kekuasaan bersifat mengukuhkan hubungan nonsimetris di
antara penutur berdasarkan parameter-parameter yang telah disahkan bersama,
seperti status ekonomi, status politik, dan sebagainya. Berdasarkan perbedaan
kekuasaan, selanjutnya dapat ‘disepakati’ siapa yang berkuasa, dan siapa yang di
bawah kuasa yang berimplikasi pada penggunaan sapaan yang tidak simetris.
Kesenjangan wangsa sebagai penentu perbedaan kekuasaan di guyub Kota
Singaraja kurang cukup bagi penggunaan kode secara nonsimetris. Hal itu terlihat
dari tingginya interaksi pada penutur antarwangsa dengan menggunakan KB.
Malah, ketika penutur jaba ditanya apakah tidak akan menimbulkan
ketersinggungan kepada penutur triwangsa jika penutur jaba menggunakan KB,
jawaban yang diberikan adalah sing kenken ‘tidak apa-apa’, atau sing perlu ngae
ngon ‘Tidak perlu membuat orang lain kagum’. Terkadang jawaban itu
282
dilanjutkan masih lakar sing ngasilang apa ‘juga tidak akan menghasilkan apaapa’. Jawaban-jawaban itu menunjukkan sikap yang kurang kondusif terhadap
penggunaan KA.
Tipe penutur jaba tertentu juga lazim menggunakan KA kepada penutur
triwangsa, tetapi harapan penutur jaba itu adalah ditanggapi dengan kode yang
sama (KA), apalagi jika penutur jaba itu memiliki status pekerjaan yang lebih
tinggi atau lebih tua. Dengan kata lain, penggunaan KA secara simetrislah yang
diharapkan. Ungkapan yang sering digunakan untuk melegitimasi penggunaan
simetris ini adalah Ngudiang yang oraine ngormatin ia, lamun ia sing
menghormati yang? ‘Kenapa saya disuruh menghormati dia, kalau dia tidak
menghormati saya’. Sebagai akibatnya, jika penggunaan KA penutur jaba
ditanggapi dengan KB oleh penutur triwangsa, maka penggunaan KB secara
simetris cenderung segera terjadi.
Sehubungan dengan hal itu, faktor kekuasaan yang dimaksudkan terkait
dengan pertanyaan “Sejauh mana penutur itu memengaruhi kehidupan orang
lain/masyarakat sekitar secara pribadi?” Jawabannya terkait dengan pola pikir
egaliter yang telah merasuki guyub Kota Singaraja. Pola pikir egaliter tidak
membandingkan orang berdasarkan kelahiran, tetapi berdasarkan prestasi kerja
dan sumbangan nyata terhadap masyarakat umum.
Penutur yang dipandang berkuasa adalah penutur dengan profesi tertentu,
seperti pendeta brahmana, pemangku ‘pemimpin upacara di pura’ senior, dokter,
anggota dewan perwakilan rakyat, kepala-kepala di pemerintahan daerah,
pengacara, pemuka agama, dan sebagainya. Selain itu, para tetua triwangsa dan
283
kerabat langsung puri yang tinggal di Puri Singaraja dan Puri Sukasada juga
dianggap berkuasa. Mereka itu adalah orang-orang yang terkemuka, dan telah
memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi kemaslahatan hidup orang
banyak di Kota Singaraja. Pada penutur-penutur yang dianggap berkuasa itu,
penggunaan KA diberlakukan, dan jika ditanggapi dengan KB, tanggapan itu
dianggap berterima. Pada gilirannya, penggunaan KB-KA secara tidak simetris
dimungkinkan (lihat Percakapan 9).
(9)
Situasi: percakapan terjadi antara Jero Pasek (JRPK) dan Putu (PTAT) di rumah
JRPK. Keduanya berumur tua dan berwangsa jaba. Selain itu, JRPK
berprofesi sebagai pemangku ‘pemimpin upacara di pura’, sedangkan
PTAT berprofesi sebagai petani dan sekaligus pedagang kecil di pasar.
1:
PTAT
2:
JRPK
3:
PTAT
4:
JRPK
5:
PTAT
SWASTIASTU JERO, AMPURA NIKI mengganggu? Sibuk
NIKA?
‘Swastiastu [salam] Jero, maaf mengganggu? Apakah sibuk?’
Ye Pak Putu, amonean dogen. Negak malu? Ada apa mai?
‘O, Pak Putu, begini-begini saja. Duduk dulu? Ada apa
kemari?’
KENTEN TIANG mastiang lakar payu NUNAS KARYA buin
petang dina, SAMPUNANG LALI JERO?
‘Begini, saya memastikan akan dengan demikian ‘meminta’
upacara empat hari lagi, jangan lupa Jero?’
Beh, ada-ada gen Pak Putu. Semengan gati, JERO pasti be ada
ditu. Siapang men makejang, apang tinggal nganteb dogen!
‘Beh, ada-ada saja Pak Putu. Pagi sekali Jero pasti sudah ada
disana. Siapkan semuanya agar tinggal melaksanakan saja?’
NGGIH, TIANG ngingetang KENTEN dogen, LAMUN
KENTEN, TIANG MANGKIN PAMIT.
‘Iya, saya mengingatkan itu saja, kalau begitu saya permisi
sekarang.’
Pada percakapan (9), PTAT menggunakan KA yang ditanggapi oleh JRPK
dengan KB sehingga penggunaan kode secara tidak simetris terjadi. Komposisi
kata yang menyusun percakapan itu adalah kata biasa, yakni 53,13%; kata alus,
yakni 26,56%; kata serapan BI, yakni 18,75%; dan kata serapan BS, yakni 1,56%
284
secara berurutan. Dalam hal ini, kata-kata alus itu hanya digunakan oleh PTAT
kepada JRPK; sedangkan, JRPK menggunakan KB.
Penggunaan KB-KA secara tidak simetris dimungkinkan, karena mereka
memiliki perbedaan kekuasaan yang telah disepakati oleh mereka dan masyarakat.
JRPK adalah seorang ‘pendeta’ di pura yang bertugas untuk menangani upacara
keagamaan, sedangkan PTAT adalah seorang anggota masyarakat biasa. Sesuai
dengan kebiasaan yang berlaku, PTAT menggunakan KA untuk bertutur dengan
JRPK, sedangkan JRPK dapat menanggapi dengan KB/KA.
Kata biasa yang digunakan adalah amonean, dogen, negak, malu, mai,
buin, etang, dina, ada-ada, gen, semengan, gati, ditu, apang, dan nganteb;
sedangkan kata alus yang digunakan adalah AMPURA, NIKI, NIKA, KENTEN,
NUNAS, KARYA, SAMPUNANG, LALU, NGGIH, MANGKIN, dan PAMIT.
Selain itu, PTAT juga menggunakan pronomina persona alus madia ‘TIANG’
untuk merujuk ke dirinya dengan tujuan untuk merendahkan diri dan
menggunakan bentuk honorifik JERO untuk merujuk kepada JRPK.
Selain itu, penutur triwangsa terutama yang berumur lebih muda di ranah
pekerjaan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menggunakan KA kepada
atasannya yang berumur lebih tua. Bagi mereka, atasan seperti itu layak untuk
memperoleh penghormatan dengan menggunakan KA. Hanya saja, atasan yang
berwangsa jaba kerap tidak menanggapi dengan kode yang sama. Hal itu tentu
saja mendorong penggunaan KB-KA secara tidak simetris.
285
6.6 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Kode Alus secara
Simetris
Penggunaan KA secara simetris dipengaruhi oleh faktor kekerabatan pada
triwangsa, faktor saling menghormati, faktor domain, faktor latar, faktor topik
tutur, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa pada triwangsa.
6.6.1 Faktor Kekerabatan pada Triwangsa
Faktor kekerabatan menunjukkan adanya pertalian darah di antara
sekelompok orang tertentu, yang menjadikan mereka sebagai suatu keluarga.
Keluarga itu dapat berupa keluarga kecil yang terdiri atas orang tua dan anakanak, atau keluarga besar sampai meliputi paman jauh, bibi jauh, saudara sepupu
jauh, mertua, dan ipar.
Penutur triwangsa menggunakan KA untuk bertutur dengan para
kerabatnya, baik kerabat triwangsa maupun kerabat jaba. Ketika bertemu dengan
seorang kerabat seorang penutur triwangsa akan dengan segera menggunakan KA
tanpa menghiraukan tempat, ranah, ataupun topik tutur. Sementara itu, kerabat
yang diajak bertutur tentu saja menanggapi dengan KA dan selanjutnya
penggunaan KA secara simetris terwujud. Untuk lebih jelasnya, lihat percakapan
(10) yang terjadi di antara kerabat triwangsa.
(10)
Situasi: percakapan terjadi antara seorang suami (IBSTBT) dan istrinya
(DYSNB), keduanya berasal dari kalangan Ida Bagus (Brahmana), di
rumah tangga. IBSTBT berprofesi sebagai pegawai negeri biasa di sebuah
lembaga pendidikan tinggi negeri di Kota Singaraja, sedangkan DYSNB
bertugas untuk mengelola toko milik keluarga. Umur keduanya berada
286
pada kategori tua. Selain itu, sebelum menikah mereka adalah saudara
sepupu.
(1):
(2):
(3):
(4):
(5):
DYSNBT JI, LUNGA kija MANGKIN? ADOS PUN encol? Kan WAU
PISAN nganteg di GRIA.
(Ayah, mau kemana sekarang? Kenapa sudah cepat? Kan
baru saja sampai di rumah.)
IBSTBT Jeg curiga gen RABIN TIANGE nok, Aji kar mebalih sepak
bola DUMUN di ruang tamu. WAU RAUH uli kantor, peluan,
makane MESIRAM DUMUN pang seger. MANGKIN,
MEKARYA kopi sambil mebalih sepak bola, TEN keto ne
BECIK Bu he..
(Kenapa curiga saja istriku ini, Ayah akan menonton sepak
bola dulu di ruang tamu. Baru datang dari kantor, keringatan,
makanya mandi dulu supaya segar. Sekarang, buat kopi
sambil nonton sepak bola, kan begitu yang bagus Bu he..)
DYSNBT NGGIH, kaden TIANG lakar kija, biasane BUDAL uli kantor
langsung megelebug SIREP, NIKI ADOS tumben AMPUN
bersih gati, curiga DADOSNE.
(Iya, saya pikir mau kemana, biasanya pulang dari kantor
langsung jatuh tertidur, ini kenapa tumben sudah bersih
sekali, curiga jadinya.)
IBSTBT Ibu NIKI, WENTEN gen. Men MANGKIN KARYANANG nake
AJI kopi pang BECIK tegake mebalih siaran ulang, NIKAINE
seru gati ken timpal-timpale di kantor, AJI penasaran. Men
DAYU GEK dija NIKE? NIKAIN jep MRIKI, orahin ke
indomaret NUMBAS pia.
(Ibu ini, ada-ada saja. Terus sekarang buatkan Ayah kopi
supaya enak duduknya menonton siaran ulang, dibilang seru
sekali oleh teman-teman di kantor, Ayah penasaran. Terus
Dayu Gek dimana? Panggilkan sebentar, suruh [dia] ke
indomaret (untuk) beli pia.)
DYSNBT NGGIH JI, MANGKIN KARYANANGE men kopi, kopi luwak
ABC top markotop he. DAYU GEK SAMPUN mejalan les,
WENTEN GUS ADI MANTEN, KARI ngetik di kamar uli
semengan.
(Iya Ayah, sekarang dibuatkan kopi, kopi luwak ABC top
markotop he. DAyu Gek sudak berangkat les, ada Gus Adi
saja, sedang ngetik di kamar dari pagi.)
…
Percakapan
(10)
menunjukkan
percakapan
yang
terjadi
dengan
menggunakan kode alus secara simetris di antara suami-istri yang juga adalah
sepupu satu sama lain. Dalam hal ini, kode alus digunakan untuk menandai
287
hubungan kekerabatan pada triwangsa. Kosakata terbanyak yang digunakan pada
percakapan itu adalah kata serapan BI, yakni 39,7%; diikuti oleh kata alus, yakni
36%; dan kata biasa, yakni 24,3%. Kata-kata alus yang digunakan adalah JI,
LUNGA MANGKIN, ADOS, PUN, WAU, PISAN, GRIA, RABIN, TIANG,
DUMUN, WAU, RAUH, MESIRAM, MAKARYA, TEN, BECIK, NGGIH, BUDAL,
SIREP, NIKI, WENTEN, NIKA, NIKAIN, MRIKI, SAMPUN, DAYU GEK, GUS
ADI, SAMPUN, dan KARI
6.6.2 Faktor Penghormatan Intra- dan Inter-Wangsa
Faktor penghormatan interwangsa yang berperan pada penggunaan KA
adalah faktor riwangsa. Triwangsa merupakan golongan menengah ke atas
menurut penggolongan masyarakat Bali tradisional. Mereka berasal dari
masyarakat yang berkuasa pada jaman dahulu. Oleh sebab itu, bahasa yang
digunakan untuk saling menghormati di antara mereka adalah bahasa tinggi, yakni
KA.
Penggunaan KA digunakan secara umum pada percakapan yang terjadi di
antara penutur triwangsa. Namun, jika salah satu penutur yang terlibat pada suatu
percakapan adalah penutur jaba, sedangkan yang lainnya adalah triwangsa, maka
kehadiran KA juga dapat terjadi. Dalam hal ini, KA digunakan untuk menandai
penghormatan. Lihat percakapan (11)
(11)
Situasi: Percakapan terjadi di dalam sebuah gang antara seorang Ida Bagus
(IDBMRAT) dan Anak Agung (AGSWBT). IDBMRAT merupakan
pensiunan yang sebelumnya bekerja sebagai seorang manajer hotel,
sedangkan AGSWBT masih berstatus sebagai pegawai biasa di Pemerintah
Daerah. Keduanya laki-laki dan memiliki kategori umur tua.
288
(1):
(2):
(3):
(4):
(5):
(6):
(7):
(8):
(9):
IDBMRAT Swastiastu Beli BAGUS, PUNAPI GATRA?
‘Swatiastu Kakak ganteng, bagaimana kabarnya?’
AGSWBT Beh TU AJI, tumben tepuk DRIKI, baik-baik MANTEN. Men
PUNAPI GATRA? BECIK?
‘Beh Tu Aji, tumben ketemu disini, baik-baik saja. Terus Tu
Aji bagaimana? Sehat?’
IDBMRAT NGGIH, beli, BECIK RING GRIA masi BECIK. LUNGA kija
NIKI, DADOS tumben lewat jalan-jalan?
‘Iya, Kak, sehat di gria juga sehat. Mau kemana ini, kok
tumben lewat jalan-jalan.’
AGSWBT TEN kija-kija, TIANG PACANG melali RING I RATU.
DADOS rapi gati penampilane, LUNGA kija NIKA? pasti
LUNGA nengokin demenane NGGIH? He.
‘Tidak kemana-mana, saya maunya bermain ke tempat Ratu.
Kenapa rapi sekali kelihatannya, mau kemana ini? Pasti mau
menenggok pacarnya ya? He.’
IDBMRAT Beh, beli NIKI WENTEN dogen. TIANG PACANG ke toko,
ngatoin YU GEK ke toko meli NAPI kaden adane NIKA,
manik-manik, ANGGENE prakarya di sekolahne.
‘Bah, Beli ini ada-ada saja. Saya akan ke toko, mengantar Yu
Gek ke toko beli apa itu namanya, manik-manik, digunakan
prakarya di sekolahnya.’
AGSWBT Yeh, makelo TEN taen NYINGAKIN AYU GEK, saget
SAMPUN masuk, kelas kuda AYU GEK MANGKIN?
‘Ye, lama tidak pernah melihat Ayu Gek, tahu-tahu sudah
sekolah, kelas berapa Ayu Gek sekarang?’
IDBMRAT SAMPUN kelas lima di SD tiga. SDne MANGKIN TEN cara
pidan, AKEH PISAN urusane. Drumband, les sekolah, les di
luar, TEN ngoyong – ngoyong.
‘Sudah kelas 5 di SD 3. SD sekarang tidak seperti dulu,
banyak sekali urusannya. Drum band, les sekolah, les di luar,
tidak diam-diam’
AGSWBT Ha, KENTEN SAMPUN anake MADUE OKA masuk, konden
MALIH isin kantonge TELAS kedas ANGGEN meli buku
SARENG mayah kene keto. Tapi, TEN perlu bes sangetange,
ane penting kan beres. Lamun ngelah sedeng luwunge, lamun
TEN ngelah KANGGEANG NYELANG.
‘Ha, begitulah punya anak sekolah, belum lagi isi kantong
habis dikuras digunakan (untuk) beli buku dan bayar uang ini
itu. Tetapi, tidak perlu terlalu dipikirkan, yang penting kan
beres. Kalau punya, alangkah baiknya; kalau tidak punya
pinjam..’
IDBMRAT NGGIH lamun WENTEN silihin, yen TEN WENTEN
KANGGEANG ngepah he.
‘Ya kalau ada yang dipinjami, kalau tidak ada maklumi saja
he.’
289
(10): AGSWBT
NGGIH, anak makejang PATEH kangin kauhe. MANGKIN
TIANG ke RATUNE DUMUN, MALIH duang minggu
rencanane WENTEN KARYA RING PURI. TIANG PAMIT
DUMUN.
‘Iya, semua sama di timur dan di barat. Sekarang saya mau
ke tempat Ratu dulu, lagi dua minggu rencananya ada kerjaan
di Puri. Saya permisi dulu.’
(11): IDBMRAT O ngabene NIKE? NGGIH Beli, lanjut SAMPUN, ALONALON.
‘O ngaben yang itu, iya Kak, lanjut dah, pelan-pelan.’
Komposisi penggunaaan kata alus pada percakapan (11) terbanyak jika
dibandingkan dengan penggunaan kata-kata yang lain, yang mana persentase
penggunaan kata alus adalah 53,4%; dan selanjutnya, diikuti oleh kata serapan BI,
yakni 25,13%; kata biasa, yakni 20,42%; dan kata serapan BS, yakni 0,52%
secara berurutan. Kata-kata alus tersebut ditujukkan kepada satu sama lain
sehingga penggunaan KA secara simetris terjadi. Dalam hal ini, kata alus yang
digunakan adalah PUNAPI, GATRA, BECIK, DRIKI, MANTEN, NGGIH, RING,
GRIA, LUNGA, DADOS, TEN, PACANG,WENTEN, NAPI, ANGGENE,
NYINGAKIN, SAMPUN, MANGKIN, AKEH, PISAN, MADUE,OKA, ANGGEN,
KANGGEANG, NYELANG, NGGIH, PATEH, TIANG, DUMUN, MALIH,
WENTEN, KARYA, PURI, PAMIT, DUMUN, NIKA, dan ALON-ALON.
Penggunaan KA secara simetris pada percakapan (8) terjadi karena kedua
penutur tersebut berwangsa triwangsa. Dengan kata lain, KA digunakan karena
kedua penutur itu menghormati ketriwangsaan mereka satu sama lain secara
horizontal. Fenomena itu mirip dengan penggunaan bentuk sapaan sopan vos
secara simetris di antara penutur kelas atas (lihat Brown dan Gilman, 1960), yang
mana penggunaan KA adalah untuk menghormati status triwangsa satu sama lain.
290
Sebaliknya, faktor penghormatan interwangsa secara resiprokal berkaitan
dengan penggunaan KA secara simetris yang terjadi di antara penutur jabatriwangsa. Berdasarkan wangsa, hubungan antara kedua tipe penutur itu
mengindikasikan hubungan vertikal dan secara normatif, hubungan seperti itu
seharusnya ditandai oleh penggunaan KA-KB secara tidak simetris. Akan tetapi,
hal seperti itu tidak berlaku.
Pada penghormatan vertikal secara resiprokal, baik penutur triwangsa
maupun penutur jaba menggunakan KA secara berbalasan. Ketika penutur jaba
menggunakan KA untuk bertutur dengan penutur triwangsa, penutur triwangsa
menanggapi dengan KA. Bagi penutur triwangsa, penggunaan KA oleh penutur
jaba merupakan suatu pengakuan bagi ketriwangsaan dan sekaligus juga
penghormatan. Oleh karena itu, penutur triwangsa akan menanggapi dengan KA.
Jika yang memulai percakapan adalah penutur triwangsa, biasanya
percakapan itu terkadang diawali dengan KA. Penggunaan KA itu tidak hanya
bermakna menghormati mitra tutur, tetapi juga menghormati diri sendiri. Hal itu
berarti bahwa penutur jaba akan berharap penutur triwangsa untuk menggunakan
KA jika ingin ditanggapi dengan KA. Ungkapan yang populer digunakan untuk
merujuk hal itu adalah Yen ia sing bisa menghargai yang, ngujang yang
menghargai ia ‘Kalau dia tidak bisa menghargai saya, buat apa saya menghargai
dia’. Sebaliknya, penutur jaba akan cenderung untuk menanggapi dengan KB jika
diajak bertutur dengan KB. Apalagi, bagi penutur jaba penggunaan KB tidak
mengindikasikan ketidakhormatan, melainkan kedekatan dan solidaritas.
291
6.6.3 Faktor Domain
Seperti pada domain bahasa yang melibatkan penutur jaba, domain bahasa
bagi penutur triwangsa juga berpengaruh pada penggunaan KA secara simetris. Di
ranah keluarga, penutur triwangsa menggunakan KA untuk berbicara di antara
sesama anggota keluarga. KA digunakan tanpa memerhatikan perbedaan umur,
gender, dan juga peran sosial. Antara orang tua-anak berbicara satu sama lain
dengan menggunakan KA; antara suami-istri dengan KA; begitu juga antara
paman-keponakan. KA digunakan untuk menandai penghormatan terhadap
ketriwangsaan mereka.
Di domain tetangga, penggunaan KA juga terbilang tinggi. Hal itu
mungkin terkait dengan lokasi perumahan yang mana keluarga-keluarga triwangsa
cenderung untuk mengelompok pada suatu wilayah tertentu sebagai tetangga.
Keluarga-keluarga anak agung dan i gusti yang merupakan keturunan langsung
Raja-Raja Buleleng dan keluarga-keluarga ida bagus yang merupakan keturunan
Brahmana Danghyang Nirartha, misalnya, bermukim secara berdampingan di
sekitar wilayah Kelurahan Liligundi dan Kelurahan Sukasada. Sementara itu,
keluarga-keluarga yang bergelar dewa bermukim secara berdampingan di
kelurahan Penarukan. Pemukiman yang berdekatan itu bersifat kondusif bagi
penggunaan KA sehingga bisa direka bahwa mereka terbiasa menggunakan KA.
Pengaruh kelompok triwangsa itu juga cenderung untuk menjangkau
keluarga-keluarga jaba yang kebetulan tinggal berdekatan sebagai tetangga atau
sebagai masyarakat sekitar. Bahkan, banyak dari keluarga-keluarga jaba itu
dulunya adalah panjak ‘pelayan’ dari keluarga-keluarga triwangsa tersebut.
292
Sebagai akibatnya, penggunaan KA juga tinggi di domain tetangga antara penutur
triwangsa-jaba, tetapi penggunaan itu cenderung terjadi secara simetris.
Percakapan (12) terjadi di antara penutur triwangsa-jaba di ranah tetangga.
(12)
Situasi: Percakapan terjadi di depan rumah Dayu (DYPRBT) yang terjadi antara
DYPRBT sendiri dan tetangganya Wayan (WYNBM). DYPRBT
berprofesi sebagai pegawai biasa di sebuah koperasi, sedangkan WYNBM
bekerja sebagai pegawai biasa di sebuah perusahan finance. DYPRBT
memiliki umur yang berkategori tua, sedangkan umur WYNBM
berkategori muda.
(1):
(2):
(3):
(4):
(5):
(6):
WYNBM Bu DAYU, maaf ngerepotin, DADOS TIANG NYELANG
montore NIKA? JEBOS MANTEN. NIKI panak TIANGE lakar
masuk, Bapakne sampe MANGKIN TEN teka-teka.
‘Bu Dayu, maaf merepotkan, boleh saya pinjam motornya?
Sebentar saja. Ini anak saya akan sekolah, Bapaknya sampai
sekarang belum datang.’
DYPRBT Beh, misi ngoraang ngerepotin, cara ngajak nyen dogen.
ANTOSANG DUMUN, GUSDE, GUSDE, pesuang JEBOS
montor supra barake RING garase.
‘Beh, berisi bilang merepotkan, seperti sama siapa saja.
Tunggu dulu, Gusde, Gusde, keluarkan sebentar motor supra
merahnya di garasi.’
WYNBM NAPI KEKARYANANG NIKI, ADOS sibuk gati NIKA
ngenahne? Manting NGGIH?
‘Apa yang dikerjakan ini, kenapa kelihatan sibuk sekali?
Mencuci ya?’
DYPRBT NGGIH Bu Wayan, NIKI pantingan ALIT-ALITE AKEH
PISAN. Mesin cucine usak uli minggu lalu.
‘Iya Bu Wayan, ini cucian anak-anak banyak sekali. Mesin
cucinya rusak dari minggu lalu.’
WYNBM ADOS TEN ngalih pembantu MANTEN? Kan WENTEN
DADOSNE ane nulungin Bu DAYU?
‘Kenapa tidak mencari pembantu saja? Kan ada jadinya yang
menolong Bu Dayu?’
DYPRBT Jaman jani memang sukeh ngalih pembantu, lebian PUN ke
denpasar ngalih gae. DUMUN taen MEDUE, luwung gati
NIKA anakne, nak uli Banyuatis. Makejang bakat
peragatange, uli masak, ngepel, bersih-bersih, sampe’ ngempu
masi bisaine. Tapi, MANGKIN sukeh PESAN NGEREREH ane
care KENTEN.
‘Jaman sekarang memang sulit sekali mencari pembantu,
kebanyakan ke Denpasar cari pekerjaan. Dulu pernah punya,
293
(7):
WYNBM
(8):
DYPRBT
(9):
WYNBM
(10): DYPRBT
baik sekali orangnya, orang dari Banyuatis. Semua bisa
diselesaikannya, dari masak, ngepel, bersih-bersih, sampai
momong pintar. Tetapi, sekarang sulit sekali mencari yang
seperti itu.’
DIJA MANGKIN pembantune NIKA? DADOS USAN DRIKI?
‘Dimana sekarang pembantu itu? Kenapa selesai disini?’
Oo ye SAMPUN nganten ajake kabakne, be medemenan uling
pidan gati, NGGIH anak SAMPUN umur WASTANE. Bes
SAMPUN SUE PESAN kajak DRIKI, MANGKIN ye SARENG
kurnane ke Denpasar. Apa kaden gaene DRIKA? Tapi, kurnane
kone megae di perusahan gede.
‘Oo dia sudah menikah dengan pacarnya, sudah berpacaran
lama, ya sudah umur namanya. Sudah sangat lama saya ajak
disini, sekarang dia bersama suaminya ke Denpasar. Tidak
tahu apa kerjanya di sana? Tapi, suaminya katanya bekerja di
perusahan besar.’
O KENTEN, tapi anake care MANGKIN TEN perlu
NGEREREH pembantu nginep, apalagi OKANE Bu Dayu
SAMPUN DUUR-DUUR, SANE perluang kan pang WENTEN
ngepelang SARENG mantingang. DADOSNE Bu DAYU
sibuk, cara MANGKIN PACANG masuk, misi manting
DURUNG MALIH masak.
‘O begitu, tetapi sekarang ini tidak perlu mencari pembantu
menginap, apalagi anaknya Bu Dayu sudah dewasa, yang
diperlukan kan supaya ada yang mengepelkan dan
mencucikan. Jadinya Bu Dayu sibuk, seperti sekarang akan
masuk kerja, (bukan hanya) mencuci, belum juga masak.’
He, KENTEN SAMPUN MANGKIN, tugas DADOS IBU karier
di GRIYA he.
‘He, begitulah sekarang tugas menjadi Ibu karir di rumah he..’
Pada percakapan (12), penggunaan KA secara simetris terjadi. WYNBM,
walaupun seorang penutur jaba, sudah lama tinggal bertetangga dengan banyak
penutur triwangsa di lingkungan tersebut. Para penutur triwangsa tersebut dari
kecil sampai tua selalu menggunakan KA tidak hanya kepada dirinya, tetapi juga
kepada para penutur jaba yang lainnya. Oleh karena itu, dia juga menjadi terbiasa
untuk menanggapi dan melakukan percakapan dengan KA. Dalam hal ini,
komposisi kata penyusun percakapan itu adalah kata alus, yakni 38,94%; dan
294
selanjutnya, kata biasa, yakni 36,06%; kata serapan BI, yakni 24,52%; dan kata
serapan BS, yakni 0,48% secara berurutan.
Penggunaan KA di ranah tetangga antara penutur jaba-triwangsa
menunjukkan perilaku penghormatan interwangsa secara resiprokal. Penutur jaba
menghormati penutur triwangsa yang berstatus wangsa lebih tinggi, penutur
triwangsa sebaliknya menghormati penutur jaba, yang meskipun berstatus wangsa
lebih rendah.
Selain itu, di domain masyarakat dan tempat kerja penggunaan KA secara
simetris dapat juga tinggi, asalkan kedua penutur yang terlibat berwangsa
triwangsa. Akan tetapi, jika salah satu dari kedua penutur itu berwangsa jaba,
penggunaan KA secara simetris tidak bisa dijamin. Hal yang sama juga berlaku di
domain tempat kerja.
6.6.4 Faktor Latar
Bagi Hymes, latar merupakan tempat atau lokasi percakapan yang terkait
dengan suasana psikologis yang melatari suatu pertuturan. Atau dengan kata lain,
latar adalah tempat dan suasana dimana suatu pertuturan terjadi. Latar pada taraf
tertentu juga berperan pada penggunaan bahasa. Hal itu terjadi, karena ada
harapan-harapan penggunaan kode yang dibuat oleh peserta tutur terkait dengan
tempat. Konsep yang dapat menggambarkan hal ini adalah desa kala patra
‘tempat waktu situasi’, suatu ungkapan yang menyiratkan bahwa seorang peserta
tutur seharusnya seharusnya menyesuaikan perilaku berbahasanya menurut
tempat, waktu, dan situasi.
295
Setiap penutur jaba yang bertandang ke rumah triwangsa sangat
diharapkan untuk bertutur kata dengan KA. Penggunaan KA menunjukkan rasa
hormat pada tuan rumah sehingga dia dapat diterima dengan baik. Akan tetapi,
jika dia tidak menggunakan KA, melainkan KB apalagi KK, dia akan dianggap
tidak menghormati tuan rumah. Penggunaan KB atau KK di rumah seorang
triwangsa dapat menimbulkan
perasaan tidak enak pada diri tuan rumah.
Umumnya salah satu anggota tuan rumah akan mengingatkan pengguna KB atau
KK tersebut untuk menggunakan KA, dan jika tidak diindahkan, ia akan segera
ditegur atau diusir.
Perilaku berbahasa dengan KA, walaupun tidak sempurna, umumnya
sangat dihargai oleh tuan rumah triwangsa, apalagi jika penutur tersebut
mengawali dengan permintaan maaf bahwa kemampuan KA mereka kurang. Tuan
rumah triwangsa menyadari bahwa mereka tinggal di Kota Singaraja, dan bahwa
penggunaan KA kurang memperoleh dukungan secara umum. Mereka bahkan
terkadang di-boyain ‘diremehkan’ ketika menggunakan KA di tempat-tempat
publik sehingga penggunaan KA yang ditujukan kepada mereka, walaupun tidak
sempurna, bisa diterima.
(13)
Situasi: Percakapan terjadi antara Gede (GDSCM), dan Ida Bagus (IDBSUAT).
GDSCM bekerja sebagai tenaga honorer di kantor Pemerintah Daerah,
sedangkan IDBSUAT bekerja sebagai dosen di suatu perguruan tinggi di
Singaraja. GDSCM berumur muda, sedangkan IDBSUAT berumur tua.
Interaksi terjadi di rumah IDBSUAT.
(1):
(2):
GDSCM
SWASTIASTU Pak BAGUS, GUSTUT WENTEN NGGIH?
‘Salam Pak Bagus, Gustut ada ya?’
IDBSUAT WENTEN, NIKA di ruang tamu.
‘Ada, itu di ruang tamu.’
296
(3):
(4):
(5):
(6):
(7):
(8):
GDSCM
NIKI SIRA?
‘Siapa ini?’
IDBSUAT TIANG Gede, timpalne GUSTUT, AMPURANYANG TIANG
TEN bisa ngomong ALUS Pak BAGUS?
‘Saya Gede, temannya Gustut, mohon maaf saya tidak bisa
bicara dengan bahasa halus Pak’
GDSCM
TEN KENAPI, timpalne GUSTUTE megae NGGIH?
‘Tidak apa, rekan kerja Gustut ya?.’
IDBSUAT NGGIH, Pak BAGUS, TIANG lakar nyemak surat, oraine
nyebarang NIKA.
‘Iya, Pak Bagus, saya akan mengambil surat, disuruh
menyebarkan?’
GDSCM
O KENTEN, MRIKI masuk DUMUN?
‘O begitu, masi masuk dulu?’
IDBSUAT NGGIH.
‘Ya.’
Pada percakapan (13), GDSCM yang merupakan seorang penutur jaba,
dan berkunjung ke griya seorang ida bagus telah memahami bagaimana dia harus
memolakan tuturnya agar bisa diterima baik oleh pihak tuan rumah. Untuk itu,
GDSM menggunakan KA, dan berusaha bertahan dengan penggunaan itu
walaupun kemampuannya pada KA bisa dikatakan kurang. Sebaliknya, pihak tuan
rumah dapat memahami kekurangan itu, lagi pula maksud GDSM adalah baik.
Oleh karena itu, terjadilah penggunaan KA secara simetris. Dalam hal ini, kata
alus digunakan dengan persentase terbanyak, yakni 56,82%; dan diikuti oleh kata
biasa dan kata serapan BI dengan persentase yang sama, yakni 20,45%; dan
selanjutnya, kata serapan BS dengan persentase terendah, yakni 2,27%.
Kata alus yang digunakan pada percakapan (10) adalah WENTEN,
NGGIH, NIKA, TEN, NIKI, SIRA, KENAPI, TIANG, AMPURAYANG, KENTEN,
MRIKI, dan NGGIH. Selain itu, GDSM juga menggunakan pronomina persona
kedua hormat ‘Pak Bagus’, dan ‘Gustut’
untuk menyapa tuan rumah
dan
merujuk pada orang yang dicari. Akan tetapi, tuan rumah tidak memberlakukan
297
bentuk sapaan sama sekali. Meskipun demikian, penggunaan KA secara simetris
merupakan suatu bentuk penghormatan yang terjadi yang berkaitan dengan
dengan latar percakapan.
6.6.5 Faktor Topik Tutur
Topik tutur berpengaruh juga dengan penggunaan KA secara simetris,
karena ada topik-topik tertentu yang seharusnya dituturkan dengan KA. Topiktopik itu adalah topik-topik yang terkait dengan hal-hal yang disucikan, seperti
topik-topik spiritual, magis, dan kepemangkuan/kependetaan. Dalam hal ini, KA
digunakan sebagai penghormatan terhadap hal-hal yang disucikan tersebut.
Tingkat penggunaan KA secara simetris yang berkaitan dengan topik tutur
juga dipengaruhi oleh wangsa penutur. Jika penutur triwangsa yang berbicara
tentang topik tersebut, penggunaan kata alus akan banyak; sebaliknya, jika yang
menuturkan adalah penutur jaba, penggunaan kata alus akan semakin berkurang.
Percakapan (14) menunjukkan penggunaan KA yang dipengaruhi oleh topik tutur
kesucian/magis.
(14)
Situasi: Percakapan terjadi antara Gede (GDSCM), dan ibunya (NGHSNTR).
GDSCM berumur muda dan bekerja sebagai staf hotel, sedangkan
NGHSNTR berumur tua dan berprofesi sebagai pedagang makanan kecil
di kantin sekolah. GDSCM berumur muda, sedangkan IDBSUAT berumur
tua. Interaksi terjadi di rumah.
(1):
(2):
GDSCM
Mek, payu NGATURANG BAKTI ibi ke Dalem?
‘Bu, dengan demikian bersembahyang kemarin ke pura
dalem?’
IDBSUAT Badah, ngipi ne panake, sing tepuk memek ibi mapakaian
adat?
‘Waduh, mimpi ini anak saya, apa tidak melihat ibu
berpakaian adat kemarin?’
298
(3):
(4):
GDSCM
Be NUNAS TIRTA?
‘Sudah meminta tirta?’
IDBSUAT Be, Gede lakar jani NUNAS TIRTA? anak macem TIGA
TIRTANE, Memek NUNASANG makejang apang IDA
BETARA ICA ken IRAGA. Ngoyong malu dini.
‘Sudah, apa Gede akan meminta tirtanya sekarang? Ada tiga
macam tirta, ibu memintakan semua supaya para Dewa
memberkati kita semua. Tunggu dulu disini.’
Pada percakapan (14), kata yang terbanyak digunakan adalah kata biasa,
yakni 76,1%, dan selanjutnya, kata alus, yakni 23,81%. Kata alus yang digunakan
adalah NGATURANG, BAKTI, TIRTA, TIGA, NUNASANG, IDA, BETARA, ICA,
dan IRAGA. Selanjutnya, KB digunakan secara berpadu dengan KA. Penggunaan
KB adalah untuk memarkahi keakraban di antara penutur yang sama-sama adalah
berwangsa jaba, sedangkan KA digunakan untuk mengacu kepada hal-hal yang
terkait dengan pura yang menjadi lambang bagi kesucian. Penggunaan KA
diberlakukan untuk penghormatan bagi kesucian pura.
6.6.6 Faktor Budaya dan Sosialisasi Bahasa pada Triwangsa
6.6.6.1 Faktor Budaya Triwangsa
Meskipun budaya guyub Kota Singaraja berciri umum egaliter, tetapi
guyub ini juga memiliki anggota guyub triwangsa yang terdiri dari wangsa ksatria
yang merupakan keturunan langsung Ki Gusti Panji Sakti, brahmana, wesia, dan
ksatria lainnya. Anggota guyub itu masih mempertahankan pola perilaku yang
berbeda dari pola perilaku anggota guyub mayoritas. Anggota guyub itu
dibesarkan di balik tembok puri, gria, atau jero yang masih berorientasi pada
tradisi dan mempertahankan pola pikir hierarkis yang berorientasi pada nilai-nilai
wangsa.
299
Para triwangsa ini mengembangkan cita rasa bahasa yang berbeda dan
merasakan pentingnya KA untuk mempertahankan tradisi dan menandai
perbedaan rasa hormat. Oleh karena itu, pola perilaku berbahasa yang
dikembangkan oleh anggota guyub triwangsa adalah pola perilaku berbahasa yang
berlapis seperti yang tercermin pada tingkat tutur BB.
6.6.6.2 Sosialisasi Bahasa pada Penutur Triwangsa
KA bagi penutur triwangsa merupakan kode yang sangat penting bagi
pelestarian identitas dan citra diri ketriwangsaan. Bagi mereka, KA adalah kode
tinggi yang digunakan di dalam konteks saling menghormati dan sopan santun
yang merupakan suatu cara bagi masyarakat beradab untuk berinteraksi. Selain
itu, KA juga menunjukkan penghormatan pada tradisi. Mereka adalah keturunan
dari triwangsa dan hal itu harus dihormati. Salah satu cara yang paling mudah
adalah melalui penggunaan KA. Dengan demikian, mereka harus berupaya untuk
mempertahankan dan mengembangkan penggunaan KA khususnya di Kota
Singaraja.
Hasil penyimakan mengungkap bahwa penutur-penutur dari keluarga
triwangsa tumbuh kembang di dalam keluarga melalui KA. Mereka diperkenalkan
dengan KA sejak lahir karena bahasa yang digunakan di dalam keluarga adalah
KA. KA disosialisasikan di dalam keluarga melalui pemodelan oleh anggota
keluarga yang lebih tua. Hal itu dilakukan dengan menggunakan KA yang sesuai
dengan konteks penggunaannya. Selain pemodelan, KA juga diajarkan melalui
penjelasan kaidah-kaidah penggunaannya, baik itu secara linguistik maupun
300
sosiolinguistik. Dengan demikian, mereka memahami bentuk-bentuk KA berikut
norma-norma penggunaannya dengan baik.
Sosialisasi KA pada keluarga triwangsa menjadi lebih mudah dilakukan
karena pemukiman keluarga-keluarga triwangsa terkonsentrasi pada suatu
wilayah. Mereka menjadi tetangga satu sama lain dan umumnya mereka juga
memiliki pertalian darah satu sama lain. Misalnya, keluarga-keluarga ksatria yang
merupakan keturunan Ki Gusti Anglurah Panji Sakti dan keluarga-keluarga
brahmana bermukim secara berdampingan di sekitar wilayah kelurahan Liligundi
dan Sukasada. Sementara itu, keluarga-keluarga yang bergelar dewa bermukim
secara berdampingan di kelurahan Penarukan. Pemukiman yang berdekatan itu
bersifat kondusif bagi penggunaan KA sehingga bisa direka bahwa mereka
terbiasa menggunakan KA.
Secara singkat dapat dinyatakan bahwa KA merupakan kode atau bahasa
pertama (ibu) bagi penutur triwangsa. KA digunakan secara simetris di dalam
keluarga dengan mengabaikan perbedaan status pekerjaan, umur, dan gender.
Sebagai ilustrasi, perhatikan percakapan (15) berikut yang terjadi di antara kakek
mertua-cucu menantu pada domain keluarga. Mereka merupakan partisipan yang
berada pada kategori umur tua-muda dan memiliki status pekerjaan yang tinggi.
(15)
Situasi: percakapan terjadi antara kakek mertua, seorang Anak Agung (AGAT)
dan cucu menantu, juga Anak Agung (AGAYAM), keduanya berasal dari
wangsa Ksatria. Sang kakek merupakan pensiunan yang sebelumnya
mengepalai suatu dinas di Pemerintahan Daerah, sedangkan sang cucu
menantu adalah seorang Kepala Subbagian di Sebuah Perguruan Tinggi
Negeri di Singaraja. Umur AGAT berada pada kategori tua, sedangkan
cucu menantu berada pada kategori umur muda dan mereka berbincangbincang pada pagi hari.
301
1:
2:
3:
4:
5:
6:
7:
8:
9:
AGAYAM ATU KAK, MANGKIN NGEYUNAN? SAMPUN SIAP NIKA.
‘Atu Kak, sekarang makan? Sudah siap.’
AGAT
NGGIH
DADOS,
MANGKIN
SAMPUN?
NAPI
KEKARYANIN? Payu MEKARYA lawar kebo?
‘Iya boleh, sekarang dah Atu Kak makan? Apa yang dibuat?
Dengan demikian buat lawar daging kerbau?’
AGAYAM NGGIH, ATU KAK, tuni semangan gati ATU NUMBAS di
paakan Lovina SARENG GUNG NIK. AKEH NIKA
NUMBAS, DADOS ANGGON BENJANG MALIH. MRIKI
ATU KAK. TIANG NGAMBILANG MANGKIN.
‘Iya Atu Kak, tadi pagi sekali Atu membeli di dekat Lovina
bersama Gus Nik. Banyak belinya, bisa digunakan besok
juga. Saya ambilkan sekarang.’
AGAT
AMPUN NGEJOT GUNG GEK, NIKA anak penting gati,
TEN DADOS LALI.
‘Sudah ngejot Gung Gek, itu penting sekali, tidak boleh lupa’
AGAYAM SAMPUN ATU KAK. DRIKI SAMPUN MELINGGIH, TIANG
MANGKIN NGAMBILANG. DAGINGIN sayur sup ne NIKA?
‘Sudah Atu Kak. Disini dah duduk, saya sekarang ambilkan.
Isi sayur supnya?’
AGAT
NGGIH, lebiin kuahne pang belekan nasine, kene gigin ATU
KAK SAMPUN pawah.
‘Iya, banyakin kuahnya supaya nasinya belek, gigi Atu Kak
sudah ompong.’
AGAYAM NIKI nasine SAMPUN cara bubuh, SAMPUN belek gati.
AKEDIK MANTEN kuahne NGGIH, lamun kuangan kan
DADOS MALIH tambah.
‘Ini nasinya sudah seperti bubur, sudah lembek sekali. Sedikit
saja kuahnya ya, kalau kurang kan bisa lagi tambah’
AGAT
NGGIH, kenken ja luungne, NGAJENG GUNG GEK.
‘Iya, gimana baiknya, makan Gung Gek.’
AGAYAM NGGIH, NGGIH ATU KAK, RARISANG SAMPUN.
‘Iya, iya Atu, silahkan dulu.’
Percakapan (15) terjadi dengan menggunakan KA secara simetris yang
mana kata alus digunakan dengan komposisi persentase terbanyak, yakni 84,82%;
dan selanjutnya, kata biasa, yakni 10,71; dan kata serapan BI, yakni 4,46%. Katakata alus itu digunakan untuk merujuk kepada satu sama lain, dan digunakan
karena mereka memiliki hubungan kekerabatan, selain karena dengan KA lah
mereka tersosialisasi di dalam keluarga. Selanjutnya, bentuk pronomina kedua
302
yang digunakan adalah bentuk sapaan hormat ATU KAK dan GUNG GEK yang
merupakan gelar wangsa.
Selain KA, anggota guyub juga mempelajari KB, KK, dan BI yang
melengkapi kompetensi berbahasa mereka sebagai anggota guyub tutur BB. KB
dan KK dipelajari di masyarakat yang lebih luas dan juga di sekolah di antara
pergaulan anak sebaya. Kedua kode itu diperoleh secara prasadar dengan jalan
mengamati dan sekaligus mempraktekannya pada komunikasi dengan anak-anak
lain (jaba) yang sebaya. Sebagai tambahan, kedua kode ini, karena dipelajari di
pergaulan di masyarakat, diperoleh belakangan dari KA.
BI juga diperoleh secara sambil lalu di masyarakat dengan jalan
mendengar dan mempraktekannya dengan anak-anak lain yang berbahasa
Indonesia. Akan tetapi, kompetensi BI yang tinggi umumnya diperoleh setelah
anak itu mulai bersekolah melalui interaksi yang intensif dengan guru dan anakanak lain. Hal itu mengindikasikan bahwa BI diperoleh lebih belakangan lagi dari
KB dan KK.
BAB VII
SIKAP PENUTUR BAHASA BALI PADA GUYUB TUTUR BAHASA BALI
KOTA SINGARAJA TERHADAP TINGKAT TUTUR BAHASA BALI
7.1 Pengantar
Berdasarkan paparan 3.5.2, angket sikap disusun berdasarkan komponen
sikap, yakni komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
Komponen kognitif terdiri atas sejumlah pernyataan untuk menggali kepercayaan
kelompok sampel terhadap tingkat tutur bahasa Bali; komponen afektif terdiri atas
sejumlah pernyataan untuk menggali evaluasi “rasa” terhadap tingkat tutur; dan
komponen konatif sikap terdiri atas sejumlah pernyataan untuk menggali
kecenderungan perilaku yang dimunculkan.
Selain terbagi atas komponen sikap, angket sikap juga dibagi berdasarkan
dimensi sikap bahasa yang meliputi dimensi kesetiaan bahasa, dimensi
kebanggaan bahasa, dan dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Dengan demikian, pernyataan tentang tingkat tutur juga disusun dengan
memerhatikan dimensi sikap bahasa yang selanjutnya disematkan secara merata
ke dalam komponen sikap sehingga setiap komponen sikap mengandung
pernyataan yang terkait dengan ketiga dimensi sikap bahasa tersebut.
303
304
7.2 Sikap Penutur Triwangsa terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali
7.2.1 Triwangsa Kelas Atas
Tabel 7.1
Sikap Penutur Triwangsa Kelas Atas terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali
DIMENSI
KOMPONEN
SIKAP
BAHASA
KOGNITIF Kesetiaan Bahasa
TTDL
TTDP
TTML
KK
KB
KA
40,9
58,6 94,5
64,7
43,3 57,2
95,6
65,4
40,0 55,0
89,3
61,4
37,5 50,8
78,3
55,6
62,5
54,5
63,6 88,5
68,9
50,4 59,3
85,9
65,2
49,5 54,3
75,2
59,7
52,2 54,4
84,4
63,7
65,0
60,0
80,0 79,4
75,4
54,4 77,2
84,4
74,6
71,4 78,6
82,9
78,4
63,3 76,7
85,6
76,7
76,0
Rerata Kognitif
49,7
67,8 88,2
69,2
48,1 65,1
89,3
68,1
50,2 63,4
83,1
66,0
48,1 61,2
82,3
64,3
67,3
AFEKTIF
35,5
54,5 81,8
51,8
36,7 42,2
95,6
52,8
35,7 45,7
91,4
50,7
33,3 40,0
80,0
46,7
50,9
28,2
60,0 75,5
59,8
28,9 63,3
73,9
60,0
35,7 50,0
72,9
57,9
21,7 46,7
71,7
52,9
58,2
60,4
73,6 85,8
74,1
55,6 70,0
84,8
71,1
53,7 66,4
83,8
69,1
47,3 63,3
66,7
59,3
69,5
Rerata Afektif
47,7
67,0 81,7
66,5
45,4 64,1
81,8
65,1
45,7 58,8
80,5
63,3
38,5 55,2
83,3
61,1
63,4
KONATIF
41,8
56,4 80,9
59,7
34,4 45,6
81,1
54,4
30,0 44,3
85,7
53,3
25,0 45,0
86,7
56,1
56,3
40,0
50,9 65,5
52,1
44,4 51,1
65,9
53,8
36,2 47,6
69,5
51,1
30,0 46,7
71,1
49,3
51,9
57,3
53,6 80,0
63,6
46,7 54,4
80,0
60,4
51,4 57,1
82,9
63,8
28,3 78,3
86,7
64,4
62,9
Rerata Konatif
45,5
53,2 74,0
57,6
42,2 50,5
74,3
55,9
38,8 49,4
78,0
55,4
28,1 55,2
80,0
55,6
56,3
Rerata
47,8
63,5 82,1
65,1
45,5 60,7
82,6
63,8
45,4 58,2
80,8
62,2
39,1 57,9
82,1
60,9
63,0
Kebanggaan
Bahasa
Kesadaran Norma
Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
Bahasa
Kesadaran Norma
Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
Bahasa
Kesadaran Norma
Keterangan:
KK: Kode Kasar; KB: Kode Biasa; KA: Kode Alus
KK
KB
KA
Rerata
KK
KB
TTMP
Rerata
KA
Rerata
KK
KB
KA
Rerata
Rerata
305
7.2.1.1 Triwangsa-status pekerjaan tinggi-dewasa-laki-laki (TTDL)
Tabel 7.1 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur terhadap
tingkat tutur BB pada TTDL berkategori positif, yakni 65,1%. Dalam hal ini,
persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 82,1%; sikap
terhadap KB positif, yakni 63,5%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 47,8%.
Secara lebih rinci data pada TTDL dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 88,2%; selanjutnya, sikap
terhadap KB dengan kategori positif, yakni 67,8%; dan sikap terhadap KK dengan
kategori netral, yakni 49,7%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada
dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi positif pada kesadaran akan
norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap
KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan bahasa, tetapi positif pada dimensi
kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap
terhadap KK menunjukkan persentase yang merata cukup tinggi pada ketiga
komponen sikap terhadap bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 81,7%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dengan kategori positif, yakni 67%; dan sikap terhadap KK dengan kategori
netral, yakni 47,7%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi
kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada
kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB
berkategori positif pada ketiga komponen bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK
306
berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi positif
pada kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 74%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dan KK dengan kategori netral, yakni 53,2% dan 45,5%. Sikap terhadap KA
berkategori sangat positif pada komponen kesetiaan bahasa, tetapi positif pada
dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda
dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB dan KK berkategori netral pada
ketiga dimensi sikap bahasa.
7.2.1.2 Triwangsa-status pekerjaan tinggi-dewasa-perempuan (TTDP)
Tabel 7.1 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur terhadap
tingkat tutur BB pada TTDP berkategori positif, yakni 63,8%. Dalam hal ini,
persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 82,6%;
sedangkan, sikap terhadap KB positif, yakni 60,7%; dan sikap terhadap KK netral,
yakni 45,5%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA men unjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 89,3%; selanjutnya, sikap
terhadap KB dengan kategori positif, yakni 65,1%; dan sikap terhadap KK dengan
kategori netral, yakni 48,1%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada
ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap
KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif
pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap
307
terhadap KK menunjukkan persentase yang berkategori netral pada ketiga dimensi
sikap bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 81,8%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dengan kategori positif, yakni 64,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori
netral, yakni 45,4%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi
kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada
kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB
berkategori netral pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi
kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap
terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa,
tetapi netral pada kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 74,3%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dan KK berkategori netral, yakni 50,5% dan 42,2%. Sikap terhadap KA
berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, tetapi positif pada
dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda
dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada ketiga
dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori netral pada
dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi negatif
pada dimensi kesetiaan bahasa.
308
7.2.1.3 Triwangsa-status pekerjaan tinggi-muda-laki-laki (TTML)
Tabel 7.1 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur terhadap
tingkat tutur BB pada TTML berkategori positif, yakni 62,2%. Dalam hal ini,
persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 80,8%;
sedangkan, sikap terhadap KB dan KK netral, yakni 58,2% dan 45,4%. Secara
lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 83,1%; selanjutnya, sikap
terhadap KB dan KK dengan kategori positif, yakni 63,4% dan 50,2%. Sikap
terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran
akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan bahasa.
Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada
dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran
akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK menunjukkan
kategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, netral pada dimensi kebanggaan
bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 80,5%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dan KK dengan kategori netral, yakni 58,8% dan 45,7%. Sikap terhadap KA
berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma
penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda
dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi
kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesadaran akan
309
norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif
pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada kesadaran akan
norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 78%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dengan kategori netral, yakni 49,4%; dan sikap terhadap KK dengan kategori
negatif, yakni 38,8%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi
kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada
dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap
KB berkategori netral pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap
terhadap KK berkategori netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan
bahasa, tetapi negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa.
7.2.1.4 Triwangsa-status pekerjaan tinggi-muda-perempuan (TTMP)
Tabel 7.1 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur terhadap
tingkat tutur BB pada TTMP berkategori positif, yakni 60,9%. Dalam hal ini,
persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 82,1%;
sedangkan, KB netral, yakni 57,9%; dan sikap terhadap KK negatif, yakni 39,1%.
Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 82,3%; selanjutnya, sikap
terhadap KB dengan kategori positif, yakni 61,2%; dan sikap terhadap KK dengan
kategori netral, yakni 48,1%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada
dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif
310
pada dimensi kesetiaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap
terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa,
dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya,
sikap terhadap KK menunjukkan kategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa,
netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan
penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 83,3%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dengan kategori netral, yakni 55,2%; dan sikap terhadap KK dengan kategori
negatif, yakni 38,1%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi
kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada
dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap
KB berkategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, netral pada dimensi
kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan
bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan
bahasa, tetapi netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma
penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 80%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dengan kategori netral, yakni 55,2%; dan sikap terhadap KK dengan kategori
negatif, yakni 28,1%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada ketiga
dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB
berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan
311
bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap
KK berkategori negatif pada ketiga dimensi sikap bahasa.
312
7.2.2 Triwangsa Kelas Menengah
Tabel 7.2
Sikap Penutur Triwangsa Kelas Menengah terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali
DIMENSI
KOMPONEN
SIKAP
BAHASA
KOGNITIF Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
Bahasa
Kesadaran Norma
TSDL
KK
KB
KA
Rerata
TSDP
KK
KB
KA
Rerata
TSML
KK
KB
KA
Rerata
TSMP
KK
KB
KA
Rerata
Rerata
49,3 68,2 93,6 70,4 43,2 71,8 95,0 70,0 45,0 69,3 93,2 69,2 42,9 74,6 93,2 70,2 69,9
35,2 72,4 87,1 64,9 37,1 63,3 88,1 61,1 33,8 59,0 81,0 57,9 37,6 63,3 76,7 57,8 60,4
68,6 79,6 85,7 79,2 66,4 79,6 84,3 78,3 60,7 78,6 82,9 76,0 64,3 78,2 86,2 77,8 77,8
Rerata Kognitif
48,9 73,5 89,3 71,4 46,3 72,3 89,7 70,3 44,8 69,9 86,4 67,9 45,9 72,9 86,1 69,2 69,7
AFEKTIF
35,0 44,3 91,4 51,4 37,1 38,6 92,9 51,4 31,4 47,1 91,4 50,4 34,3 37,1 97,1 50,7 51,0
Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
Bahasa
Kesadaran Norma
28,6 56,4 77,9 60,2 30,7 50,7 79,3 60,0 28,6 49,3 81,1 60,0 29,3 45,0 75,0 56,1 59,1
61,7 66,1 88,8 73,7 53,1 61,8 90,2 70,3 53,1 58,6 87,1 68,2 52,0 55,7 91,0 68,6 70,2
Rerata Afektif
48,4 60,2 85,1 66,4 44,6 55,3 86,5 64,4 42,9 54,3 85,3 63,1 43,0 50,0 85,7 62,2 64,0
KONATIF
36,4 63,6 82,1 60,7 29,3 64,3 85,0 59,5 26,4 60,7 78,6 55,2 32,9 52,1 78,6 54,5 57,5
Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
Bahasa
Kesadaran Norma
32,4 66,7 66,7 55,2 31,0 60,0 69,0 53,3 31,0 50,0 63,8 48,3 30,0 43,3 61,9 45,1 50,5
45,7 50,0 71,4 55,7 46,4 53,6 84,3 61,4 45,0 60,7 80,0 61,9 49,3 55,0 97,1 67,1 61,5
Rerata Konatif
37,3 61,0 72,4 56,9 34,9 59,4 78,0 57,4 33,7 56,1 72,7 54,1 36,3 49,2 76,7 54,1 55,6
Rerata
45,5 66,3 83,4 65,8 42,5 63,9 85,5 64,8 41,0 61,7 82,6 62,5 42,2 59,8 83,6 62,7 64,0
Keterangan:
KK: Kode Kasar; KB: Kode Biasa; KA: Kode Alus
313
7.2.2.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Laki-Laki (TSDL)
Tabel 7.2 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB
terhadap tingkat tutur BB pada TSDL berkategori positif, yakni 65,8%. Dalam hal
ini, persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 83,4%;
sikap terhadap KB positif, yakni 66,3%; dan sikap terhadap KK netral, yakni
45,5%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 89,3%; selanjutnya, sikap
terhadap KB dengan kategori positif, yakni 73,5%; dan sikap terhadap KK dengan
kategori netral, yakni 48,9%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada
ketiga dimensi sikap bahasa, sedangkan sikap terhadap KB berkategori positif
pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sementara itu, sikap terhadap KK menunjukkan
kategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, netral pada dimensi kesetiaan
bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 85,1%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dan KK dengan kategori netral, yakni 60,2% dan 48,4%. Sikap terhadap KA
berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma
penggunaan bahasa, tetapi positif pada kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap
terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan
kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan
bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan
314
dan kebanggaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesadaran akan norma
penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 72,4%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dengan kategori positif, yakni 61%; dan sikap terhadap KK dengan kategori
negatif, yakni 37,3%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi
kesetiaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma
penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB
berkategori netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi
positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap
KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral
pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
7.2.2.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Perempuan (TSDP)
Tabel 7.2 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB
terhadap tingkat tutur BB pada TSDP berkategori positif, yakni 64,8%. Dalam hal
ini, persentase rerata sikap terhadap KA menunjukkan persentase yang
berkategori sangat positif, yakni 85,5%; sikap terhadap KB positif, yakni 63,9%;
dan sikap terhadap KK netral, yakni 42,5%. Secara lebih rinci, data tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 89,7%; selanjutnya, sikap
terhadap KB dengan kategori positif, yakni 72,3%; dan sikap terhadap KK dengan
kategori netral, yakni 46,3%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada
315
ketiga dimensi sikap bahasa, sedangkan sikap terhadap KB berkategori positif
pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sementara itu, sikap terhadap KK berkategori
negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, netral pada dimensi kesetiaan bahasa,
dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 86,5%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dan KK dengan kategori netral, yakni 55,3% dan 44,6%. Sikap terhadap KA
berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma
penggunaan bahasa, tetapi positif pada kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap
terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori negatif pada dimensi kesetiaan
bahasa, netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi
kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK
berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral
pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 78%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dengan kategori netral, yakni 59,4%; dan sikap terhadap KK dengan kategori
negatif, yakni 34,9%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi
kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada
dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap
KB berkategori netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma
penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan bahasa. Sebaliknya, sikap
316
terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa,
dan netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa
7.2.2.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Laki-Laki (TSML)
Tabel 7.2 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB
terhadap tingkat tutur BB pada TSML berkategori positif, yakni 62,5%. Dalam hal
ini, persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 82,6%;
sikap terhadap KB berkategori positif, yakni 61,7%; dan sikap terhadap KK
berkategori netral, yakni 41%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai
berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 86,4%; selanjutnya, sikap
terhadap KB dengan kategori positif, yakni 69,9%; dan sikap terhadap KK dengan
kategori netral, yakni 44,8%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada
ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap
KB berkategori positif pada kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan
bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap
KK berkategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, netral pada dimensi
kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan
bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 85,3%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dan KK dengan kategori netral, yakni 54,3% dan 42,9%. Sikap terhadap KA
berkategori sangat positif pada ketiga dimensi sikap bahasa, sedangkan sikap
317
terhadap KB berkategori netral pada ketiga komponen tersebut. Sementara itu,
sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan
bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 72,7%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dengan kategori netral, yakni 56,1% dan sikap terhadap KK dengan kategori
negatif, yakni 33,7%. Sikap terhadap KA berkategori positif pada ketiga
komponen bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB
berkategori netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi
kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap
terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa,
dan netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
7.2.2.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Perempuan (TSMP)
Tabel 7.2 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB
terhadap tingkat tutur BB pada TSMP berkategori positif, yakni 62,7%. Dalam hal
ini, persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 83,6%;
selanjutnya, sikap terhadap KB dan KK berkategori netral, yakni 59,8% dan
42,5%. Secara lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 86,1%; selanjutnya, sikap
terhadap KB dengan kategori positif, yakni 72,9%; dan sikap terhadap KK dengan
kategori netral, yakni 45,9%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada
dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif
318
pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap
terhadap KB berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya,
sikap terhadap KK menunjukkan kategori negatif pada dimensi kebanggaan
bahasa, tetapi netral pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma
penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 85,7%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dan KK dengan kategori netral, yakni 50% dan 43%. Sikap terhadap KA
berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma
penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda
dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori negatif pada dimensi
kesetiaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma
penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada
dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesadaran
akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 76,7%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dengan kategori netral, yakni 49,2%; dan sikap terhadap KK dengan kategori
negatif, yakni 36,3%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi
kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan
kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB
berkategori netral pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap
319
KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi
netral pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa
320
7.2.3 Triwangsa Kelas Bawah
Tabel 7.3
Sikap Penutur Bahasa Bali Triwangsa Kelas Bawah terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali
DIMENSI
KOMPONEN
SIKAP BAHASA
KOGNITIF Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
Bahasa
Kesadaran Norma
TRDL
KK
KB
KA
Rerata
TRDP
KK
KB
KA
Rerata
TRML
KK
KB
KA
Rerata
TRMP
KK
KB
KA
Rerata
Rerata
49,3 75,0 91,4 71,9 45,0 72,9 90,7 69,5 50,0 70,7 84,6 68,5 51,4 66,4 85,7 67,9 69,4
33,8 64,8 82,9 60,5 33,3 62,9 79,5 58,6 33,8 52,9 75,7 54,1 29,5 51,4 74,3 51,7 56,2
61,4 77,5 86,2 76,8 60,0 76,8 85,7 76,0 57,9 79,6 82,4 75,7 57,1 82,1 83,8 77,1 76,4
Rerata Kognitif
46,8 73,1 87,3 70,0 44,4 71,6 85,9 68,2 46,3 69,1 81,3 66,3 45,4 68,1 81,7 65,8 67,6
AFEKTIF
34,3 45,7 91,4 51,4 30,7 44,3 92,9 49,6 33,6 57,1 88,6 53,2 30,7 60,0 87,1 52,1 51,6
Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
Bahasa
Kesadaran Norma
32,1 57,1 80,4 62,5 30,7 50,7 80,7 60,7 30,0 43,6 75,0 55,9 29,3 55,0 75,0 58,6 59,4
56,6 70,7 84,3 71,4 53,1 69,6 89,0 71,9 56,9 68,6 84,0 70,9 54,6 71,1 84,0 70,8 71,2
Rerata Afektif
46,2 63,3 83,5 65,8 43,2 60,6 86,4 65,3 45,7 59,8 81,2 63,8 43,7 64,9 81,0 64,4 64,8
KONATIF
30,0 65,7 82,9 59,5 30,0 66,4 83,6 60,0 30,7 62,9 81,4 58,3 28,6 62,1 80,7 57,1 58,8
Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
Bahasa
Kesadaran Norma
33,3 52,9 61,9 49,4 31,0 52,9 65,7 49,8 32,9 52,9 63,3 49,7 30,5 50,5 60,0 47,0 49,0
52,9 74,3 82,9 70,0 52,9 75,0 83,6 70,5 52,9 72,1 72,9 66,0 51,4 67,9 82,9 67,4 68,5
Rerata Konatif
38,0 62,7 73,9 58,2 36,9 63,1 75,9 58,6 38,0 61,2 71,2 56,8 35,9 58,8 72,4 55,7 57,3
Rerata
44,1 67,4 82,4 65,3 41,9 66,1 83,6 64,6 43,8 64,3 78,7 62,9 42,1 64,6 79,1 62,6 63,9
Keterangan:
KK: Kode Kasar; KB: Kode Biasa; KA: Kode Alus
321
7.2.3.1 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (TRDL)
Tabel 7.3 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB terhadap
tingkat tutur BB pada TRDL berkategori positif, yakni 65,3%. Dalam hal ini,
persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 82,4%; sikap
terhadap KB positif, yakni 67,4%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 44,1%. Secara
lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 87,3%; selanjutnya, sikap terhadap KB
dengan kategori positif, yakni 73,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral,
yakni 46,8%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada ketiga dimensi sikap
bahasa, sedangkan sikap terhadap KB berkategori positif pada ketiga dimensi
tersebut. Sementara itu, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi
kebanggaan bahasa, netral pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi
kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 83,5%; selanjutnya, sikap terhadap KB
dengan kategori positif, yakni 63,3%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral,
yakni 46,2%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan
dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada kebanggaan
bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral
pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran
akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif
322
pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada kesadaran akan
norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori positif, yakni 73,9%; selanjutnya, sikap terhadap KB
dengan kategori positif, yakni 62,7%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral,
yakni 38%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan
kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kebanggaan
bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral
pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran
akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif
pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran
akan norma penggunaan bahasa.
7.2.3.2 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (TRDP)
Tabel 7.3 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB terhadap
tingkat tutur BB pada TRDP berkategori positif, yakni 64,6%. Dalam hal ini,
persentase rerata sikap terhadap KA berkategori sangat positif, yakni 83,6%; sikap
terhadap KB positif, yakni 66,1%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 41,9%. Secara
lebih rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 85,9%; selanjutnya, sikap terhadap KB
dengan kategori positif, yakni 71,6%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral,
323
yakni 44,4%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan
dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan
bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori positif
pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK menunjukkan
kategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi
kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 86,4%; selanjutnya, sikap terhadap KB
dengan kategori positif, yakni 60,6%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral,
yakni 43,2%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada ketiga dimensi sikap
bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral
pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran
akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif
pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran
akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori positif, yakni 75,9%; selanjutnya, sikap terhadap KB
dengan kategori positif, yakni 63,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori negatif,
yakni 36,9%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan
dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi
kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB
berkategori netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi
324
kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap
KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral
pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
7.2.3.3 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (TRML)
Tabel 7.3 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB terhadap
tingkat tutur BB pada TRML berkategori positif, yakni 62,9%. Dalam hal ini,
persentase rerata sikap terhadap KA berkategori positif, yakni 78,7%; sikap terhadap
KB positif, yakni 64,3%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 43,8%. Secara lebih
rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 81,3%; selanjutnya, sikap terhadap KB
dengan kategori positif, yakni 69,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral,
yakni 46,3%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan
dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan
bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral
pada dimensi kebanggaan bahasa, dan sangat positif pada dimensi kesetiaan dan
kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK
berkategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi
kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 81,2%; selanjutnya, sikap terhadap KB
325
dan KK dengan kategori netral, yakni 59,8% dan 45,7%. Sikap terhadap KA
berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma
penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan
sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan
kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan
bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan
dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran akan norma
penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori positif, yakni 75,7%; selanjutnya, sikap terhadap KB
dengan kategori positif, yakni 61,2%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral,
yakni 42,4%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan
bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan
bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral
pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran
akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif
pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran
akan norma penggunaan bahasa
7.2.3.4 Triwangsa-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (TRMP)
Tabel 7.3 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap penutur BB terhadap
tingkat tutur BB pada TRMP berkategori positif, yakni 62,6%. Dalam hal ini,
326
persentase rerata sikap terhadap KA berkategori positif, yakni 79,1%; sikap terhadap
KB positif, yakni 64,6%; dan sikap terhadap KK netral, yakni 42,1%. Secara lebih
rinci, data tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori positif, yakni 81,7%; selanjutnya, sikap terhadap KB
dengan kategori positif, yakni 68,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral,
yakni 45,4%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan
dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan
bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral
pada dimensi kebanggaan bahasa, positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan sangat
positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap
terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, dan netral pada
dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori positif, yakni 81%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan
kategori positif, yakni 64,9%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni
43,7%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan
kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan
bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral
pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran
akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif
327
pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran
akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori positif, yakni 72,4%; selanjutnya, sikap terhadap KB
dengan kategori positif, yakni 58,8%; dan sikap terhadap KK dengan kategori negatif,
yakni 35,9%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan
dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan
bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori netral
pada dimensi kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran
akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif
pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kesadaran
akan norma penggunaan bahasa.
7.2.4 Analisis Sikap Penutur Triwangsa terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali
Sikap penutur BB triwangsa guyub tutur Kota Singaraja terhadap KK, KB,
dan KA menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dalam hal ini, rerata persentase
sikap tertinggi ditunjukkan oleh sikap terhadap KA, yakni 86,1% pada komponen
kognitif, 83,7% pada komponen afektif, dan 74,6% pada komponen konatif.
Sebaliknya, sikap terhadap KB berada pada posisi kedua, yakni 69,8% pada
komponen kognitif, 59,4% pada komponen afektif, dan 57,4% pada komponen
konatif; dan sikap terhadap KK berada pada posisi terendah, yakni 46,8% pada
328
komponen kognitif; 44,8% pada komponen afektif; dan 37,2% pada komponen
konatif. Perbedaan persentase rerata sikap itu dirumuskan pada gambar 7.1.
100
80
60
40
20
0
Kognitif
Afektif
Konatif
Gambar 7.1
Sikap Penutur Triwangsa terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode Alus
Gambar 7.1 menunjukkan bahwa sikap terhadap KA menunjukkan persentase
tertinggi, diikuti oleh sikap terhadap KB, dan berikutnya sikap terhadap KK. Selain
itu, persentase tersebut menunjukkan penurunan bertahap dari komponen kognitif
sampai komponen konatif. Sikap terhadap KA, misalnya, mengalami penurunan yang
kurang signifikan—penurunan yang tidak berbeda kategori—dari komponen kognitif
ke komponen afektif dan mengalami penurunan yang signifikan, yakni dari kategori
sangat positif pada komponen afektif ke kategori positif pada komponen konatif.
Selain itu, sikap terhadap KB menunjukkan penurunan yang signifikan dari kategori
positif pada komponen kognitif ke kategori netral pada komponen afektif, tetapi
329
kurang signifikan dari komponen afektif ke komponen konatif. Sementara itu, sikap
terhadap KK menunjukkan penurunan yang kurang signifikan dari komponen
kognitif ke komponen afektif, tetapi menunjukkan penurunan yang signifikan, yakni
dari kategori netral pada komponen afektif ke negatif pada komponen konatif.
Untuk paparan yang lebih mendetail tentang sikap penutur triwangsa terhadap
tingkat tutur BB, perhatikan tabel 7.4 berikut ini.
Tabel 7.4
Sikap Penutur Triwangsa terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
SUBKELOMPOK
TTDL
TTDP
TTML
TTMP
TSDL
TSDP
TSML
TSMP
TRDL
TRDP
TRML
TRMP
KOGNITIF
AFEKTIF
KONATIF
KK
KB
KA
KK
KB
KA
KK
KB
KA
49,7
48,1
50,2
48,1
48,9
46,3
44,8
45,9
46,8
44,4
46,3
45,4
67,8
65,1
63,4
61,2
73,5
72,3
69,9
72,9
73,1
71,6
69,1
68,1
88,2
89,3
83,1
82,3
89,3
89,7
86,4
86,1
87,3
85,9
81,3
81,7
47,7
45,4
45,7
38,5
48,4
44,6
42,9
43
46,2
43,2
45,7
43,7
67
64,1
58,8
55,2
60,2
55,3
54,3
50
63,3
60,6
59,8
64,9
81,7
81,8
80,5
83,3
85,1
86,5
85,3
85,7
83,5
86,4
81,2
81
45,5
42,2
38,8
28,1
37,3
34,9
33,7
36,3
38
36,9
38
35,9
53,2
50,5
49,4
55,2
60
59,4
56,1
49,2
62,7
60,1
59
58,8
74
74,3
78
80
72,4
78
72,7
76,7
73,9
75,9
71,2
72,4
Tabel 7.4 menunjukkan suatu kecenderungan umum, yaitu penurunan rerata
persentase sikap dalam kaitannya dengan komponen sikap. Penurunan sikap terhadap
KK cenderung kurang signifikan dari komponen kognitif ke komponen afektif, tetapi
signifikan pada komponen konatif yang ditunjukkan oleh pergeseran kategori dari
330
netral ke negatif. Penurunan yang signifikan itu terjadi pada semua kelompok
triwangsa, kecuali kelompok TTDL dan TTDP.
Sikap terhadap KB juga menunjukkan penurunan berdasarkan komponen
sikap, tetapi penurunan yang signifikan terjadi dari komponen kognitif ke komponen
afektif, yakni dari kategori positif ke netral. Penurunan yang signifikan itu terjadi
pada hampir semua kelompok triwangsa, kecuali kelompok TTDL, TTDP, TRDL,
dan TRDP. Selanjutnya, penurunan sikap terhadap KB dari komponen afektif ke
komponen konatif cenderung kurang signifikan, kecuali sikap pada kelompok TTDL
dan TTDP yang turun dari kategori netral ke negatif.
Penurunan sikap yang berkaitan dengan komponen sikap juga terjadi pada
sikap terhadap KA. Dalam hal ini, penurunan persentase sikap yang kurang signifikan
terjadi dari komponen kognitif ke komponen afektif. Sebaliknya, penurunan yang
signifikan terjadi pada sikap terhadap KA dari komponen afektif ke komponen
konatif, yakni dari sangat positif ke positif. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar
7.2 berikut.
331
100
80
60
40
20
0
TTDL
TTDP
TTML
KK1
TTMP
KB1
TSDL
KA1
TSDP
KK2
TSML
KB2
TSMP
KA2
KK3
TRDL
KB3
TRDP
TRML
TRMP
KA3
Keterangan:
KK1: KK kognitif; KK2: KK afektif; KK3: KK konatif; KB1: KB kognitif; KB2: KB afektif; KB3: KB konatif; KA1: KA kognitif;
KA2: KA afektif; KA3: KA konatif
Gambar 7.2
Sikap Penutur Triwangsa terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode Alus pada
Komponen Kognitif (tiga di kiri), Afektif (tiga di tengah), dan Konatif (tiga di kanan)
332
Gambar 7.2 menunjukkan tiga pola sikap penutur triwangsa terhadap
tingkat tutur BB. Pola pertama adalah bahwa persentase rerata sikap terhadap KA
menunjukkan persentase tertinggi, diikuti oleh sikap terhadap KB dan KK.
Sehubungan dengan hal itu, sikap terhadap KA pada komponen kognitif dan
komponen afektif berkategori sangat positif, yakni di atas 80%; sedangkan, pada
komponen konatif turun secara signifikan ke kategori positif dengan persentase di
antara 60%-80%. Pola kedua berkaitan dengan penurunan persentase sikap
terhadap KB yang cenderung turun secara signifikan dari kategori positif pada
komponen kognitif ke netral pada komponen afektif, sedangkan penurunan yang
terjadi pada komponen konatif cenderung kurang signifikan. Pola ketiga berkaitan
dengan sikap terhadap KK yang pada komponen kognitif dan afektif cenderung
berkategori netral, dan turun secara signifikan ke kategori negatif pada komponen
konatif.
333
7.3 Sikap Penutur Jaba terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali
7.3.1 Jaba Kelas Atas
Tabel 7.5
Sikap Penutur Jaba Kelas Atas terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali
KOMPONEN
SIKAP BAHASA
Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
KOGNITIF
Bahasa
Kesadaran Norma
Rerata Kognitif
Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
AFEKTIF
Bahasa
Kesadaran Norma
Rerata Afektif
Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
KONATIF
Bahasa
Kesadaran Norma
Rerata Konatif
Rerata
DIMENSI
JTDL
JTDP
JTML
JTMP
ReReReKK KB KA rata KK KB KA rata KK KB KA rata KK KB
KA
46,5 89 96,5 77,3 43,1 84,4 86,9 71,5 45,8 86,7 85,8 72,8 48,8 81,3 82,5
Re- Rerata rata
70,8 73,8
46,0 70,7 76,7 64,4 39,2 69,2 72,5 60,3 43,3 70,0 72,2 61,9 41,7 68,3
71,7
60,6 62,1
78,3
78
80
73,3 78,6
68,5 71,7
57,5 57,0
72
52
32
36
79,5 86
80 61,3 85,0 87,5 80,6 71,7 78,3 78,9 77,0 55,0 78,8
80,5 87,4 74,3 45,8 80,5 82,8 70,8 50,7 79,1 79,7 70,8 47,8 76,8
86
80 57,5 25,0 87,5 85,0 55,6 31,7 80,0 86,7 57,5 30,0 90,0
64
67
58,5 35,0 62,5 63,1 55,9 36,7 63,3 61,7 55,8 40,0 62,5 61,25 56,3 56,9
54 74,5 76 68,3 53,5 77,5 79,2 70,2 58,0 74,2 74,4 68,9 54,0 75,0
45,1 73,1 73,1 63,8 43,1 74,6 73,9 63,8 47,4 71,9 70,9 63,3 45,6 73,6
26
84
78 62,7 30,0 82,5 76,3 62,9 30,0 86,7 76,7 64,4 30,0 82,5
77,5
71,8
80
69,0 69,0
63,5 63,7
64,2 63,3
40,7 55,3 65,3 53,8 36,7 52,5 64,2 51,1 54,4 46,7 61,1 54,1 51,7 43,3
58,3
51,1 52,7
41
78
67
62 37,5 75,0 72,5 61,7 41,7 80,0 63,3 61,7 55,0 80,0
36,6 70 69,4 59 35,0 67,5 70,0 57,5 43,8 67,6 66,2 59,2 46,4 65,0
45,2 75,5 77,3 66,4 41,8 75,2 76,1 64,8 47,6 73,9 72,9 65,1 46,6 72,6
62,5
65,7
72,5
65,8 62,4
59,0 58,5
64,2 65,4
Keterangan:
KK: Kode Kasar; KB: Kode Biasa; KA: Kode Alus
334
7.3.1.1 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Laki-Laki (JTDL)
Tabel 7.5 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat
tutur BB pada JTDL berkategori positif, yakni 66,4%. Dalam hal ini, persentase
rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 77,3% dan 75,5%; dan
sikap terhadap KK netral, yakni 45,2%. Secara lebih rinci, data tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 87,4%; selanjutnya, sikap
terhadap KB dengan kategori yang sama, yakni 80,5%; dan sikap terhadap KK
dengan kategori netral, yakni 52%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif
pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif
pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap
terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif
pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan
kebanggaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesadaran akan norma
penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif dengan persentase yang sama,
yakni 73,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 53,8%. Sikap
terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda
dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada
dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran
335
akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori
negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi
kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 70% dan 69,4%;
selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori negatif, yakni 36,6%. Sikap
terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda
dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada
dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan bahasa dan
kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK
berkategori negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, tetapi netral pada dimensi
kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
7.3.1.2 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Dewasa-Perempuan (JTDP)
Tabel 7.5 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat
tutur BB pada JTDP berkategori positif, yakni 64,8%. Dalam hal ini, persentase
rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 76,1% dan 75,2%
secara berurutan; dan sikap terhadap KK netral, yakni 41,8%. Secara lebih rinci,
data tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 82,8%; selanjutnya, sikap terhadap
KB dengan kategori positif, yakni 80,5%; dan sikap terhadap KK dengan kategori
netral, yakni 45,8%. Sikap terhadap KA dan KB berkategori sangat positif pada
dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada
336
dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif
pada dimensi kesetiaan bahasa, netral pada dimensi kebanggaan bahasa, dan
positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 73,9% dan 74,6%;
selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 43,1%. Sikap
terhadap KA dan KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa,
dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan
bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan
dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi kesadaran akan norma
penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 70% dan 67,5%;
selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori negatif, yakni 35%. Sikap
terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda
dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada
dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan
norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif
pada ketiga dimensi sikap bahasa.
7.3.1.3 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Laki-Laki (JTML)
Tabel 7.5 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat
tutur BB pada JTML berkategori positif, yakni 65,1%. Dalam hal ini, persentase
rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 72,9% dan 73,9%; dan
337
sikap terhadap KK netral, yakni 47,6%. Secara lebih rinci, data tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 79,7% dan 79,1%;
selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 50,7%. Sikap
terhadap KA dan KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa,
dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan
bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori netral pada dimensi kesetiaan
dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma
penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 70,9% dan 71,9%;
selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 47,4%. Sikap
terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif
pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori positif pada
ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif
pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi
kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 66,2% dan 67,6%;
selanjutnya, KK dengan kategori netral, yakni 43,8%. Sikap terhadap KA
berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap
338
terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan
bahasa, positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral
pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori
negatif pada dimensi kesetiaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kebanggaan dan
kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
7.3.1.4 Jaba-Status Pekerjaan Tinggi-Muda-Perempuan (JTMP)
Tabel 7.5 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat
tutur BB pada JTMP berkategori positif, yakni 64,2%. Dalam hal ini, persentase
rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 72,5% dan 72,6%; dan
sikap terhadap KK netral, yakni 46,6%. Secara lebih rinci, data tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan rerata
persentase tertinggi dengan kategori positif, yakni 78% dan 76,8%; selanjutnya
KK dengan kategori netral, yakni 47,8%. Sikap terhadap KA dan KB berkategori
sangat positif pada dimensi kesetiaan, dan positif pada dimensi kebanggaan dan
kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK
berkategori netral pada ketiga dimensi sikap bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 71,8% dan 73,6%;
selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 45,6%. Sikap
terhadap KA menunjukkan kategori yang positif pada ketiga dimensi sikap
bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat
positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan
339
kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK
berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral
pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 65,7% dan 65%;
selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 46,4%. Sikap
terhadap KA berkategori positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan netral pada
dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda
dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori positif pada dimensi
kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi
kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada
dimensi kesetiaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran
akan norma penggunaan bahasa.
340
7.3.2 Jaba Kelas Menengah
Tabel 7.6
Sikap Penutur Jaba Kelas Menengah terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali
DIMENSI
KOMPONEN
SIKAP BAHASA
JSDL
KK
KB
KA
Rerata
JSDP
KK
KB
KA
Rerata
JSML
KK
KB
KA
Rerata
JSMP
KK
KB
KA
Rerata
Rerata
Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
KOGNITIF
Bahasa
Kesadaran Norma
51,4 79,6 80,0 70,4 48,2 82,5 87,9 72,9 53,9 85,0 81,8 73,6 50,0 80,0
84,6
71,5 72,1
49,0 71,4 76,2 65,6 44,8 72,9 80,5 66,0 48,6 60,5 63,8 57,6 40,5 60,5
70,0
57,0 61,5
64,3 84,6 79,0 78,3 60,7 80,0 75,7 74,3 69,3 82,5 75,2 77,1 61,4 79,6
68,6
71,9 75,4
Rerata Kognitif
53,5 79,2 78,6 71,3 49,8 79,0 82,0 71,2 55,6 77,4 74,4 69,9 49,4 74,5
75,4
67,3 69,9
40,0 82,9 71,4 58,6 36,4 85,7 75,7 58,6 42,9 88,6 75,7 62,5 34,3 80,0
77,1
56,4 59,0
35,7 67,1 72,1 61,8 33,6 66,4 76,1 63,0 37,1 60,0 62,5 55,5 31,4 60,0
59,6
52,7 58,3
57,7 73,6 81,2 71,3 54,0 75,7 81,7 70,9 58,9 76,8 80,5 72,3 52,9 76,4
79,8
69,9 71,1
48,9 73,1 77,0 66,6 45,6 74,5 79,1 66,7 50,5 73,7 73,5 65,9 44,0 72,2
72,2
62,8 65,5
34,3 86,4 77,1 66,0 25,7 84,3 82,9 64,3 45,7 83,6 76,4 68,6 30,0 84,3
79,3
64,5 65,8
36,2 54,8 58,6 49,8 33,3 48,1 59,5 47,0 34,3 48,6 59,0 47,3 31,9 44,8
55,2
44,0 47,0
64,3 80,0 60,7 68,3 60,7 79,3 85,7 75,2 57,1 67,1 54,3 59,5 62,1 61,4
61,4
61,7 66,2
Rerata Konatif
43,7 71,0 64,5 59,7 39,0 67,3 73,7 60,0 44,1 63,9 62,7 56,9 40,0 60,8
63,9
54,9 57,9
Rerata
49,1 75,2 74,4 66,6 45,3 74,5 78,8 66,6 50,5 72,6 71,1 65,0 44,8 70,1
71,3
62,4 65,1
AFEKTIF
Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
Bahasa
Kesadaran Norma
Rerata Afektif
KONATIF
Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
Bahasa
Kesadaran Norma
Keterangan:
KK: Kode Kasar; KB: Kode Biasa; KA: Kode Alus
341
7.3.2.1 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Laki-Laki (JSDL)
Tabel 7.6 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat
tutur BB pada JSDL berkategori positif, yakni 66,6%. Dalam hal ini, persentase
rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 74,4% dan 75,2%; dan
sikap terhadap KK netral, yakni 49,1%. Secara lebih rinci, data tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 78,6% dan 79,2%;
selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 53,5%. Sikap
terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda
dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada
dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi
kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori
netral pada kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran
akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 77% dan 73,1%;
selanjutnya, KK dengan kategori netral, yakni 48,9%. Sikap terhadap KA
berkategori yang sangat positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan
bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Berbeda
dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada
dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran
akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori
342
negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi
kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan rerata
persentase tertinggi dengan kategori positif, yakni 64,5% dan 71%; selanjutnya,
sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 43,7%. Sikap terhadap KA
berkategori positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan
bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap
terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan
bahasa, positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral
pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori
negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi
kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
7.3.2.2 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Dewasa-Perempuan (JSDP)
Tabel 7.6 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat
tutur BB pada JSDP berkategori positif, yakni 66,6%. Dalam hal ini, persentase
rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 78,8% dan 74,5%; dan
sikap terhadap KK netral, yakni 45,3%. Secara lebih rinci, data tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA berkategori sangat positif,
yakni 82%; selanjutnya, sikap terhadap KB dengan kategori positif, yakni 79%;
dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 49,8%. Sikap terhadap KA
berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan
positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan
343
sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi
kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma
penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori netral pada
dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran
akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 79,1% dan 74,5%;
selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 45,6%. Sikap
terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesadaran akan norma
penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa.
Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif
pada dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan
kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK
berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral
pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 73,7% dan 67,3%;
selanjutnya, KK netral, yakni 39%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif
pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral
pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap
terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan bahasa, positif
pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi
kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada
344
dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran
akan norma penggunaan bahasa.
7.3.2.3 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Laki-Laki (JSML)
Tabel 7.6 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat
tutur BB pada JSML berkategori positif, yakni 65%. Dalam hal ini, persentase
rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 71,1% dan 72,6%; dan
sikap terhadap KK netral, yakni 44,1%. Secara lebih rinci, data tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA dan KB berkategori positif,
yakni 74,4% dan 77,4%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada
dimensi kesetiaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan dan kesadaran
akan norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap
terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran
akan norma penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan bahasa.
Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan
kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan
bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 73,5% dan 73,7%;
selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 50,5%. Sikap
terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesadaran akan norma
penggunaan bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa.
Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif
345
pada dimensi kesetiaan bahasa, positif pada dimensi kesadaran akan norma
penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya,
sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, dan
netral pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 62,7% dan 63,9%;
selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 44,1%. Sikap
terhadap KA berkategori positif pada dimensi kesetiaan bahasa, dan netral pada
dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa. Berbeda
dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada
dimensi kesetiaan bahasa, positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan
bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap
KK berkategori negatif pada dimensi kebanggaan bahasa, dan netral pada dimensi
kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
7.3.2.4 Jaba-Status Pekerjaan Sedang-Muda-Perempuan (JSMP)
Tabel 7.6 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat
tutur BB pada JSMP berkategori positif, yakni 62,4%. Dalam hal ini, persentase
rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 71,3% dan 70,1%; dan
sikap terhadap KK netral, yakni 44,8%. Secara lebih rinci, data tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KA dan KB berkategori positif,
yakni 75,4% dan 74,5%; selanjutnya, sikap terhadap KK berkategori netral, yakni
49,4%. Sikap terhadap KA berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan
346
bahasa, dan positif pada dimensi kebanggaan bahasa dan kesadaran akan norma
penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB
berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap
KK berkategori netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif
pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 72,2% secara bersamaan;
dan sikap terhadap KK netral, yakni 44%. Sikap terhadap KA dan KB berkategori
positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan
netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK
berkategori negatif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan netral
pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi dengan kategori positif, yakni 63,9% dan 60,8%;
selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 40%. Sikap terhadap
KA berkategori positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma
penggunaan bahasa, dan netral pada komponen kebanggaan bahasa. Berbeda
dengan sikap terhadap KA, sikap terhadap KB berkategori positif pada dimensi
kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada
komponen kebanggaan bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif
pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa, dan positif pada dimensi
kesadaran akan norma penggunaan bahasa.
347
7.3.3 Jaba kelas bawah
Tabel 7.7
Sikap Penutur Jaba Kelas Bawah terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali
DIMENSI
KOMPONEN
SIKAP BAHASA
KOGNITIF Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
Bahasa
Kesadaran Norma
JRDL
KK
KB
KA
Rerata
JRDP
KK
KB
KA
Rerata
JRML
KK
KB
KA
Rerata
JRMP
KK
KB
KA
Rerata
Rerata
58,9 84,3 75,7 73,0 54,3 82,5 76,8 71,2 58,2 83,6 74,6 72,1 55,4 78,6 72,5 68,8 71,3
47,6 83,8 73,3 68,3 44,8 81,0 70,5 65,4 47,6 83,8 68,6 66,7 40,0 77,1 68,6 61,9 65,6
66,4 82,5 83,8 79,4 63,6 82,1 72,4 74,8 65,0 81,1 77,1 76,2 58,6 77,9 75,7 72,9 75,8
Rerata Kognitif
56,8 83,5 77,4 73,5 53,2 81,9 73,6 70,5 56,2 82,7 73,6 71,7 51,0 77,9 72,3 68,0 70,9
AFEKTIF
52,1 82,9 80,0 66,8 45,7 78,6 80,0 62,5 51,4 84,3 74,3 65,4 43,6 80,0 77,1 61,1 63,9
Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
Bahasa
Kesadaran Norma
47,1 82,9 70,0 67,5 38,6 76,4 67,5 62,5 49,3 82,9 64,6 65,4 38,6 76,4 65,7 61,6 64,2
62,6 77,5 74,0 71,1 62,0 76,1 74,5 70,8 62,0 77,9 73,1 70,7 60,6 73,2 72,6 68,8 70,3
Rerata Afektif
56,8 79,8 73,1 69,4 53,2 76,5 72,5 67,1 56,8 80,2 70,1 68,3 51,9 75,1 70,5 65,5 67,6
KONATIF
40,7 82,9 75,0 66,2 34,3 80,0 75,7 63,3 42,9 87,1 67,9 66,0 34,3 78,6 69,3 60,7 64,0
Kesetiaan Bahasa
Kebanggaan
Bahasa
Kesadaran Norma
48,1 54,3 65,2 55,9 44,3 53,8 67,1 55,1 42,4 53,3 58,6 51,4 40,5 48,6 59,0 49,4 52,9
66,4 82,9 71,4 73,6 65,7 81,4 73,6 73,6 66,4 79,3 67,1 71,0 58,6 76,4 70,7 68,6 71,7
Rerata Konatif
51,2 70,6 69,8 63,9 47,6 69,2 71,4 62,7 49,4 70,4 63,7 61,2 43,9 65,1 65,3 58,1 61,5
Rerata
55,3 78,9 73,8 69,5 51,6 76,9 72,6 67,2 54,5 78,6 69,7 67,7 49,3 73,5 69,8 64,5 67,2
Keterangan:
KK: Kode Kasar; KB: Kode Biasa; KA: Kode Alus
348
7.3.3.1 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Laki-Laki (JRDL)
Tabel 7.7 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat
tutur BB pada JRDL berkategori positif, yakni 69,5%. Dalam hal ini, persentase
rerata sikap terhadap KB dan KA berkategori positif, yakni 78,9% dan 73,8%; dan
sikap terhadap KK berkategori netral, yakni 55,3%. Secara lebih rinci, data
tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 83,5%; selanjutnya, sikap
terhadap KA dengan kategori positif, yakni 77,4%; dan sikap terhadap KK dengan
kategori netral, yakni 56,8%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada
ketiga dimensi sikap bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KB, sikap terhadap
KA berkategori sangat positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan
bahasa, dan positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa. Sebaliknya,
sikap terhadap KK berkategori positif pada dimensi kesadaran akan norma
penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori positif, yakni 79,8%; selanjutnya, sikap terhadap KA
dengan kategori positif, yakni 73,1%; dan sikap terhadap KK dengan kategori
netral, yakni 56,8%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi
kesetiaan dan kebanggaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesadaran akan
norma penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KB, sikap terhadap
KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap
349
terhadap KK berkategori positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan
bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KB dan KA menunjukkan
persentase rerata tertinggi, yang cenderung sama, dengan kategori positif, yakni
70,6% dan 69,8%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni
51,2%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan
kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi
kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KB, sikap terhadap KA
berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap
KK berkategori positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa,
dan netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa.
7.3.3.2 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Dewasa-Perempuan (JRDP)
Tabel 7.7 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat
tutur BB pada JRDP berkategori positif, yakni 67,2%. Dalam hal ini, persentase
rerata sikap terhadap KB dan KA berkategori positif, yakni 76,9% dan 72,6%; dan
sikap terhadap KK netral, yakni 51,6%. Secara lebih rinci, data tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 81,9%; selanjutnya, sikap
terhadap KA dengan kategori positif, yakni 73,6%; dan sikap terhadap KK dengan
kategori netral, yakni 53,2%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada
ketiga dimensi sikap bahasa, sedangkan sikap terhadap KA berkategori positif
pada ketiga dimensi tersebut. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori positif
350
pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi
kesetiaan dan kebanggaan bahasa.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori positif, yakni 76,5%; dan sikap terhadap KA dengan
kategori positif, yakni 72,5%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral,
yakni 53,2%. Sikap terhadap KB dan KA berkategori positif pada ketiga dimensi
sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori positif pada dimensi
kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan
kebanggaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan
persentase rerata tertinggi, yang cenderung sama, dengan kategori positif, yakni
71,4% dan 69,2%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni
47,6%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesadaran akan
norma penggunaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan
bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KB, sikap terhadap KA berkategori positif
pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori
positif pada dimensi kesetiaan dan kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan
netral pada dimensi kebanggaan bahasa.
7.3.3.3 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Laki-Laki (JRML)
Tabel 7.7 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat
tutur BB pada JRML berkategori positif, yakni 67,7%. Dalam hal ini, persentase
rerata sikap terhadap KB dan KA berkategori positif, yakni 78,6% dan 69,7%;
351
sedangkan, sikap terhadap KK berkategori netral, yakni 54,5%. Secara lebih rinci,
data tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase
rerata tertinggi dengan kategori sangat positif, yakni 82,7%; selanjutnya, sikap
terhadap KA dengan kategori positif, yakni 73,6%; dan sikap terhadap KK dengan
kategori netral, yakni 56,2%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada
ketiga dimensi sikap bahasa, sedangkan sikap terhadap KA berkategori positif
pada ketiga dimensi sikap tersebut. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori
positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada
dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa..
Pada komponen afektif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori positif, yakni 80,2%; selanjutnya, KA dengan kategori
positif, yakni 70,1%, dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 56,8%.
Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi kesetiaan dan
kebanggaan bahasa, tetapi positif pada dimensi kesadaran akan norma
penggunaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KB, sikap terhadap KA
menunjukkan kategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap
terhadap KK berkategori positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan
bahasa, dan netral pada dimensi kesetiaan dan kebanggaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase rerata
tertinggi dengan kategori positif, yakni 70,4%; Selanjutnya, sikap terhadap KA
dengan kategori positif, yakni 63,7%; dan sikap terhadap KK dengan kategori
netral, yakni 49,4%. Sikap terhadap KB berkategori sangat positif pada dimensi
352
kesetiaan bahasa, positif pada dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa,
dan netral pada dimensi kebanggaan bahasa. Berbeda dengan sikap terhadap KB,
sikap terhadap KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa.
Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori positif pada dimensi kesetiaan dan
kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan
bahasa.
7.3.3.4 Jaba-Status Pekerjaan Rendah-Muda-Perempuan (JRMP)
Tabel 7.7 menunjukkan bahwa persentase rerata sikap terhadap tingkat
tutur BB pada JRMP berkategori positif, yakni 64,5%. Dalam hal ini, persentase
rerata sikap terhadap KA dan KB berkategori positif, yakni 73,5% dan 69,8%; dan
sikap terhadap KK berkategori netral, yakni 49,3%. Secara lebih rinci, data
tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Pada komponen kognitif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase
tertinggi dengan kategori positif, yakni 77,9% ; selanjutnya, KA dengan kategori
positif, yakni 72,3%; dan sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 51%.
Sikap terhadap KB dan KA berkategori positif pada ketiga dimensi sikap bahasa,
sedangkan sikap terhadap KK berkategori netral pada ketiga dimensi itu.
Pada komponen afektif, sikap terhadap KB menunjukkan persentase
tertinggi dengan kategori positif, yakni 75,1%; selanjutnya, sikap terhadap KA
dengan kategori positif, yakni 70,5%; dan sikap terhadap KK dengan kategori
netral, yakni 51,9%. Sikap terhadap KB dan KA berkategori positif pada ketiga
dimensi sikap bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori positif pada
353
dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa, dan netral pada dimensi
kesetiaan dan kebanggaan bahasa.
Pada komponen konatif, sikap terhadap KA dan KB menunjukkan rerata
persentase tertinggi yang cenderung sama dengan kategori positif, yakni 65,3%
dan 65,1%; selanjutnya, sikap terhadap KK dengan kategori netral, yakni 43,9%.
Sikap terhadap KB dan KA berkategori positif pada dimensi kesetiaan dan
kesadaran akan norma penggunaan bahasa, tetapi netral pada dimensi kebanggaan
bahasa. Sebaliknya, sikap terhadap KK berkategori negatif pada dimensi kesetiaan
bahasa, dan netral pada dimensi kebanggaan dan kesadaran akan norma
penggunaan bahasa.
7.3.4 Analisis Sikap Penutur Jaba terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali
Sikap penutur jaba BB guyub tutur Kota Singaraja terhadap KK, KB, dan
KA hanya menunjukkan sedikit perbedaan. Persentase rerata sikap terhadap KB
dan KA cenderung sama, sedangkan persentase rerata sikap terhadap KK lebih
rendah secara signifikan daripada persentase rerata sikap terhadap KB dan KA.
Dalam hal ini, persentase rerata sikap terhadap KK pada komponen kognitif,
afektif, dan konatif secara berturut-turut adalah 56,8%; 52,6%; dan 46,7%;
persentase rerata sikap terhadap KB secara berturut-turut adalah 76,2%; 71,4%
dan 66,1%; dan, persentase rerata sikap terhadap KA secara berturut-turut adalah
73,7%; 72,4%; dan 66,2%. Persentase rerata sikap itu dirumuskan pada gambar
7.3 sebagai berikut.
354
80
60
40
20
0
Kognitif
Afektif
Konatif
Gambar 7.3
Sikap Penutur Jaba terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode Alus
Gambar 7.3 menunjukkan bahwa sikap terhadap KB dan KA menunjukkan
persentase yang cenderung sama pada ketiga komponen sikap bahasa, yakni di
antara 60%-80%, dan hal itu menunjukkan sikap yang berkategori positif. Tetapi,
sikap terhadap KK menunjukkan persentase sikap yang lebih rendah, yakni di
antara 40%-60%, dan hal itu menunjukkan sikap yang berkategori netral. Selain
itu, sikap terhadap KK, KB, dan KA juga menunjukkan penurunan dari komponen
kognitif sampai konatif. Persentase rerata sikap terhadap KA dan KB, misalnya,
turun secara kurang signifikan dari komponen kognitif sampai konatif dan hal
yang sama juga ditunjukkan pada sikap terhadap KK dari komponen kognitif
sampai konatif.
355
Untuk paparan yang lebih mendetail tentang sikap penutur jaba terhadap
tingkat tutur BB, perhatikan tabel 7.8 berikut ini.
Tabel 7.8
Sikap Penutur Jaba terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali (dalam Persentase)
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
SUBKELOMPOK
JTDL
JTDP
JTML
JTMP
JSDL
JSDP
JSML
JSMP
JRDL
JRMP
JRML
JRMP
KOGNITIF
KK
KB
KA
52
80,5 87,4
45,8 80,5 82,8
50,7 79,1 79,7
47,8 76,8
78
53,5 79,2 78,6
49,8
79
82
55,6 77,4 74,4
49,4 74,5 75,4
56,8 83,5 77,4
53,2 81,9 73,6
56,2 82,7 73,6
51
77,9 72,3
AFEKTIF
KK KB
KA
45,1 73,1 73,1
43,1 74,6 73,9
47,4 71,9 70,9
45,6 73,6 71,8
48,9 73,1
77
45,6 74,5 79,1
50,5 73,7 73,5
44 72,2 72,2
56,8 79,8 73,1
53,2 76,5 72,5
56,8 80,2 70,1
51,9 75,1 70,5
KONATIF
KK KB
KA
36,6 70
69,4
35
67,5
70
43,8 67,6 66,2
46,4 65
65,7
43,7 71
64,5
39
67,3 73,7
44,1 63,9 62,7
40
60,8 63,9
51,2 70,6 69,8
47,6 69,2 71,4
49,4 70,4 63,7
43,9 65,1 65,3
Tabel 7.8 menunjukkan suatu kecenderungan umum, yakni penurunan rerata
persentase sikap dari komponen kognitif sampai konatif. Dalam hal ini, penurunan
sikap terhadap KK cenderung kurang signifikan dari komponen kognitif ke
komponen afektif dan hal yang sama juga ditunjukkan pada komponen konatif,
kecuali pada kelompok JTDL, JTDP, JSMP, dan JRMP.
Sikap terhadap KB juga menunjukkan penurunan yang dalam hal ini
cenderung kurang signifikan dari komponen kognitif ke komponen afektif, kecuali
pada kelompok JTDL, JTDP, JRDL, JRDP, dan JRML. Selanjutnya, penurunan
356
sikap terhadap KB juga cenderung kurang signifikan dari komponen afektif ke
konatif.
Sikap terhadap KA juga menunjukkan pola penurunan yang mirip dengan
sikap terhadap KB. Dalam hal ini, penurunan sikap terhadap KA cenderung
kurang signifikan dari komponen kognitif ke afektif, kecuali pada kelompok
JTDL, JTDP, dan JSDP. Berikutnya, penurunan persentase yang kurang
signifikan juga terjadi pada komponen konatif. Untuk lebih jelasnya, perhatikan
gambar 7.4 berikut.
357
100
80
60
40
20
0
KK1
KB1
KA1
KK2
KB2
KA2
KK3
KB3
KA3
Keterangan:
KK1: KK kognitif; KK2: KK afektif; KK3: KK konatif; KB1: KB kognitif; KB2: KB afektif; KB3: KB konatif; KA1: KA kognitif; KA2: KA
afektif; KA3: KA konatif
Gambar 7.4
Sikap Penutur Jaba terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode Alus pada
Komponen Kognitif (tiga di kiri), Afektif (tiga di tengah), dan Konatif (tiga di kanan)
358
Gambar 7.4 menunjukkan dengan jelas adanya dua pola penurunan sikap yang
terjadi pada sikap bahasa penutur jaba guyub tutur Kota Singaraja. Pola pertama
adalah penurunan sikap terhadap KK yang kurang signifikan dari komponen
kognitif sampai komponen konatif, kecuali sikap pada kelompok JTDL, JTDP,
JSMP, dan JRMP yang menunjukkan penurunan dari kategori netral ke negatif.
Pola kedua adalah penurunan sikap terhadap KB dan KA yang cenderung
kurang signifikan. Dalam hal ini, penurunan sikap terhadap KB dari komponen
kognitif sampai komponen konatif cenderung rendah, kecuali penurunan sikap
dari komponen kognitif ke komponen afektif pada kelompok JTDL, JTDP, JRDL,
JRDP, dan JRML. Selanjutya, sikap terhadap KA juga cenderung menunjukkan
penurunan yang kurang signifikan dari komponen kognitif sampai komponen
konatif, kecuali penurunan sikap kelompok JTDL, JTDP, dan JSDP pada
komponen afektif.
7.4 Sikap Penutur Bahasa Bali pada Guyub Tutur Bahasa Bali Kota
Singaraja terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali
Untuk paparan yang lebih mendetai tentang sikap penutur BB guyub tutur
Kota Singaraja terhadap tingkat tutur BB dapat dipahami secara lebih baik,
perhatikan tabel 7.9 berikut ini.
359
Tabel 7.9
Sikap Penutur Bahasa Bali Guyub Tutur Kota Singaraja
terhadap Kode Kasar, Kode Biasa, dan Kode Alus
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
SUBKELOMPOK
TTDL
TTDP
TTML
TTMP
TSDL
TSDP
TSML
TSMP
TRDL
TRDP
TRML
TRMP
JTDL
JTDP
JTML
JTMP
JSDL
JSDP
JSML
JSMP
JRDL
JRMP
JRML
JRMP
Rerata
KK
1
KK
2
KK
3
KK
4
KB
1
KB
2
KB
3
KB
4
KA
1
KA
2
KA
3
KA
4
49,7
47,7
45,5
47,8
67,8
67
53,2
63,5
88,2
81,7
74
82,1
48,1
45,4
42,2
45,5
65,1
64,1
50,5
60,7
89,3
81,8
74,3
82,6
50,2
45,7
38,8
45,4
63,4
58,8
49,4
58,2
83,1
80,5
78
80,8
48,1
38,5
28,1
39,1
61,2
55,2
55,2
57,9
82,3
83,3
80
82,1
48,9
48,4
37,3
45,5
73,5
60,2
60
65,8
89,3
85,1
72,4
83,4
46,3
44,6
34,9
42,5
72,3
55,3
59,4
63,9
89,7
86,5
78
85,5
44,8
42,9
33,7
41
69,9
54,3
56,1
61,7
86,4
85,3
72,7
82,6
45,9
43
36,3
42,2
72,9
50
49,2
59,8
86,1
85,7
76,7
83,6
46,8
46,2
38
44,1
73,1
63,3
62,7
67,4
87,3
83,5
73,9
82,4
44,4
43,2
36,9
41,9
71,6
60,6
60,1
65,8
85,9
86,4
75,9
83,6
46,3
45,7
38
43,8
69,1
59,8
59
64,2
81,3
81,2
71,2
78,7
45,4
43,7
35,9
42,1
68,1
64,9
58,8
64,6
81,7
81
72,4
79,1
52
45,1
36,6
45,2
80,5
73,1
70
75,5
87,4
73,1
69,4
77,3
45,8
43,1
35
41,8
80,5
74,6
67,5
75,2
82,8
73,9
70
76,1
50,7
47,4
43,8
47,6
79,1
71,9
67,6
73,9
79,7
70,9
66,2
72,9
47,8
45,6
46,4
46,6
76,8
73,6
65
72,6
78
71,8
65,7
72,5
53,5
48,9
43,7
49,1
79,2
73,1
71
75,2
78,6
77
64,5
74,4
49,8
45,6
39
45,3
79
74,5
67,3
74,5
82
79,1
73,7
78,8
55,6
50,5
44,1
50,5
77,4
73,7
63,9
72,6
74,4
73,5
62,7
71,1
49,4
44
40
44,8
74,5
72,2
60,8
70,1
75,4
72,2
63,9
71,3
56,8
56,8
51,2
55,3
83,5
79,8
70,6
78,9
77,4
73,1
69,8
73,8
53,2
53,2
47,6
51,6
81,9
76,5
69,2
76,9
73,6
72,5
71,4
72,6
56,2
56,8
49,4
54,5
82,7
80,2
70,4
78,6
73,6
70,1
63,7
69,7
51
49,4
51,9
46,8
43,9
40,3
49,3
45,9
77,9
74,2
75,1
67,2
65,1
61,8
73,5
68,8
72,3
81,9
70,5
78,3
65,3
71,1
69,8
77,8
Keterangan:
1: dimensi kognitif; 2: dimensi afektif; 3: dimensi konatif; 4: rerata
Tabel 7.9 menunjukkan perbedaan sikap terhadap KK, KB, dan KA yang
terentang dari kategori sangat positif sampai kategori negatif. Selain itu, tabel itu
juga menunjukkan suatu pola umum yang berupa penurunan persentase sikap,
360
baik penurunan yang kurang signifikan maupun signifikan, dari komponen
kognitif ke afektif dan selanjutnya ke konatif. Dalam hal ini, suatu penurunan
dinyatakan kurang signifikan apabila penurunan itu tidak berubah dari kategori
asal (sebelumnya); sebaliknya, penurunan itu dinyatakan signifikan apabila
berkaitan dengan perubahan dari kategori asal (sebelumnya). Sikap penutur BB
terhadap tingkat tutur BB yang dirangkum pada tabel 7.9 selanjutnya dipaparkan
sebagai berikut.
7.4.1 Sikap Penutur Bahasa Bali terhadap Kode Kasar
Sikap penutur BB guyub tutur Kota Singaraja terhadap KK secara umum
berkategori netral dengan rerata persentase 45,9%. Dari rerata persentase itu,
sikap penutur jaba terhadap KK menunjukkan persentase yang sedikit lebih
tinggi, yakni 48,5%, daripada penutur triwangsa, yakni 43,4%.
Selain itu, sikap terhadap KK menunjukkan penurunan dari komponen
kognitif sampai komponen konatif. Penurunan sikap penutur BB terhadap KK
kurang signifikan pada komponen afektif, kecuali pada kelompok TTMP. Tetapi,
penurunan sikap yang signifikan terjadi pada komponen konatif, yakni dari
kategori netral pada komponen afektif ke kategori negatif, khususnya pada
kelompok TTML, TTMP, TSDL, TSDP, TSML, TSMP, TRDL, TRDP, TRML,
TRMP, JTDL, JTDP, JSDP, dan JSMP. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar
7.5 berikut.
361
60
40
20
KK1
KK2
JRMP
JRML
JRMP
JRDL
JSMP
JSML
JSDP
JSDL
JTMP
JTDP
JTML
JTDL
TRMP
TRML
TRDP
TRDL
TSMP
TSML
TSDP
TSDL
TTMP
TTML
TTDP
TTDL
0
KK3
Keterangan:
KK1: KK kognitif; KK2: KK afektif; KK3: KK Konatif
Gambar 7.5
Sikap terhadap Kode Kasar pada Komponen Kognitif, Afektif, dan Konatif
Kalau diperhatikan secara mendalam, dimensi sikap bahasa yang
berkontribusi positif terhadap sikap terhadap KK adalah kesadaran akan norma
penggunaan bahasa. Kontibusi positif itu disebabkan karena penutur guyub tutur
Kota Singaraja secara umum paham dengan baik kapan, bagaimana, mengapa, dan
di mana KK dapat (tidak dapat) digunakan sehingga persentase sikap terhadap KK
dalam hubungannya dengan dimensi kesadaran akan norma penggunaan bahasa
cenderung (cukup) tinggi.
Sebaliknya, mayoritas penutur, khususnya penutur triwangsa, dan jaba
kelas atas dan kelas menengah guyub tutur BB Kota Singaraja cenderung
memberikan tanggapan negatif pada pernyataan tentang kesetiaan dan kebanggaan
362
terhadap KK. Tanggapan negatif ditujukan pada pernyataan tentang kesetujuan
apabila KK digunakan secara luas atau apabila KK tidak perlu dicampur dengan
kosakata BI. Tanggapan negatif juga ditunjukkan pada pernyataan yang mencari
kesetujuan apabila pembinaan KK perlu dilakukan. Bahkan, penutur BB tersebut
berasumsi bahwa KK tidak perlu diajarkan karena KK bisa dipelajari sendiri.
Selain itu, mereka juga mengungkapkan bahwa KK kurang bermanfaat dengan
penggunaan yang terbatas karena hanya dapat digunakan pada saat marah atau
dengan binatang tertentu saja.
Berbeda dengan penutur triwangsa, dan jaba kelas atas dan kelas
menengah guyub tutur BB Kota Singaraja, penutur jaba kelas bawah cenderung
menanggapi secara netral ketika pernyataan yang sama diajukan. Penutur tersebut
beranggapan bahwa KK adalah juga bagian dari BB yang perlu dilestarikan.
Penutur tersebut menambahkan bahwa KK dapat digunakan pada orang yang
tepat, seperti teman atau anggota keluarga untuk menciptakan suasana keakraban.
Hal itu sesuai dengan semboyan yang sering mereka dengung-dengungkan Yen
sing kasar, sing akrab ‘Kalau tidak kasar, tidak akrab’.
Hal menarik lainnya yang perlu dibahas adalah penurunan persentase
rerata umum KK pada komponen konatif yang signifikan, yakni pada kategori
negatif. Penjelasan yang digunakan untuk menjelaskan hal tersebut adalah karena
para penutur BB pada guyub tutur Kota Singaraja secara umum tidak terbiasa,
menghindari, dan jarang mendengarkan KK yang menyebabkan kurang
dihargainya KK secara konatif. Selain itu, KK juga telah memperoleh penilaian
negatif dari guyub tutur BB di Bali secara umum dan hal itu, sedikit banyak
363
memengaruhi penilaian penutur BB guyub tutur Kota Singaraja terhadap KK
secara negatif. Tambahan pula, persaingan antara KK dengan KB dan KA juga
berkontribusi terhadap kurang setia dan bangganya terhadap KK.
7.4.2 Sikap Penutur Bahasa Bali terhadap Kode Biasa
Sikap penutur BB guyub tutur Kota Singaraja terhadap KB secara umum
berkategori netral dengan persentase 68,8%. Dari persentase tersebut, sikap
penutur jaba terhadap KB sedikit lebih tinggi dengan persentase 74,8% daripada
sikap penutur triwangsa terhadap dengan persentase 62,8%.
Selain itu, sikap penutur BB terhadap KB juga menunjukkan penurunan
persentase dari komponen kognitif sampai komponen konatif. Pada komponen
kognitif, sikap terhadap KB berkategori positif, kecuali pada kelompok JTDL,
JTDP, JRDL, JRDP, dan JRML. Pada komponen afektif, pada penutur triwangsa,
penurunannya yang cenderung kurang signifkan terjadi, kecuali pada kelompok
TTML, TTMP, TSDL, TSDP, TSML, TSMP, TRML, dan TRMP dan hal yang
sama juga terjadi pada penutur jaba, kecuali pada kelompok JTDL, JTDP, JRDL,
JRDP, dan JRML. Pada komponen konatif, penurunan sikap yang juga kurang
signifikan juga terjadi pada semua kelompok penutur BB. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan gambar 7.6 berikut ini.
364
100
80
60
40
20
KB1
KB2
JRMP
JRML
JRMP
JRDL
JSMP
JSML
JSDP
JSDL
JTMP
JTML
JTDP
JTDL
TRMP
TRML
TRDP
TRDL
TSMP
TSML
TSDP
TSDL
TTMP
TTML
TTDP
TTDL
0
KB3
Keterangan:
KB1: KB kognitif; KB2: KB afektif; KB3: KB Konatif
Gambar 7.6
Sikap terhadap Kode Biasa pada Komponen Kognitif, Afektif, dan Konatif
Gambar 7.6 menunjukkan bahwa sikap penutur jaba terhadap KB
cenderung lebih tinggi daripada sikap penutur triwangsa pada ketiga komponen
sikap. Selain itu, penurunan persentase terjadi pada semua kelompok dari
komponen kognitif sampai komponen konatif.
Penutur jaba cenderung memiliki sikap yang lebih positif terhadap KB
daripada penutur triwangsa karena penutur jaba sudah terbiasa, dan telah
mengembangkan kepercayaan dan citarasa positif terhadap KB. Penutur jaba
secara umum beranggapan bahwa KB merupakan bahasa biasa atau bahasa netral
365
yang dapat digunakan pada pergaulan sehari-hari di Kota Singaraja. Selain itu, KB
juga mewakili identitas jaba dan karakter egaliter guyub Singaraja yang menjadi
ciri khas guyub tutur Kota Singaraja.
Penurunan sikap terhadap KB pada komponen konatif dapat terjadi karena
adanya variasi pilihan penggunaan bahasa (kode) yang berujung pada terjadinya
persaingan antarkode. Kehadiran pilihan itu mengurangi dan membatasi fungsi,
dan nilai KB sehingga sikap terhadap KB menurun, terutama pada komponen
konatif. Faktor itu, khususnya pada penutur triwangsa, diakibatkan oleh
“keengganan” untuk menggunakan KB pada percakapan sehari-hari karena KB
dianggap kurang mewakili identitas triwangsa.
7.4.3 Sikap Penutur Bahasa Bali terhadap Kode Alus
Sikap penutur BB guyub tutur Kota Singaraja terhadap KA secara umum
berkategori netral dengan persentase 77,8%. Dari persentase tersebut, sikap
penutur triwangsa terhadap KA lebih tinggi secara signifikan dengan persentase
82,2% daripada sikap penutur jaba yang menunjukkan persentase 73,4%.
Jika rerata persentase sikap terhadap KA pada setiap komponen
diperbandingkan, penurunan persentase sikap juga teramati. Di antara kelompok
triwangsa, kecuali pada kelompok TTMP dan TRDP, penurunan yang terjadi dari
komponen kognitif ke afektif cenderung kurang signifikan karena masih dalam
kategori sangat positif. Namun, penurunan yang terjadi dari komponen afektif ke
konatif secara umum signifikan, yakni dari kategori sangat positif ke positif.
Penurunan sikap penutur jaba terhadap KA cenderung menunjukkan
penurunan yang kurang signifikan dari komponen kognitif ke afektif karena masih
366
dalam kategori positif, kecuali pada kelompok JTDL, JTDP, dan JSDP; dan
penurunan yang kurang signifikan juga terjadi pada komponen konatif. Dengan
demikian, sikap penutur jaba terhadap KB dari komponen kognitif sampai konatif
cenderung sama, yakni berkategori positif. Untuk lebih jelasnya, perhatikan
gambar 7.7.
100
80
60
40
20
KA1
KA2
JRMP
JRML
JRDL
JRMP
JSMP
JSML
JSDP
JSDL
JTMP
JTML
JTDP
JTDL
TRMP
TRML
TRDP
TRDL
TSMP
TSML
TSDP
TSDL
TTMP
TTML
TTDP
TTDL
0
KA3
Keterangan:
KA1: KA kognitif; KA2: KA afektif; KA3: KA Konatif
Gambar 7.7
Sikap terhadap Kode Alus pada Komponen Kognitif, Afektif, dan Konatif
367
Gambar 7.7 menunjukkan penurunan sikap terhadap KA yang kurang
signifikan dari komponen kognitif ke afektif pada penutur triwangsa dan
penurunan signifikan, yakni dari kategori sangat positif ke positif pada komponen
konatif. Gambar itu juga menunjukkan penurunan yang kurang signifikan pada
penutur jaba dari komponen kognitif sampai konatif.
Hasil simak dan cakap semuka yang dilakukan menunjukkan bahwa ada
beberapa faktor yang memengaruhi sikap yang sangat positif terhadap KA pada
penutur triwangsa, khususnya pada komponen kognitif dan afektif. Faktor pertama
berkaitan dengan identitas triwangsa. Ketriwangsaan merupakan identitas yang
berasosiasi dengan kesopanan, kehalusan budi, dan tradisi leluhur yang dalam hal
ini ditandai oleh KA. Selain faktor identitas triwangsa, faktor sosialisasi bahasa
juga berpengaruh pada sikap terhadap KA. Hal itu terjadi karena penutur
triwangsa dibesarkan dengan menggunakan KA sejak masa kanak-kanak sehingga
menjadi fasih dalam kode itu. Dengan demikian, mereka mengembangkan sikap
dan citarasa yang mendukung penggunaan KA.
Meskipun demikian, penutur triwangsa menyadari bahwa penggunaan KA
telah ditantang oleh pola pikir dan pola perilaku berbahasa guyub tutur Kota
Singaraja yang kurang mendukung, dan ditambah lagi oleh kemajuan zaman.
Akan tetapi, penutur itu juga menyadari bahwa kalau bukan mereka, siapa lagi
yang dapat diharapkan untuk memperhatikan dan melestarikan penggunaan KA.
Oleh sebab itu, mereka berupaya untuk mengembangkan dan mempertahankan
penggunaan KA terutama di dalam keluarga dan bilamana memungkinkan, di
masyarakat.
368
Upaya penutur triwangsa untuk mengembangkan dan melestarikan KA
pada khususnya memperoleh dukungan yang positif melalui penyosialisasian
program “ajeg Bali”. Program “ajeg Bali” adalah suatu upaya untuk
menghidupkan dan melestarikan kebudayaan Bali melalui pelaksanaan tradisi dan
kebiasaan yang dianggap luhur dan merupakan kerja bersama antara pemerintah
dan masyarakat. Upaya itu sepertinya membuahkan hasil positif berupa
peningkatan kebanggaan akan identitas kebalian dan KA sebagai salah satu bagian
identitas itu memperoleh dukungan yang cukup baik. Dalam hal ini, Ungkapan
“Om Swastiastu”, ungkapan halus-sopan yang merupakan salam-doa mulai
menjadi lazim, bahkan di antara sesama jaba, dan bersama salam itu, ungkapanungkapan singkat KA, seperti NGAJENG yuk, MRIKI SIMPANG, WENTEN NAPI
NIKI, AMPURA, SUKSMA, BECIK, NIKA, TIANG, NAPI GATRA dan
sebagainya.
Selain kontribusi program “ajeg Bali”, penutur jaba sendiri, meskipun
tidak menunjukkan kecenderungan sikap yang sangat positif terhadap KA,
sesungguhnya menunjukkan sikap yang mendukung. Hal itu berarti bahwa mereka
tidak antipati terhadap KA dan sebaliknya, menyukai KA yang mewakili perilaku
sopan dan saling menghormati.
Tumbuhnya sikap yang positif terhadap KA juga dipengaruhi oleh
kedatangan para pendatang dari luar kabupaten Buleleng untuk bekerja di Kota
Singaraja. Para pendatang itu umumnya berprofesi sebagai guru, PNS, dan
menduduki posisi-posisi penting di kantor-kantor pemerintah dan di perusahanperusahaan swasta sehingga berada di kelas sosial menengah ke atas. Para
369
pendatang itu umumnya tinggal berkumpul di kompleks-kompleks perumahan
yang cukup luas dan menggunakan KA terhadap satu sama lain secara simeris.
Hal itu secara langsung dan tidak langsung memengaruhi penutur jaba yang
tinggal di sekitar untuk menggunakan KA. Pada gilirannya, hal itu berkontribusi
pada pertumbuhan sikap yang positif terhadap KA. Dengan kata lain, perilaku
berbahasa para pendatang tersebut berkontribusi positif pada sikap terhadap KA,
khususnya pada penutur jaba guyub tutur Kota Singaraja.
Sikap terhadap KA yang sangat positif pada komponen kognitif
berpengaruh kuat terhadap sikap terhadap KA pada komponen afektif karena
kedua komponen itu sesungguhnya sulit dipisahkan. Sebagai ilustrasi, jika kita
tahu bahwa rokok itu berbahaya (komponen kognitif), kita tidak akan suka
(komponen afektif) dengan rokok. Begitu juga dengan KA, kepercayaankepercayaan yang bersifat sangat positif tentang KA akan menimbulkan kesukaan
yang sangat tinggi pada kode itu.
Penurunan sikap yang signifikan terhadap KA pada komponen konatif
berkaitan dengan fakta lapangan bahwa penggunaan KA pada guyub tutur Kota
Singaraja tidaklah sangat tinggi, selain pada domain rumah tangga, tetangga, atau
pada pertemuan-pertemuan antarsesama partisipan triwangsa. Dengan demikian,
ketika bertemu dengan partisipan nontriwangsa yang merupakan penduduk
mayoritas di kota Singaraja, maka seorang penutur triwangsa cenderung
memertimbangkan ulang pilihan KA dan pada berbagai situasi, lebih memilih
penggunaan non-KA.
370
Faktor lain yang memengaruhi penurunan sikap terhadap KA pada
komponen konatif adalah pengaruh kode-kode yang lain, khususnya BI, yang
mengakibatkan terjadinya persaingan penggunaan bahasa (kode). Dalam hal ini,
hasil simak dan cakap semuka mengungkapkan perilaku penutur BB guyub tutur
Kota Singaraja yang sangat konvergensif terhadap penggunaan BI. Setiap ajakan
atau undangan untuk berbicara dengan BI cenderung disambut positif. Hal itu
terjadi karena BI dianggap bersifat netral dan demokratis, dan pengguna BI tidak
perlu khawatir dikatakan tidak menghormati kawan tutur, asalkan mereka
menggunakan istilah sapaan yang sesuai, entah itu bapak, ibu, mbak, dan
sebagainya.
Penggunaan BI juga menumbuhkan rasa percaya diri dan identitas
modernitas penggunanya karena BI dianggap sebagai bahasa modern dan cocok
digunakan untuk membicarakan topik-topik modern (terkini) dan pekerjaan
kedinasan tanpa perlu untuk merasa canggung. Siaran TV, surat kabar, dan
bahkan wawancara kerja pun mensyaratkan kemampuan BI yang mengakibatkan
kebutuhan akan penggunaan BI. Selain itu, pada pergaulan antaretnis atau
antaragama di Kota Singaraja, penggunaan BI cenderung lebih diprioritaskan
karena BB kerap dilihat sebagai penanda etnis dan agama bagi penutur beragama
Hindu di Bali.
BAB VIII
TEMUAN PENELITIAN
8.1 Pengantar
Bab ini memaparkan hasil-hasil penelitian yang dianggap baru, yang
meliputi bentuk tingkat tutur bahasa Bali, faktor-faktor yang memengaruhi
penggunaan tingkat tutur bahasa Bali, penjajagan kode, dan pergeseran
penggunaan istilah sapaan.
8.2 Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Bali
Tingkat tutur BB memiliki tiga bentuk kode berdasarkan atas tingkat kata
pembentuknya, yakni kode kasar, kode biasa, dan kode alus. Kode kasar dapat
tersusun oleh level kata manapun, asalkan di antara kata tersebut terdapat kata
kasar. Kehadiran kata kasar itulah yang menjadikan rasa kode kasar. Sebaliknya,
kode biasa tersusun dari kata-kata biasa, tanpa kehadiran kata alus atau kata
kasar. Berbeda dengan kode kasar atau kode biasa, kode alus dapat disusun oleh
kata alus yang bervariasi dan kerap berpadu dengan kata biasa, sehingga rasa alus
kode alus berbeda-beda. Dalam hal ini, kode alus yang lazim digunakan pada
guyub tutur Kota Singaraja adalah kode alus madia yakni kode alus yang
memadukan penggunaan kata alus madia dan kata biasa.
Selain itu, tipe kode alus lain juga berkembang pada guyub tutur Kota
Singaraja yang disebut dengan basa alus metiang-nika. Kode itu terutama
digunakan oleh penutur jaba karena keterbatasan penguasaan akan kata-kata alus.
371
372
Dalam hal ini, penutur jaba mengerti bahwa kata alus memiliki banyak tingkat,
yakni alus singgih, alus sor, alus madia, dan alus mider, tetapi mereka tidak tahu
dengan jelas posisi kata-kata alus pada tingkat-tingkat tersebut. Mereka hanya
bisa membedakan alus, biasa, dan kasar, dan perbendaharaan kosakata alus
mereka pun terbatas. Oleh sebab itu, ketika mereka berbicara dengan KA, KA
yang digunakan sebagian besar tersusun atas kata biasa dan “diperhalus” oleh
kata-kata alus yang umum dan mudah untuk diingat karena frekuensi
penggunaannya yang tinggi.
Istilah metiang-nika digunakan karena kata alus tiang-nika-lah yang paling
sering digunakan. Selain kata itu, kata lain yang juga digunakan adalah: NIKI,
KENTEN, NGGIH, SAMPUN, TEN, DURUNG, NAPI, MALIH, MALIH PIDAN,
RAHINA, MANGKIN, BENJANG, NGAJENG, MANTUK, SARENG, SIRA,
MELANCARAN, NUNAS, DADOS, USAN, SIMPANG, dan sebagainya
Penggunaan kode alus metiang-nika sangat dimaklumi oleh kalangan
penutur triwangsa. Penutur triwangsa memahami bahwa bagi masyarakat jaba
tuntutan penggunaan KA yang ketat sering kali agak berlebihan karena mereka
tidak terbiasa menggunakan kode itu. Selain itu, penutur jaba guyub tutur Kota
Singaraja juga memiliki budaya maboya dan egaliter yang tinggi. Budaya itu
dirumuskan melalui beberapa ungkapan yang sedikit “menyinggung” bagi
penggunaan KA, seperti De ngae ngon atau De bes aeng ‘tidak (perlu) membuat
(orang lain) kagum’ dan lain-lain. Tambahan pula, penutur jaba itu juga sangat
tidak terbiasa bergaul dengan kalangan penutur triwangsa yang berjumlah sangat
373
terbatas. Oleh sebab itu, penggunaan kode alus metiang-nika sudah cukup
berterima sebagai penanda saling menghormati.
Selanjutnya, hasil penelitian ini juga menemukan bahwa penutur jaba
guyub tutur Kota Singaraja cenderung mencampuradukkan penggunaan kata alus
singgih dan alus sor. Ketika mereka menggunakan KA, mereka kerap
menyamaratakan kata alus singgih dan alus sor dan kesulitan untuk membedakan
kata-kata dari kedua tingkat tutur itu. Sebagai akibatnya, mereka kerap
menggunakan kata alus singgih untuk merujuk pada dirinya dan menggunakan
kata alus sor untuk merujuk orang lain yang merupakan penggunaan KA yang
tidak tepat.
8.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa
Bali
Penggunaan tingkat tutur BB yang cenderung terjadi pada guyub tutur
Kota Singaraja adalah penggunaan yang simetris, baik antara KA-KA maupun
KB-KB. Meskipun demikian, penggunaan kode simetris KK-KK dan nonsimetris
antara KA-KB atau KB-KK juga terjadi, tetapi dengan frekuensi yang rendah.
Faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur bahasa Bali pada
guyub tutur Kota Singaraja adalah sebagai berikut.
Pertama, faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan KK secara simetris
adalah faktor keakraban, kesetaraan, dan solidaritas; atau faktor kemarahan. Satu
faktor saja, yakni keakraban, tidak cukup untuk memengaruhi hadirnya
penggunaan KK secara simetris sehingga ada faktor lain yang diharapkan untuk
hadir bersama agar penggunaan KK secara simetris dapat terjadi. Faktor itu adalah
374
kesetaraan, khususnya pada usia dan gender, dan solidaritas. KK yang digunakan
terkait dengan perpaduan faktor-faktor itu dirasakan biasa, tidak kasar. Selain itu,
faktor pengungkapan kemarahan secara simetris juga dapat memengaruhi
penggunaan KK secara simetris. Hal itu dapat terjadi karena KK juga merupakan
kode yang lazim digunakan untuk mengungkapkan kemarahan atau kekesalan.
KK yang digunakan untuk mengungkapkan kemarahan dirasakan kasar dan dapat
menyinggung hati mitra tutur.
Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan KK secara tidak
simetris adalah faktor keakraban menurun, atau faktor pengungkapan kemarahan
yang disertai oleh kesenjangan status. Faktor keakraban menurun yang
memengaruhi penggunaan KK cenderung hanya terjadi pada kelas bawah dan
antara dua peserta tutur yang akrab tetapi memiliki peran yang berbeda, misalnya
ayah-anak, suami-istri, kakak-adik, atau umur yang berbeda secara signifikan.
Penutur yang berperan “lebih tinggi” atau lebih tua dapat menggunakan KK,
tetapi dibalas atau ditanggapi dengan KB. Dalam hal ini, KK menandai keakraban
dan sekaligus kekuasaan, sedangkan KB menandai “kehormatan”. Selain itu,
faktor pengungkapan kemarahan yang terjadi antara penutur-mitra tutur yang
memiliki kesenjangan status tinggi dapat juga memengaruhi penggunaan KK
secara tidak simetris. Sehubungan dengan hal itu, salah satu penutur yang
dianggap berstatus lebih tinggi dapat menggunakan KK untuk mengungkapkan
kemarahannya tersebut, namun tidak dibalas dengan KK oleh penutur yang
berstatus lebih rendah.
375
Ketiga, penggunaan KB-KA secara tidak simetris dapat terwujud karena
pengaruh faktor kesenjangan status yang tinggi atau faktor kekuasaan. Pada
masyarakat yang egaliter, kesenjangan status dan faktor kekuasaan yang
dimaksudkan tidak hanya sekedar perbedaan sosial saja. Akan tetapi, hal itu
terkait dengan sejauh mana hal-hal itu berpengaruh secara nyata untuk
menimbulkan rasa hormat di hati seseorang.
Faktor kesenjangan status yang tinggi umumnya berkaitan dengan
perbedaan wangsa yang disertai oleh perbedaan umur antara satu sampai dua
generasi. Sementara itu, penutur yang dipandang berkuasa adalah penutur dengan
profesi tertentu, seperti dokter, anggota dewan perwakilan rakyat, kepala-kepala
di pemerintahan daerah, pengacara, pemuka agama, dan sebagainya. Selain itu,
para tetua triwangsa, dan kerabat langsung puri yang tinggal di Puri Singaraja dan
Puri Sukasada juga dianggap berkuasa. Mereka itu adalah orang-orang yang
terkemuka dan telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi
kemaslahatan hidup orang banyak. Pada penutur-penutur yang memiliki
kesenjangan tinggi atau dianggap berkuasa, penggunaan KA diberlakukan dan
jika ditanggapi dengan KB, tanggapan itu dianggap berterima.
Keempat, faktor-faktor yang dapat memengaruhi penggunaan kode biasa
secara simetris adalah faktor jaba, faktor solidaritas interwangsa, faktor domain,
atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa. Faktor jaba dan faktor solidaritas
interwangsa menunjukkan bahwa penggunaan KB menyatukan baik sesama
penutur jaba maupun penutur triwangsa-jaba. Selain itu, faktor domain
menunjukkan bahwa pada domain tertentu, yakni domain keluarga dan tetangga
376
penutur jaba, penggunaan KB cenderung sangat tinggi dan selanjutnya semakin
menyusut ketika domain itu bergeser ke domain masyarakat dan tempat kerja.
Faktor budaya dan sosialisasi bahasa juga berperan bagi penggunaan KB
secara simetris karena guyub tutur Kota Singaraja cenderung berbudaya egaliter
dan para penutur jaba-nya tersosialisasi di masyarakat dengan menggunakan KB,
dan cenderung menjadikannya sebagai bahasa umum. Pola penggunaan KB yang
bersifat umum itu dari perspektif guyub tutur BB non-Kota Singaraja dianggap
jabag ‘tidak sopan’ sehingga penutur BB guyub tutur Kota Singaraja atau
Buleleng pada umumnya dianggap kasar dan tidak kenal sopan santun. Dengan
kata lain, penutur BB guyub tutur Kota Singaraja dianggap tidak menghormati
perbedaan wangsa atau status yang merupakan tradisi yang diturunkan dari nenek
moyang.
Informasi yang terungkap dari para pendatang, khususnya dari Bali
Selatan, yang berdomisili di Kota Singaraja, misalnya, menunjukkan bahwa
mereka kerap merasa segan dan canggung untuk beradaptasi dengan lingkungan
pergaulan di Kota Singaraja ketika mereka tiba untuk pertama kalinya. Mereka
mengungkapkan bahwa penutur Kota Singaraja secara tak acuh mengajak mereka
bercakap-cakap dengan KB, tanpa menanyakan identitas kewangsaan mereka dan
tanpa menghiraukan bahwa mereka baru saja saling mengenal.
Keluhan-keluhan yang sama juga muncul dari penutur triwangsa, seperti
terbetik pada hasil wawancara. Hampir semua informan triwangsa, ketika ditanya
apakah mereka bisa menerima penggunaan KB secara simetris pada percakapan
dengan penutur jaba, menjawab Anak ngoyong di Singaraja. Anak mula keto,
377
iraga ane harus berusaha beradaptasi ‘Namanya tinggal di (Kota) Singaraja,
memang seperti itu adanya, kita yang harus berusaha beradaptasi’. Ungkapan itu
menggambarkan suasana keterpaksaan penutur triwangsa untuk membiasakan diri
dengan pola penggunaan KB secara simetris karena memang begitulah suasana
tutur di Kota Singaraja. Selain itu, jika mereka berkeras untuk memasyarakatkan
penggunaan KA/KB secara nonsimetris, mereka akan memperoleh tantangan
keras dari budaya egaliter dan sikap maboya guyub tutur Kota Singaraja yang
sudah mendarah daging.
Namun, masyarakat Bali pendatang dan partisipan triwangsa tersebut
umumnya menyadari bahwa penggunaan KB oleh penutur BB Kota Singaraja
tidak berkorelasi dengan ketidakhormatan atau penyimpangan ekstrem dari norma
sopan santun secara umum. Hal itu terkait dengan latar belakang sejarah guyub
tutur Kota Singaraja yang khas. Dahulu sebelum pemerintahan Raja Panji Sakti,
Kota Singaraja/Buleleng yang lebih dikenal dengan sebutan Den Bukit,
merupakan tempat bagi pelarian, pemberontak, dan perompak. Tipe orang seperti
itu tentu saja memiliki karakter yang berbeda dengan orang kebanyakan karena
mereka pada umumnya keras, tegas, pemberani, dan cenderung untuk tidak hirau
dengan norma kesopanan. Selain itu, sejak pemerintahan Raja Panji Sakti sampai
sekarang, Kota Singaraja merupakan tempat berkumpul dan menetap bagi
masyarakat dari berbagai etnis, seperti Tionghoa, Madura, Arab, Jawa, Bugis, dan
sebagainya. Etnis-etnis tersebut terutama yang berpaham islam berpijak pada
egaliterisme dan telah mewarnai budaya pada guyub tutur Kota Singaraja yang
pada dasarnya juga egaliter.
378
Sesungguhnya, orang yang paling berperan bagi tumbuhnya pola pikir
egaliter pada guyub tutur Kota Singaraja itu sendiri adalah Raja Buleleng pertama,
yakni Ki Gusti Panji Sakti sendiri (Sastrodiwiryo, 2011:107). Hal itu terbukti dari
perekrutan prajurit beliau yang terdiri atas orang-orang dari berbagai etnis dan
kebangsaan. Beliau juga tidak membatasi diri pada interaksi dengan hanya
masyarakat etnis tertentu dalam melakukan hubungan atau perdagangan. Selama
saling menguntungkan dan dengan tidak mengabaikan sikap saling menghormati,
beliau mengadakan hubungan dengan orang dari berbagai etnis dan kebangsaan.
Keempat, faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan kode alus secara
seimetris adalah faktor kekerabatan pada triwangsa, faktor penghormatan interdan antar-wangsa, faktor domain, faktor latar, faktor topik tutur, atau faktor
budaya triwangsa dan sosialisasi bahasa. Faktor kekerabatan berperan penting
bagi penggunan KA di antara penutur triwangsa atau triwangsa-jaba yang
memiliki hubungan kekerabatan. Dalam hal ini, KA menjadi bahasa pengantar
yang menghubungkan mereka satu sama lain. Selain itu, faktor penghormatan
inter-dan antar-wangsa juga berperan bagi penggunaan KA. Percakapan di antara
penutur triwangsa lazim dilakukan dengan KA dan hal yang sama juga dapat
terjadi antara penutur triwangsa dan jaba dalam konteks saling menghormati.
Faktor domain dan latar juga berperan penting bagi penggunaan kode alus
secara simetris. Dalam hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan KA
tertinggi terjadi di domain keluarga dan tetangga triwangsa, namun semakin
menyusut di domain masyarakat dan di domain tempat kerja. Selain itu, ada latar
379
khusus tertentu, seperti gria atau jero atau puri ’rumah bagi triwangsa’, yang
menjadikan penggunaan KA sebagai suatu keharusan.
Faktor budaya triwangsa
dan sosialisasi bahasa juga memengaruhi
penggunaan bahasa. Penutur triwangsa yang dibesarkan pada budaya triwangsa
mengembangkan cita rasa yang kuat terhadap KA. Hal itu terjadi karena KA
menandai ketriwangsaan mereka. Selain itu, mereka berkeinginan kuat untuk
mempertahankan tradisi nenek moyang yang dalam hal ini KA merupakan bagian
dari tradisi tersebut.
8.4 Penjajagan Bahasa (Kode)
Gejala bahasa khas yang lain juga terjadi pada guyub tutur Kota Singaraja,
yakni penjajagan kode. Penjajagan kode merupakan suatu upaya untuk
memfasilitasi terjadinya suatu interaksi yang berhasil melalui penggunaan kode
yang stabil. Dalam hal ini, kode awal menjadi sangat penting karena itu
merupakan peletak dasar bagi interaksi kode yang terjadi berikutnya.
Jika penutur yang mengawali percakapan adalah penutur triwangsa,
penutur itu cenderung lebih menghadapi dilema (keraguan) untuk memutuskan
penggunaan kode awal daripada penutur jaba. Penutur triwangsa itu harus dengan
sungguh-sungguh mempertimbangkan mitra tutur dalam hubungannya dengan
wangsa, umur, pekerjaan, dan gender. Selain itu, ia juga perlu untuk
mempertimbangkan balasan kode yang kira-kira akan diberikan sebagai balikan.
Hal itu akan sangat mudah jika mitra tutur adalah juga triwangsa atau
berumur lebih tua satu atau dua generasi. Untuk mitra tutur seperti itu penutur
380
triwangsa cenderung untuk memulai dengan KA dan mengharapkan balasan KA.
Akan tetapi, jika tidak, ia perlu untuk mempertimbangkan pekerjaan, gender, dan
balikan yang mungkin diberikan oleh mitra tutur.
Umpan balik atau tanggapan mitra tutur itu penting karena berkaitan
dengan etika berbahasa. Jika penggunaan KA oleh penutur triwangsa ditanggapi
dengan KB oleh penutur jaba, hal itu dapat berakibat pada konflik kode dan
sekaligus juga menimbulkan rasa jengkel pada penutur triwangsa karena niat
“baiknya” untuk saling menghormati tidak dihargai.
Pemrakarsaan KA pada guyub tutur Kota Singaraja kerap menimbulkan
sedikit “gangguan” pada penutur jaba karena hal itu membuatnya mencermati
siapa penuturnya menurut asal-usul wangsa dan tempat tinggal. Jika pemrakarsaan
KA itu diikuti dengan penggunaan KA yang konsisten, mitra tutur jaba cenderung
akan berkonvergensi dengan penggunaan KA itu. Namun, jika penggunaan KA itu
tidak konsisten, misalnya, beralih ke KB karena ditanggapi dengan KB, maka
penggunaan KB yang simetrislah yang dapat diharapkan terjadi.
Namun, Jika kode awal yang digunakan adalah KB, mitra tutur jaba
dengan segera bisa menarik kesimpulan bahwa yang diajak bertutur kemungkinan
penutur jaba dan segera dapat menanggapi dengan KB. Selanjutnya, KB menjadi
kode
yang
stabil
untuk
digunakan
untuk
mendorong
kedekatan/keakraban yang berkembang di antara mereka.
dan
menandai
381
8.5 Penggunaan Bahasa Indonesia di Ranah Keluarga Penutur Muda
Hasil angket penggunaan bahasa yang salah satu pertanyaannya menggali
data tentang bahasa yang digunakan pada percakapan antara orang tua - anak di
ranah keluarga menunjukkan temuan data yang perlu diperhatikan secara khusus
pada penutur BB usia muda. Pada keluarga penutur BB muda, penggunaan BI
antara orang tua - anak menunjukkan persentase sangat tinggi dan hal itu berarti
bahwa percakapan yang terjadi didominasi oleh penggunaan BI.
Hasil simak dan cakap semuka bahkan menunjukkan bahwa anak-anak di
keluarga itu belajar BI sebagai bahasa pertama. Beberapa di antaranya belum bisa
BB, tetapi sudah menguasai BI dengan baik. Ketika hal tersebut digali lebih
lanjut, terungkap fakta bahwa penutur muda itu tidak mempermasalahkan jika
anak-anak mereka belum bisa BB dan pada saatnya nanti, anak-anak mereka dapat
belajar BB di lingkungan sekitar, terutama dari kakek-neneknya.
Penggunaan BI lebih diutamakan karena pertimbangan bahwa anak-anak
lebih membutuhkan BI untuk keperluan sekolah. Sekolah tidak lagi seperti dulu
yang pada tahap awal tetap memfasilitasi penggunaan BB dan bahkan, BI sudah
digunakan sebagai bahasa pengantar di institusi pendidikan yang paling rendah,
yakni PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Dengan kata lain, pengenalan dan
penggunaan BI sejak dini kepada anak-anak di keluarga dimaksudkan untuk
mempersiapkan anak-anak di sekolah.
Selain itu, siaran televisi yang berbasis BI, dan permainan-permainan
online dan offline juga mempercepat pemerolehan BI karena televisi dan berbagai
hiburan tersebut telah menjadi hiburan yang paling sering ditonton/dilakukan
382
oleh anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktu mereka di rumah. Oleh
sebab itu, eksposur BI menjadi sangat padat dan kaya.
Fenomena itu cukup memprihatinkan bagi pengembangan sikap terhadap
tingkat tutur BB dan bagi kebertahanan BB. Jika satu generasi tidak mempelajari
BB sebagai bahasa pertama, status BB sebagai bahasa ibu akan mulai terancam.
Selanjutnya, jika hal itu terus berlanjut sampai tiga (atau lebih) generasi, generasigenerasi berikutnya dapat kehilangan BB secara keseluruhan (Lihat Romaine,
2000:49).
8.6 Pergeseran Penggunaan Istilah Sapaan
Istilah Sapaan mengalami pergeseran yang cukup signifikan pada guyub
tutur Kota Singaraja. Istilah gelar triwangsa yang bernuansa tradisi semakin
menghilang berhubungan dengan perubahan domain penggunaan bahasa. Istilah
sapaan atu, aji atau ibu, misalnya, cenderung hanya digunakan di domain keluarga
dan tetangga, tetapi tidak di domain masyarakat dan tempat kerja, apalagi yang
melibatkan penyapa jaba. Istilah yang lazim digunakan untuk menyapa, baik
pesapa triwangsa maupun jaba, adalah pak/bu untuk pesapa triwangsa/jaba yang
berusia tua, atau GW+(ND) untuk pesapa triwangsa muda oleh
penyapa
triwangsa/jaba yang sebaya atau lebih tua.
Selain itu, istilah kekerabatan bli
atau mbok untuk menyapa pesapa
triwangsa yang lebih tua, selain digunakan oleh penyapa triwangsa, juga
digunakan oleh penyapa jaba di domain masyarakat dan tempat kerja. Bentuk bli
atau mbok lazim digunakan sebelum singkatan GW+(ND) dan kerap digunakan
383
oleh penyapa jaba pada guyub tutur Kota Singaraja, meskipun dianggap tidak
sopan menurut konvensi umum yang berlaku karena istilah itu mengesankan
bahwa penyapa jaba memposisikan diri sejajar dengan pesapa triwangsa. Hal itu
jika terjadi pada wilayah Bali lainnya akan dianggap sebagai kekurangajaran.
Pronomina persona pertama TIANG cenderung jarang digunakan dan
digantikan dengan istilah yang “lebih kasar”
YANG
dan RAGA, baik pada
percakapan interwangsa maupun intrawangsa. Istilah YANG dan RAGA
digunakan secara simetris walaupun pada hubungan yang bersifat nonsimetris.
Terakhir, nilai makna pronomina persona kedua CAI ‘kamu laki-laki’ juga
mengalami pergeseran. Pronomina itu, meskipun adalah kata biasa, dianggap
sebagai kata kasar dan lazim digunakan untuk menandai hubungan yang dekat di
antara penutur jaba laki-laki. Namun, pada perkembangan selanjutnya kata itu
juga digunakan sebagai pronomina persona kedua perempuan, sedangkan kata
nyai yang seharusnya digunakan untuk itu tidak digunakan. Dalam hal ini, kata
nyai dikesankan lebih kasar dibandingkan cai dan hanya digunakan pada saat
mengejek atau marah.
8.7 Hubungan antara Sikap terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali
dan
Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali
Perhatikan gambar 8.1 berikut yang menunjukkan hubungan antara sikap
terhadap tingkat tutur BB dan penggunaan tingkat tutur BB pada guyub tutur Kota
Singaraja (lihat juga lampiran 6).
384
100
80
60
40
20
0
Sikap
Penggunaan
Sikap
Triwangsa
Penggunaan
Jaba
KK
KB
KA
Gambar 8.1
Hubungan antara Sikap terhadap Tingkat Tutur Bahasa Bali dan
Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Bali
Walaupun secara kasat mata sikap terhadap tingkat tutur BB sepertinya
tidak berkaitan dengan penggunaan tingkat tutur BB, tetapi analisis yang
dilakukan menunjukkan bahwa sikap terhadap tingkat tutur BB sesungguhnya
berkontribusi pada penggunaan tingkat tutur BB. Sikap KK secara umum,
misalnya, berkategori netral, sedangkan penggunaan KK sangat rendah. Secara
kasat mata, sikap KK yang cenderung netral seolah-olah tidak berkontribusi pada
penggunaan KK; tetapi, jika dilihat secara lebih mendalam, dimensi kesetiaan dan
kebanggaan KK yang merupakan esensi sikap bahasa berkategori negatif. Jika
385
sikap bahasa pada kedua dimensi itu rendah, maka sulit diharapkan untuk terjadi
suatu penggunaan yang berarti. Dengan demikian, penggunaan KK yang sangat
rendah sesungguhnya telah diprediksi oleh sikap terhadap KK.
Berbeda dengan sikap terhadap KK, sikap terhadap KB dan KA berbeda
menurut wangsa penutur. Sikap penutur triwangsa terhadap KB berkategori positif
dan sikap itu tidak disertai oleh penggunaan KB yang tinggi, melainkan rendah.
Hal itu merefleksikan bahwa kategori penggunaan KB pada penutur triwangsa
lebih rendah dari kategori sikap penutur tersebut terhadap KB. Sebaliknya, sikap
penutur jaba terhadap KB berkaitan erat dengan penggunaan KB yang dalam hal
ini sikap yang positif dibarengi dengan penggunaan KB yang tinggi.
Sikap penutur triwangsa terhadap KA cenderung berkategori sangat positif
dan hal itu tidak disertai oleh penggunaan KA yang tinggi, melainkan tinggi. Hal
itu menunjukkan bahwa kategori persentase penggunaan KA berada di bawah
kategori persentase sikap terhadap KA. Sebaliknya, sikap penutur jaba yang
positif terhadap KA tidak dibarengi oleh kategori penggunaan KA yang tinggi,
melainkan rendah.
Pada prinsipnya, hubungan antara sikap dan penggunaan tingkat tutur BB
mencerminkan perilaku yang sama dengan hubungan antara komponen sikap
bahasa, yakni dari komponen kognitif sampai konatif. Secara umum, sikap
terhadap tingkat tutur BB turun bertahap dari komponen kognitif yang berupa
kepercayaan, ke komponen afektif yang berupa kesukaan, sampai komponen
konatif yang berupa kecenderungan untuk berperilaku. Hal itu berarti bahwa
ketika sikap itu menjadi semakin nyata, dari komponen pengetahuan ke
386
kecenderungan berperilaku, penurunan terus terjadi. Sehubungan dengan hal itu,
penurunan yang terjadi pada aspek penggunaan tingkat tutur BB secara nyata
dapat diramalkan terjadi. Dengan kata lain, perbedaan yang terpola antara sikap
dan penggunaan tingkat tutur BB bukannya tidak berkaitan dan sikap terhadap
tingkat tutur BB berkontribusi terhadap penggunaan tingkat tutur BB.
Selain itu, penggunaan KA sepertinya mulai memperoleh tempat yang
lebih baik dibandingkan dengan KK ataupun KB pada penutur BB guyub tutur
Kota Singaraja. Hal itu, pertama, berkaitan dengan sikap penutur triwangsa yang
sangat positif terhadap KA dan sikap penutur jaba yang positif terhadap KA.
Dengan demikian, penyebaran dan pemasyarakatan KA kemungkinan dapat
dengan mudah diwujudkan tanpa halangan yang berarti, khususnya dari pihak
penutur jaba.
Selain itu, faktor kedua yang berkontribusi positif pada sikap terhadap KA
dan selanjutnya, pada peningkatan penggunaan KA adalah program “ajeg Bali”
yang juga telah berimbas pada penutur guyub tutur Kota Singaraja sebagai bagian
dari masyarakat Bali secara umum. Program itu telah berhasil menghidupkan rasa
bangga dan setia terhadap Bali serta KA karena KA merupakan bagian terpenting
dalam membudayakan masyarakat Bali yang terkenal sopan dan berbudi.
Faktor ketiga berkaitan dengan kedatangan para pendatang dari daerah
Bali selatan yang cenderung mendukung penggunaan KA. Banyak dari para
pendatang itu menduduki profesi menengah ke atas, misalnya sebagai pegawai
negeri sipil di kantor pemerintah daerah, dosen, guru, dokter, dan lain-lain, dan
memiliki pengaruh yang dapat menimbulkan rasa hormat di masyarakat. Dalam
387
hal ini, para pendatang itu cenderung menggunakan KA secara simetris dan
mendorong, khususnya penutur jaba, untuk ikut menggunakan KA secara simetris
ketika berbicara dengan mereka.
BAB IX
SIMPULAN DAN SARAN
9.1 Simpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, hasil kajian penelitian ini dapat
disimpulkan sebagai berikut. Pertama, tingkat tutur BB terwujud karena kehadiran
kata-kata BB yang terstratifikasi menurut tingkatan rasa. Hal itu berarti bahwa
suatu kata dapat memiliki alternasi atau realisasi kata dalam tingkat tutur yang
berbeda. Untuk membentuk suatu kode, kata-kata itu ditata menurut kaidah
kookuransi yang terbatas karena kata-kata itu tidak hanya saling membatasi
berdasarkan kategori kata, tetapi juga berdasarkan tingkat kata. Dalam hal ini,
hasil simak dan cakap semuka menunjukkan bahwa persentase kata terbanyak
yang digunakan untuk membentuk kode kasar adalah kata biasa dan diikuti oleh
kata serapan bahasa Indonesia; persentase kata terbanyak yang digunakan untuk
membentuk kode biasa adalah kata biasa, dan diikuti oleh kata serapan bahasa
Indonesia,
kata serapan bahasa Inggris, kata alus, dan kata serapan bahasa
Sansekerta; persentase kata terbanyak yang digunakan untuk membentuk kode
alus adalah kata alus, kata biasa, kata serapan bahasa Indonesia, kata serapan
bahasa Sansekerta, dan kata serapan bahasa Inggris.
Kedua, tingkat tutur (kode) alus yang paling umum digunakan pada guyub
kota Singaraja adalah kode alus madia. Kode itu menggunakan kosakata alus
yang lebih sederhana daripada kosakata alus singgih dan alus sor yang kompleks
sehingga lebih mudah untuk diingat. Selain itu, jenis kode alus yang lain juga
388
389
muncul dan disebut dengan basa alus metiang-nika, yang sebagian besar tersusun
atas kata biasa dan diperhalus oleh kata-kata alus yang umum. Istilah metiangnika digunakan karena kata alus tiang-nika-lah yang paling sering digunakan.
Selain dua bentuk kata itu, digunakan juga kata-kata alus yang umum dengan
jumlah terbatas, misalnya, TIANG, NIKA, NIKI, KENTEN, NGGIH, SAMPUN,
TEN, DURUNG, NAPI, MALIH, MALIH PIDAN, RAHINA, MANGKIN,
BENJANG, NGAJENG, MANTUK, SARENG, SIRA, MELANCARAN, NUNAS,
DADOS, USAN, dan sebagainya
Ketiga, variabel sosial yang paling berkaitan dengan penggunaan tingkat
tutur BB adalah wangsa. Secara umum, tingkat tutur BB yang paling dipilih untuk
bercakap-cakap oleh penutur triwangsa adalah KA dan KB oleh penutur jaba.
Pada triwangsa, variabel yang selanjutnya berperan adalah status pekerjaan, umur,
dan kemudian gender; sedangkan, pada jaba adalah gender, umur, dan kemudian
pekerjaan.
Hubungan
antarvariabel
sosial
itu
sesungguhnya
bersifat
saling
menguatkan atau saling melemahkan pada penggunaan kode. Sebagai contoh,
kehadiran variabel triwangsa bersama-sama dengan status pekerjaan tinggi, umur
tua, dan gender perempuan dapat mempertinggi kemungkinan penggunaan KA
dan sebaliknya, mengurangi kemungkinan penggunaan KB. Namun, kehadiran
variabel jaba bersama-sama dengan status pekerjaan rendah, umur muda, dan
gender pria dapat mengurangi kemungkinan penggunaan KA dan sebaliknya,
memperkuat kemungkinan penggunaan KB.
390
Keempat, domain penggunaan bahasa juga berperan bagi penggunaan
tingkat tutur BB. Pada penutur triwangsa, penggunaan KA yang sangat tinggi
terlihat pada domain keluarga, tetangga, tempat kerja dengan atasan, dan
masyarakat dengan mitra tutur triwangsa; penggunaan KA yang tinggi
ditunjukkan pada domain tempat kerja dengan rekan kerja sejabatan dan bawahan;
dan sebaliknya, penggunaan KA yang cukup tinggi ditunjukkan pada domain
masyarakat dengan mitra tutur jaba dan orang yang tidak dikenal. Pada penutur
jaba, penggunaan KB yang sangat tinggi terlihat pada domain keluarga, pada
tempat kerja dengan rekan kerja sejabatan dan bawahan, dan masyarakat dengan
mitra tutur jaba;
sebaliknya, penggunaan KB yang tinggi ditunjukkan pada
domain tetangga, tempat kerja dengan atasan, dan masyarakat dengan orang tidak
dikenal.
Kelima, hasil simak dan cakap semuka menunjukkan bahwa tingkat tutur
BB yang paling umum digunakan adalah penggunaan KA
atau KB secara
simetris. Selain itu, percakapan yang terjadi di domain masyarakat dan tempat
kerja cenderung diwarnai oleh penggunaan kode yang lebih beragam dengan
masuknya BI. Meskipun demikian, penggunaan KB/KA secara simetris tetap
lebih mendominasi dibandingkan dengan penggunaan kode-kode yang lain.
Keenam, faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan tingkat tutur BB
dapat dirumuskan sebagai berikut. Faktor yang memengaruhi penggunaan KK
secara simetris adalah kehadiran faktor keakraban, kesetaraan usia, dan solidaritas
secara bersama-sama; atau faktor pengungkapan kemarahan secara simetris.
Faktor yang memengaruhi penggunaan KK secara nonsimetris adalah faktor
391
keakraban menurun dalam kerangka penutur jaba kelas bawah atau faktor
kemarahan yang disertai oleh kesenjangan status. Faktor yang memengaruhi
penggunaan KB secara simetris adalah faktor jaba, faktor solidaritas interwangsa,
Faktor domain, atau faktor budaya dan sosialisasi bahasa pada jaba. Faktor yang
memengaruhi penggunaan KB secara nonsimetris (KB-KA) adalah faktor
kesenjangan status yang tinggi atau faktor kekuasaan. Sebaliknya, faktor yang
memengaruhi penggunaan KA secara simetris adalah faktor kekerabatan pada
triwangsa, faktor penghormatan inter-dan antar-wangsa, faktor domain pada
penutur triwangsa, faktor latar, faktor topik tutur, atau faktor budaya dan
sosialisasi bahasa pada triwangsa.
Ketujuh, penggunaan istilah sapaan menunjukkan keragaman menurut
wangsa, pekerjaan, umur, dan gender dan berkaitan dengan domain penggunaan
bahasa. Pada triwangsa, istilah sapaan di domain keluarga cenderung untuk kental
dengan nuansa wangsa dan tradisi. Di keluarga-lah, istilah sapaan triwangsa masih
tetap dipertahankan.Tetapi, Istilah sapaan triwangsa itu bergeser menjadi semakin
egaliter, ketika domain sapaan berpindah ke domain yang lain, seperti tetangga,
masyarakat, dan tempat kerja. Seorang pesapa triwangsa yang sudah menikah atau
berumur tua, misalnya, cenderung hanya menerima sapaan pak atau bu dengan
tambahan gelar wangsa, nama urut lahir, dan/atau nama diri, seperti di masyarakat
atau di tempat kerja. Selain itu, bentuk sapaan pak atau bu itu juga merupakan
bentuk sapaan umum bagi pesapa jaba.
Kedelapan, kelompok triwangsa dan jaba secara umum menunjukkan
sikap yang cenderung netral terhadap KK, sikap yang positif terhadap KB, dan
392
sikap yang sangat positif terhadap KA pada kelompok triwangsa dan positif pada
kelompok jaba. Berbeda dengan KB dan KA yang lebih disukai oleh penutur
guyub tutur Kota Singaraja, KK kurang disukai oleh penutur tersebut. Hal itu
ditunjukkan pada sikap terhadap KK
yang cenderung negatif pada dimensi
kesetiaan dan kebanggaan bahasa dan hanya pada dimensi kesadaran akan norma
penggunaannya-lah, sikap terhadap KK cenderung positif.
Selanjutnya, seluruh sikap bahasa, baik terhadap KK, KB, ataupun KA,
menunjukkan fenomena penurunan dari komponen kognitif sampai komponen
konatif. Hal itu secara umum dikarenakan oleh dua hal, yakni persaingan di antara
ketiga kode itu yang menyediakan ragam pilihan penggunaan kode bagi
penuturnya; dan kehadiran BI yang dianggap lebih netral, lebih modern, lebih
akademis, dan lebih demokratis. Terkait dengan BI, penutur guyub Singaraja
menunjukkan perilaku yang konvergensif terhadap setiap ajakan atau undangan
untuk bercakap-cakap dengan BI.
Walaupun secara kasat mata, sikap dan penggunaan bahasa tidak
menunjukkan kategori persentase skor yang sama, sesungguhnya kedua hal itu
terhubung erat satu sama lain. Sikap dan penggunaan tingkat tutur BB
mencerminkan perilaku yang sama dengan hubungan antarkomponen sikap, yakni
kognitif, afektif, dan konatif. Sikap terhadap tingkat tutur BB antarkomponen
menunjukkan penurunan ketika sikap itu mendekati kenyataan, dari aspek kognitif
yang berupa kepercayaan sampai pada aspek konatif yang berupa kecenderungan
untuk berperilaku. Oleh karena itu, penurunan yang terjadi pada aspek
penggunaan tingkat tutur BB secara nyata dapat diramalkan untuk terjadi. Dengan
393
kata lain, perbedaan yang terpola antara sikap dan penggunaan tingkat tutur BB
bukannya tidak berkaitan, dalam hal ini variasi sikap terhadap tingkat tutur BB
berkontribusi terhadap penggunaan tingkat tutur BB.
9.2 Saran
Penelitian ini merupakan upaya untuk menggambarkan pola perilaku
berbahasa guyub tutur kota Singaraja yang berbasis kajian sosiolinguistik. Oleh
karena itu, penelitian ini terbatas pada pengamatan-pengamatan yang berupaya
untuk menghubungkan kemunculan variabel bahasa dalam kaitannya dengan
variabel sosial. Hal itu berarti kajian-kajian lain yang mendalam masih bisa
dilakukan terkait topik dan subjek penelitian ini.
Jika suatu kajian yang berbasis antropologi atau linguistik antropologi bisa
dilakukan, terutama yang terkait dengan ideologi bahasa, hal itu akan
memungkinkan untuk melihat lebih dalam ke struktur batin/pikiran para pelaku
bahasa. Jika hasil kajian itu selanjutnya dipadukan dengan hasil kajian ini, suatu
pembahasan yang sangat detail dan komprehensif dapat dilakukan.
Hal lain yang menarik untuk dikaji terkait dengan guyub tutur Kota
Singaraja adalah mengenai penggunaan kode kasar. Penggunaan kode kasar
sepertinya tidak berkaitan erat dengan variabel identitas sosial, melainkan dengan
variabel sosial yang lainnya. Untuk itu, suatu deskripsi yang mendalam mengenai
apa, bagaimana, dan mengapa KK digunakan, sekaligus juga nilai-nilai sosial KK,
terkait dengan variabel-variabel sosial yang hadir akan dapat lebih memuaskan
keingintahuan kita mengenai fenomena itu. Sebagai tambahan, persepsi penutur
394
guyub tutur BB nonKota Singaraja juga perlu untuk diteliti terkait dengan asalusul munculnya stereotip bahwa penutur guyub tutur Kota Singaraja
menggunakan bahasa yang kasar-kasar.
Selain itu, kesepakatan bersama mengenai basic code ‘kode dasar’ atau
kode inti BB perlu juga dilakukan agar arah-arah kajian tentang tingkat tutur BB
menjadi lebih jelas. Sehubungan dengan hal itu, Purwoko (2008a) menjelaskan
bahwa kode dasar adalah kode linguistik yang digunakan untuk menyatakan
curahan perasaan penuturnya (“bahasa hati”) pada berbagai kesempatan, baik
pada saat berpikir, berdoa, berbicara dengan teman akrab, mengungkapkan
kekesalan, dan lain-lain. Dalam hal ini, kode yang diacu sebagai kode dasar dalam
BJ, misalnya, adalah kode ngoko.
395
DAFTAR PUSTAKA
Afful, J.B.A. 2006. Address Terms among University Students in Ghana: a Case
Study. Language and Intercultural Communication, 27 (4): 275-289.
Allport, G.W.1973. Attitude in the History of Social Psychology. Dalam: Warren,
N. dan Jahoda, M., editors. Attitude. New York: Penguin. p. 15-21.
Alwasilah, C. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Penerbit Angkasa Bandung.
Alwi, H., Dardjowidjojo, S., Lapoliwa, H., dan Moeliono, A. 2000. Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Anandakusuma, S. R. 1986. Kamus Bahasa Bali: Bali-Indonesia, Indonesia-Bali.
Denpasar: CV Kayumas Agung.
Antara, I G.P. 2012. Tatanama Orang Bali. Denpasar: Penerbit Buku Arti.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan Praktik. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Azwar, S. 2003a. Sikap Manusia: teori dan Pengukurannya. Edisi Kedua.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. 2003b. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Propinsi Bali. 2006. Tata Basa Bali.
Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
Bagus, I G.N. 1979. “Perubahan Pemakaian Bentuk Hormat dalam Masyarakat
Bali: Sebuah Pendekatan Etnografi Berbahasa”. (Disertasi). Jakarta:
Universitas Indonesia.
Baker, Colin. 1992. Attitudes and Language. Adelaide: Multilingual Matters Ltd.
Baron, R.A. dan Byrne, D. 2002. Psikologi Sosial: Jilid 1. Edisi Kesepuluh.
(Djuwita, R. dkk., Pentj). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Barker, G.C. 1947. Social Function of Language in A Mexican-American
Community. Acta Americana 5, 185-202.
Bawa, I W. 2002a. Sejarah Perkembangan Bahasa Bali. Denpasar: Universitas
Udayana.
Bawa, I W. 2002b. Dialek- Dialek Bahasa Bali di Bali: Sebuah Analisis Geografi
Dialek. Denpasar: Universitas Udayana.
Bell, A.1984. Language Style as Audience Design. Language Society. 13, 145204.
Bell, R.T. 1976. Sociolinguistics: Goals, Approaches and Problems. London: B.T.
Batsford Ltd.
Beratha, N.L.S. 1992. “Evolution of Verbal Morphology in Balinese” (Disertasi).
Australia: the Australian National University.
396
Beratha, N.L.S., Tantra, D.K., Artawa, I K., dan Antara, I G.N. 1999. “Buku
Pelajaran Bahasa Bali untuk Siswa Sekolah Dasar”. (Laporan Penelitian).
Denpasar: Universitas Udayana.
Bernstein, B. 1972. Social Class, Language, and Socialization. Dalam: Giglioli,
P., editor. Language and Social Context. London: Cox & Wyman Ltd. P.
157-178.
Blom, J.P., dan Gumperz, J.J. 1972. Social Meaning in Linguistic Structures:
Code-Switching in Norway. Dalam: Gumperz, J.J. dan Hymes, D.,
editors. Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of
Communication. New York: Holt, Rinehart & Winston. p. 407-434.
Bonvillain, N. 2003. Language, Culture, and Communication: The Meaning of
Messages. Edisi Keempat. New Jersey: Pearson Edducation, Inc.
BPS Kabupaten Buleleng. 2010. Kabupaten Buleleng dalam Angka. Buleleng:
BPS Kabupaten Buleleng.
Braun, F. 1988. Terms of Address: Problems of Patterns and Usage in Various
Languages and Cultures. Amsterdam: Mouton de Gruyter.
Brown, R. and Gilman, A. (1960). The Pronouns of Power and Solidarity. Dalam:
Sebeok, T. A., editor. Style in Language. New York: John Wiley. p. 253276.
Brown, R. W. dan Ford, M. 1961. Address in American English. Journal of
Abnormal and Social Psychology, 62: 375-385.
Bungin, B. 2003. Metode Triangulasi. Dalam: Bungin, B., editor. Analisis Data
Penelitian Kualitatif: Penguasaan Filosofis dan Metodologis ke Arah
Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. p. 198206.
Cahyono, B.Y. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga
University Press.
Casson, R.W. 1981. Language, Culture and Cognition: Anthropological
Perspectives. New York: Macmillan Publishing Co, Inc.
Chaer, A. dan Agustina, L. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Edisi Revisi.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Chambers, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. Edisi Kedua. Oxford: Blackwell
Publishing
Clynes, A. 1994. Old javanese Influence in Balinese: Balinese Speech Style.
Dalam: Dutto, T. dan Tyran, D.T., editors. Language Contact and
Change in the Austronesian World. Berlin: Mouton de Gruyter. p. 141179.
Cole, M. dan Scribner, S. 1974. Culture and Thought: a Psychological
Introduction. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
397
Coulmas, F. 2005. Sociolinguistics: The Study of Speakers’ Choice. Cambridge:
Cambridge University Press
Creswell, J.W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and
Evaluating Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson
Education, Inc.
Creswell, J. W. dan Clark, P.L.V. 2007. Designing and Conducting Mixed
Methods Research. Callifornia: Sage Publication, Inc.
Crystal, D. 2006. How Language Works. Australia: Penguin Group.
Downes, W. 1984. Language and Society. Suffolk: Richard Clay.
Culler, J. 1996. Saussure. (Rochayah dan Siti Suhayati, Pentj) Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Dawes, R. 1972. Fundamental of Attitude Measurement. New York: John Wiley
& Sons, Inc.
Diantha, M.P. dan Wisanjaya, I G.P.E. 2010. Kasta: dalam Perspektif Hukum dan
HAM. Denpasar: Udayana University Press.
Djajasudarma, F. 2006. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan
Kajian. Bandung: PT Refika Aditama.
Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University
Press.
Dwipayana, A.A.G.N.A. 2001. Kelas Kasta: Pergulatan Kelas Menengah Bali.
Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Eckert, P. dan McConnell-Ginet, S. 2003. Language and Gender. Cambridge:
Cambridge University Press.
Ervin-Tripp, S.M. 1976. Sociolinguistics. Dalam: Fishman, J.A., editor. Advances
in the Sociology of Language, Vol 1. Edisi Kedua. The Hague: Mouton.
p.7-91.
Faisal, S. 2003.Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian Kualitatif. Dalam:
Bungin, B, editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman
Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada. p. 3-17.
Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. New York: Basil Blackwell Inc.
Fasold, R. 1990. Sociolinguistics of Language. Cambridge: Basil Blackwell, Inc.
Fernandez, I.Y. 1993. “Bahasa Jawa Blora: Kajian Sinkronis, Diakronis, dan
Sociolinguistics” (Laporan Penelitian). Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada.
398
Fishman, J. A. 1972a. The Sociology of Language: An Interdisciplinary approach
to Language in Society. Dalam: Fishman, J.A., editor. Advances in the
Sociology of Language, Vol 1. Edisi Kedua. The Hague: Mouton. p. 217404.
Fishman, J.A. 1972b. The Relationship between Micro-and MacroSociolinguistics in the Study of Who Speaks What Language to Whom
and When. Dalam: Pride, J.B. dan Holmes, J., editor. Sociolinguistics.
New York: Penguin Books Ltd. p. 15-32.
Fishman, J.A.1972c. Sociolinguistics: A Brief Introduction. Rowley: Newbury
House Publisher.
Foley, W.A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford:
Blackwell Publisher Ltd.
Garvin, P. dan Mathiot, M. 1968. The Urbanization of the Guarani Language:a
Problem in Language and Culture. Dalam: Fishman, J.A., editor.
Readings in the Sociology of Language. Edisi ke-2. The Hague-Paris
Mouton. p. 365-374
Gautama, W.B. 2006. Tata Sukerta Basa Bali. Denpasar: CV Kayumas Agung.
Garrett, P. 2010. Attitudes to Language. Cambridge: Cambridge University Press.
Geertz, C.1972. Linguistic Etiquette. Dalam: Pride, J.B. dan Holmes, J., editor.
Sociolinguistics. New York: Penguin Books Ltd. p. 167-179.
Geertz, C. 1973. The Interpretation of Culture: Selected Essays. New York: basic
Book, Inc.
Geriya, I W. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI.
Surabaya: Penerbit Paramita.
Ginarsa, I K., Tinggen I N., dan Narayana, IB U. 1974. Penetapan Salah Satu
Dialek untuk Acuan Bahasa Bali Baku. Dalam: Bagus, I G.N., editor.
Masalah Pembakuan Bahasa Bali: Hasil Kongres Basa Bali/Pasamuhan
Agung Basa Bali yang Diadakan pada Tanggal 28 sd 29 Oktober 1974
untuk Memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-46 di Singaraja.
Singaraja: Balai Penelitian Bahasa. p. 25-35.
Goddard, C. 2005. The Languages of East and Southeast Asia. Oxford: Oxford
University Press.
Goodenough, W. 1964. Cultural anthropology and Linguistics. Dalam: Hymes,
D., editor. Language in Culture and society: a reader in linguistic
anthropology. New York: Harper & Row. p. 36-39.
Goodenough, W. H. 2003. In Persuit of Culture. Annu. Rev. Anthropolog, 32: 112.
Goodenough, W.H. 2004. Evolution of Human Capacity for Beliefs. American
Anthropologist 92,3: 597-612.
399
Greenfield, L. 1972. Spanish and English Usage Self-Rating in Various
Situational Contexts. Dalam: Fishman, J. A., editor. Advances in the
Sociology of Language, Vol.2. The Hogue: Mouton & Co. p. 20-34.
Gudykunst, W.B. dan Scmidt, K.L. 1987. Language and ethnic Identity: an
Overview and Prologue. Journal of Language and Social Psychology, 6:
157-170.
Gumperz, J. 1972. The Speech Community. Dalam: Giglioli, P.P., editor.
Language and Social Context. London: Cox & Wyman Ltd. p. 219-231.
Gumperz, J., editor. 1982. Language and Social Identity. Cambridge: Cambridge
University Press.
Hardjoprawiro, K. 2000. “Ragam dan Sikap Bahasa Lurah: Penelitian Naturalistik
di Kelurahan Karangasem, Kotamadia Surakarta (1997)” (Hasil
Penelitian). Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Hobart, A., Urs, R, dan Albert, L. 1996. The Peoples of Bali. USA: Blackwell
Publishers, Inc.
Holmes, J. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman
Publishing.
Hudson, R.A. 1982. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Hymes, D. 1974. Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach.
USA: University of Pennsylvania Press, Inc.
Jendra, I W. 2007. Sosiolinguistik: Teori dan Penerapannya. Surabaya: Paramita.
Karepun, M.K. 2007. Mengurai Benang Kusut Kasta: Membedah Kiat
Pengajegan Kasta di Bali. Denpasar: PT Empat Warna Komunikasi.
Katubi. 2010. Sikap Bahasa Penutur Jati Bahasa Lampung. Linguistik Indonesia,
28 (1): 41-45.
Keesing, R.M. 1981. Theories of Culture. Dalam: Casson, R.W., editor.
Language, Culture, and Cognition. New York: Macmillan Publishing
Co., Inc. p. 42-68.
Kridalaksana, H. 1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende-Flores: Penerbit
Nusa Indah.
Kridalaksana, H. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Labov, W. 1972. On the Mechanism of Linguistic Change. Dalam: Gumperz, J.J.
dan Hymes, D., editors. Directions in Sociolinguistics: The Ethnography
of Communication. New York: Holt, Rinehart & Winston. p. 512-547.
Laksana, I K.D. 2009. Tabu Bahasa: Salah Satu Cara Memahami Kebudayaan
Bali. Denpasar: Udayana University Press.
Mahsun. 2011. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan
Tekniknya. Jakarta: Rajawali Pers.
400
Mahyuni. 2006. Speech Styles and Cultural Consciousness in Sasak Community.
Lombok: Yayasan Cerdas.
Meyerhoff, M. 2006. Introducing Sociolinguistics. New York: Routledge
Milroy, J. 1992. Linguistic Variation and Change. Oxford: Basil Blackwell Ltd
Murray, T.R. 2003. Blending Qualitative and Quantitative Research Methods in
Theses and Dissertations. California: Corwin Press, Inc.
O’Rourke, B. 2011. Galician and Irish in the European Context: Attitudes
towards Weak and Strong Minority Languages. London: Palgrave
Macmillan
Pastika, I W. 2005 Fonologi Bahasa Bali: Suatu Pendekatan Generatif
Transformasi. Kuta: Pustaka Larasan.
Pelly, U dan Menanti, A. 1994. Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi.
Pride, J.B. dan Holmes, J, editors. 1972. Sociolinguistics: Selected Readings. New
York: Penguin Books Ltd.
Purwoko, H. 2008a. Jawa Ngoko: Ekspresi Komunikasi Arus Bawah. Jakarta:
Penerbit Indeks.
Purwoko, H. 2008b. Wacana Komunikasi: Etiket dan Norma Wong-Cilik Abangan
di Jawa. Jakarta: Penerbit Indeks.
Richard, J., Platt, J., dan Weber, H. 1995. Longman Dictionary of Applied
Linguistics. Essex: Longman Group Limited.
Riduwan. 2010. Metode dan Teknik Menyusun Thesis. Bandung: Alfabeta.
Romaine, S. 2000. Language in Society: An Introduction to Sociolinguistics. Edisi
Kedua. Oxford: Oxford University Press.
Sapir, E.1949. Culture, Language and Personality. California: University of
California Press.
Sastrodiwiryo, S. 2011. I Gusti Anglurah Panji Sakti: Raja Buleleng 1599-1680.
Denpasar: Pustaka Bali Post.
Saville-Troike, M. 2003. The Ethnography of Communication: An Introduction.
Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
Scollon, R. dan Scollon, S.W. 2001.
Blackwell Publishers Ltd.
Intercultural Communication. Oxford:
Seken, I K. 2004. “Being Polite in Balinese: An Analysis of Balinese Adat
Leaders’ Spoken Discourse” (Disertasi). Malang: Universitas Negeri
Malang.
Spolsky, B. 2003. Sociolinguistics. Oxford: Oxford University Press.
401
Subroto, E. H.D. Prof. Dr.; Dwiraharjo, M. Prof. Dr. S.U.; dan Setiawan, B. Dr.
2007. “Model Pelestarian dan Pengembangan Kemampuan Berbahasa
Jawa Krama di Kalangan Generasi Muda Wilayah Surakarta dan
Sekitarnya”. (Laporan Hasil Penelitian). Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
Suarjana, I N.P. 2008. Sor-Singgih Basa Bali: Ke-Bali-an Manusia Bali dalam
Dharma Papadikan, Pidarta Sambrama Wacana dan Dharma Wacana.
Denpasar: Tohpati Grafika Utama.
Suastra, I M. 1998. “Speech Levels and Social Change: A Sociolinguistic Study in
the Urban Balinese Setting” (Disertasi). Australia: La Trobe University.
Sudarso. 2007. Prosedur Penelitian. Dalam: Suyanto, B. dan Sutinah, editors.
Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta:
Kencana. p. 53-57.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Suhardi, B. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Kelompok Sarjana
dan Mahasiswa di Jakarta. Depok: Fakultas Sastra Indonesia.
Suhardi, B. 2009. Pedoman Penelitian Sosiolinguistik. Jakarta: Pusat Bahasa.
Sulaga, I.N., Teguh I W., Partami, N.L. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali.
Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
Suryawan, I N. Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di Bali
Utara. Jakarta: Prenada.
Suteja, I N. 2007. “Sikap Bahasa Kelompok Mahasiswa Etnis Bali terhadap
Pemakaian Bahasa Bali”. (Disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.
Suwija, I N. 2005. Kamus Anggah-Ungguhing Basa Bali. Denpasar: Sanggar Ayu
Suara.
Suyanto, B. dan Karnaji. 2007. Penyusunan Instrumen Penelitian. Dalam:
Suyanto, B. dan Sutinah, editor. Metode Penelitian Sosial: Berbagai
Alternatif Pendekatan. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana. p.59-68.
Tanner, N. 1972. Speech and Society among the Indonesian Elite. A Case Study
of a Multilingual Community. Dalam: Pride, J.B. dan Holmes, J., editors.
Sociolinguistics. New York: Penguin Books Ltd. p. 125-141.
Teddli, C. dan Tashakkori, A. 2009. Foundations of Mixed Methods Research:
Integrating Quantitative and Qualitative Approaches in the Social and
Behavioral Science.California: Sage Publication, Inc.
Tim Peneliti Fakultas Sastra Universitas Udayana. 1978/1979. Unda Usuk Bahasa
Bali. (Laporan Penelitian). Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
402
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Tinggen, I N. 1986. Sor Singgih Basa Bali. Singaraja: Penerbit Rhika Singaraja.
Triandis, H.C. 1971. Attitude and Attitude Change. New York: John Wiley & Son,
Inc.
Vickers, A. 1989. Bali: A Paradise Created. Australia: Penguin Books.
Wallace, A. F.C. 1981. Culture and Cognition. Dalam: Casson, R.W., editor.
Language, Culture, and Cognition. New York: Macmillan Publishing
Co., Inc. p. 69-91.
Wardhaugh, R. 1998. An Introduction to Sociolingustics. Edisi Ketiga. Oxford:
Blackwell Publisher Ltd.
Weber, M.1978. Economy and Society: An Outline of Interpretive Society.
California: University of California Press.
Whorf, B.L. 1964. Language, Thought and Reality. Cambridge: MIT Press.
Wiana, I K. 2006. Memahami Perbedaan Catur Varna, Kasta, dan Wangsa.
Surabaya: Penerbit Paramita.
Winford, D. 2003. An Introduction to Contact Linguistics. Oxford: Blackwell
Publishing.
Wingarta, P.S. 2009. Meboya: Kearifan Lokal Buleleng dan Restorasi Nilainya.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Wirawan, I.B. 2007. Unsur-Unsur Penelitian Survey. Dalam: Suyanto, B. dan
Sutinah, editors. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana. p. 41-52.
Witterman, E.P. 1967. Indonesian Terms of Address in A Situation of Rapid Social
Change. Social Force, 46 (1): 48-5.
Wolfram, W. dan Fasold, R.W. 1974. The Study of Social Dialects in American
English. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Zahn, C.J. dan Hopper, R. 1985. Measuring Language Attitudes: The Speech
Evaluation Instrument. Journal of Language and Social Psychology, Vol.
4 (2): 113-123.
403
LAMPIRAN 1: PETA PENELITIAN
Lokasi Penelitian
404
LAMPIRAN 2: ANGKET BAHASA
ANGKET BAHASA
I. IDENTITAS RESPONDEN
ISILAH INFORMASI BERIKUT MENGENAI IDENTITAS BAPAK/IBU/
SAUDARA DENGAN SELENGKAP-LENGKAPNYA!
NO
IDENTITAS PRIBADI
1.
NAMA
:
______________________________
2.
TEMPAT/TANGGAL LAHIR
:
______________________________
3.
DAERAH ASAL
:
______________________________
4.
ETNIS
:
______________________________
5.
UMUR
:
______________________________
6.
ALAMAT
:
______________________________
7.
PENDIDIKAN TERAKHIR
:
______________________________
8.
PEKERJAAN/ JABATAN
:
______________________________
9.
ALAMAT KANTOR (jika ada)
:
______________________________
10.
Bagaimanakah frekuensi anda ke
luar kota
:
☐ Tidak pernah
☐ Sangat jarang
☐ Jarang
☐ Sering
☐ Sangat sering
11.
Apakah anda bisa berbahasa Bali
Alus dengan baik?
:
☐ Ya
☐ Tidak
12.
Apakah anda bisa berbahasa Bali
Biasa dengan baik?
:
☐ Ya
☐ Tidak
13.
Apakah anda bisa berbahasa bali
Kasar dengan baik?
:
☐ Ya
☐ Tidak
14.
Selain bahasa Bali, bahasa apalagi
yang anda kuasai?
:
405
II. PENGGUNAAN BAHASA BAHASA BALI
Silangilah (X) respon yang sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu/Saudara pada
pernyataan berikut!
Keterangan:
1. Bahasa:
BA = Basa Alus
BB = Basa Biasa
BK = Basa kasar
BL = Bahasa lain
BI = Bahasa Indonesia
2. Pekerjaan:
Pekerjaan A, terdiri atas manajer, pengusaha, direktur, rektor, kepala biro,
dekan, dokter dan kepala bagian.
Pekerjaan B, terdiri atas staf PNS biasa (pegawai pemda, guru, satpam),
pegawai hotel, dan pemilik toko.
Pekerjaan C, terdiri atas supir, buruh, petani, pedagang kecil-kecilan, tenaga
serabutan, dan penjaga malam
(A) Di rumah, bahasa yang saya gunakan
untuk bercakap-cakap dengan ….
001. Kakek
002. Nenek
003. Ayah
004. Ibu
005. Paman
006. Bibi
007. sepupu laki-laki
008. sepupu perempuan
009. kakak laki-laki
010. kakak perempuan
011. adik laki-laki
012. adik perempuan
013. anak laki-laki
014. anak perempuan
(B) Di sekitar rumah, bahasa yang biasa saya
gunakan untuk bercakap-cakap dengan
tetangga ….
015. laki-laki, tri wangsa, dan lebih tua
016. laki-laki, tri wangsa, dan sebaya
017. laki-laki, tri wangsa, dan lebih muda
018. laki-laki, jaba, dan lebih tua
[BA]
[BB]
[BK]
[BI]
[BL]
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
[BA]
[BB]
[BK]
[BI]
[BL]
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
406
019.
020.
021.
022.
023.
024.
025.
026.
laki-laki, jaba, dan sebaya
laki-laki, jaba, dan lebih muda
perempuan, tri wangsa, dan lebih tua
perempuan, tri wangsa, dan sebaya
perempuan, tri wangsa, dan lebih muda
perempuan, jaba, dan lebih tua
perempuan, jaba, dan sebaya
perempuan, jaba, dan lebih muda
(C) Di tempat kerja, bahasa yang saya gunakan untuk bercakap-cakap dengan atasan ….
027. laki-laki, tri wangsa, dan lebih tua
028. laki-laki, tri wangsa, dan sebaya
029. laki-laki, tri wangsa, dan lebih muda
030. laki-laki, jaba, dan lebih tua
031. laki-laki, jaba, dan sebaya
032. laki-laki, jaba, dan lebih muda
033. perempuan, tri wangsa, dan lebih tua
034. perempuan, tri wangsa, dan sebaya
035. perempuan, tri wangsa, dan lebih muda
036. perempuan, jaba, dan lebih tua
037. perempuan, jaba, dan sebaya
038. perempuan, jaba, dan lebih muda
(D) Di tempat kerja, bahasa yang saya gunakan untuk bercakap-cakap dengan rekan kerja
sejabatan ….
039. laki-laki, tri wangsa, dan lebih tua
040. laki-laki, tri wangsa, dan sebaya
041. laki-laki, tri wangsa, dan lebih muda
042. laki-laki, jaba, dan lebih tua
043. laki-laki, jaba, dan sebaya
044. laki-laki, jaba, dan lebih muda
045. perempuan, tri wangsa, dan lebih tua
046. perempuan, tri wangsa, dan sebaya
047. perempuan, tri wangsa, dan lebih muda
048. perempuan, jaba, dan lebih tua
049. perempuan, jaba, dan sebaya
050. perempuan, jaba, dan lebih muda
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
[BA]
[BB]
[BK]
[BI]
[BL]
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
[BA]
[BB]
[BK]
[BI]
[BL]
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
407
(E) Di tempat kerja, bahasa yang saya
gunakan untuk bercakap-cakap dengan rekan
kerja berjabatan lebih rendah ….
051. laki-laki, tri wangsa, dan lebih tua
052. laki-laki, tri wangsa, dan sebaya
053. laki-laki, tri wangsa, dan lebih muda
054. laki-laki, jaba, dan lebih tua
055. laki-laki, jaba, dan sebaya
056. laki-laki, jaba, dan lebih muda
057. perempuan, tri wangsa, dan lebih tua
058. perempuan, tri wangsa, dan sebaya
059. perempuan, tri wangsa, dan lebih muda
060. perempuan, jaba, dan lebih tua
061. perempuan, jaba, dan sebaya
062. perempuan, jaba, dan lebih muda
(F) Dalam pertemanan di masyarakat, bahasa
yang saya gunakan untuk bercakap-cakap
dengan peserta tutur tri wangsa ...
063. laki-laki, lebih tua, dan pekerjaan A
064. laki-laki, sebaya, dan pekerjaan A
065. laki-laki, lebih muda, dan pekerjaan A
066. laki-laki, lebih tua, dan pekerjaan B
067. laki-laki, sebaya, dan pekerjaan B
068. laki-laki, lebih muda, dan pekerjaan B
069. laki-laki, lebih tua, dan pekerjaan C
070. laki-laki, sebaya, dan pekerjaan C
071. laki-laki, lebih muda, dan pekerjaan C
072. perempuan, lebih tua, dan pekerjaan A
073. perempuan, sebaya, dan pekerjaan A
074. perempuan, lebih muda, dan pekerjaan A
075. perempuan, lebih tua, dan pekerjaan B
076. perempuan, sebaya, dan pekerjaan B
077. perempuan, lebih muda, dan pekerjaan B
078. perempuan, lebih tua, dan pekerjaan C
079. perempuan, sebaya, dan pekerjaan C
080 perempuan, lebih muda, dan pekerjaan C
(G) Dalam pertemanan di masyarakat, bahasa
yang saya gunakan untuk bercakap-cakap
dengan peserta tutur jaba …..
081. laki-laki, lebih tua, dan pekerjaan A
[BA]
[BB]
[BK]
[BI]
[BL]
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
[BA]
[BB]
[BK]
[BI]
[BL]
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
[BA]
[BB]
[BK]
[BI]
[BL]
☐
☐
☐
☐
☐
408
082.
083.
084.
085.
086.
087.
088.
089.
090.
091.
092.
093.
094.
095.
096.
097.
098.
laki-laki, sebaya, dan pekerjaan A
laki-laki, lebih muda, dan pekerjaan A
laki-laki, lebih tua, dan pekerjaan B
laki-laki, sebaya, dan pekerjaan B
laki-laki, lebih muda, dan pekerjaan B
laki-laki, lebih tua, dan pekerjaan C
laki-laki, sebaya, dan pekerjaan C
laki-laki, lebih muda, dan pekerjaan C
perempuan, lebih tua, dan pekerjaan A
perempuan, sebaya, dan pekerjaan A
perempuan, lebih muda, dan pekerjaan A
perempuan, lebih tua, dan pekerjaan B
perempuan, sebaya, dan pekerjaan B
perempuan, lebih muda, dan pekerjaan B
perempuan, lebih tua, dan pekerjaan C
perempuan, sebaya, dan pekerjaan C
perempuan, lebih muda, dan pekerjaan C
(H) Bahasa yang saya gunakan untuk
bercakap-cakap dengan orang yang tidak
dikenal….
099. laki-laki, lebih tua, dan sepertinya
berpekerjaan A
100. laki-laki, lebih tua, dan sepertinya
berpekerjaan B
101. laki-laki, lebih tua, dan sepertinya
berpekerjaan C
102. laki-laki, sebaya, dan sepertinya
berpekerjaan A
103. laki-laki, sebaya, dan sepertinya
berpekerjaan B
104. laki-laki, sebaya, dan sepertinya
berpekerjaan C
105. laki-laki, lebih muda, dan sepertinya
berpekerjaan A
106. laki-laki, lebih muda, dan sepertinya
berpekerjaan B
107. laki-laki, lebih muda, dan sepertinya
berpekerjaan C
108. perempuan, lebih tua, dan sepertinya
berpekerjaan A
109. perempuan, lebih tua, dan sepertinya
berpekerjaan B
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
[BA]
[BB]
[BK]
[BI]
[BL]
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
409
110. perempuan, lebih tua, dan sepertinya
berpekerjaan C
111. perempuan, sebaya, dan sepertinya
berpekerjaan A
112. perempuan, sebaya, dan sepertinya
berpekerjaan B
113. perempuan, sebaya, dan sepertinya
berpekerjaan C
114. perempuan, lebih muda, dan sepertinya
berpekerjaan A
115. perempuan, lebih muda, dan sepertinya
berpekerjaan B
116. perempuan, lebih muda, dan sepertinya
berpekerjaan C
III. SIKAP BAHASA
(A) Saya percaya bahwa .…
01. BA suatu hari akan punah
02. BB suatu hari akan punah
03. BK suatu hari akan punah
04. BA merupakan ciri orang Bali
05. BB merupakan ciri orang Bali
06. BK merupakan ciri orang Bali
07. Orang Bali tidak harus bisa BA
08. Orang Bali tidak harus bisa BB
09. Orang Bali tidak harus bisa BK
10. Setiap orang Bali tidak perlu menggunakan
BA dalam komunikasi sehari-hari
11. Setiap orang Bali tidak perlu menggunakan
BB dalam komunikasi sehari-hari
12. Setiap orang Bali tidak perlu menggunakan
BK dalam komunikasi sehari-hari
13. Penggunaan BA sebaiknya dicampur dengan
bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia) untuk
memberi kesan modern
14. Penggunaan BB sebaiknya dicampur dengan
bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia) untuk
memberi kesan modern
15. Penggunaan BK sebaiknya dicampur dengan
bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia) untuk
memberi kesan modern
16. Pembinaan BA tidak perlu dilakukan
17. Pembinaan BB tidak perlu dilakukan
18. Pembinaan BK tidak perlu dilakukan
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
[STS]
[TS]
[N]
[S]
[SS]
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
410
19. BA perlu diberikan tempat di media
elektronik dan media cetak, seperti: televisi,
radio, internet, surat kabar dan majalah
20. BB perlu diberikan tempat di media
elektronik dan media cetak, seperti: televisi,
radio, internet, surat kabar dan majalah
21. BK perlu diberikan tempat di media
elektronik dan media cetak, seperti: televisi,
radio, internet, surat kabar dan majalah
22. BA seharusnya digunakan di antara sesama
tri wangsa
23. BA seharusnya digunakan oleh seorang jaba
untuk berbicara (atau berbicara tentang)
seorang tri wangsa
24. BA seharusnya digunakan untuk berbicara
dengan atasan
25. BB seharusnya digunakan oleh sesama jaba
26. BB seharusnya digunakan oleh seorang tri
wangsa untuk berbicara dengan seorang jaba
27. BB seharusnya digunakan oleh atasan
kepada bawahan
28. BB seharusnya digunakan oleh sesama
bawahan
29. BK seharusnya digunakan untuk berbicara
dengan binatang
30. BK seharusnya digunakan pada saat marah
(B) Dibandingkan basa Biasa (BB) dan basa
Kasar (BK), saya rasa basa Alus (BA) .…
31. lebih enak didengar
32. terkesan feudal
33. terkesan ketinggalan zaman
34. terkesan santun
35. terkesan lebih modern jika dicampurkan
dengan bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia)
di dalam penggunaannya
36. tidak perlu digunakan untuk menunjukkan
rasa hormat
37. perlu dihindari penggunaannya dalam
interaksi sehari-hari
38. terasa tidak pantas digunakan oleh jaba
kepada tri wangsa
39. terasa tidak pantas digunakan di antara
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
[STS]
[TS]
[N]
[S]
[SS]
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
411
sesama tri wangsa
40. terasa tidak pantas digunakan untuk
berbicara atasan
41. terasa tidak pantas digunakan untuk
berbicara dengan orang yang tidak dikenal
C) Dibandingkan basa Alus (BA) dan basa
Kasar (BK), saya rasa basa Biasa (BB) ….
42. terkesan netral di dengar
43. terkesan mengedepankan keakraban
44. nyaman digunakan dalam pergaulan seharihari
45. terkesan lebih modern jika dicampurkan
dengan bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia)
di dalam penggunaannya
46. terasa pantas digunakan oleh seorang jaba
kepada tri wangsa
47. terasa pantas digunakan di dalam pergaulan
sesama jaba
48. terasa pantas digunakan oleh sesama
bawahan
(D) Dibandingkan basa Alus (BA) dan basa
Biasa (BB), saya rasa basa Kasar (BK) ….
49. terkesan enak didengar
50. menimbulkan kesan sopan
51. menimbulkan kesan berwibawa
52. terkesan lebih modern jika dicampurkan
dengan bahasa lain (mis. Bahasa Indonesia)
dalam penggunaannya
53. sebaiknya dilarang penggunaannya pada
percakapan sehari-hari
54. terasa pantas digunakan untuk untuk
bercakap-cakap dengan triwangsa
55. terasa pantas digunakan pada saat marah
56. terasa pantas digunakan di antara sesama
jaba
57. terasa pantas digunakan untuk menyapa
hewan
(E) Saya cenderung untuk sebisa-bisanya ……
58. menggunakan BA dalam pergaulan seharihari
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
[STS]
[TS]
[N]
[S]
[SS]
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
[STS]
[TS]
[N]
[S]
[SS]
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
[STS]
[TS]
[N]
[S]
[SS]
☐
☐
☐
☐
☐
412
59. menggunakan BB dalam pergaulan seharihari
60. menggunakan BK dalam pergaulan seharihari
61. menggunakan BA untuk menyapa seorang
triwangsa
62. menggunakan BA untuk menyapa atasan
63. menggunakan BB untuk menyapa seorang
jabawangsa
64. menggunakan BB pada sesama bawahan
65. menggunakan BK untuk menyapa hewan
66. menggunakan BK pada saat marah
67. mencampurkan BA dengan bahasa lain (mis.
Bahasa Indonesia)
68. mencampurkan BB dengan bahasa lain
(mis. Bahasa Indonesia)
69. mencampurkan BK dengan bahasa lain (mis.
Bahasa Indonesia)
(F) Jika saya orang yang berwenang, saya
cenderung untuk sebisa-bisanya ….
70. memasyarakatkan penggunaan BA di luar
ranah resmi di Bali
71. memasyarakatkan penggunaan BB di luar
ranah resmi di Bali
72. memasyarakatkan penggunaan BK di luar
ranah resmi di Bali
73. mengintensifkan pembinaan BA baik secara
formal maupun informal
74. mengintensifkan pembinaan BB baik secara
formal maupun informal
75. mengintensifkan pembinaan BK baik secara
formal maupun informal
76. menegur orang yang tidak menggunakan BA
pada tempatnya
77. menegur orang yang tidak menggunakan BB
pada tempatnya
78. menegur orang yang tidak menggunakan BK
pada tempatnya
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
[STS]
[TS]
[N]
[S]
[SS]
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
☐
413
LAMPIRAN 3: HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN
TUTUR BAHASA BALI DENGAN WANGSA,
PEKERJAAN, UMUR,
DAN GENDER
3.1 Wangsa
3.1.1 Triwangsa
DOMAIN
A
B
C
D
E
F
G
H
Rerata
Kategori
TRIWANGSA
KK
KB
KA
BI
BL
0
0
96,3
3,7
0
0
9,7
90,3
0
0
0
16,4
80,5
3,1
0
0
27,2
72,5
0,3
0
0
31,4
68,6
0
0
0
0
100
0
0
0
45,7
54,3
0
0
0
39,7
53,5
6,8
0
0
22,0
76,1
1,9
0
Sangat Rendah Tinggi Sangat Sangat
rendah
rendah rendah
3.1.2 Jaba
DOMAIN
A
B
C
D
E
F
G
H
Rerata
Kategori
KK
1,5
2,4
0
0
0
0
0,7
0
0,5
Sangat
rendah
KB
94,6
65,7
64,0
84,4
92,3
61,4
95,8
72,2
77,9
Tinggi
JABA
KA
0
31,9
32,5
15,6
7,7
38,6
3,5
23,7
20,1
Sangat
rendah
TINGKAT
BI
3,9
0
3,5
0
0
0
0
4,0
1,5
Sangat
rendah
BL
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Sangat
rendah
414
3.2 Status Pekerjaan
3.2.1 Triwangsa
3.2.1.1 Kelas atas
NO
Triwangsa-Kelas Atas
1
2
3
4
TADL
TADP
TAML
TAMP
Rerata
Kategori
KK
KB
KA
BI
BL
0
0
0
0
0
Sangat
rendah
24
7
20,3
13,1
16,6
76
93
74,3
77,4
80,6
Sangat
tinggi
0
0
5,5
9,5
2,9
Sangat
rendah
0
0
0
0
0
Sangat
rendah
rendah
3.2.1.2 Kelas menengah
NO
1
2
3
4
Triwangsa - Kelas
Menengah
TBDL
TBDP
TBML
TBMP
Rerata
Kategori
KK
KB
KA
BI
BL
0
0
0
0
0
21,8
8,5
35,6
22,7
22,2
78,2
91,5
63,7
72,7
76,5
0,0
0,0
0,6
4,6
1,3
0
0
0
0
0
Sangat
rendah
rendah
tinggi
Sangat
rendah
Sangat
rendah
KK
KB
KA
BI
BL
0
0
0
0
0
34,4
12,7
32,6
22,1
25,5
65,6
87,3
66,4
71,4
72,7
0,0
0,0
1,0
6,6
1,9
0
0
0
0
0
Sangat
rendah
rendah
tinggi
Sangat
rendah
Sangat
rendah
3.2.1.3 Kelas bawah
NO
1
2
3
4
Triwangsa-Kelas
Bawah
TCDL
TCDP
TCML
TCMP
Rerata
Kategori
415
3.2.2 Jaba
3.2.2.1 Kelas atas
KK
KB
KA
BI
BL
JADL
JADP
JAML
JAMP
Rerata
0
0
0
0
0
81,6
61,4
86,2
70,7
75,2
18,4
37,7
13,1
21,3
23,2
0
0,9
0,7
8,0
1,6
0
0
0
0
0
Kategori
Sangat
rendah
tinggi
rendah
Sangat
rendah
Sangat
rendah
KK
KB
KA
BI
BL
0
0
0
0
0
88,8
69,4
87,6
73,9
79,9
11,2
30,1
11,5
22,9
18,9
0
0,5
0,9
3,2
1,1
0
0
0
0
0
Sangat
rendah
tinggi
rendah
Sangat
rendah
Sangat
rendah
NO
Jaba-Kelas Atas
1
2
3
4
3.2.2.2 Kelas Menengah
NO
1
2
3
4
Jaba - Kelas
Menengah
JBDL
JBDP
JBML
JBMP
Rerata
Kategori
3.2.2.2 Kelas Bawah
NO
Jaba-Kelas Bawah
KK
KB
KA
BI
BL
1
2
3
4
TCDL
TCDP
TCML
TCMP
Rerata
2,0
0
2,0
0,6
1,1
77,7
60,4
78,3
70,9
71,9
20,3
39,6
18,6
22,4
25,2
0
0
1,0
6,1
1,8
0
0
0
0
0
Kategori
Sangat
rendah
tinggi
rendah
Sangat
rendah
Sangat
rendah
416
3.3 Umur
3.3.1 Triwangsa
3.3.1.1 Dewasa (Tua)
NO
1
2
3
4
5
6
Triwangsa-Dewasa
TADL
TADP
TBDL
TBDP
TCDL
TCDP
Rerata
KK
0
0
0
0
0
0
0
KB
24,0
7,0
21,8
8,5
34,4
12,7
18,3
KA
76,0
93,0
78,2
91,5
65,6
87,3
81,7
BI
0
0
0
0
0
0
0
BL
0
0
0
0
0
0
0
Kategori
Sangat
rendah
Sangat
rendah
Sangat
tinggi
Sangat
rendah
Sangat
rendah
Triwangsa-Muda
TAML
TAMP
TBML
TBMP
TCDL
TCDP
Rerata
KK
0
0
0
0
0
0
0
KB
20,3
13,1
35,6
22,7
32,6
22,1
26,1
KA
74,3
77,4
63,7
72,7
66,4
71,4
69,9
BI
5,5
9,5
0,6
4,6
1
6,6
4
BL
0
0
0
0
0
0
0
Kategori
Sangat
rendah
rendah
tinggi
Sangat
rendah
Sangat
rendah
Jaba-Dewasa
JADL
JADP
JBDL
JBDP
JCDL
JCDP
Rerata
KK
0
0
0
0
2
0
0,4
KB
81,6
61,4
88,8
69,4
77,7
60,4
73,9
KA
18,4
37,7
11,2
30,1
20,3
39,6
25,5
BI
0,0
0,9
0,0
0,5
0,0
0,0
0,2
BL
0
0
0
0
0
0
0
Kategori
Sangat
rendah
tinggi
rendah
Sangat
rendah
Sangat
rendah
3.3.1.2 Muda
NO
1
2
3
4
5
6
3.3.2 Jaba
5.3.2.1 Dewasa (Tua)
NO
1
2
3
4
5
6
417
3.3.2.2 Muda
NO
1
2
3
4
5
6
Jaba-Muda
JAML
JAMP
JBML
JBMP
JCDL
JCDP
Rerata
KK
0
0
0
0
2
0,6
0,5
KB
86,2
70,7
87,6
73,9
78,3
70,9
78,2
KA
13,1
21,3
11,5
22,9
18,6
22,4
18,4
BI
0,7
8,0
0,9
3,2
1,0
6,1
2,9
BL
0
0
0
0
0
0
0
Kategori
Sangat
rendah
tinggi
Sangat
rendah
Sangat
rendah
Sangat
rendah
3.4 Gender
3.4.1 Triwangsa
3.4.1.1 Pria
NO
1
2
3
4
5
6
Triwangsa-Pria
TADL
TAML
TBDL
TBML
TCDL
TCML
Rerata
KK
0
0
0
0
0
0
0
KB
24,0
20,3
21,8
35,6
34,4
32,6
28,8
KA
76,0
74,3
78,2
63,7
65,6
66,4
70,3
BI
0
5,5
0
0,6
0
1
0,8
BL
0
0
0
0
0
0
0
Kategori
Sangat
rendah
rendah
tinggi
Sangat
rendah
Sangat
rendah
3.4.1.2 Perempuan
NO
TriwangsaPerempuan
KK
KB
KA
BI
BL
1
2
3
TADP
TAMP
TBDP
0
0
0
7,0
13,1
8,5
93,0
77,4
91,5
0
9,5
0
0
0
0
4
5
TBMP
TCDP
0
0
22,7
12,7
72,7
87,3
4,6
0
0
0
6
TCMP
Rerata
0
0
Sangat
rendah
22,1
14,9
Sangat
rendah
71,4
82,1
Sangat
tinggi
6,6
3,0
Sangat
rendah
0
0
Sangat
rendah
Kategori
418
3.4.2 Jaba
3.4.2.1 Pria
NO
1
2
3
4
5
6
Jaba-Pria
JADL
JAML
JBDL
JBML
JCDL
JCML
Rerata
KK
0
0
0
0
2,0
2,0
0,7
KB
81,6
86,2
88,8
87,6
77,7
78,3
83,4
KA
18,4
13,1
11,2
11,5
20,3
18,6
15,5
BI
0
0,7
0
0,9
0
1,0
0,4
BL
0
0
0
0
0
0
0
Kategori
Sangat
rendah
Sangat
tinggi
Sangat
rendah
Sangat
rendah
Sangat
rendah
3.4.2.2 Perempuan
NO
Jaba-Perempuan
KK
KB
KA
BI
BL
1
2
3
4
5
6
JADP
JAMP
JBDP
JBMP
JCDP
JCMP
Rerata
0
0
0
0
0
0,6
0,1
61,4
70,7
69,4
73,9
60,4
70,9
68,0
37,7
21,3
30,1
22,9
39,6
22,4
29,3
0,9
8,0
0,5
3,2
0
6,1
2,6
0
0
0
0
0
0
0
Kategori
Sangat
rendah
tinggi
rendah
Sangat
rendah
Sangat
rendah
419
LAMPIRAN 4: PERBANDINGAN ANTARA SIKAP DAN PENGGUNAAN
TINGKAT TUTUR BAHASA BALI
NO
Kelompok Penutur
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
TADL
TADP
TAML
TAMP
TBDL
TBDP
TBML
TBMP
TCDL
TCDP
TCML
TCMP
Rerata triwangsa
JADL
JADP
JAML
JAMP
JBDL
JBDP
JBML
JBMP
JCDL
JCDP
JCML
JCMP
Rerata jabawangsa
Rerata
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Sikap Bahasa
KK
KB
KA
47,8
63,5
82,1
45,5
60,7
82,6
45,4
58,2
80,8
39,1
57,9
82,1
45,5
66,3
83,4
42,5
63,9
85,5
41
61,7
82,6
42,2
59,8
83,6
44,1
67,4
82,4
41,9
66,1
83,6
43,8
64,3
78,7
42,1
64,6
79,1
43,4
63,4
82,3
45,2
75,5
77,3
41,8
75,2
76,1
47,6
73,9
72,9
46,6
72,6
72,5
49,1
75,2
74,4
45,3
74,5
78,8
50,5
72,6
71,1
44,8
70,1
71,3
55,3
78,9
73,8
51,6
76,9
72,6
54,5
78,6
69,7
49,3
73,5
69,8
52,5
72
71,3
47,8
67,7
76,9
Penggunaan Bahasa
KK
KB
KA
0
24
76
0
7
93
0
20,3
74,3
0
13,1
77,4
0
21,8
78,2
0
8,5
91,5
0
35,6
63,7
0
22,7
72,7
0
34,4
65,6
0
12,7
87,3
0
32,6
66,4
0
22,1
71,4
0
21,9
76,1
0
81,6
18,4
0
61,4
37,7
0
86,2
13,1
0
70,7
21,3
0
88,8
11,2
0
69,4
30,1
0
87,6
11,5
0
73,9
22,9
2
77,7
20,3
0
60,4
39,6
2
78,3
18,6
0,6
70,9
22,4
0,4
75,9
22,2
0,2
48,5
49,6
420
LAMPIRAN 5: BUTIR DAN SIFAT PERNYATAAN PADA ANGKET
SIKAP BAHASA
Butir
Pernyataan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
Sifat Pernyataan
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Butir
Pernyataan
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
Sifat Pernyataan
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
421
LAMPIRAN 6: SAMPEL TRANSKRIP PERCAKAPAN
Situasi: Percakapan terjadi di rumah keluarga triwangsa di pagi hari antara
AGBM, dan AGST yang mana mereka bergelar Anak Agung. AGBM bekerja
sebagai PNS di kantor Pemerintah Daerah, sedangkan AGST bekerja sebagai guru
les yang juga sedang menyelesaikan S2 di sebuah universitas di Singaraja.
Keduanya adalah pria, dan memiliki umur yang berkategori muda.
(1): AGBM JUNG, AMBILANG DUMUN TU beli kertas nyang dadua?
Cepetin NGGIH.
(2): AGST
JUNG males TU Bli, nu ngecek laptope, uli tuni TEN
ngidaang idup. TU bli je ngambil pedidi, kenken ja?
(3): AGBM Aduh, kejep gen, soalne tugas kantore numpuk gati. Kejep
MANTEN pang encol pragat NIKI. Nyanan, ajake melali pesu
ke pelabuhan.
(4): AGST
Bih, NGGIH ANTOSANG kejep MANGKIN keambilang,
cukup dadua MANTEN? sing liu nyanan perlu? TU Bli kan
biasa keto.
(5): AGBM Beh, JUNG lamun NIKA gen tersinggung. Ibi NIKA sajaan
ngengsap gati TU Bli ngorain MAKTAANG flashdise. JUNG
bolak balik dadine, tapi, upahne kan SAMPUN gede gati he.
(6): AGST
Apa? Kuang NIKA TU Bli, tambah nake buin. Mani kan
malam minggu, JUNG telah gati gajihe KANGGEN meli ban
motore minggu lalu.
(7): AGBM NGGIH, tapi KANGGEANG krecek-krecekan gen NGGIH
he.
(8): AGST
Beh, TEN nyak TU Bli, NIKI kertasne. NAPI MALIH?
(9): AGBM Untuk sementara cukup dan tunggu instruksi lebih lanjut.
(10): AGST
Instruksi apa? Instruksi puyung? He.
422
LAMPIRAN 7: SURAT IZIN PENELITIAN
Download